Hadits: Siapa Yang Ingin Hidup Seperti Hidupku

Hadits: Siapa Yang Ingin Hidup Seperti Hidupku

Bersabda Nabi SAWW: "Siapa yang ingin hidup seperti hidupku, mati seperti matiku, tinggal di surga A'dn yang telah ditanam oleh Tuhanku maka jadikanlah Ali sebagai Walinya sepeninggalku dan me-wila' walinya, serta ikut Ahlul Baitku yang datang setelahku. Mereka adalah itrah keluargaku, diciptakan dari bagian tanahku dan dilimpahkan kepahaman serta ilmuku. Maka celakalah orang-orang yang telah mendustakan keutamaan mereka dari ummatku, dan yang telah memutuskan tali rahimnya dengan mereka. Kelak Allah tidak akan memberi mereka syafaatku kepadanya." 97

Hadis ini, seperti yang kita perhatikan, adalah terbilang di antara sejumlah hadis yang gamblang dan tegas yang tak dapat ditakwilkan. Ia tidak memberi hak-pilih dan alternatif lain kepada seorang muslim, bahkan menafikan dan menyangkal sebarang alasan. Apabila dia tidak me-wila' Ali (menjadikannya sebagai wali atau pemimpin) dan tidak ikut itrah keluarga Nabi maka dia akan diharamkan dari memperoleh syafaat datuk mereka, yakni Nabi SAWW.

Perlu kutegaskan di sini bahwa pada tahap pertama penelitianku, aku pernah meragukan otentisitas dan kebenaran hadis ini. Terasa sangat berat untuk menerima hadis ini lantaran ia menyirat suatu ancaman kepada mereka yang berseberangan dengan Ali dan keluarga Nabi. Apalagi hadis ini sulit untuk ditakwil. Kemudian aku merasa agak ringan ketika kubaca pendapat Ibnu Hajar al-'Asqalani dalam kitabnya al-Ishabah. Antara lain beliau berkata: "Dalam sanad hadis ini ada Yahya bin Ya'la al-Muharibi, seorang perawi yang lemah." Pendapat Ibnu Hajar ini telah menghilangkan sebagian keberatan yang ada pada benakku. Karena kupikir Yahya bin Ya'la al-Muharibilah yang pasti memalsukan hadis ini; dan karenanya maka ia tidak dapat dipercaya.

Namun Allah SWT tetap ingin menunjukkan padaku sebuah kebenaran dengan sejelas-

97 Mustadrak al-Hakimjil. 3hal. 128; Jami' al-Kabir oleh Thabarani; Al-Isobah Oleh Ibnu Hajar al-Asqalini; Kanzul Ummal jil. 6 hal. 155; Al-Manaqib oleh khawarizmi hal. 34; Yanabi al-Mawaddah hal. 149; Haliyah al- Auliya'jil. 1 hal. 86; Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 95.

jelasnya. Suatu hari aku terbaca sebuah buku yang berjudul Munaqasyat Aqaidiyah Fi Maqalat Ibrahim al-Jabhan 98 . Buku ini telah menyingkap kebenaran dengan begitu jelasnya.

Dikutipkan bahwa Yahya bin Ya'la al-Muharibi adalah di antara perawi-perawi yang tsiqah (yang dipercaya) yang dipegang oleh Bukhori dan Muslim. Kemudian aku telusuri dan kudapati bahwa Bukhori telah meriwayatkan hadis riwayat Yahya ini dalam bab Ghazwah al- Hudaibiyah jilid III halaman 31. Muslim juga telah meriwayatkan hadis darinya dalam bab al-Hudud jilid V halaman 119. Az-Zahabi sendiri --betapapun ketatnya dia-- menganggap Yahya ini sebagai perawi yang dipercaya. Para imam al-Jarhu wa at-Ta'dil menganggapnya sebagai tsiqah; bahkan Bukhori dan Muslim sendiri berhujjah dengan riwayatnya.

Nah, lalu kenapa pendustaan, pemutarbalikan fakta, dan tuduhan terhadap orang yang terbilang tsiqah seperti itu bisa terjadi? Apakah karena dia telah menyingkap kebenaran tentang wajib ikut Ahlul Bait, lalu Ibnu Hajar di kemudian hari mengecapnya sebagai seorang perawi yang lemah dan tidak bisa dipercaya? Namun sayang. Ibnu Hajar seakan lupa bahwa di kemudian hari ada sejumlah ulama yang pakar dan piawai yang akan menilai setiap karyanya, kecil atau besar. Mereka akan menyingkapkan segala fanatisme dan kejahilannya lantaran ikut cahaya nubuwwah dan berjalan di bawah bimbingan Ahlul Bait as.

Setelah itu aku mulai sadar bahwa ada sebagian ulama kita yang berupaya sungguh-sungguh untuk menutupi kebenaran agar setiap masalah yang berkaitan dengan para sahabat dan khulafa', yang menjadi pemimpin dan teladan mereka tidak terungkap. Itulah kenapa kadang- kadang mereka menakwilkan hadis-hadis shahih dan menafsirkannya dengan makna yang tidak tepat; atau mendustakan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan mazhab mereka walau itu tertulis dalam buku-buku shahih dan diriwayatkan dengan sanad-sanad yang bisa dipercaya. Mereka juga kadangkala menghapus setengah atau dua pertiga dari isi hadis lalu menggantinya dengan kalimat begini dan begitu; atau meragukan para perawi yang tsiqah lantaran ia meriwayatkan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan kehendak mereka; atau mengutip suatu hadis pada edisi pertama dari buku terbitannya, kemudian menghapusnya pada cetak-ulang berikutnya tanpa memberi sedikitpun alasan betapapun para pemerhati mengetahui sebab musababnya.

98 Manaqasyat Aqaidiyah Fi Maqalat Ibrahim al-Jabhan hal. 29.

Semua ini telah kusaksikan sendiri ketika aku masih melakukan penelitian dalam mencari sebuah kebenaran. Untuk ini aku mempunyai bukti-bukti yang tidak dapat dibantah sedikitpun. Aku harap mereka tidak mengulangi lagi usaha yang sia-sia ini sekadar untuk menjustifikasi tindakan para sahabat yang telah berpaling itu. Hal ini karena ucapan-ucapan mereka saling bertentangan dan bahkan tidak sesuai dengan fakta sejarah. Alangkah indahnya apabila mereka mengikuti kebenaran walau ia pahit sekali pun. Dengannya mereka akan berbahagia dan juga membahagiakan orang lain. Dan dengan demikian hal itu akan menjadi sebab persatuan ummat yang telah bercerai-berai ini.

Sejumlah sahabat generasi pertama juga pernah tidak jujur dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAWW. Mereka telah menafikan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan kehendak nafsu mereka, terutama apabila ia termasuk dalam kategori hadis-hadis wasiat yang diwasiatkan oleh Nabi SAWW pada saat-saat menjelang wafatnya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW berwasiat akan tiga hal saat menjelang wafatnya: Pertama, keluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab. Kedua, berikan hadiah kepada delegasi seperti yang biasa kulakukan. Kemudian si perawi berkata, "aku lupa isi wasiat yang ketiga." 99

Apakah akal sehat dapat menerima bahwa para sahabat yang hadir dan mendengar tiga wasiat Nabi itu tiba-tiba lupa pada isi wasiat yang ketiga, sementara mereka adalah orang- orang yang hafal syair-syair panjang seusai mendengarnya sekali saja? Sama sekali tidak. Politiklah yang memaksa mereka melupakan isi wasiat itu dan enggan menyebutnya. Hal ini merupakan rantaian musibah lain yang kita saksikan dari para sahabat seperti itu. Tidak syak lagi bahwa isi wasiat yang "terlupa" itu adalah wasiat Nabi akan pelantikan Ali sebagai khalifah dan imam sepeninggalnya. Namun si perawi enggan menyebutkannya.

Orang yang meneliti sejarah dan masalah-masalah seperti ini akan merasakan bahwa isi wasiat yang diabaikan itu sebenarnya adalah pesan Nabi akan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, walau diupayakan untuk disembunyikan. Bukhari dalam kitab Shahihnya bab al- Washaya, dan Muslim dalam bab Al-Wasiyah meriwayatkan bahwa Nabi pernah berwasiat

99 Shahih Bukhori jil. 7 hal. 121; Shahih Muslim jil. 5 hal. 75.

pada Ali di tengah kehadiran Aisyah 100 . Lihatlah betapa Allah pancarkan cahaya-Nya walau orang-orang yang zalim berusaha untuk menutupinya.

Aku tegaskan lagi bahwa apabila sejumlah sahabat tidak tsiqah dalam meriwayatkan hadis- hadis wasiat Nabi SAWW, maka tidak terlalu mengagetkan apabila sejumlah Tabiin dan Tabi'- Tabi'in melakukan hal yang serupa.

Apabila Ummul Mukminin Aisyah, tidak senang mendengar nama Ali disebut-sebut, seperti yang laporkan oleh Ibnu Sa'ad dalam Thabaqatnya 101 , dan Bukhari dalam kitab Shahihnya Bab Nabi Sakit Dan Wafat; dan apabila Aisyah sujud syukur saat mendengar kematian Ali, lalu harapan apa yang masih tersisa darinya untuk mau meriwayatkan hadis wasiat Nabi untuk Ali bin Abi Thalib? Aisyah sangat dikenal oleh kalangan khusus dan umum akan sikap permusuhan dan kebenciannya pada Ali, putera-puteranya serta itrah Ahlu Bait Nabi SAWW.

Fa la haula wala quwwata illa billa al-A'li al-A'zim.

100 Shahih Bukhori jil. 3 hal. 68; Shahih Muslim jil. 2 hal. 14. 101 Thabaqat Ibnu Saad Bag. 2 hal. 29.