Peranan Serikat Petani Indonesia dalam Pengembangan Komunitas Petani di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang Bogor
i
PERANAN SERIKAT PETANI INDONESIA DALAM
PENGEMBANGAN KOMUNITAS PETANI
DI DESA CIARUTEUN ILIR
FINGKI ARDIANSYAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peranan Serikat
Petani Indonesia dalam Pengembangan Komunitas Petani di Desa Ciaruteun Ilir
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Fingki Ardiansyah
NIM I34090114
iii
ABSTRAK
FINGKI ARDIANSYAH. Peranan Serikat Petani Indonesia dalam
Pengembangan Komunitas Petani di Desa Ciaruteun Ilir. Dibimbing oleh
FREDIAN TONNY NASDIAN
Serikat Petani Indonesia (SPI) merupakan Organisasi Massa yang bergerak
menaungi petani dalam menyuarakan hak-hak dan aspirasi petani. Peranan Serikat
Petani Indonesia adalah memberdayakan masyarakat lapisan bawah dengan
melakukan kegiatan bersama untuk mencapai pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Lapisan sosial terdiri dari lapisan sosial atas, menengah, dan bawah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa struktur sosial komunitas petani di Desa Ciaruteun
Ilir termasuk petani lapisan bawah yang mempunyai lahan kurang dari 0.5 ha dan
tidak mempunyai lahan, yang bertani dengan sistem sewa lahan sesuai masa
panen, sistem kontrak lahan dan menjadi buruh tani. Peran SPI di Desa Ciaruteun
Ilir mencakup upaya advokasi, pengorganisasian komunitas, pengembangan
jaringan, dan pengembangan kapasitas petani. SPI cukup berhasil memberdayakan
petani anggotanya yang dilihat dari tingginya tingkat partisipasi dan tingkat
kemandirian petani.
Kata kunci : Serikat Petani Indonesia, lapisan sosial, partisipasi, kemandirian
ABSTRACT
FINGKI ARDIANSYAH. The Role of Serikat Petani Indonesia in developing
farmers community of Ciaruteun Ilir Village. Supervised by FREDIAN TONNY
NASDIAN
Serikat Petani Indonesia (SPI) is Mass Organization who enforce and
empower farmer to express their rights and aspirations. The role of serikat petani
Indonesia is to empower lower class citizen by making some activities and doing
it together to achieve citizen needs. Social class consist of upper class, middle
class and lower class, from the research known that ciauruteun ilir farmers
community, belong to lower class who owned less than 0.5 ha farm land and
farmer who didn’t have farm land, who do farming by using land rent system
according to harvest time, farm labor and rent a land to farm. The role of SPI at
Ciaruten Ilir Village are advocacy assistance, community organizing, network
development and farmer’s skills and capacity development. SPI is quite success
empowered farmer (SPI member), known by high participation from farmers and
level of farmer independency.
Keywords : Serikat Petani Indonesia, social class, participation, independence
iv
PERANAN SERIKAT PETANI INDONESIA DALAM
PENGEMBANGAN KOMUNITAS PETANI
DI DESA CIARUTEUN ILIR
FINGKI ARDIANSYAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
v
Judul Skripsi : Peranan Serikat Petani Indonesia dalam Pengembangan
Komunitas Petani di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan
Cibungbulang Bogor
Nama
: Fingki Ardiansyah
NIM
: I34090114
Disetujui oleh
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Peranan Serikat Petani Indonesia dalam Pengembangan
Komunitas Petani di Desa Ciaruteun Ilir” dengan baik. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan banyak arahan, saran, dan masukan selama proses penulisan
hingga penyelesaian skripsi ini
2. Ibu Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing dan memberi masukan selama kuliah
3. Ibu Yulmanidar selaku orangtua tercinta yang selalu mengingatkan penulis
untuk selalu berusaha dalam penyelesaian penulisan skripsi
4. Fandi Arfan sebagai kakak yang baik dan perduli terhadap penulis dalam
proses penulisan skripsi
5. Putri Nurgandini sebagai teman terdekat penulis yang telah membantu penulis
dalam setiap kegiatan pengambilan data
6. Bapak Jayadi dan seluruh informan maupun responden lainnya yang telah
membantu penulis dalam kegiatan pengambilan data di Desa Ciaruteun Ilir
7. Zamaludin dan Demmy sebagai teman dekat penulis
8. Dan semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan
Bogor, Januari 2015
Fingki Ardiansyah
NIM I34090114
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
ix
x
x
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perannya
Struktur Sosial
Konsep Pemberdayaan
Partisipasi
Kemandirian
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
Definisi Konseptual
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu
Teknik Sampling dan Pengambilan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
DESKRIPSI UMUM
Kondisi Umum Desa Ciaruteun Ilir
Kondisi Geografis
Kondisi Demografis
Kondisi Fisik
Kondisi Sosial Ekonomi
Serikat Petani Indonesia
Struktur Sosial Responden di Desa Ciaruteum Ilir
PERAN SERIKAT PETANI INDONESIA DALAM PEMBERDAYAAN
KOMUNITAS PETANI DI DESA CIARUTEUN ILIR
Peran Serikat Petani Indonesia Dalam Pemberdayaan Komunitas Petani di
Desa Ciaruteun Ilir
PERAN SERIKAT PETANI INDONESIA DALAM KEBERHASILAN
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS PETANI
Tingkat Partispasi Petani di Desa Ciaruteun Ilir
Tingkat Partisipasi pada Tahap Perencanaan
Tingkat Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan
Tingkat Partisipasi pada Tahap Menikmati Hasil
Tingkat Partisipasi pada Tahap Evaluasi
Tingkat Kemandirian Petani di Desa Ciaruteun Ilir
1
1
2
3
4
5
5
5
5
8
10
12
13
14
14
16
17
17
17
17
19
21
21
21
22
23
24
25
26
29
29
31
31
32
34
36
38
40
viii
Hubungan Pelapisan Sosial dalam Tingkat Partisipasi Petani di Desa
Ciaruteun Ilir
Hubungan Pelapisan Sosial dalam Tingkat Kemandirian Petani di Desa
Ciaruteun Ilir
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
41
44
47
47
47
49
51
69
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi
Arnstein
Matrik Pengumpulan Data
Luas lahan menurut penggunaannya di Desa Ciaruteun Ilir
tahun 2012
Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis kelamin
penduduk di Ciaruteun Ilir tahun 2012
Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat
pendidikan tahun 2012
Jumlah sarana dan prasana umum di Desa Ciaruteun Ilir
tahun 2012
Jumlah dan persentase penduduk menurut matapencaharian
pokok tahun 2012
Jumlah dan presentase petani menurut tingkat pelapisan
sosial di Desa Ciaruteun Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani pada semua tahapan
partisipasi di Desa Ciaruteun Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani menurut tahap pelaksanaan
dalam program pengembangan pertanian di Desa Ciaruteun
Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani menurut tahap pelaksanaan
dalam program pengembangan pertanian di Desa Ciaruteun
Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani menurut tahap menikmati
hasil dalam program pengembangan pertanian di Desa
Ciaruteun Ilir
Jumlah dan persentase petani menurut tahap evaluasi
dalam program pengembangan pertanian di Desa Ciaruteun
Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani menurut tingkat kemandirian
dalam pengembangan pertanian di Desa Ciaruteun Ilir
tahun 2014
Jumlah dan presentase petani SPI menurut pelapisan sosial
dalam tingkat partisipasi petani SPI di Desa Ciaruteun Ilir
tahun 2014
Jumlah dan presentase petani non SPI menurut pelapisan
sosial dalam tingkat partisipasi petani non SPI di Desa
Ciaruteun Ilir tahun 2014
Jumlah dan presentase petani SPI menurut pelapisan sosial
dalam tingkat kemandirian petani SPI di Desa Ciaruteun
Ilir tahun 2014
Jumlah dan presentase petani non SPI menurut pelapisan
sosial dalam tingkat kemandirian petani non SPI di Desa
Ciaruteun Ilir tahun 2014
11
18
22
22
23
23
24
27
31
32
35
37
38
40
43
43
44
45
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Struktur lapisan pada masyarakat
Kerangka pemikiran
7
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7.
Sketsa Desa Ciaruteun Ilir
Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Kerangka Sampling
Kuesioner
Pertanyaan Wawancara Mendalam
Hasil Catatan Harian
Dokumentasi Foto
51
52
53
55
59
60
68
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Desa Ciaruteun Ilir merupakan desa yang terletak di Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan Kecamatan Ciampea.
Desa Ciaruteun Ilir memiliki bentang lahan pertanian 200 hektar dan
masyarakatnya hidup dari pertanian. Nasution (2012) menyatakan Desa Ciaruteun
Ilir telah mengalami perubahan komoditas utama Lahan sawah yang memiliki
potensi untuk menghasilkan banyak beras berubah menjadi penghasil sayuran.
Desa tersebut mempunyai beberapa kelompok-kelompok tani yang menjadi
anggota Serikat Petani Indonesia untuk memperjuangkan keberlanjutan hidupnya
dari sektor pertanian. Petani di desa itu dibimbing oleh lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang pertanian yakni Serikat Petani Indonesia
(SPI). Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang
pertanian ini karena bertujuan ingin memberikan hak-hak lahan petani sebagai
petani penggarap. Lembaga swadaya ini diharapkan dapat mempengaruhi
kemandirian dan partisipasi komunitas petani untuk dapat terus bertani. Hal itu
diharapkan dapat mengentaskan masalah kemiskinan di pedesaan.
Kemiskinan lebih diidentikan terjadi di pedesaan yang sebagian besar
penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Hal itu terbukti dari data Badan
Pusat Statistika menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di pedesaan
Indonesia mencapai 17.919.046 jiwa (14.42 persen) pada September 20131.
Kemiskinan di kalangan petani itu lah yang mendorong Lembaga Swadaya
Masyarakat untuk melakukan pemberdayaan bagi para petani. Pemberdayaan
dilakukan untuk petani karena rendahnya tingkat partisipasi petani dalam program
yang dicanangkan pemerintah. Program pemberdayaan bagi petani yang
cenderung top-down justru tidak memberdayakan karena rendahnya tingkat
partisipasi petani dalam program yang ada. Ndraha (1987) mengungkapkan bahwa
kelemahan strategi top-down yaitu jika pola ini menjadi sistem maka kemampuan
masyarakat untuk berkembang sendiri sukar dikembangkan, karena masyarakat
biasa tergantung pada pemerintah. Program yang datang secara top-down biasanya
kurang sesuai dengan kebutuhan dan harapan para petani. Petani malah tidak
dapat merasakan manfaat program dan terjadi kesenjangan antara petani dan
kelompok lainnya yang mengambil keuntungan.
Lembaga Swadaya Masyarakat hadir dalam upaya untuk memberdayakan
petani dengan meningkatkan partisipasi dan kemandirian petani. Hal itu dilakukan
dengan meningkatkan partisipasi petani untuk menyuarakan haknya yang tidak
diperhatikan. Menurut Suharto2 (2005) pemberdayaan atau pengembangan
masyarakat adalah sebuah proses serangkaian kegiatan untuk memperkuat
kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk
individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Berdasarkan pernyataan
tersebut mengungkapkan adanya kesenjangan yang terjadi antara lapisan sosial
1
Diakses: www.bps.go.id pada tanggal 3 September 2013
Diperoleh dari pendekatan konseptual karya pustaka, diunduh dari
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/60024/BAB%20II%20Pendekatan%20Kon
septual.pdf?sequence=4
2
2
yang ada membuat LSM melakukan perannya. Hal itu dimaksudkan untuk
membantu kelompok lemah (lapisan bawah) dalam mewujudkan keberdayaannya.
Lapisan sosial yang ada terbagi menjadi lapisan sosial atas (upper class), lapisan
menengah (middle class), dan lapisan bawah (lower clas) (Soekanto 2009). Petani
dianggap sebagai lapisan bawah karena mempunyai status dan peranan yang lebih
rendah dari lapisan lainnya. Belum tercipta sistem yang adil dalam pemanfaatan
lahan pertanian, dimana petani sebagai golongan bawah kurang mendapat
keluasan dalam pemanfaatan lahan pertanian. Menurut Suryadi (2005) dalam
Praja (2009) LSM sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan
lewat aksi pengembangan kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan kemandirian
kelompok-kelompok masyarakat, termasuk mengembangkan kesadaran
masyarakat untuk membangun keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi.
Serikat Petani Indonesia sebagai Organisasi Massa yang mempunyai peran
seperti LSM bagi komunitas petani bertujuan untuk menyuarakan hak-hak petani.
Ormas (Organisasi Massa) yang saat ini disebut Orkemas atau Organisasi
Kemasyarakatan merupakan bentuk dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat, yang
dijelaskan dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(UU Ormas). Serikat Petani Indonesia melakukan pendidikan dan pelatihan bagi
petani yang ingin menjadi anggota. Pelatihan dan pendidikan diberikan untuk
memberi pengetahuan tentang tujuan dan maksud Serikat Petani Indonesia.
Selanjutnya, secara bersama-sama membangun kesadaran kritis petani untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam pertaniannya. Maka dari itu
Petani yang mengikuti pendidikan dan pelatihan SPI yang berarti menjadi anggota
SPI berbeda tingkat keberdayaan dengan petani non SPI.
Program-program yang dibangun bersama sesuai dengan apa yang
dibutuhkan petani seperti program untuk masalah lahan, kedaulatan pangan,
pengadaan bibit dan prasarana, sampai masalah modal dan pemasaran.
Pendekatan yang dilakukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) adalah
membangun bersama karena petani sebagai bagian SPI yang meningkatkan
partisipasi dan kemandirian petani khususnya petani lapisan bawah. Berbeda
dengan pemerintah, program yang dicanangkan justru menguntungkan kalangan
menengah dan atas. Para petani sebagai lapisan bawah tetap belum sejahtera.
Lembaga Serikat Petani Indonesia (SPI) ini menaungi petani yang sudah menjadi
anggota SPI, namun perlu dianalisis lebih jauh tentang kesesuaian peran yang
seharusnya dilakukan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian
tentang bagaimana peran Serikat Petani Indonesia dalam Pengembangan
Komunitas Petani.
Masalah Penelitian
Desa Ciaruteun Ilir merupakan desa yang mayoritas penduduknya bekerja
sebagai petani sayuran. Terdapat beberapa kelompok tani yang menjadi anggota
Serikat Petani Indonesia. Umumnya para petani yang menjadi anggota Serikat
Petani Indonesia merupakan petani lapisan bawah yang tidak mempunyai lahan
atau mempunyai lahan kurang dari 0.5 ha dan kurang diberikan akses untuk
memperjuangkan hak-haknya dibandingkan dengan petani lapisan lainnya. Petani
3
lapisan menengah dan lapisan atas pun sudah sangat sedikit yang ada di Desa
Ciaruteun Ilir. Oleh karena itu, ingin mengetahui bagaimana bentuk struktur sosial
komunitas petani di desa?
Serikat petani sebagai Organisasi Massa yang mempunyai peran seperti
LSM hadir untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan dan menyelesaikan masalah
petani lapisan bawah. Fokus sasaran SPI pada petani lapisan bawah. Menurut
Suryadi (2005) LSM sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan
lewat aksi pengembangan kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan kemandirian
kelompok-kelompok masyarakat, termasuk mengembangkan kesadaran
masyarakat untuk membangun keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi.
Begitupula halnya dengan aksi pemberdayaan yang dilakukan SPI untuk
membangun partisipasi dan kemandirian petani yang menjadi anggota SPI. Secara
bersama-sama dengan kader SPI sebelumnya mengikuti pendidikan dan pelatihan
ketika menjadi anggota SPI. Kemudian, secara bersama mengadakan berbagai
kegiatan dan program sesuai kebutuhan petani. Oleh karena itu, ingin dilihat
bagaimana peranan Serikat Petani Indonesia dalam memberdayakan komunitas
petani di Desa Ciaruteun Ilir?
Pemberdayaan Serikat Petani Indonesia (SPI) disesuaikan dengan visi SPI
untuk membela dan mengaspirasikan hak-hak petani lapisan bawah yang
merupakan penggarap dan tidak mempunyai lahan. Kader-kader SPI mengajak
para petani untuk ikut menjadi anggota SPI atas dasar persamaan keinginan untuk
dapat terus bertani dengan keterbatasan lahan yang dimiliki. Pemberdayaan
kepada komunitas petani dilakukan dengan program-program yang diharapkan
mampu menyelesaikan masalah petani secara bersama-sama. Program yang ada
disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan petani karena disusun bersama petani.
Pemberdayaan oleh SPI diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan
kemandirian petani anggota SPI khususnya petani lapisan bawah. Oleh karena itu,
ingin dianalisis bagaimana peran SPI dalam keberhasilan pemberdayaan
komunitas petani?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan struktur sosial komunitas petani di Desa Ciaruteun Ilir
2. Mendeskripsikan peran Serikat Petani Indonesia dalam pemberdayaan
komunitas petani di Desa Ciaruteun Ilir
3. Menganalisis peran SPI dalam keberhasilan pemberdayaan komunitas
petani di Desa Ciaruteun Ilir
4
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak yang
berminat maupun yang terkait dengan Peranan Serikat Petani Indonesia dalam
Pengembangan Komunitas petani sebagai berikut:
1. Menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji
secara ilmiah mengenai Peranan Serikat Petani Indonesia dalam
pengembangan komunitas petani.
2. Menambah literatur bagi kalangan akademisi dalam mengkaji peranan
Serikat Petani Indonesia dalam pengembangan komunitas petani
3. Acuan dalam pelaksanaan program bagi Lembaga Swadaya Masyarakat
dalam pengembangan komunitas petani bagi kalangan non akademisi,
seperti masyarakat, swasta, dan pemerintah.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perannya
Hadad (1983) membedakan organisasi kemasyarakatan menjadi dua
kelompok besar, pertama, kelompok primer (primary group), yaitu kelompok
yang mempunyai aspirasi dan kegiatan dengan ciri hubungan yang dekat dan
intim serta sukarela; interaksi di antara para anggota terjadi secara tatap muka.
Kelompok ini biasanya merupakan komunitas desa atau kampong, contohnya
rukun kampong, rukun warga, kelompok usaha bersama dan sebagainya.
Kelompok inilah yang disebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kedua,
kelompok sekunder (intermediate/secondary group), yaitu kelompok masyarakat/
organisasi yang tumbuh dari tengah masyarakat, yang para anggotanya
mempunyai kepentingan bersama untuk melakukan usaha atas kegiatan bersama
dalam lingkup dan skala yang relatif terbatas, mencapai tujuan masyarakat yang
tidak mengejar keuntungan semata. Kelompok ini biasanya lebih besar
terorganisir, bahkan mempunyai jaringan yang luas dengan kelompok-kelompok
primer, namun cara berkomunikasi tidak harus selalu tatap muka. Kelompok ini
disebut Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LSPM)
Menurut Gaffar (2006) peran LSM sangat besar dalam kehidupan
masyarakat dan melihat LSM sebagai alternatif untuk munculnya civil society.
Dalam keadaan civil society, berarti LSM harus mampu membuat perubahan di
masyarakatnya menjadi mandiri. Selain masyarakat petani harus menjadi mandiri,
partisipasi merupakan hal penting dalam membuat perubahan. Suryadi dalam
Praja (2009) mengungkapkan peranan dan sikap yang dilakukan LSM sebagai
berikut:
1. Mengontrol, mencegah dan membendung dominasi dan manipulasi
pemerintah terhadap masyarakat sebagai kekuatan pengimbang
(countervailing power).
2. Gerakan pemberdayaan yang diwujudkan lewat aksi pengembangan
kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan kemandirian kelompokkelompok masyarakat termasuk mengembangkan keswadayaan,
kemandirian, dan partisipasi melalui pendidikan, latihan, pengorganisasian
dan mobilisasi masyarakat
3. Lembaga perantara yang dilakukan dengan mengupayakan adanya aksi
yang bersifat memediasi hubungan antara masyarakat dengan negara,
antara masyarakat dengan LSM dan antar LSM sendiri dengan masyarakat
melalui lobi, koalisi, surat menyurat, pendampingan, dan kerjasama antar
aktor.
Struktur Sosial
Struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat (Sunarto 2007). Menurut Soekanto
(2009) struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi
sosial dan peranan-peranan sosial. Konsep struktur sosial berkaitan dengan
pelapisan-pelapisan dalam masyarakat. Sistem lapisan dalam masyarakat tersebut
6
dalam sosiologi dikenal dengan social stratification. Kata stratification berasal
dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Pitirim A. Sorokin3
menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya
adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya, menurut
Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam
pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab nilai-nilai sosial
pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Bentuk-bentuk lapisan masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali.
Lapisan-lapisan tersebut tetap ada, sekalipun dalam masyarakat kapitalistis,
demokratis, komunistis, dan lain sebagainya. Lapisan masyarakat mulai ada sejak
manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial.
Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang bertaraf kebudayaan masih bersahaja.
Lapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara
pemimpin dengan yang dipimpin, golongan buangan/budak dan bukan
buangan/budak, pembagian kerja, dan bahkan juga suatu pembedaan berdasarkan
kekayaan. Semakin rumit dan semakin maju teknologi sesuatu masyarakat,
semakin kompleks pula sistem lapisan masyarakat4.
Pelapisan masyarakat bisa dibagi menjadi tiga bagian yaitu lapisan atas
(upper class), lapisan menengah (middle class), dan lapisan bawah (lower class).
Soekanto (2009) menjelaskan ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk
menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah
sebagai berikut.
1. Ukuran kekayaan
Barangsiapa yang memiliki kekayaan yang paling banyak termasuk dalam
lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk
rumah
yang
bersangkutan,
mobil
pribadinya,
cara-caranya
mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan
untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.
2. Ukuran kekuasaan
Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang
terbesar menempati lapisan atasan.
3. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran
kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati,
mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada
masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua
atau mereka yang pernah berjasa.
4. Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang
menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetepai, ukuran tersebut kadangkadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena ternyata
bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar
3
Pitirim A. Sorokin, social and Cultural Mobility, (Collier- Macmillan Limited, London: The Free
Press of Glencoe, 1959), hlm. 11.
4
Lihatlah Alex Inkeles, What is Sociology, an Introduction to the Discipline and Profession,
(India: Prentice Hall of India (Private) Ltd., 1965) , hlm. 83.
7
kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang demikian memacu segala macam
usaha untuk mendapat gelar, walau tidak mahal.
Berdasarkan kriteria pengklasifikasian lapisan sosial tersebut, maka tidak
banyak individu yang dapat memenuhi persyaratan untuk bisa menempati posisi
lapisan atas. Menurut Soekanto (2009) pada umumnya warga lapisan atas (upper
class) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah
(middle class) dan lapisan bawah (lower class). Bila digambarkan, akan terlihat
sepeti pada gambar di bawah ini.
Gambar 1 Struktur lapisan pada masyarakat (Sumber: Soekanto
(2009:226)
Wiradi dan Makali (2009) menjelaskan bahwa masyarakat desa Jawa
terbagi menjadi lapisan-lapisan yang didasarkan atas perbedaan hak atas lahan
serta kewajiban-kewajiban yang menyertainya (kerja, wajib, pajak, dan lainnya).
Lapisan pertama terdiri dari penduduk inti yaitu mereka yang nenek moyangnya
dulu merupakan pemukim pertama atau pembuka lahan di daerah tersebut (lahan
yasan, gogol, kuli kenceng, kuli baku, sikep, ngarep, dan lain sebagainya).
Lapisan kedua dalah mereka yang mempunyai rumah, dan pekarangan sendiri
tetapi belum atau tidak mempunyai sawah (kuli kendho). Lapisan ketiga disebut
magersari yaitu mereka yang tidak mempunyai lahan dan pekarangan tetapi
mempunyai rumah sendiri (buruh tani/ penyakap). Lapisan terakhir adalah mereka
yang tidak punya apa-apa. Menurut Undang Undang No. 6 Tahun 2014
mengartikan desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Breman (1986) membagi masyarakat perdesaan jawa berdasarkan modal
yang dikuasai yakni berupa akses terhadap tanah disamping kepemilikan modal di
luar sektor pertanian menjadi tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan atas adalah pemilik atau penggarap tanah pertanian lebih dari satu
hektar, pedagang atau pemilik toko besar, pimpinan dan guru
2. Lapisan menengah adalah pemilik atau penyewa tanah pertanian paling
sedikit 0,25 hektar, pedagang dengan modal kecil, pemilik warung, tukang
ojek, tukang ahli, dan buruh pekerjaan tetap
3. Lapisan bawah adalah buruh tani, pemilik, atau penyewa tanah marginal,
pekerja kasar dan pekerja tidak tetap, pedagang asongan dan pembantu
rumah tangga.
8
Konsep Pemberdayaan
Upaya pemberdayan (empowerment) menurut Nasdian (2006) merupakan
suatu upaya menumbuhkan peran serta dan kemandirian sehingga masyarakat
baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan maupun komunitas memiliki
kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada
sumberdaya, memiliki kesadaran kritis serta mampu melakukan pengorganisasian
dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di
lingkungannya. Nasdian (2006) menyatakan bahwa, pemberdayaan memiliki dua
elemen pokok, yakni kemandirian dan partisipasi. Pemberdayaan yang dilakukan
merupakan suatu proses untuk membuat sesuatu itu jadi berdaya. Oleh karena itu
pemberdayaan sangat erat kaitannya dengan proses membuat suatu individu,
kelompok ataupun komunitas mempunyai keberdayaan. Keberdayaan merupakan
suatu keadaan yang sudah dibuat berdaya baik dalam kemandirian dan partisipasi
yang ingin dibangun dari proses pemberdayaan karena mempunyai kemampuan
yang lebih baik. Menurut Agus (2009) dalam Pratiwi (2012) keberdayaan dalam
konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam
masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Seseorang dikatakan sudah berdaya apabila sudah mampu meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonominya melalui peningkatan kualitas sumberdaya
manusia (SDM), peningkatan kemampuan permodalan, pengembangan usaha, dan
pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong
royong, keswadayaan, dan partisipasi (Agus 2009 dalam Pratiwi 2012).
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan
masyarakat dapat bertahan dan mengembangkan diri untuk mencapai suatu
kemajuan. Pemberdayaan masyarakat merupakan kegiatan yang terpadu dan
holistik. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan suatu wadah
pengembangan masyarakat (Community Devlopment) yang juga bertujuan untuk
melakukan pemberdayaan pada masyarakat. Pengembangan masyarakat yang
dilakukan dapat dilihat keberhasilannya ketika upaya LSM sudah sampai pada
aksi pemberdayaan masyarakat yang dapat menciptakan keberdayaan
dimasyarakatnya. Adapun lima komponen yang perlu dibangkitkan bersama
dalam aksi pemberdayaan menurut Lubis (2010) yaitu:
1. Advokasi (advocacy)
Upaya untuk mengubah atau mempengaruhi perilaku penentu
kebijasanaan agar berpihak pada kepentingan publik melalui penyampaian
pesan-pesan yang didasarkan pada argumentasi yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, legal, dan moral. Melalui kegiatan
advokasi, dilakukan identifikasi dan pelibatan semua sektor diberbagai
level untuk mendukung program. Kegiatan ini banyak dilakukan akhirakhir ini untuk menentang berbagai kebijakan yang dianggap merugikan
masyarakat.
2. Pengorganisasian Komunitas (Community Organizing)
Merupakan aksi agar masyarakat mempunyai arena untuk mendiskusikan
dan mengabil keputusan atas masalah disekitarnya. Bila terorganisir,
masyarakat juga akan mampu menemukan sumber daya yang dapat
mereka manfaatkan, dalam pengembangan masyarakat dibentuk
kelompok-kelompok sebagai wadah refleksi dan aksi bersama anggota
komunitas. Pengorganisasian dibentuk berjenjang di tingkat komunitas,
9
antar komunitas tingkat, antar desa tingkat kecamatan dan seterusnya
sampai ke tingkat nasional bahkan regional.
3. Pengembangan jaringan
Menjalin kerjasama dengan pihak lain (individu, kelompok, dan atau
organisasi) agar bersama-sama saling mendukung untuk mencapai tujuan.
Jaringan dan saling percaya (trust) merupakan salah satu unsur penting
dari modal sosial, sehingga menjadi komponen penting dalam
pengembangan masyarakat. Menurutnya, pada komunitas dan kelompok
lain yang terbangun dalam jaringan akan dimanfaatkan bersama-sama.
Dengan demikian, individu dan komunitas yang mempunyai jaringan akan
lebih berkembang.
4. Pengembangan kapasitas (Capacity Building)
Meningkatkan kemampuan masyarakat di segala bidang (termasuk untuk
advokasi, mengorganisir diri sendiri, dan mengembangkan jaringan).
Menurut Sumpeno (tidak bertahun) mengartikan pengembangan kapasitas
sebagai peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan
sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara
efektif dan efisien, peningkatan kemampuan individu mencakup
kelembagaan meliputi perbaikan organisasi dan manajemen, keuangan dan
budaya organisasi, peningkatan kemampuan kelembagaan meliputi
perbaikan kemampuan masyarakat mencakup kemandirian, keswadayaan
dan kemampuan mengantisipasi perubahan, peningkatan kapasitas sangat
diperlukan agar program dapat berkelanjutan, karena tanpa kemampuan
yang besar masyarakat akan tergantung pada pihak luar untuk mengatasi
masalahnya.
5. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
Aksi ini menyangkut proses pengelolaan informasi, pendidikan
masyarakat, dan penyebaran informasi, pendidikan masyarakat dan
penyebaran informasi untuk mendukung keempat komponen di atas.
Pengelolaan informasi juga menyangkut mencari dan mendokumentasikan
informasi agar informasi selalu tersedia bagi masyarakat yang
memerlukan. Kegiatan edukasi perlu dilakukan agar kemampuan
masyarakat dalam segala hal meningkat, sehingga masyarakat mampu
mengatasi masalahnya sendiri setiap saat. Untuk mendukung proses
komunikasi, berbagai media komunikasi (modern-tradisional; massaindividu-kelompok) perlu dimanfaatkan dengan kreatif. Penggunaan
komponen ini juga berusaha untuk meningkatkan kemampuan komunitas,
melalui tahapan sadar, menaruh perhatian, mengambil keputusan, dan
melakukan tindakan.
Peranan LSM sebagai Community Development dapat dilihat dari lima
komponen aksi pemberdayaan yang dilakukannya. LSM mungkin sudah sampai
pada ke lima aksi pemberdayaan atau hanya sampai pada beberapa aksi
pemberdayaan. Sampai sejauh mana LSM melakukan aksi pemberdayaan pada
masyarakatnya, secara langsung akan menentukan pengembangan pada komunitas
masyarakat seperti petani yang ingin dikembangkannya.
10
Partisipasi
Oakley et al. (1991) dalam Ife dan Tesoriero (2006) menyatakan bahwa
partisipasi sebagai tujuan mengandung arti suatu upaya memberdayakan rakyat
dengan berupaya menjamin peningkatan peran rakyat dalam inisiatif-inisiatif
pembangunan. Menurut Nasdian (2006), pemberdayaan merupakan jalan atau
sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja
dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan yang
dilakukan untuk menciptakan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan
pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM maupun pemerintah. Suatu keinginan
pemberdayaan yang tidak menciptakan partipasi masyarakatnya dalam setiap
kegiatan dan rencana program yang akan dibangun berarti tidak melakukan
pemberdayan. Nasdian (2006) mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif,
inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir
mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan
mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Fokus
utama dari tujuan partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka
merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar.
Nasdian (2006) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam
pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal dengan
tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif
pada proses dan kegiatan masyarakat. Jika suatu pengembangan komunitas tidak
menciptakan partisipasi aktif dari seluruh komunitasnya, berarti proses
pasrtisipasi yang diharapkan tidak terjadi. Partisipasi yang tidak terjadi, hanya
akan menciptakan rencana-rencana program pengembangan masyarakat yang
menguntungkan beberapa pihak. Hal itu justru akan memunculkan
ketidakberdayaan suatu komunitas daripada memunculkan keberdayaan. Cohen
dan Uphoff (1979) dalam Rosyida dan Nasdian (2011) membagi partisipasi ke
beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan
masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang
dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan,
sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata
partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam
bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk
tindakan sebagai anggota proyek.
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap
ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan
pelaksanaan proyek selanjutnya.
4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan
partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan,
maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut
berhasil mengenai sasaran.
Keseluruhan tingkatan partisipasi merupakan kesatuan integratif dari
kegiatan pengembangan masyarakat di pedesaan. Meskipun demikian dalam
rangka mewujudkan partisipasi masyarakat tidak mudah tercapai pada semua
tahapan. Jika pastisipasi masyarakat tidak sampai pada keseluruhan tahap, maka
11
suatu pengembangan masyarakat dianggap tidak berhasil karena tidak adanya
partisipasi penuh masyarakatnya. Partisipasi masyarakat menggambarkan
bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of
power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi
masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan
tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi
peserta dapat digambarkan dalam Tabel sebagai sebuah tangga dengan delapan
tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut (Arnstein 1986
dalam Rosyida dan Nasdian 2011).
Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arnstein
No. Tangga/Tingkatan
Hakekat Kesertaan
Tingkatan
Partisipasi
Pembagian
Kekuasaan
1.
Manipulasi
Permainan oleh pemerintah
Tidak ada
(Manipulation)
partisipasi
2.
Terapi (Therapy)
Sekedar agar masyarakat
tidak marah/sosialisasi
3.
Pemberitahuan
Sekedar pemberitahuan
Tokenism/
(Informing)
searah/sosialisasi
sekedar
justifikasi agar
mengiyakan
4.
Konsultasi
Masyarakat didengar, tapi
(Consultation)
tidak selalu dipakai sarannya
5.
Penentraman
Saran Masyarakat diterima
(Placation)
tapi tidak selalu dilaksanakan
6.
Kemitraan
Timbal balik dinegosiasikan
Tingkat
(Partnership)
kekuasaan ada
di masyarakat
7.
Pendelegasian
Masyarakat diberi kekuasaan
Kekuasaan (Delegated (sebagian atau seluruh
Power)
program)
8.
Kontrol Masyarakat
Sepenuhnya dikuasai oleh
(Citizen Control)
masyarakat
Sumber: Arnstein (1969:217) dalam Rosyida dan Nasdian (2011)
Pada tangga partisipasi Arnstein ini akan menggambarkan jelas sampai
sejauh mana partisipasi masyarakat dan kewenangan yang dilakukan oleh para
pembuat kebijakan. Keadilan dari suatu kebijakan untuk mengembangkan
masyarakat akan terlihat. Jika telah sampai pada tahap ketika masyarakat
diberikan partisipasi dalam keseluruhan proses mulai dari rencana hingga
menikmati hasil maka akan sampai pada tahap delapan dikontrol masyarakat,
dimana keseluruhan proses dikuasai masyarakat. Hal itu berarti sudah melakukan
upaya pemberdayaan di masyarakat dengan adanya partisipasi penuh dari
masyarakat.
12
Kemandirian
Kemandirian berarti mandiri. Kemandirian merupakan salah satu wujud
keberdayaan masyarakat dengan adanya upaya pemberdayaan yang dilakukan.
Nasdian (2006) menyatakan bahwa sifat mandiri meliputi kemandirian material,
kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan/manajemen. Kemandirian
material artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara
optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus
menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual
artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk mengkritisi atau mengemukakan
pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain.
Kemandirian pembinaan mereka akan memiliki kapasitas untuk mengembangkan
dirinya sendiri melalui proses pembelajaran tanpa harus tergantung atau
menunggu sampai adanya pembinaan atau agen pembaruan dari luar sebagai guru
mereka. Jika masyarakat sudah mampu mandiri baik dalam bidang material,
intelektual maupun pembinaan berarti telah terwujud suatu keberdayaan.
Keberdayaan tercapai ketika adanya upaya pemberdayaan, dimana pemberdayaan
mencakup dua unsur utama yaitu kemandirian dan partisipasi. Nasdian (2006)
menyatakan pemberdayaan memiliki dua unsur pokok, yakni kemandirian dan
partisipasi.
Pemberdayaan yang dilakukan umumnya dilakukan pada masyarakat di
pedesaan yang belum mandiri. Masyarakat pedesaan yang umumnya kurang
mandiri dan perlu dibangun kemandiriannya adalah petani. Kemandirian petani
dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan khususnya di era globalisasi
ekonomi dicirikan oleh perilaku petani yang modern, efisien, dan berdaya saing
tinggi. Mengacu pada pendapat Inkeles dan Smith (1974) dalam Sumardjo (1999),
orang modern dicirikan oleh: (1) memiliki kesiapan menerima pengalaman baru
dan terbuka akan inovasi dan perubahan, (2) mempunyai kecenderungan
membentuk atau memegang pendapat tentang sejumlah besar permasalahan dan
pandangan lingkungannya dan di luar lingkungannya, dan orientasinya adalah
demokratis, (3) lebih berorientasi pada masa kini dan masa depan dibanding pada
masa silam, (4) berorientasi pada kehidupan yang direncanakan dan
diorganisasikan, (5) dapat belajar untuk menguasai lingkungannya dalam rangka
pengembangan tujuan, (6) percaya diri bahwa dunianya dapat diperhitungkan/di
dalam kontrol manusia/ tidak fatalis, (7) menyadari akan kelebihan orang lain dan
menghargai hal tersebut, (8) percaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi, (9)
percaya tentang hukum bahwa pengembangan tergantung pada andil atau
partisipasi yang diberikan, (10) berminat dan menilai tinggi pada pendidikan
formal, dan (11) akan berprestasi secara penuh dan mempunyai kemampuan
memilah dan memilih, serta mempunyai sifat optimistik. Maka dari itu, LSM
maupun pemerintah berupaya dalam membangun kemandirian pada petani untuk
mewujudkan pengembangan di komunitas petani.
Petani yang mandiri (Sumardjo 1999) juga dicirikan oleh perilakunya yang
efisien dan berdaya saing tinggi. Berperilaku efisien artinya berfikir dan bertindak
disertai dengan sikap yang positif dalam menggunakan sarana secara tepat guna
atau berdaya guna. Kemudian yang dimaksud perilaku berdaya saing tinggi
artinya dalam berfikir dan bertindak senantiasa disertai sikap berkarya dalam
hidup yang berorientasi pada mutu dan kepuasan konsumen atau produk atau jasa
yang dihasilkan. Petani berkemandirian tinggi artinya mampu mengambil
13
keputusan dalam pengelolaan usahataninya secara cepat, tepat tanpa harus
tergantung pada atau tersubordinasi oleh pihak lain, mampu beradaptasi secara
optimal dan inovatif terhadap berbagai perubahan lingkungan fisik dan
lingkungan sosialnya, serta mampu bekerja sama dengan pihak lain dalam situasi
yang
saling
menguntungkan
sehingga
terjadi
kesalingtergantungan
(interdependencies) dan bukan ketergantungan.
Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan
mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang
diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan sikap menutup diri melainkan
dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di
dalamnya. Kemandirian petani merupakan hasil yang ingin dicapai dalam suatu
pemberdayaan. Ketika petani sudah mampu menjadi mandiri berarti petani sudah
berdaya karna mempunyai kemampuan dalam mengembangkan kehidupannya
menjadi lebih maju. Kemandirian dapat tercapai ketika upaya pemberdayaan yang
dilakukan
Kerangka Pemikiran
Serikat Petani Indonesia sebagai organisasi masyarakat mempunyai
peranan untuk melakukan pemberdayaan kepada petani. Pemberdayaan yang
dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dan kemandirian petani. Nasdian
(2006) menyatakan bahwa, pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni
kemandirian dan partisipasi. Tingkat partisipasi dan kemandirian yang tinggi,
diharapkan akan mampu membuat petani memperjuangkan hak-haknya dalam
kondisi apapun dan terus bertani. Terdapat beberapa pelapisan sosial dalam
masyarakat, Soekanto (2009) menjelaskan pelapisan masyarakat bisa dibagi
menjadi tiga bagian yaitu lapisan atas (upper class), lapisan menengah (middle
class), dan lapisan bawah (lower class). Serikat Petani Indonesia khusunya
berfokus dalam memberdayakan petani lapisan bawah. Oleh karena itu, ingin
dilihat, apakah semakin tinggi tingkat partisipasi dan kemandirian petani lapisan
sosial bawah dengan adanya aksi pemberdayaan yang dilakukan Serikat Petani
Indonesia.
14
Serikat Petani Indonesia
Komunitas Petani
Pelapisan Sosial
Keberdayaan
Lapisan Atas
Tingkat Partisipasi
Lapisan Menengah
Tingkat Kemandirian
Lapisan Bawah
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: Menyatakan hubungan
: Fokus Penelitian
Hipotesis Penelitian
1.
2.
Diduga semakin rendah pelapisan sosial maka semakin tinggi tingkat
partisipasi
Diduga semakin rendah pelapisan sosial maka semakin tinggi tingkat
kemandirian
Definisi Operasional
1.
Pelapisan sosial (Stratifikasi sosial) adalah kedudukan responden di dalam
masyarakat yang dilihat dari luas penguasaan lahan responden. Luas
penguasaan lahan adalah total luas lahan yang dimiliki dan diusahakan
untuk menghasilkan kebutuhan pangan, baik berupa sawah, ladang atau
kebun. Penguasaan lahan garapan didasarkan pada rataan luas lahan yang
dimiliki responden hingga akhirnya dikelompokkan menjadi beberapa
kategori sebagai berikut:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 0.5 ha
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 0.5-1 ha
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 1 ha
2.
Tingkat partisipasi adalah keikutsertaan responden dalam mengembangkan
pertaniannya dengan program dan kegiatan yang disusun secara bersama-
15
sama dengan Serikat Petani Indonesia. Tingkat partisipasi dilihat mulai
dari tahapan membuat keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati
hasil.
i. Partisipasi dalam membuat keputusan adalah keterlibatan responden
dalam merumuskan, merancang aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan
dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah-masalah
pertaniannya. Pengukuran dilakukan menggunakan Skala Likert
dengan kategori SS (Sangat Setuju) diberi nilai 5, S (Setuju) diberi
nilai 4, RR (Ragu-Ragu) diberi nilai 3, TS (Tidak Setuju) diberi nilai 2,
STS (Sangat Tidak Setuju) diberi nilai 1. Pengukuran dengan
mengakumulasikan nilai lalu digolongkan menjadi kategori:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 26
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 26-32
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 32
ii. Partisipasi dalam pelaksanaan adalah keterlibatan responden dalam
penerapan aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan yang mencakup aspek
penerapan aturan-aturan, kehadiran, keikutsertaan dalam pengambilan
keputusan, dan keaktifan responden dalam setiap kegiatan. Pengukuran
dilakukan menggunakan Skala Likert dengan kategori SS (Sangat
Setuju) diberi nilai 5, S (Setuju) diberi nilai 4, RR (Ragu-Ragu) diberi
nilai 3, TS (Tidak Setuju) diberi nilai 2, STS (Sangat Tidak Setuju)
diberi nilai 1. Pengukuran dengan mengakumulasikan nilai lalu
digolongkan menjadi kategori:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 25
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 25-30
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 30
iii. Partisipasi dalam evaluasi adalah keterlibatan responden dalam
mengevaluasi kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan kegiatankegiatan yang mencakup aspek keikutsertaan dalam memberikan saran
dan kritik. Pengukuran dilakukan menggunakan Skala Likert dengan
kategori SS (Sangat Setuju) diberi nilai 5, S (Setuju) diberi nilai 4, RR
(Ragu-Ragu) diberi nilai 3, TS (Tidak Setuju) diberi nilai 2, STS
(Sangat Tidak Setuju) diberi nilai 1. Pengukuran dengan
mengakumulasikan nilai lalu digolongkan menjadi kategori:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 20
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 20-25
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 25
iv. Partisipasi dalam menikmati manfaat dan hasil adalah dilihat dari
aspek kepuasan dan keikutsertaan responden dalam menerima manfaat.
Selain itu keterlibatan petani dalam proses memberi laporan kepada
pihak terkait, yang mencakup keaktifan dalam memberi pendapat,
kesimpulan, dan rekomendasi untuk kebaikan program yang akan
datang. Pengukuran dilakukan menggunakan Skala Likert dengan
kategori SS (Sangat Setuju) diberi nilai 5, S (Setuju) diberi nilai 4, RR
(Ragu-Ragu) diberi nilai 3, TS (Tidak Setuju) diberi nilai 2, STS
16
(Sangat Tidak Setuju) diberi nilai 1. Pengukuran
mengakumulasikan nilai lalu digolongkan menjadi kategori:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 18
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 18-21
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 21
3.
dengan
Kemandirian adalah kemampuan responden dalam memilih dan
mengarahkan kegiatan pertaniannya dengan kemampuan sendiri karena
yakin akan manfaatnya yang paling tinggi. Kemandirian diukur dengan
pernyataan Ya diberi skor 1 dan Tidak diberi skor 0. Indikator-indikator
kemandirian meliputi petani yang modern, efisien dan berdaya saing
tinggi. Jumlah skor, lalu dikategorikan sebagai berikut:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 14
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 14-16
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 16
Definisi Konseptual
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Advokasi adalah upaya untuk mengubah atau mempengaruhi perilaku
penentu kebijasanaan agar berpihak pada kepentingan publik melalui
penyampaian pesan-pesan yang didasarkan pada argumentasi yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, legal, dan moral.
Pengorganisasian Komunitas adalah aksi agar masyarakat mempunyai
arena untuk mendiskusikan dan mengabil keputusan atas masalah
disekitarnya.
Pengembangan jaringan adalah menjalin kerjasama dengan pihak lain
(individu, kelompok, dan atau organisasi) agar bersama-sama saling
mendukung untuk mencapai tujuan. Jaringan dan saling percaya (trust)
merupakan salah satu unsur penting dari modal sosial, sehingga menjadi
komponen penting dalam pengembangan masyarakat.
Pengembangan kapsitas adalah meningkatkan kemampuan masyarakat di
segala bidang (termasuk untuk advokasi, mengorganisir diri sendiri, dan
mengembangkan jaringan).
Komunikasi, Informasi dan Edukasi adalah aksi ini menyangkut proses
pengelolaan informasi, pendidikan masyarakat, dan penyebaran informasi,
pendidikan masyarakat dan penyebaran informasi untuk mendukung
keempat komponen di atas.
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat adalah peranan Lembaga Swadaya
Masayarakat dalam upaya pemberdayaan masyarakat seperti mediasi,
pengembangan kapasitas kelembagaan dan pengontrolan manipulasi
pemerintah terhadap masyarakat yang dilihat dari tujuan dan program
Serikat Petani Indonesia sebagai LSM.
17
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
survei. Menurut Singarimbun et al. (1989), penelitian survei merupakan penelitian
yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai
alat pengumpul data yang pokok. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah
PERANAN SERIKAT PETANI INDONESIA DALAM
PENGEMBANGAN KOMUNITAS PETANI
DI DESA CIARUTEUN ILIR
FINGKI ARDIANSYAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peranan Serikat
Petani Indonesia dalam Pengembangan Komunitas Petani di Desa Ciaruteun Ilir
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Fingki Ardiansyah
NIM I34090114
iii
ABSTRAK
FINGKI ARDIANSYAH. Peranan Serikat Petani Indonesia dalam
Pengembangan Komunitas Petani di Desa Ciaruteun Ilir. Dibimbing oleh
FREDIAN TONNY NASDIAN
Serikat Petani Indonesia (SPI) merupakan Organisasi Massa yang bergerak
menaungi petani dalam menyuarakan hak-hak dan aspirasi petani. Peranan Serikat
Petani Indonesia adalah memberdayakan masyarakat lapisan bawah dengan
melakukan kegiatan bersama untuk mencapai pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Lapisan sosial terdiri dari lapisan sosial atas, menengah, dan bawah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa struktur sosial komunitas petani di Desa Ciaruteun
Ilir termasuk petani lapisan bawah yang mempunyai lahan kurang dari 0.5 ha dan
tidak mempunyai lahan, yang bertani dengan sistem sewa lahan sesuai masa
panen, sistem kontrak lahan dan menjadi buruh tani. Peran SPI di Desa Ciaruteun
Ilir mencakup upaya advokasi, pengorganisasian komunitas, pengembangan
jaringan, dan pengembangan kapasitas petani. SPI cukup berhasil memberdayakan
petani anggotanya yang dilihat dari tingginya tingkat partisipasi dan tingkat
kemandirian petani.
Kata kunci : Serikat Petani Indonesia, lapisan sosial, partisipasi, kemandirian
ABSTRACT
FINGKI ARDIANSYAH. The Role of Serikat Petani Indonesia in developing
farmers community of Ciaruteun Ilir Village. Supervised by FREDIAN TONNY
NASDIAN
Serikat Petani Indonesia (SPI) is Mass Organization who enforce and
empower farmer to express their rights and aspirations. The role of serikat petani
Indonesia is to empower lower class citizen by making some activities and doing
it together to achieve citizen needs. Social class consist of upper class, middle
class and lower class, from the research known that ciauruteun ilir farmers
community, belong to lower class who owned less than 0.5 ha farm land and
farmer who didn’t have farm land, who do farming by using land rent system
according to harvest time, farm labor and rent a land to farm. The role of SPI at
Ciaruten Ilir Village are advocacy assistance, community organizing, network
development and farmer’s skills and capacity development. SPI is quite success
empowered farmer (SPI member), known by high participation from farmers and
level of farmer independency.
Keywords : Serikat Petani Indonesia, social class, participation, independence
iv
PERANAN SERIKAT PETANI INDONESIA DALAM
PENGEMBANGAN KOMUNITAS PETANI
DI DESA CIARUTEUN ILIR
FINGKI ARDIANSYAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
v
Judul Skripsi : Peranan Serikat Petani Indonesia dalam Pengembangan
Komunitas Petani di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan
Cibungbulang Bogor
Nama
: Fingki Ardiansyah
NIM
: I34090114
Disetujui oleh
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Peranan Serikat Petani Indonesia dalam Pengembangan
Komunitas Petani di Desa Ciaruteun Ilir” dengan baik. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan banyak arahan, saran, dan masukan selama proses penulisan
hingga penyelesaian skripsi ini
2. Ibu Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing dan memberi masukan selama kuliah
3. Ibu Yulmanidar selaku orangtua tercinta yang selalu mengingatkan penulis
untuk selalu berusaha dalam penyelesaian penulisan skripsi
4. Fandi Arfan sebagai kakak yang baik dan perduli terhadap penulis dalam
proses penulisan skripsi
5. Putri Nurgandini sebagai teman terdekat penulis yang telah membantu penulis
dalam setiap kegiatan pengambilan data
6. Bapak Jayadi dan seluruh informan maupun responden lainnya yang telah
membantu penulis dalam kegiatan pengambilan data di Desa Ciaruteun Ilir
7. Zamaludin dan Demmy sebagai teman dekat penulis
8. Dan semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan
Bogor, Januari 2015
Fingki Ardiansyah
NIM I34090114
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
ix
x
x
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perannya
Struktur Sosial
Konsep Pemberdayaan
Partisipasi
Kemandirian
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
Definisi Konseptual
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu
Teknik Sampling dan Pengambilan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
DESKRIPSI UMUM
Kondisi Umum Desa Ciaruteun Ilir
Kondisi Geografis
Kondisi Demografis
Kondisi Fisik
Kondisi Sosial Ekonomi
Serikat Petani Indonesia
Struktur Sosial Responden di Desa Ciaruteum Ilir
PERAN SERIKAT PETANI INDONESIA DALAM PEMBERDAYAAN
KOMUNITAS PETANI DI DESA CIARUTEUN ILIR
Peran Serikat Petani Indonesia Dalam Pemberdayaan Komunitas Petani di
Desa Ciaruteun Ilir
PERAN SERIKAT PETANI INDONESIA DALAM KEBERHASILAN
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS PETANI
Tingkat Partispasi Petani di Desa Ciaruteun Ilir
Tingkat Partisipasi pada Tahap Perencanaan
Tingkat Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan
Tingkat Partisipasi pada Tahap Menikmati Hasil
Tingkat Partisipasi pada Tahap Evaluasi
Tingkat Kemandirian Petani di Desa Ciaruteun Ilir
1
1
2
3
4
5
5
5
5
8
10
12
13
14
14
16
17
17
17
17
19
21
21
21
22
23
24
25
26
29
29
31
31
32
34
36
38
40
viii
Hubungan Pelapisan Sosial dalam Tingkat Partisipasi Petani di Desa
Ciaruteun Ilir
Hubungan Pelapisan Sosial dalam Tingkat Kemandirian Petani di Desa
Ciaruteun Ilir
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
41
44
47
47
47
49
51
69
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi
Arnstein
Matrik Pengumpulan Data
Luas lahan menurut penggunaannya di Desa Ciaruteun Ilir
tahun 2012
Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis kelamin
penduduk di Ciaruteun Ilir tahun 2012
Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat
pendidikan tahun 2012
Jumlah sarana dan prasana umum di Desa Ciaruteun Ilir
tahun 2012
Jumlah dan persentase penduduk menurut matapencaharian
pokok tahun 2012
Jumlah dan presentase petani menurut tingkat pelapisan
sosial di Desa Ciaruteun Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani pada semua tahapan
partisipasi di Desa Ciaruteun Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani menurut tahap pelaksanaan
dalam program pengembangan pertanian di Desa Ciaruteun
Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani menurut tahap pelaksanaan
dalam program pengembangan pertanian di Desa Ciaruteun
Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani menurut tahap menikmati
hasil dalam program pengembangan pertanian di Desa
Ciaruteun Ilir
Jumlah dan persentase petani menurut tahap evaluasi
dalam program pengembangan pertanian di Desa Ciaruteun
Ilir tahun 2014
Jumlah dan persentase petani menurut tingkat kemandirian
dalam pengembangan pertanian di Desa Ciaruteun Ilir
tahun 2014
Jumlah dan presentase petani SPI menurut pelapisan sosial
dalam tingkat partisipasi petani SPI di Desa Ciaruteun Ilir
tahun 2014
Jumlah dan presentase petani non SPI menurut pelapisan
sosial dalam tingkat partisipasi petani non SPI di Desa
Ciaruteun Ilir tahun 2014
Jumlah dan presentase petani SPI menurut pelapisan sosial
dalam tingkat kemandirian petani SPI di Desa Ciaruteun
Ilir tahun 2014
Jumlah dan presentase petani non SPI menurut pelapisan
sosial dalam tingkat kemandirian petani non SPI di Desa
Ciaruteun Ilir tahun 2014
11
18
22
22
23
23
24
27
31
32
35
37
38
40
43
43
44
45
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Struktur lapisan pada masyarakat
Kerangka pemikiran
7
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7.
Sketsa Desa Ciaruteun Ilir
Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Kerangka Sampling
Kuesioner
Pertanyaan Wawancara Mendalam
Hasil Catatan Harian
Dokumentasi Foto
51
52
53
55
59
60
68
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Desa Ciaruteun Ilir merupakan desa yang terletak di Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan Kecamatan Ciampea.
Desa Ciaruteun Ilir memiliki bentang lahan pertanian 200 hektar dan
masyarakatnya hidup dari pertanian. Nasution (2012) menyatakan Desa Ciaruteun
Ilir telah mengalami perubahan komoditas utama Lahan sawah yang memiliki
potensi untuk menghasilkan banyak beras berubah menjadi penghasil sayuran.
Desa tersebut mempunyai beberapa kelompok-kelompok tani yang menjadi
anggota Serikat Petani Indonesia untuk memperjuangkan keberlanjutan hidupnya
dari sektor pertanian. Petani di desa itu dibimbing oleh lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang pertanian yakni Serikat Petani Indonesia
(SPI). Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang
pertanian ini karena bertujuan ingin memberikan hak-hak lahan petani sebagai
petani penggarap. Lembaga swadaya ini diharapkan dapat mempengaruhi
kemandirian dan partisipasi komunitas petani untuk dapat terus bertani. Hal itu
diharapkan dapat mengentaskan masalah kemiskinan di pedesaan.
Kemiskinan lebih diidentikan terjadi di pedesaan yang sebagian besar
penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Hal itu terbukti dari data Badan
Pusat Statistika menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di pedesaan
Indonesia mencapai 17.919.046 jiwa (14.42 persen) pada September 20131.
Kemiskinan di kalangan petani itu lah yang mendorong Lembaga Swadaya
Masyarakat untuk melakukan pemberdayaan bagi para petani. Pemberdayaan
dilakukan untuk petani karena rendahnya tingkat partisipasi petani dalam program
yang dicanangkan pemerintah. Program pemberdayaan bagi petani yang
cenderung top-down justru tidak memberdayakan karena rendahnya tingkat
partisipasi petani dalam program yang ada. Ndraha (1987) mengungkapkan bahwa
kelemahan strategi top-down yaitu jika pola ini menjadi sistem maka kemampuan
masyarakat untuk berkembang sendiri sukar dikembangkan, karena masyarakat
biasa tergantung pada pemerintah. Program yang datang secara top-down biasanya
kurang sesuai dengan kebutuhan dan harapan para petani. Petani malah tidak
dapat merasakan manfaat program dan terjadi kesenjangan antara petani dan
kelompok lainnya yang mengambil keuntungan.
Lembaga Swadaya Masyarakat hadir dalam upaya untuk memberdayakan
petani dengan meningkatkan partisipasi dan kemandirian petani. Hal itu dilakukan
dengan meningkatkan partisipasi petani untuk menyuarakan haknya yang tidak
diperhatikan. Menurut Suharto2 (2005) pemberdayaan atau pengembangan
masyarakat adalah sebuah proses serangkaian kegiatan untuk memperkuat
kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk
individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Berdasarkan pernyataan
tersebut mengungkapkan adanya kesenjangan yang terjadi antara lapisan sosial
1
Diakses: www.bps.go.id pada tanggal 3 September 2013
Diperoleh dari pendekatan konseptual karya pustaka, diunduh dari
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/60024/BAB%20II%20Pendekatan%20Kon
septual.pdf?sequence=4
2
2
yang ada membuat LSM melakukan perannya. Hal itu dimaksudkan untuk
membantu kelompok lemah (lapisan bawah) dalam mewujudkan keberdayaannya.
Lapisan sosial yang ada terbagi menjadi lapisan sosial atas (upper class), lapisan
menengah (middle class), dan lapisan bawah (lower clas) (Soekanto 2009). Petani
dianggap sebagai lapisan bawah karena mempunyai status dan peranan yang lebih
rendah dari lapisan lainnya. Belum tercipta sistem yang adil dalam pemanfaatan
lahan pertanian, dimana petani sebagai golongan bawah kurang mendapat
keluasan dalam pemanfaatan lahan pertanian. Menurut Suryadi (2005) dalam
Praja (2009) LSM sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan
lewat aksi pengembangan kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan kemandirian
kelompok-kelompok masyarakat, termasuk mengembangkan kesadaran
masyarakat untuk membangun keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi.
Serikat Petani Indonesia sebagai Organisasi Massa yang mempunyai peran
seperti LSM bagi komunitas petani bertujuan untuk menyuarakan hak-hak petani.
Ormas (Organisasi Massa) yang saat ini disebut Orkemas atau Organisasi
Kemasyarakatan merupakan bentuk dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat, yang
dijelaskan dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(UU Ormas). Serikat Petani Indonesia melakukan pendidikan dan pelatihan bagi
petani yang ingin menjadi anggota. Pelatihan dan pendidikan diberikan untuk
memberi pengetahuan tentang tujuan dan maksud Serikat Petani Indonesia.
Selanjutnya, secara bersama-sama membangun kesadaran kritis petani untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam pertaniannya. Maka dari itu
Petani yang mengikuti pendidikan dan pelatihan SPI yang berarti menjadi anggota
SPI berbeda tingkat keberdayaan dengan petani non SPI.
Program-program yang dibangun bersama sesuai dengan apa yang
dibutuhkan petani seperti program untuk masalah lahan, kedaulatan pangan,
pengadaan bibit dan prasarana, sampai masalah modal dan pemasaran.
Pendekatan yang dilakukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) adalah
membangun bersama karena petani sebagai bagian SPI yang meningkatkan
partisipasi dan kemandirian petani khususnya petani lapisan bawah. Berbeda
dengan pemerintah, program yang dicanangkan justru menguntungkan kalangan
menengah dan atas. Para petani sebagai lapisan bawah tetap belum sejahtera.
Lembaga Serikat Petani Indonesia (SPI) ini menaungi petani yang sudah menjadi
anggota SPI, namun perlu dianalisis lebih jauh tentang kesesuaian peran yang
seharusnya dilakukan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian
tentang bagaimana peran Serikat Petani Indonesia dalam Pengembangan
Komunitas Petani.
Masalah Penelitian
Desa Ciaruteun Ilir merupakan desa yang mayoritas penduduknya bekerja
sebagai petani sayuran. Terdapat beberapa kelompok tani yang menjadi anggota
Serikat Petani Indonesia. Umumnya para petani yang menjadi anggota Serikat
Petani Indonesia merupakan petani lapisan bawah yang tidak mempunyai lahan
atau mempunyai lahan kurang dari 0.5 ha dan kurang diberikan akses untuk
memperjuangkan hak-haknya dibandingkan dengan petani lapisan lainnya. Petani
3
lapisan menengah dan lapisan atas pun sudah sangat sedikit yang ada di Desa
Ciaruteun Ilir. Oleh karena itu, ingin mengetahui bagaimana bentuk struktur sosial
komunitas petani di desa?
Serikat petani sebagai Organisasi Massa yang mempunyai peran seperti
LSM hadir untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan dan menyelesaikan masalah
petani lapisan bawah. Fokus sasaran SPI pada petani lapisan bawah. Menurut
Suryadi (2005) LSM sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan
lewat aksi pengembangan kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan kemandirian
kelompok-kelompok masyarakat, termasuk mengembangkan kesadaran
masyarakat untuk membangun keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi.
Begitupula halnya dengan aksi pemberdayaan yang dilakukan SPI untuk
membangun partisipasi dan kemandirian petani yang menjadi anggota SPI. Secara
bersama-sama dengan kader SPI sebelumnya mengikuti pendidikan dan pelatihan
ketika menjadi anggota SPI. Kemudian, secara bersama mengadakan berbagai
kegiatan dan program sesuai kebutuhan petani. Oleh karena itu, ingin dilihat
bagaimana peranan Serikat Petani Indonesia dalam memberdayakan komunitas
petani di Desa Ciaruteun Ilir?
Pemberdayaan Serikat Petani Indonesia (SPI) disesuaikan dengan visi SPI
untuk membela dan mengaspirasikan hak-hak petani lapisan bawah yang
merupakan penggarap dan tidak mempunyai lahan. Kader-kader SPI mengajak
para petani untuk ikut menjadi anggota SPI atas dasar persamaan keinginan untuk
dapat terus bertani dengan keterbatasan lahan yang dimiliki. Pemberdayaan
kepada komunitas petani dilakukan dengan program-program yang diharapkan
mampu menyelesaikan masalah petani secara bersama-sama. Program yang ada
disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan petani karena disusun bersama petani.
Pemberdayaan oleh SPI diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan
kemandirian petani anggota SPI khususnya petani lapisan bawah. Oleh karena itu,
ingin dianalisis bagaimana peran SPI dalam keberhasilan pemberdayaan
komunitas petani?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan struktur sosial komunitas petani di Desa Ciaruteun Ilir
2. Mendeskripsikan peran Serikat Petani Indonesia dalam pemberdayaan
komunitas petani di Desa Ciaruteun Ilir
3. Menganalisis peran SPI dalam keberhasilan pemberdayaan komunitas
petani di Desa Ciaruteun Ilir
4
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak yang
berminat maupun yang terkait dengan Peranan Serikat Petani Indonesia dalam
Pengembangan Komunitas petani sebagai berikut:
1. Menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji
secara ilmiah mengenai Peranan Serikat Petani Indonesia dalam
pengembangan komunitas petani.
2. Menambah literatur bagi kalangan akademisi dalam mengkaji peranan
Serikat Petani Indonesia dalam pengembangan komunitas petani
3. Acuan dalam pelaksanaan program bagi Lembaga Swadaya Masyarakat
dalam pengembangan komunitas petani bagi kalangan non akademisi,
seperti masyarakat, swasta, dan pemerintah.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perannya
Hadad (1983) membedakan organisasi kemasyarakatan menjadi dua
kelompok besar, pertama, kelompok primer (primary group), yaitu kelompok
yang mempunyai aspirasi dan kegiatan dengan ciri hubungan yang dekat dan
intim serta sukarela; interaksi di antara para anggota terjadi secara tatap muka.
Kelompok ini biasanya merupakan komunitas desa atau kampong, contohnya
rukun kampong, rukun warga, kelompok usaha bersama dan sebagainya.
Kelompok inilah yang disebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kedua,
kelompok sekunder (intermediate/secondary group), yaitu kelompok masyarakat/
organisasi yang tumbuh dari tengah masyarakat, yang para anggotanya
mempunyai kepentingan bersama untuk melakukan usaha atas kegiatan bersama
dalam lingkup dan skala yang relatif terbatas, mencapai tujuan masyarakat yang
tidak mengejar keuntungan semata. Kelompok ini biasanya lebih besar
terorganisir, bahkan mempunyai jaringan yang luas dengan kelompok-kelompok
primer, namun cara berkomunikasi tidak harus selalu tatap muka. Kelompok ini
disebut Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LSPM)
Menurut Gaffar (2006) peran LSM sangat besar dalam kehidupan
masyarakat dan melihat LSM sebagai alternatif untuk munculnya civil society.
Dalam keadaan civil society, berarti LSM harus mampu membuat perubahan di
masyarakatnya menjadi mandiri. Selain masyarakat petani harus menjadi mandiri,
partisipasi merupakan hal penting dalam membuat perubahan. Suryadi dalam
Praja (2009) mengungkapkan peranan dan sikap yang dilakukan LSM sebagai
berikut:
1. Mengontrol, mencegah dan membendung dominasi dan manipulasi
pemerintah terhadap masyarakat sebagai kekuatan pengimbang
(countervailing power).
2. Gerakan pemberdayaan yang diwujudkan lewat aksi pengembangan
kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan kemandirian kelompokkelompok masyarakat termasuk mengembangkan keswadayaan,
kemandirian, dan partisipasi melalui pendidikan, latihan, pengorganisasian
dan mobilisasi masyarakat
3. Lembaga perantara yang dilakukan dengan mengupayakan adanya aksi
yang bersifat memediasi hubungan antara masyarakat dengan negara,
antara masyarakat dengan LSM dan antar LSM sendiri dengan masyarakat
melalui lobi, koalisi, surat menyurat, pendampingan, dan kerjasama antar
aktor.
Struktur Sosial
Struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat (Sunarto 2007). Menurut Soekanto
(2009) struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi
sosial dan peranan-peranan sosial. Konsep struktur sosial berkaitan dengan
pelapisan-pelapisan dalam masyarakat. Sistem lapisan dalam masyarakat tersebut
6
dalam sosiologi dikenal dengan social stratification. Kata stratification berasal
dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Pitirim A. Sorokin3
menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya
adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya, menurut
Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam
pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab nilai-nilai sosial
pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Bentuk-bentuk lapisan masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali.
Lapisan-lapisan tersebut tetap ada, sekalipun dalam masyarakat kapitalistis,
demokratis, komunistis, dan lain sebagainya. Lapisan masyarakat mulai ada sejak
manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial.
Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang bertaraf kebudayaan masih bersahaja.
Lapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara
pemimpin dengan yang dipimpin, golongan buangan/budak dan bukan
buangan/budak, pembagian kerja, dan bahkan juga suatu pembedaan berdasarkan
kekayaan. Semakin rumit dan semakin maju teknologi sesuatu masyarakat,
semakin kompleks pula sistem lapisan masyarakat4.
Pelapisan masyarakat bisa dibagi menjadi tiga bagian yaitu lapisan atas
(upper class), lapisan menengah (middle class), dan lapisan bawah (lower class).
Soekanto (2009) menjelaskan ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk
menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah
sebagai berikut.
1. Ukuran kekayaan
Barangsiapa yang memiliki kekayaan yang paling banyak termasuk dalam
lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk
rumah
yang
bersangkutan,
mobil
pribadinya,
cara-caranya
mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan
untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.
2. Ukuran kekuasaan
Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang
terbesar menempati lapisan atasan.
3. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran
kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati,
mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada
masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua
atau mereka yang pernah berjasa.
4. Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang
menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetepai, ukuran tersebut kadangkadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena ternyata
bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar
3
Pitirim A. Sorokin, social and Cultural Mobility, (Collier- Macmillan Limited, London: The Free
Press of Glencoe, 1959), hlm. 11.
4
Lihatlah Alex Inkeles, What is Sociology, an Introduction to the Discipline and Profession,
(India: Prentice Hall of India (Private) Ltd., 1965) , hlm. 83.
7
kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang demikian memacu segala macam
usaha untuk mendapat gelar, walau tidak mahal.
Berdasarkan kriteria pengklasifikasian lapisan sosial tersebut, maka tidak
banyak individu yang dapat memenuhi persyaratan untuk bisa menempati posisi
lapisan atas. Menurut Soekanto (2009) pada umumnya warga lapisan atas (upper
class) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah
(middle class) dan lapisan bawah (lower class). Bila digambarkan, akan terlihat
sepeti pada gambar di bawah ini.
Gambar 1 Struktur lapisan pada masyarakat (Sumber: Soekanto
(2009:226)
Wiradi dan Makali (2009) menjelaskan bahwa masyarakat desa Jawa
terbagi menjadi lapisan-lapisan yang didasarkan atas perbedaan hak atas lahan
serta kewajiban-kewajiban yang menyertainya (kerja, wajib, pajak, dan lainnya).
Lapisan pertama terdiri dari penduduk inti yaitu mereka yang nenek moyangnya
dulu merupakan pemukim pertama atau pembuka lahan di daerah tersebut (lahan
yasan, gogol, kuli kenceng, kuli baku, sikep, ngarep, dan lain sebagainya).
Lapisan kedua dalah mereka yang mempunyai rumah, dan pekarangan sendiri
tetapi belum atau tidak mempunyai sawah (kuli kendho). Lapisan ketiga disebut
magersari yaitu mereka yang tidak mempunyai lahan dan pekarangan tetapi
mempunyai rumah sendiri (buruh tani/ penyakap). Lapisan terakhir adalah mereka
yang tidak punya apa-apa. Menurut Undang Undang No. 6 Tahun 2014
mengartikan desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Breman (1986) membagi masyarakat perdesaan jawa berdasarkan modal
yang dikuasai yakni berupa akses terhadap tanah disamping kepemilikan modal di
luar sektor pertanian menjadi tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan atas adalah pemilik atau penggarap tanah pertanian lebih dari satu
hektar, pedagang atau pemilik toko besar, pimpinan dan guru
2. Lapisan menengah adalah pemilik atau penyewa tanah pertanian paling
sedikit 0,25 hektar, pedagang dengan modal kecil, pemilik warung, tukang
ojek, tukang ahli, dan buruh pekerjaan tetap
3. Lapisan bawah adalah buruh tani, pemilik, atau penyewa tanah marginal,
pekerja kasar dan pekerja tidak tetap, pedagang asongan dan pembantu
rumah tangga.
8
Konsep Pemberdayaan
Upaya pemberdayan (empowerment) menurut Nasdian (2006) merupakan
suatu upaya menumbuhkan peran serta dan kemandirian sehingga masyarakat
baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan maupun komunitas memiliki
kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada
sumberdaya, memiliki kesadaran kritis serta mampu melakukan pengorganisasian
dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di
lingkungannya. Nasdian (2006) menyatakan bahwa, pemberdayaan memiliki dua
elemen pokok, yakni kemandirian dan partisipasi. Pemberdayaan yang dilakukan
merupakan suatu proses untuk membuat sesuatu itu jadi berdaya. Oleh karena itu
pemberdayaan sangat erat kaitannya dengan proses membuat suatu individu,
kelompok ataupun komunitas mempunyai keberdayaan. Keberdayaan merupakan
suatu keadaan yang sudah dibuat berdaya baik dalam kemandirian dan partisipasi
yang ingin dibangun dari proses pemberdayaan karena mempunyai kemampuan
yang lebih baik. Menurut Agus (2009) dalam Pratiwi (2012) keberdayaan dalam
konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam
masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Seseorang dikatakan sudah berdaya apabila sudah mampu meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonominya melalui peningkatan kualitas sumberdaya
manusia (SDM), peningkatan kemampuan permodalan, pengembangan usaha, dan
pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong
royong, keswadayaan, dan partisipasi (Agus 2009 dalam Pratiwi 2012).
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan
masyarakat dapat bertahan dan mengembangkan diri untuk mencapai suatu
kemajuan. Pemberdayaan masyarakat merupakan kegiatan yang terpadu dan
holistik. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan suatu wadah
pengembangan masyarakat (Community Devlopment) yang juga bertujuan untuk
melakukan pemberdayaan pada masyarakat. Pengembangan masyarakat yang
dilakukan dapat dilihat keberhasilannya ketika upaya LSM sudah sampai pada
aksi pemberdayaan masyarakat yang dapat menciptakan keberdayaan
dimasyarakatnya. Adapun lima komponen yang perlu dibangkitkan bersama
dalam aksi pemberdayaan menurut Lubis (2010) yaitu:
1. Advokasi (advocacy)
Upaya untuk mengubah atau mempengaruhi perilaku penentu
kebijasanaan agar berpihak pada kepentingan publik melalui penyampaian
pesan-pesan yang didasarkan pada argumentasi yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, legal, dan moral. Melalui kegiatan
advokasi, dilakukan identifikasi dan pelibatan semua sektor diberbagai
level untuk mendukung program. Kegiatan ini banyak dilakukan akhirakhir ini untuk menentang berbagai kebijakan yang dianggap merugikan
masyarakat.
2. Pengorganisasian Komunitas (Community Organizing)
Merupakan aksi agar masyarakat mempunyai arena untuk mendiskusikan
dan mengabil keputusan atas masalah disekitarnya. Bila terorganisir,
masyarakat juga akan mampu menemukan sumber daya yang dapat
mereka manfaatkan, dalam pengembangan masyarakat dibentuk
kelompok-kelompok sebagai wadah refleksi dan aksi bersama anggota
komunitas. Pengorganisasian dibentuk berjenjang di tingkat komunitas,
9
antar komunitas tingkat, antar desa tingkat kecamatan dan seterusnya
sampai ke tingkat nasional bahkan regional.
3. Pengembangan jaringan
Menjalin kerjasama dengan pihak lain (individu, kelompok, dan atau
organisasi) agar bersama-sama saling mendukung untuk mencapai tujuan.
Jaringan dan saling percaya (trust) merupakan salah satu unsur penting
dari modal sosial, sehingga menjadi komponen penting dalam
pengembangan masyarakat. Menurutnya, pada komunitas dan kelompok
lain yang terbangun dalam jaringan akan dimanfaatkan bersama-sama.
Dengan demikian, individu dan komunitas yang mempunyai jaringan akan
lebih berkembang.
4. Pengembangan kapasitas (Capacity Building)
Meningkatkan kemampuan masyarakat di segala bidang (termasuk untuk
advokasi, mengorganisir diri sendiri, dan mengembangkan jaringan).
Menurut Sumpeno (tidak bertahun) mengartikan pengembangan kapasitas
sebagai peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan
sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara
efektif dan efisien, peningkatan kemampuan individu mencakup
kelembagaan meliputi perbaikan organisasi dan manajemen, keuangan dan
budaya organisasi, peningkatan kemampuan kelembagaan meliputi
perbaikan kemampuan masyarakat mencakup kemandirian, keswadayaan
dan kemampuan mengantisipasi perubahan, peningkatan kapasitas sangat
diperlukan agar program dapat berkelanjutan, karena tanpa kemampuan
yang besar masyarakat akan tergantung pada pihak luar untuk mengatasi
masalahnya.
5. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
Aksi ini menyangkut proses pengelolaan informasi, pendidikan
masyarakat, dan penyebaran informasi, pendidikan masyarakat dan
penyebaran informasi untuk mendukung keempat komponen di atas.
Pengelolaan informasi juga menyangkut mencari dan mendokumentasikan
informasi agar informasi selalu tersedia bagi masyarakat yang
memerlukan. Kegiatan edukasi perlu dilakukan agar kemampuan
masyarakat dalam segala hal meningkat, sehingga masyarakat mampu
mengatasi masalahnya sendiri setiap saat. Untuk mendukung proses
komunikasi, berbagai media komunikasi (modern-tradisional; massaindividu-kelompok) perlu dimanfaatkan dengan kreatif. Penggunaan
komponen ini juga berusaha untuk meningkatkan kemampuan komunitas,
melalui tahapan sadar, menaruh perhatian, mengambil keputusan, dan
melakukan tindakan.
Peranan LSM sebagai Community Development dapat dilihat dari lima
komponen aksi pemberdayaan yang dilakukannya. LSM mungkin sudah sampai
pada ke lima aksi pemberdayaan atau hanya sampai pada beberapa aksi
pemberdayaan. Sampai sejauh mana LSM melakukan aksi pemberdayaan pada
masyarakatnya, secara langsung akan menentukan pengembangan pada komunitas
masyarakat seperti petani yang ingin dikembangkannya.
10
Partisipasi
Oakley et al. (1991) dalam Ife dan Tesoriero (2006) menyatakan bahwa
partisipasi sebagai tujuan mengandung arti suatu upaya memberdayakan rakyat
dengan berupaya menjamin peningkatan peran rakyat dalam inisiatif-inisiatif
pembangunan. Menurut Nasdian (2006), pemberdayaan merupakan jalan atau
sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja
dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan yang
dilakukan untuk menciptakan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan
pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM maupun pemerintah. Suatu keinginan
pemberdayaan yang tidak menciptakan partipasi masyarakatnya dalam setiap
kegiatan dan rencana program yang akan dibangun berarti tidak melakukan
pemberdayan. Nasdian (2006) mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif,
inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir
mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan
mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Fokus
utama dari tujuan partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka
merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar.
Nasdian (2006) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam
pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal dengan
tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif
pada proses dan kegiatan masyarakat. Jika suatu pengembangan komunitas tidak
menciptakan partisipasi aktif dari seluruh komunitasnya, berarti proses
pasrtisipasi yang diharapkan tidak terjadi. Partisipasi yang tidak terjadi, hanya
akan menciptakan rencana-rencana program pengembangan masyarakat yang
menguntungkan beberapa pihak. Hal itu justru akan memunculkan
ketidakberdayaan suatu komunitas daripada memunculkan keberdayaan. Cohen
dan Uphoff (1979) dalam Rosyida dan Nasdian (2011) membagi partisipasi ke
beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan
masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang
dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan,
sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata
partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam
bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk
tindakan sebagai anggota proyek.
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap
ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan
pelaksanaan proyek selanjutnya.
4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan
partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan,
maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut
berhasil mengenai sasaran.
Keseluruhan tingkatan partisipasi merupakan kesatuan integratif dari
kegiatan pengembangan masyarakat di pedesaan. Meskipun demikian dalam
rangka mewujudkan partisipasi masyarakat tidak mudah tercapai pada semua
tahapan. Jika pastisipasi masyarakat tidak sampai pada keseluruhan tahap, maka
11
suatu pengembangan masyarakat dianggap tidak berhasil karena tidak adanya
partisipasi penuh masyarakatnya. Partisipasi masyarakat menggambarkan
bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of
power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi
masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan
tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi
peserta dapat digambarkan dalam Tabel sebagai sebuah tangga dengan delapan
tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut (Arnstein 1986
dalam Rosyida dan Nasdian 2011).
Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arnstein
No. Tangga/Tingkatan
Hakekat Kesertaan
Tingkatan
Partisipasi
Pembagian
Kekuasaan
1.
Manipulasi
Permainan oleh pemerintah
Tidak ada
(Manipulation)
partisipasi
2.
Terapi (Therapy)
Sekedar agar masyarakat
tidak marah/sosialisasi
3.
Pemberitahuan
Sekedar pemberitahuan
Tokenism/
(Informing)
searah/sosialisasi
sekedar
justifikasi agar
mengiyakan
4.
Konsultasi
Masyarakat didengar, tapi
(Consultation)
tidak selalu dipakai sarannya
5.
Penentraman
Saran Masyarakat diterima
(Placation)
tapi tidak selalu dilaksanakan
6.
Kemitraan
Timbal balik dinegosiasikan
Tingkat
(Partnership)
kekuasaan ada
di masyarakat
7.
Pendelegasian
Masyarakat diberi kekuasaan
Kekuasaan (Delegated (sebagian atau seluruh
Power)
program)
8.
Kontrol Masyarakat
Sepenuhnya dikuasai oleh
(Citizen Control)
masyarakat
Sumber: Arnstein (1969:217) dalam Rosyida dan Nasdian (2011)
Pada tangga partisipasi Arnstein ini akan menggambarkan jelas sampai
sejauh mana partisipasi masyarakat dan kewenangan yang dilakukan oleh para
pembuat kebijakan. Keadilan dari suatu kebijakan untuk mengembangkan
masyarakat akan terlihat. Jika telah sampai pada tahap ketika masyarakat
diberikan partisipasi dalam keseluruhan proses mulai dari rencana hingga
menikmati hasil maka akan sampai pada tahap delapan dikontrol masyarakat,
dimana keseluruhan proses dikuasai masyarakat. Hal itu berarti sudah melakukan
upaya pemberdayaan di masyarakat dengan adanya partisipasi penuh dari
masyarakat.
12
Kemandirian
Kemandirian berarti mandiri. Kemandirian merupakan salah satu wujud
keberdayaan masyarakat dengan adanya upaya pemberdayaan yang dilakukan.
Nasdian (2006) menyatakan bahwa sifat mandiri meliputi kemandirian material,
kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan/manajemen. Kemandirian
material artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara
optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus
menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual
artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk mengkritisi atau mengemukakan
pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain.
Kemandirian pembinaan mereka akan memiliki kapasitas untuk mengembangkan
dirinya sendiri melalui proses pembelajaran tanpa harus tergantung atau
menunggu sampai adanya pembinaan atau agen pembaruan dari luar sebagai guru
mereka. Jika masyarakat sudah mampu mandiri baik dalam bidang material,
intelektual maupun pembinaan berarti telah terwujud suatu keberdayaan.
Keberdayaan tercapai ketika adanya upaya pemberdayaan, dimana pemberdayaan
mencakup dua unsur utama yaitu kemandirian dan partisipasi. Nasdian (2006)
menyatakan pemberdayaan memiliki dua unsur pokok, yakni kemandirian dan
partisipasi.
Pemberdayaan yang dilakukan umumnya dilakukan pada masyarakat di
pedesaan yang belum mandiri. Masyarakat pedesaan yang umumnya kurang
mandiri dan perlu dibangun kemandiriannya adalah petani. Kemandirian petani
dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan khususnya di era globalisasi
ekonomi dicirikan oleh perilaku petani yang modern, efisien, dan berdaya saing
tinggi. Mengacu pada pendapat Inkeles dan Smith (1974) dalam Sumardjo (1999),
orang modern dicirikan oleh: (1) memiliki kesiapan menerima pengalaman baru
dan terbuka akan inovasi dan perubahan, (2) mempunyai kecenderungan
membentuk atau memegang pendapat tentang sejumlah besar permasalahan dan
pandangan lingkungannya dan di luar lingkungannya, dan orientasinya adalah
demokratis, (3) lebih berorientasi pada masa kini dan masa depan dibanding pada
masa silam, (4) berorientasi pada kehidupan yang direncanakan dan
diorganisasikan, (5) dapat belajar untuk menguasai lingkungannya dalam rangka
pengembangan tujuan, (6) percaya diri bahwa dunianya dapat diperhitungkan/di
dalam kontrol manusia/ tidak fatalis, (7) menyadari akan kelebihan orang lain dan
menghargai hal tersebut, (8) percaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi, (9)
percaya tentang hukum bahwa pengembangan tergantung pada andil atau
partisipasi yang diberikan, (10) berminat dan menilai tinggi pada pendidikan
formal, dan (11) akan berprestasi secara penuh dan mempunyai kemampuan
memilah dan memilih, serta mempunyai sifat optimistik. Maka dari itu, LSM
maupun pemerintah berupaya dalam membangun kemandirian pada petani untuk
mewujudkan pengembangan di komunitas petani.
Petani yang mandiri (Sumardjo 1999) juga dicirikan oleh perilakunya yang
efisien dan berdaya saing tinggi. Berperilaku efisien artinya berfikir dan bertindak
disertai dengan sikap yang positif dalam menggunakan sarana secara tepat guna
atau berdaya guna. Kemudian yang dimaksud perilaku berdaya saing tinggi
artinya dalam berfikir dan bertindak senantiasa disertai sikap berkarya dalam
hidup yang berorientasi pada mutu dan kepuasan konsumen atau produk atau jasa
yang dihasilkan. Petani berkemandirian tinggi artinya mampu mengambil
13
keputusan dalam pengelolaan usahataninya secara cepat, tepat tanpa harus
tergantung pada atau tersubordinasi oleh pihak lain, mampu beradaptasi secara
optimal dan inovatif terhadap berbagai perubahan lingkungan fisik dan
lingkungan sosialnya, serta mampu bekerja sama dengan pihak lain dalam situasi
yang
saling
menguntungkan
sehingga
terjadi
kesalingtergantungan
(interdependencies) dan bukan ketergantungan.
Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan
mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang
diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan sikap menutup diri melainkan
dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di
dalamnya. Kemandirian petani merupakan hasil yang ingin dicapai dalam suatu
pemberdayaan. Ketika petani sudah mampu menjadi mandiri berarti petani sudah
berdaya karna mempunyai kemampuan dalam mengembangkan kehidupannya
menjadi lebih maju. Kemandirian dapat tercapai ketika upaya pemberdayaan yang
dilakukan
Kerangka Pemikiran
Serikat Petani Indonesia sebagai organisasi masyarakat mempunyai
peranan untuk melakukan pemberdayaan kepada petani. Pemberdayaan yang
dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dan kemandirian petani. Nasdian
(2006) menyatakan bahwa, pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni
kemandirian dan partisipasi. Tingkat partisipasi dan kemandirian yang tinggi,
diharapkan akan mampu membuat petani memperjuangkan hak-haknya dalam
kondisi apapun dan terus bertani. Terdapat beberapa pelapisan sosial dalam
masyarakat, Soekanto (2009) menjelaskan pelapisan masyarakat bisa dibagi
menjadi tiga bagian yaitu lapisan atas (upper class), lapisan menengah (middle
class), dan lapisan bawah (lower class). Serikat Petani Indonesia khusunya
berfokus dalam memberdayakan petani lapisan bawah. Oleh karena itu, ingin
dilihat, apakah semakin tinggi tingkat partisipasi dan kemandirian petani lapisan
sosial bawah dengan adanya aksi pemberdayaan yang dilakukan Serikat Petani
Indonesia.
14
Serikat Petani Indonesia
Komunitas Petani
Pelapisan Sosial
Keberdayaan
Lapisan Atas
Tingkat Partisipasi
Lapisan Menengah
Tingkat Kemandirian
Lapisan Bawah
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: Menyatakan hubungan
: Fokus Penelitian
Hipotesis Penelitian
1.
2.
Diduga semakin rendah pelapisan sosial maka semakin tinggi tingkat
partisipasi
Diduga semakin rendah pelapisan sosial maka semakin tinggi tingkat
kemandirian
Definisi Operasional
1.
Pelapisan sosial (Stratifikasi sosial) adalah kedudukan responden di dalam
masyarakat yang dilihat dari luas penguasaan lahan responden. Luas
penguasaan lahan adalah total luas lahan yang dimiliki dan diusahakan
untuk menghasilkan kebutuhan pangan, baik berupa sawah, ladang atau
kebun. Penguasaan lahan garapan didasarkan pada rataan luas lahan yang
dimiliki responden hingga akhirnya dikelompokkan menjadi beberapa
kategori sebagai berikut:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 0.5 ha
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 0.5-1 ha
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 1 ha
2.
Tingkat partisipasi adalah keikutsertaan responden dalam mengembangkan
pertaniannya dengan program dan kegiatan yang disusun secara bersama-
15
sama dengan Serikat Petani Indonesia. Tingkat partisipasi dilihat mulai
dari tahapan membuat keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati
hasil.
i. Partisipasi dalam membuat keputusan adalah keterlibatan responden
dalam merumuskan, merancang aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan
dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah-masalah
pertaniannya. Pengukuran dilakukan menggunakan Skala Likert
dengan kategori SS (Sangat Setuju) diberi nilai 5, S (Setuju) diberi
nilai 4, RR (Ragu-Ragu) diberi nilai 3, TS (Tidak Setuju) diberi nilai 2,
STS (Sangat Tidak Setuju) diberi nilai 1. Pengukuran dengan
mengakumulasikan nilai lalu digolongkan menjadi kategori:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 26
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 26-32
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 32
ii. Partisipasi dalam pelaksanaan adalah keterlibatan responden dalam
penerapan aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan yang mencakup aspek
penerapan aturan-aturan, kehadiran, keikutsertaan dalam pengambilan
keputusan, dan keaktifan responden dalam setiap kegiatan. Pengukuran
dilakukan menggunakan Skala Likert dengan kategori SS (Sangat
Setuju) diberi nilai 5, S (Setuju) diberi nilai 4, RR (Ragu-Ragu) diberi
nilai 3, TS (Tidak Setuju) diberi nilai 2, STS (Sangat Tidak Setuju)
diberi nilai 1. Pengukuran dengan mengakumulasikan nilai lalu
digolongkan menjadi kategori:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 25
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 25-30
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 30
iii. Partisipasi dalam evaluasi adalah keterlibatan responden dalam
mengevaluasi kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan kegiatankegiatan yang mencakup aspek keikutsertaan dalam memberikan saran
dan kritik. Pengukuran dilakukan menggunakan Skala Likert dengan
kategori SS (Sangat Setuju) diberi nilai 5, S (Setuju) diberi nilai 4, RR
(Ragu-Ragu) diberi nilai 3, TS (Tidak Setuju) diberi nilai 2, STS
(Sangat Tidak Setuju) diberi nilai 1. Pengukuran dengan
mengakumulasikan nilai lalu digolongkan menjadi kategori:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 20
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 20-25
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 25
iv. Partisipasi dalam menikmati manfaat dan hasil adalah dilihat dari
aspek kepuasan dan keikutsertaan responden dalam menerima manfaat.
Selain itu keterlibatan petani dalam proses memberi laporan kepada
pihak terkait, yang mencakup keaktifan dalam memberi pendapat,
kesimpulan, dan rekomendasi untuk kebaikan program yang akan
datang. Pengukuran dilakukan menggunakan Skala Likert dengan
kategori SS (Sangat Setuju) diberi nilai 5, S (Setuju) diberi nilai 4, RR
(Ragu-Ragu) diberi nilai 3, TS (Tidak Setuju) diberi nilai 2, STS
16
(Sangat Tidak Setuju) diberi nilai 1. Pengukuran
mengakumulasikan nilai lalu digolongkan menjadi kategori:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 18
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 18-21
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 21
3.
dengan
Kemandirian adalah kemampuan responden dalam memilih dan
mengarahkan kegiatan pertaniannya dengan kemampuan sendiri karena
yakin akan manfaatnya yang paling tinggi. Kemandirian diukur dengan
pernyataan Ya diberi skor 1 dan Tidak diberi skor 0. Indikator-indikator
kemandirian meliputi petani yang modern, efisien dan berdaya saing
tinggi. Jumlah skor, lalu dikategorikan sebagai berikut:
a. Rendah (Skor 1) : Skor kumulatif < 14
b. Sedang
(Skor 2) : Skor kumulatif 14-16
c. Tinggi
(Skor 3) : Skor kumulatif > 16
Definisi Konseptual
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Advokasi adalah upaya untuk mengubah atau mempengaruhi perilaku
penentu kebijasanaan agar berpihak pada kepentingan publik melalui
penyampaian pesan-pesan yang didasarkan pada argumentasi yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, legal, dan moral.
Pengorganisasian Komunitas adalah aksi agar masyarakat mempunyai
arena untuk mendiskusikan dan mengabil keputusan atas masalah
disekitarnya.
Pengembangan jaringan adalah menjalin kerjasama dengan pihak lain
(individu, kelompok, dan atau organisasi) agar bersama-sama saling
mendukung untuk mencapai tujuan. Jaringan dan saling percaya (trust)
merupakan salah satu unsur penting dari modal sosial, sehingga menjadi
komponen penting dalam pengembangan masyarakat.
Pengembangan kapsitas adalah meningkatkan kemampuan masyarakat di
segala bidang (termasuk untuk advokasi, mengorganisir diri sendiri, dan
mengembangkan jaringan).
Komunikasi, Informasi dan Edukasi adalah aksi ini menyangkut proses
pengelolaan informasi, pendidikan masyarakat, dan penyebaran informasi,
pendidikan masyarakat dan penyebaran informasi untuk mendukung
keempat komponen di atas.
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat adalah peranan Lembaga Swadaya
Masayarakat dalam upaya pemberdayaan masyarakat seperti mediasi,
pengembangan kapasitas kelembagaan dan pengontrolan manipulasi
pemerintah terhadap masyarakat yang dilihat dari tujuan dan program
Serikat Petani Indonesia sebagai LSM.
17
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
survei. Menurut Singarimbun et al. (1989), penelitian survei merupakan penelitian
yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai
alat pengumpul data yang pokok. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah