Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Air

5.4 Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Air

Sub-bab ini menjelaskan mengenai keseluruhan operasionalisasi, data beserta analisis yang telah penulis dapatkan dengan menggunakan konsep bargaining power milik Theodore Moran. Untuk lebih jelasnya, analisis ini akan dikemukakan melalui tabel yang tertera dibawah ini:

Tabel 8: Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam

Negosiasi Kontrak Privatisasi Air

Bargaining Variabel

Indikator

Operasionalisasi

Power Bargaining

dan Data

Pemprov Power DKI

Palyja Jakarta

Ukuran Investasi Ukuran investasi yang tinggi akan

Palyja dalam

Lemah Kuat bargain MNC

melemahkan

Privatisasi

perusahaan air Jakarta rendah

Characteristic Ongkos Biaya

Ongkos biaya

of Project yang tinggi akan

Palyja dalam

Lemah Kuat bargain MNC

melemahkan

privatisasi

perusahaan air Jakarta rendah

Tingkat

Teknologi yang

Teknologi yang

digunakan

berkembang akan

Palyja dalam

Kuat Lemah bargain MNC

menguatkan

privatisasi

perusahaan air

Jakarta sederhana

Tingkat variasi produk pengganti

Produk

yang rendah akan

Kuat Lemah melemahkan

pengganti dari

air bersih rendah

bargain MNC Keahlian

Keahlian

birokrasi lokal

Pemprov DKI

yang baik akan

Lemah Kuat menguatkan

Jakarta dalam

bernegosiasi

bargain host

pasar/konsumen

penduduk

Kuat Lemah Characteristic

yang tinggi akan

Jakarta yang

menguatkan

menggunakan

Of Host bargain host

air PAM tinggi

Tingkat

Tingkat

mobilisasi yang

mobilisasi kelas

Lemah Kuat menguatkan

tinggi akan

menengah

masyarakat kota

bargain host

Jakarta rendah

Tidak ada

Alternatif MNC

perusahaan

yang tinggi akan

Lemah Kuat menguatkan

selain Palyja

yang mengelola

bargain host

sekor air bersih di Jakarta Barat

Tingkat ketidak

Keadaan

pastian investasi

investasi asing

yang tinggi akan di Jakarta tahun Lemah Kuat melemahkan

1997-2001 tidak

Exogenous bargain host

stabil

Factor Kompetisi MNC

Kompetisi

yang tinggi di

pesaing MNC

level global akan

Lemah Kuat menguatkan

Suez

Environment di

bargain host

level global

rendah Sumber: Hasil Olahan Penulis

Tabel diatas menjelaskan mengenai bargaining power antara Pemprov DKI Jakarta dan juga PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi perusahaan air. Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa bargaining power yang dimiliki oleh PT Palyja lebih kuat daripada yang dimiliki oleh PAM Jaya. Bargaining power yang menguatkan PT Palyja disebabkan oleh beberapa indikator. Pada variabel characteristic of host, indikator yang menguatkan adalah tingkat investasi Palyja yang rendah dan ongkos biaya Palyja yang rendah. Sedangkan pada variabel characteristic of host, indikator yang menguatkan adalah buruknya tingkat keahlian Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi, buruknya tingkat mobilisasi kelas menengah kota Jakarta, dan tidak adanya perusahaan selain Palyja yang mengelola sektor air bersih di wilayah Jakarta Barat. Variabel terakhir yaitu exogenous factor/ faktor-faktor ekseternal seluruh indikatornya menguatkan Palyja yaitu tingkat ketidakstabilan investasi asing di Indonesia pada tahun 1998- 2001 dan besarnya peranan Suez Environment dalam kompetisi MNC di sektor air bersih. Tujuh indikator tersebut membuat bargaining power PT Palyja menjadi lebih kuat dari pada Pemprov DKI Jakarta dalam negosiasi kontrak privatisasi perusahaan air.

Disisi lain, beberapa indikator justru melemahkan bargaining power dari PT Palyja dan menguatkan Pemprov DKI Jakarta selaku host. Tiga indikator tersebut adalah tingkat teknologi Palyja yang cenderung tidak kompleks dan sederhana, rendahnya tingkat diferensiasi pruduk pengganti dari air bersih, dan tingginya konsumen/pasar yang menggunakan jasa distribusi air bersih dari PAM. Faktanya, tidak semua indikator melemahkan Pemprov DKI Jakarta, tetapi Disisi lain, beberapa indikator justru melemahkan bargaining power dari PT Palyja dan menguatkan Pemprov DKI Jakarta selaku host. Tiga indikator tersebut adalah tingkat teknologi Palyja yang cenderung tidak kompleks dan sederhana, rendahnya tingkat diferensiasi pruduk pengganti dari air bersih, dan tingginya konsumen/pasar yang menggunakan jasa distribusi air bersih dari PAM. Faktanya, tidak semua indikator melemahkan Pemprov DKI Jakarta, tetapi

Berdasarkan data dan operasionalisasi yang telah dijelaskan, maka penulis dapat mengemukakan argumen bahwa dari ke-sepuluh indikator bargaining power milik Theodore Moran terdapat beberapa indikator yang memiliki peran dan poin besar dalam pembentukan bargaining power kedua aktor. Sepuluh indikator dalam menentukan bargaining power diatas menurut penulis sama pentingnya. Sepuluh indikator tersebut saling berkaitan dalam menentukan bargaining power ke dua aktor yang sedang bernegosiasi. Tetapi menurut penulis terdapat tiga indikator yang memiliki peran paling besar dalam menentukan bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan Palyja. Walaupun indikator-indikator lainnya juga penting dan saling melengkapi dalam mengukur bargaining power.

Dalam kasus privatisasi air Jakarta sendiri, indikator yang paling penting dalam pembentukan bargaining power menurut penulis adalah tingkat kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam bernegosiasi. Poin ini adalah poin yang paling penting menurut penulis, karena pemerintah provinsi Jakarta adalah representasi kepentingan dan posisi tawar dari host dalam bernegosiasi. Jika host sebenarnya memiliki posisi tawar yang kuat, misalnya seperti tingkat konsumen/pasar yang tinggi, tingkat mobilisasi penduduk host yang baik, dan banyaknya pesaing dari perusahaan dalam bidang yang sama, tetapi pemerintah nya tidak memiliki kemampuan bernegosiasi yang baik ataupun faktor politik lainnya maka posisi tawar host saat bernegosiasi akan tetap lemah. Karena pemerintah adalah pihak yang bernegosiasi langsung dengan MNC dan turut Dalam kasus privatisasi air Jakarta sendiri, indikator yang paling penting dalam pembentukan bargaining power menurut penulis adalah tingkat kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam bernegosiasi. Poin ini adalah poin yang paling penting menurut penulis, karena pemerintah provinsi Jakarta adalah representasi kepentingan dan posisi tawar dari host dalam bernegosiasi. Jika host sebenarnya memiliki posisi tawar yang kuat, misalnya seperti tingkat konsumen/pasar yang tinggi, tingkat mobilisasi penduduk host yang baik, dan banyaknya pesaing dari perusahaan dalam bidang yang sama, tetapi pemerintah nya tidak memiliki kemampuan bernegosiasi yang baik ataupun faktor politik lainnya maka posisi tawar host saat bernegosiasi akan tetap lemah. Karena pemerintah adalah pihak yang bernegosiasi langsung dengan MNC dan turut

Pada fenomena privatisasi air Jakarta, kemampuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak dapat sepenuhnya diukur dan dijadikan acuan dalam melihat bargaining power. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan politik dari presiden yang berkuasa pada tahun tersebut (sesuai dengan jangkauan tahun penelitian penulis). Kelemahan bargaining power pemerintah Jakarta dalam kasus privatisasi air banyak dipengaruhi oleh keadaan politik internal Indonesia. Dimana, pada saat itu banyak terjadi praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang banyak mengakomodasi kepentingan dari presiden Indonesia. Argumen ini diperkuat dengan adanya pemilihan dua perusahaan swasta tanpa tender yang nyatanya justru melibatkan anak dan kerabat dari presiden Suharto yaitu Sigit

Harjojudanto dan Anthony Salim 185 . Sigit Harjojudanto merupakan anak dari presiden Suharto yang menguasai PT Kekarpola Thames Airindo (KATI) dan

bekerja sama dengan Thames Water MNC asal Inggris untuk mengurusi pengelolaan air di bagian Timur Jakarta. Sedangkan Anthony Salim adalah kerabat dekat dari presiden Suharto yang menguasai PT Garuda Dipta Semesta dan bekerja sama dengan Suez Environment MNC asal Perancis untuk mengelola

air bersih di bagian Barat Jakarta 186 .

Adanya penunjukan dua perusahaan swasta tanpa melalui tender dan berujung pada adanya kerjasama anak dan kerabat dekat Suharto membuktikan

185 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Op. Cit. hal 2 186 Ibid 185 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Op. Cit. hal 2 186 Ibid

Sedangkan indikator kedua yang memiliki peran besar dalam menentukan bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja adalah kompetisi Suez Environment di level global. Pada indikator ini, dapat dilihat bahwa Suez Environment adalah MNC yang cukup kuat di bidang air bersih. Selain itu, ternyata sebagian besar project privatisasi ataupun joint venture yang dijalankan

diseluruh dunia hanya dimonopoli oleh MNC-MNC tertentu 187 . Salah satunya adalah Suez Environment yang menjadi salah satu perusahaan yang paling banyak

memegang project-project distribusi air bersih di seluruh dunia. Hal ini tentunya sudah menjadi sistem dependency/ketergantungan dan sulit untuk dirubah. Penguasaan modal maupun teknologi yang hanya di monopoli oleh beberapa MNC saja, dimana host tidak memiliki kemampuan yang sama sehingga secara tidak langsung host akan selalu bekerja sama dengan MNC yang menguasai penguasaan modal dan teknologi tersebut. Indikator ini membuat bargaining power

karena sistem dependency/ketergantungan yang diciptakan oleh MNC tersebut dalam menguasai dan me-monopoli sumber modal.

yang dimiliki

187 David Hall,Op.Cit, hal 7

Sedangkan indikator selanjutnya yang berperan penting dalam pembentukan bargaining power di kasus privatisasi air Jakarta adalah tidak adanya perusahaan air lain selain Palyja yang mengurusi distribusi air bersih di wilayah Jakarta barat. Palyja adalah satu-satunya perusahaan air bersih yang menguasai sektor air bersih di Jakarta Barat. Hal ini tentunya menjadi poin bargaining power yang cukup kuat bagi Palyja, karena Palyja tidak memiliki saingan atas perbandingan kinerja nya dalam pengelolaan air bersih di wilayah Jakarta Barat. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga tidak memiliki pilihan/alternatif lain yang dapat meningkatkan posisi tawar nya dalam bernegosiasi. Indikator ini juga berkaitan dengan perusahaan yang diprivatisasi adalah perusahaan milik Daerah yang bergerak di bidang air, dan tentunya sektor- sektor tersebut hanya dipegang oleh perusahaan tunggal.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63