W ASTRA DALAM S ASTRA S UNDA K UNA

Penutup

Melalui paparan di atas, terlihat bagaimana jenis dan fungsi kain. Berbagai istilah kain Sunda Kuna memiliki ciri yang paralel dengan istilah-istilah dalam Jawa Kuna, yang menguatkan asumsi bahwa kedua kebudayaan ini memiliki teknik yang sama dalam menenun kain. Bagi masyarakat Sunda abad ke-15 sampai ke-17, kain bernilai tinggi dan bermakna simbolis dalam hubungan sosial. Salah satu teknik paling lazim untuk menghasilkan kain, adalah melalui proses menenun dengan teknik tenun ikat, sebuah tradisi yang kini telah punah, tergantikan oleh produksi tekstil pabrik yang lebih modern. Melalui sumber-sumber tekstual, kita dapat mempelajari kosmologi warna dasar, yang didasarkan pada aktivitas mewarnai kain. Aspek kosmologi ini tidak terlepas dari konteks Hindu-Sunda yang berkembang pada saat itu.

Praktek menenun itu sendiri tidak terlepas dari aktivitas ritual yang melibatkan dunia atas (makrokosmos). Berbagai sarana ritual disiapkan, berbagai gangguan diusir jauh-jauh menggunakan ritual pembersihan diri, dan jampé-jampé dilafalkan demi menghindari gangguan. Dengan kata lain, aktivitas menenun menjadi domain eksklusif bagi kaum perempuan di Tatar Sunda untuk mengaktualisasikan dirinya menjalankan kewajiban tapa di dunia. Tenun juga mencirikan kematangan kaum perempuan. Tanpa menenun, perempuan dewasa tidak akan ada. Tanpanya, tidak akan ada pernikahan, dan tidak akan ada keturunan.

Pun. Leuwih luangan kurang wuwuhan.

Bibliografi

Acri, Andrea & Arlo Griffith. 2014. “The Romanisation of Indic Script Used in Ancient Indonesia”, dalam Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde 170: 365-378.

Atja dan Saleh Danasasmita. 1981a. Sanghyang siksakanda ng karesian (naskah Sunda Kuno tahun 1518 Masehi). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981.

Atja dan Saleh Danasasmita. 1981b. Carita Parahiyangan (Transkripsi, Terjemahan Dan Catatan). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. Buckley, Christopher. 2017. “Looms, Weaving, and the Austronesian Expansion”, dalam Acri, Andrea, Roger Blench, Alexandra Landmann (eds.) Spirits and Ships; Cultural Transfers in Early Monsoon Asia. Singapore: ISEAS Publishing.

Cortesão, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tomé Pires. London: Hakluyt Society, 2 vols. Coolsma, S. 1913. Soendaneesch-Hollandsch woordenboek. Tweede druk. Leiden: A.W. Sijthoff’s. Christie, Jan Wisseman. 1993. “Texts and Textiles in ‘Medieval’ Java”, dalam Bulletin

de l’École Française d’Extrême-Orient 80 no. 1: 181–211. Danadibrata, R. A. 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama. Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati. 2004. ‘Sanghyang Raga Dewata’, dalam

Fatimah in West Java [Seri Sundalana 2]. Bandung: Pusat Studi Sunda & Kiblat Buku Utama.

Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati. 2006. Gambaran kosmologi Sunda (Kropak 420): silsilah Prabu Siliwangi, mantera Aji Cakra, mantera Darmapamulih, ajaran Islam (Kropak 421)  : Jatiraga (Kropak 422). Bandung: Kiblat.

Djajasoebrata, Alit Veldhuisen. 1998. Weavings of Power and Might: The Glory of Java. Rotterdam: Museum voor Volkenkunde. Gallop, Annabel Teh. 2013. “The Language of Malay Manuscript Art: A Tribute to Ian Proudfoot and the Malay Concordance Project”, dalam International Journal of the Malay World and Civilisation (Iman) 1, no. 3: 11–27.

Goris, R. 1954. Prasasti Bali. 2 jilid. Bandung: N.V. Masa Baru. Gunawan, Aditia. 2009. Sanghyang Sasana Maha Guru Dan Kala Purbaka: Suntingan

Dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. id. 2015. “Nipah or Gebang? A Philological and Codicological Study Based on Sources from West Java”, dalam Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde no 171, 249-280.

Hardjadibrata, R. Rabindranat. 2003. Sundanese English Dictionary. Jakarta: published for Yayasan Kebudayaan Rancage by PT. Dunia Pustaka Jaya Bandung  : distributed by Kiblat Buku Utama.

Hauser-Schäublin, Brigita, Marie-Louise Nabholz-Kartaschoff, Urs Ramseyer. 1991. Balinese Textiles. London: British Museum Press. Holle, K.F. 1867. “Vlugtig Berigt Omtrent Eenige Lontar-Handschriften afkomstig uit

de Soenda-landen”, dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) 16:450-70. Jákl, Jiri. 2016. ‘The Loincloth, Trousers, and Horse-riders in Pre-Islamic Java: Notes on the Old Javanese Term Lañciṅan’, dalam Archipel no. 91:185-202.

Jasper, J.E. & Mas Pirngadie. 1912a, 1912b, 1916. De Inlandsche Kunstnijverheid In Nederlandsch Indie. 3 jilid. Gravenhage door de boek & Kunstdrukkerij v/h Mouton & Co.

Livingston, Judith H. 1994. “Ikat Weaves of Indonesia and India: A Comparative Study”, dalam India International Centre Quarterly 21, no. 1 hlm. 152-174. Meijer, JJ. 1891. “Badoejsche Pantoen Verhalen”, dalam Bidjragen Tot de Taal-,Land- En Volkenkunde 40, no. 1: 45–105. Mocquet, Jean. 1830. Voyages en Afrique, Asie, Indes Orientales et Occidentales. Paris: Imprimerie de Migneret. Noorduyn, J. & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Bibliotheca Indonesica

29. Leiden: KITLV Press. Pelras, Christian. 1972. “Contribution à la géographie et à l’ethnologie du métier à tisser en Indonésie”, dalam Jacqueline M.C. Thomas & Lucien Bernot (eds.) Langues et techniques, Nature et Société. Paris: Klinksiechk.

Pleyte, C.M. 1911. De Legende van den Loetoeng Kasaroeng, een gewijde sage uit Tji- rĕbon, met inleidend Voorwoord. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen deel LVIII.

Pleyte, C.M., 1912. De Inlandsche Nijverheid in West-Java als Sociaal-ethnologisch verschijnsel. Tweede Stuk. Batavia: Javasch Boekhandel & Drukerij. Ruhimat, Mamat, Aditia Gunawan, Tien Wartini. 2014. Kawih Pangeuyeukan  : Tenun dalam Puisi Sunda Kuna dan Teks-Teks Lainnya. Seri Naskah Kuna Nusantara No. 11. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Sunda.

Sasmita, Mamat. 2015. “Ragam Hias dina Naskah Sanghyang Siksa Kandang

Karesian” dalam Manglé No. 2514, 2515, 2516 dan 2517, Februari-Maret. Tjarita Demung Kalagan. 1970. Dipantunkeun Ku Ki Kamal (Lebakwangi, Kungingan) Diusahakeun Ku Ajip Rosidi. Bandung: Proyek Penelitian Pantun & Folklor Sunda.

Wartini, Tien, Mamat Ruhimat, dan Aditia Gunawan. 2011. Sanghyang Swawarcinta: Teks Dan Terjemahan. Jakarta: Kerjasama Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Studi Sunda.

Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English dictionary. With the collaboration of S.O. Robson. Dua jil. ‘s-Gravenhage: Nijhoff.

Lampiran 1. Ragam Hias Sunda Kuna

Data tentang motif atau jenis di bawah ini didasarkan pada interpretasi Sasmita atas berbagai motif kain yang disebut dalam Saṅ Hyaṅ Siksa Kandaṅ Karəәsian (1518 M), dari naskah L 630, dalam artikel panjang yang dimuat dalam majalah Manglé (Februari-Maret 2015) yang sangat bermanfaat bagi kajian lebih lanjut. Saya hanya menambahkan sebagian kecil interpretasi yang berbeda dengan penafsiran Sasmita.

A. Motif ‘Batik’

Dalam Siksa Kandaṅ Karəәsian, tercatat sembilan motif tulis (batik) dan 25 ragam hias pada boéh (kain tenun). Usaha rekonstruksi motif tersebut pertama-tama dilakukan oleh Atik Sopandi, dan baru-baru ini, oleh Mamat Sasmita dalam artikel panjang yang dimuat dalam majalah Manglé (Februari-Maret 2015).

(1) Pupuñjəәṅan. Sasmita menafsirkan berdasarkan kemungkinan perubahan bunyi ñ dengan y dalam bahasa Sunda: puñjĕṅ > puyĕṅ ‘melingkar’ dan mengaitkan dengan kata Jawa Modern uñĕṅ-uñĕṅ ‘pusaran rambut’. Kemungkinan ini perlu dipertimbangkan.

Zoetmulder (1982, s.v. puñjĕṅ) membubuhkan tanda (*) dalam kamusnya, tetapi melihat konteks româpuñjĕṅ abuṭak yang dikutip Zoetmulder, terjemahan ‘bulu-bulu berlilitan melingkar yang sebagiannya botak’ (RL 11.165) menjadi masuk akal. Secara meyakinkan Sasmita juga menghubungkan bentuk ragam hias ini dengan motif kain bubujalan ‘seperti pusar’ dalam tradisi tenun Sunda modern yang tercatat dalam Toekio (1987).

(2) Hihiṅgulan (var 624: higul-higulan). Secara tepat kiranya Sasmita, dengan memperhatikan edisi Noorduyn dan Teeuw (2006) atas tiga puisi Sunda Kuna, mengaitkan motif hihiṅgulan dengan kata Jawa Kuna igul. Kata kerjanya, aṅigul ‘berliuk-liuk, bergeliang’ diterapkan pada ekor ikan. Kiranya motif ini menyerupai ekor

ikan yang berliuk-liuk. (3) Kəәkəәmbaṅan. Motif ini dapat dipastikan mengacu pada peniruan bentuk bunga. Bunga apa yang dijadikan model para panghəәyəәk, sulit ditentukan. (4) Alas-alasan. Sasmita menginterpretasi bentuk motif ini sebagai ‘meniru hutan’ dengan membandingkan motif serupa yang masih lestari di Bali. Patut ditambahkan, bahwa di Jawa pada abad ke-16, sebagaimana tercermin dalam teks Malat, kata ini juga disebut sebagai bentuk ornamen pada gagang keris. Nawaruci, yang ditulis sekitar periode yang

sama, menyebut bentuk ornamen ini untuk hiasan ornamen pada kolam tambak. 21 (5) Uraṅ-uraṅan. Jelaslah bahwa ini merujuk pada bentuk udang. (6) Məәməәtahan (var 624: mimilaḥhan). Mamat Sasmita menafsirkan motif ini dengan

bentuk belalai gajah, yang berangkat dari kemungkinan kata mĕta dalam idiom Sunda gajah məәta ‘gajah mengamuk, gajah mabuk’. Kata məәta berasal dari bahasa Sansekerta matta, yang juga mengandung makna ‘bergairah (karena masuk masa pubertas)’ terutama untuk gajah. Patut ditambahkan bahwa naskah 624 mengandung bacaan mimilahan, yang kiranya berasal dari bilah, kiranya dalam pengertian seperti ‘belah’ dalam bahasa Indonesia.

(7) Sisiraṅan (624: səәsəәraṅan). Sasmita menginterpretasi motif ini seperti motif sasirangan yang berkembang di Banjarmasin. Dalam JwK siraṅ juga tercatat dalam konteks kain,

merujuk pada pola dengan garis diagonal atau bentuk permata. 22

(8) Taruk hata (624: tataru-hataan). Sasmita menginterpretasi motif ini sebagai daun hata yang masih tercatat dalam kamus (Lygodium circinnatum sw.), yang besar tangkainya sebesar lidi. Sembilunya biasa digunakan sebagai tali, misalnya mengikat soko boboko.

21 Mal 7.43b: (kris) asosoca waiḍurya trap-trap awarna alas-alasan; NR 37.15: araras kaṅ tambak laleyan iṅukir binəәbəәd ati pinaṅ arenteṅ lawan alas-alasan.

22 Konteks dalam JwK antara lain, Mal 8.101b: asalin kampuh ira paṅuluniṅ pik sinasar sisiraṅan asabuk dewaṅga; Ww 1.99a: dodote bot Tuban cinirup siniraṅ iṅ piṅgir; 4.11a: wastra pinadu ranḍi muṅgw iṅ

təәṅah siniraṅ warna.

Taruk sendiri bermakna memotong dengan kuku pucuk pohon, atau memetik dengan tangan. Motif ini menggambarkan tangkai dan daun hata.

(9) Kəәmbaṅ tarate. Motif ini mengacu pada bunga teratai (Nelumbium nelumbo (L) Druce).

B. Motif/Jenis kain tenun

Untuk jenis kain tenunan, tercatat 25 motif atau jenis boeh yang dicatat dalam Saṅ Hyaṅ Siksa Kandaṅ Karəәsian, sebagai berikut:

1. Kəәmbang Muñcaṅ (nsk: mucaṅ) Muñcaṅ (Aleurites moluccana (L)) adalah sejenis tumbuhan sebesar ibu jari, mengandung batok yang sangat keras, ‘kemiri’. Dalam bahasa Sunda, bunganya disebut rinduy, dan inilah kiranya yang dimaksud.

2. Gagaṅ Senggaṅ Seṅgaṅ adalah nama tumbuhan yang masih dikenal dalam Sunda Modern. Sasmita mencatat beberapa jenis: sénggang bodas (Amaranthus hybridus, L), sénggang pucuk (Amaranthus spinosus, L), dan sénggang monyet (Amaratnthus blitum.L). Disebut juga bayem atau bayem leuweung, yang gagangnya berduri. Kiranya motif ini bercorak bayam dan gagangnya. Saya sempat menyaksikan motif batik yang disebut oleh pemiliknya gagang sénggang di Kampung Adat Cigugur, Kuningan.

3. Sameleg Sasmita tidak menginterpretasi ragam hias ini. Saya mengajukan kemungkinan bahwa kata ini merupakan korup dari same lek, mengingat aksara ka dan ga dalam naskah

seringkali dipertukarkan. Jika anggapan ini benar, maka motif ini diperkirakan sebuah motif menyerupai (same) bentuk bulan (lek). Belum dapat ditentukan apakah bulan yang dimaksud pada saat purnama, separuh atau bulan sabit. 4. Səәmat Sahurun Səәmat adalah benda kecil dari lidi atau bambu yang bentuknya mirip seperti tusuk gigi, panjangnya kira-kira 4 atau 5 cm, gunanya adalah untuk menusuk daun pembungkus makanan. Sahurun

asumsi ini, Sasmita menginterpretasikan sebagai səәmat yang berjejer. 5. Añam cayut Menurut Sasmita, kata cayut bermakna karung yang terbuat dari daun kiray, daun kelapa, atau daun gebang, sering digunakan sebagai wadah. Jasper (1912b; 217) menyebutkan bermacam-macam pola anyaman dari Ciawi Tasikmalaya yang mengandung kata cayut: poléng cayut pinggir, poléng cayut item, poléng cayut beureum, poléng cayut tumoké, poléng cayut campaka, poléng cayut renyu, poléng cayut samangka, poléng cayut rakit putih. Dengan demikian, Sasmita beranggapan bahwa cayut lebih menyerupai pola kain poleng.

6. Sigəәji Sasmita tidak menginterpretasi ragam hias ini, demikian halnya dengan penulis. Kata ini tidak terdapat dalam kamus.

7. Pasi-pasi (var 624: pasi-pisi) Sasmita tidak menginterpretasi ragam hias ini. Mungkinkah dapat dikaitkan dengan JwK pasi, yang berasal dari Skt paśi, pāsi ‘batu’. Reduplikasi seringkali bermakna jamak. Jika ini yang dimaksud pengarang, maka pasi-pasi mungkin menyerupai corak bebatuan.

8. Kalaṅkaṅ ayakan Ayakan adalah perkakas untuk menangkap ikan atau menyaring. Jika terkena sinar matahari akan terlihat bayangan yang berbentuk seperti kain poleng. Demikian tafsiran Sasmita. Meski demikian, penulis tidak menutup kemungkinan pada bentuk poleng yang diagonal, mengingat bayangan ayakan yang biasanya diagonal dari bentuk dasar.

9. Poleṅ raganis

Sasmita mendasarkan interpretasi berdasarkan bacaan rəәṅganis, sementara dalam naskah tertulis raganis. Sasmita menafsirkan bahwa rəәṅganis berasal dari rəәṅga yang berarti dihias. Dengan demikian poleṅ rəәṅganis bermakna kain poleng dengan dihias sedemikian rupa. Saya mengajukan pembacaan raganis, yang kiranya berkaitan dengan kata rāga yang berarti merah. Nis sendiri bermakna negasi. Dalam konteks ini, mungkin berarti putih. Kiranya yang dimaksud kain poleng raganis adalah bentuk majemuk dvandva yang berarti merah dan tanpa warna (putih).

10. Jayanti (nsk: jayati) Menurut Sasmita, Jayanti (Sesbania sesban Merr) adalah pohon kecil, daunnya mirip

petai cina. Sasmita menginterpretasi pada daunnya, berdasarkan tidak disebutnya kata kembaṅ pada ragam hias.

11. Cəәcəәmpaan (var 624: cicinaan) Sasmita mengajukan dua kemungkinan atas ragam hias ini. Pertama, merujuk pada bunga cempaka (Michelia champaca), sebab dalam bahasa Melayu atau Aceh sering disebut bunga cempa. Kemungkinan kedua merujuk pada Campa, wilayah yang seringkali disebut dalam teks-teks Sunda Kuna. Melihat varian yang terdapat dalam naskah L. 624, yakni cicinaan, kiranya kemungkinan kedua lebih masuk akal.

12. Paparanakan Sasmita tidak menginterpretasi ragam hias ini. Maknanya memang tidak terlalu jelas. Kata paranakan tercatat dalam JwK sebagai salah satu di antara pejabat golongan watəәk jro (Zoetmulder, s.v. paranakan). Zoetmulder juga mencatat bahwa dalam Kamus Bali van der Tuuk, pranakan berarti murid seorang pandita. Reduplikasi prefix sering berarti

‘menyerupai’. Apakah yang dimaksud menyerupai bentuk paranakan, atau menyerupai cara paranakan melukis?

13. Maṅin haris Sasmita menginterpretasi bentuk motif ini seperti angin lembut, angin sepoy-sepoy, yang jika diterapkan pada hias kain, seperti ulasan-ulasan tipis pada kain.

14. Siliganti (var 624: salin gati) Sasmita membiarkan motif ini menjadi misteri. Meski demikian, maknanya berarti ‘saling bergantian’. Apakah yang dimaksud motif bergantian antara benang lusi dan pakan?

15. Boeh Siaṅ Sasmita berpendapat bahwa istilah ini mengacu pada kain berwarna merah. Istilah siaṅ masih dikenal di Kanekes untuk warna merah. Kata ini konon tabu untuk diucapkan.

16. Bəәbəәrnatan Sasmita tidak menginterpretasi bentuk ini. Kata dasar bəәrnat tidak ditemukan dalam kamus. Mungkinkah tidak dibaca dari kata dasar bəәrnat, melainkan terdiri dari bəәbəәr ‘ikat’ dan natan ‘terus-menerus, simultan’ (Hardjadibrata, s.v. natan). Mungkin kata ini merujuk pada teknik mengikat kain pada proses pewarnaan secara simultan. Atau mungkin bentuk ikat pinggang (beubeur dalam Sunda Modern) tanpa ujung pengait? Bagaimanapun, hipotesa ini masih meragukan.

17. Papakanan Sasmita berkesimpulan bahwa papakanan cenderung mengacu pada ilustrasi burung memberi makan anaknya, berdasarkan kata Sunda modern pakanan yang berarti induk burung yang memberi makan anaknya.

18. Surat awi Sasmita menafsirkan bentuk motif urat bambu (awi) yang terlihat jelas saat sembilu bambu dibuang terlebih dahulu. Atau malah harus dibaca awi surat, jenis bambu besar dan tebal, varietas awi gedé, yang memang mengandung serat-serat yang nampak secara kasat mata.

19. Parigi ñeṅsoh

Menurut Sasmita, parigi merujuk pada aliran air yang lebar, sementara ñeṅsoh bermakna ‘bengkok’. Dengan demikian, istilah ini merujuk pada motif kain seperti aliran air digambarkan berkelok seperti motif batik lereng.

20. Gagañjar Sasmita tidak mengidentifikasi motif ini. Dalam Jawa Kuna, Christie (1993) menyebut gañjar patra sebagai motif kain persembahan, dengan menerjemahkan gañjar sebagai barang persembahan. Meski demikian, Zoetmulder mencatat cuṅ gañjar, sejenis terong. Kemungkinan ini tidak dapat dikesampingkan.

21. Lusian bəәsar Lusi adalah benang yang membujur searah dengan kaki penenun. Menurut Sasmita, bəәsar mengandung makna ‘besar; dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, menurutnya, motif ini sama dengan poleng hanya lusiannya lebih besar dari pada pakan.

Saya mengajukan kemungkinan lain, bahwa bəәsar boleh jadi paralel dengan Jawa Kuna, yang salah satu maknanya adalah ‘sutra’ (Zoetmulder, 1983, s.v. bĕsar). Kemungkinan berhubungan dengan gabungan bahan, seperti songket, antara katun pada pakan dan sutra pada lusi.

22. Kampuh jayanti Kampuh, menurut Sasmita, berarti selimut. Dengan demikian, kampuh jayanti berarti selimut bermotif daun atau bunga jayanti.

23. hujan riris Dalam Kamus, sebagaimana dicatat sasmita, riris berarti ‘halus atau kecil’. Hujan riris berarti gerimis. Di Jawa masih dikenal batik udan riris.

24. boeh alus Alus berarti halus. Sasmita menginterpretasi sebagai kain halus, misalnya kain sutra.

25. Ragen paṅanten Sasmita berpendapat bahwa ragen paṅanten mengacu pada nama sejenis tumbuhan yang bernama lain ki rapet. Sasmita menginterpretasi motif ini sebagai pohon ragen yang

bersandingan seperti pengantin. Hipotesa saya, mungkin istilah ini bukan mengacu kepada motif, tetapi kepada warna, yakni ‘merah pengantin’, dari ragi-an ‘(adj) merah, kemerahan’ memiliki asosiasi pada darah pengantin perempuan saat malam pertama.

Selain motif atau jenis yang disebutkan di atas, dalam teks-teks juga disebut beberapa motif lain, seperti:

1. giriṅsiṅ wayaṅ. Motif ikat ganda (double-ikat) yang saat ini hanya berkembang di Tenganan Bali, meski pada abad pertengahan sempat berkembang di Jawa Timur, sebagaimana tertuang dalam Deśawarṇana. Kemungkinan, teknik ikat ganda juga pernah

dipraktekkan di Sunda. 2. taluki wayaṅ. Taluki berarti ‘kain katun halus (muslin)’ (Zoetmulder, 1982, s.v. taluki). Kiranya taluki wayaṅ bermakna kain halus dengan motif sosok wayang. 3. saca dewaṅga. Secara harfiah artinya ‘mendekati tubuh dewa’. Zoetmulder juga mencatat dewaṅga dalam arti ‘jenis kain sutra (merah?)’. Mungkin kain ini dimaksudkan menyerupai kain dewaṅga.

4. puyuh ṅuṅkuṅ. Puyuh adalah nama burung (Turnix taigaor), sementara ṅuṅkuṅ memiliki dua makna dalam Sunda Modern. Pertama adalah membunyikan suara kung;

kedua, berarti ‘berada dalam kurung, tidak bisa bergerak’. Seringkali konteks kalimat menyebut bahwa ilustrasi ini berada di ujung paling atas kain, maka kemungkinannya lebih mengarah pada pengertian yang pertama, yaitu burung puyuh yang seolah sedang bersenandung ‘kung’.

5. məәrak simpir. Secara harfiah berarti ‘merak menyerempet’. Mungkin mengacu pada ilustrasi merak yang berlari sambil mengibaskan sayapnya. 6. siṅa patra. Secara harfiah berarti ‘singa daun’, mungkin yang dimaksud adalah singa yang bersembunyi di antara dedaunan atau tumbuh-tumbuhan.

Lampiran 2. Mantra-mantra pada waktu menenun (dari Pleyte 1912)

1. Sebelum ngahindesan, penenun mempersiapkan parukuyan dan kemenyan.

Assalamualaékum Mualaékum salam Bul kukus, kukus kuring kukus rumun Kukus rumun kudratullah

2. Meténg (membersihkan katun kasar dengan peténg) dan ngasiwung (membuat asiwung/kapas yang sudah dibersihkan dengan peténg)

Assalamualaékum Mualaékum salam Sang Pohaci sarana ing kudratullah araning kapas Sang Pohaci intél putih araning mandah Sang Pohaci mayumut putih araning asiwung Sang Pohaci maramat lénggang araning kantéh Teka jeger teke lenjer Maramat dat maramat dat Gawe isun Sang Puhaci Rumananggay

3. Ngantéh (membuat kantéh/benang gulung)

Pohaci Rumananggay di tunjangan Pohaci Gana-gini dina hapit Kuring neda idin badé ngalampahkeun ngeuyeuk Muga-muga mangka sérék mangka téréh Sajeungkal jadi sadeupa Sacentok jadi sakodok Mun pegat pangnumbukeun Terus rasa manjing sukma Terus sukma manjing rasa Di badaning kaula ingsun Nyi Pohaci Rumananggay Teka gampang teka gancang Ku Kersana

4. Ngalaway (menggulung laway pada kincir)

Tidak ada mantra

5. Nyikatan (menyikat dan membersihkan benang)

Assalamualaékum Bis gampang, mil mulkail Teka gampang teka gampang saking Allah Gunung tuluy gunung tunggal Gunung reka ku Wisésa Ya Hu kang leuwih agung Ya Rohana Ya Rohani Ya Siti bertala Berkat berkat saking Allah

6. Ngélék (memutar benang dari undar ke élékan)

Tidak ada mantra.

7. Mihané

Bul kukus aing ka manggung ka awang-awang Pohaci sarikolak Pohaci hidayatullah Turunkeun ti gunung parahiangan Pohaci robah ing angin Mangka nyurup ngaraksuk Ngabaju ka jasmani awaking

Assalamualaékum Mualaékum salam Nyai pohaci urang leumpang Sapoé teu capé Sajongjongankeun anggeus Saeutik sing mahi Réa sing nyésa Ya Hu, Ya Hu, Ya Hu!

8. Meundat

Tanpa mantra

9. Ngaliar (mengikatkan benang pada alat tenun)

Assalamualaékum Nyi Puhaci suka rena Nyi Puhaci suka reni Nyi Puhaci suka rebah

10. Ngaréré (memasang benang dan menyiapkan alat tenun)

Assalamualaékum Nyi Ismu Bidali Putih Ngajayak bayu lenggang Terus nyerep kana suku Terus kana dampal leungeun Dat lapat, dat lapat

11. Ninun (menenun)

a. Ambu, panjang teuing tunjang kula

Panginunankeun Sadungkut meunang sasiku Sageplak meunang saasta Taropong tamiang sono Pakanna kiara laki Baréra paheula-heula Jingjingan pahiri-hiri Clong turulung-turulung

b. Nini Demklulun Aki Demklulun

Panglulunkeun tinun aing, Dipangninunkeun aing, Ti peuting di pakan dingding, Ti peuting di pakan sarang Satetel sadaun eurih Salimbuh meunang sasiku, Sageplak meunang saasta Sérék-sérék nu sing téréh Hiap gancang ulah lila Sakeudeung paragat anggeus

Lampiran 3. Ilustrasi

Ilustrasi-ilustrasi di bawah diambil dari Pleyte (1912) dan Jasper & Pirngadie (1912) yang masih digunakan di Tatar Sunda pada awal abad ke-20.

1. Kincir

a.Ajug atau tiang kincir, b/c. Injén, d. Kalinden, e. Kisi, f.(tidak diketahui namanya), g. Ceuli lambing, h. Pangheuleut unjar, i. Unjar, j. Alet, m. Eunteung atau engkeng.

2. Undar

a. Suku, b. Tihang (tiang), c. Imah-imah, d. Tutunggul e. Daun, f. Ayakan, piseureungan (wadah benang, bisa dipakai bentuk wadah lain).

3. Heuyeuk

a. Andir, b. Pancuh, c. Unjar atau umpak atau dadampar, d. Cakcak atau gedogan, e. Panggulung atau totogan f. Galeger, g. Titihan, h. Limbuhan, i/j.Jingjingan, k. Baréra, l. Suri, m.Hapit, n. Caor, o. Tali caor, p. Rorogan, q. Taropong, r. Palet

4. Pihanéan