Rumusan Masalah Ruang Lingkup Masalah Landasan Teori

5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah peranan pelaksanaan dari teknik pembelian terselubung di Polresta Denpasar, dan kendala-kendala apa sajakah yang yang timbul dari pelaksanaannya? 2. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh Kepolisian Polresta Denpasar dalam mengatasi kendala- kendala tersebut dan apakah teknik ini dilakukan secara terprogram dan berkelanjutan?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam pembatasan skripsi ini dikhususkan hanya mengenai penungkapan tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui perspektif hukum pidana materiil, hukum pidana formil, dan pelaksanaan hukum yang terdapat pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui lebih lanjut tentang teknik pembelian terselubung Undercover Buy serta peranannya dalam pengungkapan tindak pidana narkotika di wilayah Polresta Denpasar.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khususnya sebagai berikut : 6 1. Untuk mengetahui bagaimanakah peranan pelaksanaan dari teknik pembelian terselubung dalam pengungkapan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Polresta Denpasar. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dialami kepolisian khususnya kepolisian wilayah Polresta Denpasar dalam menjalankan teknik pembelian terselubung tersebut serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut.

1.5 Manfaat Penulisan

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang perkembangan ilmu pengetahuan hukum, dan kesesuaian penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi penegak hukum agar hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada lembaga- lembaga hukum terkait dengan penyelesaian perkara tindakan pidana penyalahgunaan narkotika dan penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika agar mendapatkan efek jera dan kesesuaian sanksi terhadap tindakan yang dilakukan sesuai dengan undang-undang Narkotika, dan yurisprudensi yang berlaku. 2. Bagi masyarakat hasil penelitian ini sebagai acuan didalam pelaksanaan kehidupan yang berbudi dan berakhlak sebagai bangsa Indonesia. 7

1.6 Landasan Teori

Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkotika tidak menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan UU no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika selanjutnya disebut UU Narkotika 2009. Secara umum hukum acara yang dipergunakan mengacu pada tata cara yang dipergunakan oleh Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana KUHAP, akan tetapi terdapat beberapa pengecualian sebagaimana ditentukan oleh UU Narkotika 2009. Simons mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan handeling yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum onrechtmatig dilakukan dengan kesalahan schuld oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan meliputi : 1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan schuld 4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya 4 . “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun yang semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan” 5 . Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Narkotika 2009, Narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, 4 Roni Wijayanto, 2012, Asas-asas hukum pidana Indonesia,Bandung,C.V Mandar Maju, hlm. 160 5 Ummu Alifia, 2007, Apa itu Narkotika dan Napza, Bengawan Ilmu, Semarang, hlm. 1. 8 baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Dalam UU Narkotika 2009 telah diatur mengenai beberapa jenis narkotika. Beberapa jenis narkotika tersebut adalah sebagai berikut : 1. Ganja, Kokain, Heroin Putauw , Opium candu Hashis dan Matadon. 2. Sabhu, Extasy, Magadon, Aphetamine, MDMA, MDA LSD Valium. 3. Zat-zat aditif lainnya adalah Mikol, Obat, Bahan Obat, Jamu, Tembakau, Bahan pengawet Pormalin, Melamin, Pewarna Textil, dan Kosmetika. Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Narkotika 2009 penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika menurut Hari Sasangka adalah “suatu proses gangguan mental adiktif. Pada dasarnya seorang penyalahgunaan narkotika adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa gangguan kepribadian, kecemasan depresi” 6 . Kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah dan masyarakat untuk mencari cara-cara untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan dari kejahatan tersebut. Menurut M. H. Elliot: “ Kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau suatu tingkah laku yang gagal, yang melanggar hukum dan dapat dijatuhi hukuman penjara mati, denda dan seterusnya” 7 . 6 Hari Sasangka I, op.cit, hlm. 11. 7 H. Hari Saherodji, 1980, Pokok-Pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 15. 9 J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan relatif, mengandung variabelitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku baik aktif maupun pasif, yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu 8 . Faktor-faktor terjadinya kejahatan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendorongnya, H. Hari Saherodji mengatakan bahwa terdapat 2 faktor terjadinya kejahatan tersebut yaitu : 1. Faktor intern faktor yang terdapat pada individual dapat ditinjau dari : a Sifat-sifat umum dari individu: umur, sex, kedudukan individu dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah reakresihiburan individu, dan agama individu. b Sifat khusus dari individu adalah sifat kejiwaan individu. 2. Faktor ekstern faktor-faktor yang berada diluar individu. Faktor ini berpangkal tolak dari lingkungan dan dicari hal hal yang mempunyai korelasi dengan kejahatan seperti waktu kejahatan, tempat kejahatan, keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan 9 . Menurut A.S Alam dan Amir Ilyas, penanggulangan kejahatan terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu upaya Pre-Emtif, Preventif, Refresif 10 . 1. Pre-Emtif Upaya Pre-Emtif adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasikan dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan 8 J.E Sahetapy dan B mardjono Reksodiputro, 1982, Parados Dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta, hlm. 191. 9 H. Hari Saherodji, op.cit., hlm.35. 10 Alam,A.S dan Amir Ilyas,2010, Pengantar Kriminologi. P.T Pusaka Refleksi, Makasar, hlm.69. 10 untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. 2. Preventif Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan. 3. Refresif Upaya yang dilakuakan pada saat telah terjadi tindak pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum law enforcement dengan menjatuhkan hukuman. Dalam tindak pidana narkotika terdapat penanggulangan kejahatan berupa langkah rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan upaya untuk pengobatanpenyembuhan terhadap para pecandupengguna narkotika yang telah ketergantungan terhadap zat-zat narkotika, dalam upaya mengembalikan kondisinya seperti seperti sebelum mengkonsumsi atau terlibat dalam penggunaan zat-zat narkotika. Pada UU Narkotika 2009 pada dasarnya mengklasifikasikan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika menjadi dua yaitu pelaku tindak pidana yang bersetatus sebagai pengguna dan bukan pengguna narkotika. Yang dimaksud sebagai pengguna narkotika adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa 11 rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. Sedangkan untuk pelaku yang bukan sebagai pengguna narkotika diklasifikasika menjadi pemilik, pengolah, pembawa atau pengantar dan pengedar. Pelaku yang bukan sebagai pengguna dapat dikenakan sanksi pidana karena melanggar ketentuan UU Narkotika 2009 dimana hal tersebut sesuai dengan teori pemidanaan. Teori pemidanaan dapat dibagi sebagai berikut : 1. Teori absolut teori retributif, memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya vergelding si pelaku harus diberi penderitaan 11 . 2. Teori relatif deterrence, teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah prevensi kejahatan 12 . 3. Teori gabungan integratif mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat 13 . 11 Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta Sinar Grafika, hlm.105. 12 Ibid. hlm.106. 13 Ibid. hlm.107. 12 Pengertian dari Pidana adalah “hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsure terpenting dalam hukum pidana” 14 . Pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman, hukuman adalah suatu pengertian umum dan lebih luas, yaitu sebagai suatu sanksi yang tidak mengenakan yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. “Pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkenaan dengan sanksi dalam hukum pidana. Walaupun ada juga persamaannya dengan pengertian umum, yaitu sebagai suatu sanksi yang berupa tindakan yang menderitakan atau suatu nestapa” 15 . Selanjutnya, mengenai pengertian Hukum Pidana itu sendiri adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara Indonesia. Hukum Pidana yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1 Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2 Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut 16 . Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis- jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang 14 C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, 2010, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.5 15 Darji Darmodiharjo Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, , hlm. 73 16 Moeljatno,2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1 13 tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah “untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan” 17 . Secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun pidana tambahan yaitu: 1. Pidana Pokok a. Pidana mati b. Pidana Penjara c. Pidana Kurungan d. Pidana Tutupan e. Pidana Denda 2. Pidana Tambahan a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu b. Perampasan Barang Tertentu c. Pengumuman Putusan Hakim Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIMPR2002 telah merekomendasikan kepada Dewan 17 J.M van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 128 14 Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. “Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati “ 18 . Terkait dengan pihak pengguna narkotika yang disebut juga dengan pecandu narkotika, terhadap mereka seringkali terjadi stigmatisasi dari masyarakat dari masyarakat seperti seorang penjahat. “Dengan adanya UU Narkotika 2009 sebagaimana sudah menjadi tujuan dari Undang-Undang tersebut, para penyalahguna dan pecandu narkotika dijamin untuk medapatkan rehabilitasi medis dan sosial” 19 . Kebijakan penanggulangan kejahatan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak bias lepas dari tujuan Negara untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Disisi lain pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Kebikan penanggulangan tindak pidana narkotika merupakan kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah semata-mata pelaksanaan undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis normative dansistematik, dogmatic. “Di samping pendekatan yuridis normatif, 18 Sujono AR. Dan Bony Daniel, 2011 Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 59. 19 Ibid, hlm. 66. 15 kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis factual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya” 20 . Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu jalur “penal” hukum pidana dan jalur “non-penal” bukandi luar hukum pidana. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitik beratkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Mengingat upaya non-penal lebih bersifat akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah- masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Kedua cara di atas dapat dijadikan acuan dan diterapkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum secara langsung apabila tingkat kriminalitas di masyarakat terus meningkat 21 .

1.7 Metode Penelitian