kompetitif adalah hal yang diinginkan oleh konsumen untuk memilih produk yang mereka sukai.
2.5 Kondisi Perbankan Syariah Indonesia
Dalam konsep Islam, tidak dikenal motif money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Dan kebalikan dari sistem konvensional
yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta capital sebagai objek zakat. Motif money demand for transaction serta money demand
for precautionary dikenal dalam konsep Islam. Dalam keadaan banyaknya perang di zaman Rasulullah SAW, money demand for precautionary relatif
tinggi dikalangan keluarga dan sahabat yang ditinggal perang. Dalam sejarah, ketika ditandatangani perjanjian pedamaian Hudaybiyah, maka money demand
for precautionary turun drastis, dan selanjutnya mempercepat velocity of money. Money adalah public goods, sedangkan capital adalah private goods.
Money milik masyarakat, oleh karenanya penimbunan uang di bawah bantal atau dibiarkan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar yang
dapat mengakibatkan kelesuan ekonomi stagnas . Capital adalah milik pribadi, maka capital adalah objek zakat. Bagi
yang tidak memproduktifkan capital – nya maka Islam menganjurkan untuk melakukan musyawarah atau mudharabah bisnis bagi hasil. Bila ia tidak ingin
mengambil resiko bermusyawarah atau ber – mudharabah, maka Islam sangat menganjurkan dengan melakukan qard, yaitu meminjamkan capitalnya tanpa
23
imbalan apapun. Secara mikro, qard tidak dapat memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan, tetapi secara makro qard akan memberikan
manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Dengan diberikannya qard, maka velocity of money bertambah cepat MV = PT ; V
naik, maka P x T = GDP naik, artinya tambahan baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional meningkat. Karena pendapatan nasional
meningkat, berarti si pemberi pinjaman akan naik pula pendapatannya. Islam tidak mengenal time value of money, tetapi Islam mengenal
konsep economic value of time, artinya yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Keindahan dari konsep Islam adalah riba diharamkan dan jual beli dengan
tangguh bayar dihalalkan. Yang lebih menarik adalah kebolehan harga tangguh bayar lebih tinggi sama sekali bukan disebabkan oleh time value of money atau
interst foregone, namun semata – mata karena ditahannya hak si pemberi pinjaman.
Transaksi mudharabah atau musyarakah dan transaksi jual beli memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riil. Oleh karena itu pula,
salah satu rukun jual beli adalah ada barang ada uang ma’kud alaihi. Dengan demikian, maka future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan
good delivery adalah tidak sah. Jelaslah bahwa konsep Islam menjaga keseimbangan sektor riil dan sektor moneter. Begitu pula dengan dengan
perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riil yang dibiayainya.
24
Pada saat perekonomian dunia usaha lesu, maka yield yang diterima oleh bank Islam menurun, dan pada gilirannya return yang dibagi hasilkan kepada
penabung dibank Islam juga turun. Sebaliknya, pada saat booming, maka return yang dibagi – hasilkan akan booming pula.
Al – Qur’an mengingatkan dalam Q.S Al – Bawarah 275 : ‘ Orang – orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melalaikan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. ’ Jadi perbankan syariah yang merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam adalah sistem
perbankan yang mengaitkan antara sektor moneter dengan sektor riil. Oleh karena itu perbankan syariah akan berkembang dengan steady – growth dari
masa ke masa. Karena karakter perbankan syariah mengaitkan sektor moneter dengan sektor riil sehingga pertumbuhan Bubble Growth bukanlah ciri
perbankan syariah. Implikasi selanjutnya adalah perbankan syariah mempunyai resistensi yang lebih baik dibandingkan bank konvensional dalam menghadapi
krisis moneter seperti yang terjadi saat ini. Terbitnya UU No. 10 tahun 1998 memiliki hikmah tersendiri bagi dunia
perbankan nasional di mana pemerintah membuka lebar kegiatan usaha perbankan dengan berdasarkan pada prinsip syariah. Hal ini guna menampung
aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan seluas – luasnya untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip bank
syariah, termasuk juga kesempatan konversi dari bank umum yang kegiatan usahanya berdasarkan pada pola konvensional menjadi pola syariah. Selain itu
25
dibolehkan pula bagi pengelola bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang atau mengganti kantor cabang yang sudah ada menjadi kantor
cabang khusus syariah dengan persyaratan yang tentunya melarang pada percampuran modal kerja dan akuntansinya.
Dilihat secara makro ekonomi, pengembangan bank syariah di Indonesia memiliki peluang besar karena peluang pasarnya yang sesuai dengan
mayoritas penduduk negeri ini. UU No. 10 tidak menutup kemungkinan bagi pemilik bank BUMN, swasta nasional bahkan pihak asing sekalipun untuk
membuka cabang syariahnya di Indonesia. Dengan terbukanya kesempatan ini jelas akan memperbesar peluang transaksi keuangan di dunia perbankan kita,
terutama bila terjalin hubungan kerjasama diantara bank – bank syariah. Bank syariah di tanah air mendapatkan pijakan kokoh setelah adanya
deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan penentuan tingkat suku bunga, termasuk nol persen atau
peniadaan bunga sekaligus. Tetapi kesempatan ini belum dimanfaatkan karena tidak diperkenankan untuk membuka kantor baru. Hal ini berlangsung sampai
tahun 1988 setelah pemerintah mengeluarkan Pakto 1988 yang memperkenankan berdirinya bank – bank baru.
Posisi bank syariah semakin pasti dengan disahkannya UU. Perbankan No. 7 tahun 1992, dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis
imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan bagi hasil. Dengan terbitnya PP No. 72 tahun 1992 pasal 6 tentang bank bagi
26
hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa ‘ Bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
bunga sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil ’, maka jalan bagi operasional perbankan syariah semakin luas.
UU No. 10 ini sekaligus menghapus pasal 6 PP No. 72 tahun 1992 yang melarang dual system. Sungguh pun demikian bank syariah yang berada di
tanah air tetap harus tunduk kepada peraturan – peraturan dan persyaratan perbankan yang berlaku pada umumnya. Disamping ketentuan – ketentuan di
tersebut bank syariah juga dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan oleh Dewab Pengawas Syariah DPS. Hal yang terakhir ini memberikan implikasi
bahwa setiap produk bank syariah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perbankan Syariah terlebih dahulu sebelum diperkenalkan kepada masyarakat.
Diharapkan UU No.10 ini dapat membawa kesegaran baru bagi dunia perbankan kita, terutama bagi dunia perbankan prinsipsyariah akan menambah
semarak lembaga keuangan syariah yang telah ada di sini seperti BPRS, BMT dan Koperasi Syariah.
27
BAB III KAJIAN PUSTAKA