Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU
DI KOTA BOGOR
NURUL ANISYAH DESDYANZA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penerapan
Konsep Kota Hijau di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Nurul Anisyah Desdyanza
NIM A44090052
ABSTRAK
NURUL ANISYAH DESDYANZA. Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di
Kota Bogor. Dibimbing oleh ALINDA FM ZAIN.
Perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia sangat pesat. Suatu kota pada
dasarnya merupakan cerminan dari kondisi alam, manusia, dan kebudayaan.
Aktivitas dan perkembangan kota akan menimbulkan berbagai macam
permasalahan lingkungan seperti ketidakseimbangan antara pertumbuhan kawasan
perkotaan dan peningkatan kualitas lingkungan. Kondisi seperti ini membuat kota
tidak nyaman untuk dihuni. Untuk menciptakan kota yang nyaman, aman dan
selaras dengan alam salah satu caraya adalah dengan cara menerapkan konsep
Kota Hijau. Kota Hijau merupakan suatu konsep dari kota yang sehat, yang
mempertimbangkan aspek ekologi. Dalam penelitian ini menggunakan Gap
Analysis untuk mengetahui perbandingan kondisi aktual di Kota Bogor dengan
kondisi ideal dari konsep Kota Hijau yang selanjutnya dilakukan evaluasi dengan
menggunakan metode skoring. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kota
Bogor saat ini telah memiliki rencana pengembangan dan pembangunan ke arah
kota berkelanjutan, namun penerapannya belum maksimal. Persebaran penerapan
belum merata di seluruh wilayah kota dan hasil penerapan belum dapat
menyelesaikan permasalahan perkotaan yang ada di Kota Bogor.
Kata kunci: gap analysis, kota hijau, lanskap kota
ABSTRACT
NURUL ANISYAH DESDYANZA. Evaluation of Implementation Green City
Concept in Bogor City. Supervised by ALINDA FM ZAIN.
Development of urban areas in Indonesia is very rapid. City is a reflection of local
environment condition, citizen behavior and local culture. Activity and
development of the city will cause of various environmental problems like the
imbalance between urban growth and the improvement of environmental quality.
It bring about the city become not liveable. Because of that is very important to
create a comfortable city with safety guarantee and be the one with nature by
applying the concept of green city. Green city is a concept of a healthy city,
considering ecological aspects. This research use Gap Analysis to find out the
actual condition of Bogor City and compare it with the ideal condition of green
city concept and evalauate the implementation with scoring method. The results of
this research showed that Bogor has had a city development plan towards
sustainable city, but the implementations still have not been maximized. The
implementations not been spread through the region and have not been solve the
urban problems of Bogor City.
Key words: gap analysis, green city, urban landscape
EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU
DI KOTA BOGOR
NURUL ANISYAH DESDYANZA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
Nama
: Nurul Anisyah Desdyanza
NIM
: A44090052
Disetujui oleh
Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu,
rahmat, dan hidayah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
penelitian ini. Judul skripsi yang dipilih adalah “Evaluasi Penerapan Konsep Kota
Hijau di Kota Bogor”. Skripsi penelitian ini berisi tentang hasil penelitian untuk
mengetahui pencapaian penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi selaku
pembimbing skripsi dan Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi selaku pembimbing
akademik yang sudah memberi banyak dukungan dan masukan dalam pembuatan
skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Kota
Bogor yang telah memberi izin penulis untuk mengambil data. Terimakasih juga
tidak lupa penulis sampaikan kepada orangtua yang sudah memberikan motivasi
dan doa dalam proses pembuatan penelitian ini, teman–teman ARL 46 khususnya
teman satu bimbingan (Amira, Damaria, Elsya) dan seluruh pihak yang telah
memberikan doa, bantuan serta dukungannya.
Demikian skripsi penelitian ini dibuat, semoga karya ilmiah ini bermanfaat
bagi pihak Pemerintah Kota Bogor dan pihak lain yang memerlukan.
Bogor, Maret 2014
Nurul Anisyah Desdyanza
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Kerangka Pikir Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Kota dan Masalah Lingkungan Perkotaan
4
Konsep Kota Hijau
5
Green Planning and Design
6
Green Open Space
6
Green Building
6
Green Waste
7
Green Transportation
8
Green Water
8
Green Energy
9
Green Community
9
Ruang Terbuka Kota
9
Ruang Terbuka Hijau
10
Gap Analysis
10
Perencanaan Lanskap
11
METODOLOGI
12
Lokasi dan Waktu Penelitian
12
Alat dan Bahan Penelitian
12
Batasan Penelitian
13
Metode Penelitian
13
Inventarisasi
13
Analisis
14
Evaluasi
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
27
Kondisi Umum Kota Bogor
27
Kondisi Fisik Lingkungan
27
Iklim
27
Topografi dan Kelerengan
28
Penduduk
29
Perekonomian
29
Penggunaan Lahan
29
Pola Sebaran Kegiatan
31
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor
31
Green Planning and Design
33
Kondisi Ideal Green Planning and Design
33
Kondisi Aktual Kota Bogor
34
Analisis dan Evaluasi
38
Green Open Space
40
Kondisi Ideal Green Open Space
41
Kondisi Aktual Kota Bogor
42
Analisis dan Evaluasi
49
Green Building
51
Kondisi Ideal Green Building
52
Kondisi Aktual Kota Bogor
53
Analisis dan Evaluasi
54
Green Waste
55
Kondisi Ideal Green Waste
55
Kondisi Aktual Kota Bogor
57
Analisis dan Evaluasi
60
Green Transportation
62
Kondisi Ideal Green Transportation
62
Kondisi Aktual Kota Bogor
64
Analisis dan Evaluasi
66
Green Water
68
Kondisi Ideal Green Water
68
Kondisi Aktual Kota Bogor
69
Analisis dan Evaluasi
71
Green Energy
72
Kondisi Ideal Green Energy
72
Kondisi Aktual Kota Bogor
75
Analisis dan Evaluasi
75
Green Community
76
Kondisi Ideal Green Community
77
Kondisi Aktual Kota Bogor
77
Analisis dan Evaluasi
78
Hasil Evaluasi Penerapan Indikator Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
79
Green Planning and Design
80
Green Open Space
81
Green Building
81
Green Waste
81
Green Transportation
82
Green Water
82
Green Energy
83
Green Community
83
PENUTUP
84
Simpulan
84
Saran
84
DAFTAR PUSTAKA
85
RIWAYAT HIDUP
88
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Alat dan bahan penelitian
Jenis dan sumber data penelitian
Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design
Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space
Batasan penentuan skoring indikator Green Building
Batasan penentuan skoring indikator Green Waste
Batasan penentuan skoring indikator Green Transportaion
Batasan penentuan skoring indikator Green Water
Batasan penentuan skoring indikator Green Energy
Batasan penentuan skoring indikator Green Community
Luas Wilayah administrasi Kota Bogor menurut Kecamatan
Ketinggian Kota Bogor menurut Kecamatan
Kemiringan lereng Kota Bogor menurut Kecamatan
Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor (2000–2007)
Jenis dan Intensitas Penggunaan Lahan di Kota Bogor (2007)
Evaluasi penerapan Green Planning and Design di Kota Bogor
Lokasi TPU yang dikelola oleh Dinas Pemakaman Kota Bogor
Rencana pengembangan dan pembangunan RTH Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Open Space di Kota Bogor
Rencana penambahan jumlah RTH di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Building di Kota Bogor
Proyeksi timbulan sampah Kota Bogor 2009–2031
Lokasi tempat pembuangan sampah sementara di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Waste di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Transportation di Kota Bogor
Air baku di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Water di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Energy di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Community di Kota Bogor
Hasil evaluasi penerapan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor
12
13
15
17
20
20
22
23
24
26
27
28
28
29
30
38
47
49
49
51
54
58
59
61
66
70
71
75
78
79
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Kerangka Pikir
Peta Jawa Barat dan Kota Bogor
Suhu udara Kota Bogor tahun 2011
Kelembaban udara Kota Bogor tahun 2011
Peta wilayah administrasi Kota Bogor
Peta rencana struktur ruang Kota Bogor
Peta rencana sistem pusat pelayanan Kota Bogor
Rencana pembangunan jaringan jalan dan St. Sukaresmi berbasis TOD
Denah rencana pembangunan Stasiun Sukaresmi
Ilustrasi kondisi perspektif Stasiun Sukaresmi berbasis TOD
Taman Kencana Kota Bogor
Taman Situ Anggalena Kota Bogor
3
12
27
28
32
36
37
39
40
40
43
43
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
Taman Sempur Kota Bogor
Taman Peranginan Kota Bogor
Taman Topi
Taman median jalan Kota Bogor
RTH jalur pejalan kaki Kota Bogor
Taman pulau jalan Kota Bogor
RTH sempadan sungai Kota Bogor
RTH Hutan Kota Cifor
Peta rencana RTH Kota Bogor
Tahapan mewujudkan green building
Kondisi beberapa tempat pembuangan sampah di Kota Bogor
Konsep TPA Nambo (kiri); proses pembangunan TPA Nambo (kanan)
Ilustrasi alur proses pengelolaan sampah di TPST Kayumanis
Fasilitas yang diperlukan untuk bersepeda
Pedestrian di sekitar pusat Kota Bogor
Kondisi Pedestrian Nyi Raja Permas Kota Bogor
Kondisi pedestrian di ruas–ruas jalan di Kota Bogor
Kondisi jalur sepeda di Kota Bogor
Bis transpakuan (kiri) dan bis APTB (kanan)
Lubang resapan biopori
Proses produksi energi dari sampah
Kegiatan komunitas hijau yang ada di Kota Bogor
44
44
44
45
45
45
46
46
48
53
59
60
60
63
65
65
65
65
66
71
74
78
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan dan pembangunan kota yang sangat cepat sudah terjadi di
negara–negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Kota–kota di Indonesia
seperti halnya Kota Bogor sudah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Kota
Bogor merupakan salah satu kota berkembang yang letaknya tidak jauh dari pusat
pemerintahan Ibukota Jakarta. Letaknya yang sangat strategis, berada pada jalur
lintasan regional yang menghubungkan Jakarta–Bogor–Depok–Tangerang–Bekasi
(Jabodetabek), Bogor–Puncak–Cianjur (Bopunjur), dan Jakarta–Sukabumi, serta
sekaligus memiliki peran sebagai wilayah penyangga kota Jakarta, menyebabkan
Kota Bogor mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang
sangat pesat tersebut salah satunya dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang
cukup tinggi, dan urbanisasi menjadi salah satu penyebabnya. Tjiptoherijanto
(1999) menyatakan bahwa secara umum urbanisasi diartikan sebagai perpindahan
penduduk dari pedesaan menuju perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk pun
akan mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat. Menurut data yang diperoleh
dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang tercantum pada Kota Bogor Dalam Angka
(2011), hasil sensus penduduk menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor
pada tahun 2010 sudah mencapai 967 398 jiwa dan Kabupaten Bogor memiliki
presentasi distribusi penduduk yang tertinggi di daerah Jawa Barat sebesar 11.8%.
Pertumbuhan Kota Bogor yang cukup pesat akan berdampak pada meningkatnya
pertumbuhan fisik kota, dimana jika pembangunan tidak disesuaikan dengan daya
dukung lingkungan tentunya akan mengakibatkan degradasi lingkungan.
Dari segi pola penggunaan lahan Kota Bogor, dengan luas wilayah Kota
Bogor sebesar 11 850 Ha, secara garis besar Kota Bogor dapat dibedakan menjadi
dua bagian, yaitu kawasan terbangun dan kawasan belum terbangun. Kawasan
terbangun di kota Bogor sebesar 4 411.85 ha atau sekitar 37.27% dari luas Kota
Bogor dan kawasan belum terbangun sebesar 7 438.14 ha atau sekitar 62.77% dari
luas Kota Bogor. Untuk mengatasi permasalahan perkotaan yang sedang terjadi
saat ini seperti pertumbuhan penduduk yang tidak diikuti dengan pembangunan
fisik kota serta kapasitas daya dukung, maka pengembangan kota sebaiknya perlu
memperhatikan keselarasan dengan lingkungan. Kondisi lingkungan kota yang
sehat dapat meningkatkan kenyamanan bagi para penghuninya. Ada beberapa
konsep pengembangan kota yang berkelanjutan, salah satunya adalah dengan
menggunakan konsep Kota Hijau yang menjadikan kota selaras dengan alam
(Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2012).
Menurut Widiantono (2012) kota berkelanjutan merupakan konsep kota yang
menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial–budaya, dan lingkungan hidup.
Keseimbangan pada keberlanjutan suatu kota merupakan hal yang penting bagi
pemanfaatan sumberdaya yang ada, yaitu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
saat ini tetapi juga di masa yang akan datang.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), Kota Hijau merupakan kota
yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien
sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi
terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan
2
buatan, serta berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada
prinsip–prinsip pembangunan berkelanjutan yang dapat menyelaraskan kebutuhan
kota dengan menjaga kelestarian ligkungan. Untuk mewujudkan kota hijau, setiap
kota dapat menerapkan delapan indikator kota hijau secara bertahap yang
meliputi: 1) peningkatan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang
sensitif pada agenda hijau (green planning and design), 2) peningkatan jumlah
dan kualitas ruang terbuka hijau (green open space), 3) penerapan bangunan hijau
(green building), 4) usaha pengurangan dan pengolahan limbah (green waste), 5)
pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (green transportation), 6)
efisiensi pemanfaatan sumberdaya air (green water), 7) pemanfaatan energi yang
efisien dan ramah lingkungan (green energy), serta 8) pengembangan jaringan
kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (green community).
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. bagaimana perkembangan dan penataan Kota Bogor saat ini, dan
2. seperti apa penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor dalam pembangunan
dan pengembangan kotanya.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merencanakan konsep
pengembangan kota hijau berdasarkan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. mengidentifikasi perkembangan dan penataan konsep kota hijau di Kota
Bogor, dan
2. mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan
pengetahuan baru bagi peneliti, serta dapat dijadikan alternatif dan rekomendasi
bagi pihak pengembang dan pembangunan kota, khususnya sebagai pertimbangan
kepada pemerintah daerah setempat untuk menentukan langkah lebih lanjut dalam
proses pengembangan kota yang menerapkan konsep kota hijau. Dengan
menerapkan konsep ini diharapakan pengembangan dan pembangunan kota
selanjutnya akan lebih berbasis lingkungan dan terjaga kelestariannya guna
memperbaiki kualitas lingkungan, serta meningkatkan kenyamanan kota untuk
dihuni oleh masyarakat.
Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir di bawah ini menggambarkan permasalahan Kota Bogor
terkait penerapan delapan indikator pembentuk kota hijau. Setelah itu dilakukan
identtfikasi terkait penerapannya yang dilihat dari indikator green planning and
design, green open space, green building, green waste, green transportation,
3
green water, green energy, dan green community. Tahapan yang dilakukan
selanjutnya yaitu melakukan analisis yang dilakukan dengan menggunakan
metode Gap Analysis, yaitu analisis yang digunakan untuk membandingkan
kondisi ideal dari suatu kota hijau dengan kondisi aktual di suatu kota. Kemudian
dihasilkan data yang akan dianalisis secara deskriptif dan menghasilkan
perbandingan kondisi Kota Bogor saat ini dengan penerapan ideal dari konsep
kota hijau. Adapun kerangka pikir pada penelitian dapat dilihat pada gambar 1 di
bawah ini:
Kota Bogor
Permasalahan Kota Bogor terkait
penerapan Konsep Kota Hijau
Identifikasi permasalahan terkait penerapan delapan
indikator Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
Green Planning
and Design
Perencanaan dan
perancangan kota
kurang berbasis
lingkungan
Green Open Space
Green Building
Green Waste
Menurunnya luas
dan kualitas ruang
terbuka hijau
(RTH)
Perencanaan dan
perancangan
bangunan kurang
ekologis
Sampah perkotaan
tidak ditangani
dengan baik
Green
Transportation
Meningkatnya
penggunaan
kendaraan pribadi
Green Water
Green Energy
Green Community
Kualitas air tanah
menurun
Penggunaan energi
fosil tinggi, perlu
penggunaan energi
alternatif
Kurangnya
partisipasi aktif
masyarakat dalam
melestarikan
lingkungan
Gap Analysis
Evaluasi penerapan Konsep Kota Hijau
di Kota Bogor
Gambar 1 Kerangka Pikir
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kota dan Masalah Lingkungan Perkotaan
Kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus,
yaitu suatu bentuk pemerintah daerah yang merupakan daerah perkotaan. Wilayah
kota secara administratif tidak selalu semuanya berupa daerah terbangun
perkotaan (urban), tetapi umumnya juga masih mempunyai bagian wilayah yang
berciri perdesaan (rural). Wilayah administratif pemerintahan kota dikelola oleh
pemerintah kota yang bersifat otonom. Misalnya kota–kota ibukota kabupaten
atau kota kecamatan tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri, tetapi
merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten (Sadyohutomo 2008).
Menurut Irwan (2008) kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang
besar dan luas. Dalam kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan
budaya. Pada kenyataanya kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak
dimensi. Kota juga merupakan sebuah sistem yaitu terbuka, baik secara fisik
maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis dan dinamis atau bersifat sementara.
Kota merupakan tempat para warga melangsungkan berbagai aktivitasnya,
sehingga pengembangannya seharusnya diarahkan agar dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan fisik dan spiritual. Tetapi kenyataannya banyak ditemukan suatu kota
yang perencanaannya dilakukan secara kurang memadai sehingga menjadi lesu,
sakit, dan semrawut. Langkah Pemerintah Kota saat ini dengan upaya
mengembangkan Hutan Kota yang termasuk kedalam salah satu bentukan ruang
terbuka hijau (RTH) perlu mendapat apresiasi. Dengan dibentuknya ruang–ruang
terbuka hijau tersebut, dapat disusun suatu jaringan ruang terbuka hijau kota yang
berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar,
bersih, sehat, dan indah (Samsoedin 2007).
Berdasarkan Undang–Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, dijelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah
wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Menurut Irwan (2007) terdapat banyak permasalah yang dihadapi di
perkotaan, permasalahan tersebut antara lain adalah masalah yang berkaitan
dengan: 1) perusakan alam, meliputi pencemaran sungai di dalam kota, 2)
perusakan nilai historis kota, 3) prioritas diberikan kepada kendaraan bermotor,
bukan pejalan kaki, serta 4) konsentrasi di kota–kota, pertumbuhan yang cepat di
pinggir kota, serta adanya pembangunan yang tidak beraturan dan tidak menyebar
sepanjang jarak tempuh. Permasalahan lingkungan perkotaan yang menghambat
terwujudnya kota hijau disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah
tingginya laju pertumbuhan penduduk serta laju pertambahan luas lahan
terbangun, semakin menurunnya ruang terbuka hijau, terjadinya pencemaran air,
pencemaran udara, pencemaran tanah, dan terbentuknya pulau bahang kota.
5
Konsep Kota Hijau
Kota Hijau dikenal sebagai kota ekologis. Kota yang secara ekologis juga
dapat dikatakan sebagai kota sehat, artinya adalah bahwa adanya keseimbangan
antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Kota
sehat juga merupakan kondisi dari suatu kota yang aman, nyaman, bersih, dan
sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi
masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor
terkait, dan sinkronisasi dengan perencanaan kota.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), Kota Hijau juga dapat
disebut sustainable city (kota yang berkelanjutan) atau eco–city (kota berbasis
ekologi), yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan dirancang dengan
mempertimbangkan aspek lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat
berkelanjutan. Kota Hijau dapat terwujud jika masyarakat yang tinggal di
dalamnya melakukan penghematan (minimisasi) pemanfaatan energi dan air.
Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab panas, serta melakukan
pencegahan pencemaran air dan udara.
Kota Hijau pada dasarnya adalah green way of thinking dimana perlu ada
perubahan pola pikir manusia terhadap keberlanjutan lingkungan. Perubahan pola
pikir akan mengarah pada perubahan kebiasaan masyarakat dan pada akhirnya
akan menghasilkan perubahan budaya menjadi lebih ramah lingkungan (Rustiadi
2009). Konsep Kota Hijau sejalan dengan usaha untuk menghindari pembangunan
kawasan yang tidak terbangun. Hal ini menekankan pada kebutuhan terhadap
rencana pengembangan kota dan perencanaan kota–kota baru yang
memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak merugikan dari
pengembangan kota, yang selanjutnya juga dapat memastikan pengembangan kota
yang dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal.
Terdapat beberapa aspek legal mengenai pengembangan Kota Hijau di
Indonesia diantaranya tertera pada Undang–Undang (UU) No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, Pasal 29 disebutkan bahwa ruang terbuka hijau (RTH)
yang wajib ada pada wilayah perkotaan adalah paling sedikit 30% dari luas
wilayah kota, dengan proporsi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain itu
terdapat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, dan UU No. 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), untuk mewujudkan kota
hijau, setiap kota dapat menerapkan delapan indikator (atribut) kota hijau secara
bertahap yang meliputi: 1) peningkatan kualitas rencana tata ruang dan rancang
kota yang sensitif pada agenda hijau (green planning and design), 2) peningkatan
jumlah dan kualitas ruang terbuka hijau (green open space), 3) penerapan
bangunan hijau (green building), 4) usaha pengurangan limbah dan pengolahan
limbah (green waste), 5) pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan
(green transportation), 6) efisiensi pemanfaatan sumberdaya air serta zero runoff
(green water), 7) pemanfaatan energi yang efisien dan ramah lingkungan (green
energy), serta 8) pengembangan jaringan kerjasama antara pemerintah dan
masyarakat (green community).
6
Green Planning and Design
Green planning and design dapat diartikan sebagai suatu perencanaan dan
perancangan wilayah, kota atau kawasan yang memperhatikan kapasitas daya
dukung lingkungan, efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya dan ruang,
mengutamakan keseimbangan lingkungan alami dan terbangun dalam rangka
mewujudkan kualitas ruang wilayah perkotaan yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan. Perencanaan dan pembangunan kota harus sesuai dengan
peraturan Undang–undang yang berlaku, seperti UU No. 24/2007 mengenai
Penanggulangan Bencana (kota hijau harus menjadi kota waspada bencana), UU
No. 26/2007 mengenai Penataan Ruang, serta UU No. 32/2009 mengenai
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk
mengarahkan pengalokasian ruang agar tercapai keseimbangan antara ruang
sosial, ekonomi, dan lingkungan (lingkungan alami dan terbangun) untuk
mewujudkan ruang wilayah perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan.
Green Open Space
Green open space adalah bagian dari ruang–ruang terbuka suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi endemik atau
introduksi guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung yang dihasilkan
oleh ruang terbuka hijau (RTH) dalam kota tersebut, yaitu seperti keamanan,
kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Menurut
Purnomohadi (1995) pengertian ruang terbuka hijau (RTH) adalah suatu bentang
lahan terbuka tanpa bangunan yang memiliki ukuran, bentuk, dan batas geografis
tertentu dengan status penguasaan apapun yang didalamnya terdapat tumbuhan
hijau berkayu dan tahunan, dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama
dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rumput, serta penutup tanah) sebagai
tumbuhan pelengkap serta benda–benda lain sebagai bahan penunjang fungsi RTH
yang bersangkutan.
Ruang terbuka hijau memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah fungsi
ekologis, fungsi sosial budaya, fungsi planologis, fungsi ekonomi dan fungsi
estetika. Selain memiliki fungsi yang beragam, RTH juga dapat diwujudkan
dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam bentuk taman lingkungan, taman kota,
hutan kota, dan lain–lain. Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di
Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas pada KTT Johannesburg, Afrika
Selatan (2002) disepakati bahwa luasan mimimal dari RTH suatu wilayah adalah
30% dari total luas wilayahnya. Ruang terbuka hijau seluas 30% dari luas kota
dapat diciptakan dengan komposisi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain
meningkatkan jumlah RTH, peningkatan kualitas pun perlu dilakukan untuk
mengoptimalkan fungsi ekologis.
Green Building
Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 08 Tahun 2010
tentang kriteria dan sertifikasi bangunan ramah lingkungan menjelaskan bahwa
bangunan ramah lingkungan (green building) adalah suatu bangunan yang
menerapkan prinsip berbasis lingkungan dalam perancangan, pembangunan,
pengoperasian, dan pengelolaannya serta memperhatikan aspek penting
penanganan dampak perubahan iklim. Green building merupakan upaya untuk
7
meningkatkan rancangan dan konstruksi dari suatu bangunan sehingga bangunan
yang kita bangun hari ini akan bertahan lebih lama, biaya operasional yang lebih
hemat, dan tidak akan membahayakan kesehatan pekerja dan penduduk.
Konsep green building merupakan konsep untuk bangunan berkelanjutan
dan memiliki syarat tertentu yaitu lokasi, sistem perencanaan dan perancangan,
renovasi dan pengoperasian, hemat energi serta harus berdampak positif bagi
lingkungan, ekonomi dan sosial. Terdapat tiga tujuan dasar green building
diantaranya adalah: 1) melestarikan sumberdaya alam, 2) meningkatkan efisiensi
energi, serta 3) meningkatkan kualitas udara dalam ruangan. Menurut Green
Building Council Indonesia (GBCI 2009), green building adalah bangunan baru
ataupun bangunan lama yang direncanakan dibangun dan dioperasikan dengan
memperhatikan faktor–faktor keberlanjutan lingkungan. Menurut Redaksi Buletin
Tata Ruang (2011), terdapat tiga konsep utama dalam mendirikan green building
diantaranya adalah:
a. life cycle assessment (Uji Amdal)
Dalam melakukan suatu perencanaan bangunan seharusnya dilakukan
dahulu kajian Amdal, apakah dalam pengadaan suatu bangunan dapat
mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya, baik dari segi sosial, ekonomi,
maupun alam sekitarnya. Jika dengan adanya keberadaan bangunan
memberikan pengaruh negatif yang cukup besar maka bangunan tersebut sudah
menyalahi konsep dasar green building.
b. efisiensi desain struktur
Dasar dalam setiap proyek bermula pada tahap konsep dan desain. Tahap
konsep merupakan salah satu langkah utama dalam proyek yang memiliki
dampak besar pada kinerja proyek. Tujuan utama merencanakan bangunan
dengan konsep green building adalah untuk meminimalkan dampak yang akan
disebabkan oleh bangunan itu sendiri, baik selama proses pelaksanaan dan
penggunaan. Perencanaan bangunan yang tidak efisien dalam struktur juga
memberikan efek buruk terhadap lingkungan, yaitu pemakaian bahan bangunan
yang sangat banyak sehingga terjadi pemborosan.
c. efisiensi energi
Green building sering kali mencakup langkah–langkah untuk mengurangi
konsumsi energi, baik yang diperlukan untuk kehidupan segari–hari seperti
kondisi bangunan yang memudahkan angin dan sinar matahari mudah masuk
kedalam bangunan. Selain itu dari segi pelaksanaan juga harus diperhatikan,
seperti penggunaan kayu dalam pembangunan gedung akan menghasilkan
energi pembuangan yang lebih rendah dibandingkan dengan bangunan yang
menggunakan batu bata, beton ataupun baja.
Green Waste
Green waste adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, swasta dan
masyarakat untuk zero waste dengan melaksanakan prinsip 3R yaitu mengurangi
sampah atau limbah (reduce), pemanfaatan kembali (reuse) dan meningkatkan
nilai tambah dengan cara daur ulang (recycle). Pengelolaan sampah yang baik pun
akan meningkatkan kualitas kesehatan di perkotaan. Tujuan dari green waste
adalah agar masalah lingkungan seperti banjir, penyakit dan lingkungan kotor
yang disebabkan oleh sampah tidak lagi terjadi di perkotaan. Sedangkan manfaat
dari green waste ini adalah untuk meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat
8
terhadap pengelolaan sampah sendiri agar volume sampah yang selama ini
menjadi beban kota dapat berkurang, ancaman banjir dan penyakit dapat diatasi,
kesuburan dan kualitas tanah meningkat, serta membangkitkan kota yang kreatif
melalui penggunaan ulang. Salah satu penanganan sampah perkotaan yang ada
adalah dengan menerapkan bank sampah. Bank sampah adalah salah satu strategi
penerapan 3R dalam pengelolaan sampah pada sumbernya di tingkat masyarakat.
Pelaksanaan bank sampah pada prinsipnya adalah suatu rekayasa sosial (social
engineering) untuk mengajak masyarakat memilah sampah. Pelaksanaan bank
sampah dapat memberikan output nyata bagi masyarakat berupa kesempatan kerja
dalam melaksanakan manajemen operasi bank sampah dan investasi dalam bentuk
tabungan (Kementerian Lingkungan Hidup 2011).
Sebagaimana diketahui, tumpukan sampah menghasilkan gas metana. Gas
ini berbahaya bagi manusia. Karena itu tumpukan sampah ditimbun dengan tanah
dan ditutupi dengan membran (plastik), agar gas metan tidak keluar. Kemudian di
bawah tumpukan sampah itu dipasang saluran gas, sehingga gas metana yang
keluar dapat dialirkan dan menggerakkan mesin yang dapat menghasilkan listrik.
Untuk menghasilkan listrik dari sampah, ada tiga teknologi yang digunakan.
Pertama, landfill gasification yaitu menangkap gas–gas yang dihasilkan sampah
kemudian dijadikan sebagai penggerak mesin yang dapat menghasilkan listrik.
Kedua, teknologi thermal process and gasification, yaitu dengan cara
memisahkan sampah kemudian diproses di ruang hampa atau tertutup. Teknologi
yang ketiga, yaitu anaerobic gasification, yaitu dengan cara menggunakan
sampah organik kemudian difermentasi (Dewan Energi Nasional 2010).
Green Transportation
Green transportation diartikan sebagai suatu usaha pembangunan dan
pengembangan sistem transportasi yang berprinsip pada pengurangan dampak
negatif terhadap lingkungan, efisiensi penggunaan bahan bakar, dan berorientasi
pada manusia yang meliputi pengembangan jalur–jalur khusus pejalan kaki dan
sepeda, pengembangan angkutan umum massal yang memanfaatkan energi
alternatif terbarukan yang bebas polusi dan ramah lingkungan, serta
mempromosikan gaya hidup sehat dalam bertransportasi. Tujuan dari program
green transportation ini adalah untuk meningkatkan jumlah penggunaan
kendaraan umum dan menurunkan jumlah penggunaan kendaraan pribadi dengan
menggunakan transportasi massal dan menciptakan jaringan transportasi yang
aman, nyaman dan efisien. Selain itu perlu dilakukan pembangunan infrastruktur
pendukung seperti jalur sepeda dan koridor hijau sehingga mendorong masyarakat
untuk berjalan kaki atau bersepeda pada jarak yang dekat. Secara garis besar
terdapat tiga langkah utama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan green
transportation yaitu: 1) mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sistem
transportasi yang ada, 2) merumuskan sasaran untuk pengurangan penggunaan
kendaraan bermotor pada kadar maupun pada tingkat emisi, dan 3) memilih
kombinasi yang sesuai dari berbagai pilihan transportasi.
Green Water
Green water dapat didefinisikan sebagai suatu konsep untuk menyediakan
kemungkinan penyerapan air dan mengurangi puncak limpasan air, sehingga
tercapai efisiensi pemanfaatan sumberdaya air. Konsep green water dilakukan
9
untuk meminimalkan efek yang terjadi pada lingkungan dan memaksimalkan
efisiensi penggunaan sumberdaya yang ada, dimana pada akhirnya dapat
menghemat uang yang dikeluarkan dalam proses pengelolaan air. Salah satu
upaya dalam meningkatan efisiensi penggunaan dan pengelolaan sumberdaya air
adalah dengan menerapkan konsep zero run off dan ekodrainase, yaitu upaya
mengelola kelebihan air dengan cara diresapkan ke dalam tanah secara alamiah
atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai
sebelumnya. Menurut FAO 1997, green water adalah air hujan yang langsung
digunakan dan dievaporasikan oleh lahan kering tanpa irigasi, ladang
pengembalaan dan lahan hutan. Secara teoritis green water adalah air yang
diperlukan oleh tanaman.
Green Energy
Green energy merupakan energi yang dihasilkan dari sumber–sumber yang
ramah lingkungan atau menimbulkan dampak negatif yang sedikit bagi ekosistem
lingkungan maupun siklus hidup yaitu tanah, air dan udara. Konsep green energy
ini berkembang karena adanya dampak negatif yang luar biasa akibat dari
penggunaan energi fosil. Tujuan dari green energy adalah untuk menemukan
sumber–sumber energi alternatif selain energi fosil yang dapat meminimalkan
dampak negatif bagi lingkungan. Energi alternatif yang sudah dikembangkan
berupa pemanfaatan energi angin, matahari, air, pasang surut, dan lain–lain.
Manfaat dari green energy diantaranya adalah: 1) tersedianya energi alternatif
yang mampu memenuhi ketersediaan energi nasional, 2) terjaganya kelestarian
lingkungan hidup, 3) terciptanya lapangan kerja baru bagi masyarakat, serta 4)
terwujudnya kesadaran terhadap peran penting keberadaan energi fosil yang
terbatas jumlahnya. Undang–Undang (UU) terkait definisi energi tertera pada UU
No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Green Community
Green community dapat diartikan sebagai sebuah komunitas atau kelompok
warga yang peduli terhadap masalah lingkungan dan sosial budaya. Dalam
mewujudkan kota hijau pemerintah bekerja sama dengan masyarakat, dapat
melalui penyuluhan dan partisipasi aktif masyarakat serta bermitra dengan
masyarakat dalam mengadakan tanaman hijau di lingkungan masyarakat. Dalam
hal ini green community ditujukan sebagai usaha untuk: 1) meningkatkan public
awareness tentang pentingnya kota hijau, 2) membangun networking untuk
kekuatan baru dan dalam satu kesatuan, serta 3) merawat dan memelihara
sehingga mampu menuju sustainable development.
Green community juga merupakan salah satu indikator penting dalam
mewujudkan kota hijau, karena masyarakat dipercaya dapat menjadi motor
penggerak gerakan hijau pada suatu kota serta menjamin keberlanjutan
lingkungan hidup dan sosial–budaya dimasa mendatang. Green community dapat
dibentuk melalui partisipasi masyarakat dan komunitas warga.
Ruang Terbuka Kota
Menurut Hakim (1991) dalam Kemalaputri (2000), ruang terbuka adalah
satu jenis ruang yang pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat
10
menampung aktivitas tertentu baik secara individu atau secara berkelompok di
luar bangunan. Ditinjau dari segi aktivitasnya maka ruang terbuka terdiri dari
ruang terbuka aktif dan ruang terbuka pasif. Menurut Simonds (1983), ruang
terbuka berhubungan langsung dengan penggunaan struktur sehingga dapat
mendukung fungsi struktur tersebut. Salah satu yang termasuk ruang terbuka
adalah ruang terbuka hijau (RTH).
Ruang Terbuka Hijau
Menurut Purnomohadi (1995) pengertian RTH adalah: 1) suatu lapang yang
ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah,
semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu), dan 2) sebentang lahan terbuka
tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu
dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau
berkayu dan tahunan (perennial woody plants) dengan pepohonan sebagai
tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan
tumbuhan penutup tanah lainnya) sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda–
benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang
bersangkutan.
Pengertian RTH berdasarkan UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008, dijelaskan bahwa salah satu
strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui
daya dukung adalah dengan penetapan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas
kawasan perkotaan dengan proporsi 20% ruang terbuka hijau publik dan 10%
ruang terbuka hijau privat. Sedangkan kawasan perkotaan menurut UU Republik
Indonesia No. 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
Fungsi, manfaat, klasifikasi, dan distribusi RTH di wilayah perkotaan
menjadi sangat penting, karena fungsi dan manfaat RTH tidak dapat digantikan
dengan unsur–unsur ruang kota lainnya karena sifatnya yang alami. Menurut
Urban Planning and Design Criteria (1975), dalam sistem ruang terbuka, RTH
merupakan bagian dari ruang terbuka. Klasifikasi RTH terdiri atas RTH lindung
(Wilderness areas, Protected areas, dan Natural park area) dan RTH binaan
(Urban park area, Recreational areas, dan Urban development open spaces).
Gap Analysis
Menurut Jennings (1999), gap merupakan identifikasi adanya suatu
perbedaan (disparity) antara satu hal dengan hal lainnya. Suatu konsep dan
organisasi pada dasarnya diperlukan dalam mengembangkan prinsip utama
metode Gap analysis. Menurut Parasuraman, Zeithamet, dan Barry (1985), Gap
analysis (analisis kesenjangan) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi kinerja dari instansi pemerintahan, khususnya dalam upaya
penyediaan pelayanan terhadap masyarakat umum. Hasil analisis dapat menjadi
11
input yang berguna bagi perencanaan dan penentuan prioritas anggaran di masa
yang akan datang. Gap analysis merupakan salah satu langkah yang sangat
penting dilakukan dalam tahapan perencanaan maupun tahapan evaluasi kinerja.
Gap analysis merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui
kinerja dari suatu program yang sedang berjalan dengan sistem standar. Gap
analysis tidak hanya diterapkan dalam suatu instansi atau lembaga, namun dapat
juga diterapkan dalam evaluasi kinerja dari pemerintah. Gap analysis merupakan
metode analisis yang mempunyai pendekatan bottom up yang dapat memberikan
masukan berharga bagi pemerintah, terutama dalam perbaikan dan peningkatan
kinerja pelayanan kepada masyarakat. Dalam penelitian ini, Gap analysis
digunakan untuk mengetahui kesenjangan yang terjadi antara kondisi ideal dari
suatu konsep kota hijau dengan kondisi aktual di suatu kota yang menerapkan
konsep kota hijau. Gap analysis juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja
pemerintah dalam perencanaan dan pengembangan sarana dan prasarana kota
dalam mewujudkan konsep kota hijau di suatu kota. Sehingga dapat diketahui
permasalahan terkait pengembangan konsep kota hijau dan solusi pengembangan
untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Perencanaan Lanskap
Menurut Gold (1980), perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis
dan dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara
terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut. Perencanaaan lanskap
merupakan suatu bentuk produk utama dari suatu kegiatan arsitektur lanskap.
Perencanaan lanskap ini merupakan kegiatan penataan lahan berdasarkan pada
lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai.
Simonds dan Starke (2006) menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu
kemampuan untuk memahami dan menganjurkan adanya suatu perubahan dari
yang mungkin atau tidak mungkin pada saat menjadi kenyataan pada masa yang
akan datang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan dari perencanaan adalah untuk
menentukan tempat yang sesuai dengan daya dukung lahan dan keadaan umum
masyarakat di sekitarnya.
Selain itu menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), perencanaan
merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna
mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetika
dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam
upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan termasuk kesehatannya.
Secara praktikal, kegiatan merencanakan suatu lanskap merupakan suatu proses
pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep kehidupan manusia atau
masyarakat ke arah suatu bentuk lanskap atau bentuk alam yang nyata dan
berkelanjutan.
12
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia
(Gambar 2). Kota Bogor terletak ± 56 km sebelah selatan Jakarta, dan wilayahnya
berada di tengah–tengah wilayah Kabupaten Bogor. Luas keseluruhan wilayah
Kota Bogor adalah mencapai 11 850 ha dengan jumlah penduduk sekitar 967 398
jiwa (Kota Bogor Dalam Angka 2011). Waktu penelitian dimulai pada bulan
Februari 2013 hingga bulan September 2013.
Gambar 2 Peta Jawa Barat dan Kota Bogor
Sumber: www.wikimapia.org (kiri) dan www.google.com/images (kanan)
Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software). Bahan yanh digunakan berupa data primer
dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung
di lapang, dan data sekunder adalah data–data pendukung lain yang sesuai dan
valid. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian berlangsung yaitu:
Tabel 1 Alat dan bahan penelitian
Alat
Kegunaan
Kamera Digital
Pengambilan gambar di tapak
Bahan
Kegunaan
Peta Kota Bogor
Mengetahui kondisi aktual Kota Bogor
RTRW Kota Bogor
Mengetahui rencana pengembangan Kota Bogor
Bahan Pustaka
Studi literatur
13
Batasan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi evaluasi mengenai konsep kota hijau di Kota
Bogor, dimana penelitian ini untuk mendukung program pengembangan kota
hijau di seluruh kota di Indonesia. Selain itu penelitian ini dilakukan demi
pembangunan Kota Bogor yang berbasis lingkungan, berkelanjutan, dan terjaga
kelestariannya. Penelitian ini dibatasi oleh:
a. pengamatan terhadap kondisi aktual Kota Bogor saat ini dalam pengembangan
kotanya. Aspek yang diamati berdasarkan indikator kota hijau, serta
b. melakukan kajian terhadap penerapan konsep kota hijau dengan menggunakan
Gap analysis, dimana analisis ini lebih menekankan pada perbandingan
kondisi aktual Kota Bogor terhadap kondisi idealnya suatu kota yang
menerapkan konsep kota hijau sehingga dapat terlihat indikator apa saja yang
sudah diterapkan di Kota Bogor.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah
metode survei lapang mengenai penerapan indikator kota hijau di Kota Bogor.
Metode survei lapang merupakan metode yang memusatkan diri pada survei
langsung ke tapak untuk mengetahui kondisi penerapan indikator kota hijau di
Kota Bogor. Aspek yang diamati terdiri dari delapan indikator kota hijau. Tahapan
penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini diawali dengan melakukan tahapan
inventarisasi, analisis, dan evaluasi terhadap penerapan delapan indikator kota
hijau. Berikut ini adalah penjelasan dari setiap tahapan penelitian yang dilakukan:
Inventarisasi
Tahapan inventarisasi dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang
dibutuhan baik data primer maupun data sekunder. Data primer adalah data yang
didapat dari narasumber maupun yang dapat diambil langsung di tapak, seperti
data hasil wawancara dan data hasil observasi lapang. Sedangkan data sekunder
adalah data yang didapat dari sumber–sumber literatur yang membantu peneliti
dalam mengolah data dengan cara desk study, yaitu metode pengumpulan data
berupa laporan–laporan hasil studi pustaka yang dapat diperoleh dari skripsi, tesis,
disertasi, laporan penelitian, artikel, maupun jurnal. Aspek data yang diamati
terdiri dari kondisi fisik dan biofisik Kota Bogor, serta data–data terkait delapan
indikator kota hijau. Berikut ini adalah tabel jenis dan sumber data yang
digunakan (Tabel 2).
Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian
No
1
Data
Kondisi
Umum
Kota
Bogor
Jenis Data
Sumber Data
Sekunder
Bappeda Kota
Bogor, RTRW
Kota Bogor
Letak, luas, batas
tapak
Geologi
Topografi
Iklim
Tata guna lahan
Cara
Pengambilan
Studi
Pustaka
14
Lanjutan Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian
No
Data
Jenis Data
Sumber Data
Cara
Pengambilan
Primer,
sekunder
Survei,
Bappeda Kota
Bogor, RTRW
Kota Bogor
Survei
lapang, Studi
pustaka
Sekunder
Dinas
kependudukan
Studi
pustaka
Green planning
and design
Green open
space
Green building
2
Indikator
Kota
Hijau
Green waste
Green
transportation
Green water
Green energy
Green
Community
3
Aspek
Sosial
Jumlah penduduk
Analisis
Tahapan analisis dimulai dengan merumuskan konsep ideal dari suatu kota
hijau dari hasil desk study dengan pendekatan delapan indikator kota hijau, yang
dilanjutkan dengan mengidentifikasi kondisi eksisting dari delapan indikator
konsep kota hijau yang ada di Kota Bogor dengan menggunakan Gap analysis
secara deskriptif. Dalam penelitian ini gap analysis adalah metode analisis yang
digunakan untuk membandingkan kondisi ideal dari suatu kota hijau dengan
kondisi aktual dari Kota Bogor, sehingga dapat diketahui implementasi konsep
kota hijau yang sudah dicapai oleh Kota Bogor dan dijelaskan secara deskriptif.
Evaluasi
Penelitian ini menghasilkan evaluasi terhadap kondisi penerapan konsep
kota hijau di Kota Bogor. Pada tahap ini dilakukan penilaian atau skoring untuk
mengetahui seperti apa dan bagaimana pencapaian penerapan dari ke–delapan
indikator kota hijau. Skoring dilakukan dengan memberikan skor 0, 1, 2, 3, dan 4
pada setiap model penerapan dari ke–delapan indikator kota hijau yang ada
dengan melihat dan mengacu pada batasan–batasan penilaian bagi setiap indikator
(Tabel 3–10). Setelah dilakukan skoring terhadap model penerapan setiap
indikator untuk mengetahui pencapaiannya di Kota Bogor, maka tahap
selanjutnya adalah menentukan persentase dari setiap indikator dengan rumusan:
ilai enerapan otal
Dimana:
X1
Xn
Xt
t
n
= persentase bentuk penerapan indikator 1
= persentase bentuk penerapan indikator ke–n
= nilai penerapan total bentuk penerapan setiap indikator
15
Selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap nilai maksimal dari setiap
indikator serta menghitung persentase dari penerapan setiap indikator dengan
rumusan sebagai berikut:
ilai
aksimal
ma
jumlah model penerapan
poin skoring maksimal
nilai penerapan total t
nilai maksimal ma
ersentase enerapan ndikator
Setelah tahapan skoring ini dilakukan, maka dapat diketahui indikator apa
saja yang sudah diterapkan dengan baik dan indikator apa saja yang belum
diterapkan dengan baik di Kota Bogor. Sehingga dapat diketahui perlakuan atau
rencana yang akan dilakukan selanjutnya untuk menciptakan kota hijau yang ideal
di Kota Bogor. Berikut ini adalah tabel dari batasan–batasan dari setiap indikator
yang dapat menjadi acuan untuk menentukan skor dari setiap model penerapan.
Tabel 3 Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design
Penerapan
(Program)
Compact City
Skor
Skor 0
1. Tidak ada
rencana untuk
pengembangan
kota dengan
menggunakan
konsep
compact city
dan tidak
tertera dalam
RTRW.
2. Tidak ada
penerapan.
Mixed–Use
Development
Skor 1
1. Sudah ada arahan
untuk
pengembangan
compact city,
namun belum
tertera dalam
RTRW.
2. Sudah ada
penerapan pada
beberapa
komponen
pembentuk
compact city
(bangunan
vertikal, penentuan
KDH), namun
belum bertujuan
untuk
mengembangkan
konsep compact
city.
1. Tidak ada
1. Sudah ada arahan
rencana untuk
untuk
pengembangan
pengembangan
kota dengan
mixed use
menggunakan
development,
mixed use
namun belum
development
tertera dalam
dan tidak
RTRW.
tertera dalam
RTRW.
Skor 2
1. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
compact city
yang tertera
dalam RTRW.
Skor 3
1. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
compact city
yang tertera
dalam RTRW.
Skor 4
1. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
compact city
yang tertera
dalam RTRW.
2. Sudah ada
2. Sudah ada
2. Sudah ada
penerapan pada
penerapan pada
penerapan
beberapa
beberapa
dengan
komponen
komponen
membentuk
pembentuk
pembentuk
kawasan
compact city
compact city
compact city.
(bangunan
(bangunan
vertikal,
vertikal,
3. Adanya
penentuan
penentuan
pengembangan
KDH), serta
KDH), serta
jalur pejalan kaki
adanya
adanya
di sekitar
pengembangan
pengembangan
kawasan
jalur pejalan kaki
jalur pejalan
compact city dan
di sekitarnya.
kaki
DI KOTA BOGOR
NURUL ANISYAH DESDYANZA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penerapan
Konsep Kota Hijau di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Nurul Anisyah Desdyanza
NIM A44090052
ABSTRAK
NURUL ANISYAH DESDYANZA. Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di
Kota Bogor. Dibimbing oleh ALINDA FM ZAIN.
Perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia sangat pesat. Suatu kota pada
dasarnya merupakan cerminan dari kondisi alam, manusia, dan kebudayaan.
Aktivitas dan perkembangan kota akan menimbulkan berbagai macam
permasalahan lingkungan seperti ketidakseimbangan antara pertumbuhan kawasan
perkotaan dan peningkatan kualitas lingkungan. Kondisi seperti ini membuat kota
tidak nyaman untuk dihuni. Untuk menciptakan kota yang nyaman, aman dan
selaras dengan alam salah satu caraya adalah dengan cara menerapkan konsep
Kota Hijau. Kota Hijau merupakan suatu konsep dari kota yang sehat, yang
mempertimbangkan aspek ekologi. Dalam penelitian ini menggunakan Gap
Analysis untuk mengetahui perbandingan kondisi aktual di Kota Bogor dengan
kondisi ideal dari konsep Kota Hijau yang selanjutnya dilakukan evaluasi dengan
menggunakan metode skoring. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kota
Bogor saat ini telah memiliki rencana pengembangan dan pembangunan ke arah
kota berkelanjutan, namun penerapannya belum maksimal. Persebaran penerapan
belum merata di seluruh wilayah kota dan hasil penerapan belum dapat
menyelesaikan permasalahan perkotaan yang ada di Kota Bogor.
Kata kunci: gap analysis, kota hijau, lanskap kota
ABSTRACT
NURUL ANISYAH DESDYANZA. Evaluation of Implementation Green City
Concept in Bogor City. Supervised by ALINDA FM ZAIN.
Development of urban areas in Indonesia is very rapid. City is a reflection of local
environment condition, citizen behavior and local culture. Activity and
development of the city will cause of various environmental problems like the
imbalance between urban growth and the improvement of environmental quality.
It bring about the city become not liveable. Because of that is very important to
create a comfortable city with safety guarantee and be the one with nature by
applying the concept of green city. Green city is a concept of a healthy city,
considering ecological aspects. This research use Gap Analysis to find out the
actual condition of Bogor City and compare it with the ideal condition of green
city concept and evalauate the implementation with scoring method. The results of
this research showed that Bogor has had a city development plan towards
sustainable city, but the implementations still have not been maximized. The
implementations not been spread through the region and have not been solve the
urban problems of Bogor City.
Key words: gap analysis, green city, urban landscape
EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU
DI KOTA BOGOR
NURUL ANISYAH DESDYANZA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
Nama
: Nurul Anisyah Desdyanza
NIM
: A44090052
Disetujui oleh
Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu,
rahmat, dan hidayah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
penelitian ini. Judul skripsi yang dipilih adalah “Evaluasi Penerapan Konsep Kota
Hijau di Kota Bogor”. Skripsi penelitian ini berisi tentang hasil penelitian untuk
mengetahui pencapaian penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi selaku
pembimbing skripsi dan Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi selaku pembimbing
akademik yang sudah memberi banyak dukungan dan masukan dalam pembuatan
skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Kota
Bogor yang telah memberi izin penulis untuk mengambil data. Terimakasih juga
tidak lupa penulis sampaikan kepada orangtua yang sudah memberikan motivasi
dan doa dalam proses pembuatan penelitian ini, teman–teman ARL 46 khususnya
teman satu bimbingan (Amira, Damaria, Elsya) dan seluruh pihak yang telah
memberikan doa, bantuan serta dukungannya.
Demikian skripsi penelitian ini dibuat, semoga karya ilmiah ini bermanfaat
bagi pihak Pemerintah Kota Bogor dan pihak lain yang memerlukan.
Bogor, Maret 2014
Nurul Anisyah Desdyanza
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Kerangka Pikir Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Kota dan Masalah Lingkungan Perkotaan
4
Konsep Kota Hijau
5
Green Planning and Design
6
Green Open Space
6
Green Building
6
Green Waste
7
Green Transportation
8
Green Water
8
Green Energy
9
Green Community
9
Ruang Terbuka Kota
9
Ruang Terbuka Hijau
10
Gap Analysis
10
Perencanaan Lanskap
11
METODOLOGI
12
Lokasi dan Waktu Penelitian
12
Alat dan Bahan Penelitian
12
Batasan Penelitian
13
Metode Penelitian
13
Inventarisasi
13
Analisis
14
Evaluasi
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
27
Kondisi Umum Kota Bogor
27
Kondisi Fisik Lingkungan
27
Iklim
27
Topografi dan Kelerengan
28
Penduduk
29
Perekonomian
29
Penggunaan Lahan
29
Pola Sebaran Kegiatan
31
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor
31
Green Planning and Design
33
Kondisi Ideal Green Planning and Design
33
Kondisi Aktual Kota Bogor
34
Analisis dan Evaluasi
38
Green Open Space
40
Kondisi Ideal Green Open Space
41
Kondisi Aktual Kota Bogor
42
Analisis dan Evaluasi
49
Green Building
51
Kondisi Ideal Green Building
52
Kondisi Aktual Kota Bogor
53
Analisis dan Evaluasi
54
Green Waste
55
Kondisi Ideal Green Waste
55
Kondisi Aktual Kota Bogor
57
Analisis dan Evaluasi
60
Green Transportation
62
Kondisi Ideal Green Transportation
62
Kondisi Aktual Kota Bogor
64
Analisis dan Evaluasi
66
Green Water
68
Kondisi Ideal Green Water
68
Kondisi Aktual Kota Bogor
69
Analisis dan Evaluasi
71
Green Energy
72
Kondisi Ideal Green Energy
72
Kondisi Aktual Kota Bogor
75
Analisis dan Evaluasi
75
Green Community
76
Kondisi Ideal Green Community
77
Kondisi Aktual Kota Bogor
77
Analisis dan Evaluasi
78
Hasil Evaluasi Penerapan Indikator Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
79
Green Planning and Design
80
Green Open Space
81
Green Building
81
Green Waste
81
Green Transportation
82
Green Water
82
Green Energy
83
Green Community
83
PENUTUP
84
Simpulan
84
Saran
84
DAFTAR PUSTAKA
85
RIWAYAT HIDUP
88
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Alat dan bahan penelitian
Jenis dan sumber data penelitian
Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design
Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space
Batasan penentuan skoring indikator Green Building
Batasan penentuan skoring indikator Green Waste
Batasan penentuan skoring indikator Green Transportaion
Batasan penentuan skoring indikator Green Water
Batasan penentuan skoring indikator Green Energy
Batasan penentuan skoring indikator Green Community
Luas Wilayah administrasi Kota Bogor menurut Kecamatan
Ketinggian Kota Bogor menurut Kecamatan
Kemiringan lereng Kota Bogor menurut Kecamatan
Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor (2000–2007)
Jenis dan Intensitas Penggunaan Lahan di Kota Bogor (2007)
Evaluasi penerapan Green Planning and Design di Kota Bogor
Lokasi TPU yang dikelola oleh Dinas Pemakaman Kota Bogor
Rencana pengembangan dan pembangunan RTH Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Open Space di Kota Bogor
Rencana penambahan jumlah RTH di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Building di Kota Bogor
Proyeksi timbulan sampah Kota Bogor 2009–2031
Lokasi tempat pembuangan sampah sementara di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Waste di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Transportation di Kota Bogor
Air baku di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Water di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Energy di Kota Bogor
Evaluasi penerapan Green Community di Kota Bogor
Hasil evaluasi penerapan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor
12
13
15
17
20
20
22
23
24
26
27
28
28
29
30
38
47
49
49
51
54
58
59
61
66
70
71
75
78
79
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Kerangka Pikir
Peta Jawa Barat dan Kota Bogor
Suhu udara Kota Bogor tahun 2011
Kelembaban udara Kota Bogor tahun 2011
Peta wilayah administrasi Kota Bogor
Peta rencana struktur ruang Kota Bogor
Peta rencana sistem pusat pelayanan Kota Bogor
Rencana pembangunan jaringan jalan dan St. Sukaresmi berbasis TOD
Denah rencana pembangunan Stasiun Sukaresmi
Ilustrasi kondisi perspektif Stasiun Sukaresmi berbasis TOD
Taman Kencana Kota Bogor
Taman Situ Anggalena Kota Bogor
3
12
27
28
32
36
37
39
40
40
43
43
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
Taman Sempur Kota Bogor
Taman Peranginan Kota Bogor
Taman Topi
Taman median jalan Kota Bogor
RTH jalur pejalan kaki Kota Bogor
Taman pulau jalan Kota Bogor
RTH sempadan sungai Kota Bogor
RTH Hutan Kota Cifor
Peta rencana RTH Kota Bogor
Tahapan mewujudkan green building
Kondisi beberapa tempat pembuangan sampah di Kota Bogor
Konsep TPA Nambo (kiri); proses pembangunan TPA Nambo (kanan)
Ilustrasi alur proses pengelolaan sampah di TPST Kayumanis
Fasilitas yang diperlukan untuk bersepeda
Pedestrian di sekitar pusat Kota Bogor
Kondisi Pedestrian Nyi Raja Permas Kota Bogor
Kondisi pedestrian di ruas–ruas jalan di Kota Bogor
Kondisi jalur sepeda di Kota Bogor
Bis transpakuan (kiri) dan bis APTB (kanan)
Lubang resapan biopori
Proses produksi energi dari sampah
Kegiatan komunitas hijau yang ada di Kota Bogor
44
44
44
45
45
45
46
46
48
53
59
60
60
63
65
65
65
65
66
71
74
78
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan dan pembangunan kota yang sangat cepat sudah terjadi di
negara–negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Kota–kota di Indonesia
seperti halnya Kota Bogor sudah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Kota
Bogor merupakan salah satu kota berkembang yang letaknya tidak jauh dari pusat
pemerintahan Ibukota Jakarta. Letaknya yang sangat strategis, berada pada jalur
lintasan regional yang menghubungkan Jakarta–Bogor–Depok–Tangerang–Bekasi
(Jabodetabek), Bogor–Puncak–Cianjur (Bopunjur), dan Jakarta–Sukabumi, serta
sekaligus memiliki peran sebagai wilayah penyangga kota Jakarta, menyebabkan
Kota Bogor mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang
sangat pesat tersebut salah satunya dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang
cukup tinggi, dan urbanisasi menjadi salah satu penyebabnya. Tjiptoherijanto
(1999) menyatakan bahwa secara umum urbanisasi diartikan sebagai perpindahan
penduduk dari pedesaan menuju perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk pun
akan mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat. Menurut data yang diperoleh
dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang tercantum pada Kota Bogor Dalam Angka
(2011), hasil sensus penduduk menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor
pada tahun 2010 sudah mencapai 967 398 jiwa dan Kabupaten Bogor memiliki
presentasi distribusi penduduk yang tertinggi di daerah Jawa Barat sebesar 11.8%.
Pertumbuhan Kota Bogor yang cukup pesat akan berdampak pada meningkatnya
pertumbuhan fisik kota, dimana jika pembangunan tidak disesuaikan dengan daya
dukung lingkungan tentunya akan mengakibatkan degradasi lingkungan.
Dari segi pola penggunaan lahan Kota Bogor, dengan luas wilayah Kota
Bogor sebesar 11 850 Ha, secara garis besar Kota Bogor dapat dibedakan menjadi
dua bagian, yaitu kawasan terbangun dan kawasan belum terbangun. Kawasan
terbangun di kota Bogor sebesar 4 411.85 ha atau sekitar 37.27% dari luas Kota
Bogor dan kawasan belum terbangun sebesar 7 438.14 ha atau sekitar 62.77% dari
luas Kota Bogor. Untuk mengatasi permasalahan perkotaan yang sedang terjadi
saat ini seperti pertumbuhan penduduk yang tidak diikuti dengan pembangunan
fisik kota serta kapasitas daya dukung, maka pengembangan kota sebaiknya perlu
memperhatikan keselarasan dengan lingkungan. Kondisi lingkungan kota yang
sehat dapat meningkatkan kenyamanan bagi para penghuninya. Ada beberapa
konsep pengembangan kota yang berkelanjutan, salah satunya adalah dengan
menggunakan konsep Kota Hijau yang menjadikan kota selaras dengan alam
(Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2012).
Menurut Widiantono (2012) kota berkelanjutan merupakan konsep kota yang
menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial–budaya, dan lingkungan hidup.
Keseimbangan pada keberlanjutan suatu kota merupakan hal yang penting bagi
pemanfaatan sumberdaya yang ada, yaitu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
saat ini tetapi juga di masa yang akan datang.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), Kota Hijau merupakan kota
yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien
sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi
terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan
2
buatan, serta berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada
prinsip–prinsip pembangunan berkelanjutan yang dapat menyelaraskan kebutuhan
kota dengan menjaga kelestarian ligkungan. Untuk mewujudkan kota hijau, setiap
kota dapat menerapkan delapan indikator kota hijau secara bertahap yang
meliputi: 1) peningkatan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang
sensitif pada agenda hijau (green planning and design), 2) peningkatan jumlah
dan kualitas ruang terbuka hijau (green open space), 3) penerapan bangunan hijau
(green building), 4) usaha pengurangan dan pengolahan limbah (green waste), 5)
pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (green transportation), 6)
efisiensi pemanfaatan sumberdaya air (green water), 7) pemanfaatan energi yang
efisien dan ramah lingkungan (green energy), serta 8) pengembangan jaringan
kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (green community).
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. bagaimana perkembangan dan penataan Kota Bogor saat ini, dan
2. seperti apa penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor dalam pembangunan
dan pengembangan kotanya.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merencanakan konsep
pengembangan kota hijau berdasarkan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. mengidentifikasi perkembangan dan penataan konsep kota hijau di Kota
Bogor, dan
2. mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan
pengetahuan baru bagi peneliti, serta dapat dijadikan alternatif dan rekomendasi
bagi pihak pengembang dan pembangunan kota, khususnya sebagai pertimbangan
kepada pemerintah daerah setempat untuk menentukan langkah lebih lanjut dalam
proses pengembangan kota yang menerapkan konsep kota hijau. Dengan
menerapkan konsep ini diharapakan pengembangan dan pembangunan kota
selanjutnya akan lebih berbasis lingkungan dan terjaga kelestariannya guna
memperbaiki kualitas lingkungan, serta meningkatkan kenyamanan kota untuk
dihuni oleh masyarakat.
Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir di bawah ini menggambarkan permasalahan Kota Bogor
terkait penerapan delapan indikator pembentuk kota hijau. Setelah itu dilakukan
identtfikasi terkait penerapannya yang dilihat dari indikator green planning and
design, green open space, green building, green waste, green transportation,
3
green water, green energy, dan green community. Tahapan yang dilakukan
selanjutnya yaitu melakukan analisis yang dilakukan dengan menggunakan
metode Gap Analysis, yaitu analisis yang digunakan untuk membandingkan
kondisi ideal dari suatu kota hijau dengan kondisi aktual di suatu kota. Kemudian
dihasilkan data yang akan dianalisis secara deskriptif dan menghasilkan
perbandingan kondisi Kota Bogor saat ini dengan penerapan ideal dari konsep
kota hijau. Adapun kerangka pikir pada penelitian dapat dilihat pada gambar 1 di
bawah ini:
Kota Bogor
Permasalahan Kota Bogor terkait
penerapan Konsep Kota Hijau
Identifikasi permasalahan terkait penerapan delapan
indikator Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
Green Planning
and Design
Perencanaan dan
perancangan kota
kurang berbasis
lingkungan
Green Open Space
Green Building
Green Waste
Menurunnya luas
dan kualitas ruang
terbuka hijau
(RTH)
Perencanaan dan
perancangan
bangunan kurang
ekologis
Sampah perkotaan
tidak ditangani
dengan baik
Green
Transportation
Meningkatnya
penggunaan
kendaraan pribadi
Green Water
Green Energy
Green Community
Kualitas air tanah
menurun
Penggunaan energi
fosil tinggi, perlu
penggunaan energi
alternatif
Kurangnya
partisipasi aktif
masyarakat dalam
melestarikan
lingkungan
Gap Analysis
Evaluasi penerapan Konsep Kota Hijau
di Kota Bogor
Gambar 1 Kerangka Pikir
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kota dan Masalah Lingkungan Perkotaan
Kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus,
yaitu suatu bentuk pemerintah daerah yang merupakan daerah perkotaan. Wilayah
kota secara administratif tidak selalu semuanya berupa daerah terbangun
perkotaan (urban), tetapi umumnya juga masih mempunyai bagian wilayah yang
berciri perdesaan (rural). Wilayah administratif pemerintahan kota dikelola oleh
pemerintah kota yang bersifat otonom. Misalnya kota–kota ibukota kabupaten
atau kota kecamatan tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri, tetapi
merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten (Sadyohutomo 2008).
Menurut Irwan (2008) kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang
besar dan luas. Dalam kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan
budaya. Pada kenyataanya kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak
dimensi. Kota juga merupakan sebuah sistem yaitu terbuka, baik secara fisik
maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis dan dinamis atau bersifat sementara.
Kota merupakan tempat para warga melangsungkan berbagai aktivitasnya,
sehingga pengembangannya seharusnya diarahkan agar dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan fisik dan spiritual. Tetapi kenyataannya banyak ditemukan suatu kota
yang perencanaannya dilakukan secara kurang memadai sehingga menjadi lesu,
sakit, dan semrawut. Langkah Pemerintah Kota saat ini dengan upaya
mengembangkan Hutan Kota yang termasuk kedalam salah satu bentukan ruang
terbuka hijau (RTH) perlu mendapat apresiasi. Dengan dibentuknya ruang–ruang
terbuka hijau tersebut, dapat disusun suatu jaringan ruang terbuka hijau kota yang
berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar,
bersih, sehat, dan indah (Samsoedin 2007).
Berdasarkan Undang–Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, dijelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah
wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Menurut Irwan (2007) terdapat banyak permasalah yang dihadapi di
perkotaan, permasalahan tersebut antara lain adalah masalah yang berkaitan
dengan: 1) perusakan alam, meliputi pencemaran sungai di dalam kota, 2)
perusakan nilai historis kota, 3) prioritas diberikan kepada kendaraan bermotor,
bukan pejalan kaki, serta 4) konsentrasi di kota–kota, pertumbuhan yang cepat di
pinggir kota, serta adanya pembangunan yang tidak beraturan dan tidak menyebar
sepanjang jarak tempuh. Permasalahan lingkungan perkotaan yang menghambat
terwujudnya kota hijau disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah
tingginya laju pertumbuhan penduduk serta laju pertambahan luas lahan
terbangun, semakin menurunnya ruang terbuka hijau, terjadinya pencemaran air,
pencemaran udara, pencemaran tanah, dan terbentuknya pulau bahang kota.
5
Konsep Kota Hijau
Kota Hijau dikenal sebagai kota ekologis. Kota yang secara ekologis juga
dapat dikatakan sebagai kota sehat, artinya adalah bahwa adanya keseimbangan
antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Kota
sehat juga merupakan kondisi dari suatu kota yang aman, nyaman, bersih, dan
sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi
masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor
terkait, dan sinkronisasi dengan perencanaan kota.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), Kota Hijau juga dapat
disebut sustainable city (kota yang berkelanjutan) atau eco–city (kota berbasis
ekologi), yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan dirancang dengan
mempertimbangkan aspek lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat
berkelanjutan. Kota Hijau dapat terwujud jika masyarakat yang tinggal di
dalamnya melakukan penghematan (minimisasi) pemanfaatan energi dan air.
Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab panas, serta melakukan
pencegahan pencemaran air dan udara.
Kota Hijau pada dasarnya adalah green way of thinking dimana perlu ada
perubahan pola pikir manusia terhadap keberlanjutan lingkungan. Perubahan pola
pikir akan mengarah pada perubahan kebiasaan masyarakat dan pada akhirnya
akan menghasilkan perubahan budaya menjadi lebih ramah lingkungan (Rustiadi
2009). Konsep Kota Hijau sejalan dengan usaha untuk menghindari pembangunan
kawasan yang tidak terbangun. Hal ini menekankan pada kebutuhan terhadap
rencana pengembangan kota dan perencanaan kota–kota baru yang
memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak merugikan dari
pengembangan kota, yang selanjutnya juga dapat memastikan pengembangan kota
yang dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal.
Terdapat beberapa aspek legal mengenai pengembangan Kota Hijau di
Indonesia diantaranya tertera pada Undang–Undang (UU) No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, Pasal 29 disebutkan bahwa ruang terbuka hijau (RTH)
yang wajib ada pada wilayah perkotaan adalah paling sedikit 30% dari luas
wilayah kota, dengan proporsi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain itu
terdapat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, dan UU No. 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), untuk mewujudkan kota
hijau, setiap kota dapat menerapkan delapan indikator (atribut) kota hijau secara
bertahap yang meliputi: 1) peningkatan kualitas rencana tata ruang dan rancang
kota yang sensitif pada agenda hijau (green planning and design), 2) peningkatan
jumlah dan kualitas ruang terbuka hijau (green open space), 3) penerapan
bangunan hijau (green building), 4) usaha pengurangan limbah dan pengolahan
limbah (green waste), 5) pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan
(green transportation), 6) efisiensi pemanfaatan sumberdaya air serta zero runoff
(green water), 7) pemanfaatan energi yang efisien dan ramah lingkungan (green
energy), serta 8) pengembangan jaringan kerjasama antara pemerintah dan
masyarakat (green community).
6
Green Planning and Design
Green planning and design dapat diartikan sebagai suatu perencanaan dan
perancangan wilayah, kota atau kawasan yang memperhatikan kapasitas daya
dukung lingkungan, efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya dan ruang,
mengutamakan keseimbangan lingkungan alami dan terbangun dalam rangka
mewujudkan kualitas ruang wilayah perkotaan yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan. Perencanaan dan pembangunan kota harus sesuai dengan
peraturan Undang–undang yang berlaku, seperti UU No. 24/2007 mengenai
Penanggulangan Bencana (kota hijau harus menjadi kota waspada bencana), UU
No. 26/2007 mengenai Penataan Ruang, serta UU No. 32/2009 mengenai
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk
mengarahkan pengalokasian ruang agar tercapai keseimbangan antara ruang
sosial, ekonomi, dan lingkungan (lingkungan alami dan terbangun) untuk
mewujudkan ruang wilayah perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan.
Green Open Space
Green open space adalah bagian dari ruang–ruang terbuka suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi endemik atau
introduksi guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung yang dihasilkan
oleh ruang terbuka hijau (RTH) dalam kota tersebut, yaitu seperti keamanan,
kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Menurut
Purnomohadi (1995) pengertian ruang terbuka hijau (RTH) adalah suatu bentang
lahan terbuka tanpa bangunan yang memiliki ukuran, bentuk, dan batas geografis
tertentu dengan status penguasaan apapun yang didalamnya terdapat tumbuhan
hijau berkayu dan tahunan, dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama
dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rumput, serta penutup tanah) sebagai
tumbuhan pelengkap serta benda–benda lain sebagai bahan penunjang fungsi RTH
yang bersangkutan.
Ruang terbuka hijau memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah fungsi
ekologis, fungsi sosial budaya, fungsi planologis, fungsi ekonomi dan fungsi
estetika. Selain memiliki fungsi yang beragam, RTH juga dapat diwujudkan
dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam bentuk taman lingkungan, taman kota,
hutan kota, dan lain–lain. Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di
Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas pada KTT Johannesburg, Afrika
Selatan (2002) disepakati bahwa luasan mimimal dari RTH suatu wilayah adalah
30% dari total luas wilayahnya. Ruang terbuka hijau seluas 30% dari luas kota
dapat diciptakan dengan komposisi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain
meningkatkan jumlah RTH, peningkatan kualitas pun perlu dilakukan untuk
mengoptimalkan fungsi ekologis.
Green Building
Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 08 Tahun 2010
tentang kriteria dan sertifikasi bangunan ramah lingkungan menjelaskan bahwa
bangunan ramah lingkungan (green building) adalah suatu bangunan yang
menerapkan prinsip berbasis lingkungan dalam perancangan, pembangunan,
pengoperasian, dan pengelolaannya serta memperhatikan aspek penting
penanganan dampak perubahan iklim. Green building merupakan upaya untuk
7
meningkatkan rancangan dan konstruksi dari suatu bangunan sehingga bangunan
yang kita bangun hari ini akan bertahan lebih lama, biaya operasional yang lebih
hemat, dan tidak akan membahayakan kesehatan pekerja dan penduduk.
Konsep green building merupakan konsep untuk bangunan berkelanjutan
dan memiliki syarat tertentu yaitu lokasi, sistem perencanaan dan perancangan,
renovasi dan pengoperasian, hemat energi serta harus berdampak positif bagi
lingkungan, ekonomi dan sosial. Terdapat tiga tujuan dasar green building
diantaranya adalah: 1) melestarikan sumberdaya alam, 2) meningkatkan efisiensi
energi, serta 3) meningkatkan kualitas udara dalam ruangan. Menurut Green
Building Council Indonesia (GBCI 2009), green building adalah bangunan baru
ataupun bangunan lama yang direncanakan dibangun dan dioperasikan dengan
memperhatikan faktor–faktor keberlanjutan lingkungan. Menurut Redaksi Buletin
Tata Ruang (2011), terdapat tiga konsep utama dalam mendirikan green building
diantaranya adalah:
a. life cycle assessment (Uji Amdal)
Dalam melakukan suatu perencanaan bangunan seharusnya dilakukan
dahulu kajian Amdal, apakah dalam pengadaan suatu bangunan dapat
mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya, baik dari segi sosial, ekonomi,
maupun alam sekitarnya. Jika dengan adanya keberadaan bangunan
memberikan pengaruh negatif yang cukup besar maka bangunan tersebut sudah
menyalahi konsep dasar green building.
b. efisiensi desain struktur
Dasar dalam setiap proyek bermula pada tahap konsep dan desain. Tahap
konsep merupakan salah satu langkah utama dalam proyek yang memiliki
dampak besar pada kinerja proyek. Tujuan utama merencanakan bangunan
dengan konsep green building adalah untuk meminimalkan dampak yang akan
disebabkan oleh bangunan itu sendiri, baik selama proses pelaksanaan dan
penggunaan. Perencanaan bangunan yang tidak efisien dalam struktur juga
memberikan efek buruk terhadap lingkungan, yaitu pemakaian bahan bangunan
yang sangat banyak sehingga terjadi pemborosan.
c. efisiensi energi
Green building sering kali mencakup langkah–langkah untuk mengurangi
konsumsi energi, baik yang diperlukan untuk kehidupan segari–hari seperti
kondisi bangunan yang memudahkan angin dan sinar matahari mudah masuk
kedalam bangunan. Selain itu dari segi pelaksanaan juga harus diperhatikan,
seperti penggunaan kayu dalam pembangunan gedung akan menghasilkan
energi pembuangan yang lebih rendah dibandingkan dengan bangunan yang
menggunakan batu bata, beton ataupun baja.
Green Waste
Green waste adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, swasta dan
masyarakat untuk zero waste dengan melaksanakan prinsip 3R yaitu mengurangi
sampah atau limbah (reduce), pemanfaatan kembali (reuse) dan meningkatkan
nilai tambah dengan cara daur ulang (recycle). Pengelolaan sampah yang baik pun
akan meningkatkan kualitas kesehatan di perkotaan. Tujuan dari green waste
adalah agar masalah lingkungan seperti banjir, penyakit dan lingkungan kotor
yang disebabkan oleh sampah tidak lagi terjadi di perkotaan. Sedangkan manfaat
dari green waste ini adalah untuk meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat
8
terhadap pengelolaan sampah sendiri agar volume sampah yang selama ini
menjadi beban kota dapat berkurang, ancaman banjir dan penyakit dapat diatasi,
kesuburan dan kualitas tanah meningkat, serta membangkitkan kota yang kreatif
melalui penggunaan ulang. Salah satu penanganan sampah perkotaan yang ada
adalah dengan menerapkan bank sampah. Bank sampah adalah salah satu strategi
penerapan 3R dalam pengelolaan sampah pada sumbernya di tingkat masyarakat.
Pelaksanaan bank sampah pada prinsipnya adalah suatu rekayasa sosial (social
engineering) untuk mengajak masyarakat memilah sampah. Pelaksanaan bank
sampah dapat memberikan output nyata bagi masyarakat berupa kesempatan kerja
dalam melaksanakan manajemen operasi bank sampah dan investasi dalam bentuk
tabungan (Kementerian Lingkungan Hidup 2011).
Sebagaimana diketahui, tumpukan sampah menghasilkan gas metana. Gas
ini berbahaya bagi manusia. Karena itu tumpukan sampah ditimbun dengan tanah
dan ditutupi dengan membran (plastik), agar gas metan tidak keluar. Kemudian di
bawah tumpukan sampah itu dipasang saluran gas, sehingga gas metana yang
keluar dapat dialirkan dan menggerakkan mesin yang dapat menghasilkan listrik.
Untuk menghasilkan listrik dari sampah, ada tiga teknologi yang digunakan.
Pertama, landfill gasification yaitu menangkap gas–gas yang dihasilkan sampah
kemudian dijadikan sebagai penggerak mesin yang dapat menghasilkan listrik.
Kedua, teknologi thermal process and gasification, yaitu dengan cara
memisahkan sampah kemudian diproses di ruang hampa atau tertutup. Teknologi
yang ketiga, yaitu anaerobic gasification, yaitu dengan cara menggunakan
sampah organik kemudian difermentasi (Dewan Energi Nasional 2010).
Green Transportation
Green transportation diartikan sebagai suatu usaha pembangunan dan
pengembangan sistem transportasi yang berprinsip pada pengurangan dampak
negatif terhadap lingkungan, efisiensi penggunaan bahan bakar, dan berorientasi
pada manusia yang meliputi pengembangan jalur–jalur khusus pejalan kaki dan
sepeda, pengembangan angkutan umum massal yang memanfaatkan energi
alternatif terbarukan yang bebas polusi dan ramah lingkungan, serta
mempromosikan gaya hidup sehat dalam bertransportasi. Tujuan dari program
green transportation ini adalah untuk meningkatkan jumlah penggunaan
kendaraan umum dan menurunkan jumlah penggunaan kendaraan pribadi dengan
menggunakan transportasi massal dan menciptakan jaringan transportasi yang
aman, nyaman dan efisien. Selain itu perlu dilakukan pembangunan infrastruktur
pendukung seperti jalur sepeda dan koridor hijau sehingga mendorong masyarakat
untuk berjalan kaki atau bersepeda pada jarak yang dekat. Secara garis besar
terdapat tiga langkah utama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan green
transportation yaitu: 1) mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sistem
transportasi yang ada, 2) merumuskan sasaran untuk pengurangan penggunaan
kendaraan bermotor pada kadar maupun pada tingkat emisi, dan 3) memilih
kombinasi yang sesuai dari berbagai pilihan transportasi.
Green Water
Green water dapat didefinisikan sebagai suatu konsep untuk menyediakan
kemungkinan penyerapan air dan mengurangi puncak limpasan air, sehingga
tercapai efisiensi pemanfaatan sumberdaya air. Konsep green water dilakukan
9
untuk meminimalkan efek yang terjadi pada lingkungan dan memaksimalkan
efisiensi penggunaan sumberdaya yang ada, dimana pada akhirnya dapat
menghemat uang yang dikeluarkan dalam proses pengelolaan air. Salah satu
upaya dalam meningkatan efisiensi penggunaan dan pengelolaan sumberdaya air
adalah dengan menerapkan konsep zero run off dan ekodrainase, yaitu upaya
mengelola kelebihan air dengan cara diresapkan ke dalam tanah secara alamiah
atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai
sebelumnya. Menurut FAO 1997, green water adalah air hujan yang langsung
digunakan dan dievaporasikan oleh lahan kering tanpa irigasi, ladang
pengembalaan dan lahan hutan. Secara teoritis green water adalah air yang
diperlukan oleh tanaman.
Green Energy
Green energy merupakan energi yang dihasilkan dari sumber–sumber yang
ramah lingkungan atau menimbulkan dampak negatif yang sedikit bagi ekosistem
lingkungan maupun siklus hidup yaitu tanah, air dan udara. Konsep green energy
ini berkembang karena adanya dampak negatif yang luar biasa akibat dari
penggunaan energi fosil. Tujuan dari green energy adalah untuk menemukan
sumber–sumber energi alternatif selain energi fosil yang dapat meminimalkan
dampak negatif bagi lingkungan. Energi alternatif yang sudah dikembangkan
berupa pemanfaatan energi angin, matahari, air, pasang surut, dan lain–lain.
Manfaat dari green energy diantaranya adalah: 1) tersedianya energi alternatif
yang mampu memenuhi ketersediaan energi nasional, 2) terjaganya kelestarian
lingkungan hidup, 3) terciptanya lapangan kerja baru bagi masyarakat, serta 4)
terwujudnya kesadaran terhadap peran penting keberadaan energi fosil yang
terbatas jumlahnya. Undang–Undang (UU) terkait definisi energi tertera pada UU
No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Green Community
Green community dapat diartikan sebagai sebuah komunitas atau kelompok
warga yang peduli terhadap masalah lingkungan dan sosial budaya. Dalam
mewujudkan kota hijau pemerintah bekerja sama dengan masyarakat, dapat
melalui penyuluhan dan partisipasi aktif masyarakat serta bermitra dengan
masyarakat dalam mengadakan tanaman hijau di lingkungan masyarakat. Dalam
hal ini green community ditujukan sebagai usaha untuk: 1) meningkatkan public
awareness tentang pentingnya kota hijau, 2) membangun networking untuk
kekuatan baru dan dalam satu kesatuan, serta 3) merawat dan memelihara
sehingga mampu menuju sustainable development.
Green community juga merupakan salah satu indikator penting dalam
mewujudkan kota hijau, karena masyarakat dipercaya dapat menjadi motor
penggerak gerakan hijau pada suatu kota serta menjamin keberlanjutan
lingkungan hidup dan sosial–budaya dimasa mendatang. Green community dapat
dibentuk melalui partisipasi masyarakat dan komunitas warga.
Ruang Terbuka Kota
Menurut Hakim (1991) dalam Kemalaputri (2000), ruang terbuka adalah
satu jenis ruang yang pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat
10
menampung aktivitas tertentu baik secara individu atau secara berkelompok di
luar bangunan. Ditinjau dari segi aktivitasnya maka ruang terbuka terdiri dari
ruang terbuka aktif dan ruang terbuka pasif. Menurut Simonds (1983), ruang
terbuka berhubungan langsung dengan penggunaan struktur sehingga dapat
mendukung fungsi struktur tersebut. Salah satu yang termasuk ruang terbuka
adalah ruang terbuka hijau (RTH).
Ruang Terbuka Hijau
Menurut Purnomohadi (1995) pengertian RTH adalah: 1) suatu lapang yang
ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah,
semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu), dan 2) sebentang lahan terbuka
tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu
dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau
berkayu dan tahunan (perennial woody plants) dengan pepohonan sebagai
tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan
tumbuhan penutup tanah lainnya) sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda–
benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang
bersangkutan.
Pengertian RTH berdasarkan UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008, dijelaskan bahwa salah satu
strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui
daya dukung adalah dengan penetapan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas
kawasan perkotaan dengan proporsi 20% ruang terbuka hijau publik dan 10%
ruang terbuka hijau privat. Sedangkan kawasan perkotaan menurut UU Republik
Indonesia No. 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
Fungsi, manfaat, klasifikasi, dan distribusi RTH di wilayah perkotaan
menjadi sangat penting, karena fungsi dan manfaat RTH tidak dapat digantikan
dengan unsur–unsur ruang kota lainnya karena sifatnya yang alami. Menurut
Urban Planning and Design Criteria (1975), dalam sistem ruang terbuka, RTH
merupakan bagian dari ruang terbuka. Klasifikasi RTH terdiri atas RTH lindung
(Wilderness areas, Protected areas, dan Natural park area) dan RTH binaan
(Urban park area, Recreational areas, dan Urban development open spaces).
Gap Analysis
Menurut Jennings (1999), gap merupakan identifikasi adanya suatu
perbedaan (disparity) antara satu hal dengan hal lainnya. Suatu konsep dan
organisasi pada dasarnya diperlukan dalam mengembangkan prinsip utama
metode Gap analysis. Menurut Parasuraman, Zeithamet, dan Barry (1985), Gap
analysis (analisis kesenjangan) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi kinerja dari instansi pemerintahan, khususnya dalam upaya
penyediaan pelayanan terhadap masyarakat umum. Hasil analisis dapat menjadi
11
input yang berguna bagi perencanaan dan penentuan prioritas anggaran di masa
yang akan datang. Gap analysis merupakan salah satu langkah yang sangat
penting dilakukan dalam tahapan perencanaan maupun tahapan evaluasi kinerja.
Gap analysis merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui
kinerja dari suatu program yang sedang berjalan dengan sistem standar. Gap
analysis tidak hanya diterapkan dalam suatu instansi atau lembaga, namun dapat
juga diterapkan dalam evaluasi kinerja dari pemerintah. Gap analysis merupakan
metode analisis yang mempunyai pendekatan bottom up yang dapat memberikan
masukan berharga bagi pemerintah, terutama dalam perbaikan dan peningkatan
kinerja pelayanan kepada masyarakat. Dalam penelitian ini, Gap analysis
digunakan untuk mengetahui kesenjangan yang terjadi antara kondisi ideal dari
suatu konsep kota hijau dengan kondisi aktual di suatu kota yang menerapkan
konsep kota hijau. Gap analysis juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja
pemerintah dalam perencanaan dan pengembangan sarana dan prasarana kota
dalam mewujudkan konsep kota hijau di suatu kota. Sehingga dapat diketahui
permasalahan terkait pengembangan konsep kota hijau dan solusi pengembangan
untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Perencanaan Lanskap
Menurut Gold (1980), perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis
dan dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara
terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut. Perencanaaan lanskap
merupakan suatu bentuk produk utama dari suatu kegiatan arsitektur lanskap.
Perencanaan lanskap ini merupakan kegiatan penataan lahan berdasarkan pada
lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai.
Simonds dan Starke (2006) menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu
kemampuan untuk memahami dan menganjurkan adanya suatu perubahan dari
yang mungkin atau tidak mungkin pada saat menjadi kenyataan pada masa yang
akan datang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan dari perencanaan adalah untuk
menentukan tempat yang sesuai dengan daya dukung lahan dan keadaan umum
masyarakat di sekitarnya.
Selain itu menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), perencanaan
merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna
mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetika
dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam
upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan termasuk kesehatannya.
Secara praktikal, kegiatan merencanakan suatu lanskap merupakan suatu proses
pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep kehidupan manusia atau
masyarakat ke arah suatu bentuk lanskap atau bentuk alam yang nyata dan
berkelanjutan.
12
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia
(Gambar 2). Kota Bogor terletak ± 56 km sebelah selatan Jakarta, dan wilayahnya
berada di tengah–tengah wilayah Kabupaten Bogor. Luas keseluruhan wilayah
Kota Bogor adalah mencapai 11 850 ha dengan jumlah penduduk sekitar 967 398
jiwa (Kota Bogor Dalam Angka 2011). Waktu penelitian dimulai pada bulan
Februari 2013 hingga bulan September 2013.
Gambar 2 Peta Jawa Barat dan Kota Bogor
Sumber: www.wikimapia.org (kiri) dan www.google.com/images (kanan)
Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software). Bahan yanh digunakan berupa data primer
dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung
di lapang, dan data sekunder adalah data–data pendukung lain yang sesuai dan
valid. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian berlangsung yaitu:
Tabel 1 Alat dan bahan penelitian
Alat
Kegunaan
Kamera Digital
Pengambilan gambar di tapak
Bahan
Kegunaan
Peta Kota Bogor
Mengetahui kondisi aktual Kota Bogor
RTRW Kota Bogor
Mengetahui rencana pengembangan Kota Bogor
Bahan Pustaka
Studi literatur
13
Batasan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi evaluasi mengenai konsep kota hijau di Kota
Bogor, dimana penelitian ini untuk mendukung program pengembangan kota
hijau di seluruh kota di Indonesia. Selain itu penelitian ini dilakukan demi
pembangunan Kota Bogor yang berbasis lingkungan, berkelanjutan, dan terjaga
kelestariannya. Penelitian ini dibatasi oleh:
a. pengamatan terhadap kondisi aktual Kota Bogor saat ini dalam pengembangan
kotanya. Aspek yang diamati berdasarkan indikator kota hijau, serta
b. melakukan kajian terhadap penerapan konsep kota hijau dengan menggunakan
Gap analysis, dimana analisis ini lebih menekankan pada perbandingan
kondisi aktual Kota Bogor terhadap kondisi idealnya suatu kota yang
menerapkan konsep kota hijau sehingga dapat terlihat indikator apa saja yang
sudah diterapkan di Kota Bogor.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah
metode survei lapang mengenai penerapan indikator kota hijau di Kota Bogor.
Metode survei lapang merupakan metode yang memusatkan diri pada survei
langsung ke tapak untuk mengetahui kondisi penerapan indikator kota hijau di
Kota Bogor. Aspek yang diamati terdiri dari delapan indikator kota hijau. Tahapan
penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini diawali dengan melakukan tahapan
inventarisasi, analisis, dan evaluasi terhadap penerapan delapan indikator kota
hijau. Berikut ini adalah penjelasan dari setiap tahapan penelitian yang dilakukan:
Inventarisasi
Tahapan inventarisasi dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang
dibutuhan baik data primer maupun data sekunder. Data primer adalah data yang
didapat dari narasumber maupun yang dapat diambil langsung di tapak, seperti
data hasil wawancara dan data hasil observasi lapang. Sedangkan data sekunder
adalah data yang didapat dari sumber–sumber literatur yang membantu peneliti
dalam mengolah data dengan cara desk study, yaitu metode pengumpulan data
berupa laporan–laporan hasil studi pustaka yang dapat diperoleh dari skripsi, tesis,
disertasi, laporan penelitian, artikel, maupun jurnal. Aspek data yang diamati
terdiri dari kondisi fisik dan biofisik Kota Bogor, serta data–data terkait delapan
indikator kota hijau. Berikut ini adalah tabel jenis dan sumber data yang
digunakan (Tabel 2).
Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian
No
1
Data
Kondisi
Umum
Kota
Bogor
Jenis Data
Sumber Data
Sekunder
Bappeda Kota
Bogor, RTRW
Kota Bogor
Letak, luas, batas
tapak
Geologi
Topografi
Iklim
Tata guna lahan
Cara
Pengambilan
Studi
Pustaka
14
Lanjutan Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian
No
Data
Jenis Data
Sumber Data
Cara
Pengambilan
Primer,
sekunder
Survei,
Bappeda Kota
Bogor, RTRW
Kota Bogor
Survei
lapang, Studi
pustaka
Sekunder
Dinas
kependudukan
Studi
pustaka
Green planning
and design
Green open
space
Green building
2
Indikator
Kota
Hijau
Green waste
Green
transportation
Green water
Green energy
Green
Community
3
Aspek
Sosial
Jumlah penduduk
Analisis
Tahapan analisis dimulai dengan merumuskan konsep ideal dari suatu kota
hijau dari hasil desk study dengan pendekatan delapan indikator kota hijau, yang
dilanjutkan dengan mengidentifikasi kondisi eksisting dari delapan indikator
konsep kota hijau yang ada di Kota Bogor dengan menggunakan Gap analysis
secara deskriptif. Dalam penelitian ini gap analysis adalah metode analisis yang
digunakan untuk membandingkan kondisi ideal dari suatu kota hijau dengan
kondisi aktual dari Kota Bogor, sehingga dapat diketahui implementasi konsep
kota hijau yang sudah dicapai oleh Kota Bogor dan dijelaskan secara deskriptif.
Evaluasi
Penelitian ini menghasilkan evaluasi terhadap kondisi penerapan konsep
kota hijau di Kota Bogor. Pada tahap ini dilakukan penilaian atau skoring untuk
mengetahui seperti apa dan bagaimana pencapaian penerapan dari ke–delapan
indikator kota hijau. Skoring dilakukan dengan memberikan skor 0, 1, 2, 3, dan 4
pada setiap model penerapan dari ke–delapan indikator kota hijau yang ada
dengan melihat dan mengacu pada batasan–batasan penilaian bagi setiap indikator
(Tabel 3–10). Setelah dilakukan skoring terhadap model penerapan setiap
indikator untuk mengetahui pencapaiannya di Kota Bogor, maka tahap
selanjutnya adalah menentukan persentase dari setiap indikator dengan rumusan:
ilai enerapan otal
Dimana:
X1
Xn
Xt
t
n
= persentase bentuk penerapan indikator 1
= persentase bentuk penerapan indikator ke–n
= nilai penerapan total bentuk penerapan setiap indikator
15
Selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap nilai maksimal dari setiap
indikator serta menghitung persentase dari penerapan setiap indikator dengan
rumusan sebagai berikut:
ilai
aksimal
ma
jumlah model penerapan
poin skoring maksimal
nilai penerapan total t
nilai maksimal ma
ersentase enerapan ndikator
Setelah tahapan skoring ini dilakukan, maka dapat diketahui indikator apa
saja yang sudah diterapkan dengan baik dan indikator apa saja yang belum
diterapkan dengan baik di Kota Bogor. Sehingga dapat diketahui perlakuan atau
rencana yang akan dilakukan selanjutnya untuk menciptakan kota hijau yang ideal
di Kota Bogor. Berikut ini adalah tabel dari batasan–batasan dari setiap indikator
yang dapat menjadi acuan untuk menentukan skor dari setiap model penerapan.
Tabel 3 Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design
Penerapan
(Program)
Compact City
Skor
Skor 0
1. Tidak ada
rencana untuk
pengembangan
kota dengan
menggunakan
konsep
compact city
dan tidak
tertera dalam
RTRW.
2. Tidak ada
penerapan.
Mixed–Use
Development
Skor 1
1. Sudah ada arahan
untuk
pengembangan
compact city,
namun belum
tertera dalam
RTRW.
2. Sudah ada
penerapan pada
beberapa
komponen
pembentuk
compact city
(bangunan
vertikal, penentuan
KDH), namun
belum bertujuan
untuk
mengembangkan
konsep compact
city.
1. Tidak ada
1. Sudah ada arahan
rencana untuk
untuk
pengembangan
pengembangan
kota dengan
mixed use
menggunakan
development,
mixed use
namun belum
development
tertera dalam
dan tidak
RTRW.
tertera dalam
RTRW.
Skor 2
1. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
compact city
yang tertera
dalam RTRW.
Skor 3
1. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
compact city
yang tertera
dalam RTRW.
Skor 4
1. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
compact city
yang tertera
dalam RTRW.
2. Sudah ada
2. Sudah ada
2. Sudah ada
penerapan pada
penerapan pada
penerapan
beberapa
beberapa
dengan
komponen
komponen
membentuk
pembentuk
pembentuk
kawasan
compact city
compact city
compact city.
(bangunan
(bangunan
vertikal,
vertikal,
3. Adanya
penentuan
penentuan
pengembangan
KDH), serta
KDH), serta
jalur pejalan kaki
adanya
adanya
di sekitar
pengembangan
pengembangan
kawasan
jalur pejalan kaki
jalur pejalan
compact city dan
di sekitarnya.
kaki