2017 Wastra dalam Sastra Sunda Kuna

W ASTRA DALAM S ASTRA S UNDA K UNA

Aditia Gunawan 1 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

aditnaskah@gmail.com

Abstrak

Artikel ini membahas tentang wastra (garmen, tekstil) Sunda pada masa pra-Islam, sebagaimana tertuang dalam sastra Sunda Kuna. Pengertian sastra dalam tulisan ini tidak terbatas pada kesusastraan (belles-lettres), tetapi mencakup semua teks berbahasa Sunda Kuna. Sumber-sumber pra-kolonial, terutama sumber-sumber dari Sunda, akan dipelajari dalam kaitannya tentang kain, terutama yang dihasilkan dari proses menenun, baik menyangkut aktivitasnya, perkakas, warna, motif dan aspek mistis di balik aktivitas khas perempuan Sunda itu. Karena sifat keberformulaan pada teks-teks Sunda Kuna seringkali terpaut dengan ungkapan arkais yang terdapat dalam carita pantun, terutama tentang ilustrasi aktivitas menenun, maka sumber tradisi lisan tersebut akan digunakan juga demi mendapatkan gambaran yang agak jelas mengenai tradisi tenun di Sunda pada masa pra-Islam.

Kata Kunci: Wastra, Sastra Sunda Kuna, tenun, warna, mistisisme.

Pendahuluan

Kalakian Dayang Sumbi sedang berasik masyuk menenun. Taropong-nya, yakni alat penggulung benang dari bambu, terjatuh dari genggaman. Sebab begitu lemasnya, ia berseloroh bahwa barang siapa yang mengambilkan taropong itu untuknya, jikalau perempuan hendak dijadikan saudara, lelaki tentu jadi suami. Si Tumang, anjingnya yang setia, mendengar sumpah itu. Dengan bersemangat, ia memungut taropong itu, menyerahkannya pada Dayang Sumbi sambil terus duduk di hadapannya dan menatapnya dalam-dalam. Dayang Sumbi menyesali tindakannya yang berakibat fatal. Tetapi sumpah kadung terucap. Legenda ini mengandung beberapa versi yang tidak seragam. Meski demikian, sebagaimana tampak dari beragamnya nama tokoh dan variasi alur cerita, secara umum legenda ini mengandung kisah yang serupa.

Entah versi mana yang telah dikenang oleh Bujaṅga Manik (1336-1342) 2 , rahib kelana pada abad ke-15, ketika ia mengunjungi Bukit Pategeṅ:

1 Penulis, filolog naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mamat Sasmita yang telah memberikan masukan berharga terhadap artikel ini,

kepada Sugi Lanus dan Jiri Jákl yang telah memberikan komentar pada draft sebelumnya, dan Sudharma yang telah berbagi data dari Bali.

2 Untuk kemudahan, penulis menyeragamkan ejaan Sunda Kuna dan Jawa Kuna sebagaimana Acri 2011, Griffiths dan Acri 2014 dan artikel penulis (Gunawan, 2015), dengan pengecualian bahwa penulis

menggunakan w bukan v; simbol grafis aksara Sunda Kuna tidak membedakan e dan eu, sehingga dalam artikel ini keduanya ditulis əә. Ejaan Sunda Modern mengikuti ejaan terkini yang tercantum dalam buku Palanggeran Éjahan Basa Sunda.

Sadataṅ ka kabuyutan, Sesampainya ke tempat suci, m əә tas di Cisauṅgalah,

menyeberang di sungai Cisaunggalah, l əә mpaṅ aing ka baratk əә n,

aku berjalan ke arah barat, dataṅ ka bukit Pategeṅ,

sampai ke Gunung Pategeng, sakakala Saṅ Kuriaṅ,

tanda peringatan Sang Kuriang, masa dek ñitu Citarum,

ketika akan membendung sungai Citarum, buruṅ t əә mb əә y kasiaṅan.

gagal karena kesiangan. BM. 1336-1342

Jika dongeng Saṅ Kuriaṅ telah menjadi legenda pada abad ke-15, maka dapat dikatakan, bahwa tradisi menenun hadir di Tatar Sunda jauh sebelum itu. Dongeng Sunda keramat yang lain, yakni Nini Anteh (anteh sendiri bermakna membuat benang), yang mengandung kisah tentang seorang anak dan kucing naik pohon yang menjulang hingga ke bulan, mengandung mitologi tenun yang penting. Bagi orang Sunda yang mempercayainya, bayangan hitam di bulan saat bulan purnama adalah bayangan sosok Nini Anteh, anak kecil dan kucingnya yang sedang membuat benang (kanteh).

Selain tercermin dalam berbagai dongeng, legenda atau tradisi lisan, kita menemukan banyak sekali idiom dan peribahasa Sunda yang terkait dengan tradisi menenun, seperti: ngaheuyeuk dayeuh ngolah nagara (perib., lit.: menenun kota, mengolah negara) yang berarti mengatur pemerintahan, paheuyeuk-heuyeuk leungeun (lit: saling menenun tangan) yang berarti solidaritas; bobo sapanon carang sapakan (lit: putus satu mata jala, kurang selembar pakan tenunan) yang hampir selalu diekspresikan dalam pidato penutup sebagai tanda permohonan maaf atas ketidak sempurnaan ucapan pembicara.

Tetapi kekayaan rohani itu tampaknya kini hanya bernilai secara simbolis saja. Tradisi menenun secara tradisional kini telah mati di Jawa Barat, kecuali di daerah Kanekes (Baduy), Banten Selatan. Catatan etnografis terlengkap dan mungkin yang terakhir dilakukan oleh C.M. Pleyte pada tahun 1912, ketika tradisi tenun masih hidup di wilayah Priangan.

Artikel ini sesunggahnya terinspirasi oleh tulisan Cristie (1993) perihal Teks dan Tekstil di Jawa abad pertengahan. Perbandingan budaya tekstil Sunda Kuna dengan apa yang dipraktekan di Jawa pada abad pertengahan menjadi penting mengingat keduanya pada dasarnya memiliki tradisi tenun yang sama, terutama dari segi teknik. Menurut klasifikasi yang dilakukan oleh Buckley (2017, lihat gambar.1), wilayah- wilayah yang terpengaruh kuat oleh Indianisasi memiliki kesamaan karakteristik dalam tradisi tenun: ciri pertama menyangkut jenis alat tenun yang disebutnya externally-braced loom with flat warp and reed, atau alat tenun yang lungsinnya datar serta kaki penenun yang tidak menekan secara langsung pada ujung gulungan (lihat gambar 3 pada lampiran 3). Menariknya, Buckley tidak memasukkan Jawa Barat dalam wilayah arsiran. Ciri kedua menyangkut teknik ikat (tie-dye process) yang digunakan adalah ikat pakan (weft-based ikat), sebagai konsekuensi logis penggunaan jenis alat tenun lungsin datar. 3

3 Jika Buckley (2017) mengelompokkan teknik tenun menjadi empat jenis, Pelras (1972), mengelompokkannya ke dalam tiga kelompok. Teknik yang digunakan di Jawa (termasuk Sunda) dan

wilayah-wilayah yang berhubungan kuat dengan India, dikelompokkannya ke dalam kebudayaan tenun dari tengah ‘centre’.

Sebagaimana Christie (1993), yang mengambil bahan-bahan tekstual dari Jawa, terutama prasasti, artikel ini akan menjelaskan jenis, fungsi, teknik produksi, dan mistisisme dari proses menenun pada masa pra-Islam sebagaimana tercermin dalam sumber-sumber tekstual Sunda Kuna dan carita pantun. Teks-teks yang digunakan adalah sebagai berikut:

BM: Bujaṅga Manik CP: Carita Parahyaṅan DK: Demung Kalagan (Carita Pantun, 1970) FCP: Fragmen Carita Parahyaṅan KP: Kawih Paṅəәyəәkan KSH: Kaputusan Saṅ Hyaṅ LK: Lutung Kasarung (Carita Pantun, dalam Pleyte 1911) PRR: Para Putra Rama dan Rahwana SA: Sri Ajñana SD: Sewaka Darma (Kawih Pañaraman) SSC: Saṅ Hyaṅ Swawar Cinta SSKK: Saṅ Hyaṅ Siksa Kandaṅ Karəәsian SSMG: Saṅ Hyaṅ Śāsana Māhaguru RT: Raden Tegal (Carita Pantun, dalam Meijer 1891)

Gambar 1. Persebaran jenis alat tenun di Asia dewasa ini (Sumber: Buckley 2017)

Jenis Tekstil

Sebagaimana terjadi di banyak wilayah di Nusantara yang melakukan aktivitas perdagangan lintas samudra, kerajaan Sunda juga terlibat dalam jaringan Sebagaimana terjadi di banyak wilayah di Nusantara yang melakukan aktivitas perdagangan lintas samudra, kerajaan Sunda juga terlibat dalam jaringan

Menurut kesaksian Tomé Pires dalam Suma Oriéntal, kerajaan Sunda mengimpor banyak kain kasar sampai ke Malaka. Kerajaan Sunda melakukan perdagangan aktif dengan Sakampung (yang memiliki katun melimpah), Tulang Bawang, dan Siam. Orang Sunda juga mengimpor berbagai jenis tekstil, terutama dari Keling dan Cambay (Cartesão, 1944:169).

They buy white sinabaffs, both large and small, synhavas, pachauelezes, balachos, atobalachos (these are white cloths). They buy Kling cloths, enrolados of large and small ladrilho which are then marketable, and they buy much. They buy pachak, catechu, and seeds from Cambay. They buy bretangis and clothes from Cambay, turias, tiricandies, caydes in quantities. A great deal is used there and bought for gold. Areca, rosewater and things like that are bought in Sunda.

Istilah jenis kain yang dicatat oleh Tomé Pires sulit diterjemahkan. Beberapa di antaranya telah diidentifikasi oleh Cartesão. Balachos dan Atobalachos adalah sejenis kain tipis. Kain putih disebut enrollados. Sementara bretangis adalah sejenis pakaian katun (berwarna biru, hitam, atau merah) yang pada dahulu kala diekspor dari Cambay. Jean Mocquet, ekspedisionis Prancis, dalam catatan perjalanannya ke Mozambik tahun 1670 juga menerangkan bahwa Bretangis “sont certaines toiles de coton teintes en bleu et violet obscure” (adalah suatu lembaran kain berwarna biru dan ungu muda) (1830:211). Beberapa istilah lain yang disebut oleh Pires belum dapat penulis pahami.

Sekarang kita beralih ke sumber lokal. Prasasti-prasasti berbahasa Sunda Kuna dari Jawa Barat tidak memberikan banyak informasi tentang tekstil dari Tatar Sunda, kecuali dalam Prasasti Kabantenan yang diperkirakan berasal dari abad ke-16. Prasasti ini memberitakan bahwa salah satu benda yang dijadikan persembahan bagi kerajaan Sunda di Pakuan adalah kapas timbaṅ, yang kiranya diperuntukkan sebagai bahan pakaian. Berat yang dibebankan terhadap wajib pajak sekitar sepuluh pikul (sapuluh caraṅka).

Hanya melalui naskah Sunda Kuna dan tradisi lisan kita memiliki sumber yang mengandung lebih banyak informasi tentang tekstil yang pernah diproduksi di Tatar Sunda. Melalui Fragmen Carita Parahyaṅan, kita memperoleh gambaran bahwa otoritas perdikan-perdikan Sunda dari wilayah Galuṅguṅ, Dəәnuh, Saṅ Hyaṅ Talaga Warna, dan wilayah lainnya mempersembahkan sejenis upati kepada penguasa di ibu kota, Pakuan. Selain dari sesaji makanan (pindo), kerbau (mundiṅ), minyak hangat, ayam, berbagai jenis kain juga termasuk dalam barang persembahan (FCP 6a-7b). Kain-kain tersebut dapat berupa kain putih maupun kain berwarna, dengan standar satuan berat tertentu. Ada dua jenis kain yang dipersembahkan, yakni bəәbəәr (kain tenun ikat) dan boeh (kain) yang beraneka warna: putih, merah (bəәrəәm), hitam (wuluṅ), warna-warni (boeh warna), serta putih bunga pohon jati (jati kəәmbaṅ).

Selain dalam bentuk lembaran kain yang belum dijadikan pakaian, tercatat tiga jenis pakaian yang dipersembahkan ke hadirat raja, yakni tipuluṅ ‘ikat kepala’, lilitan ‘selendang’, dan pelah ‘ikat pinggang anyaman’. Ukuran satuan untuk jenis-jenis Selain dalam bentuk lembaran kain yang belum dijadikan pakaian, tercatat tiga jenis pakaian yang dipersembahkan ke hadirat raja, yakni tipuluṅ ‘ikat kepala’, lilitan ‘selendang’, dan pelah ‘ikat pinggang anyaman’. Ukuran satuan untuk jenis-jenis

Istilah-istilah yang merujuk pada jenis kain baik yang belum maupun yang sudah diolah menjadi pakaian cukup banyak dalam teks-teks Sunda Kuna. Dalam tulisan ini penulis daftarkan istilah-istilah yang paling penting disebut, yaitu: tapih, luṅsir, kasaṅ, boeh, sutra, abəәn, poleṅ, dodot, simbut, cawəәt, dan daluwaṅ. Berikut ini akan coba kami maknai satu persatu.

Tapih adalah kain bawahan, kiranya tidak khusus dipakai kaum wanita, tetapi juga pria. Bentuknya mungkin seperti sinjang sekarang. 6 Terdapat dua jenis tapih: tapih beet, yang secara harfiah berarti ‘kain kecil’, dipakai sebagai pakaian dalam yang harus diikat sejenis sabuk yang disebut bəәnten, dan tapih luar yang dikenakan di luar tapih beet. Tapih luar digambarkan berkibar dan panjangnya mencapai betis orang dewasa (KP. 57-58). Sisa-sisa kain tapih juga digunakan untuk mengikat atau membungkus sirih pinang (BM. 363). Motif giriṅsiṅ wayaṅ, satu-satunya jenis kain ikat ganda (pakan dan lungsin) yang hingga saat ini diproduksi di Bali, digunakan sebagai kain bawahan (tapih).

Luṅsir adalah kain saten. Kain ini dapat dimanfaatkan sebagai penghias kasang (tirai), yang bagian ujungnya dihias sedemikian rupa. Satuan untuk luṅsir adalah kayuh. Kata ini tidak ditemukan dalam bahasa Sunda Modern, tetapi produktif dalam teks-teks Jawa Kuna.

Boeh umumnya merujuk pada helaian kain katun. Boeh digunakan untuk membalut atau membungkus, misalnya peti yang berisi Deuwi Sita saat dihanyutkan oleh Laksamana ke sungai. Boeh termasuk dalam barang persembahan para raja bawahan kepada raja utama. Satuan yang digunakan adalah lawe (harfiah berarti benang) dan kayu. Motif boeh caliñciṅ (Averrhoa Bilimbi L) dan jenis boeh limur juga disebut (BM.212 & 392). Menarik dicatat bahwa limar tercatat dalam kamus Sunda Modern, tetapi dalam Jawa Kuna, limar adalah bentukan lebih kuno dari limur, yang hanya terekam dalam Kiduṅ Harṣawijaya. Keduanya merujuk pada jenis kain sutra.

Kasaṅ adalah kain lebar yang sering merujuk pada tirai dan menjadi bagian rumah, terutama terjuntai pada gerbang pintu. Di bawahnya dihias dengan manik- manik yang akan bergemerincing jika seseorang menyibaknya. Salah satu bahan bakunya adalah boeh laraṅ (SD.44). Jenis kasaṅ yang diimpor dari luar Sunda berasal dari Pahang. Motif kasaṅ bisa bermacam-macam, termasuk motif berdasarkan cerita naratif (cacaritaan).

Sutra, yang merupakan jenis kain berkualitas disebut dalam konteks kain impor, karena dalam kemunculannya, kata ini selalu disandingkan dengan Keling (BM.1740, 1747) dan selendang sutra Cina (sasampay sutəәra Cina, BM.253).

Abəәn merujuk pada kain ‘kemban’ yang dikenakan kaum perempuan untuk menutupi bagian atas badan. Dalam Kawih Paṅəәyəәkan, Raden Jaya Kəәliṅ menasihati istrinya, Sakean Kilat Bañcana, agar menutupi payudaranya dengan jenis kain ini dan

4 Band. Bhs Sunda Modern kayuh untuk satuan kain, 1 kayuh = 5 nyéré, 1 nyéré = 10 lembar laway. Satu gulungan terdiri atas 7 nyéré. Sebagai ilustrasi, sebagaimana tercatat dalam FCP, tujuh kayuh kain

dapat menutupi punggung seekor gajah. 5 Dalam bahasa Sunda Kuna, kata təәktəәk sendiri bermakna ‘potong, patah’. Band. Misalnya kalimat

dalam Para PRR.1483: “dipəәraṅ buru-binuru, silih təәktəәk silih kəәdék” “berperang saling kejar, saling patahkan saling bacok”.

6 Band. Jawa Kuna tapih: ‘garment worn by women around the lower part of the body’ (Zoetmulder, 1982: s.v. tapih).

jangan sekali-kali membiarkannya menyembul ke luar (KP.55). Pwah Aci Kuniṅ, seorang makhluk cantik kahyangan mengenakan abəәn bermotif gula manikəәm (yang berarti ‘gula permata’) (SA. 687).

Poleṅ. Bujangga Manik mengenakan kain ini dalam perjalanannya ke timur (sakaen poleṅ puranteṅ). Dalam sumber-sumber tekstual Jawa Kuna, kain ini berupa motif kain berwarna hitam dan putih, tetapi juga beraneka warna (Lih. Zoetmulder, 1982 s.v. poleṅ, band. Lampiran 1).

Makna dodot dalam Sunda Kuna tidak begitu jelas. Dalam kemunculannya, kata ini selalu merujuk pada pakaian kebesaran yang pantas dikenakan oleh yang mulia raja (SSMG.37, SA.262).

Kampuh dihias dengan benang emas. Tidak jelas fungsi jenis kain ini, kiranya sama seperti dalam Jawa Kuna 7 , yang dipakai sebagai bawahan. Tetapi dalam teks

Sunda terdapat petunjuk bahwa kampuh juga digunakan sebagai tirai. Simbut atau salimbut bermakna selimut, tetapi kiranya selimut ini bukan hanya dipakai untuk tidur, tetapi juga sebagai pakaian perjalanan, sebagaimana dilakukan oleh Bujaṅga Manik. Simbut yang dikenakan Saṅ Aməәng Layaran ini merupakan produk kain sulaman dari Baluk (BM.252). Dalam teks-teks Sunda Kuna, kata simbut biasanya disandingkan dengan cawəәt. Kata yang terakhir merujuk kepada jenis bawahan atau kain pinggang (loincloth). Jákl (2016) telah membahas makna cawəәt dalam konteks Jawa Kuna, yang secara ekslusif hanya merujuk pada kain pinggang.

Terakhir, penyebutan daluwaṅ dalam konteks pakaian menunjukkan bahwa Sunda juga mengenal tradisi pembuatan pakaian dari kulit kayu (bark-cloth) (SSC.697-698).

Fungsi

Selain sebagai barang persembahan bagi raja, fungsi utama kain adalah untuk dikenakan menutupi tubuh. Bagi orang Sunda abad ke-16, paling tidak menurut Siksa Kandaṅ Karəәsian, kain merupakan kebutuhan primer, sama halnya dengan pangan, senjata, dan hewan ternak. Jika satu saja tidak terpenuhi, maka seorang manusia

dianggap melanggar aturan (durbala siksa). 8

Mengenakan pakaian dalam konsepsi keagamaan Sunda pra-Islam termasuk dalam bentuk kesadaran tinggi manusia (upagəәiṅ). Upagəәiṅ merupakan bentukan majemuk Sansekerta dan Sunda, yang berarti ‘kesadaran tinggi’. Unsur ini merupakan unsur penengah dari trigəәiṅ ‘tiga kesadaran’, yang terdiri dari gəәiṅ (kesadaran), upagəәiṅ (kesadaran tinggi), dan parigəәiṅ (kesadaran puncak) yang dimiliki oleh manusia. Gəәing merupakan kesadaran paling rendah, yakni kesadaran untuk mengkonsumsi makanan dan minuman. Upagəәing merupakan kesadaran yang lebih tinggi, yang membedakan manusia dengan binatang, melalui kesadaran untuk menutupi kemaluan (berpakaian). Terakhir, parigəәiṅ merupakan kesadaran puncak

7 Band. Zoetmulder (1982: s.v. kampuh) menerjemahkannya sebagai ‘garment worn around the lower part of the body’ dalam konteks Jawa Kuna.

8 SSKK.14-15: cocooan ulah tihap məәli mulah tihap nukəәr, pakaraṅ ulah tihap ṅinjəәm. Simbut cawəәt mulah kasarataan, hakan-inum ulah kakuraṅan, anak ewe pituturan sugan dipajar durbala siksa.

‘Memiliki ternak jangan tiap beli lalu ditukar, perkakas jangan setiap kali ditukar, selimut dan pakaian jangan kehabisan, makanan dan minuman jangan kekurangan. Ingatkan anak istri! Jangan sampai disebut [sebagai orang yang] merusak aturan (durbala siksa).

yang memungkinkan manusia memerintah melalui perkataan yang penuh sopan

santun dan penuh sloka. 9

Dalam teks sejenis tutur yang bersifat filosofis, Saṅ Hyaṅ Śāsana Māhaguru (bag. 39), tiga unsur yang membentuk kain diasosiasikan dengan tiga potensi hidup yang utama, yaitu tubuh (śarīra) diasosiakan sebagai bahan dasar bunga wari (jenis Hibiscus), akal budi (həәdap) diasosiasikan dengan benang (kanteh), dan pertimbangan yang benar (saṅ hyaṅ pramāṇa) diasosiasikan dengan kain (bwaeh).

nu kaṅkəәn wuṅawari ma sarira; nu kaṅkəәn kanteh ta ma, na hdap; nu kangkəәn bwaeh ta ma, saṅ hyaṅ pramana.

Yang disebut wungawari adalah tubuh; yang disebut benang adalah akal budi, yang disebut kain adalah pengetahuan yang tepat.

Perilaku berpakaian merupakan standar etika masyarakat. Seorang perempuan patut menutup payudaranya dengan ab əә n. Ketika bertemu seorang petinggi di perjalanan, kita wajib mengenakan pakaian lengkap (caṅcut pangadwa) 10 .

Kain tenun juga digunakan sebagai salah satu hadiah untuk meminang calon pasangannya. Selain membawa ‘sirih pinang simbol lamaran’ (səәpahəәn panaña tinəәṅ), Jompong Larang, yang mewakili tuan putrinya, Sakean Kilat Bañcana, membawa bahan kain (pikaenəәn) ketika ia melamar Bujangga Manik atas nama Sang Putri (BM 503-506). Selain benda-benda tersebut, sang pelamar juga menambahkan jenis kain antəәn dan limur berkualitas tinggi serta selendang bermotif wayang dengan tujuan lebih meyakinkan Sang Pangeran akan besarnya rasa cinta Sakean Kilat Bañcana (BM 513-514).

Selain sebagai barang pemberian untuk melamar pasangan, kain juga digunakan sebagai pemberian bagi seorang yang dianggap telah berjasa. Bujangga Manik memberikan sehelai kain kepada Nakhoda, yang telah berjasa membawanya ke Pulau Bali dengan selamat. Sangat mungkin bahwa kain yang diberikan oleh Bujaṅga Manik bukan semata-mata ‘cendramata’, melainkan alat tukar pembayaran yang lazim digunakan saat itu, yang dianggap memiliki nilai seperti uang.

‘Akiiṅ juru puhawaṅ, [Bujangga Manik:] ‘Tuanku Juru Nakhoda, eboh midua rahayu,

Dan lagi kita berdua selamat, eboh ta uraṅ papasah.

Kita berdua juga akan berpisah. Dahini kaen aiṅ,

Inilah kainku,

ini paṅwidian aiṅ.’

Inilah pemberianku.’

BM. 950-954

9 SSKK.XXIV: gəәiṅ ma bisa ṅicap bisa ṅicup dina kasukaan, ya gəәiṅ ṅaranna; upagəәiṅ ma ṅaranna bisa nyandaṅ bisa ṅaṅgo, bisa babasahan, bisa dibusana, ya upagəәiṅ ṅaranna; parigəәiṅ ma ṅaranna bisa

nitah bisa miwaraṅ ja sabda arum wawaṅi, ña mana hantəә surah nu dipiwaraṅ ja katuju nu bəәnaṅ milabuh siloka. “Kesadaran itu dapat mencicip dan minum dalam kesukaan, itulah yang disebut kesadaran. Kesadaran tinggi adalah dapat menyandang, memakai, babasahan, berbusana, itu yang disebut kesadaran tinggi; kesadaran puncak ialah bisa menyuruh, memerintah, karena ucapannya harum mewangi, dengan demikian tidak merasa terhina yang disuruh, sebab merasa terkena [hatinya] oleh orang yang menggunakan sloka”.

10 Makna paṅadwa, baik di Sunda Kuna maupun Jawa Kuna, memang problematis. Zoetmulder (1982, s.v. paṅadwa) bertanya-tanya apakah makna dasarnya adu atau dwa? Sejauh ini kemungkinan lebih

merujuk pada yang terakhir, terutama karena selalu disebut bersama caṅcut ‘celana, selempak’, sehingga paṅadwa mengarah pada ‘pakaian atasan’ sebagai unsur kedua dari celana.

Pakaian, terutama salimbut dan cawəәt, juga menjadi barang yang dipersembahkan oleh penduduk jika para pegawai pemerintahan seperti same, paṅuraṅ, dasa, calagara, upəәti, paṅgəәrəәs rəәma datang mengunjungi mereka sebagai tanda pengabdian rakyat kepada pemerintah. 11 Karena sifatnya yang khusus, kain hasil tenunan, sebagaimana halnya dengan hewan ternak, merupakan barang pusaka

keluarga yang layak diwariskan turun temurun. 12

Melalui gambaran di atas, kita mendapatkan petunjuk bahwa kain menjadi barang yang bernilai simbolis, yang dipergunakan untuk melamar dan diwariskan, simbol etis bermasyarakat, sarana pergaulan, serta menjadi simbol persinggungan kebudayaan Sunda dan dunia luar.

Tenun

Hingga tahun 1518, sebagaimana tertuang dalam Saṅ Hyaṅ Siksa Kandaṅ Karəәsian, disebutkan dua jenis teknik produksi kain. Ada dua istilah yang dibedakan berkaitan dengan ragam hias pada kain. Pertama, istilah tulis, yang diterjemahkan oleh Holle (1867) sebagai ‘batik’. Terjemahan tulis menjadi ‘batik’ kiranya mengandung persoalan. Christie (1993:190-192), dalam diskusinya tentang istilah tulis di Jawa abad pertengahan, menemukan bahwa terdapat tiga pengertian tulis yang kiranya belum tentu merujuk pada apa yang kita kenal sebagai batik dewasa ini. Ketiga adalah tulis

warṇa (kain hias beragam warna), tulis wəәtəәṅ (kain hias perut?) 13 , dan tulis mas (kain hias warna emas, parada). Ketiga teknik ini boleh jadi tidak menggunakan bahan

penolak warna seperti lilin dan tidak menggunakan canting, tetapi sebaliknya, dilukiskan langsung pada kain, sebagaimana pernah berkembang di Bali masa pra- modern.

Istilah kedua yang disebut dalam SK adalah boeh ‘kain’ yang khusus diproduksi dari proses menenun 14 . Produksi tulis maupun boeh, dikerjakan oleh seorang profesional, yaitu penghias kain ‘lukis’ dan penenun ‘paṅəәyəәk’ 15 . Kiranya dapat ditambahkan beberapa jenis lain, yakni sulam (susulaman, KP.83) yang, berdasarkan teks, terbatas pada selimut yang diimpor dari Baluk. Soṅket juga disebut, meskipun tidak terdapat keterangan yang memuaskan tentang tekniknya.

11 SSKK.IX: Nihan muwah, jaga raṅ kadataṅan ku same paṅuraṅ dasa, calagara, upəәti paṅgəәrəәs rəәma maka suka gəәiṅ uraṅ, maka rasa kadataṅan ku kula kadaṅ, ku baraya, ku adi lañcəәk anak mitra suan

kaponakan, sakitu eta kaṅkəәn, ṅan lamun aya paṅhaat uraṅ, kicap inum simbut cawəәt suka drəәbya.

12 SSKK.XXIX: Ladaṅ pəәpəәlakan wəәnaṅ dipikakolotan, ṅaranna mani bijil ti prəәtiwi, ladaṅ həәyəәk, ladaṅ cocooan wəәnaṅ dipikakolotan, ṅaranna mirah tiba ti akasa ‘Hasil pertanian boleh dijadikan pusaka.

Disebutnya permata yang keluar dari bumi. Hasil peliharaan, hasil ternak, boleh dijadikan pusaka. Disebutnya mirah jatuh dari langit’.

13 Istilah ini menarik jika membayangkan bahwa ada kaitan antara wəәtəәṅ dalam JwK dan bəәtəәṅ dalam SdK. Dalam SdK, kata ini tidak selalu bermakna ‘perut’, tetapi juga ‘berhenti (melakukan sesuatu)

menghentikan’ (band. Hardjadibrata, 2003: s.v. beuteung). Tidak menutup kemungkinan bahwa kata tulis wəәtəәṅ mengacu pada teknik batik, yaitu penghentian warna (wax-resist dying) sebagaimana dipraktekkan dewasa ini.

14 Dalam kamus-kamus bahasa Sunda Modern, boeh dimaknai sebagai kain berwarna putih. Dalam teks-teks Sunda Kuna seperti Saṅ Hyaṅ Siksa Kandaṅ Karəәsian dan Kawih Pangəәyəәkan, kata ini kiranya

bukan hanya mengacu pada kain berwarna putih, tetapi kain yang berbahan dasar ‘kapas’.

15 Makna tulis sebagai aktivitas ‘melukis atau menghias’ pada kain. Pengertian ini kurang lebih sama dengan istilah tulis yang ditemukan dalam teks-teks Melayu lama, yang juga bermakna menghias alas

tulis. Lihat tulisan Gallop (2013) terkait hal ini.

Yang menjadi perhatian penulis adalah tradisi menenun kain. Kata Sunda Kuna untuk aktivitas ini adalah ṅəәyəәk. Perkakasnya disebut həәyəәk. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ahli tenun disebut paṅəәyəәk. Disebutnya istilah paṅəәyəәk di antara istilah-istilah mata pencaharian mengindikasikan bahwa pengerjaan kain dikerjakan oleh profesional, jika bukan semi profesional.

Berbeda dengan di India dan beberapa wilayah lain di Nusantara, di mana laki- laki turut serta dalam aktivitas menenun, di Sunda, tenun merupakan bidang khusus kaum perempuan. Hal ini tercermin di hampir seluruh sumber-sumber tekstual kuno di Jawa Barat. Tokoh-tokoh yang melakukan aktivitas ini semuanya perempuan.

Kaum perempuan menenun di balai khusus atau di teras rumah. Balai khusus ini dinamakan Bale Sipaṅəәyəәkan (SSC), atau Bale Kəәsik Paninunan (LK). Istilah lain adalah Bale Tulis (LK), yang mungkin merujuk bukan pada aktivitas menenun dengan teknik tenun ikat, melainkan membatik. Apakah Bale Paṅəәyəәkan menyatu dengan beranda rumah, sukar ditentukan. Meski demikian, Pleyte (1912) mengilustrasikan sebuah balai pada awal abad ke-20, yaitu sebuah balai yang disebut ranggon pangeuyeukan, yang terpisah dari bangunan rumah, dengan tinggi yang mencapai tiga orang dewasa.

Gambaran ideal perempuan dikaitkan dengan keterampilannya dalam menenun kain. Pengarang Saṅ Hyaṅ Swawar Cinta, melalui persembahan rajah di awal kisahnya, berharap bahwa asap dupa yang ia haturkan untuk dewata, jika mengenai anak gadis (bwacah opoy), maka gadis tersebut menjadi cantik jelita dan menyandang sifat-sifat keutamaan perempuan. Di antara karakteristik ideal tersebut, kecakapan menenun termasuk kecakapan yang utama. Perempuan utama adalah yang dapat membuat kain tenun ikat di malam hari (bisa məәbəәr maləәm-maləәm) dan mampu menyongket kain dalam keadaan gelap gulita (ñwangket pwaek-pwaek). Gambaran tersebut dapat dilihat dalam bait di bawah:

Maṅka ṅuni lamunna,

Demikian juga jika,

niṅgang ka bwacah opoy,

(asap dupa) menerpa gadis,

maṅkana galəәmuh tulus, akibatnya menjadi montok dan sehat, galəәpoṅ boṅsor gəәlis pawilis,

berbadan kuat, cantik,

doeh endah padawala, montok indah, semua tampak muda, dəәmuk pipi timbun buuk,

pipi tembem rambut tebal,

doeh pañjaṅ kwaneṅ,

montok tinggi kuning langsat,

caropwaṅ puhu buluna,

kulit bersih dari bulu.

hapitan karawalea,

yang kuat memangku hapit,

cəәta ñwaṅket pwaek-pwaek, terampil menyongket di kala gelap, cəәta nəәləәm maləәm-maləәm,

terampil mencelup di malam hari, cəәta ñulage bəәrang-bəәraṅ.

terampil memintal di siang hari. SSC: 147-158

Idiom yang disematkan kepada kaum perempuan yang telah mencapai derajat keutamaan disebut hapitan karawalea (SSC 155, BM 537-41, KP 408). Istilah yang terkait dengan aktivitas tenun ini disematkan kepada wanita yang terampil. Hapitan berhubungan dengan hapit, yaitu salah satu perkakas tenun yang tepat berada di pangkuan penenun. Noorduyn & Teeuw (2006) menghubungkan karawalea dengan kata Jawa Kuna karawalya (dari Skt kārawella, kārawalli) ‘kebal’ (Zoetmulder, s.v. karawalya). Dugaan kami ungkapan ini merupakan idiom bagi seorang wanita terampil yang kakinya ‘kuat, kebal’ memangku hapit. Dengan kata lain, istilah ini Idiom yang disematkan kepada kaum perempuan yang telah mencapai derajat keutamaan disebut hapitan karawalea (SSC 155, BM 537-41, KP 408). Istilah yang terkait dengan aktivitas tenun ini disematkan kepada wanita yang terampil. Hapitan berhubungan dengan hapit, yaitu salah satu perkakas tenun yang tepat berada di pangkuan penenun. Noorduyn & Teeuw (2006) menghubungkan karawalea dengan kata Jawa Kuna karawalya (dari Skt kārawella, kārawalli) ‘kebal’ (Zoetmulder, s.v. karawalya). Dugaan kami ungkapan ini merupakan idiom bagi seorang wanita terampil yang kakinya ‘kuat, kebal’ memangku hapit. Dengan kata lain, istilah ini

Sugan sia hamo ñaho, Jangan-jangan engkau tidak tahu, tohaan gəәlis waraṅan,

putri cantik pantas diperisteri,

rampes rua rampes tuah,

elok rupa berperilaku baik,

təәhəәr gəәlis undahagi, lagipula berpostur indah semampai, hapitan karawalea.

(yang) kuat menahan hapit.

BM. 537-541

Selanjutnya, dalam teks yang sama (baris 158-164), terdapat sebuah deskripsi berformula delapan suku kata tentang aktivitas bertenun, yang diwakili oleh Bujaṅga Manik saat melihat ibunya di beranda rumah sedang menenun. Ungkapan ini penting dimaknai lebih jauh untuk mendapatkan gambaran tentang aktivitas menenun di Tatar Sunda.

Ambuiṅ kasondoṅ ṅəәyəәk,

Ibuku terlihat sedang menenun,

buat nu di təәpas bumi,

bekerja di teras rumah,

əә kəәr ṅəәyəәk əәkəәr məәbəәr,

sedang menenun dan mengikat,

əә kəәr ñulaṅge mihane, sedang menjaring dan menggulung benang pada pihané, nəәləәm nuar ñaṅkuduan,

mencelup kain hitam, kuning, dan merah, ṅ arañcet kanteh pamulu,

memeras benang tenunan,

ṅəә la səәpaṅ ṅaṅəәn hayam. menggodok sepang 16 merebus kayu hayam 17 .

Yang sangat menarik adalah kemunculan kata məәbəәr, yang secara harfiah berarti ‘mengikat’. Kata ini dicatat dalam kamus Hardjadibrata (2003) – yang mengambil bahan dari Kamus Sunda-Belanda karangan Eringa – sebagai berikut:

meubeur, the warp yarns of a fabric wrapped around in places (so that when dyeing those places do not take any dye: the so-called ikat or tie-dye process, applied on kasang fabric); ngabeubeuran, ngabeulitanan put a waistband on so.; ngabeubeurkeun/meubeurkeun, ngabeulitankeun use st. as a waistband, wrap (a cloth) around the waist; dibeubeur, dibeulitan wear a waistband or belt, have a waistband/belt on.

Kemunculan kata məәbəәr menandakan bahwa teknik menenun dengan cara mengikat benang yang tidak akan diwarnai atau lazim disebut tenun ikat (tie-dye process), sudah dipraktekkan di Sunda sedini abad ke-15.

16 Band. JwK sĕpaṅ ‘the sappan-tree (Caesalpinia sappan). Wilk.: “a low thorny tree with yellow flowers; the wood is cut to pieces and boiled to produce a red dye”.

17 Dalam edisi Noorduyn & Teeuw (2006), baris 161 nyulagé dan 163 ngaracét tidak diemendasi. Ñulaṅge dan ṅarañcet tercatat dalam kamus Sunda modern. Kedua sarjana tersebut menerjemahkan

ṅəә la səәpaṅ ṅaṅəәn hayam ‘memasak sepang dan membuat sayur ayam’ agak meragukan. Zoetmulder (1982, s.v. hayam) mencatat kayu hayam-hayaman sebagai ‘jenis pohon’, ‘a part. kind of tree?’ Sayang

jenis pohon ini belum dapat ditentukan secara pasti. Melihat konteks, kiranya merujuk pada aktivitas mengolah jenis pohon ini menjadi pewarna kain.

Warna

Saat ini kita mengenal pewarnaan dasar yang berlaku universal seperti RGB (red, green, blue) dan CMYK (cyan, magenta, yellow, key). RGB digunakan untuk keperluan warna pada layar monitor, sementara CMYK untuk percetakan. Pertanyaan yang muncul, adakah konsep dasar warna bagi masyarakat Sunda pada masa lalu?

Melalui bait yang menggambarkan aktivitas menenun di atas, kita dapat mempelajari lebih jauh tentang konsep warna dasar bagi orang Sunda pra-kolonial, melalui praktek mewarnai kain. Konsep ini kiranya dipengaruhi oleh konsep kosmologis Hindu-Sunda. Teks-teks Sunda Kuna yang mengandung formula-formula puitis tentang aktivitas mewarnai ini akan memberikan gambaran tentang konsep warna dasar yang digunakan oleh masyarakat Sunda. Ungkapan “nəәləәm nuwar ñaṅkuduan” (baris 162) yang dilakukan oleh Ibu Bujaṅga Manik mengandung tiga kata kerja yang menunjukkan aktivitas mewarnai kain.

Nəәləәm, sebagaimana tercatat dalam kamus Danadibrata (2006, s.v. teuleum) berarti ‘mencelup kain pada lumpur hingga menghasilkan warna hitam’. Istilah ini adalah istilah teknis, karena kata nəәləәm sendiri secara luas berarti ‘menenggelamkan, mencelup’, berasal dari kata təәləәm ‘tenggelam’.

Kata nuwar mungkin berkaitan dengan kata cituar yang hanya tercatat dalam kamus Danadibrata (2006: 144). Danadibrata mencatat bahwa cituar adalah ‘cicelep nu warnana konéng pikeun nyelep kantéh bodas’ (air celupan yang berwarna kuning untuk mencelup benang putih). Noorduyn & Teeuw (2006) pun mendefinisikan nuwar sebagai mencelup dengan warna kuning. Kata dasarnya tidak ditemukan dalam kamus, tetapi sangat mungkin dari uwar, jika kita membandingkan dengan kata JwK ubar, di mana penggantian b dan w begitu lazim. Zoetmulder (1982, s.v. ubar) membubuhkan tanda * pada lema, yang berarti tidak ditemukan kata dasar yang berdiri sendiri dalam teks. Meski demikian, bentukan aktifnya, aṅubar, berarti ‘to make red (-hot), make glow; to dye red’. Christie (1993:207) juga mencatat bahwa di Jawa abad pertengahan, selain indigo dan mengkudu, kayu sepang, kayu laka, dan ‘kayu ubar’ (Euginia sp., Linn) disebut sebagai bahan pewarna. Di luar Jawa, misalnya dalam tradisi tenun Doyo dari Dayak, kayu uwar juga digunakan untuk menghasilkan warna coklat muda. Melihat konteks-konteks yang terdapat dalam Zoetmulder yang selalu dikaitkan dengan api, serta tradisi dari Dayak yang menghasilkan coklat muda, saya cenderung berkeyakinan bahwa ubar lebih menghasilkan warna kuning, mungkin kecoklatan, alih-alih merah.

Warna yang paling sering disebut adalah merah, yang dihasilkan melalui proses ñaṅkuduan. Ñaṅkuduan adalah bentuk aktif dari caṅkudu (Ind. mengkudu, JwK wuṅkuḍu, Morinda citrifolia, Linn.), yakni mewarnai dengan bahan mengkudu untuk menghasilkan warna merah. Bahan baku ini sangat lazim digunakan di Jawa abad pertengahan. Goris (1954) mencatat pencelupan dengan mengkudu di Bali sudah dimulai sejak abad ke-9. Berbagai jenis kain warna merah kiranya paling sering diproduksi. Warna merah juga dihasilkan dari kayu laka dan kayu sepang (SdM secang); dalam tradisi tenun Sunda pada awal abad ke-20, Gandola beureum (Badela rubra L) juga dicatat oleh Pleyte (1912) sebagai bahan pewarna merah.

Melalui baris puisi ini kita mendapatkan gambaran bahwa warna yang lazim digunakan untuk mencelup kain adalah hitam (atau mungkin biru kehitaman, indigo), kuning, dan merah. Terhadap ketiga warna ini kita harus menambahkan satu warna dasar yang tiada lain warna dasar kain sebelum diwarnai, yakni warna putih. Keempat warna dasar ini tidak terlepas dari konteks kosmologi keagamaan Śivais Melalui baris puisi ini kita mendapatkan gambaran bahwa warna yang lazim digunakan untuk mencelup kain adalah hitam (atau mungkin biru kehitaman, indigo), kuning, dan merah. Terhadap ketiga warna ini kita harus menambahkan satu warna dasar yang tiada lain warna dasar kain sebelum diwarnai, yakni warna putih. Keempat warna dasar ini tidak terlepas dari konteks kosmologi keagamaan Śivais

desa kabeh ṅaranya, purba, daksina, pasima, utara, madya; purba, timur, kahanan hyaṅ isora, putih rupanya; daksina, kidul, kahanan hyaṅ brahma, mirah rupanya; pasima, kulon kahanan hyaṅ mahadewa, kuniṅ rupanya; utara, lor, kahanan hyaṅ wisnu, hirəәṅ rupanya; madya, teṅah, kahanan hyaṅ siwah, aneka warna rupanya; ña mana sakitu saṅ hyaṅ wuku lima dina bwana.

Yang disebut semua penjuru: purba (baca: pūrwa), dakṣiṇa, pasima (baca: pacima), uttara, madhya. Pūrwa adalah timur, kediaman Dewa Iśora, warnanya putih. Dakṣiṇa adalah selatan, kediaman Hyang Brahmā, warnanya merah. Pacima adalah barat, kediaman Dewa Mahadewa, warnanya kuning. Uttara adalah utara, kediaman Dewa Wiṣṇu, warnanya hitam. Madhya berarti tengah, kediaman Dewa Śiwa, aneka warna penampilannya. Demikianlah yang disebut lima bagian suci (saṅ hyaṅ wuku lima) di jagat raya.

Empat warna ini berada dalam empat arah mata angin: putih di timur, merah di selatan, kuning di barat, dan hitam di utara. Di pusatnya, adalah aneka warna. Kosmologi serupa dapat ditemukan dalam Saṅ Hyaṅ Swawar Cinta, ketika pengarang menyebut asap dupa yang terbang ke lima penjuru, serta sebuah teks mantra Jampe Paṅlokatan.

Djajasoebrata (1988) menyebutkan bahwa keempat warna utama ini memiliki sifat simbolis, yakni sakral dan profan. Hitam dan kuning adalah warna profan, sementara merah dan putih adalah sakral. Penulis tidak dapat menelusuri bagaimana Djajasoebrata mendapatkan tafsir demikian, tetapi hipotesa ini rupanya sesuai dengan data dari teks-teks Sunda Kuna. Purwa dan daksina (timur jeung selatan), atau depan dan kanan, atau putih dan merah, termasuk dalam wilayah yang sakral; sementara bayabya (barat) dan utara, atau belakang dan kiri, kuning dan hitam, menempati wilayah profan.

Cukup beralasan apabila kita beranggapan bahwa kepercayaan orang Baduy menunjukkan kosmologi ini. Di wilayah ini, timur dan selatan adalah tempat yag sakral. Setiap tamu yang berkunjung harus masuk dari arah utara atau barat. Kuburan leluhur, arca-arca yang disucikan, hutan larangan, dan kampung Baduy dalam berada di wilayah paling selatan. Keyakinan terhadap pemisahan sakral dan profan di wilayah ini juga berlaku bagi warna, sebagai mana tampak dalam pakaian orang Baduy. Warna pakaian orang Baduy luar dan Baduy jero menunjukkan dua kutub ekstrim: putih digunakan oleh Baduy dalam, sementara hitam dipakai di Baduy luar. Patut ditambahkan bahwa Danadibrata (2006) menyebutkan bahwa di Baduy pun merah disebut siang, dan di wilayah tersebut kata ini tabu untuk diucapkan.

Selain empat warna utama, bukan berarti warna lain tidak disebut. Meski demikian, kedudukannya sekunder. Terdapat bentukan aktif ṅasumba, yang merujuk pada aktivitas mencelup kain dengan kasumba (Chartamus tinctorius) yang kiranya menghasilkan merah saffron atau merah muda. Warna jingga, warna gadung (hijau?) pada luṅsir, serta benang berwarna biru (kanteh biru) juga disebut.

Mistisisme tenun

Memahami tradisi tenun di Nusantara pada masa lalu tidak dapat dilepaskan dari unsur mistisisme yang melingkupinya. Hauser-Schäublin dkk. (1991:8) dalam bukunya yang berjudul Balinese Textiles bahkan menyebutkan bahwa di Bali, kain tenun “adalah medium yang mengekspresikan, dan dapat mengantar kita untuk mengenali, karakter ilahiah alam semesta dan segala manifestasinya” (are a medium through which the divine nature of the universe and its material manifestations are recognised and expressed). Gambaran yang kurang lebih sama kiranya terjadi di Sunda, paling tidak sampai abad ke-17, atau bahkan sampai sekarang, meski terbatas di beberapa wilayah yang mempraktekkan tenun tradisional. Kosmologis alam semesta dan dunia kedewian Sunda ini dapat dikenali melalui sebuah teks Sunda yang sangat istimewa, yang berjudul Kawih Paṅəәyəәkan (Nyanyian Bertenun), sebuah puisi Sunda Kuna yang ditulis paling akhir pada abad ke-17. Kawih ini kiranya memang dimaksudkan untuk dinyanyikan saat bertenun ‘pikawihəәn bwat ṅəәyəәk’ oleh kaum perempuan. Teks ini menjadi istimewa karena dapat menjadi bukti bahwa tradisi tulis di Sunda juga dinikmati oleh khalayak perempuan.

Gambar 1. Naskah L 407, Kawih Paṅəәyəәkan (koleksi Perpusnas)

Teks Kawih Paṅəәyəәkan memperlihatkan kuatnya aspek mistis dan simbolis dari aktivitas menenun. Salah satu ciri mencolok bahwa menenun termasuk dalam ritual keagamaan yang sakral adalah disebutnya parawantəәn dan kukus bersama dengan dewi-dewi yang bersemayam pada kedua benda tersebut. Parawanten adalah bahan- bahan sesajen, yang tidak dapat dipisahkan dengan kukus, asap dupa. Dewi yang mendiami parawanten adalah Manik Sari, Sari Déwata, dan Maya Hibar; sementara dewi yang bersemayam pada asap dupa adalah Banan Sakti. Selain itu, sebuah adegan ketika Raden Jayakĕliṅ menyuruh istrinya untuk membersihkan badannya dengan air dan mensucikan noda batinnya sebelum menenun (ruat mala) menguatkan anggapan ini. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa aktivitas menenun pada masa lalu merupakan ritual sakral yang melibatkan dunia atas.

Menurut mitos yang tertuang dalam Kawih Paṅəәyəәkan, tenun bermula sejak permulaan penciptaan semesta. Aci Déwata (yang berarti intisari Dewata), pemimpin para dewata, menyuruh para dewi bawahannya untuk mengisi dunia agar menjadi ramai dan lebih baik, sebab sebelumnya bumi masih melompong, belum ada air dan angkasa, belum ada cahaya di langit, serta awan belum tampak; semuanya bertebaran tanpa tempat. Itulah yang disebut asali yang bening. Para dewi, aksari, dan pwah aci turun dari kahyangan ke bumi dengan sukacita, tetapi mereka tidak ingin berlama- lama. Aci Dewata malah mempersilakan jika para dewi ingin berlama-lama di dunia. Ia memanggil sekitar 25 sosok perempuan surgawi (bəәtari, aksari dan pwah aci). Adik Aci Dewata, yakni Saṅ Hyaṅ Sri, mengajak semua dewi-dewi turun (kembali) ke bumi. Di tempat baru ini mereka bersenang-senang dan bercengkrama. Tempat para sosok perempuan surgawi bersemayam tersebut adalah hal yang berkaitan dengan tenun, Menurut mitos yang tertuang dalam Kawih Paṅəәyəәkan, tenun bermula sejak permulaan penciptaan semesta. Aci Déwata (yang berarti intisari Dewata), pemimpin para dewata, menyuruh para dewi bawahannya untuk mengisi dunia agar menjadi ramai dan lebih baik, sebab sebelumnya bumi masih melompong, belum ada air dan angkasa, belum ada cahaya di langit, serta awan belum tampak; semuanya bertebaran tanpa tempat. Itulah yang disebut asali yang bening. Para dewi, aksari, dan pwah aci turun dari kahyangan ke bumi dengan sukacita, tetapi mereka tidak ingin berlama- lama. Aci Dewata malah mempersilakan jika para dewi ingin berlama-lama di dunia. Ia memanggil sekitar 25 sosok perempuan surgawi (bəәtari, aksari dan pwah aci). Adik Aci Dewata, yakni Saṅ Hyaṅ Sri, mengajak semua dewi-dewi turun (kembali) ke bumi. Di tempat baru ini mereka bersenang-senang dan bercengkrama. Tempat para sosok perempuan surgawi bersemayam tersebut adalah hal yang berkaitan dengan tenun,

Melalui kisah ini, pembaca mendapati sejenis mitos ‘feminin’ penciptaan alam semesta. Seorang sosok perempuan langitan yang menjadi awal dan hakikat terjadinya sesuatu adalah Saṅ Hyaṅ Sri. Ialah Dewi utama yang menjadi la raison d’être ‘alasan menjadi’ bagi segala kehidupan di dunia, termasuk praktek menenun. Tempatnya di kahyangan bernama Buṅawari (SD.59), tempat teratas dalam kosmologi para Dewi. Secara semantis, kata buṅa wari menarik karena kata ini, menurut SSMG, menjadi bahan baku pembuatan kain.

Saṅ Hyaṅ Sri dan para pendampingnya yang kesemuanya perempuan, merepresentasikan makrokosmos. Mereka semua bermanifestasi dalam perkakas tenun yang digunakan juga secara eksklusif oleh kaum perempuan dan diri penenun sebagai mikrokosmos. Dengan kata lain, proses perwujudan makrokosmos (dunia kedewian) ke dalam mikrokosmos (penenun) melalui ritual menenun telah dipraktekkan oleh kaum perempuan Sunda dalam praktek kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini kiranya berlangsung hingga hari ini di Kanekes, di mana kegiatan menenun dianggap sebagai bagian dari praktek bertapa, atau tapa di nagara.

Terkait dengan ritual bertapa untuk mencapai mokṣa, suara orang yang menenun menjadi sebuah pertanda. Dalam Kaputusan Sang Hyang (2.6-3.7) 18 , misalnya, dijelaskan bahwa waktu paripurna dalam melaksanakan tapa adalah tujuh tahun. Tanda-tandanya jika terdengar suara lebah atau tawon, berarti sisa waktunya bertapa tujuh tahun. Jika mendengar suara orang menenun, waktu yang tersisa tinggal tiga tahun, dan jika suara orang yang menenun itu semakin dekat, maka sisa waktu bertapanya hanya satu tahun lagi.

ini pake ñəәəәṅ na patəәṅəәran nu siya guna tapa, kadeṅe sada seeṅ saheṅ, sada odeṅ pindah, tujuh tahun dəәi pulaṅ; ka dəәkəәtna, lima tahun dəәi pulaṅ; kadeṅe sada kəәtig, sada kəәtug, təәlu kali, lima tahun dəәi pulaṅ; ka dəәkəәtna tilu tahun dəәi pulaṅ; kadeṅe sada nu nəәpa, sada nu ṅawih, tilu tahun dəәi pulaṅ, ka dəәkəәtna satahun dəәi pulaṅ.

Gunakan [petunjuk] ini untuk melihat tanda bagi seseorang yang bertapa: terdengar suara dangdang berisik, suara lebah berpindah, tujuh tahun lagi berpulang (moksa); semakin dekat [suaranya], lima tahun lagi berpulang; terdengar suara ketukan dan detak tiga kali, lima tahun lagi berpulang, semakin dekat [suaranya] tiga tahun lagi berpulang; terdengar suara orang menenun, orang bersenandung, tiga tahun lagi berpulang, semakin dekat [suaranya], setahun lagi berpulang.

Jika dalam teks-teks lain yang bersifat maskulin, seperti Pituturniṅ Janma (Cod. L 610, naskah Perpusnas), para dewata menempati bagian tubuh laki-laki, dalam Kawih Paṅəәyəәkan yang feminin, dewa-dewa tersebut digantikan oleh Bəәtari, Pwah Aci, Pwah Sari dan Aksari yang menempati bagian tubuh perempuan (disebutkan rahim dan air susu). Menariknya, nama depan setiap dewi diawali dengan nama depan Prəәtiwi (bumi) yang dalam tradisi Veda selalu diasosiasikan sebagai feminin (lihat tabel 1 di bawah).

18 Naskah Peti 89 no 280. Naskah ini adalah salinan dalam huruf Latin yang dilakukan Holle atas naskah Ciburuy No.8. Naskah induknya, yang dapat dipastikan berbahasa Sunda Kuna, belum

teridentifikasi baik dalam koleksi Perpusnas maupun Ciburuy.

Tabel. 1. Dewi-dewi dan tempatnya pada tubuh perempuan

No Nama

Tempatnya pada tubuh

1 Prəәtiwi Tamba Kanda

Wajah

2 Prəәtiwi Dasar Jati

Telapak kaki

3 Prəәtiwi _ _ _ 19 Air susu

4 Prəәtiwi Yuga Bwana

Rahim kanan

5 Prəәtiwi Yuga Akasa

Rahim kiri

Pupusuh

6 Prəәtiwi Mutiya Cita

7 Prəәtiwi Ləәṅis Jati

Ujung Rambut

8 Prəәtiwi Harempoy Jati

Raunan (tulang)?

9 Prəәtiwi Hirəәt Jati

Biji mata

10 Prəәtiwi Hinəәs Jati

Kelopak mata

11 Prəәtiwi Mukadandana

Mantungan?

Dalam teks ini juga teridentifikasi sekitar 43 nama Bəәtari, Pwah Aci, atau Aksari yang bersemayam pada bahan baku dan kain tenun. Terkadang pertalian antara nama- nama makhluk kahyangan dengan tempat bersemayamnya dapat mudah dipahami, tetapi banyak juga nama-nama tersebut seolah arbitrer. Nama Pohaci Tuñjuṅ Maṅbaṅ (Teratai Merah) misalnya, secara metafora terkait dengan kain merah, Cita Putih terkait dengan kain berwarna putih, Nila Kəәliṅ diasosiasikan dengan kain hitam.

Tabel 2. Pohaci dan tempat bersemayamnya dalam bahan & kain tenun

No Nama pohaci/aksari

Pohaci/Aksari

bersemayam

1 Naga Susupan

Benang pakan

24 Aci Sakti

Kain kuning (tuar)

2 Tuñjuṅ Putih

Pohon kapas

25 Riṅgit Sari

Benang ulur

26 Maya Aci Desa 27 Maya Reka

3 Tuñjuṅ Manik

Buah Kapas

28 Gagana Jati

Kain lungsir hijau

29 Pwah Sari Aci

4 Saṅ Hyaṅ Jipaṅ

Kapuk

30 Aci Wisesa

Kain lungsir kuning

Lungsir warna 6 Tuñjuṅ Putih

5 Cita Manik

Benang (kanteh)

31 Sari Aci Rupu

lain 7 Maya Sri Seda 8 Naga Wana 9 Cita Manik

Tangan kiri 10 Cita Putih

Kain putih

32 Cita Manik

33 Saṅ Hyaṅ Sri

11 Tuñjuṅ Maṅbaṅ

Sunya Larang 12 Mangbaṅ Siaṅ 13 Mabar Sari 14 Sahipəәs Jati

Kain merah

34 Cita Hantəә

penyelup warna 15 Nila Kəәliṅ

Kain hitam

35 Hurip Jati

(nu molah) 16 Kəәmbaṅ Wisesa 17 Tuñjuṅ Kuniṅ

Kain kuning

36 Harəәnaṅ Harəәniṅ

Penenun (nu

ṅ gəәyəәk) 18 Cəәntəә Rupa

37 Leṅgaṅ Manik

Kain lungsir putih 19 Cida Sari

Kain təәrəәs (yang

38 Aci Wisesa

sedang dicelup?)

20 Tuñjuṅ Biru

Kain biru

39 Aci Mirah

Kain lungsir merah

21 Sarba Mayaṅ

Kain aneka

40 Naga Laṅgusar

Kain tenun

19 Tiga aksara hilang dalam naskah dan tidak dapat direkonstruksi.

22 Sarba Endah

Benang Pakan 23 Sarba Laraṅ

warna

41 Naga Ləәnditan

42 Naga Mapwaday

Tingkes

43 Naga Marəәdaya