Parate eksekusi hak tanggunggan sebagai perlindungan hukum terhadap kreditur (analisis putusan mahkamah agung nomor 1993K/Pdt/2012)

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Tazkiatun Nafs Az Zahra NIM: 1111048000020

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

TERHADAP KREDITUR (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1993K/Pdt/2012). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix + 78 halaman + 22 halaman lampiran.

Skripsi ini membahas tentang parate eksekusi hak tanggungan sebagai perlindungan hukum terhadap kreditur jika dilihat dari kasus Putusan MA Nomor 1993K/Pdt/2012. Hal ini dilatarbelakangi oleh lahirnya parate eksekusi hak tanggungan dari cideranya janji atau wanprestasi yang dilakukan debitur dalam melakukan pembayaran kembali utangnya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sudah memberi gambaran yang jelas mengenai eksekusi yang bisa dilakukan apabila debitur cidera janji, salah satunya adalah dengan melakukan pelelangan yang disebut parate eksekusi.

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus parate eksekusi hak tanggungan ada beberapa debitur wanprestasi yang mengajukan perlawanan terhadap barang jaminan yang dilelang. Dalam Putusan MA yang diangkat oleh penulis, Majelis Hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar sisa tanggungan kredit kepada Termohon Kasasi.

Kata Kunci : Parate Eksekusi, Hak Tanggungan, Perlindungan Hukum, Perjanjian Kredit, Hukum Jaminan.

Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.


(6)

v

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya yang tak terkira, alhamdulillahi rabbil ‘alamin tiada henti diucapkan karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Selawat serta salam semoga selalu

tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan Nabi Muhammad SAW.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,

tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang maksimal. Banyak hal

yang tidak dapat dihadirkan di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan

waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam

penulisan.

Selama proses penulisan skripsi ini sangat disadari bahwa banyak hal tidak

terlepas dari bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, serta

para wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu


(7)

vi

waktunya untuk memberikan bimbingan hingga skripsi ini selesai.

4. Bapak Nahrowi, S.H., M.H., dosen pembimbing akademik dari semester satu

hingga akhir perkuliahan.

5. Semua dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan

dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT

senantiasa membalas jasa-jasa mereka serta menjadikan semua kebaikan ini

sebagai amal jariyah untuk mereka semua.

6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna

menyelesaikan skripsi ini.

7. Orangtua tercinta bapak Dr. H. Mardani Ali Sera M.Eng dan ibu Hj. Siti Oniah

S.Pd serta kakak dan adik-adik penulis, Abdurrahman Harits, Asad Izzuddin

Zaki, Qonita Mumtahanah, Azimah, Siti Raina Hajida, Muhammad Adib

Zahidi, Abidah Shabira dan Muhammad Ibrahim Hafy serta suami tercinta

Wijaya S.T berkat doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah diberikan dengan

tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan


(8)

vii

Nya Icha, Sri, Endang, Ida, Shinta, Tami, Hilda, Fanny, Novita, Ummu dan

lainnya yang tidak bisa disebutkan, yang telah memberikan segala dukungan

dan hiburan kepada penulis, sehingga penulis selalu optimis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materiil

sampai detik ini penulis panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan yang

berlipat dan menjadikannya amal yang tidak pernah berhenti mengalir hingga hari

akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis

khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa

memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok. Aamiin.

Jakarta, 23 September 2015


(9)

viii

LEMBAR PERNYATAAN………...ii

ABSTRAK………...iii

KATA PENGANTAR……….…...iv

DAFTAR ISI………...vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah………...6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………...7

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu...8

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual...…...9

F. Metode Penulisan...………...11

G. Sistematika Penulisan...………...14

BAB II JAMINAN DAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian ...………...……...16

B. Tinjauan Umum tentang Hukum Jaminan ...24

C. Jaminan dalam Perjanjian Kredit Perbankan ...30

BAB III PARATE EKSEKUSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR A. Hak Tanggungan di Indonesia ...38


(10)

ix

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1993K/Pdt/2012

A. Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1993K/Pdt/2012 ... 59

B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara pada Putusan Mahkamah

Agung Nomor 1993K/Pdt/2012 ...………... 66 C. Analisis Penulis Mengenai Kesesuaian antara Putusan Mahkamah Agung

Nomor 1993K/Pdt/2012 dengan Peraturan Perundang-undangan yang

Berlaku ...69

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ...………..……... 74

B. Saran ...………...………... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Bank merupakan lembaga perantara keuangan (financial intermediary) yang mempunyai kegiatan pokok menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang kemudian menyalurkan dana

tersebut kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman. Hal ini sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyatakan

bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan

taraf hidup masyarakat (rakyat banyak).1

Untuk lebih meningkatkan peranan perbankan dalam pembangunan di

Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini mengeluarkan kebijaksanaan dalam

dunia perbankan, salah satunya yaitu pelaksanaan pemberian kredit.

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan, menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu

1 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), h. 7


(12)

tertentu dengan pemberian bunga. Peraturan pelaksanaan pemberian kredit

oleh bank dikenal dengan sebutan manajemen perkreditan bank. Manajemen

perkreditan bank adalah kegiatan mengatur pemanfaatan dana-dana bank,

supaya produktif, aman dan giro wajib minimalnya tetap sehat. Termasuk

kegiatan di dalamnya yaitu perencanaan, alokasi dan kebijaksanaan

penyaluran kreditnya.2

Pemberian fasilitas kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit

oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa resiko, resiko mungkin saja terjadi

khususnya karena debitur tidak wajib membayar utangnya secara lunas atau

tunai, melainkan diberi kepercayaan oleh undang-undang dalam perjanjian

kredit untuk membayar belakangan serta secara bertahap atau mencicil.

Resiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam

pelunasan kredit (resiko kredit), resiko yang timbul karena pergerakan pasar

(resiko pasar), resiko karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya

yang telah jatuh tempo (resiko likuiditas), serta resiko karena adanya

kelemahan aspek yuridis yang disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan

peraturan perundang-undangan yang mendukung (resiko hukum).3

Dalam praktik perbankan masalah jaminan menjadi penting karena

jaminan merupakan perlindungan bagi kreditur seperti Bank, selain itu

penyerahan jaminan juga berkaitan dengan kesungguhan debitur untuk

memenuhi kewajibannya dalam melunasi kredit, mengantisipasi resiko yang

2

Malayu S. P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), h. 88 3 Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), h. 2


(13)

mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit

yang diberikan oleh Bank, sehingga dapat digarisbawahi bahwa lembaga

jaminan bertugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit.4

Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang

menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun

yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian

hari menjadi tanggungan bagi semua perikatan perseorangan.

Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit didasarkan pada

pertimbangan tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif

tinggi. Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan dianggap paling efektif dan

aman yakni tanah dengan jaminan Hak Tanggungan. Hal itu didasari adanya

kemudahan dalam mengidentifikasi obyek Hak Tanggungan, jelas dan pasti

eksekusinya, di samping itu hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan

harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainnya dengan uang hasil

pelelangan tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan. Pemanfaatan

lembaga eksekusi Hak Tanggungan dengan demikian merupakan cara

percepatan pelunasan piutang agar dana yang telah dikeluarkan itu dapat

segera kembali kepada kreditur (Bank), dan dana tersebut dapat digunakan

dalam perputaran roda perekonomian.

4 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1978), h. 29


(14)

Dalam kaitannya dengan alternatif pelunasan piutang kreditur, maka

berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan, beberapa alternatif

pelunasan piutang adalah melalui beberapa cara sebagai berikut:

1. Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual

objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan

umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan

tersebut. Hal ini disebut parate executie;

2. Dengan menggunakan titel eksekutorial melalui fiat ketua pengadilan

negeri dengan menggunakan ketentuan Pasal 224 HIR / 258 Rbg

tentang grosse akta;

3. Dengan cara penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan

kedua belah pihak untuk mendapatkan harga penjualan yang lebih

tinggi.

Alternatif pelunasan piutang kreditur dalam Undang-Undang Hak

Tanggungan menggambarkan bahwa eksekusi Hak Tanggungan mudah dan

pasti. Seperti parate eksekusi memiliki arti bahwa pemegang Hak

Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak

Tanggungan dan juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan

setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang

menjadi jaminan debitur dalam hal debitur cidera janji. Pemegang Hak

Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor

Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang


(15)

sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang diutamakan

yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat

lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan.5

Namun demikian, dalam praktiknya segala kemudahan dan kelebihan

parate ekskusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak

Tanggungan tersebut tidak selamanya dapat dimanfaatkan oleh bank sebagai

alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang dijamin dengan Hak

Tanggungan. Banyak faktor permasalahan yang menyebabkan proses parate

eksekusi Hak Tanggungan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana

mestinya. Faktor permasalahan tersebut meliputi berbagai hal, antara lain

adalah ketidaksesuaian substansi hukum Undang-Undang Hak Tanggungan

yang mengatur tentang parate eksekusi Hak Tanggungan itu sendiri, tindakan

dan paradigma dari aparat penegak hukum, serta budaya hukum yang ada

pada masyarakat termasuk juga paradigma debitur sebagai pihak terseksekusi

Hak Tanggungan.6

Sebagaimana tercantum dalam kasus yang diangkat Penulis dan telah

diputus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1993 K/Pdt/ 2012 pada 11

Juli 2013, Penggugat Neni Tarina Lavau selaku Direktur CV. Feralex

Indonesia mendapat fasilitas kredit sebesar Rp 580.000.000,00 sebagaimana

5

ST. Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang

Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), (Bandung: Alumni, 1999), h. 46

6 Yordan Demesky, “Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di PT Bank Permata TBK”, (Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2011), h. 4-5


(16)

tertuang dalam Akta Perjanjian Kredit No. 53 dihadapan Notaris Osrimami

S.H. tanggal 21 Desember 2004 namun menunggak pembayaran kreditnya

pada September 2006 dan menggugat PT Bank Danamon Indonesia Kantor

Cabang Jakarta Danau Sunter sebagai Tergugat 1 karena harga lelang aset

yang diagunkan dijual dengan harga yang sangat murah sehingga

menyebabkan kerugian materiil bagi Penggugat.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, Penulis

tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan Parate Eksekusi

Hak Tanggungan yang dilakukan oleh bank dalam rangka menyelesaikan

kredit bermasalah, maka dalam penelitian hukum ini Penulis menyusun

penulisan Skripsi dengan judul PARATE EKSEKUSI HAK

TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KREDITUR (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1993 K/Pdt/2012).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan parate eksekusi dalam Hukum Jaminan,

maka pokok pembahasan skripsi ini hanya menyangkut pada parate

eksekusi Hak Tanggungan sebagai perlindungan hukum terhadap kreditur

dengan analisis putusan Mahkamah Agung nomor 1993 K/Pdt/2012.

2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan


(17)

a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara pada

putusan Mahkamah Agung nomor 1993K/Pdt/2012?

b. Sesuaikah putusan Mahkamah Agung nomor 1993K/Pdt/2012

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang harus di capai oleh penulis dalam melakukan

analisis dan pengkajian tentang judul topik tersebut di atas adalah sebagai

berikut:

a. Untuk mengkaji apa landasan yang digunakan hakim sebagai

pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung nomor

1993K/Pdt/2012.

b. Untuk mengetahui sesuai atau tidak putusan Mahkamah Agung

nomor 1993K/Pdt/2012 dengan peraturan perundangan-undangan

yang berlaku.

c. Untuk setidaknya dapat berkontribusi sebagai data sekunder dalam

penelitian mengenai parate eksekusi hak tanggungan diwaktu

mendatang.

2. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik

manfaat secara teoritis maupun praktis.


(18)

Memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu Hukum Jaminan

khususnya mengenai pelaksanaan parate eksekusi dalam Hak

Tanggungan.

b. Secara Praktis

Dapat bermanfaat bagi penegak hukum yang ingin memahami lebih

tentang parate eksekusi dalam Hak Tanggungan. Selain itu, dapat

digunakan sebagai tambahan pemikiran dalam bentuk data

sekunder dengan permasalahan yang sama.

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Adapun tinjauan kajian terdahulu yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Buku yang menjadi kajian review dalam penulisan penelitian ini yaitu buku yang berjudul “Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai

Undang-Undang Hak Tanggungan”, diterbitkan oleh penerbit Alumni, Bandung tahun 1999. Pada buku ini menjelaskan secara komprehensif

dan intensif tentang Hak Tanggungan yang meliputi mulai dari

asas-asas Hak Tanggungan sampai eksekusi Hak Tanggungan.

2. Skripsi program studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang disusun oleh Martha Noviaditya, NIM

E0006170 pada tahun 2010 dengan judul “Perlindunganِ Hukumِ

Bagi Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak


(19)

hukum bagi kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak

tanggungan.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Teori yang digunakan dalam kasus ini adalah teori perlindungan

hukum oleh Philipus M. Hadjon, dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers”.7

Dari pendapat di atas bisa ditarik bahwa perlindungan hukum berasal dari

kata rechtbescherming dalam bahasa Belanda.

Adanya hubungan hukum yang terjadi antara kreditur dan debitur

menciptakan adanya perlindungan hukum bagi keduanya dengan saling

tidak mengurangi perlindungan hukum dari tiap pihak.

Hans Kelsen mengemukakan dalam teorinya mengenai

pertanggungjawaban bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum

terhadap suatu perbuatan tertentu atau karena ia memikul tanggung jawab

hukum tersebut yang berarti ia bertanggung jawab apabila ia melakukan

suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.8

Subekti mengemukakan bahwa:9

7

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 1

8

Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar

Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Penerjemah Somardi (Jakarta: BEE Media Indonesia, 2013), h. 95

9


(20)

Eksekusi berasal dari kata “executie” yang artinya melaksanakan

putusan hakim (ten uitvoer legging van vonnissen). Di mana maksud eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan

bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam pengetian yang lain; eksekusi

putusan perdata secara paksa sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia

melaksanakan secara sukarela.

2. Kerangka Konseptual

Untuk memberikan arah atau pedoman yang jelas dalam penelitian ini,

maka perlu memahami definisi-definisi berikut:

1. Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan

dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak

jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain

yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

2. Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan

utang-piutang tertentu.

3. Debitur adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan


(21)

4. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang

diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah,

akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa

membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

5. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah akta PPAT yang

berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai

jaminan untuk pelunasan piutangnya.

6. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di

wilayah kabupaten, kotamadya, atau wilayah administratif lain yang

setingkat, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan

pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.

7. Parate Eksekusi ialah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses

pengadilan.

8. Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak

asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut

diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua

hak-hak yang diberikan oleh hukum.

F. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum

normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti


(22)

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum

tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu

kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan yang meliputi penelitian terhadap hukum, sumber-sumber hukum, atau peraturan

perundang-undangan yang bersifat teoritis dan dapat digunakan untuk menganalisa

permasalahan yang akan di bahas secara benar. Pendekatan kasus

dilakukan dengan cara menelaah kasus terkait dengan isu yang dihadapi

dan telah menjadi putusan berkekuatan hukum tetap. Di harapkan adanya

pemahaman terhadap konsep hak tanggungan beserta aturan-aturannya

yang mengikat para pihak terutama debitur agar tidak terjadi perbuatan

melawan hukum/pelanggaran hukum.

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat otoritatif.

Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak yang

berwenang. Badan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan.10

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

10 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 141


(23)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Terdiri dari buku-buku teks, jurnal

hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan

perlindungan hukum terhadap kreditur dan parate eksekusi hak

tanggungan.

4. Analisa Data

Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder di klasifikasikan sesuai isu hukum yang

akan di bahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk

mendapatkan penjelasan yang sistematis.

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penulisan ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.


(24)

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini peneliti membahas dan menguraikan

permasalahan yang terbagi dalam 5 (lima) bab, dengan maksud untuk

menjelaskan dan menguraikan setiap permasalahan dengan baik. Adapun

bab-bab yang penulis maksud adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan memuat secara keseluruhan mengenai latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis dan

konseptual, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II JAMINAN DAN KREDIT PERBANKAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum tentang

perjanjian, tinjauan umum tentang hukum jaminan dan

jaminan dalam perjanjian kredit perbankan.

BAB III PARATE EKSEKUSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP KREDITUR

Pada bab ini akan dibahas mengenai hak tanggungan di

Indonesia, tinjauan umum tentang eksekusi hak tanggungan

dan parate eksekusi sebagai perlindungan hukum terhadap

kreditur.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR


(25)

Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan pertimbangan

hakim dalam memutus perkara dan analisis penulis

mengenai kesesuaian antara putusan Mahkamah Agung

nomor 1993K/Pdt/2012 dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan


(26)

16 BAB II

JAMINAN DAN KREDIT PERBANKAN

A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian. 1. Pengertian Perjanjian

Hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa

Belanda, yaitu istilah verbintenis dan overeenkomst diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pengertian perjanjian itu sendiri dimuat di dalam Pasal

1313 yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih. Dalam menerjemahkan istilah verbintenis dan overeenkomst dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang luas, sehingga menimbulkan

perbedaan dan beragam pendapat dari pada sarjana hukum.1

Subekti mengemukakan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa

dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang

itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian ini

menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.2

Sedangkan menurut Salim HS, perjanjian adalah hubungan hukum

antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta

kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan

1

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional (Bandung: Alumni 1986), h. 3 2


(27)

begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan

prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.3

Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian di atas, dapat

disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua

pihak, dimana kedua belah pihak tersebut telah sepakat untuk

menimbulkan suatu akibat hukum. Adapun yang dimaksud dengan

prestasi adalah menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan

dan tidak melakukan suatu perbuatan. Perjanjian itu sendiri bisa berupa

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji yang diucapkan atau

ditulis.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat unsur-unsur yang

tercantum dalam kontrak, yaitu:4

1. Adanya hubungan hukum.

Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan

akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.

2. Adanya subjek hukum.

Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subjek dalam

hukum perjanjian termasuk subjek hukum yang diatur dalam

KUH Perdata, sebagai mana diketahui bahwa hukum perdata

mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu

manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian

3

Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 27

4


(28)

menurut hukum perdata bukan hanya manusia secara individual

ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas.

3. Adanya prestasi.

Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk

memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat

sesuatu.

4. Di bidang harta kekayaan.

Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau

lebih pelaku bisnis dituangkan dalam bentuk tertulis dan

kemudian ditandatangani oleh para pihak. Dokumen tersebut

disebut sebagai kontrak bisnis atau kontrak dagang.

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata yang mengemukakan empat syarat, yaitu:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

3. Adanya suatu hal tertentu.

4. Adanya sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua

syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat

terakhir merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari


(29)

Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan

perjanjian tersebut bersepakat atas hal-hal yang diperjanjikan.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang

adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh

undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH

Perdata lebih lanjut menyatakan semua orang berwenang untuk

membuat perjanjian atau kontrak kecuali mereka yang masuk ke

dalam golongan:

1. Orang belum dewasa.

2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan.

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh

undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada

siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri

dapat melakukan perbuatan hukum sesuai dengan Pasal 31

ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA

No. 3 Tahun 1963.

3. Adanya suatu hal tertentu.

Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang


(30)

jelas. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang

yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok

perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu

perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling

sedikit dapat ditentukan jenisnya.

4. Adanya sebab yang halal.

Menurut undang-undang sebab yang halal adalah jika tidak

dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan dalam

Pasal 1337 KUH Perdata.

Selain itu, Al – Quran juga menegaskan pada surat Al-Maidah ayat 1 tentang keharusan memenuhi perjanjian yang halal:

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.”

Mengernai firman-Nya

اوف ْوأ

ِدوقعْلاب

“Penuhilah akad-akad itu,” Ibnu „Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan aqad adalah perjanjian.” Ibnu Jarir juga menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan


(31)

“Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang lainnya.”5

Dengan kata lain, selain butuh kesepakatan perjanjian juga

membutuhkan sebab yang halal sehingga dapat terlaksana. Jika

perjanjian sudah dilandaskan dengan sebab yang halal, maka

perjanjian tersebut haruslah dipenuhi secara keseluruhan.

Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan

apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah dipenuhi, maka

melihat pada Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai

kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang.

3. Asas-Asas dalam Perjanjian

Asas-asas yang terdapat dalam perjanjian, terdiri dari:

a. Asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal

1338 KUH Perdata yang berbunyi:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dari pasal tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa pada

dasarnya setiap orang boleh membuat suatu perjanjian secara bebas

yang berisi dan berbentuk apapun, asal tidak bertentangan dengan

undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Adapun

5

Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahman Bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), h. 2


(32)

kebebasan untuk membuat perjanjian itu terdiri dari beberapa hal

yaitu:

a. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan

perjanjian.

b. Bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja.

c. Bebas untuk menentukan isi perjanjian yang dibuatnya.

d. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan terhadap hukum mana

perjanjian itu akan tunduk.

b. Asas konsensualisme

Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata

konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Hal ini menjelaskan bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak

saat tercapainya konsensus atau kesepakatan yang bebas antara para

pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini mempunyai arti yang

terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup

dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari

perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat

tercapainya kesepakatan.

c. Asas kekuatan mengikat hukum.

Berdasarkan asas ini kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan


(33)

apa yang telah mereka sepakati, sehingga perjanjian itu berlaku

sebagai undang-undang.

d. Asas itikad baik.

Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, seperti

yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Jadi dalam

perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan

hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata

perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh

itikad baik.

e. Asas kepribadian (personality)

Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak

secara personal, tidak mengikat pihak-pihak lain yag tidak

memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili

dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat

perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku

bagi mereka yang membuatnya. Hal ini tercantum dalam Pasal 1315

dan 1340 KUH Perdata.

4. Berakhirnya Perjanjian

Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan itu telah

tercapai, dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang

diperjanjikan sebagaimana yang merupakan kehendak bersama dalam


(34)

seperti yang disebutkan di atas, terdapat beberapa cara lain untuk

mengakhiri perjanjian, yaitu:6

1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya dalam

perjanjian itu telah ditentukan batas berakhirnya perjanjian dalam

waktu tertentu.

2. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya

Pasal 1250 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hak membeli

kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu tertentu yaitu

tidak boleh lebih dari 5 tahun.

3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan

terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir.

Misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian

akan menjadi hapus (Pasal 1603 KUH Perdata) yang menyatakan

bahwa perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh.

4. Karena persetujuan para pihak.

5. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua

belah pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian bersifat

sementara.

6. Berakhirnya perjanjian karena putusan hakim.

7. Tujuan perjanjian sudah tercapai.

8. Karena pembebasan utang.

B. Tinjauan Umum tentang Hukum Jaminan

6 Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata (Jakarta: PT RajaGrafinfo Persada, 2006), h. 387


(35)

1. Istilah dan Pengertian Hukum Jaminan

Istilah hukum jaminan berasal dari kata zakerheidesstelling,

zekerheidsrechten atau security of law. Dalam keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di

Yogyakarta menyimpulkan bahwa istilah hukum jaminan itu meliputi

pengertian baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.

Menurut M. Bahsan, hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan

yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang

piutang (pinjaman uang) yang tedapat dalam berbagai peraturan

perundang-undangan yang berlaku saat ini.7 Sementara itu, Salim HS

memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan

kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima

jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapat

fasilitas kredit.8

Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah:9

1. Adanya kaidah hukum.

Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan

menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan

7

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 3

8

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 6

9


(36)

kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan

tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan, traktat dan yurisprudensi.

Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah

kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup dan berkembang

dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam

masyarakat yang dilakukan secara lisan.

2. Adanya pemberi dan penerima jaminan.

Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badah hukum yang

menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang

bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan

hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim

disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau

badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi

jaminan. Yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah

orang atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang

memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan

atau lembaga keuangan non-bank.

3. Adanya jaminan.

Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur

adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil


(37)

jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan

imateriil merupakan jaminan non-kebendaan.

4. Adanya fasilitas kredit.

Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan

bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau

lembaga keuangan non-bank. Pemberian kredit merupakan

pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau

lembaga keuangan non-bank percaya bahwa debitur sanggup

untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu

juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan

non-bank dapat memberikan kredit kepadanya.

2. Sumber Pengaturan Hukum Jaminan

Adapun yang menjadi sumber hukum jaminan tertulis adalah sebagai

berikut:10

a. Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk

Pemerintah Hindia Belanda, yang diundangkan pada tanggal 1 Mei 1848.

Diberlakukan di Indonesia atas dasar asas konkordansi. KUH Perdata

terdiri atas 4 buku, yaitu Buku I tentang Orang, Buku II tentang Hukum

Benda, Buku III tentang Perikatan, dan Buku IV tentang Pembuktian dan

Kadaluarsa. Jaminan-jaminan yang masih berlaku dalam Buku II KUH

Perdata hanyalah gadai (pand) dan hipotek kapal laut sedangkan atas

10


(38)

tanah tidak berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Gadai diatur di dalam Pasal

1150 sampai dengan 1160 KUH Perdata. Sedangkan hipotek diatur

dalam Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUH Perdata.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

KUH Dagang diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23. KUH Dagang terdiri

atas 2 buku, yaitu Buku I tentang Dagang pada Umumnya dan Buku II

tentang Hak-Hak dan Kewajiban yang Timbul dalam Pelayaran. Pasal

yang erat kaitannya dengan jaminan hipotek kapal laut adalah Pasal 314

sampai dengan 316 KUH Dagang.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

Ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan jaminan adalah Pasal 51

dan Pasal 57 UUPA.

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Undang-undang ini mencabut berlakunya hipotek sebagaimana yang

diatur dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah dan

ketentuan mengenai Credietverband dalam Stb. 1937-190 adalah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan sehubungan dengan

perkembangan tata perekonomian Indonesia.

e. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

f. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.


(39)

Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan maupun kajian terhadap berbagai

literatur tentang jaminan, maka ditemukan 5 asas penting dalam hukum

jaminan, sebagaimana dipaparkan berikut ini:11

1. Asas Publiciet

Asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia dan hipotek

harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga

dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan

pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan

Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran jaminan fidusia

dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup

seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran

hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftaran dan pencatat

balik nama, yaitu Syahbandar;

2. Asas Specialitet

Yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotek hanya dapat

dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas

nama orang tertentu.

3. Asas tak dapat dibagi-bagi.

11


(40)

Asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat

dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek dan hak gadai walaupun

telah dilakukan pembayaran sebagian.

4. Asas inbeziittstelling.

Barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai.

5. Asas horizontal.

Bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat

dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah

hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi

tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.

C. Jaminan dalam Perjanjian Kredit Perbankan. 1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Latin credere yang berarti kepercayaan (dalam bahasa Inggris faith dan trust). Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit, lazimnya

bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitor (nasabah, penerima

kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dengan

syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan

(membayar kembali) kredit yang bersangkutan.12

Kredit pada masa sekarang bukanlah menjadi hal yang baru. Kredit

telah menjadi model perjanjian yang lazim di masyarakat terutama dalam

hal jual beli. Konsep dari kredit tersebut adalah memberikan pinjaman

12 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 236


(41)

uang untuk digunakan oleh seseorang yang kemudian dikembalikan

setelah waktu tertentu beserta bunganya. Pemberian pinjaman tersebut

umumnya digunakan untuk modal usaha. Pemberian kredit ini dapat

dilakukan dengan atau tanpa jaminan, yang mana berupa hipotek, gadai,

hak tanggungan dan fidusia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah sebagai berikut:

“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa pemberian

kredit adalah salah satu bentuk penyaluran dana. Berdasarkan ketentuan

UU Perbankan tersebut maka secara yuridis dapat dirinci dan dijelaskan

unsur-unsur kredit adalah sebagai berikut:13

1. Penyediaan uang sebagai hutang oleh pihak bank;

2. Tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang sebagai

pembiayaan, misalnya pembiayaan pembuatan rumah atau

pembelian kendaraan;

3. Kewajiban pihak peminjam (debitur) melunasi hutangnya menurut

jangka waktu disertai pembayaran bunga;

13 Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan


(42)

4. Berdasarkan persetujuan pinjam meminjam uang antara bank dan

peminjam (debitur) dengan persyaratan yang disepakati bersama.

Sementara untuk perjanjian kredit, perjanjian ini adalah jenis

perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Perjanjian kredit

merupakan suatu bentuk perjanjian yang berkembang dalam masyarakat,

sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338

KUH Perdata. Pada hakikatnya, perjanjian kredit merupakan bentuk

perjanjian pinjam meminjam, dalam hal ini adalah pinjam meminjam

uang. Perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam KUH Perdata

didefinisikan sebagai suatu perjanjian dengan ana pihak yang satu

memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang

yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang

belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam

dan keadaan yang sama pula.

2. Asas-Asas Pemberian Kredit

Pemberian kredit oleh bank kepada nasabah atau debitur tentunya

memiliki asas atau prinsip. Pada dasarnya ada 2 prinsip utama yang

menjadi pedoman dalam pemberian kredit, yaitu:14

1. Prinsip kepercayaan.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank

kepada nasabah debitur selalu didasarkan pada kepercayaan. Bank

mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat

14 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 61


(43)

bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukannya, dan terutama

sekali bank percaya nasabah debitur yang bersangkutan mampu

melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah

ditentukan.

2. Prinsip kehati-hatian.

Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian

kredit kepada nasabah debitur harus selalu berpedoman dan

menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan

dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik

terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan.

3. Bentuk Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan kesepakatan para pihak, dengan demikian

maka bentuknya juga tergantung kepada para pihak yang mengikatkan

dirinya dalam perjanjian. Suatu perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan

atau tertulis, asalkan pada pokoknya telah memenuhi syarat-syarat dalam

membuat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Praktik yang lazim pada masyarakat sekarang dalam membuat

perjanjian kredit adalah secara tertulis. Hal ini dikarenakan dari sudut

pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat

pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Berbeda dengan

perjanjian yang dibuat secara tertulis, yang lebih memudahkan para pihak


(44)

para pihak. Namun bagaimanapun, perjanjian kredit yang dibuat secara

lisan tetap diakui sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dapat

dibuktikan dengan baik oleh para pihak.

Dalam praktik bank dan juga dalam kamus hukum ada dua bentuk

perjanjian kredit yang tertulis, yaitu:

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dinamakan akta di

bawah tangan. Akta di bawah tangan ini sesuai dengan Pasal 1874

KUH Perdata adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak

tidak melalui perantara pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk

dijadikan alat bukti. Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat di

antara para pihak sendiri dikategorikan sebagai akta di bawah tangan.

2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris, dinamakan

akta otentik atau akta notariil. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata, akta

otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai yang

berkuasa (pegawai umum) untuk itu, tempat dimana akta dibuatnya.

Perjanjian kredit saat ini lazimnya sudah menggunakan akta notariil.

4. Penggolongan Jaminan Kredit Bank

Jaminan kredit yang diatur secara khusus dalam praktik dunia

perbankan terdiri dari:15

1. Jaminan perorangan.

15 Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah (Yogyakarta: Pustaka Yudisia, 2010), h. 68


(45)

Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 KUH Perdata disebut sebagai

penanggungan utang. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jaminan

perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna

kepentingan pihak si berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk

memenuhi perikatan si berutang manakala orang tersebut tidak

memenuhinya. Pelaksanaan perjanjian selalu dibuat oleh pihak ketiga yang

menjamin terpenuhnya kewajiban membayar kredit tersebut, baik

diketahui maupun tidak diketahui oleh debitur.

2. Jaminan kebendaan.

Mengingat Pasal 8 UU Perbankan, yang berbunyi:

a. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan

analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta

kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau

mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang

diperjanjikan.

b. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman

perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai

dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

Menurut UU Perbankan, jaminan dan agunan merupakan dua unsur

yang berbeda. Jaminan pokok merupakan keyakinan, sedangkan jaminan

tambahan adalah sesuatu yang dapat menguatkan keyakinan bank, yaitu


(46)

jaminan kebendaan merupakan jaminan tambahan. Jaminan tambahan

tersebut dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai

dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan

pada hukum adat yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik,

petuk dan lain-lain yang sejenis dapat juga digunakan sebagai agunan.

Bank tidak wajib meminta agunan barang yang berkaitan langsung dengan

objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.

5. Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda

antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang

sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan

memenuhi tuntutan itu.16 Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah

perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank

dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka

sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam

perjanjian pinjam pengganti.

Banyak hal mengenai perjanjian kredit yang dapat dikaitkan dengan

ketentuan hukum jaminan. Salah satunya adalah penerapan Pasal 1131 KUH

Perdata yang mengatur tentang kedudukan harta seorang yang berutang untuk

menjamin utangnya. Ketentuan Pasal 1131 ini dipatuhi pada saat bank

melakukan penilaian calon nasabah dan ketika melakukan penanganan kredit

bermasalah debitur.


(47)

Sehubungan dengan itu hukum jaminan sangat berkaitan dengan kegiatan

perbankan, terutama dalam perjanjian kredit. Dapat disimpulkan bahwa laju

pertumbuhan roda ekonomi saat ini penerapan hukum jaminan banyak


(48)

38 BAB III

PARATE EKSEKUSI DAN PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP KREDITUR

A. Hak Tanggungan di Indonesia 1. Pengertian Hak Tanggungan

Adapun yang dimaksud dengan Hak Tanggungan atas tanah beserta

benda-benda yang berkaitan dengan tanah, selanjutnya disebut Hak

Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut

benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk

pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.1

Definisi tersebut mengadung pengertian bahwa Hak Tanggungan

adalah identik dengan hak jaminan, yang bilamana dibebankan atas tanah

Hak Milik, tanah Hak Guna Bangunan dan/atau tanah Hak Guna Usaha

memberikan kedudukan utama kepada kreditur-kreditur tertentu yang akan

menggeser kreditur lain dalam hal si berutang (debitur) cidera janji atau

wanprestasi dalam pembayaran hutangnya, dengan perkataan lain dapat

dikatakan bahwa pemegang hak tanggungan pertama lebih preferent

1 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2006), h. 52


(49)

terhadap kreditur-kreditur lainnya. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam

Pasal 6 UUHT, yang mengatakan apabila debitur cidera janji

(wanprestasi), pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk

menjual objek hak tanggungan atas kekuasaannya sendiri melalui

pelelangan umum, serta mengambil hasil penjualan objek hak tanggungan

tersebut untuk pelunasan utangnya.

2. Prinsip-Prinsip Hak Tanggungan

Dalam kaitannya dengan Hak Tanggungan berikut adalah prinsip

hukum jaminan yang mendasari Prinsip-Prinsip Hak Tanggungan, yaitu:2

a. Prinsip absolut/mutlak.

Jaminan dengan hak kebendaan mempunyai sifat absolut, artinya

hak ini dapat dipertahankan setiap orang. Pemegang hak tersebut

berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya.

b. Prinsip droit de suite.

Hak kebendaan itu mempunyai zaakzgevolg atau droit de suite

yang artinya hak itu terus mengikuti bendanya di manapun juga

(dalam tangan siapaun juga) barang itu berada.

c. Prinsip droit de preference.

Pada prinsipnya hak jaminan kebendaan memberikan kedudukan

didahulukan bagi kreditur pemegang hak jaminan terhadap

kreditur lainnya.

d. Prinsip spesialitas.

2

Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam Undang-Undang Hak Tanggungan), Cetakan II (Yogyakarta: LaksBang PRESsindo, 2008), h. 270


(50)

Prinsip ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat

dibebankan atas tanah yang ditentukan secara spesifik,

sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 8 dan Pasal 11 ayat

(1) huruf (e) Undang-Undang Hak Tanggungan.

e. Prinsip publisitas.

Terhadap Hak Tanggungan berlaku prinsip publisitas atas prinsip

keterbukaan. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Hak

Tanggungan dinyatakan bahwa “pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Pendaftaran ini merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan

mengikatnya Hak Tanggungan tersebut terhadap pihak ketiga.

3. Ciri dan Sifat Hak Tanggungan

Ciri dari Hak Tanggungan adalah:3

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada

pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference. 2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun

objek itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996. Biarpun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya

kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap

masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika

debitur cidera janji.

3


(51)

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat

pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang

berkepentingan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan

kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

Di samping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga

memiliki beberapa sifat seperti:4

1. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi

Maksud dari hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu hak

tanggungan membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian

daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak

membebaskan sebagian objek dari beban hak tanggungan. Hak

tanggungan yang bersangkutan tetap membebani seluruh objek untuk

sisa utang yang belum dilunasi.

Akan tetapi seiring berkembangnya kebutuhan akan perumahan,

ketentuan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yaitu dalam

hal suatu proyek perumahan atau rumah susun ingin diadakan

pemisahan. Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan, maka

ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan membuka kesempatan menyimpangi sifat

4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cet.


(52)

tersebut, jika hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas

tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan angsuran

sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian

dari objek hak tanggungan yang akan dibebaskan dari hak tanggungan

tersebut.

2. Hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir.

Hak tanggungan diberikan untuk menjamin pelunasan hutang

debitur kepada kreditur, oleh karena itu hak tanggungan merupakan

perjanjian accesoir pada suatu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang sebagai perjanjian pokok. Kelahiran,

eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir dan hapusnya hak tanggungan

dengan sendirinya ditentukan oleh peralihan dan hapusnya piutang

yang dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu piutang tertentu yang

secara tegas dijamin pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan

ada hak tanggungan.

4. Objek dan Subjek Hak Tanggungan

Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan menyebutkan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani

dengan Hak Tanggungan adalah:5

a. Hak Milik;

b. Hak Guna Usaha;

c. Hak Guna Bangunan.

5 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h. 146


(53)

Hak-hak atas tanah seperti ini merupakan hak-hak yang sudah dikenal

dan diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.

Namun selain hak-hak tersebut, ternyata dalam Pasal 4 ayat (2) UUHT ini

memperluas hak-hak tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang selain

hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

UUHT, objek hak tanggungan dapat juga berupa:

a. Hak pakai atas tanah negara. Hak pakai atas tanah negara yang

menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut

sifatnya dapat dipindahtangankan dan dibebani dengan hak

tanggungan;

b. Begitu pula dengan Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan

Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan negara

(Pasal 27 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang

Rumah Susun) juga dimasukkan dalam objek Hak Tanggungan.

Bahkan secara tradisional dari hukum adat memungkinkan

bangunan yang ada diatasnya pada suatu saat diangkat atau

dipindahkan dari tanah tersebut.

Mengenai subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal

9 UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang

menjadi subjek hukum dalam hak tanggungan adalah subjek hukum yang


(54)

perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu

sebagai berikut:6

a. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan

hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan

hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat pendaftaran hak

tanggungan itu dilakukan;

b. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan

hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan

pelunasan atas piutang yang diberikan.

5. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

Pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui 2 tahap kegiatan

yaitu:7

a. Pemberian Hak Tanggungan.

Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk

memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang

tertentu yang dituangkan dengan Akta Pemberian Hak

Tanggungan (APHT). APHT ini dibuat oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) yang berwenang dan ditunjuk untuk

membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta perbuatan

hukum lainnya mengenai hak atas tanah yang terletak di daerah

kerjanya.

6

Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 54 7


(55)

Pemberian Hak Tanggungan dilakukan di kantor PPAT

dengan dibuatnya APHT oleh pejabat tersebut, yang bentuk dan

isinya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria /

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.

Dalam surat Al – Baqoroh ayat 282, disebutkan mengenai pencatatan utang piutang yang terjadi. Dalam hal Hak


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

membaca dan mencermati isi memori banding tersebut ternyata tidak

terdapat hal-hal baru yang perlu dipertimbangkan...”;

”...Menimbang bahwa mengenai kontra memori banding dari Terbanding semula Tergugat yang pada pokoknya menolak alasan Pembanding dan menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama...”;

”....Menimbang, bahwa pertimbangan hukum dalam putusan Majelis Hakim tingkat pertama a quo sudah berdasarkan alasan yang tepat dan benar, oleh karenanya pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama tersebut dapat disetujui dan dijadikan dasar pertimbangan Majelis Hakim tingkat banding sendiri dalam memutus perkara ini dalam tingkat Banding;...” ”....Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 357/Pdt.G/ 2008/PN.Jkt.Ut tanggal 29 Juli 2009, yang dimohonkan banding tersebut dapat dipertahankan dan dikuatkan...”;

”...Menimbang, bahwa oleh karena Pembanding semula Penggugat berada dipihak yang kalah, maka ia dihukum untuk membayar ongkos perkara dalam kedua tingkat pengadilan....”;

Bahwa jelas argumentasi dan pertimbangan hakim (“Judex Facti”) Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 310/PDT/2010/PT.JKT., tidak sesuai dengan tiga lapisan argumentasi hukum yang rasional (drie nieveus van rationele juridische argumentatie) yaitu: (a) lapisan logika: struktur intern argumentasi; (b) lapisan dialektik perbandingan pro-kontra (prokon) argumentasi; dan (c) lapisan prosedur (hukum acara);

i Bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum pada Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 310/PDT/2010/PT.JKT. Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 357/PDT.G/2008/PN.Jkt Ut (”Judex Facti”) sebagaimana yang Pemohon Kasasi uraikan dalam point (h) memori kasasi, terungkap bahwa Majelis Hakim tingkat kedua tidak menerapkan dan melaksanakan ketentuan undang-undang di atas.

j Bahwa Majelis Hakim tingkat kedua (Judex Facti) dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan ternyata sama sekali tidak cermat dan teliti dalam memeriksa perkara tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam pertimbangan hukumnya yang singkat tanpa mempertimbangkan dan memperbaiki kekurangan formil dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut;

Hal. 17 dari 22 hal. Put. No. 1993 K/Pdt /2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

k Bahwa atas dasar dan alasan tersebut di atas adalah dapat dibatal putusan Judex

Facti tersebut karena berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 950 K/ PDT/1987 tanggal 28 Februari 1989 dijelaskan bahwa putusan Judex Facti yang didasarkan pada pertimbangan hukum secara singkat dinilai sebagai putusan perdata yang onvoldoende gemotiveerd yang merupakan alasan untuk membatalkan putusan Judex Facti tersebut;

3 Keberatan atas putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang tidak memberikan pertimbangan hukum yang cukup (onvoldoende gemotiveerd)

l Bahwa atas dasar penerapan hukum atau melawan hukum yang salah sebagaimana dijelaskan dalam huruf (B) angka (1) serta kelalaian memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan peraturan perundang-undangan pada huruf (B) angka (2), membuat pertimbangan hukum majelis hakim, baik itu pertimbangan Majelis Hakim tingkat kedua dan pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama (”Judex Facti”) menjadi tidak cukup sehingga putusan Judex Facti menjadi tidak sempurna, sehingga berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No213/K/ AG/1999 tanggal 8 Juni 2001 putusan Judex Facti dapat dibatalkan;

m Bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (”UU Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan:

’’...Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili... ”

Dan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1974 (”SEMA No. 3/1974”) menyebutkan:

”....Dengan tidak/kurang memberikan pertimbangan/alasan, bahkan apabila alasan-alasan itu kurang jelas, sukar dapat dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain, maka hal demikian dapat dipandang sebagai suatu kelalaian dalam acara (vormverzuim) yang dapat mengakibatkan batalnya Putusan Pengadilan yang bersangkutan dalam pemeriksaan ditingkat kasasi...” n Bahwa mengacu pada Pasal 2 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dan SEMA

No. 3/1974 di atas, ternyata pertimbangan Judex Facti telah melanggar ketentuan di atas, yang tidak memberikan pertimbangan yang baik dan memadai terhadap fakta-fakta yang ada, serta dilakukan tanpa pengujian terlebih dahulu dengan bukti-bukti yang diajukan maupun ketentuan-ketentuan yang berlaku;

18

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Dengan demikian, terbukti Judex Facti tidak memberikan pertimbangan

hukum yang cukup, sehingga yurisprudensi-yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung R.I., antara lain nomor 492 K/ Sip/1970 tanggal 21 November 1970, nomor 950K/Pdt/1987 tanggal 28 Pebruari 1989 serta nomor 120K/Pdt/1986 tanggal 20 Juli 1989, maka putusan tingkat pertama dan putusan tingkat kedua harus dibatalkan;

Bahwa berdasarkan keberatan-keberatan di atas, Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding/Penggugat) dengan ini menolak Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 310/PDT/2010/PT.JKT. Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 357/ PDT.G/2008/PN.Jkt Ut (”Judex Facti”) karena jelas putusan Judex Facti tidak mempertimbangkannya bukti-bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, sehingga putusan tidak memberikan pertimbangan yang cukup dalam putusannya (onvoldoende gemotiveerd), serta telah salah dalam menerapkan hukum sehingga putusan tingkat pertama dan putusan tingkat kedua haruslah dapat dibatalkan; Bahwa alasan-alasan tersebut di atas antara lain sebagai berikut:

1 Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Jakarta No. 310/PDT/2010/ PT.JKT. Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 357/ PDT.G/2008/PN.Jkt Ut tidak memuat dan mempertimbangkan bukti-bukti serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang tentunya menjadi dasar untuk mengungkap kebenaran yang sebenar-benarnya;

2 Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Jakarta No. 310/PDT/2010/ PT.JKT. Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 357/ PDT.G/2008/PN.Jkt Ut tidak memuat dan tidak mempertimbangkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 357/PDT.G/2008/ PN.Jkt Ut, secara seluruhnya telah dijadikan Judex Facti

Pengadilan Tinggi Jakarta sebagai pertimbangannya, padahal pertimbangan

Judex Facti Pengadilan Negeri telah diberikan secara sangat keliru dan melanggar UU dalam memberikan putusannya;

3 Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Jakarta No. 310/PDT/2010/ PT.JKT. Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 357/ PDT.G/2008/PN.Jkt Ut tidak memuat dan mempertimbangkan isi memori banding dari Pemohon Kasasi (dahulu Pembanding/ Penggugat);

4 Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 310/PDT/2010/PT.JKT. dianggap tidak melakukan pemeriksaan ulang untuk semua aspek dan menyampingkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Hal. 19 dari 22 hal. Put. No. 1993 K/Pdt /2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Utara No. 357/PDT.G/ 2008/PN.Jkt Ut dan seharusnya menjadi acuan duduk

persoalan yang sebenarnya sehingga dapat dikategorikan lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

mengenai keberatan-keberatan ke 1 s/d 3:

Bahwa keberatan-keberatan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri) tidak salah dalam menerapkan hukum, pertimbangannya sudah tepat dan benar, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa prosedur pelaksanaan lelang sudah sesuai dengan Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan lelang tersebut telah berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, juga dilandasi oleh ketentuan/klausul Pasal 2 poin 4 Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) tanggal 3 Januari 2005, sehingga tidak ada alasan sah untuk dibatalkan;

Bahwa lagi pula keberatan-keberatan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Penggugat adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaiannya dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/ Penggugat Neny Tarina Lavau tersebut harus ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Penggugat ditolak, maka Pemohon Kasasi/Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;

20

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

M e n g a d i l i:

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat Neny Tarina Lavau tersebut;

Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung, pada hari Kamis, tanggal 11 Juli 2013, oleh Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, S.H., M.A., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LLM. dan Dr. H. Muhtar Zamzami, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Barita Sinaga, S.H., M.H., Panitera Pengganti, tanpa dihadiri oleh para pihak;

Hakim-Hakim Anggota; Ketua;

Ttd./ Ttd./

Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LLM. Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, S.H., M.A. Ttd./

Dr. H. Muhtar Zamzami, S.H., M.H.

Panitera Pengganti ; Ttd./

Biaya kasasi: Barita Sinaga, S.H., M.H. 1 Meterai...Rp 6.000,00

2 Redaksi... Rp 5.000,00 3 Administrasi kasasi...Rp489.000,00

Jumlah Rp500.000,00

Hal. 21 dari 22 hal. Put. No. 1993 K/Pdt /2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Untuk Salinan

Mahkamah Agung RI. a.n. Panitera Panitera Muda Perdata

Pri Pambudi Teguh, S.H., M.H. NIP. 19610313 198803 1 003

22

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id