Tingkat Kekritisan Lahan Penentuan Tingkat Kekritisan Lahan Dengan Menggunakan Geographic Information System di Sub DAS Aek Raisan dan Sub DAS Sipansihaporas DAS Batang Toru

D. Tingkat Kekritisan Lahan

Lahan kritis menurut Direktorat Rehabilitasi dan Reboisasi Lahan Kritis 1997 merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau kekurangan fungsinya sampai pada batas yang ditentukan. Lahan kritis dapat dinilai dari segi fungsi lahannya atau produktivitasnya. Namun secara umum penilaian lahan kritis dapat dilihat dari keadaan gundul, terkesan gersang dan bahkan munculnya batuan dipermukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit dan berlereng curam, pada umumnya dijumpai pada lahan dengan vegetsi alang-alang dengan pH tanah relatif rendah 4,8-6,2 dan mengalami pencucian tanah tinggi Mahfuzd, 2001. Pada lahan kritis yang menjadi permasalahan utama adalah lahan yang mudah tererosi, tanah bereaksi masam dan miskin unsur hara. Berdasarkan data peta penutupan lahan vegetasi permanen, faktor kelerengan, tingkat bahaya erosi, geologi, faktor manajemen serta tingkat produktivitas yang telah dioverlaykan sesuai dengan parameter dan kriteria untuk masing-masing kawasan hutan lindung, budidaya pertanian dan kawasan lindung di luar kawasan hutan maka diperoleh tingkat kekritisan lahan seperti yang terlihat pada Tabel 27 berikut. Tabel 27. Tingkat Kekritisan Lahan di Sub DAS Aek Raisan dan Sub DAS Sipansihaporas ARAHAN FUNGSI FUNGSI TINGKAT KEKRITISAN LAHAN LUAS Persentase LAHAN HUTAN Sangat Kritis Agak Potensial Tidak Ha Kritis Kritis Kritis Kritis Budidaya Pertanian APL - 546,952 885,926 1.113,904 - 2.546,782 32,99 Hutan Lindung HL - - - 2.767,715 2.367,430 5.135,145 66,52 HASPA - - - - - - - Kawasan Lindung HPT 7,872 15,196 - - - 23,068 0,30 Di luar kawasan HP - 14,466 - - - 14,466 0,19 hutan HPK - - - - - - - Total 7,872 576,614 885,926 3.881.619 2.367,430 7.719,461 100,00 Sumber: Hasil Analisa Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil dari tabulasi parameter-parameter penentu tingkat kekritisan lahan diperoleh bahwa pada kawasan Sub DAS Aek Raisan dan Sipansihaporas dalam fungsi kawasan budidaya pertanian tingkat kekritisan lahannya yang dominan berada pada kelas potensial kritis dengan luasan 1.113,904 Ha. Fungsi kawasan hutan lindung pertanian tingkat kekritisan lahannya juga yang dominan berada pada kelas potensial kritis dengan luasan 2.767,715 Ha. Sedangkan fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan tingkat kekritisan lahannya yang dominan berada pada kelas kritis dengan luasan 29,662 Ha. Hal ini jika dibandingkan sesuai dengan hasil penelitian dari Sismanto 2009 yang melakukan analisis lahan kritis di Sub DAS Riam Kanan DAS Barito Kabupaten Banjar Kalimantan Tengah yang menunjukkan sebaran tingkat Keritisan Lahan di Sub DAS Riam Kanan dibagi atas 5 bagian yakni potensial kritis 325.413 km 2 , semi Kritis 300.529 km 2 , kritis 08.728 km 2 , sangat kritis 176.046 km 2 dan tidak Kritis 47.243 km 2 dengan luas total lahan 1157.960 km 2 yang didominasi pada tingkat potensial kritis akan tetapi jika dilihat dari sebaran kekritisan lahan tersebut bahwa lahan kritis pada daerah ini lebih dari 43 atau dapat dikatakan hampir setengah lahan Sub DAS Riam telah menjadi kritis. Untuk lebih rinci luas tingkat kekritisan lahan pada berbagai kawasan di Sub DAS Aek Raisan dan Sipansihaporas dapat dilihat pada Gambar 11. Universitas Sumatera Utara Gambar 11. Grafik Tingkat Kekritisan Lahan di Sub DAS Aek Raisan dan Sub DAS Sipansihaporas Penentuan tingkat kekritisan lahan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode skoring. Hal ini berkaitan dengan hasil penelitian dari Kastaman 2007 mengenai penggunaan metode fuzzy dalam penentuan lahan kritis di Sub DAS Cipeles yang untuk mendapatkan gambaran perbandingan hasil analisis penentuan lahan kritis, terlebih dahulu dilakukan analisis data dengan menggunakan metode skoring kemudian dibandingkan kembali dengan metode fuzzy. Sebaran tingkat kekritisan lahan yang didominasi pada tingkat potensial kritis baik pada kawasan hutan lindung 2.246,12 Ha, budidaya pertanian 9.680,93 Ha maupun kawasan lindung di luar kawasan hutan 1.957,81 Ha dan yang terbesar terdapat pada kawasan budidaya pertanian. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan luas lahan yang potensial kritis di Sub DAS Aek Raisan dan Sipansihaporas yang paling besar pada kawasan hutan lindung 2.767,715 Ha. Hal ini disebabkan karena sebagian besar luas kawasan Sub DAS Aek Raisan dan Sipansihaporas didominasi oleh hutan lindung yang berpotensi kritis karena disebabkan oleh bencana longsor dan aktivitas masyarakat yang membakar hutan dan menjadikannya ladang berpindah. Universitas Sumatera Utara Lahan potensial kritis merupakan lahan yang tidak termasuk dalam kategori kritis. Lahan ini masih dapat dipergunakan untuk lahan pertanian ditandai dengan masih adanya lapisan tanah yang produktif, walaupun sudah terjadi erosi dengan tingkat yang rendah. Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan secara fisik sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi yang telah ditentukan. Faktor utama terjadinya kerusakan lahan karena tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah dalam pengelolaannya. Hal ini umumnya terjadi karena masyarakat yang belum mengetahui bahaya mengelola lahan yang memiliki kelas lereng terjal dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai konservasi tanah dan air. Hal ini berkaitan dengan literatur Sismanto 2009 yang menyatakan bahwa kekritisan lahan adalah suatu lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya baik sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Lahan yang tergolong kritis tersebut dapat berupa: a tanah gundul yang tidak bervegetasi sama sekali; b ladang alang-alang atau tanah yang ditumbuhi semak belukar yang tidak produktif; c areal berbatu-batu, berjurang atau berparit sebagai akibat erosi tanah; d tanah yang kedalaman solumnya sudah tipis sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik; e tanah yang tingkat erosinya tinggi. Universitas Sumatera Utara Gambar 12. Peta Tingkat Kekritisan Lahan di sub DAS Aek Raisan dan Sub DAS Sipansihaporas Universitas Sumatera Utara Kondisi wilayah Sub DAS Aek Raisan dan Sipansihaporas yang vegetasi permanennya didominasi hutan alam, memiliki kelerengan sangat curam pada tingkat kedua setelah datar, dengan sistem manajemen yang tidak lengkap kegiatan praktek konservasi tanah yang sesuai dengan petunjuk pelaksanaan konservasi tanah sehingga menjadikan lahan ini didominasi tingkat kekritisan pada kelas potensial kritis. Namun yang perlu diperhatikan selain dari faktor alam, adanya perilaku masyarakat dalam pengelolaan DAS juga perlu diperhatikan karena berdasarkan hasil survei lapangan banyak ditemukan lahan yang dibakar untuk dikonversi atau dijadikan ladang berpindah dan kebun campuran, karena sifatnya berpindah maka dapat menjadikan lahan tersebut menjadi gundul, rusak dan menjadi kritis. Oleh sebab itu dibutuhkan pengelolaan DAS guna untuk mewujudkan kondisi yang baiak sesuai dengan peruntukan dan kemampuan optimal dari sumber daya alam yang meliputi tanah, air dan tumbuhan sehingga mampu memberikan manfaat maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Kawasan Sub DAS Aek Raisan dan Sub DAS Sipansihaporas didominasi tingkat kekritisan lahan kelas potensial kritis yang dibutuhkan adalah penjagaan kondisi ekosistemnya agar tetap baik dan stabil. Tindakan yang harus dilakukan pada kondisi lahan yang demikian adalah tindakan konservasi lahan suatu upaya pengelolaan sumber daya lahan dengan menerapkan teknologi-teknologi yang sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar lahan tersebut tidak mengalami penurunan tingkat produktivitasnya atau tetap produktif dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Universitas Sumatera Utara Adanya kondisi hutan dan lahan yang mengalami perubahan dengan cepat dan adanya keterkaitan masyarakat hulu dalam hal penyebab terjadinya kerusakan lahan, maka dibutuhkan suatu pengamatan dan penelitian lebih lanjut mengenai perilaku masyarakat dalam pemanfaatan lahan, khususnya lahan yang kelerengannya curam dan sangat curam. Lebih ditekankan pada kondisi lokasi penelitian yang hubungannya dengan budaya masyarakat dalam sistem bercocok tanam atau pola pertanian. Melihat kondisi tersebut wilayah Sub DAS Aek Raisan dan Sipansihaporas sangat penting untuk ditangani dengan upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan, rekomendasi kegiatan-kegiatan pengolahan lahan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah, upaya melestarikan dan mempertahankan keberadaan hutan. Adapun yang menjadi acuan untuk pengembangan dan konservasi kawasan DAS sesuai dengan prinsip pengelolaan DAS. Prinsip dasar pengelolaan DAS: - Berazaskan kelestarian, kemanfaatan, keadilan, dan kemandirian - Melibatkan stakeholders dalam pengambilan keputusan - Prioritas berdasarkan DAS strategi - Meliputi manajemen: konservasi air, pengelolaan lahan dan pengelolaan vegetasi serta pembinaan SDM - Efektivitas dan efisiensi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi - Peninjauan kembali secara berkala dan program lanjutan Universitas Sumatera Utara VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan