PENDAHULUAN Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi

❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008 Halaman 78 SYAIR PUTRI HIJAU: Sebuah Telaah Filologi Irwansyah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Abstract Syair Putri Hijau is very popular an important in North Sumatera and Aceh. This Syair source from the legend of Putri Hijau. For reseption’s research above SPH filology’s research need execute to determine of the text to become base of studytext. Key words: syair - text - reception.

1. PENDAHULUAN

Sja’ir Puteri Hidjau SPH gubahan Rahman adalah syair yang sangat populer di Sumatera Utara dan Aceh. Sejak terbit pertama kali tahun1924 sampai tahun 1962 SPH telah mengalami cetak ulang delapan kali. Berdasarkan SPH gubahan Rahman, Jahja menyusun sebuah hikayat berbahasa Aceh yang berjudul Hikajat Poetroe Hidjo HPH terbit tahun 1931. Selain HPH gubahan Jahja, dijumpai pula hikayat-hikayat lain berbahasa Aceh yang memakai judul Putri Hijau, yakni Hikajat Putro Hidjo ngen Meureuhom Atjeh HPnMA terbit tahun 1960; dan sebuah naskah beraksara Arab-Melayu dengan judul Hikayat Putro Hijo HkPH tanpa tahun. Meskipun bernama hikayat, dalam tradisi sastra Aceh hikayat berbentuk puisi Hurgronje, II, 1906:77; Djajadiningrat I: 1934:584-5. Banyaknya salinan menandakan populer atau penting tidaknya suatu naskah. Memang, naskah yang dianggap penting atau menarik disalin berkali-kali. Kepopuleran SPH terlihat dari banyaknya naskah dan salinan itu. Teks-teks cetakan dan naskah yang berhasil diperoleh itu memperlihatkan persamaan dan sekaligus perbedaan. Antara SPH gubahan Rahman terbitan tahun 1955 dengan terbitan tahun 1962 terdapat perbedaan besar. Empat episode pada terbitan tahun 1962 tidak ada dalam terbitan tahun 1955. Keempat episode itulah yang disajikan sebagai Samboengan Poeteri Hidjau SbPH terbitan tahun 1941. Selain itu terbitan tahun 1962 memuat ringkasan isi cerita yang dibuat oleh Dada Meuraxa, yang dikatakannya disarikannya dari SPH itu. Ringkasan cerita dengan sumbernya ternyata tidak sejalan, penyebab Meriam Puntung patah dua berbeda. Perbedaan lain terlihat pula antara SPH Rahman dengan HPH 1931 gubahan Jahja. Secara tegas Jahja menyatakan hikayat yang disusunnya itu berdasarkan SPH Rahman, tetapi empat episode dalam SPH 1962 Rahman tidak terdapat dalam hikayat gubahannya. Perbedaan lain juga ditemui pada karangan Tereng 1976 maupun syair gubahan Sany 1960, sedangkan antara cerita “Puteri Ijo” dalam kumpulan cerita rakyat Aceh dengan SPH tampaknya hanya mempunyai persamaan judul saja, isinya sama sekali berbeda. Beragamnya jenis dengan cerita yang bervariasi dan tingginya frekuensi penyalinan menunjukkan bahwa SPH mendapat tanggapan positif dari penikmatnya. Untuk melihat sejauh mana tanggapan atau resepsi penikmat itu perlu ditentutkan SPH yang akan dijadikan sebagai teks dasar kajian. Untuk itu telaah filologis terhadap SPH sangat dibutuhkan.

2. SITUASI TEKS SYAIR PUTRI HIJAU