Hasil Analisis Data dan Pembahasan
B. Hasil Analisis Data dan Pembahasan
1. Analisis deskriptif 1. Analisis deskriptif
Pertumbuhan PAD digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan PAD dari tahun ke tahun, yang mencerminkan seberapa besar kemampuan Pemerintah Daerah dalam menggali dan meningkatkan potensi daerahnya. Pertumbuhan PAD dihitung dengan membandingkan PAD tahun yang bersangkutan dikurangi PAD tahun lalu terhadap PAD tahun lalu.
Tabel 4. 4. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sukoharjo. Tahun
PAD (rupiah)
-1.566 Sumber: APDB Kabupaten Sukoharjo, data diolah Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2005 dan 2006 terdapat pertumbuhan PAD yang cukup signifikan yaitu masing-masing sebesar 40.006% dan
44.837%. Namun pada tahun 2007 terdapat penurunan jumlah PAD sebesar 3.540% yaitu dari Rp. 44.008.080.723 menjadi 42.449.908.063. Dan jumlah PAD ini terus menurun sebesar 1.566% pada tahun 2008. Pertumbuhan PAD tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 44.837% sedangkan pertumbuhan PAD terkecil terjadi pada tahun 2007 yaitu -3.540%.
b. Pertumbuhan Ekonomi
Kondisi perekonomian daerah dapat diketahui dengan menghitung pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mengetahui perkembangan perekonomian daerah dengan membandingkan PDRB, dimana PDRB harga konstan tahun yang bersangkutan dikurangi PDRB harga konstan tahun lalu terhadap PDRB harga konstan tahun lalu.
Tabel 4. 5. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sukoharjo Tahun
PDRB (juta rupiah)
4.84 Sumber: PDRB Kabupaten Sukoharjo, data diolah Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sukoharjo dari tahun ke tahun cenderung rendah dan pada tahun 2008
justru terdapat penurunan persentase terhadap pertumbuhan ekonomi dari 5.11% menadi 4.84%. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada 2007 yaitu sebesar 5.11% sedangkan pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 4.10%.
c. Pertumbuhan PDRB per kapita
Pertumbuhan PDRB per kapita digunakan untuk menghitung perkembangan kesejahteraan masyarakat di daerah Kabupaten Sukoharjo. Pertumbuhan PDRB per kapita dihitung dengan membandingkan PDRB per kapita harga konstan tahun yang bersangkutan dikurangi PDRB per kapita harga konstan tahun lalu terhadap PDRB per kapita harga konstan tahun lalu.
Tabel 4. 6. Pertumbuhan PDRB per kapita Kabupaten Sukoharjo. Tahun
PDRBP (rupiah)
4.13 Sumber: PDRB Kabupaten Sukoharjo, data diolah Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan PDRB per kapita Kabupaten Sukoharjo cenderung rendah. Dari tahun 2005, 2006, dan 2007 terdapat
kenaikan persentase pertumbuhan PDRB per kapita masing-masing sebesar 3.33%, 3.89%, dan 4.43%. Pada tahun 2008, meskipun terdapat pertumbuhan dalam jumlah PDRB per kapita, namun persentase pertumbuhan PDRB per kapitanya tidak sebesar tahun sebelumnya. Pertumbuhan PDRB per kapita tertinggi terjadi pada tahun 2007 kenaikan persentase pertumbuhan PDRB per kapita masing-masing sebesar 3.33%, 3.89%, dan 4.43%. Pada tahun 2008, meskipun terdapat pertumbuhan dalam jumlah PDRB per kapita, namun persentase pertumbuhan PDRB per kapitanya tidak sebesar tahun sebelumnya. Pertumbuhan PDRB per kapita tertinggi terjadi pada tahun 2007
2. Analisis Kuantitatif
a. Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal digunakan untuk mengukur kinerja daerah Kabupaten Sukoharjo dalam mengumpulkan pendapatannya sesuai dengan potensi daerahnya.
Derajat Desentralisasi Fiskal dapat diukur dengan tiga formula. Formula pertama yaitu dengan membandingkan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
Total Pendapatan Daerah (TPD) yang disebut dengan DDF 1 . Besar DDF 1
menunjukkan kemandirian murni Kabupaten Sukoharjo. Formula kedua yaitu dengan membandingkan antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total
Pendapatan Daerah (TPD) yang disebut sebagai DDF 2 . DDF 2 menunjukkan
kemandirian semu Kabupaten Sukoharjo. Formulasi ketiga adalah dengan membandingkan antara sumbangan dan bantuan dengan Total Pendapatan Daerah
(TPD) yang disebut dengan DDF 3 . Besar DDF 3 menunjukkan ketergantungan Kabupaten Sukoharjo terhadap Pemerintah Pusat.
Tabel 4. 7. Ukuran Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten/Kota.
DDF
Kemampuan keuangan daerah
Rendah
Tinggi
Tabel 4. 8. Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Sukoharjo.
6.07 5.65 86.33 Berdasarkan tabel di atas jika ditinjau dari besarnya DDF 1 dapat diketahui
bahwa Kabupaten Sukoharjo cenderung mempunyai tingkat kemandirian murni yang
masih sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai DDF 1 yang
menunjukkan persentase di bawah 50%. DDF tertinggi dicapai pada Tahun Anggaran 2006 sebesar 8.01%, sedangkan DDF terendah terjadi pada Tahun Anggaran 2008 yaitu sebesar 6.07%.
Dari tabel DDF 2 di atas dapat diketahui bahwa Kabupaten Sukoharjo
cenderung mempunyai tingkat kemandirian semu yang rendah. Hal tersebut dapat
dilihat dari besarnya angka DDF 2 yang menunjukkan persentase di bawah 50%. DDF
tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 7.28%, sedangkan DDF terendah teradi pada tahun 2007 yaitu sebesar 5.23%.
Dari tabel DDF 3 di atas dapat diketahui bahwa Kabupaten Sukoharjo
cenderung mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Hal
tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai DDF 3 yang menujukkan persentase di atas
50%. DDF tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 86.33% sedangkan DDF terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 80.03%.
b. Kebutuhan Fiskal
Kebutuhan fiskal menggambarkan seberapa besar kebutuhan per kapita penduduk jika jumlah seluruh pengeluaran dibagi secara adil kepada seluruh penduduk daerah tersebut. Kebutuhan fiskal juga menunjukkan besarnya indeks pelayanan publik per kapita Kabupaten Sukoharjo. Tabel kebutuhan fiskal Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 4. 9. Kebutuhan Fiskal Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sukoharjo.
Tahun
SKF
IPPP Kab. Sukoharjo
36.18 Sumber: APBD Kabupaten Sukoharjo berbagai tahun, data diolah Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rerata kebutuhan fiskal Kabupaten Sukoharjo sebesar 36 kali lebih besar dari rata-rata kebutuhan fiskal standar Jawa Tengah. Kebutuhan fiskal terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 26.04 dan kebutuhan fiskal tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 42.10. Dari tabel 36.18 Sumber: APBD Kabupaten Sukoharjo berbagai tahun, data diolah Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rerata kebutuhan fiskal Kabupaten Sukoharjo sebesar 36 kali lebih besar dari rata-rata kebutuhan fiskal standar Jawa Tengah. Kebutuhan fiskal terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 26.04 dan kebutuhan fiskal tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 42.10. Dari tabel
Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Daerah yang memiliki celah fiskal nol, yakni dimana semua kebutuhan pengeluarannya dapat dibiayai dengan kemampuan fiskalnya sendiri (fiscal needs = fiscal capacity ), akan memperoleh DAU sebesar alokasi dasar saja.
c. Kapasitas Fiskal
Kapasitas fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa pendapatan per kapita. Peningkatkan kapasitas fiskal daerah pada dasarnya adalah optimalisasi sumber- sumber penerimaan daerah.
Kapasitas fiskal digunakan untuk mengetahui seberapa besar usaha daerah untuk mengumpulkan pendapatannya apabila setiap penduduk harus memberi pemasukan yang sama kepada daerah. Berikut ini adalah tabel kapasitas fiskal Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sukoharjo.
Tabel 4. 10. Kapasitas fiskal Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sukoharjo.
Tahun
KFs
Fc Kab. Sukoharjo
37.65 Sumber: PDRB Kabupaten Sukoharjo, data diolah Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rerata kapasitas fiskal Kabupaten Sukoharjo sebesar 38 kali dibandingkan dengan rata-rata kapsitas fiskal standar Jawa Tengah. Kapasitas fiskal tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 38.78 sedangkan kapasitas terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 36.47. Dari tahun 2004 hingga tahun 2008 kapasitas fiskal Kabupaten Sukoharjo cenderung mengalami penurunan. Akan tetapi dilihat dari reratanya nilai kapasitas fiskal Kabupaten Sukoharjo masih lebih besar dibandingkan dengan nilai kebutuhan fiskalnya. Semakin tinggi nilai kapasitas fiskal suatu daerah maka semakin layak daerah tersebut dalam menangani berbagai pelayanan publik.
d. Posisi Fiskal
Posisi fiskal dapat.dihitung dengan mencari koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB.
Tabel 4. 11. Pertumbuhan PAD dan PDRB Menurut Harga Konstan Kabupaten Sukoharjo
Tahun
PAD (juta rupiah)
PDRB harga konstan
(juta rupiah)
Sumber: APBD dan PDRB Kabupaten Sukoharjo, data diolah Tabel 4.12. Pertumbuhan PAD dan PDRB Menurut Harga Berlaku Kabupaten
Sukoharjo
Tahun
PAD (juta rupiah)
PDRB harga berlaku
(juta rupiah)
Sumber:APBD dan PDRB Kabupaten Sukoharjo, data diolah.
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dengan menggunakan PDRB atas dasar harga konstans, laju pertumbuhan PDRB sangat berpengaruh terhadap peningkatan PAD yaitu apabila PDRB naik 1% maka PAD akan meningkat sebesar 5.15%. Akan tetapi jika menggunakan PDRB atas dasar harga berlaku, apabila PDRB naik sebesar 1% maka PAD hanya akan mengalami peningkatan sebesar 1.22%. Elastisitas PAD cenderung lebih besar apabila menggunakan PDRB atas dasar harga konstan. Hal ini disebabkan karena secara nominal nilai PDRB atas dasar harga berlaku terdapat unsur inflasi sehingga pengukuran PDRB juga mengahasilkan nilai yang tinggi. Semakin elastis PAD suatu daerah, maka struktur PAD di daerah akan semakin baik. Elastisitas PAD diperlukan karena pada dasarnya penerimaan daerah selalu berkembang sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan jumlah penduduk, dipihak lain pertumbuhan ekonomi serta jumlah penduduk tersebut mendorong akan adanya tuntutan peningkatan pelayanan dari pemerintah, sehingga dengan demikian agar kemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi tuntutan pelayanan dari masyarakat tersebut tidak mengalami penurunan maka penerimaan daerah juga harus berkembang sejalan dengan perkembangan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk.
e. Kemandirian daerah dan pola hubungan
Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai
Rasio kemandirian daerah menggambarkan sejauh mana ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD.
Tabel 4. 13. Pola hubungan dan tingkat kemampuan daerah Kemampuan daerah
Kemandirian
Pola hubungan Rendah sekali
0%-25%
Instruktif Rendah
25%-50%
Konsultatif Sedang
Tabel 4. 14. Kemandirian daerah dan pola hubungan Kabupaten Sukoharjo. Kemampuan daerah
Kemandirian
Pola hubungan Sangat rendah
7.51 Instruktif Sangat rendah
9.98 Instruktif Sangat rendah
9.28 Instruktif Sangat rendah
8.43 Instruktif Sangat rendah
7.03 Instruktif
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Kabupaten Sukoharjo cenderung mempunyai tingkat kemandirian yang rendah dalam mencukupi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya rasio kemandirian yang menunjukkan persentase di bawah 25%. Rasio kemandirian tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 9.98% sedangkan rasio kemandirian terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 7.03%.
Kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo dalam melaksanakan otonomi daerah terutama dalam memanfaatkan pos-pos potensial bagi pemasukan PAD terhadap total penerimaan daerah dapat dilihat dari perhitungan di atas. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut, beberapa indikator kinerja keuangan daerah
yang mengalami peningkatan diantaranya DDF 3 . Sedangkan indikator kinerja