Percampuran Nilai-nilai Koruptif dengan Nilai-nilai Sosial Keagamaan
Percampuran Nilai-nilai Koruptif dengan Nilai-nilai Sosial Keagamaan
Dalam penelitiannya, Rose Ackerman dan Bardhan, 32 pernah mempertanya- kan trend yang acap bermunculan di sejumlah negara demokrasi baru di kawasan Asia. Mengapa banyak penguasa pemerintahan, politisi serta partai politik yang jelas-jelas diketahui korup tetapi masih juga mendapatkan tingkat keterpilihan dan dukungan publik yang tinggi di pemilu selanjutnya? Tidakkah ada sanksi politik publik melalui mekanisme demokrasi yang memfasilitasi rakyat untuk melakukan perubahan dan menyingkirkan para penguasa korup di kekuasaan? Apakah fenomena itu mengindikasikan bahwa masyarakat di Asia cenderung dapat me- nerima hadirnya praktik-praktik korupsi di lingkungan sosial di sekitar mereka?
Jawaban pertanyaan itu ternyata melingkupi aspek sosial budaya masyarakat Asia yang dinilai cenderung bisa mentoleransi praktik korupsi yang terjadi di sekitarnya. Tindakan korupsi itu dianggap telah bercampur dan membaur dengan sistem budaya yang sarat dengan muatan nilai-nilai sosial agama masyarakatnya. Dengan legitimasi etik tersebut, menjadi lazim jika kemudian tidak muncul sentimen negatif dari publik terhadap figur atau lembaga-lembaga politik yang memproduksi tindakan korupsi di sekitarnya. Sebagai contoh, pemberian sesuatu dari bawahan terhadap atasan yang acap dipersepsikan suap atau gratifikasi dalam budaya masyarakat Barat misalnya, seringkali dimaknai sebagai bentuk peng- hormatan dalam tradisi masyarakat Asia.
Tidak terkecuali di Indonesia, pencampuradukan sistem nilai budaya dengan prinsip-prinsip korupsi seolah telah menyatu dalam keseharian bangsa. Perilaku suap, misalnya, tidak lagi melulu ditampilkan secara eksplisit melalui penyerahan uang sebagaimana dalam sistem pertukaran ekonomi. Saat ini, praktek suap telah bertransformasi ke dalam bentuk dan nama-nama baru yang jauh lebih terhormat, religius, dan bermartabat. Misalnya praktik money politics yang diserahkan Parpol dan politisi kepada para pemuka agama, tokoh adat, dan lembaga-lembaga sosial maupun keagamaan sebagai agenda penjaringan vote getters misalnya, dengan leluasa dilakukan atas nama hibah, hadiyah, bisharah, shahriyah, atau bahkan infāq dan ṣ adaqah, khususnya yang ditujukan kepada kelompok-kelompok miskin dan marginal. Kuatnya legitimasi moral budaya terhadap tindakan itu, hingga meng-
32 Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences and Reform, New York, Cambridge University Press, 1999. Lih. Pranab Bardhan, “Corruption and Development: A
Review of Isssues”, Journal of Economic Literature, XXXV, September 1997, h. 1320-46.
Volume 24, Nomor 2, Oktober 2014 ║ 217
Ahmad Khoirul Umam inspirasi sejumlah nama besar di negeri ini untuk mengiklankan kegiatan itu me-
lalui media agar mendapatkan simpati politik publik secara luas. Suap telah dikemas sedemikian rupa dengan sampul budaya dan nilai-nilai
agama hingga mengaburkan substansi yang menjadi motivasi dasar tindakannya. Sejak awal, Heidenheimer pernah menegaskan bahwa telah terjadi pencampur- adukan nilai-nilai koruptif dengan nuansa moral-etik dalam kehidupan masyarakat
kontemporer. 33 Karena semakin banyak pertukaran korupsi, maka ia semakin mirip dengan pertukaran sosial pada umumnya. Sehingga kompleksitas makna dalam jejaring interaksi sosial akan semakin mengaburkan makna sejati di balik realitas pertukaran korupsi itu sendiri. Karena itu, tidak berlebihan ketika salah seorang proklamator Indonesia Mohammad Hatta yang saat itu juga menjadi ketua Komisi Anti-Korupsi (KAK) di era awal Suharto berkuasa mengatakan bahwa “ko- rupsi di Indonesia bukan sekadar kelemahan administrasi kenegaraan, melainkan sudah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat kita di Indonesia”.
Dalam kondisi semacam itu, korupsi tidak lagi dilakukan dalam ruang tertutup dan sembunyi-sembunyi, melainkan dijalankan di ruang terbuka, dengan perasaan bangga, dan penuh suka cita. Praktik semacam itu akan terus direproduksi, dijalan- kan secara intensif, dengan prinsip “tahu sama tahu” dan disertai rasa saling percaya yang sejajar di antara politisi dan masyarakatnya. Interaksi timbal balik yang dijalankan itu menjadi sulit dipangkas karena hukum ketertarikan dan sifat saling menguntungkan (reciprocity) menjadi ruh di dalamnya. Di sinilah korupsi me- nampakkan fungsinya sebagai media pertukaran yang “sah” secara budaya, yang identik dengan prototipe transaksi ekonomi yang berpijak pada kontrak resmi berisi besaran harga dan kewajiban-kewajiban khusus yang hendak dipertukarkan.
Jadi, budaya suap dan korupsi yang terus bermunculan sejatinya bukan se- mata-mata akibat dari lemahnya supremasi hukum, melainkan akibat dari ke- sepakatan kolektif di masyarakat hingga tercipta subkultur yang menyimpang. ‘Korupsi berjamaah’ merupakan terminologi menarik yang sering dipakai untuk menjelaskan fenomena tersebut. Akibatnya, upaya memberantas korupsi politik di akar rumput, yang dalam wujud sederhananya dipraktikkan dalam bentuk politik uang, pembagian sembako, bantuan sosial dan lain sebagainya itu, menjadi sulit terlaksana. Realitas inilah yang melanggengkan praktik politik dagang sapi dan jual beli suara yang secara nyata mengkhianati prinsip dasar demokrasi. _______________
33 Heidenheimer, “Korupsi dan Kekuasaan” dalam, Mohtar Lubis dan James Schott, Korupsi Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993).
218 ║ Volume 24, Nomor 2, Oktober 2014
Islam, Korupsi dan Good Governance di Negara-negara Islam Di sinilah letak kesalahan fatal partai politik dan juga masih lemahnya peran civil
society di negeri ini terhadap kurangnya pendidikan politik dan anti korupsi kepada publik. Penggunaan money politics merupakan jalan pintas akibat macetnya program dan visi partai politik. Seluruh elemen civil society harus terus bergerak secara intensif untuk memberikan pencerahan kepada publik agar rakyat tidak terus terperdaya, dan pesta demokrasi yang berjalan tidak hanya memfasilitasi para aktor- aktor lama yang terus berusaha mempertahankan jabatan dan kekuasaan yang dinikmatinya, tanpa membawa perubahan mendasar dan faedah yang signifikan bagi rakyatnya. Jika itu yang terjadi, maka demokrasi hanya akan bermuara pada aspek partisipasi, tanpa mampu menyentuh prinsip akuntabilitas dan transparansi demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di negeri ini.