Tempat berobat Pembagian glaukoma Tabel Estimasi Kebutaan Akibat Glaukoma di Kabupaten Tapanuli Selatan. PEMBAHASAN Dari tabel 5.1.1.1 sampai tabel 5.1.1.5 tampak gambaran karakteristik penduduk

Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

e. Riwayat orang tua yang menderita kebutaan

Tabel 5.10. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan riwayat orang tua. Riwayat orang tua Jumlah Ya 2 4,6 Tidak 38 88,3 Tidak tahu 3 6,9 Jumlah 43 100 Dari tabel di atas, 38 orang tidak mempunyai riwayat penyakit yang sama dengan orang tuanya, 3 orang menjawab tidak tahu dan hanya 2 orang yang mempunyai keluarga dengan riwayat sama.

f. Tempat berobat

Tabel 5.11. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan tempat berobat. Tempat berobat Jumlah Persentase Puskesmas 12 27.9 RS. Pemerintah 5 11.6 RS. Swasta 2 4.6 Praktek Swasta 5 11.6 Tradisional 9 20.9 Obat sendiri 4 9.3 Dibiarkan 6 13.9 Jumlah 43 100 Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. Dari tabel di atas 12 orang penderita berobat ke Puskesmas, 5 orang ke Rumah Sakit Umum Pemerintah dan 2 orang Rumah Sakit Swasta, 9 orang berobat tradisional, 4 orang berobat sendiri dan 6 orang tak berobatdibiarkan.

g. Pembagian glaukoma

Tabel 5.12. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan pembagiannya. Pembagian glaukoma Satu mata Dua mata Total N N N Primer - - 10 23,2 10 23,2 Sekunder 23 53,4 10 23,2 33 76,7 Jumlah 23 53,4 20 46,4 43 100

h. Tabel Estimasi Kebutaan Akibat Glaukoma di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Kabupaten Tapanuli Selatan Estimasi Pada CI 95 Batas bawah ; Batas atas Prevalensi Kebutaan akibat glaukoma 20 29332 x 100 = 0,068 0,041 ; 0,095 Persentase Kebutaan akibat glaukoma 20 155 x 100 = 12,9 7,63 ; 18,17 Prevalensi kebutaan 15529332 x 100 = 0,528 0,445 ; 0, 611 Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.

5.2. PEMBAHASAN Dari tabel 5.1.1.1 sampai tabel 5.1.1.5 tampak gambaran karakteristik penduduk

sampel sampel dari wilayah penelitian. Dari tabel 5.1.1.1 dan 5.1.1.2 terlihat distribusi umur dan jenis kelamin menunjukkan lebih banyak penduduk dalam usia 61 -70 tahun yaitu berkisar 30,83 dan jenis kelamin terbanyak perempuan yaitu berkisar 71,11 . Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran kependudukan di Indonesia umumnya. Seperti pada negara-negara yang sedang berkembang lainnya seperti Burma dan India. Dari tabel 5.1.1.3 terlihat distribusi bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai sekolah dasar SD sederajat. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya sumber daya manusia dan dampaknya ini juga akan menyebabkan kurangnya pengetahuan penduduk tentang penyakit mata khususnya katarak. Dari tabel 5.1.1.4 terlihat bahwa sebagian besar penduduk mempunyai pekerjaan sebagai petani yaitu sebesar 69,72, hal ini sangat sesuai dengan daerah Indonesia yang berdaerah agraris. Dari tabel 5.1.1.5 terlihat bahwa suku terbanyak sebagai sampel dari 6 kecamatan adalah suku Mandailing, diikuti suku batak lainnya. Dari tabel 5.6 tampak gambaran peserta penelitian yang mengalami kebutaan akibat glaukoma berkisar 40 tahun ke atas, dimana terbanyak pada usia 61-80 tahun. Ini sesuai dengan perpustakaan yang ada maupun penelitian yang pernah dilakukan, menyebutkan bahwa usia sebagai salah satu faktor resiko kebutaan akibat glaukoma yaitu 40 tahun ke atas dan resiko makin bertambah dengan bertambahnya usia. Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. Dari table 5.7, penyebaran kebutaan akibat glaukoma menurut jenis kelamin terdapat 27 orang wanita dan 16 orang laki-laki. Dari penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia ditemukan wanita relatif lebih banyak. Dari table 5.8, sebagian besar penderita tidak bersekolah dan sekolah dasar. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penderita kurang memahami penyakitnya sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam upaya penanggulangan kebutaan akibat glaukoma. Dari tabel 5.9. terlihat bahwa, penderita yang mengalami glaukoma secara mayoritas mempunyai pekerjaan sebagai petani, yaitu sekitar 29 orang 67,4 . Hal ini sesuai dengan keadaan daerah Indonesia umumnya dan Tapanuli Selatan khususnya yang mempunyai daerah agraris. Dari table 5.10, 38 orang menjawab orang tua mereka tidak mempunyai riwayat penyakit buta, tapi 3 orang menjawab tidak tahu dan hanya 2 orang yang mempunyai keluarga dengan riwayat sama. sehingga tidak dapat diambil kesimpulan mengenai riwayat keturunan glaukoma pada penelitian ini. Dari table 5.11, tampak bahwa sebagian besar penderita berobat ke tempat fasilitas kesehatan yang ada seperti Puskesmas, Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Swasta, tetapi oleh karena keterbatasan tenaga medis yang mengerti tentang penyakit glaukoma dan alat yang tidak mendukung, dan ketidakrutinan berobat oleh karena faktor ekonomi dan kepasrahan karena mereka merasa penyakitnya tidak sembuh-sembuh. Dari table 5.12, terlihat bahwa dari 43 penderita glaukoma yang diperiksa ditemukan 20 orang yang mengalami kebutaan akibat glaukoma sesuai dengan kriteria Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. kebutaan oleh WHO. Penderita kebutaan glaukoma primer terdapat pada 10 pasien, sedangkan 10 pasien lainnya adalah glaukoma sekunder. Prevalensi kebutaan akibat glaukoma di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dari jumlah sampel penderita 360 orang, 155 memenuhi kriteria kebutaan . dari jumlah tersebut dijumpai kebutaan akibat glaukoma sebanyak 20 orang. Prevalensi didapatkan dengan rumus jumlah penderitajumlah populasi dikali 100, sehingga prevalensi kebutaan akibat glaukoma untuk Kabupaten Tapanuli Selatan adalah 0,068 . Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sri Ninin Asnita di Kabupaten Karo, didapatkan angka prevalensi kebutaan akibat glaukoma yaitu berkisar 0,094 8 . Dari data ini terlihat bahwa prevalensi kebutaan akibat glaukoma di Kabupaten Tapanuli Selatan lebih rendah di banding Kabupaten Tanah Karo. Penelitian ini berdasarkan kriteria inklusinya menghitung angka kebutaan glaukoma pada kasus dimana tekanan intraokulinya memenuhi syarat untuk dilakukan pengukuran, pada kasus glaukoma lanjut terjadi penurunan tekanan intraokuli dan artropi bulbus okuli sehingga tidak termasuk dalam sampel penelitian. Kriteria ini dapat menurunkan angka kebutaan akibat glaukoma yang didapatkan. Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010. 5.3. HUBUNGAN KEBUTAAN AKIBAT GLAUKOMA DENGAN DEMOGRAFI DAN SOSIO EKONOMI KABUPATEN TAPANULI SELATAN.

a. Geografi