TIM KAJIAN

18 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. Profil Lingkungan Umum Wilayah Studi

A. PANTAI BARAT NAD

1. Geografi

Pantai Barat Aceh adalah wilayah pantai disisi Barat dari propinsi NAD yang yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, membentang mulai dari Banda Aceh sampai dengan Daerah Singkil di perbatasan propinsi Sumatara Utara. Sebagian besar lokasi kegiatan Green Coast dilakukan di wilayah pantai barat. Hal ini berkaitan dengan sangat parahnya dampak dari bencana Tsunami di wilayah ini, yang secara geografis posisinya berhadapan langsung dengan titik awal gempa.

Ada 7 lokasi survey di wilayah Pantai Barat yang tercakup dalam kegiatan ini, meliputi 3 Kecamatan yaitu:

• Desa Pulot di wilayah Aceh Besar • Desa Suak Nie di wilayah Aceh Barat • Desa Ujong Drien di wilayah Aceh Barat • Desa Gle Jong di wilayah Aceh Jaya • Desa Ceunamprong di wilayah Aceh Jaya • Desa Keude Unga di wilayah Aceh Jaya • Desa Kreung Tunong di wilayah Aceh Jaya

Kawasan Aceh Besar dan Aceh Jaya dapat ditempuh melalui jalan darat, baik jalan lama maupun jalan yang baru dirintis. Sedangkan jalan rintisan Banda Aceh Meulaboh masih dalam keadaan rusak berat dan bahkan sama sekali tidak bisa dilewati pada musim hujan, alternatifnya adalah memutar sangat jauh melewati lintas tengah dan timur.

Dari Banda Aceh sampai ke Meulaboh daerahnya memiliki fisiografi datar 0 – 3%, bergelombang (3 – 8%), berbukit (8 - 15%) sampai berfisiografi bergunung (15 – 25%) dimana fisiografi tertinggi terdapat di daerah pengunungan Gerutee.

2. Profil Ekosistem Umum

Secara geologis, daerah kawasan pantai barat Aceh dan dapat dibagi menjadi dua yaitu Dataran Pantai Barat dan Daerah perbukitan Sumatra. Daerah perbukitan Sumatra adalah bagian dari kawasan pegunungan Bukit Barisan yang membentang dari Propinsi Aceh sampai dengan Propinsi Lampung. Karena fokus dari kegiatan ini adalah wilayah pesisir maka kajian dibatas pada wilayah Dataran Pantai Barat saja. Di Dataran Pantai Barat daerah pantainya dapat diklasifikasikan lagi menjadi dua daerah yang berbeda, yaitu daerah Dataran Rendah Pantai Bukit Barisan dan daerah Teluk Meulaboh (Meulaboh Embayment). Pengklasifikasian ini dilakukan berdasarkan perbedaan material, umur, kemiringan tanah, karakteristik tanah dan sistem dataran alluvial yang berbeda, dan adanya estuaria dan delta.

Secara administratif Dataran Pantai Barat sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya, meliputi Kecamatan-kecamatan Leupeung, Jaya, Sampoinet dan Setia Bakti. Sedangkan Kawasan Teluk Meulaboh sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya dan sebagian kecil di Aceh Jaya, meliputi kecamatan-kecamatan Krueng Sabee, Panga, Teunom, Arongan Lambalek, Samatiga, Johan Pahlawan, Meurebo dan Woyla Barat.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Sumber Peta: ETSP RAK 2006

Dataran Pantai Barat ditandai dengan adanya penonjolan lapisan Bukit Barisan yang tersusun dari berbagai materi dasar: batuan kapur, bukit dan pegunungan (di dekat daerah Leupung) dan dataran berbatu yang terletak di daerah terpencil (berasal dari endapan vulkanik lama) di dekat daerah Calang. Diantara daerah perbukitan ini, bukit kecil dan pegunungan diselingi dengan dataran alluvial di dasar lembah membentuk sistem sungai yang berkelok-kelok. Area dataran pantai cukup luas, terdiri dari hamparan dataran pantai sempit dan drainase dengan tanah berpasir yang terletak diantara bukit. Potensi pertanian di daerah ini masih rendah bila dibandingkan dengan dataran alluvial dan laut yang terletak di pantai utara Aceh.

Dampak yang ditimbulkan oleh tsunami sangat berat di daerah ini, namun agak berbeda dibandingkan dengan daerah lain karena karakteristik wilayahnya. Kerusakan paling parah terjadi pada saat gelombang tsunami kembali ke laut, menyebabkan terbentuknya selokan dan badanbadan air yang terbuka. Sebagian besar lahan yang dapat ditanami mengalami kerusakan dan timbunan pasir memenuhi tambak serta area persawahan. Selokan-selokan dan badan air yang terbentuk memperlambat proses rehabilitasi dan rekonstruksi jalan di daerah yang dapat ditanami.

20 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Lahan yang masih dapat ditanami disepanjang pantai dipisahkan oleh bukit-bukit terjal, namun kualitas tanah semakin memburuk akibat tsunami. Tanah lapisan atas dan bahan organik terkikis, selokan-selokan besar terbentuk dan di beberapa tempat terdapat timbunan pasir. Air laut yang terkurung di beberapa tempat karena sapuan ombak dan endapan, menyebabkan beberapa tanaman buah-buahan musnah. Beberapa area yang masih dapat ditanami terdapat di beberapa lokasi baru (di daerah Mata Ie), namun masih belum ditanami. Sebelum area ini kembali produktif, rehabilitasi infrastruktur harus diselesaikan terlebih dahulu.

Untuk kawasan Teluk Meulaboh, daerah ini dapat dicirikan sebagai daerah batas pantai berombak dengan hambatan pada sungai-sungai yang berliku dan dataran rawa (membentuk danau di pinggir laut). Di dekat daerah Calang, kedalaman teluk mencapai 100 meter, sementara di daerah yang lebih dekat dengan Meulaboh diperkirakan 2,000 meter. Aliran pantai saat ini menimbulkan pemandangan yang menakjubkan dimana sapuan ombak membawa berton-ton materi pasir di sepanjang pantai. Saat tsunami, daerah ini mengalami kerusakan: endapan dan tumpukan material masih belum seimbang dan daerah estuaria mengalami perubahan bentuk. Lereng sungai menjadi rendah dan endapan menjadi lambat dikarenakan dataran alluvial yang terdapat di daerah teluk menjadi sangat datar. Hal ini mengakibatkan sistem sungai menghasilkan energi yang rendah dan tidak membentuk bendungan yang tinggi sehingga cenderung menyebabkan banjir.

Kemampuan pertanian di daerah dataran rendah ini ditentukan terutama oleh dataran alluvial yang produktif yang mengalir ke laut. Kebun-kebun campuran terbentuk di daerah bendungan dan ditanami dengan bermacam jenis tanaman musiman dan tanaman tahunan. Terkadang terdapat area perkebunan kecil, atau daerah sawah yang terdapat di daerah yang lebih rendah (sehingga membentuk daerah berbentuk seperti tapal kuda). Daerah-daerah rawa yang terletak lebih rendah serta dataran banjir digunakan sebagai sawah tadah hujan dan diikuti dengan penanaman tanaman sekunder. Dataran alluvial yang terkena tsunami ini hanya daerah yang berada di dekat pantai dekat estuaria. Namun, di sebagian besar area salinitas yang tinggi dan kurangnya drainase masih menjadi hambatan terbesar dalam proses rehabilitasi pertanian sehingga diperlukan analisis detil dan pilihan drainase yang tepat.

Dataran banjir dan bekas rawa pasang-surut dibelakang batas pantai secara berangsur-angsur bergabung menjadi daerah rawa termasuk hutan gambut dan gundukan gambut. Di beberapa tempat, daerah pinggiran kubah gambut ini dihilangkan, dikeringkan dan ditanami; tanpa penanganan yang tepat, hal ini tidak dapat mendukung pertumbuhan dan malah akan mengarah pada keadaan menyerupai gurun (desertifikasi). Diperlukan sebuah pendekatan yang terintegrasi di daerah rawa ini yang termasuk dalam perencanaan fisik pembangunan kota.

Dataran pantai dan saluran drainase yang bergerak paralel di sepanjang garis pantai penting dalam pertanian, walaupun tidak seperti dataran alluvial. Dua jenis pengembangan kelautan yaitu: sistem lama (penanaman di daerah daratan), dan sistem baru (penanaman di daerah dekat pantai). Daerah yang menggunakan sistem lama berpotensi tinggi untuk penanaman tanaman tadah hujan karena komposisi tanah yang padat dan kering. Kacang tanah, ubi-ubian, semangka, kacang panjang, sayur- sayuran, dll dapat tumbuh di daerah ini. Semua dataran pantai yang memiliki salinitas tinggi harus ditanami dengan tanaman kelapa dan cemara laut untuk perlindungan daerah pantai, perbaikan mata pencaharian dan alasan keindahan. Daerah dataran lebih lanjut merupakan lahan yang lebih baik dan telah digunakan sebagai daerah pemukiman selama berabad-abad.

3. Iklim

Menurut klasifikasi Oldeman, sebagian besar kawasan pantai barat Aceh termasuk dalam kategori A yaitu iklim dengan bulan basah lebih dari 9 dan bulan kering kurang dari 2. Kecuali di sekitar Lho Nga, iklim di sekitar tempat tersebut termasuk kategori B1 dengan bulan basah 7-9 dan bulan kering kurang dari 2. Kelembaban rata-rata tinggi (80 -90%) dengan variasi temperature harian yang kecil antara 25 -27 ◦C.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 2. Zonasi curah hujan di Aceh

Menurut Schmidt and Fergusson (1951), wilayah pantai barat termasuk dalam Tipe hujan A (basah) dengan nilai Q= 0 %. Menurut sistem klasifikasi Oldeman (1975), wilayah penelitian tergolong Zona A, yaitu wilayah yang mempunyai bulan basah (>200 mm) selama > 10 bulan dan tanpa bulan kering (<

60 mm) yang nyata. Pada Peta agroklimat yang disusun Oldeman et al., (1975) wilayah penelitian termasuk zona A. Menurut KOPPEN (dalam Schmidt and Fergusson, 1951) wilayah penelitian digolongkan ke dalam tipe iklim A, yaitu iklim hujan tropis (Tropical rainy climate), mempunyai suhu

bulan terdingin > 18 o

C. dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3.044 mm.

0 0 Fluktuasi temperatur udara rata-rata antara 25.5 0 C - 26.3 C dengan rata-rata tahunan 25.8 C. Temperatur udara tertinggi terjadi pada April dan terendah terjadi pada bulan Agustus, Nopember dan

Desember. Fluktuasi kelembaban udara berkisar antara 88.8 % sampai 91.0 % dengan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan September dan Desember dan terendah pada bulan Januari.

Tabel 6. Data iklim (Temperatur, Curah hujan, Hari hujan dan Kelembaban) Pada stasiun Melaboh, Aceh. (2000-2004 ).

Unsur Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nop Des Tahunan

3.044 Temp ( o

CH (mm)

22 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 3. Grafik Curah Hujan di Melaboh dan sekitarnya

B. PANTAI UTARA NAD

1. Geografi

Pantai Utara NAD meliputi wilayah sekitar kota Banda Aceh dan sekitar kota Lhokseumawe. Untuk wilayah sekitar Banda Aceh kegiatan dilakukan di beberapa desa di Kabupaten Aceh Besar, yaitu:

1. Desa Kajhu

2. Desa Gampong Baru

3. Desa Lam Ujong

4. Dea Paya Kameng Wilayah Kabupaten Aceh Besar pada sisi barat dibatasi oleh Samudra Hindia, di timurnya oleh Selat

Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pidie dan Teluk Benggala disisi utaranya. Ke empat desa yang menjadi objek penelitian letaknya relatif dekat dengan Kota Banda Aceh, dengan kendaraan bermotor hanya dibutuhkan waktu 30-60 menit dari kota Banda Aceh untuk mencapai lokasi terjauh (desa Paya Kameng). Akses jalan sangat baik sekali karena relatif tidak terganggu ketika terjadi Tsunami. Kedekatan posisi dan kemudahan akses ke kota Banda Aceh mempengaruhi tingkat pembangunan dan okupasi lahan di wilayah Kabupaten Aceh Besar terutama di kecamatan Baitussalam. Hampir setiap jengkal lahan telah dimanfaatkan oleh manusia baik untuk lahan pemukiman maupun lahan budidaya terutama tambak.

Walaupun berada disisi timur dr propinsi NAD, besar dan kuatnya hempasan ombak Tsunami menyebabkan banyak desa di wilayah pesisir timur ikut hancur temasuk kota Banda Aceh sendiri.

Untuk wilayah sekitar kota Lhokseumawe, kegiatan Green Coast II dilakukan di dua lokasi:

1. Desa Keude Aceh

2. Desa Jambo Timu Desa Keude Aceh terletak di wilayah kota Lhokseumawe yang merupakan pemekaran dari Kecamatan

Aceh Utara, tepatnya di wilayah Teluk Pusong yang merupakan kawasan muara dan dataran lumpur di sisi pantai kota. Kota Lhokseumawe sendiri merupakan kota industri karena ada beberapa instalasi gas

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Karena langsung berhadapan dengan laut maka mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah Aceh Utara ini berprofesi di bidang perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya.

2. Profil Ekosistem Umum

Desa-desa di wilayah pantai timur ini sebagian besar merupakan kawasan mangrove yang dikonversi menjadi tambak. Proses konversi kemungkinan sudah berlangsung lama jauh sebelum terjadi bencana Tsunami. Tambak-tambak banyak menjadi terbengkalai ketika terjadi wabah penyakit pada udang-udang yang dipelihara. Pola budidaya masyarakat yang sering mengikuti arus bidang usaha apa yang paling berprospek, menimbulkan besarnya tekanan terhadap konversi kawasan pesisir.

Secara geologis wilayah Aceh Utara termasuk kedalam wilayah Delta Krueng Aceh yang merupakan zona pantai di Dataran Rendah. alluvial dan membentuk danau pinggir laut di belakang perbatasan garis pantai sempit yang dulunya digunakan sebagai pelindung.Tanah di daerah dataran rendah terdiri dari lempung sungai dan laut hingga deposit tanah liat, dan sebelum tsunami tanah ini sangat produktif untuk ditanami. Daerah pantai di dataran rendah ini dikelilingi oleh pegunungan (primer dan sekunder) dan perbukitan yang merupakan bagian dari Bukit Barisan. Bukit-bukit curam di beberapa tempat tertutup, walaupun terdapat beberapa ladang namun daerah ini tidak sesuai untuk pertanian. Selain itu terdapat potensi tanah yang tercemar dengan asam sulfat dan memiliki salinitas tinggi di daerah yang dulunya merupakan dataranalluvial dan cekungan oxbow.

Dampak yang ditimbulkan oleh tsunami sangat buruk di daerah pantai, menghancurkan sebagian besar bukit-bukit pantai, kolam-kolam ikan dan tambak, serta sebagian besar dataran pantai - alluvial. Drainase air laut dan air bersih menjadi masalah karena aliran air yang terbentuk secara alami telah terbendung. Dapat dibayangkan hal ini dapat menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang.

Dataran rendah Krueng Aceh memiliki potensi untuk tanaman tahunan dan musiman, serta tanaman buah-buahan dan sayuran di sekitar kebun rumah. Selain itu tambak atau kolam-kolam ikan juga dapat digunakan untuk budi daya udang windu dan kepiting.

3. Iklim

Data iklim untuk daerah lokasi Banda Aceh dan Aceh besar diambil dari stasiun Blang Bintang Banda Aceh selama 5 tahun dari tahun 2000 sampai 2004. Data iklim yang tercatat teridiri dari curah hujan, suhu udara dan kelembaban.

Berdasarkan data iklim, lokasi penelitian menurut Schmidt and Fergusson (1951) termasuk dalam Tipe hujan C (agak basah) dengan nilai Q= 0.4%, sedangkan menurut sistem klasifikasi Oldeman (1975) tergolong Zona E, yaitu wilayah yang mempunyai bulan basah (>200 mm) selama < 3 bulan dan bulan kering (< 100 mm) secara berturut-tureu selama 5 bulan dan pada Peta zone agroklimat menurut Oldeman et al., (1975) termasuk zona E2. KOPPEN (dalam Schmidt and Fergoson, 1951) menggolongkan lokasi penelitian kedalam tipe iklim A, yaitu iklim hujan tropis (Tropical rainy climate),

mempunyai suhu bulan terdingin > 18 o C.

24 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

0 0 Flukuasi temperatur udara rata-tata antara 26 0 C - 27.6 C dengan rata-rata tahunan 26.8 C. Temperatur udara tertinggi terjadi pada Agustus dan terendah terjadi pada bulan Januari. Sedangkan

Fluktuasi kelembaban udara berkisar antara 73.2 % sampai 86.4 % dengan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Desember dan terendah pada bulan Agustus.

Tabel 7. Data iklim (Temperatur, Curah hujan, Hari hujan dan Kelembaban) Pada stasiun Blang Bintang Banda Aceh, (2000-2005 ).

Kelembaban Bulan

0 Curah Hujan

Temperatur ( C)

mm HH

Januari 26.0 168.2 16 84.9

Februari 26.3 86.4 8 82.3 Maret 26.6 120.6 13 82.3 April 27.5 73.5 13 83.0 Mei 27.5 98.3 13 78.7 Juni 27.6 83.6 10 76.8 Juli 27.4 50.3 10 76.0

Agustus 27.6 43.9 9 73.2 September 26.6 90.2 15 80.0

Oktober 26.3 229.7 16 81.7

Nopember 26.1 243.6 17 86.4 Desember 26.0 191.4 15 85.2

Rata-rata 26.8 1479.5 154 80.9

Curah hujan 50

Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nov Des

Gambar 4. Grafik Curah Hujan di Aceh Besar dan Banda Aceh

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

C. PULAU WEH

1. Geografi

Pulau Weh merupakan pulau terluar di ujung barat di wilayah administratif Republik Indonesia, berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia, Thailand dan India. Pulau Weh memiliki

luas sebesar 121 km 2. Pulau Weh dikelilingi oleh Selat Malaka di Utara, Samudera Hindia di Selatan, Selat Malaka di Timur dan Samudera Hindia di Barat. Secara administratif Pulau Weh merupakan

bagian dari Kota Sabang . Wilayah Kota Sabang di Pulau Weh, terbagi menjadi dua buah kecamatan yaitu Sukakarya dan

Sukajaya. Kecamatan Sukajaya terdiri dari 10 kelurahan, yaitu Kelurahan Paya, Keuneukai, Beurawang, Jaboi, Balohan, Cot Abeuk, Cot Ba'u, Anoi Itam, Ujong Kareung, dan Ie Meulee. Sedangkan di Kecamatan Sukakarya terdapat 8 kelurahan, yaitu Kelurahan Iboih, Batee Shok, Paya Seunara, Krueng Raya, Aneuk Laot, Kota Bawah Timur, Kota Bawah Barat, dan Kota Atas.

Kota Sabang mempunyai jumlah penduduk 26.505 jiwa, yang terdiri dari 13.579 Laki-laki dan 12.926 Perempuan. Pada kecamatan Sukajaya terdapat 12.348 jiwa, yang terdiri dari 6.385 Laki-laki dan 5.963 Perempuan. Sedangkan pada kecamatan Sukakarya terdapat 7.194 Laki-laki dan 6.963 Perempuan, sehingga total penduduk pada kecamatan ini 14.157 jiwa. (BPS, 2003).

Di wilayah Kota Sabang, terdapat beberapa kelompok etnis dimana antara satu dan yang lainnya tidak jauh berbeda baik dalam kehidupan maupun dalam berbahasa. Pola hidup pada umumnya memiliki kesamaan dengan pola hidup masyarakat Aceh di daratan.

Penduduk di wilayah ini pada umumnya bermata pencaharian dalam bidang Pertanian dan Perikanan. Kemudian diikuti dengan Buruh, Perdagangan, Jasa, Angkutan, Pegawai, dan lainnya.

Kota Sabang yang telah dikenal luas sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1881. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Sabang menjadi pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah, semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965 dan dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas. Era baru untuk Sabang dimulai , ketika pada tahun 2000 terjadi Pencanangan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas . Aktifitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang pada tahun 2002 mulai berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke Kawasan Sabang. Tetapi pada tahun 2004 aktifitas ini terhenti karena Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer.

Sabang juga mengalami Gempa dan Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, namun karena palung-palung di Teluk Sabang yang sangat dalam mengakibatkan Sabang selamat dari tsunami. Sehingga kemudian Sabang dijadikan sebagai tempat transit Udara dan Laut yang membawa bantuan untuk korban tsunami di daratan Aceh. Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias menetapkan Sabang sebagai tempat transit untuk pengiriman material kontruksi dan lainnya yang akan dipergunakan di daratan Aceh.

Di Pulau Weh terdapat sebuah danau air tawar bernama Aneuk Laot. Kegiatan Green Coast di Pulau Weh di pusatkan di empat lokasi Iboih, Teupi Layeun, Lham Nibung

dan Anoi Itam. Tiga lokasi yaitu Iboih, Teupi Layeun, Lham Nibung berada di bagian barat P. Weh sedangkan Anoi Itam berada di bagian timur.

26 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Profil Ekosistem Umum

Karakteristik topografi Pulau Weh umumnya bergelombang s/d curam dengan gunung tertinggi Gunung Iboih (480 mdpl). Jenis tanah terdiri dari alluvial dengan solum tanah yang dangkal (4-15 cm) dan drainase umumnya jelek. Topografis wilayah secara umum terbagi menjadi 3% dataran rendah, 10% dataran bergelombang, 35% berbukit, dan 52% berbukit sampai bergunung.

Pulau Weh merupakan sebuah pulau vulkanik, sebuah pulau atol (pulau karang) yang proses terjadinya mengalami pengangkatan dari permukaan laut. Proses terjadinya dalam tiga tahapan, terbukti dari adanya tiga teras yang terletak pada ketinggian yang berbeda.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Umumnya Pulau Weh terdiri atas dua jenis batuan, yaitu tuf marina dan batuan inti. Tuf marina dijumpai hampir sepanjang pantai sampai pada ketinggian 40 sampai 50 meter. Lapisan tuf yang terlebar didapat di sekitar kota Sabang, di bagian pantai berlapis sempit. Batuan sempit adalah batuan vulkanik yang bersifat andesitik.

Berdasarkan wilayah, tampak bahwa wilayah Barat pulau Weh terdapat topografi paling berat. Mulai dari Sarong Kris sebagai puncak tertinggi di sebelah Timur, terdapat tiga barisan punggung yang berjolak menuju ke Barat Laut, sehingga lembah-lembah yang ada di antara punggung itu sempit.

Topografi di sebelah Timur terdapat sebuah pegunungan yang arahnya dari Utara ke Selatan yang memisahkan Pulau Weh Timur dengan bagian lainnya. Gunung Leumo Mate merupakan puncak yang tertinggi. Di bagian ini terdapat lapisan tuf marina yang lebih besar. Di antara bagian Barat dan Timur terdapat aliran dua buah sungai, yaitu Sungai Pria Laot dan Sungai Raya. Daerah ini merupakan sebuah slenk dari sebuah fleksun (patokan yang tidak sempurna).

3. Iklim

Pulau Weh mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan lazimnya jatuh pada bulan September sampai Pebruari. Musim kemarau pada bulan Maret hingga bulan Agustus. Menurut hasil pengukuran Stasiun Meteorologi Sabang, curah hujan yang tercatat rata-rata 1.745 - 2.232 mm/tahun, dengan angka terendah pada bulan Maret sebesar 18 mm dan angka tertinggi pada bulan September sebesar 276 mm. Pada bulan September dan Oktober terjadi peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan.

28 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

D. PULAU NIAS

1. Geografi

Pulau Nias yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatra merupakan bagian dari Provinsi Sumatra Utara. Secara administrative pulau Nias dibagi menjadi dua kabupaten: Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. Pulau Nias berjarak sekitar 85 mil laut ke barat dari kota Sibolga di pulau Sumatra. Wilayah kabupaten-kabupaten di Nias sendiri tidak terbatas hanya di Pulau Nias saja tetapi juga termasuk banyak pulau-pulau kecil disekelilingnya yang berjumlah 27 buah, akan tetapi yang dihuni manusia hanya 11 pulau.

Batas-batas Pulau Nias adalah sebagai berikut: • SebelahUtara: berbatasan dengan Pulau-pulau banyak Propinsi Aceh (NAD). • Sebelah Selatan: berbatasan dengan samudera Hindia • Sebelah Timur: berbatasan dengan Pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi

Sumatera Utara. • Sebelah Barat: berbatasa dengan Samudera Hindia.

Pulau Nias yang memiliki luas 5.625 km 2 berpenduduk sekitar 700.000 orang penduduk. Walaupun merupakan bagian dari Propinsi Sumatra Utara, Nias memiliki kebudayaan dan etnis tersendiri yang

unik dan berbeda. Namun demikian, selama ini suku-suku lain seperti Batak, Cina dan Melayu serta suku Nias asli dapat hidup harmonis di Pulau Nias. Masyarakat asli pulau Nias masih ada yang menerapkan pola kehidupan jaman megalitik. Nias terkenal dengan potensi wisatanya yang unik berupa keindahan alam, ombak yang tepat untuk berselancar, potensi karang yang indah untuk menyelam serta budaya tradisional seperti budaya lompat tinggi dan rumah panggunnya yang khas.

Sumber pendapatan Utama penduduk di Pulau Nias berupa tiga sector unggulan yaitu perikanan, kehutanan dan pariwisata.

2. Profil ekosistem umum

Dari sejarah geologisnya, Pulau Nias merupakan dasar laut yang terangkat menjadi daratan, seperti halnya pulau-pulau lain di gugus ini mulai dari Pulau Simeuleu sampai Enggano. Kondisi Pulau Nias saat ini yang terpisah dengan Sumatra karena adanya fenomena alam yang terjadi kurang lebih 70 juta tahun. Dimana terjadi proses tektonik di lempeng bumi Hindia kearah Asia daratan yang menyebabkan terjadinya patahan dalam dipantai Pulau Sumatra dan punggungan bukit curam di sisi darat dan lautnya. Punggungan sisi darat menjadi apa yang kita sebut pegunungan Bukit Barisan, sedangkan punggungan yang muncul di bagian laut menjadi gugusan-gugusan pulau termasuk Pulau Nias (Whitten et. Al, 1987). Proses pemisahan geografis ini yang menyebabkan komposisi flora dan fauna Pulau Nias berbeda dengan pulau Sumatra, termasuk penjelasan adanya jenis burung beo endemik nias. Isolasi geografis pulau seperti ini yang menyebabkan munculnya hayati-hayati unik di pulau Nias, dan menjelaskan juga mengapa satwa-satwa seperti harimau, gajah, tapir dan beruang tidak diketemukan di Nias. Hanya sayangnya informasi hayati di Pulau Nias masih sangat terbatas.

Sebagian besar topografi pulau Nias tergolong lahan dataran rendah dengan ketinggian maksimal mencapai 800 meter dpl. Tipe-tipe habitat Utama di pulau Nias adalah hutan dataran rendah, hutan rawa, hutan mangrove, pantai berpasir sampai terumbu karang. Dalam klasifikasi RePPProT, di pulau Nias ditemukan 3 sistem lahan Utama: system gunung-gunungan dan endapan pasir pantai (PTG), gunung-gunungan gampingan (ANB) dan rawa-rawa gambut Dangkal (MDW). 74% lahan di Pulau Nias berbentuk pegunungan dengan kemiringan curam sehingga sulit diakses. Sedangkan bagian dataran rendah relative lebih mudah diakses dengan topografi datar hingga berbukit. Tanah dibagian pantai juga lebih banyak mineralnya sehingga lebih cocok di jadikan lahan pertanian. Lahan gambut di

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Nias relative sedikit, dan saat ini kondisinya masih baik (Sumber ETSP-24, 2007). Untuk habitat mangrove, sebagian besar sudah mengalami gangguan dan konversi jauh sebelum terjadinya bencana gempa dan Tsunami, sebagian besar karena konversi menjadi tambak dan penebangan yang berlebihan. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (2005) menyebutkan bahwa hampir 80% kawasan mangrove asli (dari total 9.500 ha) telah rusak.

Pulau Nias tidak luput dari bencana gempa dan Tsunami besar yang terjadi pada 26 Desember 2004. Dampak dari gelombang Tsunami tidak terlalu besar di Pulau Nias, akan tetapi gempa bumi yang terjadi beberapa kali yang paling signifikan dirasakan dampaknya. Gempa pertama yang terjadi wilayah pantai barat pulau ini sehingga memunculkan tsunami setinggi 10 meter di daerah Sirombu dan Mandrehe. Korban jiwa akibat insiden ini berjumlah 122 jiwa dan ratusan keluarga kehilangan rumah. Baru pada gempa 28 Maret 2005, dimana peristiwa tersebut merupakan gempa bumi terkuat kedua di dunia sejak 1965. Sedikitnya 638 orang dilaporkan tewas, serta ratusan bangunan hancur. Hampir tidak ada bangunan perumahan rakyat di seluruh Pulau Nias yang tidak mengalami kerusakan akibat gempa itu.Menurut Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Perwakilan Nias, bencana telah menyebabkan 13.000 rumah rusak total, 24.000 rumah rusak berat, dan sekitar 34.000 rumah rusak ringan. Sebanyak 12 pelabuhan dan dermaga hancur, 403 jembatan rusak dan 800 km jalan kabupaten dan 266 km jalan provinsi hancur. Sebanyak 723 sekolah dan 1.938 tempat ibadah rusak.

3. Iklim

Menurut Schmidt and Fergusson (1951) wilayah Pulau Nias termasuk dalam Tipe hujan A (basah) dengan nilai Q= 0 %. Sedangkan menurut sistem klasifikasi Oldeman (1975) tergolong Zona A, yaitu wilayah yang mempunyai bulan basah (>100 mm) selama > 10 bulan dan tanpa bulan kering (< 60 mm) yang nyata. Pada peta zone agroklimat yang disusun oleh Oldeman et al., (1975) termasuk zona

A. Menurut KOPPEN (dalam Schmidt and Ferguson, 1951) wilayah penelitian digolongkan ke dalam tipe iklim A, yaitu iklim hujan tropis (Tropical rainy climate), mempunyai suhu bulan terdingin > 18 o C.

0 0 Fluktuasi temperatur udara rata-rata antara 25,5 0 C – 26,3 C dengan rata-rata tahunan 25,8 C. Temperatur udara tertinggi terjadi pada bulan Mei dan terendah terjadi pada bulan Agustus,

Nopember dan Desember. Fluktuasi kelembaban udara berkisar antara 88,8 % sampai 91,0 % dengan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan September dan Desember dan terendah pada bulan Januari.

Pulau Nias mempunyai curah hujan rata-rata tahunan 2.988 mm. Curah hujan maksimum rata-rata bulanan sebesar 354.8 mm yang jatuh pada bulan Nopember dan curah hujan minimum rata-rata bulanan sebesar 160.3 mm yang jatuh pada bulan Pebruari.

Tabel 8. Data iklim (Temperatur, Curah hujan, Hari hujan dan Kelembaban) pada stasiun Binaka Gunung sitoli (2000-2004 ).

0 Hujan

Penyinaran Kelembaban

Suhu ( C)

Bulan Matahari Udara

rata Max min Mm HH % %

30 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

0 Hujan

Penyinaran Kelembaban

Suhu ( C)

rata Max min Mm HH % %

Grafik Curah hujan tahunan selama 5 tahun (2000-2004) 400

Gambar 5. Grafik Curah Hujan di Pulau Nias dan sekitarnya

31

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

32 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

4. Profil Lingkungan Detail Lokasi Kegiatan Green Coast II

A. SUAK NIE

1. Profil Umum Lokasi

Secara administratif Desa Suak Nie merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat dengan batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Leuhan • Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Suak Raya • Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Samatiga

Rusak Berat Rusak Sedang

Rusak Ringan Tidak Rusak

Gambar 6.Peta Aceh barat dan Desa Suak Nie

Posisi desa yang berhadapan langsung dengan muara Samudera Hindia dan wilayah perbukitan dari Bukit Barisan menyebabkan sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan muara. Jenis tanah dominan gambut sangat mendukung aktivitas pertanian namun menyebabkan tidak kokohnya konstruksi jalan dan beberapa bangunan rumah.

Lokasi Suak Nie dan sekitarnya berada pada region Meulaboh embayment. Daerah tersebut sangat datar sehingga pada saat terjadi tsunami tahun 2004, air laut dapat mencapai jarak lebih dari 2 km dari pantai. Suak Nie merupakan daerah rawa-rawa dan bergambut dangkal/tipis. Lokasi Suak Nie, adalah satu-satunya lokasi proyek Green Coast 2 yang lahannya sebagian besar di dominasi oleh Lahan Gambut.

Perjalanan menuju desa Suak Nie dapat ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan kendaraan roda empat. Jarak dari Kota Meulaboh ke Suak Nie sekitar 20km ke arah Barat Laut atau satu jam perjalanan. Lokasi yang dilalui merupakan jalur utama lintas barat membuat desa dengan luas wilayah 1.400 m x 3.000 m ini dapat dikategorikan cepat mendapatkan bantuan respon tsunami terutama untuk bantuan rumah.

2. Tipologi Lahan Basah

Suak Nie merupakan daerah rawa air tawar bergambut dan pesisir pantai berpasir. Sebagian rawa bergambut telah diusahakan menjadi areal persawahan dan kebun karet. Di dekat pantai, rawa-rawa membentuk genangan yang lebih dalam dan ditumbuhi nipah. Dari genangan rawa-rawa ini bermuara saluran ke laut.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

34 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 7. Foto Udara situasi wilayah Suak Nie setelah Tsunami (Sumber ETSP 2005)

Ekositem lahan basah di Suak Nie meliputi:

E: Pantai berpasir Pantai berpasir di Suak Nie merupakan hamparan lahan yang sangat luas. Semula, kawasan

pemukiman dan fasilitas social lainnya termasuk jalan raya terdapat di sekitar pantai, pada jarak kurang lebih 500 m dari pantai. Sebelum tsunami, hampir seluruh aktifitas social masyarakat Desa Suak Nie terpusat di kawasan ini. Selain untuk pemukiman, lahan lahan di sekitar pemukiman banyak ditanami kelapa.

Rawa (U / I ) Agak sulit untuk menggolongkan secara spesifik hamparan rawa di sekitar Suak Nie karena

merupakan hamparan yang luas dan saling terhubung. Rawa di daerah Suak Nie terhampar mulai dari tepat di belakang pantai sampai jauh ke arah darat. Di bagian yang lebih ke arah darat terdapat lahan rawa gambut yang tidak berhutan (Non Forested Peatlands / U). Di daerah yang lebih ke arah hilir di dekat pantai dan sedikit terpengaruh oleh pasang surut dimana terdapat tumbuhan nipah dapat dikategorikan sebagai lahan basah pasang surut berhutan ( Intertidal Forested Wetlands / I). Diantara kedua lahan basah tersebut terdapat lahan-lahan pertanian yang rusak oleh tsunami dan sekarang menjadi rawa-rawa yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan rawa terutama jenis-jenis dari familia Cyperaceae.

3. Profil Vegetasi

Kondisi lingkungan di pesisir desa Suak Nie berbeda dengan lokasi-lokasi proyek GC lainnya. Ekosistem pesisir di desa ini terbentuk oleh beberapa tipologi lahan yang berbeda yaitu pantai berpasir, rawa mangrove, dan lahan gambut. Perbedaan ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap vegetasi yang tumbuh diatasnya, baik komposisi maupun keanekaragamannya. Berdasarkan observasi di lapangan, setidaknya terdapat 6 tipe vegetasi di pesisir desa Suak Nie yaitu Formasi Pes-caprae, tegakan mangrove sekunder, vegetasi rawa air tawar, kebun masyarakat, semak belukar, dan vegetasi di sekitar desa. Secara sederhana, keenam tipe vegetasi ini dapat diilustrasikan melalui gambar 1 di bawah ini.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 1. Penampang melintang profil vegetasi di desa Suak Nie

Keterangan:

A : Kebun kelapa terdegradasi dan Formasi Ipomea Pes Caprae B : Tegakan mangrove sisa C : Vegetasi rawa D : Kebun Masyarakat E : Semak belukar F : Vegetasi sekitar desa

Uraian di bawah ini adalah penjelasan detail mengenai masing-masing tipe vegetasi yang ada di desa Suak Nie, dimulai dari pantai ke pedalaman..

1. Formasi Pescaprae (PC) Formasi ini didominasi oleh herba katang-katang Ipomoea pescaprae (nama lokal: tapak kuda) yang

membentuk suatu lapisan tipis yang terhampar di sepanjang pantai berpasir secara sporadis. Sebelumnya, areal ini merupakan kebun kelapa milik masyarakat yang hancur dihantam gelombang Tsunami. Sisa-sisa pohon kelapa baik yang masih bertahan hidup maupun yang mati dengan mudah dijumpai di sepanjang pantai.

Gambar 8. Sisa-sia batang pohon kelapa yang mati diterjang Tsunami

Saat survey dilakukan, kerapatan formasi PC ini masih sangat rendah dan miskin atas keanekaragaman hayati. Hal ini dikarenakan oleh kondisi pantai berpasir yang masih sangat labil. Angin yang bertiup keras menyebabkan erosi angin sehingga membuat pantai menjadi sangat labil. Pada kondisi ini, hanya sedikit jenis tumbuhan (herba katang-katang dan sedikit jenis pionir lainnya) yang mampu beradaptasi dan tumbuh pada kondisi ini. Berdasarkan pengamatan, koloni Ipomea ini selalu berada pada substrat yang telah relatif stabil. Semakin lama, koloni ini akan semakin bertambah besar. Semakin rapat dan tinggi penutupannya maka kondisi lingkungan akan menjadi lebih kondusif dan membuka peluang bagi jenis tumbuhan lain untuk dapat tumbuh dan berkembang. Berdasarkan observasi di lpangan, beberapa jensi tumbuhan lain yang juga dijumpai walaupun dalam jumlah yang sangat terbatas terutama teki laut Ischaemum muticum dan Fimbristylis cymosa.

36 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 9. Formasi Pes-caprae terhampar di sepanjang pantai berpasir

2. Tegakan mangrove sekunder Di belakang formasi Pescaprae, dijumpai tegakan mangrove yang hidup di beberapa bagian secara

sporadis. Mangrove yang dijumpai ini adalah yang tersisa dan mampu bertahan setelah terhantam gelombang Tsunami. Sementara itu, tegakan lainnya hancur dihantam gelombang tsunami pada tahun 2004 lalu. Atas dasar hal inilah maka tipe vegetasi ini disebut dengan tegakan mangrove sekunder. Dalam hal ini, kata ”sekunder” mengacu pada kondisi yang telah mengalami gangguan/kerusakan.

Gambar 10. Pohon kayu kuda dan nipah yang mengalami kerusakan parah

karena dihantam gelombang Tsunami

Tegakan sisa mangrove ini tumbuh di atas substrat lumpur berpasir di sekitar rawa. Sebelum tsunami, lokasi ini merupakan bagian dari muara. Namun timbunan pasir yang terbawa oleh tsunami telah menutup akses muara ini ke laut sehingga masukan air asin terputus. Tegakan mangrove ini hanya berupa koloni-koloni kecil dan hanya tersebar di beberapa lokasi yang terbatas. Dari observasi lapangan, setidaknya terdapat lima (5) jenis mangrove yang dijumpai di sekitar lokasi ini yaitu kayu kuda Dolicandrone spathacea, Nipah Nypa fruticans, Buta-buta Excoecaria agallocha, piai Achrosticum aureum dan. Di antara pepohonan, banyak sekali dijumpai herba merambat terutama Derris trifoliata, Sarcolobus globosa, dan Passiflora feoteda.

Gambar 11. Sisa tegakan mangrove yang tersisa di pesisir Desa Suak Nie

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. Vegetasi rawa Masih dalam satu hamparan yang sama dengan tegakan mangrove, suatu ekosistem rawa di jumpai

dengan bentuk memanjang mengikuti garis pantai. Dari vegetasi yang ada disekelilingnya, diduga bahwa kondisi ar di rawa ini lebih mengarahp pda kondisi tawar. Pada tepi rawa, penutupan didominasi oleh perumpung Praghmites karka yang tumbuh mengkuti tepi rawa. Dominasi jenis ini sangat tinggi dan cenderung menghambat jenis tumbuhan lain untuk tumbuh. Sementara pada bagian tepi yang tidak ditumbuhi perumpung, beberapa jenis tumbuhan khas rawa air tawar seperti kangkung air Ipomea aquatica, Ipomea digitata, Ludwigia adscedens, Cyperus babakan, Cyperus digitatus, Eloecharis spiralis, Fymristylis acuminata, Lepironia articulata, genjer Limnocharis flava, eceng gondok Eichornia crassipes, dan Alocasia spp dan piai Acrostichum aureum sangat umum ditemukan.

Gambar 12. Perumpung yang tumbuh di tepi rawa (kiri), berbagai jens rumput dan tumbuhan rawa (kanan)

Selain jenis-jenis tersebut di atas, beberapa herba merambat seperti Passiflora feoteda, Mikania spp, dan Flagellaria indica sangat umum dijumpai di sela-sela tumbuhan lain.

Gambar 13. Herba merambat (Climber plant) Passiflora feotida yang umum dijumpai di rawa

4. Semak belukar Berdasarkan tanda-tanda yang dijumpai di lapangan dan informasi dari masyarakat, semak belukar ini

berasal dari hutan rawa gambut yang telah mengalami kerusakan. Sebagai buktinya, beberapa pohon-pohon endemik lahan gambut seperti Pulai Rawa Alstonia pneumatophora dan Jelutung Rawa Dyera lowii masih dijumpai di sela-sela semak belukar. Semak belukar juga terbentuk dari bekas perkebunan karet yang ditebang habis karena tegakannya telah rusak karena dihantam gelombang Tsunami. Keterbatasan modal membuat proses peremajaan kebun karet terganggu sehingga areal perkebunan menjadi terlantar dan kemudian berkembang menjadi semak belukar.

38 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 14. Semak belukar yang terbentuk dari kebun karet yang terdegradasi

Semak belukar ini tersusun oleh berbagai tumbuhan dari tingkat paku, semak, belukar hingga pohon. Beberapa jenis pohon yang umum dijumpai di semak belukar ini antara lain pulai rawa Alstonia pneumatophora, Jelutung Dyera lowii, Trema orientalis, Macaranga pruinosa, Archidendron clyperia, Commersonia bartramia, Vitex pinnata dan Mallotus paniculatus. Diantara jenis-jenis tersebut, Mallotus paniculatus dan Trema orientalis adalah jenis yang paling banyak dijumpai.

Gambar 15. Habitus Pohon Mallotus paniculatus yang umum ditemukan di semak belukar (kiri) dan buahnya (kanan)

Selain tumbuhan pohon, beberapa jenis paku juga dijumpai yaitu paku hurang Stenochlaena palustris, Blechnum indicum, paku resam Gleichnia linearis, Lygodium scadens, Ceratopteris spp dan Pteridium spp. Disela-sela tumbunan paku, beberapa koloni senduduk atau harendong Melastoma malabathricum dan Indigofera suffruticosa juga umum dijumpai secara sporadis. Beberapa jenis tumbuhan herba merambat juga ditemukan di sela-sela semak antara lain Uncaria gambir, Mikania micrantha, Poikilosperm spp., dan Pasiflora feoteda.

Gambar 16. Habitus dan buah tumbuhan legum Indigofera suffruticosa yang umum dijumpai sela-sela semak belukar

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

5. Vegetasi sekitar desa Vegetasi ini mengacu pada semua jenis tumbuhan yang berada di sekitar pemukiman, areal kosong,

pekarangan, dan areal lainnya di sekitar desa. Untuk areal di sekitar pemukiman (halaman dan pekarangan), sebagian besar jenis tumbuhan ini adalah jenis budidaya yang sengaja ditanam masyarakat antara lain Nangka Artocarpus heterophylus, Kemiri Aleurites moluccana, Mangga Mangifera indica, Rambutan Nephelium lapaceum, Lidah Buaya Aloevera, Nanas Ananas squamosa, Kakao Theobroma cacao, Kopi Coffea canephora, Pisang Musa spp, Jambu bol Eugenia malaccensis,, dan Pinang Areca cathecu. Sementara di areal kosong di luar pemukiman, banyak dijumpai beberapa jenis tumbuhan liar (dari tingkat paku, semak, hingga pohon) antara lain Leea indica, Ara Ficus septica, Mallotus paniculatus, dan Macarangan pruinosa. Untuk areal di kanan kiri jalan desa atau jalan raya,

pohon Gamal Gliciridia sepium dan Kuda-kuda Lannea spp sangat umum dijumpai.

6. Kebun masyarakat Sebagian besar areal perkebunan kebun yang ada di pesisir Desa Suak Nie adalah kebun karet.

Dilihat dari sejarahnya, kebun merupakan hasil dari pengalihan fungsi lahan (konversi) dari areal behutan menjadi perkebunan terutama kebun karet Hevea brasiliensis. Kebun karet ini tidak luput dari kerusakan sebagai akibat dari bencana Tsunami yang terjadi pada tahun 2004 lalu. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian besar kebun karet terutama yang berada di barisan depan mengalami kerusakan parah. Selain kerusakan fisik, salah satu dampak tsunami adalah menurunnya produktifitas hasil kebun. Berdasarkan infromasi dari penduduk, hasil getah karet mengalami penurunan yang sangat tajam.

Gambar 17. Kebun karet milik masyarakat desa Suak Nie di atas lahan gambut

Selain komoditi karet, masyarakat desa Suak Nie juga pernah mengalami ”demam kelapa sawit”. Beberapa angota masyarakat bahkan telah mengkonversi lahannya dari kebun karet menjadi kebun sawit. Namun di dalam pelaksanaannya di lapangan, budidaya kebun sawit ini tidak berjalan dengan baik sebagimana yang diharapkan masyarakat. Hal ini mengingat lahan yang ditanami kelapa sawit ini adalah lahan gambut. Kondisi tanah yang selalu lembab bahkan tergenang membuat pertumbuhan tanaman tidak optimal. Melihat kondisi demikian, masyarakat tidak dapat berbuat banyak. Beberapa kebun sawit bahkan dibiarkan terlantar dan mulai ditumbuhi semak belukar.

Gambar 18. Kebun sawit yang terlantar miik masyarakat

40 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan berlangsung pada tanggal: 8 November 2007. Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: 3 jenis mammalia, 35 jenis burung, dan 8 jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Kera-ekor panjang Macaca fascicularis, Berang-berang/Sero ambrang Aonyx cinerea, dan Babi hutan Sus sp., merupakan tiga jenis mammalia yang teramati secara langsung atau berdasarkan tanda- tanda keberadaannya, pada pengamatan di daerah ini.

Sementara berdasarkan informasi dari penduduk, beberapa jenis mammalia besar juga terdapat di bagian perbukitan daerah ini, antara lain: Lutung simpai Presbytis melalophos, Trenggiling Manis javanicus, Beruang Madu Helarctos malayanus.

b) avifauna

Dari 35 jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini, 11 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Satu jenis, yaitu Bangau tongtong Leptoptilus javanicus merupakan jenis yang terancam kepunahan secara global, dengan kriteria Vulnerable/rentan (IUCN, 2006). Jenis bangau lain, yaitu Bangau Bluwok juga diinformasikan oleh masyarakat setempat, namun tidak terjadi perjumpaan dengan spesies ini.

Jenis yang dilindungi oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia berasal dari kelompok burung pemangsa (3 jenis), kelompok raja-udang (3 jenis), dan kelompok burung madu (2 jenis), serta kelompok burung air (2 jenis kuntul, 1 jenis bangau).

Tabel 9. Jenis Burung yang Dilindungi yang ditemukan di Suak Nie

No Nama Indonesia

Nama Ilmiah

Nama Inggris Status

1 Kuntul besar

E. alba

Great Egret

2 Kuntul kecil

E. garzetta

Little Egret

3 Bangau tongtong

Leptoptilus javanicus

Lesser Adjutant

P, App I, VU

4 Elang Bondol

Haliastur Indus

Brahminy Kite

P, App II

5 Elang-laut perut-putih

Haliaeetus leucogaster

White-bellied Sea-eagle P, App II

6 Elang-ular bido

Spilornis cheela

Crested Serpent-eagle P, App II

7 Raja-udang meninting

Alcedo meninting

Blue-eared Kingfisher P

8 Pekaka emas

Pelargopsis capensis

Stork-billed Kingfisher P

9 Cekakak sungai

Halcyon chloris

Collared kingfisher P

10 Burung-madu kelapa

Anthreptes malacensis

Plain-throated Sunbird P

11 Burung-madu sriganti

Nectarinia jugularis

Olive-backed Sunbird P

Keterangan :

P = Dilindungi, menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 (Noerjito & Maryanto, 2001). App. II = Appendix II, Kriteria perdagangan jenis satwa yang diatur dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna, UNEP-WCMC, 2007).

c) HERPETOFAUNA

Tercatat 8 jenis dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, tidak terdapat jenis herpetofauna yang dilindungi. Sebagian besar (6 jenis) tergolong dalam kelompok Anura (katak/kodok), dua jenis lain dari kelompok SAURIA (Kelompok Toke, kadal-kadalan), yaitu: Biawak Varanus salvator, dan Kadal Biasa Mabuya multifasciata.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

5. Tanah dan Pertanian

a) Fisiografi/Topografi dan Geologi

Lokasi survey merupakan dataran rawa-rawa sepanjang pantai yang berselingan dengan gumuk- gumuk (punggungan) pasir atau yang dikenal dengan punggung dan cekungan pesisir (LERP, Project 1996). Pada bagian menjelang dataran terdapat wilayah rawa gambut yang cukup luas dan memanjang searah dengan pantai. Wilayah ini bertopografi datar dengan lereng 0-1 % dan mempunyai ketinggian 0-5 meter di atas permukaan laut.

Formasi geologi lokasi survey merupakan endapan aluvium marin dengan bahan induk berupa pasir, liat, lumpur dan bahan organik .

b) KeadaanTanah Tanah-tanah di lokasi penelitian merupakan tanah mineral dan tanah organik. Tanah mineral

terbentuk dari bahan endapan marin yang terdiri dari pasir dan liat kadang berlumpur dengan kandungan bahan organik tinggi. Tanah-tanah ini menempati dataran, mulai dari pantai sampai ke arah peralihan dengan kubah gambut. Sedangkan tanah organik yang terbentuk dari lapukan sisa tumbuhan yang diendapkan dalam kondisi selalu jenuh air (tergenang).

Pada lahan yang lebih rendah (cekungan), tanahnya selalu tergenang dan selalu jenuh air karena pengaruh air pasang dari laut maupun sungai. Pada lahan ini, proses pematangannya terhambat dan terbentuk tanah-tanah dalam lingkungan yang terreduksi (glei) dan mempunyai kandungan garam- garam (saline). Sedangkan pada lahan yang agak melandai (cembung), tanahnya tidak terpengaruh oleh kondisi air tergenang, sehingga terjadi proses oksidasi yang mengakibatkan terjadinya proses pematangan dan perkembangan penampang.

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi tanah di lapangan, yang didukung dengan hasil analisa tanah, tanah-tanah di lokasi penelitian disusun berdasarkan satuan peta tanah (Soil mapping units). Satuan peta tanah dibedakan berdasarkan klasifikasi tanah dengan karakteristiknya, landform, topografi, bahan induk, dan penggunaan lahan. Klasifikasi tanah mengacu pada Soil Taxonomy (USDA,1998) dan Pusat Penelitian Tanah Bogor (P3MT, 1983) sebagai padanannya.

Satuan Peta Tanah (SPT) disusun dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai karakteristik, penyebaran, tata guna lahan dan potensinya. Penyusunan peta tanah berdasarkan pengamatan lapangan yang dibantu dengan hasil interpretasi citra Landsat tahun 2004.

Di lokasi penelitian Suak Nie dapat disusun menjadi 3 SPT dan Uraian masing-masing SPT akan diuraikan dalam tabel dan gambar di bawah ini:

Tabel 10. Satuan Peta Tanah di lokasi Suak Nie, Melaboh

No.SPT Klasifikasi Tanah

Landform/Topografi Litologi

Land use

1 Asosiasi Typic

Lahan terbuka (bekas Psammaquents dan

Beting Pantai, lereng 1-3 % Sedimen marin

kebun, kelapa sawah Hydraquents;

(berpasir)

dan tambak) (Gleisol)

21 Typic Haplohemists

Bekas kebun karet dan (Organosol)

Sisi Kubah Gambut, lereng

Bahan organik

sawah kedalaman 0.5 - 1 m

0-1%

Bekas kebun karet (Organosol)

3 Typic Haplohemists

Sisi Kubah Gambut, lereng

Bahan organik

0-1%

kedalaman 1 – 2 m 3 Typic Haplohemists

Kebun campuran dan (Organosol)

Sisi kubah Gambut, lereng

Bahan organik

pemukiman kedalaman 2 – 3 m

0-1%

42 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 19. Satuan Peta Tanah di wilayah survey Suak Nie

c) Uraian SPT

1. SPT 1 Karakteristik. Asosiasi Typic Psammaquents; pasir kasar, dalam, agak masam drainase cepat

(Regosol) dan sulfic Hydraquents; pasir berlempung sampai lempung berpasir di lapisan atas, berpasir halus di lapisan bawah, dalam, masam, drainase terhambat (Gleisol).

Penyebaran. Satuan peta ini terdapat pada beting pasir di sepanjang pantai antara Suak Nie. Bentuk wilayah agak cembung, lereng 1-3 persen.

Tata guna lahan. Penggunaan lahan sebagian besar berupa bekas kebun kelapa, persawahan yang telah rusak oleh tsunami.

Potensi lahan. Tidak sesuai untuk pengembangan pertanian karena kondisi lahan yang sudah rusak, kandungan hara sangat rendah dan berpasir dalam serta mempungai potensi pirit dan salinitas. Lahan ini sebaiknya direhabilitasi atau dijadikan kawasan lindung.

2. SPT 2

Karakteristik. Typic Sulfohemists; Hemik, kedalaman gambut 0.50 – 100 cm, potensial pirit, sangat masam, kapasitas tukar kation sangat tinggi, kejenuhan basa sangat rendah, drainase sangat terhambat (Organosol hemik).

Penyebaran. Satuan peta ini terdapat pada punggungan pesisir pantai tua dengan bentuk wilayah agak melandai, lereng 1-3 persen.

Tata guna lahan. Penggunaan lahan sebagian besar berupa bekas kebun karet dan sedikit perladangan.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. SPT 3

Karakteristik. Typic Haplohemists; Hemik, kedalaman gambut 100 – 200 cm, sangat masam, kapasitas tukar kation sangat tinggi, kejenuhan basa sangat rendah, drainase sangat terhambat (Organosol hemik).

Penyebaran. Satuan peta ini terdapat pada punggungan pesisir pantai tua dengan bentuk wilayah agak melandai, lereng 1-3 persen.

Tata guna lahan. Penggunaan lahan sebagian besar berupa bekas kebun karet, tanaman palawija, sayuran, kebun campuran.

Potensi lahan. Sesuai untuk pengembangan pertanian terutama untuk pengembangan tanaman palawija, sayuran dan kebun campuran dengan memperbaiki tata air (saluran drainase dan irigasi) serta pemberian pupuk organik. Akan tetapi dalam pengelolaan lahan perlu kehati-hatian karena tanah gambut rentan terhadap subsiden dan kalau terjadi subsiden maka akan timbul potensi pirit yang dapat meracuni tanaman.

4. SPT 4 Karakteristik. Typic Haplohemists; Hemik, kedalaman gambut > 200 cm, sangat masam, kapasitas

tukar kation sangat tinggi, kejenuhan basa sangat rendah, drainase sangat terhambat (Organosol hemik).

Penyebaran. Satuan peta ini terdapat pada kubah gambut bagian utara desa Suak Nie dengan bentuk wilayah datar, lereng 0-1 persen.

Tata guna lahan. Penggunaan lahan sebagian besar berupa hutan belukar dan kebun campuran. Potensi lahan. Tidak sesuai untuk pengembangan pertanian. Sebaiknya lahan gambut ini dilindungi

untuk menjaga kelestarian alam dan keanekaragaman hayati.

d) Kesuburan Tanah

Status kesuburan tanah di lokasi Suak Nie merupakan hasil interpretasi dari data hasil analisa contoh tanah. Uraian mengenai kesuburan tanah adalah sebagai berikut:

(1) Tekstur

Tanah-tanah di wilayah pesisir Suak Nie umumnya merupakan tanah gambut dengan ketebalan 0,5 - 300 cm dengan tingkat kematangan hemik sampai saprik. Tanah gambut yang berdekatan dengan pantai berpotensi sulfat masam. Pada daerah rawa belakang pantai (cekungannya) tanahnya bertekstur lempung dan di lapiasan bawah berpasir.

(2) Kemasaman tanah (pH)

Derajat kemasaman tanah-tanah di wilayah Suak Nie tergolong sangat masam sekali (2,5 – 4,1). pH sangat masam sekali terdapat pada tanah gambut yang selalu tergenang.

(3) Bahan organik

Di wilayah Suak Nie kadar bahan organik umumnya sangat tinggi (8,77 -15,3%) kecuali di lokasi dataran pesisir pantai. Kadar nitrogen sedang sampai tinggi (<0,4 - 0,9%) dan ratio C/N umumnya tinggi sedang sampai sangat tinggi (14 – 38).

44 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 11. Status Kesuburan Tanah pada masing-masing SPT

Klasifikasi Tanah

Parameter Typic

Typic Halpohemists Psammaquents

Typic Sulfohemists

Typic Halpohemists

(Organosol hemiK) Lap 0-

(0rganosol sulfik)

(Organosol hemiK)

Tekstur (%) Pasir 24 - - - Debu 26 - - - Liat 30 - - - L Hemik Hemik Hemik

Sangat pH- (H 2 O) 3.0

masam pH- (KCl) 2.8 - 2.8 2.5 4.1

masam

masam

Bahan organik

C 8.77 ST 11.29 ST 15.3 ST 13.93 ST N 0.94 ST 0.72 ST 0.40 S 0.47 S C/N 20 T 14 S 38 ST 30 ST Phosphat

Nilai Tukar Kation

Ca 2.5 R 0.40 SR 0.77 SR 1.13 SR Mg 0.93 R 0.53 R 0.89 R 0.98 R K 2.15 S 0.10 R 0.08 R 0.08 S

Na 18.3 ST 0.12 R 0.68 S 1.29 ST Jumlah 23.88 - 1.15 - 2.42 - 3.46 - KTK 58.42 ST 50.66 ST 40.85 ST 45.63 ST Kejenuhan

Basa

8 SR 2 SR

2 SR 27 R Pirit 0.09 0.35 - -

Salinitas 3.303 T 1.650 R

(4) Phosphat dan Kalium

Di wilayah Suak Nie, kadar Phosphat potensial tergolong tinggi sampai sangat tinggi, dan kandungan Kalium potensial umumnya sangat rendah, kecuali di daerah pantai yang terkena air pasang surtu dari laut.

(5) Kapasitas tukar kation (KTK), Susunan kation dan Kejeunuhan basa

Wilayah Suak Nie mempunyai jumlah KTK yang sangat tinggi (>40 me/100 g) terutama pada lapisan

atas dan pada tanah gambut. Susunan kation K + , Ca , Mg dan Na di wilayah Suak Nie sangat

bervariasi, dari rendah sampai sangat tinggi. Jumlah kation Na ++ sangat tinggi sampai rendah, Mg ,

K ++ dan Ca sangat rendah. Kejenuhan basa umumnya sangat rendah.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Sebelum terjadinya tsunami wilayah penelitian merupakan daerah yang mempunyai potensi cukup baik bagi pengembangan pertanian, perkebunan dan peternakan. Potensi tersebut baik karena lahan cukup datar, kesuburan alami tanahnya cukup baik serta didukung oleh iklim dan hidrolgi sesuai`. Namun setelah terjadinya Tsunami, endapan berupa bahan pasir kasar dan lumpur halus terjebak bersama pada lahan-lahan yang cekung dan datar sehingga tidak dapat keluar karena alur-alur sungai tertutupi oleh sedimen. Kejadian tersebut sangat berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia. Secara fisik tanah lapisan atas tertimbun 20 s/d 150 cm, struktur tanah menjadi lemah. Secara kimiawi terjadinya penimbunan garam-garam dan asam-asam sulfat (pirit) menyebabkan penurunan kemasaman tanah sehingga dapat meracuni tanaman.

Dampak Tsunami ini terlihat jelas pada lahan bekas sawah, ladang, perkebunan karet dan lahan pertanian lainnya. Lahan sawah sulit untuk diolah kembali karena genangan air yang penuh dengan lumpur dan terdapat kandungan garam serta potensi pirit kecuali dengan perbaikan saluran drainase.

Lahan-lahan tersebut, sampai saat survei dilakukan masih tergenangan air dan tidak mengalir (stagnan) sehingga tanah tidak tercuci yang mengakibatkan sulit untuk diolah.

f) Analisis

Pada Lahan gambut, dalam keadaan reduksi, kondisi kemasaman tanah masih potensial (tidak berbahaya). Berkurangnya/habisnya tanah gambut (subsidence) karena kegiatan pertanian dengan sistem drainase (pengeringan) akan mengakibatkan teroksidasinya lapisan pirit dan terjadinya penurunan pH tanah. Hal demikian akan mengakibatkan kematian biota di dalam tanah (tanah bersifat toksik) yang selanjutnya akan menurukan produktivitas lahan.

Pada tanah mineral yang pada awalnya subur, akibat dari material yang dibawa gelombang tsunami ke darat menyebabkan tanah terkontaminasi oleh garam-garam menyebabkan tanah mengandung

4- , Al dan Fe . Kondisi ini perlu diperbaiki dengan pengelolaan tanah dan tata air secara benar.

unsur-unsur beracun seperti SO 2+

g) Evaluasi Kesesuaian lahan

Penilaian evaluasi kesesesuian lahan diarahkan pada kelompok tanaman pangan (serelia, umbi- umbian dan kacang-kacangan), kelompok tanaman perkebunan/industri, kelompok tanaman holtikultura (buah dan sayuran), perikanan payau dan penggunaan lainnya. Penilaian kesesuaian digolongkan berdasarkan faktor-faktor pembatas (limiting factor) yang dominan seperti kesuburan tanah/unsur dan retensi hara (nr), media perakaran (rc), Toksisitas/salinitas (xc) bahaya sulfidik (xs) dan bahaya banjir/genangan (fh). Sedangkan fator lingkungan seperti iklim dan topografi tidak menjadi faktor pembatas.

Tabel 12. Hasil Penilaian kesesuaian lahan di lokasi Survei

Rekomendasi SPT

No

Kelas Kesesuaian Lahah

Tan pangan

Perkebunan

Holtikultura

1 N-rc,xs,fh N-rc,xs,fh

N-rc,xs,fh

Rehabilitasi Pantai (cemara)

2 S3- oa,xs,fh

S3- oa,xs,fh

S3- oa,xs,fh

Sawah, palawija dan sayuran (reklamasi) dan perikanan

3 S3-nr, rc

S3-nr, rc

S3-nr, rc

Perkebunan/buah-buahan, sayuran,

Konservasi lahan gambut Keterangan : Tan. pangan : Padi, jagung, kacang2an (kedelai dan Kacang tanah) Tan. Perkebunan : kelapa,

4 N-rc,oa

N-rc,oa

N-rc,oa

kapuk, kemiri , Tan. Holtikultur (buah-buahan dan sayuran) : durian, salak, sukun, nangka, cabe merah,bayam, mentimun, kacang panjang N= tidak sesuia S3= sesuai marginal , nr= retensi hara sangat rendah, xs= Bahaya sulfidik/garam, oa= drainase sangat terhambat. fh=bahaya banjir/genangan

46 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dari Hasil analisis kesesuaian lahan terdapat beberapa komoditas tanaman yang cukup sesuai seperti tanaman pangan, palawija, sayuran dan tanaman perkebunan. Di lokasi Suak Nie, lahan yang kurang sesuai (S3) terdapat di SPT 2 (lihat tabel SPT dan kesesuaian Lahan). Lahan-lahan ini mempunyai masalah bahaya sulfat masam dan garam-garan, drainase sangat jelek dan genangan atau banjir musiman. Lahan kurang sesuai (S3) dengan faktor pembatas ketebalan gambut (100 – 200 cm) dan retensi hara rendah (kesuburan).

Lahan-lahan tersebut, memerlukan perbaikan tata air (saluran drainase dan irigasi) untuk pencucian garam-garam akibat tsunami, pengolahan tanah yang baik (intensif) dan ameliorasi (pengapuran dan pemupukan bahan organik).

Lahan yang tidak sesuai (N) di lokasi Suak Nie terdapat pada SPT 1 dan 4. Pada SPT 1 terdapat faktor pembatas bahaya sulfidik/garam-garam, genangan/banjir musiman dan drainase sangat jelek. Sedangkan pada SPT 4 terdapat faktor pembatas ketebalan gambut dalam (>200 cm), retensi hara rendah terutama reaksi tanah sangat masam dan drainase sangat jelek. Sebaiknya lahan ini dikonservasi atau direhabilitasi dengan tanaman yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan setempat (lihat aspek rehabilitasi).

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Suak Nie merupakan salah satu desa di Aceh Barat yang mengalami kerusakan kategori rusak berat akibat Tsunami 2004. Hal tersebut menyebabkan sebanyak 145 jiwa atau 54 KK yang selamat dari tsunami harus direlokasi ke lokasi perumahan baru yang berjarak sekitar sekitar 2km dari lokasi semula. Kondisi perumahan yang didiami sebelumnya sangat dekat dengan laut dan telah berubah secara ekologi menjadi rawa air payau.

b) Demografi

(1) Populasi

Hasil pendataan dari BPS menunjukan jumlah populasi penduduk di Desa Suk Nie antara sebelum tsunami pada tahun 2003 dan pasca tsunami tahun 2005 mengalami penurunan drastis sebesar 45% dengan jumlah kepala keluarga (kk) berkurang sebanyak 27%. Informasi dari kepala desa (keuchik) setempat menyebutkan jumlah penduduk saat ini tahun 2007 adalah 145 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 54 kk atau meningkat 20%.

Tabel 13. Populasi penduduk Desa Suak Nie dan Kecamatan Johan Pahlawan tahun 2003 dan 2005

Kepadatan

Jumlah Tahun KK

Populasi

Penduduk

Laki-laki Perempuan Total (ind/ km2) Desa Suak Nie

2003 111 115 226 155 62 2005 65 60 125 Na 45 2007 Na Na 145 Na 54

Kecamatan Johan Pahlawan

2003 22,373 20,976 43,349 1480 10320 2005 22,495 23,402 45,897 Na 9,358

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Secara umum jumlah penduduk di Kecamatan Johan Pahlawan mengalami peningkatan dari tahun 2003 sampai tahun 2005 seperti gambar 20 di bawah ini. Hal tersebut diduga kuat berkaitan erat dengan pemekaran wilayah Kecamatan Johan Pahlawan sebagai imbas dari pemekaraan Kabupaten Aceh Barat menjadi Nagan Raya dan Aceh Jaya. Sebelum pemekaran jumlah desa yang masuk wilayah adminitratif Johan Pahlawan sebanyak 13 desa dan setelah pemekaran pada tahun 2003 menjadi 21 desa.

Desa Suak Nie Kec.Johan Pahlawan x 20

Perempuan Desa Suak Nie Pria Desa Suak Nie

Gambar 20. Grafik pertumbuhan penduduk Desa Suak Nie dan

Kecamatan Johan Pahlawan tahun 2003 dan 2005

Penduduk Desa Suak Nie mayoritas memeluk agama Islam dari berbagai suku, diantaranya Aceh, Padang dan Jawa. Etnis utama mayoritas adalah Aceh.

Tabel 14. Agama dan Etnis Penduduk Desa Suak Nie Tahun 2003 dan 2005

Tahun Agama Utama Etnis Etnis Utama

2003 Islam Tidak Aceh 2005 Islam Multi Etnis Aceh 2007 Islam Multi Etnis Aceh

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Mata pencaharian utama penduduk Desa Suak Nie adalah bertani sawah dan kebun, terutama kebun karet. Persentase jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian dapat teridentifikasi sebagai berikut : (1) Petani 80%; (2) Peternak 10%; (3) Pegawai Negeri 5% dan (4) Lain-lain sebanyak 5%. Aktivitas mata pencaharian penduduk sangat bergantung pada musim sehingga dalam satu tahun kegiatan mata pencaharian sangat bervariasi. Berikut disajikan kalender musim aktivitas mata pencaharian penduduk Desa Suak Nie dalam satu tahun.

48 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 15. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Suak Nie sebelum Tsunami

Jenis

Bulan

Pekerjaan (dimulai dari yang paling

Agus Sep Okt Nov Des penting)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun

Jul

Sawah √ panen panen --- persiapan tanam √

√ √ Nyadap karet

√-- - - - - Kebun

√ √ Ternak ayam

tangkap di

√ musim musim muara

Kelapa gonseng

√-- - - - - Kebutuhan

Kredit

Tabel 16. Komposisi penduduk yang bertani dan Jumlah Keluarga Miskin di Suak Nie

Pekerja % Pekerja Tahun

KK

% KK

bergerak di bergerak di

pada pada kegiatan

Pengusaha Pengusaha pertanian

pertanian Pertanian Pertanian

75 N/A N/A Pertanian perkebunan

N/A N/A 17 18.1

Keterangan:

N/A “ data tidak tersedia Pada umumnya kombinasi mata pencaharian dilakukan antara sawah dengan menyadap karet

ataupun penangkapan ikan di muara dan nyadap karet. Bersawah dilakukan pada awal musim hujan yaitu sekitar bulan Juli dan panen pada awal musim kemarau antara bulan Februari dan Maret. Menyadap getah karet dilakukan pada musim panas antara bulan Maret dan Juni. Kegiatan kebun sayuran dan peternakan merupakan aktivitas yang dilakukan sepanjang tahun dalam skala hanya sebagai mata pencaharian sampingan sehingga tidak ada alokasi waktu khusus untuk mengelola kedua aktivitas tersebut sampai meninggalkan aktivitas mata pencaharian lainnya.

Kebutuhan kredit biasanya dibutuhkan saat akan menanam padi yaitu antara bulan Juli dan Agustus. Akses terhadap modal usaha biasanya dilakukan oleh laki-laki yang memiliki kuasa penuh atas pengelolaan sawah. Peminjaman modal biasanya dilakukan kepada individu yang dikenal dengan sebutan “toke”. Pembayaran pinjaman biasanya setelah panen tidak dengan uang tunai melainkan pemberian hak monopoli pembelian hasil sawah kepada toke tersebut. Transaksi piutang biasanya dilakukan tanpa surat ataupun kuitansi bukti pinjaman hanya didasarkan pada kepercayaan. Melalui model ini sebenarnya petani memiliki hak untuk menjual hasil sawahnya kepada orang lain, namun demikian kedua belah pihak terikat dengan kontrak moral semacam aturan tidak tertulis bahwa Toke yang meminjamkan uang memiliki hak monopoli terhadap hasil panen petani. Konsekuensi yang akan ditanggung petani menjual hasil sawah kepada orang lain maka dikemudian hari akan sulit baginya untuk mendapatkan pinjaman modal lagi baik kepada toke yang bersangkutan maupun toke yang lainnya.

49

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

50 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(a) Pertanian

Letak geografis yang dekat dengan kaki Bukit Barisan, jenis tanah gambut dan tingkat curah hujan yang tinggi berkisar antara 170 mm sampai 394 mm sangat mendukung ativitas pertanian di Desa Suak Nie. Seperti terlihat pada Tabel 16 hasil identifikasi BPS pada tahun 2003 menunjukan 90% penduduk Suak Nie bermata pencaharian sebagai petani. Jenis kegiatan pertanian utama di Desa Suak Nie adalah bersawah dan berkebun karet. Adapun pemanfaatan lahan atau land use untuk pertanian di Desa Suak Nie sebelum tsunami yaitu areal persawahan 20 ha, perkebunan karet 70 ha dan lahan tidur 574 ha. Pada umumnya tiap keluarga memiliki sendiri lahan sawah yang digarap. Rata-rata luas sawah yang dimiliki adalah < 1 ha atau 2 petak per keluarga.

Pertanian sawah yang dikembangkan masyarakat Desa Suak Nie merupakan sawah tadah hujan. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya fasilitas irigasi. Sekitar tahun 90-an berdasarkan masukan dari Dinas Pertanian setempat, penduduk mencoba menanam padi dua kali siklus produksi dalam setahun. Namun hasil yang didapatkan tidak optimal karena kurangnya air. Disamping itu penduduk hanya disibukan oleh kegiatan di sawah sehingga tidak mempunyai waktu untuk melakukan kegiatan mata pencaharian lainnya. Kondisi ini sangat merugikan pendapatan sehingga masayarakat kembali kepada pola bersawah yang selama ini mereka tekuni yaitu satu kali dalam setahun dan mengkombinasi dengan mata pencaharian lain.

Akibat tsunami 2004 hampir semua areal persawahan tergenang oleh air asin sehingga terbentuk rawa-rawa payau. Saat ini areal persawahan telah beralih fungsi menjadi tempat menjala ataupun menjaring ikan. Aktivitas persawahan sampai saat ini belum dapat dikembangkan lagi.

Gambar 21. Areal persawahan menjadi rawa payau

Kegiatan menyadap karet pada umumnya dilakukan pada kebun karet milik warga Desa Suak Nie yang dikenal dengan istilah “toke karet”. Karet yang dapat dipanen getahnya adalah karet yang sudah berumur lima tahun. Sistem upah yang didapatkan penyadap adalah harga jual dibagi dua antara pemilik kebun dan penyadap sehingga upah yang didapat penyadap sangat dipengaruhi oleh harga karet saat itu dan berapa kilogram karet kering yang dihasilkan penyadap. Upah dibayarkan kepada penyadap setelah karet kering terjual, biasanya dalam satu minggu seoarang penyadap dapat menyadap dari 20 batang karet dan dihasilkan uang Rp 100.000,-

Kegiatan pertanian lainnya yang digeluti adalah menanam sayuran seperti kacang panjang, terung, singkong dan tebu. Hasil sayuran tersebut selain untuk konsumsi keluarga juga dijual ke pasar meulaboh. Usaha kelapa gonseng ditekuni secara berkelompok oleh ibu-ibu. Terdapat tiga kelompok yang terdiri dari 5-7 orang yang menekuni usaha kelapa gonseng. Usaha kelapa gonseng dikenal dengan istilah “Plie U” . Usaha ini hanya ditekuni saat musim Barat atau musim panas untuk mempermudah proses pengeringan kelapa sebelum digonseng. Kelapa didapatkan dari kebun kelapa yang ada di Desa Suak Nie sendiri. Harga jual kelapa gonseng saat ini adalah Rp 25.000/ kg. Dalam setiap produksi perkelompok rata-rata dihasilkan 25kg kelapa gonseng untuk tiga hari. Produksi kelapa gonseng juga sangat tergantung pada permintaan misalnya ada permintaan khusus untuk hajatan ataupun permintaan meningkat menjelang hari raya.

(b) Perikanan Tangkap

Kegiatan perikanan tangkap yang digeluti penduduk Suak Nie makin marak pasca tsunami akibat terbentuknya rawa-rawa air payau yang mendatangkan banyak ikan kakap, dan udang liar. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing, jala atau jaring yang dipasang pada pagi hari dan dipanen saat sore hari. Nelayan muara atau dikenal dengan istilah nelayan pantai oleh penduduk setempat juga menggunakan sampan dalam menjala ikan di rawa dan muara.

Rawa air payau bekas areal sawah juga dimanfaatkan oleh beberapa penduduk dari luar Desa Suak Nie untuk membudidayakan ikan Nila. Upaya budidaya di rawa bekas areal persawahan pernah dikonsultasikan oleh kepala desa (kheucik) kepada Dinas Perikanan setempat sekitar enam bulan lalu namun sampai saat ini belum ada perwakilan dari Dinas Perikanan yang datang secara khusus untuk menentukan kesesuain lahan untuk budidaya.

(c) Peternakan

Kegiatan peternakan merupakan sarana bagi warga untuk menyimpan uang dalam bentuk barang selain emas. Jenis ternak yang dibeli pada umumnya adalah kerbau dan kambing. Apabila ada kebutuhan mendesak, emas atau ternak tersebut dengan cepat dapat dijual ke pasar Meulaboh.

Usaha dibidang peternakan yang ditekuni oleh Bapak Bukhari salah seorang warga Suak Nie adalah menjual telur ayam kampung yang ia beli dari Pasar Meulaboh dengan harga Rp 800,- dan dijual dengan harga Rp 1200,-. Telur ayam kampung banyak dikonsumsi penduduk Suak Nie.

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Rumah masyarakat Suak Nie sebelum tsunami adalah semi permanen. Hanya sekitar 3% penduduk yang memiliki rumah permanen. Rumah yang didiami 54kk saat ini adalah rumah semi permanen bantuan tsunami dari CWS (Church World Service). Lokasi perumahan yang ada saat ini adalah relokasi dari areal perumahan sebelum tsunami yang hampir semuanya hancur dan berubah menjadi rawa. Desa relokasi berjarak sekitar 2km ke arah darat dari lokasi semula.

Tabel 17. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Suak Nie tahun 2003 dan 2005

Jumlah Rumah

MCK ar u sa Tahun

m Drainas Non-

ilit ema

be Fas Permanen

Sumber Air B

2003 2 60 3 Yes 32 0 Tidak Sumur Sumur Umum Kayu Tidak ada

2005 N/A N/A N/A No - - No Sumur N/A Umum Kayu N/A

Fasilitas kamar mandi dimiliki oleh penduduk sekaligus dengan rumah bantuan yang didapatkan. Jenis tanah gambut menyebabkan air sumur berwarna seperti air teh. Masyarakat biasa menggunakan air tersebut untuk keperluan mandi dan cuci. Kebutuhan air untuk minum didapatkan dari Desa tetangga yang hanya berjarak 3km. Pada umumnya setiap rumah memiliki saluran pipa yang menghubungkan air hujan dari atap ke kamar mandi atau ke bak penampungan air untuk keperluan air minum dan memasak.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Akses listrik segera dapat dinikmati oleh penduduk Desa Suak Nie pasca tsunami. Hal tersebut dikarenakan desa yang terletak sepanjang jalan utama Meulaboh Banda Aceh segera dilengkapi tiang listrik dengan lebih cepat dan mudah daripada desa-desa yang jauh dari jalan utama.

(2) Pendidikan

Pada umumnya tingkat pendidikan warga Desa Suak Nie adalah sampai SMP. Tidak ada fasilitas pendidikan formal di Desa Suak Nie sehingga banyak anak-anak yang bersekolah SD dan SMP di desa terdekat yaitu Suak Raya. Tenaga pengajar dari Desa Suak Nie pada umumnya adalah guru SD.

Tabel 18. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Desa Suak Nie

Sekolah Teknik Akademi/ TK SD SMP SMA Menengah Universitas

Swasta Negeri terde Swasta

terde Swasta Negeri Jarak

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Akses menuju Desa Suak Nie sangatlah mudah karena dilalui jalan raya utama Banda Aceh Meulaboh berupa jalan aspal hot mix. Rumah penduduk di tempat relokasi yang sekarang tersebar sepanjang jalan raya sehingga tidak ada kendala aksesibilitas untuk menempuh desa ini. Transportasi umum yang sering digunakan warga untuk ke Meulaboh adalah angkutan pedesaan roda empat yang dikenal dengan istilah labi-labi. Jam adanya angkutan labi-labi biasanya disesuaikan dengan jam pergi dan pulang sekolah. Jadwal angkutan pada pagi hari antara jam 07.00 -09.00 dan siang pukul 13.00-15.00. Diluar jam tersebut jarang labi-labi yang ada, sehingga untuk kepraktisan banyak keluarga di SuakNie yang memiliki sepeda motor. Biaya bensin yang harus dikeluarkan warga adalah Rp 6000/liter sedangkan harga bensin di Meulaboh Rp 4500/liter.

Tabel 19. Akses dan sarana transportasi umum Desa Suak Nie

Kendaraan Umum

Akses Jenis Tahun

Jalan kendaraan

kendaraan Desa

Roda Empat

Ojeg

motor

Andong Sampan Motor boat Umum Utama

2003 Aspal Ya

Ada

Tidak Ada Ada Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada Roda empat

2005 Aspal Ya

Ada

Tidak Ada Ada Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada Roda empat

52 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(4) Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan tidak terdapat di Desa Suak Nie sehingga untuk pengobatan lebih lanjut, warga berobat ke Puskesmas di SuakRaya yang berjarak ± 6km. Berdasarkan catatan dari BPS sepanjang tahun 2003 dan 2005 tidak pernah terjadi penyakit yang mewabah di Desa Suak Nie seperti diare, campak, demam berdarah maupun infeksi saluran pernapasan (ISPA).

Tabel 20. Fasilitas Kesehatan di Desa Suak Nie Tahun 203 dan 2005

Jumlah

Jarak Rumah

Kemudahan Tahun

Terdekat Sakit

(km) Umum

Mudah 2005 0 6.5 Mudah 0 6.5 Mudah 0 5,5 Mudah

Jumlah keluarga yang mendapatkan fasilitas kesehatan gratis ditandai dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk Miskin (KTPM) dan Kartu Sehat (KS) sebanyak 32 keluarga. Hal tersebut menunjukan semua keluarga miskin telah mendapat bantuan fasilitas kesehatan. Berdasarkan informasi warga meski telah mendapatkan bantuan fasilitas kesehatan namun sangat jarang dimanfaatkan fasilitas tersebut, karena sangat jarang warga berobat ke Puskesmas. Penyakit- penyakit ringan seperti pusing, flu, pegal dan sakit perut biasanya diobati dengan obat warung atau dipijat.

Tabel 21. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005

Persentase

Persentase

Keluarga Keluarga

Keluarga

Wabah penyakit yang pernah melanda

Balita Tahun

Keluarga

Keluarga

Peserta KTPM

Diare Campak

Malaria ISPA

berdarah

2003 20 32 12 19 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A 2005 35

77.8 0 0.0 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A N/A

Keterangan:

KTPM = artu Tanda Penduduk Miskin KS = Kartu Sehat ISPA = Infeksi Saluran Pernafasan Atas

C.5 Fasilitas Keagamaan

Penduduk Suak Nie seluruhnya menganut agama Islam sehingga fasilitas ibadah yang ada di Suak Nie hanyalah fasilitas ibadah umat muslim. Pasca tsunami pada tahun 2005 tidak ada fasilitas ibadah

yang tertinggal. Saat ini fasilitas ibadah sederhana berupa Meunasah atau Mushalla telah berdiri berdampingan dengan kantor Kepala Desa. Pemanfaatan meunasah ternyata tidak hanya sebatas untuk kegiatan keagamaan. Warga sering menggunakan meunasah untuk rapat desa atau pertemuan lainnya yang biasa difasilitasi oleh NGO karena balai desa belum berdiri kembali.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 22. Fasilitas Keagamaan tahun 2003 dan 2005 di Desa Suak Nie

Kuil Kong Tahun Masjid Mushalla

C.6 Sarana Komunikasi

Sarana komunikasi yang pada umumnya dimiliki warga adalah peswat televisi. Selain fungsi informasi, kepemilikan televisi lebih didsarkan pada fungsi sebagai entertaiment atau hiburan. Media komunikasi lainnya yang dapat diakses di Desa Suak Nie adalah koran yang dibeli Pasar Meulaboh dan kepemilikan telepon genggam namun terbatas pada operator seluler tertentu.

Tabel 23. Sarana komunikasi antara tahun 2003 dan 2005 di Desa Suak Nie

Wartel Internet memiliki

memilki TV

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Cakupan wilayah administratif tingkat Kecamatan Johan Pahlawan mendapat pengaruh dari pemekaran Kabupaten Aceh Barat menjadi Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat dan Aceh Jaya pada tahun 2003. Sebelum pemekaran jumlah desa yang masuk wilayah adminitratif Johan Pahlawan sebanyak 13 desa dan setelah pemekaran menjadi 21 desa. Desa Suak Nie baik sebelm mau pun setelah pemekaran berada dalam wilayah administratif Kecamatan Johan Pahlawan.

Susunan kepengurusan tingkat desa baru terbentuk kembali setelah tsunami 2004 dengan pengangkatan langsung khuecik oleh Bupati Aceh Barat tanpa mellaui proses pemilihan langsung oleh warga desa. Terhitung sejak diangkat sampai dengan November 2007 masa pemerintahan kheucik Nurdin sudah berjalan selama dua tahun. Desa Suak Nie mengalami pemekaran pemerintahan di tingkat dusun. Dusun Pulo Tengah adalah dusun yang baru terbentuk pasca tsunami. Namun demikina tidak ada penambahan luas wilayah desa.

54 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tuhapeut

Kheucik

Sekretaris Gampong Yahya

Kaur Pemerintahan

Kaur Pembangunan

Kaur. Umum

Abdullah U

Kadus Keuchik Ali

Kadus Raja Hitam

Kadus Dusun Pulo

Gambar 22. Strukter kepemerintahan desa Suak Nie

(2) Kelompok Sosial Kemasyrakatan

Kelompok masyarakat yang terbentuk sebelum tsunami diantaranya kelompok tani sawah dan karet, kelompok ibu-ibu PKK, kelompok Pengajian dan kelompok Pemuda. Peran dari keberadaan kelompok yang paling terasa keberadaannya dalam masyarakat adalah kelompok Wirid Yasin. Hal tersebut dikarenakan adanya kegiatan rutin pengajian yang dilaksanakan dan beberapa peringatan hari besar agama Islam yang dikoordinir oleh kelompok pengajian. Kegiatan yang dikelola oleh kelompok ibu-ibu PKK dan kelompok pemuda sampai dengan saat ini masih bersiat insidentil bila ada perayaan peringatan hari nasional. Bila 10 Program Pokok PKK sendiri dapat dijalankan, sebenarnya telah ada upaya pemberdayaan perempuan di Desa Suak Nie.

Kelompok masyarakat yang ada di Desa Suak Nie terlihat dalam tabel berikut: Tabel 24. Kelompok masyarakat yang ada di Desa Suak Nie

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

- 2. Kelompok Annisa

1. Kelompok Tani

Tani sawah dan palawija

PMI 3. Kelompok tani karet

Pelatihan keterampilan perempuan

ICRAF 4. Kelompok nelayan

Pelatihan dan pembuatan demoplot karet

CWS 5. Ibu-ibu PKK

pemberdayaan nelayan (masih perencanaan)

Kas Desa 6. Kelompok Wirid Yasisn

Insidentil pemberdayaan perempuan

- 7. Kelompok penghijauan

Pengajian rutin minimla sebulan sekali

Rehabilitasi eksoistem lahan basah pesisir dan

WIIP dan FK GEMAB

pemberdayaan ekonomi

8. Kelompok Pemuda

Indidentil keiatan sosial kemasyarakatn

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Bapak Abu Bakar merupakan salah satu warga yang ditokohkan oleh masyarakat Desa Suak Nie selain Kheucik dan Imum Meunasah. Hal tersebut dikarenakan kepedulian terhadap lingkungan Bapak Abu Bakar yang cukup tinggi. Sebagai contoh ide menebang pohon-pohon karet di bantaran sungai yang sudah tidak produktif lagi secara bergotong royong dan menggantikan dengan bibit tanaman karet yang baru. Bibit karet tersebut disediakan secara suka rela oleh Bapak Abu Bakar. Dalam kegiatan rehabilitasi ekosistem pesisir yang dikelola oleh WIIP dan FK GEMAB juga dikoordinir oleh Bapak Abu Bakar.

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Persepsi peran perempuan untuk mengelola urusan-urusan domestik (rumah tangga) secara otomatis diikuti dengan peran mengelola keuangan rumah tangga. Suami biasanya memberikan sejumlah uang kepada istri untuk belanja kebutuhan konsumsi harian. Dari penghasilan yang didapatkan tersebut setelah dikurangi modal yang dikelola langsung oleh suami, penghasilan akan diberikan kepada istri dimana suami akan mengambil sedikit untuk uang rokok. Sebagai ilustrasi dari uang Rp 50.000 yang diberikan kepada istri, suami akan mengambil Rp 10.000 nya untuk uang saku rokok. Pada umumnya istri tidak mengetahui dengan pasti berapa total penghasilan yang didapatkan oleh suami.

Keluarga baru yang terbentuk pasca tsunami dari pasangan janda dan duda ternyata memberi warna tersendiri dalam hal pengelolaan keuangan rumah tangga. Salah satu dari lima keluarga yang menjadi responden memiliki pola pengelolaan keuangan rumah tangga yang berbeda dari pada kebiasaan umum. Keuangan keluarga dikelola sepenuhnya oleh suami. Hal tersebut dikarenakan menurut pendapat suami, istrinya tersebut terlalu boros dengan dibandingkan dengan istri yang sebelumnya sehingga sang suami memutuskan untuk mengelola langsung pengeluaran harian rumah tangga dan menurut pengakuannya hal tersebut sangat merepotkan.

Lelaki dengan leluasa dapat mengakses modal usaha ke toke dan mempunyai kontrol penuh terhadap pengelolaan modal usaha baik yang berupa uang tunai maupun modal tetap.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Berdasarkan wawancara dengan beberapa orang perempuan, kesemuanya sepakat lebih merasa nyaman bila dalam suatu rapat dipisahkan antara kelompok laki-laki dan perempuan. Selain tidak etis perempuan lebih merasa nyaman berargumen dalam kelompok sesamanya. Informasi dari beberapa warga laki-laki menyebutkan dalam rapat perempuan cenderung pasif, namun bila rapat tersebut berkaitan langsung dengan perempuan seperti penentuan jam kerja dan upah dalam kegiatan cash for work, perempuan cenderung lebih aktif daripada laki-laki. Dari kedua hal tersebut dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan fokus perhatian permasalahan antara laki-laki dan perempuan.

Perempuan dalam susunan kelembagaan desa diwakili melalui kelompok ibu-ibu PKK. Namun demikian kelompok tersebut tidak memiliki posisi tawar yang strategis dalam penentuan kebijakan desa atau pelaksanaan program pembangunan sosial kemasyarakatan lainnya.

(3) Pemberdayaan Perempuan

Kelompok perempuan yang ada dan aktif berjalan adalah kelompok Annisa bentukan PMI pasca tsunami. Kegiatan kelompok ini selain pelatihan yang berkaitan dengan keterampilan produksi seperti menjahit, membuat kue dan penguatan kelompok untuk menekuni kembali usaha kelapa gonseng. PMI membantu memfasilitasi peningkatan kapasitas masing-masing anggota agar kelompok tersebut kuat dan mandiri.

56 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Fenomena yang terjadi pasca tsunami adalah perempuan lebih aktif mengikuti kegiatan yang mendatangkan uang walaupun pekerjaan kasar yang dulu sangat jarang ditekuni perempuan seperti membuat gorong-gorong dan cash for work membersihkan dari sampah tsunami.

f) Informasi terkait dengan Kegiatan Green Coast

Kegiatan Green Coast yang akan dikembangkan di Desa Suak Nie difasilitasi oleh LSM lokal FK GEMAB yang sebelumnya sudah bekerjasama dengan kegiatan Green Coast untuk Desa Suak Raya desa tetangga Desa Suak Nie. Anggota kelompok berjumlah 40 orang terdiri dari 20 laki-laki dan 20 perempuan masing-masing mewakili satu KK. Pada saat ini kelompok fokus pada kegiatan pengadaan bibit tanaman pantai seperti cemara dan waru dan tanaman buah yang akan ditaman disekitar rumah anggota kelompok.

Pengelolaan modal ekonomi belum sepenuhnya diberitahukan secara eksplisit kepada semua anggota. Hal tersebut untuk digunakan sebagai strategi seleksi keanggotaan kelompok. Hanya kepala desa dan Bapak Abu Bakar yang mengetahui dan ikut menggagas ide tersebut.

7. Prospek kegiatan Rehabilitasi

Lokasi yang dialoasikan untuk program restorasi pesisir oleh Yayasan FK-GEMAB adalah pantai berpasir di Desa Suak Nie, Kec.Johan Pahlawan-Kab.Aceh Barat. Sementara tema kegiatan sebagaimana tercantum dalam kontrak kerjasam antara WIIP dan Yayasan FK-GEMAB adalah ”Peningkatan Pendapatan Masyarakat Pesisir untuk Mendukung Kegiatan Penghijauan Pantai di Gampong Suak Nie, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat”. Untuk mengetahui prospek keberhasilan program ini, tim assessment telah melakukan penilaian kondisi lapangan dengan memperhatikan beberapa faktor terkait lainnya seperti potensi, faktor penghambat, kendala dan lain-lain. Di bawah ini adalah hasil dari proses penilaian lapangan dalam rangka mengetahui prospek kegiatan ini.

a) Penilaian lahan di lokasi penanaman

Berdasarkan observasi lapangan, sebagian besar areal di sepanjang pantai berpasir masih labil. Erosi angin masih sering terjadi dan menyebabkan pantai berpasir selalu mengalami perubahan. Hal inilah menyebabkan daya dukung lingkungan untuk kegiatan rehabilitasi dinilai rendah. Rendahnya daya dukung lingkungan ini ditandai dengan minimnya tutupan vegetasi di sepanjang pantai. Walaupun demikian, terdapat beberapa lokasi yang dinilai memiliki prospek untuk kegiatan rehabilitasi. Lokasi yang dimaksud adalah lokasi yang berada di garis belakang pantai berpasir. Di lokasi ini, telah dijumpai formasi Pes Caprae yang menanda bahwa lokasi ini relatif telah stabil. Di bawah ini adalah ilustrasi pembagian tapak berdasarkan daya dukung lingkungan serta hasil penilaian lahan terkait dengan program rehabilitasi pantai.

Gambar 23. Ilustrasi sederhana tentang pembagian tapak di calon lokasi berdasarkan kesesuaian lahan untuk rehabilitasi

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Hasil penilaian kesesuaian lahan adalah sebagai berikut: • Zona depan (A) Pengaruh pasang masih kuat; saat pasang sebagian tapak terkena air pasang, salinitas substrat

tinggi, tidak ada penutupan vegetasi >>>>Tidak sesuai untuk penanaman • Zona tengah (B) Relatif aman terhadap air pasang (namun sesekali masih terkena pasang yaitu pada saat pasang

purnama), telah ada penutupan vegetasi namun masih sangat terbatas, hanya jenis Ipomea pes caprae yang mampu tumbuh di lokasi ini.

>>>> Cukup prospektif untuk penanaman namun dengan syarat tertentu. • Zona belakang (C) Bebas dari ancaman air pasang, di zona belakang terdapat alur-alur yang labil karena menjadi jalan

air saat terjadi hujan, penutupan vegetasi cukup tinggi, terdapat beberapa jenis tumbuhan di lokasi ini. >>>> Dibandingkan dengan dua lokasi di atas, zona ini dinilai paling prospektif untuk penanaman

b) Identifikasi potensi

(1) Pengalaman rehabilitasi oleh sebagain panduduk desa

Selama melakukan survey di sekitar calon lokasi penanaman, tim menjumpai tegakan kayu kuda Dolichandrone spp di sepanjang pematang sawah yang saat ini telah hancur dan berubah menjadi

rawa. Tanaman ini sengaja ditanam dengan jarak yang sangat rapat yaitu 30 cm. Melalui pengamatan terhadap tegakan ini, diduga kuat bahwa teknik teknik yang digunakan dalam penanaman ini adalah melalui stek batang. Hal ini terlihat dari habitus pohon yang pendek (rata-rata dengan tinggi 2 m) dengan pola percabangan seperti trubusan. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, penanaman ini dilakukan secara swadaya dengan maksud untuk memperkuat pematang sawah. Selain itu, penanaman ini dilakukan agar pematang sawah menjadi lebih teduh dan hijau.

Kegiatan ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat telah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi terutama mengenai perlunya kegiatan penghijauan di kawasan pesisir Desa Suak Nie. Bahkan tanpa pendampingan, pelatihan, penyuluhan atau bantuan lainya, mereka telah berhasil melakukan peghijauan pantai.

Walaupun kegiatan ini dilakukan hanya oleh beberapa orang, namun hal ini merupakan suatu potensi dari dalam desa terkait dengan akan dilakukannya penghijauan pantai di desa ini. Untuk dapat mendukung kegiatan, sangat direkomendasikan untuk mengidentifikasi dan melibatkan warga yang telah melakukan kegiatan penanaman swadaya ini. Dengan dilibatkannya mereka dalam kegiatan penghijuan pantai, diharapkan akan tejadi suatu komunikasi yang konstruktif diantara warga desa. Selain itu, pertukaran informasi dan pengalaman akan terjadi sehingga akan dapat meningkatkan kapasitas werga desa yang tergabung dalam kelompok rehabilitasi. Dengan demikian maka tahapan demi tahapan dalam penghijauan pantai akan dapat terselenggara dengan baik.

58 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 24. Hasil penanaman swadaya yand dilakukan oleh sebagian warga desa di sepanjang pematang sawah

(2) Persepsi positif masyarakat

Sebagian besar masyarakat yang ditemui di lapangan menunjukkan respon yang cukup positif terhadap rencana penghijuan pantai. Hampir seluruh masyarakat yang dijumpai saat wawancara bahkan menyatakan tertarik dan mau untuk terlibat dalam kegiatan ini. Namun demikian, ada juga warga yang merasa acuh tak acuh dalam merespon rencana ini. Kondisi ini adalah suatu kekuatan bagi FK GEMAP dalam menyelenggarakan program penghijauan pantai di Desa Suak Nie. Salah satu hal yang harus di tindaklanjuti adalah peningkatan kesadaran mayarakat atas arti penting kawasan pesisir yang lestari. Hal ini perlu dilakukan mengingat banyak diantara warga desa yang masih minim pengetahuannya mengenai peran dan manfaat hutan pantai, mangrove atau ekosistem pesisir ssecara umum.

Apabila pelaksana lapangan mampu mengoptimalkan kondisi ini maka program yang direncanakan akan dapat berjalan dengan baik. Untuk memuluskan program ini, segenap komponen masyartakat harus dilibatkan antara lain pemerintah desa, alim ulama, kelompok pemuda, pemuka desa dll.

c) Identifikasi kendala dan faktor pembatas

(1) Aksesibilitas ke lokasi penanaman rendah

Salah satu kandala yang dihadapi dalam program penghijauan pantai adalah rendahnya aksesibilitas ke lokasi penghijauan. Berdasarkan pengukuran secara kasar, jarak antara desa dengan pantai diperkirakan berjarak 800 meter. Jalan pengerasan hanya dapat dilalui hingga 200 meter dengan mobil. Setelah itu, perjalan harus lanjutkan dengan berjalan kaki karena arealnya berupa rawa gambut. Salah satu kondisi yang mempersulit akses adalah terputusnya jalan setapak oleh saluran air. Saat ini, pembangunan jembatan masih belum selesai satu-satunya cara untuk menyeberanginya adalah dengan menceburkan diri dalam air dan berjalan menyebarangi sungai.

Gambar 25. Kondisi aksesibilitas menuju ke lokasi penghijauan

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kondisi ini merupakan salah satu faktor pembatas dalam kegiatan rehabilitasi karena berpotensi mengganggu pelaksanaan kegiatan di lapangan antara lain:

• Membutuhkan tenaga dan waktu lebih dalam proses transportasi bibit • Membuat kegiatan penanaman di lapangan berjalan kurang efektif karena terkendala aksesibilitas • Membatasi proses monitoring dan pengawasan kegiatan • Terbatasnya kapasitas masyarakat terkait dengan kegiatan penghijauan pantai Walaupun terdapat anggota masyarakat yang telah memiliki pengalaman menanam pohon, namun

sebagian besar masyarakat Desa Suak Nie belum pernah melakukan kegiatan ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Desa Suak Nie tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam penyelenggarakan kegiatan penghijauan atau rehabilitasi pantai. Apabila hal ini dibiarkan, kondisi demikian akan dapat mengganggu kegiatan di lapangan. Hal penting yang harus disadari adalah bahwa kegiatan penghijauan sangat jauh berbeda dengan kegiatan yang lain. Hal ini mengingat bahwa ukuran kerberhasilan kegiatan bukanlah berapa bibit yang tertanam di lapangan, melainkan berapa bibit yang berhasil hidup dan tumbuh dengan baik.

Tanpa kapasitas yang semestinya, semua bibit bisa saja tertanam. Namun bisa dipastikan bahwa tingkat kematian bibit akan sangat tinggi. Atas dasar hal inilah, sangat direkomendaisikan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan. Melalui langkah ini, diharapkan kapasitas masyarakat akan meningkat sehinggga mereka mampu melakukan kegiatan penghijuan pantai dengan baik dan benar.

d) Prospek rehabilitasi

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kondisi pantai bepasir Desa Suak Nie sebagian besar masih labil. Selain itu, ancaman air pasang juga perlu diwaspadai terutama di zona depan pantai. Meskipun demikian, terdapat beberapa lokasi yang dinilai cukup prospektif untuk kegiatan penanaman. Untuk medapatkan hasil yang optimal, diperlukan strategi dan teknik yang tepat dalam melakukan kegiatan penanaman di lokasi ini. Selain itu, perlu ditempuh skala prioritas yaitu penanaman yang difokuskan pada areal-areal yang yang prospektif. Sementara pada areal yang tidak prospektif, penanaman sebaiknya tidak dipaksakan.

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

a) Identfifikasi kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi

Selama kegiatan survey tercatat banyak pihak yang telah berperan dalam kegiatan rekonstruksi di Suak Nie, terutama dalam bidang social ekonomi. Lokasi desa yang mudah diakses dan kerusakan akibat tsunami yang parah menyebabkan banyak donor yang memberikan bantuan di Desa Suak Nie. Pada tabel 25 disajikan beberapa lembaga yang pernah melakukan kegiatan terutama terkait dengan bantuan tsunami. Banyaknya lembaga yang masuk menyebabkan penduduk tidak dapat merekam semua nama lembaga tersebut sehingga tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi lembaga lainnya yang pernah memberikan bantuan di Desa Suak Nie yang tidak tercatat pada tabel berikut:

60 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 25. Donor atau implementator beserta jenis bantuan bidang social ekonomi yang diberikan di Desa Suak Nie

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. CWS

selesai 2. CWS

Rumah semi permanen dan kemar mandi

sedang berjalan 3. CWS

Kawat bronjong untuk kebun

Bantuan kepada kelompok nelayan

rencana pembentka kelompok

4. ICRAF

sedang berjalan 5. AIPRD & LOGIKA

Pelatihan dan demoplot perkebunan keret

selesai 6. PT. Wastu widyawan &

Peta Desa

selesai Mercycorps

Peta Tata Ruang Desa

7. World Vision

selesai 8. P2KP

Bantuan modal usaha

baru pembentukan kelompok

9. PMI

sedang berjalan 10 Dinas Kehutanan /GERHAN

Pelatihan keterampilan wanita

selesai 11. OXFAM Novib melalaui

Penanaman mangrove

sedang berjalan Wetlands International dan

Rehabilitasi ekosistem dan pemberdayaan

ekonomi

LSM lokal FK Gemab

Selain itu, teridentifikasi juga beberapa kegiatan dibidang rehabilitasi lingkungan di Suak Nie, dalam hal ini adalah penanaman pohon. Kegiatan tersebut beserta dampaknya adalah sebagai berikut:

1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) Suatu upaya restorasi pantai telah dilakukan di pantai berpasir di Desa Suak Nie. Kegiatan ini

merupakan bagian dari suatu program nasional yang dikenal luas sebagai Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Penanggung jawab kegiatan sekaligus pelaksana dari kegiatan ini adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Barat. Pada saat kunjungan dilakukan, tim tidak berhasil berdiskusi dan berkomunikasi dengan pelaksana kegiatan sehingga data-data kuantitatif yang menyangkut kegiatan ini tidak dapat ditampilkan dalam laporan ini.

Informasi yang diperoleh hanyalah dari hasil observasi lapangan yang dilakukan saat survey lapangan. Apabila di lihat sekilas, seakan-akan tidak ada kegiatan apapaun di di lokasi penanaman. Tingkat kematian bibit pada program ini sangat tinggi seingga beberapa tanaman saja yang terlihat. Beberapa tanaman yang masih tersisapun sebagian besar mengalami stress yang sangat berat karena tertimbun pasir. Timbunan pasir ini terjadi sebagai akibat erosi angin yang masih terjadi di pantai ini. Berdasarkan informasi dari penduduk setempat, bebberapa jenis yang ditanam di lokasi ini antara lain Cemara Casuarina equisetifolia, Kelapa Cocos nucifera, Ketapang Terminalia cattapa, dan beberapa jenis tanaman pantai lainnya. Namun diantara jenis-jenis tersebut, hanya beberapa tanaman kelapa saja yang masih bertahan, itupun dalam kondisi stress berat.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 26. Kondisi tanaman yang masih hidup dengan kondisi stress karena tertimbun pasir

2. Program peningkatan kapasitas bagi para petani karet oleh ICRAF Salah satu organisasi yang memiliki program di desa Suak Nie adalah ICRAF. Program ini lebih

diarahkan pada peningkatan kapasitas (capacity building) bagi masyarakat dalam rangka mendukung dan mengiptimalkan kegiatan budidaya kebun karet yang dilakukan oleh masyarakat. Dua hal utama yang menjadi penekanan dalam program ini adalah penggunaan bibit unggul dan penerapan ”Best Management Practices” dalam perkebunan karet. Dengan cara ini, diharapkan produksi karet akan meningkat sehingga meningkakan penghasilan masyarakat. Berdasarkan informasi dari masyarakat, beberapa kegiatan yang teah dilakukan dalam program ini antara lain pelatihan teknik okulasi, pelatihan teknik budidaya karet, pemberian bantuan bibit unggul dan pembuatan demplot-demplot percontohan. Selain itu, penyuluhan dan pembimbingan juga dilakukan secara berkala.

b) Dampak kegiatan

Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan anggota dan pemuka masyarakat setempat, seperti pada lokasi-lokasi yang terkena bencana tsunami pada umumnya, terdapat penurunan modal sosial masyarakat. Masyarakat cenderung kurang berminat untuk melakukan kegiatan secara suka rela atau gotong royong meski untuk kepentingan umum. Sebagai contoh untuk membersihkan parit masyarakat harus mendapatkan upah begitu juga dengan menghadiri rapat. Kehadiran dalam suatu rapat atau pelatihan sekarang tidak lagi menunjukan animo yang tinggi terhadap masalah apa yang akan dibahas dalam rapat atau pelatihan tersebut malainkan berapa uang saku yang akan didapatkan dari menghadiri rapat atau pelatihan tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan belum ditemukannya strategi yang tepat dan hubungan yang jelas antara program-program bantuan tersebut dengan masa depan hidup masyarakat ke depan yang berkelanjutan.

Pada program rehabilitasi lahan seperti yang dilakukan Dinas Kehutanan melalui program GRNHL Nampak sekali kelemahan dari kegiatan ini dimana bibit pohon hanya sekedar di tanam dan bukannya dipelihara. Penanaman sendiri dilakukan masyarakat hanya saja ada upah yang diberikan per pohon sebagai penarik minat masyarakat berpartisipasi. Tentu saja cara seperti ini hanya berhasil dalam jangka pendek saja, dan ketika proyek selesai maka masyarakat tidak memiliki ikatan atau komitmen apalagi kesadaran untuk terus memelihara tanaman. Untuk program yang dilaksanakan ICRAF, sebenarnya secara arah sudah cukup bagus dimana mereka berusaha mengoptimalkan produksi budidaya karet dari ketersediaan lahan yang tersedia. Hanya saja mengingat kawasan Suak Nie sebagian besar adalah kawasan gambut, secara prinsip seharusnya budidaya lebih diarahkan kepada kegiatan yang tidak mengganggu fungsi gambut alami itu sendiri. Mungkin perlu dipelajari secara seksama teknik-teknik budidaya ramah lingkungan yang tepat di gambut yang nantinya dapat diterapkan masyarakat. Diperkuat dengan penataan ruang yang jelas untuk zona budidaya, konservasi dan pemukiman.

62 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi Lahan Basah

Sebagian besar lahan basah di Suak Nie adalah rawa air tawar bergambut. Tutupan vegetasi di kawasan tersebut bervariasi, dari rumput-rumput dan semak rawa sampai dengan tanaman perkebunan. Sebagian dari rawa-rawa tersebut semula telah diolah menjadi sawah, sawah-sawah tersebut telah rusak dan menjadi rawa-rawa yang ditumbuhi ruput dan semak. Pada alur-alur yang dalam di dekat pantai terdapat vegetasi Nipah.

Dengan telah dilakukannya relokasi pemukiman menjadikan kawasan pantai yang semula padat dan ramai menjadi kosong. Yang tersisa dari kawasan sekitar tempat ini adalah tanaman kelapa yang sebagian telah mati. Secara otomatis kawasan ini telah mengalami perubahan peruntukan dari semula kawasan pemukiman menjadi kawasan non pemukiman.

Sebagian lahan berpasir di pantai sudah stabil seperti ditandai dengan munculnya tumbuhan pioneer seperti Ipomoea pes-caprae. Alternatif untuk pengembangan kawasan ini adalah menjadikannya kawasan penyangga dengan melaksanakan penghijauan pantai. Selain tanaman pantai dapat juga dikembangkan tanaman dengan nilai ekonomi seperti tanaman kelapa.

Secara umum masyarakat desa Suak Nie telah mempunyai perencanaan pengelolaan wilayah desanya. Rencana pengelolaan yang terkait dengan ekosistem lahan basah adalah rencana pencetakan sawah baru dan rencana untuk menjadikan kawasan rawa di dekat pantai sebagai tempat budidaya perikanan. Pemetaan secara partisipatif terkait dengan rencana ini telah dilakukan. Kemungkinan besar, kajian teknis untuk pelaksanaan rencana ini belum ada atau jika ada masih terbatas pada kajian umum.

Untuk menjadikan rawa-rawa menjadi tempat budiada perikanan agaknya harus dilakukan kajian dengan teliti. Kesulitan yang mungkin akan dihadapai adalah perubahan volume air dimana pada musim kemarau diperkirakan volume air akan menyusust drastis. Kendala lain akan muncul karena air tawar yang bersumber dari rawa-rawa gambut mempunyai pH yang rendah. Sifat kimia ini kurang menguntungkan untuk dijadikan sebagai tempat budidaya perikanan. Meskipun beberapa spesies yang umum dibudidayakan seperti mujahir dan lele memliki rentang toleransi pH yang cukup besar. Jika rencana budidaya perikanan tetap akan dijalankan maka harus dialakukan pemilihan teknis pemeliharaan dan pemilihan jenis yang tepat.

Kemungkinan lain yang bisa dilakukan dalam rangka pemanfaatan lahan rawa di sekitar pantai untuk perikanan adalah dengan melakukan pengayaan. Langkah ini mungkin tidak memberikan benefit keuangan secara tegas pada masyarakat sekitar. Keuntungan bagi masyarakat sekitar adalah tambahan pasokan protein untuk konsumsi sehari-hari. Langkah ini cukup sederhana dan menguntungkan sepanjang tidak terdapat permasalahan status lahan yang akan menjadi target pengayaan.

Rencana masayarakat untuk mencetak dan memperbaiki lahan sawah mereka agaknya perlu mendapatkan dukungan. Jika rencana ini terealisasi, sebagain kegiatan ekonomi masyarakat dapat kembali berjalan. Langkah ini sekaligus dapat memotivasi masyarakat untuk kembali bekerja. Sebagain tokoh masyarakat sendiri menilai bahwa saat ini motivasi dan etos kerja masyarakat masih rendah. Sebagian karena alasan trauma, dan sebagain lainnya terindikasi menjadi manja karena bantuan.

Dalam pengeloaan lahan gambut dangkal (< 100 cm) disarankan untuk mengembangkan sistem surjan, yaitu sistem yang memadukan pengelolaan lahan dan air. Tanah diolah secara hati-hati (tidak dibalik) dan ketinggian air dipertahankan (di atas lapisan pirit) agar terhindar dari oksidasi. Sebaiknya lahan ditanam scara tumpang sari/tumpang gilir (padi – palawija).

Pada lahan gambut dalam (> 200 cm) tidak disarankan untuk pengembangan pertanian, tapi sebaiknya dipertahnakan sebagai kawasan lindung gambut. Karena apabila dikekola sebagai lahan

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pada lahan/tanah mineral yang terkena tsunami (kontaminasi), apabila akan dilakukan penanaman sebaiknya lahan terlebih dahulu harus “disehatkan” kembali dengan cara menghilangkan unsur- unsur racun dalam tanah. Untuk menghilangkan racun-racun tersebut, tanah perlu diolah secara intensif (dibajak, direndam dan digelontorkan). Kegiatan ini harus dilakukan secara kontinyu. Namum sebelumnya alur-alur sungai yang menghambat aliran air karena sedimentasi harus diperbaiki (normalisasi) sehingga pembuangan airnya menjadi lancar.

Penyehatan lahan/tanah dapat juga dilakukan dengan cara penanam tanaman yang toleran terhadap kondisi lahan/tanah beracun seperti ketela pohon (singkong), pisang, talas, dll. Karena tanaman tersebut dapat menstimulir racun-racundalam tanah.

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

(1) Lokasi penanaman dan jenis tanaman yang sesuai

Berdasarkan penilaian kesesuaian lahan, hanya dua zona yang dinilai sesuai untuk ditanami yaitu zona B dan C (lihat gambar di bawah ini). Zona depan (zona A) dinilai tidak sesuai untuk penanaman karena masih sering terkana air laut pada saat pasang. Walaupaun kedua zona tersebut (zona B dan

C) dinilai sesuai, penanaman sebaiknya diprioritaskan pada lokasi yang telah ditumbuhi Ipomea pes caprae atau tumbuhan lainnya.

Gambar 27. Rekomendasi untuk masig-masing lokasi untuk penanamn

Mengingat kondisi lingkungan yang berbeda-beda di calon lokasi penanaman, maka jenis bibit yang ditanam harus menyesuaikan dengan kondisi di masing-masing tapak. Untuk lokasi dengan daya dukung lingkungan yang terbatas, hanya jenis tertentu saja yang mampu tumbuh yaitu jenis yang memiliki sifat pionir seperti cemara dan ketapang disarankan dipilih untuk kondisi ini. Sementara untuk lokasi yang daya dukungnya lebih baik, beberapa jenis tanaman pantai lainnya dapat dipilih. Di bawah ini adalah rekomendasi jenis-jenis tanaman yang sebaiknya ditanam di calon lokasi penanaman.

• Zona A : Tidak sesuai untu penanaman • Zona B : Cemara Casuarina equisetifolia dan Ketapang Terminalia cattapa • Zona C : Cemara Casuarina equisetifolia, Ketapang Terminalia cattap, Putat Barringtonia

asiatica, Waru Hibiscus tiliaceus, Pandan laut Pandanus tectorius, Kelapa Cocos nucifera, Kuda-kuda Lannea spp, Nyamplung Callophyllum inophyllum, Bintaro Cerbera manghas, dan beberapa jenis tanaman pantai lainnya.

Sementara itu, terdapat beberapa lokasi yang sangat tidak direkomendasikan untuk ditanami yaitu semua areal di zona A, areal terbuka, dan alur-alur air.

64 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 28. Alur-alur air: salah satu lokasi yang harus dihindari untuk penanaman

(2) Strategi/teknik penanaman

Di lapangan, penanaman tanaman pantai pada umumnya dilakukan pada pantai berpasir dari arah depan (pasir terbuka) ke belakang hingga suatu garis dimana terdapat tumbuhan bawah. Hal ini menyebabkan bibit yang ditanam tidak dapat tumbuh dengan baik karena substratnya tidak sesuai. Selain itu, penanaman dari arah depan ke belakang sangat beresiko terhadap genangan yang disebabkan oleh pasang purnama. Untuk meningkatkan keberhasilan, penanaman sebaiknya di lakukan dari arah belakang menuju ke depan garis pantai. Penanaman sebaiknya dihentikan pada suatu garis dimana pasirnya dalam dan tidak ada vegetasi yang tumbuh diatasnya.

Batas

awal

Lokasi penanaman Arah penanaman:

yang sesuai : Tanah berpasir

Batas

ujung

Pantai berpasir

Laut

Gambar 29. Ilustrasi strategi penanaman yang tepat

(3) Peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat

Kedua langkah ini harus dilakukan mengingat sebagain besar masyarakat belum menyadari fungsi dan manfaat pessisir serta tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat menyelenggarakan kegiatan penghijauan pantai. Peningkatan kesadaran dapat dilakukan dengan cara penyuluhan dan kampanye lingkungan . Pembagian berbagai material penyadaran lingkungan antara lain psoter, leaflet, komik dll sangat direkomendasikan utnuk menunjang penyuluah dan kampanye ligkungan yang dilakukan. Sementara itu, peningkatan kapasitas mesyarakat dapat dilakukan melalui pelatihan, studi banding atau kegiatan lainnya yang dapat menambah pengetahuan masyarakat.

(4) Penataan batas di lokasi penanaman

Penataan batas di lokasi penanaman sangat direkomendasikan dalam rangka memudahkan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi di lapangan, monitoring serta pengawasannya. Salah satu hal terpenting dalam penataan batas yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda (pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman antara lain: luas lokasi penanaman, pelaksana penanaman, jenis bibit yang ditanam, tanggal penanaman, dan beberapa informasi penting lainnya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(5) Pemeliharaan dan monitoring kegiatan

Pemeliharaan pasca penanaman harus dilakukan meliputi penyulaman, pencegahan dan pemberantasan hama. Untuk mendukung kegiatan ini, perlu dilakukan pembagian erja diantara anggota kelompok sehingga tanaman di apangam senantiasa terjaga setiap hari. Agar kegiatan penyulaman berjalan efektif, lembaga sebaiknya membuat persemaian sederhana di sekitar lokasi penanaman. Dengan demikian, maka tanaman sulaman akan senantiasa tersedia di lapangan, tanpa harus mendatngkan bibit dari luar.

Selain itu, monitoring tanaman juga harus dilakukan secara rutin. Penghitungan prosentase tumbuh sebaiknya dilakukan setiap tiga bulan. Dalam hal ini, teknik sampling dengan intensitas 20-30% dapat dijadikan alternatif dalam proses penghitungan ”survival rate” tanaman ini. Sebaiknya, monitoring ini melibatkan masyarakat dengan harapan mereka akan mampu melaksanakan monitoring secara mandiri di masa mendatang.

(6) Pembuatan camp di sekitar lokasi penghijauan

Mengingat akses yang cukup rendah, sangat direkomedasikan bagi Yayasan FK GEMAP unuk membuat gubug kerja atau camp lapangan di sekitar lokasi penghijauan. Gubug kerja/camp laangan ini dapat difungsikan dalam menunjang kegiatan penanaman, pengawasan, menjaga tanaman dari ancaman ternak, atau kegiatan pemeliharaan lainnya.

B. UJONG DRIEN

1. Profil Umum Lokasi

Desa Ujong Drien terletak di sebelah Selatan Kota Meulaboh merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat dengan luas daerah 70 Ha. Kecamatan Meurebo merupakan hasil pemekaran sejak sepuluh tahun lalu. Sebelumnya Kecamatan Meurebo tergabung dalam Kecamatan Kawai 16. Jumlah desa yang masuk dalam administratif pemerintahan Kecamatan Meurebo berjumlah 15 desa.

Secara geografis Desa Ujong Drien terletak pada koordinat 4° 8' 42.68" N 96° 8' 48.41" E dengan batas wilayah administratif sebagai berikut:

a. Sebelah Barat

: Desa Pasi Pinang

b. Sebelah Timur

: Desa Meureubo

c. Sebelah Selatan

: Samudra Hindia

d. Sebelah Utara

: Desa Ujung Tanjong

Perjalanan darat dari Banda Aceh ke Ujong Drien melalui Meulaboh menempuh selama 12 jam perjalanan melalui jalur perbukitan Gempang-Tutut. Sebelum tsunami, perjalanan menuju Meulaboh dapat ditempuh melalui pesisir Barat, melewati Kabupaten Aceh Jaya, selama tujuh jam perjalanan. Akibat tsunami jalan utama pesisir barat dan jembatan yang menghubungkan Kota Calang Aceh Jaya dan Aceh Barat putus dan belum diperbaiki, sehingga perjalanan harus ditempuh menggunakan rakit. Bila hujan lebat jalan pesisir barat sangat sulit ditempuh selain licin, penyebrangan menggunakan rakit sangat beresiko.

Jalur lain yang dapat ditempuh untuk mencapai Kota Meulaboh dari Banda Aceh adaah menggunakan jalur udara dengan menggunakan pesawat perintis. Lama perjalanan menggunakan pesawat sekitar

45 menit dengan harga tiket Rp 250.000,- per orang. Harga ini adalah harga yang disubsidi oleh Pemerintah NAD.

66 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

71 PROV. NAD

KAB. ACEH BARAT

Rusak Berat

Rusak Sedang

Rusak Ringan

Tidak Rusak

Gambar 30. Peta Kec. Meureubo, Desa Ujong Drien (Sumber ADB 2005)

Kabupaten Aceh Barat terletak pada suatu daerah yang dinamakan penelukan Meulaboh (Meulaboh embayment). Region ini dicirikan dengan adanya dorongan ombak dominan kea rah pantai ( wave dominated beach barrier-system) yang menghalangi drainase dari sungai yang berbentuk meander dan rawa belakang (laguna tua). Di Calang (Aceh Jaya) kedalaman dari penelukan (embayment) adalah 100 m dan di dekat Meulaboh mendekati 2000m. Gerakan arus laut sepanjang pantai menghasilkan gelombang yang mendepositkan berton-ton material berpasir yang bertekstur kasar di sepanjang pantai utama. Fitur-fitur seperti ini dapat ditemukan di desa Ujong Drien dimana desanya berada di tepi muara sungai Meurebo yang besar dan berkelok-kelok. Hempasan ombak yang besar ke arah darat, dipadukan dengan arus kuat air tawar dari sungai Meurebo di daerah muara menyebabkan terbentuknya beting-beting pasir dan tanah timbul di sekitar mulut sungai.

Terjadinya tsunami berdampak pada perubahan secara menyeluruh pada keadaaan lingkungan pesisir, sedimentasi dan deposisi masih belum dalam keadaan setimbang sehingga bentuk muara masih berubah-ubah. Karena dataran alluvial pada embayment sangat datar, gradien sungai menjadi rendah sehingga pengendapan pun berlangsung lambat. Hasil dari energi sistem sungai yang rendah

68 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 68 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tanah-tanah di dataran rendah di daerah ini sebagian besar berasal dari endapan marin dan endapan sungai yang bersifat loamy sampai clayey. Selain itu dibeberapa tempat juga terdapat potensi tanah sulfat masam dan tanah dengan salinitas tinggi pada depresi alluvial tua dan danau tapal kuda.

Akibat dari tsunami adalah kerusakan pada daerah pesisir antara lain dengan kerusakan pada sebagian besar tepi pantai dan dataran alluvial pesisir yang mencakup area yang luas. Drainase baik air laut (salin) maupun air tawar menjadi bermasalah karena saluran alami buntu.

2. Tipologi Lahan Basah

Secara garis besar Ujong Drien merupakan daerah pesisir pantai berpasir dan muara. Sungai yang bermuara di desa ini adalah sungai Meurebo. Pada jalur muara sungai lama terdapat sedikit rawa- rawa.

Gambar 31. Foto udara lokasi Ujong Drien paska Tsunami (sumber ETSP 2005) Ekosistem lahan basah di Ujong Drien meliputi:

F : Estuary Sungai yang bermuara di Ujong Drien adalah Sungai Meurebo. Kurang lebih 500 meter sebelum

bermuara ke laut, terdapat cabang yang sebenarnya adalah jalur sungai tua. Alur sungai tua ini cukup dalam dan tidak berarus kuat, sehingga tempat ini dibangun tempat pendaratan perahu dan TPI.

E : Pantai berpasir Pantai berpasir di Ujong Drien mengalami perubahan cukup besar sebagai akibat adanya tsunami.

Morfologi pantai berubah karena banyak sediment yang dipindahkan oleh gelombang. Sebagian dipindahkan ke arah darat hingga mengisi cekungan sebagian lainnya berpindah posisi di sepanjang pantai. Secara umum namapak bahwa pantai menjadi tidak terlalu landai.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. Profil Vegetasi

Apabila dilihat dari atas, lokasi rehabilitasi di Desa Ujong Drien lebih menyerupai sebuah pulau kecil dengan bentuk memanjang. Informasi penduduk menyebutkan bahwa lokasi rehabilitasi dulunya dihubungkan oleh hamparan lahan basah yang terdiri dari rawa air tawar dan sawah. Informasi ini sesuai dengan temuan dilapangan yaitu dengan dijumpainya beberapa batang pohon sagu Metroxylon sagu yang hingga sekarang masih bertahan hidup. Sementara, sisa-sisa keberadaan sawah sama sekali tidak terlihat karena air yang menggenangi bekas areal persawahan cukup tinggi tinggi. Perubahan ekstrim ini diduga kuat terkait dengan penurunan lansekap yang terjadi di sepanjang pantai barat Aceh.

Berdasarkan observasi yang dilakukan di lapangan, tutupan lahan di lokasi rehabilitasi diperkirakan mencapai 90%. Hal ini berarti bahwa lokasi ini telah menunjukkan kemajuan yang cukup berarti, terkait dengan pemulihan vegetasinya. Areal yang kososng (10%) terdiri dari substrat yang masih stabil dan genangan air.

Gambar 32. Kondisi umum tutupan vegetasi di lokasi calon rehabilitasi

Gelombang Tsunami telah menghancurkan pesisir Desa Ujong Drien, termasuk lenyapnya sebagian besar vegetasi pesisir. Kesaksian masyarakat menkonfirmasi bahwa hampir seluruh vegetasi di tepi pantai mengalami kehancuran. Diantara seluruhnya, hanya beberapa pohon saja yang masih berdiri dengan kondisi yang rusak berat. Dilaporkan juga bahwa dari pohon-pohon yang masih berdiri tegak paska tsunami, hanya sebagin kecil saja yang mempu bertahan hidup hingga sekarang.

Selang 3 tahun setelah Tsunami terjadi, kondisi di lapangan sangat jauh berubah. Lahan yang setelah bencana terjadi terbuka, kini telah ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan melalui proses suksesi alami. Peningkatan penutupan lahan juga terjadi menyusul campur tangan manusia melalui beberapa kegiatan antara lain penanaman tanaman pantai dan penanaman mangrove. Berdasarkan observasi di lapangan, penutupan lahan saat ini diperkirakan mencapai 70%. Diestimasi bahwa kegiatan penanaman artifisial melalui beberapa program penghijauan di lokasi ini turut menyumbang 10% dari total tutupan lahan yang ada di lapangan.

Pengamatan vegetasi yang dilakukan selama survey lapangan mengidentifikasi beberapa tipe vegetasi atau formasi di calon lokasi ini. Formasi Pes Caprae (PC) merupakan formasi yang paling mudah ditemukan dengan diindikasikan pentupan herba menjalar berjenis Ipomea pes caprae. Semak juga ditemukan di beberapa titik secara sporadis yang merupakan hasil perkembangan lebih lanjut dari formasi PC. Tegakan cemara dapat dijumpai terutama di bagian barat lahan yang merupakan hasil dari progra penghijaun pantai. Sementara di belakang hamparan, tepatnya yang berbatasan dengan rawa, dijumpai vegetasi rawa dan tanaman mangrove artifisial. Secara sederhana, profil vegetasi di pesisir calon lokasi Desa Ujong Drien dapat diilustrasikan melalui gambar 33 berikut ini.

70 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Keterangan:

A : Formasi PC B : Tegakan Cemara artifisial

C: Semak D, E

: Rawa dan mangrove artifisial

Gambar 33. Sketsa melintang formasi dan tipe vegetasi di pesisir Desa Gampong Baru

Paragraf di bawah ini adalah penjelasan lebih detail mengenai masing-masing formasi atau tipe vegetasi yang ada di calon lokasi rehabilitasi Desa Ujong Drien.

1. Formasi Pes-caprae (PC) Formasi ini mendominasi penutupan di calon lokasi rehabilitasi, terutama di substrat berpasir yang

kering. Sebagaimana tercantum dalam namanya, formasi ini didominasi oleh jenis herba Ipomea pes caprae yang lebih dikenal dengan sebutan tapak kuda atau galaran. Formasi ini tersebar secara merata di lokasi ini, terutama di sepanjang tepi lokasi yang menghadap ke laut. Namun demikian, formasi ini juga dapat dijumpai di wilayah tengah lokasi. Pada umumnya, kerapatan ipomea di tepi lahan lebih tinggi dibandingkan dengan yang berada di bagian tengah. Selain tumbuhan galaran, beberapa jenis lainnya yang dapat dijumpai antara lain teki laut Ischaemum muticum, Cyperus stoloniferius, Fimbristylis cymosa, biduri Calatropis gigantea, dan kacang laut Canavalia maritima.

Gambar 34 Kondisi penutupan lahan di formasi Pes Caprae

2. Tegakan cemara Tegakan cemara ini merupakan hasil dari beberapa program penghijauan yang pernah dilakukan di

lokasi ini. Sebenarnya, ada beberapa jenis bibit yang ditanam dalam beberapa prgram sebelumnya antara lain ketapang dan kelapa. Namun, hanya jenis cemara Casuarina equisetifolia yang mampu bertahan dan tumbuh dengan baik. Beberapa jenis tumbuhan juga dapat dijumpai di sekitar tegakan cemara antara lain galaran Ipomea pes-caprae, Desmodium umbellatum, Opiorrizha spp., Calopogonium mucunoides, Crotalaria striata, Indigofera suffruticosa, pecut kuda Stachytarpeta indica, dan Abutilon hirtum.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 35. Kondisi tegakan cemara di lokasi yang di survey

3. Vegetasi rawa dan mangrove artifisial Tipe vegetasi ini dijumpai di belakang hamparan lahan, tepatnya yang berbatasan dengan sungai.

Beberapa pohon sagu Metroxylon sagu dijumpai disamping beberapa jenis tumbuhan lainnya seperti Typha angustifolia dan beberapa jenis tumbuhan rawa lainnya. Berbeda dengan formasi sebelumnya, luasan vegetasi rawa ini sangat kecil. Berdasarkan pengamatan di lapangan, vegetasi rawa yang dijumpai sat ini merupakan sebagian kecil dari vegetasi rawa yang dahulu ada dan telah rusak berat oleh bencaa Tsunami. Masih dalam satu hamparan yang sama, dijumpai tanaman mangrove hasil dari kegiatan program penghijauan yang pernah dilakukan di lokasi ini. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat 3 jenis mangrove di lokasi ini yaitu Sonneratia caseolaris, Rhizophora mucronata dan R.apiculata.

Gambar 36. Mangrove yang tersisa setelah tsunami (depan) dan koloni mangrove artifisial hasil penanaman (tampak di belakang)

4. Semak Di lokasi ini, semak dijumpai dalam bentuk koloni-koloni yang tersebar. Di lihat dari sudut pandang

dinamika vegetasi, tipe vegetasi ini merupakan perkembangan dari formasi pes caprae. Kehadiran herba Ipomea pes-caprae sangat berdampak positif terhadap kestabilan substrat serta peningkatan daya dukungnya. Tumbuhnya herba ini pada substrat sekaligus memberi pertanda bahwa tingkat salinitas pada tanah telah jauh menurun sehingga menjadi memungkinkan ditumbuhi jenis tumbuhan terrestrial untuk hidup. Berdasarkan pengamatan vegetasi di lapangan, semak yang di jumpai di lokasi survey terdiri dari berbegai jensi herba dan semak antara lain biduri Calatropis gigantea, Desmodium umbellatum, Opiorrizha spp., Calopogonium mucunoides, Crotalaria striata, pecut kuda Stachytarpeta indica, dan Dodoaea viscosa. Kelimpahan dari jenis-jenis ini sangat rendah. Secara sporadis, tim menjumpai beberapa pohon Caesalpinia crista diantara semak.

72 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan berlangsung singkat pada tanggal: 9 November 2007. Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: 15 jenis burung, serta satu jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Tidak dijumpai kelompok mammalia pada pengamatan di Desa Ujong Ndrien.

b) avifauna

15 jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini. 5 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Jenis yang dilindungi oleh tersebut berasal dari kelompok raja-udang (1 jenis), dan kelompok burung madu (1 jenis), serta kelompok burung air (2 jenis dara-laut, 1 jenis gajahan).

c) HERPETOFAUNA

Tercatat hanya satu jenis dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, yaitu: Biawak Varanus salvator.

5. Tanah dan Pertanian

a) Fisiografi/Topografi dan Geologi

Lokasi survey merupakan daerah peralihan antara laut dan daratan yang terletak di muara sungai sehingga daerah ini umumnya disebut delta yang membentuk pulau-pulau kecil. Delta ini merupakan endapan baru dan masih labil, masih terdapat pergeseran-pergeseran. Topografi datar dan membentuk cekungan di tengah-tengah dengan lereng 0-1 % dan mempunyai ketinggian 0-2 di atas permukaan laut.

Formasi geologi lokasi survey merupakan endapan aluvium marin dengan bahan induk berupa pasir, liat, lumpur dan bahan organik .

b) KeadaanTanah Beberapa titik pengamatan tanah telah dilakukan di lokasi survey untuk mengetahui sebaran tanah

dan tingkat kesuburan tanah. Tanah-tanah di lokasi penelitian merupakan tanah mineral yang terbentuk dari bahan endapan marin

yang terdiri dari pasir dan berlumpur dengan kandungan bahan organik tinggi. Tanah/lahan selalu tergenang dan selalu jenuh air karena pengaruh air pasang dari laut maupun

sungai. Pada lahan ini, proses pematangannya sangat lambat dan mempunyai kandungan garam- garam (saline)

Karena lokasi survey mempunyai lahan yang sangat sempit sehingga tidak dapat digambarkan dalam bentuk sebaran dalam peta. Berdasarkan hasil pengamatan morfologi tanah di lapangan, tanah di lokasi survey hanya dibedakan berdasarkan klasifikasi tanahnya saja, sedangkan karakteristiknya, landform, topografi, bahan induk, dan penggunaan lahan hampir homogen. Klasifikasi tanah mengacu pada Soil Taxonomy (USDA,1998) dan Pusat Penelitian Tanah Bogor (P3MT, 1983) sebagai padanannya.

Di lokasi penelitian Ujong Drien dapat disusun - karateristik lahan akan diuraikan dalam tabel dan gambar di bawah ini:

Tabel 26. Satuan Peta Tanah di lokasiUjong Drien, Melaboh

Klasifikasi Tanah Landform/Topografi Litologi Land use

1 Typic Psammaquents

Beting Pantai, lereng 1-3 %

Sedimen marin

(berpasir)

Lahan terbuka

73

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 37. Lokasi pengamatan tanah di wilayah Ujung Drien

Uraian Tanah Karakteristik. Asosiasi Typic Psammaquents; pasir kasar, dalam, agak alkalin, drainase cepat

(Regosol) Penyebaran. Satuan peta ini terdapat pada delta di muara sungai. Bentuk wilayah datar agak cekung,

lereng 0 - 1 persen. Tata guna lahan. Penggunaan lahan sebagian besar berupa belukar pantai. Potensi lahan. Tidak sesuai untuk pengembangan pertanian karena kondisi lahan yang sudah rusak,

kandungan hara sangat rendah dan berpasir dalam. Lahan ini sebaiknya direhabilitasi atau dijadikan kawasan lindung.

c) Kesuburan Tanah

Status kesuburan tanah di lokasi survei di analisis secara manual di lapangan tanpa analisis di laboratorium. Secara visual tanah mempunya tekstur pasir kasar hasil pengendapan dari sungai dan laut dengan salinitas tinggi dan kandungan bhan organik rendah. Tekstur berbutir kersai (tunggal), masve (pejal) dan tidak ada ikatan-ikatan unsur kimia lain seperti phosphat, kalium, nitrogen dll, sehingga tanah ini mempunya nilai KTK sangat rendah dan sangat tidak subur.

Tanah sangat kering apabila musim kemarau karena mudah melepaskan air dan kelembaban tanah sangat rendah walaupun muka air tanah dangkal.

74 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 74 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Walaupun tanah-tanah di lokasi survei ini sangat tidak mendukung untuk kegiatan budidaya pertanian, akan tetapi masih bisa diusahakan untuk kegiatan budiaya lainnya seperti tanaman kehutanan dan tanaman yang khas tumbuh di lokasi setempat.

Penilaian evaluasi kesesesuian lahan diarahkan pada kelompok tanaman tahunan khususnya tanaman kelapa jenis lokal dan tanaman kehutanan khususnya tanaman pantai seperti waru dan cemara.

Penilaian kesesuaian digolongkan berdasarkan faktor-faktor pembatas (limiting factor) yang dominan seperti kesuburan tanah/unsur dan retensi hara (nr), media perakaran (rc), Toksisitas/salinitas (xc) bahaya sulfidik (xs) dan bahaya banjir/genangan (fh). Sedangkan fator lingkungan seperti iklim dan topografi tidak menjadi faktor pembatas

Tabel 27. Hasil Penilaian kesesuaian lahan di lokasi Survei

Kelas Kesesuaian Lahah

Rekomendasi Tan pangan

Perkebunan

Holtikultura

1 N-rc,xs,fh N-rc,xs,fh

N-rc,xs,fh

Rehabilitasi Pantai (cemara)

Keterangan :

• Tan. pangan : Padi, jagung, kacang2an (kedelai dan Kacang tanah) •

Tan. Perkebunan : kelapa, kapuk, kemiri • Tan. Holtikultur (buah-buahan dan sayuran) : durian, salak, sukun, nangka, cabe merah,bayam,

mentimun, kacang panjang N= tidak sesuia S3= sesuai marginal , nr= retensi hara sangat rendah, xs= Bahaya sulfidik/garam, oa= drainase sangat terhambat. fh=bahaya banjir/genangan

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Sebelum tsunami pada umumnya mata pencaharian penduduk Desa Ujong Drien adalah nelayan dan petani sawah. Selain persawahan rusak akibat tsunami, sawah-sawah yang ada saat ini rusak akibat terendam banjir akibat lamanya intensitas hujan pada bulan November 2007. Padahal sawah yang terendam akibat banjir tesebu tinggal dua bulan lagi menunggu panen. Kegiatan mata pencaharian yang muncul pasca Tsunami adalah penggalian pasir (galian tipe C) di sepanjang Krueng Meurebo. Kegiatan ini muncul untuk memenuhi kebutuhan pasir kegiatan rekostruksi pasca tsunami.

b) Demografi

(1) Populasi

Berdasarkan hasil pendataan BPS seperti ditunjukan pada tabel 28 di bawah ini diketahui bahwa jumlah penduduk Desa Ujong Drien dari tahun 2003 ke tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 45% yaitu dari 883 jiwa menjadi 1284 jiwa. Perubahan angka tersebut menunjukkan peningkatan populasi penduduk yang cukup signifikan. Informasi dari Ketua Pemuda desa setempat menyebutkan bahwa pertambahan penduduk yang drastis dipicu oleh tingginya perkawinan yang terjadi antara warga Aceh yang kembali pulang ke Meulaboh pasca Tsunami, dimana sebelumnya mereka tinggal di Medan untuk menghindari masa konflik antara GAM dan TNI.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 28. Populasi penduduk Desa Ujong Drien dan Kecamatan Meurebo tahun 2003 dan 2005

Kepadatan Populasi

Tahun

Penduduk

Jumlah KK

(ind/ km2) Desa Ujong Drien

Laki-laki Perempuan

Kecamatan Meurebo

Peningkatan jumlah penduduk ternyata tidak hanya terjadi di Desa Ujong Drien tapi hal tersebut berlangsung secara umum di Kecamatan Meurebo. Persentase peningkatan jumlah penduduk dari tahun 2003 ke tahun 2005 sebesar 38% yaitu dari 10.936 jiwa menjadi 17.638 jiwa dengan komposisi masing-masing 5490 laki-laki dan 5446 perempuan pada tahun 2003 dan 8471 laki-laki dan 9167 perempuan pada tahun 2005.

Perbandingan pertumbuhan penduduk antara laki-laki dan perempuan disajikan pada gambar berikut:

Populasi Desa Uj.Drien Populasi Kec Meurebo x 10

Gambar 38. Grafik pertumbuhan penduduk tahun 2003 dan 2005 Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa jumlah perempuan pada tahun 2003 lebih sedikit dari laki-

laki dengan selisih sekitar 35 jiwa, nilai perbedaan yang tidak terlalu signifikan bahkan dapat dikatakan jumlah laki-laki dan perempuan di Desa Ujong Drien saat itu adalah seimbang. Namun setelah tahun 2005 jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki yaitu 146 jiwa lebih banyak dari pada laki-laki. Komposisi usia penduduk Desa Ujong Drien secara kasar yaitu sekitar 68% atau kurang lebih 600 jiwa penduduk Desa Ujong Drien masuk kategori dewasa (berdasarkan pendataan jumlah pemilih yang dilakukan KPU desa untuk pemilihan Kheucik tahun 2008).

Mayoritas Etnis yang mendiami Desa Ujong Drien adalah etnis Aceh. Kecamatan Meurebo tepatnya Desa Buloh merupakan salah satu desa tujuan transmigrasi sehingga asimilasi penduduk lokal dan pendatang dari luar Aceh telah terjadi sekitar 20 tahun lalu. Etnis yang mendiami Desa Ujong Drien lainya yaitu Jawa dan Batak. Agama mayoritas di Desa Ujong Drien adalah Islam. Berdasarkan informasi dari beberapa responden semua penduduk desa menganut agama Islam. Penduduk yang menganut agama selain Islam banyak yang tinggal di Kota Meulaboh terutama etnis Tionghoa.

Bahasa yang digunakan di Meurebo berbeda dengan Bahasa Aceh pada umumnya. Penduduk menyebut bahasa yang mereka gunakan sebagai bahasa Jambe atau bahasa orang Baiko’. Bahasa Jambe sendiri mirip dengan Bahasa Padang, namun tidak ada informasi tentang masuknya orang Padang di Kabupaten Aceh Barat. Bahasa Jambe juga digunakan di Kabupaten Aceh Selatan dan sebagian kecil oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Barat Daya.

76 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 29. Agama dan Etnis Penduduk Desa Ujong Drien Tahun 2003 dan 2005

Tahun

Agama Utama

Etnis

Etnis Utama

2003 Islam Multi Etnis Aceh 2005 Islam Multi Etnis Aceh 2007 Islam Multi Etnis Aceh

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Pada saat musim Barat angin bertiup langsung ke arah Samudra Hindia sehingga gelombang yang terjadi jauh lebih tinggi dibandingkan pada kondisi normal atau musim Timur. Posisi desa yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia membuat nelayan harus memodifikasi kegiatan mata pencaharian beradaptasi dengan pola angin. Berikut kalender kegiatan mata pencaharian penduduk Desa Ujong Drien dalam satu tahun

Tabel 30. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Ujong Drien sebelum Tsunami

Jenis Pekerjaan

Bulan

(dimulai dari yang paling penting)

Agus Sep Okt Nov Des

Melaut (40%) Panen Musim

Musim Timur ikan rumpon

Musim Barat

Timur

Jala ikan di rawa

√ √ √ Sawah 2 kali panen 4

√ √ panen & bulan umur padi

√ panen persiapan tanam √

tanam Ternak lembu, √

√ √ √√ kambing, ayam

Kebun tebu

√ √ √ Kebutuhan Kredit

(a) Perikanan Tangkap

a. Alat Tangkap Berdasarka informasi dari warga sekitar 70% penduduk Desa Ujong Drien bermata pencaharian ke

laut. Kegiatan perikanan tangkap yang paling berkembang di Desa Ujong Drien adalah melaut dengan menggunakan perahu bermesin tempel. Sebagian kecil nelayan mengembangkan usaha perikanan tangkap yang difasilitasi oleh “toke” menggunakan kapal besar dengan wilayah jelajah sampai dengan

Pulau Rondo Sabang yang jaraknya cukup jauh di utara kota Banda Aceh Jumlah awak yang terlibat dalam kapal besar ini sekitar 10 orang dengan lama waktu melaut sekitar satu minggu. Ikan yang biasanya didapatkan adalah ikan tuna.

Kapal dengan mesin tempel biasanya menangkap ikan-ikan yang ada di rumpon atau biasa disebut oleh penduduk setempat dengan istilah “unjam” yang telah ditempatkan sebelumnya. Pengaturan pemanenan ikan di unjam diatur oleh Panglima Laot Lhok Meurebo. Alat tangkap yang biasa

digunakan yaitu pukat cincin, pukat pantai dan jaring. Ikan yang biasanya didapatkan yaitu udang, hiu, rambeu, kakap.

Kendala pada kegiatan perikanan tangkap adalah munculnya musim barat. Di musim ini nelayan tidak leluasa memanfaatkan waktu untuk melaut karena angin kencang namun aktivitas melaut sama

sekali tidak terhenti hanya saja nelayan harus “mencuri-curi” waktu ketika angin tenang. Daerah jelajah pun tidak bisa terlalu jauh ke tengah karena akan kesulitan untuk kembali ke darat bila angin tiba-tiba bertiup kencang.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

keberadaan toke cukup banyak di Desa Ujong Drien. Sama seperti daerah lain di Aceh pada umumnya pembagian hasil tangkapan boat mesin tempel menganut pola 1: 3, dimana pemilik boat akan mendapatkan 1/3 bagian dari hasil tangkapan bersih. Sisa 2/3 akan menjadi pemilik orang yang melaut.

Sebelum tsunami nelayan mendaratkan kapal di Ujong Drien dan menjual hasil tangkapannya ke TPI di Krueng Meurebo yang berjarak sekitar 2km atau langsung menjual ke Pasar Meulaboh. Sejak tahun 2006 dengan bantuan dari ADB Asian Development Bank didirikan TPI di Desa Ujong Drien. Pembangunan TPI ini dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat nelayan. Hal tersebut dinilai dari aktivitas perikanan yang berjalan dengan adanya TPI. TPI juga sudah dilengkapi dengan mesin pembuat es balok yang didanai oleh Mercy Corps. Namun sayang sekali mesin pembuat es ini tidak dirawat dengan baik sehingga dalam beberapa bulan mesin menjadi berkarat. Kondisi mesin yang karat dan tidak difungsikan membuat Mercy Corp menarik kembali mesin pembuat es tersebut pada Oktober 2007.

(b) Pertanian

Kegiatan pertanian yang berkembang di Desa Ujong Drien adalah persawahan. Tsunami yang terjadi tahun 2004 tidak merusak sawah dan fasilitasnya sehingga aktivitas persawahan tetap berlangsung. Kendala yang dialami dalam persawahan yaitu ketika musim kemarau air tidak masuk ke saluran irigasi sehingga warga secara manual memindahkan air dari kanal ke sawah dengan menggunakan ember mengairi masing-masing petak sawah (lihat Gambar 39). Kendala yang dihadapi saat ini adalah musim hujan dengan curah yang tinggi dan berlangsung lama sehingga padi yang dua bulan lagi akan panen rusak karena terendam air. Ketika hujan tidak turun terjadi serangan burung pipit yang memakan bulir padi sehingga untuk antisipasi banyak sawah yang menggunakan paranet.

Sawah menggunakan paranet dan terendam air

Gambar 39 Air diangkut dengan ember dari A-B

Hasil pendataan dari BPS menunjukan bahwa mata pencaharian utama adari penduduk Desa Ujong Drien adalah pertanian dengan persentase keluarga bermata pencaharian pertanian sebesar 60% pada tahun 2003 dan 82% pada tahun 2005. Meningkatnya mata pencaharian disektor pertanian karena rusaknya wilayah pesisir dan sarana prasarana perikanan tangkap sehingga aktivtas melaut terhenti dan hanya melakukan kegiatan bertani karena lahan pertanian yang lebih mengarah ke daratan tidak rusak akibat tsunami. Namun perlu diingat walaupun sebagian besar penduduk melakukan kegiatan bertani, nampaknya masyarakat tidak berpikiran menjadikan pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama. Pola pengkombinasian atau pembagian pekerjaan adalah perempuan di sawah dan laki-laki melaut. Laki-laki terlibat di sawah hanya pada saat penanaman dan pemanenan, kalaupun terlibat lebih jauh biasanya berlaku bagi laki-laki yang sudah berumur sehingga fisiknya tidak memungkinkan lagi kelaut.

78 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 31. Komposisi penduduk yang bertani dan Jumlah Keluarga Miskin di Ujong Drien

Pekerja % Pekerja KK di

Pengusaha Pengusaha pertanian

Pertanian Pertanian

2003 110 60 36 20 Pertanian 55 50 11 10 2005 199

88 8.4 Keterangan: N/A = data tidak tersedia

82 21 8.6 Pertanian N/A

N/A

Komoditas pertanian lainnya yang banyak dikembangkan adalah kebun tebu. Pangsa pasar tebu cukup menjanjikan terutama di bulan Ramadhan. Tebu digunakan untuk memproduksi minuman air tebu dingin yang biasa dijual di pingir-pinggir jalan dengan harga Rp 1000,- per gelas.

(c) Peternakan

Peternakan yang dikembangkan oleh masing-masing keluarga pada umumnya adalah sapi dan kambing. Skala usaha masih bersifat skala rumah tangga belum sampai pada unit usaha dengan memperkerjakan pegawai. Pengelolaan hewan ternak masih sebatas anggota keluarga secara langsung. Hewan ternak dijual langsung ke pasar Meulaboh atau penjual daging yang datang langsung kepada masyarakat untuk membeli hewan ternak dalam keadaan hidup. Tidak terdapat rumah potong hewan (RPH) di Desa Ujong Drien. Sama seperti di wilayah Aceh pada umumnya hewan ternak tidak memiliki kandang khusus atau digembalakan. Sebagian kecil hewan ternak pada pagi hari dibiarkan lepas di padang rumput dan sore hari digiring pulang namun sebagian besar lainnya dibiarkan begitu saja. Bahkan tidak ada tanda khusus pada hewan ternak untuk mencirikan siapa pemiliknya.

Usaha ternak lainnya yang dikembangkan adalah ternak ayam yang memiliki kandang khusus namun penempatan kandang ayam masih sangat dekat dengan rumah sehingga bau kandang ayam tercium sampai ke rumah tetangga. Berdasarkan informasi warga sekitar sejauh ini tidak ada komplain mengenai bau kandang ayam yang tercium oleh tetangga. Setelah Idul Fitri bulan Oktober 2007 tidak banyak lagi ayam yang diternakan padahal peluang penjualan sangat tinggi untuk menghadapi Idul Ada pada bulan Desember 2007. Tidak banyaknya ayang yang diternakkan karena mulai bulan oktober terlihat curah hujan sangat tinggi sehingga peternak ayam tidak mau mengambil resiko ayam terserang penyakit saat musim hujan. Bantuan bibit ayam pernah diterima penduduk dari NGO Mercy Corps.

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Sejak sebelum tsunami jenis rumah yang ada di Desa Ujong Drien pada umumnya adalah rumah permanen. Layaknya desa yang dilalui jalur utama jalan Meulaboh Desa Ujong Drien termasuk desa yang cukup maju dilihat dari berbagai fasilitas yang dimiki seperti akses ke kota yang hanya 5km, listrik, air dan perumahan.

Tabel 32. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Ujong Drien tahun 2003 dan 2005

Jumlah Rumah

Tahun asa Permanen

air untu

Lampu Jal

Fasil

Sumber Air Bersih

% Rumah

% Rumah

Bahan b

Sumber

96 0 Ya Sumur Well Pribadi Kayu Acak 2005 N/A N/A N/A Yes 88,2 0 No Sumur N/A Pribadi Minyak N/A

84 Yes

tanah Keterangan: N/A = data tidak tersedia

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 33. Catatan kerusakan sarana dan prasarana Desa Ujong Drien akibat Tsunami 2004

Jenis Prasarana

Pemukiman 20 Ha 70 Kebun

10 Ha 80 Pertokoan

5 Ha 10 Sarana Pendidikan

Ha 20 Sarana Olah Raga

50 Rumah Warga yang Tidak Layak Huni

100 Luas Lahan Kosong/Terlantar

15 Unit

15 Ha 100 Panjang Jalan Setapak

5 Km

(Keterangan * Sumber P4L, 2007) Fasilitas rumah permanen bantuan Tsunami yang ada di Desa Ujong Drein sudah rampung dikerjakan

dan berdasarkan informasi dari Ketua Pemuda semua warga telah mendapatkan rumah permanen bantuan tersebut sesuai dengan hasil pendataan. Lembaga donor/ implementer yang terlibat dalam penyediaan fasilitas rumah bantuan tsunami di Desa Ujongdrien diantaranya : CWS yang membangun

50 unit rumah untuk janda, REKOMPAK dan IOM (International Organization for Migration).

(2) Pendidikan

Tidak terdapat sarana pendidikan formal di Desa Ujong Drien. Biasanya anak-anak bersekolah di Desa tentangga yaitu Desa Meurebo atau Desa Pasi Pinang yang berjarak 1km.

Tabel 34. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Ujong Drien

Sekolah Teknik TK SD SMP SMA Menengah

Akademi/Universitas

kat ( kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

terde Swasta Negeri terde Jarak

Jarak Jarak

- - 1 - - 1 - - 1 - - 1 - - 3,5 - - 5

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Desa Ujong Drien dilalui oleh jalan utama lintas antar Kota Meulaboh-Banda Aceh. Jalan desa sendiri berupa jalan kerikil dan saat ini sudah dibuat jalan aspal dan semen blok melalui kegiatan P 2 KP dari

Departemen Pekerjaan Umum (PU). Akses menuju Desa Ujong Drien dapat menggunakan kendaraan umum semacam angkot atau dikenal dengan nama labi-labi dan becak motor. Tidak ada kesulitan akses transportasi untuk menuju Desa Ujong Drien.

Tabel 35. Akses dan sarana transportasi umum Desa Ujong Drien

Akses

Kendaraan Umum

Tahun Jalan Jenis kendaraan Desa

kendaraan

roda 4 Andong Sampan Motor Umum Utama

Roda Empat

motor

boat

Tidak Ada Roda empat 2005

2003 Kerikil Ya

Ada

Tidak Ada

Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Aspal Ya

Ada

Tidak Ada

Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada Becak motor

80 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(4) Fasilitas Kesehatan

Sebelum tsunami tidak terdapat fasilitas kesehatan di Desa Ujong Drien. Pada umumnya masyarakat berobat langsung ke kota Meulaboh yaitu Rumah Sakit Umum Jl. Cut Nyak Dien atau sebagian kecil berobat ke Puskesmas Meurebo. Hasil diskusi dengan beberapa penduduk menunjukkan bahwa bila ada keluhan-keluhan sakit pada umumnya menreka mengkonsumsi obat-obat bebas yang dijual di warung-warung. Meski di Desa sudah dibangun Puskesmas dan di Desa tetangga ada Puskesmas dengan biaya pengobatan yang rekatif murah Rp 3000,- untuk sekali kunjungan, masyarakat lebih memilih membeli dan menggunakan obat-obatan bebas di warung.

Tabel 36. Fasilitas Kesehatan di Desa Ujong Drien Tahun 203 dan 2005

Jumlah Jarak

Jarak Rumah

Jarak

Puskesmas/

Kemudahan Tahun

Terdekat Sakit

akses (km)

(km) Umum

0 3.5 sangat mudah

0 3.5 sangat mudah

1 0 mudah

Hasil pendataan BPS menunjukan bahwa dari tahun 2003-2005 tidak ada penyakit diare, campak, demam berdarah, malaria dan ISPA yang melanda Desa Ujong Drien. Jumlah peserta KB pada tahun 2003 sebanyak 82 orang atau dapat diasumsikan sebagai 82 keluarga jadi sebanyak 45 % keluarga adalah peserta KB.

Tabel 37. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005

Balita Keluarga Persentase

Wabah penyakit yang pernah melanda

Tahun KTPM Mal Peserta KTPM (%)

nutrisi KB

Diare Campak

Malaria ISPA

berdarah

2003 3 2 20 11 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 82 2005 80 87.0

80 87.0 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A N/A Keterangan: N/A = data tidak tersedia

(5) Fasilitas Keagamaan

Fasilitas ibadah yang terdapat di Desa Ujong Drien hanya fasilitas untuk pemeluk agama Islam. Hal tersebut sangat terkait tidak adanya penduduk desa yang menganut agama selain agama Islam.

(6) Sarana Komunikasi

Fasilitas listrik yang telah tersedia di desa sejak cukup lama sangat berpengaruh kepada jumlah kepemilikan dan pemakaian barang-barang tersier seperti televisi. Hasil pendataan BPS menunjukan pada tahun 2003 jumlah keluarga yang memiliki televisi tercatat sebanyak 92% dan 9% yang memiliki telepon jenis telepon rumah .Sayang tidak dapat diperoleh data sarana komunikasi yang lebih lengkap di desa Ujong Drien paska Tsunami.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 38. Sarana komunikasi antara tahun 2003 dan 2005

Keluarga yang

Keluarga yang

Kantor pos

Tahun memiliki

mempu membeli

yang

keluarga yang

Wartel Internet

memiliki TV

memilki TV

0 N/A N/A 0 24 0 0

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Kheucik

Sikatareh Gampong

ADM/Keuangan

Ulee Jurong

Ulee Jurong Tgk.

Ulee Jurong Arani

Ulee Jurong

Gambar 40. Struktur pemerintahan desa Ujong Drien

Susunan pemerintahan desa sedikit berbeda denga desa lainnya dimana tidak ada jabatan Bendahara Desa, masalah keuangan langsung ditangani oleh Kepala Urusan Administrasi dan Keuangan. Posisi ini juga sedikit tumpang tindih dengan jabatan Sekretaris Desa disamping itu tidak ada posisi Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat.

Dalam penyelesaian masalah administrasi yang terkait dengan pemerintahan Desa, warga memiliki akses langsung dengan Kepala Dusun. Kepala Dusun akan meneruskan permasalahan warga kepada tingkat Kheucik. Hal tersebut menimbulkan kecenderungan kedekatan warga lebih kepada Kepala Dusun dari pada kepada Kheuchik secara langsung.

(2) Kelompok Sosial Kemasyarakatan

Kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan sudah terbentuk sebelum tsunami. Terutama untuk kelompok-kelompok pengajian diyakini sudah ada sejak dahulu. Sedangkan dikalangan pemuda kelompok yang terbentuk lebih ke arah olah raga yaitu kelompok voli putra dan putri serta kelompok pencak silat. Prestasi dari kelompok olahraga ini sangat mengahrumkan nama Kabupaten Aceh Barat karena untuk kelompok Pencak Silat pernah meraih jura tiga tingkat nasional dan untuk kelompok voli putri juara satu tingat Propinsi.

82 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 39. Kelompok sosial kemasyarakatan di Desa Lam Ujung yang masih aktif

Donor/ Nama Lembaga

Status

Pengurus

Jenis Kegiatan

Fasilitator

PKK Desa

Aktif

Ketua : Rauwiyah

Melakukan Kegiatan Sosial

Sek : Nelizar

Desa khusus bidang Perempuan

Bend : Siti Zaleka

Wirid Yassin

Aktif

Ketua : Salbiah Idris Melakukan wirid yassin dari

rumah ke rumah warga

Marhaban

Aktif

Ketua : Fatimah

Mengisi acara turun mandi

Zuhri

anak warga

Rebana

Aktif

Ketua : Rosdiana

Merupakan Kegiatan Anak- anak Usia Sekolah Dasar

Tarian Ranub Lampuan

Aktif

Ketua : Jasimah Kasim

Pengajian

Aktif

Ketua : Azhar

Kegiatan Keagamaan

Kegiatan Olah Raga Desa Persatuan Bola Kaki

Persatuan Bola Volly

Aktif

Ketua : Zulmi

Kegiatan Olah Raga Desa Sanggar Gelumbang

Aktif

Ketua : Kasan Basri

Kegiatan Olah Raga Desa Silat

Aktif

Syam Azhar

Majelis Taklim

Aktif

Idrus Khatab

Kegiatan Remaja Mesjid Desa

Kegiatan Olah Raga Desa Kelompok menjahit

Persatuan Bulu tangkis

Aktif

Sopar Sinambela

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Pada umumnya pengelolaan keuangan keluarga sepenuhnya dikelola oleh istri. Suami memberikan pendapatan harian kepada istri setelah mengambil sebagian kecil untuk membeli rokok dan uang saku. Pembayaran untuk uang sekolah anak dan belanja rumah tangga serta penyimpanan uang dilakukan oleh istri. Dalam hal ini peran istri sangat penting dalam mengelola keuangan dan sangat menentukan apakah keluarga tersebut dapat menyimpan sebagian uang dalam bentuk tabungan atau tidak. Tentu yang perlu diingat disini adalah hal tersebut juga sangat dipengaruhi oleh seberapa besar pendapatan (income) yang diperoleh.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Bila dilihat dari keanggotaan perempuan pada berbagai kelompok sosial kemasyarakatan di atas diketahui bahwa perempuan banyak terlibat sebagai anggota dalam kelompok-kelompok tersebut dan tak jarang memegang jabatan dalam kelompok misalnya sebagai sekretaris atau bendahara.

Kelompok masyarakat yang semuanya beranggotakan perempuan yaitu kelompok menjahit dan kelompok ibu-ibu PKK. Perempuan belajar sistem berorganisasi melalui kepengurusan PKK dengan dampingan kelompok PKK di tingkat Kecamatan serta dari keanggotaan kelompok-kelompok kemasyarakatn lainnya. Namun demikian sampai dengan saat ini belum pernah tercatat perempuan menjabat sebagai Kheucik ataupun jabatan lain yang ada dalam struktur pemerintahan desa.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Pemberdayaan Perempuan

Sampai saat ini belum ada pelatihan atau semacam seminar khusus yang pernah dilakukan kepada masyarakat Desa Ujong Drien untuk mengupas masalah kesetaraan gender, kesamaan hak dan pembagian peran dalam kehidupan sehari-hari antara suami dan istri. Simulasi tentang kesetaraan gender pernah dilakukan untuk masyarakat Desa Meurebo desa tetangga Desa Ujong Drien yang dilakukan oleh Wetlands International bekerjasama dengan beberapa lembaga pemerhati perempuan dan anak.

Berdasarkan informasi dari ketua Pemuda Desa, setelah tsunami kaum perempuan banyak yang terlibat pada berbagai kegiatan khususnya kegiatan yang mendapatkan penghasilan seperti cash for work, pembangunan jembatan, pelatihan dan penyuluhan-penyuluhan. Meski tujuan utama perempuan terlibat dalam kegiatan tersebut adalah adanya penghasilan namun secara tidak langsung juga turut menggali/ meningkatkan kapasitas kaum perempuan itu sendiri.

f) Informasi terkait dengan Kegiatan Green Coast

Kegiatan Green Coast yang dilakukan di Desa Ujong Drien merupakan kerjasama antara WIIP dan P4L. Kerjasama dengan P4L sendiri sudah terjalin pada Green Coast fase 1 dengan lokasi Desa Meurebo merupakan desa tetangga Desa Ujong Drien. Seiring berjalannya kegiatan Green Coast di Desa Meurebo, WIIP dan P4L menangkap adanya keinginan kuat dari masyarakat serta kebutuhan rehabilitasi ekosistem yang mutlak dilakukan untuk rehabilitasi ekosisitem pesisir pasca tsunami. Disamping itu pola pendekatan Proyek Green Coast yang mengkombinasikan dengan kegiatan pemberdayaan ekonomi sangat sesuai dengan kondisi masyarakat Desa Ujong Drien terutama bagi sebagian besar nelayan yang belum mendapatkan bantuan untuk menunjang kegiatan mata pencaharian. Kelompok sasaran kegiatan yang harus didahulukan adalah kelompok nelayan mengingat besarnya potensi laut yang belum dimanfaatkan dan sarana pendaratan kapal dan penjualan ikan yang sangat mendukung.

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

a) Penilaian lahan di lokasi penanaman

Saat survey dilakukan, tim menjumpai beberapa kondisi yang berbeda di dalam satu hamparan, yang secara langsung maupun tidak memiliki keterkaitan dengan daya dukung lingkungan terhadap kegiatan penanaman. Berdasarkan penilaian di di calon lokasi rehabiltasi, tim mengkalisfikasi lahan menjadi tiga yaitu:

1. Areal terbuka labil Areal ini mengacu pada suatu areal bersubstrat berpasir yang benar-benar terbuka dan masih labil.

Kata ”labil’ dalam hal ini mengacu pada suatu kondisi dimana substrat pasir masih belum bersatu sehingga mudah terbawa oleh angin. Kondisi inilah yang menyulitkan setiap benih untuk dapat hidup dan tumbuh. Areal ini sebaiknya dihindari untuk kegiatan penanaman. Memaksakan penanaman di atas kondisi ini hanya akan berakhir dengan kegagalan. Dari observasi di lapangan, lebih dari 1 hektar dari total lokasi ini diperkirakan sebagai areal terbuka labil.

84 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 41. Kondisi di lapangan; areal terbuka yang labil

2. Areal terbuka tergenang Masih di lokasi yang sama, tim menjumpai genangan air di bebrapa titik. Salah satunya adalah bekas

tempat terdamparnya perahu (Lihat gambar di bawah). Air genangan ini memiliki sifat payau yang berasal dari campuran air asin yang berasal dari limpasan air pasang dan air hujan. Lokasi ini sangat tidak direkomendasikan untuk ditanami baik dengan tanaman mangrove maupun tanaman pantai, sekalipun airnya telah kering. Tanaman pantai daratan tidak akan mampu beradaptasi dengan genangan air payau walaupun substratnya pasir. Demikian sebaliknya, tanamanmangrove tidak akan mau tumbuh dengan baik pada substrat berpasir. Langkah yang sebaiknya diambil adalah dengan membiarkannya dengan harapan terjadinya proses suksesi secara alami. Secara perlahan-lahan, lokasi ini diprediksi akan ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan rumput dan rawa.

Gambar 42. Salah satu genangan yang dijumpai di calon lokasi penanaman

3. Areal yang telah direhabilitasi Areal ini mengacu pada lokasi-lokasi yang telah direhabilitasi melalui program-program yang lalu, baik

pembuatan hutan pantai oleh Dishutbun dan penanaman mengrove oleh GC 1. Namun demikian, tidak semua lokasi yang ditanami telah tertutup oleh tanaman hasil program-proram tersebut. Beberapa areal tetap kosong dikarenakan bibit-bibit yang ditanam tidak mampu bertahan/mati. Berdasarkan pengamatan, lokasi penanaman yang masih kosong berada di bagian tengah. Selain faktor air pasang, kematian ini diduga kuat berhubungan dengan hama ternak. Hal ini sesuai dengan hasil pengmatan lapangan, dimana ternak cenderaung melintasi bagian tengah pulau.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 43. Kondisi berbeda di lokasi penanaman; yang berhasil (kiri) dan tidak berhasil (kanan) Secara umum dapat dikatakan bahwa, areal penanaman yang masih terbuka ini memiliki potensi

untuk ditanami kembali. Namun untuk lokasi penanaman yang telah ditumbuhi oleh tanaman hasil penghijauan, sebaiknya tidak ditanami.

4. Areal yang prospektif

Gambar 44. Lokasi yang sebaiknya dihindari untuk penanaman mangrove

b) Identifikasi potensi

(1) Persepsi positif masyarakat

Dari wawancara dengan beberapa anggota masyarakat dan aparat desa, diketahui bahwa persepsi dan pandangan masyarakat tentang program-program restorasi pesisir cukup positif. Bahkan dalam diskusi dengan salah tokoh pemuda, dikatakan bahwa pemuda pada khususnya dan masyarakat awam pada umumnya menyambut baik program ini dan bilamana perlu akan membantu pelaksanaannya di lapangan. Hal senada juga ditunjukkan oleh beberapa warga desa yang dijumpai di desa ini.

Kondisi ini merupakan salah satu potensi yang secara signifikan diyakini sebagai salah satu bentuk dukungan masyarakat atas program restorasi pesisir. Hal ini harus dipotimalkan dalam rangka mendukung implementasi kegiatan di lapangan.

(2) Pengalaman dari program terdahulu

Pada periode sebelumnya, penanaman mangrove dan tanaman pantai telah dilakukan di lokasi yang sama. Berdasarkan assessment di lapangan, penanaman tanaman pantai dapat dikatakan gagal karena hampir seluruh tanaman yang ditanam mati. Faktor penyebab utama kegagalan dalam program sebelumnya adalah terjangan /rendaman air pasang pasang dan dirusak oleh ternak. Sementara itu, bibit mangrove yang ditanam menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya bibit yang masih bertahan dan tumbuh dengan baik hingga sekarang.

86 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dari pengalaman ini, perlu dipikirkan atau dipelajari kembali peluang untuk melakukan kegiatan serupa di lokasi ini, terutama untuk penanamanan tanaman pantai. Hal ini mengingat terlalu beratnya kendala yang dihadapi, terutama terjangan.rendaman air pasang. Sementara untuk program penanaman mangrove, resiko dan tantangan yang ada dinilai tidak terlalu berat.

Pengalaman yang diperolah melalui program sebelumnya harus dijadikan pengalaman dan pebelajaran untuk dapat lebih mengoptimalkan program yang akan dilaksanakan di lokasi ini.

c) Identifikasi kendala dan faktor pembatas

1. Ancaman air pasang Air pasang merupakan salah satu ancaman bagi program penghijauan di lokasi ini. Hal ini mengingat

lokasinya yang sangat dekat dengan laut. Berdasarkan penuturan dari masyarakat, pasang purnama seringkali menyapu lokasi penanaman dan merusak tanaman. Inilah yang menjadi salah satu penyebab matinya tanaman kelapa dan ketapang. Cemara adalah salah satu jenis tanaman yang mampu bertahan dalam kondisi seperti ini.

Terkait dengan hal ini, perlu dipikirkan upaya-uaya untuk dapat meminimlkan risiko dari limpasan air pasang ini.

2. Ancaman hama ternak Berdasarkan pengamatan di lapangan, calon lokasi penanaman merupakan jalur rutin lintasan ternak,

terutama sapi. Diperkirakan lebih dari 50 ekor sapi tiap hari melintasi lokasi ini. Di pagi hari, mereka bergerak dari desa menuju ke arah utara melintasi lokasi. Sementara di sore hari, arah lintasan ternak ini berlawanan. Pada saat melintasi lokasi penelitian, ternak ini menghanggu tanaman melalui beberapa hal antar alain menabrak tanaman, menginjak tanaman, memakan daun atauh bahakan mencabut tanaman.

Dalam program pebuatan hutan pantai yang dilakukan oleh Dishutbun Kab Aceh Barat, pemasangan pagar telah dilakukan. Namun pemagaran ini masih belum bisa meredam serangan ternak di lokasi penanaman karena pemagaran tidak dilakukan secara maksimal. Ternak ini mampu masuk ke lokasi rehabilitasi melalui arah samping, dan mengganggu tanaman. Terkait dengan hal ini, perlu dipikirkan upaya untuk mengendalikan serangan ternak di lokasi penanaman.

Gambar 45. Gerombolan ternak yang secara rutin melintasi lokasi penanaman

3. Keterbatasan luasan lokasi untuk merealisasikan target bibit tertanam Terdapat beberapa hal yang membuat luasan areal di calon lokasi rehabilitasi menjadi terbatas untuk

kegiatan penanaman yaitu: • Lokasi yang daya dukungnya kurang; termasuk didalamnya adalah areal bersubstrat pasir

yang masih labil dan areal yang terganang • Areal yang telah di tanami. Luasan ini harus dikeluarkan sebagai areal yang berpotensi untuk

rehabilitasi. • Areal yang rawan terkena air pasang

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dengan menimbang hal-hal di atas, tim memperkirakan hanya sekitar 5 hektar areal yang memunginkan untuk dilakukan penanaman. Areal ini adalah yang setidaknya memenuhi syarajt-syarat tertentu yang memungkinkan tanaman tumbuh dengan baik. Dengan asumsi jarak tanam 5 x 5, maka hanya 2000 tanaman yang mampu ditanam di lokasi ini. Namun demikian, tim masih melihat peluang yang cukup terbuka untuk melakukan penanaman di sekeliling lahan yang berbatasan dengan sungai. Walaupun substratnya tanah mineral, diyakini bahwa mangrove mampu bertahan. Meskipun demikian, diperkirakan hanya 3-4 baris saja yang memungkinkan untuk ditanami.

Bagi lokasi ini, target penanaman sebanyak 25.000 dinilai telalu banyak, dibandingkan dengan areal prospektif yang tersedia di lokasi ini. Terkait dengan hal ini, perlu dicari solusinya.

4. Aksesibilitas yang cukup rendah Lokasi penanaman tidak bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau menggunakan alat

transportasi darat. Alat transportasi darat (motor atau mobil) hanya bisa mencapai darmaga penyeberangan. Sedangkan untuk menjangkau lokasi rehabilitasi, diperlukan perahu atau alat transportasi air lainnya. Hal ini merupakan kendala yang dikuatrikan dapat mengganggu kelancaran kegatan di lapangan. Dengan kondisi ini, akan sulit sekali meralisasikan moonitoring harian yang sangat penting untuk dilakukan dalam upaya mengawasi ternak agar tidak mengganggu tanaman.

d) Hasil analisis mengenai prospek rehabilitasi

Meskipun memiliki beberapa potensi, namun kendala dan ancaman yang dihadapi terkait dengan rencana penanaman tanaman pantai dinilai lebih besar dan beresiko. Hal ini sesuai dengan hasil kegiatan sebelumnya baik kegiatan Dishutbun maupun GC dimana sebagian besar bibit mati. Ancaman hantaman gelombang pasang atau rendaman air asin adalah ancaman / kendala paling besar yang paling sulit untuk diantisipasi. Atas dasar pertimbangan inilah maka, kegiatan penanaman tanaman pantai (terrestrial plant) sebaiknya tidak dilaksanakan di lokasi ini. Perlu kiranya dilakukan survey lanjutan untuk mencari lokasi lain yang lebih prospektif dengan resiko seminimal mungkin.

Sementara berdasarkan analisas substrat dan hidrologi, areal yang ada di tepi daratan (bagian belakang) dinilai prospektif untuk kegiatan penanaman mangrove.

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Lokasi yang mudah dijangkau dan tingkat kerusakan yang cukup parah membuat Desa Ujong Drien menjadi salah satu desa yang banyak menadpatkan bantuan dari program bantuan Tsunami. Masuk dan keluarnya beberapa lembaga ke Desa Ujong Drien membuat penduduk tidak dapat mengingat semua lembaga-lembaga yang telah memberikan bantuan. Demikian juga dengan sistem pencatatan di Kantor Desa tidak ada dokumentasi lengkap tentang semua lembaga yang pernah memberikan bantuan ke Desa Ujong Drien sehingga tabel di bawah ini mungkin belum bisa mencakup daftar lengkap lembaga-lembaga pemberi bantuan di Desa Ujong Drien.

88 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 40. Donor atau implementator beserta jenis bantuan yang dilaksanakan di Desa Ujong Drien

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. REKOMPAK

selesai 2. ADB

Rumah

selesai 3. Dinas Kehuatanan

TPI

selesai 4. Dinas Pekerjaan

Penanaman mangrove, kelapa

(1) Pembangunan fisik: Pembuatan selokan dan jalan sedang berjalan Umum

sekitar rumah penduduk; (2) Bantuan modal usaha

selesai 6. OXFAM difasilitasi

5. BRR

Boat dan mesin tempel, Puskesmas, Toilet umum

sedang berjalan WIIP

Rehabilitasi ekosistem pesisir dan pemberdatyaan

ekonomi

7. Mercy Corp

selesai 8. Mercy Corp

Bibit ayam ternak

Mesin pembuat es batu di TPI

selesai, bantuan diambil kembali

selesai 10. IOM

9. CWS

50 unit rumah untuk janda

Rumah

selesai

Selain program restorasi pesisir “Green Coast phase 2” yang saat ini sedang berjalan di desa ini, telah terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya di desa ini sebagaimana dijelaskan dalam paragraf di bawah ini.

1. Pembuatan Hutan Pantai Pelaksana dari kegiatanpembuatan hutan pantai adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Aceh Barat, difasilitasi oleh dana Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan atau GNRHL. Kegiatan ini dilakukan satu tahun setelah Tsunami yaitu pada akhir tahun 2005. Sayang sekali bahwa jumlah bibit yang ditanam tidak diketahui dengan pasti. Namun demikian diketahui bahwa target areal yang ditanami seluas 8 hektar, sebagimana tercantum dalam papan informasi di lokasi penanaman. Dalam kegiatan ini, bibit yang ditanam adalah cemara Casuarina equisetifolia, Ketapang Terminalia cattapa dan kelapa Cocos nucifera.

Gambar 46. Kegiatan pembuatan hutan pantai yang telah dilakukan oleh Dinas Kehuatan dan Perkebunan melalui GNRHL.

Dari pengamatan di lapangan, keberhasilan tumbuh ketiga jenis yang ditanam dilapangan berbeda- beda. Untuk jenis cemara, prosentase tumbuh jauh lebih tinggi dibandingkan dua jenis lainnya (ketapang dan kelapa). Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya tanaman cemara yang hingga saat ini masih tumbuh dengan subur. Diperkirakan bahwa tinggi tanaman berkisar antara 1-3 meter. Sebaliknya, penanaman dua jenis tanaman lainnya mengalami kegagalan. Saat kunjungan dilakukan, tim tidak menjumpai satupun tanaman ketapang yang masih hidup. Smentara itu, hanya sedikit

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Restorasi pesisir melalui penanaman mangrove (Green Coast Phase 1) Penanaman mangrove juga telah dilakukan di lokasi ini, difasilitasi oleh proyek Green Coast tahap 1.

Penanggung jawab dalam kegiatan ini adalah Yayasan P4L yang didalam pelaksananaya di lapangan melibatkan masyarakat desa Ujong Drien. Berdasarkan observasi di lapangan, setidaknya terdapat dua jenis mangrove yang ditanam yaitu Rhizophora mucronata dan R.apiculata. Di lokasi penanaman, tim juga menjumpai beberapa tanaman berembang Sonneratia caseolaris. Diduga bahwa tanaman ini tumbuh dengan sendirinya atau sisa dari koloni lama yang terdegradasi oleh Tsunami. Hal ini terlihat jelas dari ukuran tanaman berembang yang jauh lebih besar/tinggi dibandingkan dengan kedua jenis lainnya (R.mucronata dan R.apiculata).

Penanaman mangrove di lokasi ini dilakukan di tepi areal yang berbatasan langsung dengan sungai (bagian belakang hamparan). Tanaman mangrove ditanam jarak yang cukup rapat yaitu 1 m x 1 m. Dari pengamatan yang dilakukan, terlihat cukup banyak tanaman yang bertahan hidup dan mampu tumbuh dengan baik. Ukuran tinggi tanaman antara 60-90 cm, rata-rata telah bercabang dan berdaun

8- 12 helai. Sayang bahwa kondisi cuaca pada saat survey kurang baik sehingga membatasi gerak tim assesment. Terkait dengan kedala ini, tim tidak bisa melakukan penghitungan prosentase tumbuh.

Gambar 47. Kondisi tanaman mangrove dilokasi penanaman

Di Desa Ujong Drien tidak terdapat kegiatan rekonstruksi secara masif yang sedang dilakukan. Upaya menjawab kebutuhan rekonstruksi akan bahan bangunan pasir banyak dilakukan di Desa Meurebo. Dampak terhadap aspek sosial ekonomi dari kegiatan penggalian pasir diantaranya akan berpengaruh kepada beberapa pemuda yang mendapatkan pekerjaan baru sebagai buruh penggali pasir. Bila dilihat dari nilai sosial yang ada di masyarakat semakin besar dan tidak terkendalinya usaha penggalian pasir dapat menyebabkan degradasi lingkungan. Hal tersebut akan berpengaruh kepada pola pikir masyarakat, terutama para penggali pasir tersebut, dimana kepedulian akan lingkungan makin meluntur karena tertutup oleh keuntungan yang dapat diperoleh saat ini dari kegiatan menggali pasir.

Kegiatan konstruksi yang diterapkan melalui program P2KP dengan melibatkan warga setempat sebagai pengelola dan pelaksana kegiatan diprediksikan akan memberikan dampak sosial yang positif dimana penduduk akan merasa memiliki jalan dan selokan yang mereka bangun sendiri dan adanya semangat untuk memelihara fasilitas-fasilitas Desa lainnya. Namun demikian perlu fasilitator desa yang cakap untuk mengarahkan atau mempercepat tumbuhnya rasa memiliki dan menghargai akan bantuan-bantuan yang telah diberikan ke Desa Ujong Drien.

90 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi Lahan Basah

Ekosistem pesisir Desa Ujong Drien relatif tidak mengalami perubahan yang besar. Sedikit perubahan terjadi pada garis pantai yang bergeser karena pasir yang terangkut oleh gelombang tsunami. Sedimen yang terangkut ini kemungkinan mengendap dan mengisi cekungan di belakang pantai. Sebagian cekungan di sepanjang jalur sungai tua yang sebelumnya diusahakan untuk pertanian menjadi tidak lagi dapat diusahakan untuk pertanian.

Gelombang besar yang jauh mencapai daratan telah menjadikan rawa-rawa belakang pantai di sepanjang alur sungai tua yang semula tawar menjadi asin, atau sempat menjadi asin dalam periode tertentu. Meskipun demikian kondisi ini telah menjadikan tumbuh-tumbuhan rawa air tawar mati. Tumbuhan sagu yang meskipun tidak banyak ditemukan di tempat ini terlihat mati atau jika masih hidup tidak tumbuh dengan baik.

Dengan posisi garis pantai yang demikian dekat dengan pemukiman dan fasilitas lainnya, peningkatan atau pembentukan pelindung menjadi penting. Hasil penamaman atau percepatan suksesi yang ada di sebelah barat desa Ujong Drien dapat diteruskan hingga ke dekat muara. Jalur sungai tua yang ada juga berpotensi sebagai lokasi untuk menanam tumbuhan pelindung.

Sepanjang tepi aliran laguna tua yang berupa rawa-rawa juga dapat difungsikan sebagai kawasan perlindungan bagi desa dan fasilias umum yang ada dibelakangnya. Sisa vegetasi yang masih ada, yang diantaranya terdapat jenis Sonneratia caseolaris dapat dikembangkan dan menjadi pilihan untuk menjadi tumbuhan pelindung.

Alternatif pemanfaatan lain dari kawasan di sekitar Ujong Drien adalah mengembangkannya menjadi tempat penggembalaan seperti sudah berjalaan saat ini. Tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dapat dikembangkan di kawasan tersebut. Meskipun kemungkinan daya dukung tempat tersebut tidak terlalu besar karena luas areanya yang terbatas dan kemungkinan menghadapi permasalahan pilihan jenis untuk keperluan tersebut juga terbatas.

Dari hasil analisis kesesuaian lahan aktual, lokasi Ujong Drien tidak layak untuk dijadikan lahan pertanian termasuk kelas lahan tidak sesuai (N). Akan tetapi lebih baik dijadikan lahan tersebut direhabilitasi dengan tanaman kehutanan dan perkebunan/tahunan seperti kelapa dengan perbaikan pengelolaan lahan seperti pengelolaan air, terutama penyiraman pada waktu musim kemarau pada bibit tanaman yang masih muda untuk menjaga kelembaban.

Karena Ujung Drien merupakan lokasi berupa pulau kecil di muara sungai yang sifatnya masih labil (masih ada pergerkan tanah). Pulau kecil ini sangat bermanfaat untuk menjaga daratan dari besarnya ombak dari laut secara langsung. Oleh karena itu, pulau ini perlu dipertahankan dengan memperbanyak menanam tanaman seperti kelapa, cermara laut, mangrove dan lain-lain terutama pada bagian pinggiran pulau untuk mencegah abrasi.

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

(1) Pencarian lokasi lain untuk penanaman tanaman pantai

Sebagaimana disebutkan dalam hasil evaluasi kesesuaian lahan, bahwa calon lokasi yang diajukan implementor dinilai kurang sesuai untuk kegiatan penanaman. Ancaman air pasang dan genangan air asin dikuatirkan akan menggagalkan kegiatan rehabilitasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencarian lokasi lain yang lebih sesuai untuk penanaman tanaman pantai, sebagai pengganti areal yang dicalonkan. Di bawah ini adalah beberapa syarat atau pertimbangan yang sebaiknya dipenuhi dalam penetaan lokasi penanaman.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Substrat tanah berpasir atau tanah mineral • Topografi datar • Kondisi substrat stabil • Ada vegetasi yang tumbuh, terutama jenis Ipomea pes caprae • Bebas dari pengaruh air laut • Dekat dengan masyarakat/desa • Aksesibilitanya tinggi • Bebas dari ancaman hama (ternak)

(2) Rekomendasi jenis tanaman mangrove

Penanaman mangrove sebaiknya tidak hanya dengan satu jenis saja. Sangat dianjurkan untuk menanam beberapa jenis mangrove yang sesuai dengan kondisi ligkungan yang ada. Di bawah ini adalah beberapa jenis mangrove yang dinilai sesuai ditanam di lapangan yaitu:

• Rhizophora mucronata = menggunakan propagul • Rhizophora apiculata

= menggunakan propagul

• Rhizophora stylosa

= menggunakan bibit siap tanam

• Avicennia marina

= menggunakan bibit siap tanam

• Sonneratia caseolaris

= menggunakan bibit siap tanam

(3) Rekomendasi jenis tanaman pantai daratan

Semakin banyak jenis bibit yang ditanam, akan semakin baik bagi program restorasi pesisir. Oleh karena itu, sangat diajurkan bagi peaksana lapangan untuk tidak menanam 1 atau dua jenis saja, melainkan beberapa jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi setempat. Di bawah ini adalah beberapa jenis tanaman yang dinilai sesuai dengan kondisi setempat.

• Casuarina equisetifolis = menggunakan bibit siap tanam • Cocos nucifera

= menggunakan benih/buah

• Terminalia cattapa

= mengunakan bibit siap tanam

• Callohyllum inophyllum = menggunakan bibit siap tanam • Cerbera manghas

= menggunakan buang atau bibit siap tanam • Pandanus tectorius

= menggunakan bibit siap tanam atau tunas alami • Hibiscus tiliaceus

= menggunakan stek batang/cabang

• Lannea corambolica

= menggunakan stek batang/cabang

92 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(4) Peningkatan kapasitas kelompok

Upaya-upaya dalam meningkatkan kapasitas masyarakat harus ditempuh agar masyarakat memiliki kemampuan yang memadai dalam mengimplementasikan kegiatan di lapangan. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan antara lain pemberian training/pelatihan, pendampingan atau studi banding. Tata waktu kegiatan ini harus di sinkronisasi dengan jadwal kegiatan di lapangan. Misalnya: pelatihan pembibitan harus dilakukan sebelum persemaian di buat, pelatihan penanaman harus dilakukan sebelum penanaman dilakukan.

(5) Penataan batas lokasi penanaman

Dalam rangka memudahkan operasional di lapangan, monitoring dan pengawasannya, perlu dilakukan penataan batas yang jelas di lokasi penanaman. Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda (pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman antara lain: luas lokasi penanaman, pelaksana penanaman, jenis bibit yang ditanam, tanggal penanaman, dan beberapa informasi penting lainnya.

C. CEUNAMPRONG

1. Profil Umum Lokasi

Desa Ceunamprong secara administratif terletak di Kecamatan Jaya, Kemukiman Kuala Unga Kabupaten Aceh Jaya. Perjalanan menuju Desa Ceunamprong dapat dilalui melalui perjalanan darat sekitar dua jam dari Kota Lamno atau menumpuh jarak sejauh 20 km. Berpergian ke Desa Ceunamprong harus mempertimbangkan cuaca karena jalan menuju Desa Ceunamprong sebagian besar berupa jalan tanah yang sedang diperbaiki sehingga bila hujan besar jalan menjadi becek, sulit dilalui. Beberapa alat berat untuk pembangunan rumah seperti excavator tidak bekerja saat hujan lebat dan banyak yang diparkir dipinggir jalan sehingga mempersempit ruas jalan dan menyulitkan untuk memilih jalan yang keras/ tidak becek.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

94 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Secara geografis Desa Ceunamprong terletak di koordinat 4° 58' 38.24" 95° N 22' 38.42" E dengan batasan administratif yaitu :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Keude Unga • Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Krueng No • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Krueng No • Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Samudra Hindia

Desa Ceunamprong terdiri dari empat dusun yaitu Babah Awe, Dusun Tengoh, Dusun Uletiti dan Dusun Tutut. Namun tsunami telah merubah Dusun Tutut menjadi lautan. Tidak ada data yang mencatat jumlah korban yang meninggal dan hilang ketika tsunami.

Secara umum Desa ceunamprong mempunyai topografi yang landai hingga berbukit. Berdasarkan klasifikasi sistem lahan, termasuk kedalam sistem lahan Bukit Ayun yang berupa system-sistem punggung endapan bertufa yang sangat curam (“very steep tuffaceus sedimentary ridges system”). Batuan penyusun atau mineral dominan adalah batu pasir, batu lumpur, tufit, tefra berbutir harus dan batau lanau.

Dibandingkan dengan lahan kering yang ada, lahan basah di desa Ceunamprong relatif tidak dominan. Sungai permanent relatif kecil jika dibandingan dengan Keude Unga atau Krueng. Tunong. Di beberapa bagian dataran yang landai diolah menjadi tambak, dan yang paling banyak berada di sebelah utara di dekat perbatasan dengan desa Keude Unga.

2. Tipologi Lahan Basah

Gambar 48. Foto satelit daerah Ceunamprong sebelum Tsunami, garis kuning diatas merupakan jalur

transek tim survey mengikuti garis pantai saat ini (paska Tsunami)

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

E :Pantai berpasir Pantai berpasir di desa ceunamprong membentang cukup panjang hampir mencapai 5 km. Seperti

pantai di pesisir barat Aceh lainnya, garis pantai di desa Ceunamong juga bergeser ke arah darat, tetapi pergeserannya tidak jauh. Selain pantai berpasir, di sebelah selatan desa terdapat pantai berbatu. Terdapat bukit kecil tepat di pinggir pantai yang menjadikan tempat tersebut memili pantai yang relative sempit dan di beberapa titik agak curam. Di dekat muara sungai ditemukan pecahan terumbu karang yang merupakan material yang terangkut oleh gelombang tsunami. Pantai berpasir di Ceunamprong juga kerap digunakan penyu untuk bertelur.

M : Sungai permanent Dibandingkan dengan yang ada di Glejong dan Keude Unga, sungai permanen yang mengalir di Desa

Ceunamprong lebih kecil. Pada beberapa tempat, sungai ini dapat diseberangi dengan berjalan kaki dengan kedalaman air kurang dari 1 meter. Meskipun demikian bagian yang mengalir di desa Ceunamprong cukup panjang. Sungai ini tidak atau sangat sedikit terpengaruh oleh air pasang dari laut, di dekat muara memang airnya asin tetapi pada jarak hanya kurang lebih 500 m dari muara, airnya sudah kembali tawar.

T: Rawa atau kolam < 8 ha air tawar dengan tumbuhan herba. Terletak di bagian selatan desa dan sebagian lainnya terletak di sebelah timur desa. Rawa yang

berada di sebelah timur desa, menjadi lebih dalam dari sebelumnya karena aliran penghubung dengan laut tertutup pasir. Selain herba dan semak rawa, juga terdapat beberapa individu Sonneratia caseolaris .

1 : Aquaculture. Tambak di desa ceunamprong sebagian berada di sebelah utara desa dan sebagian lainnya berada di

sisi selatan desa. Tambak-tambak yang berada di sebelah utara, meskipun rusak oleh gelombang tsunami, saat ini sebagian sudah beroperasi. Sebaliknya tambak tambak yang berada di sebelah selatan desa masih belum beroperasi. Berdasarkan penuturan warga, kegiatan atau bantuan rehabilitasi tambak pernah diadakan tetapi berhenti di tengah jalan.

3. Profil Vegetasi

Untuk mendapatkan profil vegetasi yang lebih komprehensif, pengamatan vegetasi dilakukan pada dua (2) lokasi di desa Ceunamprong. Sesuai dengan jenis kegiatan yang akan dilakukan, maka kedua lokasi ini difokuskan pada areal yang dicalonkan untuk penanaman mangrove dan lokasi yang dicadangkan untuk penanaman tanaman pantai daratan. Melalui pengamatan di kedua lokasi ini, maka profil vegetasi di desa ini akan dapat lebih terwakili. Dari pengamatan vegetasi di masing- masing lokasi, kedua lokasi ini memiliki karakteristik vegetasi dan berbeda, sesuai dengan tipe vegetasi /formasi yang ada di kedua lokasi tersebut.

a) Kondisi vegetasi di sekitar lokasi penanaman mangrove

Secara umum, kondisi vegetasi yang ada di sekitar lokasi penanaman mangrove tersusun dari empat tipologi lahan yaitu belukar pantai, rawa, tambak dan semak. Gelombang Tsunami telah menyapu areal ini, mematikan sebagian besar vegetasi di sepanjang pesisir pantai, merusak tambak dan berbagai infrastruktur lainnya. Setelah lebih dari tiga tahun, pemulihan lahan secara perlahan-lahan tengah berlangsung. Berbagai jenis tumbuhan dari beberapa tingkatan mulai menutupi lahan dan membentuk suatu komunitas yang dinamis. Di bawah ini adalah ilustrasi sederhana yang menggambarkan kondisi vegetasi di sekitar lokasi penanaman mangrove.

96 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Keterangan:

A : Belukar pantai B : Vegetasi rawa dan sekitar sungai

C: Semak D : Vegetasi sekitar tambak

Gambar 49. Profil melintang menggambarkan kondisi vegetasi di lokasi pengamatan Untuk lebih jelasnya, paragraf di bawah ini menjelaskan kondisi vegetasi di masing-masing formasi

atau tipologi lahan.

1. Belukar pantai Tipe vegetasi ini tumbuh di suatu bukit kecil yang berada di barisan terdepan. Pentupan vegetasi di

areal ini berkisar antara 85-95% yang didominasi oleh beberapa jenis tumbuhan berkayu antara lain Hibiscus tiliaces, Macaranga tanarius, Abroma mollis, Pterospermun diversivolium, Guettarda speciosa, Eugenia cuminii, dan Callicarpa arborea. Selain itu, beberapa jenis herba juga mudah dijumpai di lokasi ini antara lain Timonius compressicaulis, Gmelina eliptica, Acacia farnesiana, Abelmoschus moschatus dan Dodoaea viscose. Masih di lokasi yang sama, dijumpai pula beberap jenis palem antara lain Arenga pinnata, Calamus spp, Caryota mitis, dan Korthalsia spp.

Gambar 50. Kondisi umum belukar pantai yang tumbuh di atas bukit

2. Vegetasi di sekitar sungai dan rawa Vegetasi ini mengacu pada semua tumbuhan yang berada di sekitar sekitar sungai dan rawa yang

berada di balk bukit. Di sekeliling rawa, penutupan dikuasai oleh perumpung Praghmites karka tumbuh mengikuti bentuk badan air (rawa). Lebar koloni perumpung ini bervariasi 3-7 meter, tergantung kondisi ssubtart dan genangan yang ada. Di beberapa lokasi tertentu, dijumpai beberapa koloni paku piai Acrostichum aureum yang menandakan bahwa air di raa ini masih terpengaruh oleh pasang air laut. Di tanah yang lembab hingga tergenang ringan, beberapa rumput rawa dan tumbuhan air sangat mudah dijumpai antara lain Hymenachne aurita, Schleria spp., dan Scirpus spp. Tidak jarang, herba galaran Ipomea pes caprae merambat di atas rerumputan sehingga membentuk suatu lapisan khsusu dengan kerapatan yang cukup tinggi.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 51. Kondisi vegetasi di rawa dan sekitar sungai

3. Semak Tipe vegetasi ini tumbuh di atas lahan kering diantara rawa (bagian depan) dan tambak terlantar

(bagian belakang), di dominasi oleh beberapa jenis tumbuhan semak dan diselingi oleh beberapa jenis tumbuhan pohon dan herba. Beberapa jenis tumbuhan yang paling umum dijumpai di lapangan antara lain Abroma mollis, Callatropis gigantea, Gmelina eliptica, Crotalaria spp., Abelmoschus moschatus, Dodoaea viscose, Timonius compressicaulis, Merremia hirta, Tetracera scandens, Indigofera suffruticosa dan Leea indica.

Gambar 52. Jenis tumbuhan yang umum dijumpai ; Abroma mollis

4. Vegetasi di sekitar tambak Tidak lebih dari 15 meter di belakang semak, terdapat tambak yang pada saat survey dilakukan tidak

difungsikan. Oleh pemiliknya, tambak ini diterlantarkan mengingat keterbatasan dana untuk mengaktifkannya kembali. Di lokasi ini, penutupan vegetasi berada di pematang dan bagian tengah tambak yang berupa daratan. Beberapa vegetasi yang umum dijumpai di sekitar tambak adalah Imperata cylindrica, Callatropis gigantea, Gmelina eliptica, Crotalaria spp., Abelmoschus moschatus, Dodoaea viscose, Merremia hirta, Tetracera scandens, dan Indigofera suffruticosa.

b) Kondisi vegetasi di sekitar lokasi tanaman pantai daratan

Pengamatan kedua dilakukan di sekitar pantai berpasir, tepatnya di calon lokasi penanaman. Di bagian depan pantai sebelah selatan, terdapat tegakan kelapa milik masyarakat yang mengalami degradarasi karena gelombang Tsunami. Masih di hamparan yang sama, dijumpai formasi Pes Caprae yang terhampar sekitar 50-75 dari garis pantai. Menuju ke arah belakang, dijumpai beberapa tipe vegetasi antara lain vegetasi rawa, vegetasi di sekitar tambak, semak belukar, padang rumput dan vegetasi di sekitar desa. Gambar di bawah ini mengilustrasikan profil vegetasi di sekitar pantai berpasir desa Ceunamprong.

98 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 53. Sketsa melintang yang menggambarkan formasi dan tipe vegetasi di pesisir Desa Gampong Baru

Paragraf di bawah ini adalah penjelasan lebih detail mengenai masing-masing formasi atau tipe vegetasi yang ada di calon lokasi penanaman tanaman pantai di Desa Ceunamprong.

1. Tegakan kelapa Tipe vegetasi ini mengacu pada suatu tegakan yang tersisa dari kebun kelapa yang telah terdegradasi

oleh tsunami. Sebagian besar pohon kelapa telah tumbang atau patah oleh gelombang Tsunami. Sementara sisanya mati karena sebagian daratan mengalami penurunan sehingga saat ini telah menjadi bagian dari lautan.

Di lantai tegakan, vegetasi yang ada hanyalah beberapa jenis rumput saja dengan tutupan yang sangat rendah. Diduga kuat hal ini sebagai akbiat dari seringya daratan ini terkena air asin, terutama saat pasang.

Gambar 54. Tegakan kelapa yang masih tersisa

2. Formasi Pes-caprae (PC) Sebagaimana namanya, formasi ini didominasi oleh herba merambat Ipomea pes-caprae atau

galaran. Herba ini tumbuh dari arah belakang, menjalar ke depan dan berhenti pada titik dimana kondisi substrat sudah tidak memungkinkan. Tdak memungkinkannya kondisi ini bisa dikarenakan substratnya yang masih belum stabil atau salinitas tanhnya masih tinggi. Di sela-sela dominasi galaran, dijumpai beberapa vegetasi yang tumbuh secara alami antara lain Casuarina equisetifolia, Waru Hibiscus tiliaces, dan Malapari Pongamia pinnata.

Gambar 55. Kondisi penutupan vegetasi di formasi Pes Caprae

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. Vegetasi rawa Pantai berpasir secara alami di batasi oleh sungai yang mengalir berada di belakang pantai berpasir

(gumuk pasir). Sungai ini bermuara pada suatu rawa berukuran luas. Vegetasi yang ada hanya dijumpai di sekeliling saratannya. Phragmites karka atau perumpung mendominasi penutupan di sekeliling sungai dan rawa. Hanya sedikit jenis tumbuan lainnya yang dapat dijumpai di sela-sela dominasi perumpung antara lain Mikania cordhata,

4. Vegetasi di sekitar tambak Beberapa petak tambak milik masyarakat dijumpai di belakang semak dengan kondisi terlantar. Di

bagian tengah tambak, terdapat lahan yang disisakan (tidak digali) sehingga ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan antara lain Trema orientalis, Pterospermum spp., Widelia biflora, dan beberapa jenis lainnya. Pentupan lahan di areal ini cukup tinggi berkisar 80-95%. Sementara di pematang tambak, penutupan vegetasi jeuh lebih rendah yaitu hanya berkisar 60-70%. Hal ini karena pematang ini sering dilalui oleh manusai maupun hewan ternak. Beberapa jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di pematang seringkali ditebang karena mengganggu jalan. Beberapa jenis tumbuhan yang umum diumpai di pematang tamba anatara lain Mimosa pudica, Calatropis gigantea, Widelia biflora dan beberpa jenis tumbuhan lainnya.

Gambar 56. Kondisi vegetasi di sekitar tambak

5. Padang alang-alang Padang alang-alang ini tumbuh di atas lahan bekas terbakar dengan luasan sekitar 1 hektar. Jenis ini

(Imperata cylindrica) memiliki sifat dominan yang sangat tinggi sehingga tidak memberikan ruang dan kondisi yang memadai bagi jenis tumbuhan lain untuk tumbuh. Beberapa jejnsi tumbuhan umumnya hanya bisa ditemukan di tepi padang antara lain Mimosa pudica, Mimosa pigra, dan Mikania cordata.

Gambar 57. Kondisi vegetasi di sekitar tambak

100 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

6. Semak belukar Tipe vegetasi ini berada di belakang tambak terlantar, ditandai dengan dominasi tumbuhan berkayu

antara lain Trema orientalis, Ceasalpinia crista, dan Muntingia calabura. Berdasarkan pengamatan vegetasi di lapangan, beberapa jenis tumbuhan herba dan semak juga dijumpai antara lain biduri Calatropis gigantea, Desmodium umbellatum, Opiorrizha spp., Calopogonium mucunoides, Crotalaria striata, pecut kuda Stachytarpeta indica, dan Dodoaea viscosa. Kondisi semak belukar di desa ini cukup memprihatinkan, diakibatkan oleh aktifitas destruktif yang dilakukan oleh oknum penduduk misalnya pembakaran. Berdasarkan observasi yang dilakukan di lapangan, motivasi utama dari pembakaran ini adalah untuk membersihkan lahan dari semak belukar. Membakar lahan dinilai masyarakat sebagai langkah yang sangat murah, efektif dan efisien dalam membersihkan lahan mereka. Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan dampak pembakaran ini bagi lingkungan. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan upaya-upaya serius dalam rangka menghadapi hal ini.

Gambar 58. Semak belukar yang baru saja terbakar

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan di daerah ini berlangsung sangat singkat, yaitu pada tanggal 12 November 2007. Temuan satwa liar sangat minim, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: 4 jenis mammalia, 24 jenis burung, serta satu jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Hanya empat jenis mammalia yang ditemukan secara langsung, dua diantaranya merupakan jenis yang dilindungi, yaitu: Monyet Beruk Macaca nemestrina, dan Siamang Hylobates syndactilus.

Selain temuan langsung, penduduk menginformasikan bahwa terdapat jejak kaki harimau sekitar akhir bulan Oktober 2007 di bagian perbukitan. Masyarakat juga menginformasikan bahwa ada sebuah aturan tidak tertulis yang selalu dipatuhi warga yaitu pada setiap hari rabu, minggu ke-4 bulan Hijjriyah (kalender kabisat), tidak boleh melakukan aktifitas kerja, terutama yang berkaitan dengan hutan. Apabila hal ini dilanggar maka hewan ternak akan di mangsa oleh harimau atau bahkan orang tersebut akan mengalami musibah.

b) Avifauna

23 jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini, dari jumlah tersebut, 5 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Jenis yang dilindungi tersebut, yaitu: Kuntul besar Egretta alba Kuntul kecil E. garzetta, Cekakak sungai Halcyon chloris, Burung-madu kelapa Anthreptes malacensis, dan Burung-madu sriganti Nectarinia jugularis.

c) Herpetofauna

Tercatat hanya satu jenis dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, yaitu: Biawak Varanus salvator.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

5. Tanah dan Pertanian

a) Fisiografi, Topografi dan Geologi

Berdasarkan pengamatan lapang daerah survei merupakan dataran pasang surut sepanjang pantai (Bfq 4.3) dan komplek beting pesisir pantai berseling dengan cekungan (Bfq 1.1). Secara umum mempunyai topografi datar, lereng 1-3 persen, hanya menjelang arah perbukitan agak bergelombang dengan lereng 3-8 persen. Formasi tersusun dari aluvium (Qa) yang berumur kuarter yang terditri dari krikil, pasir, lumpur dan bahan organik.

b) Keadaan Tanah

Kondisi lahan di lokasi Ceunamprong, Keudu Unga, Glejong dan Krueng Tenong hampir sama baik secara fisiografi, topografi dan bahan induk tanah (geologi), sehinggga menurukan tanah-tanah yang tidak jauh berbeda satua dengan yang lainya.

a). Pada bagian sepanjang pantai mempunyai tanah Typic Psammaquents (Regosol), berpasir, dalam, agak salin, drainase cepat. Bentuk wilayah datar, lereng 0-1. Penggunaan lahan wilayah ini umumnya semak belukar dan sebagian kecil terdapat pohon kelapa yang sudah tidak terpelihara.

Potensi lahan. Dapat dikembangkan untuk lahan rehabilitasi pantai seperti cemara, waru dll ataupun dengan tanaman kelapa.

Kesesuai lahan. Secara umum tanah-tanahnya tidak sesuai (N) untuk pengembangan pertanian dengan faktor pembatas teksture berpasir kasar

b). Pada bagian di belakang sepanjang pantai terdapat rawa-rawa dengan tanah Typic Sulfaquents (Gleisol), berliat, dalam, agak salin, drainase sangat terhambat. Bentuk wilayah datar, lereng 0-1. Penggunaan lahan wilayah ini sebagian besar bekas tambak yang sudah tertutup oleh bahan-bahan yang dibawa gelombang Tsunami, tumbuhannya berupa belukar rawa.

Potensi lahan. Dapat direbabilitasi untuk lahan tambak akan tetapi terdapat permasalahan pasokan air tawar yang masih baik.

Kesesuain lahan. Pada bagian sepanjang pantai dan rawa belakang pantai, secara umum tanah- tanahnya tidak sesuai (N) untuk pengembangan pertanian dengan faktor pembatas, kondisi tanah berpasir, dan potensi sulfat masam.

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Penduduk percaya bahwa kata Ceunamprong sendiri berasal dari Bahasa Aceh yang terdiridari kata “Ceu dan Namprong” yang berarti “Cina Lari”. Histori yang dipercaya oleh penduduk dibalik nama tersebut adalah sebelum masuk Portugis ke Aceh Jaya masuklah bangsa Cina melalui Selat Malaka karena saat itu daerah Aceh Bagian Utara dan Timur telah ramai dan relatif maju saat itu, maka bangsa Cina yang datang melakukan ekspansi ke pesisir Barat dan tibalah di Aceh Jaya. Datangnya bangsa Cina untuk mengembangkan bisnis lari ke pesisir Barat untuk menghindari keramaian atau persaingan, diasumsikan penduduk dengan istilah Cina Lari. Disamping nama Ceunamprong, salah satu nama dusun dari empat dusun yang ada di Desa Ceunamprong bernama Babah Awe yang berarti Bapak dalam bahasa Cina.

Namun demikian kedua hal tersebut belum dapat dijadikan sebagai sumber sejarah yang jelas karena tidak ada bukti-bukti histori otentik yang mendukung kepercayaan tersebut , selain penggunaan istilah Cina dengan menggunakan bahasa Aceh.

102 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Saat masa konflik tahun 1978 sampai dengan sebelum tsunami 2004 daerah ini merupakan daerah yang jarang dilalui selain bukan merupakan jalan utama di pesisir Barat, penjagaan wilayah Kabupaten Aceh Jaya yang dilakukan oleh TNI sangat ketat, disamping itu tidak ada sumberdaya alam atau suatu produk dari Desa Ceunamprong yang merupakan primadona ekonomi secara global sehingga tidak ada alasan kuat bagi pendatang dari luar untuk mengunjungi Desa Ceunamprong. Salah saorang penduduk menunjukan kondisi jalan aspal besar sepanjang jalan Desa Ceunamprong yang masih bagus dan sepanjang pinggir jalan ditumbuhi rerumputan mencerminkan sepinya arus lalu lintas Desa Ceunamprong saat itu dan sampai dengan saat ini.

Gambar 59. Peta Desa Ceunamprong pasca Tsunami

b) Demografi

(1) Populasi

Berdasarkan pendataan yang dilakukan BPS pada tahun 2003 tercatat jumlah populasi penduduk Desa Ceunamprong tahun 2003 sebanyak 682 jiwa dengan komposisi 335 laki-laki dan 347 perempuan yang tergabung dalam 121 KK. Bila diambil nilai rata-rata dalam satu KK terdiri dari 5-6 orang. Penurunan drastis jumlah penduduk terjadi setelah tsunami dimana hasil pendataan BPS menunjukan pada tahun 2005, populasi penduduk menurun sebesar 43,5% dengan jumlah penduduk tahun 2005 sebanyak 385 jiwa dengan komposisi 183 laki-laki dan 165 perempuan. Terjadi penambahan jumlah KK dari tahun 2003 ke tahun 2005 sebesar 11,5% namun terjadi penurunan jumlah anggota kelurga rata-rata tiga orang per keluarga.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berdasarkan hasil pendataan jumlah penduduk yang dilakukan oleh Canada Red Cross untuk keperluan pembangunan rumah bantuan, tercatat total penduduk Desa Ceunamprong pada tahun 2007 sebanyak 569 jiwa denga komposisi 246 laki-laki dan 323 perempuan, dengan jumlah keluarga sebanyak 161 KK atau meningkat 48% dari tahun 2005. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2003, penduduk tahun 2007 menurun sekitar 17%, namun terjadi peningkatan jumlah keluarga sebesar 33% seperti ditunjukan pada gambar 60 di bawah ini.

Tabel 41. Populasi penduduk Desa Ceunamprong dan Kecamatan Jaya tahun 2003 dan 2005

Kepadatan Populasi

Tahun

Jumlah KK Laki-laki Perempuan

Penduduk

(ind/ km2) Desa Ceunamprong

Kecamatan Jaya

N/A 2856

Desa Ceu Namprong

Kecamatan Jaya X 10 Perempuan Laki-laki

Gambar 60. Grafik pertumbuhan penduduk antara sebelum tsunamai tahun 2003

dan sesudah tsunami tahun 2005

Suku yang mendiami Desa Ceunamprong dari sebelum dan setelah Tsunami terdiri dari multi etnis yang didominasi Etnis Aceh. Agama utama yang dianut oleh penduduk adalah adalah Islam dan berdasarkan informasi dari Kheuchik/ Kepala Desa sejak zaman dahulu belum pernah tercatat penduduk Desa Ceunamprong yang menganut selain agama Islam. Meski ada kepercayaan kedatangan bangsa Cina ke Desa Ceunamprong namun diyakini tidak terjadi asimilasi atau pencampuran dengan bangsa Cina tersebut.

Saat kunjungan ke Desa Ceunamprong terlihat sedang adanya kegiatan pembangunan lapangan olahraga. Berdasarkan informasi langsung dari pekerja banguna tersebut, mereka sengaja didatangkan dari Purwodadi Jawa Tengah sebanyak 200 orang tukang untuk mengerjakan proyek pembangunan pembangunan runah dan lapangan sepakbola desa yaitu Stadion Persena yang difasilitasi oleh Australia-Indonesia Partnership.

104 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Masuknya pekerja dari luar Aceh tidak menimbulkan kecemburuan mata pencaharian atau lapangan kerja dengan penduduk asli. Masyarakat mengasumsikan pekerja tersebut didatangkan untuk membantu pembangunan fasilitas penduduk Ceunamprong karena mereka sendiri tidak memiliki keterampilan untuk menjadi tukang bangunan. Disamping itu kedatangan pekerja ini sangat dirasakan danpak positifnya bagi beberapa pemilik kedai karena meningkatnya jumlah pembelian dan para pekerja dari luar Aceh tersebut belum ada yang terlibat hutang kepada pemilik kedai. Berbeda dengan penduduk asli yang terlibat pada penunggakan hutang sehingga mengambat perputaran modal usaha. Para pemilik kedai percaya bahwa penunggakan hutang terjadi karena penduduk tidak memiliki penghasilan yang tetap juga adanya faktor kepercayaan atau tidak sungkan lagi untuk memiliki hutang karena sudah saling mengenal satu sama lain.

Tabel 42. Agama dan Etnis Penduduk Desa CeunamprongTahun 2003 dan 2005

Tahun

Agama Utama

Etnis

Etnis Utama

2003 Islam

Aceh 2005 Islam

Multi Etnis

Aceh 2007 Islam

Satu Etnis

Multi Etnis

Aceh

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Mata pencaharian utama penduduk Desa Ceunamprong adalah melaut atau perikanan tangkap. Namun demikian Pengkombinasaian mata pencaharian dilakukan antara malaut dengan pembuatan ikan asin oleh perempuan, menebang kayu dihutan dan pertanian kacang tanah. Mata pencaharian lain yang dikembangkan yaitu sawah, ternak dan tanam pinang di hutan. Aktivitas mata pencaharian sebagian besar sangat tergantung pada musim seperti ditunjukan pada tabel berikut:

Tabel 43. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Ceunamprong sebelum Tsunami

Jenis

Bulan

Pekerjaan * Jan

Sep Okt Nov Des Perikanan

Musim Timur tangkap

Musim Timur

Musim Barat

Sawah tanam √

√ panen persiapan penanaman

√ panen persiapan

Tambak Tebar √

√ panen Persiapan benih

√ panen √

√ Tebar benih

besar tambak Pertanian

√ panen panen kacang tanah

persiapan

√ panen - -

Tebang kayu √

√- - - Pinang

√ √ Ternak ayam,

Musim Timur Kebutuhan

Ikan asin Musim Timur

Musim Barat

--- - Kredit

- --- --

Keterangan:

• = (dimulai dari yang paling penting)

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(a) Perikanan Tangkap dan Pengawetan hasil perikanan

a. Alat Tangkap Sebelum tsunami aktivitas melaut ditekuni dengan menggunakan perahu motor mesin tempel yang

dijalankan oleh dua sampai tiga orang. Mesin yang digunakan biasanya Dompeng dengan bahan bakar solar. Alat tangkap yang digunakan adalah pukat pantai, pukat udang dan jaring rentang (gill net). Rata-rata penduduk Desa Ceunamprong memiliki sendiri armada penangkapan sehingga pekerja nelayan yang menjalankan perahu seorang “toke” tidal lazim terjadi. Dekian juga dengan meminjam uang untuk modal melaut juga jarang terjadi. Pekerjaan menangkap ikan dalam satu perahu biasanya dilakukan sesama anggota keluarga atau yang masih memiliki hubungan saudara sehingga tidak ada perasaan pekerja satu lebih rendah dari pekerja lainnya meski dalam pembagian hasil tangakapan akan berbeda antara pemilik kapal, nahkoda/pawang dan anak buah.

Setelah tsunami sampai dengan saat ini aktivitas melaut banyak yang terhenti dikarenakan rusaknya perahu dan alat-alat pendukung lainnya Hal tersebut bukanlah dikarenakan tidak adanya bantuan boat dan alat tangkap dari NGO. Berdasarkan informasi dari beberapa warga yang berprofesi sebagai nelayan, bantuan alat tangkap dari NGO hanya diberikan kepada kelompok orang tertentu yang dekat dengan si pengelola bantuan tersebut. Para penerima bantuan banyak yang bukan berprofesi sebagai nelayan sehingga banyak boat yang tidak dimanfaatkan, badan boat dan mesin tempel dijual ke Pasar Lamno. Disamping itu masih banyaknya kayu-kayu sisa tsunami di pinggir pantai sehingga pukat pantai tidak bisa digunakan.

Jenis Boat yang dapat digunakan di Desa Ceunamprong minimal boat dengan mesin tempel karena kencangnya gelombang di pinggir pantai sehingga ukuran boat dan jarak penangkapanpun harus lebih kearah tengah. Kurang tepatnya sasaran bantuan boat dan besarnya modal yang harus dikeluarkan bila harus membeli sendiri peralatan penangkapan membuat nelayan Desa Ceunamprong masih banyak yang tidak dapat melaut dan otomatis kegiatan melaut terhenti.

Kegiatan penangkapan yang masih dapat dilakukan oleh nelayan yaitu menjaring udang liar atau ikan bawal di bekas tambak yang berubah menjadi rawa akibat tsunami. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara sendiri-sendiri. Jumlah pendapatan yang diperoleh dari menjaring minimal Rp 50.000,- dan saat ini tidak ada lagi lobster-lobster yang bisa mendatangkan uang minimal Rp 100.000,- setiap kali melaut.

b. Pembagian Hasil Tangkapan dan Pemasaran Pembagian hasil tangkapan dilakukan dengan mengurangi hasil tangkapan dengan modal yang

dikeluarkan yaitu biaya solar dan minyak tanah untuk lampu di kapal. Dari penjualan bersih pemilik kapal akan mendapatkan dua sumber pendapatan yaitu 1/3 bagian dari penjualan. Kemudian pembagian antara pemilik dan anak buah kapal karena pemilik ikut melaut. Bila pemilik kapal tidak berperan sebagai pawang maka ia akan memberikan sedikit fee untuk pawang.

106 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pemilik Kapal Tangkapan

Pekerja Modal

Melaut

Gambar 61 mekanisme bagi hasil kegiatan penangkapan ikan

Mekanisme bagi hasil di atas dilakukan bila antara anak buah dan pemilik kapal bukan keluarga yang tinggal serumah atau bukan garis keturunan langsung yang masih tinggal serumah. Nelayan muda yang masih tinggal bersama orang tuanya hanya mendapatkan uang saku dari hasil penjualan ikan.

Pemasaran hasil tangkapan selain dijual untuk konsumsi lokal desa, ikan-ikan yang didapatkan dijual ke Kuala Unga untuk konsumsi masyarakat desa sekitar dan hanya sebagian kecil nelayan yang menjual hasil tangkapan ke Pasar Lamno. Udang dan beberapa ikan kecil hasil dari menjaring selain dijual untuk lokal desa juga dijual ke Kuala Unga. Pekerjaan sampingan yang ditekuni ibu-ibu adalah mengolah hasil tangkapan suami menjadi ikan asin. Pembuatan ikan asin dilakukan untuk mengawetkan ikan yang didapat dan dapat dijual dalam jangka waktu yang lebih lama. Ikan asin yang diproduksi dapat bertahan selama empat bulan. Hal tersebut dilakukan sebagai antisipasi masalah transportasi ke Pasar Lamno yang mencapai waktu dua jam dan daya beli masyarakat desa yang terbatas.

Kendala panen ikan dari kegiatan melaut yaitu ketika musim Barat yang biasanya terjadi antara bulan April sampai dengan September. Pada musim Barat angin bertiup sangat kencang menyebabkan gelombak yang terbentuk di laut lebih tinggi dari biasanya. Kebalikan dengan musim Timur yang pada umumnya terjadi antara bulan Oktober sampai dengan Maret, angin relatif tenang sehingga ombak di lautpun relatif kecil. Frekuensi terjadinya musim Barat dan Musim Timur tidaklah tetap sepanjang tahun sangat tergantung pada pergerakan angin.

(b) Budidaya Tambak

Tambak yang dikembangkan di Desa Ceunamprong merupakan pola tambak tradisional dengan komoditas udang yang dikembangkan. Hanya sebagian kecil wilayah Desa Ceunamprong yang dapat dikembangkan untuk tambak yaitu sekitar 30ha sedangkan topografi eksoistem pesisir lainnya berupa hamparan pantai berpasir yang terekspose langsung ke laut.

Setelah tsunami pernah ada upaya rehabilitasi tambak yang dilakukan oleh BRR melalui Satuan Kerja (Satker) Perikanan. Namun tambak-tambak tersebut belum dapat digunakan karena rehabilitasi yang dilakukan masih sebatas pembersihan sampah-sampah tsunami dan pendalaman tambak. Dari sisi fisik bangunan tambak, masih perlu dibuat tanggul tambak dan pintu air. Akibat tsunami garis pantai

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

kokoh. Dari sisi produksi untuk satu petak tambak berukuran 250m 2 dibutuhkan modal usaha minimal Rp 20juta, karena harus memulai usaha tambak dari awal sedangkan untuk siklus produksi

selanjutnya hanya dibutuhkan operasional cost sebesar Rp 12juta. Sampai dengan saat ini belum ada bantuan baik dari pemerintah maupun NGO dan swasta yang mendukung kedua faktor utama usaha tambak tersebut diatas dan penduduk sendiri tidak memiliki modal untuk mengembangkan tambak jadi hanya mengharapkan batuan saja. Kondisi ini menyebabkan usaha tambak Desa Ceunamprong sampai dengan saat ini belum dapat dikembangkan.

(c) Pertanian dan Penebangan Kayu

Berdasarkan data dari BPS tahun 2003 menyebutkan bahwa mata pencaharian utama penduduk Desa Ceunamprong adalah pertanian (agrikultur) seperti disajikan pada tabel di bawah ini. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden dan hasil kunjungan lapang diketahui bahwa kegiatan pertanian ditekuni oleh hampir semua penduduk sebagai usaha sampingan kombinasi dengan kegiatan melaut dan usaha tambak.

Tabel 44. Komposisi penduduk yang bertani dan Jumlah Keluarga Miskin di Ceunamprong

KK % KK bergerak

Jumlah

Mata

Pekerja % Pekerja

Tahun bergerak di kegiatan

Pengusaha

Pengusaha Pengusaha pertanian

di kegiatan

pada pada pertanian

Pertanian Pertanian

2003 119 98 80 66 Pertanian 95 80 12 10 2005 9

10 70 76.1 Lain-lain N/A N/A

Komoditas pertanian yang dikembangkan yaitu padi khusus di Dusun Tutut yang telah hilang akibat tsunami, kacang tanah, sayuran dan pinang. Sulitnya transportasi ke pasar Lamno membuat petani pinang hanya menunggu toke yang akan datang membeli hasil panen mereka. Sedangkan untuk kacang tanah, selain dijual ke toke, kacang tanah hasil panen juga dijual secara lokal kepada penduduk dalam bentuk kacang rebus. Lahan yang digunakan untuk pertanian selain pekarangan, tak jarang penduduk merambah hutan untuk berladang terutama menanam pinang.

Perambahan hutan tidak hanya untuk kepentingan membuka lahan pertanian. Sebagian masyarakat menebang kayu dihutan untuk dijual baik untuk bahan bakar maupun bahan bangunan. Tidak ada informasi dari masyarakat apakah usaha penebangan kayu tersebut hanya untuk kebutuhan lokal desa sendiri atau ada organisasi perdagangan kayu khusus yang menampung atau mengkoordinir para penebang kayu. Ketika perjalanan pulang dari Desa Ceunamprong, dari pinggir jalan sebelah

utara, di bukit sekitar pantai terlihat adanya kebun kelapa sawit yang dengan luas sekitar 500m 2 dengan ukuran tegakan sawit yang ditanam 2m dengan jumlah pelepah sekitar 12 pelepah dan

tumbuh kurang subur. Tidak diketahui pemilik sawit tersebut dan tujuan penanamannya. Aturan adat yang berlaku bagi kegiatan pertanian di hutan dan penebangan kayu adalah larangan ke

hutan setiap hari Rabu setiap penghujung bulan Islam. Penghitungan akhir penghujung bulan berpatokan pada bulan purnama. Masyarakat percaya bila aturan tersebut tidak diindahkan maka harimau yang ada di hutan akan turun bukit mendatangi perumahan penduduk. Kepercayaan tersebut saat ini makin kuat diyakini setelah pada bulan Oktober lalu ditemukan jejak harimau di dekat pekarangan rumah penduduk.

108 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(d) Peternakan

Usaha ternak yang dikembangkan yaitu ternak kambing dan ayam. Target pemasaran usaha ternak ini hanya sebatas penduduk Desa Ceunamprong dan desa sekitar. Isu flu burung sangat berpengaruh pada peternakan ayam. Saat ini penduduk tidak berani untuk mengembangan ternak ayam dalam jumlah banyak. Ternak ayam yang dilakukan hanya sebatas untuk kondsumsi rumah tangga sendiri. Jumlah ayam yang diternakan saat ini hanya sekitar 15 ekor. Sedangkan kendala pengembangan usaha ternak kambing adalah musim hujan. Saat musim hujan banyak kambing yang terserang penyakit

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Sebelum tsunami warga Desa Ceunaprong yang memiliki rumah permanen hanya sekitar 6% lainnya berupa rumah papan. Bantuan rumah permanen di Desa Ceunamprong berasal dari BRR, Indonesia Australia Partnership dan Palang Merah Kanada atau Canadian Red Cross (CRC). Bantuan rumah yang masih berjalan di Ceunamprong adalah bantuan dari CRC yang saat ini dalam tahap pendataan ulang kepala keluarga yang belum mendapatkan rumah dari tahap sebelumnya. Kendala yang dialami saat pembanguan rumah yatu relokasi masyarakat Dusun Tutut yang hilang akibat tsunami ke Dusun Babah Awe selain pendataan penduduk juga masalah pembebasan lahan penduduk yang akan dijadikan perumahan.

Selain CRC, Donor atau implementer yang memberikan rumah bantuan tsunami di Desa Ceunamprong diantaranya BRR, Australia Indonesia Partnership, IOM untuk kamar mandi dan sumur. Namun donor yang terbesar yang memberikan bantuan rumah adalah CRC bila dilihat dari jumlah unit rumah yang diberikan.

Sebelum tsunami Desa Ceunamprong memiliki fasilitas listrik dari PLN atau Perusahaan Listrk Negara. Berdasarkan pendataan BPS tahun 2005 Desa Ceunamprong setelah tsunami memiliki akses listrik dari PLN. Namun hasil kunjungan pada November 2007 menunjukan meski desa dilalui oleh tiang-tiang listrik tapi perumahan penduduk tidak memiliki akses listrik dari PLN. Sumber listrik yang digunakan adalah genarator atau genset yang dimiliki secara pribadi. Belum ada pengelolaan semcam genset desa yang dikelola secara bersama diaman masing-masing keluarga mebayar iuran pembelian bahan bakar/bensin. Biaya yang harus dikelurakan untuk membeli bensin pemakaian genset permalam berkisar Rp 10.000 - Rp 12.000 dimana harga bensin murni di Desa Ceunamprong Rp 6000,-/liter

Tabel 45. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Ceunamprong tahun 2003 dan 2005

Jumlah Rumah uk

MCK Tahun

itas akar asa

non PLN

air untu

mem Drainase Permanen

Fasil Permanen Permanen

Lampu Jal

Sumber Air Bersih

Bahan b

2003 7 116 6 Yes 26 0 No Well Well Tidak Minyak Tidak ada

tanah ada Minyak

2005 N/A N/A N/A Yes 70,7 0 No Pipe N/A Pribadi tanah N/A

Keterangan:

N/A = tidak ada data

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Pendidikan

Hasil wawancara dengan dua orang guru SD di Desa Ceunamprong menyebutkan bahwa pada umumnya remaja di Desa Ceunamrong hanya menyelesaikan pensisikan sampai jenjang SD. Alasan tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi karena jauhnya jarak yang harus ditempuh tidak didukung oleh sarana transportasi. Dari hasil wawancara juga didapatkan informasi satu-satunya warga Desa Ceunamprong yang melanjutkan ke perguruan tinggi adalah putri Bapak Darmawi yang notabene beliau hanya lulusan SD. Putri Pak Darmawi bersekolah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta diikuti oleh adiknya yang bersekolah di STM Lamno. Bapak Darmawi sendiri memiliki usaha warung yang dikombinasikan dengan menjaring udang di rawa-rawa bekas tambak. Sebelum tsunami beliau mengkombinasikan usaha warung dengan nelayan tangkap yang memiliki sebuah boat mesin tempel.

Tabel 46. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Gampong Ceunamprong

Akademi/ TK SD SMP SMA Sekolah Teknik Menengah Universitas

kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

terde Swasta Negeri Jarak

Satu-satunya fasilitas pendidikan yang ada di Desa Ceunamprong adalah Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ceunamprong bantuan dari OXFAM NOVIB yang difasilitasi oleh Education International. SD ini sudah beroperasi sejak bulan Juli 2007 untuk tahun ajaran 2007/2008. Selain bangunan ruang kelas, demikelancaran proses belajar mengajar SD Ceunamprong juga dilengkapi dengan fasilitas Mushallah dan perumahan guru yang terletak di belakang sekolah.

Gambar 62. Sekolah Dasar yang baru dibangun paska Tsunami di Desa Ceunamprong

110 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Sampai dengan saat ini akses menuju Desa Ceunamprong agak sulit dijangkau karena harus melalui desa-desa yang terkena tsunami dengan jalan yang masih berupa tanah sehingga menyulitkan ketika musim hujan. Putusnya jembatan yang menghubungkan Kemukiman Kuala Unga menambah terhambatnya lalu lintas karena harus menggunakan rakit penyebrangan yang memakan waktu maksimal 30 menit untuk sekali menyebrang. Biaya yang harus dikeluarkan untuk melewati rakit penyebrangan adalah Rp 5.000 – Rp 10.000,- untuk motor; Rp 50.000 untuk mobil umum dan mobil pribadi dan terkadang mobil-mobil dinas dan mobil NGO (teridentifikasi dari logo yang ada di mobil) harus membayar Rp 100.000,- untuk sekali menyebrang.

Tabel 47. Akses dan sarana transportasi umum Gampong Ceunamprong

Akses Jenis Jalan

Kendaraan Umum

kendaraan Tahun

kendaraan Desa

Motor roda 4

Andong Sampan

Umum

Roda Empat

motor

boat Utama

2003 Aspal Ya

Tidak Ada Roda empat

Roda empat

2005 Aspal Ya

Ada

Ada

Tidak Ada dan becak

Jalan Desa Ceunamprong sekali merupakan jalan aspal hotmik dalam kondisi yang sangat bagus. Hal tersebut dikarenakan sepinya arus lalu lintas di Desa Ceunamprung pada masa konflik ditambah lagi aktivitas lalu lintas perekonomian desa yang tidak terlalu ramai. Jenis angkutan umum yang melalui Desa Ceunamprong adalah beberapa mobil L300 dan becak motor.

(4) Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan yang ada di Desa Ceunamprong sebelum tsunami yaitu adanya dokter praktek yang tinggal di desa sedangkan setelah tsunami telah didirikan Polindes.

Tabel 48. Fasilitas Kesehatan di Desa CeunamprongTahun 2003 dan 2005

Jarak Tahun

Jumlah Jarak

Jarak

Puskesmas/

Rumah Terdekat Kemudahan

Terdekat Umum

Kemudahan Sakit

(km) akses

2003 0 96 mudah 0

0 16 mudah 2005 0 99 susah 0

Hasil pendataan dari BPS menunjukan pada tahun 2003 dan 2005 penduduk yang memiliki fasilitas kartu berobat gratis (kartu sehat) dan yang memegang KTPM hanya sekitar 39% dan 45% padahal jumlah kelaurga miskin pada tahun 2003 dan 2005 masing-masing berjumlah 66% dan 76% dari total populasi. Kondisi ini menunjukan belum meratanya fasilitas bantuan kesehatan diterima oleh masyarakat. Data dari BPS juga menunjukan pasca tsunami penyakit diare, campak, demam berdarah, malaria dan ISPA pernah terjadi di Desa Ceunamprong.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 49. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005

Keluarga Memiliki

Persentase Kartu Keluarga Memiliki Persentase

Wabah penyakit yang pernah melanda

Tahun Keluarga

Balita Keluarga Tanda

Malnutrisi Peserta Penduduk

Miskin KTPM (%) KB

Diare Campak Demam berdarah Malaria ISPA

(KTPM)

2003 7 6 40 33 Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tidak 56 2005

20 14.8 30 22.2 Ya Ya Ya Ya Ya N/A N/A

(5) Fasilitas Keagamaan

Hasil pendataan penduduk mendapatkan bahwa seluruh penduduk Desa Ceunamprong menganut agama Islam dengan fasiltas ibadah yang terdapat di Desa pada tahun 2003 berupa 1 buah masjid dan 2 buah Mushalla sedangkan pasca tsunami fasilitas ibadah yang tersisa hanya satu buah Mushalla

(6) Sarana Komunikasi

Sarana komunikasi yang dimiliki warga Ceunamprong sebelum tsunami paada umumnya adalah televisi. Fungsi televisi sendiri lebih kepada sarana hiburan dan sesekali menjadi sarana informasi berita. Penggunaan telepon seluler saat ini jarang digunakan karena tidak ada sinyal dari operator seluler manapun. Media komunikasi lainnya yang dapat dinikmati oleh penduduk adalah adanya koran lokal Aceh yang mulai terbit sejak tahun 2005. Koran tersebut dapat dibeli di pasar Lamno atau dari supalyer barang-barang warung dari Banda Aceh yang biasanya datang minimal satu minggu sekali.

Tabel 50. Sarana komunikasi 2003 dan 2005 di Desa Ceunamprong

Tahun yang memiliki

Wartel Internet Telephone

mempu

yang

keluarga yang

Kantor

Kantor pos

membeli

memiliki TV

memilki TV

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Sama seperti desa-desa lain di Prop NAD, Desa Ceunamprong dipimpin oleh seorang kepala desa yang dikenal dengan istilah Kheuchik. Untuk urusan administrasi desa, Kheuchik dibantu oleh Sekretaris atau Sekdes dan Bendahara Desa sedangkan untuk urusan teknis kheucik dibantu oleh kepala urusan pemerintaan, kesejahteraan dan kepala urusan umum. Pemerintahan terkecil dari desa adalah dusun dimana masing-masing dusun dikepalai oleh kepal dusun. Pada tingkat dusun dibawah kepala dusun tidak ada lagi susunan kepemerintahan mengingat kecilnya ruang lingkup pemerintahan yang dijalankan.

112 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tuhapeut

Kheuchik

Imum Meunasah Desa

Sekretaris

Bendahara

Kaur Kesejahteraan

Kaur Pemerintahan

Kaur Umum

Kadus Uletiti Kadus Babah Awe Kadus Tengoh

Gambar 63. Struktur pemerintahan Desa Ceunamprong

Fungsi legislatif dalam susunan pemerintahan desa dipangku oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) namun sejak perjanjian Helsinksi Juli 2005 nama BPD diganti dengan istilah Tuhapeut. Fungsi tugas-tugas keagamaan seperti mengurus masalah pernikahan, perceraian dan zakat langsung dikelola oleh Imum Meunasah/ Imam Mushallah.

Hasil diskusi dengan Kheuchik mengungkapkan bentuk susunan kepemerintahan akan tetap mengaju pada bentuk yang pernah ada dan hal tersebut tentu akan didiskusikan dalam forum internal pemerintahan desa baru kemudian dirapatkan secara umum kepada masyarakat desa. Program utama dari kheucik yang baru dilantik pada November 2007 adalah menyelesaikan masalah perumahan dan relokasi warga Dusun Tutut ke Dususn Babah Awe.

Dalam susunan pemerintahan secara adat, kheuchik bertanggung jawab kepada Kepala Mukim sedangkan dari sisi pemerintahan nasional, kheuchik bertangggung jawab kepada Camat. Adapun unsur pemerintahan adat ditingkat mukim yang ada di Desa Ceunamprong adalah Panglima Teupin untuk urusan melaut dan Kejrung Blang untuk urusan persawahan. Saat ini Kejrung Belang tidak ada lagi karena sudah tidak adanya areal persawahan hilang akibat tsunami. Pawang Uteun urusan perhutanan tidak terdapat di Desa Ceunamprong, padahal penduduk banyak yang melakukan kegiatan mata pencaharian di hutan. Aturan pelarangan ke hutan setiap hari Rabu pada akhir bulan Arab dipercayai sudah ada sejak zaman dahulu, tetap berjalan meski tidak ada Pawang Uteun dan sampai saat ini tidak ada sangsi bagi yang melanggar.

(2) Kelompok Sosial Kemasyarakatan

Beberapa donor atau implementer yang bekerja di Desa Ceunamprong tdak banyak yang mensyaratkan adanya kelompok masyarakat untuk menyalurkan bantuan. Berikut ini adalah beberapa kelompok yang terbentuk baik yang terbentuk swadaya oleh masyarakat maupun difasilitasi oleh program dari donor atau implementer

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 51. Beberapa kelompok masyarakat yang telah terbentuk di Ceunamprong

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Kelompok menjahit

Pelatihan menjahit dan mendapatkan mesin jahit untuk kelompok.

2. Kelompok petambak

Korrdinasi masa tebar benur, pemanenan dan

pemasaran

3. Kelompok Ibu-ibu PKK

Insidentil tergantuk PKK dari Kecamatan

Kas Desa

4. Kelompok Wirid Yasin

Pengajian rutin

Iuran warga

5. Kelompok penghijauan

Rehabilitasi ekosistem psisisr dan pengelolaan modal

OXFAM NOVIB/Wetlands

usaha

International

6. Kelompok Pemuda

Insidentil contoh peringatan HUT RI

Kas Desa

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Hasil wawancara menunjukan sebagian besar pengelolaan keuangan untuk keperluan rumah tangga dilakukan oleh istri. Namun sebagian kecil menjawab bahwa seluruh keuangan dikelola oleh suami. Uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari diminta langsung kepada suami sewaktu akan memebeli kebutuhan dapur. Pengelolaan modal usaha khusnya pada kegiatan pertanian banyak yang dilakukan istri, sedangkan kegiatan tambak dan melaut pengelolaan modal usaha sepenuhnya dikelola oleh suami.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Sampai dengan saat ini belum ada keterlibatan perempuan secara langsung dalam susunan kepengurusan pemerintahan Desa. Hal tersebut diduga kuat dipengarauhi kultur, jenis pembagian tanggung jawab bahwa perempuan bertanggung jawab sepenuhnya di rumah dan tingkat ketertarikan dan pengetahuan perempuan sendiri terhadap masalah-masalah birokrasi yang kurang. Unsur perempuan dalam susunan kepengurusan desa ada didalam BPD yang diwakili oleh kelompok Ibu-Ibu PKK. Setelah BPD berubah menjadi Tuha Peut belum ada informasi apakah unsur Ibu-Ibu PKK dapat dimasukkan dalam susunan TuhaPeut karena melihat dari unsur Tuha Peut sendiri terdiri dari unsur (1) Agama/ Ulama; (2) Pendidikan/ Cerdik Pandai; (3) Pemuda; (4) Adat istiadat/ budaya

(3) Pemberdayaan Perempuan

Kegiatan pemberdayaan perempuan yang pernah dilakukan di Desa Ceunamprong adalah pelatihan menjahit dan pemberian mesin jahit, kelompok ibu-ibu PKK dan Kelompok Wirid Yasin. Kelompok menjahit saat ini tidak berjalan lagi. Beberapa anggota kelompok menjahit menyebutkan bahwa untuk mengembangkan usaha menjahit mereka belum sanggup karena belum cukupnya keterampilan membuat baju serta tidak adanya modal untuk membeli bahan-bahan menjahit.

Kelompok Ibu-ibu PKK merupakan suatu konsep pemberdayan perempuan yang cukup baik karena dalam kelompok ini diajarkan pengetahuan perawatan bayi, tanaman obat dan sanitasi perumahan. Namun disayangkan keiatan Ibuibu PKK sifatnya insidentil bila ada program kegiatan dari PKK Kecamatan atau PKK Kabupaten. Disamping itu masa konflik tidak memungkinkan untuk dijalankannya beragai kegiatan yang sifatnya berkelompok.

114 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 114 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dibandingkan dengan kelompok-kelompok dampingan dari kegiatan Green Coast lainnya, kegiatan di Desa Ceunamprong masih berupa embentukan kelompok dan sosialisasi di tingkat warga. Secara umum kheuchik sangat mendukung kegiatan penghijaun tersebut mengingat rusaknya ekosistem yang telah terjadi serta dapat menambah wawasan masyarakat tentang pelestarian lingkungan. Lebih lanjut kheuchik juga membantu penentuan lokasi tanam dan memfasilitasi pertemyan dengan warga.

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

6.2.Analisa Prospek kegiatan rehabilitasi

a) Penilaian lahan di lokasi penanaman

Penilaian lahan difokuskan di tiga lokasi yaitu calon lokasi persemaian, calon lokasi penanaman mangrove dan calon lokasi penanaman tanaman pantai. Di bawah ini adalah hasil penilaian di masing-maisng lokasi pengamatan.

1. Calon lokasi persemaian Dalam hal ini, yang areal dimaksudkan adalah lokasi yang dicalonkan masyarakat sebagai tempat

persemaian. Tepatnya, lokasi ini berada pada koordinat .....dengan tingkat aksesibilitasi yang tinggi. Kondisi subtsrat di lokasi ini adalah tanah berlumpur yang tela ditumbuhi oleh rerumputan. Dari pengamatan substrat, terlihat bahwa substrat sudah tidak terlalu terpengaruh terhadap pasang surut. Hal ini dindikasikan dari cukup kerasnya substrat serta tumbuhnya beberapa jenis rerumputan. Atas dasar hal inilah maka tim teknis menyarankan untuk tidak melanjutkan pembangunan persemaian di lokasi ini. Apabila dipaksakan, bibit dikuatirkan tidak akan cukup memperoleh pasokan air payau. Apabil hal ini terjadi, akan diperlukan pemyiraman yang intensif dan juga menyita waktu, tenaga dan biaya. Di sisi lain, okupasi gulma dikuatirkan akan terjadi di lokasi ini. Terkait dengan hal ini, tim menyarankan untuk mencari lokasi lain yang lebih sesuai.

Gambar 64. Kondisi umum di calon lokasi persemaian

2. Calon lokasi penanaman mangrove Lokasi ini berada di sekitar calon lokasi persemaian. Dari penilaian lapangan, setidaknya terdapat tiga

titik yang berpotensi untuk ditanami mangrove yaitu areal di sekeliling badan air, areal berawa, sepanjang alur alami dan di dalam tambak. Dari penilaian substrat, ketiga lokasi dinilai sesuai mengingat properti substrat adalah tanam belumpur. Namun demikian, keempat lokasi ini memiliki kondisi hydrologis yang berbeda. Untuk areal di sekeliling badan air dan sepanjang alur sungai, pasang surut menjangkau lokasi ini. Pasang dan surut memberikan kondisi hydrologis yang dinamis dan lebih lancar. Sementara di dalam areal tambak, kondisi air mengalami stagnasi karena tidak adanya saluran yang menghubungkan tambak dengan rawa atau sungai di sekitarnya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 65. Kondisi di beberapa titik calon lokasi penanaman mangrove

3. Calon lokasi penanaman tanaman pantai Berbeda dengan sebelumnya, lokasi ini memiliki karaketirstik pantai berpasir. Kondisi pantai di bagian

depan masih belum stabil. Hal ini diindikasikan oleh tidak adanya vegetasi yang mempu tumbuh disini. Perkembangan pantai di mulai dari arah belakang hingga beberapa puluh meter di depan. Terkait dengan ha lini, sngat direkomendaiskan untuk tidak memaksakan penanaman di bagian depan pantai atau yang sama sekali tidak memiliki tutupan vegetasi. Penanaman justru lebih baik diarahkan dari arah belakang menuju ke depan hingga pada titik dimana tidak ada vegetasi lainnya. Ipomea pes caprae atau katang-katang dapat dijadikan sebagai indikator biologis dimana sebaiknya penanaman di lakukan. Beberapa jenis tumbuhan yang dinilai cocok dengan kondisi setempat antara lain Cemara Casuarina equisetifolia, Bintaro Cerbera manghas, Nyamplung Callophyllum innophyllum, Waru Hibiscus tiliaces, Kuda-kuda Lannea spp., dan beberapa jenis lainnya.

b) Identifikasi potensi

1. Aksesibilitas tinggi Kedua calon lokasi penanaman memiliki aksesibilitas yang sangat tinggi, dalam artian bahwa lokasi-

lokasi tersebut dapat dijangkau dengan mudah. Dengan kondisi demikian, kegiatan lapangan diharapkan tidak akan mengalami kendala yang berarti. Sebaliknya, tingginya aksesibilitas ini diharapkan dapat mendukung dan memperlancar kegiatan di lapangan.

2. Daya dukung lingkungan Kedua calon lokasi penanaman (penanaman mangrove dan tanaman pantai) memiliki daya dukung

dan kesesuaian lahan yang sangat mendukung bagi kegiatan rehabilitasi pesisir. Formasi PC di pantai berpasir sangat prospektif sebagai lokasi penanaman tanaman pantai. Sementara itu lokasi di sekitar rawa, sepanjang sungai/alur air dan tambak dinilai juga prospektif untuk penanaman mangrove.

Kondisi ini merupakan suatu potensi dan modal dasar dalam mendukung suksesnya program restorasi pesisir di desa Ceunamprong.

3. Persepsi dan respon positif masyarakat Dari wawancara yang dilakukan, sebagian besar masyarakat memberikan tanggapan dan respon

yang positif terhadap rencana restorasi pesisir. Sebagian diantaranya bahkan menyatakan komitmennya untuk medukung atau bergabung dengan kegiatan ini. Hal ini menandakan bahwa program ini mendapatkan signal positif dari masyarakat umum. Kondisi demikian sangat memungkinkan bagi proyek untuk melibatkan, memberdayakan masyarakat, serta menjadikannya sebagai ujung tombak dalam program restorasi pesisir.

116 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 116 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

1. Belum mantapnya kelompok masyarakat Salah satu kendala yang dihadapi dalam program restorasi pesisir di desa ini adalah belum

mantapnya kelompok yang mewadahi anggota masyarakat dalam kegiatan ini. Hal ini karena kelompok ini baru saja terbentuk. Sebagaimana kelompok yang barus aja terbentuk, kapasitas kelompok ini masih sangat terbatas.

Kondisi ini memaksa penanggung jawab lapangan mengalokasikan tambahan waktu dan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan kapasitas kelompok ini. Pemberian training, penyuluhan dan pendampingan adalah beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk dapat memantapkan kelompok masyarakat.

2. Keterbatasan kapasitas masyarakat Minimnya pengalaman masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi (penanaman tanaman keras)

merupakan salah satu kenyataan dan kendala yang harus dihadapi dalam prohra restorasi pessisir di desa ini. Apabila kondisi ini dibiarkan, dikuatirkan kegiatan lapangan tidak akan berjalan dengan semestinya dan bahkan bisa berujung pada kegagalan program. Pelatihan dan studi banding merupakan dua hal yang disarankan untuk ditempuh dalam mengatasi kendala ini..

3. Keterbatasan luasan lokasi penanaman Di lokasi penanaman mangrove, tim assesment hanya mengidentifikasi kurang lebih 3 hektar areal

yang efektif untuk penanaman mangrove yaitu di sekeliling rawa, sepanjang (kanan kiri) sungai/alur air, kanan kiri pematang tambak dan areal berlumpur lainnya. Dengan asumsi jarak tanam rapat (1 x 1 m) maka, areal seluas 3 hektar ini hanya mampu menampung 30.000 bibit mangrove. Tentunya hal ini masih jauh di bawah target yang telah ditetapkan. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan pencarian lokasi lain yang sesuai untuk dapat merealisasikan target penanaman mangrove.

4. Permasalahan hama ternak Di kedua calon lokasi penanaman, tim mengidentifikasi ternak sebagai salah satu ancaman bagi

kegiatan rehabilitasi pantai. Langkah penanggulangan dan antisipasi harus segera dipikirkan untuk dapat mereduksi atau bilaman perlu mengeliminir dampak yang ditimbulkan oleh ternak.

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Tidak ada kegiatan rekonstruksi secara masif yang merusak lingkunagn di Desa Ceunamprong. Kegiatan konstruksi yang sedang dijalankan saat ini adalah pembanguan rumah untuk melengkapi penduduk yang belum mendapatkan rumah. Pembangunan rumah tidak dilakukan di lahan basah lahan basah penting

Pada saat awal proses wawancara berlangsung salah seorang dari kelompok ibu-ibu yang menjadi responden memberikan informasi bahwa beberapa NGO datang dan mengadakan wawancara namun setelah itu tidak pernah kembali lagi untuk melaksanakan program kegiatan yang dijanjikan. Walaupun demikian diakui oleh kaum ibu mereka tidak pernah bosan bila ada wawancara atau penggalian informasi dari lembaga yang datang. Mereka menaruh fikiran positif mungkin usulan yang diajukan oleh lembaga yang datang tersebut belum disetujui oleh pihak donor sehingga mereka tidak kembali lagi ke Desa Ceunamprong.

Berikut disajikan lembaga-lembaga donor yang telah memberikan bantuan di Desa Ceunamprong. Banyaknya lembagayang masuk atau datang silih berganti sehingga mungkin tabel berikut tidak dapat menampilkan semua lembaga yang pernah bekerja di Desa Ceunamprong.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 52. Donor atau implementator beserta jenis bantuan yang diberikan di Desa Ceunamprong

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. Australia Indonesia Partnership Lapangan sepak bola Sedang dalam pembangunan

2. BRR

Modal usaha, perumahan

Sudah selesai

3. Canadian Red Cross

Temporary shelter

Sudah selesai

4. Canadian Red Cross

Rumah permanen

Sedang dalam pembangunan

5. Canadian Red Cross

Posyandu, Pemberdayaan Ibu-ibu PKK

Sedang dalam perencanaan

6. International Medical Center

Sudah selesai (IMC)

Fasilitas MCK (kamar mandi dan sumur)

Sudah selesai (IMC)

7. International Medical Center

Enam buah boat dan mesin tempel

8. OXFAM NOVIB melalui

Sudah selesai International Education

Banguan SD dan perumahan guru

9. OXFAM NOVIB melalui

Sedang berjalan Wetlands International

Rehabilitasi eksositem pesisir dan

pemberdayaan ekonomi

10. Wastuwidyawan

Pemetaan Desa

Sudah selesai

Sedang berjalan Jaya

11. PT. Agro dan PEMDA Aceh

Pemetaan potensi pariwisata

12. Donor tidak teridentifikasi

Pelatihan menjahit, bantuan mesin jahit

Sudah selesai

Selain program restorasi pesisir “Green Coast phase 2” yang saat ini sedang berjalan di desa ini, terdapat juga beberapa kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya di desa ini sebagaimana dijelaskan dalam paragraf di bawah ini.

1. Bantuan bibit karet Saat survey dilakukan, team menjumpai ratusan bibit karet okulasi. Berdasarkan pengamatan pada

bibit tersebut, diyakini bahwa bibit-bibit termausk jenis unggul. Hal ini terlihat dari sertifikat yang tercantum di setiap bibit. Bibit-bibit tersebut diletakkan di bawah naungan pohon dan diatur dengan rapi. Dari seluruh bibit, sekitar 95% diantaranya terlihat tumbuh dengan baik. Sementara 5% lainnya kering atau mati.

Dari wawancara dengan masyarakat, bibit ini berasal dari pemerintah tanpa lebih menyebutkan institusi secara lebih terperinci. Masyarakat sendiri masih belum memiliki rencana yang pasti mengenai dimana akan ditanam biit-bibit tersebut.

Gambar 66. Bantuan bibit karet unggul dari pemerintah

118 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Bantuan bibit sukun Selain bibit karet, masyarakat juga memperoleh bantuan darti pemerintah berupa bibit sukun. Bantuan

ini telah lama rireaisasikan, namun tidak termabfaatkan dengan baik. Bibit-biit tersebut tidak ditanam di lokasi yang semestinya melainkan tetap dibiarkan tumbuh di lokasi pengumpulan bibit. Saat dilakukan survey, rata-rata tinggi bibit sekitar 2.5 meter. Untuk ukuran ini, secara teknis sangat sulit sekali memindahkan ke lokasi lainnya yang lebih tepat. Sementara apabila dibiarkan maka pertumbuhannya tidak optimal. Penjarangan terhadap biit-bibit yang tertekan, tidak tumbuh normal atau yang terserang penyakit merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan untu mengoptimalkan kondisi yang ada.

Gambar 67. Bantuan bibit sukun yang dibiarkan tumbuh liar

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi pengelolaan konservasi lahan basah

Secara Fisik, perubahan morfologi lahan basah di desa Ceunamprong tidak besar. Perubahan garis pantai juga terjadi di desa tersebut tetapi tidak sejauh pergeseran di desa-desa lain seperti Keude Unga dan Glejong. Perubahan lain yang terjadi adalah mundurnya tumpukan pasir atau penghalang pantai.

Seperti keadaan yang ada di pesisir barat umumnya, muara-muara sungai sering tertutup oleh pasir. Pada musim tertentu, seiring dengan perubahan arah angun dan arus di tepi pantai, muara sungai ini akan kembali terbuka. Berdasarkan pengambilan titik di lapangan yang di plotkan pada citra satelit yang diambil dari Google Earth, tampak terdapat sedikit perubahan aliran sungai. Muara sungai lama masih dalam keadaan tertutup oleh pasir, tetapi di sekitar 400 m dari muara lama terbentuk muara sungai yang baru.

Tambak yang berada di sebelah utara desa, yang berada tepat di tepi laut saat ini sebagian telah beroperasi. Tambak-tambak di tempat ini mudah mendapatkan pasokan air langsung dari laut. Berlainan dengan tambak-tambak yang ada di selatan desa, yang belum bisa beroperasi. Menurut penuturan masyarakat, upaya rehabilitasi tambak pernah dilakukan tetapi dihentikan. Salah satu penyebabnya adalah terdapatnya kesulitan untuk mendapatkan pasokan air karena air pasang tidak lagi bisa menjangkau tambak-tambak tersebut.

Untuk mengaktifkan kembali tambak-tambak yang mengalami kesulitan mendapatkan pasokan air laut, diperlukan kajian secara teliti. Hal paling penting adalah menyangkut ketersediaan air untuk proses budidaya. Jika suplai air laut tidak diperoleh kemungkinan dapat dilakukan budidaya ikan air tawar. Proses lain yang mungkin harus dijalankan adalah mengubah desain kolam dari kolam dengan kedalaman sejajar permukaan sungai menjadi kolam dengan dasar lebih rendah dari sungai. Konsekwensinya untuk panen atau pembuangan air memerlukan pompa.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 68. Lahan basah berupa kolam air tawar di desa Ceunamprong

Pada muara-muara sungai yang tertutup terbentuk kolam-kolam air tawar. Salah satu yang cukup besar berada di sebelah selatan desa Ceunamprong. Berdasarkan perkiraan pada peta, luas kolam ini sekitar 1,7ha dengan kemungkinan bertambah atau menyusut sesuai musim. Belum terdapat rencana pengelolaan yang pasti dari lahan basah ini. Kajian yang lebih mendalam diperlukan untuk dapat memanfaatkan potensi lahan basah ini.

Pada bagian sepanjang pantai disarankan untuk lahan rehabilitasi dengan tanaman khas pantai sepeti cemara, waru, dan kelapa. Pada bagian rawa belakang pantai dilakukan perbaikan konstruksi tambak.

Tanaman rehabilitasi harus dijaga atau diperhatikan dari masalah hama berupa ternak kerbau atau kambing yang sering merusak tanaman.

Untuk pengembangkan pertanian bisa saja dilakukan pada wilayah dataran yang bebatasan dengan perbukitan.

Langkah antisipasi harus segera ditempuh untuk menyelamatkan pantai berpasir desa Ceunamprong ini dari penambangan. Salah satu hal yang diharapkan dapat ditempuh oleh masyarakat adalah dengan menetapkan atau membuat aturan yang dilegitimasi oleh desa untuk melarang kegiatan penambanga pasir di desa mereka.

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

1. Melakukan study banding di desa Kedue Unga Desa Ceunamprong terletak tidak jauh dari Kedue Unga, desa yang telah terlebih dahulu

melaksanakan kegiatan restorasi pesisir. Berdasarkan pengamatan tim assessment, implementasi kegiatan di desa ini dinilai cukup baik atau berhasil. Bahkan, kegiatan di desa ini direkomendasikan sebagai demo site (plot percontohan) GC 2.

Untuk dapat menudukung kegiatan yang sama di desa Ceunamprong, sangat disarankan bagi imolementor/fasilitator lapangan untuk merancang suatu kegiatan studi banding di desa Keude Unga. Seluruh anggota dharapkan dapat mengikuti acara ini sehingga mereka akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kegiatan restorasi pantai. Disisi lain, peserta diharapkan dapat belajar dan memperoleh penglamanan dari masyarakat desa Keude Unga untuk kemudian diterapkan di desanya.

120 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Jenis bibit yang sesuai untuk program restorasi pesisir o Jenis mangrove

Sesuai dengan kondisi subsrat dan hydrology yang ada di lokasi, beberapa jenis mangrove yang sangat disarakan untuk ditanam adalah sebagai berikut:

• Rhizophora mucronata = disarankan menggunakan propagul • Rhizophora apiculata

= disarankan menggunakan propagul

• Rhizophora stylosa = disarankan menggunakan propagul • Sonneratia caseolaris

= menggunakan bibit siap tanam • Sonneratia alba

= menggunakan bibit siap tanam o Jenis tanaman pantai (daratan)

Sebagaiman kondisi subsrat dan hydrology yang ada di lokasi penamanan, beberapa jenis tanaman pantai yang sangat disarankan untuk ditanam adalah sebagai berikut:

• Casuarina equisetifolia = menggunakan bibit siap tanam • Hibiscus tiliaceus

= menggunakan stek batang/cabang • Lannea spp

= menggunakan stek batang/cabang • Calophyllum inophyllum

= menggunakan bibit siap tanam • Terminalia cattapa

= menggunakan bibit

• Pandanus tectorius = menggunakan bibit atau tunas alam • Ceiba petandra

= menggunakan steka batang

3. Lokasi persemaian mangrove Berdasarkan observasi yang dilakukan tim assessment di lapangan, calon lokasi yang dipilih

masyarakat dinilai kurang sesuai untuk persemaian mangrove. Keterbatasan dari sidut pandang substrat, tutupan vegetasi dan hydrology dikuatikan akan menjadi kendala dalam pelaksanaan kegiatan penyiapan bibit di persemaian.

Sebagai alternatifnya, tim assesemnt telah merekomendasikan lokasi yang lebih prospektif. Lokasi ini berada di sekitar calon lokasi sebelumnya, yaitu terfokus pada lokasi datar bersubstrat lumpur. Hal ini telah ditekakan kepada implementor untuk kemudian ditindaklanjuti.

4. Pencarian lokasi lain untuk menampung sisa bibit Berdasarakan perbandingan areal tersedia yang dibandingkan dengan target bibit yang harus

tertanam, lokasi yang suitable dinilai sangat terbatas dan tidak mampu menampung jumlah bibit yang ditargetkan. Terkait dengan kondisi ini perlu dilakukan penacrian lokasi lain di desa ini yang layak atau sesuai untuk penanaman mengrove.

5. Penataan batas di lokasi penanaman Dalam rangka memudahkan operasional di lapangan, monitoring dan pengawasannya, perlu

dilakukan penataan batas yang jelas di lokasi penanaman. Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda (pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman antara lain: luas lokasi penanaman, pelaksana penanaman, jenis bibit yang ditanam, tanggal penanaman, dan beberapa informasi penting lainnya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

6. Pengendalian hama Berdasarkan pengamatan di lokasi penanaman mengrove, ternak kerbau dikuatirkan menjadi faktor

penghambat dan kendala bagi tanaman. Walaupun tidak dalam jumlah yang banyak, keberadaan kerbau di lokasi ini sangat berpotensi mengganggu tanaman mengrove.

Kendala yang sama juga dikuatirkan terjadi di lokasi penanaman tanaman pantai. Hal ini berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang menjumpai segerombolan sapi yang melewati lokasi penanaman pada jam tertentu.

Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan upaya pencegahan atau pengendalian agar ternak (kerbau dan sapi) tidak mengganggu tanaman. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain membangun pondok pengawasan, melakukan patroli rutin dan melakukan pemagaran. Keputusan dalam pengambilan langka ini harus disepakati bersama, bilamana perlu berdasaran pertemuan anggota kelompok.

D. KEUDE UNGA

1. Profil Umum Lokasi

Secara administratif desa seluas 63 ha yang terletak 5° 0' 34.52" N 95° 22' 8.04" E ini masuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Jaya. Desa Keude Unga sendiri terdiri dari tiga dusun yaitu Kulam Itek, Teungoh dan dusun Mesjid. Batas wilayah Desa Keude Unga yaitu

• Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kuala • Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ceunamprong • Sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia • Sebelah timur berbatasan dengan Kareung Ateuh

Perjalanan menuju Desa Keude Unga harus dilalui melalui jalur sungai dan darat. Putusnya jembatan penyebrangan membuat akses ke Desa Keude Unga harus menggunakan rakit. Disamping itu perjalanan darat melalui jalan yang sedang diperbaiki dan masih dalam kondisi jalan tanah sehingga sangat menyulitkan ketika musim hujan. Jarak Desa Keude Unga dari Kota Lamno berjarak 94 km. Namun karena sulitnya akses transportasi sehingga lama perjalanan mencapai 2,5 jam perjalanan.

Desa Keude Unga letaknya dekat dengan muara sungai. Sebagian besar atau bahkan hampir semua wilayahnya termasuk system lahan Kahayan (KHY) yaitu dataran gabungan endapan muara dan endapan sungai. Di sisi selatan desa yang berbatasan dengan desa Ceunamprong, memiliki system lahan yang sama dengan dea Ceunamprong yakni Bukit Ayun (system-sistem punggung endapan bertufa yang sangat curam).

Desa Keude Unga mempunyai lahan basah yang cukup dominant. Selain pantai berpasir, desa Keude Unga juga mempunyai muara sungai yang cukup besar dan masih mempunyai ekosistem mangrove. Di sepanjang sungai juga dibangun tambak-tambak untuk memelihara bandeng. Lahan sawah yang ada dibelakang tambak, saat ini sudah ditimbun untuk dijadikan pemukiman untuk menggantikan kawasan pemukiman lama yang tergerus gelombang tsunami.

Sebagaimana desa-desa lainnya di pesisir barat Aceh, Kedue Unga termasuk desa yang mengalami kehancuran total akibat tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Data statistik menyebutkan bahwa bencana Tsunami ini telah memakan korban sebanyak 110 jiwa dan meluluh lantakkan semua rumah, infrastruktur dan bangunan lain hingga beberapa kilo meter ke arah daratan.

122 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Tipologi Lahan Basah

a) Ekosistem Lahan Basah

Gambar 69. Citra satelit yang menggambarkan situasi Desa Keude Unga sebelum Tsunami

E : Pantai berpasir Pantai berpasir di desa Keude Unga tergerus gelombang tsunami cukup parah. Hal ini dapat terlihat

dari sisa pilar jembatan yang saat ini berada di tengah laut. Gelombang tsunami sekaligus mengikis habis sebagian tambak-tambak di tepi sungai dan menjadikan muara sungai semakin lebar.

F : Estuari Muara sungai keude unga juga menjadi lebih lebar karena sebagian tambak yang ada di tepi sungai

rusak.

I : Intertidal forested wetlands Hamparan lahan pasang surut berhutan di Keude Unga masih dalam kondisi cukup baik. Species

dominant adalah sonneratia caseolaris. Informasi masyarakat setempat menyatakan bahwa sebelumnya jenis yang banyak di lokasi tersebut adalah bakau (Rhizophora sp).

1 : Aquakultur Tambak di Desa Keude Unga berada di kedua tepi sungai di dekat muara. Umumnya dipergunakan

untuk memelihatra Bandeng. Sebagian tambak mengalami kerusakan akibat tsunami bahkan sebagian benar-benar hilang tergerus air.

124 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 70. Foto udara Desa Keude Unga sebelum tsunami (Juni 2003, kiri) dan setelah tsunami (Agustus 2006, kanan). Lingkaran kuning di kiri adalah adalah pemukiman yang hilang saat tsunami sedang lingkaran pada gambar kiri adalah prioritas lokasi penanaman mangrove

(Sumber foto: Laporan ETSP-ADB 2006)

3. Profil Vegetasi

Beberapa faktor penting teramati di wilayah Keude Unga yang mempengaruhi keadaan vegetasi alaminya:

1. Hilangnya tegakan Gelombang Tsunami telah menghancurkan vegetasi di desa Kedue Unga, meliputi tegakan mangrove

maupun vegetasi pantai daratan (terrestrial coastal species). Kebun (sebagian kebun kelapa Cocos nucifera) dan tanaman di pekarangan tidak luput dari gelombang tsunami. Berdasarkan kesaksian seorang warga, seluruh tumbuhan yang berada di tepi pantai lenyap tak bersisa kecuali yang berada di dataran yang lebih tinggi yaitu vegetasi di atas bukit yang berada di desa ini.

Tegakan mangrove(Rhizopora apiculata) yang dulunya tumbuh lebat dikanan-kiri sungai serta tanaman pantai yang membentang sebagai sabuk hijau (Green Belt) luluh lantak diterjang tsunami. Kuatnya gempa yang kemudian diikuti oleh Tsunami juga telah merubah landsekap pantai, yaitu majunya garis pantai maju hingga 100 meter ke daratan.

Dampak atas hilangya tanaman pantai dan mangrove telah dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Saat ini, desa ini dihadapkan pada beberapa ancaman yaitu:

Semakin kerasnya tiupan angin yang menerpa desa. Hal ini terjadi sebagai akibat hilangya tanaman pantai oleh Tsunami yang berfungsi sebagai pematah angin (wind breaker).

2. Ancaman erosi pantai atau abrasi Dua ancaman inilah yang menjadi alasan utama dilakukan kegiatan pembangunan sabuk hijau (green

belt) melalui kegiatan penanaman mangrove dan tanaman pantai di pesisir desa Keude Unga. Kegiatan merupakan kerjasama antara masyarakat desa Keude Unga dengan proyek Green Coast phase II. Kegiatan ini diharapkan akan dapat mengembalikan tegakan mangrove dan tanaman pantai yang nentinya akan berperan sebagai sabuk hijau yang mampu melindungi desa mereka dari terpaan angin laut dan ancaman abrasi.

Setelah 3 tahun berselang, pemulihan lingkungan perlahan-lahan telah terjadi termsuk pemulihan tutupan vegetasi. Saat survey dilakukan, berbegai jenis tumbuhan baik yang tumbuh secara alami

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

1. Formasi mangrove Formasi ini merupakan komunitas hutan mangrove baru yang terbentuk dari proses suksesi pasca

Tsunami. Penutupan formasi ini dikuasai oleh Berembang Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris. Namun dibeberapa lokasi tertentu, beberapa jenis mangrove lain seperti paku piai Achrosticum aerium dan Nipah Nypa Fruticans juga dapat dijumpai berkelompok secara sporadis. Paku piai lebih banyak ditemukan di susbtrat lumpur peralihan antara daratan dan sungai/badan air. Sementara nipah paling banyak dijumpai di mulut anak sungai atau parit.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tinggi rata-rata pohon berembang rata diperkirakan mencapai tinggi 7 meter. Dengan perhitungan sederhana, jalu pertumbuhan tinggi pertahun adalah 2.3 meter. Angka ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan jenis berembang dalam masa suksesi ini dikategorikan sangat cepat. Lebih jauh lagi, terlihat jelas bahwa substrat dimana jenis ini tumbuh sangatlah cocok. Hal ini ditunjukkan melimpahnya anakan alam (wildling) di lantai tegakan.

Gambar 71. Tegakan berembang yang tumbuh secara alami setelah Tsunami

2. Formasi Pes-caprae Formasi ini dijumpai di sepanjang pantai berpasir baik yang berada di wilayah sekitar pemikiman

maupun di pantai seberang sungai. Formasi ini ditandai dengan adanya herba Ipomea pes-caprae yang terhampar di sepanjang pantai. Herba ini pada umumnya merambat dari arah belakang dan maju ke arah depan pantai berpasir yang kondisinya telah memungkinkan untuk hidup dan bertumbuh.

Di formasi ini, dijumpai pula beberapa jenis tumbuhan daratan (terrestrial plant) antara lain Pandan laut Pandanus tectorius, Ketepeng Senna allata, Cemara laut Casuarina equisetifolia, Biduri Calatropis gigantea, Kayu Tulang Clerodendrum inerme, Senduduk Melastoma candidum, Passiflora feoteda, Malapari Pongamia pinnata, dan Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, Seruni Widelia biflora. Di formasi ini, beberapa jenis rumput yang umum dijumpai antara lain Eluisine indica, Paspalum spp., dan Zoysia matrella.

3. Hutan pantai Sebagian besar hutan pantai berada di daerah perbukitan yang berada di sebelah selatan desa

Kedue Unga. Hutan ini terbentuk dari berbagai jenis tumbuhan pohon, palem, semak, belukar, paku,

126 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 126 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

4. Vegetasi artifisial Yang dimaksud dengan vegetasi artifisial adalah vegetasi yang terbentuk sebagai hasil dari intervensi

manusia melalui kegiatan penanaman beberapa jenis tanaman. Dalam hal ini, tipe vegetasi ini mengacu pada hasil kegiatan penanaman yang dilakukan di Desa ini melalui program “Green Coast 2”. Secara umum, penanaman ini terdiri dari dua jenis kegiatan yaitu penanaman mangrove dan penanaman jenis tanaman pantai daratan (terrestrial plant).

Vegetasi artifisial yang terbentuk dari kegiatan penanaman di pantai berpasir berupa tegakan muda campuran yang terbentuk dari beberapa jenis antara lain Cemara Casuarina eqisetifolia, Waru Hibiscus tiliaceus, Ketapang Terminalia cattapa, Randu Ceiba pentandra, Kelapa Cocos nucifera, Nyamplung Callophyllum innophyllum, Mangga Mangifera indica dan Kuda-kuda Lannea spp. Sebagian besar dari lokasi penanaman berada pada formasi Pes-caprae dimana kondisinya dinilai sesuai untuk pertumbuhan tanaman.

Saat survey di lakukan, penanaman mangrove masih belum dilakukan. Penanaman ini di plotkan di disekeliling tubuh air, sepanjang saluran air dan tambak yang berada di desa ini. Jenis- mangrove yang ditanam akan adalah Rhizophora mucronata, R. Apiculata dan Sonneratia alba. Saat ini, ketiga bibit ini telah dipersiapkan di suatu persemaian dan akan segera ditanam dalam beberapa minggu kedepan.

5. Vegetasi pekarangan Tipe vegetasi ini mengacu pada seluruh tumbuhan yang berada di lingkungan pemukiman penduduk

meliputi halaman, pekarangan rumah, areal kosong, dan areal di sepanjang jalan. Dari pengamatan lapangan, beberapa pohon yang umum dijumpai antara lain Kresen Muntingia calabura, Lamtoro Leucana leucachepala, Mangga Mangifera indica, Trema orientalis, Ketapang Terminallia cattapa, Kelapa Cocos nucifera, Gamal Glirichidia sepium, Belimbing wuluh Averrhoa bilimbi, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Sebagian besar dari jenis-jenis ini adalah hasil dari penanaman masyarakat. Pada umumnya, mereka mengharapkan hasil dari tanamn tersebut, baik buah maupun manfaat lainnya.

Selain jenis-jenis tanaman di atas, dijumpai pula beberapa jenis tumbuhan lainnya antara lain Ketepeng Senna allata, dan Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, dan Seruni Widelia biflora

Gambar di bawah ini adalah ilustrasi sederhana yang menggambarkan lay out beberapa tipe vegetasi di Desa Kedue Unga berdasarkan hasil survey lapangan.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 72. Lay out sederhana beberapa tipe vegetasi di desa Kedue Unga

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan hanya sangat singkat pada tanggal 12 November 2007, tim survey mencatat serta mengidentifikasi 18 jenis burung, serta satu jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Tidak dijumpai kelompok mammalia selama pengamatan di Desa Keudu Unga.

b) Avifauna

Delapan belas (18) jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini, dari jumlah tersebut, 4 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia yaitu: Kuntul besar Egretta alba, Kuntul kecil E. garzetta, Cekakak sungai Halcyon chloris, dan Burung-madu sriganti Nectarinia jugularis.

c) Herpetofauna

Tercatat hanya satu jenis dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, yaitu: Biawak Varanus salvator.

128 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

5. Tanah dan Pertanian

Lokasi keudu Unga mempunyai lahan yang sempit karena dari garis pantai kurang dari 1 km langsung berbatasan dengan perbukitan. Wilayahnya sebagaian berupa delta hasil pengendapan Sungai Unga dan sebagian lagi berupa dataran lumpur pantai (mud-flat). Tanah diklasifikasikan sebagai Typic Sulfaquents (Gleisol), berliat, dalam, salin, drainase sangat terhambat. Pasang surut air besar dan kecil dari laut sangat berpengaruh. Bentuk wilayah datar agak cekung, lereng 0-1. Penggunaan lahan wilayah ini sebagian besar berupa belukar rawa.

Potensi lahan. Tidak dapat dikembang untuk pertanian hanya dapat direbabilitasi untuk tanaman mangrove dan pembuatan tambak.

Kesesuai lahan. Secara umum tanah-tanahnya tidak sesuai (N) untuk pengembangan pertanian dengan faktor pembatas potensi sulfat masam dan drainase sangat terhambat.

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Perumahan penduduk Desa Keude Unga yang ada saat ini merupakan relokasi dari lokasi perumahan sebelumnya yang terletak lebih ke arah laut atau Samudera Hindia. Akibat tsunami Desember 2004, Desa Keude Unga tambak dan daratan yang banyak ditumbuhi mangrove jenis Rhizophora dan Sonneratia hancur saat ini selalu tergenang meski saat surut terendah. Desa Keude Unga memiliki nilai tradisi spiritual tersendiri karena terdapatnya sebuah makam keramat yang diyakini sebagai tokoh Islam Aceh di masa lalu. Selain itu perbukitan inilah yang telah menjadi “escape hill” masyarakat Keude Unga saat gelombang tsunami datang menggenangi desa.

b) Demografi

(1) Populasi

Secara umum sama seperti daerah lainnya telah terjadi pengurangan jumlah penduduk yang sangat signifikan akibat tsunami. Pengurangan populasi di Desa Keude Unga dari tahun 2003 ke tahun 2005 mencapai 43%. Secara umum di Kecamatan Jaya sendiri pengurangan populasi penduduk mencapai 26%.

Tabel 53. Populasi penduduk Desa Keude Unga dan Kecamatan Jaya tahun 2003 dan 2005

Populasi Kepadatan Penduduk Tahun

Jumlah KK Laki-laki Perempuan

(ind/ km2) Desa Keude Unga

Kecamatan Jaya

N/A 4,760

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Komposisi laki-laki dan perempuan mengalami perubahan pasca tsunami. Setelah tsunami pada tahun 2005 dan 2007 jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Namun perbedaanya komposisi antara laki-laki dan perempuan tidak begitu signifikan.

Desa Keude Unga Kecamatan Jaya X 20

Perempuan Laki-laki

Gambar 73 Pertumbuhan Penduduk Desa Keude Unga dan Kecamatan Jaya tahun 2003 dan 2005

Etnis utama yang mendiami Desa Keude Unga adalah Aceh dengan agama mayoritas yang dianut penduduk adaah Islam.

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Kombinasi mata pencaharian dalam satu keluarga biasanya dilakukan antara suami dan istri. Istri melakukan kegiatan di sawah sedangkan suami bekerja di tambak atau nelayan tangkap sehingga dalam satu tahun kalender musim pendapatan antara . Dalam satu tahun kalender musim sumber pendapatan dalam keluarga saling mengisi antara pendapatan dari “laut” dan “darat”.

Tabel 54. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Keude Unga sebelum Tsunami

Jenis Pekerjaan

Bulan

(sebelum Tsunami) dimulai dari yang paling

Agus Sep Okt Nov Des penting

Teba Tambak udang

Tebar benih

√ panen -

Tebar benih

n tambak r benih

Tambak bandeng √

√ √ Nelayan tangkap

-- - - Persiapa n Penanaman

Perawata

Penebang kayu di PT. Kayu Alas

√- - - - - - Kebutuhan Kredit

130 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pemenuhan kebutuhan modal usaha melalui pinjaman kepada lembaga atau orang lain diakui oleh beberapa warga sangat jarang mereka lakukan. Warga biasa menggunakan modal usaha dari tabungan hasil pekerjaan sebelumnya atau diawali dengan bekerja ditempat orang lain kemudian membuka usaha sendiri. Namun biasanya tambak dan modal usaha yang dikelola merupakan warisan dari keluarga. Bentuk simpanan cadangan modal usaha pada umumnya dibelikan dalam bentuk emas, uang tunai atau disimpan kepada orang yang memiliki usaha yang sudah mapan dan memiliki omset harian usaha yang tinggi. Sebagai contoh pemilik bengkel. Warga menyimpan uang kepada pemilik bengkel dan suatu waktu si penabung kaan mengambil uangnya maka pada hari itu juga uang cash akan ia dapatkan. Ada cerita menarik ketika masa konflik, penduduk menyimpan harta mereka dalam bentuk emas dan disimpan di dalam tanah sehingga bila terjadi pembakaran rumah atau pembakaran desa, harta tersebut dapat terselamatkan.

(a) Perikanan Budidaya

Sebelum tsunami Desa Keude Unga adalah penghasil udang windu yang cukup besar di Kebupaten Aceh Jaya. Selain windu komoditas yang dibudidayakan lainnya yaitu ikan bandeng. Pola tambak yang dikembangkan bersifat semi intensif dimana beberapa tambak dalam skala besar sudah menggunakan kincir sebagai tambahan asupan oksigen ke perairan dan pemberian pakan.

Dalam satu tahun petambak dapat menjalankan dua kali siklus produksi namun panen terbesar diperoleh saat musim hujan dibandingkan musim kemarau. Hal tersebut terkait dengan tingkat salinitas yang sangat tinggi pada musim kemarau dan kurang disukai oleh udang. Sedangkan pada musim hujan salinitas air tambak yang sangat salin dapat berkurang karena tercampur air hujan. Budidaya bandeng dapat dilakukan sepanjang tahun dan tidak ada peiode waktu khusus perbedaan hasil panen. Komoditas bandeng yang dikembangkan tidak menjadi produk unggulan dikarenakan harga yang sangat signifikan berbeda antara udang dan bandeng. Harga jual udang windu size 35 (35 ekor dalam 1kg) adalah Rp 35.000,- dan bandeng Rp 15.000,- (ukuran satu petak tambak ± 0,5 ha)

Udang windu yang dihasilkan dijual kepada toke atau pengumpul yang selanjutnya dijual ke Medan ataupun Pasar Peunayong Banda Aceh untuk selanjutnya dijual ke Medan. Rantai pasar atau market chain udang di Desa Keude Unga dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Peunayong Banda

Aceh

Gambar 74 Diagram alir penjualan udang di Desa Keude Unga

(b) Perikanan Tangkap

Kawasan muara Krueng Unga sangat penting bagi masyarakar terutama nelayan karena merupakan tempat sumber udang, ikan blanak (nama latin), ikan denga, belodok, bandeng, dan kepiting. Pada umumnya nelayan di Keude Unga melakukan aktivitas penangkapan one day fishing atau tidak menginap di laut. Pergi dan pulang melaut pada hari yang sama. Armada yang digunakan oleh nelayan yaitu perahu dengan mesin tempel. Ombak Samudera Hindia yang besarnya menyebabkan pendeknya radius wilayah penangkapan nelayan Keude Unga.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

cincin. Pemasangan jaring di muara sungai dilakukan sore hari pada pukul 15.00 sampai pukul 18.00. Kesesokan pada pagi hari sekitar pukul 08.00 jaring diangkat dan dibawa ke desa untuk dipilah ikan yang dapat dijual. Komoditas hasil tangkapan biasanya udang lobster, kakap merah, belanak, rambeuh, layur dan kerapu.

b. Pembagian Hasil Tangkapan dan Pemasaran Kapal yang biasa digunakan oleh nelayan Desa Keude Unga adalah boat dengan mesin tempel

dengan awak sebanyak dua orang. Pembagian hasil tangkapan antara pemilik boat dan awak yaitu hasil penjualan setelah dikurangi modal atau biaya operasional dibagi 1/3 bagian untuk awak dan 2/3 untuk pemilik kapal.

Ikan yang didapatkan akan dijual kepada muge yang datang ke Desa atau dijual kepada warga desa sekitar. Akses transportasi sangat menyulitkan nelayan untuk dapat menjual hasil tangkapannya ke Pasar Lamno. Keberadaan TPI di Desa Keude Unga yang dibangun oleh P2KP Departemen Pekerjaan Umum sangat membantu mengatasi kendala tersebut. Berdasarkan informasi dari warga, hasil tangkapan udang lobster lebih banyak didapatkan pasca tsunami bila dibandingkan sebelum tsunami. Kondisi tersebut diduga sebagai dampak positif dari berkurangnya alat tangkap yang ada dan terhentinya sekitar dua tahun aktivitas penangkapan ikan di laut. Harga jual lobster di TPI Keude Unga untuk ukuran 1 kg dua ekor seharga Rp 300.000/kg. Dalam sekali menarik jala rata-rata nelayan mendapatkan Rp 500.000,- untuk hasil penjualan lobster saja.

(c) Pertanian

Usaha pertanian yang banyak dikembangkan oleh penduduk adalah sawah tadah hujan dengan siklus satu kali dalam setahun. Kegiatan bersawah banyak ditekuni oleh perempuan. Laki-laki banyak berperan saat persiapan lahan dan pemanenan. Usaha sawah saat ini tidak dapatdilakukan lagi karena lahan yang sudah berubah ekologinya menjadi rawa-rawa air asin. Kebutuhan beras penduduk dicukupi dengan membeli beras dari pedagang dari Banda Aceh dan Sigli yang datang menggunakan mobil pick up setiap hari Sabtu dan Minggu. Berikut disajikan jumlah keluarga yang menggeluti kegiatan pertanian berdasrkan hasil pendataan yang dilakukan BPS pada tahun 2003 dan 2005.

Tabel 55. Komposisi penduduk yang bertani dan Jumlah Keluarga Miskin di Keude Unga

Pekerja % Pekerja Tahun

KK bergerak di

% KK bergerak

pada pada pertanian

Jumlah

Mata

Pengusaha Pengusaha pertanian

kegiatan di kegiatan

Pertanian Pertanian

2003 96 98 40 41 Nelayan N/A N/A 5 5

tangkap, Tambak

2005 78 80 77 79 Nelayan N/A N/A 5 15.7

tangkap, Tambak

(d) Peternakan

Peternakan merupakan mata pencaharian sampingan yang pengerjaannya tidak tergantung pada musim dan adanya alokasi waktu khusus. Jenis ternak biasanya kambing, kerbau dan ayam. Kepemilikan ternak dianggap suatu hal yang lazim bagi suatu keluarga sebagai suatu pelengkap. Saat kunjungan ke lokasi hanya terlihat ternak kecil seperti kambing dan ayam yang saat ini dikelola oleh penduduk Desa Keude Unga.

132 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(e) Penebangan Kayu

Aktivitas penebangan kayu dalam kalangan masyarakat Desa Keude Unga dikenal dengan istilah “ke hutan” tanpa menyebutkan “menebang kayu”. Kegiatan penebangan kayu di gunung di kelola oleh PT. Kayu Alas yang memiliki langsung kilang di Desa Keude Unga dan menghasilkan kayu gelondongan. Aktivitas kehutan biasanya dilakukan saat musim kemarau atau musim barat dimana nelayan tidak kelaut hanya ke sungai dan setelah panen padi dilakukan.

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Sebelum tsunami sebagian besar rumah penduduk Desa Keude Unga berupa rumah non permanen dan hanya sebagian kecil atau sekitar 10% merupakan rumah permanen seperti ditunjukan pada Tabel 56. Saat ini masyarakat Desa Keude Unga tinggal di rumah sementara atau temporary shelter berupa rumah papan beukuran 4x4 m. Temporary shelter tersebut merupakan bantuan dari Canadian Red Cross (CRC) sebagai tempat tinggal sementara sambil menunggu selesainya pembangunan rumah permanen yang saat ini masih dalam tahap penimbunan lahan. Lambatnya pembangunan rumah permanen bantuan tsunami di Desa Keude Unga selain masalah transportasi juga masalah pembebasan lahan masyarakat oleh BRR, dan juga masalah pendataan penduduk. Lahan yang akan dibangun perumahan dulunya merupakan sawah masyarakat yang hancur akibat tsunami dan sekarang ditimbun untuk perumahan.

Akses listrik belum kembali dapat dinikmati warga. Sebagai gantinya kheucik dengan bantuan dana dari AUSAID telah membeli satu unit genset yang dialirkan ke masing-masing temporary shelter penduduk. Genset akan beroperasi pada pukul 19.00 sampai dengan 24.00. Namun bila ada acara khusus disuatu lokasi diluar jam operasi harian genset, maka dapat juga menggunakan fasilitas genset desa dengan mengganti biaya bahan bakar. Besarnya iuran iuran listrik berkisar 25.000,- sampai dengan 30.000,- per kk.

Tabel 56. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Keude Unga tahun 2003 dan 2005

Jumlah Rumah

MCK Tahun

asa itas

akar

non PLN

air untu Drainase

Fasil Permanen Permanen Permanen

Lampu Jal

Sumber Air Bersih

Bahan b

2003 10 85 11 Ada 20 0 No Sumur Sumur Pribadi Kayu bakar Acak

2005 N/A N/A N/A Tidak 00 No Sumur Tangki Umum Kayu N/A

ada

air bakar

Fasilitas air bersih yang ada saat ini berasal dari mata air di pegunungan di Desa Keude Unga yang diambil dengan membuat pipa dan tangki penampungan air untuk setiap lima rumah. Bantuan fasilitas air bersih tersebut merupakan bantuan dari CRC.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk Keude Unga pada umumnya adalah SD. Hal tersebut dapat juga merupakan akibat dari tidak ada dan jauhnya sekolah SMP yang ada. Berdasarkan informasi dari warga, ketika masa konflik aktivitas pendidikan sangat sulit dinikmati dengan bebas bahkan untuk keluar desapun ada perasaan takut.

Pasca tsunami tidak ada lagi fasilitas pendidikan yang tersisa di Desa Keude Unga. Anak-anak bersekolah SD di Desa tetangga yaitu di Desa Ceunamprongyang berjarak sekitar 10 km. Fasilitas pendidikan non formal yang terdapat di Desa Keude Unga berupa pelajaran mengaji/ membaca Al Quran yang diselenggarakan secara cuma-cuma oleh Imam Mushalla/ Meunasah.

Tabel 57. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Desa Keude Unga

Akademi/Universita TK SD SMP SMA Menengah s

Sekolah Teknik

kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

Swasta Negeri terde Jarak

- - 12 - 1 - - - 13 - - 12 - - 12 - - 40 0 0 18 0 0 18.0 0 0 19.0 0 0 18.0 0 0 18.0 0 0 40

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Dilihat dari infrastruktur jalan, akses menuju menuju Desa Keude Unga sebelum tsunami sangat mudah namun hal tersebut tidak diimbangi dengan rasa aman pengendara atau warga yang akan bepergian. Kendaraan umum yang melalui Desa Keude Unga waktu itu adalah mobil minibus L300 tujuan ke Calang. Saat ini kondisi tersebut sangat berbeda. Jalan menuju Desa Keude Unga berupa jalan tanah lempung yang sangat menulitkan dilalui ketika hujan. Jembatan menuju desa Keude Unga rusak dan sampai dengan saat ini belum diperbaiki. Jembatan tersebut diganti dengan rakit penyebrangan dengan biaya penyebrangan yang sangat mahal yaitu Rp 5.000 – Rp 10.000,- untuk motor; Rp 50.000 untuk mobil umum dan mobil pribadi dan terkadang mobil-mobil dinas dan mobil NGO (teridentifikasi dari logo yang ada di mobil) harus membayar Rp 100.000,- untuk sekali menyebrang.

Tabel 58. Akses dan sarana transportasi umum Desa Keude Unga

Tahun Jalan Jenis kendaraan Desa

Akses

Kendaraan Umum

kendaraan

Umum Utama roda 4

Kendaraan

Becak

Roda Empat

Ojeg

motor

Andong Sampan boat

Motor

Roda emapat 2005 Tanah

2003 Aspal Ya

Tidak Ada

134 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(4) Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan yang ada saat ini di Desa Keude Unga adalah Polindes atau Poliklinik Desa yang baru diselesai didirikan pada Oktober 2007 namun belum beroperasi. Polindes tersebut merupakan bantuan dari IMC International Medical Center. Hal yang paling utama dari fasilitas kesehatan ini adalah keberadaan tenaga medis itu sendiri yang belum ada di Desa Keude Unga padahal kehadirannya sangat krusial mengingat akses transportasi yang sulit yang harus dilalaui oleh warga.

Tabel 59. Fasilitas Kesehatan di Desa Keude UngaTahun 2003 dan 2005

Jumlah Jarak

Kemudahan Tahun

Terdekat Sakit

akses (km)

2003 0 92 Mudah 0 92 Mudah 0 12 Mudah

Data yang dikumpulkan oleh BPS menampilkan bahwa di Desa Keude Unga pernah mewabah penyakit diare dan Insfeksi saluran pernapasan. Bila dilihat dari jumlah kelurag yang memiliki fasilitas kartu sehat atau KTPM hanya berjumlah 30% pada tahun 2003 dan pada tahun 2005 sebanyak 48,6%. Hal tersebut menunjukan bahwa belum meratanya fasilitas pelayanan kesehatan gratsi yang dapat dinikmati oleh masyarakat.

Tabel 60. Jumlah Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005 Keluarga

Keluarg

Memiliki Persentase

a Persentas

Keluarga Kartu Tanda

Wabah penyakit yang pernah melanda

Balita Tahun

Keluarga

Memiliki

e Keluarga

Peserta Penduduk

Malnutrisi KB Miskin

Malaria ISPA (KTPM)

2003 5 5 25 26 Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tidak 60 2005 19 19.6 29 29.9 Ya Ya Tidak Ya Ya N/A N/A

(5) Fasilitas Keagamaan

Dari sebelum tsunami sampai dengan saat ini, fasilitas keagamaan yang tersedia adalah fasilitas bagi pemeluk agama Islam karena memang semua warga Desa Keude Unga memeluk agama Islam. Fasilitas ibadah yang dapat gunakan saat ini adalah Mushallah atau dikenal dengan istilah Meunasah. Selain berfungsi untuk kegiatan-kegiatan keagamaan, saat ini meunash sering digunakan untuk musyawarah desa yang tidak berkaitan dengan kegiatan peribadatan. Hal tersebut dikarenakan balai desa atau kantor desa tidak dapat digunakan lagi akibat tsunami dan balai desa yang baru belum dibangun.

(6) Sarana Komunikasi

Sarana komunikasi yang dimiliki oleh warga Desa Keude Unga adalah televisi. Sama seperti kecemderungan pada umumya kepemilikan televisi selain sebagai sarana informasi yang aktual juga sebagai media hiburan audio visual sehingga lebih nayaman dinikmati bila dibandingkan radio dan koran. Fasilitas telepon seluler tidak begitu meluas di kalanagn warga desa karena sulitnya sinyal telepon seluler menjadi salah satu faktor sesorang tidak membeli telepon seluler meskipun seca finansial di amampu.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 61. Sarana komunikasi antara tahun 2003 dan 2005 di Desa Keude Unga

Kantor pos

Tahun memiliki

Wartel Internet Telephone

mempu

yang

keluarga yang

membeli

memiliki TV

memilki TV

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Desa Keude Unga berbeda dari pada struktur desa pada umunnya di Propinsi NAD. Pada umumnya posisi Imum Meunasah dan Imum Masjid sejajar dengan posisi kepala desa sedangkan di Desa Keude Unga Posisi keduanya berada di bawah garis komando Kheuchik. Tidak terdapatnya kepala urusan sebagai elemen dari pemerintahan desa.

Kepala desa atau dengan istilah umum dimasyarakat adalah Kheucik. Kheucik yang memerintah saat ini sebelumnya diangkat secara langsung pasca tsunami dan melalui pemilihan langsung yang diselenggarakan pada November 2007, Kheucik T. Marudin kembali terpilih menjadi kepala desa. Hasil wawancara dengan kheucik pada minggu ketiga November menyebutkan bahwa belum ada perombakan struktur pemerintahan desa baik dari sisi strukturnya sendiri maupun orang yang menjabat di dalamnya.

Kepala Desa

Bendahara Desa

Sekretaris Desa

Kadus Mesjid

Kadus Tengoh

Kadus Kulam Itek

Imum Masjid Imum Meunasah

Ketua Pemuda

Ketua LKMD

Ketua LMD

Ketua Olahraga Ketua PKK

Gambar 75. Struktur Pemerintahan Desa Keude Unga (Sumber : AIPRD, 2007)

136 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Kelompok Sosial Kemasyrakatan

Pengaruh eksistensi kelompok sosial kemasyarakat yang ada di Desa Keude Unga sejauh pengamatan belum ada yang begitu kuat merubah wacana atau pemahaman masyarakat akan suatu hal. Kelompok-kelompok yang ada masih berkutat pada kegiatan internal kelompok. Kelompok yang terbentuk pasca tsunami dengan fasilitasi NGO atau lembaga lain masih sangat membutuhkan pendampingan intensif jangka panjang minimal dalam satu tahun kedepan kegiatan internal kelompok dapat berjalan dengan mandiri namun masih adanya pendampingan.

Tabel 62. Kelompok sosial kemasyrakatan di Desa Keude Unga

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Kelompok nelayan laut

korrdinasi masalah penangkapan dan pengelolaan TPI

2. Kelompok tani

musyawarah antar petani bila ada hal-hal penting

3. Kelompok Dailail Khairat

Pengajian laki-laki

4. Kelompok wirid yasin

Pengajian Yasin setiap malam jumat

5. Kelompok kader posyandu Calon tenaga bantu untuk bidan di Posyandu IMC

6. Kelompok penghijauan

Rehabilitasi ekosistem pesisir dan pemberdayaan

OXFAM Novib

ekonomi

melalaui WIIP

7. Kelompok pemuda

Insidentil membantu ketiaka da kenduri

e) Gender

Tingkat sensitif gender masayarakat Desa Keude Unga saat ini dapat dibilang hampir seimbang antara pekerjaan laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki memiliki kelonggaran waktu yang hampir sama dalam kesehariannya. Terutama pada siang hari dimana sebelum tsunami perempuan tidak memiliki waktu longgar untuk beristirahat pada siang hari karena harus mengurus rumah dan sawah sedangkan pasca tsunani dengan hilangnya lahan sawah membuat perempuan memiliki kesempatan untuk bersitirahat dan memiliki kelonggaran waktu pada siang hari.

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Aktivitas usaha di Desa Keude Unga masih belum dapat berjalan rutin seperti sedia kala sehingga penghasilan yang didapatkan hanya seadanya dan belum ada kepastian apakah keesokan hari akan didapatkan penghasilan yang sama atau lebih besar. Penghasilan yang didapatkan hanya dari kegiatan memasang jaring atau terlibat dari proyek rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami.

Manajemen keuangan rumah tangga dalam hal belanja sehari-hari sepenuhnya dikelola oleh istri. Namun untuk modal usaha serta berapa penghasilan atau keuntungan yang didapatkan oleh suami pada umumnya perempuan tidak tahu. Biasanya istri tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan untuk peminjaman modalam usaha kepada pihak lian. Istri hanya diberitahu rencana atau bila suami sudah meminjam dana untuk modal usaha tersebut.

Akses, pengelolaan modal usaha dan kontrol terhdal usaha sepenuhnya oleh suami dan hal tersebut diduga kuat mempengaruhi perbedaan nilai rasa kepemilikan aset antara suami dan istri.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Dalam masalah kepemimpinan masih dikedepankan peran laki-laki dari pada permpuan. Pada struktur pemerintahan desa, perempuan banyak berkecimpung dalam kegiatan kelompok PKK. Namun demikian posisi tersebut belum mempengaruhi terhadap suatu kebijakan desa. Misalnya program penyuluhan tanaman obat, gizi bayi dan sebagainya belum ada kebijakan khusus di tingkat desa.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Pemberdayaan Perempuan

Kegiatan pemberdayaan perempuan tentang penyadaran pentingnya kesetaraan gender belum pernah dilakukan untuk masyarakat Keude Unga dan menurut pengamatan hal tersebut kurang cocok dilaksanakan bila tanpa adanya pendampingan secara kontinu terhadap kelompok wanita tersebut. Dikhawatirkan adanya pemahaman yang salah mengenai kesetaraan dalam gender sendiri baik dari kelompok wanita maupun laki-laki. Kegiatan pemberdayaan yang cocok untuk kelompok perempuan saat ini adalah yang berkaitan dengan sektor riil seperti berkebun sayur, tanaman obat, membuat kerajinan meningat banyaknya kelonggaran waktu yang dimiliki perempuan saat ini dan kegiatan tersebut relatif mudah dekat dengan rumah dan menghasilkan.

Kegiatan pelatihan kader Posyandu oleh IMC dan keterlibatan perempuan dalam kegiatan rehabilitasi yang dikelola oleh WIIP memberikan nilai pembelajaran tersendiri bagi pemberdayaan perempuan dalam hal merwat anak dan menjaga kelestarian lingkungan.

f) Informasi terkait dengan Kegiatan Green Coast

Kelompok masyarakat yang terbentuk dari kegiatan Green Coast berjumlah dua kelompok dengan anggota 25 orang per kelompok yang masing-masing mewakili satu kk. Kegiatan yang sedang dikembangkan oleh kelompok saat ini adalah perawatan tanaman mangrove dan tanaman pantai di pesemaian. Kegiatan pemberdayaan ekonomi yang merupakan kombinasi dari kegiatan penghijauan belum dilaksanakan karena masyarakat sepakat untuk menyelesaikan kegiatan penanaman sebelum mengembangkan usaha agar kegiatan yang dikembangkan terfokus dan sambil menunggu penyelesaian rumah permanen bantuan CRC.

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

a) Hasil penilaian kesesuaian lahan

Dalam survey ini, team berkesempatan mengunjungi dan melakukan penilaian cepat terhadap lokasi- lokasi penanaman baik yang telah dilakukan maupun yang belum. Uraian di bawah ini adalah hasil dari penialain kesesuian lahan di lokasi penanaman.

• Lokasi penanaman tanaman pantai Secara umum, kesemua lokasi memiliki kesesuaian untuk dilakukan penanaman. Namun demikian,

tingkatan kesesuaian tersebut berbeda antar plot. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat penutupan lahan (land cover), tingkat kelabilan lahan, pengaruh pasang air laut dan beberapa faktor lainnya.

• Lokasi Penanaman Mangrove Plot 1 merupakan lokasi yang paling sesuai dibandingkan dengan dua plot lainnya. Disamping tutupan

vegetasi yang lebih rapat, resiko gangguan hama di plot 1 relatif lebih ringan dibandingkan dengan dua plot lainnya. Kondisi lingkungan di plot 1 juga telah mantap dalam artian tidak terjadi dinamika pantai yang menyebabkan berubahnya lingkungan. Kesesuaian lahan di plot 3 dinilai yang terendah dibandingkan dengan plot lainnya mengingat sebagian daerahnya masih labil. Selain itu, penutupan lahan di plot ini juga masih sangat minim. Hal ini dengan jelas terlihat dengan masih terjadinya erosi angin yang menyebabkan perpindahan masa pasir di plot ini.

Terkait dengan kondisi ini, diperlukan suatu langkah tepat yaitu memprioritaskan penanaman di lokasi-lokasi tertentu yang paling prospektif serta menghindarkan penanaman di lokasi yang dinilai beresiko.

138 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 138 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Bersama dengan fasilitator lapangan, team mengunjungi lokasi-lokasi yang diplotkan untuk penanaman mangrove yaitu di sekeliling badan air dan tambak. Berdasarkan penilaian lahan, kedua lokasi tersebut dinilai sesuai untuk penanaman mangrove. Substrat lumpur berada di sekeliling badan air (berbentuk laguna) merupakan kondisi yang sangat mendukung untuk kehidupan dan pertumbuhan mangrove. Namun demikian, banyaknya lajur penanaman yang memungkinkan untuk penanaman berbeda-beda di beberapa bagian. Pada tepi badan air yang datar, penanaman diperkirakan dapat dilakukan hingga 4 baris dengan asusmsi jarak antar baris adalah 1meter. Namun di tepi badan air yang lebih curam, penanaman hanya dapat dilakukn 1 atau 2 baris.

Berdasarkan survey di lapangan, team juga menjumpai beberpa lokasi lain yang dinilai prospektif untuk penanaman mangrove. Lokasi yang dimaksud adalah sepanjang saluran air (baik buatan maupun alami), parit atau anak sungai. Informasi ini telah disampaikan kepada fasilitator untuk dipertimbangkan sebagai alternatif lokasi penanamanmangrove.

c) Identifikasi potensi

(1) Persepsi positif dari masyarakat

Sebagian besar masyarakat menunjukkan repson yang positif terhadap program rehabilitasi, baik melalui penanaman mangrove maupun tanaman pantai. Beberapa orang bahkan telah menyadari fungsi dan manfaat mangrove dan tanaman pantai. Pihak pemerintah desa-pun menunjukkan hal yang sama yaitu mendukung kegiatan rehabilitasi pantai di desanya. Hal ini merupakan suatu potensi yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi pantai di desa Kedue Unga. Dengan berbekal dukungan warga dan pemerintah desa, maka kegiatan rehabilitasi akan dapat berjalan lebih mudah, efektif dan efisien.

(2) Ketersediaan benih atau anakan alam (wildling) berembang

Tegakan berembang Sonneratia spp yang tumbuh secara alami pasca Tsunami di sebelah utara desa (seberang sungai) merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan rehabilitasi mangrove di lokasi lain. Sebagian besar pohon berembang telah menghasilkan buah yang dapat diambil bijinya sehingga dapat menghasilkan bibit. Selain itu, anakan alam yang tumbuh di lantai tegakan juga dapat dipindahkan di lokasi lain yang masih terbuka.

d) Kendala dan faktor pembatas

(1) Serangan hama di persemaian

Kunjungan yang dilakukan di persemaian menjumpai adanya permasalahan hama yaitu kutu loncat dan penggerek batang (stem borrer). Walaupun serangannya tidak terlalu berat, apabila dibiarkan akan menjadi lebih berat dan menganggu bibit lainnya yang tidak terserang. Langkah penanggulangan telah dilakukan dengan cara menyiram air asin ke bibit-bibit yang terserang. Namun demikian langkah ini belum menyelesaikan masalah.

(2) Pembakaran tak terkoordinir

Saat kunjungan dilakukan, team menjumpai tiga (3) titik di plot penanaman 1 yang mengalami kebakaran. Kebakaran ini telah mengakibatkan matinya puluhan bibit. Informasi yang berhasil dihimpun dari masyarakat mengkorfirmasi bahwa kebakaran ini berawal dari pembakaran sampah yang dilakukan masyarakat di sembarang tempat. Setelah membakar sampah, mereka meningggalkan begitu saja tanpa manyadari bahwa api bisa merambat ke lokasi dan membakar areal di sekitarnya. Apabla hal ini dibiarkan maka dikuatirkan akan banyak lagi bibit yang menjadi korban praktek pembakaran sampah tak terkontrol ini.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 76. Kegiatan pembakaran sampah yang berdampak buruk terhadap tanaman

(3) Kendala pasang air laut

Salah satu faktor alam yang berpotensi mengancam tanaman di lokasi rehabilitasi adalah pasang air laut. Terutama saat pasang purnama, air laut menggenangi bagian tertentu di plot penanaman dan menyebabkan tanaman menjadi layu dan mati. Hal ini mengingat tanaman tersebut merupakan tanaman daratan (terrestrial plant) yang tidak memiliki toleransi terhadap air asin. Bagian yang rawan terkena air asin saat pasang adalah bagian yang mendekati garis pantai atau bagian terdekat dengan muara sungai dan badan air.

Lokasi penambatan /parkir perahu; mengurangi areal rehabilitasi mangrove Selain beberapa kendala tersebut di atas, salah satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah adanya

daerah tertentu di tepi sungai yang dijadikan masyarakat sebagai tempat penambatan perahu. Terkait dengan hal ini, penanaman sebaiknya tidak dilakukan di tempat ini karena dikuatirkan tanaman rusak karena tertabrak oleh penambatan atau aktivitas lainnya.

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Canadian Red Cross atau CRC memiliki program khusus yang bernama “Peugah Gampong” bagi beberapa desa di Kecamatan Jaya. Salah satu desa tersebut adalah Desa Keude Unga. Program ini semcam program binaan khusus dalam bentuk tidak hanya fasilitas infrasruktur tapi juga mengenai pengembangan kapasitas masyarakat baik dalam hal kelembagaan desa, keterampilan perempuan, kesehatan keluarga dan pendidikan. Pada tabel berikut disajikan beberapa lembaga yang pernah bekerja di Desa Keude Unga

Tabel 63. Donor atau implementator beserta jenis bantuan yang diberikan di Desa Keude Unga

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. Canadian Red Cross Pipa saluran air dan bak penampungan Masih dimanfaatkan warga air

Penyelesaian pembangunan International Medical Center IMC

International Medical Center IMC

Pembangunan poliklnik desa

Dalam proses pembuatan International Medical Center IMC

Sumur cincin

Dalam pembuatan International Medical Center IMC

Boat nelayan

Sudah ditanam International Medical Center IMC

Tenaman pekarangan

Sudah dilaksanakan AIPRD- AUSAID

Kader posyandu 8 orang

Selesai AIPRD- AUSAID

Pelatihan pemetaan “socaial mapping”

Peta Desa

Masih digunakan desa

140 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

AIPRD- AUSAID

Masih digunakan OXFAM Novib melalaui Education

Perlatan operasional kantor desa

Masih dalam pembangunan International

Pembangunan SD

Selesai AOC

World Food Programme WFP

Sembako

Digunakan oleh warga BRR

Listrik genset

Selesai BRR

Penanaman mangrove di tambak

Selesai OXFAM Novib melalui WIIP

Rehabilitasi tambak

Rehabilitasi ekosistem pesisir

Perawatan bibit tanaman pantai dan magrove di nursery

OXFAM Novib melalui WIIP

Dalam perencanaan UNEP melalui WIIP

Pemberdayaan ekonomi

Sedang berjalan P2KP Departemen Pekrjaan

Pemberdayaan ekonomi

Sedang berjalan Umum

Pemberdayaan ekonomi

Rekonstruksi secara masif saat ini sedang dilaksanakan di Desa Keude Unga untuk membuat rumah permanen sekitar 120 rumah. Konversi lahan basah buatan berupa lahan bekas sawah sekitar 2 ha yang telah hancur dan digenani air asin menjadi lahan perumahan merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji nilai ekonomi yang didapatkan masyarakat. Hasil wawancara dengan masyarakat, bahwa pengkonversian sawah milik mereka menjadi rumah sangat disayangkan karena mereka telah kehilangan lahan yang dalam dua tahun kedepan diprediksikan dapat kelola kembali menjadi sawah dan dapat digunakan dalam lima tahun kedepan. Namun kebutuhan rumah lebih mendesak untuk dimiliki disamping itu masyarakat juga mendapatkan uang ganti rugi dari pengkonversian lahan menjadi perumahan tersebut.

Pengembangan kegiatan perswahan dimasa mendatang mengharuskan masyarakat mencari alternatif lahan lainnya yang masih memungkinkan atau mengganti aktivitas persawahan dengan kegaitan berkebun yang lebih sedikit membutuhkan air dari pada sawah.

Ketika dilakukan kunjungan lapangan, upaya rehabilitasi vegetasi telah mulai dilaksanakan oleh proyek Green Coast di Keude Unga. Kegiatan ini berjalan dengan cepat karena adanya dukungan dan partisipasi masyarakat yang sangat aktif. Diharapkan masukan dari laporan kajian ini dapat memberikan masukan kepada program tersebut selanjutnya. Berikut ini disajikan hasil dan dampak yang telah terlihat di lokasi kegiatan

Kegiatan rehabilitasi vegetasi meliputi dua jenis kegiatan yaitu rehabilitasi mangrove dan rehabilitasi pantai berpasir.

a) Pencapaian kegiatan rehabilitasi di lapangan

(1) Rehabilitasi pantai berpasir

Kegiatan penanaman tanaman pantai dilakukan di tiga plot penanaman yang dalam hal ini berada dalam dua hamparan yang berbed. Plot 1 plot terletak di pantai sekitar desa, sementara plot 2 dan 3 masing-masing berada di seberang sungai.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 77. Letak plot-plot penanaman

Sebagaimana di sebutkan di atas, jenis tanaman yang ditanam adalah jenis tanaman pantai daratan antara lain Cemara Casuarina eqisetifolia, Waru Hibiscus tiliaceus, Ketapang Terminalia cattapa, Randu Ceiba pentandra, Kelapa Cocos nucifera, Nyamplung Callophyllum innophyllum, Mangga Mangifera indica dan Kuda-kuda Lannea spp.

Hingga bulan November 2007, jumlah bibit yang telah ditanam di lapangan setidaknya sebanyak 2000 batang dengan perincian 1000 bibit cemara, 500 bibit ketapang dan 500 bibit nyamplung. Penanaman ini dilakukan di tiga plot dengan luasan yang berbeda. Mengingat target penanaman sebanyak 5000 bibit, maka masih terdapat sisa 3000 bibit yang belum ditanam. Saat ini, sebagian dari sisa (kekurangan bibit) ini masih dipersiapan di persemaian.

(a) Plot penanaman 1

Plot ini adalah plot pertama yang ditanami mengingat kondisi di lokasi relatif lebih siap dibandingkan dengan lokasi lainnya. Plot ini berada pada Formasi Pes Caprae dengan penutupan vegetasi sekitar 70%. Jenis bibit yang ditanam sebagian besar adalah cemara dan disusul oleh ketapang dan nyamplung. Untuk menghindari gangguan hama ternak, sebagian besar bibit diberi pagar berupa tiang atau ranting pohon. Berdasarkan temuan di lapangan, beberapa tiang pagar justru mengeluarkan tunas dan hidup. Sebagian besar pagar yang hidup adalah batang kapuk randu, kuda-kuda, dan waru. Berdasarkan pengamatan di lapangan, diperkirakan prosentase tumbuh di plot 1 ini relatif tinggi yaitu berkisar 80%.

142 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 78 Kondisi lokasi penanaman di plot 1(kiri), pagar dari randu Ceiba petandra yang tumbuh (kanan)

(b) Plot penanaman 2

Plot ini adalah lokasi kedua yang ditanami, tertetak di seberang sungai. Berbeda dengan plot sebelumnya, plot 2 ini diberi pagar berduri di sekeliling areal untuk menghindari gangguan ternak, terutama kerbau dan sapi. Dari segi penutupan lahan, plot kedua relatif lebih rendah yaitu disekitar 30% oleh Ipomea pes-caprae dan beberapa jenis herba atau rumput. Jenis bibit yang ditanam relatif sama dengan di pot sebelumnya yaitu Cemara Casuarina equisetifolia, Nyamplung Callophyllum innophyllum dan ketapang Terminalia cattapa. Mengingat terbatasnya waktu, penghitungan prosentase tumbuh tidak dapat dilakukan. Namun demikian, secara kasar dapat diprediksi bahwa keberhasilan tumbuhnya berkisar antara 60-75%.

Gambar 79. Kondisi lokasi penanaman di plot 2

(c) Plot penanaman 3

Plot ini adalah plot terakir yang ditanami. Penutupan lahan (land cover) di plot ini adalah yang terendah yaitu hanya sekitar 25% oleh beberapa jenis rumput dan lapisan Ipomea pes caprae yang sangat tipis. Plot ini berada di belakang plot 2 dan memiliki permasalahan yang sama yaitu gangguan ternak. Untuk mengantisipasi permasalahan ini, plot ini diberi pagar berduri di sekeliling areal. Berdasarkan pengamatan di lapangan, penutupan lahan memiliki hubungan dengan keberhasilan tumbuh tanaman. Semakin tipis dan jarang tumbuhan penutup lahan, terutama formasi PC maka semakin kecil prosentase tumbuhnya. Dari pengamatan di lapangan, prosentase tumbuh tanaman di plot 3 ini adalah yang terkecil yaitu berkisar 60-70%.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 80. Kondisi lokasi penanaman di plot 3

Keterangan:

Prediksi prosentase tumbuh tanaman tidak secera persis mencerminkan kenyataan di lapangan. Diperlukan monev khusus untuk memastikan prosentase tumbuh tahaman di semua plot penanaman

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa masih terdapat kekurangan bibit sebanyak 3000. Kekurangan ini akan dipenuhi oleh 1000 bibit kelapa yang saat ini sedang dibibitkan dipersemaian oleh proyek. Sementera defisit tanaman pantai sebanyak 2000 akan dipenuhi oleh masyarakat (sejumlah 110 KK) sebagai kompensasi mereka menerima telah 250 tanaman buah-buahan dari program Green Coast. Dengan demikian, setiap KK dibebani untuk menyediakan tanaman pantai serta melakukan penanaman 16 -20 tanaman. Ide ini berasal dari aparat desa dengan maksud untuk memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat, bukan hanya terbatas pada anggota kelompok rehabilitasi.

Gambar 81. Bibit kelapa didalam persemaian

(2) Rehabilitasi mangrove

Pada saat survey dilakukan, kegiatan penanaman mangrove belum dilakukan. Sebagaimana telah direncanakan, penanaman akan dilakukan di sepanjang tepi sungai yang substratnya berlumpur, sepanjang parit, sepanjang anak sungai dan di dalam tambak terlantar. Berdasarkan perencanaan, target bibit mangrove yang akan ditanam dilapangan sebanyak 70.000 bibit.

Saat survey dilakukan, kegiatan baru menginjak tahap persiapan bibit. Kegiatan pembibitan ini dipusatkan di suatu persemaian yang berada di tepi selatan sungai. Jumlah bibit yang dipersiapan di persemaian ini adalah 72000 dengan perincian masin-masing jenis yaitu 5000 bibit Rhizophora mucronata, 65.000 bibit Rhizophora apiculata dan 2000 bibit Avicennia marina.

144 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 82. Bibit yang tengah dipersiapkan di persemaian

(3) Peranan perempuan dalam kegiatan rehabilitasi

Salah satu hal yang cukup menarik di Desa ini adalah peranan wanita yang sangat tinggi dalam pengelolaan kegiatan. Sebagian besar peserta program rehabilitasi pesisir GC adalah kaum perempuan. Keterlibatan mereka sangat aktif, baik dalam pertemuan maupun kegiatan lain di lapangan. Dalam hal tertentu, dukungan kaum pria juga dijumpai dalam program rehabilitasi pantai terutama untuk kegiatan-kegiatan yang membutuhkan tenaga misalnya pemasangan pagar di sekeliling plot penanaman, pembuatan bedeng, gubug kerja dan beberapa kegiatan lainnya.

9. Rekomendasi pengelolaan dan rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi Lahan Basah

Perubahan pada ekosistem lahan basah pesisir di Desa Keude Unga, sangat besar. Besarnya perubahan itu dapat terlihat dari bekas pondasi jembatan yang saat ini berada di laut. Perubahan yang menjadikan sebagian wilayah desa hilang menjadikan warga merelokasi kawasan perumahan mereka. Saat ini sekitar 3.5 Ha lahan yang sebelumnya berupa lahan pertanian telah dipersiapkan untuk lokasi pembangunan perumahan bagi sekitar 120 kk warga desa Keude Unga.

Perubahan juga terjadi pada muara sungai yang menjadi lebih lebar karena lahan-lahan tambak di tepinya rusak. Secara tidak langsung, kejadian ini justru berpotensi memberi ruang untuk kegiatan penanaman mangrove.

Salah satu fenomena yang menarik disekitar desa Keude Unga adalah tumbuhnya Berembang (Sonneratia caseolaris) di suatu lokasi yang cukup luas. Sonneratia caseolaris secara ekologi merupakan tumbuhan pioneer dalam komunitas mangrove dan secara cepat akan tumbuh daerah pertengahan hingga daerah pasang rendah seperti halnya terjadi pada celah komunitas mangrove yang mantap di daerah pasang menengah hingga pasang tinggi. Habitat dengan Lumpur lunak dan tebal, kaya bahan organic dan nutrient, salinitas rendah dan area terbuka dengan cahaya matahari yang kuat menjadi tempat tumbuh yang sangat sesuai bagi Sonneratia. (Preparation of a Management Strategy for Sonneratia in Inner Deep Bay Areas. http://www.afcd.gov.hk /textonly/english/conservation/con_wet/con_wet_local/con_wet_local_min/files/sonneratia_study.pdf)

Koloni Sonneratia dalam jumlah individu yang cukup banyak dan penutupan area yang cukup luas menjadi indicator positif bahwa komunitas mangrove dapat kembali tumbuh melalui proses suksesi. Suksesi dari komunitas mangrove yang mengalami kerusakan atau gangguan dapat terjadi jika masih cukup tersedia tumbuhan induk atau bibit alami dan fasilitas penyabaran benih melalui air tidak terhambat.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dengan karakteristik biji yang tidak mengalami dormansi, yang memungkinkan biji dapat bertahan lama dapat diperkirakan bahwa di sekitar Keude Unga masih cukup tersedia induk dari Sonneratia. Dengan jumlah biji per buah yang sangat besar, perlu dipertimbangkan penggunaan Sonneratia sebagai salah satu alternative jenis untuk rehabilitasi / restorasi mangrove sepanjang lokasi rehabilitasi merupakan habitat yang sesuai.

Terjadinya suksesi alami komunitas mangrove ini dapat dijadikan model dalam mengembangkan kegiatan rehabilitasi / restorasi pesisir. Pengamatan atas pola pasang surut dan factor lingkungan yang lain di tempat tersebut dapat menjadi panduan dalam penentuan lokasi penanaman. Lokasi tersebut juga berpotensi untuk menjadi lokasi contoh (demosite) bagi pengeloaan lingkungan atau pengamatan suksesi kawasan lahan basah pesisir pasca tsunami.

Gambar 83 Vegetasi mangrove alami (latar belakang) yang tumbuh paska Tsunami Lokasi Keude Unga disarankan untuk lahan rehabilitasi dan perbaikan konstruksi tambak. Rehabilitasi

pantai dengan tanaman mangrove. Untuk meningkatkan pendapatan petani sebaiknya masayakat Keudu Unga yang berada di sekitar pantai disarankan untuk mengembangkan penangkapan ikan di pantai ataupun lepas pantai.

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan dan informasi-informasi lainnya dari lapangan, direkomendaiskan beberapa hal yang terkait dengan pelaksanaan program rehabilitasi di Desa Kedue Unga sebagai berikut:

(1) Penetapan desa Kedue Unga sebagai salah satu “demo site’ proyek GC 2

Kondisi bio fisik di lokasi penanaman dinilai sangat mendukung kehidupan dan pertumbuhan bibit di lapangan. Atas dasar hal inilah, diyakin bahwa kegiatan rehabilitasi di desa ini akan berhasil. Selain itu, bentang lahan di pesisir di desa ini sangat relevan dengan arti penting dilakukannya kegiatan rehabilitasi pantai. Selain bertujuan menghijaukan pantai, kegiatan ini sekaligus bisa dijadikan sebagai upaya mitigasi bencana terutama dari abrasi pantai dan gelombang pasang. Atas dasar alasan tersebut maka sangat direkomendasikan untuk menetapkan ”site Kedue Unga” sebagai salah satu demo site dalam proyek GC.

Selain alasan utama tersebut, alasan lain yang juga sangat penting adalah adanya partisipasi aktif kelompok wanita dalam kegiatan rehabilitasi. Hal ini sangat relevan dengan salah satu parameter pencapaian keberhasilan proyek yaitu pemenuhan aspek gender.

146 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Lokasi alternatif penanaman mangrove

Selain di dua lokasi yang telah direncanakan, penanaman mangrove sebaiknya juga dilakukan di beberapa lokasi lainnya yaitu di sepanjang parit, saluran air atau lokasi lain yang substratnya berlumpur. Melalui perhitungan sederhana, setidaknya dibutuhkan areal seluas 7 hektar untuk merealisasikan penanaman mangrove (dengan asumsi jarak tanam 1 m x 1 m). Dengan tambahan alternatif lokasi penanaman ini diharapkan dapat menampung bibit mangrove dengan volume yang telah ditargetkan.

Sebaliknya, beberapa areal tidak direkomendasikan untuk dilakukan penanaman yaitu lokasi di sekitar penambatan/parkir perahu, lokasi-lokasi lain bersubstrat pasir dan areal yang telah ditumbuhi rumput atau jenis tumbuhan daratan lainnya..

(3) Pengendalian hama di persemaian

Langkah penanganan hama yang telah dilakukan selama ini adalah penyiraman teratur dengan air asin pada pagi dan sore hari. Namun sayang bahwa langkah ini tidak dapat menuntsakan permasalahan hama di persemaian. Di duga kuat bahwa penyiraman dilakukan pada waktu dimana sebagian besar hama sedang tidak berada di persemaian. Atas dasar hal inilah maka direkomendasikan untuk melakukan pengamatan terhadap waktu efektif hama tersebut sedang menyerang bibit di persemaian. Waktu penyiraman harus dilakukan pada saat hama tersebut berada di persemaian. Dengan demikian, penyiraman ini akan tepat sasaran sehingga akan lebih berjalan lebih efektif dalam memberantas hama kutu loncat dan penggerek batang.

(4) Penataan batas lokasi penanaman

Dalam rangka memudahkan operasional di lapangan, monitoring dan pengawasannya, perlu dilakukan penataan batas yang jelas di lokasi penanaman. Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda (pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman antara lain: luas lokasi penanaman, pelaksana penanaman, jenis bibit yang ditanam, tanggal penanaman, dan beberapa informasi penting lainnya.

Gambar 84. Contoh papan nama kegiatan rehabilitasi

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(5) Pemasangan papan himbauan dan larangan

Dalam rangka menghindari gangguan dari masyarakat, sangat direkomendasikan untuk membuat beberapa papan himbauan dan larangan di sekitar lokasi penanaman. Isi (tulisan) dari papan-papan tersebut sebaiknya didiskusikan terlebih dahulu dengan kelompok. Untuk pemasangannya, kelompok sebaiknya meminta persetujuan dari pemerintah desa. Kata-kata himbauan atau larangan harus dikemas engan sederhana, lugas dan bisa diterima semua kalangan.

(6) Pemanfaatan anakan alam dan benih berembang

Ketersediaan benih dan anakan berembang yang ada di desa Kedue Unga dapat dimanfaatkan untuk mendukung rehabilitasi di areal sekitarnya. Buah yang dihasilkan pohon berembang dapat diekstrak sehingga menghaslkan benih untuk kemudian dibibitkan di persemaian. Sementara itu, anakan alam yang banyak dijumpai di lanati tegakan dapat diambil dengan alat corer dan langsung dipindahkan di lokasi lain yang lebih membutuhkan (terbuka).

Dengan memanfaatkan benih dana anakan alam, diharapkan akan dapat dibuat beberapa koloni berembang yang dalam jangka panjang akan mampu melangsungkan proses regerenerasi secara alami dan membentuk tegakan berembang yang mantap.

(7) Pengaturan lokasi pembakaran sampah

Terbakarnya puluhan bibit sebagai dampak pembakaran sampah harus segera dicarikan solusinya. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah melakukan pengaturan lokasi pembakaran sampah. Musyawarah sebaiknya dilakukan untuk membahas lokasi pembakaran. Dengan ditentukan lokasi ini maka pembakaran sampah tidak akan dilakukan sembarangan dan berpindah-pindah, melainkan hnay di tempat yang telah dutentukan. Apabila dana masih tersedia, proyek bisa mengalokasikan sebagian dana untuk membangun tempat pembakaran sampah ini.

(8) Pengaturan lokasi penambatan perahu

Langkah yang sama sebaiknya juga ditempuh dalam mengantisipasi penambatan perahu agar tidak mengganggu kegiatan penanaman mangrove. Sangat direkomendaiskan untuk melakukan pengaturan lokasi yang tetap untuk penambatan perahu serta bongkar muat barang. Proses ini harus melibatkan seluruh pihak yang terkait dengan mediasi pemerintah desa. Apabila lokasi telah ditetapkan sebagai tempat peambatan perahu, maka lokasi tersebut harus bebeas dari kegiatan penanaman. Di sisi lain, warga tidak boleh memarkir perahu seenaknya kecuali ditempat yang telah disepakati tersebut.

E. GLE JONG

1. Profil Umum Lokasi

Desa Gle Jong secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Jaya.

Secara geografis berada pada posisi N 5 O 05’01.8” E 93 19’15.6” dengan batas wilayah sebagai berikut: • Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Glejong

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rumpet • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rumpet • Sebelah Barat berbatasan dengan Telu Daya (Samudra Hindia)

148 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Perjalanan menuju Desa Gle Jong dari Banda Aceh dapat ditempuh melalui jalur darat sejauh 88 km atau selama lima jam perjalanan.

Glejong berada di pesisir barat Aceh. Secara administrative Desa Glejong termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Jaya, Kab Aceh Jaya. Wilayah pesisir Desa glejong merupakan pantai berpasir dengan sebagian kecil berupa pantai terjal berbatu. Terjadinya tsunami pada Desember 2004 telah menjadikan garis pantai bergeser ke arah daratan yang berdasarkan penuturan warga setempat pergeseran tersebut mencapai sekitar 300 meter.

Desa Glejong dan sekitarnya, termasuk Krueng Tunong, wilayah desa-desa lainnya di sebelah selatan seperti Ceunamprong dan Keude Unga terletak pada system geologi yang disebut dengan Western barisan coastal headlands and lowlands (Daerah dataran dan perbukitan Barisan sebelah barat). Sebagian besar daerah ini merupakan daerah berbukit-bukit Di antara daerah ini, bukit kecil dan pegunungan diselingi dengan dataran alluvial di dasar lembah membentuk sistem sungai yang berkelok-kelok. Area dataran pantai cukup luas, terdiri dari hamparan dataran pantai sempit dengan tanah berpasir yang terletak di antara bukit.

Gambar 85. Peta Geologi wilayah Aceh

Desa ini berada di pesisir barat, dengan jarak hanya sekitar 150 m dari garis pantai. Bencana Tsunami yang terjadi tahun 2004 yang lalu telah meluluh lantakkan desa ini. Seluruh infrastruktur yang ada di pantai hancur tak bersisa karena tersapu oleh gelombang Tsunami. Hal ini senada dengan hasil observasi di lapangan yang menemukan sisa-sisa reruntuhan rumah atau bangunan lainnya di sekitar pantai. Bahkan, beberapa dari reruntuhan itu sekarang menjadi bagian dari laut.

150 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Selain memakan korban sekitar 1500 orang, Tsunami juga menyebabkan perubahan drastis bentang alam pesisir Desa Gle Jong yaitu mundurnya garis pantai sampai 500m, hancurnya vegetasi hutan pantai dan rawa yang menyebabkan semakin lebarnya mulut muara (kuala) dan mengubah sawah menjadi rawa baru yang berair payau.

Gambar 86 Perubahan Bentang Alam Desa Gle Jonga akibat Tsunami

Kuala yang semakin lebar dan bertambah dalam hampir menyerupai laguna saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat mencari ikan atau udang dengan cara memancing dan menggunakan bubu jaring. Komoditas ikan ekonomis penting yang banyak dijumpai di kuala diantaranya udang windu, kepiting, mujaer, nila, dan bandeng.

2. Tipologi Lahan Basah

Bentang lahan pesisir di Desa Glejong merupakan sesuatu yang unik dimana sungai yang ada di sebelah timur desa seolah merupakan cabang dari sungai lain yang bermuara di sekitar Ujung Muloh. Dikatakan unik karena di pesisir cabang sungai ini sama sekali tertutup dan tidak terhubung dengan laut, atau kemungkinan hanya terhubung pada saat air pasang. Ada kemungkinan daerah tepi pantai justru sedikit lebih tinggi dibanding daerah dibelakangnya sehingga keluarnya air pada saat air surut justru melalui percabangan sungai menuju ke sungai utama.

Gambar 87. Foto Udara yang menggambarkan situasi desa Gle Jong Paska Tsunami

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 88. Citra satelit yang menggambarkan situasi desa Gle Jong sebelum Tsunami

E : Pantai berpasir Pantai berpasir di Desa Glejong mengalami pergeseran hingga lebih 300 m ke arah darat dan satu (1)

situs bersejarah berupa makam ikut hilang. Masyarakat desa Glejong dan sekitarnya kadang-kadang memanfaatkan pasir pantai sebagi sarana pengobatan. Dengan mengubur sebagian tubuh dengan pasir yang hangat karena matahari percaya bias mengurangi sakit rheumatic. Pasir di pantai Desa Glejong juga ditambang untuk keperluan konstruksi.

M : Sungai permanent Sungai permanent ini merupakan cabang dari sungai ( Kr. Lambeso) yang bermuara di dekat Ujung

Muloh. Cabang sungai ini justru tidak mempunyai hubungan langsung dengan laut, atau mungkin akan terhubung dengan laut pada saat air laut pasang maksimal. Kondisi ini ada sejak sebelum tsunami meskipun dengan adanya tsunami garis pantai bergeser ke arah darat, tetapi endapan yang ada di pantai tetap menutup koneksi sungai ke laut.

Tp : Rawa air tawar. Kode Tp menurut konvensi Ramsar mencakup “Permanent freshwater marshes/pools; ponds (below 8

ha), marshes and swamps on inorganic soils; with emergent vegetation water-logged for at least most of the growing season.” Di desa Glejong, rawa rawa ini berada di tepi sungai hampir seperti rawa belakang sungai atau dataran banjir. Rawa-rawa ini ditumbuhi semak-semak terutama Typha sp dan Acrostichum sp. Jenis lain yang menjadi vegetasi penutup rawa adalah berbagai jenis dari familia Cyperaceae dan mangrove dari jenis Sonneratia caseolaris.

3 : Sawah Sawah semula merupakan lahan basah dominant dan berperan besar dalam perekonomian

masyarakat desa Glejong dan sekitarnya. Saat ini kondisi sawah-sawah yang ada masih belum bisa diusahakan.

152 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. Profil Vegetasi

Seluruh tumbuhan, baik yang tumbuh secara alam maupun tanaman budidaya masyarakat tersapu bersih oleh Tsunami. Observasi yang dilakukan di lapangan menemukan banyak sekali sisa-sisa pohon yang tumbang atau patah di sepanjang pantai. Bahkan diantaranya berada di wilayah laut.

Gambar 89. Tunggul-tunggul pohon yang banyak dijumpai di sepanjang pantai

Tiga tahun setelah bencana Tsunami, lingkungan di pesisir Desa Gla Jong perlahan-lahan mengalami pemulihan. Hal ini ditunjukkan dengan mulai tumbuhnya berbagai jenis vegetasi dari berbagai jenis, mulai dari rumput; herba; semak hingga pohon. Di tepi pesisir, sebagian besar pantai berpasir masih terbuka. Penutupan lahan di areal ini tidak lebih dari 10%. Kondisi pantai yang masih labil dan banyaknya ternak yang lalu lalang di areal ini sangat menyulitkan bagi tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Vegetasi hanya dapat ditemukan di barisan belakang pantai berpasir, yaitu rumput yang membetuk lapisan tipis di sepanjang pantai. Tepat dibelakang pantai berpasir, di jumpai rawa yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan khas rawa antara lain Typha angustifolia, Cyperus tenuispica dan Scirpus maritimus. Ketiga jenis rumput tersbut sanga umum dijumpai di sona depan rawa. Sementara di zona belakang, terdapat tegakan berembang Sonneratia alba yang tumbuh dengan subur. Di sela-sela pohon, koloni Typha angstifolia mendominasi penutupan lahan. Secara sederhana, profil vegetasi yang ada di pesisir desa Gle Jong tersusun atas empat vegetasi sebagaimana diilutrasikan oleh gambar 3 di bawah ini.

Gambar 90. Cross section yang menggambarkan profil vegetasi di pesisir desa Gle Jong Dalam ilustrasi di atas, tipe vegetasi terbagi menjadi empat yaitu vegetasi di pantai bepasir (A), rawa

rumput (B), rawa mangrove (C), dan vegetasi di sekitar desa. Di bawah ini adalah penjelasan masing- masing tipe vegetasi tersebut.

a) Vegetasi di pantai berpasir

Tipe vegetasi ini mengacu pada semua vegetasi yang dijumpai di pantai berpasir. Secara umum dapat dikatakan bahwa penutupan vegetasi di pantai ini sangat rendah, yaitu dengan penutupan kurang dari 10%. Hampir seluruh bagian pantai masil labil sehingga menyulitkan tanaman untuk tumbuh. Disamping itu, pantai berpasir ini mengalami gangguan yang sangat terkait dengan adanya eksploitasi pasir. Eksploitasi ini berlangsung sejak lama dan selalu berpindah di beberapa nagian

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berdasarkan pengamatan di lapangan, vegetasi yang dijumpai di barisan belakang ini sangat terbatas, baik kelimpahan maupun keanekaragamannya. Penutupan vegetasi ini sangat didominasi oleh rumput yaitu Cyperus tenuispica dan Scirpus maritimus. Dari hasil pengamatan di lapangan, lokasi yang ditumpuhi oleh rumput ini terlihat telah stabil namun sesekali mengalami genangan yang berasal dari rawa yang berada di belakangnya. Berbeda dengan kondisi di pantai berpasir pada umumnya, herba galaran Ipomea pes caprae tidak ditemukan di pantai ini.

Gambar 91. Tutupan vegetasi di barisan belakang pantai berpasir

b) Vegetasi rawa rumput

Tipe vegetasi ini dijumpai di rawa bagian depan yang berbatasan secara langsung dengan pantai berpasir. Kondisi genangan air di rawa ini sangat ringan yaitu kurang dari 30 cm. Bahkan pada kondisi tertentu, rawa ini surut. Vegetasi yang dijumpai di rawa ini hanyalah jenis tumbuhan rumput. Berdasarkan pengamatan di lapangan, rumput berjenis Cyperus tenuispica dan Scirpus maritimus mendominasi penutupan lahan. Namun demikian, beberapa jenis rumput lain seperti Paspalum spp. dan Echinochloea stagnina juga dapat dijumpai secara sporadis dalam jumlah yang terbatas. Atas dasar kondisi inilah maka rawa ini diberi istilah khusus sebagai rawa rumput. Selain jenis rumput, tumbuhan piai Acrostichum aureum juga sesekali dapat ditemukan di rawa ini.

Gambar 92. Kondisi penutupan lahan di rawa rumput

154 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 154 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tipe vegetasi ini merupakan suatu bentuk perkembangan dari rawa biasa. Yang menjadi menarik dari rawa adalah dijumpainya banyak sekali berembang Sonneratia alba di rawa ini. Kondisi inilah yang menjadi latar belakang rawa ini disebut sebagai rawa mangrove. Keberadaan pohon berembang ini diprediksi berawal dari bencana Tsunami. Pada saat bencana terjadi, gelombang stunami menghancurkan formasi mangrove yang ada di desa ini. Melalui gelombang ini, benih-benih tanaman mangrove tersebar dan kemudian didamparkan di berbagai wilayah, termasuk di area yang berawa. Dari beberapa jenis mangrove, benih berembang-lah yang mampu beradaptasi sehingga mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Pohon-pohon berambang ini tersebar hampir merata di rawa. Beberapa pohon bahkan telah mencapai tinggi 7 meter dan telah menhhasilkan buah. Bahkan diyakini bahwa pohon berembang ini telah berhasil beregenerasi melalui benih yang dihasilkannya.

Berdasarkan pengamatan vegetasi yang dilakukan, penutupan vegetasi di rawa mengrove ini cukup tinggi yaitu mencapai 70%. Sebagian besar diantaranya ditumbuhi oleh beberapa jenis rumput dan tumbuhan rawa antara lain Typha angustifolia, Schleria spp., Scirpus spp., Lymoncharis flava, Ceratopteris thalictroides, Phragmites karka, Echinochloea stagnina, dan Cyperus spp. Berdasarkan pengamatan di lapangan, bagian rawa yang tidak bervegetasi adalah bagian rawa yang airnya dalam. Sementara untuk areal yang dangkal, hampir seluruhnya ditumbuhi oleh vegetasi.

Gambar 93. Tegakan berembang yang tumbuh secara alami setelah Tsunami

Dari jenis vegetasi yang dijumpai, kondisi rawa ini diyakini mengalami dinamika. Di awal terbentuknya rawa ini, kondisi air diprediksi masih payau. Kondisi ini diperkuat dengan ditemukannya pohon berembang yang saat ini telah mencapai tinggi 7 meter. Namun setelah bencana Tsunami terjadi, bagian tertentu dari muara tertutup oleh pasir. Walaupun tidak terputus secara total, namun kondisi ini mengurangi pasokan air asin ke areal di rawa ini menurun tajam. Disisi lain, sinar matahari yang sangat terik menyebabkan kandungan garam yang ada di air rawa sengat cepat menguap. Hujan yang sesekali juga memberikan andil dalam bertambahnya kandungan kadar air tawar di rawa ini.

Kondisi inilah yang secara berangsur-angsur menyebabkan air di rawa ini berangsur-angsur menjadi lebih tawar. Perubahan kondisi air inilah yang memberikan peluang kepada jenis tumbuhan rawa air tawar untuk tumbuh dan berkembang dengan baik di rawa ini. Bagi pohon berembang perubahan kondisi ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan megingat jenis ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan salinitas rendah.

d) Vegetasi di sekitar desa

Tipe vegetasi ini mengacu pada seluruh tumbuhan yang berada di lingkungan desa meliputi halaman, pekarangan rumah, areal kosong, dan areal di sepanjang jalan. Jenis-jenis pohon yang umum dijumpai di pekarangan rumah merupakan hasil penanaman penduduk antara lain Kresen Muntingia calabura, Lamtoro Leucana leucachepala, Mangga Mangifera indica, Kelapa Cocos nucifera, Gamal Glirichidia sepium, dan belimbing wuluh Averrhoa bilimbi. Sementara di areal terbuka sekitar desa pada umumnya jenis tumbuhan yang tumbuh secara alami antara lain Trema orientalis, Ketepeng Senna allata, dan Ketapang Terminallia cattapa, kayu rembulan Fagraea crenulata.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 94 Kayu rembulan Fagraea crenulata, jenis pohon yang umum dijumpai tumbuh secara alami di lahan kosong

Selain jenis-jenis tumbuhan di atas, dijumpai pula beberapa jenis tumbuhan lainnya antara lain Ketepeng Senna allata, Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, Galaran Ipomea pes-caprae, Indigofera suffruticosa, Desmodium umbellatum, Abutilon hirtum, Seruni Widelia biflora, putri malu Mimosa pudica dan Abroma mollis

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan berlangsung singkat pada tanggal 11 November, sore hari, dan pagi hari tanggal 10 November 2007. Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: 5 jenis mammalia, 35 jenis burung, serta 9 jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Daerah lahan basah di sekitar Desa Gle Jong, tampak menjadi habitat bagi dua jenis mammalia air, yaitu: Sero ambrang Aonix cinerea dan satu jenis yang belum dipastikan dari genus Lutra (ada dua kemungkinan: Lutra lutra atau Lutra sumatrana).

Mammalia darat yang ditemukan, adalah: Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus, Kera-ekor panjang Macaca fascicularis, dan Babi hutan Sus sp.

b) Avifauna

Sebanyak 35 jenis burung yang teramati dan teridentifikasi, dimana 12 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Satu jenis bangau

teramati, yaitu Bangau tongtong Leptoptilus javanicus, jenis yang terancam kepunahan secara global, dengan kriteria Vulnerable/rentan (IUCN, 2006).

Jenis burung yang dilindungi oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia berasal dari kelompok burung pemangsa (4 jenis), kelompok raja-udang (3 jenis), dan kelompok burung madu (2 jenis), serta kelompok burung air (2 jenis kuntul, 1 jenis bangau).

156 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 64. Jenis Burung yang Dilindungi yang ditemukan di Gle Jong

No Nama Indonesia Nama Ilmiah Nama Inggris Status

1 Kuntul besar

Egretta alba

Great Egret

2 Kuntul kecil

Egretta garzetta

Little Egret

3 Bangau tongtong

Leptoptilus javanicus

Lesser Adjutant

P, App I, VU

4 Elang Bondol

Haliastur Indus

Brahminy Kite

P, App II

5 Elang-laut perut-putih

Haliaeetus leucogaster

White-bellied Sea-eagle

P, App II

6 Elang-ular bido

Spilornis cheela

Crested Serpent-eagle

P, App II

7 Elang Hitam

Ictinaetus malayensis

Black Eagle

P, App II

8 Raja-udang meninting

Alcedo meninting

Blue-eared Kingfisher

9 Pekaka emas

Pelargopsis capensis

Stork-billed Kingfisher

10 Cekakak sungai

Halcyon chloris

Collared kingfisher

11 Burung-madu kelapa

Anthreptes malacensis

Plain-throated Sunbird

12 Burung-madu sriganti

Nectarinia jugularis

Olive-backed Sunbird

Keterangan :

P = Dilindungi, menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 (Noerjito & Maryanto, 2001). App. II = Appendix II, Kriteria perdagangan jenis satwa yang diatur dalam CITES (Convention on International

Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna, UNEP-WCMC, 2007). * = Jenis burung air migran

c) Herpetofauna

Tercatat 9 jenis satwa dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, tidak terdapat jenis herpetofauna yang dilindungi. Sebagian besar (6 jenis) tergolong dalam kelompok Anura (katak/kodok), dua jenis lain dari kelompok SAURIA (Kelompok Toke, kadal-kadalan), yaitu: Biawak Varanus salvator, dan Kadal Biasa Mabuya multifasciata, serta satu jenis dari kelompok kura-kura, yaitu Cuora amboinensis.

5. Tanah dan Pertanian

a) Bagian sepanjang pantai

Pada bagian sepanjang pantai mempunyai tanah Typic Quartzipsamments (Regosol), berpasir kasar, sangat dalam, salin, drainase sangat cepat. Bentuk wilayah datar agak cembung, lereng 0-3 persen. Penggunaan lahan wilayah ini merupakan lahan terbuka hampir tidak bervegetasi (lahan pasir terbuka)

Potensi lahan. Dapat dikembangkan untuk lahan rehabilitasi pantai seperti cemara, waru dll ataupun dengan tanaman kelapa.

Kesesuani lahan. Secara umum tanah-tanahnya tidak sesuai (N) untuk pengembangan pertanian dengan faktor pembatas teksture tanah berpasir dan air pasang surut yang berpengaruh terhadap tanaman

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pada bagian di belakang sepanjang pantai terdapat rawa-rawa dengan tanah Typic Sulfaquents (Gleisol), berliat, dalam, salin, drainase sangat terhambat. Bentuk wilayah datar, lereng 0-1. Penggunaan lahan wilayah ini sebagian besar bekas tambak yang sudah tertutup oleh bahan-bahan yang dibawa gelombang Tsunami, tumbuhannya berupa belukar rawa.

Potensi lahan. Dapat direbabilitasi untuk lahan tambak akan tetapi terdapat permasalahan pasokan air tawar.

Kesesuai lahan. Pada bagian sepanjang pantai dan rawa belakang pantai, secara umum tanah- tanahnya tidak sesuai (N) untuk pengembangan pertanian dengan faktor pembatas, kondisi tanah berpasir, dan potensi sulfat masam.

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Letak desa yang jauh dari jalan utama lintas Barat menyebabkan desa ini kurang cepat berkembang. Kondisi ini diperparah dengan penetapan Gle Jong sebagai daerah yang berbahaya untuk dikunjungi oleh pemerintah darurat militer ketika masa konflik tahun 1973 sampai dengan 2005. Namun demikian larangan tersebut tidak mengahalangi ribuan masyarakat Aceh datang ke Gle Jong saat hari raya Idul Adha untuk mengunjungi makam Sultan Ala’addin Riayatsyah seorang pemimpin dan ulama yang diyakini sebagai salah seorang penyebar Islam yang penting di Aceh.

Desa Gle Jong di masa lalu diyakini tempat sekumpulan orang Portugis membentuk pemukiman (enclave) untuk membeli lada. Karena sesuatu hal orang-orang Portugis tersebut kemudian berperang dengan penduduk Desa Gle Jong dan sekitarnya. Perang tersebut berakhir damai dan orang-orang Portugis akhirnya berasimilasi dengan memeluk agama Islam dan menikah dengan warga Gle Jong. Asimilasi tersebut menghasilkan keturunan yang memiliki paras Eropa atau dikenal dengan sebutan “mata biru” . Namun saat ini jarang ditemui lagi penduduk yang berparas Eropa selain sudah banyak perkawinan dengan masyarakat lokal dan berdasarkan informasi penduduk setempat warga yang berparas Eropa tersebut banyak yang meninggal dan hilang karena tsunami.

b) Demografi

(1) Populasi

Total populasi penduduk Desa Gle Jong berdasarkan data Podes BPS pada tahun 2003 sebanyak 505 jiwa dengan 253 kepala keluarga (kk). Jumlah ini menurun drastis pada tahun 2005 setelah Tsunami sebesar 500% menjadi 107 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 63 kk atau menurun sebesar 40%. Angka ini terkait dengan hilangnya dua dusun di Desa Gle Jong akibat tsunami. Jumlah perempuan pada tahun 2005 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah laki-laki. Hal tersebut ada kaitannya dengan jumlah perempuan korban tsunami yang lebih banyak daripada laki- laki. Data verbal dari Kepala Desa (kheucik) menyebutkan jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak 300 jiwa dengan komposisi 200 jiwa laki-laki dan 100 jiwa perempuan. Jumlah keluarga yang relatif sedikit sejumlah 83 kk memudahkan penduduk untuk saling mengenal satu sama lain bahkan sampai kepada seluruh anggota keluarga yang ada.

158 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 65. Populasi penduduk Desa Gle Jong dan Kecamatan Jaya tahun 2003 dan 2005

Populasi Kepadatan Penduduk Tahun

Jumlah KK Laki-laki Perempuan Total

(ind/ km2) Desa Gle Jong

N/A 63 2007 200

Kecamatan Jaya

N/A 4,760

Peningkatan jumlah penduduk Gle Jong setelah tahun 2005 terjadi karena adanya pernikahan dan penduduk Gle Jong yang tinggal di daerah lain banyak yang pulang kembali ke Gle Jong setelah Tsunami terutama setelah selesainya bantuan rumah permanen dari USAID.

Desa Gle Jong Kecamatan Jaya X 10

Perempuan Laki-laki

Gambar 95 Pertumbuhan Penduduk Desa Gle Jong dan Kecamatan Jaya ahun 2003 dan 2005

Tren populasi penduduk Desa Gle Jong seiring dengan tren penurunan populasi penduduk Kecamatan Aceh Jaya seperti ditunjukan pada Gambar 95. Secara umum jumlah penduduk Kecamatan Jaya dari tahun 2003 ke tahun 2005 menurun sebesar 26% yaitu 22.579 jiwa menjadi 16.673 jiwa. Penurunan secara signifikan tidak terjadi pada jumlah kepala keluarga yang menurun sebesar 6% .

Suku utama yang mendiamai Desa Gle Jong sampai dengan saat ini adalah suku Aceh. Suku- lainnya dari penduduk Gle Jong yaitu Jawa dan Sunda. Penduduk suku-suku minoritas dengan suku utama berasimilasi dan tidak ada masalah yang mempertentangkan tentang suku atau terjadi celah (gap) diantaranya. Tidak ada semacam dari suku-suku yang ada tersebut.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Sejak masa Portugis datang ke Gle Jong, desa ini sudah terkenal sebagai penghasil lada dan cengkeh. Hal tersebut dipercayai masyarakat sebagai alasan datangnya Portugis dalam rangka mencari tempat penghasil rempah-rempah untuk dibawa ke Portugis. Sebelum Tsunami selain tanaman rempah, masyarakat Gle Jong memiliki mata pencaharian sebagai petani sawah, nelayan, penambang pasir dan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ritme aktivitas mata pencaharian utama penduduk sangat terkait dengan pola musim seperti disajikan pada tabek berikut:

Tabel 66. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Gle Jong sebelum Tsunami

Jenis Pekerjaan (sebelum Tsunami)

Bulan

dimulai dari yang paling penting

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des

Perkebunan lada,

cengkeh Kebun kelapa

persiapan Perikanan tangkap

penanaman

persiapan & penyemaian

penanaman

musim timur Penambangan pasir

musim timur

musim barat

√-√ Jaring di kuala

√- √

√ √ √ Kebutuhan Kredit

Kegiatan perkebunan lada, cengkeh dan kepala dilakukan untuk produksi dalam jangka panjang. Pemanenan baru dapat dilakukan setelah lima tahun bibit ditanam. Selain memiliki kebun untuk produksi dalam jangka panjang, mata pencaharian secara rutin biasanya merupakan pengkombinasian antara perikanan tangkap dan sawah atau penambangan pasir dan sawah. Pengkombinasian disini maksudnya adalah pembagian tugas antara suami dan istri berdasarkan jenis kegiatan persawahan yang dilakukan. Suami akan bertugas saat mempersiapankan lahan, sebagian kecil dalam penanaman bibit dan saat panen. Tugas pemeliharaan sawah harian sebagian besar dilakukan oleh perempuan. Sementara itu laki-laki akan melaut atau melakukan penambangan pasir di pantai. Kombinasi kegiatan melaut dan penambangan pasir sangat jarang dilakukan karena kedua aktivitas tersebut menyita tenaga dan dilaksanakan pada waktu yang sama.

Kebun kelapa atau kebun cengkeh dalam skala besar hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Setelah mencapai usia prduksi biasanya panen lada dan cengkeh dalam satu tahun dapat dipanen satu kali. Tanaman kelapa dapat dipanen secara kontinu pada bulan-bulan saat musim panas untuk memudahkan pemanenan. Panen biasanya dilakukan untuk sejumlah pohon dan terus dilanjutkan untuk sejumlah pohon lainnya.

Berdasarkan kalender kegiatan mata pencaharian di atas dapat diketahui bahwa dari kegiatan nelayan dan sawah tidak memiliki pendapatan pada bulan Juni sampai dengan Oktober. Strategi mata pencaharian alternatif yang dilakukan untuk pemenuhan konsumsi harian adalah menjaring ikan- ikan yang ada di kuala. Aktivitas penambangan pasir pantai medapat kendala saat puncak musim hujan yaitu bulan November-Desember karena hujan dan pasir menjadi basah sehingga menyulitkan dalam penambangan dan pengangkutan.

160 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kegiatan meminjam uang untuk modal kepada toke jarang dilakukan baik untuk sawah maupun kegiatan melaut. Kalaupun ada kebutuhan modal usaha untuk kegiatan sawah biasannya saat persiapan terutama pada bulan Juli sebagai pengaruh dari tidak adanya pendapatan kegiatan melaut. Pemenuhan kebutuhan modal biasanya diakses melaui pinjaman ke toke padi. Pembayaran dilakukan dengan harus menjual padi kepada toke yang bersangkutan. Kelemahan dari pola pembayarannya petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk menentukan harga jual ke toke.

Berdasarkan hasil wawancara penduduk cenderung menggunakan jasa toke untuk meminjam uang dibandingkan bank dengan alasan jarak, fleksibelitas dalam membayar dan kesederhaan prosedur. Penyimpanan uang ke bank dilakukan untuk hasil panen tanaman rempah dalam jumlah besar. Uang hasil pekerjaan biasanya dikumpulkan dan dibelikan emas ataupun dibelikan hewan ternak. Disamping itu terdapat juga model menyimpan uang kepada orang lain biasanya kepada toke yang dianggap memiliki usaha lancar dan dapat dipercaya. Menyimpan uang dalam cara ini biasanya dalam kurun waktu yang tidak lama kurang lebih lima bulan dan biasanya memliki tujuan khusus seperti untuk membeli barang atau untuk mengadakan pesta (kenduri). Model penyimpanan seperti ini didasarkan pada pertimbangan bahwa toke tersebut memiliki jumlah uang yang lebih banyak dari yang kita simpan dan setiap saat uang dapat diambil.

Setelah tsunami kegiatan bersawah tidak dapat dilakukan lagi karena sawah telah berubah menjadi rawa-rawa payau dengan substrat lumpur berpasir sedalam ± 20cm. Saat ini rawa-rawa tersebut sudah ditumbuhi rumput dan ditanamai mangrove oleh Dinas Kehutanan melalui program GERHAN. Aktivitas mata pencaharian yang berjalan saat ini adalah melaut, menjaring udang, penambangan pasir, buruh kegiatan konstruksi, ternak itik dan jualan kue.

(a) Perikanan Tangkap

a. Alat Tangkap Sebelum tsunami kegiatan melaut biasanya dilakukan dengan menggunakan perahu mesin tempel.

Akibat tsunami tidak terdapat lagi armada melaut. Bantuan perahu mesin tempel sudah diterima para nelayan hanya saja setelah empat bulan perahu tersebut tidak dapat digunakan lagi dikarenakan kualitas papan kurang bagus sehingga badan kapal lapuk dan nelayan takut untuk menggunakannya. Pada saat kunjungan ke Desa Gle Jong dilakukan terlihat kurang lebih lima perahu jenis mesin tempel yang tidak dapat digunakan lagi di parkir di pinggir kuala. Setelah beberapa bulan aktivitas melaut dapat kembali dilaksanakan atas bantuan dana modal usaha dari UNEP melalui Wetlands International Indonesia Programme (WIIP). Modal usaha yang tidak terlalu besar tersebut digabung antar dua-tiga orang untuk dibelikan sampan, jaring rentang (gill net) dan kebutuhan melaut lainnya. Saat ini aktivitas melaut sudah dapat dilakukan meski dalam jarak dekat dan di Desa Gle Jong sudah terdapat empat unit sampan (tiga unit bantuan dari UNEP). Biasanya satu sampan dijalankan oleh 2-

3 orang. Alat tangkap yang digunakan sebelum tsunami adalah pukat pantai dan jaring/ gill net. Saat ini hanya

gill net yang digunakan. Berdasarkan hasil wawancara nelayan Gle Jong tidak pernah menggunakan bom untuk menangkap ikan.

b. Pembagian Hasil Tangkapan dan Pemasaran Sistem bagi hasil saat ini tidak menerapkan pemotongan penghasilan untuk modal karena melaut

tidak digunakan bahan bakar. Pemotongan penghasilan digunakan untuk biaya perawatan sampan dan perbaikan jaring. Kepemilikan sampan secara bersama menyebabkan bagi hasil yang dilakukan langsung dibagi rata bila hasil tangkapan dibeli ditempat dan bila salah seorang yang menjual maka hasil dikurangi bensin/ biaya transportasi ke tempat penjualan ikan.

Waktu melaut setiap harinya dilakukan sebanyak dua kali yaitu: pagi hari setelah subuh sekitar jam

05.30 dan kapal mendarat pada jam 08.00-09.00. Melaut pada pagi hari ini adalah memanen hasil dari jaring yang di pasang pada malam hari setelah maghrib sekitar pukul 19.30. Setelah menjual hasil

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pemasaran hasil perikanan saat ini ada tiga model yaitu dijual di tempat ke pedagang ikan (muge), dibawa ke TPI Desa tetangga yaitu Desa Krueng Tunoh dan dijual ke muge di pasar ikan lamno. Ketika model tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:

Muge

Nelayan TPI

Pasar Lamno

Gambar 96 Diagram alir penjualan hasil tangkapan ikan di Desa Gle Jong

Penjualan langsung kepada muge biasanya dilakukan untuk hasil tangkapan yang mendarat pada pagi hari sekitar jam 8-9 pagi. Muge yang datang ke Gle Jong biasanya sebanyak dua orang terkadang hanya satu orang muge yang datang untuk membeli hasil tangkapan dari empat sampan. Jenis ikan yang dibeli biasanya ikan-ikan dalam ukuran besar seperti tongkol, hiu martil, layur, hampala, rambeh, pari, lobster, kakap, ekor kuning dan kerapu. Ikan jenis besar yang masih berukuran kurang dari 30cm sering juga dibeli oleh muge asalkan dalam jumlah yang cukup banyak ± 10ekor untuk tiap jenisnya.

Penjualan hasil tangkapan ke TPI Krueng Tunoh atau pasar Lamno biasanya dilakukan untuk hasil tangkapan pada sore hari atau untuk menjual lobster. Pada sore hari muge yang datang ke Gle Jong biasanya hanya satu orang dan ia memeilki kapasitas tertentu sehingga tidak dapat membeli semua hasil tangkapan nelayan. Alasan sulitnya menjual hasil tangkapan pada sore hari menyebabkan nelayan yang melaut pada sore hari hanya dua sampan.

Pembelian langsung kepada nelayan juga dilakukan oleh penduduk sekitar. Ikan-ikan yang dibeli biasanya ikan ukuran kecil seperti selar, kueh rombeh, pepetek atau ikan besar yang masih ukuran kecil sisa dari ikan yang tidak dibeli oleh muge. Pembelian oleh penduduk tidak dijadikan pendapatan utama oleh nelayan karena pembelian dilakukan dalam jumlah kecil dan harga tidak ditentukan seikhlasanya dari penduduk tersebut. Selain itu penduduk sekitar biasanya juga mendapatkan ikan sisa penjualan secara cuma-cuma setelah turut membantu nelayan memisahkan ikan dari jaring. Pekerjaan tersebut biasanya dilakukan oleh kaum perempuan.

162 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 97. Kegiatan pengumpulan ikan hasil tangkapan oleh penduduk dengan imbalan ikan sisa penjualan

Aktivitas perikanan tangkap lainnya yang banyak dilakukan setelah tsunami adalah membuat bagan atau memasang jaring udang di sekitar kuala yang menjadi lebih lebar setelah tsunami. Aktivitas ini disukai penduduk karena relatif lebih aman karena tidak perlu melaut, hasil yang didapatpun cukup banyak. Jaring udang perharinya dapat menjaring minimal 2kg udang alam perharinya. Harga jual udang berkisar Rp 20.000,- . Pendapatan dari bagan dirasakan jauh lebih banyak permalam daripada melaut

Gambar 98. Aktivitas perikanan berupa jaring dan bagan di Muara sungai Desa Gle Jong

(b) Pertanian

Pertanian yang ditekuni oleh penduduk Gle Jong yaitu persawahan, perkebunan kelapa, cengkeh dan lada. Perkebunan lada dan cengkeh sudah dimulai sejak zaman kerajaan Islam sebelum pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Penetapan Aceh sebagai daerah darurat militer menyulitkan petani dalam menjual rempah-rempah. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan penetapan harga cengkeh yang sangat rendah oleh pemerintah pada tahun 1987. Kedua alasan ini membuat petani menghentikan perkebunan rempah-rempah khususnya cengkeh secara besar-besaran sekitar 90-an. Perkebunan rempah yang ada saat ini hanya meneruskan dari yang ada tidak ada lagi upaya ekspansi perkebunan cengkeh dengan membuka lahan baru.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Perkebunan kelapa dalam jumlah besar dijalankan oleh beberapa orang penduduk untuk memproduksi kelapa gonseng atau dalam Bahasa Aceh dikenal dengan sebutan “pliek u” semacam bumbu masak masakan khas Aceh dibuat dengan menjemur dan menyangrai kelapa yang telah dicambur bumbu-bumbu lainnya.

Persawahan yang dijalankan adalah model sawah tadah hujan dengan panen sebanyak dua kali dalam setahun. Kegiatan persawahan tidak dapat dijalankan lagi karena sawah telah berubah menjadi rawa air payau dengan substrat lumpur berpasir dan ditumbuhi rumput serta beberapa batang mangrove hasil kegiatan penanaman Dinas Kehutanan melalui kegiatan GERHAN.

Berdasarkan data Potensi Desa (podes) BPS menyebutkan penduduk Gle Jong yang bermata di sektor pertanian pada tahun 2003 sebanyak 90% dan menurun menjadi 80% pada tahun 2005. Hasil kunjungan ke Desa Gle Jong tidak mendapatkan data pasti komposisi jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaannya sehingga tidak dapat dibandingkan dengan data yang disajikan pada Tabel 67di bawah ini. Angka mata pencaharian di sektor usaha pertanian sebesar 80% dinilai kurang relevan mengingat hilangnya lahan persawahan dan pembatasan kegiatan perkebunan serta banyak penduduk yang beralih mata pencaharian ke penangkapan ikan di kuala, penambang pasir panatai dan menjadi buruh di kegiatan konstruksi.

Tabel 67. Komposisi penduduk yang bertani dan Jumlah Keluarga Miskin di Gle Jong

KK % KK % Pekerja

Pekerja pada bergerak di

Jumlah

Mata

pada Tahun

bergerak di

Pengusaha

Pengusaha kegiatan

Pertanian pertanian

pertanian Pertanian

80 63 100 Pertanian N/A

N/A

Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk, jenis mata pencaharian utama pada tahun 2003 adalah pertanian dan perikanan tangkap dan setelah tahun 2005 mata pencaharian uatama adalah perikanan tangkap.

(c) Penambangan pasir

Kegiatan penambangan pasir masuk dalam kategori penambangan galian C. Berdasarkan informasi penduduk kegiatan penambangan pasir sudah ada sebelum tsunami dan bertambah intensitasnya setelah tsunami untuk memenuhi kebutuhan pasir untuk proyekproyek konstruksi pasca tsunami. Sebelum tsunami penambangan pasir perharinya hnaya untuk 10 truk saat ini penambangan mencapai kapasitas 100truk.

Penambangan dalam jumlah besar pasca tsunami telah menyebabkan mundurnya garis pantai sejauh 1m dan ketika pasang besar air dapat menjangkau sejauh 300 m ke arah darat. Kondisi tersebut menimbulkan pertentangan antara warga dan penambang pasir. Penghentian dan pengurangan kuota pengambilan pasir perharinya tidak dapat dilakukan maka salah satu solusi yang akan ditempuh warga melalaui program Green Coast dari WIIP saat ini adalah menanam tanaman pantai di sekitar lokasi penambangan pasir.

Pengelolaan tambang pasir sebelum tsunami dilakukan oleh desa dengan uang disetorkan ke kas desa. Saat ini penambangan pasir dikelola oleh Komisi Peralihan Aceh (KPA) dengan bagi hasil yang masuk ke kas desa sebesar Rp 50.000/ hari.

Aktivitas penambangan pasir bayak ditekuni oleh pemuda, selain fisik yang masih memungkinkan pekerjaan ini disukai karena relatif aman tidak harus melaut, penghasilan yang didapatkan langsung dibayarkan harian yaitu minimal Rp 100.000/ orang/ hari.

164 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 99. Penambangan pasir di pantai Desa Gle Jong

(d) Peternakan

Secara umum usaha ternak yang dilakukan saat ini adalah ternak unggas yaitu aya dan itik. Usaha ternak ayam dan itik yang dijalankan masih untuk pemenuhan kebutuhan konsusmsi rumah tangga. Penjualan hewan ternak masih sebatas untuk kalangan penduduk sekitar belum samapai pada suplai ke pasar-pasar atau rumah makan.

Satu-satunya usaha ternak unggas dalam jumlah besar sekitar 700 ekor anak itik sedang dikembangkan oleh dua orang secara bersama melalui program bantuan moda usaha dari UNEP yang difasilitasi WIIP. Target dari usaha ini adalah usaha ini adalah produksi telur asin. Namun demikian usaha ternak yang dijalankan ini masih sangat sederhan dilihat dari kandang yang disediakan serta pemberian pakan. Butuh pendampingan lebih lanjut untuk mencapai pengembangan usaha telur asin.

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Sebelum tsunami pada umumnya rumah penduduk Desa Gle Jong terbuat dari papan dan sebagian kecil sekitar 14% berupa bangunan permanen. Rumah yang saat ini didiami penduduk ada yang masih di rumah sementara (temorary shelter) dan sebagian besar telah mendiami rumah permanen bantuan dari USAID yang difasilitasi oleh CHF. Bila dilihat dari jumlah rumah permanen yang ada sekitar 10% dari rumah tersebut tidak berpenghuni dan dalam kondisi semakin rusak karena tidak digunakan. Rumah yang tidak digunakan tersebut karena pemilik rumah yang merupakan warga Gle Jong tidak tinggal di desa lain. Alasan lainnya yaitu ketika pendataan calon pemilik rumah, pemuda yang telah berusia diatas 25tahun dimasukan ke dalam daftar penerima rumah padahal statusnya belum berumah tangga dan masih tinggal bersama orang tua.

Fasilitas listrik di Desa Gle Jong saat ini menggunakan mesin generator yang ditempatkan di meunasah. Aliran listrik dinyalakan setiap pukul lima sore sampai pukul delapan pagi. Iuran listrik yang dikenakan pada masing-masing rumah adalah Rp 13.000/ bulan. Informasi dari beberapa warga saat ini P2KP memiliki rencana memfasilitasi pemasangan listrik dari PLN ke rumah-rumah penduduk Desa Gle Jong.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 68. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Gle Jong tahun 2003 dan 2005

uk Jumlah Rumah

air untu

Lampu Jal

mem

Fasil

Permanen Permanen Permanen

Sumber Air Bersih

Bahan b

2003 15 96 14 Ya 47 0 No Sumur Sumur Pribadi kayu bakar Acak

2005 N/A N/A N/A Tidak ada 00 No Sumur Sumur Pribadi kayu bakar N/A

Fasilitas MCK (mandi cuci kakus) sebelum selesainya rumah dari USAID masih berupa kamar mandi umum bantuan dari OXFAM. Air bersih didapatkan dari sumur yang ada di setiap rumah yang merupakan satu paket bantuan dari USAID. Air sumur sedikit payau dan menjadi tawar saat musim hujan. Masyarakat juga menggunakan air sumur tersebut sebagai air minum.

(2) Pendidikan

Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Gle Jong sebelum tsunami adalah sebuah SD Negeri. Namun setelah tsunami tidak ada fasilitas pendidikan lagi di Desa Gle Jong. Pada tahun 2006 sempat ada bangunan sementara SD untuk menggantikan SD yang lama. Namun bangunan tersebut kini sudah tidak digunakan lagi dan SD di pindahkan ke desa tetangga yang berjarak sekitar 4km. Pemindahan SD ke Desa tetangga atas alasan letaknya yang lebih strategis sehingga mudah dijangkau oleh murid- murid dari desa lain dan lebih dekat ke jalan utama. SD ini merupakan bantuan dari Pundi Amal SCTV.

Tabel 69 . Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Gampong Gle Jong

TK SD SMP SMA Sekolah Teknik Menengah Akademi/Universitas

kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

Swasta Negeri terde Jarak

--8-1---5--5--5- Meulaboh - 0 0 6.5 0 0 6.5 0 0 7.5 0 0 6.5 0 0 6.5 0

SMP, SMA dan STM terdekat berjarak ± 6,5km yang terletak di Pasar Lamno. Rusaknya jalan yang menghubungkan Lamno dan Meulaboh pasca tsunami sehingga perguruan tinggi yang mudah dicapai adalah perguruan tinggi yang ada di Banda Aceh. Terdapat satu orang warga Gle Jong yang meneruskan pendidikan perguruan tinggi ke Banda Aceh. Alasan memilik Banda Aceh sebagai tempat studi selain akses transportasi yang mudah juga pilihan perguaruan tinggi yang lebih banyak.

166 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Akses menuju Desa Gle Jong dari jalan utama Aceh Jaya berupa jalan aspal yang dapat dilalui kendaraan roda empat tidak mengalami kerusakan akibat tsunami. Jembatan yang menghubungkan Desa Gle Jong dan Desa Krueng Tunoh terputus akibat tsunami sehingga akses yang menghubungkan kedua desa secara langsung terputus.

Tabel 70. Akses dan sarana transportasi umum Gampong Gle Jong

Kendaraan Umum

Jenis

Akses

Jalan kendaraan Tahun

kendaraan Desa

Andong Sampan

Umum

Roda Empat

motor

boat Utama

Tidak 2003 Aspal

Tidak Ada

Roda empat

Tidak Ada

Ada becak motor

Ada

Sebelum tsunami kendaraan umum roda empat setiap sabtu minggu memiliki jadwal angkutan dari Desa Gle Jong ke pasar Lamno. Jadwal tersebut untuk mengakomodasi banyaknya wisatawan lokal yang berekreasi di pantai Gle Jong atau pun yang mengunjungi makam Sultan Ala’addin Riayatsyah. Sebaliknya jadwal angkutan ini dimanfaatkan penduduk Gle Jong untuk berbelanja ke pasar Lamno.

(4) Fasilitas Kesehatan

Sejak sebelum tsunami fasilitas kesehatan terdekat dari Desa Gle Jong adalah Puskesmas yang terdapat di pasar Lamno yang berjarak sekitar 6,4km. Pada tahun 2007 sebuah LSM internasional IMC International Medical Center memberikan fasilitas Puskesmas Pembantu (Pustu) di Desa Gle Jong. Namun demikian masyarakat Gle Jong cenderung untuk berobat langsung ke Puskesmas Lamno yang terletak di Pasar Lamno. Jadwal pelayan Puskesmas Lamno yang 24 jam serta lebih lengkap fasilitas dan obat menjadi alasan kecenderungan tersebut.

Tabel 71. Fasilitas Kesehatan di Desa Gle Jong Tahun 2003 dan 2005

Jumlah Jarak

Jarak Rumah

Jarak

Puskesmas/

Kemudahan Tahun

Kemudahan Rumah

Kemudahan

Terdekat Sakit

akses (km)

(km) Umum

(km)

Polindes

2003 0 88 mudah 0 88 mudah 0

7 mudah 2005 0 99.0 susah 0 99.0 susah

0 6.5 mudah

Catatan dari BPS menyebutkan bahwa pada tahun 2003 penyakit diare, campak, malaria dan inspeksi saluran pernapasan (ISPA) pernah mewabah di Desa Gle Jong. Penyakit diare dan ISPA mewabah kembali pasca tsunami pada tahun 2005.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 72. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005 Keluarga

Wabah penyakit yang pernah melanda

Kartu

Keluarga Keluarga

Memiliki

Balita Tahun

Keluarga

Tanda

Peserta Memiliki

Kartu

Malnutrisi Penduduk

Memiliki

KB KTPM (%)

Diare Campak

Malaria ISPA

berdarah

(KTPM) 2003 7

7 3 3 Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak 50 2005 0

0.0 0 0.0 Ya No Tidak No Ya N/A N/A

Jumlah penduduk yang memiliki Kartu Tanda Penduduk Miskin (KTPM) hanya sebesar 7% padahal jumlah penduduk miskin yang tercatat pada tahun 2003 adalah sebesar 63%. Hal ini mengindikasikan kurang lengkapnya saat pendataan dalam membuat KTPM. Meski jumlah keluarga miskin mencapai 63% tidak pernah terjadi balita dengan gizi buruk.

(5) Fasilitas Keagamaan

Seluruh penduduk Desa Gle Jong menganut agama Islam sehinga fasilitas ibadah agama selain Islam tidak dijumpai di desa ini. Setelah tsunami fasilitas ibadah yang tersisa hanyalah sebuah Mushalah. Saat ini pembangunan masjid sedang dilaksanakan dengan menggunakan dana swadaya masyarakat. Dengan dana yang terbatas tersebut bangunan masjid yang terbentuk masih beruoa dinding-dinding batu bata yang telah diplaster dengan semen.

(6) Sarana Komunikasi

Saat ini tidak terdapat sarana komunikasi di Desa Gle Jong karena terbatasnya fasilitas listrik yang ada. Namun demikian komunikasi saat ini menjadi lebih mudah dengan menggunakan telepon seluler. Sebelum tsunami hanya 28% penduduk yang memiliki televisi. Angka ini dapat dikaitkan dengan persentase keluarga miskin yang mencapai 63%.

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Kabupaten Aceh Jaya merupakan pemekaran dari Kabupaten Barat. Kabupaten Aceh Barat terbagi menjadi Kabupaten Aceh Jaya, Nagan Raya dan Aceh Barat. Pemerintahan tingkat desa dikepalai oleh seorang kheucik. Sama seperti desa-desa lain di Propinsi NAD kheucik yang memerintah pada periode segera setelah tsunami diangkat langsung melalui SK Bupati tanpa dilakukan pemilihan terlebih dahulu oleh warga. Kheucik yang diangkat tersebut pada umumnya adalah kheucik yang sudah ada dan diperpanjang periode kepemimpinannya kalaupun kheucik desa tersebut sudak tiada maka yang diangkat menjadi kheucik adalah aparat desa pada periode tersebut.

Pada tanggal 12 November 2007 telah dilaksanakan pemilihan kepala desa atau kheucik secara serentak di Kabupaten Aceh Jaya. Adapun susunan pemerintahan desa dapat diilustrasikan pada skema berikut:

168 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tuha Peut

Keuchik

Imum Meunasah

Bendahara

Sekretaris

Kaur Pemerintahan

Kaur Pemberdayaan

Kaur Kesejahteraan

KaDus Partomeurehom

KaDus Lhok Sukon

KaDus Kuta Alam

Gambar 100 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Gle Jong

Desa Gle Jong masuk dalam kemukimam Kuala Dayah dan Gle Jong lebih dikenal dengan sebutan Kuala Dayah. Kemukiman ini sendiri terdiri dari enam desa yaitu Gle Jong, Cot Darat, Rumpin, Nusa, Panton Makam dan Gampong Baro. Dua dusun yaitu Lhok Sukon dan Kuta Alam di Desa Gle Jong hilang akibat tsunami.

Unsur Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dikenal dengan istilah Tuha Peut yang terdiri dari : (1) Agama/ Ulama; (2) Pendidikan/ Cerdik Pandai; (3) Pemuda; dan (4) Pendidikan. Sedangkan unsur dari Badan Permusyawaratan tingkat kemukiman Kula Dayah atau Tuha Lapan yang berhubungan langsung dengan aktivitas harian penduduk Desa Gle Jong adalah Kepala mukim, Imum Mukim (ulama tingkat kemukiman), Aria Peukan (mengkoordinasi kegiatan pasar desa), Kejrung blang (mengkoordinasi kegiatan persawahan) dan Panglima Laot (mengkoordinasi kegiatan perikanan tangkap).

(2) Kelompok Sosial Kemasyarakatan

Beberapa kelompok atau organisasi yang ada dan pernah ada di Desa Gle Jong yaitu

Tabel 73. Kelompok sosial kemasyrakatan di Desa Gle Jong

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Kelompok petani sawah

Kerjasama panen, persiapan lahan

2. Kelompok petani kebun

Kerjasama panen, penentuan harga

3. Kelompok menjahit

Pelatihan menjahit dari sebuah LSM

4. Kelompok pengajian

Pengajian setiap malam Rabu danJumat

5. Kelompok pemuda

Kegiatan insidentil seperti gotong royong

6. Kelompok nelayan

Kerjasama dalam melaut Rehabiliatasi pesisir dan pemberdayaan

7. Kelompok Subur daya

ekonomi

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Masyarakat yang memiliki kesamaan profesi seperti petani sawah, kebun rempah dan nelayan membentuk suatu komunitas yang dirasakan perlu untuk mempermudah aktivitas mata oencaharian tersebut. Kelompok petani sawah dan nelayan dikoordinir dari tingkat kemukiman. Kelompok petani dikoordinir oleh Aria Peukan sedangkan nelayan oleh Panglima Laot dan ditingkat desa nelayan ini dikoordinir oleh Panglima Teupin (Panglima Laot tingkat desa). Namun saat ini kelompok petani sawah diperkirakan tidak akan ada lagi mengingat sudah hilangnya lahan persawah yang berubah menjadi rawa-rawa asin.

Kelompok perkebunan rempah saat ini sudah tidak ada lagi seiring dengan tidak aktifnya lagi perkebunan renpah-rempah dalam skala besar. Asosiasi petani remaph dirasakan sangat besar manfaatnya dalam mengontrol harga jual rempah diantara petani.

Kelompok menjahit terbentuk ketika ada program pelatihan menjahit dari sebuah LSM. Setelah pelatihan beberapa mesin jahit diberikan kepada beberapa orang perwakilan kelompok dengan harapan dapat digunakan untuk pengembangan usaha. Samapi saat ini belum ada lagi kegiatan dari kelompok menjahit.

Seluruh pemuda Desa Gle Jong merupakan anggota dari kelompok pemuda. Sifatnya hanya berupa asosiasi dengan struktur yang hanya memiliki ketua atau dikenal dengan istilah ketua pemuda. Ketua pemuda betanggung jawab untuk mengkoordinir keterlibatan pemuda dalam kegiatan-kegiatan seperti gotong royong desa, kenduri desa atau meredam konflik antar pemuda. Kelompok pemuda tidak memiliki kegiatan rutinan.

Kelompok pengajian sifatnya terbuka untuk seluruh warga Desa Gle Jong. Kelompok pengajian dikelola oleh pengurus masjid, mempunyai kegiatan rutin berupa pengajian setiap malam Rabu dan malam Jumat. Saat ini kelompok ini banyak diikuti oleh warga.

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Dalam kegiatan pertanian pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan terlihat saat persiapan lahan, pengelolaan modal usaha dan penjualan hasil panen, dimana laki-laki banyak berperan dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Perempuan banyak berperan dalam hal perawatan tanaman. Pada perikanan tangkap perempuan biasanya turut membantu dalam usaha pembuatan ikan asin dan sebagian kecil juga membantu menyortir ikan hasil tangkapan dari pukat pantai. Selebihnya kegiatan dalam perikanan tangkap dilakukan oleh laki-laki. Pada kegiatan penambangan pasir sama sekali tidak ada perempuan yang terlibat.

Pengelolaan keuangan rumah tangga sepenuhnya dikelola oleh perempuan. Baik usaha dalam bidang pertanian maupun perikanan tangkap Modal usaha sepenuhnya dikelola oleh laki-laki Pendapatan yang didapatkan

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Sampai dengan saat ini belum pernah ada perempuan yang menjabat sebagai kheucik ataupun menjabat aparat desa. Selain kurang lazimnya hal tersebut juga kecenderungan perempuan memang tidak mau terlibat dalam jajaran birokrasi desa.

Perempuan terlibat dalam rapat-rapat desa tidak ada pembatasan dalam mengemukakan pendapat. Pada tingkat desa biasanya dikenal adanya kelopmpok ibu-ibu PKK dibawah naungan pemerintahan desa akan tetapi tidak demikian dengan Desa Gle Jong. Kelompok ibu-ibu PKK seperti tidak ada keberadaannya.

170 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Pemberdayaan Perempuan

Kegiatan pemberdayaan perempuan yang pernah ada adalah pelatihan menjahit. Belum ada pelatihan tentang kepemimpinan ataupun berorganisasi untuk perempuan. Perempuan lebih tertarik pada pelatihan-pelatihan yang bersifat praktis atau aplikatif.

Setelah tsunami perempuan lebih aktif dalam bekerja sebagai contoh sebagian besar warga yang terlibat pada program pembuatan gorong-gorong/selokan dan jalan desa P2KP adalah perempuan. Jam kerja yang ditentukan jam delapan setelah perempuan menyelesaikan pekerjaan rumah dan selesai jam empat sore. Perempuan yang terlibat pada program P2KP biasanya menggantikan suami yang berhalangan masuk kerja ataupun perempuan adalah pekerja tetap dalam program P2KP tersebut dan suami memiliki pekerjaan lain. Perempuan tidak malu untuk melakukan pekerjaan yang merupakan pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki. Hasil wawancara dengan beberapa perempuan yang bekerja di program P2KP menyebutkan bahwa mereka tidak merasa malu karena diantara mereka sudah saling mengenal dan merasa sebagai bagian dari keluarga sendiri sehingga tidak malu lagi satu sama lain disamping itu adanya kebutuhan akan uang serta keinginan melhat perbaikan fasilitas-fasilitas desa.

f) Informasi terkait dengan Kegiatan Green Coast

Saat dilakukan kunjungan, telah dilakuakn pembentukan kelompok masyarakat dari kelompok yang telah ada.

• Nama-nama Kelompok yang dibentuk GC2: Subur Daya • Jumlah anggota perkelompok : Total 30 orang mewakili 30 KK. • Rencana rehabilitasi oleh kelompok: Daerah rawa-rawa dan pinggiran kuala akan ditanami

dengan mangrove dari jenis-jenis Rhizophora dan Sonneratia sedangkan wilayah pantai berpasir akan ditanami dengan tanaman hutan pantai seperti cemara dan waru. Wilayah pemukiman akan ditanami dengan tanaman buah yaitu rambutan.

• Rencana Pemberdayaan Ekonomi/Livelihood oleh kelompok: Kegiatan yang akan dikembangkan adalah penangkapan ikan di perairan pesisir dengan membeli sampan dan alat tangkap. Kegiatan lain yaitu peternakan itik yang akan dilakukan oleh anggota yang sebelum tsunami berprofesi sebagai petani.

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

a) Hasil penilaian kesesuaian lahan

Dalam survey ini, tim assessment melakukan penilaian terhadap lokasi-lokasi penanaman serta lokasi lain yang memeiliki prospek untuk kegiatan rehablitasi. Selain itu, identifikasi terhadap potensi dan kendala juga dilakukan sebagai pertimbangan dalam mendukung keberhasiln kegiatan di lapangan. Di bawah ini adalah infromasi dan hasil dari penialain kesesuian lahan di desa Gle Jong.

(1) Lokasi penanaman tanaman pantai

Secara umum, daya dukung lahan di pantai berpasir sangatlah rendah. Selain kondisinya yang masih labil, ancaman gelombang pasang dan gangguan ternak menjadi faktor penghambat yang sangat mengganggu jalannya kegiatan rehabilitasi di lapangan. Hal ini sesuai dengan temuan dilapangan bahwa sebagian besar areal di lokasi ini masih terbuka, tanpa tutupan vegetasi. Selain itu, banyak sekali dijumpai tunggak pohon yang terhampar di sepanjang pantai. Kondisi ini juga menjadi faktor penghambat dalam kegiatan rehabilitasi.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 101. Kondisi umum di areal sepanjang pantai berpasir Desa Gle Jong

(2) Lokasi penanaman mangrove

Berdasarkan observasi di lapangan, lokasi yang tersedian untuk penanaman mangrove relatif terbatas. Sebagian besar areal berlumpur yang ada pada rawa telah dikuasai oleh tegakan berembang dan berbagai jenis rumput terutama Typha angustifolia. Penanaman intensif di lokasi ini sebaiknya dihidnarkan karena kondisi penutupannya akan berkembang dengan sendirinya ke arah yang lebih baik. Namun dengan tujuan pengkayaan, penanaman beberapa jenis mangrove masih bisa silakukan namun dengan jumlah tertentu yang menyesuaikan dengan kondisi setempat.

Secara umum, lokasi yang sesuai untuk penanaman mangrove meliputi areal di sekitar genangan berat yang bersubstrat lumpur, seluruh areal genangan dangkal yang bersubstrat lumpur, sekeliling badan air di zona tangkap udang, dan areal disepanjang tepi sungai. Sementara lokasi yang tidak sesuai untuk penanaman mangrove adalah padang rumput bersubstrat tanah mineral dan rawa yang telah dikuasai oleh berembang dan vegetasi rawa lainnya.

Dengan melihat target kegiatan penanaman, tim assessment mengdentifikasi bahwasanya areal yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah bibit yang ditargetkan tertanam. Terkait dengan hal ini, perlu kiranya dilakukan rasionalisasi melalui pengurangan target penanaman mangrove. Jumlah bibit mangrove yang ditanam harus menyesuaikan dengan ketersediaan lahan yang ada di desa ini.

b) Identifikasi potensi

(1) Persepsi positif dari masyarakat

Sebagian besar masyarakat menunjukkan respon yang sangat positif terhadap kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di desa ini. Bahkan dalam hal tertentu, timbul sutu langkah proaktif dari masyarakat untuk lebih mengoptimalkan kegiatan. Salah satu bentuk proaktif ini antara lain penanaman stek waru yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Kegiatan ini merupakan wujud apresiasi dari masyarakat setelah mereka mendapatkan bantuan dari GC berupa tanaman buah-buahan.

Persepsi yang positif ini merupakan suatu hal yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan kegiatan. Dengan demikian diharapkan bahwa kegiatan yang sedang dilakukan dapat terselenggara dengan lancar.

(2) Ketersediaan benih atau anakan alam (wildling) berembang

Tegakan berembang Sonneratia spp yang tumbuh secara alami pasca Tsunami di sebelah utara desa (seberang sungai) merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan rehabilitasi mangrove di lokasi lain. Sebagian besar pohon berembang telah menghasilkan buah yang dapat diambil bijinya sehingga dapat menghasilkan bibit. Selain itu, anakan alam yang tumbuh di lantai tegakan juga dapat dipindahkan di lokasi lain yang masih terbuka.

172 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Zona tangkap udang sebagai salah satu alternatif lokasi penanaman mangrove

Survey yang dilakukan dilapangan menjumpai suatu zona atau areal yang belum dioptimalkan secara untuk kegiatan penanaman mangrove. Areal yang dimaksud adalah zona tangkap udang. Kesepakatan bersama masyarakat telah melarang seluruh aktifitas di lokasi ini karena dikuatirkan akan mengganggu habitat udang dan ikan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, substrat di lokasi ini sanat sesuai yaitu memiliki lapisan lumpur yang dalam. Kondisi hidrologis di areal ini juga sangat kondusif bagi pertumbuhan mangrove. Di areal ini, pengaruh air dari laut relatif lebih kuat dibandingkan di rawa mangrove karena memiliki akses yang cukup terbuka dengan muara sungai. Dengan kondisi demikian, beberapa jenis mangrove antara lain Rhizophora mucronata, R. mucronata, Avicennia marina memiliki peluang hidup yang cukup tinggi.

Gambar 102. Zona tangkap udang sebagai alternatif lokasi penanaman

(4) Tegakan berembang Sonneratia spp yang tumbuh secara alami pasca Tsunami di

c) Kendala dan faktor pembatas

(1) Dampak dari kegiatan penambangan pasir

Salah satu kegiatan yang mengganggu jalanya kegiatan rehabilitasi pantai di desa Gle Jong adalah penambangan pasir yang dilakuan secara ilegal. Berdasarkan informasi dari pendduduk, pasri ini dijual seharga Rp. 100.000 untuk setiap truknya. Selain itu, diharuskan bagi penambamng pasir untuk membayar biaya pengambilan sebesar Rp. 50.000,-. per truk, plus biaya pengambilan sebesar Rp. 50.000. Dari mekanisme ini, kegiatan ini dikatakan sebagai kegiatan illegal karena dana ini tidak masuk ke negara.

Gambar 103. Lokasi penambangan pasir

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Kendala pasang air laut

Salah satu faktor alam yang berpotensi mengancam tanaman di lokasi rehabilitasi adalah pasang air laut. Pasang purnama adalah wajtu dimana pasang air laut berada pada level maksimal. Pada saat tersebut, air laut meluber ke daratan dan menggenangi lokasi penanaman sehingga menyebabkan tanaman menjadi layu dan mati. Dampak terburuk dari pasang ini terutama bagi tanaman pantai terrestrial yang tidak memiliki toleransi terhadap air asin. Tidak hanya salinitas yang menyebabkan tanaman mati. Pasang purnama juga menyebabkan ombak yang cukup keras dan seringkali menerpa tanaman hingga roboh atau hanyut.

Sementara bagi tanaman mangrove, pasang purnama tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini mengingat tanaman mangrove memiliki toleransi terhadap salinitas. Di sisi lain, tanaman magrova yang ditanam berada di bagian belakang pantai berpasir sehingga dalam posisi yang relatif terlindung.

(3) Ancaman kerbau

Kerbau merupakan ancaman yang sangat serius bagi kegiatan rehabilitasi di lapangan. Hewan ini tidak hanya mengganggu tanaman yang ditanam di pantai berpasir, namun juga mengganggu tanaman mangrove yang ditanam di sekitarnya. Dalam kunjungan ini, tim menyempatan diri mengamati ternak ini secara langsung di lapangan. Dari pengamatan ini diketahui bahwa jumlah kerbau yang melintasi lokasi penanaman berkisar 80-100. Pola lintasannya pun berjalan teratur yaitu pada pagi hari saat berangkat mencari pakan dan sore hari pada saat mereka kembali.

Gambar104. Puluhan kerbau yang melintasi dan mengganggu lokasi penanaman

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Donor atau implementator beserta jenis bantuan yang dilaksanakan di Desa Gle Jong

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. Dinas Kehuatanan

Penanaman mangrove

selesai

2. Dinas Pekerjaan Umum (1) Pembangunan fisik: Pembuatan selokan dan jalan sekitar sedang berjalan rumah penduduk; (2) Santunan anak yatim piatu dan janda; (3) Bantuan modal usaha

3. IMC

Boat dan mesin tempel, Puskesmas, Toilet umum

selesai

4. OXFAM difasilitasi WIIP

Rehabilitasi ekosistem pesisir dan pemberdatyaan ekonomi

sedang berjalan

5. UNEP difasilitasi WIIP

Modal usaha

sedang berjalan

6. USAID difasilitasi CHF

Pembangunan rumah permanen tipe 36 dan sumur

selesai

sebanyak 44 unit

7. ADB

Tempat Pelelangan Ikan

sedang berjalan

8. AIPRD

Balai Nelayan

tahap perencanaan

9. OXFAM

Kamar mandi umum

selesai

10. BRR

Pelebaran jalan desa

berjalan separuh

174 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kegiatan rekosntruksi di Desa Gle Jong tidak ada yang secara langsung merusak ekosistem lahan basah pesisir dimana masyarakat sangat bergantung akannya. Tingginya kebutuhan akan pasir untuk mendukung upaya rekonstruksi memiliki dampak positif juga negatif bagi aspek sosial ekonomi Desa Gle Jong. Dari sisi pendapatan semakin tingginya intensitas penambangan akan memberikan penghasilan yang lebih bagi warga yang bekerja sebagai penambang pasir. Di sisi lain tingginya intensitas penambangan menyebabkan rusaknya ekosistem pesisir yang telah berakibat majunya garis pantai ke arah darat selajuh 1m. transportasi pasir juga menyebbkan beberapa ruas jalan desa mengalami kerusakan. Selain itu dana yang diberikan untuk kas desa sebesar Rp50.000/hari dirasa warga sangat tidak sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan. Hal tersebut mendatangkan pertentangan keras antara warga dengan pekerja bahkan hampir terjadi konflik fisik.

Dari sisi rekonstruksi lingkungan, teridentifikasi beberapa kegiatan yang telah dilakukan di Gle Jong yang mengarah kepada perbaikan kondisi vegetasi.

a) Penghijauan pantai melalui penanaman mengrove melalui GN-RHL

Program penghijuan pantai telah dilaukan oleh Dinas kehutanan Aceh Barat di desa ini melalui penanaman mengrove. Dalam program ini, jenis mangrove yang ditanam adalah Rhizophora mucronata. Bakau tersebut ditanam di areal-areal yang digenangi air, terutama di aeal rawa di belakang pantai berpasir. Penanaman ini dilakukan dengan jarak tanam yang rapat yaitu 1m x 1m, masing-masing diberi ajir. Kegiatan ini merupakan bagian dari program nasional yaitu GN-RHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan)

Gambar 105. Kondisi tanaman mangrove hasil program penghijauan pantai yang dilakukan Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Barat

Berdasakan pengamatan di lapangan, tim assessment menjumpai cukup banyak tanaman yang masih bertahan hidup. Namun demikan, banyak juga diantara tanaman tersebut yang mengalami kematian. Kematian bibit ini pada umumnya terjadi dikarenakan tanaman tersebut tidak mampu beradaptasi dengan kondisi di lokasi penanaman. Sebagian lainnya mengalami kematian karena terserang hama, baik tritip maupun ternak kerbau.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tim juga menjumpai kondis dimana tanaman mangrove terbenam oleh pasir sebagai akibat dari dinamiak pantai yang terjadi di lokasi penanaman. Dikuatirkan bahwa kondisi ini akan bertambah buruk sehingga timbunan yang terjadi akan semakin berat dan dapat menyebabkan kematian pada tanaman.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 106. Tanaman mangrove yang tertimbun pasir sebagai dampak dari dinamika pantai

b) Restorasi pesisir melalui program Green Coast Phase 2

Melalui program pesisir hijau (Green Coast) tahap kedua, program restorasi pesisir dilakukan di desa ini melalui dua kegiatan utama yaitu rehabilitasi pantai berpasri dan penanaman mengrove. Sebagaimana tertuang dalam kontrak kerjasama, total luasan yang direhabilitasi adalah seluas 75 hektar dengan jumlah bibit tertanam sebanyak 75.000. Di bawah ini adalah uraian perkembangan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di lapangan hingga November 2007

(1) Rehabilitasi pantai berpasir

Kegiatan ini dilakukan melalui penanaman pohon waru Hibiscus tiliaceus dengan teknik stek batang. Setidaknya, sebanyak 500 batang stek waru telah ditanam di zona belakang pantai berpasir. Lokasi ini dinilai paling tepat mengingat areal ini relatif telah stabil. Hal ini terbukti dengan adanya beberpa jenis rumput yang telah lebih merintis kehidupan di areal ini. Panjang stek yang ditanam rata-rata adalah 1.5 meter. Pada saat kunjungan dilakukan, beberapa stek telah memperlihatkan kemajuan yang baik yang ditandai dengan munculnya tunas atau bahkan daun baru sebagaimana terlihat pada gambar 8 di bawah ini.

Gambar 107. Letak plot-plot penanaman

Mengingat ancaman ternak kerbau yang berpotensi mengganggu tanaman, maka dilakukanlah pemagaran di sekeliling lokasi penanaman. Pemagaran ini dilakukan melalui pemberian pagar berduri sebanyak dua lapis di sekeliling lokasi penanaman. Secara umum, pemagaran ini telah menurunkan penetrasi ternak kerbau. Begitu kerbau menyentuh pagar berduri, mereka secara spontan menjauh dan menghindari. Namun demikian, beberapa kerbau masih berhasil masuk melalui rawa yang berada tepat di belakang lokasi penanaman. Masuknya kerbau ini terjadi mengingat pagar kawat di bagian belakang lokasi penanaman tidak terlalu rapat. Dampak yang ditimbulkan dari serangan kerbau ini pada umumnya robohnya batang stek karena ditabrak. Hal ini tentunya sangat mengganggu bagi kehidupan dan pertumbuhan stek waru. Bilamana kondisi ini tidak diatasi dengan segera, diuatirkan akan manggagalkan usaha penanaman stek waru yang telah dilakukan.

176 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Sebelumnya, penanaman bibit cemara Casuarina equisetifolia dan beberap jenis tanaman pantai lainnya di pantai berpasir telah dilakukan. Namun sayang, kegiatan ini berakhir dengan kegagalan. Kegagalan ini disebabkan oleh hantaman air asin yang terjadi saat pasang purnama.

(2) Penanaman mangrove

Jenis mangrove yang ditanam adalah jenis bakau Rhizohora mucronata. Hingga survey dilakukan, jumlah bibit total yang telah ditanam dilaporkan sebanyak 30.000. Penanaman lanjutan akan segera dilakukan setelah bibit di persemaian dinilai siap untuk ditanam. Penanaman ini dilakukan dengan menancapkan propagul bakau secara langsung di lokasi penanaman. Lokasi penanaman adalah areal kosong atau areal bervegetasi yang merupakan bagian dari ekosistem rawa. Di bawah ini adalah hasil pengamatan di lapangan terhadap kegiatan penanaman yang dilakukan di desa ini.

(3) Penanaman di sekeliling badan/genangan air yang dalam

Salah satu bagian rawa yang ditanami mangrove adalah areal disekeliling badan air yang dalam. Dalam kondisi ini, propagul ditanam di sekeliling badan air 2 hingga 4 baris, menyesuaikan dengan kondisi di lapangan. Penanaman di lakukan dengan jarak rapat yaitu 1 m 1 m. Pemberian ajir dilakukan pada setiap propagul yang ditanam agar berdiri tegak dan kokoh.

Gambar 108. Penanaman mangrove dilakukan di sekeliling badan/genangan air pada areal rawa

(4) Penanaman di genangan air dangkal

Penanaman bakau juga dilakukan di areal genangan yang dangkal. Kondisi ini memungkinkan untk melakukan penanaman di seluruh bagian dati genangan tersebut. Penanaman dilakukan dengan cara

menancapkan propagul secara langsung ke dalam substrat dengan jarak tanam yang rapat yaitu 1 m x 1 m. Setiap propagul yang ditanam diikat pada ajir yang terbuat dari bambu. Berdasarkan pengamatan di lapangan, prosentase tumbuh di lokasi dinilai cukup bagus yaitu seitar 70%. Namun berdasarkan pengamatan, sebagian ajir terlihat miring.

Berbeda dengan sebelumnya, substrat dilokasi ini lebih keras. Kandungan lumpur di lokasi ini sangat tipis yaitu sekitar 20 cm. Di bawahnya, susbtranya berupa tanah mineral yang cukup keras. Hal inilah

yang menyebakan ajir yang ditancapkan tidak kokoh.

Gambar 109. Penanaman di genangan air dangkal

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(5) Penanaman pada rawa berumput bersubstrat keras

Penanaman juga dilakukan pada padang rumput yang berada di sebelah selatan rawa. Jenis mangrove yang ditanam adalah sama yaitu Rhizophora mucronata. Jenis rumput yang tumbuh di lokasi ini adalah Cyperus tenuispica dan Scirpus maritimus. Berbeda dengan sebelumnya, lokasi ini tidak memiliki lapisan lumpur. Dalam hal ini, rumput tumbuh di atas tanah mineral yang cukup keras. Sebagai dampak dari substrat yang keras, sebagian besar propagul dan ajir hanya tertancam dangkal. Berdasarkan pengamatan di lapangan, banyak sekali propagul dan ajir yang roboh. Rata- rata, bagian propagul atau ajir yang tertancap ke dalam tanah tidak lebih dari 3 cm. Dengan kondisi demikian, sedikit sentuhan akan berkibat pada miring atau robohnya propagul. Berdasarkan perkiraan kasar, prosentase tumbuh tanaman berkisar antara 50-60%.

Gambar 110. Kondisi tanaman bakau di rawa berumput

(6) Penanaman disela-sela typa /rumput dan berembang

Persiapan lahan yang dilakukan sebelum penanaman dilakukan adalah penebasan rumput-rumput yang ada di sepanjang jalur tanam. Bahkan di beberapalokasi, penebasan dilakukan secara menyeluruh. Penanaman dilakukan dengan cara menancapkan propagul bakau secara langsung ke dalam substrat. Untk memperteguh posisi propagul, setiap propagul yang ditanam diikat pada ajir yang terbuat dari bambu. Berdasarkan pengamatan di lapangan, diketahui bahwa substrat pada lokasi ini adalah tanam lumpur dengan genangan yang cukup ideal yaitu berkisar 20-40 cm. Dominasi typa dan beberapa jenis lainnya mengindikasikan bahwa air di rawa ini cenderung tawar.

Gambar 111. Bakau yang ditanam di sela-sela rumput embet Typha angustifolia dan rumput air Pada saat kunjungan dilakukan, kondisi areal sudah seperti seperti sediakala dalam artian bahwa

rumput yang ditebas sekarang telah tumbuh kembali, bahkan lebih lebat. Sekilas, akan sulit bagi seseorang untuk menemukan tanaman bakau di sela-sela dominasi typa dan rumput lainnya. Berdasarkan laporan dari staf lapangan, prosentase tumbuh tanaman sekitar 70%. Sebagian besar propagul telah mengeluarkan tunas atau bahkan beberapa helai daun.

178 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Melihat tutupan vegetasi yang sangat rapat, akan sangat sulit sekali untuk melakukan pemantauan. Secara teknis, dominasi rumput akan menghambat pertumbuhan tanaman bakau. Oleh karena itu, penebasan rumput menjadi salah satu alternatif untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Namun disisi lain, penebasan ini akan dikuatirkan akan berdampak buruk terhadap satwa. Hal ini mengingat banyaknya satwa liar yang menjadikan areal ini sebagai habitatnya. Oleh karena itu, perlu dipikirkan alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan ini.

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi Lahan Basah

Terjadinya tsunami telah menggeser garis pantai di desa glejong hingga sekitar 300 m ke arah darat. Kejadian tersebut juga menjadikan laguna yang semula ada sejajar dengan garis pantai menjadi hilang. Dalam kurun waktu 3 tahun setelah kejadian tsunami, dapat diamati adanya rona baru ekosistem lahan basah pesisir dengan kesetimbangan yang diduga cukup baik. Meskipun dalam jumlah populasi yang tidak besar, spesies hidupan liar yang ditemui cukup banyak.

Rawa dan jalur sungai di dekat pantai merupakan kawasan yang cukup produktif dan diusahakan dengan baik oleh masayarakat. Penangkapan udang dengan jaring tangkul (lift net) banyak dilakukan. Usaha ini menjadi alternative ketika usaha perikanan laut masih terkendala antara lain karena kurangnya alat tangkap. Bantuan perahu yang pernah didapat, sebagian kurang bagus kualitasnya dan akhirnya tidak terpakai.

Rawa-rawa ini jugs merupakan lahan basah denga potensi remediasi yang baik. Salah satu proses phyto remediasi adalah Rhizofiltration yaitu penggunaan tumbuhan baik terrestrial maupun akuatik untuk menyerap, mengumpulkan dan mempresipitasikan kontaminan dari sumber kontaminan cair dengan konsentrasi rendah pada akar tumbuhan tersebut. Rhizofiltration dapat secara parsial mengolah buangan industri, buangan limpasan proses budidaya pertanian atau drainase tambang yang asam. (Ghost & Singh, 2005).

Lin (2003) dalam Alvares, 2006, mempelajari deklorinasi dari senyawa 1,2,3,4-TeCB dalam bahan organic dan tanah mineral juga dalam sedimen yang dilekati dengan akar dari tumbuhan Typha latifolia. Hasilnya menunjukkan bahwa akar tanaman mempunyai peranan dalam meningkatkan keanekaragaman komunitas mikrobia yang mempunyai kontribusi pada peningkatan aktivitas biodegradasi. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam jalur deklorinasi antara perlakuan dengan akar dan tanpa akar, kinetika deklorinasi meningkat sejalan dengan penambahan jumlah akar, hal ini mengidikasikan bahwa materi-materi pada akar Typha banyak membantu biodegradasi dari senyawa chlorobenzenes.

Kemampuan remediasi di lahan rawa ini menjadi penting terutama jika kelak sawah-sawah yang ada telah kembali diusahakan. Sawah-sawah ini merupakan pengekspor dari pestisida dan residunya ke perairan bebas. Dengan kemampuan remediasinya ini kondisi perairan bebas dapat terbantu untuk mengurangi tekanan akibat pencemaran pestisida.

Selain kemampuan phyto remediasinya, tumbuhan Typha dengan rumpun yang demikian rapat merupakan tempat perlindungan bagi banyak species hewan. Dengan demikian lahan rawa ini harus dipertahankan. Ide untuk membersihkan atau membabat tumbuhan Typha tersebut kiranya bukan ide yang cukup baik.

Sawah sebenarnya merupakan lahan basah yang cukup dominant di Desa Glejong dan sekitarnya. Di masa sebelum tsunami, kontribusi dari sector pertanian sawah ini cukup besar bagi perekonomian masyarakat Desa Glejong. Sampai dengan 3 tahun setelah tsunami belum terlihat adanya kegiatan rehabilitasi lahan pertanian terutama sawah-sawah tersebut. Mengingat peranannya dalam perekonomian masyarakat, rehabilitasi sawah dan sarana pendukungnya layak mendapat perhatian.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Isu yang cukup kritis adalah adanya penambangan pasir di pantai Desa Glejong. Isu kritis pertama menyangkut penambangan pasir ini adalah resiko ekologi dari kegiatan penambangan pasir ini. Hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti kuota dari penambangan dan apakah sudah dihitung volume maksimal dari pasir yang bisa ditambang di tempat tersebut. Besar kemungkinan, perhitungan dan analisis tersebut tidak dilakukan. Pengambilan pasir secara tidak terkontrol beresiko pada kesetimbangan sedimen di pantai. Dalam jangka panjang dapat berakibat pada perubahan morfologi pantai yang merugikan dan sulit untuk dikembalikan seperti keadaan semula.

Isu kritis kedua terkait dengan penambangan pasir adalah munculnya anggapan di masyarakat bahwa kegiatan tersebut hanya menguntungkan sebagian kecil pihak tertentu saja. Kontribusi dari kegiatan penambangan tersebut untuk desa misalnya, masih dianggap terlalu kecil. Operator penambangan yang notabene adalah orang-orang yang pernah berseberangan dimasa konflik menjadi faktor yang menyulitkan untuk pengaturan penambang pasir ini meskipun cukup alasan baik secara social ekonomi maupun secara ekologi untuk mengatur penambangan ini.

lokasi survei disarankan untuk lahan rehabilitasi dan perbaikan konstruksi tambak. Rehabilitasi pantai dengan tanaman khas pantai sepeti cemara, waru, dan kelapa, tetapi sebelum tanaman dewasa harus diperlihara dengan penyiraman di musim kemarau dan dijaga dari ternak sapi. Untuk pengembangkan pertanian bisa saja dilakukan pada wilayah dataran yang bebatasan dengan perbukitan.

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

Di bawah ini adalah beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat mendukung keberhasilan restorasi pesisir di desa Gle Jong.

1. Penyesuaian target penanaman berdasarkan daya dukung lingkungan Berdasarkan hasil penialian kesesuaian lahan, diketahui bahwa areal yang tersedia untuk rehabilitasi

tidak sebanding dengan volume bibit yang ditargetkan. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan penyesuaian target kegiatan. Penyesuaian ini bisa berupa pengalihan tanaman mangrove menjadi tanaman pantai atau tanaman buah-buahan yang bisa ditanam di sekitar desa.

2. Stok bibit di persemaian untuk penyulaman di lokasi penanaman yang sesuai Saat ini, terdapat ribuan bibit mangrove telah tersedia di persemaian. Namun secara teknis, areal baru

yang prospektif sudah tidak memungkinkan, kecuali di zona tangkap ikan yang berdasarkan kesepakatan masyarakat tidak diijinkan untuk ditanami. Terkait dengan hal ini, sangat direkomendasikan untuk memanfaatkan bibit tersebut untuk keperluan penyulaman. Namun demikian, penyulaman sebaiknya di fokuskan pada areal yang sesuai yaitu yang bersubstrat lumpur dengan karakteristik hidrolohgis yang optimal. Penyulaman di areal berumput yang bersubstrat mineral dan rawa yang didominasi tumbuhan rawa dan berembang sebaiknya tidak dilakukan.

3. Pengayaan jenis mangrove Mengacu pada komitmen yang tercantum dalam kontrak kerjasama, pelaksana direkomendasikan

untuk memperkaya jenis mangrove. Pengayaan jenis ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai biodiversitas lokasi sehingga areal pertambakan yang ditanami nantinya tidak akan menjadi tegakan yang homogen. Di bawah ini adalah beberapa jenis dinilai memiliki kesesuain dengan kondisi lapangan di Desa Gla Jong sebagai berikut:

• Api-api Avicennia marina : sebaiknya ditanam di sepanjang alur-alur air alami terutama yang lebih dekat dengan laut

180 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Tanjang Bruguiera cylindrica, Bruguiere gymnorrhizha : sebaiknya ditanam di seanjang sauran air di sekitar tambak. Lokasi penanaman sebaiknya difokuskan ada lokasi yang menjauhi laut atau mendekati air tawar.

• Berembang Sonneratia alba : sebaiknay ditanam di tepi seungai atau areal terbuka bersubstrat lumpur di rawa.

4. Pengendalian hama ternak Langkah-langkah yang dapat dilaksanakan agar ternak kerbau tidak mengganggu tanaman adalah

sebagai berikut:

5. Melakukan pengawasan dan perlingungan secara teratur. Untuk merealisasikan hal ini, perlu kiranya dilakukan pengaturan di dalam kelompok. Setiap anggota

memiliki jadwal untuk melakukan pengawasan dan perlindungan di lokasi penanaman. Pengawasan ini sebaiknay difokuskan pada pagi dan sore hari.

6. Membangun gubug untuk menunjang kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh anggota kelompok

Memasang pagar berduri di bagian belakang lokasi penanaman. Hal ini perlu dilakukan mengingat kerbau sering masuk dari arah belakang melalui rawa.

7. Penataan batas lokasi penanaman Dalam rangka memudahkan operasional di lapangan, monitoring dan pengawasannya, perlu

dilakukan penataan batas yang jelas di lokasi penanaman. Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda (pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman antara lain: luas lokasi penanaman, pelaksana penanaman, jenis bibit yang ditanam, tanggal penanaman, dan beberapa informasi penting lainnya.

8. Pemanfaatan anakan alam dan benih berembang Ketersediaan benih dan anakan berembang dapat dimanfaatkan untuk mendukung rehabilitasi di

areal sekitarnya. Buah yang dihasilkan pohon berembang dapat diekstrak sehingga menghaslkan benih untuk kemudian dibibitkan di persemaian. Sementara itu, anakan alam yang banyak dijumpai di lanati tegakan dapat diambil dengan alat corer dan langsung dipindahkan di lokasi lain yang lebih membutuhkan (terbuka).

F. KRUENG TUNONG

1. Profil Umum Lokasi

Desa Krueng Tunong yang terletak di wilayah Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Jaya merupakan salah satu desa di sepanjang pesisir barat Aceh yang mengalami kerusakan hebat akibat tsunami. Hampir seluruh dataran di sisi utara hancur dan Desa Ujong Seduen yang beratasan dengan Krueng Tunong di bagian utara kini berubah menjadi pulau yang terpisah sama sekali dari daratan dan tidak lagi berpenghuni. Terbentuknya pulau yang terpisah serta beting-beting pasir menjadi potensi yang sangat menarik bila dikembangkan untuk wisata kemah.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Juni 2003

Juni 2005

Gambar 112 Foto udara Muara Krueng Tunong sebelum tsunami (Juni 2003, kiri) dan setelah tsunami

(Juni 2005, kanan) Sumber foto: Laporan ADB-ETSP

Perjalanan dari Banda Aceh menuju Desa Krueng Tunong dapat ditempuh dengan perjalanan darat kendaraan roda empat sekitar tujuh jam perjalanan. Secara geografis Desa Krueng Tunong terletak pada posisi 5° 6' 43.56" N 95° 18' 43.27" E dengan batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ujong Seduen • Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Panton Makmur • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Panton Makmur • Sebelah Barat berbatasan dengan Bukit Temiga

182 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Desa Krueng Tunong berada di lembah sungai Kr. Tunong. Desa tersebut berada pada sebuah cekungan yang sisi utara dan timurnya berupa pegunungan. Daerah cekungan merupakan daerah endapan dengan system lahan Kahayan (KHY) yang merupakan gabungan anatar endapan sungai dan endapan muara. Gunung-gunung di sisi utara dan timur merupakan bagian dari system lahan Gunung Gadang (GGD) yang merupakan punggung-punggung gunung ber-karst yang sangat panjang dan berada di atas marmer dengan batuan penyusun atau mineral dominant berupa pualam dan batu gamping.

Berdasarkan citra satelit pada saat sebelum tsunami, pesisir desa Krueng Tunong tersusun atas tanjung, sungai, areal pertambakan, semak belukar dan areal pemukiman, Gempa bumi yang kemudian memicu gelombang Tsunami telah menghancurkan pesisir desa ini. Tanjung yang dahulu merupakan bagian dari daratan kini telah terpisah dan menjadi pulau kecil. Sementara itu, daratan yang dahulu berada di tepi pantai kini telah hancur total dan telah menjadi bagian dari laut. Areal pertambakan di barisan depan, saat ini telah tertimbun oleh pasir dan berubah menjadi pantai berpasir. Di barisan belakang, areal pertambakan juga mengalami kerusakan yang sangat parah.

2. Tipologi Lahan Basah

a) Ekosistem Lahan Basah

E : Pantai Berpasir Garis pantai di desa krueng Tunong mundur sangat jauh. Berada di belakang pasir penghalang pasir

adalah cekungan yang sebagian merupakan bekas-bekas tambak. Rencana masyarakat adalah menjadikan lokasi tersebut sebagai areal penanaman kelapa dan tanaman pantai.

F : Estuari Sama halnya dengan garis pantainya, muara sungai Kr Tunong mengalami perubahan morfologi. Jika

semula terbentuk aliran yang sejajar dengan pantai, saat ini muara sungai terbuka tepat di sisi gunung.

1 : Aquaculture Tambak merupakan lahan basah yang cukup dominant di Desa krueng Tunong. Tambak-tambak

tersebut dibangun di pantai tepat di belakang aliran sungai. Tambak yang lain dibangun di sepanjang tepi sungai dan mengambil air langsung dari sungai. Tambak-tambak di tepi pantai saat ini sebagian besar sudah hilang dan sebagian kecil lainnya rusak parah.

3. Profil Vegetasi

Bencana Tsunami telah merubah bentang lahan di pesisir Desa Kureng Tuning juga menyebabkan perubahan tutupan lahan. Sesaat setelah tsunami, sebagian besar vegetasi yang ada di pesisir hancur total. Suksesi dan dinamika vegetasi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir telah membentuk suatu ekosistem menuju dalam keseimbangan. Tambak di barisan depan yang telah tertimbun pasir kini telah berkembang menjadi areal terbuka bervegetasi jarang yang ditumbuhi oleh beberapa tumbuhan pionir antara lain Cyperus maritime, Ipomea pes-caprae, Desmodium umbellatum dan Pongamia pinnata dan beberapa jenis lainnya. Tepat di belakang zona ini, telah berkembang suatu tipe vegetasi semak yang dihuni oleh berbagai jenis tumbuhan herba dan semak. Sementara di belakang semak, dijumpai suatu alur sungai yang membatasi tipe vegetasi semak dengan areal pertambakan milik masyarakat. Secara umu, profil vegetasi di pesisir desa Krueng Tunong dapat dilihat melalui profil melintang berikut ini.

184 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Keterangan :

A = Hutan pantai B = Padang rumput muda C = Semak Belukar D = Vegetasi di sekitar pertambakan

Gambar 113. Cross section yang menggambrkan profil pesisir desa Krueng Tunong Paragraf di bawah ini adalah penjelasan masing-masing tipe vegetasi yang ada di pesisir desa Krueng

Tunong.

a) Hutan Pantai

Hutan pantai di Desa Krueng Tunong ini tumbuh di atas suatu bukit yang langsung berhubungan dengan laut. Karena berada di bukit, maka sebagian besar arealnya terhindar dari kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang Tsunami. Meskipun demikian, semua tumbuhan yang berada di kaki bukit tetap terkena dampak gelombang Tsunami. Pada saat survey dilakukan, vegetasi yang terdegradasi tersebut telah pulih dan berkembang seperti sedia kala.

Dari pengamatan yang dilakukan, hutan pantai ini dinilai meiliki potensi keanekaragaman hayati tumbuhan yang cukup tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dari tingkat rumput, herba, semak, palem hingga pohon dapat dijumpai disini. Beberapa jenis palem yang paling umum dijumpai di hutan pantai ini antara lain Kelapa Cocos nucifera, Aren Arenga pinata, Rotan Calamus spp., dan Serai Caryota mitis. Sementara itu, berbagai jenis tumbuhan herba seperti Biduri Calatropis gigantea, Kayu Tulang Clerodendrum inerme, Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, Seruni Widelia biflora, ketepeng Senna alata, senduduk Melastoma candidum, dan Piper aduncum juga mudah dijumpai. Di kaki bukit terutama di sepanjang jalan, banyak sekali dijumpai tanaman gamal Glirichidia sepium dan kuda-kuda Lannea caromandelica. Kedua jenis ini sengaja ditanam masyarakat sebagai tanaman pagar.

Gambar 114. Kondisi vegetasi di hutan pantai

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Hutan pantai ini juga memiliki beraneka macam jenis pohon. Pengamatan yang dilakukan di lokasi ini mengidentifikasi beberapa jenis pohon yang memiliki potensi secara ekonomis antara lain Ketapang Terminalia cattapa, Alstonia macrophylla, Waru Hibiscus tiliaceus, Nyamplung Callophyllum inophyllum, dan Hernandia peltata. Selain itu, dijumpai pula beberapa jenis pohon yang sangat disukai oleh satwa bahkan seringkali di jadikan sebagai habitatnya antara lain Ara Ficus spp., Macaranga tanarius, Mahang Macaranga Gigantea, Caesalpinia crista, Peltophorum pterocarpum, Commersonia bartramia, dan Trema orientalis.

b) Padang rumput muda

Sesuai dengan namanya, formasi ini didominasi oleh beberapa jenis rumput yang merupakan vegetasi perintis sekaligus berperan sebagai pembuka bagi jenis tumbuhan lain untuk tumbuh. Berdasarkan pengamatan di lapangan, rumput ini tumbuh dari arah belakang dan bergerak perlahan- lahan ke arah depan. Tumbuhan ini akan berhenti bergerak apabila kondisi substratnya belum memungkinkan baginya untuk tumbuh dan berkembang. Labilnya substrat yang ditandai dengan masih berlangsungya erosi angin merupakan salah satu faktor utama yang membatasi tumbuhnya vegetasi.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tim menumpai beberapa jenis tumbuhan herba di antara rerumputan antara lain Biduri Calatropis gigantea, Kayu Tulang Clerodendrum inerme, Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, Seruni Widelia biflora, Eluisine indica, Paspalum spp., dan Zoysia matrella.

Gambar 115. Kondisi padang rumput muda di sepanjang pantai berpasir

Dengan pertimbangan bahwa kondisi substratnya telah kondusif, maka lokasi yang telah ditumbuhi vegetasi ini sangat disarankan sebagai target dari kegiatan rehabilitasi pantai berpasir. Penanaman sebaiknya dilakukan dari arah belakang ke depan dengan memprioritaskan areal yang telah ditumbuhi oleh rumput atau herba lainnya.

Di beberapa titik, telah dijumpai herba Ipomea pes-caprae namun dalam jumlah yang masih sangat terbatas. Diprediksi bahwa padang rumput muda ini akan mengelami dinamika dan berkembang ke arah formasi Pes-caprae.

c) Semak belukar

Diprediksi bahwa semak belukar ini merupakan hasil perkembangan dari formasi Pes Caprae. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sebelum semak belukar terbentuk, areal ini berupa formasi Pes-caprae. Hal ini senada dengan temuan dilapangan dimana herba menjalar ini (Galaran Ipomea pes caprae) mendominasi penutupan lahan. Beberapa jenis tumbuhan herba lain yang umum dijumpai di lokasi ini antara lain Erechtites valerianeaefolia, Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, Indigofera suffruticosa, putri malu Mimosa pudica, Mimosa pigra, Lantana camara, Physalis minima, dan Turnera ulmifolia. Selain jenis tumbuhan herba, terdapat juga beberapa tumbuhan semak di lokasi ini antara lain Ketepeng Senna allata, Desmodium umbellatum, Abutilon hirtum, Seruni Widelia biflora, Flemingia strobilifera, dan Abroma mollis.

186 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 116. Flemigia strobilifera (kiri) dan Piper aduncum (kanan); jenis semak yang umum dijumpai di lapangan

Selain jenis tumbuhan semak, beberapa jenis belukar dan pohon juga umum dijumpai di lokasi ini antara lain Caesalpinia crista, Peltophorum pterocarpum, Commersonia bartramia, dan Trema orientalis. Pada umumnya, Trema orientalis dan Commersonia bartramia mendominasi penutupan di areal sepanjang tepi sungai. Tumbuhan berkayu ini tersebar secara sporadis di sela-sela semak. Sementara itu, beberapa jenis climber plant terutama Mirremia hirta, Mikania micrantha dan Tetracera scadens tidak jarang dijumpai merambat pada ranting atau cabang.

d) Vegetasi di sekitar tambak dan alur air

Tambak di desa Krueng Tunong memiliki bentuk dan model yang dinilai sesuai untuk kegiatan silvofishery. Pada tambak ini, bagian terdalam berada di sekeliling tepi tambak, sementara bagian tengahnya berupa daratan yang kering. Ukuran tambak sangat beranekaragam namun rata-rata semuanya berbentuk persegi panjang dengan lebar 10-15 meter dan panjang 20-30 meter. Pada bagian daratan, baik di dalam tambak maupun di pematang tambak, penutupan lahan dikuasai oleh jenis rumput. Namun demikian, dijumpai pula beberapa jenis tumbuhan herba antara lain seperti Ipomea pes caprae, Erechtites valerianeaefolia, Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, Indigofera suffruticosa, dan putri malu Mimosa pudica. Selain jenis tumbuhan herba, beberapa jenis pohon terutama Commersonia batramia, Trema orientalis, dan Peltophorum pterocarpum dapat dijumpai secara sporadis.

Gambar 117. Kondisi vegetasi di sekitar tambak dan saluran air

e) Vegetasi di sekitar desa

Tipe vegetasi ini mengacu pada seluruh tumbuhan yang berada di sekitar desa meliputi halaman, pekarangan rumah, areal kosong, dan areal di sepanjang jalan. Pada umumnya, jenis tumbuhan yang ada di pekarangan dan halaman rumah meruakan tanaman hasil penanaman masyarakat antara lain kelapa Cocos nucifera, Kresen Muntingia calabura, Lamtoro Leucana leucachepala, Mangga Mangifera indica, Trema orientalis, Ketapang Terminallia cattapa, Gamal Glirichidia sepium, Belimbing wuluh Averrhoa bilimbi, sawo kecik Manilkara kauki. Diantara jenis-jenis tesebut, tanaman kelapa adalah yang paling banyak di jumpai.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Sementara di areal terbuka yang berada di sekitar desa, jenis tumbuhan yang umum dijumpai adalah tumbuhan liar antara lain ketepeng Senna allata, pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, Seruni Widelia biflora¸ Desmodium umbellatum, Crotalaria spp., dan Indigofera suffruticosa, dan Moghania involucrata.

Di lokasi ini, dampak Tsunami tidak seberat dibandingkan kerusakan yang terjadi di lokasi yang lain. Hal ini terjadi karena desa Krueng Tunong terletak tepat di belakang bukit sehingga terhindar dari hantaman ombak secara langsung. Bentuk kerusakan dan degradasi yang terjadi lebih banyak diakibatkan oleh tergenangnya vegetasi oleh air asin sehingga menjadi layu dan mati.

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan hanya sangat singkat pada tanggal 12 November 2007, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: 2 jenis mamalia, 32 jenis burung, serta dua jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Dua jenis mammalia, ditemukan, yaitu: Kera-ekor panjang Macaca fascicularis, Babi hutan Sus sp..

b) Avifauna

Dari 32 jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini, 11 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Jenis yang dilindungi berasal dari kelompok burung air (3 jenis kuntul), kelompok burung pemangsa (2 jenis), kelompok raja-udang (3 jenis), rangkong (1 jenis), serta kelompok burung madu (2 jenis).

Satu jenis, yaitu Bangau tongtong Leptoptilus javanicus merupakan jenis yang terancam kepunahan secara global, dengan kriteria Vulnerable/rentan (IUCN, 2006). Jenis bangau lain, yaitu Bangau Bluwok juga diinformasikan oleh masyarakat setempat, namun tidak teramati perjumpaan dengan spesies ini.

Tabel 74. Jenis Burung yang Dilindungi yang ditemukan di Krueng Tunong

No Nama Indonesia Nama Ilmiah Nama Inggris Status

1 Kuntul besar

E. alba

Great Egret

2 Kuntul kecil

E. garzetta

Little Egret

3 Kuntul karang

Egretta sacra

Pacific Reef-egret

4 Elang Bondol

Haliastur Indus

Brahminy Kite

P, App II

5 Elang-ular bido

Spilornis cheela

Crested Serpent-eagle

P, App II

6 Raja-udang meninting

Alcedo meninting

Blue-eared Kingfisher

7 Pekaka emas Pelargopsis capensis Stork-billed Kingfisher P

8 Cekakak sungai

Halcyon chloris

Collared kingfisher

9 Kengkareng perut-putih

Anthracoceros albirostris

Oriental Pied Hornbill

P, App II

10 Burung-madu kelapa

Anthreptes malacensis

Plain-throated Sunbird

11 Burung-madu sriganti Nectarinia jugularis Olive-backed Sunbird P

Keterangan :

P = Dilindungi, menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 (Noerjito & Maryanto, 2001). App. II = Appendix II, Kriteria perdagangan jenis satwa yang diatur dalam CITES (Convention on International

Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna, UNEP-WCMC, 2007).

188 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 188 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dua jenis satwa dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, yaitu: Kadal Biasa Mabuya multifasciata, dan Biawak Varanus salvator.

5. Tanah dan Pertanian

Lokasi Krueng Tenong mempunyai lahan yang cukup luas, dari garis pantai menuju dataran ke arah timur perbukitan cukup jauh, ditinjau dari sumbera daya alam Krueng Tenong cukup berpotensi untuk pengembangan pertanian maupun perikanan.

1. Bagian sepanjang pantai Pada bagian sepanjang pantai mempunyai tanah Typic Psammaquents (Regosol), berpasir kasar,

sangat dalam, salin, drainase sangat terhambat. Bentuk wilayah datar, lereng 0-1 persen. Wilayah ini selalu terkena pasang surut air laut. Penggunaan lahan wilayah ini merupakan lahan terbuka hampir tidak bervegetasi (lahan pasir terbuka)

Potensi lahan. Dapat dikembangkan untuk lahan rehabilitasi pantai seperti cemara, waru dll ataupun dengan tanaman kelapa.

2. Bagian belakang pantai Pada bagian belakang pantai terdapat lahan tambak dengan tanah Typic Sulfaquents (Gleisol),

berlempug, dalam, agak salin, drainase sangat terhambat. Bentuk wilayah datar, lereng 0-1. Penggunaan lahan wilayah ini sebagian besar tambak dan sebagian lagi belukar rawa.

Potensi lahan. Dapat direbabilitasi untuk lahan tambak akan tetapi terdapat permasalahan pasokan air tawar.

Kesesuai lahan. Pada bagian sepanjang pantai dan rawa belakang pantai, secara umum tanah- tanahnya tidak sesuai (N) untuk pengembangan pertanian dengan faktor pembatas, kondisi tanah berpasir, dan potensi sulfat masam.

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Keberadaan Goa Temiga merupakan primadona tersendiri bagi penduduk Krueng Tunong, meski sarang walet yang ada di bukit Temiga dikelola oleh Pemda Kabupaen Aceh Jaya melalui unit-unit usaha sejenis CV. Penduduk juga mendapat kesempatan untuk memanen walet di goa tersebut setiap tiga bulan sekali selama satu minggu sisa dari panen yang telah dilakukan oleh CV. Penghasilan yang didapat dari memanen sarang walet dapat mencapai Rp 600.000,- /orang setiap panen selama satu hari satu malam.

Posisi Desa Krueng Tunong yang terletak di kaki bukit di sisi barat serta daerah muara Krueng Tunong berupa rawa-rawa mangrove di sisi utara sangat mendukung penduduk untuk mengembangkan berbagai jenis mata pencaharian seperti tambak, nelayan pantai, pertanian, pengumpul sarang walet dari bukit Temiga dan ternak kerbau/kambing.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(1) Populasi

Hasil pendataan BPS menunjukkan adanya pengurangan drastis jumlah penduduk antara tahun 2003 dan 2005 yang diakibatkan bencana tsunami yaitu sebesar 33% dari 634 jiwa menjadi 425 jiwa. Hasil pendataan penduduk oleh CHF pada tahun 2007 untuk keperluan pembangunan bantuan rumah mendapatkan angka pertumbuhan populasi meningkat dari tahun 2005 ke tahun 2007 yang mencapai 53%. Kondisi tersebut juga umum terjadi di desa-desa yang terkena tsunami yaitu menikah lagi dengan penduduk dari desa lain dan bertempat tinggal di Desa Krueng Tunong atau pasca konflik banyak penduduk yang kembali ke desa asal.

Tabel 75. Populasi penduduk Desa Krueng Tunong dan Kecamatan Jaya tahun 2003 dan 2005

Populasi Kepadatan Penduduk Tahun

Jumlah KK Laki-laki Perempuan Total

(ind/ km2) Desa Krueng Tunong

Kecamatan Jaya

N/A 4,760

Jumlah perempuan yang menurun drastis dari tahun 2003 ke tahun 2005 sebagai akibat dari Tsunami dimana jumlah korban perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Secara umum penduduk Desa Krueng Tunong dan Kecamatan Jaya menurun drastis pasca tsunami seperti diilustrasikan pada grafik berikut:

Desa Krueng Tunong Kecamatan Jaya X 10

Perempuan Laki-laki

Gambar 118 Grafik pertumbuhan penduduk tahun 2003 dan 2005 Kepadatan penduduk Desa Krueng Tunong saat ini tidak terdata, namun secara kasat mata dapat

dilihat bahwa pemukiman di Desa Krueng Tunong sangat padat selain dikarenakan pertambahan penduduk penduduk, sekitar tiga hektar wilayah Desa Krueng Tunong yang tersisa pasca tsunami dihibahkan untuk pemukiman masyarakat Desa Ujong Sedeun sehingga luas wilayah Desa Krueng Tunong berkurang.

190 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Suku yang mendiami Desa Krueng Tunong adalah suku Aceh sebagai suku utama yang datang dari sub etnis Aceh Barat dimana dari sisi historis Aceh Jaya merupakan bagian dari Aceh Barat yang pada tanggal 20 Mei 2003 terjadi pemekaran wilayah dimana Kabupaten Aceh Barat menjadi Kabupaten Aceh Jaya dan Nagan Raya. Suku lain yang ada di Desa Krueng Tunong adalah suku jawa yang sudah puluhan tahun berdomisili di Krueng Tunong. Informasi beberapa warga menyebutkan masuknya penduduk bersuku Jawa ke Desa Krueng Tunong karena merantau dan kehadirian mereka dapat diterima dengan baik oleh warga asli. Agama yang dianut oleh penduduk Desa Krueng Tunong adalah Islam

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Keberadaan Goa Tembiga di Desa Krueng Tunong tempat burung walet berdiam merupakan penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar bagi Kabupaten Aceh Jaya. Namun demikian pekerjaan mencari sarang walet bukan merupakan pekerjaan utama masyarakat Desa Krueng Tunong karena kegiatan tersebut hanya dapat dilakukan tiga bulan sekali. Adapun mata pencaharian utama penduduk Krueng Tunong adalah sebagai petambak udang windu. Fluktuasi musim sangat mempengaruhi jenis kegiatan mata pencaharian tersebut sehingga penduduk Krueng Tunong mengkombinasikan kegiatan mata pencaharian dengan bertani dan beternak. Pola adaptasi mata pencaharian untuk menyiasati fluktuasi musim disajikan pada tabel berikut

Tabel 76. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Krueng Tunong sebelum Tsunami

Jenis Pekerjaan

Bulan

(sebelum Tsunami) dimulai dari yang

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des paling penting

Tambak udang windu Tebar

panen Persiapan benih

√ panen √

√ Tebar

besar tambak Tambak banding

benih

√ √ √ Perikanan tangkap

musim timur Ternak kerbau, sapi,

musim timur

musim barat

√ √ √ ayam

Mencari sarang wallet

√ Pertanian sayuran,

√√ √√ √√ jagung& semangka

Jualan kue

√ √ √ Kebutuhan Kredit

(a) Budidaya Tambak

Model tambak yang dikembangkan masih bersifat tradisional dengan padat tebar ± 1 ekor/m 2 serta tidak digunakannya kincir di tambak. Konsep tambak silvofishery tidak dikenal oleh masyarakat.

Namun demikian masyarakat sebenarnya telah mengenal dengan baik pola silvofishery tersebut karena masyarakat sangat merasakan manfaat hutan mangrove di sekitar tambak untuk menjaga kualitas air yang masuk tambak serta tempat larva udang liar berkembang.

Komoditas yang umum dibudidayakan petambak Desa Krueng Tunong adalah udang windu Panaeus monodon dan sebagian kecil ikan bandeng Chanos chanos sebagai komoditas samingan. Udang liar

yang sering berada ditambak dimanfaatkan untuk konsumsi harian ataupun dijual kepada penduduk lainnya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Komoditas windu cenderung lebih diminati dari pada bandeng karena tingginya permintaan udang windu berapapun banyaknya udang windu yang dijual ke Banda Aceh selalu dibeli/ diterima oleh pedagang pengumpul. Disamping itu harga jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan bandeng. Sebagai ilustrasi windu ukuran 30 (size 30) minimal dihargai Rp 35.000 /kg bila dijual di tempat dan Rp 55.000/kg bila dijual di Pasar Peunayong Banda Aceh sedangkan harga ikan bandeng rata-rata Rp 15.000/kg di Pasar Peunayong Banda Aceh. Namun demikian dari segi modal dan perawatan budidaya bandeng lebih praktis dibandingkan udang.

Pembersihan tambak dari predator benur seperti ikan dan belut (sidat) dilakukan untuk menjaga produksi udang. Pembersihan dilakukan dengan memberikan samponin ke tambak sehingga ikan dan sidat lemas, lama kelamaan mati atau langsung dipanen. Hama siput tidak menjadi kendala di tambak dan pembersihan (pengutipan) siput sangat jarang dilakukan dan tidak digunakan pestisida/ mulosida untuk membersihkan siput.

Sebelum tsunami benur windu dapat diperoleh di Lamno namun sebagian besar petambak bila membeli benur dalam jumlah besar biasanya membeli di hatchery Ujung Batee milik Balai Benih Air Payau Dinas Keluatan dan Perikanan yang harus dicapai selama ± 8 jam perjalanan. Tsunami yang menghancurkan sebagian besar fasilitas hatchery Ujung Batee berdampak pada menurunnya produksi benur yang dihasilkan sehingga ketika akan memulai produksi pada bulan Oktober 2007 kelompok petambak Desa Krueng Tunong harus mendatangkan benur dari Lhokseumawe dan ditempuh selama empat belas jam perjalanan. Lamanya perjalanan menyebabkan sekitar 30% benur yang dibeli mati dan sekitar 20% lemas dan beberapa hari kemudian mati.

Kepemilikan tambak pada umumnya adalah milik sendiri dan pada umumnya merupakan usaha turun temurun atau warisan dari keluarga. Setiap petambak memiliki minimal setengah hektar tambak dan sebagian kecil bekerja pada tambak orang lain. Sistem bagi hasil yang diterapkan antara penggarap dan pemilik tambak dapat diilustrasikan pada skema berikut

Petambak Panen

Pemilik/Toke

Modal Kerja

Gambar 119 mekanisme bagi hasil antara pemilik tambak (toke) dan penggarap tambak. Petambak yang meminjam uang kepada toke sebagai modal pada siklus produksi harus menjual

udang hasil panen seluruhnya kepada toke tempat ia meminjam uang. Pengembalian pinjaman modal tidak bisa dikembalikan dalam bentuk uang melainkan harus dalam bentuk udang hasil panen. Hal tersebut sudah umum terjadi di Krueng Tunong dan beberapa desa di Prop NAD. Udang hasil panen pun harus dijual kepada toke dan tidak ada negosisasi harga diantara keduanya. Apabila petambak tidak mengikuti kaidah yang sudah umum tersebut maka secara moral dia akan menerima sangsi seperti tidak akan diberikan pinjaman keuangan lagi serta hilangnya kepercayaan dari toke tersebut.

(b) Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat. Perahu yang umumnya digunakan adalah boat mesin tempel dengan alat tangkap pukat pantai dan sampan untuk menangkap ikan di muara dengan alat tangkap berupa gill net atau dikenal masyarakat dengan sebutan jaring. Skala usaha perikanan tangkap yang relatif kecil membuat nelayan tidak membutuhkan modal dalam jumlah besar sehingga aktivitas peminjaman uang kepada toke untuk modal melaut sagat jarang terjadi.

192 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Profesi sebagai nelayan tangkap banyak digeluti oleh penduduk desa tetangga yaitu Desa Ujong Sedeun. Hasil tangkapan yang didapatkan dijual di TPI yang terletak di perbatasan dengan Desa Krueng Tunong.

(c) Peternakan

Usaha ternak yang dikembangkan penduduk Krueng Tunong berupa ternak kerbau, kambing dan ayam kampung. Usaha peternakan ini tidak mengalami kendala yang berarti mengingat tersedianya hamparan semak sumber pakan dan rawa-rawa tempat kerbau berkubang. Sama seperti daerah- daerah di Aceh lainnya ternak kerbau dan kambing yang dikelola tidak memiliki kandang sehingga berkeliaran di pemukiman penduduk yang semakin padat pasca tsunami. Kurang teraturnya ternak kerbau dan kambing tersebut mendapat perhatian khusus dari Bupati Aceh Jaya saat kunjungan ke Desa Krueng Tunong sehingga Bupati meminta keuchik secara langsung untuk menertibkan hewan ternak (kerbau dan kambing) yang berkeliaran bahkan menyarankan untuk dibuatkan semacam peraturan desa/ Perdes Penertiban Hewan Ternak.

Mekanisme penjualan hewan ternak cukup sederhana dan pada umumnya langsung pada konsumen seperti diilustrasikan pada skema berikut

Pasar Lamno TPI Krueng Tunoh

Ternak kerbau & kambing Konsumen Lokal

Ternak ayam

Gambar 120 Skema Penjaualan hewan ternak masyarakat Desa Krueng Tunong Ternak kambing dan kerbau biasanya dijual ke pedagang daging di Pasar Lamno atau dibeli langsung

ke peternak oleh orang yang akan melaksanakan kenduri. Ayam kampung yang diternakan sejauh ini penjualannya hanya berkutat sekitar desa tidak dijual langsung ke pasar lamno. Target-target penjualan hewan ternak adalah menjelang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.

(d) Sarang Walet

Keberadaan Goa Temiga sebagai tempat tinggal walet di Desa Krueng Tunong membuat desa ini sangat terkenal sebagai penyumbang PAD bagi Kabupaten Aceh Jaya. Sampai saat ini usaha sarang walet masih bersifat alami dimana rumah tempat tinggal walet hanya berupa goa yang terbentuk dari proses alam. Di Goa Temiga juga tidak digunakan musik yang biasa dipakai untuk menarik walet agar lebih banyak datang. Disamping itu juga di Desa Krueng Tunong belum ada bangunan yang khusus dibuat sebagai tempat tinggal walet. Upaya membuat bangunan sebagai tempat tinggal walet terlihat di Desa Gle Jong desa tetangga di sebelah Selatan Desa Krueng Tunong. Bangunan tersebut telah berdiri kurang lebih tiga tahun dan hasil pantauan secara sekilas, pada sore hari muncul koloni walet sekitar 20 ekor mendatangi bangunan tersebut.

(e) Pertanian Usaha pertanian yang dikembangkan bersifat musiman seperti semangka yang ditanam menjelang

Ramadhan dan jagung saat musim hujan. Setelah tsunami lahan yang digunakan untuk berkebun selain halaman di sekitar rumah, penduduk juga merambah hutan di kaki bukit Goa Temiga untuk menanam jenis sayuran. Sampai sejauh ini tidak ada larangan baik dari aparat desa maupun pihak lain yang memperingatkan aktivitas perambahan hutan tersebut.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Jenis sayuran yang ditanam yaitu terung, sawi dan kacang panjang. Disamping sayuran penduduk juga menanam tebu disekitar bedeng sayuran. Hasil panen sayuran, semangka dan jagung dijual ke pedagang pengecer di pasar Lamno. Sedangkan tebu dijual langsung ke pedagang air tebu atau dalam bahasa Aceh dikenal dengan sebutan pedagang “Ie Tebeu”. Aktivitas pertaian pada umumnya dikelola oleh perempuan sedangkan laki-laki banyak berperan saat persiapan lahan dan pemanenan.

Hasil pendataan BPS menunjukan bahwa kegiatan pertanian hampir dilakukan oleh seluruh penduduk yaitu sekitar 98% penduduk mengkombinasikan mata pencaharian utamanya dengan bertani. Namun demikian angka keluarga miskin di Desa Krueng Tunong berdasarkan kriteria BPS masih sangat tinggi sebelum tsunami pada tahun 2003 jumlah keluarga miskin mencapai 84% dan pasca tsunami mencapai 100 % atau seluruh penduduk Desa Krueng Tunong dikategorikan miskin.

Tabel 77. Komposisi penduduk yang bertani dan Jumlah Keluarga Miskin di Krueng Tunong

KK Pekerja % Pekerja % KK bergerak

Jumlah

Mata

pada pada Tahun

bergerak di

Pengusaha

di kegiatan

Pengusaha Pengusaha pertanian

pertanian Pertanian Pertanian

98 150 84 Tambak N/A

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Kerusakan infrastruktur dan perumahan Desa Krueng Tunong yang diakibatkan oleh tsunami sangat besar. Informasi dari penduduk menyebutkan bahwa hampir seluruh rumah hancur. Saat ini sebagian besar penduduk telah menempati rumah permanen tipe 36 bantuan dari USAID melalui CHF sebanyak 120 unit rumah; OXFAM 161 rumah dan dari Non Government Organisation NGO Mamamia sebanyak 50 unit rumah. Sebelum Tsunami sebagian besar rumah penduduk terbuat dari kayu atau semi permanen dan hanya 15% yang memiliki rumah bangunan permanen.

Tabel 78. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Krueng Tunong tahun 2003 dan 2005

tri is

is tri

Jumlah Rumah

ar u sa Tahun

nb ema Drainas Non-

Sumber Air B

Permanen Permanen

0 Ya Sumur Sumur Tidak

Kayu Saluran

ada

bakar kecil

Kayu 2005 N/A N/A N/A No 0

Sumur,

0 No desa

N/A Umum

194 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Bantuan rumah yang telah selesai diberikan ternyata masih mengalami kendala. Berdasarkan informasi dari kheucik ± 25 Kepala Keluarga (KK) belum mendapatkan rumah permanen. Padahal bila dilihat dari jumlah yang telah dibangun mencapai 331 unit rumah dengan jumlah KK sebanyak 250kk seharusnya terdapat kelebihan rumah sebanyak 80 unit. Kondisi ini dikarenakan beberapa nama yang didaftarkan kepada lembaga donor untuk mendapatkan rumah adalah warga Krueng Tunong tapi tinggal di Desa Krueng Tunong ataupun pemuda-pemua yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua pun didaftarkan sehingga banyak rumah yang tidak berpenghuni. Pendaftaran dengan cara tersebut didasarkan atas pertimbangan sebagai cadangan bila pemuda tersebut menikah atau warga Krueng Tunong yang tinggal di desa lain ingin kembali ke Krueng Tunong sudah memiliki rumah permanen.

Pendataan calon penerima rumah asusmsi seperti itu ternyata tidak sepenuhnya baik karena angka yang kurang akurat, rumah-rumah bantuan yang tidak berpenghuni menjadi rusak usang tidak terawat dan adanya peluang anipati donor untuk memberikan bantuan rumah karena rumah yang telah adapun tidak dimanfaatkan. Warga yang sebenarnya belum mendapatkan rumah permanen adalah pihak yang sangat dirugikan dari kondisi ini. Solusi yang akan dilakukan keuchik adalah melakukan pendataan ulang rumah-rumah yang tidak berpenghuni dan memberi tenggat waktu selama empat bulan kepada pemiliknya. Apabila melebihi tenggat waktu tersebut maka rumah yang tidak berpenghuni akan diambil alih oleh desa dan diberikan kepada warga yang belum memiliki rumah permanen.

Saat ini akses listrik sudah ada di masing-masing rumah penduduk. Fasilitas listrik yang ada merupakan fasilitas dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan seyiap rumah membayar iuran listrik perbulan berdasarkan tingkat pemakaian. Fasilitas MCK yang ada berupa fasilitas umum yang dibuat untuk pemakaian sekitar 10 kk per MCK. Fasilitas MCK yang dimiliki saat ini dimiliki secara pribadi oleh masing-masing rumah satu kesatuan dengan bantuan rumah.

(2) Pendidikan

Satu-satunya fasilitas pendidikan di Desa Krueng Tunong adalah SD negeri. Namun SD tersebut hancur karena Tsunami. Barulah pada tahun 2007 SD yang hancur tersebut dibangun kembali dengan bantuan dari NGO World Vision. Ketika kunjungan ke Desa Krueng Tunong pada tanggal 15 November 2007, SD tersebut sedang diresmikan oleh Bupati Aceh Jaya dan direncanakan beropereasi pada tahun ajaran 2008. Sampai dengan saat ini anak-anak dari Desa Krueng Tunong bersekolah di Lamno yang berjarak ± 9 km dan sebagian kecil siswa SMP bersekolah di desa tetangga yang hanya berjarak 5km.

Tabel 79. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Krueng Tunong

TK SD SMP SMA Sekolah Teknik Menengah Akademi/Universitas

kat ( kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

terde Swasta Negeri terde Jarak

Jarak Jarak

-- 8 -1---9-- 9 - -9- - 00 9 00900800 9 0090 0

Tingkat pendidikan masyarakat Krueng Tunong pada umumnya hanya sampai SMP. Pada usia remaja tersebut sebagain kecil pemuda memiliki pendapatan sendiri dengan melakukan pekerjaan mencari sarang walet dan menjaring ikan di kuala (muara) Krueng Tunong.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Secara umum jalan yang menghubungkan Kota Lamno dan Meulaboh rusak parah akibat tsunami dan harus menggunakan rakit penyebrangan untuk mencapai Kota Calang sebelum sampai ke Meulaboh. Kondisi tersebut menyebabkan lalu lintas pesisir Barat Aceh jarang dilalui dan perjalanan menuju Kota Meulaboh dengan jalur darat melalui jalur tengah.

Akses menuju Desa Krueng Tunong sebelum tsunami dapat melalui jalan utama lalu lintas pesisir Barat ataupun melewati jembatan dari Desa Gle Jong. Namun setelah tsunami hanya akses dari jalan utama Aceh jaya yang dapat ditempuh. Jembatan yang menghubungkan Desa Gle Jong dan Krueng Tunong terputus akibat tsunami.

Jenis kendaraan umum yang melalui desa ini sebelum tsunami adalah kendaraan roda empat oplet atau dikenal dengan istilah labi-labi. Namun setelah tsunami angkutan yang sering digunakan masyarakat adalah becak motor.

Tabel 80. Akses dan sarana transportasi umum Gampong Paya Kameng

Kendaraan Umum

Akses Jenis Tahun Jalan Desa kendaraan

Motor kendaraan roda 4

Andong Sampan

Roda Empat

motor

boat Umum Utama

Roda emapat jembatan

Ya Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Ada

Ada

Ada Tidak

Tidak Ada

Tidak Ada

Becak motor Ada

(4) Fasilitas Kesehatan

Sampai dengan saat kunjungan, tidak ada fasilitas kesehatan yang beroperasi di Desa Krueng Tunong. Satu-satunya fasilitas kesehatan di Kreung Tunong adalah Puskesmas dari Pemda Kabupaten Aceh Jaya baru selesai didirikan namun belum beroperasi. Masyarakat biasanya berobat dengan membeli obat-obatan yang dijual bebas di warung-warung atau berobat ke Puskesmas Lamno yang berjarak ± 9km.

Tabel 81. Fasilitas Kesehatan di Desa Krueng Tuong Tahun 203 dan 2005

Jarak Tahun

Jumlah Jarak

Jarak

Puskesmas/

Rumah Terdekat

Terdekat Umum

Kemudahan Sakit

(km) akses

2003 0 84 mudah 0 84 mudah 0 9 mudah 2005 0 86 susah 0 86 susah

0 9 mudah

Hasil pendataan menunjukan bahwa pemegang kartu sehat pada tahun 2003 hanya 17% dan pada tahun 2005 sebanyak 34% padahal jumlah penduduk miskin masing-masing pada tahun 20003 dan 2005 adalah sebesar 84% dan 100%. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa fasilitas pengobatan secara gratis baru dapat dinikmati oleh sebagain kecil penduduk miskin.

196 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 82. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005 Keluarga

Memiliki Persentase

Keluarga Tahun

Wabah penyakit yang pernah melanda

Kartu Tanda Keluarga

Balita Penduduk

Malnutrisi Peserta Miskin

Kartu

Keluarga

KTPM (%) KB

Memiliki

Sehat

Memiliki KS

(KTPM) Diare Campak berdarah Malaria ISPA 2003 5

3 30 17 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 85 2005 18

10.0 61 33.9 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A N/A

(5) Fasilitas Keagamaan

Fasilitas keagaaman yang ada di Desa Krueng Tunong sebelum dan sesudah tsunami hanya fasilitas ibadah untuk umat Islam karena seluruh warga desa manganut agama Islam. Akibat tsunami sarana peribadatan pun dan yang tertinggal hanyalah mushallah yang terbuat dari papan. Saat ini sedang dilakukan pembangunan Mushallah bantuan dari P2Kp Dinas Pekerjaan Umum Aceh Jaya.

(6) Sarana Komunikasi

Sarana komunikasi yang paling efektif digunakan oleh warga Krueng Tunong adalah telepon genggam. Perhitungan secara kasar menunjukan ± 40% warga memiliki telepon genggam. Selain praktis dapat dibawa, harga telepon genggam relatif dapat dijangkau hanya dengan Rp 300.000,- disamping itu fasilitas telepon rumah tidak menjangkau Desa Krueng Tunong dan membutuhkan proses administrasi yang cukup lama. Sarana komunikasi lainnya yang dapat dijangkau oleh warga adalah televisi dan koran lokal Aceh yang bisa di beli di Pasar Lamno.

Tabel 83. Sarana komunikasi tahun 2003 dan 2005 di Krueng Tunong

Keluarga

Keluarga yang

Keluraga

Persentase

yang mempu

Kantor

Kantor pos

Tahun memiliki

yang

keluarga yang

Wartel Internet

memiliki TV

memilki TV

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Pemerintahan Desa Krueng Tunong sama seperti pemerintahan desa di Aceh pada umumnya yang terdiri dari kepala desa yang disebut dengan istilah “Kheucik” dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang disebut dengan istilah Tuha Peut, sekretaris desa dan tiga orang Kepala Urusan (Kaur). Penggunaan istilah-istilah Aceh dalam struktur pemerintahan didasarkanpada perjanjian Helsinky tahun 2005 dimana salah satu butirnya menyebutkan untuk kembali pada nilai-nilai tradisional termasuk penyebutan istilah dalam pemerintahan.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Imum Meunasah (Kheuchik)

Tuha Peut

Kepala Desa

Sekretaris

Kaur Kesejahteraan

Kaur Pemberdayaan

Kaur Pemerintahan

Masyarakat

Gambar 121 Struktur pemerintahan Desa Krueng Tunong

Keputusan Bupati Aceh Jaya untuk dilakukannya pemilihan Kheucik baru untuk periode 2007-2012 memberikan angin segar bagi penduduk Desa Krueng Tunong. Warga sangat mengharapkan adanya pembaharuan dalam kepengurusan pemerintahan desa. Warga merasa kheucik yang ada sudah terlalu jenuh untuk mengurusi masalah-masalah kemasyarakatan. Pemilihan kheucik yang dilakuakn secara langsung mendapatkan kandidat dari kelompok pemuda yang memenangkan pemilihan. Dari segi usia dapat dikatakan bahwa kheucik Desa Krueng Tunong Matsuyadi adalah kheucik termuda di Kabupaten Aceh Jaya. Disamping itu belum ada pengalaman terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan desa. Namun demikian dari wawancara dengan beberapa warga yang cukup berumur (diatas 40 tahun) mengatakan tua muda usia tidak menjadi kendala selama kepemimpinannya dalam koridor yang benar.

(2) Kelompok Sosial Kemasyarakatan

Kelompok atau organisasi masyarakat tidak banyak terdapat di Krueng Tunong. Sebelum tsunami kelompok yang ada hanya kelompok petambak, Ibu-ibu PKK dan kelompok pengajian. Sedangkan kelompok-kelompok yang terbentuk pasca tsunami pada umumnya dibentuk atau difasilitasi oleh lembaga lembaga donor atau fasilitator untuk menjalankan suatu program tertentu. Kelompok yang masih aktif kegiatannya saat ini adalah kelompok pengajian dan kelompok rehabilitasi ekosistem pesisir yang difasilitasi WIIP.

Pada prinsipnya keberadaan kelompok-kelompok tersebut sangat didukung oleh aparat desa khususnya kheucik karena turut membantu meningkatkan kapasitas masyarakat. Namun ssangat disayangkan kelompok-kelompok yang dibentuk oleh program pasca tsunami pada umumnya bubar setelah kegiatan selesai tidak ada keberlanjutan atau kemandirian dari masyarakat untuk melanjutkan program kelompok. Kepada kelompok rehabilitasi kheucik sangat menaruh harapan besar untuk terciptanya kelompok yang mandiri dan adanya keberlanjutan pasca program kegiatan.

Tabel 84. Kelompok sosial kemasyarakatan yang ada di Desa Krueng Tunong

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Kelompok tambak

Koordinasi saat panen

2. Ibu-ibu PKK

Kegiatan kewanitaan secara insidentil

Kas Desa

3. Kelompok menjahit

Pelatihan menjahit

OXFAM

4. Kelompok kue

Pelatihan membuat kue

OXFAM

5. Kelompok pengajian

Pengajian rutin

6. Rumeit Daya dan Tuan di Paya

Rehabilitasi mangrove dan hutan pantai

OXFAM/ WIIP

198 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Pengelolaan modal usaha sepenuhnya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan pada umumnya tidak mengetahui berapa modal yang telah dikeluarkan, berapa hasil panen yang didapat serta keuntunguan yang diperoleh. Akses mendapatkan modal usaha umumnya lebih mudah didapatkan oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Laki-laki yang lebih sering mengakes modal usaha baik melalui pinjaman berupa uang atau barang kepada individu atau serng disebut “toke”. Lebih jauh pembedaan kemudahan akses modal bagi laki-laki dan perempuan bila keduanya memiliki kapasitas dapat disebut sebagai marginalisasi atau pemiskinan terhadap salah satu pihak jenis kelamin.

Saat pengambilan keputusan dalam aktivitas mata pencaharian perempuan juga sangat jarang diikutkan. Selain alasan pada umumnya perempuan tidak terlibat detil dalam keseharian kegiatan mata pencaharian, laki-laki memiliki kontrol penuh urusan kegiatan mata pencaharian. Kondisi tersebut menunjukan adanya kesenjangan dalam penempatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masalah pendapatan keluarga. Perempuan cenderung ditempatkan sebagai pendamping bukan sebagai mitra sejajar dalam keluarga (subordinasi). Bagi masyarakat Krueng Tunong kondisi tersebut dianggap wajar sesuai porsi masing-masing. Pekerjaan rumah tangga sepenuhnya menjadi tanggung jawab istri dan urusan keputusan pengelolaan mata pencaharian menjadi porsi suami.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Dominasi laki-laki dalam keluarga ternyata juga berdampak pada peran permpuan dalam kelembagaan. Belum pernah perempuan Krueng Tunong yang terlibat menjadi aparat pemerintahan desa. Hal tersebut dapat mengindikasikan masih kurangnya minat perempuan untuk masalah- malasalah politik dan birokrasi ataupun masih besarnya anggapan perempuan dalam susunan pemerintahan masih kurang lazim. Hal tersebut juga diduga kuat sebagai dampak dari padatnya urusan domestik dan produktif yang mesti ditekuni oleh perempuan

Kelompok-kelompok perempuan seperti kelompok menjahit dan kelompok membuat kue yang terbentuk tidak dapat berkelanjutan karena tanpa dibekali modal dan pendampingan secara kontinu sampai kelopok tersebut mandiri. Sampai sejauh ini belum ada kelompok perempuan yang aktif berjalan. Kelompok ibu-ibu PKK yang ada pun kurang aktif dan hanya fokus pada kegiatan-kegiatan insidentil bila ada kegiatan dari PKK Kecamatan atau PKK Kabupaten.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa responden perempuan menunjukan bahwa perempuan lebih nyaman berada dalam forum rapat dengan peserta khusus perempuan meskipun yang dibahas adalah persoalan yang bersifat umum. Bila rapat disatukan dengan laki-laki, perempuan cenderung segan dan malu untuk menyampaikan pendapat dengan aktif secara langsung. Pembedaan kelompok laki-laki dan perempuan dalam rapat bersama juga lebih disukai oelh perempuan selain canggung bila berdekatan langsung dengan laki-laki dan tidak lazim, dengan berkelompok perempuan dapat berdiskusi sesama perempuan terlebih dahulu dan biasanya ada salah seorang perempuan yang dipilih menjadi juru bicara untuk menyampaikan pendapat orang lain. Juru bicara tersebut sangat biasanya orangnya itu-itu juga yang dikenal aktif atau cerewt dan memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk berbicara di suatu forum.

(3) Pemberdayaan Perempuan

Hasil wawancara dengan warga belum ada pelatihan atau kegiatan khusus yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran kritis perempuan akan kesetaraan gender. Pelatihan yang ada masih terfokus untuk meningkatkan kemampuan mengembangkan mata pencaharian keluarga. Berdasarkan wawancara dengan beberapa responden perempuan pelatihan mata pencaharian jauh lebih diminati dari pada pelatihan mengenai kesetaraan gender, oleh karena itu pengangkatan masalah kesetaraan peran serta hak antara laki-laki dan perempuan perlu adanya media penyampaian secara khusus tidak secara eksplisit.

f) Informasi terkait dengan Kegiatan Green Coast

Data-data rencana kegiatan GC2 di Krueng Tunong adalah sebagai berikut: • Nama-nama Kelompok yang dibentuk GC2 : Rumeit Daya dan Tuan di Paya • Jumlah anggota perkelompok : masing-masing 25 orang.

Rencana rehabilitasi oleh kelompok: • Pinggiran sungai seluas 5 ha direhabilitasi dengan penanaman Rhizophora apiculata 20.000

pohon. • Pertambakan seluas 20 ha dengan Rhizopophora mucronata sebanyak 50.000 pohon • Pantai seluas 17 ha dengan waru, cemara, dan kelapa sebanyak 4500 pohon • Kebun-kebun masyarakat seluas 5 ha dengan menanam 2000 pohon.

Gambar 122 rencana lokasi rehabilitasi ekosistem mangrove dan hutan pantai Desa Krueng Tunong Rencana Pemberdayaan Ekonomi/Livelihood oleh kelompok: budidaya udang/bandeng, kegiatan

penangkapan ikan diwilayah pantai, peternakan itik, dan pengembangan kedai kopi.

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi (1) Hasil penilaian kesesuaian lahan

Dalam survey ini, team mengunjungi beberapa lokasi di pesisir desa Krueng Tunong dalam rangka menilai daya dukung lingkungan terkait dengan kegiatan penghijauan yang akan dilakukan. Uraian di bawah ini adalah hasil dari penilaian kesesuian lahan di calon lokasi penanaman.

(a) Ketersediaan lahan di pantai berpasir untuk rehabilitasi

Tidak semua bagian dari pantai berpasir yang terhampar di pesisir prospektif untuk kegiatan penanaman. Beberapa bagian pantai dinilai sangat beresiko untuk kegiatan penananaman yaitu bagian depan pantai berpasir yang sangat rawan terhadap gelombang, areal terbuka yang masih labil, dan bagian belakang pantai berpasir yang sering terpengaruh air pasang. Selain lokasi-lokasi tersebut, kondisi substrat dinilai memungkinkan untuk penanaman.

200 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Keterangan:

A = Areal rawan air pasang B = Prospektif untuk penanaman (prioritas) C = Prospektif untuk penanaman (non prioritas)

Gambar 123. Hasil penilaian lahan sebagai lokasi penanaman

Gambar di atas menggambarkan beberapa kondisi yang berbeda. Areal yang berada di barisan depan pantai dan sekitar muara tidak disarankan untuk ditanami mengingat kedua areal ini sangat rawan terhadap air laut pasang. Sementara itu, lokasi yang sebaiknya diprioritaskan untuk penanaman adalah areal yang lebih berada di tengah yang bebas dari ancaman air pasang, terutama yang telah ditumbuhi oleh vegetasi, baik tumbuhan herba maupun rumput. Berdasarkan observasi lapangan, diprediksi setidaknya terdapat areal selebar 50-100 meter dengan panjang lebih dari 1500 meter memiliki prospek untuk kegiatan penanaman.

(b) Ketersediaan lahan untuk silvofishery

Dalam observasi lapangan yang telah dilakukan, tim telah mengidentifikasi beberapa lokasi yang dinilai memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai lokasi silvofishery. Areal pertambakan di desa ini dinilai memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai lokasi penanaman mangrove sekaligus budidaya perikanan yang merupakan prinsip dari konsep silvofishery. Di areal ini, setidaknya terdapat tiga ruang yang terbuka untuk penanaman yaitu areal kosong, baik di bagian tengah tambak; sekeliling badan air (caren); dan di sepanjang pematang tambak.

Selain areal pertambakan, lokasi lain yang dinilai memiliki peluang untuk penanaman mangrove adalah areal di sepanjang sungai dan saluran air/kanal. Beberapa titik pengamatan yang berada di dekat muara, dijumpai adanya kandungan pasir yang cukup tinggi pada substrat. Atas dasar kondisi inilah, lokasi penanaman di sepanjang sungai ini sebaiknya di arahkan pada lokasi yang berada jauh dari muara. Diharapkan kelompok dengan bantuan fasilitator lapangan melakukan survey lapangan dalam rangka menetapkan lokasi penanaman. Langkah sederhana yang dapat ditempuh adalah dengan memperhatikan pengaruh pasang surut dan substrat lokasi. Semakin dominan atau tebal lapisan lumpurnya, peluang mangrove untuk tumbuh semakin tinggi.

(2) Potensi dan faktor pendukung

1. Kesadaran dan persepsi positif masyarakat Observasi yang dilakukan di lapangan melihat adanya suatu kesadaran dalam diri sebagian

masyarakat. Hal ini terlihat dari cukup banyaknya anggota yang berpartisipasi dalam program Green Coast phase 2 di desa ini. Bahkan pada saat tim berada di areal pertambakan, dijumpai beberapa orang di luar kelompok yang berkeinginan bergabung dengan kelompok. Wawancara yang dilakukan dengan beberapa warga menunjukkan bahwa tingkat kesadaran mereka atas arti pentingya menjaga dan melestarikan pesisir cukup tinggi. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa bibit-bibit yang akan ditanam di pantai akan dapat melindungi pemukiman dari ancaman angin dan gelombang pasang.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Telah terbangunannya kesadaran dan persepsi yang positif dari masyarakat merupakan nilai tambah yang sangat penting dalam membantu terlaksananya program rehabilitasi pesisir di desa ini. Dengan dukungan masyarakat dan pendampingan yang teratur, diyakini bahwa kegiatan ini akan dapat berjalan dengan baik sebagaimana telah direncanakan bersama.

2. Bentang lahan yang ideal dan kondisi biofisik yang mendukung Berdasarkan observasi lapangan, bentang lahan di pesisir Desa Krueng Tunong sangat ideal sekali

bagi kegiatan restorasi lahan dan pemberdayaan ekonomi yang terintegrasi. Potensi inilah yag menjadi nilai lebih dan juga membedakan dengan kondisi di desa-desa lainnya. Kondisi ini merupakan keutnung tersendiri bagi program Green Coast 2. Dengan bentang alam yang ideal ini, proyek bisa menyandingkan serta mengintegrasikan tiga kegiatan sekaligus (green belt, silvofishery dan penghijauan desa) dalam suatu hamparan sehingga lebih akan memberikan manfaat yang lebih optimal.

3. Aksesibilitas yang cukup tinggi Desa Kruen Tunong sangat mudah dicapai dengan menggunakan alat transportasi darat. Jalan yang

menghubungkan desa ini bahkan memungkinkan untuk di lewati truk yang berukuran besar. Kondisi demikian tentunya akan mempermudah kegiatan-kegiatan yang terkait dengan program rehabilitasi pantai, terutama kegiatan transportasi bibit, monitoring dan pelatihan.

Selain itu, letak desa yang cukup dekat dengan lokasi kegiatan memberikan keuntungan tersendiri bagi proyek. Dengan kondisi ini, akan mudah bagi anggota kelompok untuk melakukan kegiatan di lapangan, baik pada tahap persiapan dan pelaksanaan di lapangan. Dari sisi keproyekan, hal ini juga sangat menguntungkan karena membuat kegiatan di lapangan menjadi lebih efektif, efisien dan ekonomis.

(3) Kendala dan faktor pembatas

1. Serangan hama di persemaian Kunjungan yang dilakukan di persemaian menjumpai adanya permasalahan hama yaitu penggerek

daun yang menyerang bibit kelapa di persemaian. Walaupun serangannya tidak terlalu berat, apabila dibiarkan akan menjadi lebih berat dan menganggu bibit lainnya yang tidak terserang. Langkah penanggulangan telah dilakukan dengan cara menyiram air asin ke bibit-bibit yang terserang. Namun demikian langkah ini belum menyelesaikan masalah.

Gambar 124. Daun bibit kelapa yang terserang (kiri) dan hama penggerek daun (kanan)

2. Kendala pasang air laut Salah satu faktor alam yang berpotensi mengancam tanaman di lokasi rehabilitasi adalah pasang air

laut. Terutama saat pasang purnama, air laut menggenangi bagian tertentu di plot penanaman dan menyebabkan tanaman menjadi layu dan mati. Hal ini mengingat tanaman tersebut merupakan tanaman daratan (terrestrial plant) yang tidak memiliki toleransi terhadap air asin. Bagian yang rawan terkena air asin saat pasang adalah bagian yang mendekati garis pantai atau bagian terdekat dengan muara sungai dan badan air.

202 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 125. Salah satu bagian di lokasi penanaman yang rawan terhadap genangan air asin

3. Ancaman hama kerbau Berdasarkan pengamatan di lapangan, hewan ternak merupakan salah satu ancaman yang perlu

untuk diwaspadai. Setiap pagi, puluhan kerbau dalam beberapa gerombolan melewati areal pertambakan dan pantai berpasir menuju tempat dimana mereka mencari pakan. Rute yang sama dilalui oleh hewan ternak saat mereka pulang.

Ancaman hewan ternak di areal pertambakan jauh lebih berat mengingat seringkali kerbau tersebut masuk ke dalam tambak, berendam ata bahkan bermain, Aktivitas ini dikuatirkan akan mengacam keberadaan bibit mangrove yang direncanakan ditanam di sekeliling tambak. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan tindakan pencegahan untuk meminimalkan resiko yang diakibatkan oleh gangguan ternak ini.

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

a) Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga/proyek lain

Sebagai daerah yang terkena dampak tsunami secara masif tentu banyak lembaga donor yang telah memberikan bantuan ke Desa Krueng Tunong. Banyaknya lembaga yang datang silih berganti terkadang membuat masyarakat tidak dapat mengingat semua nama-nama lembaga tersebut sehingga Tabel 85 di bawah ini mungkin belum mencakup semua bantuan yang pernah ada di Desa Krueng Tunong

Tabel 85. Lembaga beserta jenis bantuan yang diberikan di Desa Krueng Tunong

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. LSM Dian Desa

Selesai 2. GITEC International

Air bersih

Sedang berjalan 3. Pemda Kab Aceh Jaya

Balai pertemuan Desa

Selesai 4. Pemda Kab Aceh Jaya

Penanaman Mangrove

Belum beroperasi 5. World Vision

Puskesmas

SD Belum beroperasi 6. Dinas Pekerjaan Umum Aceh Jaya

Bangunan dan fasilitas SD

Sedang berjalan (PsKP)

Pembangunan Meunasah (mushallah)

7. Mamamia

Selesai 8. USAID melalui CHF

Rumah 50 unit

Selesai 9. OXFAM

Rumah 120 unit

Selesai 10. PMI

Rumah 161 unit

Selesai 11. OXFAM melalaui Wetlands

MCK

Sedang berjalan International Indonesia Programme

Rehabilitasi eksoistem pesisir dan

pemberdayaan ekonomi

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kegiatan rekonstruksi dalam skala besar berupa pembanguna rumah sudah rampung dilakukan. Sejauh ini tidak ada kegiatan rekonstruksi yang dianggap merugikan masyarakat malah memberikan dampak positif dengan adanya pembuatan rumah tersebut.

Upaya rekonstruksi berupa rehabilitasi tambak dalam skala massal saat ini sangat dibutuhkan karena sebagian besar tambak yang merupakan pencaharian utama masyarakat Krueng Tunong rusak akibat tsunami dan belum dapat dioperasikan. Dari sisi lokasi dan keinginan masyarakat (willingness) sangat tinggi untuk kembali mengembangakan usaha busidaya tambak seperti sebelum tsunami.

b) Kegiatan yang dilakukan oleh Green Coast fase II

Saat kunjungan dilakukan, sebuah program restorasi pesisir yang difasilitasi oleh proyek Green Coast phase 2 sedang dilakukan di Desa Krueng Tunong. Kegiatan ini melibatkan masyarakat yang tergabung dalam dua kelompok yaitu KT Rumide Daya yang diketuai oleh Pak Hasballah dan KT Tuan Dipayah yang diketuai oleh Pak Nur Ismail. Kedua kelompok ini masing-masing beranggotakan

25 anggota sehingga total anggota kelompok yang terlibat dalam proyek ini sebanyak 50 orang. Dalam program GC2 ini, kegiatan rehabilitasi dikombinasikan dengan kegiatan pemulihan ekonomi

masyarakat. Kegiatan rehabilitasi sendiri dilakukan melalui dua kegiatan yakni penanaman tanaman pantai di pantai berpasir dan penanaman mangrove di areal pertambakan. Khusus di areal pertambakan, penanaman mangrove di arahkan untuk penerapan konsep silvofishery. Disisi yang lain, pemulihan ekonomi masyarakat dilakukan dengan memberdayakan ekonomi masyarakat melalui pemberian “small grant”. Di bawah ini adalah uraian perkembangan kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan di lapangan hingga bulan November 2007.

(1) Pengembangan silvofishery

(a) Pengembangan demplot silvofishery

Sebagai tahap awal, suatu demplot telah dikembangkan dengan maksud untuk memberikan contoh bagi masyarakat tentang penerapan konsep silvofishery. Demplot ini kemudaian akan diperluas sehingga menjangkau seluruh tambak yang ada di desa ini. Konsep silvofisfery yang akan direalisasikan adalah perpaduan antara kegiatan penanaman mangove dan budidaya udang.

Melalui green coast phase 2, dua buah petak tambak telah ditanami dengan tanaman bakau berjenis Rhizophora apiculata. Penanaman ini dilakukan dengan menancapkan 2 hingga 3 propagul dalam

satu titik tanam. Pihak UNEP (United Nation Environmental Programme) melalui WIIP memberikan partisipasi dalam pengembangan konsep ini melalui bantuan untuk pengemabangan udang galah. Hingga saat ini, kegiatan ini masih berjalan baik dan diperkirakan akan berhasil sebagaimana direncanakan. Pada saat kunjungan dilakukan, hampir seluruh udang galah masih hidup dan tinggal menungu beberapa minggu untuk di panen. Tanaman mangrove yang ditanam di sekeliling tambak juga tumbuh dengan baik.

Gambar 126. Udang galah yang dibudidayakan (kiri) tanaman mangrove yang tumbuh subur (kanan)

204 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(b) Persiapan bibit mangrove

Satu unit persemaian mangrove telah dibangun di salah satu tambak yang dekat dengan lokasi penanaman. Di dalam persemaian ini, setidaknya terdapat 71.000 bibit mangrove yang terdiri dari 40.000 bibit Rhizophora apiculata, 30.000 bibit R. mucronata, dan 1000 bibit Api-api Avicennia marina. Dari jumlah tersebut, 70.000 bibit akan ditanam ditanam di tambak-tambak milik masyarakat peserta program Green Coast phase 2. Sementara itu, 1000 sisa bibit tersebut akan dicadangkan untuk kegiatan penyulaman. Berdasarkan informasi ketu akelompok, seluruh benih mangrove yang dibibitkan berasal dari wilayah Sigli.

Hampir seluruh bibit yang ada di persemaian telah siap tanam dengan tinggi rata-rata 45 cm dengan jumlah daun 5-8 helai. Seluruh naungan telah dibuka sehingga bibit-bibit ini telah dianggap mampu bertahan hidup dalam kondisi terbuka.

Gambar 127. Stok bibit mangrove di persemaian

(c) Perluasan silvofishery

Saat survey di lakukan, kegiatan penanaman masih belum direalisasikan di lapangan. Namun demikian, lokasi-lokasi penanaman mangrove telah ditetapkan. Sebagian besar tambak-tambak yang akan ditanami mangrove adalah tambak milik anggota kelompok. Di dalam kelompok sendiri, komunikasi intern telah dilakukan dalam rangka mempersiapkan kegiatan penanaman. Berdasarkan perencanaan, bibit mangrove sebanyak 70.000 akan dapat tertanam pada areal pertambakan seluas

22 hektar. Lokasi penanaman adalah areal tambak milik anggota kelompok dengan luasan masing- masing yang bervariasi.

(2) Restorasi pesisir melalui penghijauan pantai berpasir

(a) Pengadaan bibit tanaman pantai

Untuk merealisasikan rehabilitasi pantai, kelompok tani yang dibimbing oleh fasilitator telah bersepakat melakukan pengadaan bibit tanaman pantai. Pengadaan bibit dilakukan dari suatu persemaian yang terletak di kawasan Lhok Nga, Aceh Besar. Seluruh bibit dibeli adalah jenis cemara Casuarina equisetifolia. Bibit tersebut diangkut dari persemaian ke desa Krueng Tunong dengan menggunakan mobil bak dan memakan waktu hingga 7 jam. Untuk meminimalkan stress, bibit-bibit tersebut tidak lansung ditanam di lapangan melainkan di tampung terlebih dahulu pada bedeng sapih yang di beri naungan buatan yang dibuat dari daun kelapa. Seluruh bibit ini nantinya akan ditanam untuk program penghijauan pantai berpasir.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 128. Bibit cemara yang ditampung sementara sebelum ditanam di lapangan

(b) Persiapan lahan

Dalam persiapan lahan, kegiatan yang telah dilakukan adalah penetapan lokasi penanaman dan pemagaran. Penagan ini dilakukan pada pertengahan bulan November 2007 melibatkan kedua anggota kelompok tani. Berdasarkan pengukuran secara kasar dengan menyusuri pagar (menggunakan GPS), panjang pagar diperkirakan mencapai 1.3 km, sementara lebarnya hanya 100 meter. Dengan demikian, keliling lokasi penanaman yang di pagar memiliki panjang 2800 meter. Pemagaran dilakukan mengingat ancaman utama yang dihadapi oleh kegiatan rehabilitasi adalah hama ternak. Lokasi penanaman merupakan salah satu rute utama yang dilalui oleh ternak, terutama pada pagi dan sore hari.

Sebanyak 3000 batang stek kuda-kuda telah dibeli dari Banda Aceh. Panjang stek batang tersebut berkisar 1.5 hingga 2 meter dengan diameter 5-12 cm. Saat surevy dilakukan, seluruh batang stek tersebut telah ditancapkan mengelilingi lokasi penanaman hingga membentuk pagar. Jarak antar batang relatif rapat yaitu 1 meter. Sedangkan untuk memastikan hewan ternak tidak masuk ke dalam, pagar kuda-kuda diberi kawat berduri sebanyak dua lapis. Dengan demikian, panjang kawat berduri yang digunakan untuk memagari lokasi penanaman adalah 5600 meter.

Gambar 129. Kondisi umum di lokasi penanaman

(c) Penghijauan pantai dan pemeliharaan

Saat survey dilakukan, kegiatan penanaman belum dilakukan dengan pertimbangan utama bahwa cuaca yang belum kondusif. Hujan yang belum kunjung datang membuat pelaksana lapangan tidak yakin apabila bibit-bibit tersebut ditanam saat itu. Sebagaimana telah disepakati bersama, penanaman akan dilakukan apabila hujan telah datang dan bulan telah memasuki musim penghujan.

206 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Program penghijauan di sekitar desa

Suatu unit persemaian telah dibangun di dekat tambak yaitu di jalaman rumah miliki ketua kelompok. Persemaian ini dibuat secara sederhana dan didalamnya terdapat sekitar 500 bibit kelapa. Pada saat survey dilakukan, sebagian besar benih kelapa telah mngeluarkan tunas bahkan telah memiliki daun lengkap. Namun sayang, bibit kelapa ini mengalami serangan hama berupa ulat penggerek daun. Serangan ini menimpa hampir seluruh bibit kelapa yang ada di persemaian. Berdasarkan pengamatan di lapangan, serangan ini tidak hanya menimpa bibit kelapa melainkan juga pohon-pohon kelapa yang telah dewasa. Berdasarkan informasi dari masyarakat, hama ini belum pernah menerang tanaman kelapa sebelumnya. Karena itulah, penduduk desa ini cukup resah dan kuatir terhadap ancaman hama ini.

Gambar 130. Persemaian bibit kelapa yang diperuntukkan untuk program penghijauan di desa Krueng Tunong

Bibit kelapa ini nantinya tidak akan ditanam di pantai, melainkan akan ditanam di sekitar desa misalnya di pekarangan, halaman, dan kebun miliki masyarakat. Siapapun warga desa berhak mengajukan permohonan bantuan bibit kelapa dengan syarakat mereka memiliki lahan untuk ditanami dan memiliki komitmen yang tinggi untuk melakukan penanaman dan pemeliharaan.

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi lahan Basah

Perubahan morfologi daerah pesisir di desa Krueng Tnong dan sekitarnya cukup besar. Satu bukit di ujung tanjung, saat ini menjadi pulau terpisah. Gelombang tsunami juga sangat kuat menggerus pantai sehingga menggeser garis pantai dalam jarak yang bervariasi antara sekitar 300 m hingga kurang lebih 600 m ke arah darat. Krueng Tunong yang semula memilki aliran yang sejajar pantai dan bermuara di sebelah utara lembah, menjadi langsung bermuara ke laut di sebelah selatan lembah.

Perubahan morfologi sungai dalam hal ini perubahan posisi muara menjadikan alur sungai secara tidak langsung memendek. Perubahan lain yang mengikuti perubahan morfologi ini dapat saja terjadi. Perubahan-perubahan yang meungkin terjadi adalah perubahan jangkauan pasang, dan perubahan kecepatan arus sungai. Pengamatan lebih seksama mengenai hal ini mungkin diperlukan, demikian pula halnya dengan lagkah-langkah antisipasi untuk mengurangi pengaruh negative dari perubahan ini.

Tambak-tambak di desa Krueng tunong dibangun di sepanjang sungai. Tambak-tambak lainnya yang dibangun di sepanjang pantai sudah rusak atau hilang sama sekali tergerus gelombang tsunami. Tambak-tembak tersebut secara langsung menggunakan sungai sebagai inlet dan outlet bagi tambak. Baik di sekitar tambak maupun di sepanjang sungai sangat sedikit dijumpai mangrove. Rehabilitasi mangrove di kawasan tersebut akan memberikan keuntungan seperti diuraikan oleh Smith and Masters (1996) yang mengidentifikasi manfaat dari ekosistem mangrove dari perspektif aquaculture sebagai berikut :

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Mangrove bertindak selaku penahan sediment. Akar dan akar nafas tidak hanya memperlambat air tetapi juga menjadi pengikat sediment. Akar dari mangrove dapat melindungi dinding tanggul dan saluran pembuangan, sehingga erosi dapat direduksi.

• Tumbuhan mangrove dan alga epifit menyerap nutrient yang ada di saluran pembuangan. • Bakteria menyokong penguraian bahan organic, ammonia dan nitrit. Bacteria tertentu dan

mikro alga dikurangi karena dimakan oleh organisme filter-feeding (misalnya jenis copepoda tertentu, polychaeta, and mollusca).

• Mangrove mempunyai keuntungan dalam hal menarik ikan-ikan juvenile, kerang dan burung. Pneumatophores, prop roots and cabang-cabang yang menggantung memperkaya heterogenitas structural dan compleksitas habitat, memberikan perlindungan, makanan dan persembunyian, sehingga berpotensi memberikan kontribusi dalam perbaikan lingkungan.

Beberapa tambak terutama yang berada di sebelah utara sungai di belakang paya-paya dibangun jauh dari sungai dan kemungkinan hanya mendapatkan genanagan iar laut pada saat pasang tinggi. Ditemukannya Pacet (sebangsa cacing pengisap darah dari Class Hirudinae) di tempat ini menunjukkan bahwa setidaknya dalam jangka waktu yang cukup lama, tempat ini senantiasa tawar. Untuk penanaman mangrove lokasi ini mungkin kurang sesuai atau setidaknya kurang sesuai untuk jenis-jenis dengan kebutuhan genangan pasang surut yang sering. Jenis-jenis mangrove yang tumbuh di zona belakang mungkin bias ditanam.

Gambar 131 Penampakan wilayah Krueng Tunong

Gelombang tsunami selain menggerus pantai juga mengendapkan pasir pada posisi yang lebih ke belakang dari posisi semula. Kondisi ini menjadikan terbentuknya paya-paya yang sebagian merupakan bekas-bekas tambak. Paya-paya ini dangkal dan kemungkinan bersifat musiman (pada saat pengamatan curah hujan masih cukup tinggi). Meskipun tidak banyak, paya-paya ini juga dikunjungi oleh burung-burung air. Dengan habitat sekitarnya yang berupa hutan yang masih baik, paya-paya, muara sungai dan lahan basah lain di sekitarnya apabila dikelola dengan baik bisa menjadi pendukung bagi kelestarian hidupan liar.

Dari sisi kesesuaian lahan lokasi Krueng Tunong disarankan sebagai lahan rehabilitasi dan perbaikan konstruksi tambak. Rehabilitasi pantai dengan tanaman khas pantai sepeti cemara, waru, dan kelapa, tetapi sebelum tanaman dewasa harus diperlihara dengan penyiraman di musim kemarau dan dijaga dari ternak sapi. Pada lahan tambak dapat ditanami/rehabilitasi dengan mangrove.Untuk pengembangkan pertanian bisa saja dilakukan pada wilayah dataran yang bebatasan dengan perbukitan.

208 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi ekosistem pesisir yang dikombinasikan dengan pengembangan mata pencaharian sangat tepat dikembangkan di Desa Krueng Tunong mengingat luasnya areal yang rusak akibat tsunami dan sebagian besar kepala keluarga tidak memiliki penghasilan yang tetap karena tambak belum dapat beroperasi padahal sebelum tsunami tambak merupakan mata pencaharian utama masyarakat Krueng Tunong.

Beberapa hal yang dapat dijadikan catatan atau masukan bagi pelaksanaan kegiatan Green Coast di Desa Krueng Tunong dari aspek sosial ekonomi diantaranya adalah:

1. Aktivitas Ekonomi • Pengembangan budidaya udang/bandeng, kepiting dengan pola silvofishery • Pengembangan budidaya bandeng silvofishery dengan model longyam kombinasi dengan

kandang ayam • Pertanian sayuran seperti terung, tomat dan kacang panjang • Pengembangan usaha ternak ayam • Pengambangan usaha perikana tangkap di muara • Model pengelolaan modal usaha bergulir revolving fund membutuhkan usaha yang keras dan

harus ditangani langsung oleh fasilitator • Pengembalian 100% modal usaha dapat diturunkan hanya 70% modal yang diembalikan • Total tempo waktu pengembalian lebih lunak berdasarkan perkembangan usaha • Tidak direkomendasikan perempuan yang akan memulai usaha menjahit kecuali usaha

menjahit tersebut sudah atau sedang ditekuni

2. Kelembagaan dan peningkatan kapasitas • Pendampingan dalam pembentukan dan jalannya kelompok rehabilitasi dan pengembangan

usaha • Bila diperlukan mendatangkan trainer khusus yang membidangi suatu usaha seperti budidaya

tambak, keramba kepiting • Perlu pelatihan dan pembutaan pembibitan tanaman rehabilitasi secara sendiri oleh kelompok • Perlu di beri pelatihan dan didampingi tentang adminitrasi kelompok dan peran masing-

masing elemen dalam struktur kelompok

3. Peran aktif perempuan • Harus jelas sasaran kegiatan apakah laki-laki atau perumpuan atau keduanya • Waktu pelaksanaan kegiatan seperti penanaman mangrove dan rapat kelompok haryus

disepakati bersama oleh anggota kelompok dengan mempertimbangkan jadwal kerja domestik rutin harian perempuan seperti jam memasak

• Perlu mendorong atau memancing keaktifan perempuan dalam berpencapat • Tidak membedakan akses modal usaha dan menganggap usaha yang dilakukan perempuan

seperti membuat kue dan beternak ayam merupakan usaha yang kecil • Memberikan arahan atau pendampingan khusus bagi perempuan dalam pengembangan

usaha atau memulai usaha karena pada umumnya perempuan tidak memiliki kontrol terhadap usaha sendiri

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Memberikan pemahaman khusus kepada para suami dan sesekali suami yang bukan anggota kelompok diundang agar dapat memahami manfaat yang akan didapat baik oleh istri maupun keluarga dengan keikutsertaan istri dalam kegiatan Green Coast.

b) Rekomendasi Kegiatan Rehabilitasi

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan dan informasi-informasi lainnya dari lapangan, direkomendasikan beberapa hal yang terkait dengan pelaksanaan program rehabilitasi di Desa Kedue Unga sebagai berikut:

• Penetapan desa Krueng Tunong sebagai salah satu “demo site’ proyek GC 2 Jenis kegiatan, kondisi bioisik dan bentang lahan di lokasi proyek GC 2 dinilai sangat ideal dan

mendukung untuk ditetapkan sebagai demo site. Di barisan depan, terpatnya di sepanjang pantai berpasir, terdapat kegiatan pengembangan sabuk hijau atau green belt yang diharapkan mampu berfungsi sebagai pelindung daratan dari gelombang pasang dan pemecah angin. Sementara di belakangnya, dapat dijumpai suatu penerapan kegiatan silvofishery di areal pertambakan miliki warga desa yang menjembatani kegiatan penanmana mangrove dengan budidaya ikan/udang. Bahkan di sekitar desa, terdapat kegiatan penghijauan melalui kegiatan penanaman kelapa di halaman dan kebun milik masyarakat.

Dengan melihat kondisi sosial ekonomi yang cukup baik, kesadaran lingkungan yang cukup tinggi, persepsi postif dari masyarakat, antusiaisme yang tinggi, serta pengorganisasian kegiatan yang baik di lapangan, di prediksi bahwa program-program tersebut si atas akan dapat terselenggara dengan baik dan menuju pada suatu kerberhasilan. Atas dasar hal inilah maka, sangat disarankan untuk dapat mempertimbangkan kegiatan restorasi pesisir di Desa Krueng Tunong ini menjadi salah satu lokasi percontohan (demo site) bagi proyek Green Coast phase 2.

• Pengayaan jenis dalam program penghijauan pantai Salah satu kelemahan di dalam pelaksanaan kegiatan restorasi pesisir di Desa Krueng Tunong ini

adalah terbatasnya spesies tumbuhan yang di tanam, baik jenis tanaman pantai maupun mangrove. Di pantai berpasir, jenis yang ditanam hanyalah cemara Casuarina equisetifolia. Meskipun diprediksi bahwa sebagian besar pagar kuda-kuda akan tumbuh, namun tetap saja bahwa kondisi di lapangan tetap miskin atas biodiiversity. Sementara itu, jenis mangrove yang ditanam hanya terdiri dari tiga species yaitu Rhizophora apiculata, R.mucronata, dan Avicennia marina. Padahal, kondisi substrat dan hydrologis di beberapa lokasi sekitar tambak dan saluran air dinilai sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan beberapa jenis mangrove lainnya. Di bawah ini adalah beberapa jenis tanaman yang direkomendasikan untuk lebih memperkaya jenis di lapangan.

Tanaman pantai (beach plant) • Ketapang Terminalia cattapa • Nyamplung Callophylum inophyllum • Putat Barringtonia asiatica • Malapari Pongamia pinnata • Waru laut Hibiscus tiliaceus • Pandan Pandanus tectorius • Bintaro Cerbera manghas • Hernandia peltata • Ara Ficus spp

210 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Jenis Mangrove • Kayu kuda Dolicandrone spatachae • Pedada/berembang Sonneratia alba • Tanjang Bruguiera cylindrica, B.gymnorrhiza

c) Lokasi alternatif penanaman mangrove

Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat beberapa lokasi yang memiliki daya dukung yang optimal untuk penanaman mangrove yaitu: areal di tepi sepanjang sungai, saluran air dan badan air yang substratnya berlumpur. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pegecekan substrat dan penilaian kondisi hidrologis harus dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan kesesuaian substrat untuk kegiatan penanaman.

d) Rekomendasi pola tanam dalam silvofishery

Sebagain besar tambak memiliki daratan di bagian tengahnya. Berdasarkan pengamatan, daratan ini tidak pernah atau sangat jarang terendam air. Hal ini terlihat dengan adanya penutupan vegetasi di daratan tersebut. Bahkan tidak jarang, beberapa diantaranya telah ditumbuhi beberpa jenis pohon terutama Commersonia spp dan Trema orientalis. Selain itu, pematan tambak juga memiliki ruang lebar yang cukup untuk ditanami.

Atas dasar kondisi inilah, sangat direkomendasikan untuk menanami kedua lokasi (daratan di tengah tambak dan sepanjang pematang tambak) tersebut. Untuk daratan di tengah tambak, jenis tanaman yang direkomendasikan adalah tanaman buah-buahan atau jenis lain yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat antara lain Mangga Mangifera indica, Belimbing wuluh Averrhoa bilimbi, Pepaya Carica papaya, dan beberapa jenis lainnya. Sementara di sepanjang pematang, beberpa tanaman peneduh seperti kuda-kuda Lannea coromandolica dan Gamal Glirichidia sepium sangat disarankan. Khusus di tepi tambak, penanaman bakau (Rhizophora mucronata dan R.apiculata) sangat disarankan. Penanaman dapat dilakukan dengan jarak tanam yang cukup rapat yaitu 1 m x 1 m. Di bawah ini adalah ilustrai sederhana yang menggambarkan alternatif pola tanam di areal pertambakan.

Keterangan:

♣ = Tanaman buah-buahan, dengan jarak tanam 3 m x 3 m atau 3 m x 5 m x

= Mangrove, dengan jarak tanam 1 m x 1 m +

= Tanaman peneduh dengan jarak antar tanaman 2 m

Gambar 132. Ilustrasi sederhana tentang alteratif pola tanam di areal pertambakan

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Khusus untuk penanaman mangrove di sekitar tambak, penanaman propagul secara langsung pada substrat dinilai sangat memungkinkan untuk dilakukan mengingat kondisi tanah di sekitar tambak memiliki lapisan lumpur yang cukup tebal. Dengan penanaman propagul secara langsung, kegiatan akan lebih efektif, menghemat waktu, tenaga serta biaya.

Namun sayang, penanaman secara langsung ini masih belum bisa diterapkan di lapangan mengingat kelompok masyarakat saat ini telah terlanjur mempersiapkan bibit di persemaian. Dengan kata lain, mangrove yang akan ditanam akan menggunakan bibit yang sedang mereka persiapkan di persemaian.

e) Penataan batas lokasi penanaman

Dalam rangka memudahkan operasional di lapangan, monitoring dan pengawasannya, perlu dilakukan penataan batas yang jelas di lokasi penanaman. Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda (pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman antara lain: luas lokasi penanaman, pelaksana penanaman, jenis bibit yang ditanam, tanggal penanaman, dan beberapa informasi penting lainnya.

G. PULOT

1. Profil Umum Lokasi

Secara administratif Desa Pulot berada dalam wilayah Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar. Desa Pulot terdiri dari empat dusun yaitu Lhong Raya, Pasir, Teungoh, dan Dusun Ujong. Perjalanan menuju Desa Pulot dari Kota Banda Aceh menempuh jarak sekitar 30 Km melalui jalur darat dengan kondisi jalan yang cukup baik berupa jalan aspal dan sekitar 30% berupa tanah yang dikeraskan untuk tahap pengaspalan.

Secara geografis Desa Pulot berada pada koordinat 5° 21' 51.91" N 95° 14' 59.68" E dengan batas wilayah :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lamseunia • Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia • Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Layeun • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lamseunia

Desa Pulot merupakan salah satu desa yang menjadi korban bencana gempa dan gelombang tsunami di akhir tahun 2004 lalu. Wilayah desa Pulot terdiri dari wilayah perairan laut, pantai, beberapa genangan air yang membentuk lagun, persawahan, pemukiman penduduk, beberapa aliran sungai kecil, kebun dan hutan di bagian perbukitan. Beberapa aliran sungai kecil mengalir dari perbukitan yang berbatu. Di beberapa bagian aliran ini cukup terjal dan cukup membentuk beberapa undakan air terjun kecil yang sangat menarik. Udara di bagian hutan ini sangat menyegarkan. Beberapa jalan setapak melintasi hutan yang bercampur kebun-kebun masyarakat. Tanaman yang mengisi kebun-kebun tersebut antara lain; Durian, Pala, Rambutan, Manggis dan Kecapi.

Desa Pulot berada dalam sebuah lembah atau cekungan di dekat pantai dengan kelerengan < 8%. Bagian cekungan atau lembah tersebut tergolong dalam sistem lahan Lubuk Sikaping (LBS) yang berupa kipas kipas aluvial non vulkanik yang melereng landai (gently sloping non vulcanic alluvial fans). Di sekelingnya – kecuali di arah barat yang berbatasan dengan laut – terdapat gunung-gunung tersusun atas pualam dan batu gamping yang memanjang dari utara ke selatan yang merupakan

212 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 212 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 133. Salah satu airt terjun kecil yang terdapat di belakang Desa Pulot dan merupakan sumber air tawar laguna

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

214 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Tipologi Lahan Basah

Gambar 134. Sketsa situasi desa Pulot dan sekitarnya.

Keterangan : Bagian yang diarsir putih adalah laguna. Garis biru adalah jalur jalan lama dan garis merah adalah perkiraan jalur jalan baru.

Di desa Pulot terdapat sungai permanen (M)yaitu Krueng Pulot. Di beberapa bagian tepi sungai dibangun kolam-kolam budidaya ikan (1). Meskipun tidak luas di dekat muara sungai semula terdapat komunitas Nipah (Nypa fruticans) (I) yang saat ini seluruhnya telah hilang sebagai akibat dari terjadinya tsunami. Selain itu, tsunami juga mengakibatkan penumpukan sedimen di muara sungai dan memutus aliran sungai ke laut, sehingga terbentuk laguna (K).

Pantai di Desa Pulot merupakan pantai berpasir (E). Di sepanjang pantai, saat ini sudah dibangun tanggul pengaman yang terbuat dari susunan batu. Pantai di desa Pulot merupakan pantai dengan aktifitas nelayan yang cukup tinggi.

Dari seluruh tipe ekosistem lahan basah yang ada di desa Pulot, laguna adalah ekosistem lahan basah yang mendapat perhatian cukup besar. Laguna ini terbentuk karena sediment yang terangkut oleh gelombang tsunami menutup muara sungai Krueng Pulot. Dengan kondisi semacam ini, laguna di Desa Pulot lebih sesuai utuk dikategorikan sebagai laguna air tawar (K) dibanding laguna air payau atau asin (J)

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. Profil Vegetasi

Pulot merupakan salah satu desa di Aceh yang mengalami kerusakan serius akibat Tsunami 2004. Bencana Tsunami telah menelan korban ratusan warga desa serta meluluh lantakkan hampir seluruh rumah beserta infrastruktur lainnya. Dari pengamatan di lapangan, pesisir desa Pulat mengalami perubahan lansekap dimana garis pantai maju kearah daratan antara 150 hingga 200 meter. Di duga kuat bahwa fenonema ini terjadi karena gempa bumi yang sangat kuat yang berdampak terhadap berubahnya lempeng bumi.

Gambar 135. Perubahan lansekap pesisir, garis pantai maju kea rah daratan

Gelombang Tsunami yang menghantam pesisir Pulot telah meluluhlantakkan vegetasi yang tumbuh di sepanjang pesisir. Kebun kelapa yang dahulu tumbuh di pantai, seluruhnya patah dan mati terhantam gelombang Tsunami. Saat ini, lokasi kebun kelapa ini telah menjadi bagian dari laut. Hantaman ombak juga manghancurkan sebagian besar tumbuhan yang ada sekitar desa hingga di kaki bukit.

Hampir 4 tahun setelah bencana, kondisi vegetasi di desa Pulot telah mengalami perkembangan. Suksesi dan regenerasi alami telah membentuk beberapa tipe vegetasi di pesisir desa Pulot. Dinamika populasi vegetasi ini juga mengalami perbaikan seiring dengan adanya campur tangan positif manusia melalui kegiatan penanaman, baik penanaman mangrove maupun tanaman pantai.

Berdasarkan pengamatan vegetasi di pesir desa ini, setidaknya dijumpai 5 tipe vegetasi yaitu : Hutan bukit pantai, formasi Pes-caprae, vegetasi di sekitar laguna, vegetasi di sekitar desa, semak belukar, Hutan bukit pantai belakang.

Keterangan: A : Hutan bukit pantai (depan) B : Formasi Pes-caprae C : Vegetasi di sekitar desa D : Vegetasi di sekitar laguna E : Semak belukar F : Hutan bukit (belakang)

Gambar 136. Profil melintang tipe vegetasi di pesisir desa Pulot

216 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Di bawah ini adalah uraian lebih lanjut mengenai masing-masing tipe vegetasi yang ada di pesisir desa Pulot.

a) Hutan bukit pantai

Sebagian besar areal berbukit yang berada di bagian depan pesisir merupakan areal berhutan dengan keragaman dan kerapatan yang cukup tinggi. Beberapa jenis pohon yang umum dijumpai di hutan ini antara lain Juwet Syzygium cuminii, Bayur Pterospermum diversifolium, Callicarpa arborea, Mahang Macaranga tanarius, Terap Artocarpus spp., Pala hutan Myristica spp. Manggis Garcinia spp., Durian Durio zibethinus, Guettarda speciosa, Ara Ficus spp, dan beberapa jenis pohon lainnya. Diantara jenis-jenis pohon tersebut, Juwet Syzygium cuminii memiliki manfaat yang cukup penting, baik bagi penduduk pulot maupun kehidupan satwa. Selain jenis pohon-pohonan, terdapat pula beberapa jenis palm antara lain Aren Arenga pinnata, Lontar Borrasus spp., dan beberapa jenis rotan (Calamus spp). Kondisi vegetasi di hutan bukit ini relatif bagus dimana tidak ditemukan adanya tanda- tanda kerusakan yang dakibatkan oleh manusia.

Gambar 137. Kondisi umum vegetasi di hutan bukit pantai

b) Formasi Pes Caprae

Formasi ini sangat umum dijumpai di pesisir, terutama di sepanjang pantai berpasir. Herba katang- katang atau Galaran Ipomea pers-caprae merupakan tumbuhan penciri dalam formasi ini. Keberadaan herba ini sekaligus merupakan indikator bahwa suatu areal yang ditumbuhi memiliki “kesesuaian” untuk ditanami dengan beberapa tanaman pantai (misalnya cemara, kelapa, nyamplung dll). Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa jenis tumbuhan lain yang umum dijumpai di formasi ini antara lain Desmodium umbelatum, Indigofera suffruticosa, Calopogonium mucunoides, Timmonius compressicaulis dll.

Areal ini memiliki penutupan vegetasi hingga 80% dengan dominasi herba galaran Ipomea pes- caprae. Dominasi herba ini sangat tinggi sehingga areal ini diklasifikasikan sebagai formasi Pes- caprae. Selain jenis herba ini, dijumpai terdapat juga Kacang laut Canavalia maritima, suatu jenis herba yang menyerupai Ipomea pes caprae. Selain kedua jenis tersebut, beberapa jenis tumbuhan lainnya juga ditemukan antara lain Cymbopogon calcicola, teki laut Ischaemum muticum, Cyperus stoloniferius, Fimbristylis cymosa, dan Biduri Calatropis gigantea.

Gambar 138. Kondisi umum vegetasi di Formasi Pes-caprae

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Formasi ini dinilai memiliki daya dukung lingkungan yang cukup memadai untuk kegiatan rehabilitasi pantai. Penutupan vegetasi dari berbagai jenis herba mengindikasikan bahwa areal ini telah stabil serta bebas dari air laut pasang.

c) Vegetasi sekitar desa

Vegetasi sekitar desa meliputi tumbuhan yang ada di pekarangan, kebun halaman, kanan kiri jalan serta lokasi lain yang ada di desa. Sebagian besar vegetasi di sekitar desa merupakan jenis tanaman budidaya yang secara sengaja ditanam penduduk untuk menambah pendapatan, peneduh atau motif lainnya. Beberapa jenis tanaman yang ditanam masyarakat antara lain Gamal Glirichidia sepium, Kuda-kuda Lannea coramandolica, Kelapa Cocos nucifera, Pepaya Carica papaya, Jambu bol Zyzygium malaccensis, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Namun demikian, berbagai spesies yang tumbuh secara alami juga dapat dijumpai dengan mudah antara lain Kresen Muntingia calabura, Putri malu Mimosa pudica, Biduri Calatropis gigantea, Turnera ulmifolia, Catharanthus spp dan lain- lain.

Gambar 139. Kondisi umum vegetasi di sekitar desa Pulot

d) Vegetasi sekitar laguna

Secara sederhana, tumbuhan yang ada disekitar laguna dapat dikategorikan menjadi dua yaitu jenis yang tumbuh secara alami dan jenis yang sengaja ditanam melalui beberapa program/proyek.

Jenis yang tumbuh secara alami di sekitar laguna sebagian besar didominasi oleh beberapa jenis rumput antara lain Ischaemum spp., Chrysopogon spp., dan Eleusine spp. Beberapa jenis tumbuhan lain yang secara sporadis dijumpai disekitar laguna antara lain Desmodium umbelatum, Jatropha gossypiifolia, Peltuphorium spp., Waru Hibiscus tiliacus, Paku piai Achrosticum spp, Passiflora pinnata, Biduri Calotropis gigantea, dll. Di tepi laguna, seringkali terlihat koloni Typa spp yang merupakan pertanda bahwa salinitas air di laguna ini relatif rendah. Di bagian belakang laguna, terdapat koloni Nipah Nypa fruticans yang sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat.

Selain jenis yang tumbuh di sekitar laguna secara alami, beberapa jenis mangrove telah ditanam di sekeliling laguna. Kegiatan penanaman ini dilakukan oleh BRR dan WIIP melalui Green Coast Project. Dari pengamatan di lapagan, jenis mangrove yang ditanam antara lain Rhizophora mucronata, R. Apiculata dan R. Stylosa. Diantara ketiga jenis tersebut, R. Mucronata memiliki proporsi yang paling banyak.

218 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 140. Kondisi vegetasi alami di sekitar laguna

Gambar 141. Mangrove yang ditanam di sekeliling laguna

e) Semak belukar

Tipe vegetasi umumnya tersebar di bagian belakang pesisir, terutama paling banyak berada di daerah antara laguna dan hutan bukit. Kondisi tutupan vegetasi semak belukar di desa ini bervariasi. Dari observasi di lapangan, berbagai jenis pohon tumbuhan umum dijumpai di semak belukar antara lain Mahang Macaranga gigantea Piper aduncum, gamal Glirichidia sepium, kuda-kuda Lannea caromandelica, Caesalpinia crista, Peltophorum pterocarpum, Commersonia bartramia, dan Trema orientalis. Selain jenis pohon, dijumpai pula berbagai jenis rumput dan herba antara lain Cyperus maritime, Ipomea pes-caprae, Desmodium umbellatum, malapari Pongamia pinnata, Kayu Tulang Clerodendrum inerme, Leea indica, Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, Seruni Widelia biflora, ketepeng Senna alata, senduduk Melastoma candidum, dan

Gambar 142. Kondisi semak belukar di desa Pulot

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Secara ekosistem, hutan bukit belakang ini terhubung dan memiliki keterkaitan dengan hutan pantai depan. Kondisi vegetasi di kedua lokasi tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Jenis-jenis tumbuhan yang dijumpai di hutan pantai belakang sebagian besar juga ditemukan di hutan bukit belakang. Dari pengamatan di lapangan, hutan bukit ini memiliki beberapa jenis pohon penghasil buah seperti Duiran Durio zibethinus, Terap Artocarpus spp., Juwet Zyzygium cuminii, dan Manggis Garcinia spp. Selain itu, hutan ini juga memiliki berbagai jenis pohon penghasil kayu antara lain Meranti Shorea spp., Podocarpus spp.,

Gambar 143. Kondisi hutan bukit di desa Pulot

Pengamatan di lapangan mengidentifikasi beberapa titik di hutan ini yang mengalami degradasi. Di beberapa titik tersebut, telah terjadi penebangan pohon yang dilakukan oleh oknum warga. Bahkan beberapa diantaranya membangun pondok sederhana untuk dijadikan sebagai tempat beraktifitas misalnya mencari buah atau hasil hutan lainnya.

4. Keanekaan Fauna

Dengan kondisi kawasan yang cukup unik, mulai dari tepi pantai di bagian barat hingga daerah perbukitan di sebelah timur, wilayah Desa Pulot masih menjadi habitat yang baik bagi beberapa jenis hidupan liar. Tidak kurang dari 44 jenis burung tercatat ditemukan di daerah ini, termasuk 3 jenis rangkong dan 3 jenis burung pemangsa/elang. Dari kelompok mammalia, sekitar 15 jenis diperkirakan masih terdapat di wilayah ini, berdasarkan perjumpaan langsung, temuan jejak, sisa makanan, kotoran dan informasi dari penduduk setempat. Keanekaan herpetofauna (amhipia dan reptil) belum terkaji secara khusus, namun sungai-sungai kecil yang mengalir di sela perbukitan di wilayah ini diperkirakan menjadi habitat yang potensial untuk sebagian dari sekitar 171 jenis herpetofauna yang tercatat terdapat di KEL.

Meski tidak sekaya kawasan ekosistem Leuser, namun berdasarkan hasil kajian singkat tim survey dari Wetlands International Indonesia Program, didapati bahwa daerah ini masih menjadi habitat bagi beberapa satwa liar yang cukup langka dan dilindungi, seperti: Siamang (Hylobates syndactylus), Ungko/uway (Hylobates agilis), Kedih (Presbytis thomasi), beberapa jenis rangkong (Bucerotidae), burung pemangsa/elang (Accripitidae), serta burung pengisap madu (Nectarinidae).

a) Kelompok Primata

Catatan menarik dari kawasan hutan yang tersisa di perbukitan di sebelah timur Desa Pulot adalah, ditemukannya 6 jenis primata (4 diantaranya merupakan jenis dilindungi oleh undang-undang). Ke-6 jenis primata tersebut adalah; Lutung/bru itam Presbytis cristatus; Kedih Presbytis thomasi; Kera ekor- panjang (bru puteh) Macaca fascicularis; Beruk/ungkong Macaca nemestrina; Ungko/uway Hylobates agilis; Siamang/mbombot Hylobates syndactylus.

220 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 220 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kelompok burung ini berukuran besar, di Pulot sering disebut: primping, enggang atau burung keranda. Umumnya bersifat arboreal (menggunakan bagian tajuk atas). beberapa memiliki tanduk yang menonjol di atas paruh yang kadang-kadang berwarna mencolok. Pemakan buah-buahan dan kadang serangga.

Perilaku bersarangnya sangat menarik. betina yang sedang mengerami telurnya biasanya dikurung di dalam lubang pohon yang ditutup dengan lumpur, hanya disisakan sedikit lubang yang cukup untuk melewatkan makanan oleh jantan. sewaktu telur menetas, betina memecahkan penutup sarang, lalu menutupnya sampai saat burung muda siap untuk terbang.

Jenis yang ditemukan di Pulot: Enggang klihingan (perimping) Anorrhinus galeritus; Julang emas (enggang) Aceros undulatus, dan Kangkareng perut-putih (Perimping) Anthracoceros albirostris.

c) Kelompok Burung pemangsa/elang

Kelompok burung ini juga berukuran besar, di Pulot sering disebut: kleung atau burung elang. Pemakan daging, memiliki paruh berkait yang tajam serta cakar yang kuat. Kemampuan terbang, melayang dan mengikuti aliran udara sangat bermanfaat untuk menangkap mangsanya diudara atau di darat.

Umumnya membuat sarang besar dari ranting/batang kayu yang menempel di atas tajuk pohon atau batu karang. Sebagai pemangsa, kelompok burung ini berperan sebagai kontrol di puncak piramida makanan.

Jenis yang ditemukan di Pulot: Elang bondol Haliastur indus, Elang-laut perut putih Haliaeetus leucogaster, dan Elang hitam Ictinaetus malayensis.

d) Kelompok Burung madu

Kelompok burung ini berukuran kecil dan umumnya berwarna-warni, di Pulot sering disebut: tik-tik atau burung pagar. Pemakan nektar, dan sari buah. Bersifat aktif, bergerak terus mencari makan. Berfungsi sebagai media penyerbuk dari bung-bunga yang dikunjunginya. Fungsi ini sangat penting dalam perkembangbiakan tumbuh-tumbuhan secara alami.

Sarang burung madu bergantung pada pohon, berstruktur indah, terbuat dari rumput dan bahan lunak lainnya. Beberapa jenis menjahitnya dibawah dedaunan, menjalin sarangnya dengan serat jaring laba-laba sebagai penahan.

Jenis yang ditemukan di Pulot: Burung-madu Sriganti (titik-tik) Nectarinia jugularis Catatan; diperkirakan beberapa jenis lainnya juga terdapat di wilayah desa pulot ini, namun belum

teramati.

5. Tanah dan Pertanian

Di lokasi Pulot tidak dilakukan pengumpulan data dan informasi Tanah dan Pertanian

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Mata pencaharian utama penduduk Desa Pulot adalah petani ladang dan nelayan. Aktivitas pertanian berladang dilakukan masyarakat dengan membuka hutan yang terdapat di kaki bukit. Ketergantungan masyarakat pada keberadaan hutan berbukit diantaranya sebagai lokasi mata pencaharian hasil hutan seperti rotan dan kayu. Berdasarkan informasi warga setempat, pada masa konflik, hutan yang terdapat di perbukitan Desa Pulot juga pernah dijadikan markas atau tempat persembunyian milisi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

b) Demografi

(1) Populasi

Berdasarkan pencatatan yang dilakukan pemerintah melalui Badan Pusat Statistika dapatkan bahwa total populasi penduduk Desa Pulot pada tahun 2003 adalah 441 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 219 jiwa atau 50% dan perempuan 222 jiwa. Data tahun 2005 menunjukan adanya penurunan populasi sebesar 12% atau menjadi 387 jiwa sedangkan jumlah kepala keluarga meningkat sebesar 18%. Bila dibandingkan jumlah kepala keluarga (KK) sebelum dan sesudah tsunami antara tahun 2003 dan 2007 terlihat bahwa telah terjadi penambahan secara pesat sebesar 108%. Berdasarkan informasi dari warga Kepala Desa dan pengalaman kerja di Pulot dari tahun 2006, hal tersebut dikarenakan banyaknya jumlah pasangan baru menikah pasca tsunami terutama kaum laki-laki dan mereka juga memutuskan untuk tinggal di Pulot.

Tabel 86. Populasi penduduk Desa Pulot dan Kecamatan Leupung tahun 2003 dan 2005 Populasi Kepadatan Penduduk

Tahun Jumlah KK Laki-laki Perempuan

Total

(ind/ km2)

Desa Pulot

Kecamatan Leupung

Sebelum tsunami komposisi penduduk cenderung berimbang antara laki-laki dan perempuan. Setelah tsunami jumlah laki-laki lebih banyak dari pada perempuan namun masih dalam perbandingan yang cenderung seimbang. Tren jumlah penduduk pasca tsunami dari tahun 2003 ke 2005 menurun sangat tajam yaitu sebesar 77% sebagaimana diilustrasikan pada gambar berikut.

222 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Desa Pulot Kecamatan Leupung X 20

Gambar 144. Pertumbuhan penduduk Desa Pulot dan Kecamatan Leupung Agama utama di Desa Pulot adalah Islam dan sampai dengan saat ini belum pernah ada penduduk

Desa Pulot yang beragama selain Islam. Etnis utama penduduk Pulot adalah Aceh yang tersebar dari Pidie, Banda Aceh, Aceh Barat dan Aceh Selatan.

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Kegiatan mata pencaharian peduduk Pulot sangat variatif mulai dari aktivitas di gunung dan di laut. Masyarakat sangat menggantungkan kegiatan mata pencaharian pada keberadaan hutan yaitu sebagai tempat berkebun, mendapatkan kayu dan rotan. Kegiatan menangkap ikan dilakukan dengan menggunakan boat dengan mesin tempel ataupun memiliki palung yang ditempatkan di desa tetangga (Desa Layeun). Kombinasi aktivitas mata pencaharian juga dipengaruhi oelh musim. Saat musim Barat dimana angin bertiup sangat kencang, pada umumnya nelayan beralih pada kegiatan menjaring di laguna ataupun mencari kayu di gunung. Secara umum ritme kombinasi kegiatan mata pencaharian penduduk Desa Pulot disajikan pada tabel berikut

Tabel 87. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Desa Pulot sebelum Tsunami

Jenis Pekerjaan

Bulan

(sebelum Tsunami) dimulai dari yang

Jul Agus Sep Okt Nov Des paling penting

Jan Feb Mar Apr Mei

Jun

Kebun hortikultur : - - - - - persiapan tanam panen & sayur-sayuran

pembersihan - Kebun hortikultur:

durian, manggis, rambutan, jamblang

Dipanen setahun sekali setelah berumur lebih dari 10 tahun

Syzgium cumini Hasil hutan : kayu

√-- - - Hasil hutan: rotan,

kerajinan rotan √

√-- - - Nelayan muara

√ √ Nelayan laut

Musim Timur Ikan asin

Musim Timur

Musim Barat (kendala melaut)

√ ---- - - Ternak kambing,

sapi √

√ √ Kebutuhan Kredit

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Pertanian

Kegiatan berladang dengan menanam sayuran dan tanaman tahunan banyak di kembangkan oleh masyarakat Pulot. Hal terebut terkait juga dengan topografi desa Pulot yang cenderung berbukit dan langsung berhadapan dengan pantai. Kebun sayur banyak dikembangkan di kaki bukit sedangkan tanaman tahunan berupa tanaman buah-buahan sepeti jamlang Syzgium cumini, durian, manggis dan rambutan ditanam di lokasi yang lebih tinggi. Ketika musim buaha-buahan Pulot merupakan salah satu tujuan atau sumber buah-buahan tempat para agen buah mencari sumber buah. Bahkan sangat umum konsumen langsung yang membeli buah-buahan langsung ke Desa sumbernya. Aktivitas tersebut sangat ramai ketika hari libur (minggu) dan dijadikan semacam wisata.

Hasil panen tanaman hortikultura dijual kepada agen yang langsung datang ke lokasi ataupun agen yang berasal dari Desa Pulot sendiri. Tanaman sayuran selain dijual di dalam desa, juga dijual ke Leupung. Produksi tanaman sayuran dalam satu tahun pada umumnya hanya satu kali ataupun maksimal dua kali tanam dalam setahun. Kondisi tersebut dikarenakan dekatnya dengan pantai sehingga udara cenderung kering dan kurang cocok untuk sayuran.

Berdasarkan informasi dari dari dua orang responden menyebutkan bahwa sampai sejauh ini mereka belum pernah meminjam modal untuk mengembangkan usaha pertanian tersebut.

(4) Budidaya Tambak

Tambak yang dikemabngkan di Laguna baru dimulai setelah tsunami atau sekitar Januari 2007. Pada masa itu sedang marak rehabilitasi tambak yang difasilitasi BRR dengan menggunakan ekskavator. Salah seorang warga yang tanahnya berada dipinggir laguna mengembangkan tambak sekitar 2 ha seperti ditunjukan pada gambar berikut. Namun sampai dengan saat ini tambak tersebut tidak beroperasi karena (1) konstruksi tambak yang tidak sesuai, arah saluran inlet dan outlet yang tidak terpisah; (2) suplai air hanya tergantung dari laguna yang kadang-kadang tertutup atau surut; (3) saluran pembuangan dan sumber air yang sama tentu tidak bagus membuang limbah dari tambak ke laguna dan mengambil kembali air yang ada sedangkan laguna sendiri cenderung stagnan; (4) tidak memiliki modal yang cukup; (5) tidak memiliki pengalaman dalam mengembangkan tambak. Saat tambak akan dibuka sebagain besar warga Desa Pulot menolak ide tersebut karena bangunan tambak tidak sesuai dengan rencana tata ruang Desa yang telah dikembangkan melalui fasilitasi kegiatan Green Coast. Tapi warga tidak dapat berbuat banyak karena lahan yang dibuka tersebut adaah miliki pribadi dan ternyata pembukaan tambak telah mengubah luasan laguna.

Gambar 145. Tambak yang di bangun di tepi laguna sehingga mengurangi luasan laguna

224 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(5) Perikanan Tangkap

Pekerjaan sebagai nelayan dapat dilkelompokan menjadi dua kategori yaitu nelayan di muara atau beraktivitas di sekitar laguna, muara dan kegiatan penangkapan dilaut lepas. Nelayan yang menangkap di laguna dan muara menggunakan sampan kecil dengan alat tangkap tangkap berupa jaring. Nelayan yang melaut ke Samudera Hindia menggunakan boat dengan mesin tempel atau menggunakan palung. Tempat pendaratan nelayan dari luat lepas tidak ke Pulot karena bentuk muara yang sempit dan tidak dalam sehingga banyak nelayan pulot yang memarkirkan boat dan palungnya di Desa Layeun yang berjarak sekitar ± 2km. Hasil tangkapan nelayan di Samudera Hindia diantaranya : hiu, rambeuh, kueh, tongkol, layur, tenggiri, kakap, bandeng.

Modal yang digunakan untuk melaut di laut lepas sangat tinggi karena harus membayar biaya solar yang pada saat ini harganya Rp 4400/l. Dalam satu kali operasi sehari dibutuhkan dibutuhkan 4 liter solar. Model aktivitas yang dikembangkan dengan menggunakan boat dengan mesin tempel adalah one day fishing sedangkan untuk palung selama rata-rata tiga hari.

Musim yang menjadi kendala bagi nelayan yang menggunakan boat dengan mesin tempel adalah musim barat karena angin di Samudera Hindia sangat kencang menimbulkan gerakan ombak yang besar. Bagi nelayan palung musim barat tidak begitu menjadi kendala karena ukuran kapal yang dioperasikan cukup besar sehingga dalam kondisi gelombang yang tinggi kapal dapat beroperasi tanpa ada kendala.

Aktivitas nelayan di muara atau di laguna relatif dapat dilakukan sepanjang musim, dan saat pasang ataupun surut. Saat ini terkadang laguna surut karena terkdang mulut laguna yang menghubungkan dengan pantai terkadang terbuka sehingga ketika surut volume air yang ada berkurang. Beda tinggi muka air saat pasang dan surut di dalam laguna adalah ±2m. Jenis ikan yang biasanya didapatkan nelayan dari hasil menjaring di laguna adalah kakap Lates calcarifer, tengoh Lutjanus argentimaculatus, tanda Lutjanus fulvus, mata merah Caranx sp.

Usaha pengolahan hasil ikan menjadi ikan asin terdapat di Desa Pulot. Usaha tersebut difasilitasi oleh

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Berdasarkan data Podes BPS menyebutkan bahwa pada tahun 2003 terdapat total 84 unit rumah yang terdiri dari 18 rumah permanen dan 66 rumah non permanen. Pada umumnya rumah penduduk berupa semi permanen. Rumah permanen bantuan tsunami yang ada di Desa Pulot berdiri sejak September 2006 merupakan bantuan dari CHF dengan sebelumnya warga menempati rumah sementara (temporary shelter) bantuan dari Palang Merah Canada. Fasilitas pendukung perumahan seperti kamar mandi/ MCK umum dan tempat sampah merupakan bantuan dari OXFAM.

Tabel 88. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Pulot tahun 2003 dan 2005

Jumlah Rumah unt k

MCK Tahun

itas akar

asa

non PLN

air untu

mem Drainase Permanen

Fasil Permanen Permanen

Lampu Jal

Sumber Air Bersih

Bahan b

Kayu ada 2005 N/A N/A N/A Yes 0

66 21 Yes

48 0 Ada Well Well Tidak Tidak ada

0 No Tangki Sumur Umum Minyak tanah N/A

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Akses listrik yang digunakan masyarakat saat ini berasal dari Genset Desa yang aktif dari pukul 19.00 sampai dengan 22.00. Arus listrik lainnya didapat dari tenaga matahari untuk mengaktif

kan radio dengan menggunakan energi matahari. Air bersih yang digunakan untuk kegiatan rumah tangga berasal dari sumur galian di setiap rumah

yang dibangun oleh OXFAM berikut kamar mandinya. Sesaat setelah tsunami, masyarakat juga menikmati fasilitas air bersih dari tanki-tangki air batuan dari Islamic Relief.

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak saat ini adalah kombinasi dari minyak tanah dan kayu bakar karena masih mudahnya untuk mendapatkan kayu bakar di hutan belakang desa.

(2) Pendidikan

Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Pulot hanya sampai dengan SD. Perkembangan jumlah fasilitas pendidikan formal dan informal di Desa Pulot pasca tsunami cukup berkembang dengana adanya SD serta TPA yang dibangun dengan bantuan dana dari PPK Program Pengembangan Kecamatan. SMP terdekat dapat ditempuh sejauh 17 km yaitu di Desa Riting sedangkan SMU lebih dekat yaitu hanya 1 km dari pulot terletak di Desa Lhoong. Kendaraan yang digunakan oleh pelajar biasanya adalah mobil pick up salah seorang warga orang tua dari pelajar SMP Riting tersebut dan siswa lain membayar ongkos transportasi ala kadarnya.

Tabel 89. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Desa Pulot

TK SD SMP SMA Sekolah Teknik Menengah Akademi/Universitas

kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

Swasta Negeri terde Jarak

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Akses menuju Desa Pulot saat kunjungan lapang dilakukan sangat mudah dilalui karena merupakan jalan utama pesisir barat. Hampir 80% telah berupa jalan aspal dan sebagian masih berupa pasir batu (sirtu). Dalam Tabel 90 dibawah ini disebutkan beberapa jenis kendaraan umum yang ada di Desa Pulot

Tabel 90. Akses dan sarana transportasi umum Desa Pulot Jalan

Jenis Tahun

Akses

Kendaraan Umum

kendaraan Desa

kendaraan roda 4

Andong Sampan Motor boat Umum Utama 2003 Aspal

Kendaraan

Roda Empat

Tidak Ada Roda empat 2005 Aspal

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada Roda empat

Ada Tidak

2007 Aspal Ya

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada Roda empat

226 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(4) Fasilitas Kesehatan

Bila dibandingkan desa terkena tsunami lainnya, fasilitas kesehatan berupa Puskesmas di Desa Pulot jauh lebih memadai. Dari sisi fisik bangunan dan peralatan sangat lengkap hanya saja waktu praktek atau layanan kesehatan belum 24 jam. Hal tersebut dikarenakan belum adanya jadwal jaga 24 jam. Fasilitas Puskesmas tersebut merupakan bantuan dari Pemerintah Saudi Arabia.

Tabel 91. Fasilitas Kesehatan di Desa Pulot Tahun 2003 dan 2005

Jumlah Jarak

Jarak Rumah

Jarak

Puskesmas/

Kemudahan Tahun

Kemudahan Rumah

Kemudahan

Terdekat Sakit (km)

(km) akses Umum

2003 - 13 Mudah 0 24 Mudah 0

13 mudah 2005 0 32.0 Mudah 0 26.0 Mudah

0 17.0 Mudah 2007 0 32.0 Mudah 0 26.0 Mudah

Kartu jaminan biaya atau dusebut dengan Kartu Sehat hampir seluruh penduduk Desa Pulot memilikinya. Namun demikian berdasarkan informasi dari penduduk meskipun sekarang sudah ada Puskesmas di Desa mereka jarang memeriksakan kesehatan bila belum ada keluhan yang berarti dan menghambat aktivitas harian. Puskesmas lebih ramai dikunjungi untuk memeriksakan kehamilan dan kesehatan balita.

Tabel 92. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005

Keluarga Memiliki

Kartu Persentase

Keluarga

Wabah penyakit yang pernah melanda

Tahun Keluarga

Balita Keluarga Tanda

Memiliki

Persentase

Peserta Penduduk

Kartu

Keluarga

KB Miskin

Memiliki KTPM (%)

Diare Campak Demam

berdarah Malaria ISPA

(KTPM)

2003 27 26 98 96 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 60 2005 0

0 0 0 NA N/A N/A N/A N/A N/A N/A

Hasil indentifikasi dari BPS, pada tahun 2003 tidak terjadi wabah penyakit diare, campak, demam berdarah, malaria dan infeksi saluran pernapasan di Desa Pulot.

(5) Fasilitas Keagamaan

Seluruh penduduk Desa Pulot menganut agama Islam dengan fasilitas ibadah yang ada yaitu mushala desa atau yang dikenal dengan sebutan meunasah dan saat ini sedang dilakukan pembangunan masjid sejak akhir tahun 2006. Fungsi meunasah tidak hanya untuk shalat berjamaah tapi juga pendidikan TPA (Taman Pendidikan Al Quran) serta untuk rapat Desa dan ruang kelas bagi siswa kelas 1 dan 2 SD.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(6) Sarana Komunikasi

Sarana komunikasi telepon, kantor pos dan internet tidak terdapat di Desa Pulot. Kantor pos terdekat terdapat di Desa Lhoong yang berjarak 4km. Jasa pengiriman barang biasa dititipkan dengan menggunakan angkutan umum L300 atau diantarkan langsung oleh yang bersangkutan ke alamat di tuju sepanjang masih dalam cakupan Banda Aceh, Sigli dan Aceh Barat. Sarana komunikasi yang pada umumnya dimiliki oleh warga adalah Televisi sebagai sarana hiburan dan informasi serta telepon genggam. Sejak awal tahun 2007 di Desa Pulot telah tersedia menara BTS Base Tranceiver Station salah satu operator seluler.

Tabel 93. Sarana komunikasi antara tahun 2003 dan 2005 di Desa Pulot

Kantor pos

Tahun

Wartel Internet memiliki

memilki TV

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan desa Desa Pulot sama seperti desa-desa lain di Prop NAD dimana desa dikepalai oleh kepala desa yang disebut Keuchik. Kheucik dibantu oleh kepala urusan pemerintahan, pemberdayaan dan kesejahteraan. Secara garis besar masing-masing kaur memiliki tugas sebagai berikut:

• Kepala urusan pemerintahan: Membantu kheuchik menjalankan pemerintahan Desa,

membuat peraturan Desa • Kepala urusan pemberdayaan: Membantu kheuchik mengkoordinasi kelompok-kelompok

sosial kemasyarakatan seperti karang taruna, kelompok pengajian serta kegiatan-kegiatan pemberdayaan

• Kepala urusan kesejahteraan: Membantu kheuchik memfasilitasi penyalurkan bantuan kepada

fakir miskin, anak yatim dan mengatur masalah keamanan desa

228 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tuha Peut

Keuchik

Imum Meunasah

Bendahara

Sekretaris

Kaur Pemerintahan

Kaur Pemberdayaan

Kaur Kesejahteraan

KaDus Pasi

KaDus Tengoh

KaDus Pucok Krueng

Gambar 146 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Pulot

Bapak M.Jamil kepala Desa Pulot sudah dua kali menjabat sebagai Kepala Desa selain dekat dengan masyarakat, Bapak M. Jamil juga cukup gesit mengurusi masalah warga dan pengurusan bantuan tsunami dari donor. Salah seorang wagra mengemukakan bahwa disamping kinerja kheucik yang bagus, diduga adanya unsur nepotisme dalam warga dalam pemilihan Kheucik secara langsung. Warga tersebut menyebutkan bahwa sebagian besar warga Desa Pulot adalah keluarga dari Bapak M. Jamil ataupun istrinya.

Tokoh adat seperti Tuha Peut semacam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat. Apapun urusan kewargaan akan ditangani secara langsung oleh Kheucik dan dibantu oleh Ketua Lorong dan pemuka agama atau disebut Pak Tengku.

(2) Kelompok Sosial Kemasyrakatan

Perkembangan kelompok sangat menjamur pasca tsunami teritama terkait penerimaan bantuan yang ensyaratkan adanya kelompok. Sebelum perjanjian damai Helsinky Juli 2005 sangat sulit bagi masyarakat Desa Pulot membentuk suatu kelompok karena kan dicurigai sebagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintah RI. Desa Pulot merupakan salah satu Desa yang dikenal sebagai markas GAM saat itu.

Kelompok-kelompok yang dapat teridentifikasi pasca tsunami yaitu

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 94. Kelompok sosial kemasyarakatan di Desa Pulot yang masih aktif

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Kelompok pengajian

Wirid Yasin dan pengajian rutin

2. Kelompok Menjahit dan

PMI Membuat Kue

Pelatihan menjahit dan membuat kue

3. Kelompok Simpan Pinjam

Pengelolaan dana bergulir

IPRD

4. Kelompok Penghijauan

Rehabilitasi ekosistem mangrove dan pengelolaan

WIIP

modal usaha bergulir

Kelompok pengrajin rotan

Memproduksi kerajinan rotan

Kelompok ikan asin

Memproduksi ikan asin

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Pembagian peran dalam kegiatan mata pencaharian sangat terlihat pada kegiatan tambak dan perikanan tangkap. Perempuan tidak pernah melaut juga tidak terlibat dalam penangan ikan sampai ikan tersebut dijual. Perempuan terlibat dalam pengolahan ikan untuk konsumsi konsumsi rumah tangganya. Semua aktivitas perikanan tangkap dilakukan laki-laki mulai dari persiapan perahu, penjaualan hasil tangkapan, bagi hasil penjualan dan pengelolaan modal. Penghasilan yang didapat suami dari setiap melaut akan diberikan kepada istri setelah dikurangi ± Rp 20.000,- untuk keperluan rokok dan minum kopi di kedai. Pengelolaan keuangan keluarga sepenuhnya dikelola oleh istri baik dana untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah dan dana taktis simpanan keluarga.

Kegiatan budidaya tambak hampir sepenuhnya dilakukan lak-laki mulai dari persiapan lahan, tebar benih, pemeliharaan dan panen. Beberapa perempuan ada yang terlibat saat memanen udang yaitu mengumpulkan udang-udang sisa panen yang tidak terambil ketika panen utama. Udang sisa yang terkumpul tersebut digunakan untuk kosumsi keluarga sendiri.

Sama halnya dengan keluarga nelayan pengelolaan keuangan oleh perempuan hanya berkutan untuk keuangan kebutuhan kelurga. Pengelolaan modal usaha sepenuhnya di kelola oleh suami.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Peran aktif perempuan dalam kelambagaan Desa biasanya diposisikan pada sekretaris. Kelembgaaan yang dimaksud disini adalah organisasi yang terbentuk atas permintaan donor atau fasilitator. Sedagkan kelembagaan pemerintahan Desa, jabatan perempauan adalah anggota kelompok PKK dibawah binaan pemerintahan Desa.

Kecenderungan keaktifan perempuan pada awal pembentukan kelompok cenderung sangat pasif dalam mengemukakakan pendapat hanya satu atau dua orang saja yang berani mengenukakan pendapat secara langsung. Lainnya hanya diam atau mewakilkan usulannya pada wanita yang aktif tersebut. Sangat bertlak belakang ketika pelaksanaan program. Wanita cenderung lebih rajin dibandingkan laki-laki yang dalam istilah masyarakatnya disebut sebagai “malas”. Demikian juga dengan jam kerja suatu kegiatan, laki-laki dalam kelompok cenderung ngobrol. istirahat dan meroko sedangkan perempua bekerja dengan tekun.

(3) Pemberdayaan Perempuan

Kegiatan pemberdayaan perempuan yang pernah adal sangat terkait dengan keterampilan mata pencaharian yaitu pemberian modal usaha untuk pengembangan kerajinan rotan, pembuatan ikan asin dan pelatihan menjahit. Namun demikian kegiatan pembuatan kerajinan rotan dan produksi ikan asin juga banyak ditekuni oleh pria. Bentuk kelembagaan khusus yang secara langsung berkontribusi pada peningkatan kapasitas capacity building bagi perempuan adalah kegiatan usaha simpan pinjam

230 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 230 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

f) Informasi Terkait dengan Kegiatan Green Coast

Nama Kelompok: Kelompok Penghijauan Desa Pulot Pembuatan persemaian mangrove dan penanamannya di pinggir laguna sebanyak 3000 bibit.

Dibiidang ekonomi, anggota kelompok akan difasilitasi mendapatkan modal usaha untuk pengembangan kegiatan matapencaharian ramah lingkungan.

Kelompok tani yang saat ini terlibat pada Green Coast fase dua adalah kelompok tani yang telah ikut dalam Green Coast fase satu sebelumnya sejak Juni 2006 sampai dengan Mei 2007. Namun dalam perkembangannya terjadi dinamika dalam keanggotaan kelompok sehingga yang tadinya terdapat dua kelompok penghijauan maka kedua kelompok tersebut dilebur menjadi satu kelompok dan kepengurusan kelompok pun berbeda dari semula.

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

a) Penilaian lahan di lokasi penanaman

Dalam survey di lapangan, tim mengunjungi beberapa titik di pantai untuk • Areal di sekeliling laguna Berdasarkan survey di lapangan, sebagian besar areal di sekeliling laguna telah ditanami mangrove

baik oleh proyek GC maupun BRR. Dari seluruh areal di sekeliing laguna, tim mengidentifikasi areal di sekitar tambak baru sebagai lokasi yang memiliki peluang untuk ditanami mangrove. Diperkirakan bahwa areal pertambakan ini tidak lebih dari 2 hektar. Sementara dari pengamatan di lapangan, penanaman mangrove dinilai memungkinkan dilakukan di sepanjang pematang serta di dalam tambak. Meskipun demikian, daya tampung areal pertambakan ini relatif terbatas yaitu kurang dari 5000 tanaman.

Gambar 147. Areal tambak yang cukup prospektif untuk ditanami mangrove

• Areal di sekitar desa Berdasarkan pengamatan di lapangan, penutupan vegetasi di Desa Pulot sedang, diperkirakan 60%-

70%. Dari prosentase ini, penutupan pohon diperkirakan hanya sekitar 30%. Hal ini berarti bahwa jumlah pohon yang ada di desa Pulot masih sangat rendah. Dengan kata lain, areal kosong masih cukup luas dijumpai di sekitar desa. Dari sudut pandang ketersediaan lahan, kegiatan penanaman sangat memunginkan untuk dilakukan di sekitar desa terutama di areal yang masih kosong. Diperkirakan, areal kosong ini mencapai luasan 4-5 hektar.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Persepsi positif masyarakat Diskusi dan wawancara dengan beberapa anggota masyarakat serta aparat desa menunjukan suatu

respons yang cukup positif, terutama dalam kegiatan penanaman mangrove. Rendahnya tutupan pohon di sekitar desa merupakan alasan umum yang disampaikan terkait dengan perlunya kegiatan penanaman. Diskusi yang lebih mendalam menunjukkan harapan warga yang cukup tinggi untuk menaman jenis-jenis tanaman yang berguna bagi masyarakat.

Meskipun demikian, terdapat beberapa anggota masyarakat yang masih bersikap acuh dan pasif terhadap kegiatan penanaman. Hal ini perlu mendapatkan perhatian apabila kegiatan rehabilitasi akan dilakukan.

• Aksesibilitas yang tinggi Desa Pulot memiliki aksesibilitas yang sangat tinggi. Dari Banda Aceh, desa ini bisa dijangkau hanya

dalam waktu 30-45 menit dengan menggunakan alat transportasi darat bak motor maupun mobil. Tingginya aksesibilitas ini merupakan salah satu hal yang positif untuk dapat mendukung efektifitas kegiatan rehabilitasi. Selain akan mengefektifkan kegiatan di lapangan, tingginya aksesibilitas diharapkan juga akan mampu mereduksi biaya-biaya operasioanal terutama terkait dengan transportasi bibit, monitoring dan evaluasi.

c) Identifikasi kendala dan faktor pembatas

• Keterbatasan luasan areal prospektif Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa daya tampung areal pertambakan di laguna desa Pulot

diperkirakan tidak lebih dari 5000 tanaman. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk mempertimbangkan target penanaman mangrove di lokasi ini. Apabila target penanaman di bawah 5000, maka hal ini tidak mejadi masalah. Namun apabila target penanaman melebihi angka tersebut, maka perlu dicari lokasi lain yang prospektif atau mengalihkan target jumlah tanaman mangrove ke jenis tanaman pantai. Hal ini memungkinkan mengingat luasan lahan yang prospektif untuk penanaman tanaman pantai di sekitar desa cukup luas.

• Kurang optimalnya koordinasi antar warga Konversi sebagian laguna menjadi tambak merupakan bukti bahwa koordinasi dan komunikasi antara

kelompok masyarakat dengan warga lainnya kurang optimal. Kondisi demikian menjadi faktor pembatas bagi kegiatan rehabilitasi yang akan dilakukan. Apabila hal ini tidak segera diatasi maka keonflik kepentingan antara program rehabilitasi dan kepentingan lainnya dapat terjadi di kemudian hari.

• Ancaman babi Berdasarkan pengalaman dalam proyek Green Coast phase 1, babi merupakan ancaman utama bagi

kegiatan rehabilitasi di pantai dan sekitar laguna. Hingga saat ini, pemagaran merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga tanaman walaupun memakan biaya yang sangat tinggi. Dalam rangka menyukseskan kegiatan rehabilitasi berikutnya, langkah pencegahan dan pengendalian hama ini harus segera dilakukan. Dengan langkah yang tepat, diharapkan bawah tanaman yang akan ditanam akan terhindar dari serangan babi.

d) Hasil analisis mengenai prospek rehabilitasi

Dari hasil analisis berbagai kendala, pembatas serta potensi di Desa Pulot, tim survey merekomendasikan dua kegiatan yaitu penanaman mangrove dan penanaman tanaman pantai/MPTS (Multi Purposes Tree Species). Penanaman mangrove sangat disarankan dilakukan di areal pertambakan. Jenis mangrove yang dinilai sesuai untuk kondisi di lokasi adalah Rhizophora mucronata, R.apiculata, R.stylosa, Bruguiera gymnorrhiza, dan Xylocarpus spp. Sementara

232 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 232 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Pembangunan jalan lintas barat Banda Aceh-Meulaboh sepanjang 113,09 km melalui Desa Pulot telah menyebabkan perubahan fungsi beberapa ekosistem yang dulunya adalah perbukitan ataupun rawa pesisir. Perataan jalan di wilayah perbukitan dilakukan dengan cara pemboman atau blasting sedangkan untuk rawa-rawa pesisir ditimbun dengan tanah. Manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat dari pembangunan jalan tersebut adalah biaya ganti rugi lahan serta penyerapan tenaga kerja buruh lokal terutama untuk pemuda. Namun demikian permasalahan yang timbul tak kalah pelik yaitu berlarut-larutnya masalah ganti rugi lahan yang menimbulkan konflik antara masyarakat yang lahannya tergusur dengan pemerintah setempat dan lembaga pelaksana kegiatan. Hal tersebut berakibat sering terjadi pemblokiran jalan oleh warga.

Kegiatan konstruksi besar-besaran berupa pembangunan jalan telah mengkonversi hutan tempat penduduk mengembangkan mata pencaharian seperti berkebun dan mendapatkan rotan. Namun demikian penduduk mendapatkan ganti rugi bila lahannya digunakan untuk jalan lintas barat tersebut. Disisi sosial, dampak rehabilitasi dan rekonstruksi sangat terlihat lunturnya modal sosial. Sebagai ilustrasi untuk perawatan bibit dan tanaman rehabilitasi masyarakaty meminta upah untuk upah siram dan penyiangan. Padahal bila ditilik kembali konsep yang dikembangkan di Green Coast tentang linkage antara rehabilitasi dan modal usaha yang telah diberikan maka konsep tersebut tidak dapat 100% teraplikasi. Karena pada masyarakat Desa Pulot belum dapat diterapkan mengenai kewajiban/ taggung jawab perawatan tanaman rehabilitasi dengan imbalan modal usaha. Untuk kegiatan penanaman dan perawatan masyarakat minta upah dan untuk modal juga minta lagi.

Tabel 95. Donor atau implementator beserta jenis bantuan yang diberikan di Desa Pulot

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. BRR Satker Perikanan

Rehabilitasi tambak

Selesai, kegiatan tambak tidak berjalan lokasi tidak layak dijadikan tambak

2. AIPRD

Pemetaan desa

Sedang berjalan

3. IPRD

Modal bergulir

Tidak berjalan lagi

4. Pemerintah Saudi

Puskesmas

Selesai

5. Mercy Corp

Perbaikan tanggul laguna dan pembangunan Selesai lapangan sepak bola

6. OXFAM

Sarana MCK

Selesai

7. USAID melalui CHF

Rumah permanen

Selesai

8. Program Pengembangan Meunasah dan Fasilitas TPA

Selesai

Kecamatan PPK

9. Canadian Red Cross

Rumah sementara

Selesai

10. Wetlands International

Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan

Sedang berjalan

pemberdayaan ekonomi (Green Coast Project)

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Bencana tsunami yang telah menghancurkan pemukiman di desa ini. Telah hampir 2 tahun berlalu. Namun, hilangnya seluruh armada perahu dan rusaknya persawahan menjadikan penduduk Pulot yang selamat, kehilangan mata pencaharian utamanya. Bantuan silih berganti dari kalangan NGO memang sangat membantu penduduk untuk menatap masa depan.

Di tengah pembangunan kembali pemukiman- pemukiman di Desa Pulot (dan juga wilayah lainnya di NAD), teramati bahwa kebutuhan akan bahan bangunan berupa kayu telah memberikan tekanan yang berarti untuk wilayah hutan yang tersisa di bagian pegunungan. Penebangan terus berlangsung karena kebutuhan akan kayu sangat tinggi. Penebangan juga terjadi di wilayah Pulot. Hal ini merupakan ancaman yang berarti bagi hidupan liar yang terdapat di bagian hutan yang tersisa.

Berdasarkan informasi dari masyarakat, beberapa bulan setelah Tsunami, pernah ada suatu proyek

Gambar 148. Pengambilan kayu untuk penanaman mangrove di beberapa titik di sekeliling kebutuhan rekonstruksi di Pulot laguna. Hanya sebagian kecil masyarakat saja yang

mengetahui secara persis mengenai kegiatan ini mengingat penanaman ini dilakukan dalam waktu yang singkat dengan sistem borongan. Selain kegiatan ini, kegiatan penanaman mangrove dan tanaman pantai juga dilakukan oleh kelompok masyarakat desa Pulot melalui proyek Green Coast. Konflik kepentingan juga ditemukan di lapangan, dalam hal ini ditandai dengan adanya pembangunan tambak dan dinding penahan erosi yang tidak terelakkan telah memakan korban ratusan hingga ribuan tanaman mangrove. Beberapa kegiatan yang Di bawah ini adalah gambaran umum mengenai kegiatan-kegiatan tersebut.

a) Penanaman mangrove di sekitar laguna

Dalam observasi di sekitar laguna, dijumpai tanaman mangrove yang rata-rata berukuran antara 1-1.5 meter. Dari pengamatan kasar selama survey, diperkirakan jumlah tanaman ini mencapai dua ratus, tersebar secara sporadis di sekeliling laguna. Rata-rata mangrove ini telah bercabang dan memiliki akar tongkat. Diperkirakan, tanaman ini berumur lebih dari 2 tahun. Informasi yang diperoleh dari masyarakat meyebutkan bahwa kegiatan ini merupakan hasil dari proyek penanaman mangrove yang dilakukan oleh BRR sekitar 2-3 tahun yang lalu. Sebagain besar mangrove yang ditanam adalah Rhizophora mucronata dan R.apiculata.

Gambar 149. Tanaman mangrove hasil penanaman BRR

234 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Informasi dari masyarakat menyebukan bahwa kegiatan hanya berhenti setelah penanaman dilakukan. Dengan kata lain bahwa kegiatan pemeliharaan tidak dilakukan. Masyarakat menyebutkan bahwa banyak seklai tanaman yang mati beberapa saat setelah ditanam. Tanaman mangrove yang dijumpai di sekeling laguan merupakan sebagin kecil dari mangrove yang ditanam. Hingga saat ini, masih tanaman mengrove ini masih bertahan hidup dan tumbuh dengan baik.

b) Rehabilitasi pesisir melalui proyek Green Coast

Melalui proyek Green Coast, kelompok masyarakat melaksanakan kegiatan rehabilitasi pesisir yang dalam pelaksanaannya disertai dengan pemberdayaan ekonomi melalui beberapa kagiatan usaha. Rehabilitasi pesisir dalam program ini meliputi dua kegiatan utama yaitu penanaman mangrove di sekeliling laguna dan penanaman tanaman pantai di pantai berpasir. Program ini dilaksanakan dalam periode tahun 2005-2006 (Green Coast phase 1).

(1) Penanaman mangrove

Sebelum penanaman dilakukan, kelompok masyarakat mempersiapkan bibit mangrove di persemaian. Jenis mangrove yang dibibitkan adalah Rhizophora mucronata, R. apiculata dan R. stylosa. Persemaian yang dibangun merupakan persemaian darat yang dimodifikasi menjadi bedeng genangan.

Penanaman mangrove direalisasikan pada akhir tahun 2006 di sekeliling laguna. Lebih dari 20 ribu mangrove ditanam di sekeliling laguna dengan jarak tanam yang cukup rapat yaitu 50 cm x 50 cm. Penanaman mangrove ini disertai dengan ajir yang terbuat dari bambu berukuran 1 meter.

Gambar 150. Tanaman mangrove hasil penanaman proyek Green Coast phase 1 Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian besar mangrove yang ditanam tumbuh dengan baik.

Sementara sebagian kecil lainnya mengalami kematian dikarenakan beberapa faktor antara lain serangan hama, kekeringan, tercabut karena arus air, dan terhantam perahu pada saat bersandar di tepi laguna. Ironisnya, jumlah mangrove yang mati menjadi bertambah sebagai dampak dari dibangunnya tambak secara sepihak oleh beberapa orang warga desa.

Hingga saat ini, kegiatan penanaman mangrove masih dilakukan oleh kelompok masyarakat melalui fasilitas Green Coast tahap kedua. Walaupun jumlah dana yang dialokasikan tidak sebesar pada program GC sebelumnya, program lanjutan ini diharapkan mampu menjaga dan merawat tanaman mangrove yang telah ditanam. Dan bilamana memungkinkan, program ini juga diharapkan mampu menambah jumlah bibit untuk ditanam di bagian laguna yang memungkinkan.

(2) Rehabilitasi pantai berpasir

Selain bibit mangrove, masyarakat juga mempersiapkan bibit tanaman pantai di persemaian. Jenis persemaian ini berbeda dengan persemaian mangrove dimana lantai persemaian benar-benar kering. Jenis tanaman pantai yang dibibitkan antara lain Kelapa Cocos nucifera, Cemara Casuarina equisetifolia, Ketapang Terminalia cattapa, Nyamplung Callophylllum inophyllum, jamblang/juwet Zyzygium cuminii.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Penanaman paling banyak dilakukan di formasi Pes-caprae yang terhampar di pantai berpasir, berjarak sekitar 300 meter dari desa. Penanaman di lokasi ini dilakukan dalam jarak tanam sedang yaitu 5 m x 5 m. Setelah ditanam di lapangan, sebagian tanaman terserang hama babi. Semakin hari, tingkat serangan semakin bertambah dan menguatirkan. Beberapa langkah pencegahan telah dilakukan namun belum memberikan hasil yang signifikan. Pada akhirnya, kelompok masyarakat memutuskan untuk memberi pagar untuk setiap bibit yang ditanam. Pemagaran ini secara signifikan berhasil mengatasi serangan hama babi. Namun demikian, pemagaran ini memakan anggaran yang sangat besar. Hingga saat ini, sebagian besar tanaman masih hidup dan tumbuh cukup baik di lapangan.

Gambar 151. Hasil penanaman di pantai berpasir desa Pulot

Selain di pantai bepasir, penanaman tanaman pantai juga dilakukan di sekitar laguna, yaitu di lokasi yang kering. Sebagian besar jenis yang ditanam di lokasi ini adalah Cemara Casuarina equisetifolia, Ketapang Terminalia cattapa dan Kelapa Cocos nucifera. Di lokasi ini, serangan hama babi juga terjadi. Oleh kerane itulah, pemagaran terhadap tanaman juga dilakukan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, seagian besar tanaman tumbuh dengan baik. Pada saat kunjungan dilakukan, tinggi tanaman cemara berkisar antara 2 – 4 meter.

Gambar 152. Tanaman cemara yang ditanam di sekitar laguna

Namun sayang, pembakaran liar terjadi di beberapa titik yang memakan korban puluhan tanaman pantai. Terkait dengan hal ini, perlu kiranya dilakukan upaya-upaya konkrit untuk menghindarkan hal ini terulang kembali.

236 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 153 Pembakaran liar yang menyebabkan puluhan tanaman terbakar dan mati

c) Pembangunan infrastruktur fisik

(1) Pembangunan tambak

Sangat disayangkan bahwasanya laguna desa Pulot mengalami tekanan yang cukup serius sebagai akibat dari dibangunnya tambak secara sepihak oleh beberapa warga desa. Pembangunan tambak ini difasilitasi oleh pihak tertentu dengan maksud untuk mengaktifkan kegiatan pertambakan di desa ini. Meskipun mendapatkan keberatan dari kolmpok masyarakat, pembangunan tambak ini tetap dilakukan mengingat status lokasi yang akan dibangun merupakan tanah milik perseorangan.

Gambar 154. Koloni nipah yang menjadi korban dari aktivitas pembangunan tambak Selain dampak negatif di atas, pembangunan tambak ini juga mengorbankan ratusan tanaman

mangrove yang telah ditanam masyarakat melalui proyek Green Coast. Kejadian ini sepatutnya dijadikan sebagai pengaaman sekaligus pembelajaran tentang arti pentingnya perencanaan yang matang bukan hanya intern kelompok, melainkan juga dengan anggota masyarakat lainnya.

(2) Pembangunan dinding penahan erosi

Pada beberapa bagian di sekeliling laguna, telah terjadi erosi. Terkait dengan hal ini, pembangunan dinding di titik-titik rawan erosi dilakukan oleh BRR atas permintaan dari masyarakat. Dinding ini terbuat dari batu yang diatur sedemikain rupa di lokasi rawan erosi dengan menggunakan alat berat sehingga membentuk dinding memanjang. Dalam proses pembangunan ini, tidak terhindarkan ratusan tanaman mangrove yang telah ditanam di sekeliling laguna menjadi korban.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 155. Dinding batu penahan erosi yang dibangun di tepi laguna

Sebenarnya Desa Pulot memiliki rencana pengelolaan Krueng atau Laguna yang berisi tata ruang pemanfaatan laguna sebagai wilayah konservasi seperti adanya kawasan larang tangkap, ukuran mata jaring dan jala udang yang harus digunakan dan lain-lain. Berdasarkan wawancara dengan warga menyebutkan bahwa aturan yang telah disusun tersebut hanya efektif pelaksanaannya ketika fasilitator WIIP masih tinggal di Desa Pulot yaitu saat aturan dibuat November 2006 sampai dengan Maret 2007. Saat ini tidak sepenuhnya dijalankan terutama untuk sangsi berupa uang karena ini memberatkan masyarakat. Kegiatan yang ditaati dari isi dari peraturan tersebut adalah tidak membuang sampah dan mencabut mangrove yang ada di laguna. Penangkapan di dalam daerah larang tangkap tetap dijalankan masyarakat. Hal tersebut diakui masyarakat sebagai suatu kebutuhan apalagi saat musim barat dimana penghasilan masyarakat sangat menurun.

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi Lahan Basah

Perhatian yang cukup besar pada ekosistem laguna ditunjukkan dengan telah disusunnya peraturan tentang pengelolaan laguna. Peraturan ini mulai dari larangan membuang sampah ke dalam laguna, sampai kepada aturan penangkapan berupa larangan penggunaan racun, pengaturan alat tangkap . Peraturan juga menetapkan lokasi yang diperbolehkan untuk menagkap ikan dan lokasi yang terlarang untuk menangkap ikan.

Dari segi pengelolaan, meskipun sudah dibuat aturan dan rencana pengelolaan, masih ada beberapa aspek yang perlu dikaji. Salah satu diantaranya adalah penetapan zona tangkap dan larangan tangkap. Dengan luas yang relative kecil (diperkirakan hanya lebih kurang 5 ha), penetapan ini mungkin bukan merupakan langkah efektif. Dengan kata lain, zona larangan tangkap tersebut mungkin tidak efektif untuk mendukung ekosistem laguna itu sendiri terlebih lagi apabila dimaksudkan untuk mendukung ekosistem yang ada di sekitarnya.

Karena pembatasan penangkapan dengan penetapan zonasi larangan tangkap dirasa kurang efektif, maka pembatasan harus dilakukan dengan metode yang lain. Pembatasan dengan pengaturan periode penangkapan mungkin bisa diterapkan selain pembatasan peralatan tangkap. Dengan luas dan daya dukung yang terbatas, laguna itu mungkin kurang memadai untuk kegiatan skala besar. Meskipun demikian, apabila dikelola dengan baik laguna, dapat dimanfaatkan secara bebas oleh masyarakat pada tingkat terbatas untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup.

Dalam perencanaan sebelumnya, laguna Desa Pulot juga diproyeksikan untuk bisa menjadi lokasi atau kawasan wisata. Masyarakat setempat telah mendapatkan bantuan untuk membangun rumah/gedung yang dapat difungsikan sebagai pusat informasi sekaligus sebagai kantin. Sangat disayangkan pada observasi th 2007 perkembangan dari rencana tersebut jauh dari menggembirakan. Pusat informasi yang sudah dibangun, menjadi bangunan yang berdebu dan jauh dari kesan dimanfaatkan atau berfungsi secara optimal.

238 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dari seluruh kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi yang dijalankan dan dijadwalkan, kegiatan yang diperkirakan memberikan pengaruh pada ekosistem lahan basah di Desa Pulot adalah pembangunan jalan. Jalan yang baru, tidak dibuat melalui jalur jalan lama tetapi dibuat di sisi bukit melewati bagian hulu laguna. Meskipun oleh pihak pelaksana pekerjaan telah diupayakan semaksimal mungkin dampak negatifnya, beberapa kemungkinan perlu diperhatikan antara lain kemungkinan pertambahan sediment yang dapat mendangkalkan laguna.

Permasalahan lain yang ada di laguna adalah sisi utara laguna yang mudah longsor. Pada observasi tahun 2007 keadaan ini diatasi dengan pemasangan cerucuk bambu. Langkah ini sebaiknya diikuti dengan mengatur supaya air buangan aliran permukaan dari pemukiman tidak menjadi “liar” dan mempercepat longsornya dinding laguna. Jika diperlukan dapat dilakukan perbaikan dinding laguna dengan memotongnya dan menjadikan suatu struktur yang lebih landai. Setelah itu, tanaman penutup tanah dan tanaman pelindung lainnya dapat ditanam untuk menstabilkan dinding laguna

b) Rekomendasi Kegiatan Rehabilitasi

(1) Penanaman tanaman pantai dan MPTS di sekitar desa Pulot

Penanaman tanaman pantai sebaiknya dilakukan di areal terbuka, kanan kiri jalan atau areal kosong publik lainnya. Dalam hal ini, fungsi tanaman lebih diarahkan sebagai peneduh, estetika, dan penghijauan desa. Untuk lokasi-lokasi tersebut, tim merekomnedasikan untuk menanaman beberapa jenis tanaman di bawah ini.

• Casuarina equisetifolia

= menggunakan bibit siap tanam

• Terminalia cattapa

= mengunakan bibit siap tanam

• Callohyllum inophyllum

= menggunakan bibit siap tanam

• Cerbera manghas

= menggunakan buang atau bibit siap tanam

• Hibiscus tiliaceus

= menggunakan stek batang/cabang

• Lannea corambolica

= menggunakan stek batang/cabang

Sementara untuk pekarangan dan lokasi lain di sekitar rumah warga, tanaman yang dipilih sebaiknya jenis menghasilkan produk yang bisa mencukupi kebutuhan dapir masyarakat atau bahkan memberikan manfaat secara ekonomi. Beberapa jenis tanaman yang dinilai cocok adalah sebagai berikut.

• Averhooea bilimbi

= penghasil buah

• Cocos nucivera

= penghasil buah

• Mangifera indica

= penghasil buah

• Areca catechu

= penghasil buah, tanaman pagar

• Zyzygium cuminii

= penghasil buah

• Naphelium lapaceum = penghasil buah

(2) Penanaman mangrove

Sebagaimana hasil dari penilaian daya dukung lahan, areal pertambakan yang berada di bagian utara laguna dinilai cukup prospektif untuk ditanami mangrove. Penanaman mangrove disarankan pada kanan-kiri di sepanjang pematang serta di bagian tengah tambak. Jenis mangrove yang dinilai sesuai di areal pertamabakan ini antara lain Rhizpohora mucronata, R.apiculata, R.stylosa, Bruguiera gymnorrhiza dan Xylocarpus spp.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Untuk penanaman di sepanjang pematang, katak tanam yang diterapkan sebaiknya cukup rapat yaitu

50 cm atau 1 meter antar bibit. Sementara untuk penanaman di tengah tambak, jarak tanam sebaiknya lebih lebar yaitu antara 1-2 meter. Berdasarkan pengalaman di desa lain, penanaman di tengah tambak sebaiknya menghindarkan jenis Rhizophora stylosa mengingat karakteristik akar yang sangat berat. Di bawah ini adalah rekomendasi teknik rehabilitasi untk beberapa jenis mangrove yang sebaiknya ditanam di areal pertambakan.

• Rhizophora mucronata

= Menggunakan propagul

• Rhizophora apiculata

= Menggunakan propagul

• Rhizophora stylosa

= Menggunakan propagul

• Bruguiera gymnorrhiza

= Menggunakan bibit siap tanam

• Xylocarpus granatum

= Menggunakan bibit siap tanam

(3) Peningkatan komunikasi dan koordinasi intern warga

Belajar dari pengalamana lalu dimana konversi sebagian laguan menjadi tambak, langkah perbaikan harus segera diambil. Komunikasi dan koordinasi intern maupun ekstern harus dilakukan secara berkesinambungan untuk emmastkan bahwa tidak ada konflik kepentingan di desa ini. Dalam hal ini, kegiatan penamanan yang akan dilakukan harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada desa. Apabila memungkinkan, kegiatan ini sebaiknya di ketahui dan disuetujui oleh Kepala Desa dan disepakati bersama oleh masyarakat. Dengan demikian, diharapkan bahwa kegiatan penanama yang akan dilakukan akan terhindar dari konflik kepentingan.

(4) Peningkatan kapasitas kelompok

Untuk mendukung kegaiatn rehabilitasi di desa ini, peningkatan kapasitas masyarakat harus dilakukan. Kegiatan ini memiliki tujuan agar masyarakat memiliki kemampuan yang memadai dalam mengimplementasikan kegiatan di lapangan. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan antara lain pemberian training/pelatihan, pendampingan atau studi banding. Tata waktu kegiatan ini harus di sesuaikan dengan jadwal kegiatan di lapangan.

H. KAJHU

1. Profil Umum Lokasi

Kahju merupakan suatu kawasan dekat pusat kota Banda Aceh. Kawasan ini merupakan kawasan pemukiman dan areal tambak. Pada peta rupa bumi yang diterbitkan tahun 1978, kawasan tersebut merupakan suatu estuari yang cukup besar dan penghubung ke lautnya berada di Kuala Gigieng. Selain estuari, kawasan tersebut merupakan tambak atau ladang garam.

240 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 156. Peta Rupa Bumi wilayah Kuala Gigeng termasuk desa Kajhu

Daerah kahju dan sekitarnya merupakan bagian dari delta Krueng Aceh dan mempunyai batuan yang tergolong kelompok endapan alluvial yang terdiri dari lempung dan pasir. Endapan alluvial ini masih bersifat lepas sampai agak padu, kelulusan airnya rendah sampai sedang, daya dukung pondasinya rendah sampai sedang, dan kesuburan potensial tanahnya rendah sampai tinggi.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

242 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Desa Kajhu adalah desa pantai yang memiliki bentang lahan yang indah karena diapit oleh kawasan perairan yaitu muara sungai limpasan dari Krueng Cut dan rawa-rawa Rukoh sebelah Barat, Laut Selat Malaka di sebelah utara, dan rawa mangrove di arah Timur. Pada saat cuaca cerah, dari arah pantai Kajhu, bisa dilihat dengan jelas Pulau Sabang dan sebagian Pulau Aceh. Kondisi tersebut menjadikan pantai Kajhu menjadi salah satu tujuan wisata bagi masyarakat baik untuk sekedar menikmati pemandangan pantai maupun untuk memancing.

Secara administratif Desa Kajhu masuk dalam wilayah Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh. Letaknya yang relatif dekat dari kota yaitu sekitar 5 km dari Kota Banda Aceh dan kompleks pelajar dan mahasiswa Darussalam menjadikan Desa Kajhu sebagai desa yang strategis bagi kalangan mahasiswa, pengajar, dan pekerja penglajo ke Banda Aceh. Terdapat sepuluh dusun di Desa Kajhu yaitu Dusun Monsinget, Meriam Patah, Kajhu Indah, Lampeurada, Kampung Meurah, Lambateung, Lam Senoung, Keude Aron dan Dusun Polayasa. Dusun yang berbatasan langsung dari laut adalah Dusun Kajhu Indah dan Dusun Monsinget. Penduduk yang kehidupannya berorientasi pada pengelolaan pesisir dan laut umumnya adalah penduduk asli Desa Kajhu dan tinggal di Dusun Monsinget dan sebagian kecil di Kajhu Indah. Penduduk yang tinggal di Dusun Kajhu Indah umumnya adalah pendatang dan bekerja di kota Banda Aceh.

Dari segi geografis, tsunami juga menyebabkan hilangnya lahan desa akibat bergesernya garis pantai ke arah daratan yaitu sekitar 50 meter. Meski demkian saat ini secara perlahan-lahan garis pantai yang hilang tersebut kembali bergeser antara 10 – 15 meter ke arah pantai. Secara umum garis pantai Desa Kajhu tergolong sangat dinamis akibat pengaruh angin, arus menyusur pantai, abrasi dan sedimentasi muara sungai. Kondisi ini menyebabkan luas desa yang menurut catatan pemerintah, sebelum tsunami, adalah sekitar 600 ha terus berubah dari waktu ke waktu.

2. Tipologi Lahan Basah

Secara garis besar kawasan Kahju yang merupakan dari lembah sungai Krueng Aceh merupakan low-lying fluvatile area not perennially wet. Kompleks Ekosistem lahan basah yang ada di kawasan kahju adalah gabungan dari ekosistem estuary, pantai berpasir dan tambak, ladang garam. Sampai dengan saat ini, sebagian besar tambak yang berada di sekitar Kahju dan sekitarnya masih belum diusahakan kembali. Sebagian besar masih dalam keadaan rusak, sebagian diantaranya ditanami dengan tumbuhan mangrove.

Setelah terjadinya tsunami juga terjadi perubahan morfologi dan pergeseran garis pantai. Kondisi pesisir khususnya di Bagian Utara dan Timur NAD mengalami perubahan yaitu mundurnya garis pantai ke arah daratan. Fenomena tersebut disertai dengan sedimentasi yang menyebabkan bertambahnya perairan dangkal di sekitar pesisir sebagai akibat timbunan material yang terbawa kembali ke arah laut.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 157. Peta lokasi observasi di Desa Kajhu

E = Pantai Berpasir Pantai berpasir terbentang hampir sepanjang 2 km. Di sekitar Kahju hamparan pasir cukup luas dan

tebal dan membentuk gundukan / bukit pasir kecil.

F = Estuarine Estuarine adalah wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut

terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Termasuk dalam kategori estuarine adalah muara sungai dan rawa pasang surut. Dalam hal ini estuarine di Kahju dapat disebut sebagai laguna (Gobah) yang terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut.

1 = Aquaculture Tambak merupakan ekosistem lahan basah pesisir yang cukup dominant di Kahju dan wilayah Kota

Banda Aceh lainnya. Data –data sebelum tsunami menunjukkan luas tambak berkisar pada angka lebih dari 600 ha. Belum didapat informasi yang akurat menyangkut potensi luasan tambak yang ada sekarang mengingat sebagian diantaranya ada yang rusak total karena perubahan garis pantai.

244 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

5 = Salt exploitation site Ladang-ladang garam yang ad di kahju sebagian besar juga mengalami kerusakan akibat tsunami.

Tidak terdapat informasi yang spesisfik untuk luas dan skala produksi dariladang-ladang garam di Kahju.

M = Permanent river Krueng Aceh adalah sungai permanent yang besar sekaligus merupakan sungai utama dari

keseluruhan DAS di kota banda Aceh dan daerah hulunya. Meskipun tidak bermuara atau melntasi tepat di daerah Kahju, pengaruh secara kimia dan fisika perairan diperkirakan mencapai wilayah Kahju dan sekitarnya.

3. Profil Vegetasi

Berdasarkan kontrak kerjasamanya dengan proyek GC 1, Yayasan Lebah memiliki kewajiban untuk melakukan kegiatan restorasi pesisir yang terkena dampak Tsunami di desa Kahju melalui penanaman tanaman pantai dan tanaman bakau. Selain melaksanakan kegiatan tersebut, yayasan Lebah juga disyaratkan mengimplementasikan program pemberdayaan masyarakat dalam wujud kegiatan ekonomi. Dalam perencanaannya, jumlah total bibit yang ditanam sebagaimana tertuang dalam kontrak sebanyak ...., dengan perincian.... tanaman pantai dan... tanaman bakau.

Yayasan Lebah memiliki persiapan yang lebih matang sebelum melakukan kegiatan penanaman. Suatu survey dilakukan untuk menilai daya dukung lingkungan dan bahkan memetakannya. Kegiatan ini menghasilkan peta kesesuaian lahan tapak lokasi penanaman, lengkap dengan rekomedasi jenis- jenis tanaman yang sesuai untuk setiap tapak.

Pada tahun 2006, penanaman dilakukan dengan melibatkanmasyarakat setempat. Penanaman bakau dan tanaman pantai ini dilakukan sesuai dengan peta kesesuaian lahan yang telah dibuat sebelumnya.

Tiga (3) bulan setelah penanaman, konsultan silvikutur dari proyek GC2 melakukan kunjungan di lokasi penanaman dan mendapatkan suatu kondisi dimana banyak tanaman yang mati karena terkena limpasan pasang. Sebagian besar tanaman yang mati adalah tanaman kelapa yang berada di barisan depan, sebelah barat. Kunjungan ini juga mendapati sebagian besar tanaman cemara yang masih bertahan.

Diakhir proyek GC 1, dilaporkan oleh GC Banda Aceh office bahwa prosentase keberhasilan tumbuh (survival rate) tanaman di lokasi ini untuk jenis mangrove adalah 99 %, sementara untuk tanaman pantai adalah....... Berdasarkan perbandingan hasil pengamatan SRS dan hasil akhir % tumbuh yang dikeluarkan kantor Banda Aceh, terdapat perbedaan hasil yang sangat signifikan. Hal ini perlu ditelusuri untuk mengetahui nilai keberhasilan kegiatan yang sebenarnya. Diduga kuat bahwa perbedaan nilai ini disebabkan oleh berbedanya pemahaman mengenai % tumbuh antara SRS WIIP dengan Tim Lapangan.

Setelah lebih dari satu tahun berselang, kegiatan rehabilitasi secara signifikan telah memberikan kontribusi terhadap pemulihan kawasan, terutama dengan meningkatnya intensitas penutupan lahan (land cover). Penutupan lahan ini juga diyakini telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap peningkatan daya dukung lingkungan.

Kerusakan yang diakibatkan oleh Tsunami 2004 yang lalu di pesisir Kahju termasuk yang terburuk. Selain menelan banyak korban jiwa, bencana Tsunami juga telah meluluhlantakkan ekosistem pesisir dan semua infrastruktur yang ada di desa Kahju. Sesaat setelah bencana terjadi, penuturan penduduk menggambarkan bahwa hampir semua vegetasi yang ada dipesisir saat itu musnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tutupan vegetasi saat itu bisa dikatakan mendekati nol.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Hampir tiga tahun berlalu, tepatnya tanggal 16 Agustus 2007, suatu kunjungan dilakukan untuk mengetahui perkembangan dan dinamika suksesi (vegetasi) di pesisir Kahju. Berdasarkan kunjungan ini, terlihat bahwa suksesi alami yang terjadi di pesisir Kahju masih sangat terbatas. Diduga kuat, terbatasnya suksesi ini disebabkan oleh dua hal utama yaitu:

• Hilangnya hampir seluruh pohon induk di pesisir desa Kahju Dengan hilangya pohon induk ini secara otomatis juga membatasi ketersediaan dan penyebaran

benih. Dalam kondisi seperti ini, suksesi alami akan sangat sulit terjadi. • Sebagian areal, terutama di pantai bepasir masih belum stabil. Di pantai berpasir, erosi angin masih sering terjadi. Disamping itu, sapuan air pasang sesekali

terjadi terutama di pasang purnama. Kondisi demikian menyebabkan sulitnya tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Hipotesa ini relevan dengan temuan di lapangan dimana masih sulitnya dijumpai tumbuhan pionir di pantai berpasir yang masi labil tersebut.

Program rehabilitasi yang dilakukan oleh Yayasan Lebah, yang difasilitasi oleh proyek GC tahap 1 memberikan kontribsi yang sangat nyata terhadap pemulihan areal dilokasi ini. Berdasarkan pengamatan dilapangan, kontribusi ini meliputi:

• Peningkatan tutupan lahan dari areal terbuka menjadi tertutup vegetasi melalui bibit-bibit yang ditanam di lokasi ini.

• Hadirnya tanaman (hasil penanaman) telah membuka peluang kepada jenis tumbuhan lain untuk bisa tumbuh di dalam dan sekitar lokasi rehabilitasi. Tanpa adanya tanaman cemara dll, diyakini akan sangat sulit sekali bagi jenis-jenis lainnya utuk dapat hidup di lokasi ini. Proses inlah yang diistilahkan sebagai Recruitment.

a) Tipe vegetasi utama

Secara umum, profil vegetasi di pesisir Kahju tergambar pada ilustrasi ”cross section” di bawah ini. Setidaknya, terdapat 3 profil vegetasi yang berbeda yaitu: tegakan artifsial tanaman pantai, areal mangrove artifisial, dan vegetasi di sekitar pemukiman.

di sekitar Laut

artifisial

mangrove

tnm pantai

artifisial

Gambar 158. Penampang melintang yang menggambarkan profil vegetasi pesisir Kahju

246 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Paragraf-paragraf di bawah ini adalah gambaran umum vegetasi di masing-masing lokasi yang dimaksud di atas.

• Tegakan artifisial tanaman pantai Kalimat diatas mengacu pada suatu lokasi dimana kegiatan penamanan tanaman pantai dilakukan

secara sengaja (artificial measure) di areal yang telah ditentukan, yaitu di pantai berpasir desa Kahju.

Gambar 159. Tegakan artifisial tanaman pantai

Tegakan artifisial tanaman pantai ini terhampar di pantai berpasir desa Kahju, dimana lokasi rehabilitasi Yayasan Lebah dilakukan, tepatnya pada kordinat N5 36.356 dan E95 22.483. Lokasi penanaman ini berupa pantai berpasir yang sebagian besar masih labil. Erosi angin hampir terjadi setiap hari dan gelombang air pasang sesekali masih terjadi.

Dalam kesempatan kunjungan ini, tim assesment melakukan ”route tracking” di sekeliling lokasi rehabilitasi. Hasil tracking ini menunjukkan bahwa terdapat dua koloni utama dalam satu hamparan, sebagaimana tergambar dalam hasil tracking di bawah ini.

Gambar 160. Hasil tracking di lokasi rehabilitasi

Saat ini, lokasi ini telah ditumbuhi oleh tegakan tanaman pantai yang merupakan hasil dari kegiatan rehabilitasi. Tegakan ini didominasi oleh jenis cemara Casuarina equisetifolia. Berdasarkan laporan Yayasan Lebah, dilokasi ini telah ditanami 30 jenis tanaman pantai. Namun berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan oleh Tim Assesment, hanya dijumpai 15 jenis di lapangan yaitu Cemara Casuarina equisetifolia, Kelapa Cocos nucifera, Ketapang Terminalia cattapa, Bintaro Cerbera manghas, Ara sp 1 Ficus sp1, Ara sp 2 Ficus sp 2, Mimba Azedirachta indica, Kuda-kuda Lannea coromandeica, Bayur Pterospermum indica, dan Waru Hibiscus tliaceus, Pandan Pandanus tectorius. Diperkirakan beberapa jenis lain yang telah ditanam tidak mampu survive sehingga tidak ditemukan saat obervasi dilaukan oleh tim Assessement.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 161 Kondisi umum di lokasi penanaman

Gambar 162. Ficus spp, Cocos nucifera, Cerbera manghas, Terminalia cattapa

Selain dari jenis-jenis yang sengaja ditanam, terdapat jenis yang tumbuh secara alami di lokasi ini antara lain Dodoneae viscosa, Galaran atau katang-katang Ipomea pes caprae, Kayu Tulang Clerodendrum inerme, Biduri Calatropis gigantea, dan Gelang air Sesuvium portulacastrum. Yang menarik dari lokasi ini adalah dijumpainya beberapa koloni Gelang air Sesuvium portulacastrum di substrat berpasir kering di sela-sela tegakan cemara, suatu kondisi lokasi yang jarang ditumbuhi oleh jenis ini.

Gambar 163. Koloni Gelang air di substrat berpasir kering

Tabel dibawah ini menggambarkan jenis tumbuhan yang dijumpai selama kunjungan di lokasi, sekaligus informasi mengenai kelimpahannya.

248 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 96. Jenis-jenis tanaman yang dijumpai di lokasi penanaman

No Spesies Family Kelimpahan Ket

1 Cemara Casuarina equisetifolia

2 Kelapa Cocos nucifera

3 Ara Ficus 1

Moraceae

Ditanam

4 Ara Ficus 2

Moraceae

Ditanam

5 Ketapang Terminalia cattapa

6 Pandan Pandanus tectorius

Pandanaceae

Ditanam

7 Bintaro Cerbera manghas

Apocyneceae

Ditanam

8 Waru Hibiscus tiliaceus

Malvaceae

Ditanam

9 Mimba Azedirachta indica

Meliaceae

Ditanam

10 Bayur Pterospermum spp

Fabaceae

Ditanam

11 Kuda-kuda Lannea coromandeica

Anacardiaceae

Ditanam

12 Galaran Ipomea pes-caprae

Convolvulacaceae

Tumbuh alami

13 Kayu mesen Dodonaea viscosa

Sapindaceae

Tumbuh alami

14 Gelang air Sesuvium portulacastrum Molluginaceae

Tumbuh alami

15 Biduri Caltropis gigantea

Asclepiadaceae

Tumbuh alami

= Sangat Jarang

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan di cross check dengan informasi staff LEBAH, prosentae tumbuh dan pertumbuhan jenis Cemara pantai Casuarina equisetifolia jauh lebih baik dibandingkan dengan jenis lainnya.

• Areal mangrove artifisial Areal mangrove artificial mengacu pada suatu lokasi dimana kegiatan penamanan mangrove

dilakukan dilakukan secara sengaja (artificial measure). Areal mangrove artifisial ini berada tepat di belakang tegakan artificial tanaman pantai, yaitu di daerah cekungan dengan substrat pasir berlumpur. Di lokasi ini, terdapat sebagian areal yang selalu tergenang, sementara di lokasi lainnya hanya tergenang secara periodik terutama saat pasang.

Gambar 164. Areal mangrove artifisial

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Di lokasi ini dengan mudah dapat dijumpai beberapa jenis mangrove terutama Rhizophora mucronata, R. Apiculata, R. Stylosa dan Bruguiera gymnorrhiza. Diantara ketiga jenis tersebut, R.mucronata memiliki jumlah yang terbanyak sehingga mendominasi lokasi penanaman mangrove. Berdasarkan laporan yang ada, Yayasan Lebah juga menanam beberapa jenis mangrove lainnya seperti Xylocarpus spp., Ceriops tagal, dan beberapa jenis mangrove sejati. Namun berdasarkan hasil kunjungan di lapangan, tim assessement hanya menjumpai 3 jenis yaitu Rhizophora mucronata, R. apiculata dan Bruguiera gymnorrizha.

Gambar 165. Kondisi umum di lokasi penanaman

Selain dari beberapa jenis mangrove yang ditanam, tim assesment juga menjumpai beberapa koloni Api-api Avicennia marina yang tumbuh secara alami di antara daerah cekungan dan pantai bepasir,

tepat dibelakang pantai bepasir yang sesekali tegenang air (sebelah timur). Pada lokasi tertentu, terutama yang tidak selalu tergenang air, beberapa koloni tumbuhan Gelang air Sesuvium portulacastrum dapat ditemukan dengan mudah di lokasi ini.

Gambar 166. Beberapa koloni api-api Avicennia marina yang tumbuh secara alami (kiri),

koloni gelang air ditempat yang agak tinggi (kanan)

Pada kesempatan kunjungan ini, tim assessment melakukan pengamatan vegetasi di sekitar areal mangrove artifisial, baik yang ditanam maupun yang tidak. Tabel di bawah ini adalah beberapa jenis tumbuhan yang dijumpai selama pengamatan vegetasi di areal mangrove artifisial.

Tabel 97. Beberapa jenis tumbuhan yang dijumpai di areal mangrove artifisial

No Spesies Family Kelimpahan Ket

1 Bakau merah Rizophora mucronata Rhizohoraceae

Ditanam

2 Bakau Rhizophora apiculata Rhizohoraceae ++ Ditanam

3 Bakau Rhizophora stylosa Rhizohoraceae + Ditanam

4 Tunjang Bruguiera gymnorriza Rhizohoraceae + Ditanam

5 Api-api Avicennia marina Avicenniaceae + Tumbuh alami

6 Gelang air Sesuvium portulacastrum Molluginaceae

Tumbuh alami

250 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Vegetasi di sekitar pemukiman Vegetasi di sekitar pemukiman mengacu pada jenis tumbuh-tumbuhan yang dijumpai di sekitar

pemukiman penduduk, baik yang tumbuh secara alami maupun yang ditanam dengan sengaja. Vegetasi bisa dijumpai pekarangan rumah, kanan-kiri jalan, area kosong publik, areal budidaya atau lokasi lain yang berada di wilayah pemukiman penduduk.

Gambar 167. Areal di sekitar pemukiman

Di sepanjang jalan, dengan mudah dijumpai jajaran pohon Cemara Casuarina equisetifolia yang senaja ditanam di sepanjang jalan dan di pagar sebagai upaya melindung tanaman dari ternak. Selain itu, tanaman kuda-kuda atau Lannea coromandeica (atau Lannea grandis) juga dapat ditemukan di wilayah pemukiman. Jenis ini sangat disukai masyarakat ditanam sebagai tanaman pagar. Teknik penanaman jenis ini sangat sederhana yaitu dengan cara menancapkan batang/cabang kuda-kuda mengelilingi halaman rumah dengan jarak yang cukup rapat. Bahkan beberapa pendduk dengan sengaja menambahkan kawat berduri sehingga benar-benar tidak dapat ditembus oleh ternak. Selain kedua jenis tersebut, beberapa jenis tumbuhan yang dijumpai di sekitar pemukiman yaitu: Kelapa Cocos nucifera, Belimbing wuluh Averhoea bilimbi, Pepaya Carica papaya, Lamtoro Leucana leucacephala, Mangga Mangifera indica, dll. Tabel 3 di bawah ini adalah daftar tumbuhan yang dijumpai di wilayah pemukinan, berdasarkan pengamatan vegetasi di lokasi ini.

Tabel 98. Daftar tumbuhan yang dijumpai saat dilakukannya pengamatan vegetasi

No Spesies Family Kelimpahan Ket

1 Cemara pantai Casuarina equisetifolia Casuarinaceae

Ditanam

2 Mimba Azedirachta indica Meliaceae ++ Ditanam

3 Kuda-kuda Lannea coromandeica Anacardiaceae

Ditanam

4 Mangga Mangifera indica Anacardiaceae + Ditanam

5 Belimbing wuluh Averrhoa bilimbi Oxalidaceae

Ditanam

6 Belimbing Averrhoa carambola Oxalidaceae + Ditanam

7 Waru Hibiscus tiliaceus Malvaceae + Ditanam

8 Jarak pagar Jatropha curcas Euphorbiaceae + Ditanam

9 Jarak Jatropha gossypifolia

Euphorbiaceae

Tumbuh alami

10 Lantana camara

Verbenaceae

Tumbuh alami

11 Putri malu Mimosa pudica

Leguminosae

Tumbuh alami

12 Ketepeng Senna alata

Leguminosae

Tumbuh alami

13 Pecut kuda Stachytarpheta indica

Verbenaceae

Tumbuh alami

14 Biduri Calatropis gigantea

Asclepiadaceae

Tumbuh alami

15 Pinang Areca cathecu

Palmae

Ditanam

16 Kelapa Cocos nucifera

17 Lontar Borassus flabellifer

Palmae

Tumbuh alami

18 Nangka Artocarpus heterophyllus

Moraceae

Ditanam

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

No Spesies Family Kelimpahan Ket

19 Bintaro Cerbera manghas

Apocynaceae

Ditanam

20 Mengkudu Morinda citrifolia

Rubiaceae

Ditanam

21 Kresen Muntingia calabura

22 Peltophorum pterocarpum

Leguminosae

Tumbuh alami

22 Angsana Pterocarpus indicus

Leguminosae

Ditanam

23 Sesbania grandiflora

Leguminosae

Tumbuh alami

24 Galaran Ipomea pes-caprae

Convolvulacaceae

Tumbuh alami

25 Jambu air Syzygium aqueum

Myrtaceae

Ditanam

26 Jamblang Syzygium cuminii

Myrtaceae

Ditanam

27 Asam jawa Tamarindus indica

Leguminosae

Ditanam

28 Ketapang Terminalia catappa

Combretaceae

Ditanam

b) Hasil inventarisasi tegakan dan pendugaan karbon

(1) Hasil inventarisasi tanaman

Untuk mengetahui kondisi tegakan hasil penanaman yang hampir 2 tahun, suatu plot pengamatan berukuran 20 m x 50 m dibuat. Plot ini terletak pada kordinat N5 36.398 dan E95 22. 320. Setiap pohon yang berada dalam plot diukur baik diameter, tinggi, lebar tajuk, tinggi tajuk dan koordinatnya. Jumlah total tanaman di dalam plot ini adalah 219 individu, terdiri dari 8 spesies yaitu Cemara Casuarina equisetifolia, Pandan Pandanus tectorius, Ketapang Terminalia cattapa, Bayur Pterospermum spp, Kelapa Cocos nucifera, Bintaro Cerbera manghas, Mimba Azedirachta indica dan Waru Hibiscus tiliaceus. Dari hasil analisis, Cemara Casuarina equisetifolia mendominasi penutupan dengan jumlah individu 136 atau 62% dari total polulasi (219 individu). Gambaran umum mengenai prosentase penutupan lahan berdasarkan jenis dapat dilihat pada diagram pie berikut ini.

Gambar 168. Diagram pie yang menggambarkan prosentase jumlah tanaman perjenis

Dalam inventarisasi ini, koordinat setiap pohon yang berada di dalam plot pengamatan di catat dan diintegrasikan dalam suatu program sehingga dapat dilihat profil 3 dimensinya (Lihat gambar 169.).

252 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Keterangan : Cemara

Cocos nucifera Bintaro

Casuarina equisetifolia

Kelapa

Hibiscus tiliaceus Ketapang

Cerbera manghas

Waru

Terminalia cattapa

Mimba

Azedirachta indica

Gambar 169. Hasil visualisasi 3 D pada plot berukuran 20 m x 50 m di lokasi penanaman Yayasan Lebah (model di generasi oleh perangkat lunak SLIM-ICRAF) .

(2) Pendugaan stok karbon tegakan cemara

Selain meningkatkan kualitas dan daya dukung lahan lahan, kegiatan rehabilitasi juga diyakini mampu memberikan kontribusi yang signifikan terkait dengan isyu perubahan iklim, terutama melalui penambahan stok karbon. Penambahan stok karbon terjadi dengan adanya akumulasi biomasa tanaman yang dari tahun ke tahun selalu bertambah seiring dengan pertumbuhan tanaman.

Pendugaan stok karbon dapat dilakukan dengan melakukan pengolahan terhadap berat suatu kering tanaman. Sementara itu, nilai berat kering ini secara persis dapat diketahui dengan melakukan pengovenan terhadap suatu sampel tanaman. Atas dasar hal ini maka dilakukan pengambilan sampel salah satu tanaman di lokasi ini. Mengingat waktu yang terbatas, maka penimbangan berat basah hanya dilakukan pada jenis Cemara Casuarina equisetifolia dengan alasan bahwa jenis ini adalah yang paling dominan dengan pertumbuhannya yang sangat cepat. Sampel ini dipilih (mewakili dimensi tegakan secara umum), lalu di tebang dan ditimbang berat basahnya. Di bawah ini adalah penjelasan singkat tahapan demi tahapan yang dilakukan dalam pendugaan stok karbon.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

1. Pengambilan tanaman sampel Dengan di bantu dua staff Yayasan Lebah (Sukran dan Bambang Suprayogi), penebangan pohon

sampel. Metode yang dipakai dalam pengambilan sampel dikategorikan sebagai metode destruktif karena dilakukan dengan menebang pohon. Dalam hal ini, pohon yang di jadikan sampel adalah pohon yang telah ditebas oleh orang lain 1-2 hari sebelumnya. Dan secara kebetulan bahwa pohon yang tersebut memiliki ukuran yang mewakili kondisi tanaman secara umum yaitu berdiameter 5.5 cm dengan tinggi 4 m.

Gambar 170. Pohon yang telah ditebas oleh orang tak dikenal dipilih sebagai sampel tanaman. Penebangan dilakukan secara bertahap dan hati-hati untuk menghindarkan erbuangnya serpihan-

serpihan kayu. Untuk mendapatkan bagian akar, maka penggalian tanahpun dilakukan sehingga seluruh bagin akar terambil.

2. Pemisahan bagian-bagaian tanaman dan penimbangan Untuk mempermudah pengovenan, maka setiap bagian tanaman dikelompokkan menjadi bagian akar,

batang, dan daun. Setelah bagian-bagian tanaman dikelompokkan, dilakukanlah penimbangan dengan mengunaan timbangan plastik dengan kapasitas 1 kg.

Gambar 171. Penimbangan berat basah

Mengingat terbatasnya kapasitas timbangan maka penimbangan terpaksa dilakukan beberapa kali. Tabel di bawah ini adalah hasil penimbangan berat basah dari sample yang diambil.

Tabel 99. Hasil penimbangan berat basah tanaman cemara

Bagian tanaman

Berat basah (kg)

Batang 8.8 Daun 5.9 Akar 3.505 Cabang 2.65 Total 20.855

254 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. Pengeringan dan Penimbangan berat kering Pengeringan sampel dilakukan dengan cara pengovenan (Apriyantono, et.al, 1969). Proses ini

dilakukan di laboratorium tanah, Fakultas Pertanian UNSYIAH. Namun sayang bahwa kapasitas oven sangat terbatas sehingga tidak mampu menampung seluruh sampel tanaman. Menyiasati kondis ini maka diambillah beberapa bagian dari sampel tersebut dan kemudian mengovennnya. Tabel 5 di bawah ini adalah hasil dari pengovenan tersebut.

Tabel 100. Bobot kering perbagian tanaman setelah dioven

Bagian tanaman

Berat awal

Berat akhir

Selisih berat

Daun 5900 5241.33 658.67 Batang 80 7606.54 1193.46 Akar 3505 3124.35 380.55 Cabang 2650 2341.45 306.55 Total 20855 18313.67 2541.33

4. Pendugaan stok karbon Dalam melakukan pendugaan stok karbon, rumus yang dipakai adalah 45 % dari berat kering

tanaman tanaman. Dengan demikian maka setiap pohon cemara yang ditanam (asumsi: berumur 2 thn) berpotensi mampu menyimpan 8.241 kg. Dari analisis yang lebih dalam, ternyata bagian batang memberikan kontribusi yang paling tinggi dalam hal penyimpanan karbon disusul secara berurutan dengan batang, daun, dan akar (lihat diagram pie di bawah ini)

Prosentase kandungan karbon per bagian tanaman cemara

Gambar 172. Prosentase kandungan karbon per bagian tanaman Dengan demikan maka tegakan cemara dalam plot berukuran 20 m x 50 m (0.1 Ha, terdiri dari 136

pohon) berpotensi menyimpan stok karbon sebanyak 1120 kg atau 1.2 ton. Hal ini juga berarti bahwa setiap hektarnya, tegkan cemara dapat menyetok 12 ton karbon.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan berlangsung efektif selama 1 hari, yaitu pada tanggal: 15 Agustus 2007. Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: dua (2) jenis mammalia, 22 jenis burung, serta 6 jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Dua jenis mammalia, Bajing kelapa Callosciurus notatus ditemukan secara langsung, sementara Babi hutan Sus scrofa teramati berdasarkan jejaknya diperkirakan hanya menggunakan daerah ini sebagai wilayah jelajah, untuk mencari makan. Sementara ini, kondisi yang relatif terbuka, vegetasi yang rendah serta berada di sekitar perumahan diperkirakan belum cukup mendukung mammalia terrestrial di daerah ini.

b) Avifauna

Dua puluh (22) jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini. Sembilan jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, 2 jenis masuk dalam kategori App. II-CITES.

c) Herpetofauna

Enam jenis satwa dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, tidak terdapat jenis yang dilindungi. Kadal Terbang-Draco sumatranus, Kadal Biasa-Mabuya multifasciata, dan Biawak-Varanus salvator, teramati dalam jumlah yang sedikit/jarang.

Informasi dari penduduk setempart menyebutkan bahwa: sekitar bulan November, 2007, penduduk sekitar mendapati seekor penyu mendarat dan bertelur, dari deskripsi yang disebutkan diperkirakan jenis Penyu hijau Chelonia midas.

d) Ancaman

Informasi: adanya perburuan telur penyu yang mendarat. Selain itu, perburuan burung dan telurnya (pada masa berbiak) disebutkan, bersifat oportunis/hobi, hanya untuk konsumsi sendiri.

5. Tanah dan Pertanian

a) Geomorfologi

Secara Geomorfologi, lokasi penelitian Kahju termasuk kedalam dataran rendah (lowland) yang terbentuk oleh proses marin, baik proses bersifat pengendapan (konstruktif) maupun pengikisan (destruktif).

Secara fisiografi menurut LREP I, (1988) dibedakan menjadi beberapa bentuk Satuan Lahan (Landform) antara lain : Beting pantai berseling dengan cekungan (Beach ridges and swales=B.1.1) -. Menurut kalsifikasi landsystem (REPPROT, 1981) tergolong dalam system PTG (gunung-gunungan dan endapan pasir pesisir pantai=B82) - Lahan mempunyai ketinggian 0–5 m dpl. Pada bagian Punggungan mempunyai kemiringan lereng 1–3 % dan pada Cekungan 0 -1 %. Bahan induk tanahnya endapan marin (aluvial) marin yang terdiri dari campuran pasir, liat, lumpur dan krikil. Punggungan berupa Beting pasir berada paling dekat dengan laut dan selalu mendapat tambahan baru yang berupa endapan pasir. Sedangkan cekungannya disamping mendapat tambahan baru dari laut juga mendapat tambahan bahan dari sungai.

256 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 256 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

terdiri dari pasir dan liat sesetempat lumpur dengan kandungan bahan organik tinggi. Tanah-tanah ini menempati dataran pantai, mulai dari pantai sampai ke arah peralihan dengan lahan yang lebih tinggi (uplands-).

Pada lahan yang lebih rendah (cekungan), tanahnya selalu tergenang dan selalu jenuh air karena pengaruh air pasang dari laut maupun sungai. Pada lahan ini, proses pematangannya terhambat dan terbentuk tanah-tanah dalam lingkungan yang terreduksi (berglei) dan mempunyai kandungan garam- garam (salin) yang tinggi. Sedangkan pada lahan yang agak melandai (cembung), tanahnya tidak terpengaruh oleh air tergenang (stagnan) dan terjadi proses oksidasi sehingga terjadi proses pematangan dan perkembangan penampang.

Di lokasi penelitian Kajhu, hanya ditemukan 1 klasifikasi tanah yaitu Typic Sulfaquents. Uraian - karakteristik tanah dan lahan -sebagai berikut di bawah ini :

Tabel 101. Satuan Peta Tanah di lokasi Kahju

No Klasifikasi Tanah

Land use SPT

Landform/Topografi

Litologi

1 Typic Sulfaquents, pasir berlempung, agak

Sedimen marin Tambak yang masam, kapasitas kation sangat rendah,

Cekungan Pesisir,

sub resen (pasir hancur akibat kejenuhan basa tinggi, drainase terhambat,

lereng 0-1%

Tsunami salin sangat rendah.(Gleisol Tionik)

dan liat)

Karakteristik. Typic Sulfaquents, pasir berlempung, agak masam, kapasitas tukar kation sangat rendah, kejenuhan basa sangat tinggi, drainase terhambat, salin sangat rendah. (Gleisol Tionik)

Penyebaran. Satuan peta ini terdapat pada rawa belakang panati (cekungan) dengan bentuk wilayah datar agak cekung, lereng 0-1 persen.

Tata guna lahan. Penggunaan lahan sebagian besar berupa bekas tambak. Potensi lahan. Tidak sesuai untuk pengembangan pertanian karena kondisi lahan yang mempunyai

potensi pirit dan salinitas, tetapi masih memungkinkan untuk dijadikan lahan pertambakan dengan perbaikan tata air (saluran irigasi dan drainase).

Tanah Typic Sulfaquents ini merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan, struktur tanahnya masif dan stratifikasi jelas. Proses pelapukan lambat karena selalu jenuh air. Tanah berkembang dari sedimen marin (pasir berlempung), solum dalam dengan warna tanah di lapisan atas coklat gelap kekelabuan (2,5 Y 4/2) dan di lapisan bawah kelabu gelap kecoklatan (5GY 4/1), tidak berstruktur, konsistensi lepas, tidak lekat dan tidak plastis.

c) Kesuburan Tanah

Untuk mengetahui status kesuburan tanah di lokasi penelitian telah diambil beberapa contoh tanah komposit yang merupakan gabungan beberapa contoh tanah yang diambil dari kedalam 0-30 cm.

Contoh-contoh tanah tersebut kemudian dianalisa sifat kimia dan fisik. Analisa sifat kimia seperti pH tanah, kadar bahan organik, kadar fosfat dan kalium, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kejenuhan alumunium, kadar pirit. Analisa sifat kimia antara lain; tekstur, salinitas, Daya hantar listrik.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(1) Tekstur

Tekstur tanah adalah perbandingan antara persentase berat kadar pasir, debu dan liat . Fraksi liat secara langsung berhubungan dengan penyediaan unsur hara tanaman, sedangkan fraksi pasir merupakan cadangan mineral untuk jangka panjang. Fraksi liat bersama bahan organik merupakan faktor yang menetukan kapasitas tukar kation yang mampu menahan air dan hara untuk diserap oleh tanaman.

(2) Kemasaman tanah (pH) dan kejenuhan alumunium

Derajat kemasaman tanah merupakan salah satu unsur penilaian kesuburan tanah, dan merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi penyerapan unsur hara, dimana pada pH 6.0 digunakan sebagai titik batasnya. Pada pH tanah yang tinggi (>6.0) secara tidak langsung unsur-unsur hara seperti fosfat menjadi tidak tersedia bagi tanaman.

Derajat kemasaman tanah-tanah di lokasi penelitian Kajhu tergolong agak masam sampai agak alkalis (6.5 – 7.6). pH agak alkalis terdapat pada daerah yang selalu tergenang atau terkena pasang surut air laut. pH agak masam terdapat pada tanah agak tinggi (punggungan) yang kondisi aerasi cukup baik. Sedangkan di lokasi Tibang dan lam-dingin pH tanahnya agak alkalis (7.7 – 7.9).

Kejenuhan aluminium di lokasi baik di lokasi Kajhu tergolong sangat rendah (< 5%). Hal demikian dikarenakan belum/tidak mengalami oksidasi dan tidak menimbulkan proses kemasaman tanah.

Konsentrasi Al 3+ yang tinggi tidak akan terjadi apabila kemasaman tanahnya netral.

(3) Bahan organik

Kadar bahan organik tanah diukur dengan menetapkan karbon (C), nitrogen (N) dan rasio C/N. Kadar bahan organik, disamping dapat mengikat unsur hara bagi pertumbuhan tanaman, bahan organik juga dapat menjaga kelembaban tanah dan membuat strutur tanah menjadi gembur.

Di lokasi penelitian Kajhu kadar bahan organik umumnya tinggi (>3%) terutama pada dataran rawa belakang pantai (cekungan) dan rendah (<1%) pada daerah punggungannya, kadar nitrogen rendah (<0,50%) dan ration C/N sedang. Sedangkan pada lokasi Tibang dan Lam-dingin kadar bahan organik tinggi di lapisan atas dan rendah dilapisan bawah. Kadar nitrogen sangat rendah dan ratin C/N sedang

(4) Fosfor dan Kalium

Fosfor yang terdapat dalam bentuk organik sebagai sumber unsur hara utama bagi tanaman. Dalam lingkungan masam fosfat beraksi dengan besi dan aluminium membentuk Fe-P dan Al-P yang tidak tersedia bagi tanaman.

Fosfat dalam bentuk potensial ditetapkan dengan pelarut HCl 25% dan dalam bentuk tersedia

ditetapkan dengan pelarut Bray I (0,3 N NH 4 F + 0,25 N HCl).

Di lokasi penelitian Kajhu ini, kadar fosfat potensial tergolong sedang sampai tinggi. Kadar fosfat potensial tinggi (>60 me/100 g) terdapat pada daerah yang selalu tergenang atau terkena pasang surut air laut. Kadar fosfat potensial sedang (< 40 me/100 g) terdapat pada daerah cekungan aluvial. Sedangkan fosfat tersedia tergolong rendah sampai sedang dan Kalium potensial yang ditetapkan dengan pelarut HCl 25% tergolong tinggi. Sedangkan dii lokasi Tibang dan lam-dingin, kadar fosfat dan kalium potensial sangat tinggi.

(5) Kapasitas tukar kation (KTK), Susunan kation dan Kejeunuhan basa

Kapasitas tukat kation merupakan gambaran kemampuan permukaan koloid-koliod tanah untuk mengadsorpsi dari pencucian. Besarnya KTK ditentukan oleh kandungan mineral liat dan bahan organik (humus) dalam tanah. Peningkatan KTK tanah akan menaikan nilai kesuburan tanah.

258 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Lokasi penelitian Kajhu, tanahnya mempunyai jumlah KTK yang sangat rendah (<16 me/100 g) terutama pada daerah yang mempunyai terkstur tanah berpasir seperti pada daerah pesisir pantai dan datara rawa pantai. Sedangkan jumlah KTK yang sedang (>17 – 24 me/100 g) terdapat pada daerah yang mempunya kadar liat seperti yang terdapat pada daerah cekungan aluvial. Sedangkan lokasi Tibang dan lam-dingin tinggi (> 25 me/100 g) dilapisan atas dan rendah (< 16 me/100 g) di laipsan bawah.

Susunan kation K + , Ca , Mg dan Na di lokasi Kajhu sangat bervariatif, dari rendah sampai sangat tinggi. Jumlah kation Na sangat tinggi, Mg tinggi, K dan Ca rendah. Jumlah basa-basa yang dapat

dipertukarkan pada kompleks adsorpsi tanah tercermin dari nilai persentase kejeuhan basanya (% KB). Sebagian besar di lokasi penelitian Kajhu mempunyai kejenuhan basa yang sangat tinggi (> 90%).

Sifat dan karateristik tanah penting artinya dalam hubungan antara tanah, air dan tanaman. Pengambilan unsur-unsur hara oleh tanaman selain ditentukan ketersedian unsur-unsur tersebut secara kimiawi, ditentukan pula oleh keadaan sifat fisik tanahnya. Faktor aerasi dan tersedianya air dalam tanah adalah faktor terpenting dalam hubungan di atas. Aerasi ini tergantung bagaimana struktur tanah memiliki jumlah pori-pori dan bagaimana pula permeabilitasnya. Tanah yang memiliki jumlah pori aerasi yang cukup, belum tentu memiliki aerasi yang baik apabila sebagian pori di isi oleh air yang sering terjadi pada musim hujan atau genangan.

Pada daerah dataran berawa atau cekungan Kajhu tidak/belum berstruktur, jumlah pori aerasi sedang dan permeabilitas lambat. Hal demikian terjadi karena lahan selalu jenuh air dan menajdi faktor penghambat bagi pertumbuhan tanaman. Pada daerah punggungan (melandai) struktur tanah gumpal agak membulat, jumlah pori aearasi sedang sampai tinggi, permeabilitas agak sedang.

d) Tingkat Kerusakan lahan

Pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan telah terjadi tingkat kerusakan lahan akibat gempa/gelombang Tsunami baik secara fisik maupun kimia tanah. Secara fisik berupa masuknya bahan-bahan kasar dan halus dari laut ke daratan sejauh 1 sampai 2 km. Bahan kasar seperti pasir diendapkan terlebih dahulu dengan ketebalan 20 – 50 cm mengikuti stratifikasi topografi. Pasir kasar yang diendapkan di tempat-tempat yang datar atau cekung akan terbentuk struktur tanah yang masif/pejal, jumlah aerasi sedikit sehingga perakaran sulit berkembang. Selain itu, bahan pasir kasar yang diendapkan pada alur-alur sungai (sedimentasi) menjadi penghalang lalulintas air dari hulu ke hilir sehingga lahan sulit melepaskan kelebihan air. Akibatnya air selalu tergenang dan menjadi permasalahan tata air (water management).

Tekstur halus (debu dan liat) yang diendapkan pada daerah punggungan setebalan < 20 cm akan berpengaruh lebih baik dan merupakan tambahan mineral yang dapat menyuburkan tanah (tapi masih perlu diteliti lebih lanjut).

Selain secara fisik, Tsunami juga mempunyai dampak secara kimiawi, pada daerah-daerah yang tergenang yang menjadi lagon-lagon tercatat adanya perubahan kualitas air seperti kemasam, salinitas, alkalinitas, dan potensial pirit apabila teroksidasi. Kondisi tambahan deposit secara gradual dan sifat kimianya pada waktu survei dilakukan dapat dilihat pada Tabel dan Gambar dibawah ini.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 102. kondisi tambahan deposit secara gradual dan sifat kimianya

Jarak (m)

Bahan deposit

Ketebalan (cm)

Pasir kasar

250 - 500

Pasir kasar + Halus

100 - 150

500 - 750

Pasir berlempung

50 - 100

750 - 1000

Lempung berpasir - liat

25 - 50

> 1000 - 2000

Liat dan debu + organik

Dataran Pantai

Beting pantai Punggungan

Cekungann (rawa)

Depesit

Laut

Deposit marin

Deposit marin

S. Neuheun

Batuan sedimen (batu pasir dan liat kalkarius)

Gambar 173. Penampang lintang bentang alam di Lokasi Kahju

e) Evaluasi Kesesuian Lahan

Setiap satuan peta tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei pemetaan sumberdaya lahan, karakteristik lahan dapat dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan fisik lingkungan dan tanahnya. Data dan informasi tersebut dapat digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi komoditas tertentu.

Sebelum melaksanakan evaluasi lahan, terlebih dahulu harus ditetapkan asumsi-asumsi yang akan diterapkan. Dalam hal ini apakah evaluasi lahan akan dilakukan dengan asumsi pada kondisi manajemen rendah (sederhana), sedang atau tinggi.

Evaluasi lahan untuk tujuan perencanaan pembukaan perkebunan besar dengan masukan teknologi tinggi, tentu berbeda dengan asumsinya jika tujuan evaluasi lahan hanya untuk perkebunan rakyat yang cukup dengan masukan sedang atau rendah.

Penilaian evaluasi lahan yang dilakukan di lokasi penelitian dengan asumsi teknologi rendah sampai sedang dengan berbasis masyarakat petani yang mempunyai kemampuan sederhana baik dari segi sumberdaya manusia ataupun permodalannya.

Penilaian evaluasi kesesesuian lahan diarahkan pada kelompok tanaman pangan (serelia, umbi- umbian dan kacang-kacangan), kelompok tanaman perkebunan/industri, kelompok tanaman holtikultura (buah-an dan sayuran), perikanan payau dan penggunaan lainnya dapat dilihat pada Tabel Tabel 103. Dalam hal ini penilaianya digolongkan berdasarkan faktor-faktor pembatas (limiting factor) yang dominan seperti kesuburan tanah/unsur dan retensi hara (nr), media perakaran (rc), Toksisitas/salinitas (xc) bahaya sulfidik (xs) dan bahaya banjir/genangan (fh). Sedangkan fator lingkungan seperti iklim dan topografi tidak menajdi faktor pemabatas.

260 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 103. Hasil Penilaian evaluasi lahan di lokasi Kahju

No

Kelas Kesesuaian Lahah

Rekomendasi SPT

Tan pangan

Perkebunan

Holtikultur

Perikana air payau

Rehabilitas Tambak 1B N-xc,xn,xs, F4

N-xc,xn,xs, F4

N-xc,xn,xs, F4

N-xc,xn,xs, F4

(mangrove)

Keterangan :

Tan. pangan : Padi, jagung, kacang2an (kedelai dan Kacang tanah) Tan. Perkebunan : kelapa, kapuk, kemiri Tan. Holtikultur (buah-buahan dan sayuran) : durian, salak, sukun, nangka, cabe merah,

bayam, mentimun, kacang ppanjang N= tidak sesuia S3= sesuai marginal rc= media perkaran kasar, nr= retensi hara sangat rendah, wa=ketersedia air tidak ada xs= Bahaya sulfidik, oa= drainase sangat terhambat. F2=bahaya banjir/genangan

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Secara sosial ekonomi wilayah perairan Desa Kajhu memiliki nilai yang sangat penting sebab sebagian besar penduduk asli Desa Kajhu bermata pencaharian sebagai nelayan dan petambak. Wilayah perairan umum seperti muara, rawa mangrove dan pesisir menjadi tempat masyarakat untuk menangkap ikan, kepiting, dan tiram. Sedangkan wilayah pertambakan menjadi tempat masyarakat untuk membudidayakan udang, ikan bandeng, dan garam.

Sebelum tsunami sebahagian besar wilayah Desa Kahju merupakan hutan mangrove, hutan pantai, dan areal pertambakan untuk budidaya udang maupun garam. Tsunami 26 Desember 2004 menghancurkan seluruh ekosistem pesisir baik mangrove, hutan pantai, dan pertambakan yang ditandai oleh habisnya seluruh vegetasi yang ada kecuali beberapa pohon kelapa. Bentuk fisik ekosistem pantai juga mengalami perubahan drastis antara lain tersambungnya Pulau Tikus yang dulunya membentuk saluran yang menghubungkan rawa-rawa di timur laut Desa Kajhu dengan laut lepas. Setelah tsunami saluran melalui Pulau Tikus tersebut kini tertutup yang menyebabkan terhentinya suplai air laut secara langsung kedalam rawa-rawa mangrove yang terletak di timur laut desa.

Tsunami juga mengubah total kondisi infrastruktur lingkungan Desa Kajhu dimana seluruh perumahan, dan fasilitas publik hilang tersapu gelombang. Satu-satunya fasilitas umum yang tersisa adalah Mesjid Desa Kajhu yang tetap dapat difungsikan oleh masyarakat setelah tsunami untuk beribadah maupun untuk berkumpul membahas masalah-masalah desa.

Jumlah korban akibat tsunami di Desa Kajhu diperkirakan merupakan jumlah korban terbesar untuk 1 desa di luar Kota Banda Aceh, yaitu sekitar 10.000 jiwa. Angka pasti mengenai jumlah korban sulit untuk diketahui karena banyak penduduk Desa Kajhu adalah penglajo dan mahasiswa yang tinggal secara musiman sehingga tidak terdata dengan baik. Jumlah penduduk yang terdata secara resmi oleh pemerintah Kabupaten Aceh Besar sebelum tsunami adalah sekitar 4.000 orang dan pada tahun 2005 jumlah penduduk Desa Kajhu adalah 2.776 jiwa.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

1.2 Keadaan Penduduk

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa jumlah penduduk Desa Kajhu sebetulnya jauh melebihi jumlah yang tercatat secara resmi di data-data demografi pemerintah. Hal ini disebabkan oleh karena banyak penduduk Desa Kajhu adalah pekerja penglajo maupun mahasiswa yang tinggal sementara sebagai penyewa rumah atau pemiliki rumah tapi tetap tidak terdaftar sebagai penduduk Desa Kajhu.

Menurut catatan resmi BPS jumlah penduduk Desa Kajhu sebelum tsunami pada tahun 2003 adalah 1276 KK yang terdiri dari 2.426 laki-laki dan 2.080 perempuan dengan total jumlah 4505 jiwa. Hasil pendataan ulang oleh BPS pada tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Kajhu saat adalah sekitar 1671 KK yang terdiri dari 1.671 laki-laki dan 1.105 perempuan dengan jumlah total 2.776 jiwa.

Tabel 104. Populasi penduduk Desa Kajhu dan Kecamatan Baitussalam tahun 2003 dan 2005

Kepadatan Populasi

Tahun

Jumlah KK Laki-laki Perempuan Total

Penduduk

(ind/ km2)

Gampong Kajhu

Kecamatan Baitussalam

Tabel diatas menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan drastis jumlah penduduk yang diakibatkan oleh peristiwa tsunami. Hingga saat ini jumlah penduduk kembali terus bertambah meski jumlahnya masih jauh lebih kecil dibandingkan jumlah sebelum tsunami. Hasil pendataan ulang tahun 2005 yang menunjukkan angka jumlah 2.776 jiwa diperkirakan oleh masyarakat Kajhu telah jauh terlampaui karena adanya perpindahan penduduk dan pernikahan. Kondisi dimana jumlah penduduk belum menyamai jumlah penduduk sebelum tsunami terjadi secara umum di desa-desa di Kecamatan Baitussalam. Penting untuk diketahui bahwa di banyak desa-desa lainnya, jumlah penduduk telah menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk sebelum tsunami.

Tabel 105. Agama dan Etnis Penduduk Desa KajhuTahun 2003 dan 2005

Tahun Agama Utama

Etnis

Etnis Utama

Aceh 2005 Islam

2003 Islam

Multi Etnis

Aceh 2007 Islam

Multi Etnis

Multi Etnis

Aceh

Desa Kajhu adalah salah satu desa yang sangat multi etnis di Kecamatan Baitussalam karena dihuni oleh berbagai sub-etnis Aceh antara lain dari Aceh Besar, Aceh Tengah, maupun Aceh Selatan. Etnis lain adalah suku Batak, Jawa, dan Minang. Penduduk multi etnis ini meskipun tinggal di satu desa tapi cenderung terpisah di dua dusun. Penduduk asli Desa Kajhu mendiami Dusun Monsinget umumnya bekerja sebagai petambak dan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem pesisir. Penduduk “pendatang” umumnya mendiami Dusun Kajhu Indah dan dusun-dusun lainnya umumnya adalah pekerja profesional di Kota Banda Aceh seperti karyawan swasta, pegawai negeri, dosen, tentara dan polisi.

262 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Hasil wawancara dan pemetaan sumberdaya pesisir secara partisipatif menunjukkan bahwa meski kehidupan sosial penduduk desa yang multi etnis tersebut berjalan secara harmonis, terdapat kecenderungan penduduk Dusun Monsinget untuk menganggap masyarakat Dusun Kajhu Indah bukan sebagai bagian pengelola wilayah pesisir Desa Kajhu. Pekerjaan masyarakat yang tinggal di Dusun Kajhu Indah yang umumnya tidak terkait langsung dengan pengelolaan pesisir desa menyebabkan upaya-upaya pengelolaan ekosistem pesisir saat ini lebih banyak melibatkan penduduk Dusun Monsinget.

1.3 Analisis Strategi Mata Pencaharian

Komposisi penduduk di Desa Kajhu yang terdiri dari penduduk “pendatang” di Dusun Kajhu Indah yang mata pencahariannya sebagai pekerja di kota dan penduduk Dusun Mon Singet yang mata pencahariannya tergantung pada sumberdaya pesisir menyebabkan penduduk Dusun Monsinget menjadi stakeholder utama dalam pengelolaan ekosistem pesisir. Oleh sebab itu pembahasan mengenai strategi bertahan hidup ditengah dinamika dan kerentanan ekosistem pesisir dan laut akan lebih difokuskan pada penduduk Dusun Monsinget yang kehidupannya sangat tergantung pada dinamika ekosistem pesisir.

Tabel 106. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Desa Kajhu

Komoditas Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Keterangan

Pertanian Semangka - pemeliharaan xx - pemeliharaan xx - - - - Kegiatan setelah tsunami, Rp 1500/kg Kangkung

xx xxx x xxxxxx Konsumsi sendiri Oyong

xx xxx x xxxxxx Konsumsi sendiri Kelapa

xx xxx x xxxxxx Konsumsi sendiri, tidak intensive Perikanan

Dikerjakan 5 - 10 Tiram (Oyster) xx xxx x xxxxxx orang per hari, 1

kg/org, 20 – 30 ribu/kg

Kepiting (Scylla, mud crab)

x xx x x xx xx x x x x 10 - 20 ribu/kg Kakap putih (Lates,

x xx xx - - - - - - x x x barramundi) 18.000 - 20.000, perairan Kajhu Jenahar (Lutjanus,

20-30 ribu/kg, snapper)

xx x-- - - --xxx perairan kajhu Kerong-kerong

xx x-- - - --xxx konsumsi sendiri, (Mesopristes)

pinggir pantai Rajungan (portunus,

xx x-- - - --xxx 15 ribu/kg swimming crab)

Rambe (Caranx) x

x 50 - 70 ribu/kg, perairan krueng raya

Kerapu (Ephinephelus,

xx xx x x xx xx x xx xx xx Perairan Krueng Raya grouper) Tambak udang (pennaeus)

xx xxx x xxxxxx Penyakit banyak /Bandeng (Chanos)

Kebutuhan modal - -- - --- x x x - - Beli jaring, sarana produksi, dari toke. Keterangan: x = produksi rendah, sedang; xx = produksi tinggi

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Perikanan Tangkap

Kegiatan utama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kajhu (terutama Dusun Monsinget) adalah kegiatan pertambakan dan penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan ikan di Desa Kajhu tidak seaktif nelayan di desa-desa lainnya yang terletak dalam kawasan Panglima Laot Kuala Gigieng. Hal ini terutama disebabkan minimnya donor/lsm yang memberikan bantuan perahu dan alat tangkap kepada nelayan Desa Kajhu dibandingkan desa-desa sekitarnya.

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan umumnya dilakukan diperairan sekitar desa (one day fishing) pada musim penghujan (timur) hingga awal musim kemarau yaitu Oktober – Maret. Jenis- jenis ikan yang ditangkap pada musim tersebut antara lain kakap putih, jenahar, rajungan dan rambe. Hasil tangkapan ikan yang tinggi pada musim timur menyebabkan keuntungan yang diperoleh nelayan juga relatif tinggi pada musim tersebut. Harga ikan tangkapan pada musim ini berkisar antara 10 – 70 ribu per kilogram yang merupakan harga yang ditentukan oleh toke. Harga pasar sebenarnya tidak diketahui oleh nelayan karena semua sudah diurus oleh toke masing-masing.

Diluar bulan-bulan musim timur tersebut masyarakat mengalihkan pekerjaannya dengan mengandalkan kegiatan penangkapan ikan dan kepiting di perairan umum seperti muara sungai dan rawa-rawa bakau disekeliling desa. Sebagian nelayan tetap melaut dengan mengalihkan wilayah tangkapannya jauh ke arah mercusuar di perairan Krueng Raya. Ikan-ikan yang ditangkap pada musim ini biasanya adalah ikan kerapu. Kegiatan musim timur yaitu dengan menangkap kepiting oleh laki-laki dan tiram oleh perempuan maupun penangkapan ikan di perairan Krueng Raya relatif tidak memberikan keuntungan seperti pada musim timur. Penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari anggota keluarga.

Kegiatan penangkapan ikan di laut membutuhkan modal awal dan modal operasional yang cukup besar dan biasanya diperoleh dari tabungan sendiri, bantuan lsm, kelompok, atau pinjaman dari toke. Sedangkan kegiatan penangkapan kepiting, ikan sungai, dan tiram adalah kegiatan-kegiatan nelayan yang tidak membutuhkan pinjaman modal operasional.

Pinjaman tersebut digunakan untuk membeli modal tetap (perahu, alat tangkap) dan modal operasional (makanan, umpan dan bahan bakar). Perahu yang digunakan nelayan Desa Kajhu terdiri dari paling tidak 3 ukuran yaitu sampan sungai memuat 1 orang umumnya dioperasikan disungai dengan alat pancing dan jaring insang, perahu sedang memuat 3 – 5 orang untuk one day fishing menggunakan alat tangkap pancing dan jaring insang tetap, dan perahu berukuran besar memuat 7 –

10 orang menggunakan jaring malam (entangling nets). Nelayan yang meminjam modal kepada toke biasanya membayar pinjamannya dengan cara

memberikan hak monopoli untuk membeli hasil tangkap nelayan atau dengan mencicil setelah memperoleh hasil penjualan sendiri. Mekanisme lain yang umum berlaku dalam kegiatan perikanan tangkap adalah mekanisme “pemilik dan pekerja”. Toke yang juga merupakan pemilik perahu dan alat tangkap akan bekerjasama dengan pawang (fishing master) dan awak perahu yang mengoperasikan aset toke tersebut. Penjualan hasil tangkapan yang telah dikurangi terlebih dahulu dengan modal operasional dibagi menjadi 5 bagian. Toke mendapat hak 2/5 bagian sedangkan awak mendapat hak 3/5 bagian. Pawang sendiri mendapatkan imbalan dari toke sekitar 25% dari porsi toke tanpa mengganggu penghasilan 3/5 awak perahu.

264 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Awak Tangkap

Modal Kerja

Pawang

Gambar 174 mekanisme bagi hasil antara pemilik perahu dan alat tangkap dengan pawang dan awak kapal.

Meskipun mekanisme pembagian hasil tangkap tersebut merupakan kebiasaan umum yang berlaku, pembagian hasil tangkapan terutama pada perahu-perahu kecil yang ber awak 2 – 5 orang bisa juga didasarkan pada kesepakatan secara kekeluargaan antara toke dan pawang. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena modal yang dikeluarkan relatif kecil dan hasil tangkapannya pun sedikit sehingga akan menyulitkan jika dibagi sesuai dengan mekanisme dalam Gambar 174.

Daerah pendaratan ikan sekaligus basis nelayan (fishing base) wilayah otoritas panglima laut Lhok Kuala Gigieng adalah di Kuala Gigieng. Sedangkan nelayan-nelayan kecil Desa Kajhu, umumnya tetap menjadikan dusun monsinget sebagai basisnya untuk memudahkan merawat dan mengawasi aset perahu dan alat tangkap. Oleh sebab itu hasil-hasil tangkap nelayan pun umumnya dipasarkan ke Peunanyong yang merupakan tempat transaksi perikanan terbesar di Banda Aceh.

(4) Perikanan Budidaya

Kegiatan utama lainnya di Desa Kajhu terutama penduduk Mon Singet adalah usaha pertambakan. Informasi resmi mengenai kepemilikan lahan pertambakan di Kajhu tidak ditemukan, tetapi dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar lahan tambak adalah milik warga Desa Kajhu sendiri. Tetapi hampir separuh dari anggota masyarakat yang bekerja dalam bidang pertambakan bukanlah pemilik tambak tapi hanya sebagai penggarap atau buruh.

Seebelum tsunami kegiatan pertambakan dilakukan sepanjang tahun dengan memelihara bandeng dan udang. Seperti halnya usaha pertambakan udang di tempat lainnya, kegiatan pertambakan di Kahju juga menghadapi tantangan penyakit udang yang sangat berat. Hal tersebut memaksa masyarakat untuk menerapkan padat tebar rendah 1-2 ekor/m2 atau sehingga resiko kerugian menjadi lebih kecil.

Seperti halnya kegiatan penangkapan ikan, modal budidaya juga biasanya diperoleh dari modal sendiri atau meminjam dari toke. Pengembalian modal pinjaman dari toke oleh petambak bisa dilakukan dengan mencicil pinjaman tersebut setelah panen atau memberikan hak monopoli pembelian pada toke.

Pemilik tambak yang juga sekaligus toke biasanya melakukan budidaya dengan bekerjasama dengan petambak penggarap/buruh. Bagi hasil mekanisme ini dilakukan berdasarkan kesepakatan antara toke dan penggarap. Untuk tambak-tambak berukuran besar, 5 – 7 hektar, toke akan memperoleh 65% – 75% dari penjualan bersih sedangkan penggarap memperoleh 25% - 35%. Sedangkan untuk tambak berukuran kecil baik toke maupun penggarap biasanya sama-sama memperoleh 50%.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Saat ini kegiatan pertambakan belum dimulai secara penuh hanya berupa kegiatan kecil-kecilan. Kendala yang ditemui antara lain adalah keterbatasan modal dan keragu-raguan masyarakat untuk menghadapi kendala teknis budidaya karena banyaknya serangan penyakit.

(5) Pemasaran Hasil Perikanan

Mekanisme pemasaran hasil perikanan tangkap dan budidaya melewati paling tidak 3 saluran untuk sampai ke konsumen/exportir. Perbedaan jalur pemasaran tergantung pada jenis komoditas dan sumber modal operasional (pinjaman atau modal sendiri).

Ekspor Medan

Toke

Pengumpul di

Pasar

Petambak/

Konsumen Nelayan

Peunayong

Banda Aceh

Pengumpul

(muge)

Pengumpul di

Ekspor

Medan

Gambar 175 Rantai pemasaran hasil perikanan di Desa Kajhu

Petambak atau nelayan yang melakukan kegiatan dengan meminjam modal pada toke umumnya akan menjual hasil produksi/tangkapan langsung pada toke. Petambak atau nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan dengan modal sendiri atau tanpa modal (menangkap tiram) memiliki dua pilihan yaitu menjualnya langsung ke Pasar Peunayong atau menjualnya pada muge. Selanjutnya, produk atau hasil tangkap yang memiliki nilai ekspor seperti udang, kerapu, kakap biasanya akan dijual ke pengumpul/eksportir di Belawan Medan. Sedangkan produk lainnya seperti kepiting, bandeng, tiram dijual langsung ke Pasar Peunayong untuk konsumsi lokal.

Rantai pemasaran yang diperlihatkan pada Gambar 175 merupakan salah satu faktor penyebab minimnya penghasilan ditingkat nelayan dan petambak. Hanya sedikit nelayan/.petambak kecil yang berkeinginan untuk menjual produknya langsung ke pasar Peunayong karena jumlah produk/hasil tangkap per individu sangat kecil. Dalam skala sangat kecil, Yayasan Lebah mengupayakan organisasi petani penghijauan yang telah dibentuknya agar memiliki fungsi sebagai muge yang lebih fair dalam memberikan harga pada nelayan kecil dan pengumpul tiram. Untuk mendukung kegiatan tersebut sebagian dana livelihoods proyek Green Coast digunakan sebagai modal muge dan sebagian lagi digunakan untuk membeli becak yang akan menjadi fasilitas pengangkutan produk perikanan ke Pasar Peunanyong. Muge versi kelompok peghijauan ini sedikit demi sedikit berhasil mengumpulkan anggota pengumpul tiram karena memberikan harga yang lebih baik dibandingkan muge atau toke lainnya.

Sebuah pasar kebutuhan sehari-hari telah selesai dibangun oleh Mercy Corps di Desa Kajhu. Hanya saja sampai saat ini pasar tersebut belum dimanfaatkan dan masih dibiarkan kosong.

(6) Pertanian

Sebelum tsunami sebagian lahan masyarakat Desa Kajhu yang terletak di sisi sebelah selatan jalan adalah lahan persawahan yang luasnya sekitar 100 hektar. Sawah-sawah ini belum dimanfaatkan kembali secara optimal setelah terendam air asin dan dipenuhi oleh sampah tsunami.

266 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 106 menunjukkan bahwa masyarakat Desa Kajhu terutama masyarakat Dusun Monsinget meskipun memiliki lahan yang cukup luas tapi hampir tidak ada yang memanfaatkannya untuk kegiatan pertanian darat komersial. Masyarakat umumnya memanfaatkan lahannya untuk kegiatan pertambakan sedang lahan kering dibiarkan sebagai lahan pekarangan biasa atau dimanfaatkan untuk menanam sayur bagi keperluan sendiri seperti oyong dan kangkung.

Kegiatan pertanian bernilai ekonomis baru diuji coba setelah tsunami yaitu penanaman semangka yang diperkenalkan melalui Green Coast project oleh Yayasan Lebah. Kegiatan ini dikelola oleh kelompok masyarakat dan menunjukkan hasil yang memuaskan dalam dua kali panen. Penanaman mulai dilakukan dilakukan pada musim kering (Februari – Maret) karena lebih cocok dengan sifat semangka yang kurang suka air berlebihan dan menjelang bulan puasa (Juni – Juli) karena harga lebih tinggi saat panen.

Saat ini kegiatan pertanian semakin menarik perhatian kelompok masyarakat sehingga lahan ujicoba dan jenis komoditasnya diperluas dengan kembali menguji coba tanaman kacang dan jagung. Sebagian kecil masyarakat terutama anggota kelompok dampingan Yayasan Lebah mulai dapat melihat bahwa kegiatan pertanian ini merupakan salah satu mata pencaharian baru yang akan dikombinasikan dengan mata pencaharian lainnya sehingga menambah pendapatan tahunan.

Tabel 106 menunjukkan bahwa masyarakat Desa Kajhu beradaptasi dengan baik dengan mengembangkan mata pencaharian yang bervariasi.untuk menghadapi fluktuasi dengan musim. Hanya saja kemampuan adaptasi tersebut diakui oleh masyarakat hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan anak-anak hingga SD dan SMP. Investasi modal jangka panjang untuk memperluas usaha maupun investasi sumberdaya manusia melalui pendidikan anak hingga perguruan tinggi hampir tidak mungkin dilakukan dengan pola matapencaharian saat ini.

Hasil wawancara menunjukkan adanya indikasi kerugian yang cukup besar dirasakan oleh masyarakat nelayan dan petambak karena toke penyedia modal kerja maupun muge telah mengambil keuntungan yang terlalu besar dari selisih harga. Meski demikian masyarakat kesulitan untuk melakukan penjualan secara langsung dengan memotong rantai pemasaran karena terikat oleh modal pada toke dan tidak adanya “fasilitator” yang menjembatani pemasaran tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat bahwa mekanisme bertahan hidup masyarakat Desa Kajhu tidak bisa diandalkan untuk mengangkat taraf hidup saat ini

(7) Peternakan

Kegiatan peternakan tidak dilakukan secara khusus oleh masyarakat Desa Kajhu untuk menjadi sumber mata pencaharian sehari-hari. Ternak yang ada seperti kambing, ayam, dan itik umumnya hanya menjadi kegiatan sampingan dan tidak dirawat secara serius. Kondisi lahan yang relatif asin menyebabkam rumput-rumputan yang tumbuh dominan seperti tapak kuda (ipomoea), harendong (melastoma), pecut kuda (stachytarpheta), dan sesuvium yang tidak disukai oleh kambing.

c) Fasilitas Fisik dan Pelayanan Publik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Pembangunan kembali perumahan dan infrastruktur pendukung di Desa Kajhu tergolong cukup lambat dan tersendat-sendat. Hal tersebut menjadikan penduduk Desa Kajhu terlambat untuk kembali menghuni desanya pasca tsunami. Rumah yang telah dibangun oleh pemerintah maupun lsm juga tidak langsung diiringi oleh sarana pendukung seperti listrik, air bersih, dan drainase. Hingga akhir tahun 2006, 2 tahun setelah tsunami praktis masih sangat jarang penduduk yang tinggal di desa dan pemerintah sempat “mengultimatum” warga agar segera menempati rumah yang telah dibangun.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pembangunan perumahan di Desa Kajhu awalnya telah disepakati akan dilakukan oleh Canadian Red Cross (CRC), yaitu sekitar 1300 rumah. Persiapan pembangunan tersebut telah berjalan panjang dimulai dengamn proses pemetaan lahan dan pemilihan desain yang dilakukan pertengahan 2005. Sayangnya kegiatan tersebut ternyata tertunda sangat lama dan membuat masyarakat frustasi dan sempat mengumumkan secara terbuka untuk memutuskan hubungan dengan CRC.

Untuk mengatasi kebuntuan tersebut pembangunan rumah kemudian dilaksanakan oleh kontraktor yang dibiayai BRR yang ternyata tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Perumahan yang dibiayai BRR tersebut ternyata memiliki kualitas yang buruk sehingga banyak yang akhirnya ditelantarkan oleh masyarakat. Pembangunan rumah dengan kualitas yang lebih baik dilakukan oleh Islamic Relief dan pada awal 2007 Canadian Red Cross pun secara bertahap mulai membangun kembali rumah yang direncanakan. Kebutuhan rumah masyarakat Desa Kajhu adalah sekitar 2500 rumah, diperkirakan lebih dari 500 unit rumah telah selesai dan siap huni.

Tabel 107. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Kajhu tahun 2003 dan 2005

Jumlah Rumah

MCK Tahun

akar asa Permanen

itas Permanen Permanen

air untu

mem Drainase

Akses

dengan

Lampu Jal

Fasil

Sumber Air Bersih

% Rumah

% Rumah

Bahan b

0 No Sumur Sumur Pribadi Minyak Acak tanah

Tangki

Minyak

2005 N/A N/A N/A N/A 00 No air

N/A Umum tanah N/A

Keterlambatan pembangunan fasilitas perumahan dan infrastruktur Desa Kajhu tercermin dengan dalam data resmi yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2005 pada Tabel 107yang belum mencantumkan adanya perbaikan infrastruktur. Saat ini suasana desa terutama Dusun Monsinget telah mulai normal kembali setelah masyarakat secara bertahap menempati rumah masing-masing.

Fasilitas listrik PLN juga telah menjangkau sebagian besar rumah yang menyebabkan suasana menjadi lebih hidup. Drainase yang dibangun oleh Islamic Relief dan BRR cukup efektif mengendalikan genangan air dimusim hujan tapi tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan rumah yang dibangun di daerah genanangan pasang tinggi.

Untuk memenuhi kebutuhan air untuk mandi dan mencuci, setiap rumah memiliki sumur dengan kedalaman antara 1 – 2 meter. Sayangnya air sumur tersebut agak asin sehingga tidak layak untuk dikonsumsi sebagai air minum. Kendala ini masih belum terselesaikan terutama sekali karena suplai air tawar yang selama ini dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat telah dihentikan secara total sehingga masyarakat harus membelinya sendiri ke kota.

(2) Pendidikan

Secara umum masyarakat Desa Kajhu terutama Dusun Monsinget merasakan bahwa kegiatan mata pencaharian yang dijalani saat ini tidak membutuhkan kualifikasi pendidikan formal tertentu. Oleh sebab itu pendidikan tidak dirasakan sebagai faktor utama untuk berhasil bertahan hidup dalam kondisi saat ini. Meski demikian, hasil wawancara menunjukkan bahwa masyarakat memahami pentingnya pendidikan sebagai investasi masa depan dan merupakan salah satu pintu keluar untuk mengangkat taraf hidup. Hal ini mendorong masyarakat untuk tetap menyekolahkan anak-anaknya sejauh kemampuan masing-masing.

268 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 108. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Gampong Kajhu

TK SD SMP SMA Sekolah Teknik Akademi/Universita

kat ( kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

terde Swasta Negeri terde Jarak

Jarak Jarak

2---3 - - 1 - -- 1 --7-- 5 0050 2 0 0 0 5 00 2 00700 5

Tabel 108 menunjukkan bahwa meskipun terjadi pembangunan besar-besaran pasca tsunami di seluruh aceh, hingga tahun 2005 belum terdapat pembangunan fasilitas pendidikan tambahan. Kenyataan tersebut tidak menjadi kendala karena dari segi jarak, masyarakat Desa Kajhu dapat dengan mudah memperoleh pelayanan pendidikan dari SD hingga Universitas. Saat ini SD di Dusun Monsinget dibangun oleh NOVIB bekerja sama dengan Education International dengan dilengkapi mushalla kecil.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa penduduk Dusun Monsinget umumnya hanya mampu menyekolahkan anaknya hingga selesai SMP atau SMA. Kondisi ini disebabkan oleh karena kesulitan biaya jika harus menyekolahkan hingga SMA atau perguruan tinggi padahal pada usia SMA seharusnya sudah bisa bekerja untuk mendapatkan uang.

Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi Posisi Desa Kajhu dapat dijangkau dari Kota Banda Aceh melalui paling tidak dua jalan yang beraspal

mulus yaitu dari arah Kopelma Darussalam dan dari poros Banda Aceh – Krueng Raya. Secara umum tidak ada kendala akses jalan ke dan dari Desa Kajhu yang menyebabkan angkutan umum untuk kelancaran arus barang dan orang bisa berjalan secara rutin dengan menggunakan angkot “labi-labi” dan becak motor.

Tabel 109. Akses dan sarana transportasi umum Gampong Kajhu

Jenis Tahun

Akses

Kendaraan Umum

Jalan kendaraan kendaraan Desa

roda 4 Andong Sampan Motor boat Umum Utama

Roda Empat

motor

2003 Aspal Ya

Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada Roda emapat

Ada

2005 Aspal Ya

Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada Roda empat

Ada

dan becak motor

Hingga saat ini tidak ada informasi mengenai keterkaitan langsung antara kelancaran arus barang dan manusia ke pusat-pusat transaksi di kota dengan perbaikan kondisi hidup masyarakat di Desa Kajhu. Berdasarkan hasil wawancara diketahui adanya indikasi yang kuat bahwa mudahnya pengangkutan produk perikanan ke pasar hanya menguntungkan toke dan muge, tidak berdampak langsung pada sebagian besar masyarakat. Masyarakat sendiri tetap menerima harga ikan atau tiram berdasarkan harga yang ditetapkan oleh toke dan muge yaitu selisih selisih 20 – 40% dari harga di Pasar Peunayong.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan pedesaan di Provinsi Aceh diklaim sebagai yang terbaik di Indonesia ditinjau dari ketersediaan infrastruktur fisik. Hal tersebut juga dapat dilihat di Desa Kajhu yang memiliki fasilitas puskesmas pembantu sehingga memudahkan warga untuk mengakses layanan kesehatan.

Tabel 110. Fasilitas Kesehatan di Desa KajhuTahun 203 dan 2005

Jumlah Rumah

Kemudahan Tahun Sakit

Kemudahan Puskesmas/

Data resmi yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2005 seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 110 diatas belum memperlihatkan perkembangan yang berarti dalam pelayanan kesehatan. Meski demikian perkembangan yang sangat pesat hingga tahun 2006 dan 2007 menyebabkan masyarakat Desa Kajhu tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk memperoleh layanan kesehatan. Pasca tsunami tidak pernah dijumpai kasus-kasus penyakit yang diakibatkan oleh kurangnya pelayanan kesehatan dalam jangka waktu lama seperti kasus gizi buruk pada bayi ataupun wabah penyakit yang melanda desa.

Tabel 111..

Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005

Keluarga Memiliki Kartu Persentase

Balita Keluarga Tahun

Keluarga

Persentase

Wabah penyakit yang pernah melanda

Tanda Keluarga

Memiliki

Keluarga

Penduduk Memiliki

Malnutrisi Peserta Miskin

Kartu

Memiliki KS

KTPM (%)

Sehat (KS)

Diare Campak berdarah

Malaria ISPA

2003 29 2 228 18 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 617 2005 0

0 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A N/A

Pelayanan kesehatan dasar bagi seluruh masyarakat Desa Kajhu pasca tsunami umumnya dilakukan secara gratis dengan dukungan dari berbagai lembaga seperti Obor Berkat Indonesia dan Catholic World Service. Hal tersebut antara menyebabkan perangkat desa maupun pemerintah kabupaten tidak secara besar-besaran membagikan kartu sehat bagi keluarga miskin seperti di daerah-daerah lain di Indonesia. Hasil pendataan oleh BPS 2005 bahkan tidak menemukan adanya penduduk yang memiliki dan menggunakan kartu sehat untuk pelayanan kesehatannya.

(4) Fasilitas Keagamaan

Hampir semua penduduk Desa Kajhu beragama Islam, hanya sebagian kecil pekerja profesional dan tentara yang beragama non Islam. Hal tersebut menyebabkan fasilitas ibadah yang tersedia hanya mesjid dan mushallah (meunasah). Sebelum tsunami terdapat 1 mesjid dan 3 mushallah yang menjadi sarana beribadah dan bersosialisasi masyarakat. Tsunami kemudian menghancurkan semua fasilitas tersebut dan hanya menyisakan mesjid Desa Kajhu.

270 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 112. Fasilitas Keagamaan tahun 2003 dan 2005 di Gampong Kajhu

Kuil Kong Tahun Masjid Mushalla

Gereja

Gereja

Kuil Hindu

Kuil Budha

Hingga tahun 2005 seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 112, fasilitas meunasah yang sebelum tsunami berjumlah 3 buah, belum dibangun sama sekali kecuali meunasah “oxfam” yang terdiri dari bangunan panggung kayu dibangun oleh Oxfam di Dusun Monsinget. Saat ini sebuah meunasah telah dibangun kembali di Dusun Kajhu Indah dibantu oleh American Red Cross dan Mercy Corps. Meunasah tersebut terlihat cukup mewah dan dilengkapi dengan bangunan tempat wudhu.

Sarana Komunikasi Infrastruktur fasilitas komunikasi telepon rumah yang mengalami kehancuran total ketika terjadi

tsunami hingga kini belum diperbaiki. Untuk keperluan komunikasi sehari-hari masyarakat menggunakan telepon genggam. Harga yang murah dan jangkauan yang luas menyebabkan penggunaan telepon genggam menjadi hal yang umum di Desa Kajhu termasuk di Dusun Monsinget. Hasil wawancara menunjukkan bahwa hampir setiap keluarga saat ini memiliki paling tidak satu telepon genggam, sehingga meskipun pada Tabel 113 terlihat bahwa sarana telepon rumah belum dibangun sama sekali, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi warga untuk berkomunikasi.

Tabel 113. Sarana komunikasi antara tahun 2003 dan 2005 di Gampong Kajhu

Tahun memiliki

Wartel Internet

memilki TV

Sarana komunikasi lainnya adalah jasa pos yang bisa dijangkau di daerah Darussalam yang berjarak sekitar 5 km dari Desa Kajhu. Disamping itu saat ini telah tersedia banyak jasa-jasa pengiriman yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat desa untuk menjalin kontak dengan relasi maupun keluarga. Letak Ibu Kota Kecamatan Baitussalam di Desa Kajhu juga membuat sarana komunikasi dengan pemerintah menjadi lebih dekat.

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Pemerintahan di Desa Kahju dipimpin oleh seorang Kecuhik yang dibantu oleh Sekretaris Desa, 4 Kepala Urusan, dan 10 Kepala Dusun. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan Keuchik dilakukan oleh masyarakat desa melalui Tuha Peut. Organisasi Keuchik adalah lembaga yang paling kuat di desa karena merupakan lembaga yang resmi dalam struktur pemerintahan dan dipilih langsung oleh masyarakat yang sudah mencapai usia pemilihan.

Disamping kelembagaan Keuchik, di dalam desa juga terdapat kelembagaan lain yang meskipun kekuatannya tidak sebesar lembaga Keuchik tapi sangat berperan dalam membentuk keseimbangan konfigurasi politik desa. Lembaga tersebut antara lain kelompok pemuda yang dipimpin oleh ketua pemuda, kelompok pengajian ibu-ibu, dan imum meunasah. Kelompok-kelompok ini cenderung netral dan kooperatif sehingga mudah bekerja sama menjalankan program-program yang masuk ke desa

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Saat ini Desa Kajhu dipimpin oleh Keuchik Keuchik Usman AR yang memenangkan pemilihan Keuchik akhir 2006 yang lalu. Keuchik Usman sebelumnya adalah Keuchik yang ditunjuk langsung oleh Bupati Aceh Besar pada saat darurat tsunami untuk mengkoordinir masyarakat Desa Kajhu. Sikapnya yang lugas, proaktif, kemampuan bisnis yang baik, dan dukungan Sekretaris Desa yang kharismatis menjadi salah satu kunci pembangunan Desa Kajhu yang relatif lebih pesat dibandingkan desa-desa lainnya.

Tuha Peut

Kaur Pemerintahan

Kaur Pembangunan

Kesejahteraan Kaur

Kaur Umum

10 Kepala Dusun

Gambar 176 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Kajhu

Struktur pemerintahan Desa yang digambarkan dalam Gambar 176 menunjukkan pembagian kewenangan Keuchik kepada Sekretaris Desa dan 4 orang Kepala Urusan. Dalam pelaksanaan pembangunan desa yang sebenarnya, pembagian kewenangan tersebut hanya bersifat administratif karena Keuchik melakukan langsung pelaksanaan kewenangan tersebut.

(2) Kelompok Sosial Kemasyrakatan

Kelompok sosial kemasyarakatan yang berperan dalam pengelolaan desa tidak terdata dengan baik. Jumlah penduduk yang lebih dari 1.000 KK dan cenderung terpisah secara sosial menyebabkan wawancara mengenai pengelolaan pesisir terfokus pada informasi di Dusun Monsinget. Sebelum tsunami diketahui hanya terdapat kelompok pemuda, kelompok-kelompok pengajian (wiridan) dan kelompok dampingan PKK yang aktif melakukan kegiatan. Setelah tsunami terbentuk banyak sekali

272 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 272 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 114. Kelompok sosial kemasyarakatan di Desa Kajhu yang masih aktif

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Kelompok Tambak Garam

Membangun tambak garam dengan bantuan

pemerintah jepang?

pemerintah Jepang, masih aktif

2. Kelompok penghijauan

Terdiri dari beberapa kelompok. Yang masih aktif

Oxfam Novib, WIIP

adalah kelompok dampingan yayasan lebah

3. Kelompok nelayan

Mengkoordinir pengelolaan bantuan untuk nelayan,

sudah tidak aktif

6. Kelompok Ibu-ibu PKK Insidentil bila ada kegiatan dari PKK tingkat Kecamatan Kas Desa

Kelompok-kelompok yang dibentuk langsung oleh Keuchik dan Kepala Dusun setelah tsunami umumnya dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya konflik antar anggota masyarakat. Kelompok ini meskipun kadang berjumlah cukup besar, umumnya tidak memiliki struktur yang kuat dan akan bubar dengan sendirinya setelah kegiatan selesai. Hal tersebut menyebabkan kelompok-kelompok ini tidak punya pengaruh besar dalam keseimbangan kekuatan politik di desa.

e) Gender

(1) Pengelolaan Rumah Tangga

Laki-laki dalam struktur keluarga di Desa Kajhu adalah pemimpin yang mengambil keputusan tertinggi dalam manajemen rumah tangga. Untuk itu laki-laki adalah pencari nafkah utama yaitu menangkap ikan di laut atau melakukan kegiatan budidaya. Perempuan berperan sebagai pendamping yang dapat mengambil keputusan finansial untuk kegiatan sehari-hari seperti berbelanja makanan dan biaya sekolah anak.

Meski bukan penanggung jawab utama kegiatan mata pencaharian, perempuan diharuskan untuk membantu suami dalam mencari nafkah. Pembagian peran mencari nafkah tersebut dilakukan baik dalam kegiatan penangkapan ikan (nelayan) maupun budidaya perikanan (tambak) didasarkan pada berat ringan tenaga yang dibutuhkan oleh pekerjaan. Pekerjaan yang dianggap membutuhkan tenaga berat yaitu berlayar ke laut, mengangkat hasil tangkapan, memperbaiki tanggul dilakukan oleh laki-laki sedangkan pekerjaan yang dianggap hanya membutuhkan tenaga ringan seperti menyortir dan mengolah ikan dilakukan oleh perempuan. Disela-sela waktu budidaya atau melaut, wanita membantu keuangan keluarga dengan mencari tiram sedangkan laki-laki mencari kepiting.

Penghasilan yang diperoleh oleh laki-laki diserahkan kepada perempuan untuk dikelola memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian penghasilan tersebut digunakan oleh laki-laki untuk kebutuhan rokok dan minum-minum kopi di kedai.

Pembagian waktu bekerja maupun upah antara laki-laki dan perempuan cenderung lebih memberatkan perempuan. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa total jam kerja perempuan dari mulai mempersiapkan sarapan di pagi hari hingga membersihkan peralatan makan malam bisa lebih lama 3 –

5 jam dibandingkan waktu yang dihabiskan oleh laki-laki untuk bekerja dalam sehari. Hal lain yang juga menunjukkan ketidak seimbangan adalah upah perempuan yang cenderung lebih kecil (mencapai 30%) dibandingkan upah yang diperoleh laki-laki meskipun beban pekerjaannya relatif sama.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Hingga saat ini tidak terdapat tokoh perempuan dalam struktur pemerintahan ataupun pemimpin kelompok yang memiliki kekuatan politik di Desa Kajhu. Terlepas dari kenyataan tersebut, hasil wawancara menunjukkan bahwa perempuan Desa Kajhu dalam kesehariannya tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut. Lebih jauh, pemerintah dan tokoh masyarakat Kajhu sendiri cukup akomodatif dalam memberikan hak-hak perempuan. Saat wawancara diketahui bahwa Keuchik dan tokoh masyarakat pernah mengusahakan (dan berhasil) agar seorang perempuan yatim piatu korban tsunami memperoleh hak waris penuh, meskipun saat itu terdapat ahli waris lain dari garis ayahnya. Hal ini merupakan kejadian yang langka dan menunjukkan perhatian besar pemerintah dan tokoh masyarakat Desa Kajhu bagi pemenuhan hak-hak perempuan.

Perempuan juga senantiasa terlibat aktif dalam kelompok-kelompok yang dibentuk oleh Keuchik dan Kepala Dusun yang diajukan kepada donor dan lembaga yang ingin bekerja di Desa Kajhu. Hal tersebut antara lain ditunjukkan dalam kelompok-kelompok yang terlibat dalam kegiatan Green Coast dimana 30% anggotanya adalah perempuan. Ketidak seimbangan jumlah tersebut bukan disebabkan oleh diskriminasi, tapi lebih kepada kenyataan bahwa jumlah perempuan yang selamat akibat tsunami sangat sedikit.

f) Informasi Terkait dengan Kegiatan Green Coast

Nama Kelompok : Kelompok Bangka dan Kelapa dan Cemara, terdiri dari 25 orang yang difasilitasi langsung oleh

Keuchik Kajhu. Kelompok tersebut saat ini tidak aktif lagi, sebagian bergabung ke Koperasi Meurah Genta dan sebagian membantu kelompok Yayasan Lebah.

Kelompok dampingan Yayasan Lebah (tidak punya nama) terdiri dari 23 keluarga yaitu sekitar 50 penerima manfaat langsung dan tetap aktif hingga saat ini.

Kegiatan yang dilakukan adalah penghijauan sekitar 30 hektar hutan pantai dan tanaman mangrove yang terdiri dari sekitar 30 spesies. Disamping itu Yayasan Lebah juga mengembangkan mata pencaharian dengan memperkenalkan kegiatan pertanian dan mengembangkan usaha simpan pinjam yang cukup berhasil memperbesar skala usaha anggota. Saat ini kelompok dampingan memperluas usaha simpan pinjam dengan mengembangkan unit usaha pemasaran hasil perikanan yang membantu masyarakat kecil meningkatkan margin keuntungan dari penjualan produk perikanan terutama tiram.

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

a) Penanaman Tanaman Pantai

Setelah dua tahun berjalan, hasil dari kegiatan penanaman ini telah terlihat di lapangan. Areal yang dahulu benar-benar kosong, kini sebagian diantaranya telah tertutup oleh tegakan cemara Casuarina equisetifolia dan beberapa jenis tanaman pantai lainnya. Namun demikian, tim assesment juga menjumpai banyak tanaman yang mati karena beberapa sebab terutama terkena air asin dan tertimbun pasir.

Dari obesrvasi yang dilakukan, sebagian besar tanaman yang mati adalah yang berada di barisan depan lokasi penanaman mati. Kematian ini diyakini karena terkena air asin dan tertimbun pasir. Hal yang sama juga terjadi di belakang tegakan cemara, yaitu tanaman berada di dekat cekungan air. Selain di dua lokasi terebut, tanaman-tanaman yang mati juga dijumpai di sela-sela tegakan cemara. Belum stabilnya substrat pasir diyakini berada di balik kematian tanaman ini. Beberapa jenis tanaman yang terlihat kurang mampu beradaptasi dengan baik di kondisi seperti ini antara lain kelapa Cocos nucifera, Mimba Azedirachta indica, dan Bintaro Cerbera manghas. Sedangkan untuk jenis Cemara Casuarina equisetifolia dan ketapang Terminalia catappa, keduanya memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat baik di lingkungan ini sehingga mampu bertahan hidup dan tumbuh dengan baik.

274 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 177. Tanaman yang mati, di barisan depan dan di sekitar cekungan (belakang tegakan) Hipotesa diatas sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa Cemara laut Casuarina equisetifolia

adalah jenis yang paling tinggi prosentase tumbuhnya dan juga paling baik pertumbuhannya. Jenis ini terbukti memiliki ketahanan yang sangat tertinggi terhadap kondisi substrat berpasir. Walaupun tidak sebaik cemara, namun jenis ketapang Terminalia catappa telah menunjukkan kemampuannya dalam beradaptasi kondisi substrat berpasir dalam.

Saat dilakukan kunjungan, tim assessment menjumpai beberapa ancaman yang dikuatirkan dapat mengancam keberadaan tegakan tanaman pantai ini. Ancaman yang dimaksud adalah kebakaran dan penebangan. Berdasarkan informasi dari penduduk setempat, kebakaran ini ini disebabkan oleh aktifitas beberapa orang pencari ikan. Di malam hari, mereka biasanya memasak sebagian dari hasil tangkapan mereka di sela-sela pohon cemara. Tempat ini sengaja dipilih mereka karena lokasi ini cukup terlindung dari angin laut. Namun tanpa disadari, bara yang ditinggalkannya masih menyala sehingga kemudian menyebabkan terbakarnya beberapa pohon cemara. Berdasarkan penelusuran di lapangan, setidaknya terdapat 5 titik yang terbakar. Sayang sekali bahwasanya tim tidak memperoleh informasi yang cukup terkait dengan kegiatan penebangan yang dilakukan oleh orang tak dikenal. Saat kunjungan dilakukan, setidaknya terdapat 3 pohon yang ditebang. Terlepas dari hal tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya dalam mengurangi tekanan-tekanan terhadap tegakan cemara ini antara lain memasang plang himbauan untuk tidak membakar dan menebang pohon di lokasi penanaman.

Gambar 178. Pembakaran dan penebangan yang dijumpai di lokasi penanaman

Catatan:

Prosentase tumbuh dari kegiatan ini sebaiknya ditelaah lebih dalam untuk mengetahui hasil yang sebenarnya. Terkait dengan hal ini, informasi mengenai jumlah total bibit yang ditanam, jumlah bibit saat penyulaman harus diketahui terlebih dahulu. Bila memungkinkan, informasi ini sebaiknya ada hingga jumlah bibit yang ditanam per jenis. Dengan demikian akan dapat diketahui prosentase tumbuh tanaman per jenis.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dari observasi yang dilakukan, setidaknya terdapat 4 jenis mangrove ditemui di lokasi rehabilitasi yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa dan Bruguiera gymnorrhiza. Diantara keempat jenis tersebut, jumlah terbanyak yang ditanam adalah Rhizophora mucronata.

Gambar 179. Sebagian besar Rhizophora spp tumbuh dengan baik di lokasi penanaman Secara umum dapat dikatakan bahwa penanaman mangrove ini cukup berhasil. Hal ini terlihat dari

banyaknya mangrove yang hingga saat ini tumbuh dengan baik. Sebagain besar diantaranya bahkan telah bercabang dan mulai membentuk akar tongkat. Berdasarkan hasil monev tim GC1, prosentase tumbuh tanaman mengove adalah 99%. Namun angka ini dinilai terlalu tinggi mengingat kenyataan di lapangan, tidak sedikit tanaman mangrove yang mati. Diduga kuat bahwa terjadi kesalah pahaman dalam mengintepretasikan survival rate (% tumbuh). Kemungkinan besar, jumlah pembagi yang di jadian patokan tim monev GC adalah target volume yang harus dipenuhi Yayasan Lebah, bukan jumlah bibit yang sebenarnya ditanam. Terkait dengan hal ini, perlu didiskusikan lebih mendalam dengan tim Monev GC 2 agar pehitungan prosentase tumbuhnya dapat diketahui dengan benar.

Sayang sekali bahwa data mengenai realisasi penanaman dan hasil monev untuk tanaman perjenis tidak diketahui. Dengan demikian, prosentase tumbuh untuk masing-masing jenis tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun demikian terlihat bahwa prosentase tumbuh Rhizophora spp jauh lebih tinggi dari Bruguiera gymnorrhiza. Diperkirakan lebih dari 80% dari total tanaman mangrove yang ditanam terserang oleh hama tritip.

Hama tritip telah membuat sebagian kecil tanaman Rhizophora spp layu dan mati. Bahkan, hama ini membuat sebagian besar Bruguiera gymnorrizha yang ditanam menjadi mati. Namun demikian, kematian ini tidak hanya disebabkan oleh hama ini. Ketidak sesuaian lahan jga membuat tanaman mangrove yang ditanam mengalami stress dan mati.

Gambar 180 Bruguiera gymnorrhiza yang mati karena tersrang hama tritip (kiri), kematian bibit karena

kesalahan memilih lokasi

276 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

8. Identfifikasi kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Letak Desa Kajhu yang dekat dengan kota, kehancuran yang luar biasa, dan sikap proaktif Keuchik Usman dan tokoh masyarakat lainnya mencari bantuan menyebabkan Desa Kajhu tergolong sebagai desa “favorit” donor dan lembaga swadaya masyarakat untuk menyalurkan bantuan. Tidak kurang mantan presiden Amerika Bill Clinton, Wakil Presiden Yusuf Kalla, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, menjadikan Desa Kajhu sebagai lokasi kunjungan simbolis ke wilayah-wilayah terkena bencana tsunami.

Tabel 115. Daftar beberapa donor atau implementator beserta jenis bantuan yang diberikan di Desa Kajhu

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

Canadian Red Cross

Perumahan, sembako

Sedang berjalan

American Red Cross,

Fasilitas umum, meunasah, pemandian umum

Sedang berjalan

Mercy Corp Oxfam

Sembako, perumahan, fasilitas umum, penghijauan

Selesai

mangrove

Islamic Relief

Perumahan, infrastruktur desa, penghijauan

Tahap akhir

Oxfam NOVIB –

Sekolah, meunasah

Selesai

Education International Masyarakat/Pemda Sekolah Selesai

Lampung Ausaid

Kantor Pemerintah

Selesai

ADB – FAO

Rehabilitasi tambak

Selesai

Negara-negara Arab (?)

Boat nelayan

Selesai

Oxfam Novib, Wetlands

Rehabilitasi ekosistem, livelihoods

Selesai

International, Yayasan Lebah

BRR Perumahan dan

Perumahan, infrastruktur jalan, penghijauan

Selesai

Kehutanan Pemerintah Jepang (?)

Tambak garam

Selesai

CWS, Obor Berkat

Pelayanan kesehatan

Selesai

Daftar lembaga bantuan yang dituliskan diatas kemungkinan besar hanya separuh dari jumlah yang lembaga yang pernah masuk ke Desa Kajhu, terutama sekali dalam masa tanggap darurat 1-2 tahun setelah tsunami. Kegiatan yang masih terus berjalan saat ini adalah pembangunan perumahan yang dikerjakan oleh Canadian Red Cross.

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi Lahan Basah

Ekositem lahan basah di kahju mempunyai peranan dan sudut pandang pengelolaan yang sebagai kawasan produksi dan penyanggga/pendukung kawasan produksi. Ekosistem lahan basah juga dapat dikembangkan sebagai kawasan pelindung bagi kawasan pemukiman di sekitar tempat tersebut.

Sebagai kawasan produksi, tambak merupakan factor penting begi perekonomian masyarakat pesisir. Total nilai budidaya air payau mempunyai kontribusi yang sangat signifikan terhadap keseluruhan nilai

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

80 Juta US$ dengan perkiraan 13 Juta US$ dari produksi ikan dan 67 Juta US$ dari produksi udang. Perkiraan ini adalah didasarkan pada farm-gate estimates , kemungkinan terjadinya under estimate akan meningkat sejalan dengan perjalanan produksi dalam rantai pemasaran.

Nilai ekonomi ini masih akan bertambah dengan fakta bahwa proses budidaya ini umumnya didukung /melibatkan banyak usaha-usaha kecil perorangan termasuk hatchery, nursery, dan rantai perdagangan yang aktif yang menyediakan bibit, pakan, pupuk dan sarana produksi lainnya.

Proses budidaya memerlukan kawasan ekosistem penunjang mengingat dalam praktek umum budidaya tradisional masih memiliki ketergantungan besar pada ketersedian produk alam. Praktek umum yang dijalankan adalah dengan membudidayakan udang dengan mengandalkan ketersediaan pakan alami atau dengan sedikit sekali pakan buatan. Praktek lain yang umum adalah dengan membudidayakan udang jenis Penaeus monodon, sekaligus dengan jenis Penaeus merguiensis yang masuk ke tambak sebagai benih liar. Kawasan pendukung ini selain meningkatkan ketersediaan pakan alami juga akan memperbaiki kualitas air.

Dengan adanya ketergantungan cukup besar pada potensi alam dan keuntungan yang cukup besar dengan memanfaatkan produk alam (udang liar), maka perbaikan kawasan pendukung budidaya menjadi sangat penting. Dengan demikian rehabilitasi /penanaman mangrove sebaiknya dilaksanakan pada ekosistem estuary dan pada saluran-saluran drainase tambak. Dengan demikian ekosistem mangrove /estuary tersebut akan kembali menjadi habitat alami bagi biota perairan, penyedia pakan alami dan fasilitas alami perbaikan kualitas air.

Sehubungan dengan rehabilitasi mangrove dengan mengembangkan model silvofishery, yang bagi sebagian praktisi aqua culture masih merupakan topic yang masih menjadi bahan diskusi - Primavera. (2000), membuat pernyataan dan mengutip hasil-hasil riset sebagai berikut:

“Benefit dari system silvofisheri termasuk konservasi mangrove adalah peningkatan pendapatan dari produk perikanan dan ketahanan pangan. Meskipun demikian dibandingkan dengan tambak terbuka, system silvofisheri lebih sulit untuk dikelola, lebih mahal untuk pembangunannya dan mempunyai sirkulasi air yang kurang efisien. (Fitzgerald, in press; Sukardjo, in press). Lebih jauh lagi, tannin yang terkandung dalam daun Rhizophora berpotensi sebagai racun bagi organisme akuatik – pengoperasian silvofiheri menjadi tidak profitable jika mangrove ditanam di dalam tambak karena menyebabkan penurunan kelulusan hidup dari udang windu/ black tiger shrimp (Inoue et al., 1999).

Luttrell (1999) mengamati bahwa konservasi dan keanekaragaman hayati tidak serta merta meningkat dalam system silvofishery sebab penanaman mangrove dilakukan secara monokultur dan pengaruh kepada hidupan liar sebagai akibat penggunaan pestisida dalam proses budidaya. Lebih lanjut, penanaman mangrove di tempat yang jauh ke darat diluar jangkauan pasang tinggi menunjukkan adanya abnormalitas pertumbuhan dan kematian yang tinggi (Naamin, 1987). Desain tambak perlu dievaluasi dalam hal rasio antara mangrove dan air, luas kolam , panjang tanggul, (mengambarkan potensi produksi dan biaya kontruksi, lebar pintu air ( untuk memasukkan benur liar dan mengeluarkan serasah mangrove, tidal flushing rate dll. (Fitzgerald, 1999; Sukardjo, in press).

R őnnback, (2003) menyatakan bahwa upaya menanam mangrove di tanggul tambak hanya akan memberikan pengaruh yang sangat sedikit, jika ada, pada penyelamatan provisi dari manfaat dan fungsi ekosistem yang diberikan oleh ekosistem mangrove. Sebagian besar dari jasa-jasa lingkungan penting seperti produksi perikanan, asilimasi nutrient, pengendalian erosi dsb hanya dapat diberikan oleh suatu luasan penutupan mangrove yang besar di daerah pasang surut (tidak di atas tanggul tambak). Penanaman mangrove seperti ini, pada kondisi terbaik, dapat memperkuat tanggul, tetapi tidak akan pernah bisa dijadikan argument / dasar untuk restorasi mangrove.

278 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dengan kata lain, mengembangkan pola penanaman mangrove di lingkungan “terbuka,” akan memberikan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan jika dilakukan di lingkungan “tertutup” seperti di tengah petakan tambak. Ekosistem mangrove yang berfungsi ekologi secara optimal akan dapat memberikan kontribusi yang optimal tidak hanya kepada proses budidaya perikanan tetapi juga kepada peningkatan produktifitas laut.

Fungsi perlindungan bagi kawasan pemukiman, selain diberikan oleh ekosistem mangrove juga diberikan oleh vegetasi pantai. Tidak hanya dalam skala bencana atau gangguan yang besar tetapi juga kepada proses-proses alam yang berjalan secara terus-menerus misalnya erosi angin yang terjadi pada bukit-bukit pasir. Dalam hal ini, vegetasi pantai akan berperan untuk mengurangi pengaruh negative yang dialami kawasan pemukiman dan kawasan lain di sekitarnya. Vegetasi juga akan menstabilkan kawasan pantai semisal bukit pasir, sehingga proses-proses alami seperti erosi angin akan berlangsung dalam intensitas yang lebih kecil/rendah.

Dalam prose penstabilan bukit pasir dengan vegetasi pantai, selain dapat menggunakan pohon-pohon juga dapat menggunakan herba merambat yang umum tumbuh di bukit pasir seperti Ipomoea pes- caprae. Dengan habitus berupa herba dan tumbuh merayap / menjalar tumbuhan ini mempunyai system yang lebih menguntungkan dalam menghadapi kekurangan air yang umum pada habitat bukit- bukit pasir.

Berdasarkan hasil penelitian tanah yang dilanjutkan dengan evaluasi lahan diperoleh beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:

• Pengaruh bencana Tsunami terhadap tanah dan lahan terlihat sangat jelas, baik secara fisik maupun kimiawi. Secara fisik telah terjadinya sedimentasi pada alur-alur sungai sehingga air sulit untuk dikeluarkan dan menjadi genangan. Selain itu terjadi juga perubahan struktur tanah menjadi masiv/pejal sehingga mengganggu perkembangan perakaran tanaman. Secara kimiawi telah terjadi perubahan salinitas, alkalinitas dan, kemasaman akibat oksidasi pirit.

• Berdasarkan hasil evaluasi lahan, di lokasi penelitian Kahju ada beberapa kemungkinan untuk pengembangan pertanian yaitu :

• Karena sebagian besar lokasi sebagian besar tidak memungkinkan untuk pengembangan pertanian dengan fator pembatas genangan/banjir, salinitas, alkalinitas, bahaya pirit. Untuk itu, lahan-lahan tersebut harus dikonservasi/rehabilitasi mangrove atau pengembangan perikanan payau (tambak) dengan masukan teknologi tinggi.

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

Di bawah ini adalah beberapa rekomendasi yang diharapkan dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan kegiatan GC tahap 2.

Untuk kegiatan rehabilitasi di pantai berpasir, jenis tanaman yang akan ditanam sebaiknya lebih bervariasi dari sebelumnya. Namun demikian, jenis tanaman tersebut harus berkaca dari pengalaman yang dulu. Jenis-jenis yang terbukti tidak mampu tumbuh dengan baik di pantai berpasir sebaiknya tidak dipilih, namun diganti dengan jenis lain yang peluang keberhasilan tumbuhnya lebih tinggi. Sementara jensi-jensi yang telah terbukti mampu bertahan di pantai berpasir (seperti cemara, ketapang, dll) sebaiknya tetap dijadikan prioritas untuk penanaman di GC 2. Beberapa alternatif jenis tanaman yang juga perlu dpertimbangkan antara lain: Nyamplung Callophyllum inophyllum, Putat laut Barringtonia asiatica, Hernandia peltata, Thespesia populnea, dll.

Perlunya dibuat tata batas yang jelas agar lokasi kegiatan penanaman diketahui. Secara sederhana, tata batas ini dapat dilakukan dengan memasang patok-patok dengan warna tertentu. Selain itu, perlu juga dibuat papan keterangan kegiatan yang setidaknya berisi informasi nama kegiatan, pelaksana, luas areal, jenis bibit, tanggal penanaman, jenis tanaman yang ditanam, dan beberapa informasi umum lainnya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Penanaman sebaiknya tidak hanya dilakukan di pantai (baik yang berpasir dengan tanaman pantai, maupun yang berlumpur dengan tanaman mangrove), melainkan juga di areal lain yang menjadi bagian dari suatu pesisir. Salah satu lokasi yang direkomendasikan adalah wilayah pemukiman. Di wilayah ini, penanaman tidak hanya dapat menghijaukan suatu kawasan, namun juga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat misalnya hasil buah-buahan, suasana teduh, dan peningkatan nilai estetika.

Di wilayah pemukiman, penanaman dapat dilakukan di beberapa lokasi yaitu pekarangan rumah, pagar hidup, kanan-kiri jalan, areal terbuka publik. Tabel di bawah in adalah rekomendasi jenis-jenis yang sebaiknya ditanam di lokasi-lokasi tersebut.

Tabel 116. Rekomendasi jenis tanaman di beberapa lokasi di wilayah pemukiman

No Lokasi

Alternatif tanaman

Keterangan

1 Pekarangan

Pinang Areca catechu

Tanaman MPTS (Multi purpose

Kemiri Aleurites moluccana

tree species), hasilnya bisa dimanfaatakn masyarakat

Jeruk Citrus spp Mangga Mangifera indica Kresen Muntingia calabura Jati Tectona grandis Belimbing wuluh Averrhoa bilimbi Nangka Artocarpus heterophyllus dll

2 Pagar hidup

Pinang Areca catechu

Sebagai pagar hidup

Gamal Glirichidia sepium Jarak pagar Jatropha curcas Kuda-kuda Lannea spp dll

3 Kanan-kiri jalan

Mahoni Switenia mahagony

Berfungsi sebagai peneduh, tidak

Angsana Pterospermum indicum

mudah patah/roboh

Bintaro Cerbera manghas Asam jawa Tamarindus indica dll

4 Areal terbuka publik

Lontar Borrasus spp

Menambah nilai estetika

Bunga kupu-kupu Bauhinia purpurea Polialtya longofolia Hurra crepitans Serdang Livistonia spp dll

280 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

I. LAM UJONG

1. Profil Umum Lokasi

Secara administratif Desa Lam Ujung yang masuk dalam wilayah Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, memiliki 4 dusun yaitu Dusun Ulee Jalan, Dusun Teungoh, Ujong Blang, dan Dusun Lam Gapang.

Desa Lam Ujong berada di sisi timurlaut lembah Krueng Aceh. Hampir keseluruhan wilayahnya memiliki kontur yang sangat landai. Meskipun cukup jauh dari garis pantai, lahan yang landai menjadikan sebagian besar wilayahnya masih terjangkau air pasang. Dengan kondisi lingkungan yang demikian, tidak mengherankan jika pengembangan budidaya perikanan di desa Lam Ujong menjadi salah satu sumber matapencaharian penting.

Secara Geomorfologi, wilayah penelitian Desa Lam Ujong memiliki kesamaan dengan Desa Gampong Baru karena lokasinya yang berdekatan, Kedua wilayah ini biasa disebut sebagai wilayah Neuheun, hanya saja di wilayah Lam Ujong tanahnya mulai berbukit dan lebih banyak berbentuk aluvial.Topografi tanah termasuk kedalam dataran rendah (lowland) yang terbentuk oleh proses marin, baik proses bersifat pengendapan (konstruktif) maupun pengikisan (destruktif).

Menurut LREP I, (1988) secara Fisiografi lokasi penelitian tergolong Satuan Lahan (Landform) dataran estuarin sepanjang sungai (Estuarine flat along major rivers=B.4.4). Sedangkan menurut kalsifikasi landsystem (RePPProT, 1981), tergolong dalam sistem gunung-gunungan dan endapan pasir pesisir pantai (PTG) dan dataran lumpur antara pasang surut (KJP). Lahan mempunyai ketinggian 0–5 m dpl. Pada bagian punggungan mempunyai kemiringan lereng 1–3 % dan pada cekungan 0 -1 %. Bahan induk tanahnya berupa endapan marin (aluvial marin) yang terdiri dari campuran pasir, liat, lumpur dan kerikil. Punggungan berupa beting pasir berada paling dekat dengan laut dan selalu mendapat tambahan baru yang berupa endapan pasir. Sedangkan pada bagian cekungan selain mendapat tambahan bahan dari laut juga mendapat tambahan bahan dari sungai.

Walaupun terletak cukup jauh dari pantai (sekitar 1 km), desa Lham Ujong mengalami kerusakan yang cukup parah mengingat gelombang tsunami masih menghantam desa ini. Dilaporkan oleh sebagian warga bahwa tinggi gelombang yang menghantam desa ini antara 4-6 meter. Gelombang tsunami ini juga telah menelan korban sebagian warga desa, sebagian besar diantaranya dalah wanita dan anak-anak. Selain korban jiwa, kerusakan juga melanda rumah serta berbagai infrastruktur lainnya seperti gedung sekolah, masjid dll.

Kuatnya gelombang Tsunami juga telah merusak vegetasi yang ada didalam maupun sekitar desa ini. Dilaporkan oleh masyarakat bahwa sebagain mangrove yang tumbuh disepanjang anak sungai mengalami kerusakan berat. Hanya sebagian (sekitar 1/3 bagian) dari tegakan mangrove yang masih bertahan. Berbagai jenis tumbuhan yang ada di sekitar desa, baik di pekarangan; kebun; kanan-kiri jalan; dsb sebagian besar hancur. Namun beberapa pohon yang telah dewasa masih mampu bertahan, bahkan pada saat bencana terjadi sangat berperan menyelamatkan jiwa warga. Dari observasi di lapangan, sebagian besar tegakan (kebun) kelapa masih bertahan hidup. Walaupun demikian, dijumpai beberapa pohon kelapa yangmasih muda juga tumbang dan mati.

Berselang 4 tahun kemudian, penutupan vegetasi telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Pohon-pohon yang duunya hancur, kini telah tergantikan oleh berbagai jenis pohon baru, baik melalui suksesi alami maupun ditanam masyarakat secara sengaja.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

282 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Tipologi Lahan Basah

Gambar 181. Foto udara wilayah Lam Ujong paska Tsunami

Hampir semua ekosistem lahan basah di Desa Lam Ujong merupakan lahan baash buatan. Bagian terbesar dari ekosistem lahan basah tersebut berupa kolam budidaya perikanan (1) beserta pendukungnya berupa saluran-saluran atau kanal-kanal. Selain itu masih terdapat sedikit petak-petak tambak garam (5).

Ekosistem lahan basah di desa Lam Ujong mempunyai fungsi ekonomi yang besar. Ekosistem lahan basah ini merupakan usaha terbesar yang dikelola penduduk dan merupakan sumber pendapatan penting bagi mereka. Tidak mengherankan jika kegiatan rehabilitasi tambak dank anal telah dilakukan sejak fase-fase awal rehabilitasi dan rekontruksi dijalankan. Salah satunya adalah perbaikan tanggul dan saluran air.

3. Profil Vegetasi

Dari assessment yang dilakukan, profil umum vegetasi di desa Lham Ujong tersusun dari kebun kelapa, vegetasi di sekitar desa, mangrove di kanan-kiri sungai, dan mangrove artifisal sebagaimana digambarkan melalui ilutsrasi di bawah ini.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Keterangan:

A : Kebun Kelapa B : Vegetasi di sekitar desa C : Mangrove kanan-kiri sungai D : Mangrove artifisial

Gambar 182. Profil melintang tipe vegetasi di desa Lham Ujong

Di bawah ini adalah uraian lebih lanjut mengenai masing-masing tipe vegetasi yang ada di pesisir desa Lham Ujong.

• Kebun Kelapa Masyarakat Sebagaimana di sebutkan sebelumnya bahwa sebagain besar pohon kelapa di sekeliling desa masih

selamat dari hantaman gelombang mampu bertahan hidup hingga sekarang. Namun demikian, pengakuan beberapa warga menyebutkan bahwa produktivitas buah kelapa hingga beberapa tahun pasca bencana mengalami penurunan yang sangat signifikan. Permasalahan salinitas diduga kuat menjadi penyebab utama penurunan produkivitas ini. Seiring dengan bergulirnya waktu, kondisi tanah mengalami perbaikan dan diikuti dengan perbaikan produktivitas buah kelapa.

Gelombang Tsunami meninggalkan areal kosong tak bervegetasi. Kondisi ini terus berlangsung hingga beberapa bulan. Berselang 4 tahun kemudian, kondisi lantai kebun kelapa sudah pulih hampir seperti dahulu kala. Secara umum, penutupan vegetasi dikuasasi oleh tegakan kelapa Cocos nucifera sebagai tanaman budidaya utama. Selain jenis ini, lantai kebun juga ditumbuhi oleh berbagai jenis herba antara lain Turnera ulmifolia, Beluntas Pluchea indica, Catharanthus spp, Mimosa pudica, Jarak laut Ricinus communis, Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis, Serunai Widelia biflora, Senduduk Melastoma candidum, Biduri Calatropis gigantea, Passiflora feotida, dan Ipomoea pes-caprae.

Gambar 183. Kondisi umum vegetasi di kebun kelapa milik masyarakat

284 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Vegetasi sekitar desa Beberapa jenis tanaman yang sengaja ditanam masyarakat antara lain Gamal Glirichidia sepium,

Kuda-kuda Lannea coramandolica, Kelapa Cocos nucifera, Pepaya Carica papaya, Jambu bol Zyzygium malaccensis, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Namun demikian, berbagai spesies yang tumbuh secara alami juga dapat dijumpai dengan mudah antara lain Kresen Muntingia calabura, Putri malu Mimosa pudica, Biduri Calatropis gigantea, Turnera ulmifolia, Catharanthus spp dan lain- lain.

Gambar 184. Gendis Chisocheton sandoricarpus (Meliaceae); jenis pohon yang sering dijumpai di sekitar desa

• Mangrove artifisial Yang dimaksud dengan mangrove artifisial adalah mangrove yang sengaja ditanam masyarakat baik

sebelum maupun setelah bencana Tsunami. Penanaman mangrove ini dilakukan masyarakat di beberapa titik yaitu di dalam tambak, sepanjang saluran irigasi dan sepanjang kanan-kiri sungai.

Gambar 185. Kondisi umum hamparan mangrove artifisial di areal pertambakan desa Lham Ujong Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian besar mangrove yang dtanam adalah jenis

Rhizophora mucronata. Selain itu, dua jenis lainnya yaitu R. Apiculata dan R. Stylosa juga di tanam meskipun dalam porsi yang jauh lebih kecil. Pada umumnya, masyarakat lebih memilih menanam R.

stylosa dan R. mucronata di sepanjang anak sungai dan saluran irigasi. Sementara di dalam tambak, masyarakat lebih menyukai menanam R. mucronata dan R. apiculata. Namun berdasarkan pengalaman masyarakat (setelah melihat pertumbuhan di lapangan), penanaman R. apiculata di dalam tambak dinilai kurang optimal oleh masyarakat mengingat karakteristik akar yang sangat berat sehingga mengganggu aktivitas petambak dalam membudidayakan ikan/udang.

Sementara itu, penanaman di dalam tambak oleh masyarakat dilakukan dengan dua pola/sistem yaitu sistem penanaman intensif dan penanaman dengan sistem jalur. Jarak tanam yang umum digunakan masyarakat dalam menanam mangrove cukup rapat yaitu antara 30 cm x 30 cm hingga 50 cm x 50 cm.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Tegakan mangrove alami Di sepanjang kanan kiri sungai yang berada di belakang (sebelah selatan) desa Lham Ujong,

beberapa jenis mangrove membentuk suatu tegakan teratur. Berdasarkan observasi lapangangan, beberapa jenis mangrove yang dijumpai di lokasi ini adalah Bruguiera gymnorrizha, Avicennia marina, Xylocarpus granatum, Rhizophora apiculata, R.stylosa, R. mucronata, Nypa fruticans, dan Ceriops tangal. Di sungai utama, penutupan mangrove lebih banyak didominasi oleh Avicennia marina. Sementara di sepanjang anak sungai, komposisi beberapa jenis mangrove yang dijumpai cukup berimbang yaitu antara Bruguiera gymnorrizha, Xylocarpus granatum, Rhizophora apiculata, R.stylosa , R. mucronata, dan Nypa fruticans,.

Gambar 186. Kondisi tegakan mangrove di sepanjang ka-ki sungai

Di bagian belakang anak sungai, dijumpai beberapa koloni palem Phoenix paludosa. Koloni ini memiliki kerapatan yang cukup tinggi dengan tinggi/ukuran yang bervariasi antara 1 hingga 5 meter. Temuan atas palem ini meruoakan yang pertama kalinya selama melakukan assessment dalam proyek GC. Berdasarkan wawancara, masyarakat belum pernah memanfaatkan palem ini. Selama ini, mereka hanya membiarkan palem ini tumbuh liar.

Gambar 187. Koloni palem Phoenix paludosa yang dijumpai di bagian belakang anak sungai Dari pengamatan lapangan, beberapa jenis herba merambat (climber herb) dijumpai pada tajuk

mangrove atau bagian tumbuhan lainnya. Finlaysonia maritima merupakan jenis yang paling banyak dijumpai merambat pada pohon Avicennia marina. Selain jenis ini, herba merambat yang juga umum dijumpai di tajuk pohon adalah Derris trifolia dan Sarcolobus globosa.

286 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 188. Finlaysonia maritima umum dijumpai merambat pada pohon Api-api Avicennia marina

4. Keanekaan Fauna

Daerah pertambakan, pada bagian sungai yang mengalir di daerah ini, teramati vegetasi mangrove alami yang masih hidup dan tengah berbuah. Daerah ini berbatasan dengan kebun kelapa barat sedang di bagian selatan perbukitan. Pengamatan berlangsung singkat, yaitu pada tanggal: 15 Agustus 2007. Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: 3 jenis mammalia,

31 jenis burung, serta 6 jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Berang-berang/Sero ambrang Aonix cinerea, diinformasikan menjadi hama bagi tambak-tambak di sekitar Lham Ujong. Keberadaan jenis ini termati dari temuan jejaknya, diperkirakan jenis memasuki wilayah ini pada malam hari. Babi hutan Sus sp., juga teramati berdasarkan temuan jejak, sama seperti berang-berang jenis ini juga dianggap hama (untuk pertanian). Sementara, Bajing kelapa Callosciurus notatus ditemukan di batang kelapa di dekat daerah pertambakan ini.

b) Avifauna

Sejumlah 31 jenis burung teramati dan teridentifikasi di daerah ini. Dari jumlah tersebut, 9 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia (Tabel 2.1), 3 jenis juga termasuk dalam kategori App. II-CITES. Jenis yang dilindungi oleh undang- undang yang berlaku di Indonesia berasal dari kelompok burung pemangsa (3 jenis), kelompok raja- udang (2 jenis), dan kelompok burung madu (2 jenis), serta kelompok burung air (2 jenis kuntul)

c) Herpetofauna

Enam jenis satwa dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, tidak terdapat jenis yang dilindungi. Kadal Terbang-Draco sumatranus, terutama di daerah kebun kelapa, Kadal Biasa-Mabuya multifasciata, dan Biawak-Varanus salvator, merupakan jenis yang relatif mudah dijumpai.

d) Ancaman

Informasi: Penembakan burung - bersifat oportunis/hobi, hanya untuk konsumsi sendiri.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

5. Tanah dan Pertanian

a) Keadaan Tanah

Tanah-tanah di wilayah penelitian merupakan tanah mineral yang terbentuk dari bahan endapan marin yang terdiri dari pasir dan liat serta lumpur dengan kandungan bahan organik tinggi. Tanah- tanah ini menempati dataran pantai, mulai dari pantai sampai ke arah peralihan dengan lahan yang lebih tinggi (perbukitan).

Pada lahan yang lebih rendah (cekungan), tanahnya selalu tergenang dan selalu jenuh air karena pengaruh air pasang dari laut maupun sungai. Pada lahan ini, proses pematangannya terhambat dan terbentuk tanah-tanah dalam lingkungan yang terreduksi (ber-glei) dan mempunyai kandungan garam-garam (salin) yang tinggi. Sedangkan pada lahan yang agak melandai (cembung), tanahnya tidak terpengaruh oleh air tergenang (stagnan) dan terjadi proses oksidasi sehingga terjadi proses pematangan dan perkembangan penampang.

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi tanah di lapangan yang ditunjang dengan hasil analisa tanah di laboratorium Balai Penelitian tanah Bogor. Tanah-tanah di wilayah penelitian disusun berdasarkan satuan peta tanah (Soil mapping units) yang dibedakan berdasarkan klasifikasi tanah dengan karakteristiknya, landform/topgrafi, lithologi, dan penggunaan lahan (land use). Klasifikasi tanah mengacu pada Soil Taxonomy (USDA,1998) dan Pusat Penelitian Tanah Bogor (P3MT, 1983) sebagai padanannya.

Satuan Peta Tanah (SPT) yang disusun dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai karakteristik, penyebaran, tata guna lahan dan potensinya. Penyusunan peta tanah dilakukan berdasarkan pengamatan lapang yang dibantu dengan hasil interpretasi citra satelit.

Di wilayah Lam Ujong terdapat 2 macam SPT yang berbeda dari 4 SPT yang terdapat di wilayah Neuehun Uraian masing-masing SPT akan diuraikan sebagai berikut di bawah ini :

Neuheun

Lham Nga

Gambar 189. Satuan Peta Tanah wilayah Neuheun, termasuk Desa Lam Ujong dan Gampong Baru,

Aceh Besar (2005)

288 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 117. Satuan Peta Tanah di wilayah Lam Ujong, Aceh Besar

No SPT

Klasifikasi Tanah

Landform/

Litologi Land use

Topografi

(luas)

3 Typic Eutropets, lempung berpasir, dalam,

Kebun campuran netral, kapasitas kation sedang, kejenuhan

Punggungan

dan pekarangan basa sangat tinggi, drainase agak cepat. (Kambisol Eutrik)

pesisir, lereng 1-3%

4 Typic Hydraquents, lempung berliat, dalam, Cekungan Aluvial,

Aluvial (pasir, liat Bekas

persawahan sampai sedang, kejenuhan basa sangat

netral, kapasitas tukar kation rendah

Lereng 0-1%

lumpur dan

bahan organik)

tinggi, drainase terhambat.(Gleisol Hidrik)

b) Uraian SPT Wilayah desa Lam Ujong

• SPT 3 Karakteristik Typic Eutropepts, lempung berpasir, dalam, netral, kapasitas tukar kation sedang, kejenuhan basa

sangat tinggi, drainase agak cepat. (Kambisol Eutrik) Penyebaran Satuan peta ini terdapat pada punggungan pesisir pantai dengan bentuk wilayah agak melandai,

lereng 1-3 persen. Tata guna lahan Penggunaan lahan sebagian besar berupa pemukiman dan kebun campuran dengan vegetasi kelapa,

pisang, mangga, dll Potensi lahan Untuk pengembangan pertanian dengan tanaman tahunan yang telah ada (kelapa, pisang) dan

tanaman buah dan sayuran dengan pola multiple cropping. Selain itu dapat dikembangkan juga peternakan (sapi, kerbau dan kambing).

• SPT 4 Karakteristik Typic Hydraquents, lempung berliat, dalam, netral, kapasitas tukar kation rendah sampai sedang,

kejenuhan basa sangat tinggi, drainase sangat terhambat. (Gleisol Hidrik). Penyebaran Satuan peta ini terdapat pada cekungan pada dataran aluvial dengan bentuk wilayah datar, lereng 0-

1 persen. Tata guna lahan Penggunaan lahan sebagian besar berupa persawahan tadah hujan. Potensi lahan Sesuai untuk pengembangan pertanian, terutaman tanaman pangan dan sayur-sayuran, seperti padi,

jagung, kacang tanah dll. Lahan ini juga dapat dikembangkan untuk tanaman hijauan (rumput) untuk mendukung kegiatan peternakan.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Untuk mengetahui status kesuburan tanah di wilayah penelitian telah diambil beberapa contoh tanah secara komposit (merupakan gabungan beberapa contoh tanah) yang diambil dari kedalam 0-30 cm. Contoh-contoh tanah tersebut kemudian dianalisis sifat kimia dan fisik. Analisa sifat kimia seperti pH tanah, kadar bahan organik, kadar fosfat dan kalium, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kejenuhan alumunium, kadar pirit. Analisa sifat fisik tanah antara lain; tekstur, salinitas dan Daya hantar listrik.

• Tekstur Tekstur adalah perbandingan antara persentase berat kadar pasir, debu dan liat tanah. Fraksi liat

secara langsung berhubungan dengan penyediaan unsur hara tanaman, sedangkan fraksi pasir merupakan cadangan mineral untuk jangka panjang. Fraksi liat bersama bahan organik merupakan faktor yang menetukan kapasitas tukar kation yang mampu menahan air dan hara untuk diserap oleh tanaman.

Di wilayah penelitian Lam Ujong. pada daerah rawa belakang pantai (cekungannya) bertekstur pasir berlempung, pada daerah punggung bertekstur lempung berpasir, sedangkan pada wilayah cekungan aluvial bertekstur liat berpasir sampai liat. Tekstur berpasir semacam ini dianggap kurang baik bagi pertumbuhaan tanaman karena daya untuk menahan air dan mengikat unsur hara sangat lemah walaupun untuk perkembangan akar tanaman cukup baik.

• Kemasaman tanah (pH) dan kejenuhan aluminuim Derajat kemasaman tanah merupakan salah satu unsur penilaian kesuburan tanah, dan merupakan

faktor pembatas yang mempengaruhi penyerapan unsur hara, dimana pada pH 6.0 digunakan sebagai titik batasnya. Pada pH tanah yang tinggi (>6.0) secara tidak langsung unsur-unsur hara seperti fosfat menjadi tidak tersedia bagi tanaman.

Derajat kemasaman tanah-tanah di wilayahpenelitian Lam Ujong tergolong agak masam sampai agak asekitaralis (6.5 – 7.6). pH agak asekitaralis terdapat pada daerah yang selalu tergenang atau terkena pasang surut air laut. pH agak masam terdapat pada tanah agak tinggi (punggungan) yang kondisi aerasi cukup baik.

Kejenuhan Aluminium tergolong sangat rendah (< 5%). Hal demikian karena belum/tidak adanya oksidasi sehingga tidak menimbulkan proses kemasaman tanah. Konsentrasi Al 3+ yang tinggi tidak

akan terjadi apabila kemasaman tanahnya netral. • Bahan organik Kadar bahan organik tanah diukur dengan menetapkan Karbon (C), Nitrogen (N) dan rasio C/N. Kadar

bahan organik, disamping dapat mengikat unsur hara bagi pertumbuhan tanaman, bahan organik juga dapat menjaga kelembaban tanah dan membuat strutur tanah menjadi gembur.

Di Lam Ujong, kadar bahan organik umumnya tinggi (>3%) terutama pada dataran rawa belakang pantai (cekungan) dan rendah (<1%) pada daerah punggungannya, kadar nitrogen rendah (<0,50%) dan ration C/N sedang.

• Phosphat dan Kalium Phosphat yang terdapat dalam bentuk organik berfungsi sebagai sumber unsur hara utama bagi

tanaman. Dalam lingkungan masam Phosphat bereaksi dengan besi dan aluminium membentuk Fe-P dan Al-P yang tidak tersedia bagi tanaman.

Fosfat dalam bentuk potensial ditetapkan dengan pelarut HCl 25% dan dalam bentuk tersedia

ditetapkan dengan pelarut Bray I (0,3 N NH 4 F + 0,25 N HCl).

290 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Di Lam Ujong, kadar Phosphat potensial tergolong sedang sampai tinggi. Kadar fosfat potensial tinggi (>60 me/100 g) terdapat pada daerah yang selalu tergenang atau terkena pasang surut air laut. Kadar fosfat potensial sedang (< 40 me/100 g) terdapat pada daerah cekungan aluvial. Sedangkan fosfat tersedia tergolong rendah sampai sedang dan Kalium potensial yang ditetapkan dengan pelarut HCl 25% tergolong tinggi.

• Kapasitas tukar kation (KTK), Susuna kation dan Kejeunuhan basa Kapasitas tukar kation merupakan gambaran kemampuan permukaan koloid-koliod tanah untuk

mengadsorpsi dari pencucian. Besarnya KTK ditentukan oleh kandungan mineral liat dan bahan organik (humus) dalam tanah. Peningkatan KTK tanah akan menaikan nilai kesuburan tanah.

Wilayah Lam Ujong mempunyai jumlah KTK yang sedang (>17 – 24 me/100 g), terdapat pada daerah yang mempunyai kadar liat seperti yang terdapat pada daerah cekungan aluvial. Susunan kation K + ,

Ca + , Mg dan Na di Lam Ujong sangat bervariatif, dari rendah sampai sangat tinggi. Jumlah kation Na sangat tinggi, Mg tinggi, K dan Ca rendah. Jumlah basa-basa yang dapat dipertukarkan pada

kompleks adsorpsi tanah tercermin dari nilai persentase kejeuhan basanya (% KB). Sebagian besar di wilayah penelitian, mempunyai kejenuhan basa yang sangat tinggi (> 90%).

Sifat dan karateristik tanah penting artinya dalam hubungan antara tanah, air dan tanaman. Pengambilan unsur-unsur hara oleh tanaman selain ditentukan ketersedian unsur-unsur tersebut secara kimiawi, ditentukan pula oleh keadaan sifat fisik tanahnya. Faktor aerasi dan tersedianya air dalam tanah adalah faktor terpenting dalam hubungan di atas. Aerasi ini tergantung bagaimana struktur tanah memiliki jumlah pori-pori dan bagaimana pula permeabilitasnya. Tanah yang memiliki jumlah pori aerasi yang cukup, belum tentu memiliki aerasi yang baik apabila sebagian pori di isi oleh air yang sering terjadi pada musim hujan atau daerah genangan. Pada daerah dataran berawa atau cekungan tidak/belum berstruktur, jumlah pori aerasi sedang dan permeabilitas lambat. Hal demikian terjadi karena lahan selalu jenuh air dan menjadi faktor penghambat bagi pertumbuhan tanaman. Pada daerah punggungan (melandai) struktur tanah gumpal agak membulat, jumlah pori aerasi sedang sampai tinggi, permeabilitas agak sedang.

d) Tingkat Kerusakan lahan

Pada Wilayah Lam Ujong telah terjadi tingkat kerusakan lahan akibat gempa/gelombang Tsunami baik secara fisik maupun kimia tanah. Secara fisik berupa masuknya bahan kasar dan halus dari laut ke daratan sejauh 1 sampai 2 km. Bahan kasar seperti pasir diendapakan terlebih dahulu dengan ketebalan 20 – 50 cm mengikuti stratifikasi topografi. Pasir kasar yang diendapkan di tempat-tempat yang datar atau cekung akan membentuk struktur tanah yang masiv/pejal, jumlah aerasi sedikit sehingga perakaran sulit berkembang. Selain itu, Bahan pasir kasar yang diendapkan pada alur-alur sungai (sedimentasi) menjadi penghalang lalulintas air dari hulu ke hilir sehingga lahan sulit melepaskan kelebihan air. Akibatnya air selalu tergenang dan menjadi permasalahan tata air (water management).

Tekstur halus (debu dan liat) yang diendapkan pada daerah punggungan setebal < 20 cm akan berpengaruh lebih baik dan merupakan tambahan mineral yang dapat menyuburkan tanah (tapi masih perlu diteliti lebih lanjut).

Selain secara fisik, Tsunami juga mempunyai dampak secara kimiawi. Pada daerah-daerah yang tergenang menjadi laguna tercatat adanya perubahan kualitas air seperti kemasam, salinitas, asekitaralinitas, dan potensial sulfat masam jika senyawa pirit teroksidasi.

Kondisi tambahan deposit secara gradual dan perubahan sifat kimia pada lokasi survei dapat dilihat pada Tabel dan Gambar berikut ini.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 118. Kondisi tambahan deposit secara gradual dan sifat kimianya Jarak (m)

Bahan deposit

Ketebalan (cm)

Pasir kasar

100 - 150 500 - 750

Pasir kasar + Halus

50 - 100 750 - 1000

Pasir berlempung

25 - 50 > 1000 - 2000

Lempung berpasir - liat

Liat dan debu + organik

Dataran Pantai

Beting pantai Punggungan

Cekungann (rawa)

Depesit tsunami

Laut

Deposit marin

Deposit marin

S.

Batuan sedimen (batu pasir dan liat

Gambar 190. Penampang melintang bentang alam di Wilayah Neuhen, termasuk desa Gampong

Baru dan Lam Ujong

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah desa

Desa Lam Ujong termasuk kedalam kategori desa pesisir meskipun tidak berbatasan langsung dengan pantai. Letaknya yang seakan tersembunyi dari sisi jalan poros Banda Aceh – Krueng Raya menyebabkan desa ini kurang dikenal dibandingkan desa-desa tetangganya seperti Lamnga, Neuheun, atau kawasan Kuala Gigieng. Desa Lam Ujong awalnya merupakan sebuah pemukiman kecil yang terletak dekat pinggir jalan poros Banda Aceh – Krueng Raya yang diperkirakan telah ada sejak lebih dari 100 tahun lalu. Menurut hasil wawancara, wilayah Desa Lam Ujung awalnya dikelilingi oleh mangrove yang sangat lebat yang hanya dihuni oleh hewan liar seperti babi, monyet, dan bahkan harimau. Sekitar tahun 60 – 70an masyarakat mulai membuka hutan mangrove tersebut untuk perluasan pemukiman dan usaha tambak. Puncak pengalihan lahan terjadi pada tahun 80an ketika disadari bahwa kawasan mangrove tersebut berpotensi untuk dijadikan sebagai tambak udang dan bandeng. Sejak saat itu kawasan hutan mangrove Desa Lam Ujung berubah menjadi petakan- petakan tambak dan pemukimanpun yang berkembang hingga jauh kearah daratan seperti yang ada saat ini. Luas keseluruhan desa menurut catatan resmi pemerintah adalah sekitar 900 ha yang terdiri dari pemukiman, pertambakan, perairan umum, dan perbukitan.

Hampir semua penduduk Desa Lam Ujung mengandalkan ekosistem lahan basah tambak dan rawa mangrove untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar penduduk bermata pencaharian utama sebagai petambak atau penangkap kepiting, ikan, udang, dan pengumpul tiram. Kegiatan lain untuk mendukung mata pencaharian tersebut adalah dengan bertani sayuran, kelapa, beternak, dan membuat batu bata.

292 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 telah menghancurkan seluruh infrastruktur perumahan desa dan hanya menyisakan satu rumah penduduk saja yang tetap bertahan dan masih dapat dihuni. Tsunami juga mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar yaitu lebih dari separuh penduduk desa. Meski tidak terdapat catatan data yang diakui akurat, diperkirakan korban jiwa mencapai 300 orang.

Situasi bentang alam Desa Lam Ujung tidak banyak berubah pasca tsunami, hal ini berbeda dengan desa-desa lain yang berbatasan langsung dengan laut yang mengalami perubahan drastis bentang alam seperti hilangnya daratan atau munculnya rawa baru. Hal yang berubah hanyalah berupa hilangnya tanggul-tanggul pematang tambak dan erosi di beberapa bagian desa. Situasi ini dapat diperbaiki dengan masuknya berbagai bantuan perbaikan drainase, tambak dan infrastruktur lainnya oleh berbagai lembaga.

b) Demografi

(1) Keadaaan Penduduk

Jumlah penduduk Desa Lam Ujung mengalami pengurangan yang sangat drastis antara tahun 2003 hingga 2005 akibat banyaknya korban jiwa bencana tsunami. Hal ini merupakan kecenderungan umum yang terjadi di desa-desa Kecamatan Baitussalam yang merupakan salah satu kecamatan pesisir yang sangat parah dilanda tsunami.

Tabel 119. Populasi penduduk Desa Lam Ujong dan Kecamatan Baitussalam tahun 2003 dan 2005

Populasi Kepadatan Penduduk Tahun

Jumlah KK Laki-laki Perempuan Total

(ind/ km2) Desa Lam Ujong

Kecamatan Baitussalam

Na 2,712

Hasil pendataan yang dilakukan pada tahun 2005 oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Lam Ujong telah mencapai 368 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 117. Tabel 119 juga menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan jumlah penduduk setelah tsunami, jumlah KK justru lebih besar dibandingkan pada pendataan sebelumnya (tahun 2003) yaitu 96 KK. Meningkatnya jumlah KK pasca tsunami ini disebabkan adanya pernikahan dan karena setiap anggota keluarga yang selamat dalam peristiwa tsunami tetap dihitung sebagai 1 KK meski sebagian besar anggota keluarganya telah meninggal. Meningkatnya jumlah KK karena faktor masuknya KK baru dari luar desa seperti yang banyak terjadi di desa-desa tsunami lainnya, tidak terjadi Desa Lam Ujung. Jumlah penduduk saat (akhir tahun 2007) ini diperkirakan telah mencapai jumlah total 400 orang.

Tabel 120. Etnis Penduduk Desa Lam UjongTahun 2003 dan 2005

Tahun Agama Utama

Etnis

Etnis Utama

2003 Islam

Aceh 2005 Islam

Multi Etnis

Aceh 2007 Islam

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Desa Lam Ujong yang terletak tergolong jauh dari kegiatan-kegiatan pertumbuhan perekonomian lintas wilayah menyebabkan penduduknya relatif seragam yaitu etnis Aceh, sub-etnis Aceh Rayeuk. Semua penduduk beragama Islam. Menurut hasil wawancara, konflik yang berkepanjangan antara pemerintah pusat dan Gerakan Aceh Merdeka menyebabkan masyarakat etnis lain tidak ingin mengambil resiko untuk bermukim di desa-desa yang jauh dari jangkauan pengamanan seperti Lam Ujung. Meski demikian Desa Lam Ujung menurut penilaian masyarakat Lam Ujung sendiri tergolong sebagai salah satu desa yang aman selama konflik.

Masyarakat Desa Lam Ujung, meskipun merupakan masyarakat etnis tunggal, adalah masyarakat yang relatif terbuka dan mudah untuk menjadi mitra kerjasama dibandingkan masyarakat di desa- desa lain di Kecamatan Baitussalam. Hal ini dirasakan langsung oleh staf-staf WIIP dan pekerja- pekerja rehabilitasi rekonstruksi lainnya yang bekerja di Desa Lam Ujung. Suasana yang mendukung ini diakui oleh pekerja LSM banyak membantu dalam upaya pembangunan desa berjalan lebih cepat. Hal tersebut antara lain ditunjukkan oleh kenyataan bahwa hingga saat ini hampir semua masyarakat telah memiliki rumah yang didukung oleh infrastruktur jalan desa yang bagus.

(2) Analisis Strategi Mata Pencaharian

Posisi Desa Lam Ujung yang terletak cukup jauh dari laut tapi masih dalam pengaruh perairan pasang surut menyebabkan penduduk umumnya lebih mengandalkan kegiatan budidaya perikanan payau dibandingkan penangkapan ikan di laut. Hanya sekitar sepuluh orang penduduk yang menjadikan profesi nelayan sebagai profesi utamanya.

Mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat desa Lam Ujong adalah petambak ikan bandeng dan tambak garam. Secara umum mata pencaharian yang ditekuni penduduk desa Lam Ujong dapat dirinci sebagai berikut:- Petani Tambak (30 orang), tambak garam (35 orang), buruh (75 orang), pengusaha batu bata (15 orang), bengkel (2 orang), jualan (17 orang), PNS (3 orang), tani kebun (20 orang), lain-lain (199 orang). Seperti halnya diwilayah pedesaan di Indonesia, setiap penduduk di Desa Lam Ujung memiliki kombinasi berbagai mata pencaharian sebagai pola adaptasi terhadap dinamika ekosistem.

Tabel 121. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Desa Lam Ujung

Kepiting (Scilla serrata)

Rp 15-40 ribu/kg Tiram (Oyster)

Rp 10 ribu/kg Udang (Penaeus monodon)

Rp30-50ribu/kg Bandeng (Chanos chanos)

Rp15 ribu/kg

Pertanian

Kacang Tanah

xxx pelihara xx pelihara x Rp8 ribu/kg Kelapa

pelihara

xxx x xxxxxxxx Rp 500/butir

Peternakan

Kambing xxx x xxxxxxxx Rp 1,2 juta/ekor idul adha Sapi

xxx x xxxxxxxx Rp 5juta/ekor Bebek

xx xx x x x x x x x xx xx xx Rp 800/butir Ayam

x x xx xx xx xx xx xx xx x x x Rp 25 ribu/ekor

Lain-lain

Batu bata

fee Rp 40 rupiah/bata Garam x x xx xx xx xx xx xx xx x x x Rp 2000/kg

294 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(a) Perikanan Tangkap

Letak Desa Lam Ujung yang relatif jauh dari pantai dan sulitnya akses perahu nelayan dari laut ke Lam Ujung membuat masyarakat sangat jarang yang berprofesi sebagai nelayan. Hanya terdapat sekitar 10 orang anggota masyarakat yang menjadikan profesi nelayan sebagai mata pencaharian utamanya. Alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat Lam Ujung adalah pukat pantai yang saat ini (pasca tsunami) biasanya masih dipinjam/disewa dari warga Gampong Baru.

Pengoperasian pukat pantai oleh nelayan Lam Ujung dilakukan diperairan pesisir Gampong Baro, sekitar 2 km dari desa Lam Ujong. Pukat pantai ini membutuhkan paling tidak 10 orang agar bisa dioperasikan secara efektif. Uniknya tenaga kerja 10 orang tersebut juga diambil dari desa Lam Ujung sendiri yang bisa saja berporfesi utama sebagai petambak. Sekitar 30-40% hasil tangkapan yang diperoleh oleh kegiatan pukat pantai dibagikan langsung secara kekeluargaan kepada seluruh tenaga kerja. Bagian terbesar kemudian dibagi oleh pawang pukat dengan pemilik pukat. Tidak jelas mekanisme pembagian keuntungan antara pawang dan pemilik pukat sebab penyelesaian bagi hasil disesuikan secara situasional antara lain tergantung banyak tidaknya ikan yang ditangkap.

Menurut masyararakat nelayan Lam Ujung, pukat pantai relatif disukai karena bisa dilakukan sepanjang tahun dan memiliki resiko kegagalan usaha yang rendah dibanding kegiatan nelayan lain. Modal usaha pukat pantai hanyalah modal pembelian alat seharga 15 juta rupiah per unit dan tidak membutuhkan modal operasional. Sebaliknya nelayan laut lepas disamping membutuhkan modal awal berupa perahu, mesin, dan alat tangkap, juga membutuhkan modal operasional yaitu bahan bakar, umpan, dan konsumsi nelayan.

Kegiatan penangkapan ikan juga dilakukan di perairan umum desa seperti di krueng dan rawa-rawa. Kegiatan ini biasa dilakukan disela-sela kegiatan budidaya dengan menggunakan alat tangkap jaring insang, pancing, dan jaring lempar. Hasil tangkapan biasanya hanya dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi kecuali jika hasil tangkapannya cukup banyak.

(b) Perikanan Budidaya

Tabel 121 menunjukkan bahwa terdapat 4 jenis komoditas perikanan yang menjadi penghasilan utama bagi masyarakat yaitu kepiting dan tiram yang ditangkap dari alam dan bandeng dan udang windu yang dibudidayakan dalam tambak. Kepiting dan tiram bisa ditangkap dalam jumlah relatif banyak pada musim kemarau (musim barat). Variasi harga tiram adalah antara 10 – 20 ribu/kg tergantung melimpah tidaknya tiram pada saat tersebut. Variasi harga harga kepiting tergantung pada ukuran yaitu antara 15 – 40 ribu/kg. Disamping tiram dan kepiting sebetulnya banyak jenis-jenis lain yang biasa ditangkap masyarakat di saluran-saluran air dan rawa seperti kerapu, udang putih, dan kakap. Karena jumlah yang ditangkap biasanya relatif kecil, jenis-jenis ini biasanya dikonsumsi sendiri.

Bandeng dan udang windu telah lama dibudidayakan oleh petambak Lam Ujung karena relatif mudah dan memiliki pasar yang stabil. Bandeng dan udang windu juga dapat dibudidayakan sepanjang tahun terutama sekali karena saat ini ketersediaan bibit cukup banyak di pasaran. Meski demikian, pengalaman petambak menunjukkan adanya kecenderungan hasil panen yang lebih baik pada musim penghujan.

Udang windu adalah komoditas eksport sehingga harga jualnya jauh lebih tinggi dibandingkan bandeng. Disisi lain resiko kegagalan budidaya udang windu juga jauh lebih besar dari pada bandeng sebab udang relatif mudah stress terhadap perubahan lingkungan. Hal tersebut menyebabkan hingga saat ini masyarakat cenderung memilih budidaya bandeng meskipun keuntungan yang diperoleh tidak sebesar udang windu. Kalaupun ada anggota masyarakat yang membudidayakan udang biasanya dengan menerapkan padat tebar yang sangat rendah 1 – 2 ekor/m2 untuk mengurangi resiko kerugian.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kepemilikan lahan pertambakan di Desa Lam Ujung yang tidak merata menyebabkan hanya sebagian penduduk desa yang memiliki lahan sedang sebagian lainnya menjadi penggarap. Sebagian lahan- lahan tersebut bahkan dimiliki oleh warga yang tinggal diluar desa. Pengelolaan lahan pertambakan yang dilakukan langsung oleh pemilik biasanya dibiayai dengan menggunakan tabungan sendiri atau meminjam uang pada toke. Jika pemilik tambak memiliki modal yang cukup besar, pengelolaan tambak biasanya diserahkan pada penggarap dengan mekanisme bagi hasil.

Pengelolaan tambak dengan sistem bagi hasil yang diaplikasikan di Desa Lam Ujung tidak secara kaku mengacu pada aturan tertentu tapi tetap dilakukan melalui negosiasi. Kebiasaan umum bagi hasil yang berlaku adalah dengan membedakan sistem bagi hasil berdasarkan ukurun luas tidaknya lahan yang digarap. Tambak dikategorikan berukuran luas jika mencapai 6 hektar atau lebih, ukuran sedang jika luasnya 4 – 6 ha, dan berukuran kecil jika 3 hektar atau kurang. Semakin luas lahan yang digarap semakin kecil persentase penghasilan petambak penggarap. Sebagai ilustrasi petambak yang menggarap lahan 7 hektar akan mendapat 25%-35% dari penjualan bersih hasil panen. Sedangkan petambak yang mengelola lahan 2 hektar akan mendapat 50% bagian dari penjualan bersih produksi tambak.

Pemilik/Toke Modal

Kerja

Gambar 191 mekanisme bagi hasil antara pemilik tambak (toke) dan penggarap tambak.

Seperti halnya dengan masyarakat petambak dan nelayan di desa-desa lain di Aceh Besar, pemasaran produk perikanan baik yang ditangkap maupun yang dibudidayakan bisa melalui tiga jalur yaitu: (1) Dilakukan secara langsung oleh petambak ke Pasar Peunayong, (2) menjualnya pada muge, atau (3) menyerahkan proses penjualannya pada toke.

Skema pemasaran tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:

Toke

Pengumpul di

Banda Aceh Pengumpul

(muge)

Pengumpul di

Ekspor

Medan

Gambar 192. Skema pemasaran produk perikanan di desa Lam Ujong

296 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

297

Berdasarkan harga jual, keuntungan yang paling besar bisa diperoleh jika petambak menjual sendiri hasil tangkapannya ke pasar karena tidak perlu ada tambahan biaya transaksi perantara. Sebagai ilustrasi, jika kepiting size 4 ekor/kg dijual kepada Muge atau toke harganya Rp 20 ribu/kg maka biasanya harga di Pasar Peunayong telah mencapai Rp 25 ribu/kg. Mekanisme pemasaran melalui muge terpaksa dilakukan karena petambak biasanya hanya memperoleh kepiting atau tiram dalam jumlah kecil sehingga akan mengalami kerugian biaya trasnport jika harus memasarkan sendiri ke Peunayong.

Pada waktu-waktu tertentu jika hasil produksi udang berlimpah, beberapa petambak pernah menjual langsung udangnya ke Belawan Medan. Hanya saja hal ini sangat jarang terjadi karena produksi udang dari satu hamparan biasanya kurang dari 1 ton.

Saat ini seluruh tambak yang mengalami kerusakan pasca tsunami telah selesai direhabilitasi oleh ETSP-ADB. Satu paket material produksi untuk budidaya udang selama satu siklus juga telah pernah diberikan ke masing-masing petambak. Tetapi hingga saat ini kegiatan budidaya perikanan baik udang windu maupun bandeng belum berjalan secara penuh. Munculnya serangan penyakit pada udang-udang ujicoba bantuan ADB membuat sebagian warga masih terus menahan diri untuk menunda kegiatan budidaya.

(c) Pertanian

Kondisi tanah Desa Lam Ujung yang merupakan bekas hutan mangrove dan masih sangat terpengaruh oleh air pasang surut menyebabkan kegiatan pertanian tidak menjadi aktifitas utama masyarakat. Kegiatan pertanian dilakukan dalam skala kecil untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga oleh beberapa anggota masyarakat seperti menanam sayuran seperti cabe, tomat, dan oyong.

Di daaerah yang cukup jauh dari pengaruh air asin beberapa anggota masyarakat melakukan kegiatan pertanian yang bernilai komersial yaitu dengan menanam kacang tanah. Hasilnya cukup memadai untuk menambah penghasilan tahunan seperti ditunjukkan dalam Tabel 121. Kacang tanah bisa ditanam sepanjang tahun tapi panen yang paling bagus adalah panen pada akhir musim hujan sekitar februari dan maret.

Kegiatan pertanian lain yang juga memberikan konstribusi signifikan pada penghasilan rumah tangga adalah kelapa. Sebagian besar kelapa yang ditanam adalah kelapa dalam dan telah berusia lebih dari 5 tahun. Tanaman kelapa relatif disukai karena tahan terhadap kondisi lingkungan yang dekat dengan perairan pesisir.

Pemasaran kacang tanah dan kelapa dilakukan pada pengumpul di desa-desa tetangga. Harga normal kacang tanah per kilogram adalah Rp 8.000 sedangkan harga rata-rata buah kelapa adalah 500 per butir. Penghasilan kedua komoditas tersebut sangat membantu masyarakat desa dalam menyiasati fluktuasi penghasilan dari kegiatan budidaya perikanan.

(d) Peternakan

Kelebihan penghasilan yang diperoleh masyarakat Desa Lam Ujung dari kegiatan budidaya perikanan pada saat panen raya biasanya ditabung dalam bentuk emas atau ternak (sapi dan kambing). Ternak tersebut kemudian dipelihara untuk dijual kembali pada saat dibutuhkan modal untuk melakukan kegiatan budidaya atau kebutuhan keuangan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan peternakan yang dilakukan oleh masyarakat Lam Ujung sebetulnya bukan kegiatan utama tetapi lebih pada investasi jangka pendek sekaligus untuk jaga-jaga terhadap keperluan mendesak.

Di samping memelihara ternak besar seperti kambing dan sapi, beberapa anggota masyarakat juga memelihara unggas seperti ayam dan bebek. Ternak unggas seperti halnya ternak kambing dan sapi juga merupakan pekerjaan sampingan dan tidak kelola secara intensif dalam skala ekonomi yang relatif besar. Sebuah upaya memperkenalkan ternak unggas (bebek) intensif juga telah pernah dilakukan oleh WIIP, tetapi kemudian kegiatan ini dengan sendirinya berubah menjadi kegiatan sampingan biasa.

298 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ternak bebek dan ayam memberikan keuntungan produksi telur dan daging pada periode waktu yang berbeda. Ternak ayam akan lebih baik pada musim kemarau dan akan sakit-sakit pada musim penghujan, sebaliknya dengan bebek yang akan memproduksi lebih banyak telur pada musim penghujan. Pemasaran daging ayam maupun telur bebek cukup mudah dan dapat dilakukan di sekitar desa karena permintaannya stabil sepanjang tahun. Harga daging ayam adalah sekitar Rp 25 ribu/ekor sedangkan telur bebek harganya sekitar Rp 800/butir.

Tabel 121 secara umum memberikan gambaran kepada kita bahwa masyarakat Desa Lam Ujung cukup berhasil mengembangkan mata pencaharian yang bervariasi untuk beradaptasi dengan lingkungan. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa hingga saat ini tidak pernah ditemukan adanya kasus-kasus kesehatan yang diakibatkan oleh ketidak mampuan keluarga menyediakan kebutuhan dasar pangan dan sandang seperti kasus gizi buruk.

Hal yang menjadi tantangan saat ini adalah karena kegiatan budidaya tengah mengalami masa yang sangat sulit akibat serangan virus pada udang. Sejak tsunami 3 tahun lalu hampir tidak seorang petambak pun yang berhasil panen udang dengan ukuran dan jumlah produksi yang normal. Jika hal ini terus berlangsung dan masyarakat terlambat untuk mengembangkan adaptasi baru maka kemiskinan kemiskinan dengan segala eksesnya akan bisa muncul di Desa Lam Ujung.

(e) Mata Pencaharian Lainnya

Mata pencaharian lain yang kontribusinya sangat besar pada pendapatan masyarakat Desa Lam Ujung adalah pembuatan batu-bata dan pembuatan garam. Kedua mata pencaharian ini telah berkembang sejak sebelum tsunami dan tetap berjalan hingga kini kecuali tambak garam yang masih belum berjalan secara optimal. Pabrik bata maupun tambak garam bisa berproduksi lebih efektif pada musim kemarau karena sinar matahari sangat membantu dalam proses pengeringan bata maupun garam.

Dalam kondisi musim hujan, baik tambak garam maupun pabrik bata tetap bisa berpoduksi. Tantangannya adalah karena pada saat musim hujan kebutuhan kayu bakar untuk memasak batu bata/garam menjadi lebih besar. Kayu-kayu tersebut sangat mungkin diambil dengan menebang mangrove. Lebih jauh, proses pemasakan garam yang dilakukan didalam dapur garam juga merupakan kegiatan yang berbahaya karena petani menghisap asap dalam jumlah yang sangat besar. Dapur garam adalah bangunan kayu semi tertutup yang digunakan untuk memasak garam dalam kuali yang besar.

Berdasarkan kedua fakta tersebut hingga saat ini kegiatan-kegiatan Green Coast yang ditujukan untuk pengembangan mata pencaharian cenderung menghindari pembiayaan kegiatan tambak garam maupun batu-bata. Mengingat besarnya kontribusi kedua kegiatan ini pada mata pencaharian penduduk, sangat diharapkan agar segera ditemukan solusi yang lebih baik untuk mengurangi konsumsi kayu bakar dan resiko gangguan kesehatan akibat terpapar pada asap.

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Desa Lam Ujung tergolong lebih beruntung dibandingkan desa-desa lain yang terkena tsunami karena hingga saat ini hampir semua kebutuhan rumah telah dibangun. Kualitas rumah juga tergolong sangat bagus berupa bangunan permanen dengan luas sekitar 45 m2. Pada fase awal pembangunan perumahan tersebut masyarakat diberi kelonggaran untuk memilih desain yang dianggap sesuai.

Tabel 122. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Lam Ujong tahun 2003 dan 2005

Jumlah Rumah

istrik sl

air untu

itas

Non- Drainase Permanen

Akses

dengan

Lampu Jal

Sumber Air Bersih

Bahan b

2003 48 22 69 Ya 56 0 No Sumur Sumur Umum Kayu bajar Acak 2005 N/A

N/A

N/A N/A 0 0 No Sumur &

Minyak

Tangki

N/A Umum tanah N/A

Tabel 122 menunjukkan bahwa sebelum tsunami yaitu pada tahun 2003 terdapat sekitar 70 rumah dimana 48 diantaranya rumah permanen. Pendataan kembali pada tahun 2005 oleh BPS belum memperoleh informasi adanya rumah yang telah dibangun. Saat pendataan tersebut semua anggota masyarakat masih tinggal di barak. Hingga saat ini lebih dari 80 unit rumah telah dibangun dan dihuni di Desa Lam Ujung. Pembangunan rumah tersebut terutama dibantu pembangunannya oleh LSM Kreasi dan UMCOR. Sekitar 10 unit rumah lagi masih dalam tahap pembangunan yang jika selesai akan melengkapi seluruh kebutuhan rumah di Desa Lam Ujung.

Tabel 122 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2003 tingkat pelayanan listrik terhadap penduduk Desa Lam Ujung hanya 56%, pada tahun 2005 tidak ada sama sekali (karena rumah belum dibangun). Saat ini seluruh rumah yang dibangun telah memiliki fasilitas penerangan dari PLN. Seiring dengan ketersediaan jaringan listrik tersebut dibeberapa sudut jalan juga telah dipasang lampu penerangan umum tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan luasan desa. Untuk mengurangi suasana gelap, banyak rumah-rumah yang memasang lampu ektra terang di teras rumah agar bisa menyinari hingga ke jalan.

Untuk memenuhi kebutuhan air, setiap rumah di Desa Lam Ujung dilengkapi sumur yang digunakan sebagai untuk mandi dan mencuci. Air sumur yang terasa agak asin menyebabkan masyarakat tidak mengkonsumsi air tersebut untuk makan dan minum. Sehari-hari masyarakat membeli air minum dari desa lain dengan menggunakan jerigen atau dengan membeli air aqua galon.

(2) Pendidikan

Tingkat kesadaran masyarakat desa Lam Ujung terhadap pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang sudah sangat bagus. Meski tidak ditemukan data resmi yang memadai yang menggambarkan tingkat pendidikan di Desa Lam Ujung, hasil wawancara menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat akan mengupayakan anak-anaknya agar bisa bersekolah hingga minimal setingkat SMA. Menurut hasil wawancara, hingga saat ini rata-rata tingkat pendidikan adalah SMP, dan kurang dari 20 orang yang telah lulus SMA. Diperkirakan kurang dari 10 orang anggota masyarakat Desa Lam Ujung yang lulus perguruan tinggi.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 123. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Gampong Lam Ujong

Sekolah Teknik

TK SD SMP SMA Menengah Akademi/Universitas

Swasta Negeri Swasta

Swasta Negeri Jarak terdekat

Jarak terdekat

Jarak terdekat

Jarak terdekat

Jarak terdekat

Jarak terdekat

- - 2 - - 1 - - 2 - - 2 - - 10 - - 22

Tabel 123 menunjukkan bahwa fasilitas pelayanan pendidikan yang bisa diakses masyarakat Desa Lam Ujung tersedia dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi. Tidak terdapat kendala jarak sebab hampir semua tingkatan sekolah bisa dijangkau dalam jarak 1-5 km, kecuali perguruan tinggi di Kopelma Darussalam yang berjarak sekitar 10 km. Saat ini sebuah bangunan perpustakaan desa juga telah dibangun di Desa Lam Ujung tetapi belum difungsikan sebagaimana mestinya.

Hal yang memerlukan perhatian khusus adalah karena penghasilan masyarakat Lam Ujung dari kegiatan pertambakan cenderung mengalami penurunan yang drastis terutama akibat didera gagal panen yang terus menerus. Kondisi ini jika tidak diikuti oleh subsidi pendidikan yang memadai akan menyebabkan orang tua tidak sanggup menyekolahkan anaknya hingga batas yang dicita-citakan saat ini yaitu SMA.

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Sarana transportasi ke arah Desa Lam Ujung cukup lancar bisa dilayani oleh kendaraan roda empat melalui jalan aspal yang mulus. Pemukiman Desa Lam Ujung sendiri masih terletak sekitar 500 meter dari pinggir jalan poros Banda Aceh – Krueng Raya dan untuk menjangkaunya dengan kendaraan roda 4 bisa melalui dua jalan aspal kualitas biasa.

Tabel 124. Akses dan sarana transportasi umum Gampong Lam Ujong

Akses

Kendaraan Umum

Jalan Jenis kendaraan Tahun Desa

kendaraan

Motor Umum Utama roda 4

Kendaraan

Becak

Roda Empat

Ojeg

motor

Andong Sampan boat

Tidak Ada

Roda emapat

Roda empat dan 2005 Aspal

Ada Tidak Ada Ada

Ada

becak motor

Akses jalan yang relatif bagus dan dukungan angkutan umum untuk penumpang dan barang seharusnya membuat biaya transaksi barang menjadi lebih kecil. Hasil wawancara menunjukkan bahwa hal tersebut tidak terjadi terutama dalam penjualan hasil-hasil perikanan dari Desa Lam Ujung. Disparitas harga masih relatif tinggi antara harga yang dikenakan oleh muge dan harga jual pada konsumen di Pasar Peunayong. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa dari sudut pandang penjualan hasil perikanan, infrastruktur jalan yang memadai tersebut belum secara penuh dinikmati oleh masyarakat kecil tapi lebih banyak dinikmati oleh muge dan toke yang mengambil keuntungan dari disparitas harga yang terjadi.

300 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(4) Fasilitas Kesehatan

Sebagaimana halnya desa-desa lain di Kecamatan Baitussalam, Desa Lam Ujung juga mendapatkan bantuan pelayanan kesehatan dasar secara gratis yang memadai selama masa tanggap darurat hingga awal tahun 2007. Pelayanan tersebut antara lain dilakukan oleh CWS. Seiring dengan membaiknya kondisi umum pasca tsunami, berbagai lembaga secara bertahap menghentikan bantuan pelayanan kesehatan dasarnya dan diambil alih oleh pemerintah lokal.

Tabel 125. Fasilitas Kesehatan di Desa Lam UjongTahun 2003 dan 2005

Jarak Kemudahan Tahun

Kemudahan Puskesmas

Terdekat Sakit Umum

Rumah

Terdekat

n akses

t (km)

Polindes

(km) akses

2003 0 10 susah 0 8 susah 0 2 mudah 2005 0 12.0 mudah 0 12.0 mudah 1 0 mudah

Sejak berakhirnya kegiatan pelayanan kesehatan di Desa Lam Ujung masyarakat kini harus ke desa tetangga jika membutuhkan pelayanan dasar. Sedangkan pada kasus-kasus yang membutuhkan pelayanan lanjutan masyarakat Desa Lam Ujung bisa ke rumah sakit umum di kota yang berjarak antara 10-15 km. Saat ini di Desa Lam Ujung telah dibangun sebuah bangunan pelayanan kesehatan (pustu) tetapi belum bisa difungsikan karena ketiadaan mantri/dokter.

Secara umum tidak ada kendala yang mendasar bagi masyarakat Desa Lam Ujung untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, terutama pelayanan dasar untuk sakit ringan. Masyarakat miskin yang tidak mampu membayar biaya perawatan dari rumah sakit dapat menggunakan Kartu Sehat. Perkembangan kepemilikan Kartu Sehat disajikan dalam Tabel 126 seperti berikut.

Tabel 126. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005

Keluarga Memiliki

Kartu Persentase Keluarga Memiliki Persentase

Balita Keluarga Tahun

Wabah penyakit yang pernah melanda

Peserta Penduduk

Malnutrisi Miskin

Diare Campak Demam

berdarah Malaria ISPA

(KTPM)

2003 24 25 38 40 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 27 2005 0

0 0 0 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A

Tabel 126 memperlihatkan bahwa sebelum tsunami (tahun 2003) sekitar 40 KK memiliki kartu sehat untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Pendataan ulang tahun 2005 tidak menemukan informasi adanya anggota masyarakat yang memiliki kartu tersebut. Ketersediaan pelayanan kesehatan yang “berlimpah” saat itu menyebabkan masyarakat tidak terlalu mempersoalkan perlu tidaknya memiliki kartu sehat.

Pelayanan kesehatan dasar yang memadai selama beberapa tahun belakangan ini menyebabkan tingkat kesehatan penduduk juga cukup baik. Hal tersebut disajikan dengan baik dalam Tabel 126. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005 menunjukkan bahwa Desa Lam Ujung tidak pernah terserang wabah penyakit yang biasanya diakibatkan oleh buruknya pelayanan kesehatan.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(5) Fasilitas Keagamaan

Penduduk Desa Lam Ujung yang berjumlah sekitar 364 orang semuanya adalah etnis Aceh yang beragama Islam dan hampir semuanya sub-etnis Aceh Rayeuk. Kegiatan beribadah berupa sholat berjamaah bisa dilakukan oleh warga di sebuah mesjid/meunasah di tengah Desa Lam Ujung. Mesjid tersebut berupa bangunan permanen dengan desain arsitektur yang diakui warga sangat indah yang dibangun oleh Mercy Corps.

Tabel 127. Fasilitas Keagamaan tahun 2003 dan 2005 di Gampong Lam Ujong

Kuil Kong Tahun Masjid Mushalla Katholik

Kuil Hindu

Kuil Budha Hucu

Tabel 127 menunjukkan bahwa sebelum tsunami masyarakat desa Lam Ujung memiliki sebuah meuanasah sedangkan kegiatan beribadah di mesjid seperti shalat jumat biasanya dilakukan di desa tetangga yaitu mesjid Desa Labuy. Saat ini masih terdapat sebuah meunasah darurat berupa rumah panggung terbuka yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat pertemuan. Didekatnya telah dibangun sebuah meunasah/mesjid permanen dan telah difungsikan untuk kegiatan beribadah.

(6) Sarana Komunikasi

Fasilitas telepon rumah telah menjangkau Desa Lam Ujung sejak awal tahun 2000an. Tabel 128 menunjukkan bahwa sebelum tsunami yaitu tahun 2003 sekitar 22 rumah telah memiliki sambungan telepon kabel. Rehabilitasi fasilitas telepon kabel yang hancur akibat tsunami akhir tahun 2004 ternyata belum menjangkau kawasan pemukiman Desa Lam Ujung. Hingga saat ini belum satu rumahpun di Desa Lam Ujung yang telah memperoleh sambungan telepon kabel.

Tabel 128. Sarana komunikasi antara tahun 2003 dan 2005 di Gampong Lam Ujong

Wartel Internet memiliki

memilki TV

Ketiadaan fasilitas telepon kabel/rumah yang dialami oleh masyarakat Desa Lam Ujung tidak begitu menjadi kendala dalam komunikasi dengan keluarga dan relasi di luar desa. Saat ini hampir semua wilayah desa berada dalam jangkauan operator telekomunikasi selular besar seperti Satelindo dan Telkomsel meski sinyal sesekali hilang saat percakapan sedang berlangsung. Hasil wawancara menunjukkan bahwa saat ini setiap keluarga memiliki paling tidak satu telepon gengga, sehingga kebutuhan dasar percakapan telekomunikasi di Desa Lam Ujung bisa dilakukan kapan saja tanpa hambatan yang berarti.

302 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 302 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(1) Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Desa Lam Ujung sama dengan desa-desa lainnya di Kecamatan Baitussalam yaitu dipimpin oleh seorang Keuchik dengan dibantu langsung oleh Sekretaris Desa. Pelaksanaan kewenangan Keuchik dibantu oleh 4 orang kepala urusan dan koordinasi dengan masyarakat dilakukan melalui 3 kepala dusun. Sebagai pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat pasca tsunami, kinerja Keuchik juga senantiasa dipantau dan diarahkan oleh masyarakat melalui perwakilannya yaitu Tuha Peut.

Kehidupan politik lokal masyarakat Desa Lam Ujung relatif tenang dan tidak terasa adanya konflik yang besar. Kelembagaan lain yang hidup dalam masyarakat desa adalah kelompok pemuda yang dipimpin oleh seorang ketua pemuda, kelompok pengajian ibu-ibu, dan kelembagaan mesjid yang dipimpin oleh imum meunasah. Kelembagaan ini meski berada diluar struktur resmi pemerintahan tetapi bekerja secara harmonis untuk menuntaskan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Struktur pemerintahan Desa Lam Ujung digambarkan sebagai berikut:

Tuha Peut

Kaur Pemerintahan

Kaur Pembangunan

Kaur Kesejahteraan

Kaur Umum

Dusun Ulee Jalan

Dusun Tengoh

Dusun Lam Gapang

Dusun Ujong Blang

Gambar 193 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Lam Ujung

Struktur pemerintahan Desa Lam Ujung yang terlihat rumit dalam Gambar 193 di atas sebetulnya tidak begitu dipahami oleh masyarakat. Situasi politik lokal ditingkat desa yang sepi dari konflik

menyebabkan masyarakat relatif mandiri mengerjakan segala sesuatu tanpa campur tangan yang dalam dari pemerintahan desa. Sebagian besar warga yang diwawancara bahkan hanya mengenal 3 figur pemerintahan desa yaitu: Keuchik sebagai pimpinan desa tertinggi, Sekretaris Keuchik yang menjadi wakil keuchik dan mengurus segala sesuatu yang bersifat formal, dan kepala dusun sebagai koordinator warga di tingkat lorong/dusun.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Kelompok Sosial Kemasyrakatan

Masuknya silih berganti berbagai donor dan LSM pasca tsunami ke masyarakat Desa Lam Ujong untuk memberikan bantuan terutama bantuan livelihoods biasanya disertai dengan pembentukan kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut diharapkan dapat bertumbuh dengan kuat sehingga dana dan bantuan peralatan yang diberikan tidak lantas menjadi milik individu yang tidak menguntungkan komunitas. Sayangnya kebanyakan kelompok tersebut tidak bertahan lama karena memang tidak mendapatkan pendampingan yang memadai dari LSM untuk bertahan dan mandiri.

Banyaknya LSM dan kelompok-kelompok yang dibentuk selama 3 tahun terakhir menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mengingat kelompok apa saja yang pernah ada setelah tsunami. Berikut terlampir kelompok-kelompok yang pernah sangat aktif atau masih aktif pasca tsunami seperti yang disajikan dalam Tabel 129.

Tabel 129. Kelompok sosial kemasyarakatan di Desa Lam Ujung yang masih aktif

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Kelompok Perempuan

Keterampilan menjahit dan menyulam, dikelola individu

Mercy Corp

2. Kelompok penghijauan

Terdiri dari beberapa kelompok. Yang masih aktif adalah

Oxfam Novib, WIIP

kelompok dampingan yayasan lebah

3. Kelompok pembibitan Terdiri dari beberapa kelompok kecil masyarakat yang khusus Mercy Corp mangrove

membuat bibit mangrove, sudah tidak aktif

4. Kelompok Ibu-ibu PKK

Insidentil bila ada kegiatan dari PKK tingkat Kecamatan, sudah

Kas Desa

ada sebelum tsunami. Masih aktif

5. Kelompok petambak

Mengkoordinir kegiatan budidaya bantuan ADB – ETSP. Sudah

ETSP – ADB

tidak aktif

6. Kelompok Pengajian

Umumnya terdiri dari kelompok Ibu-ibu yang sudah ada sejak

Kas warga

sebelum tsunami. Masih aktif

7. Kelompok Pemuda

Mengarahkan kegiatan pemuda ke hal-hal yang positif seperti

Kas warga

olah raga, kerja gotong royong, keamanan. Masih aktif.

Pembentukan kelompok-kelompok masyarakat sebagai respon terhadap adanya bantuan dari sebuah lembaga tertentu biasanya dilakukan langsung oleh warga yang telah menjadi kontak lembaga tersebut. Keuchik hanya dalam posisi mengukuhkan keanggotaan kelompok tersebut dan tidak melakukan intervensi terlalu jauh mengenai siapa saja yang akan terlibat kelompok.

Jumlah penduduk yang relatif kecil menyebabkan mekanisme pemilihan anggota yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan LSM jarang menimbulkan konflik. Hal yang sama dialami dalam pembentukan kelompok-kelompok untuk terlibat dalam kegiatan Green Coast. Keuchik hanya mengusulkan satu dua nama, selanjutnya masyarakat berembuk sendiri membentuk kelompok yang sesuai dengan minat dan mata pencaharian. Secara politik lokal, kelompok-kelompok bentukan pasca tsunami adalah kelompok yang sangat cair dan bersifat netral. Keberadaannya lebih sebagai respon terhadap kebutuhan sehari-hari yang tidak permanen sehingga tidak merubah keseimbangan konfigurasi politik desa.

Sebagian kelompok yang ada adalah kelompok yang telah terbentuk sejak lama dan tetap bertahan hingga kini. Kelompok-kelompok tersebut antara lain kelompok PKK, kelompok pengajian, dan kelompok pemuda. Kelompok-kelompok ini relatif kuat karena mengelola kebutuhan yang permanen di tingkat desa yaitu kebutuhan untuk beribadah dan kebutuhan untuk menggerakkan ibu-ibu agar aktif bekerjasama mengembangkan wawasan. Meski demikian kelompok pengajian dan kelompok PKK bersifat netral dan tidak memiliki ambisi tertentu untuk mempengaruhi publik.

304 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kelompok yang memiliki kedudukan politik adalah kelompok pemuda karena dapat langsung mempengaruhi jalan tidaknya program pembangunan desa. Kelompok pemuda di Desa Lam Ujung meski merupakan stakeholder penting dalam pembangunan tidak mengambil posisi berseberangan dengan pemerintah desa. Kegiatan pembangunan yang berlangsung saat ini juga dapat berjalan dengan lancar tanpa munculnya pertarungan antar elit politis desa seperti yang banyak terjadi di desa-desa lain.

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Penduduk Desa Lam Ujung yang hampir semuanya merupakan sub-etnis Aceh Besar secara tradisional tidak menempatkan perempuan dalam posisi dibawah laki-laki. Dalam struktur rumah tangga sub etnis Aceh Besar, laki-laki adalah pemimpin rumah tangga tapi perempuan tetap dimungkinkan untuk maju sebagai pemimpin setara dengan laki-laki. Hal yang sama berlaku dalam struktur rumah tangga di Desa Lam Ujung dimana pengambilan keputusan diambil oleh laki-laki (suami) tapi harus senantiasa dikompromikan dengan perempuan (istri)

Pengelolaan keuangan sehari-hari dilakukan oleh perempuan oleh sebab itu penghasilan yang diperoleh laki-laki diserahkan kepada perempuan. Laki-laki hanya mengambil bagian dari penghasilan dalam jumlah “secukupnya” untuk kebutuhan rokok dan kebutuhan minum kopi di kedai. Pembagian pekerjaan antara laki-laki dan perempuan dilakukan berdasarkan besar tidaknya tenaga yang dibutuhkan. Kegiatan mata pencaharian di tambak yang membutuhkan tenaga besar hampir semuanya dikerjakan oleh laki-laki sedangkan perempuan hanya membantu menyiapkan makanan bagi laki-laki yang sedang bekerja di tambak.

Tanggung jawab utama mencari nafkah adalah pada laki-laki sedangkan perempuan hanya dalam posisi membantu menambah penghasilan. Hal tersebut juga menyebabkan pekerjaan bertambak yang merupakan pekerjaan utama akan dijalani oleh laki-laki sedangkan mata pencaharian lainnya seperti mencari tiram, beternak, dan bertani dianggap sebagai pekerjaan sampingan dan dengan sendirinya merupakan tanggung jawab perempuan. Saat ini pembagian peran antara perempuan dengan laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan utama atau sampingan tidak lagi mutlak sebab selalu ada diskusi yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam menentukan kegiatan sehari-hari.

Perubahan pembagian peran juga terjadi seiring dengan waktu dimana pekerjaan yang “kotor-kotor” dengan lumpur di tambak yang sebelumnya hanya dilakukan oleh laki-laki, sekarang dapat pula menjadi pekerjaan perempuan. Kegiatan Green Coast yang mengharuskan semua anggota kelompok bekerja bersama lumpur yang awalnya dianggap oleh perempuan sebagai pekerjaan laki- laki kini telah menjadi pekerjaan siapa saja.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari perempuan cenderung untuk bekerja lebih lama dibandingkan laki-laki baik untuk mengurus rumah tangga dan maupun membantu suami mencari nafkah. Kegiatan perempuann sudah dimulai sejak bangun sholat subuh sekitar jam

5.00 saat laki-laki masih tertidur. Pekerjaan dimulai pagi-pagi sekali dengan menyiapkan sarapan dan diakhiri sekitar jam 9.00 malam usai membereskan peralatan makan malam. Total jumlah jam kerja perempuan biasanya 2-3 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Sebagian perempuan tidak merasa diperlakukan “tidak adil” dengan selisih jam kerja tersebut karena menganggap bahwa pekerjaan laki-laki lebih berat meskipun hanya dalam durasi jangka waktu yang lebih pendek. Meski demikian sebagian perempuan lainnya merasa bahwa seharusnya perempuan juga memiliki masa istirahat yang lebih berkualitas dengan menghibur diri seperti yang dilakukan laki- laki dengan ngopi di kedai.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Secara umum perempuan tidak memiliki kendala dalam melakukan aktivitas sehari-hari sepanjang tidak melanggar norma agama. Pemerintahan Desa Lam Ujung maupun tokoh masyarakat setempat tidak memberikan pembedaan perlakuan bagi keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan yang banyak difasilitasi oleh LSM pasca tsunami. Pemberian upah kerja dan jumlah modal yang bisa diakses dalam kegiatan-kegiatan livelihoods antara laki-laki dan perempuan juga senantiasa disamakan.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Hingga saat ini hampir semua kelembagaan desa yang masih berjalan aktif dipimpin oleh laki-laki, kecuali kelembagaan PKK dan kelompok pengajian ibu-ibu. Meskipun demikian perempuan memperoleh perlakuan dan hak yang sama dalam pengelolaan sumberdaya desa. Hasil wawancara menunjukkan bahwa tidak ada aturan ataupun norma dalam desa yang menyatakan adanya batasan bagi perempuan untuk memberikan pendapat dalam berbagai pertemuan pembangunan desa. Dalam setiap rapat-rapat yang diselenggarakan oleh fasilitator Green Coast perempuan menunjukkan partisipasinya secara aktif. Keterlibatan perempuan dalam berbagai kelompok sebagai staf pengurus biasanya pada posisi sektretaris atau bendahara.

Kesempatan untuk menduduki posisi puncak dalam kelembagaan-kelembagaan yang ada di Desa Lam Ujong sebetulnya tetap terbuka bagi perempuan. Hanya saja hingga kini belum ada kandidat yang secara proaktif untuk mencalonkan diri atau dicalonkan dalam kesempatan-kesempatan pemilihan ketua kelompok.

f) Informasi Terkait dengan Kegiatan Green Coast

Lokasinya yang dekat dengan Banda Aceh sehingga memudahkan untuk kunjungan singkat dan tingkat keberhasilan penanaman mangrove yang tinggi menjadikan Desa Lam Ujung seringkali menjadi desa tujuan studi banding.

Terdapat 3 kelompok masyarakat yang difasilitasi pembentukannya oleh WIIP yaitu • Kelompok Masyarakat Lam Ujung Utara, 10 KK • Kelompok Masyarakat Lam Ujung Selatan, 9 KK • Kelompok Masyarakat Hidup Damai, 10 KK • Kelompok Masyarakat Udep Saree, 10 KK

Target awal rehabilitasi yang dikelola kelompok ini adalah sekitar 20 hektar tetapi kegiatan berkembang dengan sangat cepat dan hingga saat ini diperkirakan total area yang telah direhabilitasi telah mencapai 40 hektar dengan total jumlah tanaman sekitar 200 ribu pohon mangrove yang terdiri dari 4 spesies.

Kegiatan Green Coast juga membantu pengembangan mata pencaharian masyarakat antara lain dengan beternak itik, kambing, sapi, kepiting, dan pembuatan kue penganan. Saat ini Desa Lam Ujung telah menjadi salah satu contoh sukses keberhasilan rehabilitasi mangrove tidak saja di tingkat site-site Green Coast tapi juga ditingkat provinsi NAD.

306 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

7. Prospek kegiatan Rehabilitasi

a) Penilaian lahan di lokasi penanaman

Secara umum, hampir seluruh areal pertambakan yang ada di desa Lham Ujung memiliki kesesuaian yang tinggi untuk penanaman mengrove. Berdasaran observasi di lapangan, beberapa areal yang dinilai prospektif adalah

• Areal pertambakan yang belum ditanami • Sepanjang anak sungai yang masih kosong • Sepanjang saluran air yang masih kosong

Dalam survey lapangan, tim juga mengidentifikasi beberapa kondisi yang dinilai perlu dihindari dalam penanaman mangrove. Lokasi yang dimaksud beberapa bagian tambak yang berada di bagian belakang dimana penutupan lahanya didominasi oleh herba gelang air Sesuvium spp. Kehadiran herba ini mengidnikasikan bahwa lokasi ini jarang sekali tergenang air. Dari sisi yang lain, kehadiran herba ini juga mengndikasikan bahwa terdapat kandungan pasir yang cukup banyak dalam substrat.

Gambar 194. Areal yang sebaiknya dihindarkan dalam penanaman mangrove (ditandai oleg koloni gelang air Sesuvium spp.)

b) Identifikasi potensi

• Persepsi positif masyarakat Di desa ini, kesadaran masyarakat atas arti penting mangrove dan ekositem pesisir sangat tinggi.

Oleh karena itu, tidak dibutuhkan berbagai langkah ekstra untuk dapat melibatkan mereka dalam program restorasi peisisir. Berdasarkan penuturan masyarakat, sebagian warga desa bahkan dengan sendirinya datang ke fasilitator untuk mendaftarkan diri.

Tingginya kesadaran masyarakat lingkungan dan minat untuk berpartisipasi dalam program restrasi pesisir merupakan modal dan potensi dalam terlaksananya program restorasi pesisir.

• Aksesibilitas yang tinggi Desa Lham Ujong memiliki tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi. Dari Banda Aceh, perjalanan yang

dbuthkan tidak lebih dari 30 menit, dapat dijangkau dengan mobil atau motor. Bahkan, tepi areal pertambakan masih dapat dijangkau dengan menggunakan mobil atau motor. Tingginya aksesibiitas ini merupakan salah satu hal positif yang dapat mendukung efektifitas kegiatan rehabilitasi.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Sebagaimana disebutkan, sebagain besar areal pertambakan di desa ini telah ditanami oleh mangrove. Sehingga, hanya sedikit areal saja yang masih memungkinkan untuk ditanami. Berdasarkan penilaian daya dukung di lapangan, luasan lokasi yang dinilai prospektif untuk penanaman mengrove tidak lebih dari 5 hektar. Oleh karena itu, rasionalisasi tergat perlu dipertimbangkan bilamana target yang ingin di capai melebihi ketersediaan lahan. Selain rasionalisasi target, langkah yang bisa dilakukan antara lain dengan melakukan enghijauan di sekitar desa dengan tanaman serba guna (MPTS Multi Purpose Tree Species).

d) Hasil analisis mengenai prospek rehabilitasi

Dari hasil analisis berbagai kendala, pembatas serta potensi di desa Lham Ujong, tim survey menilai bahwa kegiatan penanaman mangrove masih sangat memungkinkan dilakukan di desa ini. Areal yang dinilai sesuai adalah areal pertamabkan yang maishbelum ditanami, terletak di barisan belakang hamparan tambak. Namun demikian, perlu dihindari beberapa titik yang ditumbuhi oleh koloni gelang air.

Apabila target bibit yang ditanam melebihi daya dukung dan ketersediaan lahan, penghijuan bisa dilakukan si sekitar desa terutama di lahan kosong, kanan kiri jalan, dan tempat kosong lainnya. Beberapa jenis bibit yang dapat ditanam antara lain Belimbing wuluh Averhoea bilimbi, Kuda-kuda Lannea caromandolica, Gmal Glirichidia sepium, Mangga Mangifera indica, Asam jawa Tamarindus indica, Kedondong Spondias pinnata, dan beberapa jenis tanaman serba guna lainnya.

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Sejak terjadinya tsunami bulan Desember 2004, sangat banyak donor maupun LSM yang datang silih berganti masuk ke Desa Lam Ujung. Masyarakat mengakui bahwa sebagian LSM tersebut datang untuk melakukan “assessment” dengan mewawancarai anggota masyarakat menanyakan berbagai kebutuhan. Hanya sedikit dari LSM tersebut yang kemudian kembali lagi dengan bantuan yang telah didata sebelum. Hal tersebut menyebabkan masyarakat seringkali tidak bisa mengingat dengan jelas siapa dan lembaga apa yang telah pernah datang membantu di Lam Ujung.

Tabel 130. Beberapa donor atau implementator beserta jenis bantuan yang diberikan di Desa Lam Ujung

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

2 World Vision

Sembako, kesehatan

3 Mercy Corp

Modal livelihoods, pembibitan mangrove, meunasah, keterampilan, pabrik bata

6 ADB – ETSP

Rehabilitasi Tambak

7 Islamic relief

Suplai air, drainase

8 CWS

Pelayanan kesehatan, pembangunan polindes

9 Oxfam Novib dan Wetlands

Livelihoods, rehabilitasi ekosistem

International

10 P2KP

Infrastruktur jalan, bangunan perpustakaan

11 Obor Berkat

Perumahan

308 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 130 diatas menunjukkan bahwa lembaga yang paling detail jenis bantuannya yang diingat oleh masyarakat adalah Mercy Corps. Lembaga ini adalah lembaga yang dirasakan oleh masyarakat sebagai lembaga yang paling besar memberikan bantuan fisik di Desa Lam Ujung mulai dari bantuan bahan makanan, modal usaha ternak, training-training keterampilan dan alat-alatnya, hingga pembangunan meunasah. Meski demikian sebetulnya masih terdapat banyak lembaga lain yang pernah bekerja di Lam Ujung tetapi hanya sebagai fasilitator seperti People Crisis Center (PCC). Lembaga-lembaga fasilitator ini biasanya mendampingi masyarakat dalam masa-masa “kebingungan” untuk memecahkan persoalan yang muncul dan menghubungkan masyarakat dengan lembaga lain yang kompeten.

Pasca Tsunami, kegiatan yang pertama kali dilakukan di desa ini adalah pembangunan perumahan dan beberapa jenis infrastruktur lainnya. Setelah beberapa bulan berselang, kegiatan rehabilitasi ekosistem mulai dilakukan di desa ini yaitu penanaman mangrove di areal pertambakan dan sepanjang sungai. Bekerja sama dengan Wetlands International Indonesia Program (WIIP) melalui ”Green Coast Project”, masyarakat yang tergabung dalam beberapa kelompok menjalankan suatu program restorasi pesisir berbasis masyarakat. Dalam program ini, masyarakat tidak hanya melakukan kegiatan penanaman mangrove saja melainkan juga diberdayakan melalui beberapa kegiatan ekonomi seperti usaha ternak sapi, ternak ayam, budidaya kepiting dll. Dalam rangka memastikan kegiatan berjalan dengan baik, seorang implementator lapangan ditugaskan secara khusus untuk bersama-sama dengan masyarakat dalam menjalankan tahap demi tahap kegiatan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan.

Di desa ini, kegiatan restorasi lingkungan yang dilakukan adalah penanaman mangrove di areal pertambakan tambak. Sebagai informasi bahwa Lham Ujong merupakan sebuah desa yang dikelilingi oleh tambak dimana sebagian besar adalah tambak ikan/udang, sementara sebagian kecil lainnya tambak garam. Berdasarkan observasi di lapangan, penanaman mangrove dilakukan di beberapa tempat yang berbeda yaitu di sepanjang anak sungai, di dalam tambak dan di sepanjang saluran air. Dari sudut pandang silvikultur, sistem/teknik penanaman yang di terapkan masyarakat adalah sistem penanaman intensif dan sistem penanaman jalur. Untuk sistem penanaman intensif, bibit ditanam dengan jarak tanam yang rapat antara 30 cm x 30 cm hingga 60 cm x 60 cm. Sementara untuk sistem penanaman jalur, masyarakat menanam bibit pada jalur dimana setiap jalurnya tediri dari 3-4 baris. Penanaman di dalam jalur dilakukan dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm. Sementara itu, jarak antara jalur satu dan lainya berkisar antara 20-30 meter. Jenis mangrove yang ditanam di areal pertambakan setidaknya terdiri dari tiga jenis yaitu Rhizophora mucronata, R. apiculata dan R. stylosa. Di bawah ini adalah kondisi umum kegiatan penanaman berdasarkan hasil pengamatan di lapangan.

• Penanaman di sepanjang saluran air Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagan besar jenis mangrove yang ditanam di sepanjang

saluran air adalah Rhizophora mucronata. Hanya sebagian kecil saja yang berjenis R. apiculata dan R. stylosa. Sebagian besar mangrove yang ditanam di sepanjang saluran air ditanam secara langsung dengan menggunakan propagul. Jarak tanam penanaman ini sangat rapat yaitu 30 cm x 30 cm. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak jarang ditemukan penanaman dua propagul sekaligus dalam satu titik tanam. Berdasarkan informasi dari masyarakat, penanaman ganda (double planting) ini sengaja dilakukan untuk meningkatkan prosentase keberhasilan tumbuh. Masyarakat juga memiliki asumsi yang sederhana yaitu bila satu bibit mati, maka masih ada bibit lain yang masih hidup. Dengan demikian, maka mereka tidak perlu melakukan penyulaman.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 195 Penanaman di sepanjang saluran air

Penanaman di sepanjang saluran air ini dilakukan pertama kali pada akhir tahun 2006. Di tahun berikutnya (2007, 2008), penanaman dilanjutkan dengan pola yang sama di lokasi sekitarnnya. Perbedaan waktu tanam ini di lapangan dapat dilihat dengan jelas adanya perbedaan ukuran tanaman di lapangan. Bibit yang ditanam tahun 2006 saat ini telah mencapai tinggi hingga 1.5 meter dan sebagain besar diantaranya telah memiliki cabang dan akar tongkat. Sementara tanaman yang lebih muda, ukurannya relatif lebih kecil dan rata-rata masih belum memiliki cabang.

• Penanaman pengayaan di sepanjang anak sungai Dalam hal ini, istilah pengayaan mengacu pada suatu kegiatan penanaman yang lebih di arahkan

untuk lebih memperkaya jenis dan memperbanyak populasi mangrove yang telah ada di sepanjang sungai. Teknik yang digunakan dalam penanaman di sepanjang anak sungai relatif sama dengan penanaman di sepanjang saluran air. Sebagaimana penanaman sebelumnya, penanaman mangrove dilakukan dengan jarak tanam yang rapat yaitu 30 cm x 30 cm. Salah satu temuan penting di lokasi ini adalah dijumpainya beberapa titik dimana penanaman dilakukan secara intensif dan sporadis.

Gambar 196. Penanaman pengayaan di sepanjang anak sungai

Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, penanaman sepanjang anak sungai ini baru dilakukan akhir tahun 2007 lalu. Oleh karena itu, ukuran tanaman mangrove yang ada disepanjang sungai lebih kecil dibandingkan dengan lokasi sebelumnya di sepanjang saluran air.

• Penanaman di dalam tambak Sesuatu yang menarik dalam kegiatan penanaman di areal pertambakan adalah adanya variasi

perlakuan dalam hal penanaman mangrove. Pada penanaman-penanaman yang terdahulu, masyarakat lebih cenderung melakukan penanaman intenseif dengan jarak tanam yang rapat. Namun dalam beberapa kali penanaman terakhir, masyarakat lebih memilih menanaman dengan sistim jalur. Di bawah ini adalah hasil pengamatan di lokasi penanaman.

310 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

1. Penanaman intensif Yang dimaksud dengan penanaman intensif adalah penanaman di dalam areal pertambakan secara

penuh (intensif) dengan jarak tanam yang rapat secara penuh. Tujuan yang ingin di capai dalam penanaman intensif ini adalah merealisaikan tegakan mangrove di dalam tambak yang dapat dimanfaatkan hasilnya oleh masyarakat di kemudian hari.

Dari wawancara dengan masyarakat, penanaman mangrove di dalam tambak sebenarnya telah dilakukan sebelum bencana Tsunami terjadi. Namun saat itu, penanaman hanya dilakukan oleh segelintir orang saja dalam skala yang kecil dan sporadis. Setelah bencana Tsunami, minat dan perhatian masyarakat untuk melakukan penanaman mangrove meningkat tajam. Bencana tersebut telah memberikan pelajaran kepada warga bahwa mangrove memiliki manfaat dan arti penting, baik secara ekologis dan ekonomis. Hingga saat ini , masih dijumpai tegakan mangrove yang ditanam sebelum tsunami di lapangan dan selamat dari terjangan ombak Tsunami. Saat ini, tinggi tanaman mangrove tersebut berkisar antara 2-3 meter.

Dalam penanaman intensif ini, masyarakat menanam mangrove dengan jarak tanam yang cukup rapat yaitu 0.3 – 1 meter. Sebagian besar tanaman terlihat subur dengan ukuran yang bervariasi. Semakin tua umur tanaman, maka tinggi dan diameternya lebih tinggi/besar. Namun demikian, jenis mangrobe yang ditanam juga mempengartuhi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pertumbuhan Rhizophora mucronata lebih cepat dibandingkan dengan R. apiculata dan R. stylosa.

Gambar 197 Kondisi tanaman mangrove di dalam tambak

2. Penanaman sistem jalur Penanaman mangrove dengan menggunakan sistem jalur merupakan suatu hasil pembelajaran

masyarakat atas kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan sebelumnya. Penanaman intensif dengan jarak tanam yang rapat dinilai masyarakat akan menyulitkan mereka dalam melakukan kegiatan pertambakan. Menurut masyarakat, penanaman intensif akan membatasi gerak mereka terutama pada saat penebaran benih, pemeliharaan dan pemanenen. Selain itu, mereka juga kuatir atas banyaknya daun yang gugur dari pohon mengrove. Daun ini dikuatirkan akan menjadi polutan sehingga dapat meracuni ikan atau udang yang dibudidayakan. Atas dasar alasan-alasan tersebut, masyarakat cenderung lebih suka melakukan penanaman dengan sitem jalur.

Gambar 198 Penanaman sitem jalur di dalam tambak

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dalam penanaman sistem jalur ini, bibit ditanam dalam jalur dimana setiap setiap jalurnya terdiri dari

3- 4 baris dengan panjang 50 – 70 meter. Dalam jalur ini, penanaman dilakukan dengan jarak tanam yang sangat rapat yaitu 30 cm x 30 cm. Sementara jaral antar jalur sangat lebar yaitu antara 20-30 meter. Dengan demikian, setiap tambak pada umumnya hanya terdiri dari 2-3 jalur. Hampir semua yang ditanam dengan sistemn jalur masih berukuran kecil yaitu berkisar 0.7 – 1.2 meter. Hal ini mengingat tanaman ini baru di tanam beberapa bulan yang lalu. Berdasarkan informasi dari mesyarakat, sebagian besar ditanam dengan menggunakan propagul, sementara sebagian kecil lainnya ditanam dengan menggunakan bibit jadi.€

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolan Konservasi Lahan Basah

Meskipun secara umum baik di wilayah Aceh maupun wilayah lain terdapat kecenderungan penurunan hasil tambak, usaha tambak masih banyak dijalankan oleh masyarakat termasuk di desa Lam Ujong. Peran vital ekosistem lahan basah (tambak) ini menuntut adanya upaya pengelolaan yang lebih baik. Pengelolaan yang lebih baik ini mencakup perbaikan pola atau metode budidaya dan perbaikan pengelolaan lingkungan secara umum.

Salah satu proses budidaya yang sedikit banyak mempengaruhi lingkungan adalah proses penyiapan air/kolam. Pada proses tersebut masih banyak digunakan pestisida. Salah satu pestisida yang umum dipakai adalah Brestan 60, suatu pestisida dengan bahan aktif senyawa Triphenyltin (TPT) yaitu Tripheyltinacetate ((C6H5)3SnOCOCH3). Jenis pestisida ini merupakan moluscoside dan diginakan untuk membasmi kerang dan siput. Parahnya, pada penggunaannya para petambak umumnya tidak mempunyai pengetahuan atau mengabaikan perlunya mengontrol dosis aplikasi.

Penggunaan pestisida di tambak sebenarnya menimbulkan kerugian karena kerang dan hewan lain yang mati tidak dikeluarkan dari tambak. Apabila bangkai membusuk, akan terjadi peningkatan penggunaan Oksigen dan penambahan senyawa sulfide dan ammonia ke dalam air. Senyawa TPT yang dilepaskan dari pembusukan bangkai, akan masuk ke dalam sediment dan ikan yang

dibudidayakan. Residu TPT pada ikan banding dilaporkan berkisar antara 230 ng g -1 pada jaringan otot sampai dengan 400 ng g -1 pada hati (Coloso & Borlongan, 1999). Konsentrasi TPT pada banding

ini tidak dapat diabaikan karena berpotensi untuk terakumulasi pada jaringan tubuh manusia dan menimbulkan keracunan.

Tidak hanya pada ekosistem tambak, penggunaan pestisida ini juga berpotensi merugikan ekosistem perairan di sekitarnya. Residu TPT yang ada di dalam air dan sedimen dapat terbawa ke sungai dan laut. Pada hewan air (ikan) setelah masuk melalui mulut dan insang, senyawa organotin akan terdistribusi ke dalam jaringan tubuh dan terakumulasi dengan cepat ditransformasikan terserap dalam small extent and dan hanya tereliminasi secara lambat (Davies et al., 1986; Fent et al., 1991; Fent, 1996 dalam Bagarinao& Lantin-Olaguer, 2000)).

Terkait dengan penggunaan pestisida untuk pertambakan, sebenarnya sudah banyak publikasi dan material kampanye lain yang berisi anjuran mengurangi atau meninggalkan penggunaan pestisida. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan masih adanya praktek penggunaan pestisida. Selama langkah alternative yang ditawarkan misalnya dengan menggunakan pestisida nabati masih dirasakan oleh para petambak kurang efektif dan praktis, praktek ini masih akan berlanjut.

Kampanye penghentian penggunaan atau penggantian pestisida sebaiknya juga diikuti kempanye untuk mngubah persepsi. Perubahan persepsi terhadap beberap organisme (contohnya siput dan kerang) yang semula dianggap hama sebagai sumberdaya. Menurut Bagarinao& Lantin-Olaguer (2000), pada beberapa studi, berat keseluruhan kerang dan siput dalam tambak mungkin sama atau lebih besar jika dibandingkan dengan berat ikan atau udang yang dipanen dalam setahun. Sebagai contoh dengan ukuran rata-rata individu dewasa 25 mm dengan berat 1 gr dan kepadatan individu

312 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

500 / m2, standing biomass dari C cingulata pada tambak dapat mencapai 5mt/ha, 4 kali lebih besar dari produksi rata-rata tahunan banding. Pada tambak seluas 5000m2 biomassa siput/kerang dapa mencapai 50 mt /ha (atau 7.5 mt daging siput/kerang per hektar), suatu jumlah diatas hasil panen banding tanpa dan tanpa memerlukan input tambahan pada tambak. Daging kerang/ siput dapat dimanfaatkan sebagai pakan kepiting dan bebek atau campuran pellet ikan, cangkangnya dapat dimanfaatkan sebagi sumber kalsium atau menjadi material konstruksi.

Langkah penting dalam pengelolaan ekosistem tambak adalah percepatan rehabilitasi ekosistem mangrove. Pada observasi lapangan, kegiatan penanaman justru kurang terfokus pada ekosstem terbuka seperti tepi sungai dan saluran air. Sisa-sisa komunitas mangrove yang masih ada di sepanjang sungai dan saluran air masih belum banyak mendapat perhatian dalam kegiatan rehabilitasi.

Meskipun tidak bisa dikatakan tanpa manfaat sama sekali, penanaman tambak di kolam dan tanggul tambak hanya memberikan sumbangan yang terbatas terhadap perbaikan ekosistem lahan basah pesisir. Penanaman di tambak dan tanggul dan kegiatan budidaya sering tidak saling memberikan dukungan, misalnya:

Kegiatan budidaya mengharapkan munculnya klekap. Klekap yang merupakan pakan alami bandeng, muncul pada kondisi panas optimal. Naungan daun pada tambak sering dianggap mengurangi munculnya klekap.

Pada tahap selesai panen dan menuju siklus tanam berikutnya, tambak dibiarkan dalam kondisi kering yang lama untuk membantu proses oksidasi sisa bahan organic dalam tambak. Kondisi kering lama dan tanpa sirkulasi ini sebenarnya kurang ideal bagi tumbuhan mangrove.

b) Rekomendasi kegiatan rehabilitasi

• Penanaman mangrove di areal pertambakan Berdasarkan hasil observasi di lapangan, lokasi yang memungkinkan untuk dilakukannya penanaman

mangrove adalah areal di dalam tambak yang masih kosong (belum ditanami). Selain itu, beberapa lokasi prospektif lain yang masih kosong antara lain areal di sepanjang pematang, kanan kiri saluran air dan kanan kiri anak sungai.

Atas dasar hal ini, maka penanaman magrove sebaiknya di arahnak di semua lokasi tersebut. Jarak tanam dan teknsik penanaman yang dilakukan bisa melanutkan dari apa yang telah masyarakat lakukan. Hal yang perlu ditekankan adalah perlunya untuk memperkaya jenis mangrove yang ditanam. Berdasartkan penilaian kondisi lapangan, beberapa jenis mangrove yang sesuai ditanam di lokasi adalah sebagai berikut:

o Rhizophora mucronata, R. apiculata atau R. stylosa ditanam di dalam tambak maupun di sepanjang alur sungai.

o Tanjang Bruguiera cylindrica, Bruguiere gymnorrhizha : ditanam di sepanjang alur. o Api-api Avicennia marina atau A.lannata: ditanam di sepanjang alur-alur sungai

• Penghijauan desa Penghijauan areal di sekitar desa dapat dijadikan sebagai kegatan alternatif apabila target penaman

mangrove tidak bisa terpenuhi sebagai dampak dari terbatasnya areal tambak. Di desa, penanaman dapat difokuskan pada beberepa tempat dengan jenis tanaman yang sesuai antara lain:

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kemiri Aleurites moluccana, Pinang Areca catechu, Nangka Artocarpus heterophyllus, Rambutan Nephelium lapaceum, dan lain-lain.

o Kanan kiri jalan : Kuda-kuda Lannea caromandolica, Gamal Glirichidia sepium, Cemara Casuarina equisetifolia, Mahoni Swietenia mahagony, Asam jawa Tamarindus indica, Mimba Azedirachta indica, Sungkai Peronema canescens, Kepuh Sterculia spp. Dan lain-lain

o Areal kosong di kawasan umum : Livistonia spp., Kuda-kuda Lannea caromandolica, Kresen Muntingia calabura, Gamal Glirichidia sepium, Mahoni Swietenia mahagony, Asam jawa Tamarindus indica, Mimba Azedirachta indica,

• Penataan batas lokasi penanaman Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda

(pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman.

J. GAMPONG BARU

1. Profil Umum Lokasi

Desa Gampong Baro terletak di pesisir Utara Aceh sekitar 3km sebelum Pelabuhan Malahayati. Desa Gampong Baro dapat ditempuh selama satu jam perjalanan darat dari kota Banda Aceh. Sebelum Tsunami luas Desa Gampong Baro adalah 420 ha namun setelah tsunami berkurang karena abrasi menjadi 320 ha dengan panjang pantai mencapai kurang lebih 3,5 km.

Sebelum Tsunami Desa Gampong Baro sangat terkenal sebagai daerah penghasil kacang tanah yang bebas pestisida dan pupuk. Setiap satu tahun sekali masyarakat Desa Gampong Baro bertanam kacang tanah pada awal musim hujan yaitu akhir Agustus atau awal September. Keuntungan yang didapatkan sangat besar, dapat mencapai 10 kali lipat dari modal yang dikeluarkan.

Secara geografis Desa Gampong Baro berada pada posisi 5° 37' 46.30" N 95° 23' 51.29" E dengan batas wilayah administratif desa yaitu:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka • Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Neuheun • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Durung • Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lamnga

314 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Durung

Gampong Baro

Lam Ujong

Keterangan :

Lahan perkebunan/pekarangan masyarakat Bekas Tambak yang Belum Produktif

Bukit Air sungai/laut

Desa yang berada di belakang Gampong Baru Gampong Baro Lama Gampong Baro hasil relokasi

Gambar 199 Sketsa situasi lahan di desa Gampong Baru

Secara administratif Desa Gampong Baro masuk dalam wilayah Kecamatan Masjid Raya Kemukiman Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar. Desa Gampong Baro terdiri dari dua Dusun yaitu: Dusun T. Malingga dan Dusun Aneu’ Laot.

Posisi Gampong Baro yang berhubungan langsung dengan Selat Malaka dan Samudera Hindia menyebabkan kerusakan infrastruktur akibat Tsunami 26 Desember 2004 hampir 100%. Lokasi yang sangat dekat dengan laut lepas (wilayah green belt) dan rusaknya jembatan sebagai akses menuju Gampong Baro melatar belakangi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan merelokasi tempat tinggal warga Gampong Baro ke daerah yang lebih tinggi/ perbukitan. Lokasi rekolasi Desa kurang lebih 4km ke arah timur dari desa awal dengan luas lahan 2ha. Pembelian lahan relokasi atas bantuan dana North Link sedangkan administrasi jual beli lahan didukung oleh OXFAM International. Titik hijau pada Error! Reference source not found. menunjukan lokasi Gampong Baro lama dan titik merah menunjukan Gampong Baro hasil relokasi.

Gampong Baru semula merupakan kawasan pemukiman dan lahan pertanian. Secara fisiografi merupakan punggungan pesisir. Di belakang punggungan pesisisr tersebut terdapat estuary dan tambak-tambak udang.

Dengan adanya tsunami, mengakibatkan pergeseran garias pantai ke arah darat. Dengan pertimbangan keamanan pemukiman gampong baru dipindahkan ke wilayah desa lain. Dengan luas lahan relokasi yang hanya cukup untuk pemukiman, warga gampong baru berkeinginan untuk tetap

316 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 316 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gampong Baru yang terletak di pesisir utara aceh merupakan salah satu desa terparah yang terkena dampak Tsunami pada tahun 2004 lalu. Sedemikian besar kerusakan yang ditimbulkan, sangat sulit untuk melihat sisa-sisa rumah atau bangunan lain di lapangan. Kekuatiran masyarakat atas terulangnya bencana ini telah membuat desa ini ditinggalkan dan masyarakat berpindah di lokasi yang baru. Lokasi ini berada di kaki perbukitan, terletak sekitar 3 km dari desa yang lama.

Kerusakan yang terjadi di Desa Gampong Baru ini sangat parah. Gelombang tsunami yang menghantam desa ini bahkan telah merubah bentang lahan dan kondisi lahan. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan bahwa areal ini pada saat sebelum Tsunami berupa pekarangan belakang yang berada di lingkungan pemukiman. Adanya sisa tanaman bambu menujukkan bahwa areal ini merupakan daerah kering, dalam artian tidak tidak pernah mengalami genangan. Namum saat ini, areal ini telah berubah menjadi areal kosong dengan deposit pasir dan tergenang pada saat pasang.

Gambar 200. Kondisi di lapangan saat ini yang menggambarkan perubahan ekstrim yang terjadi sebagai dampak bencana Tsunami

2. Tipologi Lahan Basah

Gambar 201. Foto udara lokasi Gampong Baru lama

Bagian tersbesar ekosistem lahan basah di gampong baru adalah pantai berpasir dengan bukit pasir yang memanjang hampir 2 km. Bagian lain adalah estuary yang merupakan muara dari Krueng Neheun. Tambak udang meskipun mendominasi kawasa tersebut, tetapi yang termasuk ke dalam wilayah Gampong baru tidak terlalu luas.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Ekoistem lahan basah di Gampong Baru meliputi:

F : Estuary: Estuari di gampong baru merupakan bagian hilir dari Krueng Neheun. Dengan topografinya yang

landai, air pasang dari laut dapat menjangkau bagian dalam sungai hingga jauh ke dalam. Pada saat air pasang estuary ini terhubung dengan laut di beberapa tempat, tetapi pada saat surut terhubung dengan laut di satu tempat saja.

E : Pantai Berpasir Pantai berpasir di Gampong Baru semula sangat landai dan lebar. Terjadinya tsunami telah

menjadikan garis pantai bergeser ke darat. Menurut warga setempat, sekitar 30 hingga 50 ha wilayah pantai di desanya hilang karena pergeseran tersebut. Pergeseran juga menjadikan garis pantai lebih dekat dengan punggungan pesisir yang semula menjadi pemukiman dan lahan pertanian.

1 : Aquaculture Sama dengan wilayah Kahju yang merupakan bagian yang paling dekat dengan laut, tambak-tambak

di Gampong baru mengalami kerusakan yang parah. Hampir semua tanggul rusak, saluran air dan kolam tambak terisi dengan endapan yang sebagian besar berupa pasir. Sebagian timbunan endapan mengisi hamper seluruh bagian kolam tambak hingga mencapai tanggul.

3. Profil Vegetasi

Vegetasi yang ada di desa ini juga tidak luput dari kehancuran. Observasi yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa vegetasi yang ada saat ini ada merupakan gabungan dari sisa-sisa vegetasi yang berhasil bertahan dari bencana tsunami, vegetasi baru yang muncul melalui proses suksesi alami (setelah terdegradasi) serta vegetasi yang terbentuk sebagai akibat campur tangan manusia melalui kegiatan penanaman. Setidaknya, terdapat lima (lima) formasi atau tipe vegetasi di pesisir Gampong Baru yaitu formasi Pes-caprae, Semak belukar, tegakan kuda-kuda, vegetasi tepi sungai, vegetasi sekitar tambak dan tegakan mangrove muda artifisial. Secara sederhana, profil vegetasi di pesisir gampong baru dapat diiliustrasikan melalui gambar 2 di bawah ini.

Keterangan :

A : Formasi Pes Caprae B : Semak belukar C : Tegakan kuda-kuda D : Vegetasi tepi singai E : Vegetasi di sekitar tambak

F: Tanaman artifisial

Gambar 202. ”Cross section” yang menggambarkan formasi dan tipe vegetasi di pesisir Desa Gampong Baru

318 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Paragraf di bawah ini adalah penjelasan lebih detail mengenai masing-massng formasi ataua tipe vegetasi yang ada di pesisir Gampong Baru.

• Formasi Pes-caprae (PC) Formasi ini terhampar di barisan depan pantai berpasir Gampong Baru dengan lebar hingga 30 meter.

Sebagaimana pada umumnya, formasi ini didominasi oleh herba galaran Ipomea pes-caprae yang secara lokal dikenal sebagai tumbuhan tapak kuda. Kerapatan formasi ini cukup tinggi yaitu berkisar 60- 80%. Selain herba galaran, beberapa jenis tumbuhan lainnya dapat diteukan antara lain Pandan Pandanus tectorius, Biduri Calatropis gigantea, Desmodium umbellatum, Opiorrizha spp., Calopogonium mucunoides, Crotalaria striata, pecut kuda Stachytarpeta indica, dan Dodoaea viscosa. Kelimpahan dari jenis-jenis ini sangat rendah. Sesekali tiap jenis ini ditmukan diantara dominasi herba galaran.

Dalam program penghijauan, formasi ini telah dipilih sebagai lokasi penanaman beberapa jenis tanaman pantai. Pada saat observasi dilakukan, penanaman belum dilakukan. Kegiatan yang teah dilakukan adalah pembuatan pagar dengan cara menancapkan 3-4 batang kuda-kuda Lannea coromandelica. Pemagaran ini dilakukan sebagai langkah pencehagan terhadap gangguan hama ternak.

Gambar 203. Kondisi penutupan lahan di formasi Pes Caprae

• Semak Belukar dan tegakan kuda-kuda Tepat di belakang formasi Pes Caprae, terdapat semak belukar dengan kerapatan sedang hingga

tinggi. Lebih tepat lagi, tipe vegetasi ini berada di sepanjang kaki punggungan pantai dengan susbtrat tanah mineral dengan sedikit kandungan pasir.

Semak belukar ini tersusun dari beerbagai jensi herba, semak maupun belukar antara lain Dodoaea viscosa, Cassia spp., Pandan Pandanus tectorius, Colubrina asiatica, Biduri Calatropis gigantea,

cemara Casuarina equsisetifolia, Desmodium umbellatum, Opiorrizha spp., Calopogonium mucunoides, Crotalaria striata, Indigofera suffruticosa, pecut kuda Stachytarpeta indica, Vitex trifoliata, Jatropha gossyopholia, dan Abutilon hirtum. Diantara jenis-jenis tersebut, Dodoaea viscosa; Cassia

spp.; dan cemara Casuarina equisetifolia adalah tiga jenis yang paling umum di jumpai di lapangan.

Gambar 204. Kondisi semak belukar di belakang formasi Pes Caprae

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Tegakan kuda-kuda Lannea coromandelica Suatu tegakan kuda-kuda dapat dijumpai di belakang semak belukar. Letak tegakan kuda-kuda ini

adalah di bagian atas punggungan. Pohon kuda-kuda Lannea coromandelica dengan mudah dapat dijumpai di areal ini. Ukuran pohon jenis ini juga bervariasi, dari yang masih kecil hingga yang telah dewasa dengan tinggi hingga 15 meter. Berdasarkan infromasi dari penduduk, tegakan ini merupakan hasil penaaman secara swadaya oleh masyarakat berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kegiatan inipun berlnajt hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan dijumpainya tanaman-tanaman berukuran kecil antara 1-2 meter. Teknik penanaman yang dilakukan masyarakat sangatlah sederhana yaitu stek batang. Bahan stek ini diambil dari cabang atau ranting pohon uda-kuda yang sangat mudah diperoleh di sekitar lokasi. Masyarakat pada umumnya menaman tanaman ini sebagai tanaman pagar.

Gambar 205. Kondisi tegakan kuda-kuda di atas punggungan pesisir

Selain jenis ini, beberapa jenis pohon lain yang umum dijumpai di sela-sela pohon kuda-kuda adalah pohon mimba Azadirachta indica dan Kelapa Cocos nucifera. Selain jenis pohon, beberapa jenis herba dan semak juga masih dijumpai disela-sela pohon-pohon yang ada antara lain Colubrina asiatica, Gmelina eliptica, Calatropis gigantea, Vitex trifoliata, dan Jatropha gossyopholia.

• Vegetasi tepi sungai Tepat di belakang punggungan bukit, dijumpai sungai yang mengalir dari muara hingga ke

pedalaman. Sungai ini dikategorikan sebagai sungai pasang surut karena tinggi airnya sangat tergantung pada pasang surut air laut. Pada saat surut, beberapa bagian sungai juga surut. Sementara pada saat pasang, ketinggian air tertinggi bisa mencapai 2 meter. Substrat areal di tepi seungai adalah lumpur berpasir. Bagian sepanjang tepi sungai ini didominasi oleh koloni api-api Avicennia marina dan Avicennia alba. Berdasarkan observasi di lapangan, koloni api-api ini diduga kuat hasil suksesi alami sebagai dampak dari bencana Tsunami. Hal ini jelas terlihat dari ukuran koloni yang masih muda dangan tinggi 1-1.5 meter. Selain kedua jenis ini, beberapa jenis mangrove lainnya juga dapat dijumpai antara lain Acanthus ilicifolius dan Acrostichum aureum.

Gambar 206. Kondisi vegetasi di tepi sungai

320 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Vegetasi di sekitar tambak Yang dimaksud dengan vegetasi di sekitar tambak adalah semua jenis tumbuhan yang ada di sekitar

tambak. Dalam hal ini, vegetasi ini bisa berada di dalam tambak, pematang atau areal lain yang masih dalam lingkungan tambak. Berdasarkan pengamatan, gelang air Sesuvium portulacastrum banyak dijumpai di sepanjang pematang tambak. Jenis ini juga banyak dijumpai di dalam tambak yang jarang terendam air. Herba ini menandakan bahwa terdapat deposit pasir yang sangat banyak di lingkungan tambak. Selain jenis ini, beberapa koloni rumput juga dapat dijumpai pada areal tertentu tambak yang tidak atau jarang tergenang.

Gambar 207. Koloni rumput dan gelang yang umum dijumpai di bagian dalam tambak Walaupun sangat terbatas, beberapa pohon Avicennia marina dapat dijumpai di sekitar tambak

terutama di sepanjang saluran air. Keberadaan jenis mangrove ini tidak dalam suatu koloni, melainkan secara soliter dan tersebar di sepanjang saluran air.

4. Keanekaan Fauna

Merupakan sisa daerah pemukiman, areal pertambakan dan kebun kelapa yang rusak pasca-tsunami. Saat ini, tidak terdapat pemukiman di daerah ini. Pengamatan hanya berlangsung pada tanggal: 6-7 November 2007. Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: 2 jenis mammalia, 21 jenis burung, serta 4 jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Babi hutan Sus sp., teramati dari jejak yang ditemukan disekitar kebun kelapa. Sementara, Bajing kelapa Callosciurus notatus ditemukan di batang kelapa di dekat daerah pertambakan ini. Bagian yang kering di daerah survey saat ini berupa padang rumput dengan pohon-pohon kelapa, menjadi daerah penggembalaan ternak (Kerbau dan lembu). Bagian lahan basah berupa sungai, serta petak- petak tambak yang saat ini ditanami bakau.

b) Avifauna

21 jenis burung teramati dan teridentifikasi di daerah ini. Delapan jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia 3 jenis juga termasuk dalam kategori App. II-CITES. Jenis yang dilindungi oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia berasal dari kelompok burung pemangsa (3 jenis), kelompok raja-udang (1 jenis), dan kelompok burung madu (2 jenis), serta kelompok burung air (2 jenis kuntul).

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Empat jenis satwa dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, tidak terdapat jenis herpetofauna yang dilindungi. Jenis yang ditemukan, adalah: Kodok Puru Bufo melanostictus, Belentuk Indah Kaloula pulchra, Ular Air Xenochrophis trianguligera dan Biawak-Varanus salvator.

5. Tanah dan Pertanian

Wilayah Gampong baru merupakan bagian dari DAS Krueng Aceh. Sungai tersebut merupakan sumber air yang cukup baik untuk pertanian dan lainnya. Debit air sungai-sungainya belum diketahui, tetapi fluktuasi permukaan air sungai dapat terkihat jelas dengan adanya pasang surut air laut.

Berkaitan dengan lokasi penelitian yang sebagian besar merupakan bekas pertambakan. Untuk merehabitasasi kembali sebagai tambak, maka peranan air tawar sebagai pasokan, baik kualitas ataupun kuantitasnya perlu diperhatikan. Untuk keperluan tersebut pembuatan/perbaikan saluran irigasi dan drainase harus menjadi prioritas pertama, karena terlihat adanya sedimetasi yang menutupi alur-alur sungai.

a) Fisiografi/Topografi dan Geologi

Gampong baru tergolong kedalam dataran rendah (lowland) yang terbentuk oleh proses marin, baik proses bersifat pengendapan (konstruktif) maupun pengikisan (destruktif).

Secara fisiografi menurut LREP I, (1988) dibedakan menjadi beberapa bentuk Satuan Lahan (Landform) antara lain : Beting pantai berseling dengan cekungan (Beach ridges and swales=B.1.1). Menurut kalsifikasi landsystem (REPPROT, 1981) tergolong dalam system PTG (gunung-gunungan dan endapan pasir pesisir pantai=B82) dan KJP (Dataran lumpur antara pasang surut=B63). Lahan mempunyai ketinggian 0–5 m dpl. Pada bagian Punggungan mempunyai kemiringan lereng 1–3 % dan pada Cekungan 0 -1 %. Bahan induk tanahnya endapan marin (aluvial) marin yang terdiri dari campuran pasir, liat, lumpur dan krikil. Punggungan berupa Beting pasir berada paling dekat dengan laut dan selalu mendapat tambahan baru yang berupa endapan pasir. Sedangkan cekungannya disamping mendapat tambahan baru dari laut juga mendapat tambahan bahan dari sungai.

b) KeadaanTanah Tanah-tanah di lokasi penelitian merupkan tanah mineral yang terbentuk dari bahan endapan marin

yang terdiri dari pasir dan liat sesetempat lumpur dengan kandungan bahan organik tinggi. Tanah- tanah ini menempati dataran pantai, mulai dari pantai sampai ke arah peralihan dengan lahan yang lebih tinggi (perbukitan).

Pada lahan yang lebih rendah (cekungan), tanahnya selalu tergenang dan selalu jenuh air karena pengaruh air pasang dari laut maupun sungai. Pada lahan ini, proses pematangannya terhambat dan terbentuk tanah-tanah dalam lingkungan yang terreduksi (berglei) dan mempunyai kandungan garam- garam (salin) yang tinggi. Sedangkan pada lahan yang agak melandai (cembung), tanahnya tidak terpengaruh oleh air tergenang (stagnan) dan terjadi proses oksidasi sehingga terjadi proses pematangan tanah.

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi tanah di lapangan yang ditunjang dengan hasil analisa tanah di laboratorium Balai Penelitian tanah Bogor. Tanah-tanah di lokasi penelitian

322 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Di lokasi penelitian Gampong baru menjadi 2 SPT dengan uraian masing-masing SPT sebagai berikut di bawah ini :

Tabel 131. Satuan Peta Tanah di lokasi Gampong baru

No.SPT Klasifikasi Tanah Landform/Topografi Litologi Land use

1 Aquic Udipsamments, Beting Pantai, lereng 1- Sedimen marin Kebun kelapa yang (Aluvial Eutrik)

(berpasir)

hancur akibat Tsunami

2 Typic Sulfaquents, (Gleisol Cekungan Pesisir,

Tambak yang hancur Tionik)

Sedimen marin (liat

lereng 0-1%

berpasir)

akibat Tsunami

SPT 1 (Aquic Udipsamments, (Aluvial

Eutrik)

SPT 2 (Typic Sulfaquents, (Gleisol Tionik)

Gambar208. Satuan Peta Tanah lokasi Gampong baru, Banda Aceh

• SPT1 Aquic Udipsamments, berpasir di lapisan atas dan lempung berpasir dilapisan bawah, dalam,

agak masam, kapasitas tukar kation sangat rendah, kejenuhan basa tinggi, drainase cepat. (Aluvial Eutrik)

Penyebaran. Satuan peta ini terdapat pada Beting pasir dipingiran pantai dengan bentuk wilayah agak cembung, lereng 1-3 persen.

Tata guna lahan. Penggunaan lahan sebagian besar berupa bekas kebun kelapa yang terkena Tsunami.

Potensi lahan. Kurang sesuai untuk pengembangan pertanian karena kondisi lahan yang sudah rusak, kandungan hara sangat rendah dan berpasir dalam. Lahan ini sebaiknya direhabilitasi atau dijadikan kawasan lindung.

SPT2 Typic Sulfaquents, berlempung, agak masam, kapasitas tukar kation sedang, kejenuhan basa

tinggi, drainase sangat terhambat, salin sangat rendah. (Gleisol Tionik)

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Penyebaran. Satuan peta ini terdapat pada rawa belakang pantai (cekungan) dengan bentuk wilayah datar agak cekung, lereng 0-1 persen.

Tata guna lahan. Penggunaan lahan sebagian besar berupa bekas tambak. Potensi lahan. Tidak sesuai untuk pengembangan pertanian karena kondisi lahan yang

mempunyai potensi pirit dan salinitas, tetapi masih memungkinkan untuk dijadikan lahan pertambakan dengan perbaikan tata air (saluran irigasi dan drainase).

c) Kesuburan Tanah

Untuk mengetahui status kesuburan tanah di lokasi penelitian telah diambil beberapa contoh tanah komposit yang merupakan gabungan beberapa contoh tanah yang diambil dari kedalam 0-30 cm. Contoh-contoh tanah tersebut kemudian dianalisa sifat kimia dan fisik. Analisa sifat kimia seperti pH tanah, kadar bahan organik, kadar fosfat dan kalium, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kejenuhan alumunium, kadar pirit. Analisa sifat kimia antara lain; tekstur, salinitas, Daya hantar listrik.

Tabel 132. Hasil analisis kimia dan fisik tanah dari wilayah Gampong Baru

Klasifikasi Tanah

SPT 2 – Typic Sulfaquents (Gleisol Parameter

SPT 1 - Aeric Udipsamment (Aluvial

Eutrik)

Tionik)

Kreteria Tekstur (%)

Lap atas

Pasir 95 61 76 31 Debu

1 18 14 27 Liat

4 21 10 42 Sa LS SL CL pH- (H 2 O)

8.3 7.8 pH- (KCl)

7.2 Netral 7.3 Netral

6.4 - 7.0 8.3 7.4

Bahan organik

C 0.30 SR 1.28 R 0.51 SR 3.88 T N

0.02 SR 0.09 SR 0.04 SR 0.27 S C/N

15 S 14 S 13 S 14 S

Phosphat (P 2 O 5 ) 19 R 18 R 74 ST 38 S Kalium (K 2 O)

27 S 16 R 38 S 38 S

Nilai Tukar Kation

Ca 11.11 T 11.11 T 27.91 ST 0.40 SR Mg

1.66 S 2.81 T 4.64 T 9.53 ST K

0.51 S 0.26 R 0.30 R 0.56 S Na

0.93 T 3.47 ST 8.93 ST 14.26 ST Jumlah

14.21 - 17.65 - 41.78 - 24.75 - KTK

1.13 SR 5.93 SR 2.61 SR 30.28 T Kejenuhan Basa >100 ST >100 ST >100 ST 82 ST Pirit 0.07 0.08 0.30 Potensi 0.31 Potensi Salinitas 167 SR 378 SR 1110 R 1390 R

Keterangan: Sa= sandy (berpasir), SL= sandy loam (lempung berpasir), LS = pasir berlempung CL = clay loam (lempung berliat), S= sedang, SR= sangat rendah, R= rendah, T= tinggi, ST= sangat tinggi

324 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 324 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tekstur adalah perbandingan antara persentase berat kadar pasir, debu dan liat tanah. Fraksi liat secara langsung berhubungan dengan penyediaan unsur hara tanaman, sedangkan fraksi pasir merupakan cadangan mineral untuk jangka panjang. Fraksi liat bersama bahan organik merupakan faktor yang menetukan kapasitas tukar kation yang mampu menahan air dan hara untuk diserap oleh tanaman.

Lokasi Gampong baru, tanah-tanahnya tersusun secara stratifikasi mulai dari lempung berpasir dilapisan atas, berpasir dibagian bawah.

e) Kemasaman tanah (pH) dan kejenuhan aluminuim

Derajat kemasaman tanah merupakan salah satu unsur penilaian kesuburan tanah, dan merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi penyerapan unsur hara, dimana pada pH 6.0 digunakan sebagai titik batasnya. Pada pH tanah yang tinggi (>6.0) secara tidak langsung unsur-unsur hara seperti fosfat menjadi tidak tersedia bagi tanaman.

Derajat kemasaman tanah-tanah di lokasi penelitian Gampong baru tergolong agak netral agak alkalis (7.2 – 8.3). pH agak alkalis terdapat pada daerah yang selalu tergenang atau terkena pasang surut air laut. pH netral terdapat pada tanah agak tinggi (punggungan) yang kondisi aerasi cukup baik.

Kejenuhan aluminium di lokasi baik di lokasi Gampong baru tergolong sangat rendah (0.00 %). Hal demikian dikarenakan belum/tidak mengalami oksidasi dan tidak menimbulkan proses kemasaman

tanah. Konsentrasi Al 3+ yang tinggi tidak akan terjadi apabila kemasaman tanahnya netral.

f) Bahan organik

Kadar bahan organik tanah diukur dengan menetapkan karbon (C), nitrogen (N) dan rasio C/N. Kadar bahan organik, disamping dapat mengikat unsur hara bagi pertumbuhan tanaman, bahan organik juga dapat menjaga kelembaban tanah dan membuat strutur tanah menjadi gembur.

Di lokasi penelitian Gampong baru kadar bahan organik umumnya sangat rendah sampai rendah kecuali di dilapisan bawah pada di SPI 2 (Typic Sulfaquents) tinggi. Kadar nitrogen sangat rendah dan ratin C/N sedang

g) Fosfor dan Kalium

Fosfor yang terdapat dalam bentuk organik sebagai sumber unsur hata utama bagi tanaman. Dalam lingkungan masam fosfat beraksi dengan besi dan aluminium membentuk Fe-P dan Al-P yang tidak tersedia bagi tanaman.

Fosfat dalam bentuk potensial ditetapkan dengan pelarut HCl 25% dan dalam bentuk tersedia

ditetapkan dengan pelarut Bray I (0,3 N NH 4 F + 0,25 N HCl).

Di lokasi penelitian Gampong baru, kadar phosphat rendah sampai sedang di SPT 1 sedang di SPT 2 tinggi sampai sedang dan kalium rendah sampai sedang.

h) Kapasitas tukar kation (KTK), Susunan kation dan Kejeunuhan basa

Kapasitas tukar kation merupakan gambaran kemampuan permukaan koloid-koliod tanah untuk mengadsorpsi dari pencucian. Besarnya KTK ditentukan oleh kandungan mineral liat dan bahan organik (humus) dalam tanah. Peningkatan KTK tanah akan menaikan nilai kesuburan tanah.

Lokasi penelitian Gampong baru mempunyai nilai KTK sangat rendah (<5 me/100 g) kecuali dilapisan

bawah SPT 2 tinggi (>25 me/100 g). Dan jumlah susunan kation K ++ , Ca , Mg rendah sampai tinggi dan Na + tinggi sampai sangat tinggi.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Jumlah basa-basa yang dapat dipertukarkan pada kompleks adsorpsi tanah tercermin dari nilai persentase kejenuhan basanya (% KB). Sebagian besar di lokasi penelitian Gampong baru mempunya kejenuhan basa yang sangat tinggi (> 82 - 100%).

Sifat dan karateristik tanah penting artinya dalam hubungan antara tanah, air dan tanaman. Pengambilan unsur-unsur hara oleh tanaman selain ditentukan ketersedian unsur-unsur tersebut secara kimiawi, ditentukan pula oleh keadaan sifat fisik tanahnya. Faktor aerasi dan tersedianya air dalam tanah adalah faktor terpenting dalam hubungan di atas. Aerasi ini tergantung bagaimana struktur tanah memiliki jumlah pori-pori dan bagaimana pula permeabilitasnya. Tanah yang memiliki jumlah pori aerasi yang cukup, belum tentu memiliki aerasi yang baik apabila sebagian pori di isi oleh air yang sering terjadi pada musim hujan atau genangan.

Pada daerah dataran berawa atau cekungan baik di lokasi Gampong baru tidak/belum berstruktur, jumlah pori aerasi sedang dan permeabilitas lambat. Hal demikian terjadi karena lahan selalu jenuh air dan menajdi faktor penghambat bagi pertumbuhan tanaman. Pada daerah punggungan (melandai) struktur tanah gumpal agak membulat, jumlah pori aearasi sedang sampai tinggi, permeabilitas agak sedang.

i) Evaluasi Kesesuian Lahan

Setiap satuan peta tana yang dihasilkan dari kegiatan survei pemetaan sumberdaya lahan, karakteristik lahan dapat dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan fisik lingkungan dan tanahnya. Data dan informasi tersebut dapat digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi komoditas tertentu.

Sebelum melaksanakan evaluasi lahan, terlebih dahulu harus ditetapkan asumsi-asumsi yang akan diterapkan. Dalam hal ini apakah evaluasi lahan akan dilakukan dengan asumsi pada kondisi manajemen rendah (sederhana), sedang atau tinggi.

Penilaian evaluasi lahan yang dilakukan di lokasi penelitian dengan asumsi teknologi rendah sampai sedang dengan berbasis masyarakat petani yang mempunyai kemampuan sederhana baik dari segi sumberdaya manusia ataupun permodalannya.

Penilaian evaluasi kesesuian lahan diarahkan pada kelompok tanaman pangan (serelia, umbi- umbian dan kacang-kacangan), kelompok tanaman perkebunan/industri, kelompok tanaman holtikultura (buah-an dan sayuran), perikanan payau dan penggunaan lainnya dapat dilihat pada abel 133. Dalam hal ini penilaianya digolongkan berdasarkan faktor-faktor pembatas (limiting factor) yang dominan seperti kesuburan tanah/unsur dan retensi hara (nr), media perakaran (rc), Toksisitas/salinitas (xc) bahaya sulfidik (xs) dan bahaya banjir/genangan (fh). Sedangkan faktor lingkungan seperti iklim dan topografi tidak menajdi faktor pembatas.

326 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 133. Hasil Penilaian evaluasi lahan di lokasi Gampong Baru

Kelas Kesesuaian Lahah

No SPT Perikanan Rekomendasi

Tan pangan

Perkebunan

Holtikultur

air payau

SPT 1. Aeric Udicipsamments

S3-wa,rc,xn

S3-wa,rc,xn N-wa,rc,xn N-wa,rc,xn Rehabilitas Pantai (Cemara, kelapa)

SPT 2. Typic Sulfaquents

N-oa,xn,xs

N-oa,xn,xs N-oa,xn,xs N-oa,xn,xs Rehabilitas Tambak (mangrove)

Keterangan :

Tan. pangan : Padi, jagung, kacang2an (kedelai dan Kacang tanah) Tan. Perkebunan : kelapa Tan. Holtikultur (sayuran2an) : cabe merah, bayam, mentimun, kacang panjang, kacang tanah N= tidak sesuia S3= sesuai marginal rc= media perkaran kasar, nr= retensi hara sangat rendah, wa=ketersedia air tidak ada xs= Bahaya sulfidik, oa= drainase sangat terhambat, xn=bahaya garam/salinitas, F4= bahaya banjir/genangan

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Pembagian wilayah administratif kedalam satuan kemukiman pada awalnya hanya berlaku secara adat yang penentuannya didasarkan pada kesatuan kesamaam ekosistem (contoh: ekosistem Daerah Aliran Sungai, ekosistem persawahan). Sejak berlakunya Undang Undang Pemerintahan Aceh UUPA

11 Juli 2005 pembagian kesatuan wilayah dalam kemukiman diakui secara formal dengan pengangkatan Kepala Mukim dilakukan langsung oleh Camat. Desa Gampong Baro sendiri masuk dalam ekosistem Daerah Aliran Sungai Krueng Raya atau biasa disebut kemukiman Krueng Raya. Selain itu penyebutan nama Desa diganti menjadi Gampong dalam bahasa Aceh yang berarti Kampung atau Desa, sehingga Desa Gampong Baro cukup dengan menyebutkan Gampong Baro saja.

b) Demografi

(1) Populasi

Total populasi penduduk Gampong Baro pada tahun 2003 adalah sebanyak 243 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 115 jiwa atau 47% dan perempuan sebanyak 128 jiwa atau 53% dari total populasi. Berdasarkan Podes BPS 2005, jumlah penduduk Gampong Baro setelah Tsunami pada tahun 2005 adalah sebanyak 121 jiwa atau menurun 50% dari tahun 2003 dan jumlah KK menurun 30% dari semula. Jumlah perempuan pada tahun 2005 sebanyak 49 jiwa atau 41% dan laki-laki sebanyak 72 jiwa atau 59% dari total populasi.

Dari angka tersebut menunjukan telah terjadi perubahan komposisi jumlah perempuan dan laki-laki setelah Tsunami. Dapat juga dideskripsikan bahwa jumlah korban perempuan di Gampong Baro saat Tsunami lebih banyak dari pada laki-laki. Berdasarkan informasi dari penduduk sejak setelah Tsunami ada sekitar 10KK yang baru terbentuk.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 134. Populasi penduduk Gampong Baro dan Kecamatan Masjid Raya tahun 2003 dan 2005

Populasi Kepadatan Penduduk Tahun

Jumlah KK Laki-laki Perempuan Total

(ind/ km2)

Gampong Baro

Kecamatan Masjid Raya

2003 5,259 5,232 10,491 280 2,294 2005 5887 5594 11481 N/A 2856

Populasi penduduk Gampong Baro menyumbang sebesar 2% dari totoal populasi Kecamatan Masjid Raya dan 1% pada tahun 2005 dimana rata-rata populasi per Desa di Kecamatan Masjid Raya

sebanyak 833 jiwa. Kepadatan populasi Gampong Baro sebanyak 58 jiwa per km 2 pada tahun 2003 masuk dalam kategori jarang.

Gampong Bari

Kec. Masjid Raya x 10

Gambar 209. Kecenderungan pertumbuhan jumlah penduduk di Gampong Baro dan Kecamatan

Masjid Raya

Rasio perkembangan penduduk di Gampong Baro dilakukan dengan membandingkan total populasi di Kecamatan Masjid Raya pada tahun 2003 dan 2005. Dari Gambar 209 di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan penduduk Kecamatan Masjid Raya pada tahun 2005 meningkat sebanyak 10%. Angka peningkatan jumlah penduduk sebanyak 10% tersebut sudah termasuk atau menutupi angka korban Tsunami di Kecamtan Masjid Raya. Peningkatan ini diduga sebagai dampak dari relokasi tempat tinggal penduduk sebagai contoh relokasi ke Perumahan Ujung Batee sekitar 150KK disamping itu tidak ada perluasan wilayah Kecamatan atau masuknya desa-desa baru kedalam wilayah administartatif Kecamatan Masjid Raya.

Suku yang mendiami Gampong Baro saat ini 100% adalah Aceh dan seluruh penduduk menganut agama Islam baik sebelum maupun sesudah Tsunami. Sebelum Tsunami terdapat sebagian kecil penduduk Gampong Baro yang bukan suku Aceh yaitu suku Jawa misalnya. Namun setelah Tsunami yang tersisa hanya suku Aceh dan tidak ada berita tentang keberadaan penduduk Gampong Baro yang diluar suku Aceh tersebut.

328 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 135. Agama dan Etnis Penduduk Gampong Baro 2003 dan 2005

Tahun Agama Utama

Etnis

Etnis Utama

2003 Islam

Aceh 2005 Islam

Multi Etnis

Aceh

Aceh

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Mata pencaharian utama penduduk Gampong Baro sebelum Tsunami adala perikanan tangkap yang dikombinasikan dengan pertanian palawija seperti cabe, kebun kacang tanah dan semangka karena di desa ini tidak terdapat sawah. Kombinasi mata pencaharian lainnya yaitu perikanan tangkap dan tambak udang. Pengkombinasian mata pencaharian terutama dilakukan sebagai startegi ketika menghadapi musim Barat, dimana nelayan tidak bisa melaut karena angin yang kencang sehingga pola pekerjaan yang dilakukan pun mengikuti ritme musim seperti ditampilkan pada tabel berikut

Tabel 136. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Gampong Baro sebelum Tsunami

Jenis Pekerjaan

Bulan

(sebelum Tsunami) dimulai yang paling

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des penting

Perikanan Tangkap Musim

Musim Timur Timur

Musim Barat (kendala melaut)

Penanaman Perawatan Tambak udang

Kacang Tanah

Panen

Tebar

√ Persiapan benih

Panen kualitas

tamabak Mancing Kepiting

tinggi

√ √ Semangka Panen Panen

Penanaman & perawatan

bagus

√ Persiapan lahan Tanam Tiram (perempuan)

Cabe

√ √ Ternak sapi &

√ √ kambing

Curah Hujan

√ √ Kebutuhan Kredit

Dalam satu tahun, kegiatan-kegiatan mata pencaharian masih dapat dilakukan dan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak ada kendala yang menyebabkan masyarakat sama sekali tidak dapat menjalankan kegiatan mata pencahariannya. Pendapatan yang sangat minim diperoleh pada bulan Maret sampai dengan Juni, karena pada umumnya pada bulan-bulan tersebut adalah musim Barat dimana angin sangat kencang sehingga nelayan tidak bisa melaut. Disamping itu pada musim Barat juga terjadi kemarau atau musim panas sehingga pertanian kacang tanah sebagai produk unggulan Gampong Baro tidak dapat dilakukan.

Pemenuhan kebutuhan sehari-hari pada musim Barat biasanya bersumber dari kegiatan pengumpulan Tirom oleh perempuan dan laki-laki menangkap kepiting. Disamping itu biasanya penduduk memiliki tabungan dari hasil Musim Timur berupa emas atau hewan ternak yang dapat dijual kapanpun. Berdasarkan hasil wawancara, semua responden menjawab bahwa sebelum Tsunami sangat jarang sekali bahkan tidak ada penduduk sampai meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Peminjaman uang biasanya dilakukan untuk modal usaha bertani, bertambak atau nelayan. Contoh nelayan yang meminjam uang ke Toke Bangku.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pola musim ternyata juga berpengaruh terhadap aktivitas sosial seperti pelaksanaan kenduri atau pesta yang biasanya dilakukan saat atau penghujung musim Timur. Musim Timur pada umumnya mulai pada akhir Agustus sampai dengan Januari. Saat musim Timur ombak tenang dan disertai hujan mulai akhir September. Kondisi alam yang mendukung tersebut menyebabkan banyaknya aktivitas mata pencaharian yang dilakukan pada musim Timur. Masyarakat Gampong Baro menyebut Musim Timur sebagai musim panen raya. Baik panen hasil laut maupun pertanian kacang.

(a) Perikanan Tangkap

a. Alat Tangkap Aktivitas perikanan tangkap yang ditekuni masyarakat Gampong Baro secara umum dilakukan

dengan menggunakan Pukat Langga/ Purse seine; Pukat Darat/ Pukat pantai dan Jaring/ Gill net. Waktu melaut biasanya hanya satu hari. Berangkat subuh untuk pengoperasian Pukat Langga dan Pukat Darat. Sedangkan gillnet di pasang pada sore hari dan diambil ketika pagi hari dan dipasang kembali saat sore hari. Beberapa alat tangkap lain yang juga di gunakan masyarakat Gampong Baro adalah sebagai berikut:

• Pukat Malam • Jaring Apollo • Jala Lempar • Muro Ami • Pancing biasa •

Pancing banyak mata •

Pancing tali sumbu • Penebaran akan kerapu

Berdasarkan wawancara tidak terdapat kegiatan penangkapan yang merusak (destructive fishing) seperti menggunakan bom dan racun serta tidak ada yang menggunakan pukat harimau atau trawl. Nelayan di Gampong Baro mengetahui dan cukup peduli tentang pelarangan penggunaan trawl di Indonesia. Disamping itu patroli yang dilakukan Panglima Laot lembaga tradisional yang mengurusi tentang perikanan tangkap terhadap penggunaan trawl merupakan langkah tepat yang dapat mendukung pengawasaan penggunaan trawl. Keterangan lebih lanjut tentang Panglima Laot akan dibahas pada sub bab Kelembagaan.

Hasil tangkapan yang dihasilkan berupa ikan tongkol, tenggiri, kerapu, rambeuh, teri. Tak jarang ketika musim Timur, kapal-kapal besar GT dengan armada 10 orang berlayar ke Laut Andaman atau sampai ke Pulau Nikobar. Biasanya waktu yang dibutuhkan sampai pulang kembali mencapai satu minggu.

b. Pembagian Hasil Tangkapan dan Pemasaran Secara umum sistem pembagian hasil dari melaut antara pemilik kapal dan pekerja yaitu pemilik kapal

menyediakan alat tangkap, bahan bakar, rokok dan makanan. Kapal biasanya dioperasikan oleh tiga orang. Hasil ikan yang didapat diserahkan kepada pemilik kapal untuk dijual di TPI, kepada Muge (pedagang pengumpul ikan) atau langsung ke pasar. Di Gampong Baru bagi hasil dari ikan yang didapatkan biasanya dilakukan satu minggu sekali yaitu setiap hari Jumat. Hasil yang didapatkan setelah dkurangi biaya operasional dibagi menjadi 40% untuk pemilik kapal dan 60% untuk pekerja. Khusus Pawang (pimpinan rombongan) diberikan tambahan upah oleh pemilik kapal atau dari empat tali pukat pawang akan mendapatkan bagi hasil dari dua tali pukat sedangkan dua tali pukat lainnya untuk perhitungan bagi hasil antara pemilik kapal dan pekerja lainnnya.

330 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kapal-kapal ukuran besar pada umumnya dimiliki oleh seorang yang kaya/ tingkat ekonomi menengah ke atas atau sering disebut sebagai “toke”. Berganti-ganti toke sulit dilakukan karena hal tersebut terkait dengan tigkat kepercayaan orang terhadap si Nelayan tersebut. Orang yang sering berganti toke cenderung sulit untuk mendapatkan pinjaman uang atau pinjaman modal melaut. Hal inilah membuat nelayan cenderung tidak berganti toke. Kelemahan dari sistem ini adalah seorang nelayan yang bukan pemilik kapal maka ia tidak akan mengetahui dengan pasti harga ikan yang sebenarnya. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan mereka tidak pernah mengeluhkan dengan sistem bagi hasil dan penjualan yang sejak dahulu ditepakan ini karena setelah melaut nelayan mendapatkan ikan untuk dibwa pulang dan tidak perlu bersusah payah membawa ke TPI di Desa tetangga atau tawar menawar harga dengan Muge.

Pemasaran hasil tangkapan ikan Gampong Baro dibawa ke TPI Desa Neuheun atau dijual langsung kepada Muge yang datang ke Gampong Baro. Berbeda dengan ikan teri diolah oleh istri nelayan dengan cara direbus dan dikeringkan lalau dijual kepada toke. Ikan-ikan dengan kualitas rendah atau berukuran kecil digunakan untuk konsumsi nelayan sendiri. Ikan asin yang dibuat istri nelayan Gampong Baro masih sebatas untuk konsumsi pribadi.

Diagram alir penjualan hasil tangkapan ikan di Gampong Baro dapat diilustrasikan sebagai berikut:

TPI Neuheun

Gambar 210 Diagram alir penjualan hasil tangkapan ikan di Gampong Baro

(b) Budidaya Tambak

Komoditas yang dikembangakan masyarakat Gampong Baro di tambak adalah udang windu, udang liar dan bandeng. Pola budidaya udang windu yang dikembangkan cenderung masih bersifat tradisional

dengan padat tebar 1 individu/m 2 . Dalam satu tahun terdapat dua kali siklus produksi. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam budidaya tambak udang di Gampong Baro adalah pestisida/ mulosida

digunakan untuk menghilangkan siput; saponin digunakan untuk membunuh predator udang sebelum memulai tebar benur; pupuk digunakan untuk membantu pertumbuhan fitoplankton. Pemasaran hasil tambak udang masih sebatas dijual di pasar ikan lokal yaitu Pasar Peunayong Banda Aceh yang merupakan sentra pasar ikan terbesar untuk Banda Aceh Aceh Besar dan Aceh Jaya.

Sistem bagi hasil yang diterapkan dari budidaya windu bila tambak di upahkan atau dikerjakan oleh orang lain yaitu pemilik tambak menyediakan benur, pakan, rehab tambak, pupuk dan obat-obatan. Satu orang penjaga tambak rata-rata dapat mengelola tiga petak tambak. Setelah udang dipanen dan dipotong modal hasil yang diperoleh dibagi 50% untuk pemilik tambak dan 50% untuk penjaga. Pembagian 50% juga berlaku untuk udang liar walaupun pemilik tambak tidak menyediakan benur, hanya pakan, pupuk dan obat-obatan.

(c) Pertanian

Data Potensi Desa (Podes) 2003 pada Tabel 137 berikut ini menyebutkan bahwa 75% penduduk Gampong Baro memiliki pekerjaan sebagai petani. Petani yang dimaksudkan disini bukanlah pekerjaannya 100% sebagai petani melainkan termasuk juga mereka yang melakukan kombinasi pertanian dengan kegiatan perikanan tangkap dan tambak.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 137. Mata pencaharian masyarakat Desa Gampong Baru

Pekerja % Pekerja Tahun

KK % KK bergerak di

bergerak di

pada pada

Pengusaha Pengusaha pertanian

kegiatan kegiatan

pertanian Pertanian Pertanian

0 30 100 Other N/A N/A

Podes 2005 menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun di Gampong Baro setelah Tsunami yang bertani. Hal tersebut disebabkan relokasi tempat tinggal di lahan 2ha dimana penduduk tidak memiliki lahan yang cukup untuk bertani. Bertani di lokasi Gampong Baro lama agak sulit untuk dilakukan karena jarak yang cukup jauh, akses menuju lokasi (November 2007 baru ada rakit akses meuju Gampong Baro lama), faktor keamanan serta gangguan kerbau dan sapi.

Pada umunya musim tanam baik untuk cabe maupun kacang tanah dilakukan hanya pada musim hujan. Hal tersebut dikarenakan sulit mendapatkan suplai air tawar untuk pertanian. Bibit cabe didapatkan dari toko pertanian sedangkan bibit kacang tanah sengaja disimpan dari hasil panen sebelumnya. Kacang tanah merupakan produk pertanian unggulan Gampong Baro karena kulitas biji, kacang tanah yang dihasilkan bersih serta bebas pestisida dan pupuk. Kacang tanah di Gampong Baro ditanam di tanah berpasir sehingga kulit kacang tidak dipenuhi oleh tanah oleh sebab itu berat basah kacang tanah 95% murni adalah berat kacang tersebut. Berdasarkan hasil wawancara alasan masyarakat tertarik menanam kacang tanah karena keuntungan yang diperoleh dapat mencapai 10 kali modal yang dikeluarkan.

(d) Peternakan

Peternakan yang dilakukan di Gampong Baro masih bersifat skala rumah tangga. Selain sebagai stategi menyimpan uang, peternakan juga dijadikan mata pencaharian terutama untuk Idul Adha dan Idul Fitri. Sama seperti daerha Aceh lainnya, kambing dan sapi/kerbau pada siang hari dilepas di padang rumput tidak khusus digembalakan, sore hari menjelang Maghrib ternak tersebut dibawa pulang diikatkan pada tiang sdangkan kambing dimasukkan di kandang.

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Sebelum Tsunami rumah penduduk Gampong Baro pada umumnya terbuat dari papan dan hanya 14% merupakan rumah permanen. Sumber listrik yang didapatkan berasal dari PLN begitu pula dengan kondisi saat ini di Gampong Baro relokasi menggunakan sumber listrik dari PLN. Bila dibandingkan desa-desa terkena Tsunami lainnya Gampong Baro termasuk kategori cepat mendapatkan sambungan listrik segera setelah rumah selesai dibangun. Hal tersebut karena letak lokasi relokasi yang dekat dengan jalan raya utama Aceh Besar dan telah tersedia tiang-tiang listrik sepanjang jalan raya tersebut.

Rumah yang ditempati penduduk Gampong Baro merupakan rumah permanen bantuan dari TDH German. Air bersih diperoleh dengan membuat sumur-sumur bor. Satu sumur untuk dua atau tiga rumah. Sampai saat ini Gampong Baro juga measih menerima suplai air bersih di tangki-tangki penampungan bantuan dari Plan International. Kamar mandi yang ada masuk dalam kategori kamar mandi umum, dua atau tiga rumah memiliki satu fasilitas MCK.

332 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 138. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Gampong Baro

Bahan Jumlah Rumah

akses listrik

akses listrik

Fasilitas bakar

Jalan

untuk

MCK untuk Drainase

dengan PLN

Bersih

dengan PLN

MCK

memasak

Permanen Non- % Permanen

Perma nen

6 36 14 Ya

25 60 Tidak Sumur Sumur Pribadi Minyak Acak

tanah N/A N/A N/A Tidak 0

ada

0 Tidak Suplai

N/A Umum Minyak N/A

air *Keterangan: Tabel di atas belum memasukan fasilitas rumah permanen yang dilengkapi fasilitas listrik yang

saat ini sudah ditempati penduduk Gampong Baro di lokasi relokasi

(2) Pendidikan

Fasilitas pendidikan baik sebelum maupun sesudah Tsunami tidak terdapat di Gampong Baro. Sekolah TK dan SD terdekat terdapat di Desa Neuheun. Pergruan Tinggi terdekat terdapat di kota Banda Aceh. Tidak dibangunnya sekolah di Gampong Baro sebelum Tsunami diduga dikarenakan jumlah penduduk yang relatif sedikit serta letak Desa berada di bagian ujung sehingga kurang stategis untuk dijangkau. Demikian pula sesudah Tsunami pembangunan fasilitas pendidikan tidak dilakukan di Gampong Baro di lokasi relokasi. Hal tersebut dikarenakan luas lahan lokasi relokasi yang kurang memadai, letak lokasi berada di daerah perbukitan serta jumlah penduduk yang sedikit.

Tabel 139. Perkembangan Fasilitas Pendidikan antara Tahun 2003 sampai 2005 di Gampong Baro

TK SD SMP SMA Sekolah Teknik Akademi/

Universitas ari

terde Swasta

Negeri terde Desa

Swasta

Negeri

terde Desa

Swasta

Negeri

terde Desa

Swasta

Negeri

terde Desa

Swasta

Negeri

terde Desa Swasta Negeri Jarak

Pusat-Pusat pendidikan khusus seperti tempat kursus keterampilan, pondok pesantren tidak terdapat di Gampong Baro baik sebelum maupun sesudah Tsunami

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Akses menuju Gampong Baro sebelum Tsunami berupa jembatan, namun jembatan tersebut rusak akibat Tsunami dan sampai saat ini belum diperbaiki sehingga tidak ada akses untuk menuju lokasi lama Gampong Baro. Perjalanan hanya bisa ditempuh lewat air. Bantuan rakit secara cuma-cuma dari Kegiatan Green Coast yang dikelola oleh Yayasan LEBAH merupakan satu-satunya tranportasi umum menuju lokasi lama Gampong Baro.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Sebelum Tsunami transportasi umum yang dapat digunakan menuju Gampong Baro adalah becak motor serta kendaraan roda empat semacam angkot yang dalam bahasa Aceh dikenal dengan istilah “labi-labi”. Namun demikian sarana transportasi ini tidak dapat masuk langsung ke Gampong Baro hanya sampai pada jembatan yang menghubungkan jalan raya dan Gampong Baro.

Tabel 140. Sarana transportasi dan perhubungan di desa Gampong Baru

Kendaraan Umum

Jalan Jalan akses Jenis Tahun

kendaraan Desa roda 4

Ojeg Becak Andong Sampan Motor boat Umum Utama

Empat

2003 Tanah Tidak Ada Ada Tidak

Ada

Tidak

Tidak Ada

Tidak Ada Kendaraan

Ada

Ada

Roda Empat

Tidak

Tidak

2005 Kerikil Tidak Ada Ada

Ada

Tidak Ada

Tidak Ada Becak

Ada

Ada

Kendaraan roda empat saat ini sudah bisa memasuki daerah relokasi Gampong Baro secara langsung. Sarana transportasi umum yang dapat digunakan masih sama seperti sebelum Tsunami yaitu labi-labi dan becak motor. Sarana transportasi berupa andong tidak terdapat di seluruh Aceh meskipun didaerah Aceh Tengah tempat dimana kuda banyak diternakan. Kendaraan umum berupa sampan dan motor boat pun tidak terdapat di Aceh Besar, jenis transportasi air banyak dijumpai di Kota Sabang.

(4) Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan berupa Rumah Sakit, Puskesmas, Rumah Bersalin maupun Polindes tidak terdapat di Gampong Baro. Melalui bantuan dari Pemerintah pusat, tahun 2007 ini sedang dibangun Polindes atau poliklinik Desa dan direncanakan akan ditempatkan satu orang bidan untuk tinggal di Gampong Baro.

Tabel 141. Fasilitas Kesehatan antara Tahun 203 dan 2005

Jumlah Jarak

Jarak Rumah

Jarak

Puskesmas

Kemudah Tahun Sakit

Kemudah Rumah

Kemudah

Terdekat

Terdekat an akses (km)

an akses Bersalin Terdekat

an akses

/ Pustu/

(km) Umum

15 Susah 0 7 susah 2005 0

Perkembangan jumlah keluarga yang memiliki Kartu Sehat atau kartu berobat gratis meningkat dari tahun 2003 ke 2005 dari semula 36% menjadi 100%. Hal tersebut dikarenakan sebagai wujud bantuan berobat secara cuma-cuma atau dapat juga ditarik kesimpulan bahwa 100% KK di Gampong Baro masuk kategori keluarga kurang mampu sehingga berhak mendapatkan Kartu Sehat.

334 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 142. Perkembangan Kelurga pemilik Kartu Sehat anatar tahun 2003 dan 2005

Jumlah Keluarga

Jumlah

Jumlah Memiliki

yang Persentase

Keluarga

Persentase

Wabah penyakit yang pernah melanda

Malnutris Keluarg Tahun

i pada a Tanda

Kartu yang

Memiliki

yang

Balita Peserta Penduduk

KB Miskin

Malaria ISPA (KTPM)

(KS)

Diar

e Campak

Demam berdarah

Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 18 2005 15

29 15 36 Tida k

50.0 30 100.0 Tida k

Tidak Tidak Tidak Tidak N/A N/A

(5) Fasilitas Keagamaan

Seluruh penduduk Gampong Baro sebelum dan sesudah Tsunami 100% adalah muslim. Sana peribadatan kaum Muslim berupa Mushalla. Tahun 2007 sedang dibangun masjid di lokasi relokasi Gampong Baro.

(6) Sarana Komunikasi

Sarana komunikasi seperti kantor Pos, wartel dan internet tidak terdapat di Gampong Baro baik sebelum maupun sesudah Tsunami. Televisi sendiri sudah menjadi barang yang biasa saja tingkat kemewahan kepemilikannya. Saat ini sebagian penduduk Gampong Baro berkomunikasi menggunakan telepon genggam.

Tabel 143. Sarana komunikasi anatra tahun 2003 dan 2005 di Gampong Baro

yang mempu

keluarga

Kantor Kantorpos

Tahun memiliki

Wartel Internet

memiliki TV

memilki TV

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

Secara umum pembagian wilayah pemerintahan di Propinsi NAD dimulai dengan satuan unit terkecil berupa Dusun atau sering disebut sebagai Lorong. Beberapa Dusun tergabung dalam Desa dan tingkat Kemukiman terdiri dari beberapa Desa yang memiliki karakteristik ekosistem yang sama.

Seorang Kepala Mukim bertanggung jawab kepada Camat begitu juga dengan Kepala Desa. Urusan pemerintahan secara formal dilakukan secara langsung oleh Kepala Desa kepada Camat. Munculnya Kemukiman dalam pembagian wilayah secara formal sebagai bagian dari Implementasi UU PA 11 Juli

2005 dimana sebelumnya pembagian wilayah dalam kemukiman hanya bersifat adat. Pembagian wilayah pemerintahan secara umum di Propinsi NAD digambarkan pada ilustrsi berikut

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 211 Satuan wilayah pemerintahan di Propinsi NAD

(1) Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan/ lembaga eksekutif di Desa Gampong Baro sampai dengan tingkat Kemukiman sama seperti wilayah-wilayah Aceh lainnya yaitu Desa di kepalai oleh Kheuchik dan Kemukiman dikepalai oleh Kepala Mukim. Kheucik dibantu oleh Kepala-Kepala Urusan dan membawahi Kepala Dusun. Berikut disajikan diagram pemerintahan Desa Gampong Baro.

Tuha Peut

Keuchik

Imam Meunasah

Bendahara

Sekretaris

Kaur Pemerintahan

Kaur Pemberdayaan

Kaur Kesejahteraan

KaDus T. Malingga KaDus Eneu Panyang

Gambar 212 Struktur Organisasi Pemerintahan Gampong Baro

336 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden penduduk lebih merasakan manfaat atau lebih mengenal Kheuchik dan Kepala Dusun dibandingkan dengan posisi lainnya dalam struktur Desa. Hal tersebut sangat bisa dipahami karena Kheuchik dan Kepala Dusun lebih terbuka kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan penduduknya. Meski demikian semua penduduk Gampong Baro mengenal secara pribadi siapa-siapa saja yang duduk dalam strktur Organisasi Desa dibandingkan ingat jabatan yang sedang mereka emban.

Kheucik yang sedang memimpin saat ini adalah Kheuchik yang diangkat langsung oleh Bupati pada tahun 2005 agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan pasca Tsunami. Mulai tahun 2007 pemilihan kheuchik dilakukan layaknya pemilihan presiden melalui pencoblosan surat suara secara langsung untuk periode pemerintahan selama lima tahun. Kinerja lembaga eksekutif di tingkat Desa diawasi oleh DPR Desa atau Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam bahasa Aceh BPD dikenal dengan istilah Tuha Peut atau orang yang di tuakan yang terdiri dari empat unsur : (1) Agama/ Ulama; (2) Pendidikan/ Cerdik Pandai; (3) Pemuda; (4) Pendidikan.

Pada tingkat Kemukiman seorang Kepala Mukim dibantu oleh Tuha Lapan yang terdiri dari delapan unsur masing-masing bertanggung jawab terhadapa bidang unsurnya tersebut sebagai mana digambarkan pada ilustrasi berikut:

Kepala Mukim

?? Pnaglima (Pengaturan

Aria Peukan Sekretaris

Kejrung

Pawang Utan

Seuneubo

Imum Mukim

Laot Pasar)

Perikanan Laut)

Gampong baro tergabung dalam kemukiman Krueng Raya, namun untuk Panglima Laot tergabung dalam Lhok atau Teluk Neuheun. Posisi Kejrung Blang dan Seuneubo tidak ada di Kemukiman Krueng Raya karena tidak terdapat sawah. Tokoh-tokoh lain yang berpengaruh selain Kheuchik dan Kepala Dusun adalah Imum Meunasah/ Imam Masjid atau sering dikenal dengan sebutan Tengku yang mengurusi masalah keagamaan di Desa. Tokoh lainnya yang cukup berpengaruh yaitu Bapak Suardi sebagai ketua kelompok penghijauan Green Coast. Sebelum Tsunami Pak Suardi berprofesi sebagai toke untuk perikanan tangkap dan tambak udang yang cukup disegani. Ketua Pemuda sebagai unsur dari Tuha Peut merupakan perpanjangan tangan Kheuchik kepada pemuda dan sebaliknya.

Tabel 144. Daftar Organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang masih aktif di Gampong Baro

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Udep Temu Rehabilitasi pesisir dan pemberyaan ekonomi OXFAM Int/ Wetlands International Indonesia Programme (WIIP)

2. Noe Bak Shoet Rehabilitasi pesisir dan pemberyaan ekonomi OXFAM Int/ WIIP & Yayasan LEBAH

3. Ban Timoh Rehabilitasi pesisir dan pemberyaan ekonomi OXFAM Int/ WIIP & Yayasan LEBAH

4. Kelompok Menjahit

Kursus menjahit

5. Keterampilan

Keterampilan bagi perempuan

PMI

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Keberadaan kelompok-kelompok tersebut ditanggapi positif baik oleh aparat Desa maupun penduduk sendiri. Potensi konflik yang mungkin timbul antara anggota kelompok dan bukan anggota kelompok sangat kecil kemungkinannya Hal tersebut dikarenakan ketiga kelompok rehabilitasi dari program Green Coast haruslah beranggotkan orang-oarang yang mewakili KK. Berdasarkan data pada Tabel 144 terdapat 30KK sehingga kesemuanya dapat ambil bagian menjadi anggota kelompok.

Kekhawatiran akan potensi konflik di Gampong Baro muncul saat dilakukan wawancara dimana beberapa anggota kelompok dampingan WIIP ingin tahu sistem yang diterapkan oleh Yayasan LEBAH dalam kelompoknya. Masyarakat mengharapkan semaksimal mungkin dihindari konflik salah satu cara yang diusulkan yaitu kesamaan upah dan jumlah modal yang disalurkan untuk pemberdayaan keonomi.

e) Gender

Sekitar 40% dari responden mengetahui atau pernah mendengar istilah gender, sehingga dalam wawancara tidak digunakan istilah kesetaraan gender tapi langsung disebutkan peranan wanita atau laki-laki atau selalu diarahkan pembandingan tugas, hak dan pembagian upah dalam kegiatan sehari- hari antara laki-laki dan perempuan.

Dari sisi pekerjaan tidak ada perempuan yang melaut hal tersebut dikarenakan medan yang berat serta harus meninggalkan rumah dalam waktu yang cukup lama dan perempuan sendiri tidak mau bila disuruh melaut. Selain pekerjaanya juga kurang lazim bila perempuan melaut.

Manajemen keuangan Rumah Tangga untuk kebutuhan sehari-hari dilakukan sepenuhnya oleh istri. Penghasilan yang didapatkan oleh suami diserahkan semua kepada istrio setelah dikurangi sekitar 20% untuk uang rokok dan kebutuhan ribadi suami. Penghasilan yang didapat yang digunakan untuk modal usaha disimpan/ dikelola oleh suami. Hal ini dilakukan karena asumsinya dengan laki-laki uang lebih aman dan tidak habis digunakan belanja.

Didalam kegiatan Green Coast, perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Baik untuk upah kerja, penentuan jam kerja dan pemisahan jenis kegiatan sesuai kemampuan masing-masing.

f) Informasi terkait dengan Kegiatan Green Coast

• Nama Kelompok : Hudep Teuma • Jumlah anggota kelompok : 11 orang • Rencana rehabilitasi

o Lokasi Tambak sebanyak 20.000 bibit dengan jenis Rhizophora mucronata dan R. apiculata o Lokasi Pinggir Sungai sebanyak 15.000 bibit dengan jenis R. mucronata, R. stylosa dan R.

apiculata serta Avicennia sp o Lokasi Pinggir Pantai sebanyak 2.000 bibit dengan jenis Casuarina eusetifolia.

• o Koordinat lokasi : N 05 37’28.0”; E 095 23’54.1” • Rencana pemberdayaan : Untuk pembuatan bubu ikan di sungai, peralatan nelayan, ternak, dan

kedai • Realisasi sementara : Sudah dilakukan penanaman buah mangrove total sebanyak 20.000 buah yang terbagi menjadi

15.000 buah mangrove jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa ditanam dipinggir sungai. Sedangkan yang di dalam tambak telah tertanam sebanyak 5.000 buah jenis Rhizophora stylosa. Masing-masing buah ditanam dengan diberi ajir dan ditali dengan jarak tanam 0.5 m x 0,5 m untuk dipinggir sungai dan di tambak dengan jarak tanam 1 m x 1 m.

338 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 213. Lokasi penanaman tanaman mangrove di Gampong Baru

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

Untuk menilai prospek kegiatan rehabilitasi di Desa Gampong Baru, tim assessment telah mengumpulkan berbagai informasi yang relefan serta mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan peluang terselenggaranya kegiatan rehabilitasi di desa ini. Di bawah ini adalah beberapa catatan penting serta pertimbangan di dalam penilaian prospek kegiatan rehabilitasi.

a) Identifikasi kesesuaian di lokasi penanaman

• Areal pertambakan Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa salah satu lokasi penanaman mangrove adalah di areal

pertambakan yang mengalami kerusakan serius dihantam gelombang Tsunami. Hampir seluruh pematang telah hancur sehingga seakan-akan tidak ada pembatas antara petak tambak. Dari pengamatan substrat, dijumpai deposit Tsunami yang cukup tebal yang tersebar di hampir seluruh lokasi tambak. Deposit Tsunami ini berupa materal pasir yang terbawa dari laut dan didamparkan di areal pertambakan. sulit menghadapi terutama di awal penanaman. Ketebalan deposit ini bervariasi, diperkirakan antara 30 hingga 70 cm.

Dari sudut pandang hydrology, lokasi penanaman di areal pertambakan memiliki kondisi yang optimal nagi pertumbuhan mangrove. Lokasi penanaman ini terkena pengaruh pasang surut setiap hari. Fluktuasi pasang surutpun dinilai berada dalam kondisi normal. Pada saat pasang, ketinggian hanya berkisar dari 40-100 cm sehingga tidak terlalu berbahaya bagi propagul. Disisi lain, arus air yang terjadi sebagai penaruh pasang surut tidak terlalu keras. Satu-satunya yang perlu di waspadai pada lokasi penanaman adalah adanya ancaman yang cukup serius dari serangan lumut sutera.

Gambar 214. Lokasi yang sebaiknya dihindari untuk penanaman mangrove

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Areal di tepi sungai Kondisi yang agak berbeda dijumpai di areal penanaman di sepanjang tepi sungai. Dari sudut

pandang substrat, tanah di sapanjang pantai memiliki kandungab lumpur yang cukup tebal. Kondisi demikian sangtalah bagus untuk pertumbuhan mangrove. Namun demikian, kondisi hidrologi di areal ini dinilai kurang kondusif bafi pertumbuhan mangrove. Mengingat letak yang dekat dengan sungai, fluktuasi pasang surut yang terjadi di lokasi ini lebih kuat. Arus air yang terjadi sebagai akibat dari peralihan pasang ke surut atau sebaliknya seringkali memicu terjadinya arus yang cukup kuat hingga mampu mengganggu tanaman mangrove terutama yang baru ditanam. Selain itu, tim assessment juga menjumpai ancaman yang cukup serius di areal sapanjang sungai yaitu hama tritip. Berdasarkan observasi di lapangan, sebagian besar tanaman mangrove telah terserang oleh hama ini.

• Areal di pantai berpasir Cukup tingginya penutupan vegetasi di pantai ini mengindikasikan bahwa kondisi pantai telah cukup

stabil. Di bagian depan pantai, formasi Pes Caprae terhampar. Semak belukar juga dapat dijumpai tepat di belakang formasi Pes Caprae. Dalam hal ini, formasi Pes Caprae dinilai mempunyai daya dukung lingkungan yang optimal untuk kegiatan penanaman. Sementara pada semak belukar, penanaman tidak perlu di lakukan mengingat pada tipe vegetasi ini telah mampu melangsungan regenerasi untuk membentuk tipe vegetasi yang lebih mantap, tentunya dengan jenis tumbuhan yang lebih banyak. Walaupun areal tersedia, namun areal di bawah tegakan kuda-kuda juga dinilai kurang tepat untuk penanaman. Hal ini mengingat lebatnya tajuk yang membuat sinar matahari sulit menembus lantai tegakan.

b) Identifikasi potensi

• Pengalaman sebagian masyarakat dalam penanaman Tanaman pagar yang umum dijumpai mengelilingi lahan masyarakat merupakan bukti bahwa

sebagian masyarakat telah berhasil melakukan kegiatan budidaya tanaman keras. Berdasarkan wawancara dengan beberapa warga, mereka mengaku telah berpengalaman dan mampu untuk menananam tanaman keras terutama untuk jenis kuda-kuda Lannea coromandolica. Merekapun dengan mudah mampu menjelaskan cara mengambil stek, mempersiapkan stek dan menanamnya di lapangan. Berdasarkan penuturannya, penanaman stek kuda-kuda sangatlah sederhana dan mudah untuk dilakukan siapa saja. Pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat adalah suatu potensi yang sangat besar untuk dapat mendukung penyelenggaraan kegiatan penanaman.

Namun demikian, masyarakat mengaku bahwa mereka masih belum memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menanam jenis tanaman lain. Selain itu, mereka juga tidak memiliki pengalaman dan kemauan melakukan penanaman dengan teknik yang lain. Terkait dengan hal ini, pendampingan dan pelatihan perlu dilakukan untuk menambah kapasitas masyarakat agar mereka mampu untuk menyelengarakan kegiatan rehabilitasi dengan baik dan benar.

• Kondisi pantai berpasir yang kondusif Observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa salah satu calon lokasi penanaman di pantai berpasir

memiliki kondisi yang cukup kondusif untuk penanaman tanaman pantai. Formasi Pes Caprae adalah bagian dari pantai berpasir adalah areal yang direkomendasikan sebagai lokasi penanaman. Luasan formasi ini diprediksi akan mampu menampung tanaman dengan jumlah sebagaimana yang telah direncanakan. Dengan kondisi yang kondusif ini maka bibit-bibit yang ditanam diharapkan dapat tumbuh dengan baik. Namun demikian, ancaman ternak harus diwaspadai. Tindakan pencehgahan dan penanggulangan harus segera diambil untuk menghindari atau mengurangi dampak gangguan ternak terhadap kegiatan penanaman.

340 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Ketersediaan bahan pembuat pupuk kandang Usaha peternakan merupakan salah satu bidang yang dilakukan masyarakat. Pada pagi hingga sore

hari, hewan ternak milik masyarakat dibiarkan keluar kandang untuk agar hewa ternaknya dapat mencari pakan sendiri. Namun menjelang gelap, ternak tersebut kembali ke kandangnya.

Di dalam kandang, tim asessment menjumpai suatu potensi yang hingga saat ini masih belum dimanfaatkan. Potensi yang dimaksud adalah kotoran ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Walaupun tidak sebaik kotoran ayam, kotoran sapi tetap bisa dioleh menjadi pupuk kandang dan akan dapat memberikan masukan ntrient bagi tanaman. Agar potensi ini dapat dioptimalkan, perlu kiranya dilakukan pelatihan tentang pembuatan pupuk kandang. Untuk lebih mengoptimalkannya, sosialisasi mengenai pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk kandang juga disarankan untuk dilakukan.

Gambar 215. Kotoran ternak yang berpotensi sebagai pupuk kandang

c) Identifikasi kendala dan faktor pembatas

• Aksesibilitas yang cukup rendah Sebenarnya, desa ini sangat mudah dijangkau dari arah manapun. Namun untuk menjangkau lokasi

penanaman, aksesibilitasnya sangat rendah. Untuk sampai di lokasi penanaman mangrove, diharuskan menyeberangi sungai yang cukup lebar dan dalam. Bahkan sebagai konsekuenasi, proyek harus mengalokasikan perahu yang dimodofikasi menjadi alat penyeberangan. Aksesibilitas yang lebih rendah harus dihadapi untuk menjangkau pantai. Dalam hal ini, diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyusuri sungai hingga sampai di kaki punggungan. Kondis ini menjadi berat saat pasang terjadi karena perjalanan ke lokasi penanaman melawan arah arus air. Selain memperlambat proses atau jalannya kegiatan, tidak terhindarkan bahwa proyek harus mengalokasikan angaran khusus untuk kegiatan di lapangan.

• Keterbatasan pohon penghasil buah Di lokasi ini tidak terdapat pohon induk, baik untuk tanaman mangrove atau tanaman pantai lainnya.

Hal ini menyebabkan pengadaan benih atau bibit tidak bisa dilakukan di lokasi ini. Bibit atau benih untuk keperluan penanaman tidak terhidnarkan harus mendatangkan dari luar daerah. Selain tidak praktis dan efektif, kondisi demikian membawa konsekuenasi ata membengkaknya biaya dalam pengadaan benih/bibit. Hal ini mengingat diperlukan biaya tambahan untuk pengangkutan bibit, termasuk bongkar dan muat bibit.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Ancaman gulma dan hama Salah satu gulma yang harus diwaspadai dalam kegiatan penanaman mangrove adalah lumut sutera.

Lumut sutera ini umum dijumpai di beberapa bagian di dalam tambak. Lumut ini sangat cepat sekali tumbuh, berkembang dan menutup tanaman mangrove. Apabila tanaman tertutup total oleh lumut ini dalam waktu yang lama, tanaman akan mengalami stress dan bahkan bisa berakibat pada kematian tanaman. Beberapa warga mengatakan bahwa lumut sutera ini muncul atau tumbuh dengan sendirinya di dalam tabak. Namun beberapa warga lainnya menuturkan bahwa lumut sutera ini berasal dari luar tambak yang terbawa oleh arus air pada saat pasang surut.

Berdasarkan survey lapangan, keberadaan lumut sutera ini nyata-nyata telah mengganggu beberapa tanaman mangrove di dalam tambak. Tanpa adanya upaya pengendalian, serangan gulma ini dikuatirkan akan lebih besar sehingga mengancam kehidupan tanaman mangrove yang telah ditanam.

Gambar 216. Penanaman tanpa membuang polibag

Areal di tepi sungai memiliki ancaman yang berbeda, yaitu hama tritip. Hewan ini sangat mudah untuk berkembang dan menginfeksi tanaman mangrove dangan cepat. Tanpa pengendalian, serangan ini manjadi semakin berat dan dikuatirkan akan dapat mengganggu kehidupan dan pertumbuhan tanaman mangrove di lapangan. Kondisi demikian merupakan faktor pembatas dan kendala yang harus segera diatasi.

Gambar 217 Tanaman mangrove yang terserang oleh hama tritip

Di pantai berpasir, ancaman terbesar yang dihadapi adalah ternak sapi. Hal ini mengingat lokasi penanaman merupakan rute tetap mereka di dalam mencari pakan di lapangan. Tidak jarang mereka atau menggosok-gosokkan badannya ke pagar tanaman (batang kuda-kuda) hingga miring atau bahkan sengaja menabraknya hingga roboh. Apabila telah ditanam, maka bisa pastikan bahwa bibit- bibit tanaman pantai tidak akan luput dari bahaya. Selain merusak pagar atau menginjak tanaman, ternak juga dikuatirkan akan memakan daun atau bahkan mencabutnya hingga mati. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan upaya-upaya pengurang resiko terhadap serangan ternak.

342 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 342 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dalam substrat berpasir di areal pertambakan, tanaman mangrove memerlukan sedikit perjuangan untuk dapat hidup dan bertumbuh. Bagi propagul yang matang dan berkualitas, peluang untuk tumbuh sangatlah tinggi. Namun sebaliknya, bagi propagul yang belum cukup matang atau kurang berkualitas, mereka akan mengalami kesulitan untuk dapat bertahan. Namun tanaman mampu bertahan dan tumbuh hingga akarnya menembus lapisan pasir dan menemukan lumpur, maka pertumbuhan mangrove diyakini akan bertambah bagus. Dari aspek hydrologi, kondisi pasang dan surut dinilai sesuai dengan apa yang duperlukan tanaman mangrove untuk tumbuh dan berkembang.

Sementara di tepi sungai, kondisi substratnya jauh lebih baik dibandingkan deangan areal pertambakan yang dipenuhi oleh deposit tsunami. Namun demikian, areal ini mengalami kendala yang cukup serius yaitu ancaman hama tritip dan arus yang kuat. Kadua hal inilah yang menjadi faktor pembatas untuk penanaman mangrove di lokasi ini. Secara teknis, penanaman mengrove di areal ini masih bisa dilaksanakan namun dengan beberapa catatan dan perlakuan khusus.

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Berikut beberapa donor atau lembaga beserta jenis bantuan yang diberikan di Gampong Baro Tabel 145. Bebera[a donor dan lembaga yang teridentifikasi memberikan bantuan paska Tsunami di

Gampong BAru

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

Selesai PUGAR

1. North Link

Dana livelihood untuk membeli tanah desa

Pemetaan Desa Partisipatif, Memfasilitasi Pemuda dalam

Sedang berjalan

2. Kegiatan Olah Raga, Acara-Acara keagamaan, Study banding ke Yogyakarta tentang Kearifan Lokal

3. TDH

Pembangunan rumah

Selesai

4. OXFAM

Pengurusan administrasi pembelian tanah

Selesai

Sedang dijalankan Welands International

5. PLAN International

Suplai air bersih

Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan pemberdayaan

Sedang dijalankan

ekonomi (Green Coast Project)

Yayasan LEBAH

Penyediaan rakit sebagai sarana transportasi ke Desa

Sedang dijalankan

7. Gampong Baro lama, Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan pemberdayaan ekonomi (Green Coast Project)

8. Amerika Red Cross

Pembangunan Kantor Desa

Sedang dijalankan

9. Dinas Kesehatan

Polindes

Sedang dijalankan

10. BRR

Penghijauan pesisir

Selesai

Selain program restorasi pesisir “Green Coast phase 2” yang saat ini sedang berjalan di desa ini, telah terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya di desa ini sebagaimana dijelaskan dalam paragraf di bawah ini.

a) Penanaman swadaya masyarakat

Masyarakat desa Gampong Baru telah lama melakukan kegiatan penghijauan di lingungan desa dengan tanaman keras. Beberapa jenis tanaman yang ditanam masyarakat antara kuda-kuda Lannea coromandeleca, mimba Azedirachta indica, dan kelapa Cocos nucifera. Pohon kuda-kuda pada umumnya ditanam sebagai tanaman pagar untuk membatasi properti/lahan milik masyarakat.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Penanaman yang dilakukan selalu dilakukan dalam jarak tanam yang sangat rapat dengan teknik stek batang. Tidak jarang masyarakat menambahkan kawat berduri untuk menghindari masuknya hewan ternak ke dalam lahan mereka. Sementara pohon mimba sengaja ditanam untuk beberapa keperluan antara lain obat-obatan, hasil kayu dan sebagai peneduh. Sementara untuk tanaman kelapa, masyarakat sengaja menanaman dengan tujuan untuk mendapatkan hasil berupa buah yang bisa dijual dan menghasilkan nilai tambah bagi mereka.

Gambar 218. Tanaman pagar; hasil penanaman swadaya yang dilakukan masyarakat Pengalaman ini merupakan salah satu nilai tambah dan potensi dalam menlangsungkan kegiatan

penghijauan di sekitar kawasan pantai Desa Gampong Baru. Untuk jenis-jenis tanaman yang pernah mereka budidayakan, mereka sudah cukup menguasai. Dengan kondisi ini, maka kapasitas dan keterampilan masyarakat dalam menanam tidak perlu diragukan lagi. Walaupun demikian, pelatihan masih diperlukan untuk dapat menye,purnakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melangsungkan kegiatan lain, terutama untuk jenis-jenis tanaman yang belum pernah mereka tanam di lapangan.

b) Restorasi pesisir melalui penanaman mangrove dan tanaman pantai

Di wilayah desa Gampong Baru, saat ini sedang dilakukan kegiatan restorasi pesisir pasca Tsunami melalui proyek GC phase 2. Kegiatan ini bertajuk “Rehabilitasi Ekosistem Pesisir melalui Pengaktifan Kembali Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir yang Berkelanjutan di Gampong Baru, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar”.Secara administrasi, kegiatan ini dilekola oleh Yayasan Mitra Bahari (mitra WIIP) yang dalam pelaksanannya di lapangan berkerja sama dan memberdayakan anggota masyarakat yang tergabung dalam KT (Kelompok Tani) Hudep Teuma.

Dalam kegiatan ini, terdapat dua kegiatan utama yaitu penanaman mangrove di dalam dan sekitar tambak serta penanaman pantai berpasir dengan jenis tanaman pantai daratan antara lain Cemara Casuarina equisetifolia, Kelapa Cocos nucifera, Ketapang Terminalia cattapa dan beberapa jenis lainnya . Berdasarkan rencana yang telah dituangkan dalam kontrak kerjasama dengan GC 2, bibit yang akan ditanam dalam program ini sebanyak 50 ribu bibit. Bibit sebanyak ini diharapkan dapat merehabilitasi areal sekitar 25 hektar di pesisir Desa Gampong Baru.

(1) Penanaman mangrove

Pada saat kunjungan di lakukan, tim menjumpai bahwa penanaman mangrove telah dilakukan di beberapa petak tambak. Jenis mangrove yang ditanam adalah Rhizophora mucronata. Di sekitar lokasi penanaman, suatu persemaian mangrove telah dibangun. Persemaian ini berisi ribuan bibit mangrove yang akan ditanam di sekitar lokasi dan untuk penyulaman.

344 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 219. Persemaian mangrove di sekitar lokasi penanaman

Penanaman mangrove dilakukan di dalam tambak dengan jarak tanam yang cukup rapat yaitu 1 m x 1 m. Dengan demikian, terdapat bibit sebanyak 10.000 dalam setiap hektarnya. Penanaman dilakukan denhan cara menacapkan propagul secara langsung di lokasi penanaman. Saat lokasi penanaman dikunjungi, sebagin besar tanaman masih bertahan, sementara lainnya mengalami kematian. Berdasarkan observasi di lapangan, penanaman magrove di dalam tambak menghadapi ancaman yang cukup serius yaitu okupasi lumut sutera.

Gambar 220. Kondisi tanaman mangrove dilokasi penanaman

Selain di dalam tambak, penanaman mangrove juga dilakukan di areal sepanjang sungai yang berada di belakang tambak. Di lokasi ini, propagul mangrove ditanam secara langsung di areal yang masih kosong diantara koloni api-api. Untuk menghindari hanyutunya propagul yang ditanam, penanaman dilakukan dengan menggunakan ajir. Berdasarkan observasi di lapangan, kematian menimpa sebagian besar bibit. Namun di beberapa lokasi tertentu, dijumpai banyak tanaman yang tumbuh dengan baik. Pengamatan yang dilakukan di lokasi penanaman juga menemukan anyak tanaman yang terserang oleh hama tritip. Bahkan sebagian dari tanaman yang terserang mati.

Gambar 221. Penanaman mangrove di areal sepanjang sungai

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Rehabilitasi pantai berpasir

Kemajuan kegiatan rehabilitasi pantai berpasir masih belum sejauh kegiatan penanaman mangrove. Di lapangan, kegiatan penanaman masih belum dilakukan. Saat kunjungan dilakukan, pemasangan pagar telah dilaksanakan sementara pengadaan bibit sedang dilakukan. Pemagaran dilakukan mengingat lokasi penanaman menghadapi ancaman yang cukup serius terkait dengan ternak. Tanpa di pagar, ternak (terutama sapi) dikuatirkan akan merusak bibit-bibit yang akan ditanam. Sementara itu, bibit tanaman pantai dibeli dari suatu persemaian yang terletak di Lhok Ngah, Kabupaten Aceh Besar. Dengan menggunakan mobil, perjalanan dari persemaian ke Desa Gampong Baru ditempuh dalam waktu 1 jam. Namun untuk menjangkau lokasi penanaman, bibit masih harus diangkut dengan menggunakan perahu. Sebelum ditanam, bibit-bibit tersebut ditampung di areal teduh di sekitar lokasi penanaman. Berdasarkan infromasi dari penanggung jawab lapangan, penanaman akan dilakuka beberapa minggu mendatang disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan.

Gambar 222. Pengangkutan bibit dari persemaian menuju ke lokasi penanaman Di lokasi penanaman, titik-titik tanam telah ditentukan yaitu dengan berpedoman pada jarak tanam 5

m x 5 m. Di setiap titik tanam, ditancapkan 3-4 batang kuda-kuda sebagai pagar. Ancaman ternak sapi di lokasi penanaman dinilai cukup serius. Hal ini sesuai dengan temuan di lapangan dimana lokasi penanaman merupakan lintasan rutin ternak sapi. Bahkan di lapangan, dijumpai batang kuda- kuda yang di tancapkan sebagai pagar diterjang oleh sapi dan tumbang.

Gambar 223 Pagar yang telah di pasang di setiap titik tanam (kiri), pagar yang tumbang karena diterjang sapi (kanan)

346 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi Lahan Basah

Pantai berpasir di gampong baru yang mengalami pergesran ke arah darat. Perubahan tersebut akan membawa perubahan-perubahan lain yang terkait dengan peruhan morfologi pantai. Dengan demikian semua perncanaan yang terkait dengan wilayah tersebut termasuk keinginan masyarakat untuk menjadikan wilayah desa mereka sebagai tempat kegiatan ekonomi harus tetap memperhatikan perubahan yang telah terjadi.

Salah satu kemungkinan perubahan yang mengikuti adalah bertambahnya “salt spray” ke lahan-lahan di daratan. Kemungkinan tidak terdapat perubahan kuantitas “salt spray” tetapi, sebaran ini akan mencapai kawasan yang lebih dalam. Diduga hal ini akan mempengaruhi lahan atau tanaman- tanaman yang ada jika lahan-lahan yang ada akan dikembangkan kembali menjadi lahan pertanian seperti semula.

Rehabilitasi pantai dengan tanaman pantai yang telah direncakan dapat didesain untuk memberikan nilai tambah bagi keperluan perlindungan terhadap lahan pertanian. Pilihan tanaman dari jenis-jenis dengan tajuk pendek dan rapat, atau jenis yang sekaligus bisa berfungsi sebagai pagar dapat dilakukan.

Teknik menutup bukit pasir dengan vegetasi untuk mensabilkan gundukan pasir dapat dipertimbangkan. Dengan menggunakan tumbuhan herba merambat untuk menutupi gundukan pasir akan mencegah erosi angin yang dapat mengganggu tanaman pertanian.

Untuk mempercepat penutupan herba pada gundukan pasir dapat dicobakan teknik bola tanah liat. Dalam bola-bola tanah liat yang dicampur humus dan sedikit pupuk dimasukkan beberapa biji tanaman. Ukuran besarnya bola tanah liat bervariasi sesuai dengan ukuran biji mulai sebesar kelereng atau lebih kecil hingga sebesar bola pingpong. Kemudain bola-bola yang telah diisi biji tanaman ini diletakkan di bukit-bukit pasir. Dengan cara ini biji-biji tanaman tidak hilang atau rusak karena dimakan serangga tanah. Jika curah hujan cukup, diharapkan biji-biji tersebut akan berkecambah.

Kondisi estuary dan tambak-tambak di sekitar gampong baru banyak mengalami perubahan dan kerusakan. Tambak-tambak yang ada rata-rata tertimbun pasir dan tanggul-tanggulnya banyak yang rusak. Sedimen / pasir tidak hanya mengisi tambak-tambak tetapi juga bagian-bagian estuary. Di beberapa bagian estuary, pada saat air surut menjadi sangat dangkal yang diduga akan berpengaruh terhadap sirkulasi air antara tambak dan estuary yang berfungsi sebagai saluran pemasukan (inlet) atau pembuangan (outlet) bagi tambak.

Perubahan estuary dan kerusakan tambak yang ada memberikan kesulitan tersendiri untuk mengembalikan fungsi tambak-tambak udang. Rehabiltasi tambak yang ada memerlukan biaya yang kemungkinan besar tidak dapat ditanggung oleh pemilik tambak sendiri. Perhitungan ekonomi secara detil mungkin diperlukan untuk menjamin bahwa kegiatan perbaikan tersebut tetap layak dari segi pembiayaan. Selain itu pengamatan yang teliti atas perubahan estuary mungkin diperlukan untuk menjamin bila tambak yang ada direhabilitasi, suplai dan sirkulasi air tambak dari estuari berjalan dengan efisien.

Jika akan dilaksanakan perbaikan tambak, maka perlu diikuti dengan rehabilitasi estuary yang ada. Hal ini penting sebab estuary inilah yang akan menjadi suber air tambak. Tidak hanya untuk tambak- tambak di gampong baru, tetapi juga tambak-tambak di Neheun, Lham Nga dan Lham Ujong (saat ini sebagian tambak di ketiga kampong tersebut sudah beroperasi). Mangrove yang sejak sebelum tsunami hanya tersisa sedikit (dan semaikin sedikit atau bahkan habis setelah tsunami) harus kembali ditanam untuk membantu proses budidaya tambak. Secara ekstrim, tambak tambak rusak yang sama sekali tenggelam atau terlalu sulit dan mahal untuk diperbaiki mungkin bisa “dikorbankan” untuk memperluas areal mangrove. Tentu saja setelah diberikan kompensasi dan bantuan lain untuk pengalihan mata pencarian bagi pemiliknya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berdasarkan hasil penelitian tanah yang dilanjutkan dengan evaluasi lahan diperoleh beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:

• Pada SPT 2 (Typic Sulfaquents) pengaruh bencana Tsunami terhadap tanah dan lahan terlihat sangat jelas, baik secara fisik maupun kimiawi. Secara fisik telah terjadinya sedimentasi pada alur-alur sungai sehingga air sulit untuk dikeluarkan dan menjadi genangan. Selain itu terjadi juga perubahan struktur tanah menjadi masiv/pejal sehingga mengganggu perkembangan perakaran tanaman. Secara kimiawi telah terjadi perubahan salinitas, alkalinitas dan, kemasaman akibat oksidasi pirit.

• Pada daerah yang agak tinggi atau SPT 1 masih memungkinkan untuk ditanami tanaman sayur- suyuran seperti kacang tanah, semangka dll, akan tetapi yang mempunyai masalah keterbatasan air (hanya dapat dilakukan pada musim hujan). Disamping itu juga banyaknya ternak liar yang sering menjadi hama.

• Daerah pesisir pantai bisa dikembangkan rehabilitasi atau penghijauan dengan tanaman cemara laut, kelapa, Nimba, dll

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

Di bawah ini adalah beberapa langkah yang direkomendasikan untuk ditempuh dalam mendukung program restorasi pantai yang sedang dilakukan di lapangan.

• Pemeliharaan pasca penanaman Salah satu temuan penting yang dijumpai dilapangan adalah kegiatan pemeliharaan yang dilakukan

masih belum optimal. Adanya invasi/serangan lumut sutera menjadi salah satu bukti kurang optimalnya pemeliharaan. Di bawah ini adalah beberap jegiatan yang sebaiknya dilakukan dalam mendukung keberhasilan program restorasi.

• Pemberantasan gulma lumut sutera Pemberantasan ini bisa dilakukan dengan cara mengambil dan membuang tumbuhan ini secara

manual, baik yang menutupi tanaman maupun tidak. Sementara untuk mencegah masuknya lumut sutera dari petak lain, sangat disarankan untuk memasang jaring di titik-titik tertentu, terutama yang menghubungkan lokasi penanaman dengan sungai atau petak lain.

• Penyulaman tanaman Penyulaman dimaksudkan untuk meningkatkan prosentase tumbuh tanaman di lapangan.

Penyulaman ini dilakukan dengan cara mengganti tanaman yang mati dengan bibit baru yang sehat dan siap tanam. Berdasarkan pengamatan di lapangan, penyulaman sudah saatnya untuk dilakukan mengingat bibit untuk sulaman saat ini telah tersedia di persemaian.

• Pencegahan dan penanggulangan hama ternak Hingga saat ini, teknik atau metode yang tepat guna dalam menangulangi hama ternak masih belum

diketahui. Langkah-langkah preventif misalnya pemagaran di beberap kasus menujukkan keberhasilan, namun tidak jarang gagal di lokasi lainnya. Pemagaran ini juga berdampak terhadap membengkaknya biaya operasional lapangan karena harus melakukan pengadaan bahan pagar dan biaya pemagarannya. Pengandangan ternak nampaknya sulit dilakukan mengingat ketersediaan bahan pakan di sekitar lokasi tidak sebanding dengan jumlah ternak yang ada. Dengan melepas ternak, hewan ini diharapkan dapat mencari makanan sendiri.

Setidaknya, beberapa langkah yang dapat di jadikan alternatif dalam menanggulangi serangan ternak adalah sebegai berikut:

o Memperkuat pagar agar tidak dapat ditembus oleh hewan ternak o Memberi tambahan pagar berduri di sekeliling pagar agar ternak tidak dapat menerobos

pagar dan mengganggu tanaman di dalamnya

348 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Untuk memperlancar kegiatan pemeliharaan di atas, perlu kiranya dilakukan pengaturan dan pengroganisasian di dalam kelompok. Salah satu hal yang bisa ditempuh adalah dengan membagi kelompok menjadi beberapa regu dan memberlakukan skedul/jadwal untuk kegiatan-kegiatan di atas. Pengaturan ini sebaiknya dilakukan berdasarkan pertemuan yang dihadiri dan disepakati oleh seluruh anggota.

• Pengayaan jenis o Untuk jenis mangrove

Pengayaan jenis ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai biodiversitas lokasi sehingga areal pertambakan yang ditanami nantinya tidak akan menjadi tegakan yang homogen. Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa jenis mangrove dinilai memiliki peluang yang cukup baik di lokasi penanaman antara lain:

¾ Api-api Avicennia marina atau A.lannata: sebaiknya ditanam di sepanjang alur- alur sungai

¾ Rhizophora apiculata atau R.Stylosa : bisa ditanam di dalam tambak maupun di sepanjang alur sungai.

¾ Tanjang Bruguiera cylindrica, Bruguiere gymnorrhizha : bisa sebaiknya ditanam di sepanjang alur.

o Untuk jenis tanaman pantai Selain jenis-jenis yang telah di beli dari persemain, sangat direkomendasikan bagi pelaksana

di lapangan untuk lebih memperkaya keanekaragaman jenis tanaman yang akan ditanam di lapangan. Di bawah ini adalah beberapa jenis tanaman beberapa jenis tanaman lain yang dinilai sesuai untuk ditamam di lokasi penanaman sebagai berikut:

¾ Bintaro Cerbera manghas ¾ Putat laut Barringtonia asiatica ¾ Malapari Pongamia pinnata ¾ Pandan laut Pandanus tectorius ¾ Dan beberapa jenis tanaman pantai lainnya

• Penataan tata batas di lokasi penanaman Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda

(pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman antara lain: luas lokasi penanaman, pelaksana penanaman, jenis bibit yang ditanam, tanggal penanaman, dan beberapa informasi penting lainnya.

K. GAMPONG PAYA KAMENG

1. Profil Umum Lokasi

Secara garis besar, daerah Gampong Paya Kameng merupakan daerah dengan topografi bergelombang sampai berbukit dan bergunung-gunung. Daerah yang landai berada di dekat pantai dengan penguunaan lahan sebagai lahan tambak dan pemukiman. Di belakang pemukiman merupakan aeral pertanian, kebun atau penggembalaan ternak.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

350 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Secara administratif Gampong Paya Kameng terletak di Kemukiman Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini berada sekitar 30 Km kearah timur dari kota Banda Aceh atau dapat ditempuh selama satu jam menggunakan sarana tranportasi darat. Luas Gampong Paya Kameng 400 Ha yang terdiri dari 3 (tiga) dusun yaitu Dusun Aloe Lampoh Mamplam, Dusun Blang Setui dan Dusun Krueng Setui. Jumlah penduduk setelah Tsunami adalah 410 jiwa yang terdiri dari 214 perempuan dan 196 laki-laki. Karakteristik topografi di wilayah Gampong Paya Kameng sebelum Tsunami adalah datar di areal pemukiman dengan kemiringan 0-15 % dengan ketinggian 1-5 meter dari atas pemukaan laut.

Secara geografis Gampong Paya Kameng memiliki batas wilayah : • Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka • Sebelah Barat berbatasan dengan Gampong Ruyung • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Montasik • Sebelah Timur berbatasan dengan Gampong Beurandeh

Secara umum tidak terdapat perubahan mencolok pada ekosistem lahan basah di Paya Kameng. Perubahan yang terjadi adalah pelebaran muara sungai atau terputusnya penghalang pasir sehingga di beberapa tempat aliran sungai yang semula sejajar pantai atau laguna-laguna tua menjadi terhubung dengan laut.

Tambak menjadi komponen dominant ekoistem lahan basah di Paya Kameng. Jika dihitung keseluruhan di keseluruhan cekungan antara perbukitan di dekat Ujong Batee hingga mendekati muara Kruang Raya, tambak udang yang ada diperkirakan mencapai ± 150 ha. Dengan luas yang demikian, pengelolaan secara baik sangat diperlukan karena diperkirakan pengaruh kepada lingkungan sekitarnya cukup besar.

2. Tipologi Lahan Basah

Gambar 224. Tipologi lahan basah di Gampong Paya Kameng

Keterangan : 1 = pantai berpasir; 2 = estuary; 3 = tambak

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Ekosistem lahan basah di Gampong Paya Kameng didominasi oleh tambak-tambak ikan/udang. Tipe pantainya merupakan pantai berpasir. Sungai besar yang mengalir di sekitar desa Paya Kameng adalah Krueng Raya.

Ekosistem lahan basah di Gampong Paya Kameng meliputi:

E : Pantai berpasir. Pantai berpasir di Desa Paya Kameng merupakan bagian dari pantai berpasir yang terbentang lebih

dari 5 km mulai dari selepas Ujung Batee di sebelah barat laut sampai di muara Krueng Raya di sebelah timur.

F : Estuary Estuary di desa Paya kameng adalah muara sungai Krueng Raya. Terbentuknya penghalang pantai,

menciptakan adanya aliran air yang kurang lebih sejajar dengan pantai dan terhubung dengan muara sungai. Aliran sejajar ini menjadi saluran masuk (inlet) bagi tambak-tambak. Saat ini, di beberapa titik, penghalang pantai ini terputus dan aliran air terhubung dengan laut. Di saluran-saluran ini masih terdapat sedikit komunitas mangrove.

1 : Aquaculture Tambak-tambak ini menempati hampir semua dataran alluvial yang ada di Paya Kameng. Sebagain

besar tambak belum dioperasikan kembali karena kesulitan modal.

3. Profil Vegetasi

Paya Kameng merupakan salah satu desa yang terkena dampak Tsunami 2004 lalu. Dibandingkan dengan desa lain di pesisir aceh lainnya, dampak bencana di desa ini tergolong tidak terlalu berat. Namun demikian, gelombang Tsunami yang menghantam pesisir desa ini telah mengakibatkan kerusakan di sebagian besar pantai dan sekitarnya. Gelombang Tsunami telah merusak hampir seluruh tegakan mangrove yang dahulu tumbuh di sepanjang sungai, tepat di belakang pantai.

Gambar 225. Sisa-sisa tegakan Berembang yang hancur oleh gelombang Tsunami Pada beberapa titik di sepanjang pantai, terdapat beberapa bagian yang selamat dari kehancuran,

salah satunya adalah tegakan kelapa. Sementara itu, wilayah pemukiman termasuk wilayah yang relatif aman dari dampak Tsunami.

352 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Empat tahun berselang pasca Tsunami, vegetasi di pesisir desa Paya Kameng telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Beberapa koloni cemara telah tumbuh kembali secara alami di beberapa titik. Sementara itu, beberapa jenis tumbuhan herba dan semak-pun juga telah mulai terlihat di pantai Paya Kameng.

Dalam kunjungan lapangan ini, tim assessment melakukan pengamatan khusus untuk memperoleh gambaran profil vegetasi di pesisir Paya Kameng. Ilustrasi di bawah ini adalah profil umum vegetasi di pesisir Paya Kameng berdasarkan observasi yang dilakukan lapangan.

Keterangan:

A : Pantai berpasir terbuka B : Tegakan kelapa sekunder (terkena dampak Tsunami) C : Formasi Pes Caprae D : Koloni baru Cemara E : Mangrove sekunder (rusak) F : Tegakan mangrove muda artifisial G : Kebun kelapa H : Vegetasi sekitar desa

Gambar 226. Profil melintang tipe vegetasi di pesisir desa Paya Kameng

Paragraf di bawah ini adalah gambaran umum dari masing-masing tipe vegetasi yang dijumpai di pesisir Paya Kameng.

• Pantai berpasir terbuka Meskipun diistilahkan terbuka, bukan berarti pantai ini benar-benar kosong tak bervegetasi. Istilah ini

mengacu pada beting (pantai) berpasir yang sebagian besar arealnya terbuka. Penutupan vegetasi sangatlah minim, diperkirakan kurang dari 5 %. Dari observasi yang dilakukan di lapangan, jenis vegetasi yang berhasil tumbuh di kawasan ini hanyalah dua jenis yaitu Ipomea pes-caprae dan Sesuvium spp. Berdasarkan observasi di lapangan, faktor utama yang menghambat suksesi dan dinamika populasi vegetasi di areal ini adalah kondisi pantai yang masih labil serta diperparah dengan ancaman gelombang pasang yang sesekali menggenangi areal ini. Dijumpainya herba gelang air Sesuvium spp merupakan indikator biologis bahwa air laut sesekali menggenangi areal ini. Adanya pengaruh air laut di lokasi ini berpotensi menyebabkan salinitas tanah tinggi dimana tanaman pantai dikuatirkan todak akan mampu beradaptasi. Di sisi lain, labilnya pantai akan menyulitkan bibit yang ditanam untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Mengingat kondisi demikian, areal ini tidak direkomendasikan sebagai lokasi penanaman dalam program penghijauan pantai.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 227. Kondisi umum penutupan vegetasi di pantai berpasir terbuka

• Tegakan kelapa sekunder Dalam hal ini, istilah di atas mengacu pada suatu tegakan kelapa yang telah lama berada di pantai,

dimana pada saat bencana Tsunami terjadi mengalami kerusakan ringan namun masih dapat bertahan hidup hingga sekarang. Kondis penutupan didominasi oleh pohon kelapa yang rata-rata telah berumur tua. Berdasarkan penuturtan wasyarakat setempat, produktifitas kelapa sudah jauh berkurang, terlebih pasca Tsunami. Dari observasi lapangan, diketahui bahwa biodiversitas vegetasi di lantai tegakan tergolong miskin. Hanya beberapa jenis tumbuhan herba saja yang tumbuh di lantai hutan antara lain Ipomea pes-caprae, Sesuvium spp, dan beberapa herba lainnya. Dijumpainya tumbuhan gelang air Sesuvium spp mengindikasikan bahwa lantai tegakan ini sesekali masih terkena pasang air laut. Namun demikian, tingkat genangan dan intensitasnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan pantai berpasir terbuka. Hal ini terlihat dari kondisi penutupan dimana di lantai tegakan kelapa jauh lebih tinggi di bandingkan dengan pantai berpasir terbuka.

Gambar 228. Kondisi tegakan kelapa sekunder di pantai desa Paya Kameng

• Formasi Pes Caprae Tepat di belakang sungai, dijumpai suatu hamparan seluas kurang dari 1 Ha dengan topografi yang

cukup datar. Areal ini memiliki penutupan vegetasi hingga 80% dengan dominasi herba galaran Ipomea pes-caprae. Dominasi herba ini sangat tinggi sehingga areal ini diklasifikasikan sebagai

formasi Pes-caprae. Selain jenis herba ini, dijumpai terdapat juga Kacang laut Canavalia maritima, suatu jenis herba yang menyerupai Ipomea pes caprae. Selain kedua jenis tersebut, beberapa jenis tumbuhan lainnya juga ditemukan antara lain Cymbopogon calcicola, teki laut Ischaemum muticum, Cyperus stoloniferius, Fimbristylis cymosa, dan Biduri Calatropis gigantea.

354 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 229. Kondisi umum vegetasi (kiri), herba merambat Ipomea pes-caprae Formasi ini dinilai memiliki daya dukung lingkungan yang cukup memadai untuk kegiatan rehabilitasi

pantai. Penutupan vegetasi dari berbagai jenis herba mengindikasikan bahwa areal ini telah stabil serta bebas dari air laut pasang.

• Koloni alami cemara Masih dalam satu hamparan dengan formasi PC, dijumpai suatu koloni yang didominasi oleh cemara

pantai Casuarina equisetifolia. Atas dasar hal inilah maka koloni ini diklasifikasikan secara tersendiri. Di sekitar koloni ini, dijumpai beberapa jenis tumbuhan lain seperti Dodonaea spp, Scaevolla taccada, Calatropis gigantea, Ipoema pes-caprae, Canavalia maritima dan beberapa jenis tumbuhan lainnya.

Gambar 230. Kondisi umum koloni cemara di pesisir desa Paya Kameng • Mangrove sekunder

Yang dimaksud mangrove sekunder adalah mangrove yang mengalami kerusakan berat sebagai dampak dari gelombang Tsunami. Berdasarkan pengamatan di lapangan, masih dijumpai 3 pohon besar jenis Berembang Sonneratia spp di bagian timur hamparan, tepatnya di tepi sungai. Pohon- pohon tersebut diperkirakan memiliki tinggi 15-20 meter. Selain jenis ini, di jumpai pula due jenis mangove lainnya yaitu Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata. Berbeda dengan jenis berembang, kedua jenis Rhizophora ini berukuran jauh lebih kecil, dimana tingginya tidak lebih dari 5 meter. Populasi mangrove yang tersisa di lokasi ini sangat terbatas, diperkirakan kurang dari 20 individu.

Gambar 231. Kondis mangrove sekunder di sepanjang sungai Desa Paya Kameng

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Mangrove muda artifisial Istilah ini secara spesifik mengacu pada areal pertambakan yang telah ditanami mangrove pasca

Tsunami. Dari observasi lapangan yang di cros chek dengan informasi dari masyarakat, seluruh kegiatan rehabilitasi (penanaman mangrove) di areal pertamabakan desa ini dilakukan melalui proyek BRR. Seluruh proses dalam pengadaan bibit dan pengangkutan bibit, semuanya dilakukan oleh BRR. Untuk merealisasikan penanaman ini, BRR bekerja sama dengan pemilik tambak. Bentuk kerjasamanya adalah pemberian bibit kepada pemilik tambah beserta dana untuk melaksanakan penanaman tersebut. Hampir seluruh jenis mangrove yang ditanam adalah Rhizophora mucronata. Hanya sebagian kecil saja yang berjenis R. Apiculata. Dari pengamatan lapangan, jenis tumbuhan yang ditemukan masih sangat minim. Selain kedua jenis tersebut, dijumpai beberapa jenis tumbuhan lain yang antara lain Avicennia marina dan Sesuvium spp.

Gambar 232. Kondisi di areal mangrove artifisial

• Kebun Kelapa Kebun kelapa terhampar di belakang desa Paya Kameng, berbatasan dengan areal pertambakan. Di

kebun ini, hampir seluruh pohon berumur tua dengan ukuran tinggi antara 10- 15 meter. Dengan jarak tanam teratur dan cukup rapat (sekitar 5 m x 5 m), kebun ini memanjang hingga ke perbatasan desa.

Penutupan vegetasi di lantai kebun dikategorikan sedang, diperkirakan antara 60%-70% dengan dominasi herba. Turnera ulmifolia dan Catharanthus spp adalah dua jenis herba yang paling umum dijumpai di lantai kebun. Namun demikian, beberapa jenis herba lainnya juga dapat dijumpai antara lain Ipomoea pes-caprae, Mimosa pudica dll.

Gambar 233. Kondisi umum vegetasi di kebun kelapa

• Vegetasi sekitar desa Vegetasi sekitar desa meliputi tumbuhan yang ada di pekarangan, kebun halaman, kanan kiri jalan

serta lokasi lain yang ada di desa. Sebagian besar vegetasi di sekitar desa merupaan tanaman budidaya yang secara sengaja ditanam penduduk untuk menambah pendapatan atau pemenuhan kebutuhan dapur. Namun demikian, berbagai spesies yang tumbuh secara alami juga dapat dijumpai dengan mudah antara lain Mimosa pudica, Calatropis gigantea, Turnera ulmifolia, Catharanthus spp, dll.

356 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berdasarkan pengamatan vegetasi, jenis tanaman yang umum dijumpai di sekitar pekarangan atau sekitar rumah adalah tanaman budidaya antara lain Kelapa Cocos nucifera, Belimbing wuluh Averhoea bilimbi, pepaya Carica papaya, Musa spp., Physalis minima, Carissa carandas, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Sementara di kanan kiri jalan, beberapa jenis pohon yang umum dijumpai antara lain Lannea caromandolica, Asam jawa Tamarindus indica, Gamal Glirichidia sepium, Mahoni Swietenia mahagoni, dan beberapa tanaman lainnya.

Gambar 234. Kondisi umum vegetasi di sekitar desa

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan berlangsung pada tanggal: 15 November 2007. Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: 3 jenis mammalia, 22 jenis burung, dan hanya satu jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Kera-ekor panjang Macaca fascicularis, Garangan Ekor-panjang Herpestes semitorquatus dan Babi hutan Sus sp., merupakan tiga jenis mammalia yan teramati pada pengamatan di daerah ini.

Jenis Garangan yang teramati berjumlah dua individu, masing-masing satu individu dewasa dan satu individu anakan di sekitar kebun kelapa yang berbatasan dengan areal hutan perbukitan di Desa Paya Kameng

b) Avifauna

Dari 22 jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini, 6 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Dua jenis diantaranya juga termasuk dalam kategori App. II-CITES, yaitu: Elang Bondol Haliastur Indus, dan Elang-ular bido Spilornis cheela.

c) Herpetofauna

Hanya satu jenis herpetofauna yang teramati di daerah ini pada saat pengamatan, yaitu: Biawak- Varanus salvator.

5. Tanah dan Pertanian

Secara fisiografi tanah, Gampong Paya Kameng tergolong kedalam dataran rendah (lowland) yang terbentuk oleh proses marin, yaitu proses pengendapan (konstruktif) dan diklasifikasikan sebagai dataran aluvial marin, yaitu dataran dalam proses pembentukan lahannya banyak dipengaruhi oleh proses pengendapan bahan dari laut dan sebagian dari dataran yang dibawa oleh erosi. Lahan mempunyai ketinggian 0–5 m dpl. Pada bagian Punggungan mempunyai kemiringan lereng 1–3 % dan pada Cekungan 0 -1 %. Bahan tanahnya terdiri dari campuran pasir, liat, lumpur dan krikil.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi tanah di lapangan yang ditunjang dengan hasil analisa tanah di laboratorium Balai Penelitian tanah Bogor. Tanah-tanah di lokasi penelitian hanya terdiri dari sau tipe tanah yaotu Typic Psammaquents, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

• Karakteristik Tanah: berpasir, dalam, agak salin, kapasitas tukar kation sangat rendah, kejenuhan basa tinggi, drainase cepat. (Gleisol Eutrik)

• Penyebaran. Satuan peta ini terdapat pada dataran pantai dengan bentuk wilayah datar agak cembung, lereng 1-3 persen.

• Tata guna lahan. Penggunaan lahan sebagian besar berupa tambak dan kebun kelapa • Potensi lahan. Pada bagian sepanjang pantai dan rawa belakang pantai, secara umum tanah-

tanahnya tidak sesuai (N) untuk pengembangan pertanian dengan faktor pembatas, kondisi tanah berpasir, dan potensi sulfat masam namun masih bisa diusahakan untuk tambak dan kebun kelapa

• Rekomendasi. Lokasi survei disarankan untuk lahan rehabilitasi dan perbaikan konstruksi tambak. Rehabilitasi pantai dengan tanaman khas pantai sepeti cemara, waru, dan kelapa, tetapi sebelum tanaman dewasa harus diperlihara dengan penyiraman di musim kemarau dan dijaga dari ternak sapi. Untuk pengembangkan pertanian lebih intensif bisa saja dilakukan pada wilayah dataran yang berbatasan dengan perbukitan.

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa dan Geografis

Proporsi pengunaan lahan Desa Payah Kameng sebelum Tsunami yaitu* • Perbukitan/pengunungan dan hutan sekunder 301,1 Ha • Pemukiman seluas 19,46 Ha • Lahan tambak dan pesisir seluas 24,16 Ha • Lahan persawahan seluas 19,46 Ha • Lahan perkebunan seluas 39,29 ha • Lahan untuk fasilitas umum seluas 0,31 Ha • Lahan komersial seluas 0,17 Ha • Lahan rekreasi di pinggir pantai seluas 0,31 Ha • Lahan perkebunan umum seluas 1,89 Ha

* Sumber : Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Masyarakat Aceh (LPPMA), 2006

Sebelum tsunami mayoritas masyarakat Gampong Paya Kameng bekerja sebagai petani palawija terutama komoditas cabe merah. Usaha pertanian tersebut didukung oleh adanya sungai yang melewati Gampong Paya Kameng yang berhulu di perbukitan selatan Paya Kameng dan bermuara di Selat Malaka. Pekerjaan masyarakat Gampong Paya Kameng lainnya yaitu petambak, buruh bangunan, pedagang dan nelayan. Kerusakan lahan dan kehilangan modal usaha akibat Tsunami menyebabkan beberapa penduduk beralih mata pencaharian menjadi buruh bangunan pada proyek- proyek perumahan atau membuka kedai kopi yang membutuhkan modal usaha relatif lebih kecil dan pendapatan yang diperoleh kontinyu setiap harinya.

358 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 358 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(1) Populasi

Berdasarkan Potensi Desa, Badan Pusat Statistika total populasi penduduk Gampong Paya Kameng pada tahun 2003 adalah 332 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 170 jiwa atau 51% dan perempuan 162 jiwa atau 49%. Data tahun 2005 menunjukan adanya penurunan populasi sebesar 5% atau menjadi 318 jiwa. Informasi dari Kheucik Paya Kameng menyebutkan bahwa penduduk yang meninggal akibat Tsunami kurang lebih sebanyak 45 orang. Peningkatan populasi penduduk Paya Kemeng terjadi pada tahun 2007 sebesar 29% dengan total populasi 410 jiwa dan jumlah kepala keluarga (KK) pun meningkat dari tahun 2005 ke tahun 2007 sebesar 16 %. Hal tersebut sangat umum terjadi yang dikarenakan konflik danmenikah lagi.

Tabel 146. Populasi penduduk Gampong Paya Kameng dan Kecamatan Masjid Raya tahun 2003 dan 2005

Jumlah KK

Laki-laki Perempuan Total (ind/ km2)

Gampong Paya Kameng

Kecamatan Masjid Raya

2003 5,259 5,232 10,491 280 2,294 2005 5887 5594 11481 N/A

Peningkatan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dari tahun 2005 ke tahun 2007 di Paya Kameng berbeda cukup signifikan masing-masing 40% untuk laki-laki dan 19% untuk perempuan seperti ditunjukan pada grafik di bawah ini.

Gp. Paya Kameng

(j k

Kec. Masjid Raya

d u Laki-laki di Paya Kameng d n Perempuan di Paya Kameng

Gambar 235. Pertumbuhan penduduk Gampong Paya Kameng dan Kecamatan Masjid Raya Tren perubahan jumlah penduduk Gampong Paya Kameng menurun dari tahun 2003 ke tahun 2005

dan meningkat pada tahun 2007. Kondisi ini berbeda dengan kondisi penduduk Kecamatan Masjid Raya secara umum yang meningkat sebesar 10% dari tahun 2003 ke tahun 2005 yang disebabkan adanya relokasi penduduk dari Kecamatan Baitussalam.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Agama utama di Gampong Paya Kameng adalah Islam dan berdasarkan informasi dari beberapa penduduk mereka tidak pernah mendengar bahwa ada penduduk Paya Kameng yang beragama selain Islam. Etnis utama penduduk Paya Kameng adalah Aceh dan sebagian kecil penduduk keturunan Jawa dan Batak.

Tabel 147. Agama dan Etnis Penduduk Gampong Paya Kameng Tahun 2003 dan 2005 Tahun

Etnis Utama 2003 Islam

Agama Utama

Etnis

Aceh 2005 Islam

Multi Etnis

Aceh 2007 Islam

Multi Etnis

Multi Etnis

Aceh

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Sebelum Tsunami Gampong Paya Kameng terkenal sebagai salah satu desa penghasil cabe merah di Kabupaten Aceh Besar. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani cabe yang diselingi dengan pertanian sayuran. Pekerjaan lainnya yaitu tambak udang yang dikombinasi dengan tambak bandeng, sebagian kecil berprofesi sebagai nelayan tangkap dan buruh di Pelabuhan Malahayati. Ritme kombinasi kegiatan-kegiatan tersebut bergantung dengan keadaan musim seperti disajikan pada tabel berikut

Tabel 148. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Paya Kameng sebelum Tsunami

Jenis Pekerjaan

Bulan

(sebelum Tsunami) dimulai dari yang paling

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des penting

Kebun cabe √ Panen an

Persiap

Tanam

√ Panen Persiapan, tabur biji

Tanam √ √

tanam

Kebun sayuran Panen

X X X jumlah

Panen Persiap an Tanam

√ Panen Tanam

kecil

Tambak udang Tebar

√ Panen - Persiap an Tambak bandeng

√ Panen Tebar √

√ Persiap √ √ √ Panen

Nelayan Timur

Musim Timur Buruh pelabuhan

Musim Barat (kendala melaut)

√ √ √ Kebutuhan Kredit

Pola pengkombinasian mata pencaharian untuk bidang pertanian bila dilihat dari kalender kegiatan mata pencaharian seperti pada Tabel 148 dapat diketahui bahwa petani tidak memiliki pendapatan pada bulan Mei dan Juni dimana pemenuhan kebutuhan sehari-hari dilakukan dengan memanfaatkan sayuran yang ditanam walau masih terlalu muda dan tabungan hasil panen sebelumnya. Pada bulan Oktober petani membutuhkan modal yang cukup besar untuk memulai bertani cabe. Pemenuhan kebutuhan modal tersebut dapat melalui simpanan dari panen sebelumnya atau pinjaman dari agen cabe.

Pada bulan Maret, Juni dan Juli petambak tidak memiliki pendapatan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dilakukan dengan menjaring udang liar di tambak. Modal yang digunakan untuk setiap siklus produksi berasal dari simpanan pada panen sebelumnya yang disimpan dalam bentuk emas ataupun pinjaman dari toke.

360 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Musim Barat yang pada umumnya terjadi pada bulan Maret sampai dengan Juli merupakan kendala bagi nelayan dalam melaut. Pada musim ini angin sangat kencang dan ombak tinggi sehingga aktivitas melaut hampir sama sekali tidak dilakukan, aktivitas nelayan hanya dilakukan pada daerah pinggir pantai dengan memasang jaring atau pukat pantai. Sebagian kecil nelayan berprofesi sebagai buruh pelabuhan saat musim Barat. Aktivitas sebagai buruh di pelabuhan dapat dilakukan sepanjang musim atau sepanjang tahun. Namun demikian bukan berarti pekerjaan sebagai buruh adalah pekerjaan yang tetap dengan penghasilan yang tetap pula tetapi sangat bergantung dengan jumlah kapal yang masuk ke pelabuhan. Tak jarang buruh pelabuhan sama sekali tidak mendapatkan hasil bila kapal yang masuk pelabuhan sedikit karena harus berbagi pekerjaan dengan buruh lainnya.

(a) Pertanian

Pertanian yang berkembang di Paya Kameng adalah pertanian palawija dengan menanam cabe dan sayuran. Lahan pertanian berada di daerah perbukitan sekitar 3km dari bibir pantai dimana setiap petani meiliki lahan masing-masing tidak ada yang bekerja sebagai buruh di perkebunan petani lainnya. Sejak tahun 1970 sawah hutan di Gampong Paya Kameng telah diubah menjadi kebun cabe. Selain itu pembukaan hutan untuk berkebun jiga dilakukan dengan membakar hutan. Penanaman cabe tahun pertama tidak diperlukan pemupukan sedangkan penanaman pada tahun seterusnya diperlukan pemupukan. Pupuk yang digunakan biasanya adalah N, P K. Pestisida sangat jarang digunakan kecuali ada serangan kutu putih dan penyakit bercak coklat seperti terbakar pada daun. Penanaman cabe dimulai pada awal musim hujan dan panen ujung musim hujan. Ancaman saat musim hujan adalah buah cabe menjadi busuk. Penanaman cabe saat musim panas tidak mengalami kendala karena adanya suplai air dari sungai. Namun setelah tahun 2000 mengalami kendala suplai air karena air sungai surut sehingga petani melalui kelompok tani membeli mesin sedot air untuk digunakan oleh anggota kelompok.

Pola pemasaran hasil cabe di Gampong Paya Kameng yaitu: (1) petani langsung ke pasar Banda Aceh, biasanya hasil panen yang didapat sangat banyak mencapai satu bak mobil pick-up, petani tersebut tergolong cukup mapan; (2) petani jual ke agen, melalui cara ini petani tidak tahu harga cabe per kilogram di pasaran. Petani tinggal menerima uang dari agen setelah cabe dijual oleh agen ke Banda Aceh; (3) petani mempercayakan ke broker untuk menjual cabe ke Banda Aceh. Petani menerima kuitansi penjualan dari broker dan petani memberikan fee kepada broker tersebut.

Pasar Banda Aceh

Petani cabe

Agen

Broker

Gambar 236. Skema pemasaran cabe masyarakat Gampong Paya Kameng

Berdasarkan wawancara dengan beberapa responden cara ketiga inilah yang paling disukai karena petani mengetahui dengan pasti harga pasar dan melalui cara ini petani merasa diperlakukan sebagaimana layaknya pemilik kebun yang mengupah/ memanfaatkan jasa orang lain untuk menjualkan hasil kebunnya. Pola penjualan kedua biasanya diterapkan bila hasil panen sedikit atau petani memiliki hutang modal kepada agen. Pinjaman modal kepada agen dilakukan saat memulai siklus tanam. Petani yang memiliki hutang modal harus menjual cabenya kepada agen dimana ia meminjam modal. Bila harga cabe turun dan dihargai kurang dari Rp 3000,-/ kg maka hutang modal tidak dapat dilunasi dari hasil panen. Biasanya hutang tersebut akan semakin bertambah karena petani akan meminjam kembali modal kepada agen tersebut untuk memulai siklus tanam selanjutnya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pemenuhan kebutuhan modal berkebun dilakukan dengan meminjam kepada agen. Berdasarkan wawancara belum pernah petani meminjam uang ke bank untuk pemenuhan modal usaha. Demikian juga halnya dengan menyimpan uang. Uang disimpan dalam bentuk tunai atau membeli perhiasan emas. Pinjaman kepada agen hanya dipenuhui untuk penggunaan sebagai modal usaha tidak untuk kebutuhan keluarga

Data Potensi Desa (Podes BPS) seperti disajikan pada Tabel 149 menyebutkan bahwa pada tahun 2003, 65% dari penduduk Paya Kameng bermata pencaharian sebagai petani dan pasca Tsuanami tahun 2005 baru 10% dari penduduk yang kembali bertani dan sedikitnya lima orang petani saat ini beralih profesi membuka kedai kopi. Komoditas yang ditanam saat ini adalah sayuran dan petani yang telah memiliki modal sedang menggarap lahan untuk menanaman cabe. Modal yang digunakan untuk pengembangan pertanian pasca Tsunami ini sebagian besar didapat dari pekerjaan sebagai buruh bangunan dari proyek-proyek perumahan pasca Tsunami. Peralatan pertanian yang sangat dibutuhkan saat ini adalah handy traktor dan seperangkat mesin sedot air. Sampai saat ini masyarakat belum menerima bantuan berupa modal ataupun peralatan pertanian padahal dari sisi lahan tidak ada kerusakan berarti yang diakibatkan Tsunami.

Tabel 149. Komposisi penduduk yang bertani dan Jumlah Keluarga Miskin di Paya Kameng

Pekerja % Pekerja Tahun

KK % KK bergerak

bergerak di

pada pada pertanian

Jumlah

Mata

Pengusaha Pengusaha pertanian

kegiatan di kegiatan

Pertanian Pertanian

10 70 76.1 Lain-lain N/A N/A

Jumlah pengusaha pertanian sebelum Tsunami mencapai 75% hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar petani Gampong Paya Kameng tergolong mampu (tidak miskin). Berdasarkan informasi dari responden, konflik yang terjadi di Aceh tidak berpengaruh pada kegiatan pertanian dan penjualan hasil kebun. Jumlah keluarga miskin pasca Tsunami meningkat sekitar 40% dan saat ini pertanian bukanlah mata pencaharian utama penduduk Gampong Paya Kameng.

(b) Budidaya Tambak

Budidaya tambak yang dikembangkan adalah jenis udang windu Paneus monodon pola tradisional dengan padat tebar 1 ekor/m 2 . Komoditas lain yang dikembangkan adalah budidaya bandeng. Di

Gampong Paya Kameng belum ada budidaya kepiting, berdasarkan hasil wawancara masyarakat ingin mengembangkan kepiting keramba tapi belum berpengalaman dan juga adanya kekhawatiran alasan keamanan. Luas tambak secara keseluruhan adalah sekitar 24 ha dan yang baru beroperasi pasca Tsunami adalah 10 ha.

Benur udang didapatkan dari hatchery Balai Benih Air Payau Dinas Kelautan Perikanan di Ujung Batee atau sekitar 45 menit perjalanan darat. Benur yang digunakan berumur post larva PL 15-16. Tambak yang dikelola biasanya adalah milik pribadi dan sebagin kecil yang bekerja di tambak orang lain. Pembagian keuntungan antara pemilik dan penjaga tambak adalah total hasil penjualan setelah dikurangi modal dibagi 30% untuk penjaga dan 70% untuk pemilik tambak. Disamping itu penjaga tambak juga menerima uang makan berkisar Rp 150.000/bulan.

Petambak Gampong Paya Kameng memiliki asosiasi petambak tingkat desa. Kelompok ini beranggotakan 21 orang dan terbentuk sebelum Tsunami. Kegiatan kelompok petambak antara lain ronda di sekitar tambak secara bergirilan sebelum panen raya, membantu panen anggota kelompok lainnya (bila panen dalam jumlah besar). Dalam panen ini anggota yang membantu tidak diberikan upah melainkan disediakan komsumsi dan mendapat sedikit udang hasil panen sebagai ucapan terimakasih. Ketua kelompok petambak ini adalah Bapak Mochtar yang baru diangkat sebagai Kheuchik (kepala desa) Gampong Paya Kameng.

362 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Penjualan hasil tambak udang di Gampong Paya Kameng melalui jalur sebagai berikut:

Pasar Peunayong

Petambak

Banda Aceh Pengumpul

di Medan Gambar 237. Skema penjualan hasil tambak di Gampong Paya Kameng

Perbandingan harga pada masing-masing tingkat pasar untuk udang windu ukurang 1kg sebanyak 30 ekor (size 30) yaitu dijual ke pedagang pengumpul beli di tambak Rp 30.000,-/kg, harga di pasar Peunayong Banda Aceh adalah Rp 55.000,-/kg dan harga di Medan Rp 62.000,- Pada umumnya petambak Gampong Paya Kameng menjual hasil panen kepada pengumpul langsung ketika panen dilakukan. Biasanya pengumpul dipanggil oleh pemilik tambak ketika panen akan dilakukan. Cara ini ditempuh oelh petambak karena tidak mau beresiko dalam pengiriman dan penjualan di pasar Peunayong serta kurangnya sarana penangan pasca panen.

(c) Perikanan Tangkap

Pekerjaan sebagai nelayan sebelum Tsunami hanya dijalankan oleh sebagian kecil penduduk Paya Kameng yaitu sekitar 14% dari total penduduk yang berprofesi sebagai nelayan. Perahu yang biasa digunakan adalah jenis motor tempel dioperasikan oleh lima orang per perahu. Aktivitas melaut yang dijalankan adalah tipe sehari pulang atau one day fishing. Jenis alat tangkap yang digunakan adalah Pukat Kantong yang terbagi menjadi dua (panjang lampara dan pukat pantai), Pukat Cincin, Jaring Insang dan berbagai macam jenis alat pancing.

Jenis ikan yang biasa didapatakan yaitu ikan-ikan pelagis seperti tongkol (Eutynnus spp) dan cakalang (Katsuwonus pelamis). Hasil tangkapan tersebut dijual ke TPI Krueng Raya. Pola bagi hasil yang diterapkan yaitu hasil setelah dikurangi biaya operasional dibagi 1/3 bagian untuk pemilik boat dan 2/3 untuk pekerja atau nelayan yang melaut. Pejualan hasil tangkapan biasanya dilakukan oleh pemilik boat yang juga ikut melaut. Pola bagi hasil seperti ini sudah diterapkan sejak dahulu.

c) Fasilitas Fisik Desa

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Data Podes BPS menyebutkan bahwa pada tahun 2003 terdapat total 75 unit rumah yang terdiri dari

18 rumah permanen dan 57 rumah non permanen. Hasil kunjungan ke Gampong Paya Kameng terlihat bahwa pada umumnya rumah penduduk sebelum Tsunami terbuat dari papan. Informasi dari kheuchik menyebutkan bahwa sebelum tsunami di Gampong Paya Kameng terdapat 94 unit rumah dan akibat Tsunami rumah yang hancur sebanyak 53 unit, 19 unit rusak ringan dan 22 unit masih utuh. LSM dan donor yang berperan dalam pembangunan rumah yaitu LSM Salam Aceh membangun 32 unit dan BRR sebanyak 53 unit. Fasilitas kamar mandi/ MCK di setiap rumah merupakan bantuan dari OXFAM.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 150. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Paya Kameng tahun 2003 dan 2005

uk Jumlah Rumah

air untu

Drainase Non-

Lampu Jal

Fasil

Permanen Permanen

Permanen

Sumber Air Bersih

Bahan b

2003 18 57 24 Yes 82 18 No Well Well Pribadi Minyak tanah Acak

2005 N/A N/A N/A Yes 70,7 0 No Pipe N/A Pribadi Minyak tanah N/A

Akses listrik yang digunakan masyarakat saat sebelum Tsunami berasal dari Perusahaan Listrik Negara PLN dan sekitar 18% menggunakan genarator diesel (genset). Mudahnya akses listrik masuk Gampong Paya Kameng karena lokasi yang berada di sepanjang jalan utama Aceh Besar. Namun demikian tidak ada fasilitas lampu jalan di sepanjang jalan desa.

Air bersih yang digunakan untuk kegiatan rumah tangga berasal dari sumur galian di setiap rumah. Namun pada musim kemarau antara bulan Maret sampai dengan Juli masyarakat kesulitan mendapatkan suplai air bersih sehingga harus mengambil dari desa Ladong yang berjarak sekitar 4km. Pasca Tsunami masyarakat mendapat suplai air bersih dari LSM Islamic Relief yang ditampung di tangki air yang diletakan pada tempat-tempat yang strategis seperti di meunasah (mushala).

(2) Pendidikan

Para responden yang diwawancarai memiliki tingkat pendidikannya minimal SMP dan hal tersebut bukanlah suatu kesengajaan memilih responden berdasarkan tingkat pendidikan. Hal ini merupakan suatu kondisi yang cukup baik mengingat jarak sekolah terdekat harus ditempuh sejauh 5km. Data Podes BPS seperti disajikan pada Tabel 151 di bawah ini menyebutkan bahwa Gampong Paya Kameng tidak memiliki fasilitas pendidikan formal. Satu-satunya fasilitas pendidikan yang ada adalah pesantren yang merupakan pendidikan keagamaan yang sifatnya informal.

Tabel 151. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Gampong Paya Kameng

Akademi/ TK SD SMP SMA Menengah Universitas

Sekolah Teknik

kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

Swasta Negeri terde Jarak

- - 5 - - 5 - - 5 - - 6 - - 5 - - 40 0 0 4 0 0 4.0 0 0 4.0 0 0 4.0 0 0 27.5 0 0 40

Kondisi bangunan pesantren yang terbuat dari papan saat ini mengalami kerusakan yang disebabkan usang dimakan usia dan akibat Tsunami. Pendidikan informal lainnya yang ada di Paya Kameng yaitu keterampilan membuat kue dan menjahit yang diselenggarakan oleh PMI sebagai salah satu bentuk pemberdayaan perempuan pasca Tsunami.

364 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Secara umum tidak ada kendala transportasi atau akses menuju Gampong Paya Kameng karena letak Desa yang lalui oleh jalan utama Aceh Besar berupa jalan aspal. Sama seperti daerah-daerah Aceh lainnya kendaraan umum yang beroperasi di desa ini adalah mobil angkutan yang dikenal dengan istilah labi-labi dan angkutan becak motor. Beroperasinya angkutan becak motor di wilayah Krueng Raya diduga ada kaitannya sebagai akibat dari Tsunami, karena modal yang dibutuhkan untuk membeli satu unit labi-labi cukup tinggi maka masyarakat untuk sarana usahanya lebih memilih membeli sepeda motor yang dimodifikasi menjadi becak motor. Disamping itu bantuan beberapa donor dan pemerintah untuk pengadaan becak motor diduga kuat mempengaruhi jumlah becak motor yang beroperasi di Aceh.

Tabel 152. Akses dan sarana transportasi umum Gampong Paya Kameng

Kendaraan Umum

Jalan Akses Jenis Tahun

Desa kendaraan

Motor kendaraan roda 4

Kendaraan

Becak

Roda Empat

Ojeg

motor

Andong Sampan boat Umum Utama

2003 Aspal Ya

Ada

Tidak Ada Ada Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada Roda empat

2005 Aspal Ya

Ada

Tidak Ada Ada Tidak

Roda empat

Tidak Ada

Tidak Ada dan becak

Ada

motor

(4) Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan maupun bidan desa tidak terdapat di Gampong Paya Kameng, Puskesmas terdekat terdapat di Krueng Raya berjarak 5km dari Desa. Rumah sakit umum dan apotik terdekat terdapat di Banda Aceh berjarak 30km dari desa.

Tabel 153. Fasilitas Kesehatan di Gampong Paya Kameng Tahun 2003 dan 2005

Jumlah Jarak Tahun

Rumah Terdekat Kemudahan

Terdekat Kemudahan Sakit

Rumah

Jarak Terdekat Kemudahan Puskesmas/

Jarak

Pustu/

akses Umum

Kartu Sehat adalah asuransi kesehatan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial (Depsos) bagi penduduk yang masuk kategori miskin berdasarkan kriteria BPS dan Depsos. Pemilik Kartu Sehat mendapatkan fasilitas kesehatan gratis dari istansi-instansi kesehatan milik pemerintah (Pustu,Puskesmas dan Rumah Sakit). Penduduk miskin yang tidak memiliki Kartu Sehat dapat mendapatkan Kartu Tanda Penduduk Miskin (KTPM) dari Desa yang disahkan oleh Kecamatan. Fasilitas yang didapat dari KTPM berupa potongan biaya berobat dari instansi kesehatan milik pemerintah. Persentase keluarga yang memiliki kartu sehat sebelum dan sesudah Tsunami meningkat sebesar 55%. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya jumlah keluarga miskin pasca Tsunami dan program kerjasama dar Depsos dan Departemen Kesehatan dalam mendata ulang kelurga miskin untuk mendapatkan Kartu Sehat.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 154. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005

Keluarga Memiliki

Kartu Persentase

Keluarga

Wabah penyakit yang pernah melanda

Keluarga Tahun

Memiliki

Persentase

Malnutrisi Peserta Penduduk

Tanda Keluarga

Balita Memiliki

Miskin KTPM (%) KB

Sehat

Diare Campak Demam berdarah Malaria ISPA (KTPM)

(KS)

KS (%)

2003 23 32 16 22 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 9 2005 80

87.0 80 87.0 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A N/A

Penyakit diare, campak, demam berdarah, malaria dan infeksi saluran pernapasan tidak bernah mewabah di Gampong Paya Kameng baik sebelum maupun sesudah Tsunami. Jumlah peserta KB pada tahun 2003 sebanyak 9 orang atau hanya 5% dari total populasi perempuan dan tidak terjadi malnutrisi atau gizi buruk pada balita.

(5) Fasilitas Keagamaan

Seluruh penduduk Gampong Paya Kameng menganut agama Islam dengan fasilitas ibadah yang ada yaitu mushala desa atau yang dikenal dengan sebutan meunasah. Sebelum Tsunami fungsi meunasah tidak hanya digunakan untuk kegiatan keagamaan tapi sering digunakan untuk rapat Desa dalam jumlah forum yang besar. Dikarenakan saat ini Kantor Desa rusak akibat Tsunami jadi rapat- rapat banyak dilakukan di meunasah.

(6) Sarana Komunikasi

Sarana komunikasi telepon, kantor pos dan internet tidak terdapat di Paya Kameng. Kantor pos terdekat terdapat di Krueng Raya yang berjarak 4km. Jumlah keluarga yang memeiliki televisi sebelum Tsunami 35% dari total 72kk yang ada. Sebagian kecil penduduk menggunakan fasilitas telepon genggam untk berkomunikasi.

Tabel 155. Sarana komunikasi anatra tahun 2003 dan 2005 di Gampong Paya Kameng

Wartel Internet memiliki

memilki TV

366 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 366 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(1) Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan desa Gampong Paya Kameng sama seperti desa-desa lain di Prop NAD dimana desa dikepalai oleh kepala desa yang disebut Keuchik. Kheucik dibantu oleh kepala urusan pemerintahan, pemberdayaan dan kesejahteraan. Secara garis besar masing-masing kaur memiliki tugas sebagai berikut:

• Kepala urusan pemerintahan: membantu kheuchik menjalankan pemerintahan Desa, membuat peraturan Desa

• Kepala urusan pemberdayaan: membantu kheuchik mengkoordinasi kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan seperti karang taruna, kelompok pengajian serta kegiatan-kegiatan pemberdayaan

• Kepala urusan kesejahteraan: membantu kheuchik memfasilitasi penyalurkan bantuan kepada fakir miskin, anak yatim dan mengatur masalah keamanan desa

Tuha Peut

Keuchik

Imum Meunasah

Bendahara

Sekretaris

Kaur Pemerintahan

Kaur Pemberdayaan

Kaur Kesejahteraan

KaDus Alu Lamplo

KaDus Krueng Setui Mamplam

KaDus Blang Setui

Gambar 238 Struktur Organisasi Pemerintahan Gampong Paya Kameng

Bapak Syamsudin Sabi yang saat ini menjabat kheucik Paya Kameng telah menjalankan tugas sebagai kheucik selama delapan tahun atau dua periode pemerintahan. Tahun 2004 merupakan akhir masa jabatannya namun karena bencana Tsunami maka Bupati di seluruh Aceh mengeluarkan keputusan mengangkat kembali kheucik yang ada untuk menjalankan pemerintahan Desa sampai diadakan pemilihan kheucik selanjutnya. Bila kheuchik yang bersangkutan sudah tiada maka jabatannya digantikan oleh wakil kheucik. Sehari setelah wawancara ini dilakukan tepatnya pada tanggal 16 November 2007 akan dilantik kheucik Paya Kameng yang baru hasil pemilihan penduduk desa secara langsung. Jabatan kheucik merupakan jabatan politis jadi siapa saja dengan profesi apapun bila sesuai dengan kriteria dapat menjalonkan diri sebagai kheucik.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dalam susunan pemerintahan Gampong Paya Kameng, terdapat posisi rangkap antara kepala urusan dan kepala dusun. Ketiga kepala dusun masing-masing merangkap sebagai kepala urusan. Berdasarkan informasi dari Kheucik Syamsudin hal tersebut dilakukan untuk efektivitas pekerjaan dan efisiensi tunjangan jabatan. Tunjangan yang diterima hanya tunjangan sebagai kepala urusan sedangkan jabatan sebagai kepala dusun tidak mendapatkan honor.

Tugas sebagai kheucik yang dirasakan oleh Bapak Syamsudin beserta aparatnya meningkat setelah Tsunami. Adapun tugas yang dirasakan cukup memerlukan konsentrasi lebih adalah mengkoordinir bantuan, pendataan jumlah penduduk, pendataan penduduk untuk pembangunan rumah, kelompok umur, jumlah kelurga miskin dan anak yatim piatu. Penyediaan data menegalami kesulitan karena keluar masuknya penduduk ke Gampong Paya Kameng. Untuk meringan tugas-tugas pemerintahan desa, dikarenakan kantor desa rusak akibat Tsunami, salah seorang penduduk meminjamkan rumahnya untuk dijadikan kantor desa. Saat ini kantor desa dilengkapi satu unit komputer dan printer yang sangat membantu kegiatan administrasi. Staf kantor desa yang dapat menggunakan komputer hanya sekretaris desa dan bendahara sehingga kompilasi file dan dokumen-dokumen dalam bentuk digital sangat bergantung kepada keduanya.

Tuha Peut bagian dari struktur desa merupakan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bertugas mengawasi dan memberikan masukan terhadap kinerja lembaga eksekutif di tingkat desa yang terdiri dari empat unsur : (1) Agama/ Ulama; (2) Pendidikan/ Cerdik Pandai; (3) Pemuda; (4) Pendidikan. Di tingkat Kemukiman Krueng Raya jabatan Tuha Peut terdiri dari delapan unsur yang disebut sebagai Tuha Lapan. Unsur Tuha Lapan dan pemerintahan tingkat kemukiman yang berhubungan langsung dengan penduduk Paya Kameng ditunjukan pada gambar berikut:

Kepala Mukim

Panglima (Pengaturan

Aria Peukan

Sekretaris

Pawang

Imum Mukim

Laot Pasar)

Perikanan Laut)

Gambar 239 Unsur Tuha Lapan dan Aparat Kemukiman yang berhubungan langsung dengan penduduk Paya Kameng

Unsur Seunebo dan Kejrung Blang tidak berhubungan dengan aktivitas keseharian penduduk karena di Gampong Paya Kameng tidak terdapat sawah. Panglima laot Lhok Krueng Raya kurang dikenal oleh masyarakat Paya Kameng kecuali mereka yang berprofesi sebagai nelayan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian. Pengaturan hari pasar oleh Aria Peukan setiap hari Rabu setelah sepuluh tahun belakangan ini kurang begitu terasa. Hal ini diduga ada kaitannya dengan akses pasar atau penyedia kebutuhan sehari-hari yang mudah dijangkau, baik didalam desa, di pasar Krueng Raya maupun untuk pergi ke pasar Banda Aceh. Kepala Mukim dan Imum Mukim sangat dikenal oleh penduduk karena seringnya interaksi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan minimal untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad, Tahun Baru Islam, Idul Fitri, Idul Qurban dan Pengajian untuk Peringtan Tsunami setiap tahunnya.

368 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Kelompok Sosial Kemasyrakatan

Sebelum Tsunami masyarakat Paya Kameng telah membentuk kelompok-kelompok. Kelompok yang terbentuk ini salah satunya kelompok yang berdasarkan kesamaam profesi. Kelompok tersebut yaitu kelompok tani dan kelompok petambak. Kelompok tani terbentuk sekitar tahun 2000 dimana saat itu petani cabe sedang mengalami kesulitan suplai air ketika musim kemarau. Kelompok terbentuk untuk membeli mesin sedot air untuk digunakan secara bersama-sama oleh anggota kelompok. Kelompok petambak terbentuk atas dasar perlunya kerjasama ketika musim panen akan tiba. Pada saat itu keamanan tambak perlu dijaga lebih ketat dari biasanya dan ketika panen dibutuhkan sumberdaya yang mengerti cara memanen udang dengan baik. Selain kelompok berdasarkan profesi, sebelum Tsunami juga telah terbentuk kelompok pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak dan kelompok pemuda semacam karang taruna.

Setelah Tsunami muncul kelompok-kelompok yang terbentuk sesuai dengan kebutuhan dari kegiatan yang dilaksanakan donor di Gampong Paya Kameng. Kelompok yang terbentuk diantaranya kelompok pelatihan menjahit dan pelatihan membuat kue yang difasilitasi PMI, kelompok rehabilitasi pesisir yang difasilitasi WIIP dan LPPMA. Berikut disajikan kelompok-sosial kemasyarakatan yang ada di Gampong Paya Kameng

Tabel 156. Kelompok sosial kemasyrakatan di Gampong Paya Kameng yang masih aktif

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Kelompok Tani Bekerjasama pada musim tanam tanaman palawija -

2. Kelompok petambak Bekerjasama untuk keamanan dan penangan panen - tambak

3. Kelompok pengajian

Wirid dan pengajian rutin

4. Kelompok Menjahit dan

PMI Membuat Kue

Pelatihan menjahit dan membuat kue

5. Kelompok Simpan Pinjam

Pengelolaan dana bergulir

P2KP Departemen Pekejaan Umum

6. Kelompok Ibu-ibu PKK

Insidentil bila ada kegiatan dari PKK tingkat

Kas Desa

Kecamatan

7. Kelompok Rehabilitasi

Rehabilitasi ekosistem mangrove dan pengelolaan

WIIP dan LPPMA

modal usaha bergulir

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Pembagian peran dalam kegiatan mata pencaharian sangat terlihat pada kegiatan tambak dan perikanan tangkap. Perempuan tidak pernah melaut juga tidak terlibat dalam penangan ikan sampai ikan tersebut dijual. Perempuan terlibat dalam pengolahan ikan untuk konsumsi konsumsi rumah tangganya. Semua aktivitas perikanan tangkap dilakukan laki-laki mulai dari persiapan perahu, penjaualan hasil tangkapan, bagi hasil penjualan dan pengelolaan modal. Penghasilan yang didapat suami dari setiap melaut akan diberikan kepada istri setelah dikurangi ± Rp 20.000,- untuk keperluan rokok dan minum kopi di kedai. Pengelolaan keuangan keluarga sepenuhnya dikelola oleh istri baik dana untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah dan dana taktis simpanan keluarga.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kegiatan budidaya tambak hampir sepenuhnya dilakukan lak-laki mulai dari persiapan lahan, tebar benih, pemeliharaan dan panen. Beberapa perempuan ada yang terlibat saat memanen udang yaitu mengumpulkan udang-udang sisa panen yang tidak terambil ketika panen utama. Udang sisa yang terkumpul tersebut digunakan untuk kosumsi keluarga sendiri.

Sama halnya dengan keluarga nelayan pengelolaan keuangan oleh perempuan hanya berkutan untuk keuangan kebutuhan kelurga. Pengelolaan modal usaha sepenuhnya di kelola oleh suami.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Berdasarkan informasi dari responden belum pernah ada perempuan yang menjabat sebagai aparat desa atau sebagai anggota Tuha Peut. Padahal kesempatan tersebut terbuka buat siapa saja tanpa memandang jenis kelamin.

Dalam rapat-rapat desa yang sifatnya umumnya perempuan selalu diundang untuk hadir. Perempuan bebas menyalurkan aspirasinya dan biasanya perempuan akan aktif berbicara bila ada suatu hal yang berkaitan langsung dengan perempuan. Hal-hal yang membahas mengenai perkembangan desa secara umum biasanya kurang menarik perhatian perempuan.

(3) Pemberdayaan Perempuan

Kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan yang selama ini pernah dilakukan adalah pelatihan pembuatan kue dan menjahit. Akses mendapatkan modal usaha dapat diperoleh melalui kegiatan simpan pinjam yang difasilitasi oleh Dinas Pekerjaan Umum melalui Program P2KP. Selain memperoleh akses untuk mendapatkanmodal usaha, pengurus kegiatan simpan pinjam ini pun sebagian besar berasal adalah perempuan penduduk ampong Paya Kameng sendiri. Secara tidak langsung program ini juga turut memberdayakan perempuan dalam berorganisasi, administrasi dan mengelola badan usaha simpan pinjam.

7. Prospek kegiatan rehabilitasi

a) Penilaian lahan di lokasi penanaman

Dalam survey di lapangan, tim mengunjungi beberapa titik di pantai untuk mengidentifikasi lokasi- lokasi yang prospektif untuk rehabilitasi. Dalam survey ini, beberapa aspek diamati, selain juga berbagai potensi dan kendala yang ada. Dibawah ini adalah beberapa hasil penilaian lapangan di beberapa lokasi di Pantai Paya Kameng.

• Areal terbuka labil Areal ini mengacu pada hamparan bersubstrat pasir yang terhampar di barisan depan pantai.

Pengamatan yang dilakukan di lapangan menjumpai bahwa pantai berpasir ini masih labil. Hal ini secara jelas terlihat dari masih terjadinya erosi angin yang menyebabkan sering berpindahnya masa pasir dari satu bagian ke bagian lain. Kondisi ini senada dengan temuan dilapangan dimana di lokasi ini sangat minim akan vegetasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa dari segi substrat, areal ini tidak sesuai sebagai lokasi penanaman. Dari segi penutupan lahan, areal ini masih sangat terbuka. Diperkirakan bahwa penutupan lahan di areal ini hanya sekitar 5%. Penutupan vegetasi hanya oleh satu jenis yatu Ipomoea pes-caprae yang terhampar garis belakang hamparan.

Selain permasalahan substrat, areal ini juga dihadapkan pada suatu ancaman masuknya air asin ke lokasi ini, terutama saat pasang air laut. Dari observasi di lapangan dan informasi dari masyarakat, areal ini selalu terkena air asin. Masuknya air asin ke areal ini jelas akan membahayakan bibit-bibit yang akan ditanam. Kondisi ini lebih menegaskan bahwa areal ini tidak sesuai untuk kegiatan rehabilitasi.

370 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 240. Kondisi di lapangan; areal terbuka yang labil

• Formasi Pes-caprae Formasi ini berada di belakang sungai dengan luas sekitar 1-2 hektar. Penutupan di areal ini cukup

tinggi, diperkirakan berkisar antara 80%-90%. Tingginya penutupan ini mengindikasikan bahwa kondisi substrat sudah cukup stabil. Penutupan lahan di areal ini dikuasasi oleh Ipomoea pes-caprae dan Canavalia maritima. Dari pengamatan di lapanga, titik yang masih minim penutupan berada di sepanjang tepi areal yang berbatasan dengan sungai. Diprediksi bahwa areal sepanjang tepi ini masih terpengaruh oleh air sungai. Walaupaun tidak sering namun sifat air yang payau menjadi faktor penghambat tumbuh dan berkembangya vegetasi terestrial.

Terkait dengan kondisi di lapangan, tim menilai bhawa Formasi pes-caprae ini sangat ideal sebagai lokasi penanaman untuk tanaman pantai daratan seperti Cemara laut Casuarina equisetifolia, Bintaro Cerbera manghas, Kuda-kuda Lannea coramandolica, Ketapang Terminallia cattapa, Putat laut Barringtonia asiatica, Nyamplung Callophyllum innophyllum dan beberapa jenis tanaman pantai lainnya.

Gambar 241. Formasi Pes-caprae direkomendasikan sebagai lokasi rehabilitasi

b) Identifikasi potensi

• Persepsi positif masyarakat Hasil interview dengan beberapa anggota masyarakat dan aparat desa menunjukan persepsi yang

cukup positif tentang program-program rehabilitasi pesisir. Kondisi ini merupakan salah satu potensi yang secara signifikan diyakini sebagai salah satu bentuk dukungan masyarakat atas program restorasi pesisir.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Aksesibilitas yang tinggi Berdasarkan survey lapangan, memiliki tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi. Calon lokasi

penanaman sangat mudah dijangkau oleh masyarakat. Dari desa, calan lokasi penanaman diperkirakan hanya berjarak 400 meter, dapat ditempuh hanya dalam waktu + 15 menit dengan berjalan kaki. Mobil masih bisa manjangkau tepi areal namun tidak bisa melewati pematan tambak. Pematang tambak hanya memungkinkan dilewati oleh sepeda motor. Tingginya aksesibiitas ini merupakan salah satu aspek positif yang dpat mendukung efektifitas kegiatan rehabilitasi.

c) Identifikasi kendala dan faktor pembatas

• Keterbatasan luasan areal prospektif Berdasarkan penilaian daya dukung di lapangan, luasan lokasi yang dinilai prospektif untuk

penanaman sangatlah terbatas yaitu sekitar 2 hektar. Dengan jarak tanam ideal 5 m x 5 m, maka areal ini hanya mampu menampung 800 bibit. Apabila target kegiatan rehabilitasi jauh lebih besar diatas daya tampug areal ini, maka perlu dilakukan pencarian lokasi lain yang prospektif. Namun bila lokasi lain tidak tersedia, maka sebaiknya dilakukan pengalihan lokasi rehabilitasi, misalnya penanaman di sekitar desa (halaman, kebun, kanan kiri jalan, lahan kosong desa).

• Ancaman air pasang Meskipun tidak tergolong berat, tim menilia bahwa air pasang masih menjadi ancaman bagi program

penghijauan di formasi Pes-caprae. Terkait dengan hal ini, penanaman sebaiknya tidak dipaksakan di areal sepanjang tepi sungai. Penanaman sebaiknya difokuskan pada areal telah ditumbuhi oleh vegetasi.

• Ancaman hama ternak Di lapangan, tim menjumpai jejak ternak yang melintas di calon lokasi penanaman. Pendamping

survey juga menambahkan bahwa lokasi ini merupakan jalur lintasan ternak rutin. Namun dari jejak yang ada dan nformasi dari masyarakt, jumlah ternak yang melintas sangat sedikit. Dengan demikian, ancaman hama ternak ini tidak terlalu parah. Namun demikia, sangat dirasa perlu untuk melakukan berbagai langkah pencegahan untuk meminimalkan gangguan ternak ini.

d) Hasil analisis mengenai prospek rehabilitasi

Dari hasil analisis berbagai kendala, pembatas serta potensi di pantai Desa Paya Kameng, tim survey menilai bahwa hanya ada satu lokasi yang sesuai untuk rehabilitasi yaitu di Formasi Pes-caprae. Berdasarkan kondisi substrat dan tutupannya, lokasi ini sangat sesuai untuk ditanami berbagai jenis tanaman pantai daratan antara lain Cemara Casuarina equisetifolia, Nyamplung Callophyllum inophyllum, Bintaro Cerbera manghas, Ketapang Terminalia cattapa dan beberapa jenis tanaman pantai lainnya. Namun demikian perlu ditekankan bahwa penanaman sebaiknya tidak dilakukan di sepanjang tepi areal yang berbatasan langsung dengan sungai. Hal ini untuk menghindari kegagalan penanaman karena terkena air pasang. Selain itu, berbagai langkah juga perlu dipikirkan untuk mengurangi resiko dari ancaman ternak.

372 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Tabel 157. Donor atau implementator beserta jenis bantuan yang diberikan di Gampong Paya Kameng

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. ADB

Agro input tambak

Penyusunan proposal oleh kelompok tambak

2. BRR Satker Pesisir

Penanaman mangrove

Selesai

3. BRR

Rumah permanen 44 unit

Selesai

4. BRR Satker Perikanan

Rehabilitasi tambak

Selesai

5. Departemen Pekerjaan Simpan pinjam dan pelatihan ketrampilan perempuan Sedang berjalan Umum P2KP

6. Dinas Kesehatan

Polindes

Sedang berjalan

7. AIPRD

Pembangunan kantor kepala desa

Sedang berjalan

8. Islamic Relief Palang

Sedang berjalan Merah Indoneisa

Air bersih Pelatihan menjahit dan membuat kue

9. Mercy Corp

Perbaikan meunasah

Sedang berjalan

10. OXFAM

Sarana MCK

Selesai

11. Salam Aceh

Rumah semi permanen 32 unit

Selesai

12. Wetlands International Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan pemberdayaan Sedang berjalan dan LPPMA

ekonomi (Green Coast Project)

Di Gampong Paya Kameng tidak terdapat kegiatan konstruksi yang akan mengganggu ekosistem lahan basah secara langsung. Kegiatan konstruksi berupa pembangunan perumahan dan balai desa yang sedang dalam perencanaan membuka kesempatan kerja yang sifatnya sementara untuk penduduk gampong. Disamping itu juga memeberikan dampak positif berupa penambahan skill pendirian bangunan.

Selain memberikan pengaruh positif kepada perekonomian warga setempat, kegiatan pertambakan juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan setempat. Secara umum dampak negative yang potensial dari kegiatan aquaculture terhadap lingkungan adalah kehilangan habitat yang sensistif secara ekologi, penurunan kualitas air dan penurunan daya dukung lingkungan aquatic (New, 2003). Contoh praktek-praktek dalam aqua culture yang berpotensi merugikan antara lain penggunaan pestisida yang seringkali tidak terkontrol sehingga dapat berakibat negative pada lingkungan sekitar. Kemungkinan pengaruh negative lainnya berasal dari penumpukan bahan organik sisa budidaya.

Berdasarkan informasi dari masyarakat yang dilanjutkan dengan observasi di lapangan, satu-satunya kegiatan yang terkait dengan rehabilitasi di Paya Kameng adalah penanaman mangrove. Penanaman ini dilakukan secara intensif di dalam tambak milik masyarakat. secara intesnif lapangan yang di cros chek dengan informasi dari masyarakat, seluruh kegiatan rehabilitasi (penanaman mangrove) di areal pertamabakan desa ini dilakukan melalui proyek BRR. Seluruh proses dalam pengadaan bibit dan pengangkutan bibit, semuanya dilakukan oleh BRR. Untuk merealisasikan penanaman ini, BRR bekerja sama dengan pemilik tambak. Bentuk kerjasamanya adalah pemberian bibit kepada pemilik tambah beserta dana untuk melaksanakan penanaman tersebut.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 242. Penanaman mangrove intensif oleh BRR di areal pertambakan.

Berdasarkan observasi lapangan, sebagian besar mangrove yang ditanam masih hidup dan tumbuh dengan baik. Namun demikian, dijumpai juga sebagian mangrove yang mati atau stress. Mangrove yang hidup pada umum berada di dalam tambak. Sedangkan mangrove yang mati banyak dijumpai di areal di sepanjang sungai. Tinggi dan kuatnya arus pasang surut diperkirakan menjadi faktor penyebab matinya tanaman mangrove. Sementara itu, sebagian bibit terlihat masih bertahan hidup namun berada dalam kondisi tertekan. Sebagian besar dari tanaman ini adalah yang ditanam di tanah berpasir yang kering.

Dalam kegiatan ini, tim menjumpai beberapa kendala serta kelemahan dalam pengelolaan kegiatan penanaman mangrove di desa ini. Salah satu diantaranya adalah mekanisme kegiatan dimana kegiatan penanaman dilakukan secara keproyekan. Dalam hal ini, pemilik tambak hanya di beri bibit mangrove serta upah untuk menanamnya ke dalam tambak masing-masing pemilik. Sementara pemeliharaan dan komitmen atas kegiatan tanam menanam ini tidak jelas. Sayang sekali bahwasanya kesepakatan ini menjamin keamanan bibit setelah ditanam. Tidak ada jaminan bahwa mangrove yang telah ditanam tidak akan diganggu atau ditebang di kemudian hari. Apabila suatu saat pemilik tambak ingin mengfungsikan kembalai tabak, maka mangrove yang telah ditanam tersebut akan menjadi korban.

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

Upaya untuk melakukan rehabilitasi komunitas mangrove dan menjadikannya sebagai biofilter bagi kawasan budidaya (tambak) layak untuk dipertimbangkan. Dengan memanfaatkan kanal-kanal dan saluran air untuk ditanami mangrove, maka fungsi biofilter mangrove dapat diperoleh meskipun untuk mendapatkan manfaat yang benar-benar optimal diperlukan area biofilter yang cukup besar.. Seperti diketahui, Buangan air dari tambak udang dapat dicirikan oleh adanya peningkatan padatan terkarut dan tersuspensi sebagai akibat produksi limbah di dalam tambak (Beveridge et al. 1991; Pruder 1992; Boyd and Tucker 1998 dalam Macintosh et al., 2002 ).

Suatu studi yang dimuat dalam Macintosh et al, 2002, menyatakan bahwa keuntungan yang didapatkan dari penggunaan biofilter pada kegiatan aquaculture adalah pengurangan BOD dan TSS (termasuk phytoplankton) yang ada pada saluran buangan tambak.. Keuntungan lain yang potensial adalah berkurangnya kemungkinan adanya bau yang kurang sedap (off flavor) pada hasil panenan yang disebabkan karena blooming bluegreen algae. (Macintosh et al., 2002). Dalam hal ini, penggunaan mangrove sebagai biofilter secara efisien mampu menurunkan padatan tersuspensi dalam air buangan tambak (Gautier, Amador, Newmark, 2001).

• Penanaman tanaman pantai di Formasi Pes-caprae Sebagaimana disebutkan dalam hasil analisis, penanaman hanya direkomendasikan di Formasi Pes-

caprae. Semakin banyak jenis bibit yang ditanam, akan semakin baik bagi program restorasi pesisir.

374 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Oleh karena itu, sangat dianjurkan bagi pelaksana lapangan untuk menanam sebanyak-banyaknya jenis tanaman pantai. Di bawah ini adalah beberapa jenis tanaman yang dinilai sesuai dengan kondisi di formasi Pes-caprae.

o Casuarina equisetifolis

= menggunakan bibit siap tanam

o Terminalia cattapa

= mengunakan bibit siap tanam

o Callohyllum inophyllum

= menggunakan bibit siap tanam

o Cerbera manghas = menggunakan buang atau bibit siap tanam o Pandanus tectorius

= menggunakan bibit siap tanam atau tunas alami o Hibiscus tiliaceus

= menggunakan stek batang/cabang

o Lannea corambolica

= menggunakan stek batang/cabang

Penanaman sebaiknya tidak dilakukan di tepi sepanjang areal yang berbatasan dengan sungai karen rawan terhadap air pasang.

• Pencarian alternatif lokasi lain untuk penanaman tanaman pantai Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa lokasi yang memungkinkan untuk rehabilitasi

sangatavialbale hanya sekitar 2 hektar. Dengan demikian maka lokasi ini hanya mampu menampung bibit maksimal 800 bibit (dengan asumsi jarak tanam 5 m x 5 m). Terkait dengan hal ini, sangat disarankan untuk mencari lokasi lain di pesisir paya kameng sebagai alternatif lokasi tambahan. Di bawah ini adalah beberapa kriteria yang sebaiknya dipenuhi dalam memilih lokasi penanaman.

o Substrat tanah berpasir atau tanah mineral o Topografi datar o Kondisi substrat stabil o Telah ada vegetasi yang tumbuh, terutama jenis Ipomea pes caprae o Terbebas dari pengaruh air laut o Dekat dengan masyarakat/desa o Aksesibilitanya tinggi

o Bebas dari ancaman hama (ternak) Alangkah antisipasi juga harus dipersiapkan jika ternyata lokasi alternatif tidak ditemukan. Salah satu

opsi yang perlu dipertimbangkan adalah dengan melakukan penanaman si sekitar desa. Dengan demikian, maka kegiatan rehabilitasi dibagi menjadi dua yaitu: rehabilitasi di Formasi Pes-caprae dan penanaman di sekitar desa. Berbeda dengan rehabilitasi pantai, jenis tanaman yang sebaiknya dipilih untuk penanaman di sekitar desa adalah jenis yang memiliki manfaat serbaguna antara lain Mangga Mangifera indica, Belimbing wuluh Averhoea bilimbi, Kemiri Aleurites mouluccana dan beberapa jenis lainnya.

• Peningkatan kapasitas kelompok Upaya-upaya dalam meningkatkan kapasitas masyarakat harus ditempuh agar masyarakat memiliki

kemampuan yang memadai dalam mengimplementasikan kegiatan di lapangan. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan antara lain pemberian training/pelatihan, pendampingan atau studi banding. Tata waktu kegiatan ini harus di sinkronisasi dengan jadwal kegiatan di lapangan. Misalnya: pelatihan pembibitan harus dilakukan sebelum persemaian di buat, pelatihan penanaman harus dilakukan sebelum penanaman dilakukan.

• Penataan batas lokasi penanaman Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda

(pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

L. KEUDE ACEH

1. Profil Umum Lokasi

Desa Keude Aceh adalah salah satu desa pantai yang terletak di pemukiman padat Kota Lhokseumawe di tepi perairan Teluk Pusong. Secara administratif Desa Keude Aceh merupakan bagian dari Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Desa Keude Aceh dibagi menjadi 4 dusun yaitu Dusun Rawa Sakti, Arun, Kupula, dan Dusun Harapan. Perjalanan menuju Desa Keude Aceh ditempuh selama ± 8 jam dari Banda Aceh dengan perjalanan darat. Transportasi dengan menggunakan pesawat terbang dapat ditempuh dari Medan ke kota Lhokseumawe. Dari Kota Lhoseumawe ke Desa Keude Aceh dapat ditempuh selama satu jam perjalanan darat.

Desa Keude aceh, terletak di Teluk Pusong, Kota Lhokseumawe. Merupakan desa dengan pemukiman yang padat. Kota Lhokseumawe sendiri memiliki bentang lahan yang unik. Kota tersebut berada di tepi pantai yang justru sedikit lebih tinggi dibanding cekungan di belakangnya. Secara sekilas kota tampak terpisah dari daratan utama oleh suatu saluran seperti sungai yang sejatinya bukan sungai karena menghubungkan laut dengan laut. Saluran itu secara otomatis menjadi bagian lebih rendah dari kota, dan akan tergenangi air pasang. Akibatnya pembuangan air dari kota terhambat.

Kondisi tersebut memunculkan ide untuk membuat reservoir untuk menampung air buangan dari kota dan membuangnya ke laut pada saat surut. Ide tersebut sudah dalam proses tender untuk pengerjaannya. Secara sederhana prinsip kerja dari fasilitas yang akan dibangun adalah dengan memperdalam badan air teluk Pusong dengan menggali sedalam 0.5m pada lahan seluas 60 Ha. Teluk akan ditutup dengan tanggul permanen dan air akan diatur dengan sebuah pintu air. Karena teluk yang telah didalamkan akan lebih rendah posisinya dibanding permukaan tanah kota, maka diasumsikan secara alami air akan turun dari saluran kota ke dalam teluk yang dibendung pada saat air laut surut. Kajian lebih detail tentang kegiatan ini disajikan dalam laporan terpisah.

376 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Tipologi Lahan Basah

Teluk Pusong merupakan lahan basah penting di Keude Aceh khususnya dan Lhokseumawe umumnya. Teluk Pusong merupakan areal kerja nelayan sampan dan pencari kerang. Selain itu, di sekitar teluk Pusong juga terdapat tambak dan fasiltas budidaya ikan dengan sistem karamba.

Secara ekologi, Teluk Pusong juga merupakan lahan basah penting. Pada saat surut, dataran Lumpur yang ada menjadi tempat mencari makan bagi berjenis-jenis burung air. Gosong pasir di depan teluk Pusong juga menjadi lokasi mencari makan burung pantai bermigrasi. Komunitas mangrove yang masih tersisa sedikit menjadi lokasi bersarang bagi burung-burung air.

G : Intertidal mudflat / dataran lumpur pasang surut Dataran lumpur pasang surut merupakan bagian terbesar dari kompleks lahan basah di Teluk

Pusong.

I : Intertidal Forested wetlands / Lahan Basah Pasang Surut Berhutan Meskipun tidak merupakan area yang luas, komunitas mangrove di Teluk Pusong masih ada. Jenis

yang banyak ditemukan adalah Avicennia marina dan beberapa dari jenis Avicennia alba. Jenis jenis dari genus Rhizophora agak jarang ditemukan.

1 : Aquaculture Di desa Keude Aceh areal tambak hanya sedikit. Meskipun demikian sebenarnya tambak menempati

area yang luas di wilayah kota Lhokseumawe. Selain budidaya di tambak juga dilakukan budidaya dengan karamba atua jaring apung.

3. Profil Vegetasi

Secara administrasi, desa Keude Aceh termasuk dalam wilayah kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Desa ini terletak di sebelah utara dataran lumpur (mud flat) yang secara langsung bermuara ke laut. Dari situs resmi Pemerintah Kota Lhokseumawe, jumlah penduduk di desa ini sebanyak 3004 jiwa.

Sebagian besar penutupan lahan didominasi oleh pemukiman, sarana prasarana umum, dan berbagai jenis infrastruktur lainnya. Hal ini menandakan bahwa desa ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sebagai dampak dari perkembangan ini, sebagian besar areal di sekitar pesisir pantai telah dikonversi untuk peruntukan lain terutama areal pemukiman dan pertambakan.

Desa Keude Unga memiliki tegakan mangrove terutama di sekitar dataran lumpur (mud flat), sepanjang anak sungai dan saluran air buatan. Beberapa jenis tumbuhan mangrove yang dijumpai antara lain Avicennia marina, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Diantara semua jenis mangrove tersebut, Api-api Avicennia marina merupakan jenis yang paling dominan yaitu hingga 80% dari tegakan total. Jenis ini dengan mudah dijumpai di tepi mud flat. Sementara itu, Berembang Sonneratia dan Bakau merah (Rhizophora mucronata, R.apiculata) tumbuh dengan baik di sepanjang anak sungai atau parit.

378 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 243. Rhizophora mucronata yang umum dijumpai di saluran air (kiri) dan koloni Api-api Avicennia marina yang menguasai tepi mud flat (kanan).

Secara sederhana, formasi mangrove yang ada di desa ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu formasi mangrove utara dan formasi mangrove selatan. Sebagaimana terlihat pada gambar 1 di bawah ini, formasi mangrove utara merupakan merupakan formasi artifisial yaitu formasi yang terbentuk dari kegiatan penanaman oleh masyarakat. Penanaman ini terlihat sangat teratur mengikuti bentuk pematang dan saluran air. Sebagian besar jenis di formasi utara adalah jenis Rhizophora mucronata. Berbeda dengan formasi sebelumnya, formasi selatan lebih banyak didominasi oleh jenis api-api. Dari struktur tegakan dan komposisinya diindikasikan sebagian besar terbentuk secara alami melalui proses suksesi. Terlihat dari atas bahwa formasi utara tersusun dari empat (4) koloni utama. Di prediksi bahwa koloni-koloni ini akan berkembang menjadi lebih besar dan mantap.Namun demikian, di formasi selatan ini juga terdapat kegiatan penanaman Bakau Rhizophora mucronata yang dilakukan oleh masyarakat.

Gambar 244. Formasi mangrove di Desa Keude Aceh

Informasi dari masyarakat yang dipadukan dengan hasil survey lapangan menunjukan bahwa sebelum ”booming” tambak udang, desa Keude Unga memiliki hutan mangrove yang cukup luas, terutama di bagian sebelah utara desa. Kini, luas tegakan mangrove yang tersisa diperkirakan kurang dari 10 hektar.

Selain formasi mangrove, desa Keude Ungah juga memiliki vegetasi daratan. Vegetasi daratan ini mengacu pada semua jenis tumbuhan yang ada di pekarangan, areal terbuka, pelataran, kanan kiri jalan dan areal lain di sekitar pemukiman masyarakat. Di sepanjang jalan, beberapa jenis tumbuhan yang umum antara lain Mahoni Swietenia mancrophylla, Gamal Glirichidia sepium, Kuda-kuda Lannea spp., Angsana Pterocarpus indica, Asam Jawa Tamarindus indica, dan beberapa jenis pohon lainnya. Sementara di pekarangan dan sekirtar pemukiman, beberapa jenis yang sering dijumpai antara lain Mangga Mangifera indica, Belimbing wuluh Averrhoa bilimbi, Gamal Glirichidia sepium, Kelapa Cocos nucifera, Jambu bol Eugenia spp., Jambu air Eugenia spp., Kuda-kuda Lannea spp., Kresen Muntingia calabura, dan beberapa jenis lainnya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan dilakukan pada tanggal 21 Januari 2008, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: satu jenis mamalia, 30 jenis burung, serta tiga jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Jenis mammalia yang ditemukan, adalah Musang Paradoxurus hemaproditus ditemukan berdasarkan temuan faesesnya.

b) Avifauna

Dari 30 jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini, 9 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Jenis yang dilindungi berasal dari kelompok burung air (5 jenis), kelompok burung pemangsa (2 jenis), kelompok raja-udang (1 jenis), serta kelompok burung madu (1 jenis).

Tabel 158. Jenis Burung yang Dilindungi yang ditemukan di Keude Aceh

No Nama Indonesia Nama Ilmiah Nama Inggris Status

1 Kuntul besar

E. alba

Great Egret

2 Kuntul kecil

E. garzetta

Little Egret

3 Elang Bondol

Haliastur Indus

Brahminy Kite

P, App II

4 Elang-laut perut-putih

Haliaeetus leucogaster

White-bellied Sea-eagle

P, App II

5 Gajahan pengala

Numenius phaeopus

Whimbrel P

6 Gajahan besar

Numenius arquata

Eurasian Curlew

7 Dara-laut kumis

Chlidonias hybridus

Whiskered Tern

8 Cekakak sungai

Halcyon chloris

Collared kingfisher

9 Burung-madu sriganti

Nectarinia jugularis

Olive-backed Sunbird

Keterangan :

P = Dilindungi, menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 (Noerjito & Maryanto, 2001). App. II = Appendix II, Kriteria perdagangan jenis satwa yang diatur dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna, UNEP-WCMC, 2007).

c) Herpetofauna

Tiga jenis satwa dari kelompok herpetofauna yang ditemukan di daerah ini, yaitu: Katak Hijau Fajervarya cancrivora, Ular lumpur Cerberus rhynchops, dan Biawak Varanus salvator. Katak hijau cukup umum teramati pada malam hari di tepian tambak yang cukup lembab atau jenuh air, sementara Cerberus rhynchops kadang teramati di bawah permukaan air tambak yang dangkal. Biawak Varanus salvator jarang ditemukan, satu individu yang masih muda berukuran sekitar 60 cm teramati.

380 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

5. Tanah dan Pertanian

a) Iklim dan Hidrologi.

Data-data iklim untuk wilayah survei desa Keude Aceh diambil dari Stasiun pengamat iklim Lhok Sumawe. Menurut klasifikasi iklim Oldeman (1975) daerah survei termasuk dalam zona agroklimat E, yaitu mempunyai bulan basah (CH>200mm) secara berturut turut selama 2 bulan dan bulan kering (CH<100 mm) selama 3 bulan. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.400 – 2.000 mm per tahun.

Keude Aceh sangat dipengaruhi pasang surut air laut baik pasang besar maupun pasang kecil, fluktuasi pasang besar dan kecil terlihat sangat jelas secara bergantian. Kedalaman air waktu pasang sekitar 1 – 1,5 meter dan pada waktu surut, airnya hanya menggenangi bagian alur-alur saja dan hamparan lumpur dan pasir terlihat sangat jelas.

b) Fisiografi, topografi dan geologi.

Keude Aceh merupakan wilayah dataran yang terkena pasang surut baik pasang besar maupun pasang kecil secara langsung. Wilayah ini membentuk teluk dengan topografi sangat datar. Formasi sedimen laut (marin) campuran antara pasir, lumpur dan bahan organik merupakan bahan induk yang membentuk tanah-tanah didaerah survei.

c) Tanah dan Kesesuaian lahan.

Tanah yang terbentuk di wilayah survei adalah hasil dari proses pengendapan laut yang secara permanen dipengaruhi air laut, tanah tidak matang (unripe) atau tidak mengalami perkembangan struktur yang dicirikan dengan adanya lapisan-lapisan tanah pejal (masive).

Karakteristik Tanah: Typic Sulfaquents, lumpur dilapisan atas (0-25 cm) dan berpasir di lapisan bawah (>25 cm), dalam,

salin, kapasitas tukar kation rendah, kejenuhan basa tinggi, drainase sangat terhambat. (Gleisol Tionik)

Penyebaran : Tanah Typic Sulfaquents terdapat hampir di seluruh bagian dataran pantai dengan bentuk wilayah

sangat datar, lereng 0-1persen.

d) Tata guna lahan:

Penggunaan lahan sebagian besar berupa dataran terbuka dan sebagian kecil tanaman mangrove dan bekas tambak.

Potensi lahan: Tidak mempunyai potensi rehabilitasi untuk mangrove karena air pasang sangat tinggi dan lama

tergenan oleh air asin.

e) Rekomendasi :

Umumnya lahan sulit untuk direhabilitasi akan tetapi masih ada peluang pada bagian pinggiran atau peralihan dengan daratan untuk ditanami mangrove dengan luas relatif sempit.

Karena lokasi studi merupakan wilayah perkotaan, dimana limbah rumah tannga atau dan limbah sampah kota masuk mencemari ke lokasi sehingga sangat menggangu dan berpengaruh terhadap perkembangan pertumbuhan tanaman mangrove.

Alternatif Lain adalah mencari lokasi lain yang lebih layak untuk reabilitasi lahan.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Berdasarkan informasi dari tokoh adat, Desa Keude Aceh diperkirakan merupakan salah satu pemukiman pertama di Kota Lhokseumawe di masa lalu. Nama Keude Aceh dulunya menunjukkan sebuah tempat dimana terdapat banyak kedai (keude) milik orang Aceh asli di pemukiman masyarakata yang multi kultur. Kedai-kedai etnis Aceh tersebut terletak tepatnya di Dusun Kupula, dusun yang berbatasan langsung dengan wilayah pantai dan disekelilingnya terdapat rawa. Nama Kupula sendiri diperkirakan adalah nama pohon sejenis pohon tanjung Mimusops elengi.

Kota Lhokseumawe yang saat itu mulai dikenal sebaga kota “petrodollar” karena banyaknya kegiatan penambangan minyak, bertumbuh dengan sangat cepat. Hal tersebut antara lain menyebabkan sekitar tahun 1940-an lalu rawa-rawa dan lahan sekitar Dusun Kupula kemudian dikembangkan menjadi pemukiman yang baru yang sekarang dikenal sebagai Desa Keude Aceh. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa Dusun Kupula adalah cikal-bakal Desa Keude Aceh. Profil masyarakat Dusun Kupula sendiri relatif berbeda dengan masyarakat 3 dusun lainnya. Pekerjaan utama masyarakat Dusun Kupula biasanya nelayan atau petambak dengan pendidikan relatif rendah sedangkan masyarakat dusun-dusun lainnya bekerja sebagai profesional di kota.

Tsunami 26 Desember 2004 tidak terlalu merusak Desa Keude Aceh karena gelombang yang datang hanya terasa sebagai permukaan air laut yang meninggi secara cepat. Tidak ada korban jiwa pada peristiwa tersebut kecuali kerusakan fisik sekitar 10 rumah.

b) Demografi

(1) Populasi

Data resmi yang disajikan oleh pemerintah melalui BPS (Tabel 159) menunjukkan bahwa antara tahun 2003 hingga 2005 terjadi penurunan jumlah penduduk dari 3004 menjadi hanya 2520 jiwa atau menurun sebesar 16%. Penyebab utama penurunan ini tidak diketahui pasti oleh masyarakat. Beberapa warga yang diwawancara memperkirakan penyebabnya adalah banyaknya warga yang mencari pekerjaan ke daerah-daerah lain atau mengungsi saat konflik bersenjata sejak tahun 1972.

Tabel 159. Populasi penduduk Desa Keude Aceh dan Kecamatan Banda Sakti tahun 2003 dan 2005

Populasi Kepadatan Penduduk Tahun

Jumlah KK Laki-laki Perempuan

(ind/ km2) Desa Keude Aceh

Kecamatan Banda Sakti

Secara umum penduduk Kecamatan Banda Sakti jutsru bertambah sekitar 5% antara tahun 2003 dan 2005 yaitu dari 37.785 jiwa menjadi 38.460 jiwa. Jumlah laki-laki pada tahun 2003 leih besar 17% dari pada penduduk perempuan. Namun pada tahun 2005 justru sebaliknya jumlah penduduk perempuan lebih banyak sekitar 10% dari jumlah penduduk laki-laki.

382 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Desa Keude Aceh

Kec.Banda Sakti

Perempuan Desa K.Aceh

Pria Desa K.Aceh

Gambar 245 Pertumbuhan Penduduk Desa Keude Aceh dan Kecamatan Banda Sakti tahun 2003 dan 2005

Kota Lhokseumawe adalah kota yang telah lama menjadi persinggahan berbagai macam suku bangsa. Hal tersebut menyebabkan Lhokseumawe menjadi kota yang sangat multi etnis. Demikian halnya masyarakat yang tinggal di Desa Keude Aceh yang terdiri dari berbagai etnis seperti Batak, Padang, dan Jawa dengan etnis Aceh sebagai etnis dominan. Komposisi multi etnis ini tidak banyak berubah dari sebelum tsunami hingga sekarang.

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Desa Keude Aceh yang terdiri dari 4 dusun hanya 1 dusun yang berbatasan dengan tepi pantai yaitu Dusun Kupula. Masyarakat yang menghuni Dusun Kupula lah yang paling menggantungkan hidupnya secara langsung pada ekosistem-ekosistem pesisir karena merupakan sumber penghidupan. Masyarakat dusun-dusun lainnya bekerja dikota antara lain sebagai pegawai negeri, profesional di usaha swasta, dan buruh. Oleh sebab itu stakeholder utama pengelola ekosistem-ekosistem pesisir Desa Keude Aceh umunya berada di Dusun Kupula yang berprofesi sebagai nelayan dan petambak.

Tabel 160. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Keude Aceh sebelum Tsunami

Jenis Pekerjaan (sebelum Tsunami)

jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec Keterangan dimulai dari yang

paling penting Perikanan Tangkap

Belanak xx x x x xxx xxx x Banyak saat pasang rendah Bandeng

xx x x x xxx xxx x Banyak saat pasang tinggi Anak kerapu

0000 0 xxx xxx x Banyak saat air tenang Kepiting

xx x x x xxx xxx x

Pengumpulan Kerang

Kerang batu x

x Dijual ke pasar Tiram

xx x x x xxx xxx x Dijual di desa

Budidaya

Budidaya bandeng xx x x x xxx xxx x

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(a) Perikanan Tangkap

Kegiatan perikanan tangkap merupakan mata pencaharian utama sebagian besar keluarga di Dusun Kupula. Terdapat tiga jenis kegiatan perikanan tangkap di Desa Kedue Aceh yaitu:

Penangkapan dengan menggunakan alat tangkap gillnet ditengah Teluk Pusong untuk menangkap ikan-ikan jenis bandeng dan belanak. Kegiatan ini digeluti sekitar 36 keluarga.

Penangkapan dengan menggunakan sero ditengah dan pinggir teluk untuk menangkap bibit ikan kerapu.

Penangkapan dengan menggunakan perangkap untuk menangkap kepiting di pinggir teluk. Kegiatan ini digeluti oleh sekitar 7 keluarga.

Semua kegiatan penangkapan ikan tersebut adalah kegiatan dengan modal kecil karena hanya menggunakan sampan dan alat tangkap sederhana. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan diperairan Teluk Pusong yang jaraknya sangat dekat dengan pemukiman. Dengan sedikit bergurau warga masyarakat menyebut diri mereka sebagai “nelayan danau” karena kecil dan terbatasnya skala kegiatan nelayan Desa Keude Aceh. Aktivitas penangkapan yang terbatas tersebut juga menyebabkan warga hampir tidak mengenal otoritas Panglima Laot Banda Sakti yang biasa mengurusi nelayan lepas pantai.

Kegiatan penangkapan ikan belanak biasa dilakukan sepanjang tahun dengan puncak-puncak hasil tangkapan pada saat air pasang kecil yaitu sekitar Tanggal 7 dan 21 pada Kalender Hijriah (Arab). Demikian halnya dengan kegiatan penangkapan ikan bandeng yang biasa dilakukan sepanjang tahun tetapi tangkapan biasanya lebih tinggi pada saat air pasang tinggi yaitu Tanggal 1 dan 14 pada Kalender Hijriah.

Hasil tangkapan harian bandeng relatif sedikit yaitu sekitar 5 kg, dibandingkan belanak yang mencapai kisaran 10-15 kg. Ikan-ikan ini biasanya dijual langsung ke pasar di Desa Pusong dan hasil tangkapan lainnya dibawa pulang untuk konsumsi keluarga. Sebagian nelayan juga menjual ikannya ke muge yang datang ke desa. Meski demikian selisih harga yang ditetapkan terkadang sangat tinggi yaitu bisa mencapai 50%. Harga belanak misalnya yang dibeli muge Rp 10.000 per 4 kg dan bisa dibeli oleh konsumen akhir (end user) seharga Rp 15.000 per kg.

Kegiatan penangkapan kepiting bakau (Scilla serrata) dilakukan dengan memasang perangkap- perangkap yang didalamnya diisi dengan kepala ayam. Aroma daging tersebut akan merangsang kepiting untuk masuk dan akhirnya terjebak dalam bubu. Kegiatan ini dilakukan disepanjang garis pantai disela-sela mangrove. Pemasaran kepiting dilakukan langsung di desa yaitu dengan menjualnya pada muge yang biasa datang menjemput hasil tangkapan nelayan.

Nelayan Lokal

Konsumen warga desa

Muge datang ke

Konsumen:

Desa

warga desa sekitar

Gambar 246 Mekanisme pemasaran ikan bandeng, belanak dan kepiting (belanak dan bandeng garis

hitam, kepiting garis hijau)

Ikan lain yang biasa ditangkap diperairan Teluk Pusong adalah anak kerapu yang selanjutnya dibudidayakan di luar Aceh. Kegiatan penangkapan anak ikan kerapu dilakukan dengan menggunakan daun jampe (Avicennia sp.) yang dibiarkan terapung diperairan dangkal selama beberapa jam. Daun jampe tersebut akan menyediakan ruang yang teduh di bawahnya sehingga anak-anak kerapu akan berkumpul untuk bernaung. Nelayan kemudian akan menangkap anak-anak kerapu tersebut dengan menggunakan serok. Harga anak kerapu ukuran 1 in adalah sekitar Rp 1.000 – 1.500 yang dipasarkan pada pengumpul atau ke pembibitan kerapu.

384 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Nelayan Lokal

Pengumpul

Pembibitan Kerapu

Gambar 247 Mekanisme pemasaran bibit ikan kerapu

Kegiatan penangkapan bandeng, belanak, anak-anak kerapu, dan kepiting bakau adalah pekerjaan yang seluruh proses pelaksanaannya dilakukan laki-laki. Kegiatan ini biasanya dilakukan setengah hari dengan berangkat ke laut pada pagi hari dan kembali pada siang atau sore hari. Pada musim- musim bagus, lama kegiatan penangkapan bisa mencapai 24 jam dimana nelayan berangkat pada malam hari dan baru kembali pada malam berikutnya.

Walaupun semua kegiatan tersebut membutuhkan modal yang relatif kecil yaitu sampan dan alat tangkap (jaring, serok, perangkap/bubu) seringkali nelayan juga membutuhkan bantuan modal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut nelayan biasanya meminjam ke koperasi nelayan yang mengenakan bunga 2.5% per bulan. Nelayan bisa menyicil pinjaman tersebut setiap bulan atau setiap hari. Beberapa nelayan juga biasa meminjam ke muge dan membayar pinjaman tersebut dengan menyicil ditambah hak monopoli pembelian hasil tangkapan nelayan peminjam.

Sebagian anggota masyarakat yang memiliki kemampuan finansial baik juga menyediakan modal berupa perahu dan alat tangkap bagi anggota masyarakat lainnya yang membutuhkan. Hasil tangkapan selanjutnya akan dibagi tiga dimana nelayan yang menggunakan alat tersebut akan menerima 2 bagian sedangkan pemilik modal akan menerima 1 bagian. Nelayan harus bersungguh- sungguh menggunakan perahu dan alat tangkap tersebut agar memperoleh hasil tangkap yang memadai. Ketidak seriusan nelayan bisa menyebabkan perahu dan alat tangkap diambil kembali oleh pemilik dan reputasi nelayan menjadi rusak dikalangan pemilik perahu lainnya sehingga akan sulit bagi nelayan tersebut untuk mendapat pinjaman modal yang lain.

Kegiatan perikanan tangkap lainnya yang biasa dilakukan masyarakar Desa Keude Aceh adalah pengumpulan tiram dan kerang batu. Kegiatan ini adalah kegiatan sampingan bagi ibu-ibu atau bagi nelayan yang sedang tidak melaut. Pengumpulan tiram biasanya didominasi oleh perempuan sedang pengumpulan kerang batu bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.

Pemasaran tiram dilakukan di desa saja menunggu adanya pesanan dari warga masyarakat. Hal tersebut menyebabkan pengambilan tiram di perairan teluk tidak dilakukan setiap saat. Terkadang jika jumlah tiram yang diambil melebihi jumlah pemesanan tiram-tiram tersebut disimpan saja dirumah menunggu adanya pemesanan berikutnya. Tiram-tiram tersebut dapat bertahan tidak busuk selama kurang lebih 4 hari. Sebaliknya pengumpulan kerang batu bisa dilakukan setiap hari karena penjualannya bisa dilakukan di pasar Lhokseumawe.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Nelayan/ Klp Ibu - ibu Konsumen warga desa

Muge datang ke

Gambar 248 mekanisme pemasaran kerang batu (garis hitam) dan tiram (garis hijau)

(b) Tambak

Di bagian belakang pemukiman warga, terdapat wilayah pertambakan yang luasnya sekitar 20 ha. Tambak-tambak tersebut pernah digunakan untuk budidaya udang pada masa-masa harga udang sangat tinggi dan produksi cukup bagus sekitar tahuan 1980-an sampai dengan 1990-an. Saat ini tambak-tambak tersebut umumnya dibiarkan kosong sebagian kecil digunakan untuk budidaya kepiting cangkang lembut (kepiting molting) yang juga sudah terhenti dan sebagian lagi digunakan untuk budidaya bandeng. Pemanfaatan tambak untuk budidaya bandeng dilakukan dengan padat

tebar sangat rendah yaitu 0.1 ekor/m2 atau 1 ekor/10m 2 . Dalam satu tahun bisa dilakukan sekitar 2 siklus produksi budidaya dengan panen sekitar 300 kg per

siklus. Masyarakat Desa Keude Aceh yang masih mengelola tambak tersebut hanya sekitar 7 keluarga. Kualitas air yang rendah dan banyaknya sampah rumah tangga yang terlihat selama survey diperkirakan menjadi penyebab sulitnya kegiatan budidaya perikanan.

Kegiatan budidaya lain yang dicoba dikembangkan dalam satu tahun terakhir adalah budidaya bandeng sistim hampang yang dilakukan di tepi teluk dekat pemukiman. Budidaya sistim hampang ini dilakukan dengan mengurung lahan seluas 0.5 ha di perairan teluk dengan menggunakan jaring. Di dalam lahan budidaya tersebut juga dibuat karamba kepiting yang terbuat dari bahan bambu. Budidaya sistem hampang berjalan dengan baik sedangkan kegiatan karamba kepiting hanya sempat dilakukan satu siklus.

Di tengah teluk terdapat semacam karamba apung yang digunakan untuk budidaya bibit kerapu. Kegiatan ini meskipun menurut masyarakat berada dalam wilayah Desa Keude Aceh tetapi dilakukan oleh warga masyarakat Desa Pusong. Hal tersebut menyebabkan masyarakat Desa Keude Aceh tidak memperoleh manfaat keuangan secara langsung dari kegiatan budidaya tersebut.

(3) Peternakan dan Pertanian

Kegiatan utama masyarakat Desa Keude Aceh terutama Dusun Kupula adalah sebagai nelayan dan petambak. Tidak terdapat kegiatan pertanian yang menjadi andalan mata pencaharian utama masyarakat. Wilayah Desa Keude Aceh yang hampir semuanya berupa pemukiman, perairan teluk dan pertambakan yang terbengkalai menyebabkan kegiatan pertanian dan peternakan menjadi tidak memiliki lahan yang memadai.

Saat ini diperkirakan hanya sekitar 10 keluarga yang memiliki ternak berupa kambing dan sekitar 20-

30 keluarga yang memiliki ternak ayam. Pemasaran ternak bisa dilakukan dikalangan masyarakat desa sendiri atau dijual ke pembeli yang biasa datang secara spontan ke desa. Berbeda dengan kegiatan peternakan, kegiatan pertanian dapat dikatakan tidak ada sama sekali.

386 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 386 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Tsunami 26 Desember 2004 tidak begitu merusak kondisi infrastruktur dan perumahan Desa Keude Aceh. Hal tersebut digambarkan dalam Tabel 161 dimana fasilitas listrik, air sumur, drainase, pipa yang telah ada pada tahun 2003 tetap dapat dimanfaatkan hingga kini. Tabel 161juga menunjukkan bahwa sebelum tsunami terdapat sekitar 282 rumah permanen atau sebanyak 59% dan 199 rumah non permanen. Tsunami yang melanda Desa Keuede Aceh menyebabkan rusak totalnya 10 rumah semi permanen yang terletak di Dusun Kupula. Saat ini, salah satu keluarga yang rusak rumahnya berinisiatif membangun sendiri rumahnya di Dusun Kupula secara swadaya. Hal tersebut diduga karena ketidakjelasan bantuan perumahan bagi korban tsunami dari Desa Keude Aceh. Sedangkan keluarga lainnya akhirnya mendapatkan bantuan rumah yang dibangun di desa tetangga setelah menunggu dua tahun lebih dibarak-barak pengungsian.

Tabel 161. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Keude Aceh tahun 2003 dan 2005

uk Jumlah Rumah

MCK Tahun

itas akar Non-

mem Drainase Permanen

non PLN

air untu

Fasil Permanen

Akses

dengan

Lampu Jal

Permanen

Sumber Air Bersih

Bahan b

2003 282 199 59 Yes 88 10 Ya Pipe Sumur Pribadi Minyak Acak tanah

2005 N/A N/A N/A Yes 100 0 No Pipe N/A Pribadi Minyak N/A tanah

Kebutuhan air minum warga umumnya bisa dipenuhi dengan menampung air dari PAM Tirta Montase yang disalurkan ke rumah-rumah. Ketersediaan air PAM yang sering tersendat menyebabkan semua keluarga juga masih mengandalkan keberadaan air sumur untuk kebutuham mandi dan cuci. Secara umum fasilitas perumahan dan layanan kebutuhan listrik maupun air cukup memadai untuk kebutuhan sehari-hari. Kondisi yang masih terasa mengganggu adalah sanitasi lingkungan sebab pengelolaan limbah domestik dan drainase kurang bagus. Tambak dan perairan pesisir pantai dipenuhi oleh sampah plastik sehingga sangat mengganggu kenyamanan dan kualitas lingkungan.

(2) Pendidikan

Fasilitas pendidikan yang dapat diakses oleh masyarakat Desa Keude Aceh sangat lengkap mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Universitas. Tabel 162 menunjukkan bahwa fasilitas pendidikan tersebut tumbuh dengan cepat antara tahun 2003 hingga tahun 2005. Meski secara umum terjadi penurunan drastis aktivitas masyarakat akibat terhentinya berbagai kegiatan industri besar, kegiatan ekonomi tetap memberikan harapan baru seiring perdamaian antara pihak GAM dan Pemerintah Pusat RI. Hal tersebut diikuti dengan perbaikan pelayanan-pelayanan publik termasuk pembangunan fasilitas pendidikan.

Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar tersedia langsung di Desa Keude Aceh. Sedangkan sekolah menengah yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Sekolah Menengah Umum dan Kejuruan terletak antara 1 – 2 km dari Desa. Pendidikan tinggi berupa Universitas dan Politeknik juga telah ada di Kota Lhokseumawe. Jarak dari Desa Keude Aceh berkisar antara 1,5 – 7 km.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 162. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Desa Keude Aceh

TK SD SMP SMA Sekolah Teknik Akademi/

kat ( kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

terde Swasta Negeri terde Jarak

Jarak Jarak

--1-1- --2--2-- 1--2 0 1 0 0 0 0 1 1.0 0 0 0.9 0 0 0.5 032

Masyarakat Desa Keude Aceh umumnya menyekolahkan anaknya hingga minimal setingkat SMA sedangkan masyarakat nelayan Dusun Kupulan cenderung hanya menyekolahkan anaknya sampai SMP saja. Hasil wawancara menunjukkan bahwa masyarakat nelayan Dusun Kupula saat ini bahkan rata-rata hanya sempat bersekolah hingga tingkat SMP.

Pilihan sekolah yang bervariasi berdasarkan jarak dan kualitas pendidikannya menyebabkan murid- murid dari Desa Kupula juga terpencar-pencar. Di tingkat sekolah dasar misalnya, SD 10 letaknya sangat dekat dengan desa tapi kualitasnya dianggap tidak sebagus SD-SD lainnya. Di SD 10 inilah masyarakat Dusun Kupula umumnya menyekolahkan anaknya sedangkan masyarakat dusun lainnya atau warga yang relatif kaya akan menyekolahkan anaknya di sekolah lain sebab sanggup membayar konsekuensi biaya yang lebih tinggi.

Gambaran diatas menunjukkan bahwa meski fasilitas pendidikan telah dibangun dengan sangat baik, masyarakat Dusun Kupula Desa Keude Aceh justru belum sepenuhnya dapat memanfaatkan fasilitas tersebut. Pemenuhan kebutuhan pendidikan berkualitas yang relatif rendah tersebut lebih disebabkan oleh karena tingkat penghidupan masyarakat yang juga masih rendah. Hal ini membutuhkan perhatian serius sebab kondisi lingkungan yang semakin buruk ditandai dengan hasil tangkapan ikan yang semakin menurun dapat membuat tingkat pendidikan masyarakat menjadi terhenti pada tingkat sekolah dasar saja. Akibatnya dalam jangka panjang akan semakin menurunkan kualitas sumberdaya manusia Dusun Kupula ditengah-tengah masyarakat Kota Lhokseumawe. Upaya perbaikan mendasar yang bisa dilakukan antara lain dengan meningkatkan kegiatan-kegiatan peningkatan kepedulian pada pendidikan (awareness), pemberdayaan masyarakat, dan subsidi pendidikan.

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Desa Keude Aceh terletak di dekat pusat kota Lhokseumawe menyebabkan desa ini dapat dijangkau dengan sangat mudah. Infrastruktur jalan raya juga sudah dibangun dengan cukup baik berupa jalan aspal yang menembus masuk ke setiap dusun/lorong. Hal tersebut telah dapat dinikmati masyarakat Desa Keude Aceh sejak sebelum tsunami dan tetap dalam kondisi baik setelah peristiwa tsunami seperti yang disajikan dalam Tabel 163 berikut ini.

388 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 163. Akses dan sarana transportasi umum Desa Keude Aceh

Jenis Jalan

Akses

Kendaraan Umum

kendaraan Tahun

kendaraan Desa

Motor roda 4

Andong Sampan

Umum

Roda Empat

motor

boat Utama

Tidak Becak 2003 Aspal

Ada Tidak Ada

Ada motor 2005 Aspal

Ada Tidak Ada Tidak

Tidak Becak

Ada

Ada

Ada motor

Angkutan umum yang melayani rute Desa Keude Aceh adalah angkutan kota roda empat yang disebut labi-labi. Angkutan lain yang biasa digunakan oleh masyarakat adalah becak motor dan becak tanpa motor. Sampai sejauh ini tidak terdapat kendala berarti bagi masyarakat dalam hal transportasi.

(4) Fasilitas Kesehatan

Letak Desa Keude Aceh yang berada di pusat kota Lhokseumawe yaitu Kecamatan Banda Sakti menyebabkan masyarakat dengan mudah menjangkau fasilitas-fasilitas kesehatan. Tabel 164menunjukkan adanya perkembangan drastis penyediaan fasilitas layanan kesehatan yang ditandai dengan adanya pembangunan polindes di desa dan pembangunan fasilitas rumah sakit yang letaknya sangat dekat dengan Desa Keude Aceh.

Tabel 164. Fasilitas Kesehatan di Desa Keude AcehTahun 203 dan 2005

Jumlah Rumah

Jarak Tahun

Terdekat Kemudahan Sakit

akses Umum

(km)

n akses

2003 0 2 mudah 0 1 mudah 0 1 mudah 2005 1 .1 mudah 1 1

Desa Keude Aceh sendiri saat ini memiliki fasilitas puskesmas pembantu yang berjarak sekitar 1 km dan polindes yang letaknya langsung di desa. Masyarakat juga punya banya pilihan pelayanan- pelayanan kesehatan seperti klinik dokter dan bidan swasta di sekitar desa. Hanya saja pelayanan swasta biasanya membutuhkan biaya yang lebih mahal dan masyarakat Dusun Kupula jarang sekali memanfaatkannya.

Masyarakat yang kurang mampu dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan menunjukkan kartu sehat. Tabel 165 menunjukkan adanya peningkatan drastis jumlah masyarakat yang memiliki kartu sehat. Peningkatan ini tidak serta-merta berarti adanya pertambahan jumlah drastis orang miskin tetapi lebih menunjukkan meluasnya jumlah anggota masyarakat yang bisa memanfaatkan pelayan kesehatan murah. Apalagi saat ini berdasarkan informasi masyarakat, di Lhokseumawe semakin banyak rumah sakit swasta yang juga bisa melayani pasien yang menunjukkan kartu sehat. Sebelumnya pelayanan pasien kartu sehat hanya bisa dilayani di fasilitas-fasilitas kesehatan milik pemerintah.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 165. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005 Keluarga

Keluarga

Memiliki Kartu

Keluarga Tahun

Wabah penyakit yang pernah melanda

Malnutrisi Peserta KB Miskin (KTPM)

Balita Penduduk

Tanda Keluarga

Diare Campak berdarah

Malaria ISPA

2003 15 3 60 12 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 308 2005 80 87.0 80 87.0 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A N/A

Pemanfaatan kartu sehat oleh masyarakat Desa Keude Aceh terasa sangat membantu dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah. Keluhan masyarakat yang terungkap saat wawancara adalah karena pengguna kartu sehat bisa tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Dalam beberapa kasus terdapat anggota masyarakat yang akhirnya emosional dan membentak-bentak petugas rumah sakit karena merasa tidak diperlakukan sebagaimana mestinya karena menggunakan kartu sehat.

(5) Fasilitas Keagamaan

Hampir semua penduduk Keude Aceh beragama Islam. Hal tersebut menyebabkan fasilitas ibadah yang tersedia di desa adalah Mesjid dan Mushalla. Data yang dipublikasikan oleh pemerintah melalui BPS menunjukkan adanya penambahan jumlah fasilitas ibadah dari tahun 2003 hingga tahun 2005 yang ditandai dengan berdirinya sebuah meunasah/mushalla baru.

Tabel 166. Fasilitas Keagamaan tahun 2003 dan 2005 di Desa Keude Aceh

Kuil Kong Tahun Masjid Mushalla Katholik

Kuil Hindu

Kuil Budha

Hucu

Kehidupan beragama masyarakat Desa Keude Aceh cukup semarak. Kegiatan pengajian cukup rutin digelar dikalangan masyarakat. Sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain juga sangat baik. Hampir tidak ada kasus yang menunjukkan adanya ketidaknyamanan warga akibat diskriminasi terhadap pemeluk agama lain.

(6) Sarana Komunikasi

Desa Keude Aceh yang terletak di pusat kota menyebabkan warga masyarakat dapat leluasa menikmati fasilitas layanan telekomunikasi dengan lebih baik. Tabel 167 menunjukkan bahwa antara tahun 2003 dan 2005 terjadi peningkatan drastis jumlah keluarga yang memiliki telepon dari hanya 76 keluarga menjadi 500 keluarga. Layanan komunikasi lainpun tersedia dan relatif mudah dijangkau yaitu kantor pos dan telepon umum wartel.

390 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 167. Sarana komunikasi antara tahun 2003 dan 2005 di Desa Keude Aceh

Kantor pos

Tahun

Wartel Internet memiliki

memilki TV

Telephone

2003 76 16 476 99 0 1 1 0 2005 500 87.7 N/A N/A 0 0,7 1 0

Meskipun masih terdapat beberapa rumah yang belum memiliki fasilitas telepon rumah, tapi hampir setiap keluarga memiliki paling tidak 1 telepon genggam untuk berkomunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Keude Aceh tidak mengalami hambatan yang berarti dalam berkomunikasi dengan keluarga maupun mitra di tempat lain.

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Pemerintaan desa saat ini dipimpin oleh Keuchik Samaun dengan sekretaris M. Nur dan dibantu oleh

4 orang Kepala Urusan. Struktur pemerintahan ini dipilih secara demokratis oleh masyarakat pada tahun 2003. Pelaksanaan pemerintahan desa di tingkat dusun/lorong didelegasikan oleh keuchik pada kepala-kepala dusun yang memfasilitasi permasalahan sosial ekonomi masyarakat dan pembangunan dusun.

Tuha Peut

Keuchik

Imum Meunasah

Bendahara

Sekretaris

Kaur Pemerintahan

Kaur Pemberdayaan

Kaur Kesejahteraan

Kaur Pembangunan

KaDus Rawa

KaDus Sakti

KaDus Arun

KaDus Kupula

Harapan

Gambar 249 Struktur pemerintahan Desa Keude Aceh

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Struktur pemerintahan yang ditunjukkan oleh Gambar 249 diatas menunjukkan bahwa sebetulnya Keuchik tidak berkuasa secara mutlak tetapi mendapatkan pendampingan dari Tuha Peut. Pengawasan kinerja keuchik oleh warga yang telah memilih secara langsung melalui Tuha Peut yang keanggotaannya dipilih secara kekeluargaan. Tuha Peut sendiri terdiri dari perwakilan kelompok- kelompok adat, pendidik/ cerdik pandai, alim ulama (tengku), dan pemuka adat. Jumlah orang yang duduk dalam keanggotaan Tuhapeut berjumlah ganjil dan didasarkan pada jumlah penduduk:

• Jumlah penduduk < 1000 jiwa, anggota tuhapeut 5 orang • Jumlah penduduk 1001 < x < 2500, anggota tuhapeut 7 orang • Jumlah penduduk 2501 < x < 5000, anggota tuhapeut 9 orang • Jumlah penduduk > 5000, anggota tuhapeut 11 orang Dikarenakan jumlah penduduk yang lebih dari 2500 jiwa, maka seharusnya anggota Tuhapeut Desa

Keude Aceh sebanyak 9 orang. Namun berdasarkan informasi dari responden, jumlah Tuhapeut di Desa Keude Aceh hanya berjumlah 8 orang dan tidak ada informasi yang jelas tentang alasan kurangnya formasi kanggotaan Tuhapeut tersebut.

Hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat menunjukkan bahwa saat ini institusi Keuchik adalah institusi yang memiliki pengaruh politik paling kuat di desa. Tidak terdapat institusi lain yang saat ini beroposisi secara kuat terhadap institusi Keuchik.

(2) Kelompok Sosial Kemasyarakatan

Kegiatan besar-besaran dalam membangun desa-desa pesisir di Aceh pasca tsunami 26 desember 2004 tidak terjadi di Desa Keude Aceh. Situasi desa pasca tsunami yang digolongkan tidak mengalami kerusakan besar menjadikan wilayah ini sepi dari hingar bingar rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami. Hal tersebut juga berdampak pada tidak banyak kelompok-kelompok masyarakat bentukan LSM/Donor seperti yang terjadi di desa-desa lain.

Kelompok-kelompok masyarakat yang ada saat ini hampir semuanya kelompok yang telah terbentuk sejak lama yang difasilitasi oleh proyek-proyek rutin pemerintah. Anggota-anggota tidak banyak berubah yang berubah sesekali hanyalah penggantian jenis kegiatan (dan juga nama) menyesuaikan dengan proyek yang ada. Kelompok-kelompok tersebut disajikan dalam Tabel 168 dibawah ini.

Tabel 168. Kelompok-kelompok masyarakat di Desa Keude Aceh

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Koperasi Nelayan Bungong

Pemda Kupula

Simpan pinjam telah berlangsung selama 10 tahun

dan masih aktif saat ini.

2. Kelompok penghijauan

Dephut/Pemda GERHAN

Penghijauan pantai dengan menanam mangrove.

Sudah selesai dan hasil penanaman kurang bagus karena air terlalu lama menggenang.

4. Kelompok penghijauan

Rehabilitasi ekosistem dan pemberdayaan ekonomi

OXFAM/WIIP

5. Kelompok Pemuda

Olah raga, kesejahteraan sosial

Swadaya

6. PKK

Kelompok Ibu-ibu, keterampilan, pengajian,

Pemerintah, swadaya

perawatan balita. Dikoordinasi Ibu Keuchik.

392 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kelompok-kelompok yang disajikan dalam Tabel diatas umumnya memiliki kekuatan politik untuk menentukan arah pembangunan desa. Hanya saja kelompok-kelompok ini tidak dalam berposisi berseberangan dengan pemerintah desa sehingga pembangunan berjalan tanpa ada konflik yang berarti.

Kelompok yang memiliki kekuatan ekonomi maupun politik yang cukup besar adalah Koperasi Nelayan Bungong Kupula. Kelompok ini telah ada sejak 10 tahun lalu dan memperoleh bantuan modal simpan pinjam dari pemerintah. Dana yang tersedia di koperasi bisa dipinjam untuk kebutuhan apa saja tidak terbatas untuk penyediaan modal usaha. Hal ini menyebabkan peluang terjadinya kegagalan pembayaran menjadi sangat tinggi sebab dana yang tersalur tidak bertumbuh.

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Perempuan dan laki-laki di Desa Keude Aceh memiliki peranan yang berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari baik remaja maupun dalam rumah tangga. Laki-laki berperan sebagai pencari nafkah utama dengan menjadi nelayan yang menangkap ikan atau petambak. Pada saat-saat tertentu laki- laki bisa saja ke kota untuk bekerja sebagai tukang pada berbagai proyek infrastruktur.

Posisi laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah di Desa Keude Aceh tidak lantas menyebabkan laki- laki menjadi pengelola keuangan rumah tangga secara penuh. Sebagian besar dari penghasilan diberikan kepada perempuan (istri) untuk kebutuhan sehari-hari maupun ditabung. Sebagi ilustrasi jika dalam sehari laki-laki dapat memperoleh penghasilan Rp 50.000 maka paling tidak Rp 40.000 akan diberikan kepada istri sedangkan sisanya Rp 10.000 biasanya diambil oleh laki-laki untuk keperluan bersosialisasi di kedai-kedai kopi. Perempuan sehar-hari juga biasa membantu laki-laki mencari nafkah dengan mencari tiram atau kerang batu ke teluk. Penghasilan kegiatan ini biasanya hanya digunakan oleh perempuan untuk keperluan rumah tangga.

Laki-laki dan perempuan secara umum memiliki posisi yang sama dalam pengambilan keputusan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Meski demikian hasil wawancara terhadap masyarakat di Desa Keude Aceh diketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari perempuan memiliki jam kerja yang lebih lama dibandingkan laki-laki. Perempuan harus bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan dan membersihkan rumah, bekerja mencari tiram, mempersiapkan makan siang, istirahat sore, mempersiapkan makan malam. Total jam kerja bisa mencapai 9 jam sehari. Sebaliknya laki-laki hanya berkewajiban bekerja menangkap ikan, merawat alat, dan memasarkan hasil tangkapan dengan total waktu sekitar 5 - 6 jam.

Perbedaan beban kerja yang menyolok tersebut sama-sama disadari oleh laki-laki dan perempuan dan dianggap biasa-biasa saja oleh perempuan. Tidak ada perasaan “cemburu” terhadap laki-laki sebab hal tersebut sudah menjadi kebiasaan adat sehari-hari dalam masyararakat karena resiko kerja laki-laki sebagai nelayan lebih tinggi dari pada perempuan yang cenderung hanya bekerja di darat.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Semua kelembagaan yang di bentuk di Desa Keude Aceh senantiasa diikuti secara aktif oleh perempuan. Hanya saja tidak satupun dari kelembagaan tersebut (kecuali kelompok PKK) yang menempatkan perempuan pada posisi penting. Padahal dalam Surat Keputusan Bupati tentang Tuhapeut menyebutkan 30% dari anggota Tuhapeut harus terdiri dari perempuan. Kondisi tersebut tidak disebabkan oleh diskriminasi dimana perempuan sengaja tidak diberi kesempatan untuk mencalonkan diri tetapi pemilihan figur adalah proses alami dalam setiap pemilihan pengurus kelompok. Salah seorang tokoh perempuan yang cukup aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan di desa adalah Ibu Aisyah. Beliau biasanya menjadi semacam perwakilan perempuan dalam setiap kelompok yang ada meski tidak secara langsung menjadi pengurus.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan kelompok sehari-hari perempuan cukup berperan karena dalam setiap rapat perempuan akan “cerewet” menyampaikan pendapat dan usulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan sebetulnya turut aktif dan didengarkan pendapatnya dalam pembangunan desa. Kekurangan yang terjadi saat ini hanyalah karena perempuan tidak diberi peluang khusus sebagai terobosan untuk memutus kebiasaan perempuan yang “sungkan” menjadi pengurus kelompok.

(3) Pemberdayaan Perempuan

Kesadaran kritis perempuan di Desa Keude Aceh harus senantiasa dibangun sebab saat ini terlihat bahwa perempuan masih merasa biasa-biasa saja atas ketidakseimbangan beban kerja rumah tangga. Padahal dengan menurunnya beban kerja perempuan sangat mungkin akan memberi dia waktu untuk lebih fokus dalam memberikan perhatian pada anak demi peningkatan kualitas rumah tangga dan pendidikan anak.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa hingga saat ini hampir bisa dikatakan belum ada upaya khusus untuk membangun kesadaran kritis tersebut. Saat ini satu-satunya kelompok yang bertujuan khsusus memberdayakan perempuan hanyalah PKK. Kelompok ini pun biasanya berkumpul untuk membahas upaya-upaya peningkatan kualitas keluarga. Kegiatan-kegiatan yang bisa diakses perempuan melalui PKK selama ini masih terbatas pada pelatihan untuk peningkatan keterampilan, kesehatan, pendapatan, dan penanganan bayi dan anak.

Intervensi yang terus menerus dengan mengajak perempuan untuk menyadari peranannya yang penting dalam rumah tangga dan masyarakat sangat diperlukan. Sejalan dengan hal tersebut, peningkatan kepedulian kaum laki-laki (suami) untuk membagi porsi beban kerja rumah tangga tersebut juga menjadi hal yang sangat penting. Hal tersebut disebabkan oleh karena pembagian beban kerja secara adil dalam jangka panjang akan meningkatkan kualitas rumah tangga dan masyarakat secara umum.

f) Informasi terkait dengan Kegiatan Green Coast

Saat ini Green Coast fase 2 dengan bekerjasama dengan Lembaga Informasi Masyarakat Independen dan Lembaga Pembelaan Lingkungan dan Hak Asasi Manusia tengah melakukan upaya rehabilitasi ekosistem dengan menanam mangrove di Teluk Pusong. Sejalan dengan kegiatan tersebut Green Coast juga direncanakan untuk menyediakan dana pinjaman yang bisa digunakan untuk pengembangan usaha ramah lingkungan.

Saat ini jumlah anggota masyarakat yang terlibat adalah 26 keluarga dimana 6 orang diantaranya diwakili oleh perempuan. Kegiatan yang telah dilakukan adalah ujicoba penanaman mangrove. Tahapan selanjutnya adalah pengembangan kegiatan budidaya bandeng dalam hampang dan pembelian peralatan penangkapan ikan.

Selain kegiatan Green Coast, WIIP juga bekerja sama dengan masyarakat Keude Aceh melalui kegiatan Twinning UNEP untuk kegiatan rehabilitasi mangrove dan pengembangan mata pencaharian. Kegiatan ini telah selesai dilakukan berupa penanaman mangrove dan percobaan budidaya kepiting. Penanaman mangrove berjalan cukup lancar sedangkan kegiatan budidaya kepiting dalam karamba terhenti untuk sementara karena kurang berhasil dalam periode sebelumnya.

394 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

a) Penilaian lahan di lokasi yang diusulkan kelompok tani

Untuk kegiatan penanaman, Kelompok Tani telah mengalokasikan suatu lokasi sebagai lokasi rehabilitasi. Lokasi yang dimaksud berada di sebelah selatan pondok kelompok, kurang lebih sekitar

20 m dari tepi mudflat.

Gambar 250. Lokasi penanaman yang diusulkan kelompok

Dari hasil analisis substrat tanah, diketahui bahwa jenis substrat di lokasi calon penanaman adalah berlumpur hingga ketebalan 1 meter. Mengingat areal hampir selalu tergenang berat, maka kondisi lumpur sangat basah karena kandunganan airnya sangat tinggi. Kondisi ini akan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi penanaman karena kondisi substrat ini akan membuat tanaman mudah tumbang.

Dari sudut pandang hydrology, lokasi penanaman berada di dalam zona pasang surut dengan fluktuasi yang cukup tinggi dimana ketinggian air mencapai 150 cm pada saat pasang dan tidak tergenang pada saat surut. Pergantian (masuk dan keluarnya) air ini menyebabkan arus yang cukup kuat sehingga dikuatirkan akan mengganggu bibit. Selain permasalahan arus, ketinggian air saat pasang juga merupakan kendala tersendiri. Genangan yang mencapai 1.5 meter dikuatirkan akan menyebabkan bibit tergenang berat, menjadi stress dan mati.

Atas dasar beberapa pertimbangan di atas, maka team assesment menyatakan bahwa areal yang diusulkan masyarakat sebagai lokasi rehabilitasi dinilai kurang sesuai untuk penanaman mangrove. Sebagai alternatifnya, perlu dicari lokasi-lokasi lain yang lebih sesuai dan prospektif sebagai lokasi penanaman mangrove.

b) Identifikasi lokasi-lokasi yang prospektif untuk rehabilitasi

Menindaklanjuti hal diatas, team melakukan survey di beberapa lokasi sekitar mudflat untuk mencari lokasi untuk penanaman mangrove di hari yang sama. Dalam survey ini, team mengunjungi 4 titik dan melakukan penilaian keseusuaian lahan di masing-masing titik tersebut. Ke-empat titik tersebut

berada di sepanjang tepi mud flat, berjarak 5-10 meter dari bagian tepi.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 251. Lokasi yang disurvey

Berdasarkan penilaian substrat dan hydrology, keempat titik memiliki banyak kesamaan karena berada dalam satu hamparan yang sama. Dari segi substrat, lapisan berlumpur masih dijumpai hingga kedalaman 1 meter. Setelah kedalaman 1 meter, substratnya berupa lumpur berpasir. Berdasarkan pengamatan yang lebih mendalam, substrat yang berada di tepi mudflat relatif lebih liat. Sebaliknya, semakin menjauhi tepi, kandungan air dalam lumpur semakin tinggi.

Berdasarkan pengukuran kedalaman yang dilakukan pada saat pasang (masih belum maksimal), pada jarak 20 meter dari tepi, ketinggian genangan mencapai 45 cm – 600 cm. Diperkirakan bahwa kedalam akan mencapai maksimal pada kisaran 70-90 cm. Semakin mendekati tepi, maka kedalaman genangan semakin berkurang secara gradual.

Selain itu, team juga mengamati saluran-saluran air dan anak sungai yang terhubung dengan mud flat ini. Secara umum, kondisi substrat dinilai ssuai untuk penanaman mangrove yaitu tanah berlumpur. Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya ikan tembakul dalam jumlah yang banyak. Dari segi hydrology, lokasi ini dinilai memiliki pengaruh air tawar yang cukup kuat, terutama pada saat surut. Kondisi ini sangat sesuai untuk jenis-jenis mangrove yang menyukai supply air tawar terutama jenis Tanjang Bruguiera spp.

Dari hasil survey ini, diperoleh kesimpulan bahwa setidaknya terdapat 3 tiga lokasi yang prospektif dan sesuai untuk penanaman mangrove yaitu areal disekeliling mudflat hingga 15 meter ke arah depan, areal disepanjang saluran air atau anak sungai, dan areal di dalam tambak.

c) Identifikasi potensi

1. Aksesibilitas tinggi Salah satu kelebihan lokasi penanaman di Desa Keude Aceh adalah kemudahannya dalam menjangkau

lokasi (aksesibilitasnya tinggi). Seagiaman diketahui bahwa desa ini dengan mudah dapat dicapai dengan mengunakan alat transportasi darat baik motor, maupun kendaraan roda empat. Dari pusat kota Lhoseumawe, waktu yang dibutuhkan untuk menjangaku lokasi ini bahkan kurang dari 10 menit. Disamping itu, lokasi ini juga memungkinkan dijangkau dengan menggunakan perahu namun apabila dalam keadaan pasang. Dalam kaitannya dengan rehabilitasi, kondisi ini sangat menguntungkan yaitu membuat kegiatan di lapangan berjalan lebih ekonomis, efektif, dan efisien. Selain itu, proses monitoring dan evaluasi setelah penanaman juga akan dapat terselenggara lebih mudah.

2. Ketersediaan sumber bibit Setidaknya terdapat 4 koloni mangrove jenis Api-api Avicennia marina di sekitar lokasi penanaman.

Selain itu, beberapa jenis mangrove lainnya (seperti Sonneratia spp., Rhizophora mucronata, dan R.apiculata) juga dengan mudah dijumpai di sekitar lokasi terutama di sekitar tambak, saluran air dan anak sungai. Berdasarkan pengamatan di lapangam sebagian besar pohon di kawasan mangrove telah menghasilkan buah. Bahkan untuk jenis api-api, beberapa koloni telah berhasil melakukan regenerasi secara alami sehingga ukuran koloninya semakin bertambah.

396 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Secara umum dapat dikatakan bahwa kawasan ini menyimpan potensi sebagai penghasil benih yang dapat dimanfaatkan untuk rehabilitasi. Bahkan untuk jenis api-api, bukan hanya benih yang bisa dimanfaatkan namun juga anakan alamnya. Brdasarkan pengamatan di lapangan kelompihan produksi benih berdasarkan jenis mangrove yang ada di sekitar lokasi adalah sebagai berikut:

Tabel 169. Kelimpahan benih jenis-jenis mangrove di desa Keude Aceh

No Jenis Kelimpahan Lokasi

1 Avicennia marina

Sekitar mud flat

2 Avicennia lannata

Sekitar mud flat

3 Sonneratia caseolaris

Sepanjang saluran air, anak sungai

4 Sonneartia alba

Sepanjang saluran air, anak sungai

5 Rhizophora mucronata

Sepanjang saluran air, anak sungai

6 Rhizophora apiculata

Sepanjang saluran air, anak sungai

7 Rhizophora stylosa

Sepanjang saluran air, anak sungai

8 Bruguiera cylindrica

Barisan belakang di sepanjang saluran air, anak sungai

9 Bruguiera gymnorrhiza

Barisan belakang di sepanjang saluran air, anak sungai

3. Ketersediaan lokasi untuk penanaman mangrove Berdasarkan hasi penilaian lahan, terdapat beberapa lokasi yang dinilai memiliki kesesuaian yang

cukup tinggi untuk penanaman mangrove. Lokasi-lokasi tersebut adalah areal disekeliling mudflat hingga 15 meter ke arah depan, areal disepanjang saluran air atau anak sungai, dan areal di dalam tambak.

Dengan tersedianya lokasi yang seusai ini, maka kegiatan penanaman mangrove secara teknis dapat dilakukan di desa Keude Aceh. Namun demikian, keputusan untuk melakukannya harus memperhatikan beberapa pertimbangan yang lain.

d) Identifikasi kendala dan faktor pembatas

1. Pola pikir sebagian anggota kelompok masih berorientasi pada keproyekan (“project oriented”) Pola pikir masyarakat yang memposisikan bahwa program Green Coast seperti proyek pemerintah

lainnya. Dalam hal ini, setiap kegiatan selalu dikukur dengan uang. Sebagai contoh, masyarakat selalu bialng bahwa kegiatan rehabilitasi yang pernah ada selalu mengalami kegagalan karena tidak ada pemeliharaan. Dan untuk memelihara tanaman, masyarakat menginginkan adanya dana khusus yang dibeirkan kepada mereka utuk memelihara tanaman. Padahal secara teknis, pemeliharaan praktis tidak mutlak diperlukan apabila penanaman dilakiukan pada lokasi yang sesuai dengan tata cara yang baik dan benar. Hal ini telah terbukti dengan hasil penanaman swadaya masyarakat dimana tanaman mangrove tumbuh dengan subur tanpa dipelihara secara intensif.

2. Permasalahan sampah Sampah merupakan salah satu kendala bagi penanaman mangrove, bak di tambak maupun di

daratan lumpur (mud flat). Secara langsung memang masyarakat tidak membuang sampah di lokasi penanaman, melainkan di sekitar rumah masing-masing. Namun demikian, lokasi pembuangan sampah masyarakat selalu terkoneksi dengan lokasi penanaman dengan media perantara air saat pasang.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 252. Pembuangan sampah secara sembarangan oleh masyarakat

Bahkan seringkali sampah atau sisa-sisa material (terutama yang terapung) terhanyut oleh arus pasang dan menabrak bibit. Pada saat survey, team menjumpai beberapa tanaman yang hampir roboh karena tertabrak oleh kayu yang hanyut. Hingga sekarang, belum ada upaya dari masyarakat untuk mengendalikan sampah. Bahkan pada saat ditunjukkan bibit-bibit yang hampir roboh karena tertabrak kayu, mereka tidak hanya diam saja tanpa turun tangan menyingkirkan kayu tersebut. Hal ini mengidnikasikan bahwa atensi dan perhatian masyarakat atas kegiatan rehabilitasi (penanaman mangrove) sangat lemah.

Gambar 253. Bambu yang hanyut menghantam bibit sehingga hampir roboh

3. Mis-persepsi internal dalam pengelolaan kegiatan Pada saat kunjungan dilakukan, team menjumpai kondisi dimana keresahan melanda sebagian besar

anggota kelompok. Keresahan ini dipicu oleh suatu kekuatiran tidak direalisasikannya bantuan ekonomi mengingat hasil kegiatan penanaman tidak seperti yang ditargetkan. Bahkan telah timbul wacana di kalangan anggota untuk mengundurkan diri dari kegiatan. Kondisi ini memaksa Small Grant Manager turun tangan dengan memfasiltasi pertemuan antara Kelompok Tani Bieng Bangka dengan Yayasan LIMID. Dari pertemuan ini diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi mis-persepsi mengenai mekanisme dan konsep green coast. Anggota kelompok beranggapan bahwa apabila target belum tercapai tanpa memperdualikan alasan apapun maka bantuan perekonomian tidak akan diturunkan. Padahal dalam hal ini terdapat beberapa pertimbangan dalam mengatasi permasalahan tersebut (jika ada). Penghentian bantuan hanya akan dilakukan apabila kegagalan penanaman diakibatkan oleh keteledoran masyarakat pada saat menanam atau sebab lain yang disebabkan oleh kesengajaan. Sementara bila terjadi hal-hal yang diluar jangkauan manusia (force majeur), maka bantuan ekonomi akan tetap dilanjutkan. Pada akhirnya, mis-persepsi ini berhasildiluruskan sehingga pemahaman anggota kelompok menjadi lebih baik dan lebih komprehensif. Merekapun tidak jadi mengundurkan diri dari program Green Coast 2 ini.

398 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 254. Diskusi untuk meluruksan mispersepsi atas program Green Coast

Ancaman hama tritip Pada saat survey dilakukan, team menemukan ancaman hama tritip di beberapa tempat, baik di

mudflat maupun di tambak. Bahkan beberapa tanaman hasil penanaman GC 1 dan proyek penanaman lainnya juga terserang hama ini. Kondisi ini merupakan salah satu pembatas yang dikuatirkan dapat berdampak negatif terhadap kegiatan rehabilitasi yang akan dilakukan.

Gambar 255. Serangan tritip pada sebagian besar mangrove

e) Hasil analisis mengenai prospek rehabilitasi

Dengan memperhatikan kendala, potensi, faktor pembatas serta beberapa pertimbangan lain, kegiatan penanaman mangrove di Desa Keude Aceh memunginkan untuk dilakukan namun dengan beberapa catatan khusus. Catatan khusus ini terkait dengan dijumpainya beberapa kendala dan faktor pembatas yang apabila tidak segera diantisipasi akan berdampak buruk terhadap kegiatan penanaman mangrove. Berdasarkan survey yang telah dilakukan, permasalahan sampah dan ancaman hama tritip harus segera ditanggulangi. Sementara di sisi lain, pembenahan internal pengelola kegiatan harus djuga dilakukan. Apabila hal-hal tersebut tidak dilakukan maka kegiatan rehabilitasi dikuatirkan akan terganggu dan berujung pada kegagalan.

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Kondisi Desa Keude Aceh yang tidak mengalami kerusakan parah akibat tsunami jika dibandingkan dengan desa-desa seperti Jambo Timu menyebabkan desa ini bisa dikatakan tidak banyak mendapat bantuan-bantuan pasca tsunami seperti yang diterima desa pesisir lainnya di Aceh.

Kerusakan 10 rumah yang terjadi saat tsunami telah diganti oleh pemerintah dengan membangun rumah di desa tetangga dan 10 keluarga tersebut telah pindah dan menempati rumah baru tersebut. Adapun beberapa lembaga donor atau implementator beserta jenis bantuan yang pernah diberikan di Desa Keude Aceh yaitu

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 170. Lembaga beserta jenis bantuan yang diberikan di Desa Jambo Timu

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. ADB

Agro input tambak

Penyusunan proposal oleh kelompok tambak

2 GERHAN

Penanaman mangrove

Selesai

3. P2KP

Perbaikan infrastruktur desa

Selesai

4. BRR

Pembangunan kegiatan budidaya perikanan sistem hampang

Selesai

dan seluruh fasilitasnya.

5. WIIP, Green Coast 2 Rehabilitasi ekosistem mangrove dan pemberdayaan ekonomi Sedang berjalan.

6. UNEP melalui WIIP

Modal usaha pengembangan akuakultur

Sedang berjalan

Perairan Keude Aceh berupa suatu teluk atau tepatnya bagian dari perairan Teluk Pusong. Kawasaan ini merupakan mudflat atau dataran lumpur dengan sisa tegakan bakau di sepanjang tepi. Fungsi kawasan teluk pusong ini cukup penting baik secara ekologi maupun ekonomi. Nelayan sampan, petani budidaya kerapu, pencari kerang mengandalkan kawasan tersebut sebagai sumber pendapatan. Secara ekologi, mudflat di teluk pusong menjadi feeding ground berbagai jenis burung. Di sekitar tempat ini juga menjadi lokasi bersarang burung air penetap.

Di lain pihak kawasan ini mendapatkan banyak tekanan. Kebutuhan lahan yang semakin besar memacu kegiatan penimbunan /reklamasi di kawasan tersebut. Di sisi utara teluk, reklamasi berjalan dengan skala yang cukup massif dengan adanya rencana pembangunan fasilitas pertokoan, dan di bagian barat, di dekat muara dilakukan reklamasi untuk penambahan fasilitas sekolah.

Kemungkinan besar, keunikan bentang lahan kota Lhokseumawe menjadi salah satu penyebab adanya permasalahan dalam pengelolaan drainase perkotaan. Drainase kota yang sulit untuk terbuang ke laut menjadikan kawasan kota cepat kebanjiran apabila hujan datang. Terlepas dari keunikan bentang lahan ini, ada kemungkinan bahwa desain drinase kota pada awalnya kurang memperhatikan keunikan ini. Penyelesaian masalah drainase secara parsial dari waktu ke waktu ikut memperparah keadaan dan mengaburkan permasalahan sebenarnya dan memperkecil peluang penyelesaian secara efisien dan menyeluruh.

Secara tidak disadari, kesulitan dalam menangani drainase kota justru diperumit dengan aktifitas- aktifitas yang kurang memperimbangkan aspek lingkungan. Reklamasi yang berjalan terus-menerus semakin mengurangi ruang untuk air. Akibatnya, ketika air laut pasang, air akan mengisi ruang yang tersisa dengan tinggi permukaan yang lebih tinggi.

Hingga saat ini tidak terdapat kegiatan rekonstruksi baru yang secara langsung berdampak pada peningkatan atau penurunan kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Keude Aceh. Ancaman yang paling besar justru diperkirakan akan terjadi jika rencana pemerintah untuk menutup Teluk Pusong menjadi reservoar pengendali banjir dilaksanakan.

Di tengah kesulitan penanganan drainase kota, muncul satu rencana untuk membangun reservoir tepat di dataran lumpur Teluk Pusong. Areal seluas 60 Ha tersebut akan dikeruk sedalam 0.5 m sehingga dapat menampung air sebanyak 300.000M3. Resevoir ini akan dilengkapi dengan tanggul dan pintu air. Pada saat air pasang pintu akan ditutup dan ketika air surut air yang ada di dalam reservoir akan dibuang.

Rencana pembuatan reservoir ini, saat ini menjadi satu-satunya rencana kongkrit untuk mengatasi masalah banjir di kawasan kota. Pemerintah Kota dan Pemerintah Propinsi dengan dukungan pembiayaan dari BRR tengah mempersiapkan pelaksanaan rencana ini. Jika memang metode ini menjadi satu-satunya alternative yang efektif dan efisien dalam penanganan masalah banjir, maka hendaknya diwasapadai beberapa kemungkinan pengaruh atau dampak yang akan muncul baik dari aspek ekologi maupun social ekonomi

400 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Perubahan ekologi akibat pembangunan reservoir dapat berupa perubahan pada ekosistem mudflat, perubahan pada ekosistem mangrove dan pengaruh perubahan tersebut pada hidupan liar. Pengerukan dan pembangunan tanggul akan mangganggu komunitas bentik di tempat tersebut, akibatnyapakan bagi burung air berkurang. Komunitas mangrove yang masih tersisa tidak akan lagi tumbuh dengan karena perubahan pola genangan.

Dalam aspek social ekonomi yang terkait dengan rencana pembangunan reservoir, dapat dikatakan bahwa Teluk Pusong merupakan lahan basah dengan benturan kepentingan yang besar. Di satu sisi, kebutuhan akan fasilitas pengendali banjir merupakan hal yang mutlak. Di sisi lain, kepentingan ekonomi sebagian masyarakat terpinggirkan. Para pencari kerang, nelayan sampan dan kemungkinan petani keramba apung kerapu akan terganggu.

Teluk Pusong adalah lokasi penangkapan ikan utama masyarakat Desa Keude Aceh. Paling tidak 36 keluarga nelayan akan langsung kehilangan sumber utama penghidupan. Memindahkan 36 keluarga nelayan ini bukan persoalan mudah sebab selama ini nelayan Keude Aceh tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk menangkap ikan di laut lepas. Peralatan yang mereka kuasai saat ini hanya sampan kecil dengan 1 – 2 pieces jaring gillnet, perangkap kepiting, dan serok. Kemampuan ini sangat tidak memadai jika diharuskan menangkap ikan diperairan Selat Malaka.

Kehilangan mata pencaharian utama yang sudah turun-temurun dijalani adalah persoalan yang sangat serius bagi masyarakat Desa Keude Aceh. Penutupan Teluk Pusong sendiri tidak hanya akan berdampak secara sosial ekonomi pada 36 keluarga nelayan tersebut tapi juga bagi masyarakat pesisir akibat perubahan kondisi ekologi. Valuasi ekonomi terhadap jasa lingkungan yang disediakan oleh Teluk Pusong ini yang justru belum dikaji sama sekali.

Selain program restorasi pesisir “Green Coast 2” yang saat ini sedang berjalan, telah terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya di desa ini sebagaimana dijelaskan dalam paragraf di bawah ini.

1. Pembangunan hutan mangrove melalui program GN-RHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan)

Penanaman mangrove yang dilakukan merupakan bagian dari Gerakan Nasioal Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dalam hal ini dikelola secara nasional oleh Deperatemen Kehutanan RI. Dalam pelaksanannya di lapangan, kegiatan ini dikelola oleh instansi pemerintah terkait di daerah masing- masing. Untuk program di Desa Keude Aceh, kegiatan ini di kelola oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe.

Gambar 256. Pembangunan hutan mangorve melalui GNRHL

Program ini mencakup areal seluas 10 Hektar dan dalam pelaksanannya di lapangan melibatkan masyarakat. Namun peliatan masyarakat ini hanya sebatas pada pemberian upah tanam kepada sebagian masyarakat. Sayang sayang bahwasanya program ini tidak dilanjutkan dengan kegiatan pemeliharaan. Berdasarkan perkiraan kasar, diprediksi bahwa prosentase tumbunya berkisar 40-50%. Beberapa kendala yang dihadapi dalam program ini adalah kuatnya arus air dan sampah.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Penanaman mangrove oleh masyarakat secara swadaya Masih di hamparan yang sama, suatu kegiatan penanaman dilakukan secara swadaya oleh beberapa

warga. Dengan mengumpulkan buah bakau (propagul) yang diperoleh di sekitar desa, mereka menanami sepanjang tepi mudflat hingga 20-25 meter ke arah depan. Kegiatan ini mulai dilakukan pada tahun 2004. Walaupun tanpa pemeliharaan yang intensif, terlihat bahwa prosentase tumbuh tanaman sangat tinggi dengan pertumbuhan yang cukup bagus. Kegiatan sekaligus merupakan bukti bahwa timgkat kesadaran masyarakat desa Kuede Aceh akan fungsi dan manfaat mangrove cukup tinggi. Namun berdasarkan wawancara mendalam, kesadaran ini hanya mencakup sebagian kecil warga saja.

Gambar 257. Tanaman mangrove hasil penananaman swadaya masyarakat

Berdasarkan observasi lapangan, terlihat bahwa bibit-bibit yang ditanam menunjukkan pertumbuhan yang berbeda antara yang berada di barisan belakang dan depan. Trend pertumbuhan semakin menurun ke arah depan. Di barisan belakang, pertumbuhan mangrove terlihat sangat baik. Semakin maju ke depan pertumbuhannya semakin menurun secara gradual dan teratur. Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan mangrove sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya, terutama kondisi substrat dan hydrolology.

Melalui kegiatan ini, terbukti bahwa penanaman mangrove, secara teknis, bukanlah merupakan masalah. Dalam hal ini, yang terpenting adalah kesadaran atas artipenting mangrove, motivasi dan kemauan yang tinggi untuk mau melakukan penanaman.

3. Penanaman melalui twinning programme WIIP bekerja sama dengan UNEP (United Nation Environment Programme) telah merealisasikan

program penanaman mangrove di areal tambak milik kelompok masyarakat yang diarahkan sebagai suatu embrio praktek silvofishery. Menghadirkan tanaman mangrove di dalam tambak diharapkan dapat meningkatkan daya dukung tambak sehingga produktifitasnya bertambah dan mendukung pertumbuhan ikan atau udang yang dibudidayakan. Tanaman mangrove dalam tambak ini dapat berperan sebagai feeding, hatchery, dan playing ground bagi ikan atau udang. Berbeda dengan tambak pada umumnya, pematang tambak yang ada sangat rendah. Apabila air pasang, pematang akan tergenang dan tidak terlihat sama sekali. Untuk menghindari keluarnya udang dari tambak, petani tambak memasang jaring disepanjang pematang tersebut. Teknik budidaya seperti ini telah dikenal luas oleh masyarakat Desa Keude Aceh. Istilah umum yang digunakan masyarakat tentang praktek berbudidaya tambak dengan menggunakan jaring pembatas adalah ”sistem Hampang”.

Gambar 258. Penanaman mangrove di dalam tambak melalui Twinning program (WIIP-UNEP)

402 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berdasarkan pengamatan di lapangan, prosentase tumbuh tanaman dalam program ini berkisar antara 50-60%. Sebagian besar tanaman, terutama yang berada di sepanjang pematang mengalami permasalahn dengan serangan hama tritip. Tanaman yang berada di dalam tambak juga mengalmai permasalahan yang sama namun jauh lebih ringan.

4. Penanaman oleh LIMID (mitra Green Coast) Di hamparan yang sama, penanaman mangrove telah dilakukan oleh LSM LIMID selaku mitra lokal

program Green Coast Tahap 1. Dalam kegiatan ini, LSM LIMID memberdayakan masyarakat baik dalam kegiatan pananaman dan pemberdayaan ekonomi melalui beberapa kegiatan usaha.

Lokasi penanaman tidak di tepi mudflat, melainkan sekitar 20 meter dari tepi badan air. Kondisi lokasi pada saat survey dilakukan tergenang sehingga hanya terlihat bagian ujung tanaman. Dari observasi yang dilakukan dijumpai bahwa banyak tanaman yang mati. Dari ciri-cirinya, diduga kuat bahwa penyebab kematian tanaman adalah faktor genangan air yang terlalu berat. Untuk memastikan intensitas genangan, pengukuran dilakukan pada plot penanaman dalam kondisi pasang belum maksimal. Dari pengukuran tersebut dapat diprediksi bahwa kedalam maksimum dilokasi ini bisa mencapai 120 cm.

Gambar 259. Kondisi tanaman GC 1 di lokasi penanaman

Analisis dari hasil survey mendeteksi bahwa lokasi penanaman dalam program penanaman mangrove ini kurang tepat. Di lokasi ini, genangan yang ada terlalu berat yaitu hingga mencapai ketinggian 120 cm. Berdasarkan penuturan masyarakat, hampir seluruh tanaman tergenang total pada saat pasang maksimal. Kondisi yang hampir selalu basah juga menyebabkan substrat menjadi lembek sehingga kurang teguh mencengkram akar tanaman. Bibit mangrove yang telah ditanam bisa roboh atau bahkan tercabut apabila arus (arus pasang surut) yang terjadi kuat. Atas dasar pengalaman inilah maka dalam program-program penanaman berikutnya harus melakukan prosedur penetapan lokasi yang sesuai.

5. Program penanaman mangrove oleh Green Coast phase 2 Pada saat kunjungan dilakukan, penanaman mangrove tahap awal telah dilakukan oleh Yayasan

LIMID dan LPLHA sebagai mitra program GC 2 di Lhokseumawe. Berdasarkan perencanaan, ditargetkan sebanyak 10 ribu bibit akan ditanam. Dengan asumsi jarak tanam 1 m x 1 m, maka setidaknya akan mancakup areal seluas 10 hektar.

Dalam pelaksanaannya di lapangan, kegiatan ini melibatkan dan memberdayakan masyarakat yang tergabung dalam “Kelompok Tani Bieng Bangka”. Konsep dasar dalam pengelolaan program ini relative sama dengan program sebelumnya yaitu mengombinasikan kegatan rehabilitasi pantai dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal yang berbeda dengan sebelumnya adalah bahwa kegiatan ekonomi tidak dilakukan bersamaan dengan penanaman. Dalam program baru ini(GC 2), sebagian bibit ditanam diawal dan kemudian dievaluasi hasilnya. Apabila prosentase tumbuhnya tinggi atau sesuai dengan target proyek maka bantuan ekonomi akan direalisasikan sebagai bentuk dari insentif keberhasilan kegiatan. Namun bila hasil penanaman tidak seperti yang diharapkan, maka hal ini akan berpengaruh terhadap bantuan ekonomi. Untuk tahap awal ini, penanaman dilakukan di dua lokasi yang berbeda yaitu penanaman di dataran lumpur (mudflat) dan penanaman di sekitar tambak. Di bawah ini adalah hasil pengamatan di dua lokasi penanaman.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Penanaman di sekitar dataran lumpur Lokasi penanaman berjarak sekitar 20 meter dari tepi dataran lumpur. Berdasarkan pengukuran di

lapangan, genangan di lokasi penanaman bisa mancapai 1.2 m dengan lama genangan lebih dari 2 jam (sebelum surut). Dan berdasarkan informasi dari masyarakat, lokasi ini tidak tergenang sama sekali pada saat surut. Observasi yang dilakukan melihat banyaknya tanaman yang mati karena tergenang berat. Prosentase tumbuh tanaman di lapangan diperkirakan berkisar 45-55%. Melihat sebagian bibit yang dalam keadaan tertekan, prosentase tumbuh ini diprediksi akan terus menurun.

Gambar 260. Kondisi tanaman GC 2 di lokasi penanaman

Dari analisa tanah yang dilakukan di lapangan diketahui bahwa lapisan substrat atas adalah lumpur dengan kandungan air yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan substrat tidak dapat mencengkeram tanaman dengan erat. Bahkan untuk menghindari roboh, propagul harus ditancapkan kedalam tanah lebih dalam. Dengan demikian maka propagul yang berada di atas substrat menjadi berkurang. Dapat diasumsikan apabila panjang rata-rata propagul adalah 60 cm dan dibenamkan ke dalam substart sedalam 15 cm maka sisa panjang propagul yang berada di atas susbtart hanyalah 45 cm. Dengan genangan maksimal setinggi 120 cm maka jelas bahwa propagul ini selalu tergenang total setiap hari minimal selama 2 jam.

• Penanaman di dalam tambak Penanaman mangrove juga dilakukan di daam tambak yang berada di belakang pemukiman

masyarakat. Jenis mangrove yang ditanam sama yaitu Rhizophora mucronata. Mangrove ditanam di dalam tambak dengan jarak tanam 1 x 1 m. Kehadiran Uca spp dan ikan gelodok menandakan bahwa susbstrat di lokasi penanaman memiliki kandungan lumpur. Namun demikian, susbstrat juga mengandung pasir walaupun komposisinya jauh lebih kecil. Adanya kandungan pasir dalam susbtrat ini ditandai dengan dijumpainya gelang air Sesuvium spp. Tumbuhan ini merupakan salah satu indikator biologis yang menandakana bahwa terdapat kandungan pasir dalam substrat.

Gambar 261. Kondisi tanaman pada lokasi penanaman di sekitar tambak

404 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berdasarkan pengamatan kasar, prosentase tumbuh diprediksi berkisar 50-60%. Kondisi tanaman terlihat kurang terawat yang mendnakan bahwa tidak ada kegiatan pemeliharaan pasca penanaman. Lokasi ini juga mengalami permasalahan yang cukup serius yaitu sampah. Masyarakat telah terbiasa membuang sampah semabarangan di areal sekitar lokasi penanaman. Apabila air pasang, sampah- sampah tersebut kerapkali hanyut dan sampai di lokasi penanaman.

Tidak jauh dari lokasi penanaman, terdapat petak bekas tambak yang pernah difungsikan sebagai bangunan. Pada petak ini, banyak sekali dijumpai hama trirtip yang menempel pada tiang bekas bangunan. Dikuatirkan, tritip ini akan menyebar hingga ke lokasi penanaman. Oeh karena itu, lagkah antisipasi perlu dilakukan dengan cara memutus akses dari petak yang terserang tritip ke lokasi penanaman.

Berasarkan informasi kelompok tani, penanaman yang lebih luas di areal tambak sudah tidak memungkinkanlagi dilakukan. Hal ini mengingat tambak-tambak yang ada di sekitar desa adalah milik orang lain yang bukan anggota kelompok. Kelompok justru mengusulkan untuk melanjutkan sisa penanaman di sekitar dataran lumpur (mudflat).

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

1. Rasionalisasi target bibit yang ditanam dikaitan dengan ketersediaan lahan Berdasarkan survey lapangan, areal yang dinilai prospektif untuk penanaman sekitar 3.25 hektar yaitu

2.25 hektar di areal tepi mudflat (panjang 1500 m, dengan lebar 15 m) dan 1 hektar areal di sepanjang saluran air dan tambak. Dengan asumsi jarak tanam bibit 1 x 1 meter, maka areal yang tersedia ini hanya mampu menampung 3000 bibit.

Sementara bila dikaitkan dengan target volume kegiatan yaitu sebanyak 10.000 bibit, maka areal yang tersedia tidak memadai untuk menampung bibit sebanyak itu. Apabila target volume ini dipaksakan, dikuatirkan sisa bibit tesebut akan ditanam di lokasi-lokasi yang tidak sesuai misalnya di areal yang jauh dari tepi mudflat. Atas dasar hal inilah, direkomendasikan untuk melakukan rasionalisasi atau peninjauan ulang target volume kegiatan, tentunya menyesuaikan dengan keterediaan lahan yang ada di lapangan.

Rasionalisasi ini bisa dilakukan dengan tetap menargetkan penanaman mangrove di lokasi seluas

3.25 hektar, baik di mudflat maupun di areal tambak. Sedangkan sisanya bisa dikonversikan dengan jensi tanaman daratan yang lain (misalnya tanaman buah-buahan), atau mangalihkannya pada program lain yang sesuai dengan ruang lingkup program Green Coast 2.

2. Pembenahan kondisi internal terkait dengan program Berdasarkan temuan bahwa masih terdapat perbedaan pemahaman mengenai konsep GC antara

fasilitator (LIMID) dan LPLHA dengan ”Kelompok Masyarakat Bieng Bangka”, maka perlu dilakukan pembenahan internal di antara kedua pihak ini. Pembenahan yang dilakukan bisa berupa:

Memastikan kembali komitmen kelompok dampingan, terkait dengan keterlibatannya dalam GC 2. Selain itu, perlu juga dipastikan bahwa kelompok inibisa bekerjasama/bermitra dengan Yayasan LIMID sebagai fasilitator di lapangan.

Menyamakan persepsi mengenai program penanaman mangrove dan pemberdayaan ekonomi yang akan dilakukan di desa ini. Dalam hal ini perlu diluruskan kembali mengenai konsep dan pendekatan GC 2 yang jauh berbeda dengan proyek pemerintah pada umumnya. Salah satu kegiatan yang bisa dilakukan antara lain sosialisasi program oleh Yayasan LIMID. Bilaman perlu, kegiatan ini bisa difasilitasi oleh WIIP Kantor Aceh selaku penanggung jawab kegiatan secara umum.

Perlunya pendampingan terhadap kelompok secara terus menurus dan berkelanjutan. Dengan demikian, maka setiap dinamika yang ada di dalam kelompok dengan cepat akan dapat diketahui oleh lembaga untuk kemudian ditindak lanjuti.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. Rekomendasi teknis untuk program penanaman mangrove Berdasarkan pertimbangan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa keempat lokasi tersebut

memiliki kesesuaian yang cukup sebagai lokasi penanaman. Namun demikian, lokasi penanaman sebaiknya mengacu pada beberapa syarat sebagai berikut:

• Penanaman sebaiknya dilakukan dengan mengikuti garis tepi mudflat.Dengan demikian maka bentuk lokasi penanaman tidak berupa empat persegi panjang, namun berbelok-belok mengikuti alur tepi mudflat.

• Dengan pertimbangan genangan dan kandungan air dalam substrat lumpur, maka penanaman sebaiknya dilakukan hingga 10 meter (atau maksimal 15 meter) dari tepi mudflat.

• Untuk lokasi yang lebih dalam (di barisan depan), jenis mangrove yang ditanam sebaiknya Rhizophora mucronata karena propagulnya lebih panjang. Sedangkan untuk barisan di belakangnya, jenis mangrove yang disarankan untuk ditanam adalah Rhizophora apiculata, R. stylosa, Ceriops decandra, Avicennia marina, Avicennia lannata, Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris. Mengingat sebagian besar mangrove didominasi oleh jenis apui-api, maka jenis mangrove sebaiknya diprioritaskan selain jenis ini.

• Untuk jenis Rhizophora mucronata dan R.apiculata, penanaman sebaiknya dilakukan dengan menggunakan propagul yaitu dengan cara menacapkannya secara langsung kedalam substrat. Namun utnuk menghidnari serangan hama, propagul tersbut harus direndam dalam air payau selama 4-7 hari.

• Sementara untuk jenis Api-api Avicennia spp, sangat disarankan untuk memanfaatkan benih atau anakan yang dapat diperoleh dengan mudah di sekitar lokasi. Namun untuk jenis pedada atau berembang Sonneratia spp, perlu dibuat persemaian daratan untuk mempersiapkan bibit terlebih dahulu. Buah pedada ini dapat peroleh dari koloni mangrove yang mendiami slauran air atau anak sungai.

• Selain di tepi mudflat, penanaman juga dapat dilakukan di sepanjang saluran air atau anak sungai. Di lokasi ini, jenis mangrove yang disarankan utnuk ditanam anatara lain Rhizophora apiculata, R.mucronata, Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris.

4. Alternatif pengendalian dan pencegahan hama tritip Bilamana penanaman mangrove akan dilakukan, maka kegiatan pemeliharan harus dilakukan secara

terus menerus hingga tanaan dewasa dan tahan terhadap serangan hama ini. Hingga saat ini, belum ada teknik yang tepat guna dalam mengatasi masalah hama tritip ini kecuali mengerok tritip secara manual pada tanaman yang terserang. Namun sebagai langkah pencegahan, dapat dilakukan upaya pemutusan akses antara areal yang telah terserang tritip dengan lokasi yang akan ditanami. Pemutusan akses ini bisa dilakukan dengan memasang jaring yang memisahkan kedua lokasi ini.

406 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

M. JAMBO TIMU

1. Profil Umum Lokasi

Desa Jambo Timu Terletak di pesisir timur Aceh tepatnya di wilayah kabupaten Aceh Utara. Sebagian besar termasuk dalam system lahan PTG (Puting) yaitu kompleks beting pantai dan cekungan antar beting pantai dan sebagian lainnya termasuk dalam system lahan KHY (Kahayan) yaitu dataran gabungan endapan muara dan endapan sungai. Pada sistem lahan PTG batuan atau mineral dominant adalah alluvium dan endapan pantai berumur muda. Pada system lahan KHY batuan atau mineral dominan adalah alluvium, alluvium sungai muda dan campuran endapan sungai dan estuarine muda.

Jika dibandingkan dengan desa-desa di pesisir barat, desa Jambo Timu yang terletak di peisir timur mempunyai iklim yang relative lebih kering. Bulan-bulan dengan curah hujan rata-rata kurang dari sama dengan 100 mm sebanyak 9 bulan. Tiga bulan lainnya mempunyai curah hujan rata-rata antara 100 – 300 mm.

Desa Jambo Timu adalah adalah desa yang letaknya di bagian ujung wilayah administratif Kota Lhokseumawe sebab berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara di sisi Tenggara. Desa Jambo Timu sendiri masuk dalam wilayah Kemukiman Meuraksa Kecamatan Blang Mangat. Wilayah Desa Jambo Timu yang luasnya sekitar 192 ha dibagi kedalam 4 dusun yaitu Dusun Bahagia, Meunasah, Kemurahan, dan Dusun Sejahtera. Jarak Desa Jambo Timu ke Kota Lhokseumawe sekitar 10 km yang dapat ditempuh selama empat puluh menit perjalanan darat.

Desa Jambo Timu adalah desa yang paling parah di Kota Lhokseumawe yang terkena gelombang tsunami Desember 2004. Hampir semua bangunan rumah dan fasilitas publik hilang atau mengalami rusak parah. Korban jiwa mencapai 68 orang, umumnya orang tua dan anak-anak. Saat ini berbagai upaya rekonstruksi dan rehabilitasi yang telah dilaksanakan secara bertahap dapat dikatakan telah berhasil mengembalikan kehidupan masyarakat ke kondisi semula.

2. Tipologi Lahan Basah

Ekosistem lahan basah di Desa Jambo Timu meliputi pantai berpasir dan tambak. Uniknya, sebagian tambak-tambak tersebut semula merupakan sawah.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

408 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 262. Lokasi pengamatan di desa Jambo Timu

E : Pantai Berpasir Pantai di Desa jambo Timu dan sekitarnya merupakan pantai berpasir yang landai. Tidak terdapat

perubahan garis pantai yang mencolok sebagai akibat dari tsunami seperti yang terjadi di pesisir barat Aceh. Di belakang garis pantai banyak terdapat tumbuhan pandan dan tanaman kelapa.

1 : Aquaculture Desain dari tambak-tambak di Jambo timu sedikit berbeda dengan di daerah lain. Sebagian tambak

yang ada, terutama yang jauh dari laut dibangun dengan permukaan kolam lebih rendah dari saluran air. Hal ini disebabkan tambak-tambak yang di belakang hanya terjangkau air pada saat pasang tertinggi. Sebagai pendukung, saluran air pun berdimensi lebih kecil.

Dibandingkan dengan daerah-daerah lain kerusakan akibat tsunami di Jambo Timu tidak terlalu parah. Meskipun demikian untuk wilayah Lhokseumawe kerusakan di desa Jambo Timu tergolong paling parah. Kerusakan fisik kebanyakan terjadi pada bangunan perumahan dan fasilitas lainnya yang berada di tepi pantai. Tidak terdapat perubahan morfologi pantai yang mencolok. Vegetasi yang ada di sepanjang pantai yang sebagian besar berupa kebun juga tidak mengalami kerusakan secara fatal.

Jambo Timu adalah kawasan pedesaan dengan penggunaan lahan utamanya adalah pemukiman dan kawasan budidaya. Kawasan budidaya berupa tambak dan kebun terdapat diantara blok-blok pemukiman. Dapat dikatakan, Desa Jambo Timu merupakan desa dengan upaya penataan ruang yang cukup baik. Sebagian rumah-rumah yang mengalami kerusakan karena tsunami, direlokasi meskipun dengan jarak yang relative dekat. Dengan demikian disebagian besar garis pantai berfungsi dengan cukup baik sebagai penyangga dan pelindung bagi pemukiman dan fasilitas lain di belakangnya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Sebagian tambak-tambak di desa Jambo Timu, mempunyai desain yang berbeda dengan tambak- tambak di daerah lain. Sebagian tambak dibangun pada areal yang sebelumnya merupakan tanah pertanian (sawah). Areal ini cukup jauh dari jangkauan pasang air laut sehingga tambak dibangun dengan kolam lebih dalam dibanding saluran air. Aluran air juga dibuat lebih sempit sehingga air lebih cepat mengisi hingga ke bagian ujung saluran.

Tambak-tambak yang jauh dari jangkauan pasang, sebenarnya kurang ideal jika digunakan sebagai tempat penanaman mangrove. Mangrove memerlukan genangan air pasang sama pentingnya dengan keperluannya untuk memperoleh periode surut untuk tumbuh dengan baik. Terlebih lagi, jika penanaman dilakukan di tengah petakan tambak dimana air cenderung hampir tidak mengalami pergantian selama proses budidaya. Selain itu, setelah panen tambak hampir selalu dibiarkan dalam keadaan kering untuk periode yang cukup lama.

Dari pengamatan lapangan ditemukan beberapa individu dewasa dari jenis Bruguiera cylindrica tumbuh secara alami di saluran air. Tidak hanya individu dewasa, di sekitar tumbuhan induk ditemukan anakan dari tumbuhan tersebut. Jenis ini agaknya belum menjadi pilihan bagi masyarakat dalam kegiatan penanaman. Demikian juga dengan kemungkinan penanaman di sepanjang saluran, masih terkendala karena kekhawatiran dan kemungkinan terjadinya penyempitan saluran air.

3. Profil Vegetasi

Secara administrasi, desa Jambo Timur termasuk dalam wilayah kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. Dari situs resmi Pemerintah Kota Lhokseumawe, diketahui bahwa jumlah penduduk di desa ini sebanyak 3004 jiwa. Dari sejumlah desa yang ada di kecamatan Blang Mangat, lokasi yang terparah kena bencana adalah desa Jambo Timu. Sejumlah rumah di lokasi itu rata dengan tanah dan puluhan jiwa warga meninggal dunia.

Sebelum booming tambak udang, sebagian besar areal di desa Jambo Timu adalah hutan mangrove terutama di rawa pantai serta di sepanjang sungai yang bermuara ke laut. Saat ini, sisa-sisa pohon mangrove masih dapat dijumai namun daam jumlah yang sangat terbatas, terutama untuk jenis Api- api Avicennia marina, Tanjang Bruguiera cylindrica, Buta-buta Exacoeria agallocha, dan Sonneratia alba. Sisa-sisa pohon ini umum dijumpai secara sporadis di sepanjang sungai dan saluran air. Di sela- sela pohon tersebut juga seringkali dijumpai koloni waru laut Hibiscus tiliaceus.

Gambar 263. Sisa-sia pohon mangrove yang umun dijumpai di sepanjang saluran air

Secara umum, pesisir desa Jambo Timu memiliki beberapa tipe vegetasi yang terhampar dari tepi pantai hingga beberapa kilo ke daratan. Di tepi pantai, terdapat formasi Pes Caprae dimana penutupannya didominasi oleh berbagai jenis herba dan rerumputan. Salah satu penciri formasi ini adalah herba menjalar Ipomea pes-caprae. Tumbuhan ini dikenal sebagai pembuka kehidupan bagi jenis tumbuhan yang lainnya dalam artian bahwa kehadiran herba ini membuat lingkungan menjadi memungkinkan bagi tumbuhan pionir lainnya untuk tumbuh dan berkembang. Selain jenis ini, beberapa tumbuhan yang umum dijumpai di formasi ini antara lain Malapari Pongamia pinnata,

410 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gabusan Scaevola taccada, rumput teki laut Ischaemum muticum, dan beberapa jenis tumbuhan pionir lainnya. Di belakang formasi PC, terhampar formasi Barringtonia yang didalamnya dapat dijumpai beberapa jenis rumput, herba, semak, belukar bahkan pohon. Pada formasi ini, penutupan dikuasai oleh tumbuhan semak antara lain Gabusan Scaevola taccada, malapari Pongamia pinnata, mengkudu laut Morinda citrifolia, dan Leea indica. Di sela-sela semak, beberapa jeni pohon juga umum dijumpai terutama Waru Hibiscus tiliaceus, Putat Barringtonia asiatica, dan cemara Casuarina equisetifolia. Selain kedua tipe vegetasi, terdapat pula tipe vegetasi lainnya yaitu vegetasi sekitar desa, kebun masyarakat, dan sisa tegakan mangrove. Secara sederhana, letak dan penyebaran tipe vegetasi ini diilustrasikan oleh gambar 1 dan 2 di bawah ini.

Gambar 264. Letak dan posisi tipe vegetasi di Desa Jambo Timur, tampak dari atas

Keterangan :

A : Formasi Pes Caprae B : Formasi Barringtonia C : Vegetasi mangrove sekunder (sisa hutan mangrove) D : Vegetasi di sekitar tambak E : Kebun Masyarakat F : Vegetasi sekitar desa

Gambar 265. ”Cross section” type vegetasi di Desa Jambo Timu

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Di bawah ini adalah penjelasan lebih detail mengenai masing-maisng tipe vegetasi yang ada di desa Jambo Timu.

1. Formasi Pes-caprae (PC) Sebagaimana diilutrasikan oleh gambar di atas, formasi PC ini berada di barisan paling depan pesisir,

tepatnya disepanjang tepi pantai berpasir. Sesuai dengan namanya, formasi ini di dominasi oleh Ipomea pes-caprae, suatu herba menjalar yang secara lokal dikenal dengan nama tapak kuda. Herba seringkali dijumpai bersama-sama dengan beberapa jenis rerumputan antara lain teki laut Ischaemum muticum, Cyperus stoloniferius, Fimbristylis cymosa. Di sela-selanya, secara sporadis dtemukan Biduri Calatropis gigantea, kacang laut Canavalia maritima dan Pandanus odoratissima.

Di formasi Pc ini seringkali ditemukan berbagai jenis anakan alam (wildling) antara lain bintaro Cerbera manghas, nyamplung Calophyllum inophyllum, ketapang Terminalia catappa, putat laut Baringtonia asiatica, malapari Pongamia pinnata, dan waru Hibiscus tiliaceus. Diperkirakan ketebalan formasi ini berkisar antara 20-40 meter.

2. Formasi Barringtonia Formasi ini merupaan perkembangan daripada formasi Pes Caprae. Apabila dalam formasi PC lebih

banyak didominasi Ipomea pes-caprae dan beberapa tumbuhan pionir lainnya dalam jumlah yang sangat terbatas, maka dalam formasi Barringtonia ini telah berkembang pada tipe vegetasi yang lebih lanjut dengan jenis dan kerapatan yang jauh lebih tinggi.

Dibandingkan dengan formasi formasi di depannya (Formasi PC), penutupan di formasi ini jauh lebih rapat dan kaya. Bilamana formasi PC dikuasai penutupannya oleh jenis herba merambat dan rerumputan, maka di formasi barringtonia ini mulai bertambah jenisnya terutama dengan hadirnya berbagai jenis tumbuhan semak, belukar atau bahkan tingkat pohon. Beberapa jenis pohon umum yang sering dijumpai di formasi ini antara lain butun/putat laut Barringtonia asiatica, Ketapang Terminalia cattapa, Cemara Casuarina equisetifolia, Mengkudu Morinda citrifolia, Dadap laut Erithryna variegate, Waru Hibiscus sp., dan Cemara laut Causarina equisetifolia.

3. Mangrove sekunder atau sisa tegakan mangrove Dalam hal ini, yang dimaksud dengan mangrove sekunder adalah sisa-sisa pohon mangrove yang

tertinggal dari proses konversi yang terjadi dari hutan mangrove menjadi tambak beberapa tahun yang lalu. Sisa mangrove ini berupa pohon atau tegakan yang masih dijumpai secara sporadis di desa Jambo Timu. Sisa pohon mangrove sangatlah terbatas. Berdasarkan pengamatan di lapangan, jenis mangrove yang paling banyak dijumpai adalah jenis Api-api Avicennia marina dan Buta-buta Excoecaria agallocha. Kedua jenis ini umum dijumpai di sepanjang sungai, anak sungai atau saluran air di areal pertambakan. Di beberapa lokasi, masih juga dapat dijumpai beberapa jenis mengeove lainnya yaitu Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrizha, dan Jeruju Acanthus ilicifolius.

4. Vegetasi sekitar desa Yang dimaksud dengan vegetasi di sekitar desa adalah seluruh tumbuhan yang dijumpai di sekitar

pemukiman masyarakat termasuk didalamnya adalah di halaman/pekarangan, tepi jalan, tempat terbuka atau lokasi lain yang tidak merupakan areal budidaya (kebun). Sebagian besar tumbuhan ini adalah hasil penanaman masyarakat di sekitar rumah atau lingkungan dengan beberapa tujuan antara lain untuk memperoleh hasil budidaya (terutama buah), peneduh atau untuk mempercantik desa.

Tabel 171 berikut ini adalah beberapa jenis tumbuhan yang dijumpai di pekarangan desa Jambu timu.

412 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 171. Jenis-jenis tanaman yang umum dijumpai di sekitar desa Jambo timu

No Jenis Lokasi

1 Nangka Artocarpus heterophylus Pekarangan belakang

2 Kemiri Aleurites moluccana Pekarangan belakang

3 Mangga Mangifera indica Halaman rumah

4 Jeruk Bali Citrus maxima Halaman rumah

5 Rambutan Nephelium lapaceum Halaman rumah

6 Sukun Artocarpus incisus Pekarangan belakang

7 Mengkudu Morinda citrifolia Pekarangan belakang

8 Kakao Theobroma cacao Pekarangan belakang

9 Kopi Coffea canephora Pekarangan belakang

10 Kedondong Spondias pinnata Pekarangan belakang

11 Pisang Musa spp. Pekarangan belakang

12 Jambu bol Eugenia malaccensis Halaman rumah

13 Pinang Areca cathecu Sekitar halaman

14 Kelapa Cocos nucifera Pekarangan belakang

15 Ara Ficus septica

Kanan kiri jalan

16 Cemara Casuarina equisetifolia

Kanan kiri jalan

17 Kuda-kuda Lannea coromandelica

Kanan kiri jalan

18 Leea indica

Pekarangan belakang

19 Passiflora feotida

Pekarangan belakang

20 Waru Hibiscus tiliaceus Balu

21 Laban Vitex pinnata

Kanan kiri jalan

22 Ketapang Terminalia cattapa

Kanan kiri jalan

23 Bintaro Cerbera manghas

Kanan kiri jalan

24 Angsana Pterocarpus indicus

Kanan kiri jalan

25 Dadap laut Eryrhrina variegate

Kanan kiri jalan

26 Jarak Jathropa curcas

Kanan kiri jalan

27 Gamal Gliciridia sepium

Kanan kiri jalan

5. Kebun masyarakat Perkebunan merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat Desa Jambo timu. Pada umumnya,

terdapat dua komoditi utama yang dibudidayakan masyarakat dalam bentuk perkebunan yaitu kelapa Cocos nucifera dan Karet Havea brasiliensis. Pada umumnya, lantai kebun banyak ditumbuhi oleh beberapa jenis paku, herba dan semak antara lain Nephrolepis & Blechnunm sp., Bakung darat Crinum asiatica, Malapari Pongamia pinnata, Mengkudu Morinda citrifolia, Pandan Pandanus tectorius, Senduduk Melastoma candidum. Selai itu, beberapa anakan alam dari dari jenis Nyamplung Calophyllum inophyllum dan Waru Hibiscus tiliaceus.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

6. Vegetasi di sekitar tambak Yang dimaksud dengan vegetasi di sekitar tambak adalah semua jenis tumbuhan yang ada di sekitar

tambak, misalnya di sepanjang pematang, areal terbuka, sepanjang saluran dan beberapa lokasi lainnya. Pada pematang yang substratnya berpasir seringkali ditumbuhi oleh gelang air Sesuvium portulacastrum. Selain jenis ini, beberapa tumbuhan yang umum dijumpai antara lain Stachytarpheta jamaicensis, Widelia biflora, Clerodendrum inerme, dan Hibiscus tiliaceus. Sementara di sepanjang saluran air atau lokasi lain yang bersubstrat lumpur dan terkena pengaruh pasang surut, beberapa jenis mangrove yaitu Api-api dan buta-buta secara sporadis dapat dijumpai.

4. Keanekaan Fauna

Survey dilakukan pada tanggal 21 Januari 2008, lokasi yang dikunjungi adalah wilayah Blang Mangat yang secara administratif termasuk Desa Jambu Timur. Daerah survey berupa daerah pertambakan (udang & bandeng) serta bagian pemukiman penduduk. Pada pelaksanaan survey, tim mengidentifikasi tidak menjumpai jenis satwa liar dari kelompok mamalia, sementara 22 jenis burung, serta 4 jenis herpetofauna tercatat ditemukan di wilayah ini.

a) Mammalia

Kondisi wilayah survey yang sebagian besar berupa daerah pertambakan yang terbuka, nampak tidak menyediakan habitat yang cukup bagi mammalia. Pada survey dilaksanakan, tim tidak menemukan tanda-tanda keberadaan mammalia didaerah ini. Meski demikian, beberapa jenis satwa liar diinformasikan kadang ditemukan pada malam hari, yaitu: Musang (Paradoxurus hermaprodius). Pada bagian pemukiman yang ditanami kelapa dan beberapa tanaman lain, diperkirakan masih dapat menampung satwa liar seperti: Bajing kelapa (Callosciurus notatus).

b) Avifauna

Dari 22 jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini, 8 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Jenis yang dilindungi berasal dari kelompok burung air (4 jenis, terdiri dari 2 jenis kuntul, gajahan & dara-laut), kelompok burung pemangsa (2 jenis), kelompok raja-udang (1 jenis), serta kelompok burung madu (1 jenis).

Tabel 172. Jenis Burung yang Dilindungi yang ditemukan di Jambu Timur

No Nama Indonesia Nama Ilmiah Nama Inggris Status

1 Kuntul besar

E. alba

Great Egret

2 Kuntul kecil

E. garzetta

Little Egret

3 Elang Bondol

Haliastur Indus

Brahminy Kite

P, App II

4 Elang-laut perut-putih

Haliaeetus leucogaster

White-bellied Sea-eagle

P, App II

5 Gajahan pengala

Numenius phaeopus

Whimbrel P

6 Dara-laut kumis

Chlidonias hybridus

Whiskered Tern

7 Cekakak sungai

Halcyon chloris

Collared kingfisher

8 Burung-madu sriganti

Nectarinia jugularis

Olive-backed Sunbird

Keterangan :

P = Dilindungi, menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 (Noerjito & Maryanto, 2001). App. II = Appendix II, Kriteria perdagangan jenis satwa yang diatur dalam CITES (Convention on International

Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna, UNEP-WCMC, 2007).

414 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 414 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Empat (4) jenis satwa dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, yaitu: Katak Hijau Fajervarya cancrivora, Ular lumpur Cerberus rhynchops, Kadal Biasa Mabuya multifasciata, dan

Biawak Varanus salvator. Katak hijau cukup umum teramati pada malam hari di tepian tambak yang cukup lembab atau jenuh air, sementara Cerberus rhynchops kadang teramati di bawah permukaan air tambak yang dangkal. Biawak Varanus salvator jarang ditemukan, sementara Kadal Biasa Mabuya multifasciata beberapa teramati berjemur di bantaran tambak pada pagi hari.

5. Tanah dan Pertanian

a) Fisiografi, topografi dan geologi.

Jambo Timur merupakan wilayah dataran aluvial, yaitu peralihan antara laut dan daratan. Wilayah ini membentuk dataran yang cukup yang luas dengan topografi datar. Formasi aluvial campuran sedimen koluviasi sungai dan laut secara berselang seling seperti pasir, lumpur dan bahan organik membentuk tanah-tanah didaerah survei.

b) Tanah dan Kesesuaian lahan.

Tanah yang terbentuk di wilayah survei adalah hasil dari proses sedimentasi koluviasi dari daerah atas dan endapan laut. Tanah bagian atas sudah matang (ripe) atau telah mengalami perkembangan struktur yang dicirikan dengan adanya gumpalan-gumpalan membentuk stuktur tanah. Bagian bawah lapisan tanah berpasir dan agak porous. Pengaruh air irigasi dari laut yang menggenang membentuk tanah-tanah sulfat masam.

Karakteristik Tanah: Typic Sulfaquepts, berliat halus lapisan atas (0-50 cm) dan berpasir di lapisan bawah (>50 cm),

dalam, salin, kapasitas tukar kation sedang, kejenuhan basa tinggi, drainase terhambat. (Gleisol Tionik).

Penyebaran : Tanah Typic Sulfaquepts terdapat hampir di seluruh bagian dataran aluvial yang terpengaruh oleh air

laut dengan bentuk wilayah datar agak cekung, lereng 0-1persen. Tata guna lahan: Penggunaan lahan sebagian besar berupa lahan tambak. Potensi lahan: Potensi untuk tambak dan rehabilitasi mangrove sangat rendah sampai sedang dengan faktor

penghambat pasokan air tawar dan laut kurang dan tekstur tanah agak berpasir di bagian bawah sehingga memerlukan pengelolaan lahan yang intensif terutama menjaga air di dalam kolam.

c) Rekomendasi :

Untuk merehabilitasi lahan dengan tanaman mangrove pertimabangan pasokan air laut harus menjadi pertimbangan karena lokasi survei sangat kekurangan akan pasokan air laut. sedangkan untuk tambak disamping pertimbangan pasokan air laut dan air tawar juga harus memperhatikan kondisi tekstur tanah yang agak berpasir karena tidak dapat menahan air agak lama.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Pemukiman Jambo Timu awalnya adalah pecahan dari Gampong Jambo di Kemukiman Meuraksa sekitar tahun 1940an. Pemisahan ini dilakukan karena kompleksnya permasalahan di Jambo Timu sehingga memerlukan Keuchik sendiri untuk pengelolaannya. Pemisahan itu terjadi bersamaan dengan dibangunnya sekolah pertama yang kala itu masih bernama Sekolah Rakyat setingkat SD di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Desa Jambo Timu. Keberadaan Desa Jambo Timu sendiri diakui secara resmi oleh pemerintah pada tahun 1956. Dampak pemisahan desa tersebut dengan mudah ditelusuri saat ini karena banyak warga Desa Jambo Timu yang justru memiliki aset lahan dan identitas kependudukan di desa-desa tetangga.

Sebagian besar masyarakat Desa Jambo Timu menggantungkan hidupnya pada kegiatan perikanan yaitu budidaya tambak dan kegiatan penangkapan ikan di laut. Desa Jambo Timu cukup dikenal dikalangan pembenih kerapu karena keterampilan masyaraktnya dalam membesarkan kerapu dari ukuran 1 inch dari hatchery menjadi kerapu ukuran 3-4 inch yang siap dibesarkan di kolam pembesaran. Desa Jambo Timu juga dikenal sebagai salah satu desa penghasil udang kecepe atau udang sabu. Udang jenis ini biasanya dijadikan lauk atau kudapan penggugah selera makan (appetizer).

b) Demografi

(1) Populasi

Tsunami yang melanda Desa Jambo Timu pada Desember 2004 tidak saja menghancurkan seluruh infrastruktur dan perumahan tetapi juga menelan korban jiwa sebanyak 68 orang. Sebagian besar dari korban tersebut adalah orang tua dan anak-anak. Pasca tsunami masyarakat merasakan adanya pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, baik yang disebabkan oleh faktor kelahiran maupun perpindahan penduduk dari luar Desa Jambo Timu. Meski belum sampai pada tahap mengkuatirkan semua responden menyatakan bahwa jumlah penduduk saat ini sudah tidak sebanding dengan ketersediaan lahan pemukiman yang ada.

Hasil pendataan BPS menunjukan jumlah penduduk Desa Jambo Timu pada tahun 2003 sebesar 544 jiwa dan meningkat pada tahun 2005 sebesar 693 jiwa atau sebesar 27%. Komposisi jumlah laki- laki dan perempuan mengalami perubahan, pada tahun 2003 jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki sebanyak2% sedangkan pada tahun 2005 jumlah perempuan lebih sedikit 3,7% dari jumlah laki-laki. Namun secara umum komposisi ini berimbang.

Tabel 173. Populasi penduduk Desa Jambo Timu dan Kecamatan Blangmangat tahun 2003 dan 2005

Kepadatan Populasi

Tahun

Penduduk

Jumlah KK

Laki-laki Perempuan Total (ind/ km2)

Desa Jambo Timu

Kecamatan Blangmangat

Pasca tsunami terdapat pertambahan jumlah keluarga yang cukup tinggi yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah pernikahan. Sebagian responden mengakui bahwa banyaknya pasangan baru yang mempercepat proses pernikahannya karena adanya peluang untuk mendapat rumah bantuan tsunami bagi setiap keluarga (KK). Secara umum jumlah penduduk Kecamatan Blangmangat bertumbuh sebesar 6% seperti terlihat pada Gambar 266 berikut.

416 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Desa Jambo Timu

Kec.Blangmangat x 20

Perempuan Desa J. Timu

Pria Desa J. Timu

Gambar 266 Pertumbuhan Penduduk Desa Jambo Timu dan Kecamatan Blangmangat tahun 2003

dan 2005

Sejak jaman dulu penduduk Desa Jambo Timu tergolong sebagai penduduk multi etnis yang beragama Islam. Etnis yang paling dominan adalah Etnis Aceh (sub etnis Aceh Pase) sedangk an etnis lain yang ada di Jambo Timu adalah Etnis Batak, Jawa, dan Flores.

(2) Analisis strategi mata pencaharian

Sebagian besar masyarakat Desa Jambo Timu mengandalkan mata pencaharian pada kegiatan perikanan tangkap maupun budidaya. Salah satu komoditas yang memberikan kontribusi besar pada pendapatan keluarga adalah udang-udang berukuran kecil yang oleh masyarakat Desa Jambo Timu disebut udang kecipir atau udang sabu. Pada waktu-waktu tertentu udang ini bisa muncul melimpah diperairan sehingga pada saat itulah dimulai musim penangkapan udang kecipir. Pada masa-masa yang lain udang ini juga bisa menghilang sama sekali tidak ditemukan namun tidak pernah lebih dari satu tahun.

Seringnya komoditas perikanan muncul dan kemudian menghilang di perairan akibat perubahan musim menyebabkan masyarakat Jambo Timu mengembangkan strategi mata pencaharian yang bervariasi. Gambaran mengenai kegiatan mata pencaharian masyarakat dari bulan ke bulan disajikan pada Tabel berikut:

Tabel 174. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Jambo Timu sebelum Tsunami

Jenis mata pencaharian dimulai dari yang

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des terpenting

Perikanan tangkap

Teri/bilih - - - xx xx xx xx xx - - - - Tongkol - - - - - - - xx xx xx xx - Bawal Putih/Hitam

x Jenahar x x x x x x x x x x x x Kerapu x x x x x xx xx xx xx xx xx xx Rambe x x x x x x x x x x x x Kerang x x x x x x x x x x x x Perikanan budidaya

Bandeng - - x x x x x x x x - Kerapu - - - - - x x x x x x x Kebutuhan modal

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel diatas menunjukkan bahwa kegiatan perikanan tangkap memiliki variasi komoditas yang lebih banyak dan cenderung melimpah di musim timur antara bulan Agustus sampai dengan Januari. Sebaliknya menurut hasil wawancara kegiatan perikanan budidaya cenderung lebih baik pada musim barat karena pada musim tersebut adalah musim kemarau sehingga salinitas air meningkat dan terpenuhinya kebutuhan air dengan salinitas tinggi. Kondisi air untuk tambak pada umumnya memiliki salinitas yang terlalau rendah dan cenderung ke arah tawar sehingga kurang cocok untuk ikan-ikan air payau yang dibudidayakan. Kemdala lainnya dalam budidaya adalah suplai air yang terbatas yang saat ini diatasi dengan adanya bantuan pompa air sebanyak 4 buah yang dimanfaatkan secara berkelompok.

(3) Budidaya Tambak

• Bandeng Budidaya tambak saat ini adalah pekerjaan utama masyarakat Desa Jambo Timu dengan ikan

bandeng sebagai komoditas utama. Tambak-tambak yang ada di Desa Jambo Timu sebagian besar awalnya rawa-rawa mangrove dan persawahan. Pada tahun 70an rawa-rawa kemudian diubah menjadi tambak-tambak bandeng dan udang. Pada tahun 80an komoditas udang mulai terkenal karena harganya melambung tinggi jauh melebihi keuntungan usaha pertanian sawah. Hal tersebut mendorong petani di Jambo Timu untuk mengkonversi lahan sawahnya menjadi tambak.

Puncak produksi tambak terjadi antara tahun 1994 hingga tahun 1997 dan setelah masa tersebut tambak udang mengalami kegagalan total. Hingga saat ini kegiatan budidaya udang tidak dilakukan lagi. Hampir semua upaya percobaan budidaya udang yang dilakukan oleh warga berakhir dengan kegagalan. Saat ini semua kegiatan pertambakan difokuskan pada budidaya bandeng yang meskipun hanya menghasilkan keuntungan sedikit tapi memiliki resiko kegagalan yang rendah.

Bandeng biasanya dibudidayakan 2-3 kali setahun dengan masa budidaya per siklus sekitar 4 bulan yang dilakukan oleh petambak di kolam sendiri, menyewa, atau bagi hasil. Sewa rata-rata tambak di Desa Jambo Timu yang berukuran 0.5 ha adalah sekitar Rp 1 juta/per tahun. Untuk buruh tambak yang tidak memiliki modal maupun lahan bisa bekerja pada pemilik sekaligus pemodal. Sistem ini memberikan 20% hasil produksi pada buruh tambak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 267 a. Sedangkan petambak/pemilik tambak yang ingin tidak ingin mengelola tambaknya dapat meminjamkan asetnya pada pekerja sekaligus pemodal. Sistem yang diterapkan adalah sistem bagi hasil yaitu masing-masing memperoleh separuh bagian dari hasil penjualan bersih seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 267 b.

Buruh Tambak

Panen

Pemilik/Pemodal (b)

Pemilik Tambak

Modal Kerja

Gambar 267 mekanisme bagi hasil antara pemilik tambak dan penggarap tambak

418 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pemasaran hasil panen bandeng dari petani hingga konsumen melewati rantai yang cukup panjang. Penjualan oleh petani dilakukan di desa kepada muge (pengumpul) yang secara proaktif datang ke desa untuk memantau kolam-kolam yang akan panen. Muge selanjutnya akan menjual bandeng tersebut ke agen-agen bandeng di pasar. Melalui agenlah pedagang-pedagang pasar akan menerima bandeng untuk selanjutnya dijual ke konsumen rumah tangga. Setiap transaksi biasanya akan menambah harga 1000 rupiah per kilogram. Ilustrasi kenaikan harga tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:

• Petani menjual pada muge

: Rp 15.000/kg

• Muge menjual pada agen

: Rp 16.000/kg

• Agen menjual pada pedagang

: Rp 17.000/kg

• Pedagang menjual pada konsumen : Rp 18.000/kg

Ilustrasi diatas menunjukkan bahwa total biaya transaksi adalah Rp 3.000 atau sekitar 20% lebih untung bila dijual langsung kepada konsumen. Hingga saat ini budidaya bandeng adalah komoditas yang paling umum dibididayakan masyarakat di Desa Jambo Timu. Beberapa lembaga seperti GTZ pernah merencanakan dilakukannya kegiatan perbaikan teknis budidaya tetapi berdasarkan informasi dari masyarakat belum dilaksanakan hingga saat ini.

• Kerapu Komoditas budidaya perikanan lain yang cukup dikenal di Desa Jambo Timu adalah pendederan

kerapu. Kegiatan pendederan kerapu bisa dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan sumber anakan dan harganya. Anakan kerapu yang berasal dari perairan Desa Jambo Timu biasanya adalah kerapu lumpur Epinephelus lanceolatus atau kerapu tikus Cromileptes altivelis yang muncul antara bulan Mei hingga Desember. Anakan ini selanjutnya dibesarkan dalam karamba apung yang diletakkan dalam tambak dan setelah berukuran 3-4 inch akan dijual keluar kota untuk dibudidayakan. Anakan kerapu yang dihasilkan dari perairan Desa Jambo Timu ini biasanya berharga lebih murah , Rp 2.000 – Rp 3.000 per ekor.

Pada musim-musim yang sulit untuk memperoleh anakan kerapu dari Desa Jambo Timu, kegiatan pendederan tetap bisa berjalan seperti biasa. Anakan yang dipelihara dalam pendederan adalah anakan kerapu dari luar kota, masyarakat menyebutnya dari Medan atau Bali. Anakan yang didatangkan adalah anakan kerapu macan Ephinepilus fuscoguttatus yang masih berukuran 1 inch seharga Rp 2.500 per ekor. Anakan ini setelah dipelihara sekitar 2 bulan dapat mencapai panjang 3 inch dan telah bernilai jual Rp 4.500 per ekor.

(a) Nelayan Lokal

Gambar 268. Pola pemasaran dan sumber anakan kerapu usaha pendederan kerapu di Desa Jambo

Timu.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pemasaran anakan kerapu yang diambil dari perairan desa telah memiliki jalur tetap yaitu dari penangkap, pendeder, dan agen. Rantai pemasaran tersebut seperti yang disajikan dalam Gambar 268 a. Sedangkan pemasaran anakan kerapu yang diambil dari luar kota adalah dari agen, pendeder, dan dijual kembali ke agen seperti disajikan dalam Gambar 268 b.

Modal kerja kegiatan perikanan budidaya bandeng maupun anakan kerapu umumnya berasal dari modal sendiri yang disisihkan setiap kali memperoleh keuntungan. Pada saat-saat tertentu dimungkinkan juga untuk meminjam modal kepada muge terutama untuk usaha budidaya bandeng. Tidak terdapat bunga atau aturan main yang ketat soal modal dari muge. Setiap panen, petambak bisa mencicil utang tersebut kepada muge sekaligus memberikan hak monopoli penjualan hasil panen kepada muge tersebut.

(4) Perikanan Tangkap

Kegiatan perikanan tangkap oleh nelayan Desa Jambo Timu umumnya dilakukan di daerah dekat pantai (one day fishing) yang masih dalam otoritas wilayah Panglima Laot Meuraksa. Terdapat beberapa jenis alat tangkap yang biasa dipakai nelayan Desa Jambo Timu antara lain: pancing, jaring insang (gill net), serok, mini trawl dan pukat cincin. Alat tangkap yang paling umum digunakan oleh nelayan adalah pukat cincin (purse seine) yang terutama digunakan untuk menangkap Ikan Teri/Bilih Stolephorus indicus. Dalam pelaksanaan di lapangan, ikan-ikan seperti Tongkol dan Bawal yang biasa muncul disekitar gerombolan teri juga ikut tertangkap. Seringnya nelayan Jambo Timu menggunakan pukat cincin dengan perahu bermesin 40 PK menyebabkan nelayan Jambo Timu menjadi identik dengan nelayan pukat cincin.

Ikan teri/bilih biasanya ditangkap oleh nelayan antara bulan April hingga Agustus. Ikan-ikan ini diawetkan dengan menggunakan garam dan dijemur di terik matahari. Produksi ikan teri Jambo Timu adalah salah andalan mata pencaharian nelayan. Kegiatan produksi ikan teri asin umumnya ditekuni oleh perempuan.

Ikan lain yang juga cukup aktif tertangkap oleh nelayan Jambo Timu adalah Tongkol yang biasanya muncul selama bulan Agustus hingga November dan Bawal yang muncul sepanjang tahun. Ikan tongkol dan bawal biasanya dijual dalam bentuk ikan segar ke muge yang datang ke desa atau dibawa langsung ke TPI Pusong. Ikan tongkol dan bawal biasanya tertangkap dengan pukat cincin diperairan dekat pantai Desa Jambo Timu.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu komoditas perikanan favorit yang diandalkan masyarakat Jambo Timu adalah Udang Kecipir atau udang sabu. Penangkapan udang sabu menggunakan sejenis serok yang dipasang di perahu bermesin, digunakan untuk menyaring udang sabu dari perairan. Udang Sabu biasanya muncul antara bulan Januari hingga Oktober tetapi selama dua tahun terakhir udang sabu tidak pernah muncul lagi. Terdapat dugaan kuat bahwa populasi udang ini semakin menurun karena terlalu besarnya kegiatan penangkapan pada musim- musim udang sabu.

Diperairan Jambo Timu juga bisa ditemukan sejenis kerang yang bisa dijual Rp 4.000 – 5.000 per kg. Tiram-tiram ini bisa ditangkap sepanjang tahun dengan menggunakan alat tangkap sejenis mini trawl. Ikan-ikan karang yang harganya relatif mahal juga sering tertangkap meski tidak menjadi tujuan utama penangkapan ikan nelayan Jambo Timu. Ikan-ikan tersebut antara lain jenahak (red snapper), kerapu, dan rambeu yang ditangkap dengan pancing atau tertangkap dalam pukat cincin.

420 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pasar Pusong Tongkol, bawal,

Lhokseumawe kerapu dll.

Muge di desa TPI Krueng Tunoh

Agen antar kota Udang Sabu

Ikan Teri dan

Pengeringan oleh

Muge di desa

Ibu-ibu

TPI Krueng Tunoh

Gambar 269 Proses pemasaran ikan-ikan hasil tangkapan nelayan di Desa Jambo Timu.

Hasil kegiatan perikanan tangkap sebagian diolah/diasinkan seperti udang sabu dan teri. Ikan-ikan jenis ini dipasarkan ke pengumpul untuk dijual ke luar kota seperti Medan. Ikan-ikan lainnya seperti bawal, tongkol, jenahak biasanya dijual langsung dalam bentuk ikan segar ke pengumpul di desa atau ke Pasar Pusong.

Secara umum masyarakat nelayan bisa merasakan bahwa ikan-ikan cenderung meningkat pasca tsunami sebab hasil tangkapan cenderung lebih besar. Kendala utama yang dirasakan saat ini adalah minimnya ketersediaan modal bagi nelayan. Modal kegiatan penangkapan ikan biasanya berasal dari modal sendiri yang ditabung sebelumnya. Jika modal yang dibutuhkan terlalu besar nelayan bisa meminjam pada muge/toke dan mencicilnya saat mendapatkan hasil tangkapan. Pinjaman dari muge biasanya tidak mengenakan bunga tetapi nelayan harus memberikan hak monopoli pembelian hasil tangkap kepada muge/toke. Nelayan-nelayan yang tidak punya perahu dan modal (buruh) dapat berkelompok atau sendiri bekerja pada pemilik sekaligus pemodal. Hasil tangkapan akan dibagi dua, separuh untuk pemiliki perahu dan modal dan separuh untuk nelayan buruh.

(5) Peternakan

Lahan Desa Jambo Timu hampir seluruhnya ditujukan untuk kegiatan pertambakan, pemukiman, dan fasilitas umum. Semua responden yang diwawancara sepakat bahwa kondisi minim lahan peternakan ini merupakan penyebab utama minimnya minat masyarakat untuk melaksakanan kegiatan peternakan sebagai mata pencaharian utama. Saat ini kegiatan peternakan umunya hanya dilakukan seadanya ternak dibiarkan lepas tidak dikandang dan sapi/kambing tidak di gembalai. Hanya terdapat satu kegiatan peternakan ayam potong yang dimiliki perorangan di Jambo Timu.

Jenis-jenis ternak yang ada di Jambo Timu adalah ayam potong, sapi, dan kambing. Ternak-ternak ini dipasarkan di desa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kenduri di desa atau dijual ke pasar ternak yang berjarak sekitar 1.5 km dari desa.

(6) Pertanian

Sejak dikonversinya seluruh lahan sawah desa menjadi tambak, saat ini bisa dikatakan bahwa Desa Jambo Timu tidak lagi memiliki kegiatan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Masyarakat umumnya hanya memiliki lahan sempit yang ditanami kelapa atau tanaman gizi keluarga yang difasilitasi oleh PKK. Kedua kegiatan ini hampir tidak memberikan kontribusi yang berarti pagi penghasilan keluarga.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(1) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Sebelum tsunami terdapat sekitar 160 rumah yang permanen dan semi permanen di Desa Jambo Timu. Gelombang tsunami menyebabkan hampir seluruh rumah tersebut rusak rata dengan tanah dan hanya tersisa sekitar 13 rumah yang masih layak untuk direnovasi. Banyaknya bantuan Pasca tsunami yang masuk ke Desa Jambo Timu menyebabkan semua keluarga saat ini telah memiliki rumah, termasuk pasangan-pasangan yang baru menikah pasca tsunami. Tidak kurang dari 250 rumah telah selesai dibangun dan dihuni saat ini di Desa Jambo Timu.

Tabel 175. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Desa Jambo Timu tahun 2003 dan 2005

sak Jumlah Rumah

MCK uk m Tahun

air untu

itas unt Drainase

Fasil akar Permanen

Lampu Jal

Permanen Permanen

Sumber Air Bersih

Bahan b

2003 14 136 9 Yes 100 0 Ya Sumur Sumur Pribadi Minyak Kecil tanah

Minyak 2005 N/A N/A N/A Yes 100 0 Ya N/A N/A Umum tanah

N/A

Kondisi pelayanan jasa air bersih dan listrik ke pemukiman masyarakat Desa Jambo Timu sudah semakin membaik. Semua rumah saat ini telah dijangkau oleh sarana air bersih dari perusahaan air minum meskipun ketersediaan airnya belum begitu lancar. Air dari perusahaan bisa digunakan untuk mandi, mencuci, dan jika dimasak bisa digunakan sebagai air minum. Kekurangan air dari PAM biasanya diatasi masyarakat dengan membeli air minum isi ulang dari depot-depot air.

Fasilitas listrik juga saat ini sudah bisa dinikmati oleh seluruh rumah tangga di Desa Jambo Timu. Pasca tsunami masyarakat Jambo Timu hanya perlu membayar separuh dari tagihan listrik tetapi belakangan masyarakat harus membayar penuh tagihan tersebut. Hal ini dianggap oleh semua responden sebagai hal yang biasa saja dan semua masyarakat sanggup untuk membayarnya.

(2) Pendidikan

Tingkat pemahaman akan pentingnya pendidikan bagi masyarakat Desa Jambo Timu diakui oleh responden semakin membaik belakangan ini. Banyaknya pekerja LSM yang datang ke desa selama masa rekonstruksi dan rehabilitasi yang memiliki latar belakang akademis dan profesionalisme yang bagus membuat masyarakat terutama generasi muda merasakan pentingnya pendidikan. Beberapa responden juga menginginkan anak-anaknya untuk berpendidikan tinggi karena saat ini “putra daerah” diberi kesempatan khusus untuk bekerja pada lembaga pemerintah maupun swasta asalkan berpendidikan tinggi.

422 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 176. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Jambo Timu

TK SD SMP SMA Sekolah Teknik Menengah Akademi/Universitas

kat ( kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

terde Swasta Negeri terde Jarak

Jarak Jarak

- - 6 1 - - - - 5 - - 6 - - 11 - - malikul saleh 1 0 - 1 1 - 0 0 4 0 0 3 0 0 11 0 0 malikul saleh

Minat yang besar oleh masyarakat untuk menyekolahkan anaknya saat ini juga telah didukung oleh membaiknya fasilitas pendidikan. Saat ini pelayanan pendidikan dari Taman Kanak-kanak hingga SMA bisa diperoleh di desa atau dapat ditempuh dengan mudah dengan jarak hanya 3 km. Universitas Negeri lokal, berbagai akademi, dan politeknik yang berkualitas baik juga bisa dijangkau dari desa dalam jarak sekitar dari 11 km.

Responden yang diwawancara mengakui bahwa saat ini dengan dukungan fasilitas yang semakin membaik sebagian masyarakat mampu dan menginginkan anaknya untuk dapat bersekolah hingga SMA. Hal yang masih menjadi hambatan adalah saat ini biaya kuliah masih tergolong sangat tinggi dan hanya sedikit anggota masyarakat yang mampu membiayai anak-anaknya hingga kuliah.

(3) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Desa Jambo Timu terletak sekitar 1,5 km dari jalur utama Medan – Lhokseumawe dengan kondisi jalan saat ini adalah aspal mulus yang selesai dibangun oleh P2KP pada awal tahun 2007. Terdapat beberapa alternatif jalan dari Desa Jambo Timu untuk menuju ke kota Lhokseumawe dan semua jalan tersebut dalam kondisi yang beraspal baik. Angkutan umum yang dapat digunakan untuk mencapai Desa Jambo Timu adalah ojeg.

Tabel 177. Akses dan sarana transportasi umum Desa Jambo Timu

Jenis Akses

Kendaraan Umum

Tahun Jalan kendaraan kendaraan Desa

Andong Sampan Motor Umum

Roda Empat

motor

boat Utama

2003 Kerikil Ya

Tidak Ada Ada Tidak

Tidak Ada Tidak Ada

Tidak Ojeg

Ada

Ada

Tidak 2005 Tanah

Tidak

Ya

Tidak Ada Ada

Tidak Ada Tidak Ada

Secara umum pasca tsunami tidak ada kondisi jalan yang mengganggu arus barang dan manusia dari dan menuju Desa Jambo Timu. Saat ini pemerintah juga tengah merancang pembangunan jalan baru outer ring road yang membelah Teluk Pusong. Jalan jika selesai diwujudkan akan semakin memudahakan masyarakat Jambo Timu untuk mengirimkan barang produk desa ke pusat kota Lhokseumawe.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(4) Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan yang bisa dinikmati oleh masyarakat langsung di Desa Jambo Timu saat ini adalah Puskesmas Pembantu dan Poliklinik Desa. Puskesmas pembantu dan polindes dibangun dengan sangat megah oleh Hongkong Red Cross.

Tabel 178. Fasilitas Kesehatan di Desa Krueng Tuong Tahun 2003 dan 2005

Jarak Tahun

Jumlah

Jarak

Rumah Sakit

Terdekat Kemudahan akses

5 mudah 2005 0 5.0 mudah 0 5.0 mudah 0

16 susah 0 16 susah 0

5 mudah

Untuk pelayanan kesehatan lanjutan masyarakat bisa langsung ke Puskesmas yang jaraknya sekitar

2 kilometer dari Desa Jambo Timu atau ke berbagai rumah sakit umum yang berjarak 10 kilometer di pusat kota. Akses ke puskesmas maupun ke rumah sakit di kota semua bisa dijangkau melalui jalan aspal yang kondisinya bagus.

Jumlah pemilik kartu sehat dan KTP miskin seperti ditampilkan pada Tabel 179 dari tahun 2003 sampai tahun 2005 mengalami peningkatan. Hal tersebut seiring dengan meningktnya jumlah keluarga miskin di Desa Jambo Timu. Semakin banyaknya pemilik kartui sehat juga dapat diinterpretasikan sebagai semakin membaiknya cakupan pemberian fasilitas kesehatan tersebut.

Tabel 179. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005

Keluarga Memiliki

Keluarga

Balita Keluarga Tahun

Wabah penyakit yang pernah melanda

Kartu Tanda Keluarga Penduduk

Malnutrisi Peserta Miskin

Kartu

Keluarga

KB KTPM (%)

Diare Campak berdarah

Malaria ISPA

2003 6 4 2 1 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 4 2005 50

28.6 72 41.1 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A N/A

Pelayanan dan fasilitas kesehatan yang cukup baik terhadap warga masyarakat Desa Jambo Timu menyebabkan saat ini tidak pernah terjadi kasus-kasus gangguan kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh minimnya pelayanan kesehatan seperti wabah penyakit ISPA dan diare.

(5) Fasilitas Keagamaan

Penduduk Jambo Timu adalah penduduk yang multi etnis yang beragama islam. Hal tersebut menyebabkan saat ini di Desa Jambo Timu hanya ada fasilitas ibadah untuk muslim yaitu Mesjid dan

Mushalla atau di Aceh dikenal dengan nama Meunasah.

(6) Sarana Komunikasi

Secara umum masyarakat Desa Jambo Timu tidak mengalami hambatan yang berarti dalam berkomunikasi dengan relasi maupun keluarga di luar desa. Saat ini semua operator telekomunikasi selular yang beroperasi di Aceh bisa ditangkap sinyalnya di wilayah desa. Lokasi desa yang juga relatif dekat dengan wilayah kota Lhokseumawe menyebabkan warga data dengan mudah menjangkau penyedia telepon genggam dan kanto-kantor pusat layanan telekomunikasi jika membutuhkan bantuan khusus.

424 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 180. Sarana komunikasi tahun 2003 dan 2005 di Jambo Timu

Wartel Internet memiliki

memilki TV

Telephone

2003 - - 42 28 0 7 0 0 2005 0 0.0 N/A N/A 0 6 0 0

Masuknya berbagai pekerja LSM membantu masyarakat Jambo Timu dan perkembangang kota yang pesat pasca tsunami menyebabkan remaja desa mulai memahami fasilitas komunikasi melalui internet. Untuk menjangkau layanan tersebut remaja dan mahasiswa Desa Jambo Timu bisa dengan mudah memperolehnya di warung-warung internet sekitar 2 km dari Jambo Timu.

Media informasi dan komunikasi televisi sudah dimiliki sejak sebelum tsunami. Adapun fasilitas televisi lebih dimanfaatkan untuk sarana hiburan atau entertaint. Walau berada dekat dengan jalan utama Lhokseumawe-Medan namun di Desa Jambo Timu tidak terdapat fasilitas telepon kabel (telepon rumah)

d) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(1) Struktur Pemerintahan

Pemerintahan Desa Jambo Timu dipimpin oleh seorang Kechik yang dipilih langsung oleh masyarakat desa. Dalam pemerintahannya Keuchik didampingi oleh Sekretaris Desa dan 4 orang Kepala Urusan (Kaur) yaitu Kaur Pembangunan, Kaur Pemerintahan, Kaur Kesejahteraan Sosial, dan Kaur Umum. Masyarakat desa sebagai pemberi mandat pada Keuchik untuk menjalankan pemerintahan desa tetap memantau Keuchik melalui perwakilannya yaitu Tuha Peut.

Tuha Peut

Kheuchik

Imum Meunasah

Kaur Pembangunan

Kaur Pemerintahan

Sekretaris

Kaur Kesejahteraan Kaur Umum

KaDus Bahagia

KaDus Meunasah

KaDus Kemurahan

KaDus Sejahtera

Gambar 270 Struktur pemerintahan Desa Jambo Timu

Saat ini Keuchik Desa Jambo Timu adalah Nurdin M. Yakub. Menurut hasil wawancara diperkirakan bahwa Keuchik Nurdin cukup berhasil merangkul semua kalangan sehingga kestabilan politik tetap terjaga di Jambo Timu. Dibandingkan dengan desa-desa lain di wilayah kerja Green Coast, kelompok-kelompok pemuda, remaja putri, ibu-ibu dan kelompok keagamaan lainnya cukup berhasil dalam memfungsikan lembaganya untuk mendorong percepatan pembangunan pasca tsunami sekaligus menjalankan fungsi-fungsi sosial.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Kelompok Sosial Kemasyarakatan

Desa Jambo Timu dikenal karena kekompakan masyarakatnya dalam menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan dengan membentuk berbagai kelompok swadaya masyarakat seperti kelompok pemuda, kelompok putri, dan kelompok ibu rumah tangga. Kelompok ini bahkan berjalan dengan baik dengan aturan main yang dipatuhi meski tanpa bantuan fasilitator yang terus-menerus. Sebagian besar kelompok perempuan yang tercantum dalam Tabel 181 di bawah ini akan dibahas secara khusus pada sub – bab issue gender.

Tabel 181. kelompok sosial kemasyarakatan yang ada di Desa Jambo Timu

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. PKK

Pendidikan agama, penanganan balita,

Swadaya, pemerintah desa

peningkatan gizi

2. Koalisi Perempuan Indonesia

Dana bergulir, beras jemputan (arisan),

Swadaya

pendidikan agama

3. Kelompok Remaja Putri

Diskusi, kegiatan sosial.

Swadaya

4. Kelompok Pemuda

Semacam karang taruna, berafiliasi dengan

Swadaya, pemerintah desa

pemerintah desa.

5. Kelompok Penghijauan

Penghijauan pantai, pemberdayaan ekonomi

Oxfam/UNEP/WIIP/Gerhan

melalui modal bergulir.

6. Kelompok olahraga

Olahraga bersama, tim untuk perlombaan

Swadaya, pemerintah desa

7. Kelompok kesejahteraan

Swadaya pemuda

Diskusi, membantu anggota masyarakat tertimpa

musibah, membantu terlaksananya pesta/kenduri bagi anggota /masyarakat yang miskin.

Kelompok-kelompok yang ada di Desa Jambo Timu umumnya senantiasa dibuat terpisah antara laki- laki dan perempuan. Terdapat paling tidak 3 kelompok perempuan yang beranggotakan cukup besar (lebih dari 50 orang) yaitu kelompok PKK, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Kelompok Remaja Putri. Sedangkan kelompok laki-laki terdiri dari paling tidak 4 kelompok masing-masing kelompok pemuda, kelompok penghijauan, kelompok olahraga, dan kelompok kesejahteraan pemuda.

Kegiatan yang paling menarik adalah kelompok kesejahteran pemuda yang terdiri dari sekitar 80 orang anggota. Kelompok ini menarik iuran minimal 10.000 per orang untuk disumbangkan setiap kali ada kaum miskin yang ingin melakukan pesta. Kelompok ini juga memberikan bantuan tenaga pada setiap pesta atau gotong royong membantu kaum miskin.

e) Gender

(1) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Respon pertama terhadap pertanyaan pada beberapa responden laki-laki dan perempuan mengenai pekerjaan perempuan di Desa Jambo Timu adalah “tidak bekerja”. Meski demikian setelah berdiskusi lebih mendalam dengan masyarakat dapat diketahui bahwa sebetulnya perempuan Jambo Timu memiliki peran yang luar biasa dalam pemenuhan keuangan rumah tangga. Di sela-sela kegiatan utamanya menyiapkan kebutuhan suami dan anak-anak, perempuan di Desa Jambo Timu juga masih sempat untuk bekerja membantu suami. Pekerjaan tersebut antara lain sebagai penjahit pakaian, membuat tikar, dan pembuat kue-kue. Hampir setiap jenis pekerjaan laki-laki terutama pekerjaan nelayan akan melibatkan perempuan pada tahap tertentu. Pada musim udang kecipir misalnya, perempuan bertanggung jawab penuh terhadap proses pasca panen yaitu berupa pembersihan dan

426 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 426 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Terdapat pekerjaan “berat” lain yang justru didominasi oleh perempuan yaitu untuk mencari anakan kerapu dan membersihkan siput pengganggu didalam tambak. Untuk jenis pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki biasanya menerima upah yang sama misalnya mencari siput baik laki-laki maupun perempuan mendapat upah Rp 35.000 – Rp 40.000 per orang per hari.. Sesekali jika terdapat pekerjaan fisik yang ekstra besar yang dilakukan oleh laki-laki maka dia akan mendapat upah yang lebih besar.

Penghasilan yang diperoleh oleh laki-laki sebagian besar diserahkan kepada perempuan untuk dikelola memenuhi kebutuhan sehari-hari dan jika masih tersisa akan disisihkan sebagai tabungan. Sebagian kecil dari penghasilan tersebut tetap dipegang oleh laki-laki untuk kebutuhan sendiri atas sepengetahuan perempuan. Sebagai ilustrasi, jika laki-laki (suami) memperoleh uang 100 ribu rupiah maka sekitar 10-20 ribu akan diambil oleh laki-laki.

Penghasilan yang diperoleh perempuan digunakan sepenuhnya oleh perempuan untuk kebutuhan pribadi maupun rumah tangga. Sesekali laki-laki bisa meminta jika sedang tidak punya uang, tapi hal tersebut adalah hal yang agak memalukan dalam kehidupan masyarakat.

Pemenuhan kebutuhan modal usaha pada toke atau lembaga finansial lainnya umumnya hanya diakses oleh laki-laki meski tidak ada larangan bagi perempuan untuk mengaksesnya. Pengelolaan modal usaha tersebut senantiasa didiskusikan dengan perempuan sehingga keputusan yang diambil adalah keputusan bersama rumah tangga.

(2) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Partisipasi perempuan dalam kelembagaan-kelembagaan desa tergolong sangat tinggi di Desa Jambo Timu. Meski perempuan tidak secara langsung duduk dalam struktur kelembagaan Keuchik tapi perempuan sangat aktif untuk hadir mewakili keluarga dalam setiap rapat yang dilakukan oleh pemerintahan desa. Hampir semua responden yang diwawancara menggambarkan situasi rapat desa sebagai forum-nya perempuan. Kondisi rapat yang didominasi perempuan terjadi terutama sekali karena pada siang hari banyak laki-laki sedang mencari nafkah ke laut. Sesekali rapat desa juga dilakukan pada malam hari dan pada saat tersebut rapat hanya akan dihadiri oleh laki-laki saja.

Secara umum perempuan Jambo Timu memiliki posisi yang relatif kuat dalam mengarahkan setiap isu dalam masyarakat dibandingkan perempuan di desa-desa lain. Terdapat beberapa kelembagaan yang kuat yang hanya terdiri dari perempuan saja yang menjadi kekuatan politik penyeimbang dalam kehidupan sehari-hari di Desa Jambo Timu.

(3) Pemberdayaan Perempuan

Upaya pemberdayaan perempuan cukup aktif dilakukan di Desa Jambo Timu antara lain melalui organisasi PKK, organisasi KPI yang didominasi perempuan yang sudah berkeluarga, dan organisasi remaja putri. Hingga saat ini organisasi-organisasi perempuan ini tetap aktif meski kegiatannya tidak selalu rutin dalam selang waktu yang pendek.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Organisasi PKK membantu masyarakat untuk meningkatkan kapasitas ibu rumah tangga dalam peningkatan kualitas keluarga. Pelaksanaan kegiatan PKK sehar-hari umumnya lebih ditujukan pada kegiatan pelatihan dan pertemuan untuk saling berbagi informasi antar anggota masyarakat. Pelaksanaan kegiatan PKK tersebut dibagi dalam 4 kelompok kerja (Pokja) yaitu:

• Pokja agama memfasilitasi kegiatan-kegiatan keagamaan seperti wiridan • Pokja pendidikan untuk meningkatkan taraf pendidikan anak-anak • Pokja tanaman untuk mengembangkan kegiatan apotik hidup dan peningkatan gizi • Pokja balita untuk membantu keluarga dalam perawatan dan pendidikan balita Kegiatan-kegiatan PKK meski jarang dilakukan senantiasa diikuti secara antusias oleh anggota-

anggotanya. Organisasi ini bisa bertahan cukup lama terutama sekali karena mendapat dukungan terus menerus dari pemerintah.

Pemberdayaan perempuan juga secara aktif dilakukan melalui organisasi Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jambo Timu. Organisasi ini adalah organisasi perempuan terbesar di Jambo Timu dengan jumlah anggota lebih dari 100 orang. KPI menyelenggarakan kegiatan pendidikan agama bagi perempuan, dana bergulir, dan arisan beras yang disebut beras jemputan. Anggota KPI yang terdiri dari ibu-ibu dikenai iuran bulanan Rp 500 dan membayar iuran beras sekitar 1 kg. Setiap bulannya berhasil dikumpulkan sekitar 120 kg beras yang dibagi kepada 4 keluarga anggota KPI

Organisasi lain yang memiliki anggota relatif besar dan pengaruh yang kuat adalah organisasi remaja putri. Meski tidak memiliki nama resmi, organisasi memiliki anggota paling tidak 80 perempuan dan cukup berpengaruh dikalangan remaja putri Desa Jambo Timu. Setiap anggota diwajibkan membayar iuran Rp 2000 perbulan dan Rp 500 biaya administratif organisasi. Iuran bulanan bisa dimanfaatkan oleh organisasi untuk mendukung kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan di desa misalnya jika ada anggota masyarakat yang mengalami musibah atau untuk membeli hadiah bagi anggota masyarakat yang menikah.

Pasca tsunami perempuan mendapat banyak sekali kesempatan untuk meningkatkan keterampilan antara lain dari Maltezer untuk pelatihan pengelolaan pembukuan organisasi, Pemerintah Kota untuk pembuatan kue, dan ICMC untuk keterampilan merangkai bunga.

7. Informasi terkait dengan Kegiatan Green Coast

Kegiatan Green Coast yang dilakukan di Desa Jambo Timu adalah rehabilitasi ekosistem pesisir dengan melakukan penanaman mangrove di lokasi-lokasi pertambakan desa. Kegiatan ini difasilitasi oleh Lembaga Aceh Partnership Foundation dengan bekerja sama dengan kelompok masyarakat Desa Jambo Timu.

Kegiatan rehabilitasi ekosistem yang akan dilakukan adalah penanaman mangrove yang akan dilakukan oleh paling tidak 15 kepala keluarga yang umumnya berprofesi utama sebagai petambak. Kegiatan ini juga akan menyalurkan bantuan pinjaman modal ekonomi untuk mengembangkan usaha- usaha ramah lingkungan termasuk budidaya perikanan. Jumlah mangrove yang akan ditanam adalah 50.000 dan diperkirakan mencapai luas 30 hektar.

428 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

8. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

a) Penilaian lahan di lokasi penanaman

Lokasi penanaman yang berada di areal pertambakan dinilai memiliki kesesuaian yang cukup tinggi untuk penanaman mangrove. Pada bagian dalam tambak, substrat didominasi oleh lumpur. Sementara di bagian pematanag, substrat berpa campuran pasir, liat dan lumpur dengan komposisi yang berimbang. Dari segi hydrology, lokasi penanaman mendapatkan suplai air yang cukup optimal. Genangan pada saat pasang tidak sampai merendam total tanaman. Sementara saat surut, lokasi penanaman masih tergenang ringan. Hal ini disebabkan karena posisi tambak lebih rendah daripada saluran air.

b) Identifikasi lokasi-lokasi lain yang prospektif untuk rehabilitasi

Saat ini, penanaman hanya difokuskan pada kanan kiri sepanjang pematang tambak. Beradsarkan observasi di apangan, team mendeteksni beberapa lokasi yang dinilai memiliki kesesuaian yang cukup tinggi untu ditanami mangrove. Lokasi yang dimaksud adalah:

• Sepanjang saluran air yang berada di sekitar lokasi penanaman • Beberapa alur-alur air alami yang berada di sekitar lokasi penanaman.

Kedua lokasi ini dapat dijadikan sebagai alternatif lokasi penanaman, terutama untuk penanaman tahap kedua. Dengan menanami lokasi-lokasi ini, maka air yang keluar dan masuk tambak akan lebih tersaring/terfilter dengan kualitas yang lebih baik.

c) Identifikasi potensi

1. Ketersediaan benih Di sepanjang saluran air dan alur-alur anak sungai, dapat dijumpai beberapa pohon secara sporadis.

Bruguiera gymnorrhizha dan Avicennia marina adalah dua ajeis yang mudah dijumpai di kedua lokasi tersebut. Pohon Avicennia marina lebih banyak dijumpai di alur anak sungai yang dekat dengan pantai, sementara pohon Bruguiera cylindrica lebih banyak berada di saluran air yang jauh dari pantai. Kedua jenis pohon ini memiliki potensi yang cukup potensial sebagai penghasil benih atau bahkan anakan alam. Namun sayang bahwa potensi ini masih belum dimanfaatkan dengan optimal.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, banyak sekali dijumpai anakan alam dan benih di bawah pohon tanjang Bruguiera cylindrica sebagaimana ditunjukkan oleh gambar di bawah ini. Apabila propagul mendarat dengan tepat dan menancap pada substrat maka akan besar keungkinan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Namun bila tidak mendarat tepat maka propagul akan terbaring ada substrat dan selanjutnya akan tersapu oleh air pada saat pasang. Banyaknya anakan alam yang tumbuh di sekitar pohon induk menandakan bahwa substrat yang ada di sepanjang saluran air memiliki kesesuaian yang cukup tinggi. Dari observasi pada beberapa pohon, terlihat bahwa produksi buah/propagul untuk jenis tanjang cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu difikirkan upaya untuk memanfaatkan benih tanjang dalam ragka mendukung kegiatan restorasi pesisir yang saat ini sedang dilakukan.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 271. Pohon Bruguiera cylindrica yang umum dijumpai di sepanjang saluran air

2. Persepsi positif masyarakat Dari wawancara dengan beberapa anggota masyarakat, diketahui bahwa persepsi dan pandangan

masyarakat tentang program-program restorasi melalui penanaman mangrove sangatlah positif. Beberapa warga bahkan telah mengetahui fungsi dan manfaat mangrove dengan baik. Seringkali masyarakat bercerita tentang kondisi lingkungan pada saat mangrove masih ada dimana mereka dengan mudah memperoleh kepiting, udang dan beberapa jenis ikan lainnya. Namun setelah terjadinya konversi mangrove, mereka tidak lagi dapat menikmati hal-hal tersebut. Hasil yang mereka peroleh dari tambak udang hanya bertahan beberapa tahun saja. Selanjutnya mereka tidak dapat menikmati hasil tambak secara signifikan.

Persepsi positif ini merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kegiatan restorasi pesisir yang saat ini sedang dilakukan. Dukungan dari asyarakat,termasuk dari aparat pemerintah akan dapat lebih menunjang peaksanaan program ini.

3. Pengalaman dari program terdahulu Pada periode sebelumnya, Yayasan AFP telah merealisaikan program yang sama di sekitar desa ini.

Beberapa pengalaman dan pembelajaran yang diperoleh dari program sebelumnya secara signifikan memberikan pengaruhnya yang positif dalam program yang baru ini. Apabila di program GC sebelumnya masih ada beberapa kesalahan teknis dalam pengimplentasian kegiatan misalnya penanaman tanpa membuka polibag, maka pada program ini sudah tidak terjadi lagi. Hal ini tentunya merupakan suatu keuntungan terutama bagi pelaksana untuk dapat lebih meningkakan prestasi dan kinerjanya dengan berbekal pengalaman dan pembelajaran pada program sebelumnya.

d) Identifikasi kendala dan faktor pembatas

1. Kondisi infrastruktur/jaringan pengairan yang kurang optimal Salah satu kendala dalam penerapan silvofishery di desa Jambo Timu adalah kondisi infrastruktur tata

air di areal pertambakan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, ternyata diketahui bahwa posisi dasar tambak lebih rendah daripada saluran air. Dengan kondisi ini maka sistem panen ikan/udang dengan pengeringan tidak bisa dilakukan. Hal ini memaksa masyarakat untuk menerapkan sistem pejaringan pada saat melakukan pemanenan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kegiatan penanaman mangrove tidak dilakukan di dalam tambak. Apabila penanaman mangrove dilakukan di dalam tambak, maka tanaman akan menghalangi/mengganggu proses pada saat pemenanan.

430 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Keterbatasan pohon penghasil buah Berdasarkan pengamatan di lapangan, team hanya menjumpai potensi penghasi buah untuk jenis

tanjang saja. Untuk jenis lainnya, pohon yang tersisa sangat sedikit sheingga secara . Hal ini memaksa pelaksana untuk mendatangkan bibit atau benih dari leuar daerah. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi pelaksana kegiatan sehingga mangharuskannya untuk mengalokasikan dana tambahan untuk pembelian bibit dan transportasi. Bahkan di dalam proses pengangkutan, sebagian bibit pada umumnya mengalami stress karena terkena panas, guncangan atau terpaan angin yang berlebihan. Berdasarkan pengalaman, 5 % dari jumlah total bibit menjadi mati selama proses pengangkutan tersebut.

3. Ancaman hama Ternak dan tritip Ternak merupakan salah satu ancaman yang cukup serius bagi tanaman mangrove. Jenis ternak

yang umum dijumpai di sekitar tambak adalah sapi, kambing dan kerbau. Namun diantara ketiga jenis ternak ini, kambing dianggap paling berbahaya bagi tanaman mangrove. Berdasarkan pengalaman dilapangan, gigitan kambing seringkali menyebabkan tanaman menjadi stress berat dan mati. Sementara bila daun dimakan sapi, seringkali tanaman akan mampu pulih seperti sediakala. Di lapangan, team menjumpai puluhan tanaman mangrove yang mati dengan ciri-ciri serangan ternak. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan langkah antisipasi untuk menghindarkan tanaman dari ancaman ternak.

Gambar 272. Kambing yang menjadi ancaman bagi tanaman mangrove

Selain ternak, tim assessment juga menjumpai potensi serangan hama tritip. Hama ini dijumpai di beberapa plot tambak, diluar lokasi penanaman. Walaupun berada di luar plot penanaman, hama ini dikuatirkan akan mampu bereksapnsi dengan cepat ke lokasi penanaman dan menyerang tanaman mangrove yang ada. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan langkah-langkah tertentu untuk mengantisipasi ekspansi ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara memutus akses dari plot yang terserang tritip dengan lokasi penanaman.

Gambar 273. Tritip yang dijumpai di salah satu petak tambak diluar lokasi penanaman

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dengan mempertimbangkan faktor pendukung, potensi, kendala serta beberapa faktor pembatas, secara umum disimpulkan bahwa areal pertambakan di Desa Jambo Timu ini memiliki kesesuaian yang cukup tinggi untuk penanaman mangrove. Hal inilah yang menjadi syarat mutlak untuk penerapan silvofishery. Salah satu faktor yang sangat mendukung untuk penerapan silvofihery adalah kondisi susbtart dan hydrology yang sesuai untuk tanaman mangrove. Namun demikian, beberapa faktor pembatas dikuatirkan dapat berpotensi mengganggu pelaksanaan silvofishery terutama untuk budidaya perikanan. Oleh karena itu, hal yang perlu ditindaklanjuti dengan segera adalah rehabilitasi saluran air agar sirkulasi air dapat berjalan dengan optimal.

9. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Sebagai salah satu desa yang terparah terkena dampak tsunami, Desa Jambo Timu tergolong cukup banyak memperoleh bantuan dari berbagai donor dan LSM. Tabel berikut memberikan gambaran berbagai LSM yang pernah atau sedang menjalankan kegiatan di Desa Jambo Timu.

Tabel 182. Lembaga beserta jenis bantuan yang diberikan di Desa Jambo Timu

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. GTZ

Modal usaha nelayan, perbaikan jalan

Selesai

2. Maltaezer

Perumahan dan keterampilan, fasiltas air dan sanitasi,

Selesai

pembangunan sekolah

3. ICMC

Sembako, keterampilan, modal usaha,

Selesai

4. BRR

Perumahan, penanaman hutan pantai.

Selesai

5. P2KP

Infrastruktur, dana bergulir, keterampilan

7. Oxfam melalui WIIP- Rehabilitasi ekosistem pesisir, pengembangan matapencaharian Sedang berjalan

8. Hongkon Red Cross

Fasilitas Pustu dan Posyandu

Selesai

9. Save the Childreen

Pembangunan balai musyawarah dan sembako

Selesai

10. Oxfam

Fasilitas MCK dan penyediaan air bersih

Selesai

Tabel diatas mungkin belum memberikan informasi secara lengkap LSM/Donor apa saja yang pernah masuk ke Desa Jambo Timu. Hal tersebut terutama disebabkan oleh banyaknya donor/LSM yang datang silih berganti melakukan survey, kajian, dan memberikan bantuan langsung. Saat ini sebagian besar kegiatan telah selesai. Perumahan dan infrastruktur desa telah berada dalam kondisi yang bagus dan cukup memadai untuk mendukung kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Kegiatan rekonstruksi yang dilakukan di Jambo Timu terbatas pada pembangunan perumahan dan fasilitas publik, pembangunan infrastruktur jalan, dan rekonstruksi wilayah pertambakan. Hampir semua kegiatan ini hanya merekonstruksi menjadi lebih baik struktur fisik yang pernah ada didesa sebelumnya. Hal ini menyebabkan kegiatan rekonstruksi tidak banyak berdampak buruk bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Semua responden bahkan sependapat bahwa kegiatan rekonstruksi membuat kehidupan masyarakat Desa Jambo Timu menjadi terasa lebih baik dibandingkan sebelum tsunami.

432 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Selain program restorasi pesisir “Green Coast phase 2” yang saat ini sedang berjalan di desa ini, telah terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya di desa ini sebagaimana dijelaskan dalam paragraf di bawah ini.

• Restorasi pesisir melalui penanaman mangrove (Green Coast Phase 1) Secara adminsitrasi, penanggung jawab dari kegiatan ini adalah Yayasan APF (Aceh Partnership

Foundation). Sementara dalam pelaksanaannya di lapangan, kegiatan ini melibatkan masyarakat. Selain kegiatan penanaman mangrove, pemberdayaan ekonomipun juga dilakukan. Berdasarkan kontrak kerjasama antara Yayasan APF dengan WIIP, target bibit yang harus tertanam dalam adalah 20.000 untuk tanaman mangrove dan 1000 untuk tanaman pantai. Dengan jumlah bibit tersebut, ditargatkan areal seluas 4 hektar akan tertanami oleh mangrove dan 2 hektar tertanami oleh tanaman pantai.

Gambar 274. Kondisi tanaman mangrove dilokasi penanaman

Berdasarkan observasi di lapangan, kondisi tanaman bervariasi di beberapa kondisi berbeda. Di lokasi tertentu, dijumpai tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik namun di lokasi lain dijumpai pula banyak tanaman yang mati. Berdasarkan monev yang dilakukan, dilaporkan bahwa prosentse tumbuah tanaman yang dilakukan oleh pihak APF adalah 90%. Namun saat observasi dilakukan, diperkirakan bahwa prosentase tumbuh tanaman hanya berkisar 40-50%.

Kematian bibit bukan hanya disebabkan oleh serangan hama atau karena tanaman tidak tahan menghadapi kondisi di lokasi penanaman. Kematian tanaman juga disebabkan oleh beberapa sebab lain, terutama terjadinya penanganan yang salah dalam proses penanaman. Di bawah ini adalah beberapa temuan lapangan yang menyebabkan tanaman menjadi mati. Temuan ini merupakan suatu pembelajaran bagi proyek untuk dapat meningkatkan kinerja dan performanya di masa mendatang.

Dijumpai penanaman tanpa melepas polibag. Dengan kata lain, polibag ikut tertanam bersamaan dengan bibit. Penuturan pendamping lapangan menyebutkan bahwa kejadian ini hanya terjadi di dua plot saja. Kesalahan ini terjadi (penanaman tanpa membuang polibag) karena ketidaktahuan palaksanan lapangan tentang tata cara melaukan penanaman. Sementara pada plot lainnya, penanaman dilakukan sesuai dangan tata cara yang benar yaitu membuang polibagnya. Hal ini dilakukan setelah adanya arahan dari kantor WIIP Aceh untuk membuang polibag pada saat penanaman.

Berdasarkan pengamatan, terbukti bahwa polibag yang ikut tertanam ini secara signifikan membatasi ruang gerak, pertumbuhan dan perkembangan akar. Berbeda dengan tumbuhan daratan, akar mangrove tidak memiliki akar tunjang yang kuat sehingga kesulitan untuk menembus polibag. Dari pengambilan sampel di lapangan, sebagian besar akar mangrove hanya berkembang di dalam media yang dibatasi oleh polibag. Dari 10 sampel, hanya 1 tanaman yang akarnya berhasil menembus polibag.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 275. Penanaman tanpa membuang polibag

Gambar 276. Akar berkembang hanya pada media di dalam polibag (tidak mampu menembus polibag)

Saat survey dilakukan, tim juga menjumpai kegiatan penggalian caren/parit bagian tepi tambak. Kegiatan ini murni dilakukan para pemilik tambak secara swadaya dengan maksud untuk memperlebar dan memperdalam caren (bagian pinggir badan tambak yang lebih dalam lebih dibandingkan dengan bagian tegahnya). Penggalian ini dilakukan secara manual dengan alat seadanya yaitu cangkul dan sekop.

Namun sayang bahwa kegiatan ini ternyata berdampak negatif terhadap tanaman mangrove yang berada di sekitar tambak. Sebagian besar bibit yang berada di sepanjang pematang dan caren menjadi korban. Beberapa hal yang terjadi sebagai dampak dari kegiatan ini sehingga tanaman mangrove menjadi korban adalah sebagai berikut:

• Tercabutnya tanaman bersamaan dengan lumpur galian. Hal ini terjadi apabila tanaman tepat berada di jalur yang digali.

• Tertimbunnya tanaman oleh lumpur galian sehingga roboh, stress dan mati. Hal ini seringkali menimpa tanaman yang berada di sebelah jalur yang di gali.

• Terinjak-injak oleh petambak yang sedang menggali lumpur. Tanaman yang menjadi korban pada umumnya berada di sekitar jalur galian.

• Segaja dicabut untuk mempermudah proses penggalian

434 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 277. Dampak pengerukan terhadap tanaman

• Rehabilitasi Hutan Pantai dan Pengembangan Silvofishery di Desa Jambo Timu (Green Coast Phase 2)

Sebagaimana tertuang dalam kontrak kerjasama antara APF dan WIIP tertanggal 15 Juli 2007, proyek GC phase 2 akan memfasilitasi APF dalam merealisasikan penanaman mangrove sebanyak 50.000 pohon. Kontrak ini juga mencatumkan bahwa jenis bibit yang ditanam setidaknya terdiri dari empat spesies. Sebagaimana direncanakan, penanaman akan dilakukan dengan dua tahap yaitu 40.000 bibit untuk tahap pertama dan 20.000 pada tahap kedua.

Untuk mengetahui perkembangan dan realisasi kegiatan dalam rpgram ini, team assesment melakukan observasi di lokasi penanaman yaitu di areal pertamabakan desa Jambo Timu. Pada saat kunjungan dilakukan, penanaman tahap pertama telah dilakukan. Di lapangan jenis yang ditanam hanyalah satu jenis yaitu Rhizophora mucronata. Di desa ini, penanaman hanya dilakukan di kanan kiri sepanjang pematan tambak. Penanaman di dalam tambak tidak memungkinkan mengingat petambak masih menggunakan jaring dalam melakukan pemanenan. Apabila mangrove tetap ditanam di dalam tambak maka akan mengganggu proses pemanenan. Informasi yang diperoleh dari lapangan mengkonfirmasi bahwa bibit ini berasal dari Desa Lancuk.

Gambar 278. Kondisi tanaman di lokasi penanaman

Dalam pelaksanannya di lapangan, penanaman ini dilakukan oleh KT Thatmesampe sebagai kelompok dampingan AFP. Setidaknya 16 anggota kelompok terlibat dalam kegiatan ini. Anggota yang terlibat dalam penanaman mangrove adalah anggota yang memiliki tambak dan berniat melakukan budidaya ikan/udang dalam tambak. Berdasarakn infiomrasi dari kelompok, setidaknya areal seluas 50 hektar telah tercover dalam penanaman ini.

Berdasarkan pengamatan secara kasar, diprediksi bahwa prosentase hidup tanaman cukup bagus yaitu berkisar 70-75%. Pada umumnya, kematian tanaman disebabkan oleh tiga hal utama yaitu : serangan hama kambing, hanyut dan tidak mampu berdaptasi dengan kondisi di lokasi penanaman.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 279. Bibit yang roboh (kiri), tidak mampu beradaptasi (tengah) dan dimakan kambing (kanan) Saat observasi dilakukan, team mendeteksi suatu gejala dini ancaman hama serangga yaitu kutu

loncat dan sejenis laba-laba. Diantara keduanya kutu loncat dinilai lebih berbahaya karena secara mengganggu tanaman. Sementara laba-laba tidak menggnggu secara langsung namun sarang yang menempel pada daun dapat mengganggu proses metabolisme dan fotosintesis tanaman.

Keberadaan hama ini menunjukkan bahwa pemeliharaan tanaman tidak dilakukan oleh pelaksana lapangan sebagaimana mestinya. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan pemeliharaan agar gejala dini serangan hama tersebut dapat dieliminir.

Gambar 280. Serangan hama berupa kutu loncat dan laba-laba

10. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

• Pemanfaatan anakan alam (wildling) dan benih (seed) untuk mendukung kegiatan penanaman mangrove

Pohon dan tegakan sisa yang dijumpai di sepanjang saluran air dan anak sungai memiliki potensi yang sangat tinggi untuk kegiatan rehabilitasi. Salah satu jensi yang cukup prospektif untuk dikembangkan adalah Bruguiera cylindrica. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa beberapa pohon induk bisa dijumpai dengan mudah di speanjang saluran. Berdasarkan pengamatan, setiap pohon ini memiliki produksi buah yang cukup banyak. Hal ini terbutki dengan ditemukannya banyak anakan alam lantai sekeliling pohon.

Untuk memperoleh benih, sangat disarankan untuk memasang jaring di skeliling pohon. Jaring ini akan menampung benih-benih yang jatuh dengan snedirinya dari pohon induk. Jatuhnya benih secara lami mendanakn bahwa propagul tersebut telah dewasa dan siap untuk dibibitan. Senada dengan salah satu target kegiatan yantiu melakukan penanam dengan jenis minimal 4, maka jenis ini bisa dijadukan alternatf untuk menambah jenis seusia dengan kesepakatan kontrak.

436 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 281. Ilustrasi sederhana teknik pemasangan jaring untuk menampung benih

Untuk pembibitan sendiri, kelompok tani disarankan untuk dapat mebangun persemaian sederhana di sekitar base camp.

• Pemeliharaan tanaman Salah satu temuan pentng yang dijumai dilapangan adalah tidak adanya pemeliharaan

tanamanmangrove setelah penanaman. Hal ini diperkat dengan banyak dijumpainya serangga dan kutu loncat yang dikuatirkan akan mengganggu kehidupan dan prtumbuhan manrove. Apabila sering dimonitor dan disiram secara teratur maka hal ini tidak akan terjadi.

Atas dasar hal inilah maka sangat direkomendasikan bagi pelaksana lapangan untuk segera melakukan pemeliharaan secara rutin. Pemeliharaan ini seyogyanya dikoordinir dengan melibatkan seluruh anggota kelompok. Beberapa kegiatan dalam pemeliharaan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

• Penyulaman terhadap bibit yang mati. Penyulaman sebaiknya dilakukan 3 bulan setelah dilakukannya penanaman. Untuk mempermudah

proses penyulaman, pelaksana lapangan disarankan membuat bedeng di sekitar lokasi penanaman. Bibit-bibit untuk sulaman ini ditampung dan diperlihara pada bedeng ini. Dengan demikian, sewaktu- waktu, penyulaman dapat dilakukan dengan mudah.

Sebelum melakukan penyulaman, disarankan untuk melakukan monitoring terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya tanaman yang mati dan di petak mana posisinya. Dengan demikian, maka akan dapat diketahui berapa banyak bibit yang dibutuhkan untuk menyulam dan dimana melakukan penyulaman.

• Memperbaiki posisi tanaman Hal ini dilakukan hanya bagi tanaman yang roboh atau miring karena terhempas oleh arus air.

Caranya cukup mudah yaitu hanya dengan menegakkan kembali tanaman yang miring/robih dan kemudian mengikatnya dengan ajir yang tegak. Kagiatan ini sebaiknay dilakukan bersamaan dengan penyulaman.

• Pencegahan dan penanggulangan hama Cara yang paling efektif dalam mengatasi hama adalah dengan cara mencegah serangan hama.

Namun bila serangan telah terjadi maka harus dilakukan penanggulangannya. Tabel di bawah ini adalah beberapa kegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka mencegah atau menanggulangi hama.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 183. Beberapa langkah dalam pencegahan dan penanggulangan hama

Jenis hama

Pencegahan

Penanggulangan

Hewan ternak Mengandangkan tenak

Membuat pagar

Tritip Memutuskan akses yang mehubungakn Mengerok tririp secara manual pada tanaman lokasi penanaman dengan lokasi lain yang

yang terserang

terserang tritip Serangga

Menyiram daun secara rutin dengan air Menyiram daun secara rutin dengan air payau payau

• Pengkayaan jenis Mengacu pada komitmen yang tercantum dalam kontrak kerjasama, pelaksana direkomendasikan

untuk menambah jenis mangrove. Penambahan jenis ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai biodiversitas lokasi sehingga areal pertambakan yang ditanami nantinya tidak akan menjadi tegakan yang homogen. Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa jenis mangrove dinilai memiliki peluang yang cukup baik antara lain:

o Api-api Avicennia marina : sebaiknya ditanam di sepanjang alur-alur air alami terutama yang lebih dekat dengan laut

o Tanjang Bruguiera cylindrica, Bruguiere gymnorrhizha : sebaiknya ditanam di seanjang sauran air di sekitar tambak. Lokasi penanaman sebaiknya difokuskan ada lokasi yang

menjauhi laut atau mendekati air tawar. o Perbaikan infrastruktur tata air di dalam dan sekitar tambak

Sebagaimana diketahui bahwa areal pertambakan di Desa Jambo Timu ini memiliki kendala dengan jaringan air. Padahal, tata air merupakan salah satu kunci keberhasilan tambak silvofishery. Terkait dengan hal ini, diperlukan rehabilitasi jaringan/saluran air di dalam dan sekitar tambak. Inlet dan outlet saluran harus ada, jelas dan diatur menyesuaian dengan kondisi di lapangan. Dengan demikian maka akan terjadi proses sirkulasi yang juga akan diikuti dengan meningkatkan kualitas air. Apabila kualita air terjamin maka akan memberikan pengaruh yang positif terhadap budidaya perikanan serta tanaman mangrove yang ditanam.

Berdasarkan kondisi di lapangan, hal yang mendesak untuk dilakukan terkait dengan rehabilitasi jaringan air adalah penggalian parit agar lebih dalam dari dasar tambak di sekitarnya. Apabila rehabilitasi jaringan air dilakukan, maka perlu proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengganggu tanaman mangrove yang telah ditanam.

438 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

N. PULAU WEH (ANOI ITAM, IBOIH)

1. Profil Umum Lokasi

Wilayah kajian Pulau Weh mencakup 4 lokasi yaitu Iboih, Teupi Layeun, Lham Nibung dan Anoi Itam. Tiga lokasi yaitu Iboih, Teupi Layeun, Lham Nibung berada di bagian barat P. Weh sedangkan Anoi Itam berada di bagian timur.

a) Anoi Itam

Kelurahan Anoi Itam adalah sebuah Desa yang terletak di sisi timur Pulau Weh (Kota Sabang) dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Desa ini dibangun oleh sekelompok pendatang dari Aceh daratan terutama dari Desa Lamnga dan Neuheun Aceh Besar, yang ingin mencari ketenangan hidup terhindar dari pengaruh pemerintahan Belanda ketika itu.

Kelurahan Anoi Itam diberkahi dengan kekayaan terumbu karang yang relatif baik kondisinya dan mempunyai benteng-benteng pertahanan militer peninggalan Jepang.

b) Iboih & Gapang

Kelurahan Iboih dengan luas sekitar 2500 ha memiliki nilai geo-politis yang sangat penting bagi Indonesia karena ujung utara gampong (desa/kelurahan) ini ditetapkan oleh presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, sebagai titik paling barat di Indonesia atau Kilometer Nol. Meski secara geografis terdapat wilayah lain yang letaknya lebih ke barat yaitu Gugus Pulau Aceh dan Pulau Rondo hingga kini penyebutan Kilometer Nol tetap disandang oleh Iboih. Secara administratif Kelurahan Iboih masuk dalam wilayah Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang.

2. Tipologi Lahan Basah

Kondisi geologis wilayah ini terdiri dari 70% batuan vulkanis (andesite), 27% batuan sedimen (line stone dan sand stone), dan 3% endapan aluvial (recent deposit).

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

C = Coral Reef Terumbu karang cukup dominant di perairan P. Weh dan pulau-pulau kecil di sekitarnya misalnya P.

Rubiah. Mengacu kepada SK Menteri Kehutanan No.928/Kpts/Um/1982 tanggal 22 Desember 1982, ekosistem terumbu karang berada di Pulau Weh di sekitar Taman Laut Pulau Weh yang memiliki luas areal sekitar 2.600 Ha, yang terkonsentrasi di sekitar Pulau Rubiah.

Secara umum kondisi terumbu karang di P. Weh masih bagus, meskipun demikian di beberapa tempat sudah mengalami degradasi karena aktivitas manusia seperti illegal fishing. Pengamatan setelah tsunami juga menunjukkan bahwa tidak terdapat dampak yang signifikan dari bencana tsunami terhadap terumbu karang dan juga tidak terdapat deposit pasir atau material lainnya pada ekosistem terumbu karang. (Edi Rudi dan Nur Fadli. Condition of coral reef in Sabang Waters Aceh after Tsunami disaster. http://www.projectaware.org/asiapac/ english/PAAP/Tsunami_Projects/pdfs/ MarineScienceCenterReportofTsunamiProject.pdf).

E = Sandy Beach Dengan topografi yeng relative bergelombang sampai curam, maka pantai bepasir tidak banyak

terdapat di P. Weh. Pantai berpasir yang cukup landai dan dengan hamparan pasir yang cukup luas antara lain terdapat di Anoi Itam. Di tempat lain seperti Teupi Layeun, pantai berpasirnya relative sempit tetapi karena terdiri dari sediment laut dan sisa terumbu karang, pasir berwarna putih.

I = Intertidal forested wetlands (mangrove)

Gambar 282. Lokasi mangrove di daerah Gapang, Iboih Sumber: http://www.reefbase.org

Dari 4 Lokasi observasi ekosistem mangrove terdapat di Iboih dan Lham Nibung. Di Lham Nibung, sebagian besar hutan mangrove yang ada rusak karena tsunami. Di lokasi tersebut hanya tersisa sedikit pohon-pohon yang masih hidup. Sebagian substrat lumpur juga tertutup pasir yang terangkit oleh gelombang tsunami. Di Iboih luasan mangrove lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di Lahm Nibung. Mangrove di tempat tersebut juga rusak karena tsunami.

D = Rocky Marine shores Pantai berbatu yang curam dapat ditemukan di Iboih dan Anoi Itam. Tipe pantai yang sama bahkan

lebih curam dapat ditemukan di ujung bagian barat pulau di sekitar tugu kilometer 0 (nol).

1 = Aquaculture Luas lahan tambak di P. Weh tidak terlalu luas. Dari 4 lokasi observasi, tambak terdapat di Iboih

dengan luas lebih kurang 10 ha dan Lham Nibung dengan luas tidak diketahui tetapi kurang lebih sama dengan yang ada di Iboih. Di kedua lokasi tersebut tambak masih dalam keadaan belum berproduksi karena rusak akibat gelombang tsunami.

440 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

442 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 442 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Terumbu karang yang mengelilingi Pulau Weh di lepas pantai Banda Aceh berada kurang dari 300 km dari episentrum gempa. Jika dibandingkan dengan survey tahun 2003, tidak ada perubahan signifikan terhadap karang keras di tempat tersebut 100 hari setelah tsunami. Rata-rata tutupan karang pada tiga situs dangkal (< 2 meter) adalah sekitar 43% pada bulan Maret 2003 dan 47% pada bulan Maret 2005. Kerusakan yang berkaitan dengan tsunami di tempat-tempat lain, bersifat tidak merata dan berkaitan langsung dengan topografi bawah laut serta bentuk dan struktur terumbu. Karang-karang yang tumbuh pada dasar yang kuat kebanyakan tidak terpengaruh tsunami, walaupun ada sedikit cabang-cabang yang patah. Karang-karang yang tumbuh pada pecahan karang atau dasaran pasir yang tidak padat, mengalami lebih banyak kerusakan. Banyak koloninya yang terbalik, terkubur, atau terlempar ke bagian lain terumbu. Meningkatnya sedimentasi di beberapa wilayah telah memicu pemutihan karang, kemungkinan karena berkurangnya pasokan cahaya matahari. Namun, karang- dari marga Acropora masih mampu bereproduksi. Di kawasan semacam ini, karang diharapkan dapat pulih kembali dalam waktu beberapa tahun. (Wilkinson, C., D. Souter, J. Golberg (Eds). 2006.)

Survei lanjutan pada 15 titik di sekitar Pulau Weh di tahun 2005 menunjukkan kerusakan yang berkisar dari patahan yang hampir tidak kentara hingga kerusakan yang parah. Terumbu karang pada Laguna Gapang (juga dikenal sebagai Teluk Lhok Weng) secara praktis hancur, berubah menjadi pecahan karang, bebatuan, dan sisa pohon-pohon mangrove. Tsunami juga menyebabkan pasir di laguna tersedot total ke perairan yang lebih dalam. Namun demikian, beberapa penyelam berpendapat bahwa kerusakan yang ada telah terjadi sejak sebelum tsunami, yang kemungkinan besar disebabkan oleh limpasan dari darat akibat berkurangnya vegetasi di daerah pesisir. Sekitar 14

ha (60%) hutan mangrove yang mengelilingi teluk juga hancur. Hampir 75% dari terumbu di dekat desa Iboih rusak parah. Pola kehancurannya dapat diperkirakan. Paparan terumbu dangkal di teluk atau saluran-saluran yang sempit, mengalami kehancuran yang paling parah, sedangkan situs-situs dengan garis pantai curam yang menjorok ke laut dalam biasanya selamat. Lebih dari 90% kerusakan timbul pada kedalaman antara 3 - 10 m, sedangkan terumbu yang tidak langsung terpapar oleh lautan bebas biasanya tidak terlalu terpengaruh tsunami. (Wilkinson, C., D. Souter, J. Golberg (Eds). 2006)

b) Mangrove

Mangrove bukan merupakan type ekosistem pesisir yang dominant di P Weh. Dari 4 lokasi pengamatan mangrove hanya ditemukan di 2 lokasi yaitu di Iboih dan Lham Nibung. Lokasi observasi Lham Nibung merupakan hamparan mangrove yang cukup luas yang mengalami kerusakan sangat parah karena gelombang tsunami. Hampir seluruh pohon yang ada tumbang dan hanya menyisakan sebagian kecil yang masih hidup. Gelombang tsunami juga mengangkut sediment dalam jumlah yang cukup banyak dan meninggalkan hamparan pasir yang cukup tebal yang menutupi bekas areal mangrove.

Dengan mengecualikan tempat-tempat yang tertimbun pasir tebal, maka komunitas mangrove di Lham Nibung merupakan lokasi yang sangat potensial untuk melakukan restorasi / rehabilitasi mangrove. Selain arealnya cukup luas, lokasinya yang berbatasan langsung terumbu karang dangkal dapat diperirakan bahwa mangrove di kawasan tersebut merupakan pengekspor bahan organic bagi terumbu karang di sekitarnya. Percepatan rehabilitasi mangrove di kawasan tersebut juga akan membantu stabilisasi sedimen di tempat tersebut yang dapat mengganggu terumbu karang. Secara tidak langsung rehabilitasi mangrove yang ada akan membantu recovery terumbu karang.

Komunitas mangrove yang ada di Iboih yang berada di sebuah teluk sebenarnta juga mengalami kerusakan teutama yan berada di mulut teluk. Meskipun tidak luas arealnya karena berada di pantai berbatu, tetapi diperkirakan peranan eskositem ini cukup penting. Hal tersebut disebabkan karena sebagian areal mangrove yang ada di teluk tersebut yang berada di di ujung teluk hampir semuanya sudah dikonversi menjadi tambak. Rehabilitasi sebaiknya difikuskan pada areal yang masih tersisa, penanaman di lokasi lain diperkirakan cukup sulit karena sebagian pantai yang berbatu dan curam tidak memberikan cukup ruang dan substrat yang nmemadai untuk komunits mangrove.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pada pengamatan di lokasi-lokasi dengan pantai berpasir di pantai bagian timur P. Weh tidak terdapat kerusakan habitat yang parah. Vegetasi pantai yang ada juga masih dalam kondisi baik. Salah satu spesies yaitu Hernandia peltata masih sangat baik tumbuhnya di pantai berpasir yang sempit yang langsung berbatasan dengan bukit berbatu.

Pada pantai berpasir yang lebih landai yang umumnya mempunyai butiran pasir yang lebih halus juga tidak terdapat kerusakan yang berat. Upaya penanaman yang sempat dijalankan di salah satu lokasi justru mengalami kematian karena terkena gelombang pasang. Pandan mungkin menjadi alternative untuk menahan angin yang membawa butiran pasir halus atau uap air yang mengandung garam yang bertiup dari arah laut.

Yang agak tidak umum adalah ditemukannya tanaman kaktus di salah satu perkampungan. Tanaman ini ditanam di cukup rapat di sepanjang tepi jalan. Tanaman ini diperkirakan juga bisa melindungi lahan dibelakangnya dari kemungkinan tertimbun pasir yang terbawa angin dan melindungi tanaman dibelakangnyatermasuk yang ada di pekarangan dari “salt spray” yang terbawa angin. Dengan propagasi vegetatif yang relative mudah, kemungkinan jenis tanaman ini bias menjadi pilihan lain untuk tanaman pantai.

3. Profil Vegetasi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, profil vegetasi di pesisir desa Iboh setidaknya tersusun oleh lima tipe vegetasi. Pada umumnya, karakteristik vegetasi ini mengacu pada kondisi pantai berlumpur. Mangrove merupakan formasi terdepan, dimana penutupannya didominasi oleh Rhizophora apiculata. Di belakang formasi ini, terdapat areal berlumpur yang ditanami mangrove oleh beberapa pihak. Lokasi ini masih merupakan bagian dari pantai berpasir. Tanaman mangrove yang tumbuh ini membentuk komunitas yang dalam hala ini diberi sitilah tegakan mangrove artifisial. Di belakang koloni mangrove artifisial, terhampar semak belukar hingga ke wilayah pemukiman. Di wilayah pemukiman sendiri, profil vegetasinya cukup khas sehingga digolongkan secara khusus. D

Keterangan:

A = Formasi mangrove B = Koloni mangrove artifisial C = Semak Belukar D = Vegetasi sekitar desa E = Hutan pantai

Gambar 283. Cross section yang menggambarkan kondisi vegetasi di Desa Iboh

444 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Formasi mangrove Formasi ini mengacu pada suatu tegakan mangrove yang masih bertahan setelah terdegradasi oleh

gelombang Tsunami. Kerusakan melanda sebagian besar mangrove yang berada di tepi laut terbuka. Namun untuk di lokasi yang terlindung (misalnya di teluk atau laguna), kerusakan yang terjadi jauh lebih ringan. Di bawah ini adalah kondisi umum formasi mangrove yang ada di desa ini.

Gambar 284. Kondisi mangrove yang relatif masih bagus di tempat terlindung

Gambar 285. Mangrove yang rsuak berat di tepi laut lepas

Berdasarkan observasi lapangan, formasi ini didominasi oleh Rhizophora mucronata dan R. Apiculata, terutama di barisan depan. Sementara itu, beberpa jenis mangrove lainnya dapat dijumpai di baisan belakang antara lain Xylocarpus granatum, Scyphiphora hydrophyllacea, Lumnitzera racemosa, Dolichandrone spatachea, Lumnitzera littorea, dan Heritiera littoralis. Beberapa koloni jeruju Acanthus ilicifolius dan piai Acrhosticum aureum juga seringkali dijumpai di zona paling belakang, terutama pada substrat kering yang sesekali terkena pasang air laut.

Gambar 286. Pohon Bruguiera gymnorrhiza (kiri) dan Xylocarpus granatum(kanan) • Koloni mangrove artifisial

Tipe vegetasi ini mengacu pada suatu koloni mangrove hasil kegiatan penanaman yang dilakukan oleh beberapa pihak antara lain Dinsa Kehutanan setempat (melalui Gerhan) dan Proyek Green Coast Phase 1. Observasi yang dilakukan di lapangan mendapati bahwa sebagian besar jenis bibit yang ditanam adalah Rhizophora mucronata. Sementara sebagian kecil sisanya adalah Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 287. Kondisi umum habitat di lokasi penanaman

• Semak Belukar Tipe vegetasi ini memiliki penutupan yang cukup tinggi yaitu terhampar di belakang mangrove artifisal

hingga ke wilayah pemukiman masyarakat.

Gambar 288. Kondisi umum semak belukar di desa Iboi

Gambar 289. Beberapa jenis tumbuhan yang umum dijumpai semak belukar

Beberapa jenis tumbuhan herba yang umum dijumpai antara lain biduri Calatropis gigantea, Alchornea rugosa, Chisocheton sandoricarpus, Glochidion obscurum, Mallotus philippensis, Orophea euenandra, Smythea lanceota, Tetracera scandens. Sementara beberapa jenis pohon yang umum dijumpai adalah Pulai Alstonia macrophylla, Azedirachta indica, Trema orientalis dan Ficus app.

• Vegetasi di sekitar Desa Di sekitar desa, sebagian besar tumbuhan yang ada adalah hasil budidaya tanaman yang dilakukan

oleh masyarakat. Beberapa jenis diantaranya bahkan mampu memberikan kontribusi ekonimis yang cukup signifikan bagi masyarakat, salah satunya adalah pinang Areca cathechu. Beberapa jenis tanaman yang umum dijumpai di sepanjang jalan antara lain gamal Glirichidia sepium, kuda-kuda Lannea corambolica, Mahoni Switenia mahagoni, dan beberapa jenia lainnya. Sementara itu, jarak pagar Jatropha curcas, pinang Areca catechu dan Lannea spp seringkali ditanam penduduk sebagai tanaman pagar. Penanaman dilakukan masyarakat dengan jarak yang sangat dekat 10 cm dengan menggunakan stek batang. Selain mudah mendapatkan bahan stek, teknik penyetekan ini sangat sederhana dilakukan dengan prosentase yang sangat tinggi. Di halaman rumah atau kebun pekarangan, penduduk pada umumnya menanam berbagai jenis pohon penghasil buah antara lain belimbing wuluh Averhoa bilimbi, nangka Artocarpus heterophyllus, mangga Mangifera indica, pisang Musa spp, kelapa Cocos nucifera, kedondong Spondias pinnata, dan beberapa jenis lainnya.

446 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 290. Tanaman Jarak Jatropha curcas ditanam sebagai tanaman pagar

Selain jenis tanaman budidaya, beberapa spesies tumbuhan yang tumbuh secara alami juga mudah dijumpai terutama di areal terbuka di sekitar desa. Beberapa jenis tumbuhan tersebut antara lain Calatropis gigantea, Leea indica, Trema orientalis, Barringtonia asiatica, Alstonia macrophylla, dan beberapa jenis lainnya.

• Hutan pantai Areal bervegetasi ini dipenuhi oleh berbagai jenis tanaman khas pesisir antara lain Waru Hibiscus

tiliaceus, Waru lot Thespesia populnea, Ara Ficus septica, Malapari Pongamia pinnata, Timonius compressicaulis, Abroma mollis, Macaranga tanarius, Leea indica, Bayur Pterospermun spp. dan beberapa jenis tumbuhan lainnya. Beberapa tumbuhan paku antara lain Drynaria spp dan Cycas

rumpii juga dijumpai di lokasi ini. Beberapa jenis tumbuhan herba yang umum dijumpai antara lain biduri Calatropis gigantea,

Alchornea rugosa, Chisocheton sandoricarpus, Glochidion obscurum, Mallotus philippensis, Orophea euenandra, Smythea lanceota, Tetracera scandens. Sementara beberapa jenis pohon yang umum dijumpai adalah Pulai Alstonia macrophylla, Azedirachta indica, Trema orientalis dan Ficus app.

4. Keanekaan Fauna

a) Anoi Itam Pengamatan satwa liar di wilayah Anoi Itam tidak dapat berjalan dengan optimal, areal survey yang

cukup luas sementara waktu survey sangat singkat. Pengamatan hanya berlangsung efektif selama 1 hari, yaitu pada tanggal: 18 Agustus 2007. Selama

waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: dua (2) jenis mammalia, 7 jenis burung, serta 4 jenis herpetofauna.

(1) Mammalia

Dua jenis mammalia, yang ditemukan, yaitu: Kera-ekor panjang Macaca fascicularis, Babi hutan Sus sp. (jejak). Hasil ini sangat minim, namun apabila melihat kondisi wilayah survey yang sebagian berupa pemukiman penduduk serta daerah kebun kelapa dan ladang, kemungkinan jenis-jenis mammalia yang dapat ditemukan adalah yang dapat beradaptasi dengan manusia.

(2) Avifauna

Hanya tujuh (7) jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini. Hasil ini kemungkinan dapat bertambah bila waktu pengamatan dapat lebih panjang. Dari jumlah tersebut, 3 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia (Tabel 2.1), 1 jenis masuk dalam kategori App. II-CITES. Jenis yang dilindungi oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia yaitu: Elang Bondol-Haliastur Indus, Cekakak sungai Halcyon chloris dan Burung-madu sriganti Nectarinia jugularis.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Herpetofauna

Empat jenis satwa dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, tidak terdapat jenis herpetofauna yang dilindungi. Kadal Terbang-Draco sumatranus, merupakan jenis yang paling umum dijumpai, terutama di daerah perkebunan kelapa. Kadal Biasa-Mabuya multifasciata, dan Biawak- Varanus salvator, agak jarang, namun satu ekor teramati di areal survey ini.

b) Iboih - Gapang Pengamatan satwa liar di wilayah Iboih berlangsung efektif selama 1,5 hari, yaitu pada tanggal: 17

dan 18 Agustus 2007. Ada dua wilayah yang berdekatan yang dikunjungi, namun pengamatan terrestrial lebih efektif dilakukan pada areal yang dikelola oleh YPS. Sementara lokasi lain berupa rehabilitasi serta perlindungan terumbu karang (Pak Doden). Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: empat (4) jenis mammalia, 16 jenis burung, serta 6 jenis herpetofauna.

(1) Mammalia

Empat (4) jenis mammalia, yang ditemukan, yaitu: Kera-ekor panjang Macaca fascicularis, Babi hutan Sus sp. (jejak), Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus (temuan faeses) serta Kalong Besar Pteropus vampirus. Hasil ini sangat minim, namun apabila melihat kondisi wilayah survey yang sebagian berupa pemukiman penduduk serta daerah kebun kelapa dan ladang, kemungkinan jenis- jenis mammalia yang dapat ditemukan adalah yang dapat beradaptasi dengan manusia.

(2) Avifauna

Enam belas (16) jenis burung yang teramati dan teridentifikasi di daerah ini. Hasil ini kemungkinan masih dapat bertambah bila waktu pengamatan dapat lebih panjang. Dari jumlah tersebut, 5 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia (Tabel 2.1), 1 jenis masuk dalam kategori App. II-CITES. Jenis yang dilindungi oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia yaitu: Elang Bondol-Haliastur Indus, Elang-laut perut-putih , Pekaka emasPelargopsis capensis Cekakak sungai-Halcyon chloris dan Burung-madu sriganti-Nectarinia jugularis.

(3) Herpetofauna

Enam jenis satwa dari kelompok herpetofauna ditemukan, namun tidak terdapat jenis yang dilindungi. Kadal Terbang-Draco sumatranus dan Kadal Biasa-Mabuya multifasciata, merupakan jenis yang relatif mudah dijumpai, terutama di daerah perkebunan kelapa hingga dekat pemukiman. Sementara, Biawak-Varanus salvator, -jarang- teramati di areal survey ini. Tiga jenis kodok/katak teramati, yaitu: Kodok Puru Bufo melanostictus, Katak Hijau Fajervarya cancrivora, dan Belentuk Indah Kaloula pulchra.

c) Ancaman

Untuk satwa terrestrial, kondisi areal yang merupakan daerah pariwisata, potensi ancaman, adalah: aktifitas manusia/pengunjung (keramaian, sampah). Sementara, untuk gangguan pada terumbu karang, yang telah teridentifikasi adalah cara penanbatan kapal pengunjung dengan jangkar, yang sat ini telah diatasi dengan penggunaan morin.

448 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

5. Tanah dan Pertanian

a) Proses Pembentukan dan Klasifikasi Tanah

Pada umumnya daerah survei P. Weh merupakan pesisir pantai yang mempunyai dataran yang relatif sempit dengan ke arah daratan yang berrelief bergelombang sampai berbukit.

Tanah yang terdapat di lokasi-lokasi ini umumnya berpasir kadang-kadang terdapat trumbu karang sehingga banyak dijumpai tnah dangkat dan tergenang air laut. Ketebalan tanah hanya sekitar. Ketebalan tanahnya < 50 cm dengan bahan induk tanah pasir kasar.

Sistim klasifikasi tanah yang digunakan adalah sistim Taxonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1998). Sesuai dengan pembentukan tanah di daerah survei, tanah yang terbentuk hanya terdiri tanah yang belum memiliki horison penciri. Tanah relatif muda, sehingga mempunyai kematangan yang rendah. Tanah ini diklasifikasikan sebagai Lithic Quartizpsamments.

b) Kesuburan Tanah

(1) Sifat Kimia Tanah

Kesuburan Tanah di Lokasi-lokasi di P. Weh rendah, Karena disamping mempunyai sifat kimia yang rendah juga mempunya sifat fisik tanah yang tidak mendungkung pertumbuhan tanaman. Salah satu yang paling berpotensi adalah adanya salinitas (kadar garam) yang tinggi dan tanah berbahan kasar dan dangkal, sehingga keseburan tanah di lokasi-lokasi P. Weh sangat rendah.

(2) Potensi dan Kesesuaian Lahan

Daerah survei mempunyai lahan yang tidak sesuai untuk pengembangan pertanian dan perkebunan karena mempunyai faktor-faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang sulit diperbaiki. Faktor-faktor pembatas tersebut diantaranya adalah: media perakaran, keracunan garam-garam, genangan air laut. Oleh karena itu sebaiknya kawasan ini diperuntukan sebagai kawasan lindung pantai

6. Sosial Ekonomi

a) Anoi Itam

(1) Sejarah Desa dan Geografis

Kekayaan alam dan peninggalan sejarah berupa benteng Jepang yang dimiliki oleh Kelurahan Anoi Itam membuat Kelurahan ini cukup dikenal sebagai lokasi tujuan wisatawan lokal. Wisatawan asing jarang mengunjungi lokasi ini kemungkinan besar karena pasir di pantai di Kelurahan Anoi Itam tidak berwarna putih sehingga kurang menarik minat wisatawan asing. Anoi Itam sendiri berarti Tanah Hitam.

Tsunami Desember 2004 tidak begitu memiliki dampak yang merusak bagi kehidupan masyarakat Anoi Itam dibandingkan dengan yang dialami warga di Aceh Daratan. Pada saat kejadian, warga dengan cepat menaiki perbukitan yang relatif dekat dengan pesisir pantai. Kerusakan yang timbul umumnya hanya terbatas pada kerusakan fisik bangunan dan alat tangkap nelayan sedangkan korban jiwa tidak ada.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Demografi

Luas keseluruhan wilayah daratan Kelurahan Anoi Itam adalah sekitar 1500 ha atau 15 km2. Wilayah tersebut dihuni oleh sekitar 700 jiwa dengan pertumbuhan penduduk yang relatif lebih rendah dibandingkan pertumbuhan rata-rata Kecamatan Suka Jaya maupun Kota Sabang. Letaknya yang relatif terpencil dan akses jalan yang sebelum tahun 2006 kondisinya rusak parah menyebabkan perpindahan penduduk relatif kecil.

Tabel 184. Komposisi penduduk Kelurahan Anoi Itam

Populasi

Lokasi Tahun Laki-laki Perempuan Total Kepadatan Penduduk Keluarga (kk)

(individu/ km2)

Kelurahan Anoi Itam

2005 337 344 681 N/A 164 Kecamatan Suka Jaya

2961 2005 7192 7080 14272 N/A 3562 Kota Sabang

6325 2005 15,760 15,171 30,931 N/A 7,697

Kelurahan Anoi Itam

po

Kecamatan Suka Jaya x 20

po

Kota Sabang x 40

Gambar 291. Grafik pertumbuhan penduduk tahun 2003-2005 di Kelurahan Anoi Itam

(3) Analisis strategi mata pencaharian

Hampir semua keluarga memiliki aset lahan yang bisa diolah untuk pertanian dan peternakan. Hal ini menunjukkan bahwa aset kepemilikan lahan bukanlah kendala yang utama bagi warga dalam mengembangkan kegiatan pertanian. Meski demikian tidak pernah ada upaya khusus untuk mendata luasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa beberapa warga memiliki lahan kurang dari satu hektar sedangkan warga lainnya ada yang memiliki lahan “beberapa” hektar sekaligus. Jumlah penduduk yang secara aktif mengelola lahannya untuk kegiatan pertanian adalah sekitar 300 orang.

Seperti halnya di daerah-daerah lain di Aceh, di Anoi Itam juga terdapat beberapa lahan darat yang status kepemilikan masih “samar” yang digunakan bersama. Lahan-lahan tersebut biasanya dimanfaatkan secara bersama sebagai lahan penggembalaan ternak meskipun terdapat pihak yang mengklaimnya sebagai tanah milik.

450 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Di samping kepemilikan aset lahan untuk kegiatan pertanian, sebagian masyarakat Anoi Itam juga bekerja sebagai nelayan dan memiliki aset kerja yang memadai untuk mata pencaharian tersebut yaitu boat dan alat tangkap. Kepemilikan ini baru terjadi setelah tahun 2005 umumnya berupa bantuan donor untuk korban gempa dan tsunami. Jumlah penduduk yang secara aktif bekerja sebagai nelayan adalah sekitar 60 orang. Sebelumnya nelayan-nelayan Anoi Itam menyiasati keterbatasan aset alat tangkap dengan bekerja pada sesama nelayan atau pemilik alat tangkap.

Beberapa anggota masyarakat juga secara serius mulai mengelola kegiatan wisata pantai yaitu dengan menyediakan shelter-shelter sekaligus makanan bagi pengunjung. Anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini juga memiliki aset yang memadai berupa bangunan shelter dan warung makan.

Sebagian besar usaha yang dilakukan masyarakat membutuhkan modal keuangan dalam jumlah yang bervariasi pada setiap periode. Kebutuhan modal terbesar terjadi di bulan-bulan Januari hingga Maret terutama saat akan memulai usaha pertanian dan perikanan.

Terdapat berbagai sumber modal keuangan untuk memenuhi kebutuhan tersebut yaitu: (1) toke yaitu anggota masyarakat yang memiliki kemampuan modal keuangan besar; (2) kelompok masyarakat yang belakangan berkembang dengan banyaknya bantuan pasca tsunami; (3) modal sendiri yang diperoleh dari tabungan panen-panen sebelumnya; (4) bank. Gambaran detail mengenai sumber modal keuangan beserta kelemahan dan kekurangannya disajikan dalam Tabel dibawah ini:

Tabel 185. Sumber-sumber modal keuangan yang bisa diakses oleh masyarakat Anoi Itam

Sumber Modal

Kelebihan

Kekurangan

Toke Mudah diperoleh, hanya perlu menjaga kepercayaan. Tidak bebas menentukan harga sesuai Memudahkan pemasaran produk.

harga pasar.

Modal keuangan tidak dibatasi penggunaannya Sulit untuk melunasi utang Kelompok

Relatif mudah diperoleh. Tidak selalu ada Tani/Nelayan

Jumlahnya terkadang cukup besar, cukup memulai Terbatas pada orang tertentu yang usaha baru

menjadi kelompok. Penggunaannya terbatas pada

kegiatan tertentu Modal Sendiri

Tidak terikat pemasaran Jumlahnya kecil Bebas digunakan untuk kegiatan apa saja

Tidak selalu ada Bank

Jumlahnya bisa sangat besar Sulit untuk memperolehnya Pemasaran produk tidak terikat

Tabel diatas memberikan kita gambaran bahwa masyarakat sebagian besar akan memilih sumber modal keuangan dari toke dan modal. Berdasarkan wawancara dengan beberapa orang tokoh masyarakat terungkap bahwa pilihan tersebut antara lain menyebabkan sulitnya berkembangan kesejahteraan masyarakat.

Sebagian besar masyarakat Anoi Itam menggantungkan hidupnya dengan mengelola sumberdaya alam terutama kegiatan pertanian dan perikanan. Dari sekitar 300 - 400 angkatan kerja penduduk Anoi Itam, kurang dari 50 diantaranya yang memiliki pekerjaan tetap selain pertanian dan perikanan. Penghasilan yang diperoleh dari satu pekerjaan saja, misalnya mengelola lahan kebun, biasanya tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk menekuni berbagai pekerjaan sekaligus mengikuti ketersediaan sumberdaya alam. Kondisi ini menyebabkan ritme kehidupan masyarakat Anoi Itam juga berfluktuasi mengikuti ritme musim. Gambaran mengenai jenis-jenis aktivitas masyarakat sepanjang tahun digambarkan dalam Tabel dibawah ini.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 186. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Anoi Itam

Aktifitas Jan Feb Mar Apr May June Jul Aug Sep Oct Nov Des

Coklat ----- - - Xxxx x Cabe

xxxX- - - - - - - - Perikanan laut

Musim Timur Sawah/ladang Panen Persiapan Penanaman Pemeliharaan Panen Curah hujan

Musim Timur

Musim Barat

----- - - Xxxx x Kebutuhan kredit x x x - - - - - - - - -

Hasil wawancara yang disajikan dalam Tabel 186 mengenai jenis-jenis mata pencaharian menunjukkan bahwa masyarakat Anoi Itam umumnya lebih memahami detail kegiatan pertanian dibandingkan detail kegiatan perikanan. Saat ini diperkirakan dari sekitar 300 anggota masyarakat yang bekerja dibidang pertanian dan perikanan, hanya 60 anggota masyarakat yang benar-benar memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Dengan kata lain, meskipun Anoi Itam terletak di tepi Samudera Hindia tapi pola mata pencaharian masyarakatnya justru lebih tergantung pada kegiatan pertanian.

Tabel 186 menunjukkan bahwa saat ini masyarakat baru memulai kegiatan berkebun yang baru yaitu dengan menanam coklat yang diperkirakan akan mulai menghasilkan dalam 3-4 tahun yang akan datang. Kegiatan pertanian yang menjadi andalan saat ini adalah penanaman cabe, sawah, dan ladang. Meski demikian kegiatan ini tidak bisa dilakukan sepanjang tahun tetapi terbatas pada akhir musim kering (persiapan) hingga akhir musim hujan (panen). Kegiatan pemanenan hasil umumnya dilakukan pada bulan-bulan September hingga Maret setiap tahunnya.

Kegiatan perikanan pantai dapat dilakukan sepanjang tahun yaitu dengan menangkap ikan disekitar terumbu karang. Sedangkan kegiatan perikanan laut lepas dilakukan pada Musim Barat dengan menangkap ikan hingga ke sekitar perairan Pulau Rondo, Selat Malaka, atau Samudera Hindia. Hasil yang diperoleh kegiatan perikanan laut lepas dianggap sebagai penghasilan utama nelayan sedangkan kegiatan perikanan pantai umumnya hanya menjadi kegiatan sampingan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Kombinasi berbagai mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat Anoi Itam merupakan strategi mata pencaharian agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara terus menerus. Pada musim- musim penghujan penghasilan menjadi relatif lebih besar yang memicu sebagian masyarakat untuk berbelanja barang-barang rumah tangga. Sebagian uang tersebut juga dibelanjakan “barang modal” seperti emas yang bisa diuangkan kembali pada saat dibutuhkan. Secara umum strategi mata pencaharian yang dikembangkan masyarakat Anoi Itam ini berjalan secara efektif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sepanjang tahun sekaligus kebutuhan modal pada saat awal musim tanam. Hanya saja penghasilan yang diperoleh tidak sanggup untuk mengangkat taraf kehidupan masyarakat menjadi lebih baik misalnya dengan menyekolahkan anak hingga universitas.

rategi mata pencaharian yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Anoi Itam dengan menekuni berbagai jenis mata pencaharian cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat terutama sandang dan pangan. Kebutuhan dasar kesehatan juga masih bisa dipenuhi sehingga tidak pernah ditemukan kasus-kasus seperti malnutrisi.

Upaya peningkatan taraf hidup keluarga melalui peningkatan pendidikan dengan menggunakan strategi mata pencaharian yang berjalan saat ini masih belum bisa diandalkan. Tingkat penghasilan keluarga di Anoi Itam umumnya hanya sanggup untuk menyekolahkan anaknya hingga SMP dan SMA. Oleh sebab itu intervensi terhadap pengelolaan yang dilakukan saat ini masih sangat diperlukan agar masyarakat dapat mengatasi berbagai kesulitan yang dialami saat ini.

452 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Beberapa tahun belakangan ini masyarakat merasakan adanya pergeseran musim yang sulit diprediksi sehingga tidak sesuai dengan kalender musim yang telah dipahami secara empirik. Akibatnya masyarakat mengalami kesulitan untuk memperikakan kapan waktu persiapan dan penanaman yang paling tepat agar diperoleh panen yang lebih baik. Hal yang sama dialami oleh masyarakat nelayan yang kesulitan menentukan musim penangkapan yang tepat karena ketidak jelasan awal dan akhir musim barat.

Kesulitan memprediksi musim juga terjadi kendala yang besar bagi kegiatan perikanan karena nelayan tidak bisa memastikan kapan memulai kegiatan penangkapan di laut lepas. Kondisi ini menyebabkan nelayan mengalami kesulitan mempertahankan tingkat produksi baik dari kegiatan perikanan pesisir maupun perikanan laut lepas.

Lingkungan sumber mata pencaharian yang serba rapuh tersebut hingga saat ini belum diatasi secara menyeluruh. Masyarakat Anoi Itam bertahan apa adanya dalam menghadapi semakin tidak pastinya kondisi alam tanpa dukungan teknis dan keuangan yang memadai.

Strategi mata pencaharian yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Anoi Itam dengan menekuni berbagai jenis mata pencaharian cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat terutama sandang dan pangan. Kebutuhan dasar kesehatan juga masih bisa dipenuhi sehingga tidak pernah ditemukan kasus-kasus seperti malnutrisi.

Upaya peningkatan taraf hidup keluarga melalui peningkatan pendidikan dengan menggunakan strategi mata pencaharian yang berjalan saat ini masih belum bisa diandalkan. Tingkat penghasilan keluarga di Anoi Itam umumnya hanya sanggup untuk menyekolahkan anaknya hingga SMP dan SMA. Oleh sebab itu intervensi terhadap pengelolaan yang dilakukan saat ini masih sangat diperlukan agar masyarakat dapat mengatasi berbagai kesulitan yang dialami saat ini.

(a) Perikanan Tangkap

Seperti yang telh disebutkan sebelumnya, bahwa kegiatan perikanan pantai oleh nelayan Anoi Itam dapat dilakukan sepanjang tahun yaitu dengan menangkap ikan disekitar terumbu karang. Sedangkan kegiatan perikanan laut lepas dilakukan pada Musim Barat dengan menangkap ikan hingga ke sekitar perairan Pulau Rondo, Selat Malaka, atau Samudera Hindia dan musim Timur hanya berkutat disekitar Lhok (teluk) Anoi Itam.

Kegiatan perikanan tangkap merupakan mata pencaharian utama disamping berkebun. Yang cukup menarik adalah mengenai kegiatan penguatan lembaga Panglima Laot yang terus sangat berkembang pada kegiatan perikanan tangkap di Anoi Itam dari sebelum tsunami adalah penggunaan bom, racun dan jaring Muroami (mini trawl). Kegiatan-kegiatan yang dilaukan Pemko maupun NGO di Anoi Itam yang terkait dengan perikanan tangkap diantaranya bantuan boat, penguatan Panglima Laot, Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah, Pembangunan Balai Nelayan.

Jenis perahu yang digunakan pada umumnya tiga macam yaitu sampan, boat dengan mesin tempel

15 Pk dan Boat besar kapasitas 7 orang dengan mesin lebih dari 20PK. Tak jarang juga nelayan yang menyelam neggunakan masker (snorkel) dan spirgun (pistol dengan peluru berupa mata tombak) untuk menangkap ikan.

(b) Pertanian

Pertanian pada umumnya dilakukan diperbukitan atau masyarakat setempat sering menyebut berkebun di gunung. Jenis tanaman yang banyak dibudidayakan adalah sayuran dan coklat. Kegiatan pertanian biasanya sebagai salah satu alternatif ketika musim Barat nelayan tidak melaut.

Sama halnya dengan di Iboih, dimasa lalu kegiatan pertanian yang cukup berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat adalah dari kelapa yang diproses menjadi kopra dan cengkeh. Setelah tahun 90-an permintaan kopra dan cengkeh karena harganya yang semakin lemah, kegiatan ini pun perlahan-lahan terhenti. Tanaman keras yang ditanam adalah coklat dan kelapa.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(c) Peternakan

Peternakan tidak terlalu menonjol, pada umumnya jenis ternak adalah kambing. Sama seperti daerah lainnya kambing dibiarkan tanpa ada penggembalaan secara khusus.

(d) Pariwisata

Pariwisata Anoi Itam lebih banyak dikunjungi oleh wosatawan lokal untuk makan dan berkumpul bersama keluarga. Anoi Itam seperti alternatif lokasi bagi wisatawan lokal untuk berkumpul bersama keluarga. Hasil wawancara dengan salah seorang wisatawan lokal menyebutkan mereka lebih nyaman berwisata di sekitar Anoi Itam karena di Iboih sangat banyak wisatawan asing yang berbeda budaya dalam menikmati pemndangan pantai.

Aktivitas menyelamm atau snorkling masih sangat jarang dijumpai di Anoi Itam, selain tidak adanya dive shop, cara menikmati keindahan lebih banyak menikmati pemandangan alam, mandi di sekitar pantai dan berkumpul dengan keluarga pada hari libur. Disamping itu topografi pantai tidak seluas dan selandai di Iboih juga merupakan salah satu faktor kurang berkembangka aktivitas wisata. Namun demikian jumlah penginapan disekitar Anoi Itam dan Ie Meule mengalami pningkatan yang cukup signifikan pasca tsunami. Tercatat tak kurang 3 penginapan baru di kemuliman Anoi Itam-Ie Meule.

(4) Fasilitas Fisik Desa

(a) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Pembangunan Anoi Itam pasca tsunami juga banyak dibantu oleh lembaga lain seperti Wetlands International melalui Yayasan PUGAR, P2KP untuk pembangunan infrastruktur desa, Pemerintah Kota Sabang dan Save The Children untuk penyediaan boat dan bantuan sembako. Pembangunan perumahan tidak ada di Desa Anoi Itam.

(b) Pendidikan

Aset sumber daya manusia, upaya meningkatkan pendidikan Saat ini Kelurahan Anoi Itam memiliki fasilitas kesehatan dan pendidikan dasar yang cukup memadai

dengan tersedianya puskesmas pembantu, pos yandu dan sebuah sekolah dasar. Sedangkan pelayan kesehatan maupun pendidikan yang lebih tinggi masih relatif sulit untuk dijangkau karena jarak perjalanan darat sekitar 9 – 15 km ke arah pusat kota. Gambaran detail fasilitas pendidikan yang bisa diakses oleh masyarakat Anoi Itam disajikan pada Tabel berikut ini.

Tabel 187. Fasilitas pendidikan yang bisa diakses masyarakat Anoi Itam

JUMLAH SEKOLAH

THN TK SD SMP SMU SMK Akademi/ Universitas

N = Sekolah negeri; S = Sekolah swasta; km = Jarak terdekat dari Anoi Itam

454 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel diatas menunjukkan bahwa dari tahun ketahun (2003 – 2005) fasilitas pendidikan yang bisa dinikmati oleh masyarakat Anoi Itam tidak bertambah. Meski demikian akses untuk mendapatkan layanan lanjutan di bidang pendidikan dan kesehatan menjadi lebih mudah sejak dibangunnya jalan yang mulus antara Anoi Itam dan pusat kota pada tahun 2006.

Sumberdaya manusia berdasarkan pendidikan formal relatif baik untuk ukuran Aceh secara umum. Hal tersebut bisa dilihat pada Tabel 188 yang menunjukkan tingkat pendidikan penduduk usia kerja Kelurahan Anoi Itam.

Tabel 188. Tingkat pendidikan angkatan kerja di Kelurahan Anoi Itam

Jenjang Pendidikan

Jumlah

Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama

Sekolah Menengah Atas

Perguruan Tinggi

Total 122 Sumber: Laporan Yayasan Pugar

Tabel diatas menunjukkan bahwa angkatan kerja di kelurahan Anoi Itam memiliki pendidikan formal yang relatif lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam memperkenalkan inovasi pengembangan wilayah desa akan lebih mudah dilaksanakan.

(c) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Jalan menuju Anoi Itam sudah berupa aspal meski kulaitas tidak begitu bagus. Informasi dari warga setempat bahwa jalan menuju Anoi Itma baru dperbaiki tahun 2007 namun takhir tahun 2008 jalanan mulai rusak. Angkutan umum di Desa Anoi Itam sangat jarang sekali bahkan bisa dibilang tidak ada. Pada umumnya warga memiliki sepeda motor sendiri

(d) Fasilitas Kesehatan

Tabel 189. Fasilitas Kesehatan di Anoi Itam Tahun 203 dan 2005

Jumlah Rumah

Tahun Terdekat

Kemudahan Sakit

2003 0 15 Mudah 0 15 susah 0 15 mudah 2005 0 15 mudah 0 15 susah

0 .15 mudah

Fasilitas kesehatan belum memadai di Dewsa Anoi Itam. Pada umumnya masyarakat berobat kepada perawat yang lebih dikenal dengan sebutan Mantri.

(e) Fasilitas Keagamaan

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS tahun 2003 dan 2005 diketahui bahwa setelah tsunami terdapat pembangunan satu buah Mushalla baru. Bencana Tsunami tidak menyebabkan kerusakan pada sarana peribadatan.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(f) Sarana Komunikasi

Sarana telekomunikasi yang saat ini sangat umum adalah telepon genggam. Hampir setiap keluarga memilikinya sehingga merupakan sarana komunikasi utama untuk berhubungan dengan relasi dan keluarga yang berada di luar Iboih. Hasil pendataan oleh BPS menujukkan bahwa sekitar 18 keluarga pada tahun 2005 juga telah mendapatkan fasilitas telepon rumah. Namun demikian saat ini tidak ada informasi mengenai warga yang memiliki sarana telepon rumah.

(5) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(a) Struktur Pemerintahan

Wilayah administrtaif berupa kota, sehingga pemerintahan Desa disebut sebagai Kelurahan yang dipimpin oleh Lurah. Namun demikian sebutan di kalangan masyarakat yang lazim adalah Keuchik. Berikut adalah struktur pemerintahan Kelurahan Anoi Itam.

Kepala Kelurahan

Badan Musyawarah Kelurahan

Sekretaris

Seksi Kesejahteraan

Seksi Ketertiban Rakyat

Seksi Pemberdayaan

Seksi Pemerintahan

Masyarakat

Gambar 292. Struktur Pemerintahan desa Anoi Itam

(b) Kelompok Sosial Kemasyarakatan

Secara umum dalam masyarakat adanya kelompok tua dan kelompok Pemuda. Kelompok tua saat ini pada umumnya menjabat pada susunan mukim. Lembaga sosial kemasyarakatan yang diperkuat keberadaanya melalui Green Coast Project adalah panglima Laot. Upaya negosiasi yang panjang didalam masyarakat Anoi Itam dan Panglima Laot menetapkan tata batas dan rencana strategi pengelolaan daerah perlindungan laut. Melengkapi upaya tersebut, Panglima Laot juga mengeluarkan peraturan pemanfaatan daerah perlindungan laut beserta sanksi untuk pelanggar. Langkah selanjutnya yang kini dilakukan adalah mengupayakan agar keputusan-keputusan panglima laot tersebut bisa diadopsi oleh pemerintah menjadi hukum positif yang mengikat semua pihak, tidak terbatas pada masyarakat Anoi Itam saja.

Upaya pengeuatan kelembagaan Panglima laot tersebut didasari oleh menurunnya kualitas perairan pesisir secara signifikan dibanding 10 tahun lalu yang dipicu oleh maraknya aktifitas yang merusak terumbu karang. Sudah sejak lama kekayaan terumbu Kelurahan Anoi Itam menjadi lokasi penangkapan ikan oleh nelayan dari berbagai daerah di Aceh. Banyak dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara berlebihan (over exploitasi) dan menggunakan cara-cara yang merusak terumbu karang. Akibatnya masyarakat Anoi Itam merasakan menurunnya populasi ikan tangkapan yang menjadi sumber utama mata pencaharian mereka. Kerusakan terumbu karang juga secara langsung akan menyebabkan melemahnya kemampuan ekosistem dalam mereduksi dampak buruk perubahan iklim maupun proses alam yang dapat merusak pemukiman seperti gelombang laut.

Menyikapi hal tersebut, Panglima Laot Anoi Itam sebagai otoritas tradisional pengelolaan pesisir dan laut akhirnya menetapkan pembatasan alat tangkap dan lokasi penangkapan pada tahun 2004. Sayangnya upaya perlindungan tersebut tidak tidak didukung oleh upaya advokasi yang rapi sehingga pemerintah setempat maupun nelayan dari wilayah lain tidak mengakui larangan tersebut.

456 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(6) Gender

(a) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Secara umum keuangan rumah tangga dikelola oleh istri secara penuh untuk kebutuhan harian dan biaya sekolah. Pada umumnya perempuan mengembangkan aktivitas mata pencaharian dengan ke kebun ataupun mencari kayu bakar di hutan. Sangat jarang sekali perempuan terlibat dalam kegiatan melaut keterlibatan yang ada yaitu mengolah hasil tangkapan untuk dijadikan ikan asin. Usah ikan asin sendiri di Anoi Itam tidak terlalu berkembang.

(b) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Perempuan terlibat aktif dalam kelompoknya sendiri yaitu kelompok ibu-ibu pengajian. Kelompok Pengajian Ibu-ibu aktif setiap satu kali dalam semingguu. Tidak ada tokoh perempuan yang menonjol apakah sebagai pemimpin atau yang telibat dalam kepengurusan pemerintahan desa

(7) Informasi yang terkait dengan Kegiatan Green Coast

• Nama-nama Kelompok yang dibentuk GC2 : Tidak membentuk kelompok baru tapi dikelola langsung oleh organisasi tradisional Panglima Laot Lhok Anoi Itam.

• Jumlah anggota perkelompok : penerima manfaat tahap 1 adalah 30 orang yang diajukan oleh sebuah komite perwakilan dari 3 lingkungan yang ada di Anoi Itam.

• Mata pencaharian anggota kelompok sebelum dan setelah tsunami : Tidak berubah yaitu petani dan nelayan.

• Rencana rehabilitasi oleh kelompok: konservasi sumberdaya terumbu karang. • Rencana Pemberdayaan Ekonomi/Livelihood oleh kelompok: pembentukan lembaga keuangan

simpan pinjam Desa .

b) Kelurahan Iboih Kecamatan Sukakarya Kota Sabang

(1) Sejarah Desa dan Geografis

Gampong Iboih sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu, bahkan banyak masyarakat yang menduga Gampong Iboih adalah pemukiman tertua di Sabang. Gampong Iboih awalnya dipimpin oleh Keuchik Iboih yang dalam tata batas saat ini meliputi dua kelurahan yaitu Kelurahan Iboih dan Kelurahan Batee Shok. Seiring dengan perubahan politik pemerintahan yang menetapkan Sabang sebagai kota, bukan sebagai kabupaten, menyebabkan Gampong Iboih berubah status menjadi kelurahan. Sejak saat itu Gampong Iboih yang tadinya dipimpin oleh Keuchik berubah dipimpin oleh Lurah yang ditunjuk oleh Walikota.

Kelurahan Iboih merupakan pusat pariwisata pantai di Sabang karena memiliki pantai dengan pasir putih yang indah dan terumbu karang yang masih bagus. Sebagian besar kunjungan wisata ke Kota Sabang sebetulnya ditujukan untuk mengunjungi wilayah ini. Bisnis pariwisata yang sempat menurun saat terjadi konflik bersenjata dan akhirnya ambruk total saat tsunami, kini berkembang sangat cepat.

(2) Demografi

Kelurahan Iboih adalah kelurahan terluas di Kecamatan Sukakarya dengan jumlah penduduk terkecil. Hasil pendataan yang disajikan dalam Tabel 190 menunjukkan adanya penambahan jumlah penduduk yang cukup drastis antara tahun 2003 dan 2005 yaitu dari 501 jiwa menjadi 690 jiwa. Hasil pendataan yang dilakukan oleh Yayasan Peduli Sabang memperkirakan bahwa saat ini jumlah penduduk telah mencapai 800 jiwa yang terdiri dari 210 KK.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 190. Populasi penduduk Kelurahan Iboih dan Kecamatan Sukakarya tahun 2003 dan 2005

Jumlah KK

Laki-laki Perempuan Total (ind/ km2)

Kelurahan Iboih

Kecamatan Sukakarya

Tingkat kepadatan penduduk Kelurahan Iboih yang juga merupakan kepadatan yang terendah di Kecamatan Sukakarya menyebabkan sebagian masyarakat yang diwawancara tidak menyadari bahwa pertumbuhan penduduk meningkat sangat drastis dalam 3 tahun terakhir. Estimasi terakhir yang dilakukan oleh proyek ETSP-ADB memperkirakan bahwa kepadatan penduduk tahun 2006 diperkirakan masih kurang dari 100 jiwa untuk setiap km2.

u lasi 600 Sukakarya (x25)

Iboih

p o 550 P

Kota Sabang (x50) 500 450

Gambar 293 Grafik pertumbuhan penduduk antara sebelum tsunami tahun 2003 dan sesudah

tsunami tahun 2005.

Pertumbuhan penduduk yang sangat tajam yang terjadi di Iboih dan secara umum di Kecamatan Sukakarya maupun Kota Sabang diperlihatkan dalam Gambar 293. Pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat cepat pasca tsunami dan konflik bersenjata terjadi secara umum di desa-desa lain di Provinsi NAD. Anggota masyarakat yang selama ini mengungsi banyak yang akhirnya pulang karena kondisi yang semakin kondusif untuk memulai hidup baru. Peningkatan jumlah penduduk yang kembali ke desa juga dipicu oleh maraknya bantuan dari berbagai lembaga bagi masyarakat korban tsunami. Beberapa kalangan memperkirakan bahwa trend jumlah penduduk yang meningkat drastis ini masih akan berlangsung hingga 5 – 10 tahun kedepan karena prospek pertumbuhan ekonomi yang masih tetap tinggi.

Sebagian besar penduduk kelurahan Iboih adalah penduduk etnis Aceh yang datang dari beberapa sub-etnis terutama sub-etnis Aceh Besar. Sebagai daerah wisata, masyarakat Kelurahan Iboih relatif terbuka dan mudah bergaul dengan pendatang lain etnis bahkan yang berlainan kebangsaan. Agama yang dianut oleh hampir semua anggota masyarakat adalah agama Islam.

458 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(3) Analisis strategi mata pencaharian

Kelurahan Iboih adalah daerah tujuan wisata utama di Kota Sabang. Yayasan Peduli Sabang memperkirakan 70% perputaran uang di Kelurahan Iboih berkaitan langsung dengan transaksi kegiatan pariwisata pantai. Meski demikian jumlah masyarakat yang lebih menggantungkan hidupnya pada kegiatan perikanan dan pertanian juga sangat besar yaitu sekitar 100 keluarga. Masyarakat Kelurahan Iboih seperti halnya masyarakat diwilayah pedesaan NAD lainnya mengkombinasikan berbagai jenis mata pencaharian untuk menyiasati fluktuasi alam. Mekanisme adaptasi yang dikembangkan tersebut disajikan dalam Tabel berikut.

Tabel 191. Kalender kegiatan mata pencaharian masyarakat Kelurahan Iboih sebelum Tsunami

Keterangan Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Des Perikanan

Jenis Komoditas

Bulan

Kerapu (Ephinephelus) x x x xx xx xx xx xx xx x x x Tanda (Lutjanus)

x x x xx xx xx xx xx xx x x x Salam (

x x x xx xx xx xx xx xx x x x Merah mata (Caranx)

x Tongkol (Auxis)

xx xx xx x x x x x x xx xx xx Bilih

xx xx xx x x x x x x xx xx xx Gega

xx xx xx x x x x x x xx xx xx Tambak (Bandeng)

xxxxxxxxxxxx Umpan

Pertanian

Jagung xx xx xx x x x x x x xx xx xx Cabe

xxxxxxxxxxxx Kacang kuning (kedelai) x x x x x x x x x x x x Peternakan Sapi

xxxxxxxxxxxx Kambing

xxxxxxxxxxxx

Pariwisata

Mancanegara x x x x x x x x x x x x minim saat natal Lokal

xxxxxxxxxxxx minim saat puasa Kebutuhan Kredit

(a) Perikanan Tangkap

Kegiatan perikanan tangkap di Kelurahan Iboih dilakukan oleh sekitar 40 keluarga yang mendapat bantuan boat dan alat tangkap dari beberapa donor antara lain dari “Masyarakat Bali”, FFI, dan Viva (patungan biaya dengan nelayan). Penangkapan dilakukan di wilayah pantai dengan wilayah jelajah perahu kurang dari 1 mil laut dengan menggunakan jaring insang tetap, jaring insang hanyut, pancing, dan beberapa mengoperasikan jaring malam (entagling net). Sebagai daerah pariwisata dan kawasan konservasi laut, masyarakat Iboih dilarang keras melakukan penangkapan ikan dengan alat tangkap selain pancing di daerah pantai terutama didaerah terumbu karang dan titik-titik penyelaman (dive spot) wisata.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kegiatan perikanan tangkap dilakukan di terumbu karang diakui oleh masyarakat sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ikan-ikan yang ditangkap biasanya adalah kerapu, tanduk, merah mata, salam. Ikan-ikan ini biasanya ditangkap pada musim barat yaitu pada saat laut relatif tenang sedangkan pada musim timur kegiatan penangkapan ikan-ikan karang ini biasanya berkurang. Tabel 191 menunjukkan bahwa puncak penangkapan ikan karang terjadi antara bulan April – September.

Pada musim-musim timur beberapa nelayan kecil memindahkan lokasi penangkapannya pada sisi barat desa yang perairannya lebih tenang. Nelayan lain yang memiliki perahu besar dapat lebih leluasa melakukan kegiatan penangkapan tanpa mengenal musim di hampir seluruh wilayah perairan desa. Hasil tangkapan yang biasanya diperoleh pada musim-musim timur adalah ikan pelagis besar seperti tongkol, ikan-ikan kecil seperti bilih, geja. Nelayan Iboih banyak menangkap ikan-ikan ini pada bulan Oktober hingga Maret tahun berikutnya.

Tabel 191 menunjukkan bahwa masyarakat nelayan Iboih meskipun menggunakan alat tangkap yang tergolong sederhana karena hanya melakukan kegiatan perikanan pantai ternyata cukup berhasil dalam menyiasati gejala alam yaitu perubahan arah angin. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada musim-musim yang bersahabat, setiap nelayan bisa membawa uang ke rumah antara 150 – 250 ribu per hari dengan masa kerja sekitar 20-25 hari per bulan. Pada musim-musim timur hasil tangkapan akan menurun cukup drastis menjadi 50 – 100 ribu per hari dengan masa kerja 15-20 hari per bulan.

Kebutuhan modal operasional nelayan Iboih relatif kecil karena kegiatan dilakukan disekitar wilayah pantai yaitu kurang dari 1 mil laut. Biaya operasional diperlukan untuk konsumsi, perbaikan jaring dan pancing, dan untuk membeli umpan yang totalnya bernilai antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per trip. Biaya operasional ini dengan mudah bisa disediakan oleh keluarga nelayan sendiri atau sesekali meminjam kepada muge. Pinjaman tersebut langsung dikembalikan kepada muge setelah nelayan menjual hasil tangkapannya.

Ikan-ikan hasil tangkapan saat ini umumnya dipasarkan langsung untuk konsumen di Kelurahan Iboih baik untuk penduduk lokal mapun ke restoran dan penginapan-penginapan wisata. Pemasaran hasil tangkapan bisa dilakukan sendiri oleh keluarga nelayan ataupun melalui perantara muge. Diperkirakan transaksi pembelian ikan dari nelayan di Kelurahan Iboih bisa mencapai 20 juta pada musim-musim tertentu seperti saat wisatawan sedang banyak. Sebagian ikan hasil tangkapan nelayan juga dibawa ke Sabang, terutama jika ikan tangkapan sangat banyak dan pasar Kelurahan Iboih tidak cukup untuk menyerapnya.

Muge

Sabang

Nelayan Konsumen Lokal

Gambar 294. Skema penjualan ikan-ikan hasil tangkapan di kelurahan Iboih

Mekanisme pemasaran yang relatif sederhana tanpa rantai yang panjang menyebabkan disparitas harga ditingkat nelayan dan pasar konsumen tidak terjadi. Transaksi bisa dilakukan oleh nelayan langsung dengan konsumen seperti rumah tangga, wisatawan, maupun restoran-restoran atau penginapan wisata. Harga jual ikan dari satu perahu sedang yang berawak dua orang sekitar Rp 300 – Rp 500 ribu per hari.

Kegiatan penangkapan ikan di perairan pantai dengan boat dek sederhana yang berawak 2 orang menyebabkan biaya operasioanal relatif rendah sehingga tidak melibatkan pemodal seperti toke. Kondisi menyebabkan mekanisme penyediaan modal dan pembagian hasil tangkap menjadi relatif sederhana. Setiap awak akan memperoleh bagian yang sama setelah komponen biaya operasional dikeluarkan dari hasil penjualan.

460 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Seperti halnya nelayan-nelayan di desa lain di Aceh, nelayan Kelurahan Iboih juga menyimpan uangnya dengan membeli ternak seperti sapi atau kambing. Ternak ini merupakan “tabungan” yang akan diuangkan saat keluarga membutuhkannya.

(b) Budidaya Tambak

Budidaya tambak di Kelurahan Iboih telah ada sejak sebelum tsunami yang dilakukan secara tradisional dengan membendung perairan di seputar kawasan mangrove. Tambak-tambak ini belakangan direhabilitasi oleh BRR dan “sebuah lembaga lainnya” dan akan segera diaktifkan kembali secara besar-besaran yaitu sekitar 10 ha. Kegiatan pertambakan di Kelurahan Iboih lebih ditujukan pada budidaya bandeng umpan (fingerlings) dimana nener bandeng yang biasa dibeli dari hatchery atau dari tangkapan di alam senilai Rp 300 per ekor dipelihara dalam waktu 40 hari. Setelah bandeng tersebut berukuran sebesar pencil (size 100?), bandeng kemudian dipanen hidup untuk dijual pada perusahan penangkan ikan pole and line.

Sabang (Pulau Weh) sebagai sebuah pulau kecil merupakan ekosistem yang sangat rapuh terhadap perubahan yang terjadi di atmosifir maupun perairan samudera. Kondisi ekosistem-ekosistem perairan pulau kecil seharusnya dipertahankan tetap alami dan semaksimal mungkin tekanan dan ancamannya dikurangi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan resiliensi ekosistem tersebut menghadapi ancaman perubahan yang terjadi. Pengaktifan kembali tambak hingga lebih dari sepuluh hektar di teluk kecil di Kelurahan Iboih adalah ancaman serius pada kelangsungan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami dampak buruk pengaktifan kembali tambak-tambak tersebut.

(c) Pertanian

Pertanian adalah salah satu mata pencaharian utama masyarakat Kelurahan Iboih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Tabel 191 menunjukkan bahwa paling tidak terdapat 3 komoditas utama yang menjadi andalan masyarakat petani yaitu jagung, cabe, dan kacang kuning (kedelai). Kegiatan pertanian terutama jagung dilakukan pada musim hujan atau musim timur sebab pada saat air cukup berlimpah. Meski demikian pada musim kemarau kegiatan pertanian tetap dapat dilakukan seperti cabe dan kacang kuning meski secara rata-rata produksi akan jauh menurun.

Pada musim timur gelombang di sisi timur pulau, tempat sebagian besar masyarakat Kelurahan Iboih bermukim, sangat besar sehingga masyarakat cenderung beristirahat dari kegiatan melaut. Pada saat yang bersamaan kegiatan pertanian bisa segera dimulai karena hujan sudah mulai turun. Hal tersebut menyebabkan kegiatan pertanian dianggap sebagai berkah tersendiri oleh masyarakat Kelurahan Iboih karena memberikan alternatif kegiatan pada musim penghujan saat sebagian besar nelayan kesulitan untuk melaut.

Modal usaha pertanian tidak begitu besar, kurang dari satu juta untuk kegiatan pertanian di lahan 1 hektar yang tidak membutuhkan pagar. Panen (misalnya jagung) yang dilakukan dalam 3-4 bulan kemudian bisa menghasilkan harga jual 3-4 juta. Kisaran modal dan penghasilan komoditas lainnya juga cenderung sama yaitu sekitar 3-4 juta per 3-4 bulan.

Sebagian kecil produk dipasarkan langsung ke konsumen di desa sedang pemasaran dalam jumlah besar di lakukan ke kota baik secara langsung oleh petani maupun melalui muge. Jagung bakar dan jagung rebus adalah salah satu makanan favorit di restoran-restoran wisata di seluruh Sabang. Hal ini menyebabkan harga jagung relatif tinggi dan menggairahkan semangat petani Kelurahan Iboih. Hasil panen yang dijual pada muge relatif lebih adil dibanding mekanisme penjualan ke muge di desa- desa pesisir Aceh lainnya. Hal tersebut antara lain ditunjukkan oleh tidak adanya mekanisme bagi hasil yang rumit dengan pemodal karena kegiatan pertanian di Kelurahan Iboih umumnya menggunakan modal sendiri.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

461

462 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dimasa lalu kegiatan pertanian yang cukup berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat adalah dari kelapa yang diproses menjadi kopra dan cengkeh. Seiring dengan menurunnya permintaan kopra dan cengkeh karena harganya yang semakin lemah, kegiatan ini pun perlahan-lahan terhenti. Saat ini tanaman pertanian yang masih tetap memberikan hasil meski dalam jumlah kecil antara lain coklat, pala, rambutan dan pinang.

Salah satu ancaman jangka panjang terhadap kegiatan pertanian adalah adanya kecenderungan penjualan lahan kepada orang asing. Pasca tsunami dan meredanya konflik menyebabkan Aceh terutama Kota Sabang menjadi begitu terkenal ke mancanegara. Hal tersebut mengundang begitu banyak orang luar yang akhirnya berminat untuk memiliki tanah di wilayah Iboih. Meski belum ada data pasti berapa tanah masyarakat Iboih yang telah dijual kepada orang asing, beberapa tokoh masyarakat menguatirkan bahwa kegiatan penjualan-penjualan tersebut masih akan terus berlanjut secara cepat. Pemilikan lahan yang rendah bagi petani di Indonesia telah menjadi salah satu faktor sulitnya masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Jika pengalihan milik ini terus berlangsung, dalam jangka panjang masyarakat Kelurahan Iboih akhirnya akan terpinggirkan dari desanya sendiri.

Tantangan berat lainnya dalam pengembangan pertanian di Iboih adalah karena kondisi lahan yang berada diatas batuan dengan lapisan tanah yang kadang-kadang sangat tipis. Tanpa input teknologi yang tinggi akan sulit untuk mengembangkan kegiatan pertanian dalam skala intensif.

(d) Peternakan

Memiliki ternak sapi dan kambing adalah hal yang umum di Kelurahan Iboih. Hasil wawancara menunjukkan bahwa separuh dari warga Kelurahan Iboih memiliki 1-2 ekor sapi dan beberapa diantaranya sekiligus memiliki kambing. Sayangnya kepemilikan ternak yang tinggi ini tidak diiringi dengan pengelolaan yang profesional dimana sapi dibiarkan berkeliaran di pemukiman. Memiliki ternak sapi masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan meski beberapa diantara warga memiliki keinginan kuat untuk menjadikannya sebagai kegiatan utama.

Fakta yang menarik adalah karena Sabang adalah salah satu kota di Aceh yang senantiasa kekurangan daging dan terpaksa mendatangkannya dari luar pulau yaitu dari Banda Aceh. Besarnya permintaan dibandingkan ketersediaan barang menyebabkan harga daging sapi “cukup bagus” di Sabang. Sayangnya kondisi ini tidak disikapi secara serius oleh masyarakat Kelurahan Iboih meski lahan untuk peternakan yang tersedia cukup luas.

Beberapa anggota masyarakat yang memiliki minat kuat untuk mengembangkan kegiatan peternakan menyatakan bahwa kendala utama mereka adalah ketiadaan modal untuk memperbesar jumlah ternak. Besarnya jumlah ternak akan menyebabkan tercapainya skala ekonomi yang memungkinkan mereka untuk menjadikan kegiatan tersebut sebagai pekerjaan utama di Kelurahan Iboih. Saat ini sangat jarang pemilik modal yang ingin mengembangkan kegiatan tersebut karena ternak dinilai beresiko mati akibat penyakit.

Sistim bagi hasil yang dikembangkan antara peternak dan pemodal disebut mawah yaitu untuk setiap

3 ekor anak ternak, 1 ekor yaitu anak pertama akan menjadi milik pemodal sedangkan induk ternak sendiri tetap menjadi milik pemodal. Sistim ini terus termodifikasi tergantung kesepakatan tetapi nilainya tetap dalam kisaran tersebut misalnya bagi hasil berdasarkan persentase penjualan anak ternak dimana 30% hasil penjualan menjadi hak pemodal dan 70% menjadi hak untuk peternak.

(e) Pariwisata

Bentang alam Kelurahan Iboih memiliki hampir semua yang dibutuhkan untuk kegiatan pariwisata pantai. Pasir putih di Pantai Gapang dan Iboih, terumbu karang di hampir sepanjang pantai, pulau- pulau kecil Rubiah, ekosistem mangrove, pegunungan terjal dan hutan yang masih alami untuk hiking dan bersepeda all mountin, dan titik kilometer nol yang dikenal sebagai titik yang harus dikunjungi ketika ke Sabang. Dinas Pariwisata Kota Sabang mencatat bahwa selama tahun 2005 paling tidak 75.000 turis lokal dan mancanegara berkunjung ke Sabang dan sebagian besar menuju ke Kelurahan Iboih.

Wisatawan yang datang saat ini umumnya untuk menikmati suasana pantai dengan berenang, menyelam, berjemur, memancing, atau sekedar berperahu kaca untuk melihat-lihat terumbu karang. Terdapat begitu banyak bungalow, restoran, dan dive shop disepanjang pesisir timur Kelurahan Iboih. Penginapan mewah dan dive shop biasanya dimiliki oleh masyarakat dari Sabang atau bahkan dari luar provinsi NAD. Sedangkan restoran, warung-warung kecil, dan bungalow sederhana umumnya dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Iboih. Sekitar 30 bungalow milik masyarakat Kelurahan Iboih yang hilang atau rusak akibat tsunami.

Hingga saat ini terdapat dua titik yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan yaitu Gapang dan Iboih. Gapang memiliki banyak bungalow yang mewah dan luas, ruang meeting, dan taman yang luas dengan suasana pantai yang relatif tenang. Pengunjung ke Gapang biasanya pengunjung yang ingin menginap dalam suasan tenang atau peserta konferensi. Titik kunjungan lain yaitu Iboih terutama disekitar Selat Rubiah. Pengunjung lokasi ini adalah pengunjung singkat yang hanya menghabiskan waktu sehari atau pengunjung backpakcer. Suasana pantai Iboih lebih meriah ramai dengan pengunjung terutama dihari libur.

Kegiatan pariwisata bisa menjadi sumber pendapatan yang cukup besar bagi masyarakat Kelurahan Iboih. Saat ini beberapa anggota masyarakat berhasil dengan baik memanfaatkan momentum kunjungan berbagai staf LSM asing ke Iboih dengan menyediakan jasa angkutan mobil, motor, dan perahu kaca. Sedangkan pembangunan kembali bungalow-bungalow milik masyarakat Kelurahan Iboih belum dilaksanakan meski kegiatan wisata semakin bergairah.

(4) Fasilitas Fisik Desa

(a) Perumahan, Air Bersih dan Listrik

Kerusakan infrastruktur dan perumahan wilayah pantai di Kota Sabang yang diakibatkan oleh tsunami sangat besar, hal yang sama terjadi di Kelurahan Iboih dimana hampir semua rumah mengalami kerusakan. Tabel 192 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 terdapat sekitar 101 rumah dan hampir semuanya berupa rumah permanen. Pendataan ulang yang dilakukan pada tahun 2005 belum menunjukkan adanya perkembangan berarti dalam kegiatan rehabilitasi perumahan. Hal ini terjadi di banyak tempat di Aceh dimana bahkan hingga tahun 2008 masih sekitar 3000 orang yang tinggal di barak akibat belum selesainya pembangunan perumahan. Hingga saat ini kebutuhan perumahan bagi keluarga yang mengalami kerusakan akibat tsunami sudah terpenuhi. Pembangunan rumah tersebut dilakukan oleh Muslim Aid.

Tabel 192. Fasilitas Perumahan, Air Bersih dan Listrik di Kelurahan Iboih tahun 2003 dan 2005

Jumlah Rumah

MCK Tahun

itas akar asa

ak

ak

Permanen Non-

mem Drainase Permanen Permanen

non PLN

air untu

Akses

dengan

Lampu Jal

Fasil

Sumber Air Bersih

Bahan b

Tidak Minyak Tidak 2003 89

12 88 Yes 48 - No Well Well ada tanah ada 2005 N/A N/A N/A Yes 72.4 Ya Well N/A Tidak

Minyak ada

tanah N/A

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pembangunan kembali perumahan di Kelurahan Iboih oleh berbagai lembaga memberikan perubahan yang signifikan dibanding sebelum tsunami. Tabel 192menunjukkan bahwa pada tahun 2003 perumahan yang mendapatkan fasilitas pelayanan listrik adalah kurang dari separuh, kemudian menjadi 72% pada tahun 2005.

Kendala yang belum bisa diatasi hingga saat ini adalah ketiadaan manajemen sumber air tawar yang memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Iboih maupun kebutuhan wisatawan. Padahal Sabang sebagai pulau kecil seharusnya sangat berhati-hati dalam mengelola sumber air tawarnya. Saat ini sebagian besar masyarakat menggunakan sumur sedangkan pengusaha jasa wisata menggunakan sumur bor.

(b) Pendidikan

Letak Kelurahan Iboih di ujung pulau Weh menyebabkan desa ini relatif jauh dari pusat pelayanan pendidikan yang terletak di wilayah perkotaan. Satu-satunya fasilitas pendidikan yang ada saat in adalah sebuah sekolah dasar sedang sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan kejuruan, semuanya ada di kota.

Tabel 193. Perkembangan Fasilitas Pendidikan Tahun 2003 sampai 2005 di Kelurahan Iboih

TK SD SMP SMA Sekolah Teknik Menengah Akademi/Universitas

kat ( Swasta

Negeri terde Swasta

Swasta Negeri terde Jarak

Masyarakat Iboih menduga bahwa kondisi minim fasilitas pendidikan menengah dan atas ini kemungkinan besar terjadi karena jumlah populasi penduduk Kelurahan Iboih relatif kecil. Agar lebih efisien, pemerintah membangun fasilitas pendidikan menengah dan atas di desa-desa yang terletak dipertengahan desa-desa lain.

Ketersediaan fasilitas pelayanan pendidikan yang tidak banyak berubah antara sebelum tsunami tahun 2003 dan sesudah tsunami tahun 2005 seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 193tidak lantas menyurutkan keinginan masyarakat untuk memberikan pendidikan bagi anak-anaknya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa masyarakat tetap berusaha agar anak-anaknya dapat lulus minimal SMA meskipun harus membiayai transport yang cukup mahal atau biaya kost di kota.

(c) Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi

Kelurahan Iboih adalah daerah tujuan utama wisata di Kota Sabang yang dapat dijangkau dengan menggunakan jalur darat maupun laut dari kota. Wisatawan yang ke Kelurahan Iboih melalui jalan darat akan menyusuri perbukitan sisi timur pulau dan disuguhi pemandangan laut yang sangat indah. Sayangnya kondisi jalan sangat buruk di banyak titik sehingga sangat mengganggu kenyamanan wisatawan mau dan merusak kendaraan. Hasil wawancara dengan beberapa anggota masyarakat menunjukkan bahwa keluhan buruknya prasarana jalan sudah berulang-ulang disampaikan pada pemerintah kota tapi hingga saat ini belum terlihat adanya tanda keseriusan pemerintah untuk membenahinya.

464 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 194. Akses dan sarana transportasi umum Kelurahan Iboih

Tahun Jalan Akses

Kendaraan Umum

Desa kendaraan Jenis kendaraan

Roda Empat

Ojeg

motor

Andong Sampan

Umum Utama

Ada Roda emapat 2005 Aspal

2003 Aspal Ya

Ada Tidak

Tidak

Ada

Roda empat dan

becak motor

Kelurahan Iboih juga bisa dijangkau melalui laut tetapi tidak terdapat angkutan reguler yang melayani jalur tersebut. Penumpang harus mencarter boat sendiri atau menumpang di boat Pak Dodent seorang pemilik dive shop di Rubiah yang berangkat ke Iboih setiap jam 8 pagi. Waktu dan jarak tempuh jalur laut lebih singkat dibandingkan menggunakan jalur darat.

Tabel 194 menunjukkan bahwa kendaraan umum yang paling banyak digunakan adalah angkutan roda empat dan becak motor. Kendaraan umum yang disebut taxi umumnya digunakan oleh wisatawan “kelas atas” biasanya adalah jenis Toyota Kijang, sedan Toyota Corona dan Mitsubishi Lancer, dan jenis family wagon mitsubishi. Jenis-jenis mobil ini adalah mobil bekas dengan kondisi yang masih bagus diimport dari Singapura. Harganya relatif murah karena mendapat fasilitas pembebasan pajak. Kendaraan umum lainnya adalah mobil jenis mini bus L-300 umumnya digunakan oleh penduduk atau wisatawan yang tidak ingin mencarter mobil. Hasil wawancara menunjukkan bahwa bagi masyarakat Iboih tarif kedua sarana transportasi tersebut tetap sangat mahal.

Secara umum meskipun kondisi infrastruktur jalan mengalami kerusakan parah, arus manusia dan barang dari Iboih ke kota dan sebaliknya tetap dapat bergerak secara leluasa. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena sekitar separuh keluarga di Kelurahan Iboih umumnya memiliki kendaraan roda dua yang memudahkan perjalanan ke kota ditengah sulit dan mahalnya transportasi.

(d) Fasilitas Kesehatan

Kelurahan Iboih hingga saat ini memiliki satu buah puskesmas yang terletak didekat pantai wisata Iboih. Fasilitas pelayanan kesehatan ini hanya memadai untuk kasus-kasus ringan sedangkan kasus berat yang mengharuskan pasien rawat inap hanya bisa dilayani di rumah sakit di kota. Jarak yang harus ditempuh oleh masyarakat Iboih untuk menjangkau fasilitas tersebut adalah sekitar 25 km melewati jalan darat yang rusak.

Tabel 195. Fasilitas Kesehatan di Kelurahan IboihTahun 203 dan 2005

Jumlah Tahun

Rumah Jarak Terdekat

Jarak Sakit

Kemudahan Puskesmas/

Terdekat Umum

Kemudahan (km)

(km) akses

1 0 mudah 2005 0 25.0 susah 0

Tabel diatas menujukkan bahwa pembangunan besar-besaran fasilitas kesehatan pasca tsunami belum membuat masyarakat Kelurahan Iboih memiliki akses lebih mudah ke pelayanan kesehatan lanjutan. Hal ini terkait erat dengan kondisi jalan yang sangat buruk sehingga akses menjadi semakin sulit sedangkan alternatif melalui jalur laut tidak memungkinkan karena boat yang tersedia tidak dimodifikasi untuk mengangkut pasien.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 196. Perkembangan pemilik Kartu Sehat dan Wabah Penyakit tahun 2003 dan 2005

Keluarga Memiliki

Kartu Tanda Keluarga Tahun

Wabah penyakit yang pernah melanda

Balita Penduduk

Malnutrisi Peserta Miskin

Sehat (KS)

Diare Campak berdarah Malaria ISPA

2003 12 12 8 8 Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak 48 2005 15

9.6 10 6.4 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak N/A N/A

Biaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat masih relatif bisa dijangkau oleh masyarakat dan bagi masyarakat tidak mampu terdapat fasilitas kartu sehat dari pemerintah untuk memperoleh keringanan biaya perawatan kesehatan. Persentase tingkat kepemilikan kartu sehat oleh masyarakat Kelurahan Iboih relatif menurun dari tahun 2003 ke tahun 2005 seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 196. Tapi jumlah penduduk yang memiliki kartu tersebut justru meningkat dari 8 orang menjadi 10 orang.

Terlepas dari kesulitan akses kepada pelayanan kesehatan lanjutan di kota, masyarakat Kelurahan Iboih tidak pernah mengalami persoalan kesehatan masyarakat serius yang disebabkan oleh minimnya tingkat pengelolaan kesehatan masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan oleh Tabel 196 dimana wabah penyakit seperti diare, campak, demam berdarah, dan ISPA kecuali malaria tidak pernah terjadi di Kelurahan Iboih.

(e) Fasilitas keagamaan

Penduduk kelurahan Iboih adalah penduduk multi etnis dengan etnis utama Aceh sehingga hampir semua penduduknya beragama Islam. Hal tersebut menyebabkan fasilitas keagamaan yang tersedia hanyalah Mesjid dan meunasah. Tabel 197 menunjukkan bahwa pasca tsunami terdapat kegiatan pembangunan 3 meunasah baru yang sebetulnya memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana masyarakat untuk bertemu membahas isu-isu gampong.

Tabel 197. Fasilitas Keagamaan tahun 2003 dan 2005 di Kelurahan Iboih

Tahun Masjid Mushalla Gereja Katholik Gereja Protestan

Kuil Hindu

Kuil Budha

Kuil Kong Hucu

- - 2005 1

Saat ini terdapat paling tidak 2 mesjid yang terletak di pemukiman Kelurahan Iboih dekat Gapang dan di lokasi wisata Rubiah. Kedua mesjid ini merupakan pusat kegiatan sholat jumat dan sholat tarawih pada bulan ramadhan.

(f) Sarana Komunikasi

Pelayanan telekomunikasi yang menjangkau Kelurahan Iboih saat ini adalah sarana telepon genggam. Hampir setiap keluarga memilikinya sehingga merupakan sarana komunikasi utama untuk berhubungan dengan relasi dan keluarga yang berada di luar Iboih. Hasil pendataan oleh BPS yang disajikan pada Tabel 198 juga menujukkan bahwa sekitar 18 keluarga pada tahun 2005 juga telah mendapatkan fasilitas telepon rumah.

Tabel 198. Sarana komunikasi anatra tahun 2003 dan 2005 di Kelurahan Iboih

Tahun yang memiliki

Wartel Internet Telephone

yang memiliki

yang

keluarga yang

Kantor Post

Kantor pos

terdekat

Telepon

memiliki TV

memilki TV

11.5 N/A N/A

466 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Fasilitas jasa pengiriman barang dilayani melalui kantor pos yang terletak di kota. Jarak yang harus ditempuh masyarakat Iboih untuk mendapatkan pelayanan tersebut adalah sekitar 18 km. Saat ini internet juga bisa diakses dari Kelurahan Iboih tapi pelayanan ini terbatas di penginapan-penginapan atau dive shop. Secara umum tidak ada kendala berarti dalam menjalin hubungan komunikasi dengan keluarga maupun relasi di luar Iboih.

(5) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan

(a) Struktur Pemerintahan

Pemerintahan Iboih berbeda dengan kebanyakan pemerintahan desa di Provinsi NAD karena pemerintahan di Iboih berbentuk kelurahan. Desa/gampong di Provinsi NAD dipimpin oleh Keuchik yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat desa, sedangkan dalam sistem kelurahan, kepala kelurahan yang disebut Lurah ditunjuk langsung oleh walikota sebagai perwakilan pemerintah di tingkat kelurahan.

Kondisi tersebut menyebabkan kelembagaan kelurahan tidak memiliki status politik yang sama tingginya dengan Keuchik sebab kelurahan tidak leluasa mengatur wilayahnya. Perbedaan mendasar dalam sistem pengelolaan wilayah adalah karena Keuchik bisa menerbitkan Peraturan Desa yang mengikat seluruh masyarakat desa sedangkan Kelembagaan Kelurahan tidak bisa melakukannya. Berikut adalah struktur pemerintahan Kelurahan Iboih.

Badan Musyawarah Kelurahan Sekretaris

Kepala Kelurahan

Seksi Kesejahteraan

Seksi Ketertiban Rakyat

Seksi Pemberdayaan

Seksi Pemerintahan

Masyarakat

Gambar 295 Struktur pemerintahan Kelurahan Iboih

Struktur pemerintahan kelurahan Iboih bukanlah struktur pemerintahan asli (tradisional) yang telah berkembang di Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perubahan ini mengikuti status Sabang yang berstatus sebagai pemerintahan kota. Meski demikian di Sabang institusi- institusi yang diadopsi dari institusi tradisional tetap ada dan berjalan bersama dengan sistem pemerintahan kelurahan. Institusi tersebut adalah kemukiman yang merupakan pemerintahan sipil dan Panglima Laot yang merupakan lembaga pemutus masalah-masalah di laut. Pengaruh institusi tradisional tersebut masih sangat terasa antara lain masih seringnya “terdengar” dikalangan masyarakat penyebutan Keuchik Iboih. Padahal jabatan Keuchik Iboih sendiri sebetulnya sudah tidak ada dan penyebutan Keuchik Iboih saat ini sebetulnya merujuk pada Mukim Iboih yang membawahi dua kelurahan yaitu Kelurahan Iboih sendiri dan Kelurahan Batee Shok.

Kelembagaan kelurahan yang memiliki kedudukan politik yang lemah tidak lantas membuatnya menjadi sebuah lembaga yang lemah juga. Saat ini masyarakat tetap menganggap Lurah seakan- akan sebagai pemimpin politik sehingga memiliki pengaruh tidak saja untuk persoalan administrasi kependudukan tapi mencakup pengelolaan berbagai isu-isu di Iboih.

(b) Kelompok Sosial Kemasyarakatan

Menyusul terjadinya bencana tsunami, berbagai lembaga berdatangan ke Kelurahan Iboih untuk membantu masyarakat membangun kembali desanya. Banyak dari lembaga ini yang mensyaratkan adanya kelompok masyarakat sebagai penerima bantuan dan bukan individu. Persyaratan ini menyebabkan menjamurnya kelompok-kelompok masyarakat pasca tsunami yang bentuknya

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 199. Kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Kelurahan Iboih

No Nama Kelompok

Jenis Kegiatan

Donor/ Fasilitator

1. Koperasi Marina

Koperasi perdagangan (sebelum tsunami, saat ini tidak

Dana anggota, bank

diketahui perkembangan)

2. Koperasi Gapang Persada

Koperasi perdagangan (sebelum tsunami, saat ini tidak

Dana anggota, bank

diketahu perkembangan)

3. Kelompok Perdagangan

Permodalan kios dan usaha dagang kecil-kecilan

FFI

4. Kelompok Wisata

Usaha rental mobil, becak, dan motor

FFI

5. Kelompok Nelayan

Penyediaan boat kaca wisata, pembuatan rumpon

FFI

6. Kelompok Pertanian

Pertanian hortikultur cabe, kacang, jangung

FFI

7. Kelompok Peternakan

Ternak kambing dan sapi

FFI

8. Kelompok Penghijauan

Rehabilitasi mangrove dan modal usaha

WIIP – YPS

pertanian/perikanan

9. Kelompok Pengajian

Pertemuan dan ibadah bersama, tidak ada persyaratan

Masyarakat

khusus siapa saja bisa ikut.

10. Kelompok Ibu-ibu PKK

Kegiatan perempuan

Masyarakat, kelurahan

Kelompok-kelompok masyarakat yang disajikan dalam Tabel 199 adalah kelompok yang relatif lebih bertahan dan diingat oleh masyarakat dibanding kelompok-kelompok lainnya. Kelompok ini terutama yang dibentuk pasca tsunami memiliki dana dan keanggotaan yang besar dan sekaligus memiliki posisi politik dalam pengelolaan pembangunan desa. Kegiatan-kegiatan pembangunan di Iboih saat ini sangat dipengaruhi oleh keterlibatan kelompok ini. Sistim pemerintahan yang menerapkan sistem kelurahan menyebabkan terbatasnya keterlibatan politik lebih luas, misalnya menjadi Keuchik, anggota-anggota kelompok bentukan pasca tsunami.

(6) Gender

(a) Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dan Modal Usaha

Pembagian peranan dalam rumah tangga tradisional di Kelurahan Iboih relatif sama dengan desa- desa lain di Provinsi NAD dimana perempuan lebih mendominasi urusan rumah tangga sedangkan laki-laki memainkan peran sebagai pencari nafkah. Kondisi ini menempatkan perempuan sebagai pendamping dan bukan sebagai mitra sejajar dalam pengambilan keputusan.

Dominansi laki-laki tercermin jelas dalam komposisi keanggotaan kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk untuk kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi pasca tsunami. Semua kelompok tersebut masih didominasi oleh laki-laki sedangkan kehadiran perempuan pun untuk mewakili suaminya. Hal ini menyebabkan akses terhadap ketersediaan modal yang dikelola oleh kelompok lebih diprioritaskan pada laki-laki.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa kondisi ini dianggap wajar baik oleh laki-laki maupun perempuan karena laki-laki dianggap sebagai pemimpin keluarga. Penghasilan yang diperoleh oleh laki-laki dari kegiatan mencari nafkah juga akan diserahkan kepada perempuan sesuai dengan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Meski sebagian, sisa yang diserahkan kepada perempuan, akan disimpan sendiri atau digunakan oleh laki-laki untuk membeli rokok dan minum-minum di warung kopi.

468 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(b) Partisipasi Perempuan dalam Kelembagaan

Perempuan sebagai pendamping suami juga memiliki kewajiban untuk membantu suami dalam menambah penghasilan rumah tangga. Hal tersebut dilakukan dengan melibatkan diri dalam kegiatan kelompok yang dibentuk pasca tsunami terutama untuk mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga ringan. Kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove misalnya, perempuan lebih banyak bertanggung jawab pada penyediaan bibit sebab pekerjaan memasukkan tanah dan benih kedalam polybag dianggap relatif ringan. Lembaga dari luar yang memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut umumnya tidak membedakan upah yang diberikan antara laki-laki dan perempuan.

Hasil diskusi dengan sebuah lembaga yang bekerja di Iboih menunjukkan bahwa para fasilitator terkadang tanpa sengaja ikut menutup peluang peran aktif perempuan dengan memilih bidang-bidang mata pencaharian yang didominasi laki-laki. Hal tersebut dimulai ketika keterlibatan perempuan dalam kelembagaan masyarakat pasca tsunami sangat minim baik dari segi jumlah maupun kedudukan dalam struktur organisasi. Seperti yang disebutkan di atas, kehadiran perempuan dalam kelompok pun terkadang untuk mewakili suami. Akibatnya hasil pertemuan lembaga masyarakat hampir selalu berakhir dengan menetapkan rencana yang lebih pro pada kegiatan laki-laki.

(c) Pemberdayaan Perempuan

Hasil wawancara terhadap beberapa anggota masyarakat maupun terhadap Yayasan Peduli Sabang, yang selama ini mendampingi masyarakat Kelurahan Iboih, tidak pernah diketahui adanya kegiatan khusus yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran kritis perempuan akan keadilan gender. Kegiatan tersebut sangat mungkin tidak pernah terjadi sebab sebagian besar lembaga yang masuk ke Kelurahan Iboih lebih memfokuskan pada pembangunan kembali infrastruktur fisik desa dan pengaktifan kembali mata pencaharian yang tetap didominasi oleh laki-laki.

Satu-satunya kegiatan yang menjadikan perempuan sebagai pelaksana penuh adalah kelompok PKK. Sayangnya kelompok ini sendiri tidak terlalu aktif dan hanya berjalan insidentil saja pada saat ada acara-acara tertentu misalnya memperingati hari besar. Kegiatan PKK sendiri yang selama ini berfokus pada perempuan, anak-anak dan pemberdayaan keluarga, jika mendapatkan pendampingan yang memadai akan sangat besar peluangnya untuk untuk membantu meningkatkan kesadaran kritis masyarakat akan hak-hak perempuan dan anak-anak.

(7) Informasi terkait dengan Kegiatan Green Coast

Kegiatan Green Coast telah dilakukan di Kelurahan Iboih dalam dua periode yaitu Green Coast 1 dan Green Coast 2. Terdapat dua lembaga yang menjadi mitra WIIP di kelurahan ini yaitu Yayasan Peduli Sabang dan Aceh Coral Conservation.

Yayasan Peduli Sabang (YPS) bekerja sama dengan masyarakat untuk melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove sembari membantu masyarakat untuk mengembangkan mata pencaharian. Diperkirakan saat ini YPS dan masyarakat Iboih telah menanam sekitar 80.000 mangrove yang mencakup kawasan seluas 8 hektar. Hasil monitoring rutin yang dilakukan ke Sabang menunjukkan bahwa 60-70% mangrove tersebut tumbuh dengan baik. Yayasan Peduli Sabang bersama masyarakat juga menanam sekitar 1.000 tanaman pantai yang membentang sepanjang 3 km.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan adalah penyaluran modal usaha kepada petani dan nelayan. Total dana yang disalurkan adalah sekitar 60 juta yang dimanfaatkan sekitar 40 keluarga sebagi modal kegiatan pertanian dan pembelian alat tangkap ikan oleh nelayan.

Kegiatan lain dilakukan oleh Aceh Coral Conservation (ACC) adalah perlindungan terhadap terumbu karang. Selama ini wilayah penyelaman wisata dana kawasan Taman Wisata Laut Rubiah adalah juga jalur pelayaran bagi nelayan dan kapal-kapal lainnya. Kapal dan boat ini seringkali membuang jangkar kedalam laut saat berhenti sehingga merusak terumbu karang. Untuk itu ACC dengan dukungan pendanaan dari Green Coast WIIP membuat sekitar 8 mooring buoy yang bisa dimanfaatkan oleh kapal atau perahu bertambat secara aman. Saat ini ke 8 mooring buoys tersebut telah terpasang di sepanjang Selat Rubiah dan beberapa titik terumbu karang yang penting di sekeliling Iboih.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

a) Kondisi umum tapak di calon lokasi penanaman GC2

Calon lokasi yang diusulkan untuk penanaman mengrove adalah areal terbuka yang penuh dengan sisa-sisa reruntuhan mangrove (sampah Tsunami). Dari pengamatan substrat, sebagian besar tapak dinilai memiliki prospek yang cukup tinggi untuk penanaman mangrove. Dalam hal ini properti substrat adalah tanah berlumpur dengan ketebalan yang cukup dalam. Namun di beberapa titik substrat yang ditemukan berupa campuran antara tanah berlumpur dan pasir. Sementara itu, hampir di barisan depan, banyak dijumpai gundukan pasir yang merupakan deposit Tsunami yang berasal dari laut. Dari segi substrat, kondisi tapak memungkinkan untuk penanaman mangrove.

Gambar 296. Kondisi tapak secara umum

Sampah organik sisa tsunami yang berupa patahan ranting, cabang, atau bahkan batang merupakan salah satu pembatas utama di lokasi ini. Pada saat surut, sampah ini tidak bermasalah, kecuali hanya menyulitkan operasional kegiatan di lapangan. Namun saat pasang, meterial ini akan dihanyutkan oleh air pasang dan dikuatirkan dapat menabrak atau menghantam mangrove yang ditanam. Apabila mitra lokal bersikeras untuk tetap merealisasikan penananamn di lokasi ini, maka sangat direkomendasikan untuk membersihkan lokasi ini dari meterial-material yang berpotensi mengganggu tanaman.

b) Areal yang memungkinkan untuk penanaman mangrove

Di bawah ini adalah beberapa titik yang masih memugkinkan untuk ditanami sebagai berikut. • Areal terbuka dengan timbunan sampah rendah Lokasi ini masih memungkinkan untuk ditanami mangrove. Namun demikian perlu dilakukan

pengecekan substrat dan kondisi hydrologisnya. Untuk menghindari resiko tergangunya tanaman oleh sisa ranting atau cabang.

Gambar 297. Tapak yang masih memungkinkan untuk ditanami

470 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Areal di sekitar alur air Areal yang dimaksudkan adalah areal berlupur yang berada di sepanjang alur alami. Berdasarkan

infomrasi dari masyarakat, dahulu alur ini merupakan sungai kecil yang langsng menuju ke laut. Namun setelah Tsunami, alur ini mengalami sedimentasi dan hampri tertutup.

Gambar 298. Areal di sekitar alur air yang masih memungkinkan untuk penanaman

c) Areal yang tidak memungkinkan untuk penanaman mangrove

Di bawah ini adalah beberapa titik yang tidak memugkinkan untuk ditanami sebagai berikut. • Areal dengan timbunan sampah Kondisi ini sangat tidak direkomendasikan untuk penanaman mangrove. Sampah material/organik

yang berserakan di lokasi dikuatirkan akan terbawa oleh air pasan, terombang-ambing dan memporak porandkan bibit yang ditanam.

Gambar 299. Areal dengan timbnan sampah organik yang tidak memungkinkan untuk ditanami mangrove

• Areal kering bekas terbakar Kondisi ini juga tidak direkomendaskan untuk penanaman mangrove mengingat kondisi substratnya

telah rusak. Kandungan lumpur telah hilang dan hanya menyisakan hamparan substrat berpasir yang kosong.

Gambar 300. Areal bekas terbakar yang tidak memungkinkan untuk penanaman

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Timbunan deposit Tsunami Deposit Tsunami banyal dijumpai terdampar di barisan depan pantai. Deposit ini merupakan material

kasar (menyerupai) pasir yang terbawa dari laut dan didamparkan oleh gelombang Tsunami. Substrat ini tidak sesuai sebagai tembat tumbuh mangrove. Karena itulah maka, kegiatan penanaman seharusnya menghindari areal ini.

Gambar 301. Timbunan deposit Tsunami yang tidak memungkinkan untuk penanaman mangrove

d) Potensi Rehabilitasi

Di bawah ini adalah beberapa potensi yang memiliki peluang untuk menunjang kegiatan rehabilitasi di desa ini.

• Ketersediaan benih Di desa ini, masih terdapat tegakan mangrove dengan populasi pohon induk yang cukup banyak. Saat

observasi dilakukan, tim menjumpai beberapa jenis pohon mangorve sedang berbuah yaitu Rhizophora apiculata, R.mucronata, Xylocarpus granatum, Scyphiphora hydrophyllacea, Lumnitzera racemosa, Lumnitzera littorea, dan Heritiera littoralis.

Namun sayang, hanya beberapa jenis saja yang telah dimanfaatkan masyarakat untuk pembibitan yaitu Rhizophora mucronata dan R. apiculata. Padahal, ketersedian benih dari jenis mangrove lainnya cukup potensial. Terkait dengan hal ini, perlu kiranya dilakukan upaya untuk mengoptimalkan potensi ini dengan cara memanfaatkan benih-benih yang ada untuk dibibitkan dan ditanam untuk lebih memperkaya kegiatan rehabilitasi.

Gambar 302. Buah Nyiri (kiri), teruntum (tengah) dan Heriteria litoralis (kanan), berpotensi untuk dibibitkan

• Telah adanya kegiatan pembibitan swadaya Di lapangan, tim assessment menjumpai kegiatan pembibitan mangrove telah dilakukan masyarakat

sejak beberapa tahun terakhir. Setidaknya terdapat dua lokasi persemaian yang masing-masing memiliki kapasitas 100.000 bibit. Masyarakat dengan sengaja melakukan kegiatan ini setelah melihatpeluang bahwa kegiatan ini akan dapat meghasilkan pendapatan, menyusul masuknya program-program penanaman mangrove, baik oleh LSM maupun pemerintah. Pembelian bibit oleh LSM atau pemerintah telah beberapa kali dilakukan dengan harga berkisar Rp. 1500 hingga Rp. 2000 per bibit. Masyarakat sendiri mengaku merasa senang sekali karena mendapatkan pendapatan tambahan yang besar.

472 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Namun demikian, teridentifikasi keluhan dari beberapa pihak yang merasa dirugikan karena masyarakat memaksa para pengelola program untuk membeli bibit masyarakt. Apabila pengelola tidak membeli bibit dari masyarakat, maka masyarakat tidak akan mendukung atau bahkan tidak akan menerima kehadiran program rehabilitasi di desa ini. Pernah suatu waktu, pengelola kegiatan melakukan pembibitan sendiri, namun hal ini mendapatkan tekanan dari masyarakat hingga mengganggu pelaksanaan program di lapangan. Terkait dengan hal ini, perlu kiranya dipikirkan langkah-langkah untuk mencari solusi untuk mengatasi hal tersebut.

Gambar 303. Kegiatan pembibitan yang dilakukan oleh masyarakat

Berdasarkan analisis dari berbagai data, informasi dan pertimbangan tertentu, prospek kegiatan rehabilitasi (penanaman magrove) di calon penanaman dinilai cukup rendah. Sebagian besar lokasi dinilai terlalu riskan untuk di tanami mangrove, terutama di lokasi dengan sampah Tsunami, bekas terbakar dan lokasi yang tertimun deposit tsunami. Hanya sedikit areal saja yang memiliki prospek untuk ditanami mangrove. Diperkirakan bahwa areal yang tersedia tidak mampu menampung jumlah bibit yang ditargetkan. Oleh karena itu, perlu di cari lokasi alternatif untuk menampung sisa tanaman yang tidak tertampung di lokasi yang telah dicalonkan.

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Semaraknya kegiatan rekonstruksi pasca tsunami tidak terjadi di Desa Anoi Itam. Peluang yang dapat dikembangkan seiring dengan bantuan boat dan perkembangan pasca tsunami adalah pengemabngan di sektor perikanan tangkap (kelautan). Kegiatan kelautan belum dikelola dengan baik oleh masyarakat Anoi Itam maupun masyarakat Aceh secara umum menunjukkan adanya potensi pengembangan yang cukup besar. Peluan yang paling memungkinkan dikembangkan berdasarkan kondisi geografis maupun kesiapan masyarakat adalah dengan mengembangkan kegiatan penangkapan ikan dan pariwisata pesisir yang ramah lingkungan.

Pembangunan Anoi Itam pasca tsunami juga banyak dibantu oleh lembaga lain seperti Wetlands International melalui Yayasan PUGAR, P2KP untuk pembangunan infrastruktur desa, Pemerintah Kota Sabang dan Save The Children untuk penyediaan boat dan bantuan sembako.

Seperti hanya desa-desa lain di Aceh yang rusak karena tsunami, Kelurahan Iboih juga mendapat banyak sekali bantuan untuk membangkitkan kembali perekonomian masyarakat. Bantuan tersebut antara lain ditujukan untuk membangun rumah, pengadaan boat nelayan dan boat wisata, rehabilitasi tambak, rehabilitasi ekosistem pantai, dan pengembangan pertanian. Banyaknya lembaga yang datang silih berganti memberikan bantuan atau sekedar melakukan pendataan membuat masyarakat kesulitan untuk mengingat sebagian dari mereka. Hal tersebut menyebabkan data yang disajikan dalam Tabel 200 dibawah mungkin saja belum mencatat semua donor/lembaga yang telah membantu masyarakat Iboih.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 200. Donor atau implementator beserta jenis bantuan yang diberikan di Kelurahan Iboih

No Lembaga/ Program

Jenis Bantuan

Status

1. FIG

selesai 2. Muslim Aid

Penyediaan boat nelayan dan alat tangkap

Selesai 3 FFI

Penyediaan rumah

Penyediaan boat, rehab tambak, penghijauan mangrove, modal usaha Sedang berjalan 4 BRR

Sedang berjalan 5. “Masyarakat Bali”

Rehab tambak dan bantuan material budidaya, infrastruktur

Selesai 6. Viva

Boat nelayan

Selesai 7. Save the Childreen

Boat nelayan

Selesai 8. Wetlands International – YPS

Penanaman mangrove

Penanaman mangrove, modal ekonomi

Berjalan

Bantuan para donor dan LSM dirasakan oleh warga telah menyulap Kelurahan Iboih menjadi sangat maju dalam waktu yang relatif singkat. Selama wawancara masyarakat juga mengakui bahwa banyak dari bantuan tersebut tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya karena kurangnya pendampingan. Bantuan-bantuan terutama dalam bentuk pelatihan tidak bisa ditindaklanjuti secara langsung jika tidak disertai dengan modal usaha, sedangkan bantuan modal usaha akhirnya macet atau dibagikan pada anggota.

Fauna Flora International adalah salah lembaga yang saat ini cukup aktif mendampingi pengelolaan bantuan aset ataupun modal usaha. Meski demikian belum diketahui pasti oleh masyarakat apakah pengelolaan aset dan modal usaha tersebut bisa berjalan/berkelanjutan.

a) Identifikasi kegiatan Rehabilitasi yang sedang/telah berjalan

Penanaman mangrove, sebagaimana komitmen dalam kontrak GC telah dilakukan oleh lembaga ini di dua lokasi yaitu lokasi penanaman pertama di sekitar laguna dan lokasi kedua di hamparan lahan kosong di Lingkungan Iboh. Jenis mangrove yang ditanam adalah Rhizophora apiculata. Paragraf di bawah ini adalah hasil moitoring di kedua lokasi penanaman.

(1) Realisasi penanaman mangrove di laguna

Berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh Tim Monitoring GC di tahun 2006, diperoleh hasil bahwa prosentase tumbuh untuk tanaman mangrove adalah 70%. Namun berdasarkan pengamatan tim assessment, tingkat kematian dipastikan meningkat menyusul ditemukannya banyak tanaman yang mati. Di bawah ini adalah hasil monitoring di dua lokasi penanaman berdasarkan monitoring yang dilakukan dalam trip ini.

Dipandu oleh direktur YPS (Bp. Irawan), team assesment mengunjungi penanaman di sekitar laguna. Berdasarkan observasi yang dilakukan, penanaman dilakukan di sekeiling laguna dengan jensi bibit Rhizophora apiculata. Berdasarkan penuturan Pak Irawan, total bibit yang ditanam di sekitar laguna sebanyak 6000 tanaman. Penanaman ini dilakukan pada bulan Maret tahun 2006.

Di lokasi penanaman, tim teknis assesment menjumpai banyak tanaman yang mati di sekeliling laguna. Terkait dengan hal ini, dipastikan bahwa hal ini juga akan menurunkan prosentase tumbuh tanaman di lokasi ini. Namun karena alasan keterbtasan waktu, penghitungan prosentase tumbuh tidak bisa dilakukan saat itu.

474 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 304. Tanaman yang mati di lokasi penanaman Laguna

Berdasarkan laporan dari masyarakat dan LSM YPS, disinyalir bahwa penyebab kematian adalah serangan penyu. Namun dari pengambilan sampel tanaman oleh tim teknis, tidak dijumpai tanda- tanda serangan penyu. Sebaliknya, diyakini bahwa kematian bibit diakibatkan oleh genangan yang terlalu berat dan dalam waktu yang lama. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan masyarakat bahwa genangan yang berat ini biasanya terjadi di lokasi ini dua (2) kali dalam sebulan. Bahkan pada periode tertentu, genangan tidak surut dalam waktu 3-4 hari.

Observasi lapangan yang dilakukan juga memukan serangan astropoda pada daun. Namun demikian, diyakini bahwa serangan gastropoda ini hanya menyebabkan luka sedikit pada daun dan tidak menyebabkan kematian.

Gambar 305. Serangan astropda pada daun mangrove

Pada beberapa titik di lokasi penanaman, team assessment menemukan bukti adanya gangguan manusia secara sengaja. Setidaknya, tim menemukan 5 tanaman yang dicabut dengan sengaja dan diletakkan begitu saja dengan kondisi akar telanjang. Daun yang masih hijau menunjukkan bahwa pencabutan baru saja dilakukan (maksimal 2 hari). Pada kesempatan ini, team berusaha menyelamatkan bibit yang dicabut tersebut dengan cara menanam kembali di lokasi yang semestinya.

Gambar 306. Tanaman yang sengaja dicabut oleh manusia

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Penanaman mangrove di pantai berlumpur

Penanaman juga di lakukan di lokasi lain yaitu pantai berlumpur di sekitar desa. Dibandingkan dengan lokasi sebelumnya, kondisi substrat di lokasi ini dinilai jauh lebih baik dengan kandungan lumpur tinggi dan dalam. Di lokasi ini, telah ditanam beberapa ribu bibit Rhizophora apiculata dan R.mucronata dengan jarak tanam yang cukup rapat yaitu 1 m x 1 m.

Berdasarkan observasi di lapangan, diprediksi bahwa prosentase tumbuh tanaman di lokasi ini cukup tinggi yaitu berkisar 70-80%. Namun demikian, masih dijumpai beberapa kendala yang berpotensi mengancam kelestarain tanaman antara lain ulah nelayan yang memarkirkan perahu sembarangan. Mereka tidak memiliki lokasi atau titik penambatan tetap, melainkan selalu melakukannya dengan sembarangan. Perahu ini sering menabrak tanaman hingga rusak bahkan mati. Terkait dengan hal ini, perlu kiranya dilakukan upaya untuk mengatur penambatan perahu agar tidak merusak mangrove yang telah ditanam.

Gambar 307. Kondisi umum di lokasi penanaman

Kegiatan rekonstruksi yang berskala cuku besar yang terjadi saat ini di Keluragan Iboih adalah: • Pembangunan perumahan oleh Islamic Relief (hampir rampung).

• Perbaikan kondisi jalan (sudah selesai) • Pembangunan jetty oleh BRR (sudah selesai) • Pembukaan kembali tambak 10 hektar oleh BRR (hampir rampung).

Kecuali pembangunan jetty di sekitar Selat Rubiah, seluruh kegiatan rekonstruksi tersebut diatas dinilai masyarakat memiliki dampak positif bagi masyarakat. Hal yang perlu untuk mendapat perhatian ekstra adalah adanya pembukaan kembali tambak seluas 10 hektar di kawasan mangrove yang masih mengalami kerusakan akibat tsunami. Kegiatan ini dalam jangka panjang dapat memicu pembukaan tambak lainnya dan akan secara signifikan mengurangi resiliensi ekosistem dalam menghadapi perubahan iklim maupun bencana lainnya. Dalam jangka panjang hal tersebut akan berdampak kepada menurunnya daya dukung ekosistem yang merupakan sumber mata pencaharian masyarakat.

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi Lahan Basah

Seperti dolaporkan oleh Edi Rudi dan Nur Fadli dalam kutipan sebelumnya, kerusakan terumbu karang yang besar justru disebabkan oleh aktivitas manusia. Dengan demikian upaya-upaya untuk mencegah kejadian tersebut perlu dikedepankan. Pengelolaan kawasan terumbu karang berbasis masyarakat dapat menjadi langkah efektif, terlebih lagi bila ditunjang dengan upaya penyadaran yang lebih luas.

476 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Terhadap munculnya ide untuk melekukan ternsplantasi karang sebagai langkah restorasi/rehabilitasi terumbu karang, meskipun sebagian penggiat di kalangan masyarakat setempat sudah mempunyai pengalaman.Kajian seksama perlu dilakukan sebab transplantasi karang tidak dapat dijadikan cara untuk merestorasi karang yang mengalami kerusakan secara kronis jika kondisi yang menyebabkan kematian karang tetap berlangsung. Jika dan hanya jika masalah yang menyebabkan kerusakan karang dihentikan, restorasi terumbu karang patut dipertimbangkan (Maragos, 1992 dalam Bowden- Kerby, 2003).

Jika proses larva recruitment secara alami dan fragmentasi yang mendorong adanya recovery populasi karang tanpa intervensi masih berjalan, upaya-upaya restorasi yang menggunakan proses transpalantasi tidak diperlukan (Quinn and Kojis, 1999; Bowden-Kerby 2001b dalam dalam Bowden- Kerby, 2003). Penghentian dampak negatif yang dialami terumbu karang saja mungkin cukup untuk recovery beberapa terumbu karang. Dalam kondisi demikian transpalntasi karang justru merupakan suatu yang kontra indikatif pada coral dapat berpotensi untuk overgrow dan membunuh bermacam- macam coral-recruitment alami.( Bowden-Kerby, 2003)

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

Di bawah ini adalah beberapa rekomendasi yang perlu ditndaklanjuti oleh pelaksana lapangan dalam mengimplementasikan kegiatan rehabiitasi di lapangan.

• Pemanfaatan benih untuk pengayaan dalam program restorasi pantai Berdasarkan hasil observasi di lapangan, beberapa jenis mangrove memiliki potensi yang cukup tinggi

untuk dibibitkan antara lain Xylocarpus granatum, Scyphiphora hydrophyllacea, Lumnitzera racemosa, Lumnitzera littorea, dan Heritiera littoralis. Terkiat dengan hal ini, sangat disarankan untuk

memanfaatkan benih dari jenis-janis mangrove tersebut melalui kegiatan pembibitan atau pemindahan anakan alam ke lokasi lain yang membutuhkan campur tangan manusia dalam proses recovery-nya. Tabel 1 di bawah ini mengambarkan ciri-ciri benih yang telah matang dan siap untuk dibibitkan. Sementara tabel 2 dan 3 masing-masing menunjukkan cara penyimpanan dan penanaman.

Tabel 201. Ciri-ciri buah/benih yang telah siap untuk dibibtkan, teknik penyimpanan dan penanaman

No Jenis

Ciri-Ciri buah masak

Teknik penyimpanan

Teknik penanaman

1 Bakau R. Mucronata: kotiledon berwarna Disimpan ditempat teduh R. Mucronata: kuning, panjang + 50 cm

ditancapkan sedalam 7 R. Apiculata : kotiledon berwarna dalam air payau

selama 10 hari dan direndam

cm merah kekuningan, panjang + 20

R. Aliculata : ditancapkan cm

sedalam 5 cm

2 Cengal Kotiledon telah tumbuh

Ditancapkan sedalam 5 sepanjang 1-1,5 cm, panjang

Disimpan ditempat teduh

selama 10 hari dan direndam

cm

buah + 20 cm

dalam air payau

3 Tanjang Kotledon berwarna coklat

Ditancapkan sedalam5 cm kemerahan, panjang buah + 20

Disimpan ditempat teduh

selama 10 hari dan direndam

cm

dalam air payau

4 Berembang Diamater buah + 40 mm,

Ditancapkan separo biji terapung di air

Direndam dalam air payau

selama 5 hari dan ditempatkan ditempat yang teduh

5 Api-api Warna buah hijau kekuningan,

Ditancapkan separo biji. berat 1,5 gr

Direndam dalam air payau

selama 5 hari dan ditempatkan

Bagian tumpul yang

ditempat yang teduh

dibenamkan dalam media.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Alternatif mengatasi masalah pengadan bibit Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pemilik persemaian memaksa pengelola program

rehabilitasi untuk membeli bibitnya, di bawah ini adalah alternatif solusi untuk menjembatani permasalahan ini:

Sebagian bibit (misalnya 50%), pengelola melakukan penanaman propagul secara mandiri dalam rangka menekan biaya operasional di lapangan. Hal ini memungkinkan dilakukan untuk Rhizophora mucronata dan R. Apiculata

• Sisa kebutuhan bibit bisa membeli dari masyarakat Pembelian bibit masyarakat ini sebaiknya lebih banyak di arahkan untuk jenis-jenis selain Rhizophora

antara lain Nyiri, Teruntum, Api-api, Berembang, Bruguiera, ceriops dan beberapa jenis lainnya, Agar hal ini bisa terealisir, pelaksana sebaiknya segra melakukan komunikasi dengan pemilik persemaian dalam rangka mempersipakan bibit-bibit tersebut.

• Penyulaman di lokasi penanaman GC 1 Menyusul kematian bibit di lokasi penanaman GC 1, perlu kiranya dipertimbangkan kegiatan

penyulaman atas bibit-bibit yang mati dan menggantinya dengan bibit baru yang sehat. Namun demikian, penyulaman tidak direkomendasikan dilakukan pada areal genangannya tinggi. Bibit yang telah mati (baik yang akan di sulam maupun tidak) sebaiknya segera dicabut. Apabila dibiarkan, mangrove yang mati ini dikuatirkan akan dijadikan habitat serangga atau hewan lain yang bisa berpotensi sebagai hama.

• Pendataan dan dokumentasi kegiatan Pencatatan dan pendataan harus dilakukan meliputi seluruh rangkaian kegiatan, mulai dari:

pertemuan, persiapan lahan, transportasi bibit, penanaman dan beberapa kegiatan lainnya. Dokumentasi juga harus dilakukan untuk mendukung paleporan. Dengan demikian, dokumentasi ini juga harus dilakukan di setiap tahaan kegiatan. Dengan data yang lengkap dan akurat ini akan dapat dimanfaatkan untuk pelaporan, monitoring dan evaluasi serta pembelajaran.

• Penataan batas lokasi penanaman Dalam rangka memudahkan operasional di lapangan, monitoring dan pengawasannya, perlu

dilakukan penataan batas yang jelas di lokasi penanaman. Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda (pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman antara lain: luas lokasi penanaman, pelaksana penanaman, jenis bibit yang ditanam, tanggal penanaman, dan beberapa informasi penting lainnya.

O. TELUK BELUKAR

1. Profil Umum Lokasi

Laguna Teluk Belukar secara administrative berada di desa Teluk Belukar dengan bagian muara berbatasan dengan Desa Afia, keduanya merupakan bagian dari kecamatan Gunung Sitoli Utara. Secara geografis titk tengah koordinat berada pada posisi 1° 23’ 23.7” LU dan 97° 32’ 11.17” BT.

Luas badan air laguna, lebih kurang 47.4 ha dengan dimensi kl 616 M x 712 M. Dengan hutan mangrove, rawa air tawar dan kawasan pantai di sekitarnya mencakup kawasan seluas kurang lebih 200 ha.

478 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

2. Tipologi Lahan Basah

Laguna Teluk Belukar dan kawasan sekitarnya mencakup berbagai eksoistem lahan basah. Berdasarkan kategori dari RAMSAR, tipe-tipe ekosistem lahan basah yang terdapat di kompleks ekositem lahan basah tersebut adalah:

I = Lahan basah pasang surut Mencakup hutan mangrove, hutan nipah. Hutan mangrove di sekitar laguna didominasi oleh

Rhizophora apiculata. Di dekat muara sungai dijumpai jenis Avicennia marina, sedangkan di bagian belakang yang lebih sedikit menerima genangan didominasi jenis Xylocarpus granatum. Jenis Nipah (Nypa fruticans ) ditemukan di sepanjang sungai boe di belakang tegakan Rhizophora.

M = Sungai permanent Sungai permanent yang mengalir dan masuk ke danau adalah Sungai Boe. Sungai lainnya yang

masuk adalah sungai Lawu-lawu, sungai ini lebih kecil dan lebih salin dibanding sungai Boe. Jika sungai Boe berhulu mulai dari daerah perbukitan di sebelah barat, maka sungai Lawu Lawu hanya merupakan saluran keluar dari rawa-rawa disekitarnya.

E = Pantai berpasir Pantai di sebelah timur laguna Teluk belukar merupakan pantai berpasir. Diperkirakan hingga sekitar

muara sungai Sawo di sebelah utara sampai mendekati kota gunung Sitoli, kondisi pantai masih sama. Butiran pasir halus dan banyak ditumbuhi pohon cemara (Casuarina equisetiifolia).

F = Perairan estuaria Mengacu pada definisi dari estuaria yang menyatakan bahwa ekosistem tersebut meriupakan

ekosistem yang mendapatkan pasokan air laut dan air tawar, maka teluk belukar dapat dikategorikan sebagai estuaria. Definisi laguna, kurang tepat diterapkan pada “laguna” teluk belukar karena tidak ada periode dimana hubungan dengan laut sama sekali terputus.

480 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Menurut glossary dari Ramsar, lagoon /laguna didefinisikan sebagai: “A small body of normally shallow water isolated from related and normally much larger water bodies by some form of barrier. In the case of coastal lagoons the link to the open sea can be cut by sandbars or coral reefs. Lagoons can be artificial with concrete walls or embankments forming the barriers. More transitory open waters than true lakes.” Dalam hal ini, laguna teluk belukar lebih tepat disebut sebagai Lagoonal wetlands, yang didefinisikan sebagai: “Brackish to salty lagoons with one or more relatively narrow connections to the sea.”

1 = Tambak Di sekitar laguna teluk belukar terdapat tambak seluas lebih kurang 1 ha. Saat ini tambak-tambak

tersebut sudah tidak diusahakan lagi. Lahan di sekitar laguna teluk belukar sebagian berupa hutan mangrove, hutan nipah, rawa air tawar

dengan belukar dan kebun. Sebagian kecil lahan telah dikembangkan menjadi kawasan wisata yaitu di muara indah yang dikelola oleh pemerintah dan Pantai Indah Charlita yang dikelola oleh swasta.

Sebagian besar atau hampir seluruh lahan di sekitar laguna teluk belukar sudah merupakan hak milik perorangan. Tidak diketahui adanya pengesahan hak atas tanah dalam bentuk sertifikat atau surat keterangan lainnya, tetapi klaim atas suatu luasan tanah yang dikeluarkan oleh warga akan diakui oleh warga yang lain.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lahan basah di Teluk Belukar memiliki potensi dan manfaat yang cukup penting bagi masyarakat sekitarnya, terutama sebagai sumber pasokan sumber daya alam, yaitu:

• Produk perikanan Produk perikanan yang berasal dari lingkungan Teluk Belukar adalah kepiting bakau. Tidak

diketahui berapa produksi dan nilai ekonomi yang dihasilkan dari kawasan tersebut. Kepiting bakau juga pernah dicoba untuk dikembangkan dalam budidaya system keramba. Proyek yang pernah didukung oleh COREMAP tersebut akhirnya tidak dilanjutkan.

• Kayu Bakau Saat ini permintaan kayu bakau meningkat pesat seiring dengan banyaknya pembangunan

gedung, jalan dan prasarana fisik lainnya. Tingginya harga yang ditawarkan hingga mencapai Rp 5000 per batang untuk panjang 4-5m membuat masyarakat cepat tertarik untuk menebang dan menjual kayu bakau ini. Kegiatan ini merupakan ancaman yang cukup serius untuk kelestarian hutan bakau di teluk belukar khususnya dan wilayah Nias pada umumnya.

• Daun Nipah Sebagian masayarakat masih memanfaatkan daun Nipah sebagai atap, beberapa rumah di

perkampungan masih sepenuhnya menggunakan daun nipah sebagai atap. Sebagian lainnya menggunakan nipah untuk atap pada bangunan sederhana seperti gudang dan kandang. Daun Nipah juga masih dimanfaatkan utnuk menjadi pembungkus tembakau (untuk rokok). Satu ikat daun nipah kering yang terdiri atas kurang lebih 100 lembar daun dihargai Rp. 1000 di pasar setempat.

• Sagu Tumbuhan sagu terdapat di alur alur atau cekungan cekungan yang lebih dalam dari rawa air

tawar di sekitarnya. Beberapa koloni tumbuhan ini bahkan terdapat di sekitar pemukiman. Tidak terdapat pengelolaan atau pemanfaatan potensi pati/tepung sagu di lokasi sekitar laguna teluk belukar.

• Areal Pemijahan dan pengasuhan Ketergantungan eksostem laut di sekitar laguna teluk belukar sebagai tempat pemijahan dan

pengasuhan bagi jenis-jenis ikan laut cukup signifikan. Meskipun belum terdapat data kuantitatif, dari penjelasan tokoh nelayan setempat, didapatkan informasi bahwa lebih kurang 80% dari jenis ikan yang tangkapan nelayan di laut, dapat ditemukan di Teluk belukar.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

3. Profil Vegetasi

Ekosistem Teluk Belukar tersusun atas dua type vegetasi utama yaitu hutan mangrove (mangrove forest) dan vegetasi pantai daratan (terrestrial beach vegetation). Hutan mangrove berada disekeliling laguna dan disepanjang sungai, baik yang menuju ke muara maupun yang menuju ke hulu. Sementara, vegetasi pantai daratan berada di sepanjang garis depan pantai. Selain dua tipe vegetasi utama, dijumpai juga areal bergambut tipis yang berada di sebelah utara dengan profil vegetasi yang khas. Areal budidaya juga dijumpai di Desa Teluk Belukar antara lain perkebunan karet, perkebunan kelapa, kebun campuran dan kebun pekarangan. Paragraf di bawah ini adalah gambaran umum mengenai kondisi vegetasi di masing-masing tipe vegetasi dan lokasi.

a) Hutan Mangrove

(1) Kondisi vegetasi

Berdasarkan survey vegetasi, terdapat setidaknya 20 jenis mangrove sejati (true mangrove) dari sekitar 48 jenis yang ada di Indonesia. Dari kesemua jenis yang dijumpai, 15 diantaranya adalah jenis pohon sementara 4 jenis lainnya adalah herba. Tabel 1 di bawah ini adalah jenis-jenis mangrove yang ditemukan di Teluk Belukar.

Tabel 202. Jenis-jenis mangrove (sejati) yang dijumpai di Teluk Belukar

No Spesies Nama lokal Family Kelimpahan Tree

1 Rhizophora apiculata

Tongo sowa’a

Rhizophoraceae

2 Rhizophora mucronata - Rhizophoraceae +

3 Xylocarpus granatum

Maramba batu

Meliaceae

4 Ceriops decandra Langade Rhizophoraceae ++

5 Ceriops tagal - Rhizophoraceae ++

6 Aegiceras corniculatum

Tongo lada

Myrsinaceae

7 Scyphiphora hydrophyllacea - Rubiaceae ++

8 Sonneratia caseolaris

Meramba pinang

Sonneratiaceae

9 Sonneratia alba - Sonneratiaceae ++

10 Bruguiera gymnorriza

Tongo saite

Rhizophoraceae

11 Bruguiera cylindrica - Rhizophoraceae ++

12 Lumnitzera littorea

Tongo kelera

Combretaceae

13 Avicennia marina

Meramba bunga

Avicenniaceae

14 Dolichandrone spathacea

Du’u gerbau

Bignoniaceae

15 Nypa fruticans - Palmae ++

16 Heritiera littoralis - Sterculiaceae +++

Herbs

17 Acanthus ebracteaus

Eliduha Acanthaceae

18 Acanthus ilicifolius

Eliduha Acanthaceae

19 Acrostichum aureum - Pteridaceaea ++

20 Acrostichum speciosum - Pteridaceaea ++

= Sangat Jarang

482 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Sebagaimana terangkum dalam tabel di atas, Rhizophora apiculata mendominasi penutupan, terutama di zona depan hingga tengah. Sementara, Xylocarpus granatum sangat banyak dijumpai di zona belakang hutan mangrove (yang menuju darat/inland). Diantara semua jenis mangrove yang ada, Rhizophora mucronata dan Lumnitzera littorea adalah jenis yang sangat jarang. Selama survey dilakukan, team hanya menjumpai 2 pohon Rhizophora mucronata dan 3 pohon Lumnitzera littorea. Keberadaan kedua jenis ini sangat terancam seiring dengan meningkatnya kegiatan penebangan kayu di hutan mangrove ini.

Gambar 308. Jenis-jenis mangrove yang dijumpai di Teluk Belukar

Di lokasi yang masih belum terganggu, kepadatan individu di hutan mangrove ini sangat tinggi yaitu 45-63 dalam plot berkuran 10 m x 10 m. Sedangkan kepadatan di lokasi yang telah terganggu berkisar 16-22 individu di setiap plot yang berdimensi sama.

Dalam analisis vegetasi, dilakukan juga penghitungan anakan dengan maksud untuk mengetahui potensi anakan alam, dikaitkan dengan kemungkinan dijadikan sumber material untuk rehabilitasi. Berdasarkan penghitungan manual di bawah pohon induk Ceriops decandra, terdapat 870 anakan dalam plot pengamatan berukuran 10 m x 10 m.

Gambar 309. Potensi anakan alam yang sangat menjanjikan sebagai bahan pengadaan bibit maupun

penanaman langsung di lapangan

(2) Degradasi dan ancaman

Aktivitas penebangan bakau dijumpai di beberapa titik. Bahkan, tim menemukan beberapa jalur yang sengaja dibuat masyarakat dengan menebang habis tumbuhan yang ada. Pada salah satu titik, telah terjadi penebangan habis hutan bakau dengan dimensi lebar 8 m dan panjang 150 m. Berdasarkan informasi di lapangan, penebangan bakau ini dilakukan masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik lahan. Batang bakau ini dijual kepada proyek pembangunan jalan seharga Rp. 6000 untuk ukuran 4 m dan Rp. 12.000 untuk ukuran 8 m. Batang bakau ini digunakan sebagai pondasi dan penguat saluran irigasi di kanan dan kiri jalan. Berdasarkan wawancara dengan salah seorang pekerja proyek pembangunan jalan, diperkirakan pembangunan saluran air ini membutuhkan setidaknya 100.000 trucuk bakau. Hal ini tentunya sangat berpotensi menjadi pemicu atas kerusakan hutan bakau di Teluk Belukar.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 310. Hutan bakau yang telah ditebang habis (kiri), batang bakau yang dijadikan trucuk (tengah) dan penggunaan batang bakau untuk pondasi dan penguat saluran air.

Berdasakan informasi di lapangan, penebangan diprediksi akan berlanjut dan meningkat dalam skala volume dan jumlah yang lebih banyak. Hal ini terjadi mengingat kebutuhan atas batang bakau akan semakin meningkat. Terkait dengan hal ini, perlu kiranya diambil langkah-langkah pencegahan dengan melibatkan seluruh stake holder yang terkait.

b) Vegetasi pantai

Vegetasi pantai tumbuh diatas substrat tanah berpasir yang terhampar disepanjang pantai. Tutupan vegetasi di areal ini didominasi oleh Cemara Casuarina equisetifolia. Beberapa jenis vegetasi lain yang umum ditemukan antara lain Malapari Pongamia pinnata, Scaevola taccada, Putat laut Barringtonia asiatica, Waru Hibiscus tiliaces, Bintaro Cerbera Manghas, Premna corymbosa, Scaevolia taccada, Gelam tikus Eugenia spicata, Gloichidion spp., Laban Vitex pubescens, Ketapang Terminalia cattapa, Ara Ficus microcarpa, Ficus septica, Dalbergia tamarindifolia, Oncosperma tiggilarium, dan beberapa jenis lainnya.

Gambar 311. Pohon Nyamplung (kiri) dan Bintaro (kanan)

Salah satu hal yang sangat khas dan unik di jumpai di vegetasi pantai adalah ditemukannya Rumah semut Myrmecodia tuberosa (Rubiaceae) dalam jumlah yang cukup banyak. Sebagian besar dari jenis ini menempel pada pohon cemara Casuarina equisetifolia sebagai pohon inangnya.

484 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 312. Rumah semut Myrmecodia tuberosa banyak dijumpai menempel pada pohon cemara Pantai di Desa Teluk Belukar telah mengalami degradasi yang dicirikan oleh matinya puluhan batang

pohon cemara Casuarina equisetifolia di sepajang pantai terutama di sekitar muara sungai. Berdasarkan observasi lapangan dan dipadukan dengan hasil wawancara dengan masyarakat, dipastikan bahwa penyebab kerusakan pantai ini adalah abrasi pantai.

Gambar 313. Puluhan pohon cemara yang mati karena abrasi pantai

Berdasarkan penuturan masyarakat, garis pantai telah maju ke darat sehingga mencapai zona depan tegakan cemara, terutama di sekitar muara. Hampir setiap hari, areal ini selalu terkena air laut yaitu saat terjadinya pasang. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian besar pohon cemara yang ada di sekitar muara mengalami stress dan mati. Sementara itu, tegakan cemara yang berada jauh dari muara relatif aman dari ancaman abrasi sehingga masih hidup dan tumbuh dengan baik. Di lokasi ini, tegakan ini hanya terkena air laut di saat pasang purnama (tertinggi). Kondisi ini tidak menyebabkan pohon cemara menjadi mati. Dampak yang diakibatkan oleh fenomena pasang purnama ini adalah terbawanya masa pasir oleh ombak sehingga menyebabakn timbunan pasir pada tegakan cemara (lihat gambar 6). Hingga saat ini, tidak dijumpai pohon yang mati karena tertimbun pasir. Namun demikian, bagian pohon yang tertimbun jelas tidak akan dapat tumbuh sebagaimana mestinya.

Gambar 314. Terjadinya timbunan pasir pada tegakan cemara

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dalam survey, tim juga menjumpai Hutan Rawa Bergambut tipis tepatnya di sebelah selatan laguna. Beberapa spesies yang umum dijumpai di sini antara lain Pulai Alstonia pneumatophora, Ficus microcarpa Jelutung Dyera lowii dll. Sementara di lokasi yang telah terbuka, beberapa jenis herba dan paku antara laian Senduduk Melastoma malabathricum, Paku hurang Stenochlaena palustris, Lygodium scadens, Piokilospermun suavolens umum dijumpai. Beberapa bagian dari hutan rawa gambut ini telah dibuka dan dirubah peruntukannya menjadi kebun karet.

Gambar 315. Pulai rawa Alstonia pneumatophora; pohon penciri lahan gambut

d) Areal budidaya

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan areal budidaya adalah areal yang secara khusus diperuntukkan masyarakat untuk melakukan kegiana budidaya suatu atau lebih jenis tanaman dengan tujuan utama memperoleh manfaat secara ekonomi. Berdasarkan observasi di Desa Telu Belukar, setidaknya terdapat empat jenis areal budidaya yaitu: kebun karet, kebun kelapa, kebun campuran dan areal persawahan.

(1) Kebun karet

Salah satu mata pencaharian yang cukup penting bagi masyarakat Desa Teluk Belukar adalah berkebun karet. Karet merupakan jenis tanaman yang sangat familiar bagi hampir seluruh penduduk. Secara luas, jenis ini dikenal dengan sebutan lokal ”Haveya”. Nama ini hampir sama dengan nama botani tanaman ini yaitu Havea brasiliensis. Observasi yang dilakukan di kebun ini mendapati bahwa lantai tegakan didominasi oleh beberapa jenis rumput. Sementara itu, beberapa tumbuhan antara lain Leea spp., Asplenium nidus, Stenochlaena palustris, dll juga ditemukan secara sporadis.

Gambar 316. Kebun karet milik masyarakat (kiri) dan hasil sadapan karet (kanan)

486 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berdasarkan wawancara dengan pemilik kebun, harga getah karet cukup menjanjikan yaitu Rp. 6000,- hingga Rp. 8500,-. Pada saat wawancara dilakukan, harga getah di pasaran saaat itu adalah Rp. 7000,-.

Namun sayang, hasil produksi getah karet di kebun ini masih belum optimal. Disamping bibitnya yang bukan unggul, areal kebun ini seringkali tergenang air yang diakibatkan oleh pasang. Masyarakat meyakini bahwa kondisi ini menyebabkan pertumbuhan pohon terhambat dan produksi getah menurun. Sebagai langkah antisipasi, pemilik kebun telah membuat parit-parit kecil yang diharapkan dapat menghindarkan atau mengendalikan genangan yang berlebihan. Permasalahan lain yang muncul dalam wawancara adalah tidak adanya kemampuan masyarakat (secara finansial) untuk meremajakan kebun karet yang telah tua.

(2) Perkebunan kelapa

Kebun kelapa terhampar di belakang pantai di Desa Teluk Belukar, yaitu ditanah substratnya mineral. Selain kelapa Cocos nucifera sebagai tanaman utama, beberapa jenis tumbuhan antara lain Morinda citrifolia, Ficus spp, Leea spp, Nephrolepis spp, Blechnum indicum, dan Melastoma candidum. Jens- jenis tumbuhan tersebut paling banyak dijumpai di tepi kebun kelapa. Sedangkan di lantai kebun kelapa, penutupan didominasi oleh beberap jenis rumput dan paku.

Bila diperhatikan, hampir pohon kelapa yang ditanam adalah pohon ”kelapa dalam”, bukan kelapa hibrida. Penuturan masyarakat menyebutkan bahwa ”kelapa dalam” memiliki kesesuaian dengan kondisi tanah di Desa Teluk Belukar. Selain itu, pohon ”kelapa dalam” memiliki umur yang lebih panjang serta ukuran yang lebih tinggi yang diyakini mampu melidungi desa dari terpaan angin dari arah laut. Selain diambil buahnya, batang kelapa belakangan ini juga dimanfaatkan yaitu sebagai bahan utama jembatan.

Gambar 317. Kebun kelapa milik masyarakat (kiri) dan batang kelapa yang digunakan untuk bahan kontruksi jembatan (kanan)

Beberapa tahun yang lalu, terjadi pembukaan lahan di zona belakang hutan mangrove, tepatnya diantara hutan mangrove dan pantai berpasir. Berbeda dengan yang telah umum dikembangkan masyarakat sebelumnya, jenis kelapa yang di tanam adalah kelapa hibrida. Namun sayang, kondisi tempat tumbuh tidak sesuai dengan tanaman budidaya sehingga sebagian besar kelapa yang ditanam mati. Secara umum dapat dikatakan bahwa usaha budidaya kelapa ini gagal total. Hanya ada beberapa puluh batang pohon kelapa saja yang masih bertahan, itupun tidak dapat tumbuh dengan baik. Faktor utama yang menyebabkan kegagalan budidaya kelapa adalah seringnya terjadi genangan air, suatu kondisi yang tidak disukai oleh tanaman kelapa.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 318. Konversi hutan mangrove menjadi kebun kelapa yang gagal total

(3) Areal di sekitar desa

Secara sederhana, areal di sekitar desa dapat diklasifikasikan atas pekarangan, kebun campuran, areal kosong publik. Umumnya, pekarangan dengan jenis-jenis tanaman berbuah, berkayu atau yang memiliki nilai estetika atau keindahan. Jenis-jenis tumbuhan tersebut antara lain Belimbing wuluh Averhoea bilimbi, Nauclea spp., Jarak pagar Jathropa curcas, Durian Durio zibethinus, Mangga Mangifera indica dll. Sementara di kebun canpuran, dijumpai jens-jenis tumbuhan berbuah dan sayuran antara lain Kakao Teobroma cacao, Pisang Musa spp, Pinang Areca catechu, Ketela Manihot utilissima, dll. Berbeda dengan di areal kosong publik, jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman berkayu yang sekaligus berfungsi sebagai peneduh antara lain Mahoni Swietenia mahagony, Kuda-kuda Lannea spp, Ki rara payung Felicium decipiens, Tanjung Mimosops elengi, dll. Selain jenis-jenis yang ditanam, terdapat beberapa jenis tumbuhan yang secara alam tumbuh dan berkembang dengan baik antara lain Simalambua Laphopetalum spp., Oroxylon javanica, Bengkal Anthocepalus cadamba, Fragarea spp dll.

Simalambuo (Perupuk darat) Lapophetalum spp merupakan salah satu pohon endemik dan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Jneis ini merupakan penghasil kayu utama di seluruh pelosok Nias dengan harga yang tinggi, berkisar antara Rp. 2.400.000-2.600.000,-. Namun sayang, jenis ini belum dibudidayakan secara maksimal.

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan satwa liar di wilayah Desa Teluk Belukar, difokuskan di bagian Laguna (yang disebut Luaha Talu), secara umum kondisi ekosistem Luaha Talu adalah berupa hutan mangrove, perkebunan masyarakat antara lain kebun karet dan kelapa, vegetasi pantai (cemara). Di beberapa bagian telah di buka areal untuk pertanian, jalan untuk pengambilan kayu bakau dan jalan langsung menuju pinggir laguna. Sirkulasi air Laguna Teluk Belukar dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan suplai air dari dua sungai yaitu Sungai Bowe dan Sungai Idano Lawu-lawu.

Pengamatan berlangsung selama 8 hari pengamatan yaitu tanggal: 8 – 11 Agustus 2007 dan pada 19 – 23 September 2007. Khusus untuk pengamatan kelompok Herpetofauna, pengamatan juga dilakukan pada malam hari, untuk mendapatkan perjumpaan dengan jenis-jenis amphibi dan ular. Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: tujuh (7) jenis mammalia, 48 jenis burung, serta 21 jenis herpetofauna di sekitar laguna Luaha Talu.

a) Mammalia

Tujuh (7) jenis mammalia, teridentifikasi berdasarkan temuan langsung, faeses & jejak mapun informasi penduduk yang cukup meyakinkan. Dari jumlah tersebut, 4 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi di Indonesia, kemudian 2 jenis termasuk dalam kategori Appendix II – CITES, yang berarti perdagangannya berdasarkan kuota yang ditentukan secara internasional (Tabel 1), yaitu Kera-ekor panjang Macaca fascicularis, yang oleh masyarakat setempat di sebut Ba’e dan Kalong Besar yang disebut Begi Banua.

488 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kera-ekor panjang Macaca fascicularis, yang dalam bahasa setempat disebut Ba’e teramati sangat sedikit. Perjumpaan secara langsung dengan jenis ini hanya satu kelompok yang terdiri dari beberapa individu dewasa serta individu anakan (muda). Perjumpaan dengan individu anakan (muda) menggambarkan bahwa wilayah survey masih mampu mendukung jenis ini sebagai tempat berkembang biak. Namun, informasi dari Temazaro (pers. Comm., 2007) disebutkan bahwa jenis ini diburu oleh masyarakat yang datang dari Desa Awa’ai, kampung Bawasaluo. Pemburu menggunakan senapan angin, Ba’e ditembak untuk kemudian dikonsumsi. Selain itu, diinformasikan juga kelompok tersebut beberapa kali ditemukan melakukan peracunan aliran parit atau Sungai Boe, yang kemudian menyebabkan udang dan ikan hilang dalam beberapa waktu. Penduduk Desa Teluk Belukar sering melarang kegiatan ini, namun mereka kemudian melakukannya secara sembungi-sembunyi di malam hari.

Kalong Besar Pteropus vampirus, beberapa ekor teramati terbang di atas vegetasi mangrove saat hari menjelang senja. Penduduk menginformasikan bahwa jenis ini bertengger dalam jumlah besar di perbatasan Desa Teluk Belukar dan Desa Hilimbosi. Jenis ini diburu dengan menggunakan senapan angin maupun jaring, untuk dikonsumsi dagingnya.

Tabel 203. Jenis Mammalia penting di Teluk Belukar

No Nama Indonesia/Lokal

Nama Ilmiah

Status

1 Kalong besar, Begi Banua

Pteropus vampirus

P, App II

2 Kera-ekor panjang, Ba’e

Macaca fascicularis

App II

3 Pelanduk Napu

Tragulus napu

Greater mouse-deer P

4 Rusa sambar

Cervus unicolor

Sambar Deer

5 Musang luwak

Paradoxurus hermaphroditus

Palm civet

Keterangan :

P = Dilindungi, menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 (Noerjito & Maryanto, 2001). App. II = Appendix II, Kriteria perdagangan jenis satwa yang diatur dalam CITES (Convention on International

Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna, UNEP-WCMC, 2007).

Keberadaan Pelanduk Napu Tragulus napu teramati dari jejak kaki di daerah perbukitan yang sebagian berupa hutan/kebun karet, sekitar 2-3 km dari pesisir/pantai. Sementara, Rusa sambar diinformasikan merupakan salah satu sasaran perburuan di bagian perbukitan Desa Teluk Belukar. Pada pertengahan tahun 2007, seekor rusa masuk ke arah hutan bakau Teluk Belukar, saat diburu penduduk dari arah perbukitan.

b) Avifauna

Tercatat 48 jenis burung teridentifikasi berdasarkan temuan langsung ataupun informasi masyarakat, beberapa diidentifikasi berdasarkan suara. Dari jumlah tersebut, 12 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia (Tabel 2.1), termasuk juga 5 jenis masuk dalam kategori CITES. Jenis yang dilindungi oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia berasal dari kelompok burung pemangsa (3 jenis), kelompok raja-udang (3 jenis), dan kelompok burung madu (5 jenis), serta kelompok burung air migran/burung pantai (1 jenis), untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 204. Jenis Burung yang Dilindungi yang ditemukan di Teluk Belukar

No Nama Indonesia Nama Ilmiah Nama Inggris Status

1 Elang Bondol

Haliastur indus

Brahminy Kite

P, App II

2 Elang-laut perut-putih

Haliaeetus leucogaster

White-bellied Sea-eagle

P, App II

3 Elang-ular bido

Spilornis cheela

Crested Serpent-eagle

P, App II

4 Gajahan Pengala*

Numenius phaeopus

Whimbrel P

5 Raja-udang meninting

Alcedo meninting

Blue-eared Kingfisher

6 Pekaka emas

Pelargopsis capensis

Stork-billed Kingfisher

7 Cekakak sungai

Halcyon chloris

Collared kingfisher

8 Burung-madu sepah raja

Aethopyga siparaja

Crimson Sunbird

9 Burung-madu kelapa

Anthreptes malacensis

Plain-throated Sunbird

10 Burung-madu bakau

Nectarinia calcostetha

Copper-throated Sunbird

11 Burung-madu sriganti

Nectarinia jugularis

Olive-backed Sunbird

12 Pijantung kecil

Arachnothera longirostra

Little Spiderhunter

Keterangan :

P = Dilindungi, menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 (Noerjito & Maryanto, 2001). App. II = Appendix II, Kriteria perdagangan jenis satwa yang diatur dalam CITES (Convention on International

Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna, UNEP-WCMC, 2007). * = Jenis burung air migran

Vegetasi mangrove di sekitar laguna juga dimanfaatkan bagi beberapa jenis burung sebagai tempat beristirahat malam hari. Punai gading Treron vernans, merupakan salah satu jenis yang menggunakan pohon mangrove di sekitar laguna untuk istirahat malam.

Tujuh jenis burung-air bermigrasi teramati di sekitar Teluk Belukar, yaitu: Trinil pantai Actitis hypoleucos, Trinil bedaran Xenus cinereus, Biru-laut ekor-blorok Limosa lapponica, Gajahan pengala Numenius phaeopus, Cerek-pasir Mongolia Charadrius mongolus, Cerek-pasir besar Charadrius leschenaultii, Dara laut Sterna sp.. Namun jumlah individu burung-air bermigrasi yang teramati tidak

banyak, hanya total sekitar 10-16 ekor.

c) Herpetofauna

Tercatat 21 jenis dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini. Meski demikian, tidak terdapat jenis herpetofauna yang dilindungi. Penyu hijau Chelonia mydas, tidak ditemukan di areal survey, namun daging diperjual-belikan di sebuah kedai makan di tepi jalan di wilayah Desa Teluk Belukar. Pemilik kedai menyebutkan bahwa Bo’ole (sebutkan untuk Penyu Hijau) didapat dari luar Desa Teluk Belukar, kadang nelayan dari daerah utara mengantarnya ke kedainya dan menjual seharga Rp. 75.000,- hingga Rp. 600.000,- per-ekor tergantung ukurannya semakin besar semakin mahal. Kemudian, setelah diolah, satu porsi kecil Penyu hijau yang telah di masak dijual kepada pengunjung seharga Rp. 5.000,- (porsi kecil) hingga Rp. 10.000,- (porsi besar). Dari pengamatan selama di lapangan, jenis ini cukup digemari oleh pengunjung. Pemilik rumah makan menyebutkan, pada hari libur mampu menjual rata-rata 2-3 ekor/hari. Sedangkan pada hari-hari biasa 1 ekor cukup untuk 2 hari.

490 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Biawak Varanus salvator, dan Ular Sawah Python reticulates merupakan jenis-jenis yang perdagangannya secara internasional diatur dalam CITES dan termasuk kedalam Appendix II, yang berarti ada pembatasan dalam perdagangannya. Berdasarkan informasi dari penduduk, kedua jenis satwa liar tersebut ’memiliki harga’ (bernilai ekonomis), ada orang yang secara khusus membelinya. Namun, saat survey tidak teramati perburuan terjadi.

Sebagian besar temuan herpetofauna, ditemukan di Sungai Bowe yang melintasi permukiman dan bermuara di laguna. Sungai ini dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari, antara lain: makan, minum, mencuci dan mandi. Penggunaan berbagai zat pembersih dalam jumlah banyak dan berlebihan seperti deterjen berpotensi mengganggu keberadaan fauna yang memanfaatkan aliran sungai dan laguna sebagai tempat hidupnya.

Selama survey, terjadi dua kali perjumpaan dengan pemburu. Perjumpaan yang pertama dengan 2 orang remaja yang membawa senapan angin, setelah dilakukan dialog kedua remaja tersebut akan memburu burung dengan menggunakan senapan, hasil buruan untuk di konsumsi. Kedua remaja tersebut menyebutkan bahwa mereka cukup sering melakukan perburuan tersebut. Biasanya jenis- jenis yang menjadi target buruan mereka adalah burung punai (lokal: Fune). Perjumpaan kedua adalah dengan seorang remaja yang menangkap burung Pekaka emas Pelargopsis capensis dengan menggunakan jaring (alat tangkap ikan) yang telah dimodifikasi. Penangkapan dilakukan dengan memasang jaring di mulut lubang tempat jenis burung ini beristirahat. Penduduk setempat juga menginformasikan, bahwa ada agen (penampung) dari Gunung Sitoli yang siap membeli jenis fauna tertentu, terutama Biawak dan Ular Sawah. Kondisi ini tentu menjadi potensi ancaman yang cukup serius bagi keberadaan hidupan liar di Teluk Belukar.

Gambar 319. Burung Cekakak mas yang dipelihara oleh penduduk, diduga didapatkan dari wilayaj Teluk Belukar

5. Tanah dan Pertanian

a) Tanah

(1) Proses Pembentukan dan Klasifikasi Tanah

Daerah survei memiliki topografi yang homogen yaitu datar. Keadaan ini mencerminkan tidak adanya variasi, baik relief mikro maupun iklim mikro. Hal yang sama terjadi pada bahan induk dan umur. Secara geologi, daerah survei terbentuk dari proses fluviasi, baik oleh endapan sungai maupun oleh endapan laut (marin). Endapan tersebut umumnya masih baru (resen) dicirikan dengan adanya bahan yang berlapis-lapis. Bahan kasar seperti pasir umumnya diendapkan disekitar pantai sedangkan bahan yang lebih halus diendapkan lebih jauh dari pantai.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tanah yang terdapat di pinggiran laguna merupakan tanah aluvial yang sering terluapi oleh air pasang bahkan sering tergenang sehingga tanah-tanahnya selalu basah. Pada bagian lapisan atas (20 – 40 cm), tanahnya bertekstur lumpur sedangkan bagian bawah (> 40 cm) bertekstur pasir. Tanah yang berada pada posisi di pesisir pantai didominasi oleh lapisan pasir (> 150 cm), walaupun terluapi air pasang namun tidak sampai menggenangi sehingga tanahnya kering.

Sistim klasifikasi tanah yang digunakan adalah sistim Taxonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1998). Sesuai dengan pembentukan tanah di daerah survei, tanah yang terbentuk hanya terdiri tanah yang belum memiliki horison penciri. Tanah ini dijumpai pada sistem aluvial-marin yang pengaruh pengendapan dan genangan air cukup dominan. Tanah relatif muda, sehingga mempunyai kematangan yang rendah. Tanah ini diklasifikasikan sebagai Typic/Hemic Psammaquents dan Typic Quartizpsamments dan Histic Endoaquepts.

Tanah Typic Psammaquent (Aeric Regosol) dan sesetempat terdapat tanah Histic Psammaquents (Histic Regosol) dijumpai di sekitar pinggiran laguna dan di sebelah utaranya dijumpai tanah Typic Endoaquept (Typic Gleisols). Sedangkan tanah Typic Quartizpsamments (Typic Regosol) dijumpai pada daerah beting pantai (sand dune) dan tanahnya relatif kering.

Tabel 205. Satuan Tanah di Lokasi Penelitian

No SPT Klasifikasi Tanah Landform/Topografi Litologi Land use Grup Aluvial Marin (A):

1 Aeric Psammaquents Rawa Belakang Pantai

Belukar dan hutan Histic Psammaquents

Endapan sungai dan

(laguna), lereng 0 -1 %

laut (lumpur dan pasir)

manggrove

2 Histic Endoaquepts

Dataran

Endapan liat

Kebun campuran

3 Typic Quartizpsamments Beting Pasir (sand dune),

Endapan pasir dan

Kebun kelapa

lereng 1 – 3 %

Lumpur laut

(2) Karakteristik Umum Tanah

• Karakteristik Satuan Tanah 1: Lapisan atas: tekstur tanah liat berpasir, Lapisan bawah: pasir berlempung, warna kelabu sampai putih kekelabuan (5 YR 5/1 – 5 YR 8/1),

reaksi tanah agak alkalis (pH 6,8). • Karakteristik Satuan Tanah 3: Lapisan atas: tekstur tanah bergambut tipis (20 cm), Lapisan bawah: pasir berlempung, warna kelabu sampai kelabu kehijauan (5 Y 5/1 – 5 GY 8/1),

reaksi tanah agak masam (pH 5,2). • Karakteristik Satuan Tanah 2: Lapisan atas; tekstur tanah lempung berpasir, Lapisan bawah: pasir berlempung, warna kelabu sampai kelabu kehijauan (5 Y 5/1 – 5 GY 8/1),

reaksi tanah sampai agak alkalis (pH 7,2).

492 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 320. Lokasi & Pembagian Satuan Pengamatan Tanah (SPT)

(3) Sifat Kimia Tanah

Penilaian status kesuburan tanah dilakukan berdasarkan data analisa contoh tanah yang diambil dari masing-masing satuan peta tanah. Penilaian ini juga bertujuan untuk mengetahui indikasi kekurangan atau keracunan unsur hara dalam tanah. Beberapa unsur hara yang mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain reaksi tanah (pH), bahan organik (C=karbon, N= nitrogen dan ratio C/N), phosphor (P), Kalium (K) Kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan alumunium (Al), kejenuhan basa (KB).

(a) Kemasaman tanah (pH) dan kejenuhan aluminium

Derajat kemasaman tanah merupakan salah satu unsur penilaian kesuburan tanah, dan merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi penyerapan unsur hara. Pada pH tanah masam (<4,0) secara tidak langsung unsur-unsur hara seperti fosfat menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Derajat kemasaman tanah-tanah di wilayah penelitian tergolong agak masam sampai agak alkalis (5,2 – 7,3) Kejenuhan Aluminium, sangat rendah sekali (0,0 – 0,8 %) Konsentrasi Al 3+ yang tinggi ini akan

menjadi racun bagi tanaman.

(b) Bahan organik

Kadar bahan organik tanah diukur dengan menetapkan Karbon (C), Nitrogen (N) dan rasio C/N. Kadar bahan organik, disamping dapat mengikat unsur hara bagi pertumbuhan tanaman, bahan organik juga dapat menjaga kelembaban tanah dan membuat strutur tanah menjadi gembur.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Di wilayah survei, kadar C-organik sedang sampai tinggi (2-5%), kadar nitrogen rendah sampai sedang (0,1-0,4%) dan C/N rendah sampai tinggi (7-18).

(c) Phosphat dan Kalium

Phosphat yang terdapat dalam bentuk organik berfungsi sebagai sumber unsur hara utama bagi tanaman. Dalam lingkungan masam Phosphat bereaksi dengan besi dan aluminium membentuk Fe-P dan Al-P yang tidak tersedia bagi tanaman. Kadar P-tersedia rendah sampai tinggi (8-25ppm P).

(d) Kapasitas tukar kation (KTK), susunan kation dan Kejenuhan basa

Wilayah penelitian umumnya mempunyai nilai KTK rendah sampai tinggi (8-25 me/100g) pada tanah berpasir KTK rendah, sedangkan pada tanah bergambut tinggi. KTK ini sangat berhubungan dengan kandungan tekstur liat dan bahan organik.

Susunan kation Ca + , Mg K dan Na yang dapat dipertukarkan di wilayah penelitian rendah sampai

tinggi. Jumlah kation Na ++ sangat tinggi (26.01 cmol/kg), K+ dan Mg tinggi (masing-masing 1.50 cmol/kg dan 7.84 cmol/kg) sedangkan Ca ++ rendah (5.18 cmol/kg).

Jumlah basa-basa yang dapat dipertukarkan pada kompleks adsorpsi tanah tercermin dari nilai persentase kejenuhan basanya (% KB). Sebagian besar di wilayah penelitian mempunyai kejenuhan basa yang sangat tinggi (>100%).

(e) Salinitas (Kadar garam)

Salinitas tanah mencerminkan kadar garam-garam terlarut dalam tanah. Peningkatan kadar garam yang terlarut akan meningkatkan nilai salinitas. Salinitas tanah, digunakan untuk keperluan penilaian kesesuaian kesesuaian tanaman. Salinitas tanah yang tinggi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yaitu terjadinya proses hidrokopis pada akar tanaman sehingga unsur-unsur yang terdapat di dalam akar akan keluar sehingga menyebabkan kematian tanaman. Salinitas tanah di daerah survei tergolong sangat tinggi (5.1 dS/m). Hal ini dicerminkan oleh kadar Na +

yang sangat tinggi.

(4) Sifat Fisik Tanah

Sifat dan Karakteristik tanah penting artinya dalam hubungan antara tanah, air dan tanaman. Pengambilan unsur-unsur hara oleh tanaman selain ditentukan ketersediaan unsur-unsur kimia, juga ditentukan oleh keadaan sifat fisik tanahnya.

Sifat fisik tanah dicerminkan oleh struktur, konsistensi dan porisitas. Di daerah survei tanah-tanah belum mempunyai struktur tanah yang baik sehingga konsistensi sangat rendah dan porisitas tinggi. Hal ini akan mempengaruhi terhadap penyerapan dan pengeluaran air. Air cepat diserap namun cepat pula lepas, begitu juga dengan unsur-unsur hara yang terkandung di dalam air akan lebih cepat larut dan lepas terbawa air.

Pada tanah mineral, faktor aerasi dan tersedianya air dalam tanah adalah faktor terpenting. Aerasi tergantung struktur tanah (jumlah pori-pori) dan permeabilitasnya. Tanah yang memiliki jumlah pori aerasi yang cukup, belum tentu memiliki aerasi yang baik apabila sebagian pori diisi oleh air. Keadaan ini sering terjadi pada musim hujan atau daerah genangan.

Hasil analisa fisika tanah menunjukan bahwa tanah-tanahnya tidak/belum mempunyai struktur, jumlah pori aerasi rendah dan permeabilitasnya sedang. Hal demikian terjadi karena lahan selalu jenuh air. Pada daerah dengan tekstur pasir, perkembangan struktur tanahnya masih remah dengan jumlah pori aerasi sedang sampai tinggi, dan permeabilitasnya cepat.

494 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(5) Potensi dan Kesesuaian Lahan

Setiap satuan tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei pemetaan sumberdaya lahan merupakan gambaran karakteristik tanah/lahan serta keadaan lingkunganya. Data dan informasi tersebut dapat digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi komoditas tertentu. Evaluasi lahan pada prinsipnya adalah membandingkan (matching) antara karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Pemilihan kualitas lahan dan karakteristik lahan yang digunakan sebagai parameter dalam penilaian kesesuaian lahan. Kualitas dan karakteristik lahan yang menonjol di daerah rawa adalah sifat-sifat tanah dan air (hidrologi).

Tabel 206. Kesesuaian Lahan di lokasi Teluk Belukar

Kelas Kesesuaian Lahan

No SPT Klasifikasi Tanah Rekomendasi

Tan. Pangan

Perkebunan

Holtikultura

1 Aeric Psammaquents S3-oa,fh S3-oa,fh S3-oa,fh Kawasan lindung Histic Psammaquents

laguna

2 Histic Endoaquepts

S3-oa,fh

S3-oa,fh

S3-oa,fh

Kawasan buffer zone dan pertanian

3 Typic Quartizpsamments N-rc,fh

N-rc,fh

N-rc,fh

Kawasan lindung Pantai

Keterangan:

Tan. Pangan, meliputi: Padi, jagung, kacang2an (kedelai dan Kacang tanah); Tan. Perkebunan, meliputi: kelapa, kapuk, kemiri;

Holtikultur (buah-buahan dan sayuran), meliputi: durian, salak, sukun, nangka, cabe merah, bayam, mentimun.

N= tidak sesuai; S3= sesuai marginal; rc= media perakaran kasar: nr= retensi hara sangat rendah; wa=ketersediaan air tidak ada; xs= Bahaya sulfidik; oa= drainase sangat terhambat; fh=bahaya banjir/genangan.

Kesesuaian lahan tiap-tiap komoditas pada setiap tanah akan berbeda, namun demikan pada setiap satuan peta tanah yang berupa asosiasi atau kompleks dapat disederhanakan menjadi satu kelas kesesuaian lahan untuk memudahkan interpretasinya. Terdapat 2 kelas kesesuaian lahan yaitu: sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N) yang dinilai berdasarkan faktor-faktor pembatas (limiting factor) yang dominan seperti kesuburan tanah/unsur (na), retensi hara (nr), media perakaran (rc), Toksisitas/salinitas (xc) bahaya sulfidik (xs) dan bahaya banjir/genangan (fh). Sedangkan faktor lingkungan seperti iklim dan topografi tidak menjadi faktor pembatas.

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Desa Teluk Belukar yang berada dalam wilayah Kecamatan Gunung Sitoli Utara pada awalnya merupakan bagian dari Kecamatan Tuhemberua. Perubahan tersebut terjadi akibat adanya pemekaran wilayah kecamatan yang terjadi pada tanggal 14 Desember 2005 melalui PERDA No 5 Tahun 2005. Luas keseluruhan Desa Teluk Belukar adalah 1.472 ha dengan jumlah penduduk sekitar 2500 orang. Desa Teluk Belukar termasuk kedalam kategori desa swasembada yaitu Desa yang mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.Kriteria Desa Swasembada dicapai apabila tingkat kemajuan indikatornya sama atau lebih besar bila dibanding dengan kemajuan tingkat nasional (BPS, 2007).

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kecamatan (x 20)

um 380

Kabupaten (x 200)

Gambar 321. Kecenderungan pertumbuhan jumlah rumah tangga di Desa Teluk Belukar, Kecamatan

Tuhemberua, dan Kabupaten Nias.

Pertumbuhan jumlah rumah tangga di Desa Teluk Belukar maupun Kecamatan Tuhemberua secara umum mengalami penurunan antara tahun 2000 hingga 2003 dan kemudian mengalami pertumbuhan sangat drastis antara tahun 2003 dan 2006.

nduduk e 2300

Kecamatan (x 20)

hP

Kabupaten (x200)

Gambar322. Kecenderungan pertumbuhan jumlah penduduk di Desa Teluk Belukar, Kecamatan Tuhemberua, dan Kabupaten Nias.

b) Demografi

Seperti halnya desa-desa lain di pesisir Nias, Desa Teluk Belukar bertumbuh mengikuti perkembangan pembangunan Kabupaten Nias. Pertumbuhan yang paling signifikan terjadi pasca tsunami dan gempa bumi saat terjadi perbaikan infrastruktur dan transportasi yang menyebabkan akses ke berbagai pelayanan publik menjadi relatif lebih mudah.

Salah satu indikator perkembangan desa adalah pertumbuhan jumlah penduduk. Hasil penelusuran data BPS Kabupaten Nias menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Teluk Belukar meningkat drastis antara tahun 2000 (2.110 jiwa) hingga tahun 2006 (2.500 jiwa) yaitu sekitar 8%, jauh lebih tinggi dari peningkatan rata-rata Kabupaten Nias yaitu 3%. Kecamatan Tuhemberua sendiri secara umum justru mengalami pertumbuhan kurang dari 1%.

496 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Angka pertumbuhan yang relatif tinggi sangat mungkin terjadi karena perpindahan antar penduduk di dalam Kabupaten Nias dan akibat pernikahan, bukan karena masuknya pendatang dari luar Kabupaten Nias. Hal ini ditunjukkan oleh angka pertumbuhan penduduk Pulau Nias yang relatif kecil dan stabil sedangkan angka pertumbuhan jumlah rumah tangga di Desa Tuhemberua meningkat drastis.

Berbeda dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat antara tahun 2000-2003, pertumbuhan jumlah rumah tangga di Desa Teluk Belukar maupun Kecamatan Tuhemberua secara umum justru menurun dalam selang waktu tersebut. Pertumbuhan jumlah rumah tangga justru sangat drastis antara tahun 2003 dan 2006. Hasil wawancara menunjukkan bahwa masyarakat Desa Teluk Belukar tidak merasakan secara langsung adanya perubahan jumlah rumah tangga yang signifikan.

Desa yang relatif luas dengan tingkat populasi yang masih rendah yaitu 143 penduduk per kilometer persegi membuat masyarakat yang diwawancara dalam survey ini cenderung tidak mengkuatirkan pertumbuhan yang tinggi tersebut. Trend pertumbuhan jumlah rumah tangga maupun pertumbuhan penduduk diduga masih akan terus meningkat bahkan cenderung meningkat drastis seiring banyaknya kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah desa ini yang memicu kebutuhan tenaga kerja dan peluang-peluang usaha lainnya. Perkembangan signifikan yang terjadi saat ini dibandingkan 5 –

10 tahun silam antara lain adalah dengan dibangunnya jalan aspal yang mulus sehingga jarak tempuh ke ibukota (Gunungsitoli) yang 17 km, dapat ditempuh dalam waktu 20 – 30 menit.

Dalam waktu dekat, pembangunan dan pengoperasian pelabuhan pendaratan ikan akan selesai. Hal ini, diperkirakan dapat memicu peningkatan transaksi ekonomi di wilayah desa ini - bila pelabuhan ini dapat memfasilitasi pendaratan hasil tangkapan nelayan yang basisnya di sekitar kecamatan Tuhemberua, Gunungsitoli Utara, dan Gunungsitoli.

Pertumbuhan penduduk juga diperkirakan akan dipengaruhi secara oleh rencana pembangunan Kecamatan Gunungsitoli Utara dan rencana pembangunan sebuah perguruan tinggi di perbatasan Desa Teluk Belukar - Desa Afia.

c) Pendidikan

Perbaikan kualitas pendidikan adalah investasi utama dalam upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia Kabupaten Nias di masa depan. Upaya peningkatan kualitas pendidikan tersebut saat ini dilaksanakan, baik pemerintah dengan membangun sekolah negeri maupun melalui upaya partisipatif LSM/NGO dengan membangun sekolah swasta.

Pertumbuhan jumlah sekolah antara tahun 2003 hingga 2005 di Desa Teluk Belukar, Kecamatan Tuhemberua, dan Kabupaten Nias dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 207. Perkembangan jumlah sekolah antara tahun 2003 – 2005 di Desa Teluk Belukar

Desa

Kecamatan

Kabupaten Nias Jenjang Pendidikan

Teluk Belukar

Sumber: Podes 2003; KDA 2005; Nias Dalam Angka 2005 Peningkatan kualitas pendidikan yang ditandai dengan penambahan jumlah sekolah di Kabupaten

Nias antara tahun 2003 dan 2005 seperti yang disajikan dalam Tabel 207.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pasca tsunami dan gempa Nias pembangunan dan perbaikan sekolah di kabupaten Nias juga dilaksanakan oleh beberapa LSM Nasional dan Internasional sebagai response dari bencana gempa

28 Maret 2005. Dari 56 sekolah di Desa Tuhemberua yang mendapat bantuan, salah satunya ada di Desa Teluk Belukar yaitu SDN 074049 Teluk Belukar. Bantuan yang diberikan adalah berupa Buku Bacaan dari UNICEF dan bantuan penganan bagi pelajar oleh WFP. Total sekolah di Kabupaten Nias yang mendapat bantuan sebanyak 555 sekolah (UNICEF, 2005).

Tabel 208. Perbandingan antara jumlah murid dan guru

Rasio Murid dan Sekolah Sekolah Desa Kecamatan Kabupaten Desa Kecamatan Kabupaten

Rasio Murid dan Guru

25 216.5 187 187 SMP - 16.8 17 - 284 293 SMA - 23.9 23 - 307 381

SD 39.3 20.3

data 2004 Sumber: Kecamatan Tuhemberua dalam Angka 2005; Profil Nias 2004

Berdasarkan Tabel 208. di atas dapat dilihat bahwa untuk tingkat SD, rasio murid guru tercatat sebesar 1 : 25, yang artinya bahwa untuk tingkat Sekolah Dasar, setiap guru akan melayani rata-rata

25 orang murid. Standar yang telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebagai berikut :

Berdasarkan standar di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa di Kabupaten Nias rasio guru murid memenuhi standar untuk setiap jenjang pendidikan (BPS, 2005).

Upaya pemerintah, masyarakat, dan LSM untuk meningkatkan fasilitas pendidikan dengan membangun sekolah maupun jumlah guru hanya meningkat secara agregat yaitu dalam hitungan se- kabupaten Nias. Sebaliknya, peningkatan tersebut tidak terjadi di Desa Teluk Belukar seperti yang disajikan dalam Tabel 207dimana jumlah TK, SD, SMP, dan SMA hampir tidak bertambah sama sekali dalam kurun waktu 2003-2005. Oleh sebab itu Tabel 207 menunjukkan adanya isu pemerataan pendidikan yang sangat serius untuk ditindak lanjuti agar masyarakat Desa Teluk Belukar pun dapat menikmati pendidikan dengan mudah dan murah. Saat ini, murid-murid SMP harus menempuh jarak

4 km dan murid SMA menempuh jarak 7 km untuk mencapai sekolahnya masing-masing. Jumlah penduduk penduduk yang diperkirakan mengalami peningkatan drastis menyusul dibukanya

pelabuhan, universitas, ibukota kecamatan dan fasilitas pariwisata membutuhkan penyediaan fasilitas pelayanan publik yang lebih banyak. Padahal saat ini fasilitas sekolah, masih sangat minim. Seperti ditunjukkan oleh Tabel 207 dimana Teluk belukar hanya memiliki dua sekolah dasar dan satu taman kanak-kanak. Hingga saat ini lokasi SMP atau SMA pun terlalu jauh, berjarak lebih dari 5 kilometer dari desa Teluk Belukar. Kekurangan pelayan pendidikan ini ditunjukkan juga oleh rasio murid (sekolah dasar) berbanding jumlah guru yang hampir mencapai 40 berbanding 1.

498 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Fasilitas Kesehatan

Secara umum terdapat perbaikan kualitas kesehatan masyarakat Nias antara tahun 2003 hingga 2004. Terdapat dua indikator yang menunjukkan hal tersebut yaitu angka harapan hidup dan angka kematian bayi. Data Pemda Kabupaten Nias tahun 2004 menunjukkan bahwa angka harapan hidup meningkat dari 66.0 tahun pada tahun 2003 menjadi 60.9 tahun pada tahun 2004. Hal yang sama terjadi pada angka kematian bayi yang mengalami penurunan dari 44.3 kematian bayi pada setiap 1000 kelahiran pada tahun 2003 menjadi 41 kematian bayi pada setiap 100 kelahiran di tahun 2004. Perbaikan ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 209. dimana pada beberapa tipe fasilitas pelayanan kesehatan, terdapat peningkatan jumlah yang signifikan.

Tabel 209. Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Kabupaten Nias

Jumlah dan Jarak Rata-rata

Jenis Pelayanan Kesehatan Nias Tuhemberua Teluk Belukar 2003 2004 2003

Rumah Sakit Umum

Rumah Bersalin

Poliklinik/Balai Pengobatan

Puskesmas Pembantu

Tempat Praktek Dokter

Tempat Praktek Bidan

Posyandu 308 nd 47 80 2 2 Polindes(Pondok Bersalin Desa)

POD(Pos Obat Desa)

Toko Khusus Obat/Jamu

Jumlah Dokter

32 37 0 0 0 0 (17 km)

Jumlah Bidan/Bidan Desa

Dukun Bayi Terlatih

Dukun Bayi Tidak Terlatih

Sumber: Kecamatan Dalam Angka 2005, Profil Nias 2004, Potensi Desa 2003 Seperti halnya peningkatan fasilitas pendidikan, peningkatan dukungan fasilitas kesehatan pada

masyarakat secara agregat di Kabupaten Nias tidak terjadi pada fasilitas kesehatan di tingkat Desa Teluk Belukar. Jumlah maupun kualitas fasilitas pelayanan relatif sama dari tahun ke tahun, sehingga issu pemerataan penyebaran fasilitas kesehatan menjadi penting untuk dicermati dalam perbaikan kualitas kesehatan masyarakat. Hal ini terlihat pada Tabel 209. dimana masyarakat yang ingin memperoleh pelayanan dari rumah sakit harus menempuh perjalanan sejauh 17 km, atau 5 kilometer untuk memperoleh pelayanan dari puskesmas.

Hal yang cukup menggembirakan adalah karena saat ini sebuah ”Community Transformation Center” yang dibangun dan dikelola oleh LSM International World Harvest sebagai bentuk bantuan pasca Tsunami dan Gempa Nias menyediakan fasilitas layanan kesehatan dan pendidikan luar sekolah bagi anak-anak. Community Center tersebut resmi berjalan sejak April 2007. Saat ini, masih difungsikan sebagai sarana pendidikan dan ruang pertemuan serbaguna.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pulau Nias sudah dihuni manusia sejak 12 ribu tahun silam dan berlangsung terus-menerus hingga berkisar 1150 Masehi. Hal tersebut didasarkan pada hasil penggalian arkeologis di Goa Togi Ndrawa, Desa Lolowonu Niko'otano oleh Balai Arkeologi Medan. Penggalian arkeologis tersebut juga menunjukkan adanya kemiripan Budaya manusia pertama di Nias dengan budaya prasejarah yang terdapat di wilayah Vietnam (Hoabinh) (Tempo Interaktif, 25 November 2005). Masyarakat Nias modern menamakan diri sebagai "Ono Niha" yang berarti anak manusia (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) sedangkan pulau Nias sebagai tempat tinggal disebut sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Masyarakat Nias awalnya menganut aliran kepercayaan politeisme dan animisme yaitu kepercayaan pada roh-roh dan benda. Pada abad ke 16 dan 17 agama Islam dan Kristen kemudian masuk dan berkembang dengan pesat hingga penganut aliran kepercayaan hampir tidak ada lagi (Pemda Nias, 2004).

Secara tradisional masyarakat Nias mengenal perbedaan status masyarakat yang didasarkan pada fungsinya dalam komunitas seperti pemimpin agama, cendekiawan, masyarakat umum, dan golongan masyarakat bawah, yaitu yang melanggar hukum dan belum mampu membayar denda (http://www.museum-nias.net/?p=181#more-181). Status tertinggi dalam masyarakat dipegang oleh seorang yang ditetapkan sebagai pimpinan dari sebuah (atau beberapa) keluarga besar yang disebut Balugu. Penetapan tersebut dilakukan melalui prosesi adat dengan menyembelih ternak dalam jumlah yang besar. Saat ini, secara perlahan-lahan status tradisional masyarakat ini mulai menghilang digantikan oleh sistem pemerintahan formal seperti kepala lingkungan, kepala desa, camat, dan bupati. Pengaruh kuat agama Islam dan Kristen yang memandang manusia sederajat juga diduga memainkan peranan penting menghilangnya perbedaan status yang berbeda-beda dalam masyarakat Nias. Komposisi pemeluk agama di Kabupaten Nias dan Desa Teluk Belukar di sajikan pada gambar berikut.

Lain-lain, Katolik, 3,

Kong Hu

Gambar 323. Komposisi pemeluk agama di Gambar 324. Desa Teluk Belukar (Kecamatan Kabupaten Nias (Pemda Nias, 2004)

Dalam Angka, 2005). Masyarakat Kabupaten Nias umumnya memeluk agama Kristen Protestan yaitu 81% disusul

kemudian Katolik 13% dan Islam 6%. Komposisi yang hampir sama juga ditemukan di Desa Teluk Belukar yang umumnya memeluk agama Protestan dan Katolik 93% dan lainnya beragama Islam 7%. Kegiatan beribadah masyarakat di Desa Teluk Belukar saat ini dilayani oleh 1 buah mesjid dan 3 buah gereja (Kecamatan Tuhemberua Dalam Angka, 2006).

Peranan pemuka agama dalam kehidupan masyarakat Desa Teluk Belukar lebih dominan pada hal- hal yang berkaitan dengan kegiatan spritual tidak banyak berperan dalam kegiatan pengelolaan desa secara umum. Meski demikian hasil wawancara menunjukkan adanya kecenderungan bahwa masyarakat akan lebih mempercayai informasi apa saja yang disampaikan oleh pemuka agama dibandingkan informasi yang disampaikan oleh pemimpin desa lainnya seperti Kepala Desa, Camat, atau pegawai pemerintah lainnya. Oleh sebab itu penyampaian pesan-pesan pengelolaan pesisir yang lestari secara terbatas bisa disampaikan melalui tokoh agama untuk mendapatkan kepercayaan audiens yang lebih luas.

500 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 500 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kabupaten Nias adalah bagian dari Pulau Nias yang secara geografis terletak di Samudra Hindia. Berdasarkan posisi geografisnya tersebut seharusnya Nias dapat mengandalkan perekonomiannya pada kegiatan sektor kelautan terutama perikanan. Pada kenyataannya kegiatan yang justru berkembang adalah pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Hal ini terlihat pada data Profil Kabupaten Nias tahun 2004 dimana pertanian tanaman pangan dan perkebunan memberikan kontribusi sekitar 30% pada pendapatan domestik bruto, sedangkan perikanan hanya memberikan kontribusi sekitar 4%.

Seperti halnya didaerah-daerah lain di Indonesia Kabupaten Nias juga masih sangat bergantung pada perekonomian yang memanen langsung sumberdaya alam meliputi kegiatan pertanian dan pertambangan (sektor primer) dan upaya perdagangan hasil-hasil alam tersebut (sektor tersier). Sedangkan pengelolaan terhadap hasil alam agar bernilai tambah melalui sektor sekunder berupa kegiatan industri pengolahan belum memberikan kontribusi yang memadai.

Fakta tersebut menyebabkan masyarakat maupun pemerintah Kabupaten Nias saat ini masih tetap menjadikan pertanian dan perdagangan sebagai sektor andalan dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Hal serupa tercermin di Desa Teluk Belukar dimana sebagian besar masyarakat tergantung pada kegiatan pertanian seperti disajikan dalam tabel dibawah ini

Tabel 210. Komposisi jenis pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat

Teluk Belukar Jenis Pekerjaan 2004 2004 2005 2004 2005

Nias Tuhemberua

Pertanian 155.053 25.771 27.121 1.459 1.440

Industri 1561 87 623 9 41 PNS, TNI, POLRI

Lainnya 26.179 2.532 2.532 115 115 Sumber: Nias dalam Angka 2004, Kecamatan Tuhemberua Dalam Angka 2004 dan 2005

Tabel 211 menunjukkan bahwa kontribusi bidang perdagangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Nias cukup besar. Hanya saja perlu untuk diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian. Oleh sebab itu pemberian insentif pada sektor pertanian akan memiliki dampak yang lebih luas bagi masyarakat, termasuk warga Desa Teluk Belukar.

Tabel 211. Kontribusi per-sektor terhadap PDRB

Tahun Berlaku

Sektor 2000 2001 2002 2003 2004*)

1. Pertanian 46,76 45,34 45,69 44,97 44,67 2. Pertambangan & Penggalian

3. Ind. Pengolahan

4. Listrik, Gas, Air

6. Perdagangan, Hotel dan

7. Pengangkutan dan Komunikasi

8. Bank, Persewaan dan Jasa

9. Jasa-jasa 10,74 10,76 10,43 11,26 11,44 Sumber: Nias Dalam Angka 2004

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Berikut adalah gambaran kegiatan perekonomian di Desa Teluk Belukar.

(1) Pertanian Padi Sawah

Salah satu tujuan utama pengembangan kegiatan pertanian di Indonesia adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok yaitu beras. Hal tersebut juga menjadi salah satu kegiatan yang penting di Kabupaten Nias. Tabel 212 memberikan gambaran mengenai luas panen padi sawah dan kisaran produksi tahun 2004 dan 2005 di Tingkat Kabupaten Nias, Kecamatan Tuhemberua, dan Desa Teluk Belukar.

Tabel 212. Produktivitas pertanian padi sawah di Kabupaten Nias

Produksi (ton)

Wilayah

Luas Panen (ha)

Produktivitas 2004 2005 (kwintal/ha)

Kabupaten Nias 19.535 67.535 71.894 36.8 Kecamatan Tuhemberua

4.237 13.871 11.162 26.3 Desa Teluk Belukar

315 nd 850 27 Sumber: Nias Dalam Angka 2004 Produktivitas pertanian di wilayah Kecamatan Tuhemberua termasuk Desa Teluk Belukar tergolong

sangat rendah yaitu sekitar 27 kw/ha dibandingkan produktivitas rata-rata Kabupaten Nias yaitu sekitar 37 kw/ha. Produktivitas padi sawah Nias sendiri menempati posisi paling bawah untuk wilayah Sumatera Utara yang rata-ratanya adalah sekitar 43 kwintal/ha (BPS Sumatera Utara, 2005).

Pengembangan kegiatan pertanian padi sawah masih memungkinkan untuk dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh karena saat ini Pulau Nias sendiri masih mengalami kekurangan beras sekitar 30 ribu ton setiap tahunnya (Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara: http://www.bahanpang.sumutprov.go.id/swasembada_beras_2004.htm).

(2) Perkebunan

Kegiatan pertanian yang menjadi andalan penghasilan utama di Desa Teluk Belukar adalah adalah kegiatan perkebunan yaitu meliputi perkebunan coklat, karet, dan kelapa. Kegiatan ini bersama-sama dengan pertanian padi sawah merupakan tumpuan penghidupan sebagian besar masyarakat. Tabel berikut memberikan gambaran keadaan umum produksi perkebunan Desa Teluk Belukar.

Tabel 213. Produksi karet, kelapa, dan coklat (ton)

Cakupan Wilayah

Kabupaten Nias

760 Kecamatan Tuhemberua

832 Desa Teluk Belukar

9 26.5 Sumber: Profil Kabupaten Nias 2004, Kec. Tuhemberua Dalam Angka 2004,

Produksi tertinggi perkebunan dihasilkan oleh getah karet kering disusul kemudian oleh coklat dan kelapa. Pada saat survey, harga jual kelapa di tingkat Desa Teluk Belukar saat ini adalah Rp 1.000,- /butir sedangkan harga jual karet adalah Rp 7.000,- /kg. Kegiatan perkebunan karet yang dikembangkan masyarakat umumnya sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu dan hingga saat ini masih merupakan penghasilan yang memberikan kontribusi yang besar dalam memenuhi kebutuhan

502 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 502 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Upaya peningkatan produksi karet melalui kegiatan peremajaan dan penanaman baru disekitar pemukiman masih memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena permintaan pasar dunia terhadap karet masih sangat tinggi. Hingga saat ini diperkirakan pasokan karet alam Indonesia masih sekitar 1/3 dari kebutuhan karet dunia.

Disamping ketiga jenis tanaman perkebunan tersebut di Desa Teluk Belukar juga dapat ditemukan rambutan, langsat, dan durian. Semua jenis tanaman perkebunan ini dikelola oleh masyarakat sebagai upaya mempertinggi kemampuan masyarakat dalam menstabilkan penghasilan sehari-hari yang terus berubah-ubah karena berbagai faktor.

(3) Perikanan

Kabupaten Nias adalah bagian dari Gugus Pulau Nias terletak di pinggir Samudra Hindia. Hal tersebut menyebabkan kegiatan usaha perikanan di Kabupaten Nias hampir seluruhnya merupakan usaha perikanan laut. Terdapat dua kecamatan yang memiliki produksi perikanan tertinggi di Kabupaten Nias yaitu Kecamatan Lahewa dan Kecamatan Tuhemberua. Desa Teluk Belukar sendiri dalam data base hingga tahun 2005 masih termasuk dalam wilayah Kecamatan Tuhemberua. Tabel 214 menunjukkan keadaan umum kegiatan perikanan di Kabupaten Nias dan Kecamatan Tuhemberua.

Tabel 214. Jenis usaha dan produksi perikanan (Ton)

Produksi (Ton) Jenis Usaha

Nias Tuhemberua

Penangkapan di laut

1.275 Penangkapan di perairan umum

16 2 Budidaya laut

10 nd Budidaya kolam tawar

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan 2005

Produksi perikanan Kabupaten Nias pada tahun 2004 adalah sekitar 5.700 ton yang meliputi ikan-ikan seperti Tongkol, Kerapu, kepiting, Rumput laut, dan lobster. Keseluruhan wilayah Sumatera Utara sendiri produksinya mencapai lebih dari 300 ribu ton. Rendahnya kontribusi peroduksi perikanan

Kabupaten Nias terhadap produksi perikanan Provinsi Sumatera Utara disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia di bidang perikanan. Seperti yang telah disebutkan dalam awal pembahasan, masyarakat Nias cenderung memilih usaha di bidang pertanian. Nelayan-nelayan biasanya adalah

masyarakat muslim yang berasal dari Minang (Sumatera Barat), Sumatera Utara, dan Aceh, yang telah bermukim dan berintegrasi dengan masyarakat asli Nias.

Publikasi resmi mengenai keragaman perikanan Desa Teluk Belukar sendiri belum bisa ditemukan sehingga tidak bisa ditampilkan dalam tabel di atas. Wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat

dan pengamatan langsung selama beberapa hari di Desa Teluk Belukar menunjukkan bahwa Desa Teluk belukar merupakan salah satu pusat pendaratan ikan yang penting di Kecamatan Tuhemberua. Oleh sebab itu, kontribusi produksi perikanan laut dari daerah Desa Teluk Belukar diperkirakan cukup tinggi terhadap total produksi Kecamatan Tuhemberua.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Wilayah Desa Teluk Belukar saat ini telah masuk kedalam wilayah kecamatan Gunungsitoli Utara dan sebuah pusat pendaratan ikan tengah dibangun di wilayah pesisir desa. Perkembangan ini semakin mempertegas posisi Desa Teluk Belukar dalam sistem perikanan di Kabupaten Nias. Oleh sebab itu terdapat kebutuhan yang mendesak untuk mentransformasi status masyarakat nelayan saat ini yang umumnya masih berstatus nelayan “one day fishing” menjadi nelayan laut lepas yang dilengkapi dengan perahu yang lebih baik lengkap dengan motornya.

Hasil produksi perikanan di Desa Teluk Belukar sendiri berasal dari dua sumber yaitu penangkapan di laut lepas di luar wilayah desa, dan penangkapan di dalam Laguna Teluk Belukar atau diperairan pinggir pantai desa. Sebagian besar jenis ikan yang didaratkan di Desa Teluk Belukar bisa ditemukan di dalam laguna atau di perairan pantai desa seperti Keleng, kerapu, kepiting, kakap, dan bawal. Jumlah anggota masyarakat yang pekerjaan utamanya sebagai nelayan diperkirakan berkisar antara

50 – 70 orang, sekitar 30 orang diantaranya telah bergabung membentuk sebuah rukun nelayan. Saat ini terdapat sekitar 20 perahu penangkap ikan yang secara rutin mendaratkan ikannya di Desa

Teluk Belukar yang masing-masing mendaratkan 5 – 10 kg ikan berbagai jenis termasuk udang. Jumlah hari penangkapan ikan di laut biasanya sekitar 15 hari dalam sebulan dengan dengan harga jual yang diperoleh sekitar 50 – 100 ribu perhari. Jumlah ini menurun sangat drastis dibanding 10 -15 tahun sebelumnya. Menurut keterangan beberapa nelayan, penurunan jumlah ini sejalan dengan semakin rusaknya kondisi terumbu karang di Nias.

(4) Peternakan

Kegiatan peternakan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Nias. Hal ini tidak terlepas dari cara masyarakat menilai status sosial seseorang yang antara lain ditunjukkan oleh kepemilikan ternak. Disamping itu, kebutuhan daging ternak di setiap pesta-pesat adat juga sangat tinggi sehingga ketersediaan ternak menjadi hal yang penting dalam masyarakat Nias. Hal tersebut menyebabkan disetiap kampung ditemui begitu banya tanaman ubi jalar yang sebetulnya merupakan bahan pakan ternak.

Meski tidak terdapat statistik resmi yang menjelaskan preferensi masyarakat dalam mengembang-kan jenis ternak, terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa masyarakat pegunungan lebih banyak memelihara ternak babi sedangkan masyarakat pesisir lebih memelihara kambing atau lembu.

Tabel 215. Produksi Ternak di Kabupaten Nias

Jenis Ternak

Kabupaten Nias

Kec. Tuhemberua

Desa Teluk Belukar

Sapi 1.799 45 21 Kambing 12.321 336 24 Babi 56.576 379 39 Unggas 745.400 52.087 1.632 Sumber: Pemda Kabupaten Nias 2004; Kecamatan Dalam Angka 2004

Komposisi jumlah dan jenis unggas pada setiap tingkatan wilayah administratif menunjukkan bahwa kegiatan peternakan di Desa Teluk Belukar belum begitu berkembang. Jumlah ternak selama setahun yang tercatat di Desa Teluk Belukar adalah sekitar 63 ekor kambing dan babi, 21 ekor sapi, dan 1.632 ekor ayam. Jika 1/3 dari jumlah ternak tersebut dalam Tabel 215 bisa dikonsumsi, dikonversi menjadi daging konsumsi pertahun, diperkirakan akan diperoleh sekitar 3.000 kg daging pertahun di desa Teluk Belukar. Jumlah tersebut jika keseluruhannya dikonsumsi masyarakat Desa Teluk Belukar hanya akan menjadikan konsumsi daging perkapita menjadi 1,2 kg per tahun, jauh dibawah konsumsi nasional yaitu sekitar 4.5 kg/tahun.

504 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa kegiatan peternakan telah berjalan lambat sejak lama dan jauh dari jumlah yang seharusnya bisa diserap oleh konsumsi lokal. Oleh sebab itu, upaya untuk mengembangkan kegiatan peternakan di Desa Teluk Belukar hanya memungkinkan jika dilakukan intervensi baik oleh Pemerintah maupun swasta. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan karena Desa Teluk Belukar masih memiliki wilayah penggembalaan yang cukup luas.

(5) Perdagangan dan Industri

Kegiatan perdagangan dan industri hampir tidak berkembang di Desa Teluk Belukar karena ketiadaan infrastruktur seperti pasar ataupun pertokoan. Transaksi jual beli bahan kebutuhan sehari-hari dilayani oleh sekitar 2 – 3 kios di sepanjang jalan desa, dan 3 kios di lokasi Tepi Laguna Teluk Belukar. Pekan atau pasar mingguan masih rutin dilakukan setiap hari Sabtu. Sementara ini, masyarakat Desa Teluk Belukar hanya menjadi penyedia bahan baku seperti kayu, kelapa, coklat, maupun produk perikanan untuk dijual atau diolah di wilayah lain sehingga wilayah lainlah yang mendapatkan nilai tambah.

Hingga saat ini tidak terdapat data publikasi pemerintah yang memadai mengenai keragaman kegiatan industri maupun perdagangan di Kabupaten Nias. Meski demikian pengamatan sehari-hari menunjukkan bahwa kegiatan perindustrian skala kecil berkembang secara menggairahkan terutama pengolahan hasil sektor pertanian seperti durian, minyak goreng, dan pengolahan ikan asin. Komoditas ini diperdagangkan antar pulau dan pengembangannya sangat tergantung pada dukungan permodalan.

Menyusul dibangunnya sebuah pelabuhan pendaratan ikan (PPI) di Desa Teluk Belukar. Diperkirakan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi sosio-ekonomi desa ini.

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

a) Ketersediaan lokasi

Berdasarkan survey, beberapa areal yang memiliki peluang untuk direhabilitasi adalah sebagai berikut:

• Areal bekas tambak (terlantar) di sebelah utara laguna = Luas potensial + 4 Ha • Areal yang telah ditebang habis oleh masyarakat

= Luas potensial + 2 Ha • Hutan mangrove yang ditebang pilih

= Luas potensial + 5 Ha • Areal di sepanjang pantai berpasir yang kosong

= Luas potensial + 10 Ha • Areal di sekitar desa (pekarangan, kaki jalan, lahan kosong) = Luas potensial + 5 Ha

Gambar 325. Beberapa lokasi sasaran untuk direhabilitasi

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Propagul untuk jenis Rhizophora apiculata, Ceriops tagal, Ceriops decandra, Xylocarpus granatum, dan Avicennia marina tersedia di hutan mangrove setepat dalam mjumlah yang memadai. Namun untuk jenis Rhizophora mucronata dan Lumnitzera littorea, ketersediaan benih sangatlah terbatas.

Benih untuk beberapa jenis tanaman pantai antara lain Nyamplung Calophyllum innophyllum, Bintaro Cerbera manghas, Cemara Casuarina equisetiolia, Malapari Pongamia pinata, dll juga masih

berpeluang tinggi diperoleh di sekitar lokasi.

c) Persepsi dan respon masyarakat terhadap rehabilitasi

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa orang, terlihat jelas bahwa persepsi msayarakt terhadap kegiatan rehabilitasi sangat kurang. Hal ini dikarenakan tingkat kesadaran dan pengetahuan mereka yang sangat kurang menganai manfaat dan fungsi ekosistem pantai, terutama mangrove. Bahkan diantara mereka memiliki anggapan bahwa mangrove merupakan habitat nyamuk atau bahkan tempat pembuangan sampah.

Namun demikian, hampir semuanya menyatakan setuju terhadap rehabilitasi. Sayangnya penduduk tidak menunjukkan antusiasme dan harapan untuk terlibat dalam kegiatan rehabilitasi. Terkait dengan kondisi ini, sosialisasi dan penyuluhan sangat diperlukan agar tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidupnya meningkat. Bila hal ini terjadi, maka kegiatan rehabilitasi yang akan dilakukan akan berjalan lebih mudah dan efektif.

d) Potensi gangguan

Ternak sapi adalah salah satu kegiatan yang berpotensi mengganggu kegiatan rehabilitasi. Pola ternak sapi di Desa Tleuk Belukar adalah melepaskan sapi di alam agar ternak mencari makan secara alami. Areal di sepanjang pantai merupakan areal yang banyak ditumbuhi oleh rerumputan, terutama di belakan zona berpasir. Kondisi ini harus dijadikan sebagai salah satu pertimbangan, terutama dalam pemilihan lokasi rehabilitasi.

Gambar 326. Ternak yang sedang merumput; salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi

506 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Ancaman yang terjadi pada ekosistem laguna teluk belukar terutama terjadi pada hutan mangrove. Pengambilan kayu untuk cerucuk dan keperluan konstruksi lainnya terjadi secara intensif sejalan dengan pesatnya pembangunan sarana fisik dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.

a) Pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)

Kegiatan lain yang diperkirakan merupakan ancaman adalah pembangunan dermaga (Pelabuhan Pendaratan Perikanan / PPI). Penelusuran dokumen lingkungan terkait dengan pembangunan fasilitas ini belum membuahkan hasil. Kekhawatiran yang muncul se hubungan dengan pembangunan fasilitas ini adalah adanya potensi perubahan penggunaan lahan secara cepat dan luas. Pembangunan fasilitas ini akan menjadi magnet untuk pengembangan kegiatan lain yang dilakukan baik oleh masayarakat setempat maupun pihak-pihak lain. Disadari atau tidak, pembangunan PPI dapat menjadi tekanan terhadap kelestarian Laguna Teluk Belukar. Sejauh ini aktivitas yang terlihat adalah pengambilan kayu bakau di sekitar laguna untuk mendukung pembangunan jalan menuju Jetty. Kayu bakau ini dijadikan terucuk/tiang sebagai penahan pembuatan kanal/saluran air di sisi kanan dan kiri jalan menuju Jetty. Pembangunan ini tentunya membutuhkan jumlah kayu bakau yang sangat banyak, hal ini tentu berdampak buruk bagi kelestarian hutan mangrove yang memiliki nilai penting secara ekologis, serta yang memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar yang menari nafkah dengan mencari: ikan, udang, dan kepiting bakau Di masa mendatang, aktivitas PPI dapat memberi ancaman baru, seperti: pencemaran oleh tumpahan minyak kapal, kebisingan dan sampah.

Gambar 327 Pintu Gerbang calon bangunan kantor PPI (kiri) dan bangunan Jetty yang menjorok ke

laut (kanan)

Selama pengamatan dilapangan, beberapa kali dijumpai aktivitas pengambilan kayu bakau dari wilayah Laguna Teluk Belukar, baik aktivitas penebangan dan pengangkutan kayu bakau. Di lokasi juga dijumpai di beberapa kayu bakau yang telah ditebang dan siap di angkut oleh pemiliknya. Hal ini merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan satwa liar di lokasi ini.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 328. Kayu bakau siap angkat yang di ambil dari kawasan Laguna Teluk Belukar (kiri); kayu bakau yang digunakan untuk membangun saluran air di kiri kanan jalan menuju Jetty (kanan)

Pembangunan PPI juga diikuti dengan pembangunan jalan sepanjang lebih kurang 2 km. Jalan ini telah memfragmentasi hutan bakau dengan rawa air tawar di belakangnya, serta mempermudah akses untuk memasuki hutan bakau. Hasil pengamatan menunjukkan adanya pembukaan jalan yang menghubungkan antara jalan menuju pelabuhan dengan pinggir/tepi laguna. Jalan dengan lebar ± 6 meter di bangun dengan membuka tegakan hutan mangrove. Jalan ini dibuka oleh salah satu penduduk Desa Teluk Belukar, dengan harapan dapat membuka usaha, seperti rumah makan, atau lainnya.

Gambar 329. Pembuatan saluran dari jalan yang baru dibuka sampai ke laguna

b) Pengembangan objek wisata

Kegiatan lain yang perlu dicermati di Teluk Belukar adalah pengembangan objek wisata. Hingga saat ini sudah terdapat dua lokasi pengembangan wisata di sekitar teluk belukar. Yang pertama adalah kawasan wisata Muara Indah yang dikelola oleh pemerintah dan yang kedua adalah Pantai Indah Charlita yang dikelola oleh swasta. Khusus kawasan muara Indah, Pemerintah Daerah (Dinas Pariwisata) telah menyusun rencana pengembangan kawasan Muara Indah.

Dalam dokumen yang telah disusun untuk rencana tapak, kawasan Muara indah akan dikembangakan menjadi kawasan wisata yang lebih lengkap. Jika saat ini hanya tersedia fasilitas yang relative sederhana, maka dalam rencana pengembangan tersebut, kawasan muara indah akan dilenkapi dengan arena bermain, menara pengamat satwa, parker dan sarana penunjang lainnya.

508 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 508 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kegiatan lain yang memberikan ancaman adalah kegiatan atau rencana pengembangan yang dikembangkan oleh masyarakat pemilik lahan. Salah satu contoh dari kegiatan ini ditemukannya rintisan antara koordinat 1° 23’ 26.1” LU dan 97° 31’ 59.2” yang terletak di tepi danau hingga koordinat 1° 23’ 28.3” LU dan 97° 31’ 45.9” di dekat jalan PPI. Rintisan yang dilengkapi parit ini panjangnya lebih kurang 490 m dan memfragmentasi hutan bakau dengan lebar lebih kurang 5 meter.

Kegiatan lain yang juga merupakan ancaman terhadap ekositem lahan basah adalah penimbunan saluran-saluran alami (sungai-sungai kecil) seperti ditemukan pada koordinat 1° 23’ 58.8” LU 97° 32’ 30.5” BT dan 1° 24’ 11.5” LU 97° 32’ 30.0” BT.

d) Kegiatan bantuan ekonomi

Berkaitan dengan rekonstruksi ekonomi paska Tsunami, di Teluk Belukar telah dilakukan upaya- upaya peningkatan pendapatan masyarakat. Usaha untuk merintis budidaya perikanan sudah pernah dilakukan. COREMAP, dalam rangka pemberdayaan masyarakat pasca bencana, telah mengembangkan budidaya (pembesaran) kepiting dengan system karamba. Sangat disayangkan bahwa usaha ini terhenti di tengah jalan karena kurang sinergisnya keharmonisan antar kelompok yang diberi bantuan dan masyarakat yang tidak diberi bantuan.

e) Kegiatan rehabilitasi

Walaupun pengrusakan hutan alam tetap terjadi di Teluk Belukar, kegiatan rehabiltasi dengan penanaman tetap berjalan. Kegiatan rehabilitasi pernah dilakukan di Teluk Belukar. Pada tahun 2006, proyek GNRHL telah diluncurkan di Laguna Teluk Belukar dengan target luasan 200 Ha dengan jumlah 830.000 bibit. Berdasarkan informasi dari lapangan, proyek ini tidak berjalan baik mengingat hampir semua bibit tidak ditanam, melainkan hanya ditimbun pada banyak titik di sekeliling laguna. Hal ini diperuat oleh hasil pengecekan lapangan yang menjumpai bekas timbunan bibit tersebut.

Gambar 330. Bibit yang tidak ditanam, hanya ditimbun di beberapa tempat dan mati Proyek ini melibatkan 5 Kelompok Tani dimana maisng-masing dialokasikan Rp. 30.000.000,- untuk

melakukan kegiatan penanaman. Dalam kenyataannya, kegiatan penanaman tidak dilakukan sebagaimana mestinya dan bahkan kelompok tani tersebut saat ini tidak jelas, baik kegiatan maupun keanggotaannya.

(1) Pengalaman pembibitan

• Pembibitan Bakau (Rhizophora apiculata) Secara awam, masyarakat Desa Teluk Belukar masih belum mengenal pembibitan mangrove.

Diantara penduduk, hanya ada seorang warga yang memiliki pengalaman dalam pembibitan bakau yaitu Pak Lindung. Pengalaman ini diperoleh pada saat yang bersangkutan membantu seorang pengusaha medan (perusahaan pembibitan) yang beberapa tahun yang lalu memperoleh kontrak pengadaan bibit. Dalam kegiatan ini, jenis mangrove yang dibibitkan adalah Rhizophora apiculata yang hampir seluruh benihnya diambil dari hutan mangrove Teluk Belukar. Luas persemaian diperkirakan + 1 Ha dengan kapasitas persemaian 1 juta bibit.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Saat ini hanya tersisa beberapa ribu dari + 700 ribu bibit yang dahulu dibibitkan. Bibit yang tersisa ini dijual bebeas dengan harga Rp. 700,- per bibit. Berbeda dengan dulu yang terawat, persemaian saat ini tidak terawat bahkan hampir semua bedeng-bedeng sapih sudah tidak ada atau rusak. Berdasarkan pengamatan, bibit-bibit yang tersisa ini telah siap tanam karena telah mampu bertahan dalam kondisi tanpa naungan.

Gambar 331. Bibit yang tidak ditanam, hanya ditimbun di beberapa tempat dan mati Berdasarkan pengalaman ini, Pak Lindung mengerti akan seluk beluk bisnis bibit mangrove. Bahkan

beliau secara pribadi telah mengembangkan persemaian di tempat lain karena melihat potensi yang besar dalam bisnis bibit ini.

• Pembibitan mahoni Swietenia mahagony Rehabilitasi hutan dan lahan dari tahun ke tahun dilakukan diseluruh penjuru Indonesia, termasuk di

Nias. Volume kegiatan semakin bertambah setelah di mulainya Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Secara signifikan, permintaan akan bibit-bibit kehutanan meningkat tajam. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya persemaian-persamain milik perseorangan yang sengaja di arahkan untuk tujuan komersial.

Di desa Teluk Belukar telah terdapat satu unit persemaian Mahoni Swietenia mahagony yang dikelola oleh salah seorang warga yang memiliki informasi mengenai proyek-proyek GNRHL di kabupaten. Dengan demikian, peluang bibit untuk laku terjual sangatlah tinggi. Jenis bibit (Mahoni) sengaja dibibitkan karena bibit inilah yang sesuai dengan DIP (Daftar Isian Proyek). Hingga saat ini, pemilik persemaian belum pernah memanfaatkan benih yang ada di desa melainkan membelinya dari Bogor.

Gambar 332. Persemaian mahoni Swietenia mahagony

510 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(2) Pemanfaatan bakau sebagai tanaman Pagar

Hanya sebagian kecil masyarakat yang telah familiar dengan penanaman bakau. Yang unik adalah bahwa sebagian masyarakat menanam bakau disekeliling pekarangan dengan jarak tanam yang sangat rapat. Dalam hal ini, tanaman bakau ini berfungsi sebagai tanaman pagar. Umumnya, penanaman bakau sebagai tanaman pagar ini dilakukan pada tanah yang dibatasi oleh parit atau alur sungai (lihat gambar di bawah).

Gambar 333. Penanaman bakau Rhizophora apiculata sebagai tanaman pagar oleh penduduk

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolan Konservasi Lahan Basah

Laguna Teluk Belukar adalah sebuah perairan payau yang merupakan bagian dari wilayah pantai Desa Teluk Belukar. Hasil pengamatan dilapangan terhadap bentang alam Laguna Teluk Belukar dan wawancara langsung dengan masyarakat desa maupun pengunjung menunjukkan bahwa laguna Teluk Belukar kemungkinan besar memiliki nilai ekonomi yang besar. Hal tersebut terutama diperoleh dari kriteria manfaat tidak langsung (indirect use value) sebab kawasan ini merupakan benteng alami desa dari proses alam yang merusak seperti tsunami maupun badai.

Nilai ekonomi lain yang besar yang dimiliki oleh Laguna Teluk Belukar juga diperoleh dari nilai keberadaan (existing value) dan nilai pewarisan (bequest value). Hal tersebut diperoleh dari status Laguna Teluk Belukar yang merupakan ekosistem mangrove terbaik yang tersisa sekaligus merupakan bentang alam pesisir yang unik yang tersisa di Nias.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa nilai pemanfaatan langsung (direct use value), cenderung dinilai lebih rendah oleh masyarakat dibandingkan nilai aktualnya karena minimnya teknologi dan insentif pemerintah untuk mendukung pengembangan laguna. Pemahaman nilai ekonomi masyarakat terhadap keberadaan laguna juga umumnya masih relatif rendah. Hal ini ditunjukkan hasil wawancara willingness to pay masyarakat yang rendah jika diminta berkontribusi demi mempertahankan keutuhan laguna. Hanya sebagian kecil anggota masyarakat terutama pengusaha wisata di laguna yang bersedia menyisihkan maksimal 10% dari penghasilannya asalkan ekosistem laguna dibiarkan alami.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 334. Peta sosial Desa Teluk Belukar.

Keterangan: Lingkaran merah adalah letak Laguna Teluk Belukar yang tidak tercantum dalam peta.

Kehidupan sosial masyarakat Desa Teluk Belukar juga lebih terfokus pada kehidupan di ”daratan” yaitu pertanian, perkebunan, dan peternakan. Keberadaan Laguna Teluk Belukar hampir tidak menjadi bagian dalam kehidupan sosial misalnya sebagai tempat upacara-upacara adat atau bagian dari seni dan kebudayaan lokal. Peta sosial yang disusun oleh masyarakat untuk menggambarkan pembagian wilayah, pusat-pusat pelayanan publik dan sumberdaya alam Teluk Belukar ternyata sama sekali tidak memasukkan Laguna Teluk Belukar sebagai komponen penting desa. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Laguna Teluk Belukar bukanlah bentang alam yang unik dan membutuhkan perhatian khusus bagi masyarakat.

Rendahnya willingness to pay masyarakat desa untuk mempertahankan kondisi Laguna ditambah dengan tidak hadirnya laguna secara memadai dalam kehidupan sosial budaya masyarakat menunjukkan perlunya upaya besar-besaran dalam peningkatan kepedulian (awareness) masyarakat terhadap nilai penting keberadaan laguna Teluk Belukar. Upaya ini menjadi semakin penting karena belakangan ini pembangunan infrastruktur berkembang sangat pesat dan perlahan-lahan menggusur ekosistem laguna.

Dilihat dari beragamanya Keanekaragaman hayati di Laguna Teluk Belukar, memberikan salah satu gambaran bahwa ekosistem yang ada memiliki fungsi penting bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Selain itu, panorama alam, pantai, hutan mangrove, laguna merupakan suatu gabungan potensi yang sangat penting untuk dikelola secara baik dan hati-hati. Beberapa potensi yang dapat dikembangkan di lokasi ini, antara lain :

• Rekreasi & Wisata. Panorama di Luaha Talu, ekosistem mangrove serta pantai yang ada merupakan potensi objek-objek wisata yang telah ada. Untuk wisata minat khusus, pengamatan satwa-liar juga menarik untuk dikembangkan, misalnya pengamatan jenis-jenis herpetofauna di malam hari, pengamatan burung.

• Penelitian dan Pendidikan. Kondisi vegetasi (mangrove & hutan pantai), bio-fisik perairan, dan satwa liar yang hidup didalamnya, penting untuk terus dipantau, diteliti untuk dapat memberikan informasi dapat mendukung pengelolaan kawasan secara benar, baik dan lestari. Selain itu, kawasan teluk belukar merupakan lokasi yang menarik untuk pendidikan dan pengenalan mengenai lingkungan hidup.

512 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Budidaya. Dalam jumlah dan kapasitas yang terukur, budidaya kepiting, ikan dan teripang dapat dilakukan untuk mendukung perekonomian masyarakat sekitar. Hal ini memerlukan pengelolaan yang baik serta koordinasi yang baik agar tidak melebih dari daya dukung ekosistem yang ada. Pola pengembangan budidaya perikanan dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku dianjurkan, sehingga masyarakat merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga untuk sehingga tercipta kesinambungan.

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

Rehabilitasi mangrove dan pantai berpasir sangat direkomendasikan mengingat ekositem Teluk Belukar telah mengalami kerusakan. Di bawah ini adalah beberapa rekomendasi terkait dengan kegiatan reabilitasi yang akan dilakukan.

(1) Rehabilitasi Mangrove

Penanaman bakau sangat direkomendasikan di areal bekas tambak, areal yang telah ditebang habis, hutan bakau yang ditebang pilih, serta beberapa lokasi lain yang mengalami kerusakan. Jarak tanam untuk penanaman bakau disarankan 1 m x 1 m atau 1 m x 2 m.

Jenis mangrove yang ditanam sebaiknya mencakup seluruh spesies yang ada di Teluk Belukar antara lain Rhizophora apiculata, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Lumnitzera spp., Sonneratia spp, Avicennia spp dll (lihat pada tabel jenis mangrove di atas). Namun demikian, penekanan khusus sebaiknya juga diarahkan pada jenis-jenis yang jarang dijumpai di lapangan, terutama lain Rhizophora mucronata dan Lumnitzera spp.

Persemaian dapat dibangun di dalam tambak yang terlantar atau lokasi lain di sekitar laguna yang sesuai. Untuk mendapatkan lokasi yang tepat, pengamatan pasang dan surut air sebaiknya dilakukan terlebih dahulu pada lokasi yang dicalonkan sebagai areal persemaian. Di bawah ini adalah beberapa kriteria yang sebaiknya dipenuhi dalam memilih lokasi persemaian.

• Substrat : tanah berlumpur, lumpur berpasir , pasir berlumpur • Terkena pasang surut air laut • Salinitas kurang dari 30 permill • Bebas dari arus kuat dan ombak • Topografi datar • Dekat dengan lokasi penanaman • Lokasi mudah dijangkau • Dekat dengan tenaga kerja • Dekat dengan sumber media

Berdasarkan observasi di lapangan, potensi anakan di dalam hutan mangrove sangatlah tinggi. Sebagaiman disebutkan diawal bahwa penghitungan manual pada plot pengamatan berukuran 10 m x

10 m di bawah pohon induk Ceriops decandra menemukan 870 anakan dalam. Dalam kondisi ternaungi, anakan-anakan tersebut akan mampu hidup dengan baik namu akan mengalami kesulitan untuk bertumbuh, terutama pertambahan tinggi.

Anakan alam yang melimpah ini merupakan potensi terpendam yang sebaiknya dimanfaatkan untuk kepentingan rehabilitasi. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pemindahan anakan ke lokasi penanaman secara langsung (distribusi anakan). Untuk menunjang kegiatan ini, perlu dibuat suatu alat khusus yang bernama CORER. Dengan alat ini, pemindahan anak dapat dilakukan secara langsung sekaligus dengan medianya. Dengan cara ini, maka stress bibit dalam proses pemindahan ini dapat diminimalisir. Selain itu, hasil dari kegiatan penanaman melalui cara ini jauh lebih cepat terlihat.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 335. Desain sederhana alat pengambil anakan alam (CORER)

(2) Rehabilitasi pantai berpasir

Penanaman beberapa jenis tanaman pantai daratan (terestrial) seperti Nyamplung Calophyllum inophyllum, Ketapang Terminalia cattapa, Putat laut Barringtonia asiatica, Cemara Casuarina equisetifolia, Bintaro Cerbera manghas, Malapari Pongamia pinata dan beberapa jenis lainnya direkomendaiksn dilakukan di sepanjang pantai berpasir terutama yang mengalami gangguan.

Berbeda dengan persemaian mangrove, persemaian untuk tanaman pantai daratan harus terbebas dari genangan air. Lokasi persemaian harus kering namun harus memenuhi beberapa kriteria dibawah ini:

• Substrat : tanah berpasir • Kering, bebas dari pasang surut air laut • Topografi datar • Dekat dengan lokasi penanaman • Lokasi mudah dijangkau • Dekat dengan tenaga kerja • Dekat dengan sumber media

Penanaman jangan dipaksakan pada lokasi secara terus menerus atau periodik terkena air laut. Walaupun tidak sampai menggenang, air laut akan menyebabkan salinitas tanah tinggi sehingga tanaman akan stress dan mati. Lokasi penanaman sebaiknya mengacu pada beberapa kriteria di bawah ini:

(3) Pantai berpasir

Telah ada indikator biologis berupa Katang-katang Ipomea pes-caprae. Atau minimal telah ada tumbuhan perintis.

• Diusahakan dekat dengan persemaian • Lokasi mudah dijangkau • Dekat dengan tenaga kerja • Tidak rawan terhadap hama

Selain kriteria-kriteria di atas, kejelasan status dan kepastian peruntukan areal juga harus diperhatikan. Berdasarkan pengalaman, tanah milik lebih beresiko terhadap keamanan tanaman di masa mendatang. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki rencana yang berbeda-beda terhadap propertinya. Bisa saja areal yang telah ditanami kemudian dibongkar kembali karena tanah tersebut akan dibangun rumah atau bangunan lainnya. Oleh karena itu, lokasi yang akan ditanami sebaiknya tanah milik negara dan dalam kegiatan rehabilitasi tersebut harus berkoordinasi dengan instansi terkait (pemerintah).

514 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

(4) Areal yang sebaiknya dihindari

Tidak semua areal yang terdegradasi atau terbuka cocok untuk direhabilitasi. Lokasi yang prosektif untuk direhabilitasi haris memenuhi beberapa kriteria, terutama terkait dengan aspek kesesuaian (suitability) dan feasibility. Aspek kesesuaian meliputi beberapa parameter antara lain kondisi tanah, genangan, tutupan lahan dll. Sementara itu aspek feasibility meliputi beberapa pertimbangan pendukung (umumnya non teknis) namun mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi misalnya kapasitas masyarakat, jarak, potensi hama dan penyakit dll. Berdasarkan survey yang dilakukan di desa Teluk Belukar, terdapat beberapa lokasi yang sebaiknya dihindarkan untuk ditanami antara lain pantai berpasir yang masih labil, lokasi yang dalam waktu mendatang dirubah peruntukannya, dan lokasi yang rawan terhadap hama.

(5) Penanaman di sekitar desa

Untuk meningkatkan produktifitas lahan dan memperbaiki kualitas lingkungan, penanaman juga direkomendasikan di sekitar desa terutama di sekitar pekarangan, kanan kiri jalan dan lahan kosong.

Untuk di pekarangan rumah, jenis tanaman yang dipilih sebaiknya yang memiliki nilai ekonomi antara lain Pinang Areca cathecu, Kemiri Aleurites moluccana, Jeruk nipis Citrus spp, Belimbing wuluh Averhooea bilimbi, Mangga Mangifera indica dll. Kuda-kuda Lannea spp, Jarak pagar Jatropha curcas, dan Gamal Girichidia sepium bisa dijadikan altrnatif sebagai tanaman pagar. Sementara di kanan kiri jalan, jenis tanaman yang dipilih sebaiknya yang memiliki tutupan tajuk yang lebar, berkayu kuat dan berumur panjang seperti Mahoni Swiatenia mahagony, Asam Jawa Tamarindus indica, Ki hujan Samanea saman dll. Untuk merehabilitasi lahan-lahan kosong di sekitar desa, jenis tanaman yang bernilai estetika seperti Bauhinia purporia, Minosops elengi dan Felicium decipiens sangat disarankan.

Kegiatan rehabilitasi yang akan dilakukan harus dibarengi dengan beberapa kegiatan sebagai berikut: • Sosialisasi harus diberikan kepada masyarakat secara berkesinambungan tentang arti

penting, fungsi dan manfaat hutan mangrove. Melalui langkah ini, kesadaran masyarakat (terhadap arti penting mangrove) akan meningkat. Hal ini diharapkan akan mengurangi laju degradasi terhadap hutan mangrove di Teluk Beukar.

• Bilamana memungkinkan, Kelompok Tani yang telah terbentuk diaktifkan kembali dan diarahkan sebagai pelaksana dalam kegiatan rehabilitasi. Apabila hal ini terealisir maka kegiatan rehabilitasi diharapkan akan dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

• Pelatihan harus dilakukan untuk menigkatkan kapasitas masyarakat, untuk mendukung kegiatan penanaman mangrove.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

P. TELUK DALAM (BAWONOHONO AND HILIZIHONO)

Di lokasi Teluk Dalam kegiatan dilakukan di dua desa yaitu Bawonohono dan Hilizihono yang letaknya berdekatan. Walaupun program penanaman GC2 dilakukan di kedua desa tersebut, program bantuan ekonomi hanya dilakukan di desa Hilizihono.

1. Profil Umum Lokasi

Teluk Dalam sendiri adalah Ibukota Kabupaten Nias Selatan dan juga nama untuk sebuah kecamatan di Kabupaten Nias Selatan. Kecamatan Teluk Dalam terletak diujung selatan Pulau Nias dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Amandraya, dan Kecamatan Lahusa. Kata Teluk Dalam diambil dari nama Teluk dibagian selatan Pulau Nias yang kemudian juga menjadi nama Kota, nama Kecamatan dan sekaligus menjadi Ibukota Kabupaten Nias Selatan. Dalam bahasa Nias Selatan, kota Teluk Dalam juga sering disebut sebagai Luahaziwara-wara yang artinya adalah tempat pertemuan seluruh penduduk Kecamatan Teluk Dalam setiap hari pekan dulunya.

Total jumlah desa yang terdapat di Kecamatan Teluk Dalam adalah 38 Desa dan 1 Kelurahan.

0 Secara geografis wilayah Desa Hilizihono dan Bawonohono dterletak pada 28,5 0 LU – 76 BB dengan luas sekitar 600Ha. Untuk mencapai wilayah ini dapat ditempuh dengan perjalanan laut dari Sibolga

selama 10-12 jam atau dengan perjalanan udara dari Medan selama 1 jam dengan Pesawat udara ke Binaka di kabupaten Nias dan dilanjutkan dengan perjalanan darat selama 3 jam ke Kabupaten Nias Selatan. Jarak antara Desa Hilizihono dan Bawonohono ke Ibukota Kecamatan adalah sekitar 5km. Desa Hilizihono secara administratif berbatasan dengan

• Sebelah Timur : Desa Hiligeho • Sebelah Barat : Bawomtaluwo • Sebelah Utara : Bawamataluo • Sebelah Selatan : Lautan

Desa Hilizihono dan Bawonohono adalah salah desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. Teluk dalam sangatlah terkenal sebagai salah satu objek lokasi wisata selancar di Kabupaten Nias. Sebelum tsunami dan gempa 2005, di Teluk Dalam sering diadakan lomba selancar tingkat internasional. Namun demikian hal ini tidak membuat fasilitas pariwisata di Teluk Dalam mendukung pariwisata internasional tersebut. Sebagai contoh fasilitas hotel yang minim serta kondisi jalan yang kurang baik.

Bentang lahan pesisir Bawonohono dan Hilizihono berupa teluk dengan garis pantai berpasir pada teluknya dan pantai berbatu pada bagian tanjungnya.

Pada daerah pasang surut terdapat komunitas mangrove atau dataran pasir atau campuran pasir dan lumpur. Di bagian belakang terdapat rawa belakang pantai yang umumnya sudah dikelola menjadi kebun-kebun kelapa. Secara fisiografi merupakan bagian dari system lahan Pulau Rotan (PRT) dan Kahayan (KHY).

516 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 336. Posisi lokasi Bawonohon dan Hilizihono di wilayah Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan

Fisiografi merupakan bentukan alam dipermukaan bumi yang didasari oleh proses-proses pembentukannya. Fisiografi ini umumnya diartikan pada skala besar dan pada skala yang lebih kecil dapat dikelompokkan mejadi satuan lahan (landform) yang mengimformasikan karateristik lahan yang berkairan erat dengan klasifikasi kemampuan lahan.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, daerah Bawonohono dan Hilizihono termasuk sistem fisiografi Aluvial Marin, yaitu Pesisir/Beting pasir (sand dune/sand barier). Topografi di sekeliling kawasan laguna merupakan daerah yang datar (lereng 1 – 3 persen).

Sebagian Pulau Nias merupakan daerah pegunungan tua dengan berbagai macam batuan mulai dari batuan ultrabasa, batuan malihan dan sedimen. Batuan-batuan tersebut menjadi bahan induk tanah yang ada saat ini.

Daerah ini mempunyai formasi geologi Aluvium (Qa) yang terdiri dari Lempung, pasir lepas, lumpur dijumpai disekitar sepanjang laguna. Formasi Aluvium ini merupakan bahan penyusun tanah yang dominant. Selain itu dijumpai juga Formasi Gunungsitoli (Qtg) yang menurunkan bahan induk tanah liat dan lempung dengan kadar kapur cukup tinggi sehingga menyebabkan tanah-tanah mempunyai reaksi tanah agak alkalis. Formasi Gunungsitoli dijumpai disekitar peralihan dataran berombak sampai perbukitan.

2. Tipologi Lahan Basah

Kompleks Ekosistem lahan basah di kawasan Hilizohono dan Bawonohono mempunyai beragam type habitat lahan basah. Di daratan terdapat lahan rawa air tawar dan sungai permanent. Di pesisir terdapat type pantai berpasir dan estuaria. Di daerah intertidal terdapat hutan mangrove, dataran lumpur (mud flat) dan reef flat dan di laut terdapat formasi karang tepi (fringing reef).

C= Coral reef Mengacu pada peta yang di unduh dari situs internet – http://imars.marine.usf.edu, formasi terumbu

karang yang terdapat di sekitar Hilizihono dan Bawonohono adalah Fore Reef dan Reef flat. Fore reef adalah terumbu karang yang merupakan bagian dari Fringing reef atau karang tepi yang langsung berhadapan dengan laut lepas. Reef flat atau rataan terumbu adalah bagian dari karang tepi yang berada di daerah pasangsurut dan dapat terkena atau terpapar sinar matahari langsung.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

E = Sandy beach Pada dasarnya pantai di hilizihono dan bawonohono merupakan pantai berpasir. Butir pasir berukuran

halus sampai kasar dan berasal dari endapan sungai dan endapan laut/pantai. Pasir yang berada di daerah pasang surut kadang bercampur Lumpur membentuk fraksi Lumpur berpasir atau pasir berlumpur.

F = Estuarine Di bawonohono dan hilizihono masing masing terdapat 1 muara sungai. Tidak terlalu dalam dengan

endapan Lumpur tidak terlalu banyak.

G = Intertidal mud / sand flats Dataran Lumpur/pasir pasangsurut sebenarnya bukan merupakan 2 tipe yang terpiash. Dalam hal ini

dataran Lumpur/pasir dimksudakn adlah suatu dataran pasang surut dengan substrat Lumpur bercampur Lumpur atau Lumpur bercampur pasir.

I = Intertidal forested wetlands (mangrove) Intertidal forested wetlands yang berupa mangrove terdapat di tanjung di belakang karang tepi seperti

terdapat di hilizihono. Hutan mangrove juga terdapat di tepi tanjung di dekat muara sungai seperti terdapat di bawonohono.

M = Permanent river Masing masing sungai permanent di permanent di bawonohono dan hilizihono mempunyai lebar

sekitar 10 m. Xf = freshwater tree dominated wetlands Rawa air tawar yang didominasi pohon umumnya tidak lagi dalam kondisi alami. Sebagian besar telah

dibuat alur-alur saluran air dan menjadi kebun kelapa.

518 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Kompleks ekosistem lahan basah di bawonohono dan hilizihono merupakan suatu perpaduan antara berbagai type habitat lahan basah pesisir. Meskipun tidak semuanya mempunyai skala yang luas tetapi variasinya banyak. Hampir semua tipe habitat pesisir terdapat di kawasan tersebut, yaitu mangrove, pantai berpasir, estuary, mud/sand flat dan terumbu karang. Di formasi karang tepi yang ada juga dan areal asang surut berpasir teramati sedikit komunitas lamun yang tersebar secara sporadic.

Dengan kondisi yang demikian diperkirakan tidak terdapat suatu type habitat yang memberikan sumbangan energi yang dominan dari keseluruhan aliran energi dalam ekosistem. Masing-masing type habitat memberikan kontribusi yang kurang lebih seimbang dalam keseluruhan energy budget dalam ekosistem. Kerusakan pada salah satu type habitat dapat mengganggu secara siginifikan pada pemenuhan dan aliran enenrgi dalam ekosistem.

Sumbangan energi dalam bentuk material organic tampaknya juga diberikan oleh ekosistem sungai dan rawa air tawar di belakangnya. Hal ini teramati di sungai yang ada di hilizihino. Di sekitar muara sungai terkumpul cukup banyak bahan organic di kedua sisi muara. Tumpukan serasah yang sudah hancur ini diperkirakan terangkut oelh aliran air dari hulu dan diendapkan di sekitar muara.

Seperti halnya pantai berpasir pada umumnya, di lokasi pengamatan terdapat fenomena pergeseran posisi sediment (pasir). Di bawonohono, lokasi yang sebelumnya tergenang pada saat surut sekarang menjadi tempat dimana tumpukan pasir lebih banyak. Tanaman mangrove yang ditanam di tempat tersebut menjadi terkubur pasir sampai lebih dari setengah tinggi anakan. Hal yang sama teramati di Hilizihono, substrat pada komunitas mangrove alami yang ada telah tertutup pasir yang cukup tebal dan padat. Bahkan di tempat tersebut sangat sedikit dijumpai anakan/seedling. Diperkirakan tumpukan pasir telah ada dalam periode yang cukup lama yang menghambat propagul yang jatuh untuk menancap pada substrat.

Meskipun luasannya tidak besar, sand/mud flat yang ada ternyata juga disinggahi jenis burung air baik yang migrant maupun penetap, meskipun kedua-duanya tidak terlihat dalam kelompok atau jumlah indidvidu yang banyak.

3. Profil Vegetasi

a) Hilizihono

Berdasarkan observasi di lapangan, tim menjumpai suatu hamparan pantai berpasir dengan topografi yang cukup landai. Dalam kondisi surut, sekilas daerah pasang surutnya mud flat dimana terdapat lapisan lumpur yang cukup. Saat surut, areal ini seringkali dikunjungi oleh burung pantai. Masih dalam hamparan yang sama, terdapat pantai berkarang dengan bentuk menyerupai teluk yang di atasnya terdapat formasi mangrove yang tersusun dari beberapa jenis yaitu R. mucronata, R. apiculata dan Sonneratia alba, Avicennia marina dan Xylocarpus granatum. Di belakang pantai berpasir, setidaknya terdapat beberapa tipe vegetasi/formasi yang terbentuk secara alami yaitu formasi Pes-Caprae, semak belukar, dan vegetasi rawa. Selain formasi alami, terdapat juga tipe vegetasi buatan yaitu perkebunan kelapa dalam Cocos nucifera. Profil vegetasi di pantai Hilizihono secara sederhana dapat digambarkan melalui ilustrasi di bawah ini.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Muara

Pantai

Kebun Kelapa

Semak belukar pantai

Zona pasang surut dan genangan

Rawa Perairan sedang-

dalam

Mangrove

Pantai berkarang

Mangrove Kebun Kelapa

Formasi PC Semak pantai Veg. Rawa

Gambar 337. Profil melintang yang menggambarankan kondisi vegetasi di Pantai Hilzigono

Paragraf di bawah ini, lebih lanjut, memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenai masing- masing formasi/tipe vegetasi yang dijumpai di pesisir pantai Hilihono-Nias.

• Formasi mangrove Di pantai ini, formasi mangrove tumbuh di dua jenis substrat yang berbeda yaitu di substrat pasir

berlumpur dan substrat berkarang. Di substrat berkarang, jenis mangrove yang dijumpai hanya ada dua spesies yaitu Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Sementara di substrat pasir berlumpur, komposisi mangrove lebih banyak, setidaknya terdiri dari 6 spesies yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia marina, Xylocarpus granatum, Aegiceras spp dan Sonneratia caseolaris. Di pantai berkarang, mangrove tumbuh secara sporadis melaui koloni-koloni kecil. Sementara di substrat pasir berlumpur, mangrove tumbuh secara berkelompok dengan kerapatan yang cukup tinggi.

520 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 338. Mangrove di substrat berkarang (atas) dan substrat pasir berlumpur bawah) • Formasi Pes Caprae

Formasi Pes-Caprae di pantai ini sangat tipis dan bahkan sering bersatu dengan semak yang terhampar di pantai ini. Herba galaran Ipomea pes-caprae mendominasi penutupan dan secara sporadik di tumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan pionir lainnya misalnya teki laut Ischaemum muticum, Cyperus stoloniferius, Fimbristylis cymosa Biduri Calatropis gigantea, kacang laut dan Canavalia maritima.

• Semak pantai Formasi ini merupakan barisan vegetasi daratan yang paling depan. Semak belukar pantai ini

terbentuk dari berbagai bentuk tumbuhan dari herba, climber, semak hingga pohon. Beberapa jenis tumnbuhan yang umum dijumpai di formasi ini antara lain Ketapang Terminallia cattapa, Waru Hibiscus tilacues, Desmodium umbellatum, Malapari Pongamia pinnata, Biduri Calatropis gigantea, Clerodendrum inerme, Uncaria spp, Katang-katang Ipomea pes-caprae, Cuscuta australis, paku hurang Stenochlaena palustris dan paku resam Gleichnia linearis .

Gambar 339. Kondisi semak belukar di pantai Hilizihono

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Vegetasi Rawa Suatu rawa dengan bentuk memanjang dijumpai dalam baris yang sama dengan dengan semak

belukar. Posisi rawa ini lebih mendekati formasi mangrove dimana keduanya memiliki keterkaitan secara hydrologis. Secara umum, penutupan rawa dikuasai oleh perumpung Praghmites karka. Namun bila diperhatiakn dengan sesama, beberapa tumbuhan herba lain dapat dijumpai terutama Typha angustifolia, Flagellaria indica, Mikana coordhata, dan Alang-alang Imperata cylindrica. Di sela-sela dominasi tumbuhan perumpung, tim menjumpai beberapa batang palem Nibung Oncosperma tiggilarium.

Gambar 340. Areal berawa yang didominasi oleh Perumpung Praghmites karka

• Kebun Kelapa Secara umum, pesisir Hilizihono didominasi oleh Kebun Kelapa. Kebun kelapa ini terhampar di

sepanjang pantai dengan lebar hingga beberapa kilometer. Berdasarkan informasi dari penduduk, kebun kelapa seluas ini dimiliki oleh tiga orang. Penutupan di kebun ini tentuya dikuasai oleh pohon kelapa Cocos nucifera yang rata-rata tingginya berkisar 7-15 meter. Di barisan depan kebun yang mendekati pantai, masih banyak dijumpai beberapa tumbuhan khas pantai antara lain Pandan Pandanus tectorius, Gabusan Scaevolia taccada, Malapari Pongamia pinnata, Mengkudu Morinda citrifolia, Ara Ficus spp., Leea indica, Ketapang Terminalia cattapa, Waru Hibiscus tiliaceus, dan Dadap laut Erithryna variegate.

Semakin ke dalam kebun kelapa, jenis-jenis tumbuhan tersebut semakin berkurang dan digantikan dengan hadirnya beberapa jenis tumbuhan lain, terutama tumbuhan paku dan rumput. Beberapa jenis tumbuhan paku yang sering dijumpai di lantai kebun antara lain Neprolepis spp, Gleichnia linearis dan Lygodium scadens. Sesekali, beberapa jenis anggrek seperti Bulbophyllum spp, Dendrobium spp dan Dendrochylum spp seringkali tumbuh pada batang pohon kelapa. Selain jenis anggrek tersebut, beberapa jenis anggrek tanah seperti Eulophia spp dan Cymbidium spp juga dapat ditemukan di lantai kebun kelapa.

Gambar 341. Kebun kelapa milik masyrakat di belakang pantai Hilizihono

522 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

4. Keanekaan Fauna

Pengamatan satwa liar di wilayah Desa Bawonahõnõ, difokuskan pada bagian/lokasi penanaman berupa pesisir pantai dengan vegetasi semak dan vegetasi pantai dan bagian teluk yang masuk ke wilayah Desa Hilizihönö yang juga pesisir yang sebagian berupa mangrove, vegetasi pantai & semak, dikelilingi kebun kelapa.

Pengamatan hanya berlangsung efektif selama 1,5 hari, yaitu pada tanggal: 11-12 Agustus 2007. Selama waktu tersebut, tim survey mencatat serta mengidentifikasi: tiga (3) jenis mammalia, 36 jenis burung, serta 7 jenis herpetofauna.

a) Mammalia

Tiga (3) jenis mammalia, teridentifikasi berdasarkan temuan langsung, faeses/ jejak, yaitu: Kera-ekor panjang Macaca fascicularis, Babi hutan Sus sp., dan Bajing kelapa Callosciurus notatus. Selain waktu pengamatan yang singkat, kondisi areal survey yang sebagian besar berupa perkebunan kelapa tampaknya tidak cukup mendukung keragaman satwa liar. Namun, bagian teluk di Hilizihönö teramati cukup baik menjadi areal mencari makan bagi burung-air bermigrasi.

b) Avifauna

Tiga puluh enam (36) jenis burung teramati dan teridentifikasi di daerah ini. Dari jumlah tersebut, 10 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia (

Tabel 216), 3 jenis masuk dalam kategori App. II-CITES. Jenis yang dilindungi oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia berasal dari kelompok burung pemangsa (2 jenis), kelompok raja-udang (2

jenis), dan kelompok burung madu (3 jenis), serta kelompok burung air migran/burung pantai (2 jenis), untuk lebih jelasnya lihat tabel dibawah ini.

Tabel 216. Jenis Burung yang Dilindungi yang ditemukan di Bawonahõnõ

No Nama Indonesia Nama Ilmiah Nama Inggris Status

1 Kuntul karang

Egretta sacra

Pacific reef-egret

2 Elang Bondol

Haliastur indus

Brahminy Kite

P, App II

3 Elang-laut perut-putih Haliaeetus leucogaster

White-bellied Sea-eagle

P, App II

4 Gajahan Pengala*

Numenius phaeopus

Whimbrel P

5 Gajahan Besar

Numenius arquata

Eurasian Curlew

6 Raja-udang meninting Alcedo meninting

Blue-eared Kingfisher

7 Cekakak sungai

Halcyon chloris

Collared kingfisher

8 Burung-madu kelapa

Anthreptes malacensis

Plain-throated Sunbird

9 Burung-madu bakau

Nectarinia calcostetha

Copper-throated Sunbird

10 Burung-madu sriganti

Nectarinia jugularis

Olive-backed Sunbird

Keterangan :

P = Dilindungi, menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 (Noerjito & Maryanto, 2001). App. II = Appendix II, Kriteria perdagangan jenis satwa yang diatur dalam CITES (Convention on International

Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna, UNEP-WCMC, 2007). * = Jenis burung air migran

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tercatat 7 jenis satwa dari kelompok herpetofauna ditemukan di daerah ini, tidak terdapat jenis herpetofauna yang dilindungi. Kadal Terbang-Draco sumatranus, merupakan jenis yang paling umum dijumpai, terutama di daerah kebun kelapa. Dua hingga tiga ekor teramati dalam satu areal yang berdekatan, bahkan kadang dalam satu batang pohon yang sama. Kadal Biasa-Mabuya multifasciata, teramati sesekali di lantai perkebunan kelapa atau di bagian semak/ilalang tepi parit. Biawak-Varanus salvator, jarang, satu kali teramati di dekat muara sungai.

5. Tanah dan Pertanian

a) Proses Pembentukan dan Klasifikasi Tanah

Daerah survei Bawonohono memiliki topografi yang datar secara homogen . Keadaan ini mencerminkan tidak adanya variasi, baik relief permukaan tanah. Bahan utama dalam proses pembentukan tanah adalah bahan induk berupa pasir dan lumpur yang dipercepat dengan proses fluviasi, yaitu proses pengendapan material tanah yang dibawa oleh aliran sungai maupun oleh laut (marin). Endapan tersebut umumnya masih baru (resen) dicirikan dengan adanya bahan yang berlapis-lapis. Bahan kasar seperti pasir umumnya diendapkan disekitar pantai sedangkan bahan yang lebih halus diendapkan lebih jauh dari pantai.

Tanah yang terdapat di pesisir pantai merupakan tanah aluvial yang sering terulapi oleh air pasang bahkan sering tergenang sehingga tanah-tanahnya selalu basah. Pada bagian lapisan atas (20 – 40 cm), tanahnya bertekstur lumpur sedangkan bagian bawah (> 40 cm) bertekstur pasir. Tanah yang berada pada posisi di pesisir pantai didominasi oleh lapisan pasir dengan ketebalan > 150 cm, walaupun terluapi air pasang namun tidak sampai menggenangi sehingga tanahnya kering.

Sistim klasifikasi tanah yang digunakan adalah sistim Taxonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1998). Sesuai dengan pembentukan tanah di daerah survei, tanah yang terbentuk hanya terdiri tanah yang belum memiliki horison penciri. Tanah ini dijumpai pada sistem aluvial-marin yang pengaruh pengendapan dan genangan air cukup dominan. Tanah relatif muda, sehingga mempunyai kematangan yang rendah. Tanah ini diklasifikasikan sebagai Typic/Sulfic Endoaquents dan Typic Quartizpsamments.

Tanah Typic/Sulfic Endoaquent (Gleisol Tionik) dijumpai di sekitar Rawa belakang pesisir pantai. Sedangkan tanah Typic Quartizpsamments (Typic Regosol) dijumpai pada daerah beting pantai (sand dune) dan tanahnya relatif kering.

Tabel 217. Satuan Tanah di Lokasi Bawonohono

No SPT

Klasifikasi Tanah

Landform/Topografi

Litologi

Land use

Grup Aluvial Marin (A):

1 Asosiasi

Belukar dan hutan Typic Endoaquents dan

Rawa Belakang Pantai , Endapan sungai dan

manggrove Sulfic Endoaquents

lereng 0 -1 %

laut (lumpur dan pasir

2 Typic Quartizpsamments. Beting Pasir (sand

Endapan pasir dan

Kebun kelapa dan

dune), lereng 1 – 3 %

Lumpur laut

belukar

524 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 524 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Karateristik Satuan Tanah 1.: - lapisan atas; tekstur tanah lempugn liat berpasir, lapisan bawah pasir berlempung, warna kelabu

kehijauana (5 GY 5/1), reaksi tanah alkalis (pH 8,5). Karateristik Satuan Tanah 2.: lapisan atas; tekstur tanah lempung berpasir, lapisan bawah pasir berlempung, warna kelabu sampai

kelabu kehijauan (5 Y 5/1 – 5 GY 8/1), reaksi tanah alkalis (pH 7,4).

c) Sifat Kimia Tanah

Penilaian satus kesuburan tanah dilakukan berdasarkan data analiasa contoh tanah (Lampiran ) yang diambil dari masing-masing satuan peta tanah. Penilaian ini juga bertujuan untuk mengetahui indikasi kekurangan atau keracunan unsur hara dalam tanah. Beberapa unsur hara yang mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain reaksi tanah (pH), bahan organik (C=karbon, N= nitrogen dan ratio C/N), phosphor (P), Kalium (K) Kapasitas tukar kation (KTK), kejeunuhan alumunium (Al), kejeuhan basa (KB).

(1) Kemasaman tanah (pH) dan kejenuhan aluminuim

Derajat kemasaman tanah merupakan salah satu unsur penilaian kesuburan tanah, dan merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi penyerapan unsur hara. Pada pH tanah masam (<4,0) secara tidak langsung unsur-unsur hara seperti fosfat menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Derajat kemasaman tanah-tanah di wilayah penelitian tergolong alkalis (8,3 - 8,5) Kejenuhan Aluminium, sangat rendah sekali (tidak terditeksi)

(2) Bahan organik

Kadar bahan organik tanah diukur dengan menetapkan Karbon (C), Nitrogen (N) dan rasio C/N. Kadar bahan organik, disamping dapat mengikat unsur hara bagi pertumbuhan tanaman, bahan organik juga dapat menjaga kelembaban tanah dan membuat strutur tanah menjadi gembur.

Di wilayah survei, kadar C-organik sangat rendah sampai rendah (< 2%), kadar nitrogen rendah (<0,1%) dan C/N rendah sampai tinggi (8-21).

(3) Phosphat dan Kalium

Phosphat yang terdapat dalam bentuk organik berfungsi sebagai sumber unsur hara utama bagi tanaman. Dalam lingkungan masam Phosphat bereaksi dengan besi dan aluminium membentuk Fe-P dan Al-P yang tidak tersedia bagi tanaman. Kadar P-tersedia rendah (14 ppm P).

(4) Kapasitas tukar kation (KTK), susunan kation dan Kejenuhan basa

Wilayah penelitian umumnya mempunyai nilai KTK rendah sampai tinggi (8-25 me/100g) pada tanah berpasir KTK rendah, sedangkan pada tanah bergambut tinggi. KTK ini sangat berhubungan dengan kandungan tekstur liat dan bahan organik.

Susunan kation Ca + , Mg K dan Na yang dapat dipertukarkan di wilayah penelitian relatif tinggi, dengan jumlah masing 14.4 cmol/kg, 5 .3 cmol/kg, 2.1 cmol/kg dan 19.8 cmol/kg.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Jumlah basa-basa yang dapat dipertukarkan pada kompleks adsorpsi tanah tercermin dari nilai persentase kejenuhan basanya (% KB). Sebagian besar di wilayah penelitian mempunya kejenuhan basa yang sangat tinggi (>100%).

(5) Salinitas (Kadar garam)

Salinitas tanah mencerminkan kadar garamgaram terlarut dalam tanah. Peningkatan kadar garam yang terlarut akan meningkatkan nilai salinitas. Salinitas tanah, digunakan untuk keperluan penilaian kesesuaian kesesuaian tanaman. Salinitas tanah yang tinggi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yaitu terjadinya proses hidrokopis pada akar tanaman sehingga unsur-unsur yang terdapat di dalam akar akan keluar sehingga menyebabkan kematian tanaman. Salinitas di daerah survei tergolong tinggi (4.2 dS/m). Hai ini dicerminkan oleh kadar Na + yang sangat

tinggi.

d) Sifat Fisik Tanah

Sifat dan karateristik tanah penting artinya dalam hubungan antara tanah, air dan tanaman. Pengambilan unsur-unsur hara oleh tanaman selain ditentukan ketersedian unsur-unsur kimia, juga ditentukan oleh keadaan sifat fisik tanahnya.

Sifat fisik tanah dicerminkan oleh struktur, konsistensi dan porisitas. Di daerah survei tanah-tanah belum mempunyai struktur tanah yang baik sehingga konsistensi sangat rendah dan porisitas tinggi. Hal ini akan mempengaruhi terhadap penyerapan dan pengeluaran air. Air cepat diserap namun cepat pula lepas, begitu juga dengan unsur-unsur hara yang terkandung di dalam air akan lebih cepat larut dan lepas terbawa air.

Pada tanah mineral, faktor aerasi dan tersedianya air dalam tanah adalah faktor terpenting. Aerasi tergantung struktur tanah (jumlah pori-pori) dan permeabilitasnya. Tanah yang memiliki jumlah pori aerasi yang cukup, belum tentu memiliki aerasi yang baik apabila sebagian pori diisi oleh air. Keadaan ini sering terjadi pada musim hujan atau daerah genangan. Hasil analisa fisika tanah menunjukan bahwa tanah-tanahnya tidak/belum mempunyai struktur, jumlah pori aerasi rendah dan permeabilitasnya sedang. Hal demikian terjadi karena lahan selalu jenuh air. Pada daerah dengan tekstur pasir, perkembangan struktur tanahnya masih remah dengan jumlah pori aerasi sedang sampai tinggi, dan permeabilitasnya cepat.

e) Potensi dan Kesesuaian Lahan

Setiap satuan tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei pemetaan sumberdaya lahan merupakan gambaran karakteristik tanah/lahan serta keadaan lingkunganya. Data dan informasi tersebut dapat digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi komoditas tertentu. Evaluasi lahan pada prinsipnya adalah membandingkan (matching) antara karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Pemilihan kualitas lahan dan karakteristik lahan yang digunakan sebagai parameter dalam penilaian kesesuaian lahan. Kualitas dan karakteristik lahan yang menonjol di daerah rawa adalah sifat-sifat tanah dan air (hidrologi).

526 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tabel 218. Kesesuaian Lahan di wilayah Bawonohono dan Hilizihono

No

Kelas Kesesuaian Lahan

No SPT Rekomendasi SPT

Tan pangan

Kawasan lindung Typic Endoaquents dan

N-oa,fh,xs

N-oa,fh,xs

N-oa,fh,xs

Sulfic Endoaquents

3 Typic Quartzipsamments

N-rc,fh

N-rc,fh

N-rc,fh

Kawasan lindung Pantai

Keterangan :

Tan. pangan : Padi, jagung, kacang2an (kedelai dan Kacang tanah) Tan. Perkebunan : kelapa, kapuk, kemiri Tan. Holtikultur (buah-buahan dan sayuran) : durian, salak, sukun, nangka, cabe merah, bayam, mentimun N= tidak sesuia

S3= sesuai marginal

rc= media perkaran kasar

nr= retensi hara sangat rendah,

wa=ketersedia air tidak ada

oa= drainase sangat terhambat. F2=bahaya banjir/genangan

xs= Bahaya sulfidik,

Kesesuaian lahan tiap-tiap komoditas pada setiap tanah akan berbeda, namun demikan pada setiap satuan peta tanah yang berupa asosiasi atau kompleks dapat disederhanakan menjadi satu kelas kesesuaian lahan untuk memudahkan interpretasinya. Terdapat 2 kelas kesesuaian lahan yaitu: sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N) yang dinilai berdasarkan faktorfaktor pembatas (limiting factor) yang dominan seperti kesuburan tanah/unsur (na), retensi hara (nr), media perakaran (rc), Toksisitas/salinitas (xc) bahaya sulfidik (xs) dan bahaya banjir/genangan (fh). Sedangkan faktor lingkungan seperti iklim dan topografi tidak menajdi faktor pembatas.

6. Sosial Ekonomi

a) Sejarah Desa

Secara administratif Desa Hilizihono masuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan. Kabupaten Nias Selatan sebelumnya adalah bagian Kabupaten Nias. Status otonomi diperoleh oleh Kabupaten Nias Selatan pada 25 Februari 2003 dan diresmikan pada

28 Juli 2003. Kabupaten Nias Selatan terdiri dari 104 gugusan pulau besar dan kecil. Letak pulau- pulau itu memanjang sejajar Pulau Sumatera. Panjang pulau-pulau itu lebih kurang 60 kilometer, lebar

40 kilometer. Dari seluruh gugusan pulau itu, ada empat pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²) dan tdak seluruh pulau berpenghuni. Masyarakat Nias Selatan tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan yaitu :

• Kepulauan Batu • Pulau Hibala • Teluk Dalam • Amandraya • Lahusa • Gomo • Lolomatua • Lolowau

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 342. Peta kerusakan akibat Tsunami dan Gempa Bumi di Pulau Nias

Sumber : Hasil Analisis Tim P3B, Data Satkorlak (29 Juli 2005), Data BRR (29 November 2005), Data Bappeda Kabupaten Nias (Maret 2007) dan Nias Selatan (April 2007)

Pada 28 Maret 2005, gempa melanda kepulauan Nias dengan kekuatan 8,7 skala Richter yang melumpuhkan kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah tersebut. Dari data bupati Nias Selatan, tercatat sejumlah 5.845 rumah warga hancur, juga 274 tempat ibadah, 20 perkantoran, dan 217 bangunan sekolah di kabupaten Nias Selatan. Sejumlah 138 orang meninggal dunia.

Hasil identifikasi di lapangan dan berdasarkan survey ADB-ETESP Fisheries & Binaswadaya menunjukan bahwa sejak dimulainya upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai buruh bangunan, petani dan nelayan. Sebelum bencana mayoritas penduduk melakukan usaha pertanian berkebun dan nelayan tangkap.

528 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 528 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Tsunami 2004 telah menyebabkan kerusakan cukup hebat di Pulau Nias, bencana tersebut telah mengakibatkan luluh lantak berbagai sektor kehidupan baik pada sektor sosial, ekonomi, pemerintahan, budaya, dan lainnya. Akibatnya 15.000 unit rumah rusak, 12 pelabuhan rakyat rusak, 800 km jalan kabupaten dan desa rusak, 266 km jalan provinsi rusak, 403 jembatan rusak, 1.052 gedung pemerintah rusak, 755 sekolah rusak, 2 unit rumah sakit rusak, 173 puskesmas rusak, para petani dan nelayan kehilanagan pekerjaan dan 219 unit pasar juga rusak.

Menyusul kejadian gempa dan tsunami maka sekitar tiga bulan setelah itu terjadi peristiwa di Kepulauan Nias gempa pada tanggal 28 Maret 2005 dengan berkekuatan 8,7 Skala Richter. Peristiwa gempa ini menimbulkan kerusakan dan kerugian yang luar biasa pada wilayah maupun kehidupan masyarakat Kepulauan Nias. Bencana gempa tersebut menelan jumlah korban jiwa yang meninggal dunia di Kabupaten Nias Selatan sebanyak 182 jiwa dan 3.636 jiwa mengalami luka-luka (data Satkorlak, 29 Juli 2005).

Data yang berhasil dikumpulkan oleh ADB-ETESP Fisheries & Binaswadaya, 2006 mendapatkan komposisi penduduk di Desa Hilizihono pasca tsunami dan gempa menunjukan bahwa didominasi oleh usia dewasa yaitu sekitar 74%, usia manula 3% dan anak-anak 23%. Berdasarkan data menyebutkan bahwa 86% dari total keluarga yanga da di Desa Hilizihono masuk dalam kategori miskin. sebagian Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara.

Secara umum penyebaran populasi penduduk di Pulau Nias tidak merata. Pada umumnya penduduk terkonsentrasi di beberapa daerah. Kabupaten Nias Selatan penduduk terkonsentrasi di pusat-pusat pemerintahan, yaitu Kecamatan Gunung Sitoli dan Teluk Dalam. Kepadatan penduduk yang rendah terjadi pada daerah-daerah pertanian di sekitarnya wilayah pantai sebelah barat. Total jumlah

penduduk Kecamatan Teluk Dalam pada tahun 2003 adalah 76750 jiwa dengan luas wilayah 490km 2 dengan kepadatan 157 jiwa/ km 2 . Data tahun 2005 menunjukkan populasi Kecamatan Teluk dalam

2 sebanyak 79.284 jiwa, luas wilayah 490 km 2 dengan kepadatan 162jiwa/ km .

Tabel 219. Populasi penduduk Desa Hilizihono tahun 2006

Jumlah

Kategori Total Persentase

Laki-Laki Perempuan

Total Penduduk

Jumlah KK

Dewasa 474 753 1.227 74 % Penduduk Miskin

Jumlah KK Miskin

Jumlah Anak Miskin

Jumlah Manula

Sumber: ADB-ETESP Fisheries & Binaswadaya, 2006

Penduduk Kecamatan Teluk Dalam mayoratas beragama kristen (Protestan dan Katolik) dan sebagian kecil (1%) beragama Islam. Agama kristen Protestan di Kecamatan Teluk Dalam sebagai

mayoritas memiliki beberapa sekte diantaranya : BKPN (Banua Keriso Protestan) yang kantor pusatnya di Teluk Dalam, BNKP (Banua Niha Keriso Protestan), AFY (Angowuloa Fa'awosa kho Yesu), AMIN (Angowuloa Masehi Injili Nias), ONKP (Orahua Niha Keriso Protestan), BNKP Raya, Gereja Bethany, HKBP, Gereja Methodist, Gereja Bala Keselamatan, GPdI, GBI, GKII, dan lain-lain. Umat Muslim memiliki 2 buah mesjid di Kelurahan Pasar Teluk Dalam (NU dan Muhammadiyah) dan

1 buah di desa Lagundri (NU).

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Di Kecamatan Teluk Dalam terdapat marga-marga yang khas dan tidak ada di kecamatan lain di pulau Nias seperti :

• Fau/Wau • Nehe

• Haria

• Gumano

• Dakhi • Manao

• Bohalima

• Ganumba

• Sarumaha • Zagoto

• Harimao

• Zalogo

• Hondro • Waoma

• Lature

• Bawaulu

• Duha • Sihura

• Moho

• Saota

• Zamili • Maduwu

• Loi

• Gari

• Harita • Zagoto

• Luahambowo

• Ge'e

• Gaho • Nakhe

• Gowasa

• Hawa

• Ziraluo • Bali

• Gaurifa

• Bazikho • Haria

• Gohae

c) Analisis Strategi Mata Pencaharian

Meskipun merupakan desa pesisir, namun Desa Hilizihono bukanlah tujuan wisata pantai (selancar) sebagaimana Teluk Dalam terkenal sebagai tempat wisata selancar. Disamping itu juga fasilitas pariwisata belum begitu berkembang. Data dari ADB-ETESP Fisheries & Binaswadaya, 2006 menyebutkan bahwa sebagian besar pekerjaan warga Desa Hilizihono adalah buruh atau tukang dan sebagian lagi adalah petani. Detil persentase tiap mata pencaharian penduduk Desa Hilizihono adalah sebagai berikut:

Tabel 220. Persentasi mata pencaharian di Desa Hilizihono

Pekerjaan Persentase

PNS 2 % Militer/Polisi 0,5 % Nelayan 18% Buruh tukang

Petani 23,5 % Total 100 %

Masih bersumber dari ADB-ETESP Fisheries & Binaswadaya, 2006 menyebutkan bahwa penduduk Desa Hilizihono pada umumnya berstatus miskin dengan pendapatan bulanan berkisar anatara Rp 500.000 – 750.000 yaitu sebanyak 37% atau 620 orang dan hanya sekitar 0,3% atau sekitar lima orang dari total 1673 populasi Desa yang memiliki pendapatan bulanan lebih dari 2,500,000.

Tabel 221. Kelas Pendapatan Masyarakat desa Hilizihono

Kelas Pendapatan (Rp.)

530 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Bulan

Jenis Pekerjaan - dimulai yang paling penting

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

1. Buruh bangunan

√ √ 2.Petani sawah

1. Nelayan

√ √ √ 3.Petani Karet (tanaman

√ √ √ √ tahunan)

4.Peternak Babi

√ √ √ √ 5.Petani Kacang Hijau

√- 6.Petani Ubi

Jenis Gangguan Alam - dimulai yang paling

menggangu

Angin Banjir √ √ Hujan Hama penyakit Musim paceklik Musim barat/ timur

√ √ √ √ Kebutuhan kredit (pada bulan

√ apa masyarakat banyak membutuhkan kredit untuk menjalankan usaha, mengapa)

Kesempatan membayar (pada

bulan apa masyarakat dapat mengembalikan hutangnya tersebut? )

Sumber Kredit (Bank, tauke,

tauke

sendiri, pinjam)

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Meski profesi buruh bangunan mendominasi sebagian besar pekerjaan warga desa, namun hal tersebut sifatnya hanya sementara yang disebabkan tingginya intensitas upaya rekonstruksi pasca tsunami dan Gempa 2005 sehingga pembangunan infrastruktur baru banyak dilakukan. Sebelum tsunami penduduk Desa Hilizihono pada umumnya berprofesi sebagai petani dan nelayan. Profesi nelayan yang dutekuni hanyalah menggunakan perahu-perahu kecil dengan mesin tidak lebih dari 15PK. Pada umumnya dalam satu keluarga nelayan dikombinasikan dengan aktivitas pertanian (perkebunan) dan ternak babi.

• Buruh Bangunan Pekerjaan buruh bangunan semakin semarak sejak tahun 2006 diamna banyak dilakukan upaya

rekonstruksi bangunan-bangunan yang hancur akibatTsunami 2004 dan gempa Nias 2005. Hal yang perlu dicermati adalah kegiatan penambangan pasir pantai dan tidak jarang juga penambangan terumbu karang dilakukan jauh sebelum maraknya kegiatan konstruksi pasca gempa. Masyarakat Kecamatan Teluk Dalam sering menggunakan terumbu karang sebagi bahan bangunan terutama untuk pondasi bangunan.

• Perikanan Tangkap Produk perikanan di Desa Hilizihono relatif kecil, karena jumlah nelayan yang relatif sedikit (+- 30 KK)

dan armada perikanan yang juga kecil (kebanyakan tonnage/ tonase 500 Kg.). Sebagaian besar hasil tangkapan adalah dijual di lokasi pendaratan, karena saat ini dilokasi pendaratan perahu sudah dibangun tempat penjualan ikan yang mana Nelayan dapat langsung menjual ikan kepada Pedagang (disebut ”Penggalas”) bahkan langsung kepada Konsumen. Penggalas yang membeli ikan dari Nelayan dengan menggunakan Sepeda atau Sepeda motor akan menjual ikan kepada konsumen dengan cara berkeliling kampung.

Di Desa Hilizihono sejak tahun 2007 sedang dibangun TPI atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Los Tempat Penjaulan Ikan. Namun dalam perkembangannya pembangunan ini mengalami kendala non teknis sehingga menimbulkan keterlambatan penyelesaian dampai dengan saat ini.

Pasar Tangkapan

Hasil

Penjualan

Bersih kepada

tauke

Gambar 343 Alur pemasaran hasil tangkapan ikan

• Pertanian Untuk produk pertanian yang utama seperti karet dan kopra, Touke atau pedagang pengumpul akan

mengunjungi desa-desa untuk membeli dan kemudian menjualnya pada pedagang pengumpul besar di Teluk Dalam yang selanjutnya menjualnya ke luar P.Nias (Sibolga atau Padang). Adakalanya petani menjual hasil pertaniannya dengan membawa ke pekan yang diselenggarakan sekali dalam satu minggu.

• Peternakan Peternakan yang paling berkembang di Desa Hilizihono adalah ternak babi kemudian ternak unggas.

Sedangkan ternak sapi dan ternak kambing sangat sulit dikembangkan. Tak jarang terlihat sapi-sapi yang kurus karena kesulitan suplai makanan atau ketersediaan padang rumput yang sangat jarang.

532 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 532 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Data mengenai fasilitas fisik Desa kurang memadai untuk ditampilkan sehingga pada Bab ini hanya akan dibahas mengenai fasilitas transportasi, pendidikan dalam hal jumlah penduduk pada tiap jenjang pendidikan, dan bantuan perumahan pasca bencana.

Transportasi Darat

Sistem transportasi di Kabuapten Nias Selatan hanya ada dua jenis, yaitu transportasi laut dan darat. Pemekaran wilayah Kabupaten Nias Menjadi Kabupaten Nias dan Nias Selatan menyebabkan jalan yang menghubungTransportasi darat hanya terbatas pada sekitar Pulau Nias saja yaitu dari kotaGunungsitoli menuju Ibukota Kecamatan lainnya. Dengan dimekarkannya Kabupaten Nias Selatan, maka transportasi darat utama yang ada di Kabupaten Nias adalah yang menghubungkan kedua kota ini berubah status menjadi jalan Propinsi. Namun akibat gempa tahun 2005 banyak jaringan jalan dan jembatan di Kabupaten Nias Selatan yang mengalami kerusakan. Untuk lebih jelas mengenai jaringan jalan. Beberapa proyek pasca bencana untuk perbaikan jalan yang melewati Desa Hilizihono diantaranya :

- Bantuan BRR untuk pengerasan jalan sepanjang 2,7km di dalam Kecamatan Teluk Dalam yang menghubungkan anatar Desa Hilizihono-Bawomatulo-siwalawa,

- Ruas Simpang Jalan Propinsi Km 28 sepanjan 5km yang menghubungkan Kabupaten Nias dan Nias Selatan melewati Desa - Hilizihono -Orahili - RS Lukas

Transportasi laut

Di wilayah Kabupaten Nias terdapat tiga pelabuhan laut, yaitu Pelabuhan Laut Gunungsitoli, Pelabuhan Laut Lahewa, dan Pelabuhan Laut Sirombu. Sedangkan untuk wilayah Kabupaten Nias Selatan terdapat dua pelabuhan laut, yairu pelabuhan laut Teluk Dalam dan Pulau Tello

Tingkat Pendidikan

Pada umumnya masyarakat Desa Hilizihonoo sangat rendah tingkat pendidikan. Data dari ADB- ETESP Fisheries & Binaswadaya, 2006 mendapatkan bahwa 78% penduduk Desa Hilizihono tidak tamat SD dan yang tamat perguruan tinggi (Diploma dan srjana) hanyalah 0,6 % atau 10 orang. Hasil interview dengan beberapa penduduk setempat diketahui bahwa pendidikan tidak begitu menjadi kebutuhan mendasar di Desa Hilizihono. Kurangnya motivasi di bidang pendidikan karena selama ini tidak ada kesulitan dengan tidak tamat SD pun masih bisa mengembangkan mata pencaharian. Berikut ini disajikan data klasifikasi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan :

Tabel 222. Penduduk Desa Hilizihono berdasarkan tingkat pendidikan

Persentase Pendidikan

Jumlah

Total

Laki-Laki Perempuan

Sarjana/Perguruan Tinggi

4 3 7 0.4 Diploma 1 2 3 0.2 SMA/sederajat 31 25 56 3.5

SMP/sederajat 56 56 114 6.8 SD/sederajat 107 73 180 11

Tidak Tamat SD

Sumber : ADB-ETESP Fisheries & Binaswadaya, 2006

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Perumahan

BRR, 2005 menyebutkan bahwa jumlah rumah yang rusak di Kecamatan Teluk dalam akibat Tsunami 2004 dan Gempa 2005 adalah sebanyak 1476 rumah. Jumlah bantuan rumah sebagai repon bencana di Desa Hilizihono hanya sebanyak 12 unit rumah bantuan dari BRR.

e) Identifikasi Stakeholder dan Analisis Kelembagaan Struktur Pemerintahan

Siulu adalah model lembaga adat dengan kepemimpinan sebutan Siulu. Pada suatu Kampung atau sekarang disebut Desa memiliki kepemimpinan Siulu. Siulu dapat satu orang atau beberapa orang dalam suatu kampung. Siulu membawahi beberapa Siila yang dalam strukturnya patuh kepada Siulu. Jabatan Siulu adalah turun temuran, artinya Siulu tidak dipilih dan tidak juga ditetapkan. Garis keturunan Siulu akan meneruskan kepemimpinan Siulu. Saat ini lembaga adat Siulu masih diakui di Teluk Dalam, Nias Selatan. Pendatang yang hendak bermukim disuatu kampung atau penyelenggaraan acara-acara pernikahan dan lain sebagianya masih perlu memdapat restu dari Siulu. Peranan Siulu juga sanat menentukan dalam hal menyelesaikan konfliuk-konflik di kampung atau antar kampung bahkan dapat sebagai ”motivator” pada masyarakat untuk melakukan suatu tindakan secara masal. Dibandingkan dengan zaman dahulu ruang lingkup kewenangan dan peranan Siulu semakin sempit. Kepala Desa tetap mengendalaikan urusan pemerintah desa, dan Tokoh agama (Pastor, dan Pendeta) dalam kehidupan beragama.

Kelompok Sosial Kemasyrakatan

Penokohan di Desa Hilizihono masih sangat kental. Meskipun tidak diangkat melalaui upacara adat, apabila sesorang tersebut mendapat simpati dari sebagian warga dan dituakan maka ia dapat dianggap sebagai tokoh. Tokoh adat sendiri memeiliki tempat tersendiripada kehidupan sosial bermasyarakat dan kehidupan sehari-hari ataupun bila ada rapat Desa. Kepala Desa sendiri pada umumnya dipilih orang yang ditokohkan. Pada tabel 211 di bawah ini disajikan beberapa kelompok masyarakat yang ada/ pernah ada di Desa Hilizihono

Tabel 223. kelompok masyarakat yang ada/ pernah ada di Desa Hilizihono

Nama Kelompok

Lembaga fasilitor

Keterangan Kegiatan

Kelompok pemuka adat

Sangat berperan dalam penentuan kebijakan desa dan kegiatan-kegiatan uapcara adat

Mengembangkan aktivitas jemaat gereja

Kelompok keagamaan berdasarkan

Masing-masing gereja setempat

keagamaan Mangrove

COREMAP, DKP

Kelompok tidak aktif lagi setelah ada kegaitan penanaman mangrove

Penanam Mangrove

GERHAN,Dephut

Kelompok dibentuk untuk melaksanakan kegiatan penanaman mangrove

Penghijauan Peissir

Lembaga Pengembangan Pesisir Pulau Pulau Kecil Dan Laut (Lp4kl) Wetlands International

534 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

7. Prospek Kegiatan Rehabilitasi

Untuk lebih mengetahui prospek kegiatan rehabilitasi yang akan dilakukan, tim assessment melakukan penilaian terhadap daya dukung lahan, identifikasi terhadap kendala, faktor pembatas, pendukung dan beberapa informasi terkait lainnya. Informasi-informasi ini sangat penting sebagai bahan pengkajian untuk menilai apakah suatu kegiatan memungkinkan untuk dilaksanakan atau tidak. Lebih jauh lagi, informasi ini juga dapat digunakan untuk mengantisipasi suatu kendala atau pembatas sehingga tidak mengganggu pelaksanan kegiatan di lapangan.

a) Hasil penilaian kesesuaian lahan

Untuk menjangkau lokasi ini diperlukan waktu setidaknya 1 jam dari jalan raya, berjalan kaki melewati kebun kelapa dan menyusuri parit. Apabila ditarik garis lurus, jarak antara lokasi ini dengan jalan raya (desa Hilizhono) diperkirakan sejauh 2 km.

Gambar 344. Kondisi umum calon lokasi penanaman mangrove

Secara umum, kondisi calon lokasi rehabilitasi di Hilizihono memiliki karakteristik yang hamper sama dengan lokasi penanaman di Bahonawono. Namun bila dilihat dari substratnya, kondisi di Bahonawono lebih baik. Kandungan lumpur di substrat ini lebih rendah, sebaliknya komposisi pasir ajuh lebih besar.

Walaupun dalam satu hamparan, namun kondisi substrat di calon lokasi rehabilitasi memiliki variasi. Di daerah yang mendekati mangrove, kandungan lumpur semakin banyak. Dan sebaliknya, semakin menjuhi tegakan mangrove, kandungan pasir semakin banyak (lihat gambar di bawah ini).

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Pasir berlumpur

Lumpur berpasir

Gambar 345. Variasi kondisi substrat di calon lokasi rehabilitasi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak seluruh lokasi memiliki kesesuaian yang cukup untuk penanaman mangrove. Dalam hal ini, kegiatan penanaman sebaiknya memilih lokasi yang substratnya berlumpur, yaitu yang mendekati tegakan mangrove. Di lapangan, tim juga menjumpai ikan gelodok dalam jumlah yang sangat banyak. Hewan ini adalah indikator biologis bahwa lokasi tersebut sesuai untuk penanaman mangrove.

Gambar 346. Ikan gelodok dijumpai di areal belumpur, di dekat tegakan mangrove

536 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II 536 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Aksesibilitas rendah Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kases ke calon lokasi relatif rendah. Lokasi ini tidak

dapat ditempuh dengan perjalana darat menggunakan mobil atau motor. Perjalanan darat ke lokasi ini hanya dapat dilakukan dengan berjalan kaki dalam waktu kurang lebih 1 jam dari desa. Kondisi ini secara teknis menjadi kendala terhadap pelaksanaan kegiatan rehabilitasi antara lain mempersulit pengangkutan bibit atau material lainnya, membuat kegiatan tidak efektif, menyita waktu lebih, menyebabkan boros tenaga dan boros biaya.

• Jauh dari SDM dan Desa Dampingan Kendala ini sangat terkait dengan aksesibilita yang rendah. Namun dalam hal ini, jauhnya desa

menyebabkan sulitnya mendapatkan SDM atau tenaga kerja. Selain itu, kondisi ini akan mempersulit kegiatan monitoring, pemeliharaan, pengamanan kawasan dll.

• Sedimentasi pasir pada habitat mangrove Pengamatan yang dilakukan di hutan mangrove menunjukkan telah terjadi sedimentasi pasir. Hal ini

menyebabkan lapisan pasir bertambah tebal dan keras. Kondisi demikian telah membatasi proses regenerasi alami mangrove. Pada kondisi normal dimana substratnya berlumpur, propagul yang jatuh dari pohon induk langsung menancap ke tanah dan bertumbuh. Setelah substrat berubah, propagul yang jatuh selalu gagal menancap di tanah sehingga kehilangan peluang untuk hidup dan tumbuh. Tanpa intervensi manusia, hutan mangrove di lokasi ini akan mengalami permasalahan yang serius terkait dengan proses regenerasinya. Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa sangat sulit sekali mendapatkan anakan alam (wildling).

Gambar 347. Kondisi lantai hutan mangrove yang sangat miskin anakan sebegai dampak sedimentasi

pasir

• Ancaman aktifitas penebangan mangrove Selain kendala-kendala tersebut di atas, hutan mangrove di Hilizihono juga mendapatkan gangguan

lain yang juga serius yaitu penebangan pohon. Penebangan pohon mangrove dilakukan secara liar oleh penduduk dengan tujuan komersil yaitu dijual untu proyek-proyek pembangunan di desa ini. Dari masyarakat diperoleh informasi bahwa setiap batang mangrove dengan panjang 6 meter laku di pasaran seharga Rp. 6000,- . Tekanan ini diprediksi akan semakin kuat seiring dengan meningatnya permintaan kayu bakau untuk kelanjutan pembangunan.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 348. Kegiatan penebangan bakau yang dijumpai di lapangan

c) Faktor pendukung

Salah satu faktor pendukung utama yang ditemukan di lokasi adalah bahwa terdapat kondisi yang memerlukan campur tangan manusia dalam membantu kehidupan mangrove yang saat ini sedang dihadapkan pada kondisi yang terancam karenanya adanya perubahan susbtrat.

Tanpa regenerasi buatan, dikuatirkan mangrove di pantai ini tidak dapat beregenarasi dengan baik. Apabila ini terjadi sementara kegiatan penebangan terus berlangsung diyakini kegiatan ini akan dapat membentu kelestarian tegakan mangrove.

Salah satu potensi yang bisa dioptimalkan dalam mendukung kegiatan di pangan adalah cukup melimpahnya benih mangrove terutama untuk Rhizophora mucronata. Namun sayang, stok atau produksi benih untuk jenis lainnya sangat terbatas. Diprediksi bahwa stok benih atau propagul yang

tersedia hanya bisa mencukupi 25% dari kebutuhan beih total. Dengan demikian, pengadaan benih dari luar daerah masih harus dilakukan.

d) Prospek kegiatan rehabilitasi

Dari penilaian lahan yang telah dilakukan, teridentifikasi bahwa faktor penghambat dan kendala jauh lebih banyak dibandingkan dengan potensi atau faktor pendukungnya. Secara teknis, kegiatan rehabilitasi pantai masih memunginkan untuk dilaksanakan mengingat terdapat areal yang daya dukungya sesuai untuk penanaman. Namun demikian, areal prospektif yang tersedia relatif terbatas yaitu tidak lebih dari 10 hektar. Hal ini perlu mendapat perhatian dari penanggung jawab kegiatan mengingat areal yang ditargetkan untuk ditanami seluas 20 hektar (60.000 bibit mangrove tertanam).

Di sisi lain, lokasi penanaman yang jauh dari desa dan penduduk akan menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan penghijauan dipantai Hilizihono. Beberapa hal yang dikuatirkan akan terjadi sebagai akibat dari kondisi ini adalah sebagai berikut:

• Membengkaknya biaya operasional misalnya untuk mobilisasi SDM, transportasi bibit, dan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya.

• Kurang efektifnya proses pengawasan dan monitoring • Tersitanya banyak waktu untuk kegiatan-kegiatan lain di lapangan Dalam ragka mengeliminir atau mereduksi kekuatiran yang telah disebutkan diatas, perlu kiranya

perlu dipikirkan jalan keluar ataa strategi khusus agar kegiatan di lapangan dapat berjalan dengan lancar, efekrtif dan ekonomis.

538 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

8. Kegiatan Rekonstruksi dan dampaknya

Ketika diadakan survey, menurut penuturan masyarakat telah ada beberapa donor atau Lembaga yang pernah dan sedang terlibat dalam aktivitas sosial ekonomi di wilayah mereka.

Tabel 224. Tabel daftar donor atau lembaga yang pernah atau sedang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di desa Hilizihono dan Bawonohono

Donor/NGO yang bekerja dan kegiatan Kegiatan yang dilakukan, dan manfaat yang dirasakan akibat rekonstruksi yang dilakukan di Desa

kegiatan tersebut.

BRR Pembangunan Rumah, Inrastruktur, Tempat Pelelangan Ikan ADB - ETESP

Village Grant Rp. 200 Jt. Pengadaan Boat dan sarana perikanan. DEPHUT-GERHAN Penanaman Mangrove PMI

Pembangunan Balai Desa

UNICEF

Pembangunan Rumah Sekolah

PPK-R2PN

Pembangunan Rumah dan Prasarana Desa

Surfaid

Sarana Air Bersih

Adapun salah satu kegiatan yang dapat dinilai sebagai ancaman terhadap ekositem lahan basah adalah pengambilan batang bakau. Pengambilan kayu bakau dapat merupakan ancaman serius bagi type habitat tersebut karena luasan area hutan bakau yang relative kecil. Pengambilan individu mangrove yang ada dapat mengancam kelangsungan regenerasi komunias tersebut.

Kegiatan lain yang berpotensi mengganggu ekosistem pantai adalah penambangan pasir. Pengambilan pasir yang tidak terkendali akan menyebabkan terjadinya defisiensi/kekurangan sediment. Kekurangan sediment ini merupakan salah satu penyebab percepatan erosi pantai (http://www.soest.hawaii.edu/SEAGRANT/bmpm/coastal_erosion.html). Meskipun erosi dan akresi pantai berpasir merupakan juga merupakan fenomena alami, tetapi apabila terjadi secara tidak terkendali dapat merusak fasilitas fisik seperti jalan raya dan bangunan serta lahan lahan bernilai ekonomi lainnya seperti kebun kelapa dan lahan pertanian/perkebunan lainnya. Di Bawonahõnõ, pengambilan pasir telah berlangsung dan telah mengganggu beberapa bagian yang telah ditanami dalam program GC1. Rencana pengambilan juga mulai teridentifikasi di sekitar pesisir Hilizihönö, namun pada saat survey kegiatan tersebut belum dimulai.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Gambar 349. Kegiatan pasir skala rumah tangga yang dilakukan masyarakat di desa Bawonohon

Kegiatan lain, meskipun tidak teramati di sekitar hilizihono dan bawonohono tetapi sangat marak di tempat lain adalah pengambilan batu karang untuk bahan bangunan. Kampanye public dalam bentuk pemasangan papan larangan pengambilan bahan galian C tampaknya tidak efektif, terlihat justru di sekitar papan peringatan berada di situlah penggalian dilaksanakan.

Pada peristiwa bencana alam tsunami 26 Desember 2004 dan Gempa Nias 28 Maret 2005, daerah ini termasuk menjadi sasaran yang paling parah di Nias Selatan yang menyebabkan bergesernya wilayah pasang surut akibat turunya dasar tanah. Tekanan perusakan eksositem pesisir dari aktivitas manusia di Desa Hilizihono antara lain akibat perluasan wilayah pemukiman kearah pantai dengan merusak/membuka hutan bakau dan vegetasi pantai, penebangan pohon mangrove dan vegetasi pantai untuk keperluan kayu bakar. Upaya-upaya rehabilitasi ekosistem pasca bencana tsunami 2004 dan gempa bumi 2005, dirasakan sangat sedikit dibandingkan wilayah di Propinsi NAD. Di Kecamatan Teluk Dalam sendiri sampai dengan saat ini terdapat tiga lembaga yang memiliki kegiatan penanaman bakau di Nias Selatan, antara lain:

Tabel 225. Kegitan Rehabilitasi Pesisir di Teluk Dalam, Nias Selatan Lembaga/Institusi Lokasi/Desa

Luas/ Σpohon Jenis COREMAP, DKP

- Desa Bawonahonno

27 Ha/135.000

Mangrove

- Desa Hilizihono

16 Ha/80.000

(Rhizopora Sp)

- Desa Hiliamaetaniha

2 Ha/10.000

GERHAN,Dephut Hilizihono

Mangrove (Rhizopora Sp)

Wetlands International

Hilizihono

2,5 Ha/13.000

Mangrove (Rhizopora Sp)

Total 258.000

Saat ini pohon mangrove yang sudah ditanam khusunya oleh Pemerintah (DKP dan Dephut) berada dalam kedaan yang mengkhwatirkan karena sewaktu-waktu dapat dirusak oleh oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawap. Dipandang perlu tanaman mangrove yang sudah tumbuh tersebut dipelihara dan diawasi oleh masyarakat sekitarnya.

540 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

9. Rekomendasi Pengelolaan dan Rehabilitasi

a) Rekomendasi Pengelolaan Konservasi Lahan Basah

Daerah Teluk Dalam mempunyai lahan yang tidak sesuai untuk beberapa komoditas pertanian dan perkebunan karena kendala banjir/genangan dan bahaya sulfidik. Oleh karena itu sebaiknya kawasan ini diperuntukan sebagai kawasan lindung. Dengan demikian, alangkah baiknya dibuat tataruang dengan membuat zonasi-zonasi pengelolaan lahan. Hal ini akan lebih baik dalam untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Kawasan sepanjang pantai sebaiknya dipergunakan sebagai kawasan lindung pantai, untuk mencegah terjadinya erosi pantai ataupun intrusi air laut. Penggunaan Lahan ini dapat dikombinasikan antara tanaman perkebunan (kelapa) dengan tanaman kehutanan (cemara laut, dll).

b) Rekomendasi teknis untuk kegiatan rehabilitasi

• Penanaman mangrove Penanaman di lapangan sebaiknya diarahkan pada dua lokasi kegiatan yaitu penanaman propagul di

sekeliling koloni mangrove dan penanaman intensif di pantai berlumpur. o Penanaman propagul di sekeliling koloni mangrove

Penanaman di sekeliling koloni mangrove dimaksudkan untuk membantu mangrove prosesi regenerasi tegakan mangrove yang ada. Hal ini sangat penting untuk dilakukan mengingat sedimentasi pasir membuat proses regenerasi secara alami sangat sulit terjadi.

Teknik penanaman yang direkomendasikan adalah dengan menanam propagul secara langsung di sekeliling koloni mangrove, menyesuaikan dengan bentuk koloni. Penanaman dapat dilaukan dalam jarak yang cukup rapat yaitu 0.5 – 1 m. Banyaknya baris disesuaikan degan kondisi penutupan koloni dan kondisi substrat. Berdasarkan kondisi di lapangan, banyaknya baris dalam penananaman yang memungkinkan antara 2- 4 baris.

Batas substrat pasir tebal / alur air

Lokasi yang direkomendasikan untuk penanaman

propagul Koloni

mangrove

Gambar 350. Arahan penanaman propagul di sekeliling koloni mangrove

Jenis mangrove yang ditanam disekeliling koloni sebaiknya disesuaikan dengan jenis mangrove pembentuk koloni. Penanaman propagul Rhizophora mucronata ditanam di sekeliling koloni dengan jenis yang sama. Demikian juga untuk jenis-jenis yang lainnya.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

mangrove yang ditemukan di hutan mangrove setempat yaitu Rhizophora mucronata, R. apiculata, Sonneratia alba, dan Xylocapus granatum. Berdasarkan pengamatan, produksi propagul untuk penanaman dan pembibitan di areal mangrove setempat cukup tinggi. Pengumpulan propagul haruis dilakukan sedini mungkin. Bila tidak, dikuatirkan akan terlambat yaitu habisnya masa berbuah. Bila hal ini terjadi, tidak terhindartkan bahwa pengadaan propagul harus membeli dari tempat lain. Hal ini akan membuat kegiatan menjadi tidak ekonomis dan tidak efektif.

Penanaman sebaiknya dilakukan dari arah belakang menuju ke depan. Penanaman dengan cara demikian akan memperkecil resiko kegagalan, terutama yang berkaitan resiko genagan berlbih atau hantaman arus. Penanaman sebaiknya dilakukan perlahan lahan dari arah belakang ke depan. Penanaman sebainya dihentikan apabila kondisinya sudah tidak memungkinkan misalnya terlalu dalam atau arus kuat.

• Jenis mangrove untuk penghijauan pantai Kegiatan penanaman yang akan dilakukan tidak hanya diharapkan untuk menghijaukan pantai,

namun lebih dari itu bahwa kegiatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan biodiversitasnya. Oleh karena itu, sangat tidak direkomendasikan bagi pelaksana hanya menanam 1 atau 2 jenis mangrove saja. Jenis mangrove yang ditanam sebaiknya lebih banyak namun tetap memperhatikan kondisi habitat yang akan ditanam. Di bawah ini adalah alternative jenis mangrove yang dapat dipertimbangkan untuk di tanam di lapangan.

Tabel 226. Jenis-jenis mangrove yang dapat ditanam di lokasi Teluk Dalam

No Jenis Lokasi penanaman

1 Rhizophora mucronata Areal pasang surut di barisan depan, sekeliling koloni mangrove

2 Rhizophora apiculata Areal pasang surut di barisan belakang, sekeliling koloni mangrove, kanan kiri alur air

3 Rhizophora stylosa Areal pasang surut di barisan belakang, sekeliling koloni mangrove

4 Bruguiera cylindrical

kanan kiri alur air

5 Ceriosp decandra

Di sekitar koloni mangrove

6 Avicennia marina

Di sekitar koloni mangrove

7 Avicennia lannta

Di sekitar koloni mangrove

8 Sonneratia alba Di kanan kiri saluran air, bagian belakang tegakanmangrove

9 Xylocarpus granatum

• Penananaman tanaman pantai Walaupun tidak termasuk dalam perencanaan, sagat disarakan bagi pelaksana untuk

mempertimbangkan dilakukannya penanaman beberapa jenis tanaman pantai di formasi pes caprae. Jenis-jenis tanaman yang dinilai sesuai untuk kondisi ini antara lain Ketapang Terminalia cattapa, Putat laut Barringtonia asiatica, Malapari Pongamia pinnata, Bintaro Cerbera manghas, Waru Hibiscus tiliaceus, Waru lot Thespesia populnea, Hernandia peltata dan Nyamplung Callohyllum inophyllum. Penanaman dapat dilakukan jarak sedang yaitu 3 m x 5 m atau 5 m x 5 m

542 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

• Pembangunan persemaian di sekitar lokasi penanaman Sangat dianjurkan bagi pelaksana untuk membangun persemaian mangrove sederhana di sekitar

lokasi penanaman. Berdasarkan pengamatan di lapangan, lokasi yang tepat untuk persemaian adalah areal kosong yang ada di sela-sela koloni mangrove (sebaiknya yang berada di bagian belakang). Lokasi ini masih terpengaruh air pasang, dimana pada saat maksimal ketinggainya diprediksi tidak lebih dari 60 cm. Dengan demikian, kekuatiran atas hantaman arus dan genengan berlebihan tidak akan terjadi.

Bedeng bibit sebaiknya dibuat dengan ukuran memanjang dengan ukuran panjang 5 m dengan lebar 1-2 meter. Naungan perlu di pasang di atas bedeng dengab maksud untuk melidnungi bibit dari sengatan sinar matahari yang berlebih. Naungan ini akan dibuka secara bertahap pada saat bibit akan ditanam di lapangan dengan maksud menyiapkan bibit agar mampu menghadapi kondisi di lapangan. Posisi dan letak bedeng sebaiknya menyesuaian dengan kondisi yang ada di lapangan.

Persemaian ini bisa dijadikan sebagai tempat penampungan sementara, apabila bibit yang akan ditanam dibeli dari luar. Namun bila pelaksana berkeinginan melakukan pembibitan sendiri, persemaian ini bisa difungsikan sebagai pusat pembibitan. Persemaian juga dapat dimanfaatkan untuk membuat atau menampung bibit untuk keperluan penyulaman.

• Penataan batas Dalam rangka memudahkan operasional di lapangan, monitoring dan pengawasannya, perlu

dilakukan penataan batas yang jelas di lokasi penanaman. Dalam penataan batas ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pemasangan patok penanda (pal batas) yang menunjukkan batas lokasi penanaman. Misalnya, tanda batas awal dan akhir diberi patok berwarna merah, sedangkan setiap 50 m diberi patok kecil dengan warna hijau. Hal ini akan sangat membantu dalam kegiatan monitoring, evauasi dan pelaporan. Selain itu, perlu juga di pasang papan keterangan kegiatan yang berisikan risalah atau informasi penting kegiatan penanaman antara lain: luas lokasi penanaman, pelaksana penanaman, jenis bibit yang ditanam, tanggal penanaman, dan beberapa informasi penting lainnya

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

543

544 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari hasil survey yang dilakukan oleh tim Green Coast 2, diketahui bahwa kegiatan Green Coast dilakukan di lokasi-lokasi yang memiliki profil ekosistem beragam, mulai dari tipe ekosistem Mangrove, pantai berpasir, dataran lumpur, rawa pantai, muara sungai, laguna, terumbu karang, lahan gambut pesisir sampai lahan basah buatan seperti tambak. Ekosistem lahan basah yang paling banyak memiliki perwakilan adalah tipe ekosistem Pantai berpasir dan Tambak. Kedua tipe ekosistem ini menjadi salah satu target penting dikarenakan kepentingannya untuk segera di rehabilitasi, baik dari sisi stabilisasi garis pantai maupun dari kacamata pemulihan kegiatan ekonomi.

Selain keragaman ekosistemnya, diketahu bahwa lokasi-lokasi seperti Teluk Belukar memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan kondisi hutan mangrovenya masih dapat dibilang alami walaupun saat ini terancam oleh adanya gangguan-gangguan. Hasil survey juga menunjukkan bahwa dua tahun setelah Tsunami, keanekaragaman setempat mulai muncul kembali mengisi habitat-habitat yang tadinya kosong. Hanya disayangkan, bahwa data awal kondisi populasi dan keragaman jenis sebelum Tsunami di lokasi-lokasi tersebut tidak tersedia. Apabila data tersebut tersedia akan sangat menarik untuk diketahui jenis-jenis mana yang memiliki kemampuan paling adaptif terhadap bencana bersakala besar ini. Namun demikian, data keragaman hayati yang ditemukan pada saat survey menjadi ciri bahwa populasi yang ada cukup adaptif dan dirasa cukup penting untuk menjadi masukan akan nilai penting suatu lokasi.

Dari sisi keanekagaman hayati, beberapa kesimpulan yang dapat di ambil dari hasil dan pembahasan di atas, antara lain :

• Laguna Teluk Belukar di Kecamatan Gunung Sitoli Utara, Kabupaten Nias, memiliki keanekaragaman satwa-liar yang paling besar diantara 14 lokasi yang dikunjungi, dengan menjadi habitat bagi 48 jenis burung, 8 jenis mammalia, dan 21 jenis herpetofauna.

• Mengacu pada status perlindungan yang berlaku di Indonesia, maka Lokasi Desa Teluk Belukar merupakan lokasi yang memiliki satwa-liar yang dilindungi dengan jumlah paling besar, sebanyak

16 jenis, kemudian diikuti oleh Gle Jong sebanyak 15 jenis, kemudian Suak Nie (12), dan Krueng Tunong. • Mengacu pada status keterancaman-punahan secara global (IUCN, 2006), hanya Cenamprong yang memiliki satwa-liar dengan status keterancaman Genting (Engangered), sebanyak satu jenis. Paya Kameng memiliki 2 jenis satwa-liar dengan status keterancaman Rentan (Vulnerable).

• Ancaman dan gangguan terhadap keberadaan satwa liar, umumnya mengancam habitatnya, yaitu: kegiatan pembangunan/rekonstruksi, penebangan mangrove dan rencana pengelolaan yang tidak berkelanjutan. Selain itu, perburuan terhadap jenis-jenis fauna masih terjadi di beberapa lokasi.

Walaupun Green Coast memiliki kegiatan utama berupa rehabilitasi lahan dengan melakukan penanaman pohon, beberapa lokasi menunjukkan berlangsungnya suksesi alami paska Tsunami (misalnya di Keude Unga dan Gle Jong). Akan sangat menarik untuk membandingkan antara rehabilitasi atas campur tangan manusia dengan suksesi alami yang terjadi di lokasi-lokasi terkena bencana Tsunami.Umumnya suksesi vegetasi alami akan memberikan hasil yang lebih alami dimana tidak ada jarak tanam dan keseragaman umur vegetasi yang ditanam. Keseragaman ini sangat diperlukan oleh flora fauna lainnya dalam menjaga kesetimbangan ekosistem. Sementara penanaman oleh manusia yang biasanya dengan jarak teratur dan umur yang sama akan lebih rentan terhadap perubahan dan lebih sedikit memberi ruang habitat bagi berbagai keanekaragaman hayati.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Sesuai dengan pola kehidupan pesisir dimana sebagian besar masyarakatnya bergantung kepada usaha perikanan baik tangkap maupun budidaya, maka kegiatan pemberdayaan ekonomi yang diusulkan banyak menyentuh sendi-sendi usaha perikanan. Hanya saja dalam proyek GC ini, usaha- usaha perikanan yang dipromosikan untuk dilakukan adalah usaha-usaha yang ramah lingkungan. Selain usaha perikanan, kegiatan pertanian juga turut dipromosikan sebagai penunjang pendapatan tambahan dan sebagai bahan pakan harian masyarakat di lokasi GC2. Jenis tanaman yang ditanam dan komoditi pertanian yang akan dikembangkan ditentukan dari hasil analisis dokumen ini dan disampaikan kepada kelompok masyarakat maupun lembaga mitra/fasilitator. Perpaduan unik antara kegiatan rehabilitasi lingkungan dan peningkatan mata pencaharian yang ditunjang dengan kajian ilmiah sebagai dasar perencanaan kegiatan menjadi salah satu faktor penting tertariknya masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan Green Coast.

Namun demikian, pada saat dilalukan kajian lapangan, masih banyak ditemukan kegiatan-kegiatan pembangunan, terutama yang terkait dengan upaya rekonstruksi paska Tsunami, yang merusak lingkungan atau mengganggu kegiatan Green Coast. Konflik seperti ini terjadi karena adanya kombinasi antara perencanaan yang kurang matang dan koordinasi yang kurang baik antar sektoral. Sering kali ditemukan dalam banyak kasus, terutama dalam kasus pembangunan pelabuhan di Teluk Belukar, dimana kegiatan baru diketahui dampaknya kepada lingkungan setelah kegiatan pembangunan selesai dilakukan, sehingga investasi yang telah dilakukan menjadi tidak efektif. Dampak pembangunan juga ditemukan tidak langsung berasal dari kegiatan rekonstruksi itu sendiri tapi juga berasal dari turunan dampaknya, misalnya pembukaan/konversi lahan sekitar, naiknya harga-harga akibat hadirnya proyek-proyek sampai dengan peningkatan pemanfaatan sumber daya alam.

Berangkat dari beberapa kesimpulan diatas, penyusun merekomendasikan untuk di lakukan usaha- usaha sebagai berikut:

• Setiap pengelola kawasan sebaiknya mengacu kepada dokumen ini dalam melakukan perencanaan kegiatan atau program yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lahan basah

• Perlu adanya keterlibatan dan perhatian pemerintah desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi dalam mengelola lokasi-lokasi Green Coast lebih lanjut terutama paska berakhirnya proyek. Pengelolaan dapat dilakukan oleh masyarakat setempat dengan arahan dan petunjuk dari pemerintah setempat.

• Perlu dilakukan pemantauan yang rutin akan kondisi populasi keanekaragaman hayati dan suksesi alami yang terjadi di lokasi-lokasi paska Tsunami untuk mengetahui dinamika populasi paska kejadian bencana besar seperti ini.

• Rehabilitasi tanaman di lokasi paska Tsunami harus mempertimbangkan sejarah vegetasi lokasi

dan kondisi saat ini, dimana faktor ini memegang peranan penting dalam keberhasilan rehabilitasi. • Untuk keberlanjutan kegiatan ekonomi yang maksimal dan berkelanjutan perlu dukungan

fasilitator dan mitra kerja yang handal dalam mengelola dan membimbing masyarakat setempat. Pendampingan yang dilakukan harus diarahkan kepada peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola usaha yang ada sehingga diakhir kegiatan mereka bisa menjadi masyarakat yang mandiri

• Perlu dilakukannya pengawasan dan pemantauan yang lebih ketat akan rencana-rencana pembangunan yang ada terutama dalam proses pembuatan amdal dan pengawasan berjalannya rencana kelola lingkungan (RKL) untuk menghindari dan meminimalisir dampak terhadap lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat.

546 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

6. Daftar Pustaka

Anonimous, 2006. Initial Environmental Examination (IEE) ADB-ETESP Fisheries Component Aceh Barat.

Bagarinao& Lantin-Olaguer (2000), From triphenyltins to integrated management of the ‘pest’ snail Cerithidea cingulata in mangrove-derived milkfish ponds in the Philippines. Hydrobiologia 437: 1–16

Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dab Analisis Data Biofisik Smberdaya Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor.

Coloso, R. M. & I. G. Borlongan, 1999. Significant organotin contamination of sediment and tissue of milkfish in brackish water ponds. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 63: 297–304.

Courtney, Catherine A.; Timothy Brown, Virza Sasmitawidjaja; James Tarrant, and J. Johnnes Tulungen. 2005. Paving t he Way for Coastal Resource Rehabilitation and Sustainable Coastal Communities: Recommendations for the West Coast of Aceh Province, Indonesia. Prepared by IRG-Tetra Tech Joint Venture for the United States Agency for International Development under Contract No. EPP-1-00-04-00024-00, 48 pp.

CSAR. 1997. Pedoman Klasifikasi Landform (Guidelines for Landform Classification). Laporan

Teknis No.5. Versi 3.0. LREP-II Part C. Center for Soil and Agroclimate Research. Bogor. Delani, S. & D. Scott. (Eds.) 2006. Waterbird Population Estimates 4th Edition. Wetlands International. Elaiza Alvarez, 2006. Influence Of Typha Latifolia And Phragmites Communis Root Matter On

Degradation Of Aged 1,2,3,4-Tetrachlorobenzene In Bayou Sediments. A Thesis Submitted to the Graduate Faculty of the Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College in partial fulfillment of the requirements for the degree of Master of Science in Civil Engineering in The Department of Civil and Environmental Engineering

Finlayson, CM et all. 2003. Panduan Inventarisasi Lahan Basah ASIA. Versi 1.0 (Indonesia). Wetlands International. 2003

Gautier D.; Amador J.; Newmark F, 2001. The use of mangrove wetland as a biofilter to treat shrimp pond effluents: preliminary results of an experiment on the Caribbean coast of Colombia. Aquaculture Research, Vol. 32, No. 10, pp. 787-799(13).

Gerry Allen, 2000. Marine Fishes of South-east Asia. Periplus Editions (HK) Ltd. Printed in Singapore GHOSH, M. and S.P.SINGH, 2005. A review on phytoremediation of heavy metals and utilization of its

byproducts. APPLIED ECOLOGY AND ENVIRONMENTAL RESEARCH 3(1): 1-18. Inger, R. F. and R. T. STUEBING. 1997. A Field Guide to the Frogs of Borneo. Natural History

Publication, Kota Kinabalu, Sabah. Inger, R. F. and R. T. STUEBING. 1999, A Field Guide to the Snakes of Borneo. Natural History

Publications (Borneo) Kota Kinabalu. Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura dan Buaya di Indonesia & Papua Nugini, dengan catatan mengenai

jenis-jenis di Asia Tenggara. PALMedia Citra. Bandung IUCN. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist>. Downloaded on April 2007. J.H. Primavera. 2000. Integrated Mangrove-Aquaculture Systems In Asia. Integrated Coastal Zone

Management. Autumn ed., pp.121-130MacKinnon, J., Karen Phillipps dan Bas van Ballen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang Biologi - LIPI.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor.

Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Macintosh D.J., M.J. Phillips, R.R. Lewis III and B. Clough. 2002. Annexes to the: Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Aquaculture. Case studies 1-6. Report prepared under the World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for Public Discussion. Published by the Consortium.

MacKinnon, J., Karen Phillipps dan Bas van Ballen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang Biologi - LIPI.

Mistar. 2003a. Panduan Fotografi Amfibi Dan Reptil di Kawasan Kelian Equatorial Mining Kalimantan Timur. PT. KEM.

Mistar. 2003b. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Cetakan Pertama. The Gibbon Foundation-PILI NGO Movement.

New, Michael B., 2003. Responsible Aquaculture: Is This A Special Challenge For Developing Countries ?. Review formed the basis for developing the keynote paper given by Michael New at World Aquaculture 2003 on 20 May 2003 in Salvador, Brazil. www.was.org/Library/ English/NewBrazil2003.pdf

Noerjito, M. & I. Maryanto. 2001. Jenis-jenis hayati yang dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Balitbang Zoologi (MZB) Puslitbang Biologi LIPI & The Nature Conservation.

Noor,Y.R., Khazali,M., I.N.N Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International IP. Bogor.

Payne, J., C.M. Francis, K. Phillipps, dan S.N. Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan Mammalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. Terjemahan Bahasa Indonesia WCS - Indonesia Program.

R őnnback, Patrik. 2003. Critical Analysis Of Certified Organic Shrimp Aquaculture In Sidoarjo,

Indonesia. Prepared for Swedish Society for Nature Conservation (SSNC) December 2003. Suryadiputra, I N. N. (Editor). 2006. Kajian Kondisi Lingkungan Pasca Tsunami di Beberapa Lokasi

Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Wetlands International – Indonesia Programme/CPSG/Univ. Syah Kuala. Bogor. xxvi + 421.

UNEP-WCMC. 2007. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species. On the World Wide Web:

http://sea.unep- wcmc.org/isdb/CITES/Taxonomy/fa_user.cfm/isdb/CITES/Taxonomy/fa_user.cfm

van Strien, N.J. 1983. A Guide to the Tracks of Mammals of Western Indonesia. School for Environmental Conservation Management, Ciawi, Indonesia.

van Dijk, P. P. M.J. Cox, Jarujin Nabhitabhata & Kumthorn Thirakhupt. 1998. A Photographic Guide to Snakes and other reptiles of Penninsular Malaysia, Singapore and Thailand. New Holland Publisher Ltd. London.

Wibisono, I.T.C & Eko PH. 2007. Panduan praktis rehabilitais pantai. WIIP-UNEP. Bogor. Wilkinson, C., D. Souter, J. Golberg (Eds). 2006. Status Terumbu karang Di Negara Negara Yang

Terkena Tsunami 2005. Australian Institute of Marine Science.)

548 Kajian Kondisi Bio-Fisik dan Sosial Ekonomi di lokasi-lokasi Proyek Green Coast Fase II

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24