Pengaruh konsumsi protein dan mineral BESI (Fe) terhadap profil darah puyuh yang diberi tepung daun katuk dan murbei dalam pakan

(1)

PENGARUH KONSUMSI PROTEIN DAN MINERAL BESI (Fe)

TERHADAP PROFIL DARAH PUYUH YANG DIBERI

TEPUNG DAUN KATUK DAN MURBEI

DALAM PAKAN

SKRIPSI

ANGGUN MARSIZ JAYANTI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN


(2)

RINGKASAN

ANGGUN MARSIZ JAYANTI. D24070113. 2011. Pengaruh Konsumsi Protein dan Mineral Besi (Fe) terhadap Profil Darah Puyuh yang Diberi Tepung Daun Katuk dan Murbei dalam Pakan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. Pembimbing Anggota : Ir. Widya Hermana, M.Si.

Salah satu kendala yang dihadapi dalam mencapai produktivitas unggas secara optimal yaitu kurang seimbangnya kandungan nutrien pakan. Penggunaan tanaman lokal berupa daun katuk (Sauropus androgynus) dan murbei (Morus alba) dalam bentuk tepung dapat dijadikan sebagai alternatif pakan puyuh karena mengandung protein dan Fe yang cukup tinggi. Evaluasi pemanfaatan tepung daun katuk dan murbei dapat ditinjau dari aspek fisiologis, yakni melalui gambaran profil darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun katuk dan murbei terhadap profil darah dan status mineral besi (Fe) pada serum puyuh petelur.

Ternak yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 600 ekor puyuh betina yang berumur dua minggu. Penelitian ini terdiri atas empat perlakuan dan lima ulangan, dengan masing-masing ulangan terdiri atas 30 ekor puyuh. Perlakuan yang diberikan antara lain R0 (ransum kontrol tanpa mengandung tepung daun katuk dan murbei), R1 (ransum mengandung 10% tepung daun katuk), R2 (ransum mengandung 10% tepung daun murbei) dan R3 (ransum mengandung 5% tepung daun katuk dan 5% tepung daun murbei). Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri atas beberapa tahap, diantaranya tahap persiapan, pemeliharaan, sampling darah dan analisa. Sampling darah dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada puyuh umur 9 minggu (grower) dan umur 15 minggu (layer). Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap Pola Tersarang, dengan perlakuan pakan tersarang pada status faal puyuh (grower dan layer). Peubah yang diamati pada penelitian ini antara lain konsumsi protein, konsumsi Fe, profil darah dan kandungan Fe serum puyuh. Peubah tersebut diamati pada periode grower dan layer. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analysis ofvariance (ANOVA) dan jika terdapat perbedaan nyata, diuji lanjut menggunakan uji LSD.

Pemberian tepung daun katuk dan murbei tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi protein dan profil darah berupa eritrosit, hemoglobin dan leukosit, dan rasio H/L. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa pemberian 5% tepung daun katuk dan 5% tepung daun murbei memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap peningkatan konsumsi ransum dan protein. Periode grower juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap MCV dan sangat nyata terhadap persentase hematokrit serta MCHC. Kandungan Fe serum puyuh petelur yang tertinggi terdapat pada perlakuan ransum yang mengandung 10% tepung daun katuk. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian 10% tepung daun katuk dalam ransum memiliki kandungan Fe lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain dan dapat terekspresi pada pakan maupun serum puyuh.


(3)

ABSTRACT

The Effect of Protein Consumption and Iron (Fe) on Hematological Profile of Quail Based on Ration Containing Sauropusandrogynus

and Mulberry Leaves Meal

A. M. Jayanti, D. A. Astuti and W. Hermana

Sauropusandrogynus and mulberry leaves meal can be used for feed of quail. The aim of the study was to estimate the influence of protein and Fe intakes which given fed containing Sauropus androgynus and mulberry leaves meal in diffrerent level, to haematological blood parameters and iron (Fe) status at serum in grower and layer quail. This research was done using 600 Japanese quails that received 4 different feed treatments; R0 (control diet without leaves), R1 (diet containing 10% Sauropus androgynus leaves meal), R2 (diet with 10% mulberry leaves meal) and R3 (diet with 5% Sauropus androgynus leaves meal + 5% mulberry leaves meal). Haematological blood parameters were measured, such as erythrocyte number, haemoglobin level, packed cell volume (PCV) and leucocyte number, ration of heterofil and lymphosite, MCV and MCHC. Protein and Fe consumption were also evaluated. The experimental of this study was completely randomized design with nested design. Blood samples were taken on 9th week of grower phase and 15th week of layer phase. Result showed that ration containing 5% of Sauropus androgynus and 5% of mulberry meals increased significantly to the ration and protein intake (P<0.01). The grower phase of quail was increased significantly to precentage of PCV, MCV and MCHC. The highest serum concentration of Fe was in quail fed by ration containing 10% Sauropus androgynus leaves meal. The ration protein intake, erythrocyte number, haemoglobin, leucocyte number, ration of heterofil and lymphosite were same in all treatments.

Keywords : Japanese quail, Sauropus androgynus leaves meal, mulberry leaves meal, haematological profile


(4)

PENGARUH KONSUMSI PROTEIN DAN MINERAL BESI (Fe)

TERHADAP PROFIL DARAH PUYUH YANG DIBERI

TEPUNG DAUN KATUK DAN MURBEI

DALAM PAKAN

ANGGUN MARSIZ JAYANTI D24070113

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(5)

Judul : Pengaruh Konsumsi Protein dan Mineral Besi (Fe) terhadap Profil Darah Puyuh yang Diberi Tepung Daun Katuk dan Murbei dalam Pakan

Nama : Anggun Marsiz Jayanti

NIM : D24070113

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS) (Ir. Widya Hermana, M.Si) NIP. 19611005 198503 2 001 NIP. 19680110 199203 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. Agr) NIP. 19670506 199103 1 001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Anggun Marsiz Jayanti, dilahirkan pada tanggal 22 Agustus 1989 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sarno dan Ibu Sugiyarti.

Penulis mulai menempuh pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1995 di Taman Kanak-Kanak Kartika Persit Chandra Kirana X-11 Jakarta. Pendidikan dasar diselesaikan di Sekolah Dasar Kartika X-4 Jakarta pada tahun 1996-2001. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 177 Jakarta pada tahun 2001-2004 kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 90 Jakarta pada tahun 2004-2007. Setelah lulus SMA, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan Program Studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah mengikuti beberapa kegiatan baik dari aspek akademik, organisasi maupun kepanitiaan. Penulis dan satu tim pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKMK) tahun 2009 dengan judul “Fortifikasi Tepung Bayam pada Permen Susu sebagai Pangan Sehat Anak” dan dibiayai Dikti. Organisasi yang pernah diikuti penulis yaitu Badan Ekskutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM D) Divisi Politik dan Kajian Strategis (Polkastra) periode 2008-2009. Selanjutnya periode 2009-2010 penulis juga aktif di Badan Ekskutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM IPB) Kabinet Generasi Inspirasi pada Kementerian Kebijakan Nasional (Jaknas). Beberapa kepanitiaan yang pernah diikuti penulis, diantaranya Open House angkatan 45 (2008), D’ Farm Festival I (Seminar Nasional Swasembada Daging) tahun 2008, kegiatan Simposium Nasional Gerakan Berantas Korupsi II (Gebrak 2009) dan Simposium Nasional Kepemudaan (2009). Penulis juga pernah berkesempatan mengikuti magang di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (INTP, Fakultas Peternakan, IPB), Taiwan ICDF Cikarawang dan Peternakan Tapos, Ciawi. Selain itu, penulis pernah menjadi salah satu Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan periode 2009/2010. Pada periode 2009/2010 penulis pernah aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Kimia TPB dan tahun 2011 dilanjutkan sebagai asisten praktikum mata kuliah Fisiologi Nutrisi.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat-Nya yang telah diberikan pada penulis sehingga dapat menuangkan hasil pikiran dalam tulisan yang berupa skripsi dengan judul “Pengaruh Konsumsi Protein dan Mineral Besi (Fe) terhadap Profil Darah Puyuh yang Diberi Tepung Daun Katuk dan Murbei dalam Pakan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun katuk dan murbei terhadap profil darah dan status mineral besi (Fe) pada serum puyuh petelur.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor sejak September 2009 hingga Maret 2011. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunan tepung daun katuk dan murbei dalam pakan terhadap profil darah puyuh petelur. Kandungan protein dan Fe yang tinggi pada daun katuk dan murbei tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi sel darah merah, hemoglobin, hematokrit dan sel darah putih dibandingkan dengan puyuh yang tidak diberi pakan tepung daun katuk dan murbei. Gambaran profil darah puyuh yang baik akan mengindikasikan bahwa kondisi fisiologis ternak dalam keadaan sehat dan kebal terhadap penyakit.

Skripsi ini memuat informasi tentang kandungan nutrien tepung daun katuk dan murbei dan pengaruhnya terhadap gambaran profil darah puyuh petelur. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak agar menjadi lebih baik. Penulis juga berharap skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan, bermanfaat bagi Penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.

Bogor, Agustus 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ii

ABSTRACT iii

RIWAYAT HIDUP v

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Puyuh jepang (Coturnixcoturnixjaponica) 3

Karakteristik Puyuh 3

Kondisi Fisiologis dan Kebutuhan Nutrien Puyuh 3

Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) 5

Murbei (Morus alba) 6

Kebutuhan Protein 6

Mineral Besi (Fe) 7

Profil Darah 8

Gambaran Umum 8

Komponen Darah 9

Eritrosit 9

Hemoglobin 11

Hematokrit 11

Leukosit 11

MATERI DAN METODE 14

Lokasi dan Waktu Penelitian 14

Materi 14

Ternak Percobaan 14

Kandang dan Peralatan 14

Ransum 15

Metode 16

Pembuatan Tepung Daun 16

Prosedur Pelaksanaan 17

Tahap Persiapan 17

Tahap Pemeliharaan 17


(9)

Tahap Analisis Darah 18

Analisis Profil Darah 18

Perhitungan Jumlah Eritrosit 18 Perhitungan Kadar Hemoglobin (Hb) 19

Perhitungan Hematokrit 19

Perhitungan Leukosit 20

Perhitungan Diferensiasi Leukosit 20

Analisa Kandungan Mineral Fe 21

Peubah yang Diamati 22

Rancangan 22

Rancangan Percobaan 23

Model Matematis 23

Perlakuan 24

Analisis Data 24

HASIL DAN PEMBAHASAN 25

Konsumsi Ransum 25

Konsumsi Protein 26

Mineral Fe (Besi) 28

Eritrosit 31

Hemoglobin 33

Hematokrit (PCV) 35

Bahasan Umum Hubungan Eritrosit, Hemoglobin dan Hematokrit 36 Korelasi Konsumsi Protein terhadap Eritrosit 40 Korelasi Konsumsi Fe terhadap Hemoglobin 42

Leukosit 44

KESIMPULAN DAN SARAN 47

Kesimpulan 47

Saran 47

UCAPAN TERIMA KASIH 48

DAFTAR PUSTAKA 49


(10)

DAFTARTABEL

Nomor Halaman

1. Jumlah Ransum yang Diberikan Berdasarkan Umur Puyuh 4 2. Kebutuhan Nutrien Puyuh Fase Grower dan Layer 4

3. Nilai Hematologi Puyuh 13

4. Susunan Ransum Penelitian 15

5. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan 16


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Katuk (Sauropusandrogynus L. Merr) 5

2. Daun Murbei (Morusalba) 6

3. Metabolisme Zat Besi di dalam Tubuh 8

4. Bentuk Komponen dalam Darah 9

5. Skema Erythrophoesis 10

6. Sintesis Hemoglobin 11

7. Ransum Penelitian 15

8. Alur Pembuatan Tepung Daun 16

9. Sanitasi Peralatan dan Kandang 17

10.Keadaan Kandang Puyuh selama Perlakuan 17

11.Skema Analisa Fe Ransum dan Serum 21

12.Rataan Konsumsi Ransum Puyuh Periode Grower dan Layer 25 13.Rataan Konsumsi Protein Puyuh Periode Grower dan Layer 27 14.Rataan Kandungan Fe Serum Puyuh Periode Grower dan Layer 30 15.Rataan Eritrosit Puyuh Periode Grower dan Layer 32 16.Rataan Kadar Hb Puyuh Periode Grower dan Layer 34 17.Rataan Kadar Hematokrit Puyuh Periode Grower dan Layer 36 18.Rataan MCV Puyuh Periode Grower dan Layer 38 19.Rataan MCHC Puyuh Periode Grower dan Layer 39 20.Persamaan Regresi Konsumsi Protein terhadap Jumlah Eritrosit

Puyuh Periode Grower 40

21.Persamaan Regresi Konsumsi Protein terhadap Jumlah Eritrosit

Puyuh Periode Layer 41

22.Persamaan Regresi Konsumsi Fe terhadap Hemoglobin Puyuh

Periode Grower 42

23.Persamaan Regresi Konsumsi Fe terhadap Hemoglobin Puyuh


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Ransum 55

2. Hasil Uji LSD Konsumsi Ransum 55

3. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Protein 55

4. Hasil Uji LSD Konsumsi Protein 55

5. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Fe 56

6. Hasil Uji LSD Konsumsi Fe Berdasarkan Periode 56 7. Hasil Uji LSD Konsumsi Fe Berdasarkan Perlakuan Pakan Tersarang

pada Periode Grower 56

8. Hasil Sidik Ragam Jumlah Eritrosit 56

9. Hasil Sidik Ragam Hemoglobin 57

10.Hasil Sidik Ragam Hematokrit 57

11.Hasil Uji LSD Hematokrit 57

12.Hasil Sidik Ragam Leukosit 57

13.Hasil Uji LSD Leukosit 58

14.Hasil Sidik Ragam Rasio H/L 58

15.Hasil Uji LSD Rasio H/L 58

16.Hasil Sidik Ragam Mean Corpuscular Volume (MCV) 58 17.Hasil Uji LSD Mean Corpuscular Volume (MCV) 59 18.Hasil Sidik Ragam Mean CorpuscularHemoglobin Concentration

(MCHC) 59

19.Hasil Uji LSD Mean CorpuscularHemoglobin Concentration

(MCHC) 59


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis unggas petelur yang tergolong produktif karena dalam kurun waktu 42 hari telah memasuki dewasa kelamin dan dapat memproduksi telur sebanyak 250-300 butir per tahunnya. Terdapat perbedaan ketika puyuh belum memasuki fase bertelur dan saat memasuki fase bertelur. Perbedaan ini dapat ditinjau dari aspek fisiologis puyuh. Metabolisme nutrien yang terkandung dalam pakan akan disesuaikan dengan kebutuhan puyuh, baik untuk pemenuhan hidup pokok ataupun aktivitas ternak lainnya.

Puyuh memiliki spesifikasi tersendiri dalam metabolisme tubuhnya dibandingkan dengan ternak jenis lain. Produktivitas dan performa fisiologis puyuh merupakan fungsi dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan berupa pakan memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang performa fisiologis tersebut. Kualitas performa fisiologis puyuh dapat ditinjau dari pengoptimalan fungsi organ-organ tubuh sehingga mampu menunjang pemenuhan kebutuhan hidup pokok dan aktivitas ternak lainnya (produksi, reproduksi, adaptasi terhadap lingkungan, dan lain-lain).

Salah satu kendala dalam pencapaian optimalisasi performa fisiologis ternak yaitu kurang seimbangnya kandungan nutrien ransum yang digunakan sehingga diperlukan pakan alternatif yang memiliki kandungan nutrien lengkap. Pemanfaatan tanaman lokal dapat dijadikan sebagai pakan alternatif dalam menyediakan nutrien untuk puyuh. Dalam hal ini, daun katuk dan murbei merupakan tanaman lokal yang berpotensi sebagai alternatif pakan puyuh dalam bentuk tepung.

Ketersediaan daun katuk dan murbei juga telah dapat menunjang bahwa keberadaannya telah dapat digunakan sebagai pakan. Tanaman katuk pada pemanenan pertama biasanya diperoleh hasil sebesar 4 juta ton/ha dan selanjutnya pada tahun pertama dapat mencapai 21-30 ton/ha setelah 6-7 kali panen (Sudiarto et al., 1997). Boschini (2002) melaporkan produksi daun murbei sebesar 19 ton BK/ha/tahun sedangkan Martin et al. (2002) produksi biomassa murbei dengan interval defoliasi 90 hari akan mencapai 25 ton BK/ha/tahun.

Daun katuk mengandung 39,88% protein kasar (PK); 5,84% lemak kasar (LK); 16,71% serat kasar (SK); 2,29% kalsium (Ca); 0,035% Fe dan 14,79% abu


(14)

(Subekti, 2003; Azis dan Muktiningsih, 2006). Daun murbei juga mengandung kandungan nutrien yang lengkap, diantaranya 20,4% PK dan beberapa mineral seperti Mg, P, K, Ca, Al, Fe dan Si (Machii et al., 2000). Kandungan nutrien yang terkandung tersebut merupakan indikator bahwa daun katuk dan murbei memiliki kualitas yang baik sebagai bahan pakan sumber protein dan mineral.

Evaluasi pemanfaatan pakan alternatif ini dapat ditinjau dari aspek fisiologis, salah satunya melalui profil darah baik berupa eritrosit, hemoglobin, hematokrit dan leukosit. Tingginya kandungan protein dan mineral pada ransum akan mendukung nilai profil darah dan sistem homeostasis yang baik pada ternak. Salah satu fungsi protein yaitu berperan sebagai protein darah, albumin dan globulin (sebagai sistem pertahanan tubuh). Disamping itu, mineral Fe merupakan mikro elemen esensial dalam proses pembentukan darah (homeopoiesis).

Sejauh ini penelitian pengaruh penggunaan tepung daun katuk dan murbei terhadap respon kebal unggas masih terbatas. Penggunaan tepung daun katuk dan murbei pada ransum puyuh diharapkan juga dapat berperan dalam mempertahankan profil darah sehingga kondisi fisiologis puyuh tetap sehat dan menghasilkan performa yang baik.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian tepung daun katuk dan murbei terhadap konsumsi protein dan profil darah (eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit) pada puyuh petelur.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Puyuh Jepang (Coturnixcoturnixjaponica) Karakteristik Puyuh

Puyuh jepang merupakan salah satu jenis burung yang berukuran kecil, umumnya kecepatan berlarinya lebih tinggi dibandingkan terbang ketika mnghindari bahaya. Japanese quail merupakan spesies yang telah didomestikasi untuk dimanfaatkan daging dan telurnya. Keuntungan dalam memelihara puyuh antara lain tidak memiliki desain kandang yang khusus, ukuran lantai yang tidak terlalu besar, sudah siap dipasarkan umur 5 minggu dan sudah mulai bertelur umur 7 minggu, waktu pengembalian modal relatif lebih cepat, lebih resisten terhadap penyakit dibandingkan ayam walaupun tidak diberi vaksin yang sesuai dengan kebutuhan normalnya sehingga manajemen pemeliharaannya relatif mudah (Prabakaran, 2003).

Prabakaran (2003) menambahkan bahwa puyuh relatif lebih resisten terhadap infeksi penyakit seperti kolera, coli bacillous, enteritis dan micotoxicosis. Kematian biasanya diakibatkan karena brooding age (0-14 minggu) yaitu sebesar 20%-25%. Hal ini dapat disebabkan kesalahan dalam manajemen pemeliharaan, terutama suhu dan kepadatan dalam satu unit kandang. Adapun klasifikasi zoologi burung puyuh menurut Radiopoetro (1996) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Class : Aves

Family : Phasianidae Sub family : Phasianidae Genus : Coturnix

Species : Coturnix coturnix japonica

Kondisi Fisiologis dan Kebutuhan Nutrien Puyuh

Puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan yaitu fase pertumbuhan dan fase produksi (bertelur). Fase pertumbuhan dibagi menjadi dua fase yaitu starter (0-3 minggu) dan grower (3-5 minggu), sedangkan fase produksi berumur diatas 5 minggu. Anak puyuh yang baru berumur 0-3 minggu membutuhkan protein 25% dan


(16)

energi metabolisme 2900 kkal/kg. Pada umur 3-5 minggu kadar protein dikurangi menjadi 20% dan energi metabolisme 2600 kkal/kg. Kebutuhan energi dan protein puyuh lebih dari 5 minggu sama dengan kebutuhan energi dan protein puyuh umur 3-5 minggu (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Jumlah ransum yang disarankan untuk diberikan sesuai dengan umur puyuh.

Tabel 1. Jumlah Ransum yang Diberikan Berdasarkan Umur Puyuh

Umur Puyuh Jumlah Ransum yang Diberikan (gram/ekor/hari) 1 hari-1 minggu

1-2 minggu 2-3 minggu 3-4 minggu 4-5 minggu

Lebih dari 5 minggu

2 4 8 10 12-15 >15

Sumber : Sritharet (2002)

Ransum yang diberikan untuk unggas terdiri atas beberapa bentuk, yaitu bentuk pelet, crumble dan tepung. Ransum terbaik adalah berbentuk tepung sebab puyuh mempunyai sifat khas yang sering mematuk kawannya dan mempunyai kesibukan lain dengan mematuk pakannya (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Selain kuantitas, kualitas ransum pun perlu diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan nutrien puyuh. Berikut adalah kebutuhan nutrien puyuh berdasarkan status faalnya.

Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Puyuh Fase Grower dan Layer

Kebutuhan Nutrien Grower Layer

Kadar Air (%) Abu (%)

Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) EM (kkal/kg) Lysine (%) Methionine (%)

Methionine + Cystine (%) Ca (%)

P total (%) P tersedia (%)

Maks. 14,0 Maks. 8,0 Min. 17,0 Maks. 7,0 Maks. 7,0 Min. 2600 Min. 0,80 Min. 0,35 Min. 0,50 0,90 – 1,20 0,60 – 1,00 Min. 0,40 Maks. 14,0 Maks.14,0 Min. 17 Maks. 7,0 Maks. 7,0 Min. 2700 Min. 0,90 Min. 0,40 Min. 0,60 2,50 – 3,50 0,60 – 1,00 Min. 0,40


(17)

Katuk (Sauropus androgynus L. Merr)

Nama lokal tanaman katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dikenal dengan nama katuk (Sunda, Melayu): babing atau katukan (Jawa), simanis (Minang Kabau), kerakur (Madura) (Departemen Kesehatan RI, 1998). Daun katuk mengandung klorofil yang cukup tinggi, untuk daun tua sebesar 65,8 spa d/mm2 sedangkan daun muda sebesar 41,6 spa d/mm2 dapat digunakan sebagai pewarna alam memberi warna hijau (Rahayu dan Limantara, 2005).

Gambar 1. Katuk (Sauropusandrogynus L. Merr)

Sumber : Brooks (2008)

Azis dan Muktiningsih (2006), menyatakan bahwa kandungan zat makanan katuk per 100 gram mengandung kalori 59 kal; protein 6,4 g; lemak 1 g; hidrat arang 9,9 g; serat 1,5 g; abu 1,7 g; kalsium 233 mg; fosfor 98 mg; besi 3,5 mg; karoten 10.020 µg; vitamin B dan C 164 mg; air 81 g. Selain itu, daun katuk mengandung beberapa senyawa kimia antara lain asam amino, tannin, flavonoid, saponin (Malik, 1997).

Penelitian tentang pemanfaatan daun katuk sebagai pakan unggas telah dilakukan. Telah diteliti efek penambahan tepung daun katuk pada ransum ayam kampung oleh Subekti (2003) yang menyatakan bahwa pada taraf 9% penambahan tepung daun katuk dapat meningkatkan produksi telur, mempercepat umur dewasa kelamin dan meningkatkan kualitas telur serta karkas. Hal ini diduga karena adanya kandungan karoten dan mineral yang tinggi dalam katuk. Piliang et al. (2001) melaporkan bahwa kandungan tepung daun katuk berbeda dengan ekstraksi daun katuk. Tepung daun katuk memiliki kandungan gizi yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak daun katuk kering.


(18)

Murbei (Morus alba)

Terdapat enam jenis murbei yang banyak ditanam dan daunnya digunakan sebagai pakan ulat sutera di Indonesia, yaitu Morus nigra, Morus multicaulis, Morus australis, Morus alba, Morus alba var macrophulla, dan Morus bombycis. Dari keenam jenis murbei, jenis Morus alba tidak digunakan sebagai pakan ulat sutera karena jenis ini umumnya ditanam untuk dimanfaatkan buahnya (Atmosoedarjo et al., 2000). Spesies ini berasal dari Cina, namun saat ini telah ditemukan juga di Asia Tenggara (Saddul et al., 2004).

Gambar 2. Daun Murbei (Morusalba)

Sumber : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2005)

Daun murbei (Morus alba) mengandung 15-35% protein; 2,42-4,17% Ca; 0,23-0,97% P dan ME 1.130-2.240 kkal/kg serta tidak mengandung anti nutrisi (Omar et al., 1999; Sanchez, 2000; Saddul et al., 2004; Srivastava et al., 2006). Adapun kandungan tanin (18 g/kg) pada daun murbei dapat diabaikan sehingga berpotensi untuk disukai ternak (Singh dan Makkar, 2000). Pada daun murbei juga teridentifikasi adanya kandungan asam askorbat, karotene, vitamin B1, asam folat, pro vitamin D, mineral Mg, P, K, Ca, Al, Fe dan Si. Tingginya kandungan protein kasar pada daun murbei diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak di daerah beriklim sedang, sub-tropik dan agak kering. Penelitian mengenai penggunaan Morus alba sebagai pakan unggas telah dilakukan oleh Al-kirshi et al. (2010), yang menyatakan bahwa penggunaan 10% tepung daun murbei dalam ransum tidak mempengaruhi produksi dan kualitas telur pada ayam petelur.

Kebutuhan Protein

Protein merupakan senyawa organik yang sebagian besar unsurnya terdiri atas karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan fosfor. Ciri khusus protein adalah adanya kandungan nitrogen. Berdasarkan bentuknya, protein dapat


(19)

diklasifikasikan dalam tiga bagian, yaitu protein berbentuk bulat, serat dan gabungan ke duanya (Widodo, 2005).

Fungsi protein meliputi banyak aspek, diantaranya 1) sebagai struktur penting untuk jaringan urat daging, tenunan pengikat, kolagen, rambut, bulu, kuku dan bagian tanduk serta paruh, 2) sebagai komponen protein darah, albumin dan globulin yang dapat membantu mempertahankan sifat homeostatis dan mengatur tekanan osmosis, 3) sebagai komponen fibrinogen dan tromboplastin dalam proses pembekuan darah sebagai komponen fibrinogen, tromboplastin, 4) sebagai karrier oksigen ke sel dalam bentuk sebagai hemoglobin, 5) sebagai komponen enzim yang bertugas mempercepat reaksi kimia dalam sistem metabolisme, 6) sebagai nukleoprotein, glikoprotein dan vitellin (Widodo, 2005).

Kebutuhan protein untuk masing-masing unggas berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan unggas akan protein antara lain suhu lingkungan, umur, spesies/bangsa/strain, kandungan asam amino, kecernaan. Kebutuhan protein maupun asam amino dapat diukur dengan memperhatikan kebutuhan protein untuk hidup pokok, pertumbuhan jaringan bulu dan produksi telur. Perhitungan kebutuhan protein harus memperhitungkan tingkat efisiensi penggunaan protein pada masing-masing unggas (Widodo, 2005).

Mineral Besi (Fe)

Besi merupakan mineral mikro esensial yang paling melimpah. Zat ini terutama diperlukan dalam homeophoiesis (pembentukan darah), yaitu dalam mensintesa hemoglobin (Hb) (Sediaoetama, 2006). Sebanyak kurang lebih 2/3 dari besi beredar sebagai hemoglobin, 1/10 sebagai mioglobin dan kurang dari 1% terdapat pada transferin dari semua enzim besi dan protein redoks. Sisanya terdiri atas simpanan besi feritin dan hemosiderin yang terutama ada pada hati, limpa dan sumsum tulang. Fungsi utama besi adalah untuk transport oksigen oleh hemoglobin. Di dalam tubuh, sebagian besar Fe terdapat konjugasi, seperti (hemoglobin, myoglobin, transferin, ferritin dan hemosiderin) dengan protein dan terdapat dalam bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro, sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri (misalnya bentuk storage) (Sediaoetama, 2006).


(20)

Sumber makanan yang relatif kaya akan kandungan Fe diantaranya daging merah, sayuran dengan warna hijau gelap, buah yang dikeringkan dan buncis (Gropper et al., 2009). Warna hijau pada sayuran mengindikasikan kandungan zat besi didalamnya. Skema metabolisme besi dalam tubuh ditunjukkan pada Gambar 3.

Profil Darah Gambaran Umum

Darah adalah jaringan yang bersirkulasi melalui pembuluh darah, membawa zat-zat penting untuk kehidupan semua sel tubuh dan menerima produk buangan hasil metabolisme untuk dibawa ke organ sekresi (Jain, 1993). Darah memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah sebagai 1) penyerap dan pembawa nutrien dari saluran pencernaan menuju ke jaringan, 2) pembawa oksigen (O2) dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru, 3) pembawa produk buangan metabolisme, 4) pembawa hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, dan 5) pengatur kandungan cairan jaringan tubuh (Sturkie dan Griminger, 1976).

Gambaran darah ternak akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan fisiologisnya. Perubahan fisiologis secara internal tersebut dapat disebabkan seperti pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stress, siklus estrus, dan suhu tubuh, sedangkan secara eksternal akibat kuman dan perubahan suhu lingkungan (Guyton dan Hall, 2010).

Transferin – Fe3+

Plasma

Fe2+ Nonheme enzymes

Heme enzymes Fe2+ Fe3+ Othercelluses Ferritin - Fe3+

Hemosiderin - Fe3+

Jaringan

Hemoglobin - Fe2+

Sel darah merah

Fe2+ degraded Hb

Ferritin - Fe3+

Hemosiderin - Fe3+

Retikulum endoplasma

Gambar 3. Metabolisme Zat Besi di dalam Tubuh


(21)

Komponen Darah

Menurut Guyton dan Hall (2010), darah adalah jaringan khusus yang terdiri dari plasma darah yang kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Sel-sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Bentuk komponen dalam darah terlihat pada Gambar 4.

Komponen sel darah yang terkandung dalam darah merupakan sel darah merah. Trombosit bertanggung jawab dalam proses pembekuan darah. Komponen leukosit dalam darah sebesar 0,2%. Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh, misalnya virus atau bakteri.

Eritrosit

Eritrosit merupakan sel darah merah yang berperan membawa hemoglobin di dalam sirkulasi. Eritrosit pada unggas intinya terletak di tengah dan berbentuk oval. Eritrosit dibentuk di sumsum tulang dan limfa. Limfa turut berperan dalam membentuk eritrosit tetapi dalam jumlah yang sedikit. Pada kondisi tertentu setelah lahir, hati dan kelenjar limfe dapat berfungsi sebagai penghasil eritrosit (Swenson, 1984).

Eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah sebagai pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan ke jaringan tubuh, pembawa oksigen dari paru ke jaringan dan karbondioksida ke paru-paru, pembawa sisa-sisa metabolisme dari jaringan ke ginjal untuk dieksresikan serta mempertahankan sistem keseimbangan dan buffer (Guyton dan Hall, 2010). Skema erythropoiesis disajikan pada Gambar 5.

Gambar 4. Bentuk Komponen dalam Darah Sumber : Shier (2004)


(22)

Gambar 5. Skema Erythropoiesis

Sumber : Harris (1990)

Eritrosit merupakan produk erythropoiesis dan proses tersebut terjadi dalam sumsum tulang merah (medulla asseum rubrum) yang antara lain terdapat dalam berbagai tulang panjang. Erythropoiesis membutuhkan bahan dasar berupa protein, glukosa dan bebagai aktivator. Beberapa aktivator erythropoiesis adalah mikromineral berupa Cu, Fe dan Zn. Pemberian mineral Cu dan Fe dengan rasio tertentu mampu meningkatkan status hematologis dan pertumbuhan ayam (Praseno, 2005). Mineral Cu, Fe dan Zn berperan dalam metabolisme protein, khususnya Cu akan berperan dalam pembentukan protein kollagen, Fe berperan dalam pembentukan senyawa heme dan Zn berperan dalam pembentukan protein pada umumnya. Selain itu, dalam pembentukannya eritrosit juga dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi erythrophoeiesis yaitu umur, jenis kelamin, aktivitas, nutrisi, produksi telur, bangsa, suhu lingkungan dan faktor iklim (Swenson, 1984).

Salah satu gejala yang terjadi akibat pengaruh kadar eritrosit adalah anemia. Anemia merupakan suatu keadaan pada tubuh yang mengalami kekurangan eritrosit akibat hilangnya darah terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi eritrosit. Indeks eritrosit, yaitu MCV, MCH dan MCHC dapat mempengaruhi anemia secara morfologi, yaitu ukuran eritrosit (normositik, makrositik dan mikrositik) dan kadar hemoglobin (normokritik dan hipokromik atau pucat).

PROGENITOR PRECURSORS RBC’S

CFU - GEMM BFU - U

CFU - E

Erythrocyte Reticulocyte Orthochromatic Normoblast Polychromatophilic Normoblast

Basophilic Normoblast Pronormoblast


(23)

Hemoglobin

Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin, sedangkan warna merah disebabkan oleh warna heme. Heme adalah suatu sanyawa metalik yang mengandung satu atom besi (Guyton, 1993).

Hemoglobin tidak hanya dipengaruhi oleh suatu rangsangan tapi juga oleh hematokrit dan eritrosit per unit volume. Rendahnya oksigen dalam darah menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan eritrosit (Swenson, 1984). Alur sintesis hemoglobin diperlihatkan pada Gambar 6.

Hematokrit

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Pada hewan normal, PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Nilai hematokrit juga akan bertambah jika terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia dimana jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton dan Hall, 2010). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh jumlah sel dan ukuran sel. Volume sel mungkin mengalami perubahan akibat peningkatan air plasma (hemodilition) atau penurunan air plasma (hemoconcentration) tanpa mempengaruhi jumlah sel sepenuhnya.

2 Suksinil-KoA + 2 Glisin Gugus Pirol

4 gugus Pirol Protoporfirin IX

Protoporfirin IX + Fe2+ Heme

Heme + Polipeptida Rantai hemoglobin

2 rantai α + 2 rantai β Hemoglobin A Gambar 6. Sintesis Hemoglobin


(24)

Leukosit

Morfologi leukosit sangat beragam antar spesies unggas. Keragaman ini dapat dilihat dari penampakan morfologi granula, warna eosinofil dan bentuk granula heterofil pada setiap spesies unggas. Melalui identifikasi diferensiasi leukosit, dapat diketahui status kesehatan dan penyakit yang mungkin menyerang ternak. Identifikasi leukosit pada darah unggas lebih sulit karena heterofilnya memiliki segmentasi nukleus yang rendah dibandingkan netrofil pada mamalia (Schalm, 2010).

Keunggulan leukosit unggas yaitu memiliki heterofil dan limfosit. Kedua sel ini dapat dijadikan sebagai indikator stres pada unggas. Sebagai contoh, unggas pada masa penetasan akan mengalami stres dan dapat diketahui melalui kadar heterofil maupun limfositnya (Schalm, 2010). Jumlah leukosit sangat tergantung pada beberapa faktor diantaranya umur, jenis kelamin, stres, penyakit, pemberian estrogen, obat tertentu dan pakan. Sel darah putih tersebut akan bekerja secara bersama-sama melalui dua cara untuk mencegah penyakit: (1) dengan benar-benar merusak bahan yang menyerbu itu melalui proses fagositosis dan (2) dengan membentuk antibodi dan limfosit yang peka, sakah satu atau keduanya dapat menghancurkan atau membuat penyerbu tidak aktif (Guyton, 1993). Jumlah seluruh leukosit jauh dibawah eritrosit dan bervariasi tergantung jenis ternaknya. Fluktuasi jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu, seperti cekaman (stres), aktivitas fisiologi, gizi, umur dan lain-lain (Dharmawan, 2002).

Heterofil merupakan bagian terbesar dari granulosit unggas (Schalm, 2010). Heterofil berfungsi dalam merespon adanya infeksi dan mampu ke luar dari pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk menghancurkan benda asing dan membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak. Pada saat yang sama, sumsum tulang dirangsang untuk lebih banyak melepaskan heterofil ke dalam darah (Ganong, 1998). Menurut Day dan Schultz (2010), fungsi utama dari sel ini adalah penghancur bahan berbagai produk bakteri, berbagai produk yang dilepaskan oleh sel rusak dan berbagai produk reaksi kekebalan. Heterofil bekerja secara cepat sehingga dikenal sebagai first line defense, yaitu sebagai sistem pertahanan pertama. Masa hidup heterofil di dalam sirkulasi lebih pendek dalam keadaan infeksi berat dibandingkan dalam kondisi normal, yakni hanya beberapa jam saja. Heterofil juga mampu


(25)

melakukan pinositosis, selain fagositosis. Kombinasi antara fagositosis dan pinositosis disebut dengan endositosis.

Limfosit merupakan jenis leukosit yang unggul pada darah unggas, termasuk puyuh (Schalm, 2010). Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti limpa, tonsil, timus dan bursa fabricius. Peningkatan limfosit antara lain disebabkan terjadinya penurunan heterofil (sifatnya relatif), leukimia limfositik, inflamasi kronis (infeksi bakteri, virus, fungi protozoa), pengeluaran epinefrin, defisiensi korkosteroid (hypoadrenokorticism), neoplasia (Dharmawan, 2002; Jackson, 2007).

Nilai hematologi puyuh disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Hematologi Puyuh

Parameter hematologi Jumlah

Eritrosit (juta/mm3) Hemoglobin (g%) Hematokrit (%) Leukosit (ribu/mm3) Rasio Heterofil/Limfosit* MCV* (femto liter) MCHC* (%)

3,86 12,3 37 20-40 0,34 – 0,43

90- 140 26 - 35

Sumber : Sturkie dan Griminger (1976)

*)


(26)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemeliharaan puyuh dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, analisa kandungan nutrien ransum dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, analisa kandungan Fe pakan dan serum dilakukan di Laboratorium Nutrisi Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan sedangkan analisa profil darah (eritrosit, hemoglobin, hematokrit dan leukosit) dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2009 sampai Maret 2011.

Materi Ternak Percobaan

Penelitian ini menggunakan 600 ekor puyuh betina (Coturnix coturnix japonica) berumur dua minggu dengan rataan bobot badan 42,97 + 0,74 gram. Ternak yang digunakan sebagai sampel untuk profil darah sebanyak 40 ekor sedangkan untuk Fe serum digunakan 24 ekor puyuh.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan pada pemeliharaan puyuh berupa kandang baterai dengan alas dan dinding berkawat. Tiap kandang baterai dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Peralatan lain selama pemeliharaan adalah timbangan digital 1000 gram, lampu 40 watt, termometer, alat kebersihan kandang serta peralatan lain yang menunjang kegiatan penelitian.

Peralatan yang digunakan untuk sampling darah diantaranya syringe 3 ml dan 5 ml, tabung heparin dan non heparin, box es batu, dan rak tabung reaksi. Analisa profil darah meliputi analisa eritrosit, hemoglobin, hematokrit dan leukosit. Peralatan yang digunakan untuk analisa profil darah berupa sahli, mikroskop, pipet butir darah merah dan putih, hemoglobinometer, microcapillary hematocrit reader dan hemocytometer. Peralatan yang digunakan untuk analisa kandungan Fe pada pakan dan serum diantaranya micropipet, ependorf, hotplate, oven 60 °C, vortex, sentrifuse dan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry).


(27)

Ransum

Bahan pakan penyusun ransum antara lain dedak padi, polard, tepung ikan, bungkil kedele, minyak, CaCO3, premix, tepung daun katuk, dan tepung daun murbei. Air minum diberikan ad libitum.

Gambar 7. Ransum Penelitian

Ransum perlakuan disusun dengan memenuhi kebutuhan nutrien untuk puyuh periode grower dan layer berdasarkan rekomendasi NRC (1994). Susunan ransum yang digunakan pada penelitian ini diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Susunan Ransum Penelitian

Periode grower

Bahan Makanan R0 R1 R2 R3

--- % ---

Dedak Padi 50 40 40 40

Polard 6 5 5 5

Tepung Ikan 10 10 10 10

Bungkil Kedele 28 28 28 28

Minyak 5 6 6 6

CaCo3 0,5 0,5 0,5 0,5

Tepung daun katuk 0 10 0 5

Tepung daun murbei 0 0 10 5

Premix 0,5 0,5 0,5 0,5

Jumlah 100 100 100 100

Periode layer

Bahan Makanan R0 R1 R2 R3

--- % ---

Dedak Padi 50 40 40 40

Polard 6 6 6 6

Tepung Ikan 7 7 7 7

Bungkil Kedele 24 23 23 23

Minyak 7 8 8 8

CaCo3 5,5 5,5 5,5 5,5

Tepung daun katuk 0 10 0 5

Tepung daun murbei 0 0 10 5

Premix 0,5 0,5 0,5 0,5


(28)

Kandungan nutrien ransum perlakuan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan (Berdasarkan 90% BK)1)

Keterangan : 1) berdasarkan hasil perhitungan analisa bahan pakan (Laboratorim Ilmu dan Teknologi Pakan, 2009)

2)

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun, R1 = ransum mengandung 10% tepung daun katuk (TDK), R2 = ransum mengandung 10% tepung daun murbei (TDM), R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

3)

dihitung berdasarkan rumus ME = GE x 0,75 (NRC, 1994)

ME = metabolisme energi, BK = bahan kering, PK = protein kasar, SK = serat kasar, LK = lemak kasar, Beta-N = bahan ekstrak tanpa nitrogen, Ca = kalsium, P = phospor, Fe = ferrum (besi)

Metode Pembuatan Tepung Daun

Daun katuk dan murbei yang akan dijadikan campuran diransum diubah terlebih dahulu dalam bentuk tepung. Alur pembuatan tepung daun disajikan pada Gambar 8.

Nutrien Satuan

Grower (3-12 minggu) Layer (13-17 minggu)

R02) R12) R22) R32) R02) R12) R22) R32)

ME3) kkal/kg 3034,80 3132,55 3103,05 3117,83 3200,68 3309,31 3278,15 3293,76 BK % 81,85 81,06 80,75 80,90 75,77 74,97 74,65 74,81 PK % 25,62 28,06 27,09 27,58 23,73 25,99 24,93 25,46 SK % 16,03 14,98 14,96 14,98 17,11 16,00 15,99 16,29 LK % 4,37 4,31 4,02 4,17 4,48 4,41 4,11 4,26 Beta-N % 25,37 25,53 27,00 26,26 25,40 25,94 27,54 26,74

Abu % 18,60 16,67 16,90 16,78 19,27 17,16 17,41 17,29 Ca % 3,94 3,37 3,33 3,35 6,49 5,89 5,87 5,88

P % 1,36 1,25 1,19 1,22 1,42 1,29 1,23 1,26 Fe ppm 569,20 868,17 618,42 743,29 626,48 919,72 669,96 794,84

Digiling

Dilayukan selama 12 jam Daun dikeringkan dalam oven

Daun kering

Suhu 60o C selama 24 jam

Tepung daun Daun


(29)

Prosedur Pelaksanaan

Tahap Persiapan

Sebelum puyuh dipelihara, kandang dan perlengkapan untuk tahap pemeliharaan disanitasi terlebih dahulu menggunakan desinfektan. Bahan pakan untuk ransum perlakuan juga dipersiapkan terlebih dahulu.

Gambar 9. Sanitasi Peralatan dan Kandang

Tahap Pemeliharaan

Puyuh yang baru datang diberi air gula dan Vitachick untuk meminimalkan stres akibat perjalanan. Selanjutnya puyuh diberi ransum komersial starter 511 PT Charoen Pokhpand selama satu minggu kemudian memasuki tahap perlakuan. Puyuh diberi ransum perlakuan pada umur tiga minggu. Pemeliharaan puyuh dilakukan selama 15 minggu. Pakan diberikan sebanyak tiga kali sehari, yaitu pagi, siang dan sore hari. Air minum diberikan ad libitum. Sisa pakan puyuh setiap ulangan ditimbang setiap tujuh hari sekali.


(30)

Kebersihan kandang, tempat pakan dan air minum dilakukan setiap hari. Pemberian vitamin pada air minum dilakukan setelah penempatan puyuh dan penimbangan untuk mengurangi cekaman stres. Pengecekan suhu kandang dilakukan setiap hari dengan bantuan termometer.

Tahap Sampling Darah

Sampling darah dilakukan dalam dua tahap, yaitu ketika puyuh berumur 9 minggu (grower) dan 15 minggu (layer). Sebelum dilakukan sampling darah, ternak dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam. Darah diambil dari vena jugularis sebanyak 1 ml menggunakan syringe. Sebelumnya, daerah vena jugularis dibersihkan dengan alkohol 70%, bila daerah tersebut berbulu dihilangkan bulunya terlebih dahulu menggunakan gunting. Sampel darah dimasukkan dalam tabung berheparin dan tidak berheparin. Tabung berheparin digunakan untuk menyimpan darah yang akan dilakukan analisa profil darah sedangkan tabung tidak berheparin digunakan untuk menyimpan darah yang akan diambil serumnya. Tabung darah tersebut disimpan dalam termos es yang telah diberi es batu. Darah pada tabung tidak berheparin disentrifikasi lalu serum dipisahkan dari total darah untuk dianalisa kandungan mineral besi (Fe).

Tahap Analisis Darah a. Analisis Profil Darah

1. Perhitungan Jumlah Eritrosit

Perhitungan jumlah sel darah merah dilakukan dengan alat kamar hitung sel darah merah menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Prosedur pengerjaannya sebagai berikut: aspirator dipasang pada pipet sel darah merah. Darah yang telah dihisap sampai batas angka 0,5 pada pipet, ujung pipetnya dibersihkan menggunakan tisu. Larutan Hayem dihisap sampai tanda 101 yang tertera pada pipet secara hati-hati. Pada pengisapan ini dihindari adanya gelembung, jika terdapat gelembung maka prosedur harus diulang. Selanjutnya aspirator dilepas dari pipet sel darah merah. Dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk kanan, isi pipet dihomogenkan selama 3 menit. Bagian yang tidak ikut terkocok harus dibuang. Selanjutnya dengan hati-hati cairan dimasukkan dalam kamar hitung dengan cara menempelkan ujung pipet pada pertemuan antara dasar kamar hitung dan kaca penutup.


(31)

Butir-butir darah dibiarkan mengendap selama kurang lebih 1 menit. Perhitungan butir darah merah tersebut dilakukan menggunakan hand counter. Untuk menghitung sel darah merah dalam hemocytometer, digunakan kotak sel darah merah yang berjumlah 25 buah dengan mengambil bagian sebagai berikut: satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok kiri atas, satu kotak tengah, satu kotak pojok kanan bawah, dan satu kotak pojok kiri bawah. Untuk membedakan kotak sel darah merah dengan kotak sel darah putih, dapat berpatokan pada tiga baris pemisah pada kotak sel darah merah dan luas kotak sel darah merah relatif lebih kecil dibandingkan dengan kotak leukosit. Butir darah merah yang telah dihitung tersebut disimbolkan dengan a dan untuk mengetahui jumlah sel darah merah dalam 1 mm3 darah dihitung dengan mengunakan rumus menurut Sastradipraja et al. (1989).

2. Perhitungan Kadar Hemoglobin (Hb)

Metode yang digunakan untuk mengukur kadar hemoglobin dalam penelitian ini adalah metode Sahli. Larutan HCl 0,01 N diteteskan pada tabung Sahli sampai tanda tera 0,1 atau garis bawah, kemudian sampel darah dihisap menggunakan pipet hingga mencapai tanda tera atas. Sampel darah segera dimasukkan ke dalam tabung dan ditunggu selama 3 menit atau hingga berubah warna menjadi coklat kehitaman akibat reaksi antara HCl dengan hemoglobin membentuk asam hematin. Larutan ditambah dengan akuades, diteteskan sedikit sambil terus diaduk. Larutan akuades ditambahkan hingga warna larutan sama dengan warna standar hemoglobinometer. Nilai

hemoglobin dapat dilihat di kolom “gram%” yang tertera pada tabung

hemoglobin, yang berarti banyaknya hemoglobin dalam gram per 100 ml darah (Sastradipraja et al., 1989).

3. Perhitungan Hematokrit

Penentuan hematokrit dilakukan dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah dan antikoagulan. Campuran darah kemudian disentrifikasi sampai sel-sel darah mengumpul di dasar. Pengisian pipa mikrokapiler dilakukan dengan memiringkan tabung yang berisi sampel darah dengan


(32)

menempatkan ujung mikrokapiler yang bertanda merah. Pipa diisikan darah sampai mencapai ⅔ bagian kemudian ujung pipa disumbat dengan crestoseal, pipa mikrokapiler tersebut disentrifikasi selama 15 menit dengan kecepatan 2.500-4.000rpm. Bagian yang tersumbat diletakkan menjauhi pusat sentrifuse. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur persentase volume sel darah merah menggunakan alat baca microcapillary hematocrit reader (Sastradipraja et al., 1989).

4. Perhitungan Leukosit

Penghitungan jumlah leukosit dilakukan menggunakan pipet leukosit dengan bantuan aspirator hingga batas 0,5 lalu ujung pipet dibersihkan dengan tisu. Larutan modifikasi Rees & Ecker dihisap hingga tanda 11 pada pipet leukosit kemudian dihomogenkan dan cairan yang tidak terkocok lalu dibuang. Setelah itu, sampel darah diteteskan dalam hemacytometer, dibiarkan beberapa saat hingga cairan mengendap lalu jumlah leukosit dihitung di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Untuk menghitung sel darah putih dalam hemocytometer, digunakan empat kotak yang terletak di empat sudut kamar hitung, masing-masing terdiri atas 16 buah kotak yang luasnya 1/16 mm2. Jumlah leukosit yang terhitung disimbolkan dengan b dan untuk mengetahui jumlah leukosit dalam 1 mm3darah dihitung dengan rumus menurut Sastradipraja et al. (1989) sebagai berikut.

5. Perhitungan Diferensiasi Leukosit

Darah yang telah disiapkan, diteteskan pada kaca objek yang dipegang dengan ibu jari dan telunjuk salah satu tangan. Kaca penutup berbeda dipegang tangan lainnya kemudian ujung kaca penutup didorong dengan kecepatan konstan sehingga didapatkan ulasan yang tidak terlalu tebal. Ulasan dikeringkan selama beberapa menit kemudian difiksasi dalam metanol selama 5-10 menit. Ulasan dicelupkan dalam pewarna Giemsa sekitar 30 menit kemudian ulasan diangkat dan dicuci menggunakan air mengalir sampai air bilasan tidak membawa warna Giemsa. Preparat ulas


(33)

Analisa dengan AAS

dikeringkan dan perhitungan dilakukan di bawah mikroskop cahaya dengan ditetesi minyak imersi dengan perbesaran 100 kali.

b. Analisis Kandungan Mineral Fe

Analisis kadar mineral besi (Fe) pakan puyuh dilakukan menggunakan metode Wet Ashing sedangkan pada serum langsung diinjeksikan ke AAS kemudian dibaca konsentrasinya dalam satuan ppm. Secara singkat prosedur analisa mineral Fe disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Skema Analisa Fe Ransum dan Serum

Prosedur analisa Fe pada pakan dan serum puyuh adalah sebanyak 1 g sampel pakan dimasukkan dalam Erlenmeyer ukuran 100 ml kemudian ditambahkan 10 ml HNO3 dan didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. Larutan tersebut dipanaskan di atas hot platedengan suhu 80ºC selama 4 jam (dalam ruang asam) kemudian dibiarkan semalam dan sampel ditutup. Sebanyak 0,8 ml H2SO4 ditambahkan dalam larutan tersebut, dipanaskan di atas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat) selama kurang lebih 1 jam. Sampel yang masih di atas hot plate ditambahkan 6 tetes HCLO4 : HNO3 (2:1) kemudian perubahan warna yang terjadi diamati dari

coklat→ kuning tua →kuning muda (± 1 jam).Setelah ada perubahan warna,


(34)

pemanasan masih dilanjutkan selama 15 menit. Sampel dipindahkan, didinginkan lalu ditambahkan 4 ml akuades dan 1,2 ml HCl. Sampel dipanaskan kembali hingga larut (± 15 menit) kemudian dimasukan ke dalam labu takar 100 ml.Apabila ada endapan disaring dengan glass wool. Sebelum dianalisis menggunakan AAS, larutan tersebut dipreparasi terlebih dahulu dengan menambahkan (Cl3La.7H2O) untuk menghilangkan ion-ion pengganggu. Sebanyak 0,5 ml larutan ditambahkan dengan 0,05 ml Cl3La.7H2O kemudian ditambahkan akuades hingga tanda tera (100 ml), selanjutnya divortex dan diukur menggunakan AAS.

Analisa kandungan Fe serum dilakukan dengan memasukkan sampel serum dari masing-masing perlakuan sebanyak 0,01-0,05 ml dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 0,05 ml Cl3La.7H2O dan akuades hingga 5 ml. Larutan tersebut disentrifikasi selama 10 menit dengan kecepatan 3000rpm, setelah itu, larutan dianalisa menggunakan AAS.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini antara lain: 1. Konsumsi ransum (gram/ekor/hari)

Konsumsi ransum dihitung dengan mengurangi pemberian ransum awal dengan sisa ransum.

2. Konsumsi protein (gram/ekor/hari)

Konsumsi protein diperoleh dengan mengalikan antara konsumsi ransum dengan kandungan protein kasar pada tiap ransum perlakuan.

3. Konsumsi Fe (gram/ekor/hari)

Konsumsi Fe puyuh diperoleh dengan mengalikan antara konsumsi ransum dengan kandungan Fe tiap ransum perlakuan.

4. Jumlah Eritrosit (juta/mm3)

Pengukuran eritrosit puyuh periode grower dan layer dianalisis menggunakan kamar hitung Neubauer (Sastradipraja et al., 1989).

5. Kadar Hemoglobin (g%)

Nilai hemoglobin puyuh periode grower dan layer dianalisis menggunakan metode Sahli (Sastradipraja et al., 1989).


(35)

6. Persentase Hematokrit (%)

Persentase hematokrit puyuh periode grower dan layer ditentukan dengan metode mikrohematokrit (Sastradipraja et al., 1989).

7. Jumlah Leukosit (ribu/mm3)

Pengukuran leukosit puyuh periode grower dan layer dianalisa menggunakan metode Neubauer.

8. Penentuan Diferensiasi Leukosit (%)

9. Perhitungan Nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)

Untuk menghitung nilai MCV dan MCHC, digunakan rumus berikut : MCV = Hematokrit (%) x 10

Jumlah sel darah merah (juta/ml)

MCHC = Hemoglobin (g%) x 100 Hematokrit (%)

Rancangan Rancangan Percobaan

Desain percobaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Rancangan Acak Lengkap Pola Tersarang (nested design), dengan empat perlakuan dan lima ulangan, yang masing-masing ulangan terdiri atas tiga puluh ekor puyuh.

Model Matematika

Model matematis rancangan yang digunakan didasarkan pada Gill (1978) yaitu:

yijk = µ + τi + Ei(j) + εijk

Keterangan:

yijk = data pengamatan µ = nilai tengah populasi

τi = pengaruh periode (grower dan layer) ke-i

Ei(j) = pengaruh pelakuan pakan (R0, R1, R2, R3) ke-j tersarang pada periode ke-i

εijk = galat percobaan dari pengaruh perlakuan pakan ke-j tersarang pada periode ke-i ulangan ke-k


(36)

i = pengaruh periode j = perlakuan pakan

k = ulangan (1,2,…,5)

Perlakuan

R0 : ransum kontrol, tanpa mengandung tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei

R1 : ransum mengandung 10% TDK R2 : ransum mengandung 10% TDM

R3 : ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Analisis Data

Data hasil penelitian diolah dengan analisis statistik berupa uji ANOVA untuk melihat pengaruh perlakuan pakan yang tersarang pada faktor periode. Jika diketahui bahwa faktor periode ataupun perlakuan pakan memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah-peubah yang diamati, akan dilakukan uji lanjut LSD (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).


(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh hewan dalam jangka waktu tertentu (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1991), konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang digunakan oleh ternak dan zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan pokok dan untuk produksi hewan tersebut.

Gambar 12 menyajikan rataan konsumsi ransum puyuh periode grower dan layer. Hasil penelitian (Gambar 12) menunjukkan rataan konsumsi ransum puyuh periode grower berkisar 13,89-14,88 g/ekor/hari dengan umur puyuh 3-12 minggu. Kisaran ini sejalan dengan pernyataan Listyowati dan Roospitasari (2000) bahwa jumlah ransum yang dikonsumsi puyuh sebesar 8-15 g/ekor/hari. Kisaran konsumsi ransum puyuh periode layer sebesar 10,67-18,90 g/ekor/hari.

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Superskrip yang berbeda pada grafik menunjukkan beda sangat nyata (P<0,01)

Gambar 12. Rataan Konsumsi Ransum Puyuh Periode Grower dan Layer

Gambar 12 memperlihatkan bahwa rataan konsumsi ransum periode layer relatif mengalami penurunan dari periode grower, kecuali pada perlakuan R3 (ransum yang mengandung kombinasi tepung daun katuk dan murbei). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan R3 (ransum yang mengandung kombinasi

14,45 14,28 14,88 13,90

12,35b 12,65b 10,67b 18,09a 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

R0 R1 R2 R3

K o ns um si Ra ns um g /ek o r/ha ri Perlakuan


(38)

tepung daun katuk dan murbei) yang tersarang pada periode layer memiliki pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap peningkatan rataan konsumsi ransum. Tingginya konsumsi ransum perlakuan R3 periode layer mengindikasikan bahwa kandungan nutrien yang masuk ke dalam tubuh ternak terakumulasi lebih banyak dan lebih palatable dibandingkan dengan ransum perlakuan lainnya. Rendahnya rataan konsumsi ransum pada perlakuan R3 periode grower menyebabkan puyuh kekurangan nutrien untuk persiapan bertelur sehingga asupan konsumsi meningkat seiring dengan kebutuhan nutrien yang dibutuhkan puyuh untuk periode layer.

Perlakuan R0 (ransum tanpa tepung daun) pada periode grower dan layer memberikan pengaruh yang sama terhadap rataan konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum perlakuan R0 merupakan rataan konsumsi ransum yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan kandungan serat kasar R0 lebih tinggi sebesar 1,08% dibandingkan dengan R1; 1,14% dari R2 dan 1,11% dari R3. Tingginya serat kasar menyebabkan ransum bulky sehingga laju pakan cepat namun nutrien yang diserap oleh usus halus puyuh kurang optimal. Selain itu, tingginya serat kasar pada perlakuan R0 menyebabkan rendahnya tingkat palatabilitas bagi puyuh. Menurut Starck dan Rahmaan (2003), gizzard dan usus halus pada puyuh memiliki sifat fleksibel sehingga mampu merespon pakan yang berserat tinggi. Dalam hal ini, puyuh pada masa perlakuan masih dapat menoleransi kandungan serat kasar ransum yang tergolong tinggi bagi unggas.

Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum diantaranya susunan ransum (komposisi nutrisi dalam ransum, formula ransum, level suatu bahan pakan yang digunakan dan kualitas pelet) dan manajemen (ketersediaan pakan dan air dalam kandang, sanitasi lingkungan, kepadatan kandang, kontrol terhadap penyakit), tetapi faktor yang paling berpengaruh untuk meningkatkan konsumsi ransum yaitu pengontrolan sumber stres dan penyakit (Fernet dan Gernat, 2006).

Konsumsi Protein

Konsumsi protein dihitung untuk mengetahui jumlah protein yang masuk ke dalam tubuh dan pemanfaatannya disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan. Konsumsi protein pada periode grower berkisar 3,70-4,03 g/ekor/hari sedangkan pada periode layer berkisar 2,66-4,61 g/ekor/hari. Hasil penelitian (Gambar 13)


(39)

memperlihatkan bahwa relatif terjadi penurunan rataan konsumsi protein dari periode grower ke layer, kecuali pada perlakuan R3 (ransum mengandung kombinasi tepung daun katuk dan murbei). Tingginya rataan konsumsi protein pada perlakuan R3 yang tersarang pada periode layer mengindikasikan bahwa ransum yang mengadung kombinasi tepung daun katuk dan murbei bersifat palatable bagi puyuh. Semakin tinggi konsumsi protein, protein yang masuk ke dalam tubuh puyuh akan terakumulasi lebih banyak dibandingkan dengan ransum lainnya yang tidak menggunakan tepung daun maupun penggunaan tepung daun (katuk dan murbei) secara tunggal pada ransum.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan R3 yang tersarang pada periode layer memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan rataan konsumsi protein. Hal ini sejalan dengan hasil analisis statistik konsumsi ransum yang memperlihatkan bahwa perlakuan R3 (kombinasi tepung daun katuk dan murbei) pada periode layer memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan konsumsi ransum.

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Gambar 13. Rataan Konsumsi Protein Puyuh Periode Grower dan Layer

Berdasarkan analisis proksimat, kandungan protein kasar (PK) tepung daun katuk sebesar 30,68% sedangkan tepung daun murbei sebesar 20,96%. Penggunaan

3.70 4.01 4.03 3.83

2.93 3.29 2.66 4.61 0 1 2 3 4 5 6

R0 R1 R2 R3

K o ns um si P ro tein (g /ek o r/ha ri) Perlakuan


(40)

tepung daun katuk dan murbei dalam ransum puyuh juga bertujuan sebagai komponen penambah kandungan protein dalam ransum guna memenuhi kebutuhan asam amino untuk kebutuhan puyuh. Menurut Widodo (2005), fungsi protein meliputi banyak aspek, salah satunya yaitu sebagai komponen protein darah, albumin dan globulin yang merupakan zat yang diperlukan tubuh. Pada sumsum tulang belakang terdapat sel-sel yang disebut sel stem hemopoietik pluripoten yang merupakan asal dari seluruh sel-sel dalam sirkulasi darah. Pertumbuhan dan reproduksi sel stem diatur oleh bermacam-macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan (Guyton dan Hall, 2010). Semakin tinggi konsumsi protein, akan semakin banyak pula gugus protein yang digunakan oleh puyuh untuk maintenance tubuhnya maupun untuk fungsi-fungsi tubuh lainnya, seperti produksi (misalnya kandungan protein daging dan telur) dan reproduksi. Protein merupakan bahan dasar dalam erythropoiesis (proses pembentukan eritrosit) selain glukosa dan berbagai aktivator (Praseno, 2005).

Mineral Fe (besi)

Menurut Muchtadi (2001), zat besi merupakan komponen hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen di darah menuju sel-sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein menjadi energi (ATP). Mineral Fe merupakan mikro elemen mineral yang terdapat di dalam darah. Darah dalam semua sel tubuh bertindak sebagai pembawa oksigen yang diperlukan sel dan karbondioksida dari sel ke paru-paru (Harper, 2006). Zat besi yang terkandung dalam bahan makanan dikenal dua jenis, yaitu besi heme dan non-heme (Patimah, 2007). Daun katuk dan murbei merupakan bahan makanan yang mengandung besi non-heme karena berasal dari golongan sayuran hijau.

Kandungan Fe dalam ransum berasal dari kandungan Fe setiap bahan pakan penyusun ransum. Mineral Fe diperlukan dalam proses pembentukan darah dan dapat terekspresi pada serum puyuh. Rataan konsumsi Fe puyuh periode grower dan layer tertera pada Tabel 6.

Rataan konsumsi Fe dipengaruhi oleh konsumsi ransum dan kandungan Fe dari bahan pakan penyusun ransumnya. Menurut Widodo (2005), kebutuhan zat besi puyuh periode grower sebesar 0,1 g/ekor/hari sedangkan pada layer sebesar 0,06


(41)

g/ekor/hari. Rataan konsumsi Fe puyuh periode grower berkisar 0,008-1,240 g/ekor/hari. Kisaran ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rataan konsumsi Fe puyuh periode layer (0,008-14,38 g/ekor/hari). Perlakuan ransum tanpa tepung daun (perlakuan R0) memiliki rataan konsumsi Fe yang berada dibawah kisaran normal kebutuhan puyuh yang mengindikasikan bahwa puyuh akan mengalami defisiensi Fe, baik pada periode grower maupun layer. Rataan konsumsi Fe yang paling tinggi yaitu pada perlakuan ransum yang mengandung 10% tepung daun katuk (perlakuan R1).

Tabel 6. Rataan Konsumsi Fe Puyuh Periode Grower dan Layer (g/ekor/hari)

Perlakuan Periode Rataan

Grower Layer

R0 0,008±0,001 b 0,008±0,001 0,008±0,001 R1 1,240±0,111 a 1,163±0,234 1,202±0,173 R2 0,920±0,072 a 0,715±0,031 0,817±0,052 R3 0,625±0,026 a 0,863±0,005 0,744±0,015 Rataan 0,698±0,052 A 0,687±0,068 B 0,693±0,060 Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01).

Berdasarkan hasil perhitungan analisis laboratorium kandungan Fe tepung daun katuk dan murbei, kandungan Fe yang paling tinggi terdapat pada ransum yang mengandung 10% tepung daun katuk (periode grower dan layer), yang masing-masing berenilai 868,17 ppm dan 919,72 ppm. Hal ini menjadi indikator bahwa tepung daun katuk memiliki kandungan Fe yang lebih tinggi dibandingkan tepung daun murbei dan bahan pakan penyusun ransum lainnya.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rataan konsumsi Fe periode grower dinilai lebih baik dibandingkan periode layer. Ransum perlakuan yang tersarang pada periode grower memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rataan konsumsi Fe puyuh. Ransum perlakuan yang mengandung tepung daun katuk dan murbei secara tunggal maupun kombinasi memberikan pengaruh yang sama terhadap rataan konsumsi Fe. Hal ini dikarenakan kandungan mineral Fe pada ransum yang


(42)

menggunakan tepung daun lebih tinggi dibandingkan ransum kontrol (ransum tanpa tepung daun).

Mineral besi (Fe) yang terkandung dalam pakan sangat berperan dalam pembentukan hemoglobin, mioglobin dan sitokrom melalui aktivitas pengangkutan, penyimpanan dan pemanfaatan oksigen. Mineral Fe akan berikatan dengan protein membentuk transferin dalam plasma darah. Jika dalam darah tidak terdapat transferin dalam jumlah cukup, akan terjadi kegagalan pengangkutan besi menuju eritroblas yang mengakibatkan penurunan sel darah merah yang mengandung lebih rendah kadar hemoglobinnya dibandingkan kondisi normal (Guyton dan Hall, 2010).

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Gambar 14. Rataan Kandungan Fe Serum Puyuh Periode Grower dan Layer

Kandungan Fe juga terdapat pada serum puyuh, selain pada ransum. Serum adalah plasma darah tanpa fibrinogen. Serum terdiri dari mineral dan protein termasuk cairan elektrolit, antibodi, antigen, hormon, dan semua substansi eksogenus. Terdapat dua jenis protein yang utama dalam serum, yaitu albumin dan globulin. Pada hakekatnya serum mempunyai komposisi yang sama seperti plasma, kecuali fibrinogen dan serotonin yang tinggi (Ganong, 1998).

Secara deskriptif, pada Gambar 14 dapat diketahui bahwa serum yang mengandung Fe paling tinggi terdapat pada perlakuan R1 yang merupakan ransum dengan kandungan 10% tepung daun katuk . Hal ini sejalan dengan tren pada rataan


(43)

konsumsi Fe yang menunjukkan bahwa konsumsi Fe paling tinggi juga terdapat pada perlakuan ransum dengan penggunaan 10% tepung daun katuk (perlakuan R1). Tingginya kandungan Fe dalam tepung daun katuk (0,36%) mendukung bahwa penggunaannya dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber mineral Fe. Tingkat absorbsi besi pada usus berlangsung sangat lambat sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat diabsorbsi (Schalm, 2010) dan juga adanya pengaruh asam fitat yang mengikat mineral Fe.

Semua jenis sayuran hijau merupakan sumber utama zat besi non heme (Wahyuni, 2004). Zat besi (Fe) lebih mudah diserap di usus halus dalam bentuk ferro (Fe2+) (Sediaoetama, 2006) namun kandungan Fe dalam daun katuk dan murbei bersifat non-heme (besi anorganik yang kompleks) yang tidak mudah diserap karena sebagian Fe tidak larut akan membentuk khelat dengan senyawa fenolik (misalnya fitat dan tanin) yang terkandung dalam tanaman. Tingkat absorbsi Fe non heme ini hanya sebesar 5% (Mulyawati, 2003). Menurunnya kadar Fe pada serum dari periode grower ke layer pada perlakuan R0, R1 dan R3 mengindikasikan bahwa penyerapan zat besi kurang optimal pada periode layer dibandingkan periode grower. Kurang optimalnya penyerapan zat besi tersebut dikarenakan adanya penurunan konsumsi Fe (dari grower-layer) dan juga karena adanya pengalihan pemanfaatan zat besi untuk bertelur (produksi).

Eritrosit (Butir Darah Merah)

Eritrosit dikelilingi oleh suatu plasmalemma. Plasmalemma merupakan membran sel yang terdiri dari kira-kira 40% lipid (fosfolipid, kolestrol, glikolipid dan sebagainya), 50% protein dan 10% karbohidrat. Bagian dalam, eritrosit mengandung 33% hemoglobin (Junquera, 1997). Faktor yang juga mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi antara lain hormon eritropoietin yang berfungsi merangsang eritropoiesis dengan memicu produksi produksi proeritroblas dari sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang (Meyer dan Harvey, 2004).

Gambar 15 menyajikan rataan jumlah eritrosit puyuh periode grower dan layer. Kisaran rataan jumlah eritrosit puyuh periode grower sebesar 2,52-3,20 juta/mm3 sedangkan pada periode layer sebesar 2,72-3,45 juta/mm3. Menurut Strukie dan Griminger (1976), jumlah eritrosit pada puyuh betina normal sebesar 3,86


(44)

juta/mm3. Kisaran jumlah eritrosit puyuh selama perlakuan berada dibawah jumlah eritrosit puyuh betina normal.

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Rendahnya jumlah eritrosit disebabkan oleh beberapa hal diantaranya rendahnya absorbsi zat besi yang terjadi di usus halus. Kandungan serat kasar yang tinggi pada ransum (13,26%-14,57%) menyebabkan laju pakan meningkat sedangkan penyerapan nutrien berlangsung sangat lambat. Selain itu, zat besi yang terkandung dalam pakan tergolong Fe non-heme yang tingkat absorbsinya hanya 5% karena berasal dari sumber nabati (Mulyawati, 2003). Dengan demikian, zat besi yang diabsorpsi oleh usus halus sangat rendah dan yang dimanfaatkan untuk homeopoiesis juga sangat terbatas sehingga eritrosit yang terbentuk pun tidak optimal.

Jumlah eritrosit yang berada dibawah nilai normal bagi puyuh betina mengindikasikan bahwa puyuh mengalami anemia. Anemia merupakan kondisi kurangnya eritrosit pada tubuh dan dapat terjadi karena minimalnya konsentrasi hemoglobin yang berarti juga sangat sedikit oksigen terangkut ke seluruh tubuh (Budiyanto, 2002). Fungsi utama eritrosit adalah untuk transpor hemoglobin, yang selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton dan Hall, 2010)

Gambar 15. Rataan Eritrosit Puyuh Periode Grower dan Layer

: Grower : Layer

3.05 2.52 3.18 3.20 2.94 2.72 2.99 3.45 0 1 2 3 4

R0 R1 R2 R3

J um la h E rit o sit (j uta /mm 3) Perlakuan


(45)

sehingga jika jumlah eritrosit pada puyuh rendah, asupan oksigen juga akan rendah dan dapat berimplikasi terhadap kelangsungan metabolisme tubuh.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa periode puyuh dan perlakuan ransum yang tersarang pada periode tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rataan eritrosit puyuh selama masa perlakuan. Tingginya kandungan protein dan zat besi dalam ransum dapat mendukung pembentukan eritrosit karena kedua nutrien tersebut merupakan elemen esensial pada homeopoiesis. Namun, penggunaan dedak padi yang cukup tinggi dalam ransum menyebabkan adanya pengaruh asam fitat terhadap pengikatan protein dan Fe. Adanya pengikatan ini menyebabkan protein dan Fe yang tersedia untuk eritropoiesis menjadi kurang optimal sehingga jumlah eritrosit puyuh berada dibawah jumlah eritrosit normal puyuh betina.

Jumlah eritrosit yang paling tinggi terlihat pada puyuh perlakuan R3 periode layer yaitu yang mendapat ransum dengan kombinasi tepung daun katuk dan murbei. Hal ini berbanding lurus dengan konsumsi proteinnya dan mengindikasikan bahwa semakin tinggi konsumsi protein, jumlah eritrosit yang diproduksi juga akan semakin tinggi. Protein dibutuhkan dalam homeopoiesis, yaitu berupa asam amino glisin.

Disisi lain, terjadi fluktuasi jumlah eritrosit puyuh yang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi pembentukan eritrosit di dalam tubuh, diantaranya status kecukupan (protein dan Fe) gizi dan suhu lingkungan tempat tinggal. Suhu lingkungan saat pemeliharaan sangat fluktuatif, dengan kisaran 24-38°C, sehingga turut mempengaruhi produksi eritrosit. Menurut Hassan etal. (2003), periode cekaman panas pada puyuh berkisar 34-36°C. Kondisi tersebut mengakibatkan produksi eritrosit pada semua perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan puyuh normal yang dipelihara pada kondisi tanpa cekaman panas.

Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan protein yang berperan utama sebagai pengangkut oksigen (O2) dari paru-paru ke seluruh jaringan badan, juga berperan dalam pengangkutan CO2 dan menentukan kapasitas penyangga dari darah (Campbell, 2004; Ganong, 1998; Sherwood, 2001). Molekul hemoglobin terdiri dari dua bagian, yaitu bagian globin dan heme. Bagian globin merupakan suatu protein yang terbentuk dari 4 rantai polipeptida yang berlipat-lipat. Heme merupakan gugus


(46)

netrogenosa non protein yang mengandung besi dan masing-masing terikat pada satu polipeptida (Sherwood, 2001). Hemoglobin merupakan kompleks protein dan besi (Rastogi, 2007). Globin merupakan komponen protein dan heme merupakan komponen besi non protein. Hemoglobin disintesis pada sel darah merah dari asam asetat dan glisin.

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Gambar 16. Rataan Kadar Hb Puyuh Periode Grower dan Layer

Data pada Gambar 16 menyajikan bahwa rataan Hb puyuh periode grower lebih tinggi (12,89-14,10 g%) dibandingkan dengan periode layer (10,11-12,32 g%). Menurut Sturkie dan Griminger (1976), kadar hemoglobin pada puyuh betina normal yaitu 12,3 g%. Rataan hemoglobin puyuh secara umum berada dibawah kadar hemoglobin puyuh betina normal. Hal ini sejalan dengan data yang disajikan pada Gambar 15 bahwa puyuh pada masa perlakuan memiliki jumlah eritrosit yang lebih rendah dibandingkan dengan jumlah eritrosit puyuh betina normal.

Menurunnya kadar hemoglobin pada puyuh periode layer mengindikasikan bahwa nutrien yang terkandung dalam ransum akan dimetabolisme untuk persiapan bertelur dan masa produksi. Nutrien berupa protein dan mineral besi pun difokuskan untuk sintesis telur sehingga pembentukan hemoglobin tidak seoptimal pada masa

14.10

12.89

14.07

13.06

10.11 10.37 10.51

12.32 0 2 4 6 8 10 12 14 16

R0 R1 R2 R3

K a da r H b (g %) Perlakuan


(1)

Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Ransum

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01

Periode 1 8,80 8,80 4,02 4,15 7,50

Perlakuan pada periode 6 158,06 26,34 12,03** 2,40 3,43 Perlakuan pada Grower 3 2,49 0,83 0,38 2,90 4,46 Perlakuan pada Layer 3 155,57 51,86 23,69** 2,90 4,46

Galat 32 70,06 2,19

Total 39 236,92 6,07

**)

Fhit menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 2. Hasil Uji LSD Konsumsi Ransum

Perlakuan Rataan Selisih LSD Superskrip

0,05 0,01

R3 Layer 18,09 5,44**

1,91 2,56

a

R1 Layer 12,65 0,30 b

R0 Layer 12,35 1,68 b

R2 Layer 10,67 b

**) :

Hasil uji lanjut menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Protein

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01

Periode 1 2,73 2,73 18,93** 4,15 7,50

Perlakuan pada periode 6 11,51 1,92 13,31 2,34 3,43 Perlakuan pada Grower 3 0,36 0,12 0,83 2,90 4,46 Perlakuan pada Layer 3 11,16 3,72 25,78** 2,90 4,46

Galat 32 4,62 0,14

Total 39 18,86 0,48

**)

Fhit menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 4. Hasil Uji LSD Konsumsi Protein

Perlakuan Rataan Selisih LSD Superskrip

0,05 0,01

R3 Layer 4,61 1,09**

0,49 0,66

-

R1 Layer 3,23 0,27tn -

R0 Layer 2,93 0,26tn -

R2 Layer 2,66 -

tn) :


(2)

Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Fe

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01

Periode 1 0,001 0,001 0,132 4,149 7,499

Perlakuan pada periode 6 7,720 1,287 139,072** 2,399 3,427 Perlakuan pada Grower 3 4,120 1,373 148,439** 2,901 4,459 Perlakuan pada Layer 3 3,600 1,200 129,706** 2,901 4,459

Galat 32 0,296 0,009

Total 39

**)

: Fhit menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 6. Hasil Uji LSD Konsumsi Fe Berdasarkan Periode

Periode Rataan Superskrip

Grower 0,698 A

Layer 0,687 B

Lampiran 7. Hasil Uji LSD Konsumsi Fe Berdasarkan Perlakuan Pakan Tersarang

pada Periode

Grower

Perlakuan Rataan Selisih LSD Superskrip

0,05 0,01

R1

Grower

1,240 0,320

0,124 0,167

a

R2

Grower

0,920 0,295 a

R3

Grower

0,625 0,617 a

R0

Grower

0,008 b

Lampiran 8. Hasil Sidik Ragam Jumlah Eritrosit

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01

Periode 1 0,01 0,01 0,02tn 4,15 7,50

Perlakuan pada periode 6 2,93 0,49 0,68tn 2,40 3,43 Perlakuan pada Grower 3 1,53 0,51 0,71tn 2,90 4,46 Perlakuan pada Layer 3 1,40 0,47 0,65tn 2,90 4,46

Galat 32 22,98 0,72

Total 39

tn)


(3)

Lampiran 9. Hasil Sidik Ragam Hemoglobin

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01

Periode 1 73,12 73,12 3,08tn 4,15 7,50

Perlakuan pada periode 6 21,60 3,60 0,15tn 2,40 3,43 Perlakuan pada Grower 3 6,29 2,10 0,09tn 2,90 4,46 Perlakuan pada Layer 3 15,31 5,10 0,22tn 2,90 4,46

Galat 32 758,82 23,71

Total 39 853,53

tn)

: Hasil sidik ragam menunjukkan tidak nyata

Lampiran 10. Hasil Sidik Ragam Hematokrit

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01 Periode 1 1053,19 1053,19 5,17* 4,15 7,50 Perlakuan pada periode 6 36,30 6,05 0,03 2,40 3,43 Perlakuan pada Grower 3 7,16 2,39 0,01 2,90 4,46 Perlakuan pada Layer 3 29,13 9,71 0,05 2,90 4,46

Galat 32 6513,35 203,54

Total 39 7602,84 194,94

*)

: Fhit menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Lampiran 11. Hasil Uji LSD Hematokrit

Periode Rataan Superskrip

Grower 40,23 a

Layer 29,96 b

Lampiran 12. Hasil Sidik Ragam Leukosit

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01

Periode 1 189,23 189,23 0,66tn 4,15 7,50

Perlakuan pada periode 6 3340,15 556,69 1,95tn 2,40 3,43 Perlakuan pada Grower 3 507,75 169,25 0,59tn 2,90 4,46 Perlakuan pada Layer 3 2832,40 944,13 3,31* 2,90 4,46

Galat 32 9114,40 284,83

Total 39 12643,78 324,20

tn)

: Hasil sidik ragam menunjukkan tidak nyata

*)


(4)

Lampiran 13. Hasil Uji LSD Leukosit

Perlakuan Rataan Selisih LSD Superskrip

0,05 0,01

R0 Layer 63,20 8,20tn

21,75 29,25

-

R2 Layer 55,00 8,20tn -

R1 Layer 46,80 15,80tn -

R3 Layer 31,00 -

tn) :

Hasil uji lanjut menunjukkan tidak nyata (P>0,05)

Lampiran 14. Hasil Sidik Ragam Rasio H/L

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01

Periode 1 6,14 6,14 3,13tn 4,15 7,50

Perlakuan pada periode 6 23,69 3,95 2,01tn 2,40 3,43 Perlakuan pada Grower 3 0,52 0,17 0,09tn 2,90 4,46 Perlakuan pada Layer 3 23,18 7,73 3,93* 2,90 4,46

Galat 32 62,89 1,97

Total 39 92,72 2,38

tn)

: Hasil sidik ragam menunjukkan tidak nyata

*)

: Hasil sidik ragam menunjukkan nyata (P<0,05)

Lampiran 15. Hasil Uji LSD Rasio H/L

Perlakuan Rataan Selisih LSD Superskrip

0,05 0,01

R0 Layer 3,44 1,62tn

1,91 2,56

-

R2 Layer 1,83 0,62tn -

R1 Layer 1,21 0,67tn -

R3 Layer 0,54 -

tn)

: Hasil sidik ragam menunjukkan tidak nyata

Lampiran 16. Hasil Sidik Ragam

Mean Corpuscular Volume

(MCV)

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01 Periode 1 34553,91 34553,91 6,80* 4,15 7,50 Perlakuan pada periode 6 42195,24 7032,54 1,38tn 2,40 3,43 Perlakuan pada Grower 3 41903,02 13967,67 2,75tn 2,90 4,46 Perlakuan pada Layer 3 292,22 97,41 0,02tn 2,90 4,46

Galat 32 162684,90 5083,90

Total 39 239433,90 6139,33

tn)


(5)

Lampiran 17. Hasil Uji LSD

Mean Corpuscular Volume

(MCV)

Periode Rataan Superskrip

Grower

155.30

a

Layer

96.52

b

Lampiran 18. Hasil Sidik Ragam

Mean Corpuscular

Hemoglobin Concentration

(MCHC)

SK DB JK KT Fhit F Tabel

0,05 0,01 Periode 1 1050,46 1050,46 47,93** 10,13 34,12 Perlakuan pada periode 6 131,55 21,92 1,00tn 8,94 27,91 Perlakuan pada Grower 3 65,80 21,93 1,00 tn 9,28 29,46 Perlakuan pada Layer 3 65,75 21,92 1,00 tn 9,28 29,46

Galat 32 3456,83 108,03

Total 39 4638,83 118,94

tn)

: Hasil sidik ragam menunjukkan tidak nyata

**)

: Hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 19. Hasil Uji LSD

Mean Corpuscular

Hemoglobin Concentration

(MCHC)

Periode Rataan Superskrip

Grower

33,75

a

Layer

23,50

b

Keterangan :

SK

= Sumber Keragaman

DB

= Derajat Bebas

JK

= Jumlah Kuadrat


(6)

Lampiran 20. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan

1)

(As fed)

Keterangan : 1) berdasarkan hasil perhitungan analisa bahan pakan (Laboratorim Ilmu dan Teknologi Pakan, 2009)

2)

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun, R1 = ransum mengandung 10% tepung daun katuk (TDK), R2 = ransum mengandung 10% tepung daun murbei (TDM), R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

3)

dihitung berdasarkan rumus ME = GE x 0,75 (NRC, 1994)

ME = metabolisme energi, BK = bahan kering, PK = protein kasar, SK = serat kasar, LK = lemak kasar, Beta-N = bahan ekstrak tanpa nitrogen, Ca = kalsium, P = phospor, Fe = ferrum (besi)

Nutrien Satuan

Grower (3-12 minggu) Layer (13-17 minggu)

R02) R12) R22) R32) R02) R12) R22) R32)

EM3) kkal/kg 2670,26 2821,70 2784,13 2709,49 2694,77 2756,69 2719,11 2737,90 BK % 81,85 81,06 80,75 80,90 75,77 74,97 74,65 74,81 PK % 23,30 25,27 24,30 24,79 19,97 21,64 20,67 21,16 SK % 14,57 13,49 13,43 13,46 14,40 13,32 13,26 13,29

LK % 3,97 3,87 3,61 3,74 3,76 3,67 3,40 3,53

Beta-N % 23,07 22,99 24,22 23,60 21,37 21,61 22,84 22,22 Abu % 16,91 15,01 15,15 15,08 16,22 14,29 14,44 14,37

Ca % 3,58 3,03 2,99 3,01 5,46 4,91 4,86 4,88

P % 1,23 1,12 1,07 1,09 1,19 1,07 1,02 1,04