Strategi Pengembangan Kelembagaan Kelompok Peternak Program Sarjana Membangun Desa (Smd) Di Kabupaten Bogor

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KELOMPOK
PETERNAK PROGRAM SARJANA MEMBANGUN DESA (SMD)
DI KABUPATEN BOGOR

FAROUK MOCHTAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir berjudul Strategi
Pengembangan Kelembagaan Kelompok Peternak Program Sarjana Membangun
Desa (SMD) di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Farouk Mochtar
NRPH252124065

RINGKASAN
FAROUK MOCHTAR. Strategi Pengembangan Kelembagaan Kelompok
Peternak Program Sarjana Membangun Desa (SMD) Di Kabupaten Bogor.
Dibimbing oleh LUKMAN M BAGA dan ALLA ASMARA.
Program SMD ini merupakan upaya meningkatkan kemampuan peternak
mengembangkan usaha berkelompok dan meningkatkan kapasitas usaha, dengan
menempatkan sarjana/lulusan perguruan tinggi bidang ilmu peternakan dan
kedokteran hewan sebagai manager dan pendamping serta ikut berusaha bersama
kelompok. Adanya interaksi dan kerjasama yang harmonis antara tenaga terdidik
dengan petani peternak diharapkan dapat mengelola usaha agribisnis peternakan
secara efektif dan efisien.
Kekuatan dari sarjana peternakan dan kedokteran hewan serta jumlah
rumah tangga peternak yang cukup besar serta potensi ternak yang tersedia,
sehingga program ini menjadi strategis dalam mendorong pembangunan
peternakan utamanya peternakan rakyat. SMD merupakan salah satu program

strategis Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian
Pertanian yang dimulai sejak tahun 2007. Sampai dengan tahun 2012 telah dapat
direalisasikan sebanyak 2.694 kelompok yang tersebar di 30 Propinsi, melibatkan
32 perguruan tinggi peternakan maupun kedokteran Hewan. Berdasarkan jenis
ternak, sapi potong 1467 (54,45%), sapi perah 124 (4,60%), Kerbau 43(1,60%),
Kambing/domba 669 (24,83%), Unggas lokal 344 (12,77%), dan kelinci 47
(1,74%)
Pelaksanaan program tentunya tidak semulus yang diharapkan, masih
terdapat permasalahan dihadapi. Permasalahan tersebut antara lain dana yang
telah diberikan pemerintah tidak digunakan sebagaimana rencana usaha
kelompok, adanya konflik antara SMD dan Kelompok, SMD sangat dominan
dibandingkan dengan kelompok peternaknya begitupula sebaliknya, peran
pemerintah setempat yang belum optimal, pelaporan perkembangan kegiatan
SMD sebagai kewajiban tidak dilaksanakan, usaha kelompok tidak berkembang.
Hal tersebut, yang mendasari perlunya dilakukan kajian program tersebut, untuk
melihat sejauhmana dampak yang dirasakan oleh kelompok peternak di suatu
daerah. Salah satunya adalah Kabupaten Bogor.
Tujuan kajian adalah untuk :1) mengevaluasi kinerja kelompok peternak
pada program SMD di Kabupaten Bogor; 2) menganlisis peran stakeholders
dalam pengembangan kelembagaan peternak melalui program SMD di Kabupaten

Bogor, dan ; 3) merumuskan strategi pengembangan kelembagaan peternak
melalui program SMD di Kabupaten Bogor. Pengambilan data dilakukan dengan
wawancara, observasi dilapangan dan kuesioner, kemudian data dianalisis dengan
menggunakan analisis importance performance analysis (IPA), stakeholders, dan
SWOT.
Hasil kajian menunjukkan 1) kinerja program SMD berdasarkan aspek
teknis, ekonomis dan kelembagaan berdasarkan analisis IPA adalah data antara
tingkat kepentingan dan tingkat kinerja program SMD yang secara rata-rata
adalah masing-masing 3,97 pada kepentingan dan 2,78 pada kinerja, sehingga
terdapat selisih sebesar 1,18. Hasil tersebut mengindikasikan masih terdapat aspek
yang harus dilakukan perbaikan karena belum sesuai tingkat kepentingan atau

harapan peternak, utamanya pada aspek kelembagaan; 2) Hasil analisis
stakeholders yang terlibat dalam program SMD umumnya lebih didominasi oleh
stakeholders primer, sementara stakeholders sekunder belum secara langsung
dilibatkan dalam proses program SMD namun dari hasil identifikasi ada beberapa
stakeholders sekunder yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap
pengembangan kelembagaan peternak. Upaya membangun komunikasi dan
koordinasi antar stakeholders kedepan menjadi perhatian khusus untuk dapat
dilakukan dalam program kerja sub sektor peternakan berikutnya, sehingga akan

tercipta sebuah kelembagaan yang proaktif dan mempunyai sinergi upaya
meningkatkan kesejahteraan peternak program pembangunan peternakan; dan 3)
Strategi pengembangan kelembagaan peternak dalam program SMD berdasarkan
hasil analisis SWOT kemudian dirumuskan kedalam beberapa program yang
kemudian dipetakan kedalam rencana aksi pengembangan kelembagaan
peternakan. Dalam program kerja yang disusun beberapa perhatian adalah sinergi,
komunikasi, dan koordinasi sebagai upaya penguatan kelembagaan peternak
dalam program pendampingan dan pemberdayaan peternak tahun mendatang di
Kabupaten Bogor.
Kata Kunci : kelompok peternak, kinerja, program sarjana membangun desa
(SMD), stakeholders.

SUMMARY
FAROUK MOCHTAR. Strategy Of Institutional Development of Breeders Group
Bachelor Village Building Program (SMD) in Bogor Regency. Supervised by
LUKMAN M BAGA and ALLA ASMARA.
SMD program is an effort to improve the ability of farmers to develop
business groups and increase the capacity of business, by placing an
undergraduate / graduate college field husbandry and veterinary science as a
manager and companion and join in efforts with the group. Interaction and

harmonious cooperation between educated personnel with livestock farmers are
expected to manage agribusiness farms effectively and efficiently.
The strength of the Bachelor husbandry and veterinary medicine as well as
the number of farming households is large enough and the potential of livestock
available, so that the program becomes strategic in encouraging the development
of primary livestock farms.
SMD is one of the strategic program of the Directorate General of Livestock
and Animal Health, Ministry of Agriculture, which began in 2007. Until the year
2012 has to be realized as many as 2,694 groups spread across 30 provinces,
involving 32 medical colleges and Animal husbandry. Based on the type of cattle,
beef cattle in 1467 (54.45%), 124 dairy cows (4.60%), Buffalo 43 (1.60%), goat /
sheep 669 (24.83%), local Poultry 344 (12, 77%), and rabbit 47 (1.74%).
Implementation of the program is certainly not as smooth as expected, there
are still problems faced. Those problems include the funds that have been given
by the government is not used as the business plan of the group, the conflict
between SMD and Group, SMD is dominant compared with the farmer nor vice
versa, the role of local government is not optimal, reporting the progress of the
SMD as the obligation not implemented, businesses the group did not develop.
That is, underlying the need to study the program, to see the extent of the impact
is felt by a group of farmers in a region. One is the Bogor Regency.

The purpose of the study was to: 1) evaluate the level of success of a group
of farmers in the SMD program in Bogor; 2) examine the role of Stakeholders in
the institutional development of farmers through SMD program in Bogor, and; 3)
formulate a strategy for institutional development of farmers through SMD
program in Bogor. Data were collected through interviews, field observations and
questionnaires, and the data analyzed using Importance Performance Analysis
(IPA), Stakeholders, and SWOT.
The results showed 1) Performance SMD program based on the technical,
economical and institutional IPA is based on analysis of data between the level of
interest and the level of performance SMD program which on average is
respectively 3.97 and 2.78 in interest on performance, so there is a difference of
1.18. These results indicate there are still aspects that need to be improved
because it has not the appropriate level of interest or expectations of farmers,
mainly on institutional aspects; 2) The results of the analysis Stakeholders
involved in SMD program generally dominated by primary stakeholders,
secondary stakeholders while not directly involved in the process but the SMD
program of identification results there are some secondary stakeholders concerned

and have an influence on the development of institutional breeders. Efforts to
build communication and coordination among stakeholders is of particular

concern for the future can be done in the work program of the next livestock subsector, that will create an institution that is proactive and have synergy efforts to
improve the welfare of farmers livestock development programs; and 3)
Institutional Development Strategy Breeders in SMD program based on the results
of SWOT analysis is then formulated into a number of programs which are then
mapped into an action plan for institutional development farms. In the work
program drawn some attention is the synergy, communication, and coordination
as the efforts to strengthen farmers in mentoring programs and the empowerment
of farmers coming year in Bogor.

Keywords : breeder groups, performance, stakeholders, the bachelor village
building program (SMD).

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KELOMPOK
PETERNAK PROGRAM SARJANA MEMBANGUN DESA (SMD)
DI KABUPATEN BOGOR

FAROUK MOCHTAR

Tugas akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional
pada
Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


ii

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Mulatsih

iii

Judul Tugas Akhir : Strategi Pengembangan Kelembagaan Kelompok Peternak
Program Sarjana Membangun Desa (SMD) Di Kabupaten
Bogor
Nama
: Farouk Mochtar
NRP
: H252124065

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lukman M Baga, MAEc
Ketua


Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Sc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Manajemen Pembangunan Daerah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, Mec

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr

Tanggal Ujian: 22 Januari 2016

Tanggal Lulus:

iv


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ini dapat kami diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengembangan kelembagaan
kelompok peternak, dengan judul Strategi Pengembangan Kelembagaan
Kelompok Peternak Program Sarjana Membangun Desa (SMD) di Kabupaten
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lukman M Baga, MAEc
dan Bapak Dr Alla Asmara, S,Pt, MSc atas bimbingan dan ilmunya. Penghargaan
dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dirjen Peternakan dan
kesehatan Hewan atas ijin belajar yang diberikan kepada penulis untuk
melanjutkan studi S2. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf
Dinas Peternakan dan perikanan Kabupaten Bogor, Dinas Peternakan Propinsi
Jawa Barat, UPT Peternakan Ciomas, SMD Kabupaten Bogor yang telah
membantu selama pengumpulan data, dan teman-teman angkatan MPD14 .
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, anak, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

Farouk Mochtar

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

i

DAFTAR GAMBAR

i

DAFTAR LAMPIRAN

ii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
6
6
7

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kelembagaan
Pemberdayaan Peternak
Evaluasi
Sarjana Membangun Desa
Evaluasi Program SMD terdahulu
Stakeholders
Kerangka Pemikiran

7
7
9
10
11
12
13
14

3

METODE
Lokasi dan Waktu
Jenis dan Teknik Pengumpulan
Populasi dan Sampel
Variabel Penelitian
Analisa Data

17
17
17
18
18
20

4

GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Program SMD
Gambaran Umum Lokasi Penelitian

24
24
28

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Kinerja Kelompok Peternak Program SMD
Analisis Peran Stakeholders dalam Penguatan Kelembagaan Kelompok
Peternak Program SMD

36
40

6

PERUMUSAN STRATEGI
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Strategi Pengembangan Kelembagaan Program SMD
Perumusan Program

49
49
52
55

7

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

59
59
59

DAFTAR PUSTAKA

60

LAMPIRAN

62

RIWAYAT HIDUP

69

vii

DAFTAR TABEL
1 Keragaan jenis ternak, populasi dan laju pertumbuhan ternak Kabupaten
Bogor 2011-2013
2 Jumlah paket program SMD berdasarkan Kabupaten/Kota di Propinsi
Jawa Barat 2008-2012
3 Jenis ternak dan jumlah realisasi kegiatan SMD di Kabupaten Bogor
2008-2012
4 Populasi dan sampel penelitian pada kelompok peternak
5 Daftar variabel dan indikator kelembagaan peternak
6 Matriks SWOT
7 Matriks tujuan, jenis data, sumber data, responden dan metode
penelitian
8 Komponen kegiatan yang dapat dibiayai dari dana Bansos SMD
9 Matriks tugas dan peran tim pelaksana SMD
10 Jumlah kelompok peternak dan SMD 2010-2012 Kabupaten Bogor
11 PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha Kabupaten
Bogor 2012-2013
12 PDRB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha Kabupaten
Bogor 2012-2013
13 Perkembangan produksi asal ternak Kabupaten Bogor 2008-2013
14 Zona pengembangan ternak di Kabupaten Bogor
15 Karekteristik responden anggota kelompok peternak program SMD
2015
16 Nama kelompok, komoditi ternak, tahun alokasi, dan jumlah populasi
ternak kelompok peternak program SMD Kabupaten Bogor per Maret
2015
17 Perbandingan tingkat kepentingan dan kinerja kelompok peternak
program SMD 2015
18 Kategorisasi stakeholders pada Program SMD Kabupaten Bogor 2015
19 Analisis kepentingan dan pengaruh stakeholders pada program SMD
Kabupaten Bogor
20 Matriks keterkaitan antar stakeholders pada program SMD 2015
21 Matriks SWOT strategi pengembangan kelembagaan peternak program
SMD di Kabupaten Bogor 2015
22 Matriks strategis, program, sasaran, dan penanggungjawab program
pengembangan kelembangaan peternak SMD 2016-2018

3
4
5
18
19
23
23
26
27
28
30
31
33
35
34

35
36
37
42
47
52
57

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir kajian strategi pengembangan kelompok peternak
melalui program SMD di Kabupaten Bogor
2 Klasifikasi stakeholders menurut pengaruh dan pentingnya
3 Mekanisme pelaksanaan program SMD
4 Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor tahun 2001-2013
5 PDRB perkapita pertahun Kabupaten Bogor tahun 2011-2013
6 Perkembangan konsumsi protein hewan Kabupaten Bogor 2008-2013
7 Kuadran analisis IPA

16
21
24
32
32
34
40

ii
vii

8 Klasifikasi stakeholders pada program SMD di Kabupaten Bogor
menurut kepentingan dan pengaruhnya 2015
9 Arsitektur strategi dan program pengembangan kelembagaan kelompok
peternak SMD di Kabupaten Bogor

45
59

DAFTAR LAMPIRAN
1 Isian kuesioner importance performance analysis

63

1

1

PENDAHULUAN
Latar belakang

Pembangunan peternakan secara umum adalah upaya meningkatkan produksi
ternak untuk meningkatkan taraf hidup peternak dan memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat yang berasal dari ternak. Salah isu strategis pembangunan peternakan
adalah jumlah rumah tangga peternak rakyat yang cukup besar (90%), skala usaha
yang belum ekonomis, dan tersebar (Ditjen PKH, 2013). Selain itu, isu penting
lainya adalah lemahnya kelembagaan dan posisi peternak serta produktivitas masih
rendah.
Upaya pemerintah yang dilakukan dengan penguatan modal dan
kelembagaan peternak masih belum optimal, sehingga nilai tambah dan margin
keuntungan yang diterima peternak masih rendah. Salah satu yang menjadi
kelemahan dalam pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan peternak yang
dilakukan pemerintah adalah pemberian bantuan baik ternak maupun transfer dana ke
kelompok, masih belum optimalnya pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah dan penyuluh pertanian.
Setidaknya ada empat masalah pokok pembangunan perdesaan yang saling
terkait satu sama lain – ibarat lingkaran yang tak berujung pangkal yakni
kemiskinan, kependudukan dan ketenagakerjaan, keterbatasan infrastruktur, dan
masalah kelembagaan. Menurut North (1990), kelembagaan mencakup aturan main
atau prosedur yang mengatur bagaimana agen (masyarakat) berinteraksi dan
organisasi (players) yang mengimplementasikan aturan-aturan tersebut untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Aturan main mencakup peraturan perundangundangan pemerintah, aturan-aturan tertulis yang digunakan oleh organisasiorganisasi privat, dan organisasi-organisasi publik dan privat yang beroperasi di
bawah hukum public (institusi formal) dan aturan perilaku sosial tak tertulis seperti
norma sosial, sanksi sosial, adat istiadat dan budaya masyarakat (institusi formal).
Masalah ini bukan hanya berkaitan dengan ketersediaan lembaga-lembaga di bidang
ekonomi, sosial, politik, dan budaya tetapi juga yang lebih penting adalah apakah
lembaga-lembaga tersebut berfungsi dengan baik ataukah tidak. Selain itu, perhatian
dan penghargaan terhadap modal sosial (mutual trust, co-operativeness, networks)
yang merupakan aspek budaya yang mendukung proses pembangunan yang selama
ini rendah atau bahkan kadang-kadang diabaikan sama sekali harus segera diakhiri.
Pembangunan bukan dilakukan di ruang hampa tetapi di dalam suatu wilayah yang
memiliki selain manusia dan sumberdaya fisikal juga memiliki system nilai, adat
istiadat, dan budaya.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan
hewan, telah mengamanatkan pada Pasal 32 (2) “pemerintah dan pemerintah daerah
memfasilitasi dan membina pengembangan budidaya yang dilakukan oleh peternak
…” dan Pasal 76 (1) “Pemberdayaan peternak, usaha di bidang peternakan dan usaha
di bidang kesehatan hewan dilakukan dengan memberikan kemudahan bagi
kemajuan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan serta peningkatan daya
saing “.
Pengalaman pemberdayaan peternak menunjukkan bahwa selama ada
pendampingan usaha bergerak maju, ketika pendampingan terhenti usaha kembali
lesu, sehingga kebutuhan peternak terhadap pendampingan menjadi sangat penting.

2

Dilain pihak banyaknya anak muda berbasis ilmu peternakan dan kedokteran hewan
lulusan perguruan tinggi belum punya pekerjaan yang menopang hidupnya.
Disinilah titik temu kebutuhan peternak terhadap pendampingan, disisi yang lain
kebutuhan lapangan pekerjaan bagi generasi muda terdidik. Melihat kondisi
pembangunan peternakan tersebut, upaya pemerintah yang telah dilakukan belum
optimal, serta adanya lulusan perguruan tinggi yang terdidik sehingga diwujudkanlah
program Sarjana Membangun Desa (SMD).
Program SMD ini merupakan upaya meningkatkan kemampuan peternak
mengembangkan usaha berkelompok dan meningkatkan kapasitas usaha, dengan
menempatkan sarjana/lulusan perguruan tinggi bidang ilmu peternakan dan
kedokteran hewan sebagai manager dan pendamping serta ikut berusaha bersama
kelompok. Adanya interaksi dan kerjasama yang harmonis antara tenaga terdidik
dengan petani peternak diharapkan dapat mengelola usaha agribisnis peternakan
secara efektif dan efisien.
Keinginan untuk merubah pola beternak dari sambilan menjadi usaha
berorientasi bisnis dipercaya merupakan jalan yang dapat meningkatkan populasi,
produksi dan produktivitas ternak. Oleh karenanya peternak harus di dampingi
seorang “manajer” yaitu mereka yang menguasai ilmu beternak yang dilengkapi
dengan kemampuan melihat potensi yang dimiliki, menghadapi tantangan dan
peluang yang dihadapi, serta mampu mengakses informasi, teknologi, permodalan,
pemasaran dan jaringan usaha/bisnis. Peranan tersebut hanya mampu dilakukan oleh
seorang wirausaha, oleh karena itu SMD harus selalu memperbaiki diri sejalan
dengan perkembangan usahanya. Upaya mendorong lahirnya wirausaha perlu
dilakukan secara sistematis, program SMD ini diharapkan dapat melahirkan
wirausaha yang berkarir bersama kelompok, maju dan berkembang bersama
peternak. SMD tidak hanya didorong menjadi wirausaha tapi harus dapat
menggerakkan pengembangan peternakan, meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan kelompok.
Output yang diharapkan terwujud setelah ada pendampingan adalah
peningkatan produktivitas, pengembangan usaha sampai melampaui skala ekonomis,
peningkatan produksi dan peningkatan nilai tambah produk ditingkat peternak,
peningkatan pendapatan, serta harga produk diatas harga dasar yang didukung oleh
adanya perbaikan mutu. Secara kelembagaan, output rekayasa sosial komunitas
petani tersebut seharusnya menghasilkan (1) kelembagaan petani berdaya sebagai
wadah dan pedoman pemenuhan usaha tani petani dan pertanian; (2) kelembagaan
agribisnis terpadu nondominatif berfungsi efektif dan sinergis, dan (3)
berkembangnya system agribisnis efektif, simetris dan berkelanjutan (Sumarjo,2012).
Kekuatan dari Sarjana peternakan dan kedokteran hewan serta jumlah rumah tangga
peternak yang cukup besar serta potensi ternak yang tersedia, sehingga Program ini
menjadi strategis dalam mendorong pembangunan peternakan utamanya peternakan
rakyat.
Program SMD merupakan salah satu program strategis Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian yang dimulai sejak tahun
2007. Sampai dengan tahun 2012 telah dapat direalisasikan sebanyak 2.694
kelompok yang tersebar di 30 Propinsi, melibatkan 32 perguruan tinggi peternakan
maupun kedokteran Hewan. Berdasarkan jenis ternak, SMD sapi potong 1467
(54,45%), SMD sapi perah 124 (4,60%), SMD Kerbau 43(1,60%), SMD

3

Kambing/domba 669 (24,83%), Unggas lokal 344 (12,77%), dan kelinci 47 (1,74%)
(Ditjen PKH, 2012).
Pelaksanaan program tentunya tidak semulus yang diharapkan, masih terdapat
permasalahan dihadapi. Permasalahan tersebut antara lain dana yang telah diberikan
pemerintah tidak digunakan sebagaimana rencana usaha kelompok, adanya konflik
antara SMD dan kelompok, SMD sangat dominan dibandingkan dengan kelompok
peternaknya begitupula sebaliknya, peran pemerintah setempat yang belum optimal,
pelaporan perkembangan kegiatan SMD sebagai kewajiban tidak dilaksanakan, usaha
kelompok tidak berkembang (Luthan, 2012). Hal tersebut, yang mendasari perlunya
dilakukan kajian program tersebut, untuk melihat sejauhmana dampak yang
dirasakan oleh kelompok peternak di suatu daerah. Salah satunya adalah Kabupaten
Bogor.
Kabupaten Bogor mempunyai letak yang strategis, karena salah satu daerah
penyangga dan penyeimbang ibukota Jakarta. Sebagai informasi Kabupaten Bogor
adalah salah satu Kabupaten di provinsi Jawa Barat, yang Ibukotanya Cibinong.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, Kota
Bekasi, dan Kabupaten Bekasi di utara ; Kabupaten Karawang di timur, Kabupaten
Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di selatan, serta Kabupaten Lebak (Banten) di
barat. Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan yang terdiri dari 410 desa dan 16
kelurahan. Luas wilayah administratif Kabupaten ini adalah 2.071,21 km 2, dengan
jumlah penduduk 4.771.932 jiwa (2010). Sehingga selain sebagai daerah penyangga
Jakarta, untuk menyediakan produk peternakan, juga sebagai wilayah konsumen,
dengan jumlah penduduk yang cukup besar. (Laporan Kabupaten Bogor, 2012).
Tabel 1. Keragaan jenis, populasi dan laju pertumbuhan ternak Kabupaten Bogor
tahun 2011-2013

No

Laju pertumbuhan
(%)

Tahun

Jenis Ternak
2011

2012

1
Sapi Potong
33.220
38.843
2
Sapi Perah
8.960
9.487
3
Kerbau
27.366
23.562
4
Kambing
123.986
130.849
5
Domba
221.873
214.408
6
Babi
4.102
3.895
7
Ayam Buras
1.436.530
1.546.554
8
Ayam Ras Petelur
4.438.536
4.580.155
9
Ayam Ras Pedaging
103.051.812
106.108.572
10 Itik
176.174
163.284
11 kelinci
24.867
43.719
Sumber data : Data Ditjen. PKH, diolah tahun 2013

2013 *)
27.025
9.998
24.034
131.569
239.472
3.506
1.677.970
4.969.344
115.124.892
177.160
52.463

2012-2011 2013-2012
14,5
5,6
(16,1)
5,2
(3,5)
(5,3)
7,1
3,1
2,9
(7,9)
43,1

(43,7)
5,1
2,0
0,5
10,5
(11,1)
7,8
7,8
7,8
7,8
16,7

Bila dilihat pada Tabel 1 keragaan jenis ternak di Kabupaten Bogor adalah
cukup variatif, dengan jumlah ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba)
kisaran 300-500 ribu ekor, dengan jumlah populasi cukup besar pada ternak
kambing dan domba. Sedangkan ternak non ruminansia (babi, ayam ras, ayam buras,
itik dan kelinci) kisaran 110-120 juta ekor, dengan jumlah populasi di dominasi
ayam ras. Dari sisi laju pertumbuhan populasi ternak yang cukup dinamis adalah
sapi potong, kerbau, domba, itik. Sedang pertumbuhan populasi yang baik adalah

4

sapi perah, kambing, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging dan kelinci.
Sehingga potensi mensuplai produk hasil ternak ke Jakarta dan sekitarnya cukup
besar, utamanya daging ayam dan daging kambing/domba. Sedangkan produksi susu
selain untuk konsumsi masyarakat Kabupaten bogor, sebagian hasil pengolahannya
dikirim ke Jakarta.
Tabel 2.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Jumlah paket program SMD berdasarkan Kabupaten/Kota di propinsi
Jawa Barat 2008-2012
Kabupaten/Kota
Bandung
Bandung Barat
Bogor
Ciamis
Cianjur
Garut
Kuningan
Majalengka
Subang
Sukabumi
Sumedang
Tasikmalaya

Jumlah Paket
30
21
80
31
21
37
22
16
10
25
31
23

Sumber data : Data Ditjen. PKH, diolah tahun 2013

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa Kabupaten Bogor mendapatkan
jumlah paket penerima program SMD merupakan Kabupaten yang terbanyak
menerima program SMD di propinsi Jawa Barat dan telah mendapat program
tersebut sejak tahun 2008. Permasalahan yang dihadapi adalah peran pemerintah
utamanya Dinas Peternakan belum optimal dalam melakukan pembinaan kelompok
SMD, adanya kelompok SMD, pelaporan kegiatan SMD yang tidak lancar dan
terkadang sama sekali tidak melapor, SMD gagal membina kelompok sehingga usaha
peternakannya tidak berkembang. Untuk itu, kajian ini untuk menjawab kondisi,
potensi dan permasalahan program SMD yang telah diutarakan diatas “Bagaimana
strategi pengembangan kelembagaan kelompok peternak melalui program SMD
dapat meningkatkan populasi dan produksi ternak, peran stakeholders, usaha
peternakan dan pendapatan kelompok peternak di Kabupaten Bogor? ”

Perumusan Masalah
Penguatan kelembagaan ekonomi peternak melalui SMD adalah upaya
pemanfaatan potensi sumber daya lokal yang dilakukan untuk meningkatkan nilai
tambah melalui program budidaya atau perbibitan ternak sehingga meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan kelompok peternak dan masyarakat sekitarnya.
Pembangunan wilayah tidak dapat direalisasikan tanpa adanya perubahanperubahan organisasi sosial dan sistem nilai, karena produktivitas dari suatu sistem
ekonomi dan pengelolaan sumberdaya dikondisikan oleh budaya dan kelembagaan
yang ada di masyarakat (Hayami, 2001). Oleh karena tingkat kesejahteraan

5

masyarakat di suatu wilayah tidak hanya cukup dimaknai dengan tingkat
pertumbuhan dan produktivitas ekonomi serta kemajuan-kemajuan di bidang fisik
saja, tetapi juga harus mempertimbangkan kinerja sosial budaya masyarakatnya,
seperti interaksi sosial, akses masyarakat pada pendapatan, pendidikan, kesehatan
dan proses demokrasi.
Program SMD di Kabupaten Bogor menerima paket sejak tahun 2008 dan
telah dapat direalisasikan sebanyak 80 kelompok (Tabel 3). Paket program tersebut
terdiri dari paket jenis ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau 21 kelompok, jenis
ternak kambing/domba 34 kelompok, dan jenis ternak unggas lokal dan kelinci 25
kelompok.
Tabel 3. Jenis ternak dan jumlah realisasi kegiatan SMD di Kabupaten Bogor tahun
2008-2012
No

Jenis Ternak

Jumlah SMD

%

1

Sapi Potong/Kerbau/Sapi
Perah

21

26

2

Kambing/Domba

34

43

3

Unggas Lokal dan Kelinci

25

32

80

100

Total
Sumber data : Ditjen PKH diolah, 2013

Penguatan kelembagaan kelompok peternak melalui program SMD adalah
upaya pemanfaatan potensi sumber daya lokal yang dilakukan untuk meningkatkan
nilai tambah melalui program budidaya atau perbibitan ternak sehingga
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan SMD, kelompok peternak dan
masyarakat sekitarnya. Dana bantuan sosial penguatan ekonomi petani melalui
program SMD adalah stimulasi dana untuk mengatasi kendala modal dan
kemampuan dalam usaha budidaya ternak agar selanjutnya mampu mengakses modal
dari lembaga permodalan secara mandiri.
Hasil evaluasi terhadap program SMD tahun 2007 s.d 2010 secara umum
tingkat keberhasilannya adalah 58,85%, khusus Jawa Barat sebesar 77% (Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2012). Disisi lain, masih terdapat permasalahan
yang ditemui dalam pengembangan kelembagaan kelompok peternak, antara lain 1)
informasi perkembangan kegiatan SMD yang tidak berkesinambungan dan terkadang
sama sekali tidak laporan, 2) hasil evaluasi SMD bahwa sebanyak 24,79% belum
memperlihatkan kemajuan, ada kecenderungan nilai asset berkurang, sehingga
kelompok ini diperlukan pembinaan dan pengawasan intensif agar dapat dilakukan
perbaikan; 3) Masih terdapat SMD tidak berhasil membina kelompok sehingga
usaha peternakannya tidak berkembang, 4) Adanya konflik antara SMD dan
kelompok peternak, yang menyebabkan usaha kelompok kurang berkembangan, 5)
masih minimnya jaringan pemasaran hasil ternak, dan akses terhadap pendanaan dan
teknologi. Sehingga, masih diperlukan kajian “ Bagaimana tingkat kinerja kelompok
peternak pada program SMD di Kabupaten bogor?”.

6

Program SMD adalah program yang melibatkan dinas peternakan atau yang
membidangi peternakan di propinsi dan Kabupaten/kota dan perguruan tinggi, oleh
karena itu sebagai elemen yang ikut terlibat langsung dalam program ini, harus
mengambil peran yang terukur sehingga dapat ikut mendukung keberhasilan
program. Dinas terkait, selama ini telah mengambil peran, namun masih dirasakan
belum optimal. Pembinaan yang seharusnya dilakukan secara rutin oleh Dinas
Kabupaten atau propinsi masih minim, bahkan di beberapa daerah dapat dikatakan
tidak ada. Dalam pengembangan kelembagaan kelompok peternak di Kabupaten
Bogor harus didukung oleh pemangku kepentingan terkait seperti Dinas Peternakan
atau membidangi peternakan di Kabupaten Bogor. Perguruan tinggi sebagai bagian
dari elemen program SMD tentunya memberikan kontribusi terhadap keberhasilan
program ini. Selain itu, juga terdapat lembaga yang secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kinerja program SMD seperti asosiasi peternakan, koperasi peternak,
lembaga pembiayaan/perbankan, pasar ternak, dan pedagang ternak. Karena masih
dijumpai posisi tawar kelompok peternak dan jaringan komunikasi yang masih lemah
dalam usaha mengakses pasar dan pembiayaan, sehingga diperlukan analisis
terhadap “Bagaimana peranan stakeholders dalam pengembangan kelembagaan
kelompok peternak program SMD di Kabupaten Bogor?”.
Hasil evaluasi tingkat kinerja dan analisis terhadap peranan stakeholders
dalam pengembangan kelembagaan kelompok peternak di Kabupaten Bogor
dijadikan acuan untuk perbaikan penyelenggaraan program pada waktu yang akan
datang. Pembinaan dan pendampingan kelompok peternak yang telah difasilitasi
oleh program SMD harus terus dilakukan, misalnya dengan fasilitasi kelompok
peternak yang sudah maju untuk mendapat akses modal melalui perbankan atau dana
CSR. Oleh karena itu, hasil kajian ini diharapkan dapat merumuskan strategi
pengembangan kelembagaan kelompok peternak Program SMD.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan kajian adalah untuk :
1)
Mengevaluasi kinerja kelompok peternak pada program SMD di Kabupaten
Bogor
2)
Menganalisis peran stakeholders dalam pengembangan kelembagaan
kelompok peternak melalui program SMD di Kabupaten Bogor
3)
Merumuskan strategi pengembangan kelembagaan kelompok peternak
program SMD di Kabupaten Bogor
Manfaat yang diperoleh dari kajian ini adalah pertama, dapat menjadi masukan bagi
pemerintah Kabupaten Bogor dalam merumuskan kebijakan pembangunan sub sektor
peternakan utamanya pengembangan kelembagaan kelompok peternak, kedua
sebagai salah satu bahan evaluasi terhadap program SMD bagi Ditjen PKH,
Kementerian Pertanian dalam rangka perbaikan program. Disamping itu, kajian ini
bermanfaat sebagai bahan informasi bagi berbagai pemangku kepentingan terkait
dengan masalah kelembagaan kelompok peternak dan juga untuk pengembangan
kajian program SMD selanjutnya.

7

Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini adalah
penyusunan strategi pengembangan
kelembagaan kelompok peternak, sehingga diharapkan evaluasi kinerja kelompok
peternak dan analisis peranan stakeholders pada program SMD di Kabupaten Bogor
dapat memberikan manfaat agar kelembagaan kelompok peternak berkelanjutan.
Untuk menghasilkan strategi tersebut, maka dilakukan evaluasi terhadap tingkat
kinerja kelompok peternak yang difasilitasi melalui program SMD periode 20102012. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap peran stakeholders terkait dengan
kelembagaan kelompok peternak utamanya pada Program SMD. Hasil keduanya,
akan dijadikan bahan untuk merumuskan strategi pengembangan kelembagaan
kelompok peternak.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kelembagaan.

Kelembagaan adalah kegiatan kolektif dalam suatu control atau yurisdiksi,
pembebasan atau liberasi, dan perluasan atau eskpansi kegiatan individu.
Kelembagaan menjadi salah satu kunci penting dalam menelusuri aktivitas ekonomi
yang dilakukan masyarakat, mulai dari kelas organisasi kecil atau kelompok
masyarakat di perdesaaan sampai pada organisasi besar suatu Negara yang berdaulat
(Arifin, 2013) Definisi kelembagaan mencakup tiga demarkasi penting, yaitu (1)
norma dan konvensi, (2) aturan umum, dan (3) hubungan kepemilikan (Bromley ,
2006 dalam Arifin, 2013).
Menurut North (1990), kelembagaan mencakup aturan main atau prosedur
yang mengatur bagaimana agen (masyarakat) berinteraksi dan organisasi (players)
yang mengimplementasikan aturan-aturan tersebut untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Aturan main mencakup peraturan perundang-undangan pemerintah,
aturan-aturan tertulis yang digunakan oleh organisasi-organisasi privat, dan
organisasi-organisasi public dan privat yang beroperasi di bawah hukum publik
(institusi formal) dan aturan perilaku social tak tertulis seperti norma social, sanksi
sosial, adat istiadat dan budaya masyarakat (institusi formal). Masalah ini bukan
hanya berkaitan dengan ketersediaan lembaga-lembaga di bidang ekonomi, sosial,
politik, dan budaya tetapi juga-yang lebih penting-adalah apakah lembaga-lembaga
tersebut berfungsi dengan baik ataukah tidak. Selain itu, perhatian dan penghargaan
terhadap modal social (mutual trust, co-operativeness, networks)- yang merupakan
aspek budaya yang mendukung proses pembangunan yang selama ini rendah atau
bahkan kadang-kadang diabaikan sama sekali harus segera diakhiri. Pembangunan
bukan dilakukan di ruang hampa tetapi di dalam suatu wilayah yang memiliki selain
manusia dan sumberdaya fisikal juga memiliki system nilai, adat istiadat, dan
budaya.
Masalah kelembagaan merupakan salah satu mata rantai yang terlemah dalam
memajukan peternakan di Indonesia (Makka, 2004). Masalah kelembagaan sangat
ditentukan oleh budaya, adat – istiadat dan nilai yang ada dalam masyarakat

8

setempat. Oleh karena itu masih sangat perlu dilakukan perubahan sikap dan pola
perilaku petani secara terus menerus.
Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan
peningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam Pakpahan, 1989). Faktorfaktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai
performance pembangunan yang dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari
factor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan,
maka tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan
dapat dicapai. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian
adalah masalah kelembagaan pertanian yang tidak mendukung, salah satunya
kelembagaan petani. Untuk itu perlu adanya pembangunan kelembagaan petani yang
dilandasi pemikiran bahwa: (a) proses pertanian memerlukan sumberdaya manusia
tangguh yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan sebagainya; (b)
pembangunan kelembagaan petani lebih rumit daripada manajemen sumberdaya
alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit unit produksi; (c) kegiatan
pertanian mencakup tiga rangkaian: penyiapan input, mengubah input menjadi
produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan menempatkan output
menjadi berharga; (d) kegiatan pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk
kebijakan dan kelembagaan dari pusat hingga lokal; dan (e) kompleksitas pertanian,
yang meliputi unit-unit usaha dan kelembagaan, sulit mencapai kondisi optimal.
Kelembagaan adalah keseluruhan pola pola ideal, organisasi, dan aktivitas
yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar seperti kehidupan keluarga, negara,
agama dan mendapatkan makanan, pakaian, dan kenikmatan serta tempat
perlindungan. Suatu lembaga dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan manusia sehingga lembaga mempunyai fungsi. Selain itu, lembaga
merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya tidak saja melibatkan pola
aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga
pola organisasi untuk melaksanakannya (Roucek dan Warren, 1984).
Kelembagaan petani yang dimaksud di sini adalah lembaga petani yang
berada pada kawasan lokalitas (local institution), yang berupa organisasi
keanggotaan (membership organization) atau kerjasama (cooperatives) yaitu petanipetani yang tergabung dalam kelompok kerjasama (Uphoff, 1986).
Kelembagaan ini meliputi pengertian yang luas, yaitu selain mencakup
pengertian organisasi petani, juga ‘aturan main’ (role of the game) atau aturan
perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, termasuk juga
kesatuan sosial-kesatuan sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu.
Kelembagaan petani dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran, yaitu: (a)
tugas dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi masyarakat dan
negara, (b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi sumberdaya
lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan pengelolaannya dalam
pencapaian tujuan masyarakat, (c) tugas pelayanan (service tasks) mungkin
mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan pembangunan atau
koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan (d) tugas antar organisasi (extraorganizational task) memerlukan adanya permintaan lokal terhadap birokrasi
atauorganisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar (Esman
dan Uphoff dalam Garkovich, 1989).

9

Kelembagaan merupakan keseluruhan pola-pola ideal, organisasi, dan
aktivitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar. Suatu kelembagaan pertanian
dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan petani sehingga
lembaga mempunyai fungsi.
Kelembagaan merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya tidak
saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan
manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya. Pengelolaan
sumberdaya usahatani oleh petani menyangkut pengaturan masukan, proses produksi,
serta keluaran sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Usaha pertanian sendiri
meliputi kegiatan-kegiatan in-put, produksi, dan out-put (Uphoff, 1986). Dalam
pengelolaan faktor-faktor produksi, proses produksi, sampai dengan pengolahan hasil
diperlukan kelembagaan petani. Kegiatan usaha pertanian akan berhasil jika petani
mempunyai kapasitas yang memadai. Untuk dapat mencapai produktivitas dan
efisiensi yang optimal petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif.
Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan di tingkat
petani. Secara tradisional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari
generasi ke generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang
lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani.
Kelembagaan petani yang efektif ini diharapkan mampu mendukung
pembangunan pertanian. Di tingkat petani lembaga diperlukan sebagai: (a) wahana
untuk pendidikan, (b) kegiatan komersial dan organisasi sumberdaya pertanian, (c)
pengelolaan properti umum, (d) membela kepentingan kolektif, dan (e) lain-lain.
Keberadaan kelembagaan petani didasarkan atas kerjasama yang dapat dilakukan
oleh petani dalam mengelola sumberdaya pertanian, antara lain: (a) pemprosesan
(processing), agar lebih cepat, efisien dan murah; (b) pemasaran (marketing), akan
meyakinkan pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi tawar petani; (c)
pembelian (buying), agar mendapatkan harga lebih murah; (d) pemakaian alat-alat
pertanian (machine sharing), akan menurunkan biaya atas pembelian alat tersebut;
(e) kerjasama pelayanan (cooperative services), untuk menyediakan pelayanan untuk
kepentingan bersama sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota; (f) bank
kerjasama (co-operative bank); (g) kerjasama usahatani (co-operative farming), akan
diperoleh keuntungan lebih tinggi dan keseragaman produk yang dihasilkan; dan (h)
kerjasa multi tujuan (multi-purpose co-operatives), yang dikembangkan sesuai minat
yang sama dari petani. Kegiatan bersama (group action atau cooperation) oleh para
petani diyakini oleh Mosher (1991) sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian.
Aktivitas bersama sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih
efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama.

Pemberdayaan Peternak.
Pemberdayaan peternak adalah segala upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah provinsi, pemerintah Kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan di
bidang peternakan dan kesehatan hewan untuk meningkatkan kemandirian,
memberikan kemudahan dan kemajuan usaha, serta meningkatkan daya saing dan
kesejahteraan peternak. Sedangkan peternak adalah perorangan warga negara
lndonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan. Usaha peternakan adalah
program usaha budidaya ternak untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku

10

industri, dan kepentingan masyarakat lainnya di suatu tempat tertentu secara terus
menerus. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai
penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait
dengan pertanian. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber
daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budidaya
ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya (Peraturan
Presiden Nomor 6, 2013).
Pemberdayaan sumber daya manusia SMD bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan, kapasitas dan wawasan agar menjadi pengelola usaha budidaya ternak
yang berdaya saing melalui proses pembelajaran seperti pelatihan, magang, atau studi
banding. Selain itu, pemberdayaan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran
SMD dalam memanfaatkan potensi sumberdaya yang dimilikinya untuk
mengembangkan usaha budidaya ternak di kelompok binaannya. Selanjutnya,
pemberdayaan ini diharapkan mampu menumbuhkan kepedulian SMD untuk
mengembangkan usaha budidaya ternak pada masyarakat petani peternak sekitarnya
agar berkembang kawasan usaha budidaya ternak yang berdaya saing secara
berkelanjutan. Indikator keberhasilan pemberdayaan tersebut adalah berkembangnya
kemampuan SMD dalam mengelola, mengoptimalkan potensi yang ada serta
menguatkan kelembagaan kelompok binaannya dalam pengembangan usaha
budidaya ternak (Pedoman SMD, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan melalui program SMD
yang telah dilakukan memberikan manfaat bagi petani, setidaknya mengubah
perilaku dan cara para tani dalam bertani. Keberadaan kelompok tani ternak Bina
Harapan berperan memfasilitasi anggotanya dengan berbagai lembaga terkait
keuangan, pasca panen, dan penyuluh meskipun belum maksimal. Petani sudah
merasakan manfaat bergabung dengan kelompok tani ternak Bina Harapan terutama
pada pengelolaan bantuan modal dan akses informasi (Giovanki, 2012).
Evaluasi
Evaluasi adalah suatu penilaian dalam kurun waktu tertentu yang mencoba
untuk menilai relevansi secara sistematis dan objektif, efisiensi, efektivitas
pelaksanaan, dan dampak/keberhasilan dari program dan kegiatan yang sedang
berjalan maupun yang telah selesai. Evaluasi dapat diartikan pula merupakan
rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan, keluaran, dan hasil terhadap
rencana dan standar. Pemantauan dilakukan pada seluruh program/kegiatan,
sedangkan evaluasi dapat dilakukan secara lebih selektif (Kementan, 2011).
Monitoring dan evaluasi partisipatoris merupakan alat untuk belajar dari
pengalaman, dari keberhasilan dan kegagalan, untuk kemudiaan melakukan yang
lebih baik di masa datang. Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi mempunyai
dua tujuan : (1) merupakan alat manajemen yang dapat membantu orang
meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, (2) merupakan proses pendidikan dimana
para partisipan meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan faktor-faktor yang
mempengaruhi situasi mereka, dan dengan demikian meningkatkan control mereka
terhadap proses pembangunan (Mikkelsen, 1999).

11

Sarjana Membangun Desa
SMD adalah sarjana lulusan perguruan/kekolah tinggi bidang ilmu–ilmu
peternakan dan kedokteran hewan dengan kualifikasi S-2, S-1, D-4 dan D-3, dan
mempunyai minat yang tinggi untuk mengembangkan usaha agribisnis peternakan di
perdesaaan bersama kelompok. Kelompok adalah kelompok tani yang bergerak
dalam usaha budidaya ternak yang memerlukan penguatan modal dan bimbingan
untuk pengembangan usahanya. Perguruan Tinggi adalah Universitas Negeri atau
Swasta dan Sekolah Tinggi yang memiliki Fakultas atau Jurusan Peternakan,
Fakultas Kedokteran Hewan ataupun Fakultas yang membidangi Jurusan Ilmu-ilmu
Peternakan dan Kedokteran Hewan di setiap Provinsi yang ditunjuk oleh Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Usaha budidaya ternak adalah usaha
yang dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan ternak, yang dipelihara sesuai
dengan perlakuan teknis yang telah ditetapkan, guna menghasilkan ternak dan
produk ternak yang berkualitas. SMD terpilih adalah SMD yang sudah lulus dari
proses seleksi dan ditetapkan melalui keputusan Menteri Pertanian. Pemberdayaan
kelompok peternak adalah upaya yang dilakukan dalam rangka meningkatkan
kemampuan peternak sehingga secara mandiri mampu mengembangkan usaha
budidaya ternak secara berkelanjutan. Penguatan kelembagaan ekonomi peternak
melalui SMD adalah upaya pemanfaatan potensi sumber daya lokal yang dilakukan
untuk meningkatkan nilai tambah melalui program budidaya atau perbibitan ternak
sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan SMD, Kelompok peternak dan
masyarakat sekitarnya. Dana bantuan sosial penguatan ekonomi petani melalui SMD
adalah stimulasi dana untuk mengatasi kendala modal dan kemampuan dalam usaha
budidaya ternak agar selanjutnya mampu mengakses modal dari lembaga permodalan
secara mandiri. Tim Teknis adalah petugas teknis dari Dinas Peternakan atau Dinas
yang membidangi fungsi peternakan Kabupaten/Kota yang mendampingi dan
membina pelaksanaan SMD.
Indikator keberhasilan pelaksanaan program SMD, dapat dilihat dari aspek
ekonomis, teknis dan kelembagaan. Aspek ekonomis, dengan indikasi adanya
pertambahan modal usaha dari hasil usaha peternakan yang dilaksanakan, dan adanya
diversifikasi usaha. Aspek teknis, dengan indikasi berupa pertambahan populasi
ternak dari hasil usaha yang dilaksanakan, adanya peningkatan produktivitas ternak
yang diusahakan, dan diterapkannya teknologi budidaya peternakan
(pakan,reproduksi, keswan, pengolahan limbah dll). Sedangkan pada aspek
kelembagaan, dilihat dari berkembangnya kelembagaan usaha dan kelompok
dijadikan sebagai tempat magang/pelatihan bagi masyarakat sekitar.

Evaluasi Program SMD
Evaluasi internal tahun 2009, dengan ruang lingkup 1) SMD tahun 20072008, 2) kriteria penilaian berdasarkan pertambahan populasi, pengembangan modal,
dan pengembangan SDM serta kelembagaan. Hasil evaluasinya : 1) SMD tahun
2007, penambahan populasi 3,71% dan induk bunting 11,80%, perputaran usaha
menunjukkan angka cukup tinggi, dari populasi awal 415 ekor, dapat dilakukan
penjualan mencapai 517 ekor atau 124,57% dari populasi awal; 2) SMD tahun 2008,
penambahan populasi 9,85% dan induk bunting 8,71%, perputaran usaha melalui

12

penjualan ternak dapat direalisasikan 1430 ekor dari populasi awal 6370 ekor atau
22,44%.(luthan, 2013)
Evaluasi tahun 2011 secara internal, ruang lingkup SMD 2007 s.d 2010,
dengan kriteria penilaian meliputi empat tingkatan : 1) grade A (sangat berkembang),
indikatornya adalah produksi dan produktivitas usaha meningkat, skala usaha
meningkat, asset kelompok bertambah, manajemen usaha baik, dinamika kelompok
berkembang, dan administrasi usaha tertib; 2) grade B (berkembang), indikatornya
adalah produksi dan produktivitas baik, skala usaha tetap, asset kelompok tetap,
manajemen usaha baik, dinamika kelompok belum berjalan, dan administrasi usaha
ada; 3) grade C (kurang berkembang) indikatornya adalah produksi dan produktivitas
turun, skala usaha turun, asset kelompok berkurang, manajemen usaha kurang baik,
dinamika kelompok tidak berjalan, dan administrasi usaha tidak tertib; 4) grade D
(tidak berkembang) indikatornya adalah populasi ternak berkurang, usaha tidak
berjalan, asset kelompok berkurang, manajemen usaha tidak baik, dinamika
kelompok tidak harmonis, dan administrasi usaha tidak ada. Kesimpulan evaluasinya
adalah 1) 70,91% adalah SMD yang berkembang usahanya, 14,71% diantaranya
berkembang sangat baik, nilai aset bertambah, akses terhadap permodalan dapat
direalisasikan, diversifikasi usaha berhasil dilakukan dan jaringan bisnis sesama
SMD maupun pihak lain dapat diwujudkan, 2) sebanyak 24,79% belum
memperlihatkan kemajuan, ada kecenderungan nilai asset berkurang, sehingga
kelompok ini diperlukan pembinaan dan pengawasan intensif agar dapat dilakukan
perbaikan, dan 3) 4,30% usaha tidak jalan dan cenderung bermasalah.
Evaluasi S