Gambaran Higiene Personal Pekerja Kantin di Kampus IPB Dramaga melalui Pengujian Staphylococcus aureus

(1)

SUSI SUSILAWATI CAHYA. Personal Hygiene of Food Handlers in Canteen in Bogor Agricultural University Dramaga through Detection of Staphylococcus aureus. Under direction of HADRI LATIF and HERWIN PISESTYANI.

Personal hygiene is very important in food handling practices. Improper personal hygiene of the food handler can cause foodborne illness due to the occurrence of Staphylococcus aureus. The aim of this study was to observe the occurrence of S. aureus from hands and clothes of food handlers in canteens the Bogor Agriculture University Dramaga. Thirty nine food handlers were chosen randomly from sixty seven food handlers become respondents for questionnaire about personal hygiene in handling food and detecting S. aureus on hand and clothes. The detection of S. aureus on hands and clothes was used RODAC method and analysed for the presence of S. aureus in order to assess the levels of contamination and to establish possible relationships. A majority respondents had good practices of personal hygiene. Staphylococcus aureus was detected on 100% of hands and clothes samples of food handlers. Nevertheless, the correlation between the occurance of S. aureus on hands and clothes of food handlers was not significant statistically (P>0.05). It is necessary to have a great attention to the presence of S. aureus on hands of food handlers in the university canteen since it could be the source of pathogen cross contamination to the food that can cause foodborne illness.

.


(2)

SUSI SUSILAWATI CAHYA. Gambaran Higiene Personal Pekerja Kantin di Kampus IPB Dramaga melalui Pengujian Staphylococcus aureus. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan HERWIN PISESTYANI.

Mutu dan keamanan pangan akhir-akhir ini sering menjadi topik pembicaraan karena merupakan masalah penting bagi kesehatan masyarakat. Keamanan pangan menempati posisi yang penting bagi kesehatan dan pembangunan. Kasus keracunan makanan banyak dilaporkan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan tahun 2008 berjumlah 170 korban di Tabanan. Karakteristik epidemiologinya menunjukkan makanan rumah tangga merupakan penyebab keracunan pangan tertinggi (46.7%), kemudian jasa boga (22.4%). Sekolah atau kampus merupakan tempat terjadinya KLB keracunan pangan kedua terbanyak (2.7%) setelah tempat tinggal (39.5%).

Keamanan pangan sangat terkait dengan praktik higiene personal dari orang yang menangani pangan tersebut, dalam hal ini adalah pekerja kantin. Pekerja kantin merupakan salah satu sumber kontaminasi utama dalam penyajian makanan. Kehadiran bakteri S. aureus pada makanan mencerminkan higiene pekerja yang kurang baik. Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga memiliki beberapa unit kantin yang menjual berbagai produk pangan, termasuk produk olahan pangan asal hewan. Hal tersebut mendasari penelitian ini untuk mengetahui gambaran higiene personal pekerja kantin kampus IPB Dramaga melalui deteksi keberadaan S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin.

Metode penelitian yang dilakukan meliputi pengisian kuesioner dan pengambilan sampel melalui tangan dan baju pekerja kantin. Isi dari kuesioner mengenai karakteristik dan praktik higiene personal pekerja kantin. Uji untuk mengetahui keberadaan S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin dengan menggunakan replicate organism direct agar contact method (RODAC). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS 16.0. Uji korelasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin.

Responden adalah pekerja kantin di lingkungan dalam kampus IPB Dramaga yang langsung menangani makanan (n=39). Seluruh responden berumur sekitar 16-65 tahun dan masuk dalam kategori dewasa. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas pekerja kemungkinan akan lebih mudah menerima penyuluhan atau pembinaan, namun kemungkinan lebih sedikit pekerja kantin yang memiliki tingkat pengetahuan dan pengalaman yang baik. Hal ini juga didukung oleh kenyataan sebagian besar pekerja kantin bekerja selama kurang dari 4 tahun sehingga pengalaman yang dimiliki masih sangat kurang. Sebagian besar responden belum pernah mendapat penyuluhan atau pembinaan terkait pengelolaan kantin. Penyuluhan atau pembinaan mengenai pengelolaan kantin dilakukan oleh pihak dalam kampus, namun belum mencakup seluruh pekerja kantin.

Aspek praktik higiene personal yang masih buruk dilakukan oleh pekerja kantin yaitu tidak memakai sarung tangan dan apron saat menangani makanan.


(3)

dengan jumlah rataan 48.2 ± 5.0 CFU/cawan. Keberadaan S. aureus juga ditemukan di baju pekerja kantin (100%) dengan jumlah rataan 20.7 ± 2.9 CFU/cawan. Tingginya keberadaan S. aureus tersebut terkait dengan praktik higiene personal pekerja kantin yang belum terlaksana dengan baik.

Berdasarkan hasil uji korelasi memperlihatkan tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan S. aureus pada tangan pekerja kantin tidak berkorelasi dengan keberadaan S. aureus pada baju pekerja begitu juga sebaliknya.


(4)

GAMBARAN HIGIENE PERSONAL PEKERJA KANTIN

DI KAMPUS IPB DRAMAGA MELALUI PENGUJIAN

Staphylococcus aureus

SUSI SUSILAWATI CAHYA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Gambaran Higiene Personal Pekerja Kantin di Kampus IPB Dramaga melalui Pengujian

Staphylococcus aureus adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Susi Susilawati Cahya


(6)

SUSI SUSILAWATI CAHYA. Personal Hygiene of Food Handlers in Canteen in Bogor Agricultural University Dramaga through Detection of Staphylococcus aureus. Under direction of HADRI LATIF and HERWIN PISESTYANI.

Personal hygiene is very important in food handling practices. Improper personal hygiene of the food handler can cause foodborne illness due to the occurrence of Staphylococcus aureus. The aim of this study was to observe the occurrence of S. aureus from hands and clothes of food handlers in canteens the Bogor Agriculture University Dramaga. Thirty nine food handlers were chosen randomly from sixty seven food handlers become respondents for questionnaire about personal hygiene in handling food and detecting S. aureus on hand and clothes. The detection of S. aureus on hands and clothes was used RODAC method and analysed for the presence of S. aureus in order to assess the levels of contamination and to establish possible relationships. A majority respondents had good practices of personal hygiene. Staphylococcus aureus was detected on 100% of hands and clothes samples of food handlers. Nevertheless, the correlation between the occurance of S. aureus on hands and clothes of food handlers was not significant statistically (P>0.05). It is necessary to have a great attention to the presence of S. aureus on hands of food handlers in the university canteen since it could be the source of pathogen cross contamination to the food that can cause foodborne illness.

.


(7)

SUSI SUSILAWATI CAHYA. Gambaran Higiene Personal Pekerja Kantin di Kampus IPB Dramaga melalui Pengujian Staphylococcus aureus. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan HERWIN PISESTYANI.

Mutu dan keamanan pangan akhir-akhir ini sering menjadi topik pembicaraan karena merupakan masalah penting bagi kesehatan masyarakat. Keamanan pangan menempati posisi yang penting bagi kesehatan dan pembangunan. Kasus keracunan makanan banyak dilaporkan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan tahun 2008 berjumlah 170 korban di Tabanan. Karakteristik epidemiologinya menunjukkan makanan rumah tangga merupakan penyebab keracunan pangan tertinggi (46.7%), kemudian jasa boga (22.4%). Sekolah atau kampus merupakan tempat terjadinya KLB keracunan pangan kedua terbanyak (2.7%) setelah tempat tinggal (39.5%).

Keamanan pangan sangat terkait dengan praktik higiene personal dari orang yang menangani pangan tersebut, dalam hal ini adalah pekerja kantin. Pekerja kantin merupakan salah satu sumber kontaminasi utama dalam penyajian makanan. Kehadiran bakteri S. aureus pada makanan mencerminkan higiene pekerja yang kurang baik. Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga memiliki beberapa unit kantin yang menjual berbagai produk pangan, termasuk produk olahan pangan asal hewan. Hal tersebut mendasari penelitian ini untuk mengetahui gambaran higiene personal pekerja kantin kampus IPB Dramaga melalui deteksi keberadaan S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin.

Metode penelitian yang dilakukan meliputi pengisian kuesioner dan pengambilan sampel melalui tangan dan baju pekerja kantin. Isi dari kuesioner mengenai karakteristik dan praktik higiene personal pekerja kantin. Uji untuk mengetahui keberadaan S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin dengan menggunakan replicate organism direct agar contact method (RODAC). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS 16.0. Uji korelasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin.

Responden adalah pekerja kantin di lingkungan dalam kampus IPB Dramaga yang langsung menangani makanan (n=39). Seluruh responden berumur sekitar 16-65 tahun dan masuk dalam kategori dewasa. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas pekerja kemungkinan akan lebih mudah menerima penyuluhan atau pembinaan, namun kemungkinan lebih sedikit pekerja kantin yang memiliki tingkat pengetahuan dan pengalaman yang baik. Hal ini juga didukung oleh kenyataan sebagian besar pekerja kantin bekerja selama kurang dari 4 tahun sehingga pengalaman yang dimiliki masih sangat kurang. Sebagian besar responden belum pernah mendapat penyuluhan atau pembinaan terkait pengelolaan kantin. Penyuluhan atau pembinaan mengenai pengelolaan kantin dilakukan oleh pihak dalam kampus, namun belum mencakup seluruh pekerja kantin.

Aspek praktik higiene personal yang masih buruk dilakukan oleh pekerja kantin yaitu tidak memakai sarung tangan dan apron saat menangani makanan.


(8)

dengan jumlah rataan 48.2 ± 5.0 CFU/cawan. Keberadaan S. aureus juga ditemukan di baju pekerja kantin (100%) dengan jumlah rataan 20.7 ± 2.9 CFU/cawan. Tingginya keberadaan S. aureus tersebut terkait dengan praktik higiene personal pekerja kantin yang belum terlaksana dengan baik.

Berdasarkan hasil uji korelasi memperlihatkan tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan S. aureus pada tangan pekerja kantin tidak berkorelasi dengan keberadaan S. aureus pada baju pekerja begitu juga sebaliknya.


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

Staphylococcus aureus

SUSI SUSILAWATI CAHYA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(11)

NIM : B04080196

Disetujui

Dr. drh. Hadri Latif, M.Si drh. Herwin Pisestyani, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


(12)

Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yaitu gambaran higiene personal pekerja kantin yang memengaruhi keamanan pangandilihat dari keberadaan S. aureus di tangan dan baju pekerja kantin dilingkungan kampus IPB Dramaga, Bogor.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr. drh. Hadri Latif, M.Si dan drh. Herwin Pisestyani, M.Si selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telahmemberikan bimbingan, arahan, dukungan, motivasi, waktu, dan perbaikan selama penulisan skripsi ini. Terimakasih juga Penulis sampaikan kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si yang telah memberikan bimbingan dan arahan, serta Pak Hendra dan Pak Rahmat yang telah banyak membantu selama proses penelitian. Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Chaerul Basri, M.Epid sebagai Dosen Penilai Seminar, serta Prof. drh. Arif Budiono, Ph.D, PAVet dan Dr. drh. Hj. Gunanti, MS selaku Dosen Penguji Ujian Akhir Sarjana Kedokteran Hewan yang telah memberikan masukanuntuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua atas segala doa, motivasi, dan kasih sayangnya serta selalu memberi semangat dan mendukung proses belajar di kampus IPB Dramaga. Terimakasih juga Penulis ucapkan kepada Nurul Aini, Melinda, Yunita selaku rekan satu penelitian dan satu bimbingan yang saling membantu dan memotivasi Penulis dalam proses penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga yang telah bersedia meluangkan waktu menjadi responden dalam penelitian untuk pengisian kuesioner serta pengambilan sampel.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu Penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2012


(13)

Cahya dan ibu Dedeh Daryati. Penulis merupakan putri tunggal. Penulis tinggal di Ciwidey, Bandung Selatan sampai saat ini.

Pendidikan formal Penulis dimulai dari SD Negeri Sindur II, Kabupaten Bandung dan lulus pada tahun 2002, dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Ciwidey, Kabupaten Bandung dan lulus pada tahun 2005. Tahun 2008 Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Margahayu dan pada tahun yang sama Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan sebagai bidang studinya.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis turut berpartisipasi dalam beberapa organisasi dalam kampus. Organisasi dalam kampus yang pernah diikuti oleh Penulis yaitu Steril FKH IPB, Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia (Himpro Ruminansia) FKH IPB, dan Gentra Kaheman IPB.


(14)

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pangan Siap Santap ... 4

Higiene Sanitasi Rumah Makan dan Jasa Boga ... 4

Higiene Personal Pekerja Kantin sebagai Pengolah Makanan ... 7

Staphylococcus aureus ... 10

Enterotoksin Staphylococcus aureus ... 12

Metode RODAC ... 14

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 15

Alat dan Bahan ... 15

Metode Penelitian Metode ... 15

Sampel ... 15

Pengumpulan Data ... 16

Teknik Pengambilan Sampel ... 16

Pengujian Staphylococcus aureus ... 16

Kategorisasi Jumlah S. aureus ... 16

Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pekerja Kantin Jenis Kelamin ... 19

Umur ... 20

Tingkat Pendidikan ... 21

Keikutsertaan Pekerja Kantin dalam Penyuluhan Higiene dan Sanitasi ... 22

Masa/ Periode Bekerja di Kantin ... 23

Praktik Higiene Personal Pekerja Kantin ... 24

Staphylococcus aureus sebagai Indikator Higiene Personal Higiene Tangan Pekerja Kantin Berdasarkan Jumlah S. aureus ... 31

Higiene Baju Pekerja Kantin Berdasarkan Jumlah S. aureus ... 33

Hubungan antara Jumlah S. aureus pada Tangan dan Baju Pekerja Kantin .... 34

SIMPULAN DAN SARAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38


(15)

1 Standar penilaian RODAC berdasarkan keberadaan S. aureus ... 17 2 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi,

nilai p, dan arah korelasi ... 17 3 Karakteristik pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga ... 18 4 Karakteristik pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga

berdasarkan umur ... 20 5 Praktik higiene personal pekerja kantin di kampus IPB Dramaga ... 25 6 Tingkat kontaminasi S. aureus pada tangan pekerja kantin di dalam

kampus IPB Dramaga ... 31 7 Tingkat kontaminasi S. aureus pada baju pekerja kantin di dalam

kampus IPB Dramaga ... 33 8 Hubungan antara jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin

di dalam kampus IPB Dramaga ... 35 9 Jumlah S. aureus pada tangan pekerja kantin di dalam kampus IPB

Dramaga ... 49 10 Jumlah S. aureus pada baju pekerja kantin di dalam kampus IPB


(16)

1 Staphylococcus aureus di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x 11 2 Sebaran pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga berdasarkan jenis

kelamin ... 19 3 Sebaran pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga berdasarkan

tingkat pendidikan ... 21 4 Sebaran pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga berdasarkan

keikutsertaannya dalam penyuluhan higiene dan sanitasi makanan ... 22 5 Sebaran pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga berdasarkan

masa kerja ... 23 6 Sebaran jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin di dalam

kampus IPB Dramaga ... 35 7 Kondisi kantin unit Fakultas Perikanan IPB Dramaga ... 47 8 Kondisi kantin unit Rektorat IPB Dramaga ... 47 9 Koloni S. aureus dari telapak tangan salah satu pekerja kantin di dalam

kampus IPB Dramaga ... 48 10 Koloni S. aureus dari baju salah satu pekerja kantin di dalam kampus


(17)

1 Gambaran kondisi kantin di dalam kampus IPB Dramaga ... 47 2 Koloni S. aureus pada agar RODAC (VJA) dari sampel tangan dan baju

pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga ... 48 3 Hasil perhitungan jumlah S. aureus menggunakan metode RODAC ... 49 4 Kuesioner karakteristik dan aspek praktik higiene personal pekerja


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mutu dan keamanan pangan akhir-akhir ini sering menjadi topik pembicaraan karena merupakan masalah penting bagi kesehatan masyarakat. Pangan merupakan kebutuhan dasar setiap insan manusia yang paling hakiki dan tidak dapat dihindari sehingga manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya di muka bumi. Pangan menjadi sangat penting peranannya bagi manusia dalam meningkatkan kualitas intelektualitas dan produktifitas kerjanya sehingga manusia dapat tumbuh dan berkembang dengan baik secara fisik dan mental.

Pangan yang tidak aman dapat memengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah terhadap status gizi (Winarno 1993). Keamanan pangan menempati posisi yang penting bagi kesehatan dan pembangunan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 yang memuat tentang Keamanan Pangan pada Bab II telah diperkuat dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan sehingga setiap produk makanan di masyarakat harus terjamin mutu dan keamanannya agar tidak merugikan konsumen.

Kasus keracunan makanan banyak dilaporkan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan tahun 2008 berjumlah 170 korban di Tabanan. Karakteristik epidemiologinya menunjukkan makanan rumah tangga merupakan penyebab keracunan pangan tertinggi (46.7%), diikuti jasa boga (22.4%). Sekolah atau kampus merupakan tempat terjadinya KLB keracunan pangan kedua terbanyak (2.7%) setelah tempat tinggal (39.5%). Hasil pengujian laboratorium BPOM RI menunjukkan bahwa pada sisa nasi bungkus yang dijual di kantin sekolah dan muntahan korban terdapat mikroorganisme patogen Staphylococcus aureus. Pada tahun yang sama juga terjadi keracunan di Bandar Lampung dikarenakan mengonsumsi campuran nasi dan ikan tongkol. Pada makanan tersebut ditemukan mikroorganisme patogen S. aureus dan koliform (BPOM RI 2009). Sementara itu, pada tahun 2007 terjadi keracunan makanan pada 36 orang setelah mengonsumsi makanan kecil yang disajikan oleh


(19)

hotel di Kota Padang. Hasil uji laboratorium menunjukkan makanan tersebut positif mengandung S. aureus (Gentina et al. 2008).

Menurut CDC (1996) dan Jay (1996) dua penyebab utama terjadinya wabah keracunan oleh S. aureus adalah suhu penanganan (termasuk penyimpanan) yang tidak tepat dan higiene pekerja yang buruk. Bakteri S. aureus tumbuh cepat pada suhu diatas 15 °C (Blackburn & Mc Clure 2002). Suhu ruang di Indonesia yang berkisar antara 25-30 °C tentu saja merupakan suhu yang mendukung pertumbuhan S. aureus dan meningkatkan kemungkinan diproduksinya enterotoksin. Selain itu, praktik higiene pekerja yang sering kali belum memadai, seperti tidak mencuci tangan sebelum memegang makanan, menangani makanan secara langsung dengan tangan telanjang, ataupun berbicara pada saat menangani makanan, akan meningkatkan pertumbuhan S. aureus.

Kebiasaan pribadi (personal habit) para pekerja dan konsumen dalam mengelola bahan pangan dapat menjadi sumber yang penting dari kontaminasi sekunder. Beberapa peristiwa dari keracunan bahan pangan yang tercemar oleh

S. aureus diakibatkan oleh higiene yang buruk dari pengolahan bahan pangan tersebut. Luka atau iritasi pada kulit merupakan sumber kontaminasi mikroorganisme sehingga harus ditutup pada saat mengelola bahan pangan. Batuk atau bersin di sekitar bahan pangan sebaiknya dihindarkan, demikian juga pekerja yang menderita diare tidak diperkenankan bekerja dalam mengolah bahan pangan.

Keracunan oleh S. aureus banyak terjadi pada makanan yang telah dimasak, hal ini disebabkan karena pada makanan yang telah dimasak, bakteri lain yang dapat menghambat pertumbuhannya sudah sangat berkurang karena mati oleh proses pemasakan. Sementara itu bakteri S. aureus terdapat luas di alam, seperti udara, debu, dan air, serta sangat erat hubungannya dengan manusia terutama pada kulit, hidung, dan mulut. Dengan demikian makanan yang sudah dimasak sangat mudah tercemar oleh bakteri S. aureus.

Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki banyak kantin yang tersebar di setiap fakultas. Pihak pengelola kantin atau pekerja harus benar-benar memperhatikan keamanan dan kebersihan dalam mempersiapkan hingga menyajikan makanan yang akan dijual. Informasi mengenai tingkat higiene personal melalui gambaran kualitas mikrobiologis tangan dan baju pekerja kantin


(20)

di dalam kampus IPB belum tersedia. Penelitian ini diharapkan menghasilkan data-data yang dapat digunakan untuk pengembangan manajemen pengolahan dan penanganan makanan (food handling) sehingga dapat meningkatkan keamanan pangan dan menjamin kesehatan masyarakat khususnya di lingkungan kampus IPB.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat higiene personal dari pekerja kantin di lingkungan kampus IPB Dramaga dengan cara wawancara dan mendeteksi keberadaan S. aureus pada telapak tangan dan baju pekerja.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang higiene personal para pekerja dalam menangani makanan di kantin kampus IPB Dramaga. Data dan informasi dari penelitian ini dapat dijadikan bahan penyuluhan untuk pekerja kantin mengenai pentingnya higiene personal dalam menangani makanan sehingga dapat meningkatkan keamanan pangan.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Pangan Siap Santap

Pangan siap santap atau ready to eat food (RTE) adalah pangan yang umumnya telah diproses melalui proses pemanasan (Dewanti & Haryadi 2005). Contoh RTE adalah buah-buahan dan sayuran segar yang telah mengalami perlakuan minimal, salad, sandwich, daging/ayam/ikan yang telah dimasak, roti, dan acar. Menurut Dewanti dan Haryadi (2005) terdapat perbedaan pendapat antara Food and Drug Administration (FDA) dan Food Safety and Inspection Service (FSIS) dalam mendefinisikan RTE. Food Safety and Inspection Service

(FSIS) mendefinisikan RTE sebagai semua produk olahan yang mengandung daging atau produk unggas yang telah dimasak sempurna sebelum dikonsumsi. Sementara itu FDA tidak menganggap produk pangan yang telah dimasak atau mendapat perlakuan panas lainnya sebagai RTE.

Pangan siap santap harus dihindarkan dari pertumbuhan mikroorganisme dengan cara mengontrol suhu penyimpanannya. Suhu yang aman untuk menyimpan RTE adalah di bawah 4 °C atau di atas 60 °C (Jay 1996). Menurut Dewanti dan Hariyadi (2005), germinasi spora dapat terjadi jika RTE lambat mencapai suhu di bawah 4 °C atau tidak mengalami pemanasan ulang yang cukup hingga 60 °C. Sementara itu, jika suhu RTE tidak dijaga pada batas suhu aman, maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri yang berasal dari kontaminasi silang.

Kontaminasi silang dapat terjadi jika RTE tidak dipisahkan dari makanan mentah. Kontaminasi RTE juga dapat terjadi melalui kontak langsung manusia atau wadah yang telah tercemar oleh mikroorganisme dari manusia (Eley 1992). Menurut SFC (2004) RTE tidak boleh ditangani menggunakan tangan secara langsung melainkan dengan menggunakan sarung tangan, sendok, garpu, spatula, atau penjepit yang diyakini bersih.

Higiene Sanitasi Rumah Makan dan Jasa Boga

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Jasa Boga, jasa boga adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar


(22)

tempat usaha atas dasar pesanan. Jasa boga dapat digolongkan menjadi beberapa golongan berdasarkan kapasitas pengolahan, jangkauan pelayanan, dan kemungkinan besarnya risiko masyarakat yang dilayani (Kepmenkes RI 2003). Penggolongan tersebut adalah Golongan A, Golongan B, dan Golongan C. Penggolongan tersebut dianggap penting karena semakin tinggi kapasitas pengolahan dan jangkauan pelayanan maka semakin besar pula tuntutan akan adanya pengelolaan yang profesional. Pengelolaan yang profesional ini diharapkan dapat menekan terjadinya risiko pencemaran pada pangan yang diolah. Setiap usaha Jasa Boga/ usaha Katering di Indonesia menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 diharuskan memiliki sertifikat Laik Higiene Sanitasi jasa boga yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan.

Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun (Depkes RI 2006). Higiene digunakan untuk menggambarkan penerapan prinsip-prinsip sanitasi untuk melindungi kesehatan (Marriot 1999). Higiene merupakan suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut hidup.

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya (Depkes RI 2006). Sanitasi berasal dari kata latin”sanus”yang berarti bersih atau sehat. Sanitasi mengandung dua pengertian yaitu usaha pencegahan penyakit dan kesehatan lingkungan hidup. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit. Sanitasi dalam pengolahan pangan adalah penciptaan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya kontaminasi makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh makanan (Marriot 1999).

Persyaratan mengenai higiene fasilitas suatu kantin atau rumah makan yaitu tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang, tersedianya air bersih yang cukup dan memadai selama proses produksi, terdapat fasilitas mencuci tangan dan toilet dalam keadaan bersih, mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan, dan tersedia tempat penyimpanan yang baik agar dapat menjamin mutu dan


(23)

keamanan bahan dan produk pangan yang diolah (BPOM RI 2003). Penyimpanan bahan makanan yang baik yaitu menyimpan dalam wadah tertutup untuk mencegah kontaminasi dari hama (Cuprasitrut et al. 2011).

Saluran pembuangan air, baik air sisa pencucian bahan makanan maupun pembuangan sisa makanan yang cair, serta air kotor dari pencucian alat dapur dan alat saji sedapat mungkin harus berjalan lancar. Apabila saluran tersebut terletak di bagian dapur maka sebaiknya sepanjang saluran tertutup dengan alat yang dibuka atau ditutup untuk memudahkan perbaikan apabila terjadi kemacetan aliran air. Saluran air ini berfungsi juga untuk pembuangan air sewaktu membersihkan lantai dapur. Menurut CAC (2003) ketersediaan air yang cukup dengan tempat penyimpanan yang memadai dan kontrol suhu yang tepat harus tersedia untuk menjamin keamanan makanan. Air untuk diminum harus terpisah dari air yang digunakan untuk tujuan lain, seperti mencuci, agar tidak terjadi kontaminasi silang.

Persyaratan higiene fasilitas kantin lainnya yaitu peralatan harus mudah untuk dibersihkan (Aarnisalo et al. 2006). Peralatan yang berkontak dengan makanan harus dibersihkan sebelum dan setelah digunakan, khususnya untuk pisau dan talenan. Semua peralatan yang telah dicuci bersih sebaiknya tidak ditumpuk dalam keadaan basah. Hal ini dikarenakan air yang tertinggal dalam peralatan yang masih basah akan memungkinkan terdapat sisa mikroorganisme yang terus berkembang biak. Peralatan harus disimpan dalam keadaan kering (HITM 2006).

Masalah lain dari higiene fasilitas yaitu lantai yang kotor dan berdebu (Cuprasitrut et al. 2011). Lantai dan meja harus dibersihkan dan didisinfeksi secara teratur untuk mengurangi potensi kontaminasi silang dan meminimalkan infestasi hama (TPH 2004). Kotoran dari bawah peralatan, di tiap sudut, dan pada daerah yang sulit dijangkau juga harus dibersihkan untuk mencegah dari kehadiran hama. Meja untuk menyimpan dan menyajikan makanan harus memiliki tinggi lebih dari 60 cm untuk mencegah kontaminasi dari hama atau serangga pengganggu (Cuprasitrut et al. 2011).

Sampah merupakan salah satu penyebab tempat tercemarnya makanan. sehingga perlu disediakan tempat sampah yang tidak permanen agar mudah


(24)

dibersihkan dan diangkat pada setiap pusat-pusat bekerja, misalnya meja kerja, bak cuci bahan makanan, tempat pengolahan, dan tempat penyajian. Bak sampah pada umumnya terbuat dari plastik ringan dan lengkap dengan penutupnya. Sebelum tempat sampah tersebut digunakan sebaiknya dilapisi dulu dengan kantong plastik sampah. Sampah yang terbungkus tersebut bertujuan agar tidak mengundang lalat dan tidak berbau. Tempat sampah harus tersedia dan dibersihkan setiap kali dilakukan pembuangan ke tempat pembuangan umum. Daerah sekitar tempat sampah juga harus dijaga kebersihannya untuk mengurangi bau dan penyebaran mikroorganisme berbahaya (TPH 2004).

Higiene Personal Pekerja Kantin sebagai Pengolah Makanan

Sumber utama kontaminasi makanan oleh S. aureus berasal dari manusia. Kebanyakan S. aureus terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroorganisme endogen dan juga terdapat pada saluran hidung serta tenggorokan (Eley 1992). Pekerja yang menangani makanan merupakan sumber kontaminasi yang penting karena kandungan mikroorganisme patogen pada manusia dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan. Manusia merupakan sumber potensial bagi mikroorganisme seperti S. aureus, Salmonella, Clostridium perfrigens dan Streptococcus yang berasal dari kotoran (tinja). Staphylococcus

umumnya terdapat pada kulit, hidung, mulut, dan tenggorokan serta dapat dengan mudah dipindahkan ke dalam makanan (Jenie 1988).

Jalur masuknya S. aureus ke dalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih jika disertai dengan praktik sanitasi yang buruk dikarenakan dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter et al. 1993).

Menurut Buckle et al. (1987) kebiasaan pribadi para pekerja dalam mengolah makanan merupakan sumber yang penting dalam pencemaran sekunder. Menurut Jenie (1988) sumber kontaminasi potensial ini terdapat selama jam kerja dari para penjual yang menangani makanan. Setiap kali tangan penjual kontak dengan bagian-bagian tubuh yang mengandung S. aureus maka tangan tersebut


(25)

akan terkontaminasi dan segera akan mengontaminasi makanan yang tersentuh. Perpindahan langsung S. aureus dari alat pernafasan ke makanan terjadi ketika batuk dan bersin tanpa menutup hidung dan mulut. Tangan dengan luka atau memar yang terinfeksi merupakan sumber stafilococcus virulen, demikian pula pada bagian tubuh lain yang terinfeksi.

Mikroorganisme yang berasal dari saluran pencernaan dapat mencemari tangan penjual yang mengunjungi kamar kecil dan tidak mencuci tangannya dengan baik sebelum kembali bekerja. Mikroorganisme patogen yang berasal dari alat pencernaan yang menimbulkan penyakit melalui makanan adalah Salmonella, Streptococcus faecalis, Clostridium perfringens, Escheria coli, dan Shigella (Jenie 1988).

Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan higiene personal pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan. Pangan yang dilaporkan dalam berbagai KLB umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan penggilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. Staphylococcus aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan (Robinson et al. 2000).

Menurut CAC (2003), higiene personal dalam menangani makanan meliputi:

a) Status kesehatan

Orang yang menderita suatu penyakit atau diduga menjadi pembawa penyakit yang mungkin ditularkan melalui makanan seharusnya tidak diperbolehkan untuk memasuki area penanganan makanan. Pemeriksaan medis terhadap pekerja yang menangani makanan harus dilakukan jika menunjukkan gejala secara klinis maupun epidemiologis.

b) Sakit dan Cidera

Menurut Bas et al. (2006), pekerja yang menangani makanan dapat menjadi sumber mikroorganisme, baik selama menderita penyakit gangguan pencernaan atau selama dan setelah masa pemulihan, meskipun tidak terlihat lagi gejala klinisnya. Kondisi yang harus dilaporkan oleh pekerja untuk mendapatkan pemeriksaan medis sehingga tidak dapat menangani


(26)

makanan, yaitu sakit kuning, diare, muntah, demam, sakit tenggorokan dengan demam, lesio pada kulit (bisul, luka, dan lain-lain), discharge atau cairan yang keluar dari mata, telinga, atau hidung.

c) Kebersihan Personal

Pekerja yang menangani makanan dapat menyebarkan mikro-organisme dari sumber yang terkontaminasi, misalnya dari bahan mentah ke makanan yang telah dimasak (Bas et al. 2006). Menurut Hall (1999), menjaga kebersihan pakaian setiap kali memasuki area produksi makanan merupakan standar utama yang perlu diperhatikan pada setiap orang yang menangani makanan. Idealnya, semua pakaian harus diganti setiap selesai bekerja dan lebih sering diganti jika dalam keadaan berminyak. Selain itu, beberapa praktik kebersihan personal lain yaitu memotong dan membersihkan kuku, serta mengobati dan menutup luka terbuka (NFSMI 2009). Tangan pekerja yang menangani makanan dapat menjadi vektor dalam penyebaran penyakit keracunan pangan karena kebersihan diri yang buruk atau kontaminasi silang (Bas et al. 2006). Hal ini menjadi penting bagi pekerja untuk selalu mencuci tangan.

Selain mencuci tangan, pekerja yang menangani makanan juga disarankan untuk memakai sarung tangan. Sarung tangan tidak berarti menggantikan cuci tangan, tetapi untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah dari kontaminasi silang. Pemakaian sarung tangan plastik atau karet digunakan setelah mencuci tangan dengan bersih dan diganti setiap setelah menangani makanan (TPH 2004).

d) Perilaku Personal

Pekerja yang menangani makanan harus menahan diri dari perilaku yang dapat mengakibatkan kontaminasi makanan, misalnya merokok, meludah, mengunyah atau makan, bersin atau batuk. Selain itu, pekerja juga harus menghindari pemakaian cat warna pada kuku dan tidak menggunakan perhiasan apapun di tangan saat memasak karena akan memungkinkan pencemaran pada makanan (Nel et al. 2004; NFSMI 2009).


(27)

Semua pekerja harus menyadari peran dan tanggung jawab dalam melindungi makanan dari kontaminasi atau kerusakan. Orang yang menangani makanan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan untuk menangani makanan secara higienis. Penanganan dengan bahan kimia pembersih yang kuat atau bahan kimia yang berpotensi berbahaya lainnya harus diinstruksikan dalam teknik penanganan yang aman (CAC 2003).

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri non motil, Gram positif, berbentuk bulat, bersifat fakultatif anaerob, dan tidak membentuk spora (Gambar 1) (Eley 1992). Nama Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “staphyle” dan “kokkos”, yang berarti seperti kelompok anggur dan berbentuk kokus (bulat). Sedangkan nama aureus berasal dari bahasa latin yaitu “gold” yang berarti bahwa bakteri ini tumbuh dalam koloni besar dan berwarna kuning (Cook & Cook 2006).

Ukuran bakteri ini sangat kecil dengan diameter 0.5-1.5 μm. Karakteristik penting dari S. aureus adalah pembentukan pigmen koloni yang umumnya berwarna kuning keemasan dan beta hemolisis positif pada media Blood Agar

(Saksono 1986). Staphylococcus aureus dapat tumbuh dalam kondisi aerob dan anaerob, tetapi umumnya tumbuh lebih lambat pada kondisi anaerob. Sebaliknya, ketahanan sel dapat meningkat pada kondisi anaerob daripada aerob (ICMSF 1996). Secara umum suhu pertumbuhan S. aureus berkisar antara 7-48 °C, dengan suhu optimum untuk pertumbuhan 35-37 °C. Kisaran pH untuk pertumbuhan bakteri ini antara 4-9.8 dengan pH optimum antara 6.0-7.0 (Adams & Moss 2005). Berdasarkan aktivitas air (aw), S. aureus mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan S. aureus

tetap terjadi pada aw 0.83 yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan kebanyakan bakteri (Le Loir et al. 2003).


(28)

Gambar 1 Staphylococcus aureus di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x (Ray & Bhunia 2008).

Pada media Brain Heart Infusion (BHI) agar S. aureus berkilauan dengan warna bervariasi dari krem hingga oranye sebagai hasil dari pigmentasi karotenoid pada membran sel. Koloni akan menjadi gelap setelah inkubasi selama beberapa hari pada suhu 30 °C atau pada suhu ruang (Ash 2000). Koloni S. aureus pada media Baird Parker Agar (BPA) berbentuk bulat, licin, halus, cembung, lembab, berdiameter 2-3 mm, berwarna abu-abu hingga hitam pekat, dikelilingi batas berwarna terang, serta dikelilingi zona keruh dengan batas luar berupa zona jernih (Bennett & Amos 1982).

Kebanyakan galur S. aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif S. aureus. Bakteri ini tidak membentuk spora sehingga pertumbuhannya di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas. Namun, kontaminasi S. aureus

tetap menjadi salah satu penyebab utama foodborne disease karena S. aureus

dapat mengontaminasi produk makanan selama persiapan dan pengolahan (Le Loir et al. 2003).

Staphylococcus aureus hidup di kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas, termasuk manusia. Sekitar 25-50% dari populasi manusia kemungkinan membawa S. aureus (Eley 1992). Membran hidung merupakan habitat S. aureus yang sangat baik karena hangat dan basah. Diperkirakan


(29)

10-40% dari manusia dewasa ditemukan S. aureus di hidungnya. Lebih dari 30-50% populasi manusia adalah “carrierS. aureus (Le Loir et al. 2003). Walaupun dapat hidup dengan baik pada manusia, S. aureus juga ditemukan pada habitat lainnya yaitu di dalam air, bahan yang busuk, dan di berbagai permukaaan (Cook & Cook 2006). Bakteri ini tahan pada lingkungan beku sampai beberapa tahun dan tahan pengeringan selama beberapa minggu. Sel vegetatif S. aureus

dapat diinaktivasi pada suhu >46 °C namun toksinnya masih mampu bertahan pada pemanasan 100-120 °C. Menurut Deshpande (2002), S. aureus dapat berpindah melalui bersin, batuk, kontak jari, kontak bibir, gigitan, dan sapu tangan. Beberapa strain S. aureus dapat membentuk koloni pada peralatan dan lingkungan tempat pengolahan makanan (Blackburn & Mc Clure 2002).

Staphylococcus aureus memiliki beberapa jenis faktor virulensi yang mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah satunya adalah protein permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Bakteri ini menghasilkan invasin, seperti leukosidin, kinase, dan hyaluronidase, untuk mendukung penyebarannya pada jaringan. Leukosidin adalah sitotoksin yang dapat membunuh leukosit, sedangkan hyaluronidase adalah enzim yang dapat mendegradasi asam hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan (Cook & Cook 2006).

Enterotoksin Staphylococcus aureus

Enterotoksin adalah protein globuler dengan berat molekul 28 000-35 000 dalton. Ciri lain S. aureus adalah kemampuan tidak hanya menghasilkan enzim ekstraselular koagulase, tetapi juga enzim ekstraselular lain dan enterotoksin. Enterotoksin tersebut adalah A, B, C1, C2, D dan E (SEA, SEB, dan lain-lain) telah diidentifikasi dengan tipe A dan D yang sebagian besar terdapat di dalam makanan. Enterotoksin ini bersifat toksik bagi manusia dan hewan. Toksin yang dihasilkan sangat tahan terhadap pemanasan. Oleh karenanya, meskipun bakterinya telah mati karena pemanasan (pemanasan pada suhu 66 °C selama 10 menit), toksinnya masih dapat bertahan pada suhu 100 °C selama 30 menit (Pinchuk et al. 2010).


(30)

Enterotoksin dihasilkan pada suhu 10 °C dan 46 °C, dengan suhu optimum 35-45 °C. Produksi enterotoksin dapat berkurang pada suhu 20-25 °C dan tidak akan terbentuk toksin pada suhu di bawah 10 °C. Produksi enterotoksin terjadi pada pH 6-7 dan dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, sumber karbon, sumber nitrogen dan kadar garam. Nilai pH optimum untuk produksi enterotoksin berada pada kisaran 7-8. Pertumbuhan optimum S. aureus dan pembentukan enterotoksin terjadi pada aktifitas air (aw)>0.99. Produksi toksin dilaporkan terjadi pada aw terendah yaitu sebesar 0.86 (Breemer et al. 2004).

Toksin ini bersifat neutral-base protein dengan titik isoelektrik 7.0-8.6. Toksin ini sangat resisten terhadap enzim proteolitik seperti tripsin dan pepsin, sehingga memungkinkan untuk menyebar melalui perut mencapai akseptornya

(site of action). Selain itu enterotoksin S. aureus juga tahan panas sehingga berpotensial menimbulkan bahaya bagi kesehatan jika terdapat dalam makanan (Cook & Cook 2006). Enterotoksin S. aureus sangat resisten terhadap pembekuan dan pemanasan. Enterotoksin dapat bertahan pada semua jenis proses pasteurisasi komersial dan kadang dapat bertahan pula dalam proses sterilisasi pada makanan kaleng (Lund et al. 2000).

Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh S. aureus untuk menghasilkan toksin yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 CFU/g (Buckle et al. 1987; Jay 2000). Shapton dan Shapton (1993) menyatakan bahwa populasi

S. aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin beracun adalah 5x106 CFU/g dan toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan. Menurut Ray dan Bhunia (2008) keracunan S. aureus

disebabkan karena terkonsumsinya toksin dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh 106 -107 CFU/ml atau CFU/g dalam 30 g makanan. Menurut USFDA (2001), jumlah toksin S. aureus yang diperlukan untuk menyebabkan keracunan pangan sebesar 1.0 µg. Pada level ini dicapai jumlah bakteri sebanyak 1.0x105 CFU/g atau CFU/ml.


(31)

Produksi enterotoksin dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pH, oksigen, aktifitas air, dan suhu. Konsentrasi HNO2 yang tinggi dapat menurunkan produksi enterotoksin. Produksi enterotoksin dapat dihambat dengan etil-4-hidroksibenzoat (Jay 1996). Inaktivasi enterotoksin dapat dilakukan dengan beberapa cara. Sebanyak 90% enterotoksin dapat hancur dengan pemanasan pada temperatur 131 °C selama 30 menit. Enterotoksin dapat diinaktivasi dengan irradiasi namun dosis yang dibutuhkan tinggi sehingga dianggap tidak efektif untuk eliminasi enterotoksin dari makanan yang terkontaminasi. Secara kimiawi, enterotoksin dapat diinaktivasi dengan aplikasi sabun atau juga dapat dilakukan secara biologis yaitu dengan aktivitas enzim (Bhatia & Zahoor 2007).

Metode RODAC

The Replicate Organism Direct Agar Contact method (RODAC) merupakan metode menghitung jumlah mikroorganisme, terutama dari suatu permukaan (peralatan, lantai, meja, dll), dalam rangka pemantauan mikrobiologik (microbiological monitoring) di lingkungan industri pangan. Pemantauan tersebut bertujuan untuk menilai kualitas higiene atau sanitasi lingkungan industri (Lukman & Soejoedono 2009). RODAC menggunakan cawan Petri khusus yang telah diiisi oleh 15.5-16.5 ml agar tertentu (kemudian cawan Petri ditutup dan agar dibiarkan memadat, lalu dibungkus dalam kantong plastik steril dan disimpan pada refrigerator. Agar RODAC sebaiknya digunakan ≤12 jam setelah persiapan, walaupun disimpan dalam suhu dingin.

Pengujian RODAC dilakukan dengan membuka tutup cawan Petri, menempelkan dan menekan permukaan agar di atas permukaan yang rata, dan tidak dianjurkan pada permukaan yang bergelombang atau berpori. RODAC dapat digunakan pada alat-alat pengolahan yang mempunyai permukaan datar seperti piring, talenan, loyang, panci, dan wajan (Rahmawan 2001). Idealnya metode ini diterapkan untuk mengetahui kualitas higiene atau sanitasi setelah permukaan tersebut dicuci atau didisinfeksi. Apabila permukaan terkontaminasi cukup tinggi, maka pertumbuhan koloni akan menyebar sehingga hasilnya sulit untuk dinilai (Lukman & Soejoedono 2009).


(32)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan mulai bulan November 2011 sampai dengan Juni 2012. Wawancara dilakukan di kantin-kantin di lingkungan kampus IPB Dramaga. Pengujian S. aureus dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk wawancara adalah kuesioner, sedangkan alat yang digunakan untuk pengujian S. aureus adalah coolbox, cawan Petri (diameter 6 cm), inkubator 30 − 35 °C, label, isolasi, plastik, coulter counter, dan spidol. Bahan yang digunakan untuk pengujian S. aureus adalah media Vogel Johnson Agar (Oxoid CM0641), akuades, dan alkohol 70%.

Metode Penelitian Metode

Penelitian dilakukan dengan metode survei melalui wawancara dan pengujian keberadaan S. aureus pada telapak tangan dan baju bagian depan pekerja kantin yang mengolah makanan menggunakan metode RODAC. Wawancara dilakukan menggunakan kuesioner. Pertanyaan pada kuesioner berisi karakteristik pekerja serta praktik higiene personal.

Sampel

Besaran sampel ditentukan dengan rumus estimate percentage

menggunakan software WinEpiscope 2.0 dengan besar populasi 67, tingkat kepercayaan 95%, dugaan prevalensi 50%, dan tingkat kesalahan 10%. Besaran sampel yang dihasilkan adalah 39 kios kantin yang menjajakan pangan asal hewan. Penentuan sampel dilakukan menggunakan metode penarikan contoh acak sederhana.


(33)

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan pengisian kuesioner terstruktur yang berisi data primer, karakteristik serta praktik higiene responden. Data yang terkumpul dari hasil wawancara kuesioner ditabulasikan berdasarkan jenis variabel dan kategori variabel.

Teknik Pengambilan Sampel

Sampel untuk pengujian S. aureus adalah sampel individu berasal dari permukaan telapak tangan dan baju bagian depan pekerja kantin yang mengolah makanan. Pengambilan sampel dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi pada sampel. Agar RODAC (VJA) disentuhkan selama 10 detik pada telapak tangan dan baju bagian lengan depan pekerja kantin. Masing-masing sampel diberi label dan disimpan dalam cool box dengan suhu <10 °C).

Pengujian Staphylococcus aureus

Metode yang digunakan adalah the Replicate Orgasnism Direct Agar Contact method (RODAC). RODAC merupakan salah satu metode menghitung jumlah mikroorganisme, terutama dari suatu permukaan (peralatan, lantai, meja, dan lain-lain), dalam rangka pemantauan mikrobiologis (microbiological monitoring) di lingkungan industri pangan.

Agar yang telah ditempelkan pada telapak tangan dan baju pekerja kantin diinkubasi pada suhu 30-35 °C selama 24-48 jam, dengan posisi cawan terbalik. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan hasilnya dinyatakan dalam CFU/cawan.

Kategorisasi Jumlah S. aureus

Koloni S. aureus yang tumbuh pada cawan dihitung dan dinyatakan dalam CFU/cawan kemudian dimasukkan kedalam kategori tingkat kontaminasi. Standar penilaian RODAC berdasarkan keberadaan S. aureus (Asiagel 2007) disajikan pada Tabel 1.


(34)

Tabel 1 Standar penilaian RODAC berdasarkan keberadaan S. aureus

(Asiagel 2007)

Tingkat kontaminasi Jumlah S. aureus (CFU/cawan)

Tidak ada 0

Jarang 1-10

Rendah 11-20

Tinggi 21-100

Sangat tinggi >100

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS 16.0. Hubungan antar variabel ditentukan dengan menggunakan uji normalitas yaitu uji korelasi Spearman. Variabel yang diuji adalah jumlah S. aureus pada tangan terhadap jumlah S. aureus pada baju. Hasil uji korelasi diinterpretasikan berdasarkan kekuatan korelasi, nilai P, dan arah korelasi (Tabel 2)

Tabel 2 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001)

No. Parameter Nilai Interpretasi

1. Kekuatan korelasi (r) 0.00-0.199 Sangat lemah

0.20-0.399 Lemah

0.40-0.599 Sedang

0.60-0.799 Kuat

0.80-1.000 Sangat Kuat

2. Nilai p p < 0.05 Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji p > 0.05 Tidak terdapat korelasi yang

bermakna antara dua variabel yang diuji

3. Arah korelasi + (positif) Searah: semakin besar nilai satu variabel, semakin besar pula nilai

variabel lainnya

- (negatif) Berlawanan arah: semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil


(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pekerja Kantin

Penelitian ini melibatkan responden yang terdiri dari 39 pekerja kantin yang bertugas menangani makanan di dalam kampus IPB Dramaga yang menjual produk pangan asal hewan. Variabel yang digunakan untuk mengetahui karakteristik pekerja kantin dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, lama bekerja di kantin, pekerjaan utama, dan keikutsertaan responden dalam penyuluhan mengenai pengolahan kantin. Pengamatan terhadap variabel karakteristik ini bertujuan untuk mengetahui kondisi faktual karakteristik pekerja kantin. Karakteristik pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga No. Karakteristik responden Jumlah responden Persentase % 1. Jenis kelamin

Laki-laki 10 25.6

Perempuan 29 74.4

2. Umur

Muda (≤ 15 tahun) 0 0.0

Dewasa (16-65 tahun) 39 100.0

Tua (> 65 tahun) 0 0.0

3. Pendidikan terakhir

Tidak selesai SD 3 7.7

SD 16 41.0

SMP 10 25.6

SMA 8 20.5

Universitas 2 5.1

4. Lama bekerja di kantin

≤ 4 tahun 26 66.7

≥ 4 tahun 13 33.3

5. Pekerjaan utama

Buruh 1 2.6

Ibu Rumah Tangga 3 7.7

Kantin 34 87.2

Swasta 1 2.6

6. Penyuluhan atau pembinaan pengolahan kantin

Belum 25 64.1


(36)

74% 26%

Perempuan Laki-laki

Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir (Hungu 2007). Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pekerja kantin disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Sebaran pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga berdasarkan jenis kelamin.

Hasil penelitian menunjukkan persentase pekerja kantin perempuan adalah sebesar 74.4%, sedangkan pekerja kantin laki-laki sebesar 25.6%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pekerja kantin perempuan lebih besar dari pekerja kantin laki-laki. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Susanna (2003), yaitu jumlah pedagang laki-laki lebih sedikit dibandingkan pedagang perempuan, hal ini disebabkan jenis makanan yang dijual adalah gado-gado yang lebih sering diolah oleh perempuan.

Secara umum partisipasi angkatan kerja laki-laki dalam kondisi yang lebih tinggi sebagaimana yang terjadi pada tahun 2000. Hal ini dilatarbelakangi oleh budaya sebagian besar negara ASEAN yang menjadikan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga sedangkan perempuan lebih dihargai sebagai istri. Namun dengan terjadinya perubahan sosial pada tahun 2007 mengakibatkan jumlah perempuan yang bekerja lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki sebagaimana yang terjadi di Singapura, tetapi tetap disesuaikan dengan kemampuan dan jenis pekerjaannya.

Jumlah penduduk perempuan yang lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia merupakan sumber daya manusia yang cukup besar. Menurut


(37)

Suhendi dan Wahyu (2001), perempuan merupakan potensi sumber daya dalam persaingan global yang semakin menguat dan ketat sehingga program pemberdayaan perempuan menjadi sangat penting dalam menjawab berbagai tantangan sekaligus memanfaatkan peluang di masa yang akan datang.

Umur

Umur merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi fungsi biologis dan psikologis seseorang. Karakteristik responden berdasarkan umur disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga berdasarkan umur

Umur Jumlah

Responden Persentase (%)

Muda (≤ 15 tahun) 0 0.0

Dewasa (16-65 tahun) 39 100.0

Tua (> 65 tahun) 0 0.0

Jumlah 39 100.0

Sebagian besar pekerja kantin berumur 16-65 tahun masuk ke dalam kategori dewasa (100%). Umur termuda responden adalah 16 tahun dan tertua adalah 58 tahun. Batasan umur tenaga kerja berbeda-beda antara satu negara dengan negara yang lain. Batas umur tenaga kerja di Indonesia minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum, jadi setiap orang atau semua penduduk yang sudah berumur 10 tahun tergolong sebagai tenaga kerja (Dumairy 2001). Dalam penelitian ini, sebagian besar pekerja kantin di kampus IPB Dramaga berumur 16-65 tahun sehingga sudah tergolong sebagai tenaga kerja.

Tenaga kerja diartikan sebagai penduduk yang berada dalam batas usia kerja. Tenaga kerja disebut juga golongan produktif. Usia kerja adalah suatu tingkat umur dimana orang sudah dapat bekerja. Penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia 15-64 tahun (Sardiman 2009).

Penelitian Sari (2004), menunjukkan bahwa semakin tinggi umur pekerja kantin maka tingkat pengetahuannya terhadap higiene dan sanitasi semakin baik. Penelitian Marsaulina (2004) juga menyimpulkan bahwa semakin tinggi umur


(38)

7.7%

41.0% 25.6%

20.5% 5.1%

Tidak selesai SD

SD

SMP

SMA

Perguruan Tinggi

pekerja kantin maka kebersihan pekerja kantin semakin baik. Hal ini diduga karena pekerja kantin yang lebih tua lebih banyak memperoleh ilmu pengetahuan, baik yang berasal dari jalur formal maupun informal dibandingkan dengan pekerja kantin yang lebih muda.

Tingkat Pendidikan

Pendidikan yang dijalani seseorang memiliki pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir, dengan kata lain seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional sehingga umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan individu yang berpendidikan rendah (Suhardjo 1989). Pendidikan formal merupakan pendidikan yang terstruktur dan berjenjang mulai dari SD, SMP, SMA, Diploma, dan perguruan tinggi (PT). Sebaran pekerja kantin berdasarkan tingkat pendidikannya disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Sebaran pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga berdasarkan tingkat pendidikan.

Pendidikan formal dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu rendah (tidak sekolah dan SD), sedang (SMP dan SMA), dan tinggi (perguruan tinggi) (Suhardjo 1989). Hasil penelitian menunjukkan persentase dari tingkat pendidikan yang paling tinggi pada pekerja kantin adalah 41% memiliki tingkat pendidikan SD, 25.6% memiliki tingkat pendidikan SMP, 20.5% SMA, 7.7% tidak selesai


(39)

36%

64% Pernah

Tidak Pernah

SD, dan 5.1% memiliki tingkat pendidikan universitas. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat pendidikan pekerja kantin pada umumnya masih rendah, sehingga kemungkinan untuk mempelajari dan memahami suatu ilmu atau informasi baru lebih susah dibandingkan pekerja dengan tingkat pendidikan sedang atau tinggi.

Tingkat pendidikan pekerja kantin sangat penting untuk menjamin terciptanya pengetahuan, sikap, dan praktik higiene dan sanitasi kantin yang baik. Pengetahuan higiene dan sanitasi yang memadai dapat menimbulkan kecenderungan untuk menyetujui praktik-praktik yang menunjang keamanan pangan. Pengetahuan tersebut dapat memperkuat faktor internal untuk melahirkan perilaku yang higienis (Gaston 1999).

Keikutsertaan Pekerja Kantin dalam Penyuluhan Higiene dan Sanitasi

Penyuluhan merupakan suatu intervensi dengan memberikan motivasi dan melibatkan seseorang ke dalam suatu aktivitas kemudian mendorong untuk berubah yaitu dengan mengubah keadaannya yang buruk menjadi lebih baik (Slamet 2007). Sebaran pekerja kantin berdasarkan keikutsertaan dalam penyuluhan higiene dan sanitasi kantin disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Sebaran pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga berdasarkan keikutsertaannya dalam penyuluhan higiene dan sanitasi makanan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja kantin tidak pernah mengikuti penyuluhan higiene dan sanitasi kantin (64.1%). Hanya sebesar 35.9% yang pernah mengikuti penyuluhan higiene dan sanitasi kantin.


(40)

67% 33%

< 4 tahun > 4 tahun

Penyuluhan atau pembinaan yang didapatkan oleh pekerja kantin berasal dari pihak dalam kampus, namun persentase di atas memperlihatkan bahwa penyuluhan yang dilakukan oleh pihak kampus belum mencakup ke seluruh pekerja kantin.

Penelitian Fatima (2002) menjelaskan bahwa keikutsertaan dalam penyuluhan higiene dan sanitasi merupakan hal yang penting untuk meningkatkan pengetahuan tentang higiene dan sanitasi, karena pada umumnya dalam penyuluhan diberikan materi khusus yang jarang didapatkan dari pendidikan formal. Sedangkan menurut penelitian Sari (2004), keikutsertaan dalam penyuluhan higiene dan sanitasi tidak berpengaruh terhadap pengetahuan pekerja kantin. Hal ini disebabkan karena penyuluhan higiene dan sanitasi penanganan pangan yang sudah baik dibatasi oleh kurangnya pemahaman akan faktor yang berkontribusi terhadap pelatihan tersebut. Nel et al. (2004) menjelaskan bahwa meskipun respondennya telah mengikuti pelatihan tetapi 21.4% respondennya mengatakan bahwa pelatihan yang mereka dapatkan tidaklah efektif sehingga tidak berpengaruh terhadap praktik mereka. Maka ada kebutuhan untuk mengembangkan metode pelatihan yang dapat memengaruhi tingkat pengetahuan dan praktik yang akan dilakukan (Egan et al. 2007).

Masa/Periode Bekerja di Kantin

Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Pengalaman kerja seseorang dapat mencerminkan kemampuan dan kesiapan seseorang dalam suatu bidang pekerjaan (Suhardjo 1989). Sebaran pekerja kantinberdasarkan masa kerja di kantin disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Sebaran pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga berdasarkan masa kerja.


(41)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja kantin yang bekerja kurang dari 4 tahun lebih banyak (66.7%) daripada pekerja kantin yang bekerja lebih dari 4 tahun (33.3%). Hasil penelitian Marsaulina (2004) menjelaskan bahwa pengalaman kerja 1 (satu) tahun ke atas memiliki peningkatan pengetahuan ke arah yang benar terhadap hal yang berhubungan dengan pekerjaannya, terlebih lagi pada pengalaman kerja di atas 2 (dua) tahun. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pekerja kantin di kampus IPB Dramaga seharusnya memiliki peningkatan pengetahuan tentang pekerjaannya karena rata-rata masa kerjanya sudah berada di atas dua tahun. Menurut Budisuari et al. (2009), pengalaman yang didapat selama bekerja mungkin mempunyai pengaruh pada sikap dan praktik seseorang terhadap sesuatu, hal ini ditentukan oleh kemampuan orang tersebut untuk menguasai pengalaman yang didapat dan frekuensi pengalaman tersebut diimplementasikan dalam pekerjaannya.

Praktik Higiene Personal Pekerja Kantin

Berbagai faktor yang dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada makanan antara lain dapat berasal dari orang yang mengolah atau menangani makanan termasuk perilaku atau praktik dan higiene personal orang yang menangani makanan. Praktik higiene yang baik dalam penanganan makanan dapat mengurangi kejadian keracunan pangan sehingga dapat meningkatkan keamanan pangan (Ehiri & Morris 1996; Egan et al. 2007; Pirsaheb et al. 2010). Proporsi jawaban kuisioner mengenai praktik higiene personal pekerja kantin disajikan pada Tabel 5.


(42)

Tabel 5 Praktik higiene personal pekerja kantin di kampus IPB Dramaga

Praktik higiene personal Jumlah responden Persentase (%)

A. Aspek Kebersihan

Mandi sebelum bekerja

Ya 39 100.0

Tidak 0 0.0

Selalu 32 82.1

Cara mencuci tangan

Memakai air 3 7.7

Memakai air dan sabun 36 92.3

Mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi

Tidak pernah 1 2.6

Kadang-kadang 3 7.7

Selalu 35 89.7

Memakai apron ketika memasak

Tidak pernah 11 28.2

Kadang-kadang 10 25.6

Selalu 18 46.2

Memakai sarung tangan ketika menangani makanan

Ya 4 10.3

Tidak, tapi memakai capitan 31 79.5

Tidak memakai apapun 4 10.3

Memotong kuku secara rutin

Ya 33 84.6

Tidak 6 15.4

Frekuensi memotong kuku

Seminggu lebih dari sekali 11 28.2

Seminggu sekali 22 56.4

Lebih dari seminggu sekali 6 15.4

B. Aspek Kebiasaan

Memiliki kebiasaan merokok

Ya 11 28.2

Tidak 28 71.8

Tempat merokok

Di dalam kantin 31 79.5

Di luar kantin 8 20.5

Mencuci tangan setelah merokok

Ya 5 12.8

Tidak 34 87.2

Memakai perhiasan di tangan ketika memasak

Ya 11 28.2

Tidak 28 71.8

C. Aspek Kesehatan

Pernah sakit ketika bekerja

Ya 23 59.0

Tidak 16 41.0

Tetap bekerja saat sakit

Ya 20 51.3

Tidak 19 48.7

Pernah mengalami luka terbuka

Pernah 19 48.7


(43)

Aspek kebersihan terkait higiene personal meliputi mandi, kebersihan tangan, cara mencuci tangan, pemakaian sarung tangan serta apron. Hasil penelitian menunjukkan seluruh pekerja kantin (100%) menyatakan mandi sebelum berangkat bekerja. Praktik mencuci tangan selalu dikerjakan ketika akan menangani makanan (82.1%) dan tak satupun menyatakan tidak mencuci tangan ketika akan menangani makanan (0%). Mayoritas pekerja kantin juga menyatakan selalu mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi (89.7%), pekerja kantin lainnya menyatakan bahwa mereka tidak selalu (kadang-kadang) (7.7%) bahkan tidak pernah (2.6%) mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi. Hampir seluruh pekerja kantin mencuci tangan dengan menggunakan air dan sabun (92.3%), namun masih terdapat pekerja kantin yang hanya mencuci tangan dengan air saja tanpa memakai sabun (7.7%). Mayoritas pekerja kantin menyatakan memotong kuku secara rutin (84.6%) dengan frekuensi memotong kuku paling banyak yaitu setiap seminggu sekali (56.4%).

Sebanyak 46.2% pekerja kantin menyatakan bahwa mereka selalu memakai apron ketika memasak, 28.2% menyatakan tidak pernah, dan 25.6% menyatakan kadang-kadang memakai apron ketika memasak. Persentase pekerja kantin yang menyatakan memakai sarung tangan ketika menangani makanan tidak lebih dari 10.3%, sebagian besar menyatakan meskipun tidak memakai sarung tangan tetapi pekerja kantin menggunakan capitan sebagai pengganti sarung tangan (79.5%). Selain itu, masih terdapat pekerja kantin yang menyatakan tidak memakai sarung tangan maupun capitan ketika menangani makanan (10.3%).

Aspek kebiasaan terkait higiene personal adalah merokok dan memakai perhiasan. Mayoritas pekerja kantin menyatakan tidak memiliki kebiasaan merokok (71.8%), sedangkan sebanyak 28.2% pekerja menyatakan memiliki kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok ini paling banyak dilakukan di dalam kantin (79.5%) dan mayoritas pekerja kantin tidak mencuci tangan setelah merokok (87.2%). Mayoritas pekerja kantin menyatakan tidak memakai perhiasan terutama pada jari tangan ketika menangani makanan (71.8%), tetapi masih terdapat pekerja kantin yang memiliki kebiasaan memakai perhiasan pada jari tangan ketika memasak (28.2%).


(44)

Kesehatan pekerja kantin juga merupakan aspek penting dalam praktik higiene personal. Mayoritas pekerja kantin menyatakan pernah sakit selama bekerja di kantin (59.0%) dan tetap bekerja ketika sakit (51.3%). Mayoritas pekerja kantin pernah mengalami luka terbuka (51.3%).

Mencuci tangan merupakan hal penting terutama ketika pada awal kegiatan penanganan makanan (Bas et al. 2006). Mencuci tangan sebaiknya dilakukan setelah ke toilet, menangani bahan mentah dan sampah, memegang bagian tubuh, menyentuh bahan kimia, dan setelah memegang permukaan peralatan (White

et al. 1995). Menurut Marriot (1993), bakteri dapat dipindahkan oleh tangan yang menyentuh peralatan kotor, pangan yang terkontaminasi atau bagian tubuh lainnya. Ketika hal ini terjadi, pekerja kantin harus mencuci tangan menggunakan sabun atau menggunakan sanitizer untuk mengurangi kontaminasi silang.

Mikroorganisme yang berasal dari alat pencernaan dapat melekat pada tangan pekerja kantin yang mengunjungi kamar kecil dan tidak mencuci tangannya dengan baik sebelum kembali bekerja. Menurut Winarno (1999), setiap kali keluar dari kamar mandi atau kamar kecil sebaiknya tangan dibersihkan dengan air hangat dan sabun lalu di lap atau dikeringkan menggunakan hand dryer. Cuci tangan yang tidak benar dan mandi yang jarang akan meningkatkan jumlah mikroorganisme yang bercampur dengan sel-sel mati pada permukaan kulit (Marriot 1999). Salah satu cara yang efektif untuk mengurangi S. aureus

pada tangan pekerja kantin adalah dengan pencucian menggunakan sabun antiseptik. Penggunaan larutan iodium 0.4% dan Dettol 4% dapat mengurangi total mikroba S. aureus dan koliform pada tangan (Kuswanti 2002). Pencegahan kontaminasi silang S. aureus dari bahan mentah ke matang pada tahap persiapan harus diperhatikan. Bakteri patogen yang berasal dari alat pencernaan yang menimbulkan penyakit melalui makanan adalah Salmonella, stretokoki fekal, Clostridium perfringens, Enteropatogenic Escheria coli (EEC), dan Shigella

(Jenie 1988).

Memakai sarung tangan dapat menjadi solusi. Sarung tangan tidak berarti menggantikan cuci tangan, tetapi untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah dari kontaminasi silang (TPH 2004). Sarung tangan dapat mencegah perpindahan bakteri patogen dari jari dan tangan ke makanan. Menurut Widyati


(45)

dan Yuliarsih (2002) saat mengambil makanan harus menggunakan sendok, penjepit, garpu atau menggunakan sarung tangan plastik sekali pakai. Menurut Moehyi (1992) memegang makanan secara langsung selain tampak tidak etis juga akan mengurangi kepercayaan pelanggan. Jadi, selain untuk mencegah pencemaran juga tidak sesuai dengan etika jika memegang makanan dengan tangan, terlebih jika hal tersebut terlihat oleh konsumen.

Menjaga agar kuku tidak panjang saat menangani makanan dan tidak memakai perhiasan di tangan ketika memasak merupakan aspek penting terkait kebersihan tangan (Bas et al. 2006; NFSMI 2009). Menurut Forsythe & Hayes (1998), di bawah kuku dapat ditemukan bakteri patogen sampai 107 CFU/cm² sehingga mencuci tangan dengan sabun sebelum mengolah makanan merupakan suatu keharusan. Kuku pekerja kantin tidak boleh panjang dan harus dalam keadaan bersih tanpa kotoran, karena kuku yang dibiarkan panjang akan menjadi sarang bakteri. Marriot (1999) juga menjelaskan penyebaran bakteri yang paling mudah adalah melalui kotoran yang berada pada kuku (bagian dalam kuku), sehingga frekuensi memotong kuku juga harus diperhatikan minimal 2 kali seminggu. Pekerja kantin tidak diperbolehkan memakai perhiasan selama menangani makanan karena akan menjadi sumber kontaminasi silang serta kemungkinan jatuh ke dalam makanan. Selain itu, kulit di bawah tempat perhiasaan akan menjadi tempat berkumpulnya bakteri serta perhiasan berukir dapat menjadi tempat berkumpulnya kotoran yang merupakan sumber bakteri sewaktu mencuci tangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 715/Menkes/SK/V/2003, pengolah makanan disarankan tidak boleh memakai perhiasan kecuali cincin kawin yang tidak berukir.

Pakaian yang digunakan oleh pekerja kantin di dapur harus bersih dan sebaiknya menggunakan apron atau baju khusus memasak. Apron merupakan salah satu bentuk pakaian pelindung (protective clothes) seperti halnya sarung tangan yang harus digunakan oleh orang yang menangani makanan. Pakaian yang digunakan harus diganti setiap hari karena pakaian yang kotor merupakan salah satu sumber bakteri atau penyakit. Pakaian yang digunakan di dapur selayaknya dipilih model yang dapat melindungi tubuh pada waktu memasak, mudah dicuci,


(46)

dapat menyerap keringat, tidak panas, dan ukurannya tidak ketat sehingga tidak mengganggu pada waktu bekerja (Widyati & Yuliarsih 2002).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa pekerja kantin yang merokok pada saat menjajakan makanan, namun kegiatan merokok dilakukan pada saat menunggu pembeli oleh pedagang laki-laki. Hal ini serupa dengan penelitian Susanna (2003) yang menyatakan adanya kebiasaan merokok yang sering terlihat pada saat penjamah makanan sedang menunggu pembeli. Menurut Depkes RI (2001), kebiasaan merokok di lingkungan pengolahan makanan mengandung banyak risiko, antara lain bakteri dari mulut dan bibir dapat dipindahkan ke tangan sehingga tangan menjadi kotor dan akan mencemari makanan. Selain itu, abu rokok dapat jatuh ke dalam makanan serta dapat menimbulkan bau asap rokok yang dapat mengotori udara. Menurut CAC (2003), setiap orang yang menangani makanan harus menahan diri dari kebiasaan merokok karena merokok dapat memungkinkan kontaminasi pada makanan.

Pekerja kantin yang menangani makanan dapat menjadi sumber pencemaran terhadap makanan, terutama apabila pekerja kantin sedang menderita suatu penyakit atau karier. Orang yang menderita penyakit seharusnya tidak diperbolehkan untuk memasuki area penanganan makanan, karena terdapat kemungkinan dapat mencemari makanan (CAC 2003; Bas et al. 2006). Saat bersin sejumlah bakteri akan berpindah ke udara dan mungkin akan mencemari makanan yang sedang ditangani. Sejumlah bakteri dan virus penyebab penyakit pada manusia dapat pula ditemukan di mulut, khususnya pada pekerja kantin yang sakit. Mikroorganisme tersebut akan berpindah ke individu atau makanan saat pekerja kantin yang sakit tersebut bersin atau berbicara. Tangan dengan luka atau memar yang terinfeksi merupakan sumber stafilokoki virulen, demikian pula pada bagian tubuh lain yang terinfeksi karena mungkin pekerja kantin menggaruk atau menyentuh luka tersebut. Luka menyebabkan bakteri pada kulit akan masuk ke bagian dalam kulit dan terjadilah infeksi. Adanya luka koreng atau luka bernanah mempunyai risiko yang besar dalam menularkan penyakit ke dalam makanan (Depkes RI 2001). Jalur masuknya S. aureus ke dalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain.


(47)

Adanya penyimpangan dalam praktik higiene personal pekerja kantin diduga karena memiliki kebiasaan yang melekat dan sulit untuk diubah. Menurut Taryoto (1991), kebiasaan merupakan tindakan yang secara otomatis dilakukan oleh seseorang pada suatu keadaan tertentu, tanpa atau dengan pemikiran yang sangat terbatas. Untuk mengubah suatu kebiasaan diperlukan waktu yang panjang dan harus didukung dengan sarana yang memadai.

Kesadaran pentingnya higiene personal akan memengaruhi pekerja kantin untuk melakukan praktik sesuai dengan pengetahuannya. Pengetahuan diperlukan sebelum melakukan suatu perbuatan secara sadar. Namun, perbuatan yang dikehendaki mungkin tidak akan berlangsung sampai seseorang mendapat petunjuk yang cukup kuat untuk memicu motivasi berbuat berdasarkan pengetahuan tersebut (WHO 2006).

Diharapkan kepada pihak kampus untuk meningkatkan sosialisasi mengenai penerapan kebijakan keamanan yaitu mengenai peraturan, sanksi, pengawasan serta penyuluhan yang rutin kepada pengelola kantin dan pekerja kantin. Pihak kampus diharapkan untuk lebih memperhatikan praktik keamanan pangan pada semua aspek, terutama pada higiene personal. Cara yang diberikan dapat berupa bantuan fasilitas dari pihak kampus kepada pengelola kantin dan pekerja kantin. Diharapkan kepada semua pihak untuk dapat bekerjasama dalam melakukan pengawasan yang berhubungan dengan keamanan pangan jajanan di kampus.

Staphylococcus aureus sebagai Indikator Higiene Personal

Pekerja kantin merupakan salah satu sumber kontaminasi utama dalam penyajian makanan.Penelitian ini menilai higiene personal pekerja kantin melalui pengujian keberadaan S. aureus pada telapak tangan dan baju pekerja kantin.

Staphylococcus aureus paling sering ditemukan pada tangan dan wajah manusia. Pekerja kantin dapat mencemari bahan makanan atau daging sebesar 103 sampai 104 CFU/cm² per menit oleh tangan, pakaian maupun alat-alat yang dipergunakan (Eley 1992). Kehadiran bakteri ini pada makanan mencerminkan higiene pekerja yang kurang baik.


(48)

Higiene Tangan Pekerja KantinBerdasarkan Jumlah S. aureus

Tangan merupakan bagian tubuh yang paling banyak memungkinkan keberadaan bakteri S. aureus apabila seorang pekerja kantin tidak menjaga higiene personal dengan baik. Tangan digunakan untuk keperluan bermacam-macam seperti menyentuh benda-benda, mengorek hidung, telinga, dan bagian tubuh lainnya sehingga dapat menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Winarno 2004). Tingkat kontaminasi S. aureus pada tangan pekerja kantin disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Tingkat kontaminasi S. aureus pada tangan pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga

Tingkat kontaminasi Jumlah responden Presentase (%)

Tidak ada 0 0.0

Jarang 10 25.6

Rendah 6 15.4

Tinggi 17 43.6

Sangat tinggi 6 15.4

Jumlah 39 100.0

Tabel 6 menunjukkan bahwa S. aureus terdapat pada tangan dari seluruh pekerja kantin (100%), dengan tingkat kontaminasi yang berbeda-beda. Tingkat kontaminasi S. aureus pada tangan pekerja kantin mayoritas masuk ke dalam kategori kontaminasi tinggi (43.6%). Jumlah S. aureus pada tangan pekerja kantin yang menangani makanan harus tidak ada atau 0 CFU untuk menunjukkan higiene personal yang baik (CCD 2000). Menurut Jay (2000) S. aureus dapat dijumpai dalam jumlah 103−106 CFU/cm2 pada permukaan kulit yang lembab.

Keberadaan S. aureus kemungkinan disebabkan tangan pekerja kantin tanpa sadar menyentuh bagian tubuhnya seperti hidung, rambut dan bagian lain dari tubuh, peralatan kotor, pangan tercemar, baju, serta benda lain yang terkontaminasi. Memegang uang secara langsung merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh pekerja kantin. Uang merupakan sumber kontaminasi yang sering tidak disadari oleh pekerja kantin (Nuraida et al. 2009). Lap untuk mengeringkan tangan juga dapat terkontaminasi S. aureus (Oller & Mitchell 2009).

Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kuswanti (2002) melaporkan bahwa, S. aureus dan bakteri koliform


(49)

terdapat pada tangan dari seluruh pekerja kantin (100%) di kantin Sapta Darma Fakultas Teknologi Pertanian IPB Dramaga. Rizkiriani (2010) juga melaporkan bahwa di kantin Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, semua tangan pekerja kantin (100%) mengandung S. aureus dengan kategori banyak sekali (>11 CFU/cawan). Berbeda dengan hasil penelitian ini, Sari (2010) menunjukkan bahwa S. aureus positif pada tangan pekerja kantin (40%) di kantin lingkar kampus IPB. Dwintasari (2010) juga melaporkan tangan pekerja kantin di 5 dari total 8 kantin bubur ayam, positif mengandung S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan higiene personal pekerja kantin yang menangani makanan belum dilaksanakan dengan baik dan benar serta belum ada perubahan dari tahun ke tahun.

Menurut Marriot (1999), kelenjar dalam kulit mengeluarkan (sekresi) keringat dan minyak. Kulit berfungsi secara konstan mengatur pengeluaran keringat, minyak dan sel-sel yang mati ke bagian permukaan. Jika bahan-bahan tersebut bercampur dengan bahan-bahan dari lingkungan sekitarnya, seperti debu, kotoran, lemak, dan sel-sel mati pada permukaan kulit akan membentuk suatu lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme. Akibatnya mikroorganisme tersebut akan berpindah ke makanan apabila pekerja kantin tidak mencuci tangan dengan benar.

Menurut Winarno (1999) dianjurkan setiap kali keluar dari kamar mandi atau kamar kecil sebaiknya tangan dibersihkan dengan air hangat dan sabun lalu dikeringkan menggunakan hand dryer. Marriot (1999) juga menjelaskan penyebaran bakteri yang paling mudah adalah melalui kotoran yang berada pada kuku (bagian dalam kuku). Menurut Lowbury et al. (1963) yang diacu dalam Jenie (1988), mencuci tangan terutama dengan sabun dan disinfektan dapat membunuh banyak mikroorganisme. Hal ini disebabkan karena pada sabun terdapat ikatan antara natrium atau kalium dengan asam lemak tinggi dan bersifat germisida sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan pada mikroorganisme, akibatnya mikroorganisme mudah terlepas dari kulit. Sabun mengandung bahan aktif TCC dan triclosan serta Pipper Betle Leaf Oil, yaitu senyawa aktif yang bersifat antiseptik, sehingga dapat membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan hidup. Antiseptik merupakan bahan


(50)

kimia yang mencegah multiplikasi mikroorganisme pada permukaan tubuh dengan cara membunuh mikroorganisme tersebut atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas metaboliknya.

Higiene Baju Pekerja KantinBerdasarkan Jumlah S. aureus

Pekerja kantin yang menangani makanan seharusnya mengenakan baju khusus. Baju kotor dapat menjadi tempat mikroorganisme sehingga baju pekerja kantin harus diganti setiap hari. Jumlah S. aureus pada baju pekerja kantin disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Tingkat kontaminasi S. aureus baju pekerja kantin di kampus IPB Dramaga

Tingkat kontaminasi Jumlah responden Presentase (%)

Tidak ada 0 0.0

Jarang 21 53.8

Rendah 8 20.5

Tinggi 8 20.5

Sangat tinggi 2 5.2

Jumlah 39 100.0

Tabel 7 menunjukkan bahwa seluruh baju pekerja kantin (100%) terkontaminasi S. aureus, dengan tingkat kontaminasi yang berbeda-beda. Tingkat kontaminasi S. aureus pada baju pekerja kantin mayoritas masuk ke dalam kategori kontaminasi jarang (53.8%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lues dan Tonder (2007) yang menunjukkan bahwa tingkat kontaminasi

S. aureus pada baju lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kontaminasi

S. aureus pada tangan pekerja kantin. Hal ini kemungkinan disebabkan S. aureus

bukan merupakan mikroorganisme normal pada baju seperti halnya di kulit. Kemungkinan baju hanya sebagai perantara perpindahan mikroorganisme yang berasal dari tangan, badan, keringat, rambut, air, pangan tercemar, dan debu di udara. Mikroorganisme yang terdapat di udara biasanya melekat pada bahan padat misalnya debu atau terdapat dalam droplet air yang mungkin dapat menempel pada baju (Gobel & Risco 2008). Selain itu, mekanisme penyebaran S. aureus

melalui udara yaitu bersin dan batuk akan memudahkan bakteri mengontaminasi baju pekerja kantin (Gaman & Sherington 1992).


(1)

Lampiran 2 Koloni S. aureus dari sampel tangan dan baju pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga

Gambar 9 Gambar koloni S. aureus dari telapak tangan salah satu pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga.

Gambar 10 Koloni S. aureus dari baju salah satu pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga.


(2)

Lampiran 3 Hasil perhitungan jumlah S. aureus dengan Metode RODAC

Tabel 9 Jumlah S. aureus pada tangan pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga

Kantin Jumlah S. aureus (CFU/cawan)

1 27

2 17

3 61

4 69

5 5

6 6

7 62

8 170

9 18

10 14

11 51

12 25

13 11

14 66

15 10

16 149

17 16

18 55

19 78

20 55

21 14

22 3

23 74

24 146

25 35

26 139

27 8

28 22

29 3

30 40

31 25

32 51

33 173

34 2

35 31

36 5

37 8

38 129

39 8

Rata-rata 48.2 SD 48.2 ± 5.0


(3)

Lampiran 3 (lanjutan)

Tabel 10 Jumlah S. aureus pada baju pekerja kantin kampus IPB Dramaga

Kantin Jumlah S. aureus (CFU/cawan)

1 30

2 37

3 9

4 53

5 2

6 9

7 9

8 105

9 1

10 52

11 13

12 11

13 14

14 16

15 10

16 10

17 5

18 6

19 7

20 1

21 7

22 28

23 4

24 4

25 16

26 36

27 18

28 1

29 1

30 27

31 12

32 150

33 7

34 9

35 9

36 8

37 46

38 16

39 7

Rata-rata 20.7 SD 20.7 ± 2.9


(4)

Lampiran 4 Kuesioner karakteristik dan aspek praktik higiene personal pekerja kantin

KAP TENTANG HIGIENE KANTIN DI DALAM KAMPUS IPB No Kuisioner :

Enumerator :

Waktu : s/d

KUISIONER PEKERJA KANTIN Pernyataan Persetujuan

Selamat pagi/siang. Kami mahasiswa FKH IPB hendak melakukan wawancara mengenai higiene kantin di dalam kampus IPB. Kami akan menanyakan tentang perilaku dan kebiasaan Bapak/Ibu terkait dengan pekerjaan di kantin. Informasi ini akan membantu kami dalam menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dan dapat menjadi informasi untuk pencegahan keracunan makanan terkait dengan kebersihan pekerja dan produksi. Wawancara akan berlangsung sekitar ± 30 menit. Informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiaannya. Partisipasi di dalam wawancara ini bersifat sukarela dan kami berharap Bapak/Ibu dapat berpartisipasi karena informasi dari Bapak/Ibu sangat penting.

Apakah Bapak/Ibu bersedia diwawancara? □ Ya

□ Tidak

Jika tidak, mohon berikan alasannya mengapa Bapak/Ibu tidak bersedia diwawancara:

……… ………

A.DATA RESPONDEN A.1 Nama Pekerja : A.2 Alamat (Unit/Fakultas) : A.3 No. Telp/HP :

A.4 Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan (coret salah satu) A.5 Umur : tahun

B.KARAKTERISTIK PEKERJA

B1. Apakah pendidikan terakhir Bapak/Ibu? □ Tidak sekolah

□ Tidak selesai SD □ SD

□ SMP □ SMA □ Universitas


(5)

Lampiran 4 (lanjutan)

B2. Sudah berapa lama Bapak/Ibu bekerja menangani makanan di kantin/restoran? ….. tahun

B3. Apakah berdagang makanan merupakan pekerjaan utama atau sampingan Bapak/Ibu?

□ Sampingan

□ Utama (lanjut ke B.5)

B4. Apakah pekerjaan utama Bapak/Ibu? □ Pegawai negeri

□ Pegawai swasta

□ Polisi/ABRI/staf Militer □ Lain-lain, sebutkan ……… □ Guru/dosen

□ Petani/peternak/nelayan □ Buruh

B.5 Apakah Bapak/Ibu sudah pernah mendapat penyuluhan atau pembinaan tentang pengolahan kantin?

□ Sudah

□ Belum (lanjut ke C.1)

B.6 Kapan diadakan penyuluhan atau pembinaan tersebut? □ Dalam 1 tahun terakhir

□ Lebih dari 1 tahun yang lalu

B.7 Siapa yang mengadakan penyuluhan tersebut? □ Pihak kampus: ……

□ Instansi luar kampus: ………… □ Lain-lain: ……..

C.HIGIENE KANTIN Higiene Personal

D.1 Apa Bapak/Ibu mencuci tangan sebelum/sesudah bekerja? □ Selalu

□ Kadang-kadang

□ Tidak pernah (lanjut ke D.3)

D.2 Dengan apa Bapak/Ibu mencuci tangan? (Jawaban boleh lebih dari satu) □ Dengan air

□ Dengan sabun

D.3 Apakah Bapak/Ibu mencuci tangan setelah dari kamar mandi/toilet? □ Selalu

□ Kadang-kadang □ Tidak pernah

D.4 Apakah Bapak/Ibu memakai apron ketika memasak? □ Selalu

□ Kadang-kadang □ Tidak pernah


(6)

Lampiran 4 (lanjutan)

D.5 Apakah Bapak/Ibu memakai sarung tangan ketika menangani makanan? □ Ya

□ Tidak, tapi memakai capitan □ Tidak memakai apapun

D.6 Apakah Bapak/Ibu memotong kuku secara rutin? □ Ya

□ Tidak (lanjut ke D.8)

D.7 Seberapa sering Bapak/Ibu memotong kuku? □ Seminggu lebih dari 1 kali

□ Seminggu sekali

□ Lebih dari seminggu sekali D.8 Apakah Bapak/Ibu merokok?

□ Ya

□ Tidak (lanjut ke D.11) D.9 Di mana Bapak/Ibu merokok?

□ Di dalam kantin □ Di luar kantin

D.10 Apakah setelah merokok Bapak/Ibu mencuci tangan? □ Ya

□ Tidak

D.11 Apakah Bapak/Ibu memakai perhiasan seperti cincin/gelang/jam tangan ketika memasak?

□Ya □Tidak

D.12 Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami sakit dari mulai awal bekerja di sini sampai saat ini?

□ Ya

□ Tidak (lanjut ke D.15)

D.13 Sakit apa yang pernah Bapak/Ibu alami selama bekerja? □ Diare

□ Demam □ Flu

□ Batuk-batuk

□ Lain-lain: …………..

D.14 Apakah Bapak/Ibu tetap bekerja saat menderita sakit tersebut? □ Ya

□ Tidak

D.15 Apakah Bapak/Ibu mandi sebelum pergi bekerja? □ Ya

□ Tidak

D.16 Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami luka terbuka? □ Pernah