BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa yang mendiami ribuan pulau besar dan kecil tersebar di seluruh Nusantara.
Keberagaman tersebut dapat dilihat dari perbedaan agama, bahasa, adat istiadat, kesenian dan lain-lain yang kemudian memperkaya khasanah budaya bangsa
sekaligus membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Demikian halnya di Pulau Kalimantan, pulau terbesar kedua setelah Irian. Di pulau ini terdapat banyak
ragam budaya daerah yang sampai saat ini masih tetap dimiliki dan dihayati oleh masyarakat pendukungnya. Selain itu, tradisi budaya yang ada juga tetap
dijalankan sebab sanksi adat tetap diberlakukan kepada setiap anggota masyarakat yang melanggarnya.
Kabupaten Berau sebagai bagian dari daerah teritorial Kalimantan Timur ini memiliki potensi kebudayaan yang sangat beragam sesuai dengan etnografinya
yang terdiri dari 3 suku besar, yaitu suku Berau, Bajau, dan Dayak. Suku Berau mendiami wilayah perkotaan yang hidup bersama para pendatang dari Jawa,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatera. Suku Bajau yang mendiami wilayah laut dan pesisir, serta suku Dayak yang mendiami wilayah pedalaman.
Salah satu sub suku Dayak yang tinggal di wilayah pedalaman Berau adalah suku Dayak
Ga’ay yang mendiami kampung Tumbit Dayak di Kecamatan Sambaliung. Kehidupan masyarakat Dayak
Ga’ay berjalan dalam ritmenya sendiri dan relatif masih tidak terlalu tersentuh kehidupan dunia modern, masyarakat
1
masih mempergunakan perkakas kerja buatan sendiri seperti anjat keranjang gendong dari bahan rotan. Berburu, mengumpulkan hasil hutan, pertanian dengan
sistem berpindah dan penggunaan ramuan berbahan alam adalah bagian dari kehidupan yang terus berlangsung.
Masyarakat Dayak Ga’ay memiliki keragaman budaya dan kesenian yang
dilatarbelakangi oleh agama Segaji agama kepercayaan Kaharingan. Kehidupan yang berdasarkan pada tradisi masih terus dilangsungkan, lengkap dengan upacara
adat dan tari-tarian dalam beberapa acara seperti panen padi. Kepercayaan tersebut menghadirkan berbagai kesenian tradisional seperti tari Hudoq, itu berkembang
seiring dengan dinamika komunitas yang beragam, seperti suku Berau Melayu yang tinggal di Tumbit Melayu seberang kampung yang beragama Islam, juga
pengaruh agama Kristen dan Katolik. Salah satu tari yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang di
masyarakat suku Dayak Ga’ay adalah Tari Hudoq. Tari ini menggunakan topeng
yang dipercaya sebagai kedatangan para dewa utusan Sang Pencipta kedunia untuk membantu kehidupan manusia, membantu mengusir hama penyakit padi dan
segala hal buruk yang akan menimpa kampung. Penari Hudoq mengenakan kostum yang terbuat dari daun pisang hingga menutupi mata kaki dan mengenakan
topeng kayu yang menggambarkan ekspresi tokoh – tokoh yang berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat Dayak. Sebagian dari masyarakat zaman dahulu percaya, bahwa saat di laksanakannya Tari Hudoq, orang yang sakit dapat sembuh
apabila terkena kibasan kostum penari Hudoq tersebut.
2
Tari yang dalam dialek masyarakat Tumbit Dayak disebut Hadoq ini ditampilkan pada masa panen, yaitu pada upacara Bekudung Betiung yang
dilaksanakan setiap dua tahun sekali pada bulan Agustus. Upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas perlindungan
tanaman padi mulai saat menanam hingga menuai hasil panen. Tari Hudoq diwariskan secara turun temurun sehingga masih bertahan
dan berkembang di kampung Tumbit Dayak. Melihat pentingnya keberadaan tari Hudoq dalam upacara panen, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang makna
simbolik tari Hudoq pada upacara panen bagi masyarakat suku Dayak Ga’ay di
kampung Tumbit Dayak Kabupaten Berau Kalimantan Timur.
B. Fokus Masalah