28
2.2. Sistem Sosial Masyarakat Nias
Struktur sosial masyarakat Nias bermula dari pernikahan dan dengan cara membeli marga yaitu dengan mengadakan upacara owasa. Dengan pernikahan
maka terbentuk pula sistem kekerabatan yang berbentuk Patrilineal di masyarakat Nias karena pihak laki-laki yang dapat menurunkan marganya .
Sebuah pernikahan akan membentuk sebuah keluarga Inti batih di masyarakat Nias disebut sangombatö, Keluarga batih memiliki kelompok
keluarga yang lebih luas terdiri dari keluarga inti dari putra-putranya yang telah menikah dan tinggal di satu rumah atau dalam satu wilayah dan memiliki satu
kesatuan ekonomis. Hal ini disebut masyarakat Nias sangombatö sebua. Gabungan Sangombatö sebua yang berasal dari satu leluhur disebut oleh
masyarakat Nias adalah mado marga. Fungsi mado adalah untuk membatasi perkawinan dengan mada yang sama exogami mado . Dananjaya, 1982.
Proses perkawinan di masyarakat Nias bisa menggambarkan secara jelas hubungan kekerabatan masyarakatnya. Di Nias, pernikahan tidak hanya menjadi
urusan antara dua orang calon mempelai pria dan wanita, tetapi urusan satu keluarga dengan keluarga lain, antara satu kelompok sangombatö sebua dengan
kelompok sangombatö sebua lainnya. Akhirnya, perkawinan juga menjadi urusan banua
dengan banua lainnya. Sebuah perkawinan memiliki tahapan yang jelas. Dalam perkawinan harus ada persetujuan dari kedua belah pihak perempuan.
Persetujuan yang diberikan tidak hanya sebatas dati orangtua masing-masing pihak, melainkan melibatkan kerabat-kerabat dekat mereka sifatalifus atau
Universitas Sumatera Utara
29 faiwasa,
Dengan melibatkan seluruh kerabat segala sesuatu dalam proses perkawinan akan sukses.
Seperti yang digambarkan oleh Bambowo Laiya di desa Boto Kabupaten Nias Selatan proses perkawinan dimulai dengan pertunangan. Tetapi sebelum
pertunangan dilaksanakan, orangtua pihak laki-laki harus memanggil kerabat- kerabatnya dan membicarakan maksud tujuan sembari meminta persetujuan.
Setelah adanya persetujuan para kerabat, tahap berikutnya orangtua menunjuk salah satu kerabatnya untuk menjadi perantara keluarga, untuk menemui keluarga
calon mempelai perempuan. Biasanya yang menjadi perantara adalah penetua-penetua desa atau kerabat yang dianggap bijaksana. Apabila orangtua
pihak perempuan menyetujui rencana tersebut, mereka akan mengatur waktu untuk upacara pertunangan resmi yang disebut famatuasa.
Setelah rencana rampung, maka tahap selanjutnya adalah melaksanakan pertunangan. Tapi sebelumnya pihak pengantin pria harus menyiapkan bowo
mahar yang akan diserahkan pada keluarga pengantin perempuan pada saat untuk meminang sebelum pernikahan. Saat peminangan bowo yang dibawa
disebut fasamanomano kunci pembicaraan. Adapun besar emas yang diberikan dalam pertunangan ini berbeda-beda besarnya, tergantung dari keluarga siapa
yang meminang dan keluarga siapa yang dipinang. Jika yang dipinang adalah keluarga bangsawan, biasanya menuntut 6-12 batu emas. Sedangkan untuk rakyat
biasa hanya berkisar 1 - 3 batu emas. Satu batu sama dengan 10 gram emas. Bambowo Laiya, 1983. Setelah pertunangan, calon menantu laki-laki boleh
bebas untuk datang ke rumah perempuan.
Universitas Sumatera Utara
30 Bila pertunangan dilanjutkan pada pernikahan, maka pihak dari keluarga
pria harus menyelesaikan bowo perkawinan jujuran yang telah disepakati dengan pihak keluarga perempuan. Adapun jumlah dari jujuran yang diminta ini
bervariatif, Sekarang ini jumlah yang diberikan bisa berbentuk uang ataupun emas. Setelah diterima oleh pihak keluarga perempuan dan sejumlah kerabatnya,
maka jujuran tersebut dibagi pada kaum kerabat keluarga perempuan. Di antara penerima jujuran tersebut adalah kakek calon pengantin perempuan dari pihak
ayah, neneknya dari pihak ibu, saudara laki-laki dari pihak ibu, saudara laki-laki dari nenek pihak ibu, saudara laki-laki dari pihak ayah, saudara laki-Iakinya, dan
juga saudara perempuan calon pengantinnya bukan anak perempuan paling tua. Bagi masyarakat Nias bowo atau jujuran yang diberikan ketika masa
pernikahan adalah simbol kehormatan, kedudukan, dan prestise harga diri. Semakin tinggi jujuran yang diminta maka semakin tinggi juga status mereka
dalam masyarakat. Dalam hal ini jujuran tidak hanya memberi kepada kaum kerabat perempuan tetapi juga menerima. Setelah acara pemikahan selesai, kedua
pengantin baru akan diundang oleh kerabat dari pihak perempuan untuk datang ke rumahnya. Setelah diberi petuah dan nasihat dari kerabat pihak perempuan,
mereka menerima sepasang babi untuk dipelihara. Dapat dilihat disini dengan adanya pernikahan, sistem kekerabatan
masyarakat Nias tetap terpelihara hingga sekarang. Jujuran yang diberikan tidak mesti dinilai dari materi yang diberikan tetapi sebagai sarana yang dapat
memperkokoh hubungan kekeluargaan.
Universitas Sumatera Utara
31 Sistem kekerabatan di Nias bermula dari pernikahan, sebab dengan
pernikahan akan menjadi sebuah sangambatö atau kelompok unit kekerabatan terkecil dalam struktur sosial yang terdiri dari satu keluarga inti nuclear family
dan berasal dari garis keturunan kakek yang sama. Unit-unit kelompok kekerabatan yang berasal dari satu keluarga akan menjadi sebuah sangambatö
sebua. Unit kelompok sangombatö sebua ini nantinya menjadi sebuah kelompok
mapa marga. Gabungan sangombatö sebua dengan dengan sangombatö sebua
lainnya yang tidak berasal dari satu kakek akan menjadi kerabat yang luas disebut sifatalifusö.
Dari sifatalifusömaka terbentuk masyarakat kampung yang disebut sisambua banua
atau ono banua, yaitu terdiri dari beberapa marga mado, serta merasa setiap warga dalam satu kampung terikat dalam jalinan kekerabatan.
Sebenarnya banua adalah langit, semesta, alam, dan manusianya, dan yang memerintah banua itu adalah Lowalani dewa atas dan Laiuro danadewa
bawah. Jadi dalam struktur sosial masyarakat Nias ada disebut Siulu bangsawan. Siulu adalah golongan masyarakat yang memiliki kedudukan
tertinggi dalam sebuah banua secara turun temurun, Ia merupakan perlambangan dari lowalani sebagai penjaga keharmonisan di bumi. Dan perlambangan dari
dewa bawah laturo dano adalah masyarakat yang disebut dengan Sato masyarakat biasa. Siulu adalah pencipta serta pendiri kamppung. Pengukuhan
seseorang menjadi Siulu dilakukan dengan pesta kebesaran disebut upacara Owasa. Siulu
ini dibagi menjadi dua status yaitu Balo Siulu adalah Siulu yang memerintah banua, dan Siulu Balugu yang hanya memiltki status bangsawan.
Universitas Sumatera Utara
32 Seseorang yang memiliki predikat Siulu dalam melaksanakan tugasnya
memerintah banua ia ditemani oleh Siila. Siila berasal dari satoatau rakyat kebanyakan, mereka ini adalah kaum yang dianggap bijaksana berasal dari rakyat
biasa dan ditunjuk oleh Siulu untuk menjadi teman diskusi dalam Orahu musyawarah desa. Adapun keputusan dari orahu musyawarah desa yang selalu
memutuskan adalah Siulu, sebab Siulu memiliki wewenang lebih besar dari Siila.
Lapisan masyarakat selanjutnya adalah kaum Ere pemuka agama kuno dalam adat Nias, Berhubung.sekarang Ini agama kuno Nias yang menyembah
berhala nadu sudah sangat jarang dijumpai, maka kaum ere sekarang ini disebut dengan
“orang pintar” seperti dukun dan semacamnya. Selain itu ere juga pintar berbicara masalah adat istiadat. Sedangkan masyarakat kebanyakan rakyat biasa
dalam sebuah banua disebut dengan sato. Dalam mitos kosmologi orang Nias Ere adalah penyampai antara dewa atas dengan dewa bawah, ere disimbolkan kepada
Silewe Nazarata. Dalam struktur sosial masyarakat Nias juga dikenal kaum Sawuyu budak,
kaum ini adalah golongan yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan
berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang biasanya dilakukan para bangsawan. Sejak itu mereka menjadi
budak bagi bangsawan tersebut. Ada lagi lapisan sosial yang terendah dalam masyarakat Nias yaitu binu.,Menurut tradisi masyarakat Nias dahulu binu adalah
budak yang kepalanya dipenggal untuk dijadikan sembahan, atau menjadi teman
Universitas Sumatera Utara
33 di dalam kubur jika ada seorang bangsawan yang meninggal. J. Sonjaya, 2008.
Binu digunakan, sebagai elemen tambahan dalam pembuatan sebuah bangunan.
“Binu perlu untuk bangunan rumah, gelar bangsawan, atau penyambutan pengantin putri Zebus 2006: IOS. Binu juga perlu bagi salawa kepala
kampung atau bangsawan yang mengadakan owasa pesta jasa, sebagaimana ditulis Harefa 1939: 89
” Binu
biasanya didapatkan dari hasil perang tawanan perang ataupun diculik. Dananjaya, 49:1982. Pada zaman dahulu binu digunakan juga untuk
menaikkan status seseorang dalam banua. Bisa saja seseorang rakyat biasa yang statusnya hanya Sato menjadi seorang bangsawan karena banyak memiliki binu.
Semakin banyak seseorang memiliki binu maka semakin naik Pula derajat orang itu di mata masyarakat. Apalagi kalau perbuatan yang dilakukannya tidak bisa
dibalas oleh keluarga yang diculik atau dibunuhnya. J. Sonjaya, 2008. Andrew Beatty dalam bukunya, Social Exahange, menulis:
Ada tiga orang bersaudara keturunan bangsawan berasal dari desa Sifalagö yaitu Laia, Ndruru dan Buulölö. Mereka bertiga membuka daerab di Sifalagö
Gomo untuk dijadikan banua. Dari mereka bertiga dikumpulkan emas yang
berasal dari Laia, babi dari si Ndrudu, namun si Bulölötidak bisa menyumbangkan apapun karena ia tidak memiliki emas, babi, dan istri; maka dari
itu si Bu ‟ulölö tidak bisa menjadi bagian orang yang mendirikan kampung
tersebut. Untuk memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh saudara-saudaranya
maka si Buulölöpergi mengembara hingga akhirnya sampai di daerah Mazingb
Universitas Sumatera Utara
34 dan ia menculik beberapa orang di sang untuk dijadikan binu. Setelah ia bunuh
tawanannya kemudian diserahkan kepada saudara-saudaranya akhirnya ia mendapatkan status seperti yang dijanjikan oleh Laia dan Ndruru kepadaya, yaitu
Laiya memberikan sebagian emasnya padanya begitu juga Ndruru memberikan
sebagian dari babinya untuk Buulölö. Beatty, 23-24 : 1992. Sekarang ini Sawuyu dan binu sudah ditiadakan. Pelarangan ini diterapkan
semenjak masuknya agama Kristen ke pulau Nias dan pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan di Nias bagian utara dan tengah, lapisan sosial yang terdapat
di sans adalah Salawa yang setingkat dengan Siulu di Nias Selatan, dan yang lainnya disebut dengan ono banua warga masyarakat. Penetua-penetua kampung
disebut satua banua setingkat dengan kaum Siila di Nias selatan, –satua banua
berfungsi sebagai penasehat Salawa. Skripsi A.F. Fau, 46:1997 Menurut James Dananjaya 49:1982 lapisan sosial masyarakat di Nias
bersifat exklusif, karena pergerakan dalam lapisan tersebut sebatas antar golongan saja. Misalnya anggota golongan dari sato dapat menjadi golongan anggota Sida,
tetapi tidak dapat memasuki wilayah, lapisan Siulu. Supaya dapat memasuki golongan Siulu harus dibuatpesta owasayang terdiri dari beberapa tingkat dan ini
memerlukan biaya yang mahal dan sekarang makin sulit dilaksanakan. Setiap Banua di Nias memiliki hubungan sosial dengan banua yang lain
karena telah terjalin kekerabatan masyarakat yang erat walaupun tidak dari satu mado.
Biasanya banua yang terjalin tersebut berdekatan dengan wilayah banua sekitarnya. Juga bisa clikarenakan ada hubungankekerabatan karena salah seorang
dari kerabat mereka menikah dengan orang banua lain. Banua-banua yang telah
Universitas Sumatera Utara
35 memiliki hubungan sosial yang erat biasanya bergabung dan menjadi sebuah öri
negeri. Pemimpin sebuah öri disebut Tuhenori. Dahulu öri dibentuk untuk menyatukan banua yang memiliki hubungan kekerabatan dan berfungsi untuk
bersatu melawan musuh yang datang menyerang. Selain Tuhenoriyang memimpin sebuah ori, dan Siulu yang memimpin
banua, ada juga yang dinamakari kepala kampung atau kepala desa. Kepala desa
bertugas untuk masalah pemerintahan dengan struktur yang sudah ada. Sedangkan urusan adat dipegang dan menjadi otoritas pemuka adat banua. Satudengan
lainnya tidak bisa dicampuri namun untuk memutuskan masalah di desa mereka tetap harus berdiskusi dan diputuskan bersama. Perlu diakui yang umum terjadi
kepala desa juga berasal dari golongan Siulu. Tetapi sekarang kepala desa berasal dari golongan satoasal ia bisa diterima oleh masyarakat, berpendidikan bagus,
tidak memiliki cacat sosial. MPBI-UNESCO, 15:2007.
Universitas Sumatera Utara
BABI PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang