Analisis Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Kemangi di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor

(1)

ANALISIS FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN

USAHATANI KEMANGI DI DESA CIARUTEUN ILIR,

KECAMATAN CIBUNGBULANG, BOGOR

PUTRI LARASATI WIDHIASIH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Kemangi di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Putri Larasati Widhiasih


(4)

ABSTRAK

PUTRI LARASATI WIDHIASIH. Analisis Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Kemangi di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI.

Tanaman indigenous adalah tanaman lokal yang tumbuh dan dikonsumsi oleh masyarakat di suatu daerah dan telah beradaptasi dengan baik. Salah satu tanaman indigenous adalah kemangi, yang banyak ditanam oleh petani di Desa Ciaruteun Ilir. Tujuan dari penelitian ini ada dua, yaitu: 1) untuk menganalisis faktor produksi usahatani kemangi di Ciaruteun Ilir, dan 2) untuk menganalisis pendapatan usahatani kemangi di Ciaruteun Ilir. Sebanyak 31 responden digunakan pada penelitian ini, menggunakan metode pengambilan sampel

Purposive Sampling. Fungsi yang digunakan dalam analisis faktor produksi adalah Cobb-Douglas dengan metode OLS. Hasilnya, terdapat dua faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap produksi dengan taraf nyata 5%, yaitu benih dan tenaga kerja. Benih berpengaruh positif terhadap produksi, namun tenaga kerja berpengaruh negatif. Pendapatan usahatani dianalisis menggunakan R/C ratio. Hasilnya, R/C ratio atas biaya tunai adalah sebesar 2.11, yang berarti usahatani tersebut menguntungkan bagi petani. Namun, hasil analisis R/C ratio

atas biaya total menunjukkan hasil 0.82. Hal ini berarti usahatani tersebut menguntungkan secara finansial, namun tidak menguntungkan secara ekonomis. Kata kunci: faktor produksi, analisis pendapatan, kemangi, tanaman indigenous

ABSTRACT

PUTRI LARASATI WIDHIASIH. Production Factors of Kemangi and Its Farm Income Analysis in Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor. Supervised by ANNA FARIYANTI.

Indigenous plants are well known as local plants growing and consumed by people in certain region. One of the indigenous plants is kemangi. It is planted by mostly farmers in Ciaruteun Ilir. There were two main objectives of this study; first is to analyse the production factors of kemangi in Ciaruteun Ilir, and second, to analyse its farm income. Thirty one respondents needed in this study, using the method of Purposive Sampling. The production factors were analysed by Cobb-Douglas Production Function using OLS methods. Based on the level of significance 5%, the results showed that there were two factors that effected

kemangi production significantly; the seeds and the labors. The seeds affected the production positively, but on the contrary, the results showed that labors had negative effect to the production. The farm income was analysed using R/C ratio. The result showed that R/C ratio upon cash-cost was 2.11; it meant that this farming was beneficial for farmers. However, the R/C ratio upon total-cost was 0.82. This meant that the farming was beneficial financially, but wasn’t economically.


(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN

USAHATANI KEMANGI DI DESA CIARUTEUN ILIR,

KECAMATAN CIBUNGBULANG, BOGOR

PUTRI LARASATI WIDHIASIH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(6)

(7)

Judul Skripsi : Analisis Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Kemangi di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor

Nama : Putri Larasati Widhiasih NIM : H34090048

Disetujui oleh

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah salah satu sayuran indigenous yang cukup terkenal di kawasan Jawa Barat, kemangi (Ocimum canum L).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Anna Fariyanti MSi selaku dosen pembimbing atas kesabaran, perhatian, waktu, dan bimbingannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Tintin Sarianti, SP, MSi, dan Ibu Ir Harmini, MSi, selaku dosen penguji yang telah memberi banyak masukan. Ucapan terima kasih penulis tujukan untuk staf BP3K Cibungbulang atas informasi yang telah diberikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Komisi Pendidikan Departemen Agribisnis atas segala bantuan yang diberikan. Terakhir, ungkapan terima kasih yang mendalam disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 7

Gambaran Umum Mengenai Sayuran Indigenous 7

Karakteristik Kemangi 8

Penelitian Mengenai Faktor-Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani

Komoditas Hortikultura 9

KERANGKA PEMIKIRAN 12

Kerangka Pemikiran Teoritis 12

Kerangka Pemikiran Operasional 18

METODE PENELITIAN 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel 21

Metode Pengolahan dan Analisis Data 21

Analisis Faktor Produksi Usahatani Kemangi 22

Analisis Pendapatan Usahatani Kemangi 29

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 31

Karakteristik Wilayah Penelitian 31

Gambaran Umum Usahatani Kemangi di Desa Ciaruteun Ilir 37

HASIL DAN PEMBAHASAN 42

Analisis Fungsi Produksi 42

Analisis Usahatani Kemangi 52

Analisis Pendapatan dan R/C ratio Usahatani Kemangi 57

KESIMPULAN DAN SARAN 60

Kesimpulan 60

Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61


(10)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan nilai PDB hortikultura berdasarkan harga berlaku di

Indonesia pada tahun 2007-2010 1

2 Sarana dan prasarana Desa Ciaruteun Ilir tahun 2012 33 3 Rata-rata penggunaan input produksi usahatani kemangi responden di

Desa Ciaruteun Ilir pada tahun 2012-2013 42

4 Hasil regresi berganda fungsi produksi usahatani kemangi di Ciaruteun

Ilir, 2012-2013 43

5 Produktivitas, harga rata-rata, dan penerimaan tunai petani kemangi responden di Desa Ciaruteun Ilir dengan luasan lahan 1000 m2 pada

tahun 2012-2013 53

6 Komponen biaya usahatani kemangi responden di Desa Ciaruteun Ilir selama satu musim tanam pada luasan 1000 m2 tahun 2012-2013 54 7 Penggunaan tenaga kerja pada usahatani kemangi responden di Desa

Ciaruteun Ilir selama satu musim tanam pada luasan lahan 1000m2

tahun 2012-2013 56

8 Penyusutan alat-alat pertanian yang digunakan pada usahatani kemangi responden di Desa Ciaruteun Ilir pada tahun 2012-2013 57 9 Analisis pendapatan dan R/C ratio usahatani kemangi responden di

Desa Ciaruteun Ilir per musim tanam, dengan luasan 1000 m2, pada

tahun 2012-2013 58

DAFTAR GAMBAR

1 Fluktuasi produktivitas kemangi pada petani responden di Desa Ciaruteun Ilir, dengan luasan lahan 1000 m2, musim tanam 2012-2013 6

2 Kurva fungsi produksi 14

3 Skema langkah-langkah berpikir operasional 20 4 Distribusi penduduk berdasarkan kelompok usia (2012) 32 5 Struktur kependudukan Desa Ciaruteun Ilir berdasarkan profesi 32 6 Sebaran petani kemangi responden berdasarkan usia di Desa Ciaruteun

Ilir (2013) 34

7 Sebaran petani kemangi responden berdasarkan tingkat pendidikan di

Desa Ciaruteun Ilir (2013) 34

8 Sebaran petani kemangi responden berdasarkan pengalaman bertani di

Desa Ciaruteun Ilir (2013) 35

9 Sebaran petani kemangi responden berdasarkan status kepemilikan

lahan di Desa Ciaruteun Ilir (2013) 36

10 Sebaran petani kemangi responden berdasarkan luas lahan total

di Desa Ciaruteun Ilir (2013) 36

11 Sebaran petani responden berdasarkan presentase luas lahan yang ditanami kemangi dibandingkan dengan luas lahan total di Desa

Ciaruteun Ilir (2013) 37

12 Lahan yang telah selesai diolah dan telah dibuat bedengan di Desa


(11)

13 Tanaman kemangi yang berusia sekitar dua minggu di Desa Ciaruteun

Ilir (April 2013) 40

14 Tanaman kemangi yang sudah tua dan hendak diambil bijinya di Desa

Ciaruteun Ilir (April 2013) 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta wilayah Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor 64 2 Karakteristik petani responden analisis pendapatan usahatani dan

faktor-faktor produksi kemangi di Desa Ciaruteun Ilir 2012-2013 65 3 Data produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi usahatani

kemangi per 1000 m2, selama satu musim, di Desa Ciaruteun Ilir 2013

dalam bentuk logaritma natural 66

4 Output analisis regresi model Cobb-Douglas dengan E-Views 6 67 5 Output analisis regresi model Cobb-Douglas dengan SPSS 15 70


(12)

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu pilar penopang perekonomian Indonesia. Sektor yang terdiri dari sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan ini adalah tempat sebagian besar rakyat Indonesia masih menggantungkan kehidupannya. Menurut data yang dikeluarkan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2012, sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan menyumbang 15.4% dari total PDB menurut lapangan usaha. Sektor ini juga memiliki perkembangan tertinggi pada tahun 2011 hingga 2012, yaitu sebesar 4.76%. Peningkatan ini merupakan indikasi bahwa sektor pertanian menempati posisi strategis dalam menyerap tenaga kerja dan menyumbang pendapatan negara. Salah satu subsektor pertanian yang memiliki peranan penting adalah subsektor hortikultura.

Menurut data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Hortikultura pada tahun 2007 hingga 2010, subsektor hortikultura mengalami peningkatan dalam kontribusinya terhadap nilai PDB sebesar 12.72%. Ini membuktikan bahwa sektor hortikultura menyumbang kontribusi yang tidak sedikit bagi pendapatan nasional, mengingat nilai PDB Indonesia pada tahun 2010 mencapai 6 446.9 triliun rupiah. Sementara itu, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia1, subsektor hortikultura terbagi menjadi empat komoditas utama, yaitu kelompok sayuran, kelompok buah, kelompok florikultura, dan kelompok tanaman obat (biofarmaka) dengan total komoditas sejumlah 323 jenis. Kelompok komoditas dalam subsektor hortikultura yang mengalami peningkatan paling signifikan menurut data pada tahun 2007 hingga 2010 tersebut adalah kelompok biofarmaka, dengan peningkatan sebesar 50.40%, selanjutnya diikuti oleh kelompok sayuran dengan peningkatan sebesar 22.11%. Hal ini berarti bahwa kelompok sayuran dan kelompok biofarmaka berpotensi untuk dikembangkan. Tabel mengenai perkembangan nilai PDB hortikutura berdasarkan harga berlaku di Indonesia pada tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan nilai PDB hortikultura berdasarkan harga berlaku di Indonesia pada tahun 2007-2010

No Komoditas Nilai PDB (milyar rupiah) Perkembangan (%) 2007 2008 2009 2010

1 Buah-buahan 42.36 47.06 48.43 45.48 7.37

2 Sayuran 25.58 28.20 30.50 31.24 22.11

3 Tanaman hias 4.74 5.08 5.49 3.66 (22.69)

4 Biofarmaka 4.10 3.85 3.89 6.17 50.40

Total 76.78 84.19 88.31 86.55 57.19

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012 (data diolah)

1


(14)

2

Ada berbagai jenis sayuran dan tanaman biofarmaka yang terdaftar dalam Ditjen Hortikultura. Jenis sayuran yang tercatat baik oleh Ditjen Hortikultura maupun BPS dan dianggap memberikan kontribusi yang besar bagi PDB diantaranya adalah kentang, kubis, cabai, sawi, wortel, lobak, dan buncis, sedangkan jenis tanaman yang tercatat diantaranya adalah jahe, lengkuas, kencur, kunyit, dan sebagainya. Meskipun demikian, beberapa komoditas-komoditas populer tersebut, seperti kentang, wortel, dan buncis, bukanlah komoditas asli Indonesia, melainkan tanaman-tanaman asing yang telah mengalami proses naturalisasi sehingga dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi tertentu.

Berdasarkan biogeografisnya, tanaman dapat diklasifikasikan menjadi

indigenous (native) plants, alien plants, dan invaders plants2. Alien plants itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi beberapa subbagian, yaitu non-native plants, invasive non-native plants, naturalised plants, dan wild plants3. Beberapa jenis tanaman asing yang terintroduksi ke Tanah Air melalui aktivitas manusia namun tidak merugikan lingkungan, seperti kentang, wortel, dan sawi, termasuk ke dalam jenis tanaman asing (alien plants). Tanaman-tanaman asing ini secara sengaja ditanam oleh masyarakat lokal agar dapat memenuhi permintaan pasar dan telah menyumbang kontribusi yang tidak sedikit bagi perekonomian, namun perbedaan kondisi geografis (yang meliputi kondisi topografi, jenis dan kualitas tanah, iklim, serta kondisi perairan) antara lingkungan di Tanah Air dengan lingkungan asalnya membuat tanaman-tanaman asing tersebut membutuhkan perlakuan khusus. Perlakuan tersebut terlihat pada jumlah pupuk yang digunakan, penanggulangan hama yang harus dilakukan, atau pengkondisian areal budidaya yang lebih rumit dibandingkan dengan tanaman lokal.

Pada kenyataannya, pengusahaan dan pemanfaatan tanaman lokal di Indonesia masih kalah dengan pengusahaan dan pemanfaatan tanaman asing meskipun secara teknis perawatan tanaman non-indigenous lebih rumit. Hal ini terlihat dari data kontribusi hortikultura terhadap pendapatan nasional dari tahun ke tahun yang tercatat oleh lembaga pendataan, yang didominasi oleh tanaman

non-indigenous. Contohnya, BPS sebagai lembaga pendataan resmi di Indonesia memiliki data luas panen, jumlah produksi, dan produktivitas tanaman biofarmaka di seluruh provinsi di Indonesia seperti jahe, lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, kejibeling, dringo, kapulaga, mengkudu, sambiloto, dan temukunci, namun tidak memiliki data mengenai kemangi dan tanaman

indigenous lainnya. Hal ini merupakan bukti bahwa tanaman indigenous di Indonesia masih termarjinalkan.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing tanaman indigenous di Indonesia. Pada tahun 2006, Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) telah bekerjasama dengan AVRC (Asean Vegetable Research Centre) untuk mempromosikan pemanfaatan sayuran indigenous dengan tujuan peningkatan nutrisi dan pendapatan petani kecil di pedesaan melalui program RETA 6067. Promosi tersebut meliputi kegiatan koleksi dan karakterisasi, penelitian agronomi, dan sosial ekonomi. Salah satu caranya adalah dengan

2

Collins J. 2001. Indigenous, Alien, and Invasives [internet]. (diunduh 26 Juni 2013). Tersedia pada: www.uwc.ac.za/envfacts/facts/aliens.htm.

3

[Plant Life Org]. 2009. Plant Link UK Statement on Invasive Non-native Vascular Plants in Great Britain [internet]. (diunduh 26 Juni 2013). Tersedia pada:


(15)

3 mengadakan pelatihan pemanfaatan sayuran indigenous bagi ibu rumah tangga dan murid sekolah, yang bertujuan untuk menginfokan kepada masyarakat bahwa kandungan vitamin sayuran indigenous tidak kalah dengan sayuran non-indigenous. Pada kegiatan lainnya, yaitu RETA 5839, Balitsa melakukan kegiatan pengumpulan dan pendataan benih tanaman-tanaman indigenous dari wilayah Jawa Barat hingga Sumatra. Dari kegiatan RETA 5839, tercatat lebih dari 300 benih tanaman indigenous yang telah dikumpulkan namun belum terkarakterisasi. Program-program tersebut, yaitu RETA 6067 dan RETA 5839, menekankan akan pentingnya promosi karena peningkatan konsumsi sayuran indigenous diharapkan dapat meningkatkan nutrisi keluarga dan pendapatan petani kecil. Selain itu, pengusahaan sayuran indigenous yang biasanya berskala kecil dan bersifat lokal spesifik4 membuat keberadaan sayuran indigenous dapat terancam oleh berbagai spesies kultivasi, sehingga kegiatan promosi sayuran indigenous penting dilakukan.

Kemangi (Ocimum canum l.) merupakan salah satu komoditas tanaman binaan Ditjen Hortikultura yang dikelompokkan ke dalam jenis tanaman

indigenous (lokal). Kemangi yang berada di daerah Bogor dan sekitarnya masih belum diketahui secara pasti asal-usulnya, namun tanaman tersebut telah ada di Indonesia sejak dulu dan dapat beradaptasi dengan sangat baik di lingkungan tersebut sehingga telah memiliki ciri khas lokal yang sedikit berbeda dengan kemangi-kemangi di belahan dunia lain. Ditjen Hortikultura mengklasifikasikan kemangi ke dalam jenis tanaman biofarmaka, namun khusus di daerah Jawa Barat tanaman ini termasuk ke dalam jenis sayuran. Hal ini terkait dengan pola konsumsi masyarakat Jawa Barat yang menjadikan tanaman tahunan ini sebagai lalapan.

Seperti halnya dengan sayuran indigenous yang lain, kemangi merupakan salah satu komoditas penting yang memiliki potensi bisnis yang baik, namun belum teroptimalkan. Ini terbukti dengan lazimnya penyajian jenis tanaman ini di setiap rumah makan Sunda di Jawa Barat (khususnya yang menyediakan lalapan) yang merupakan salah satu indikasi akan tingginya permintaan terhadap tanaman ini. Meskipun secara kasatmata kemangi adalah komoditas penting bagi konsumsi masyarakat Jawa Barat, tidak ada data yang tersedia mengenai tanaman ini, baik dari segi penawaran maupun segi permintaannya. Ketiadaan data dan informasi ini, khususnya dari segi ekonomi, dapat menjadi penghambat untuk mengetahui tingkat produktivitas petani yang mengusahakan kemangi, sehingga jika terjadi penurunan atau kenaikan pada produksi, akan susah untuk diselidiki penyebabnya. Oleh karena itu, data ekonomi mengenai kemangi tidak kalah penting keberadaannya dibandingkan dengan data ekonomi sayuran lain.

Salah satu sentra penanaman kemangi di wilayah Bogor dan sekitarnya adalah di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang. Kemangi yang berasal dari daerah ini telah dipasarkan di berbagai tempat di kota Bogor, seperti Pasar TU Kemang, Pasar Merdeka, Pasar Ciampea, Pasar Gunung Batu, dan Pasar Bogor. Sebagai sentra penanaman kemangi di kota Bogor, kemangi ini merupakan salah satu tanaman yang lazim diusahakan oleh petani sayur di desa ini. Tanaman kemangi di desa ini diusahakan pada lahan pertanian yang dimiliki petani

4

[Litbang] Balai Litbang Pertanian. 2006. Sayuran Indigenous Meningkatkan Gizi dan Pendapatan Petani [internet]. (diakses 26 Juni 2013). Terdapat pada:


(16)

4

setempat dengan sistem monokultur dan ditanam sebagai tanaman utama, bukan hanya tanaman sampingan dan ditanam di pekarangan, seperti yang biasa terjadi pada lazimnya pengusahaan tanaman indigenous di daerah lain. Luas tanam masing-masing petani untuk tanaman kemangi beraneka ragam, dan berkisar antara 250 m2 hingga 5000 m2. Dengan luasan lahan berkisar antara 0,05 ha hingga 1 ha, ini berarti rata-rata petani di Desa Ciaruteun Ilir menggunakan lebih dari sepertiga lahannya untuk menanam kemangi. Sisanya, digunakan untuk menanam bayam, kangkung, dan sayuran-sayuran berdaun yang lain. Penanamannya pun dilakukan secara bergantian untuk menjaga kandungan unsur hara dalam tanah.

Pada luasan lahan 1000 m2, rata-rata petani di Desa Ciaruteun Ilir dapat memanen sebesar 7000 kg kemangi per musim tanamnya. Meskipun demikian,

tidak adanya aturan baku yang diterapkan dalam penanaman kemangi menyebabk an input yang digunakan setiap petani untuk mengusahakan tanaman ini

berbeda-beda, sehingga hasil panen kemangi setiap petani di desa tersebut pun beraneka ragam. Seorang petani mendapatkan hasil panen hingga 14 000 kg per 1000 m2 dalam satu musim tanam, namun petani lainnya hanya dapat memanen 3200 kg kemangi pada kesempatan yang sama. Adanya ketimpangan hasil produksi ini mengindikasikan bahwa pengelolaan usahatani yang berbeda akan menghasilkan hasil produksi yang berbeda pula, dan akan berdampak pada perbedaan pendapatan yang diterima antara petani satu dengan petani lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian untuk mencari tahu faktor-faktor produksi apa saja yang berpengaruh terhadap produksi kemangi, dan seberapa besar pendapatan yang diterima petani akibat usahatani kemangi yang dilakukannya.

Perumusan Masalah

Menurut Soetiarso (2010), pengintegrasian bahan pangan yang kaya akan mikronutrien merupakan satu-satunya cara yang berkelanjutan untuk memperbaiki status mikronutrien dalam tubuh manusia. Sehubungan dengan itu, maka peningkatan konsumsi sayuran menjadi penting, karena dalam sayuran terkandung zat gizi seperti karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral yang diperlukan tubuh. Namun, upaya pengintergrasian ini seringkali terkendala oleh fluktuasi harga sayuran di pasar, sehingga berpengaruh pula pada tingkat konsumsi masyarakat, khususnya masyarakat bawah. Salah satu upaya yang direkomendasikan untuk memecahkan masalah ini adalah melalui penggalian dan pemanfaatan spesies sayuran secara lebih beragam, termasuk sayuran-sayuran indigenous.

Sayuran indigenous dapat menjadi alternatif yang baik bagi upaya peningkatan gizi masyarakat, karena selain harganya yang murah, sayuran

indigenous dapat tumbuh dengan memanfaatkan lahan pekarangan dan secara tradisional dapat berfungsi sebagai obat bagi penyakit tertentu. Meskipun demikian, upaya peningkatan pemanfaatan sayuran indigenous, bagaimana mengangkat potensi manfaat sayuran indigenous agar dapat sejajar atau bersaing dengan sayuran-sayuran ‘mayor’ yang telah berkembang terlebih dahulu, merupakan tantangan tersendiri (Soetiarso 2010). Atas dasar hal itulah Balai Penelitian Tanaman Sayuran melakukan penggalian potensi ekonomis pemanfaatan sayuran indigenous, misalnya melalui promosi agar sayuran


(17)

5 Pemanfaatan sayuran indigenous dan nilai ekonomisnya pada setiap daerah dapat berbeda, akibat dipengaruhi oleh permintaan pasar dan kondisi geografis masyarakat setempat. Beberapa contoh sayuran indigenous yang pemanfaatan dan nilai ekonomisnya paling tinggi dibandingkan sayuran indigenous lainnya di daerah Jawa Barat, termasuk Bogor, adalah kemangi, oyong, kecipir, dan paria (Novasari, 2011). Hal ini disebabkan jenis-jenis sayuran tersebut lazim dikonsumsi sebagai lalapan. Namun, pada tahun 2010 Balai Penelitian Tanaman Sayuran pernah melakukan upaya diversifikasi pengolahan produk beberapa jenis sayuran indigenous dengan membuat beragam resep masakan, dengan harapan masyarakat dapat lebih terbuka pada inovasi masakan-masakan baru dari sayuran

indigenous. Beberapa contoh masakan berbahan kemangi yang dipamerkan pada saat itu antara lain keripik kemangi, tongkol kemangi, dan minuman sehat dari kemangi. Melalui hasil penilaian tes organoleptik konsumen terhadap masakan-masakan yang disajikan, didapat hasil bahwa konsumen tertarik terhadap makanan olahan dari kemangi tersebut, akibat aroma dan citarasanya yang khas. Hal ini membuktikan bahwa masih ada berbagai peluang yang dapat tercipta dari pemanfaatan tanaman kemangi ini, yang menunggu untuk dikembangkan.

Gapoktan Mirasa Tani yang berada di Desa Ciaruteun Ilir terdiri dari lima poktan, yaitu Poktan Setia Tani, Poktan Tani Raharja, Poktan Tani Jaya, Poktan Mekar Tani, dan Poktan Sarana Tani. Gapoktan yang berdiri sejak tahun 2007 ini memiliki 150 anggota dan diketuai oleh Bapak Ucu, yang juga merangkap sebagai ketua Poktan Mekar Tani. Secara garis besar, komoditas yang diusahakan oleh anggota-anggota Gapoktan Mirasa Tani adalah hortikultura (terutama sayur-sayuran berdaun) dan tanaman pangan (palawija), misalnya ubi jalar, ketela pohon, dan padi. Di antara kelima poktan tersebut, poktan Mekar Tani dan poktan Tani Jaya adalah poktan-poktan yang khusus mengusahakan komoditas sayur-sayuran dan telah memiliki pasar yang cukup stabil. Poktan-poktan ini bahkan telah memiliki pelanggan-pelanggan tetap dan dapat menanam komoditas sesuai dengan permintaan pasar. Salah satu komoditas yang harus tersedia adalah kemangi. Oleh karena itu, untuk menjaga kekontinuitasan produksi kemangi dan memenuhi beragam permintaan pasar terkait varian komoditas hortikultura, poktan-poktan ini melakukan penjadwalan tanam per anggota, sehingga ketika musim panen tiba, harga kemangi tidak jatuh akibat over-supply.

Di sisi lain, tingkat produktivitas antar petani kemangi di Desa Ciaruteun Ilir tidaklah sama antara satu dengan lainnya. Hal ini diakibatkan tidak adanya

standart operational procedure yang berlaku bagi penanaman kemangi, sehingga petani cenderung menggantungkan pemakaian input produksinya pada intuisi dan pengalamannya saja. Ketiadaan data mengenai standar prosedur penanaman kemangi ini juga menyulitkan petani untuk mengetahui produktivitas potensialnya, sehingga pengambilan keputusan manajerial pun menjadi lebih rumit. Oleh karena itu, penggunaan faktor produksi yang berbeda tentu akan berdampak pula pada produktivitasnya. Fluktuasi produktivitas kemangi petani responden di Desa Ciaruteun Ilir dalam luasan lahan 1000 m2 pada musim tanam 2012-2013 dapat digambarkan pada Gambar 1.


(18)

6

Gambar 1 Fluktuasi produktivitas kemangi pada petani responden di Desa Ciaruteun Ilir, dengan luasan lahan 1000 m2, musim tanam 2012-2013

Selain hanya bermodalkan intuisi dan pengalaman, penanaman kemangi oleh petani responden di Desa Ciaruteun Ilir ini tidak terlepas dari keterbatasan modal yang dimiliki petani. Petani yang memiliki modal lebih banyak cenderung memakai input produksi yang lebih beragam dibandingkan dengan petani yang bermodal kurang. Meskipun begitu, keragaman input yang digunakan tidak menjamin hasil produksi kemangi yang lebih baik dibandingkan yang lain. Oleh karena itu, beberapa permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh secara nyata terhadap hasil produksi usahatani kemangi di Desa Ciaruteun Ilir?

2. Bagaimana pendapatan dari usahatani komoditas kemangi yang ditanam petani-petani di Desa Ciaruteun Ilir?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor produksi usahatani kemangi di Desa

Ciaruteun Ilir.

2. Menganalisis pendapatan usahatani kemangi di Desa Ciaruteun Ilir. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi petani untuk membantu mengefisienkan faktor-faktor produksi yang dimiliki.

2. Sebagai sarana bagi penulis untuk mengaplikasikan ilmu mengenai usahatani yang telah didapatkan di kelas.

3. Sebagai tambahan informasi untuk penelitian lebih lanjut. 0

2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122232425262728293031

P

ro

d

u

k

ti

v

it

a

s (

k

g

/1000

m

2)


(19)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Mengenai Sayuran Indigenous

Sayuran indigenous merupakan sayuran asli daerah yang telah banyak diusahakan dan dikonsumsi sejak zaman dahulu atau sayuran introduksi yang telah berkembang lama dan dikenal masyarakat di suatu daerah tertentu. Sayuran ini biasanya ditumbuhkan di pekarangan rumah atau kebun secara komersial dan dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga sendiri seperti dimasak menjadi sayur atau dimakan mentah (lalapan), atau dijual (Suryadi 2004).

Ada berbagai macam sayuran indigenous yang cukup dikenal oleh masyarakat, meskipun pengusahaannya masih terbatas. Secara garis besar, sayuran indigenous dibagi menjadi tiga jenis5 yaitu:

a. Sayuran daun, seperti kemangi, katuk, dan kenikir

b. Sayuran buah, seperti paria, gambas (oyong), leunca, dan labu siam c. Sayuran polong, seperti kecipir dan koro roay (ketopes)

Sementara itu, arti dari indigenous menurut Echols dan Shadily (1996) adalah asli atau pribumi, sehingga tanaman indigenous bisa berarti tanaman asli dari lingkungan kita atau pribumi, atau tanaman lokal. Menurut Soemantri (2006), apabila didefinisikan secara ilmiah, tanaman indigenous atau tanaman lokal adalah tanaman yang telah beradaptasi dengan baik di suatu daerah dan dapat tumbuh dengan baik, dalam arti potensi dari tanaman tersebut dapat terekspresi secara penuh.

Sayuran indigenous atau sayuran lokal merupakan bagian dari biodiversitas Indonesia yang patut dilestarikan, karena sifatnya yang unik dan jumlah pengusahaannya yang tidak banyak. Selama ini, sayuran indigenous cenderung termajinalkan oleh sayuran-sayuran lain, padahal sayuran ini dapat menjadi sumber alternatif pangan bagi masyarakat karena selain terjangkau, kandungan gizinya tidak kalah baik. Hal ini berbeda jauh dengan sayuran non-indigenous

seperti kangkung, pokcay, caisim, dan wortel yang telah memiliki pasar yang stabil dan terpublikasikan dengan baik.

Hingga kini, pemanfaatan sayuran indigenous masih belum optimal dilakukan di Indonesia. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura (2010), yang menjadi kendala dalam pemanfaatan sayuran indigenous diantaranya adalah kurangnya benih yang dibutuhkan, kurangnya informasi mengenai teknologi budidaya, dan kurangnya informasi mengenai kesesuaian sayuran

indigenous dengan sistem produksi yang ada. Sementara itu, dari sisi permintaan, Adiyoga (2002) melaporkan bahwa rendahnya konsumsi sayuran indigenous di tingkat rumah tangga disebabkan karena kurangnya informasi mengenai diversifikasi produk-produk yang berasal dari sayuran indigenous dan keberadaannya itu sendiri tidak selalu tersedia di pasar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Litbang Pertanian 2010).

5

Suryadi, Kusmana. 2004. Mengenal Sayuran Indijenes. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian [Internet]. [diunduh 16 Februari 2013]. Tersedia pada:


(20)

8

Karakteristik Kemangi

Tanaman kemangi adalah tanaman semusim, dengan batang tegak, bertinggi kurang-lebih 1 meter, dan berakar serabut. Batangnya berbentuk segi empat, berbulu sewaktu masih muda namun berkayu di bagian dasarnya. Daun kemangi rata-rata bergerigi, dengan warna daun hijau atau hijau keunguan, tulang daun menyirip. Sayuran ini sangat bervariasi dalam morfologi, jumlah kromosom, dan kandungan kimia (Suryadi 2004).

Kemangi termasuk ke dalam genus Ocimum (selasih) dari suku Lamiaceae (tumbuhan berbunga) dan merupakan sumber minyak esensial. Genus Ocimum terdiri dari sekitar 50 hingga 150 spesies rempah-rempah dan semak-semak yang tumbuh di daerah-daerah tropis di Asia (Bailey 1924 dan Darrah 1980). Salah satu jenis kemangi yang paling sering ditanam di Asia, yaitu Ocimum basilicum, berasal dari India dan sekitarnya, namun ada beragam varietas kemangi yang dapat ditemui di seluruh Asia (Gao dan Bergefurd 2000) dan masing-masing memiliki penampakan yang berbeda atau memiliki kekhasan lokal. Persilangan antarspesies dan kondisi poliploidi (kondisi pada suatu organisme yang memiliki set kromosom lebih dari sepasang, sehingga memungkinkan organisme tersebut memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan yang lain) pada genus ini telah menciptakan beragam varietas yang belum diklasifikasikan sesuai International Code of Botanical Nomenclature (Tucker 1986). Meskipun demikian, yang biasa dikenal dengan nama lokal ‘kemangi’ di Indonesia adalah dari spesies

Ocimum canum l. atau lemon basil (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Litbang Pertanian 2008).

Hadipoentyanti et al. (2008) meneliti mengenai keragaman selasih (Ocimum spp.) berdasarkan karakter morfologi, produksi, dan mutu herba. Ada lima jenis kemangi yang digunakan dalam penelitian tersebut, yaitu O. gratissium (ruku-ruku hutan), O. basilicum (basil), O. canum (kemangi), O. sanctum (ruku-ruku), dan O. minimum (selasih ngombol). Dari hasil pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakter morfologi masing-masing selasih beragam, baik dari segi habitat, bentuk dan warna batang, bentuk dan warna daun, bentuk rangkaian dan warna bunga, serta bentuk dan warna biji. Kandungan minyak atsiri yang dihasilkan pun, sebagai dampaknya, menjadi beragam pula. Pada kemangi, minyak atsiri yang dihasilkan mempunyai komposisi kimia utama berupa sitral sebesar 43,45% dan geraniol sebesar 21,23% (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, 20086).

Simatupang (2010) telah melakukan penelitian untuk mencari pengaruh dosis pupuk kandang yang diberikan terhadap pertumbuhan dan produksi daun segar kemangi serta kandungan minyak atsirinya. Hasil dari penelitian tersebut adalah semakin banyak pupuk kandang yang dihasilkan, maka makin meningkat pula pertumbuhan dan produksi daun segar serta kandungan minyak atsiri kemangi. Meskipun demikian, pada penelitian ini pemakaian dosis pupuk

6

Hadipoentyanti E, Wahyuni S. 2008. Keragaman Selasih (Ocimum sp.) Berdasarkan Karakter Morfologi Produksi dan Mutu Herba. Jurnal Littri [Internet]. [diunduh 26 April 2013]; 14(4) Desember 2008. Tersedia pada:

http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/file/publikasi/jurnal/jurnal%202008/ju rnal%2014%20(4)%202008%20-%20endang-h.pdf


(21)

9 kandang ayam yang optimum terhadap pertumbuhan dan produksi daun segar kemangi belum ditemukan.

Tanaman kemangi memiliki kandungan vitamin A yang tinggi, yaitu 5000 SI. Vitamin A berfungsi untuk menjaga fungsi imun, memelihara penglihatan, menjaga kesehatan reproduksi, dan hubungan antarsel dalam tubuh (Johnson 2010). Kandungan vitamin A pada kemangi lebih tinggi daripada wortel yang memiliki kandungan vitamin A sebesar 3600 SI. Kandungan vitamin A kemangi juga lebih tinggi daripada tomat, yang berkandungan vitamin A sebesar 1500 SI (Soetiarso, 2010).

Di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, kebanyakan masyarakat masih mengkonsumsinya dalam bentuk segar, seperti lalapan atau penghias makanan. Pemanfaatan kemangi dalam bentuk olahan atau produk turunan masih sangat jarang, padahal minyak atsiri kemangi merupakan salah satu minyak esensial yang pangsa pasarnya luas, khususnya sebagai bahan baku industri aromatika dan farmasi. Salah satu penelitian mengenai kegunaan atsiri kemangi pernah dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), yaitu penggunaan atsiri kemangi sebagai bahan baku pembuatan herbisida nabati, namun belum mencapai produksi massal dan belum diuji kualitas produknya.

Di negara lain seperti India, pemanfaatan kemangi lebih beragam, misalnya sebagai bahan utama minyak atsiri, bahan obat-obatan, dan untuk upacara keagamaan (Kumar, 2009). Di negara-negara lain seperti Uni Eropa, minyak atsiri kemangi merupakan bahan baku pembuatan parfum, kosmetika, dan obat-obatan. Sementara itu di Amerika Serikat, khususnya di Indiana Utara, kemangi pernah ditanam dalam skala semi-komersial pada luas lahan 4 ha pada tahun 1987 dan 1988, namun minyak atsiri kemangi yang dihasilkan kalah bersaing dengan kualitas minyak kemangi dari negara lain, khususnya dari Eropa.7 Di Thailand, kemangi bahkan telah diekspor, utamanya ke Amerika Serikat dan Eropa, sebagai bumbu penyedap masakan. Oleh karena itu, jika melirik potensi yang dapat dihasilkan oleh tanaman tahunan ini, dapat dikatakan pemanfaatannya di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan pemanfaatannya di negara lain.

Penelitian Mengenai Faktor-Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Komoditas Hortikultura

Analisis faktor produksi penting dilakukan karena faktor produksi yang digunakan akan mempengaruhi hasil produksi, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada penerimaan petani. Pendapatan usahatani tergantung dari penggunaan input-input produksinya, sehingga pendapatan setiap petani bisa berbeda. Oleh karena itu, analisis pendapatan penting dilakukan untuk mengukur apakah kegiatan usahatani yang dijalankan oleh petani menguntungkan, dan seberapa besar penerimaan yang diperoleh jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan, baik terhadap biaya tunai saja maupun terhadap biaya tunai dan biaya-biaya lain yang diperhitungkan. Beberapa penelitian, baik untuk menganalisis faktor-faktor produksi maupun untuk menganalisis pendapatan

7

Simon JE, Quinn J, Murray RG. 1990. Basil: A Source of Essential Oils [Internet]. p. 484-489.[diunduh 14 Februari 2013]. Tersedia pada:


(22)

10

usahatani pada komoditas hortikultura, telah dilakukan. Komoditas hortikultura yang dipilih sebagai rujukan bagi tinjauan pustaka pada penelitian ini adalah bawang daun, bawang merah, cabai merah keriting, dan jagung, yang dianggap mendekati komoditas yang diteliti. Hal ini dikarenakan penelitian mengenai pendapatan usahatani dan faktor produksi pada sayuran indigenous, khususnya kemangi, masih sangat terbatas. Hingga penelitian ini dilakukan, belum ada penelitian yang terkait analisis ekonomi usahatani sayuran indigenous (khususnya dari jenis sayuran daun) yang ditemukan oleh penulis. Berikut adalah ringkasan dari penelitian-penelitian terkait pendapatan usahatani dan faktor-faktor produksi beberapa jenis tanaman hortikultura yang dianggap mendekati penelitian ini.

Sumiyati (2006) meneliti mengenai pendapatan usahatani dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani bawang daun di Desa Sindangjaya, Kecamatan Pacet, Cianjur. Menurut penelitian tersebut, faktor-faktor produksi seperti benih, pupuk kandang, obat padat, dan tenaga kerja wanita berpengaruh secara nyata terhadap produksi pada taraf kepercayaan 95 persen. Penelitian Sumiyati juga menganalisis pendapatan usahatani, dan didapat nilai R/C ratio atas biaya tunai adalah sebesar 5.62, sementara nilai rasio R/C atas biaya total adalah sebesar 2.17. Kesimpulan dari penelitian Sumiyati adalah usahatani bawang daun tergolong menguntungkan, karena setiap 1 satuan biaya tunai yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan tunai sebesar 5.62 satuan dan penerimaan total sebesar 2.17 satuan.

Apriani (2011) meneliti mengenai efisiensi teknis usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Majalengka. Berbeda dengan penelitian Sumiyati (2006), penelitian Apriani menggunakan model Cobb-Douglas stochastic production frontier dengan parameter maximum likelihood. Penelitian Apriani didasarkan pada hipotesis bahwa lahan, penggunaan benih, tenaga kerja, pupuk N, pupuk P, pupuk K, pestisida cair, pestisida padat, dan pupuk kandang mempengaruhi produksi bawang merah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, faktor-faktor produksi yang berpengaruh secara nyata pada taraf kepercayaan 99,9 persen hanyalah lahan, benih, pupuk N, pupuk P, pupuk K, pupuk kandang, dan pestisida padat. Apriani juga menganalisis pendapatan usahatani bawang merah dan membagi pendapatan usahatani bawang merah menjadi dua kategori berdasarkan jenis varietas yang digunakan, yaitu pendapatan usahatani dengan varietas Sumenep dan pendapatan usahatani dengan varietas Balikaret. Hasilnya, nilai rasio R/C atas biaya tunai varietas Sumenep adalah sebesar 3.40 dan varietas Balikaret sebesar 2.41, dan nilai rasio R/C atas biaya total varietas Sumenep sebesar 2.44 dan varietas Balikaret sebesar 2.03. Hal ini berarti bahwa usahatani bawang merah varietas Sumenep lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan dengan menggunakan varietas Balikaret. Apriani menyimpulkan bahwa tingginya penerimaan petani yang menggunakan varietas Sumenep disebabkan karena tingginya harga output, sementara tingginya penerimaan petani yang menggunakan varietas Balikaret disebabkan karena tingginya kuantitas produksi yang dihasilkan.

Siregar (2011) menganalisis pendapatan usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi cabai merah keriting di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Bogor. Sama dengan penelitian Sumiyati (2006), penelitian Siregar juga menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan model fungsi Cobb-Douglas. Menurut hasil penelitian tersebut, faktor-faktor produksi yang


(23)

11 berpengaruh nyata dan positif pada taraf nyata 95 persen terhadap produksi cabai merah keriting di Desa Citapen adalah benih, pupuk kandang, NPK, dan tenaga kerja. Sementara itu, nilai rasio R/C atas biaya tunai adalah sebesar 2.65, dan nilai rasio R/C atas biaya total sebesar 2.46, yang berarti dapat disimpulkan bahwa petani secara finansial diuntungkan dengan usahatani cabai merah keriting yang dijalankannya.

Aldila (2013) menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dan pendapatan usahatani jagung manis serta risiko produksinya di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Bogor. Analisis faktor-faktor produksi dilakukan dengan menggunakan model Cobb-Douglas dan metode

Ordinary Least Square (OLS). Dari penelitian Aldila, faktor-faktor produksi seperti pupuk phonska, pupuk TSP, pupuk kandang, furadan, dan jenis benih berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas jagung manis pada taraf nyata 20 persen. Sementara itu, berbeda dengan penelitian Sumiyati (2006) dan Siregar (2011), Aldila membandingkan pendapatan petani jagung manis pada dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Hasil dari penelitian Aldila adalah nilai rasio R/C usahatani jagung manis atas biaya tunai dan biaya total pada musim kemarau masing-masing sebesar 1.20 dan 0.96, sedangkan pada musim hujan mencapai 1.29 dan 1.10, yang berarti bahwa penerimaan petani pada musim hujan cenderung lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau, sekalipun perbedaannya tidak terlalu signifikan.

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Persamaan penelitian-penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap hasil produksi serta besarnya pendapatan usahatani petani. Sama dengan penelitian Sumiyati (2006), Siregar (2011), dan Aldila (2013), penelitian ini juga menggunakan fungsi Cobb-Douglas dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Model fungsi ini dipilih karena dapat menggambarkan secara jelas akibat dari penambahan satu unit input terhadap penambahan output yang dihasilkan. Di sisi lain, penelitian ini berbeda dengan penelitian Apriani (2011), yang menggunakan model stochastic frontier dengan pendekatan metode

Maximum Likelihood. Metode tersebut digunakan untuk mengukur maksimisasi fungsi produksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan input-input produksi, oleh karenanya metode Ordinary Least Square merupakan metode yang tepat untuk digunakan. Selain itu, perbedaan lainnya dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada jenis komoditasnya. Pada penelitian ini, komoditas hortikultura yang diteliti adalah salah satu jenis sayuran indigenous, yaitu kemangi, sementara penelitian-penelitian sebelumnya termasuk ke dalam jenis sayuran non-indigenous. Sayuran indigenous dipilih sebagai subjek penelitian karena masih belum banyak analisis finansial maupun ekonomi yang dilakukan terhadap jenis sayuran ini, sehingga berbeda dengan komoditas-komoditas lain yang lebih ‘populer’, belum ada standard operasional procedure

(SOP) baku yang digunakan petani dalam menanam sayur-sayuran ini. Sementara itu, dari sekian banyak sayuran asli Indonesia, dipilih kemangi karena tanaman tersebut merupakan salah satu sayuran yang lazim ditemui di Jawa Barat, namun tetap termarjinalkan dibandingkan dengan sayuran mayor. Berbeda dengan penelitian Aldila (2013) dan Apriani (2011), variabel dummy seperti musim dan tingkat pendidikan tidak disertakan pada penelitian ini karena dianggap tidak


(24)

12

berpengaruh secara nyata terhadap hasil produksi. Hal ini terbukti setelah melalui tahapan-tahapan penggalian informasi pada para petani responden terkait.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Penelitian ini disusun atas dasar penelusuran dari teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian. Fungsi produksi, penerimaan dan biaya usahatani, dan pendapatan usahatani adalah teori-teori yang dianggap relevan dengan topik penelitian, yang akan dijabarkan sebagai berikut.

Fungsi Produksi

Soekartawi (1986) menjelaskan, petani kecil umumnya kurang menguasai keadaan iklim, ekonomi, dan sosial di tempat mereka harus bekerja. Pengaruh-pengaruh iklim, hama, dan penyakit tanaman membuat petani tidak bisa meramalkan jumlah produksi yang diperoleh, sehingga yang dapat mereka lakukan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja, modal, dan sebagainya. Alokasi sumberdaya menentukan berapa produksi yang akan dihasilkan, sehingga petani dapat mempengaruhi produksi melalui keputusan berapa jumlah sumberdaya yang mereka gunakan. Hubungan kuantitatif antara masukan (input) dan produksi dikenal dengan istilah fungsi produksi, sedangkan masukan-masukan (sumberdaya) yang digunakan disebut sebagai faktor-faktor produksi.

Bentuk fungsi produksi dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi masukan yang terbaik dan untuk melakukan studi tentang pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap penggunaan masukan dan terhadap produksi. Meskipun demikian, informasi yang diperoleh dari analisis fungsi produksi dapat tidak sempurna, yang disebabkan adanya faktor ketidakpastian (seperti cuaca, hama dan penyakit tanaman), kesalahan data yang dipakai untuk melakukan pendugaan fungsi, ketidakmampuan model fungsi dalam menjelaskan populasi, besar pendugaan opportunity cost tidak pasti, dan sifat kekhusussan yang dimiliki setiap petani dan usahataninya.

Hubungan Y dan X secara aljabar ditulis sebagai berikut: Y = f(X1, X2, X3, … , Xi)

dengan: Y : produksi Xi : masukan ke-i

Hubungan masukan dan produksi pertanian mengikuti kaidah kenaikan hasil yang berkurang (law of diminishing return). Tiap tambahan unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin kecil


(25)

13 dibanding unit tambahan masukan tersebut, hingga suatu ketika sejumlah unit tambahan masukan akan menghasilkan produksi yang terus berkurang.

Ada beberapa macam bentuk aljabar fungsi produksi. Tiga bentuk aljabar fungsi produksi yang penting dan sering dipakai dalam analisis adalah polinomial kuadratik, polinomial akar pangkat dua, dan fungsi Cobb-Douglas, namun penyelesaian persamaan dengan tiga atau lebih variabel bebas menggunakan dua model pertama kurang praktis, untuk itu model power function seperti Cobb-Douglas lebih disarankan (Soekartawi 1986).

Fungsi produksi Cobb-Douglas telah digunakan secara luas dalam ilmu ekonomi, biasanya untuk menjelaskan hubungan antara masukan yang digunakan dengan hasil produksi. Bentuk fungsi ini ditawarkan oleh Knut Wicksell (1851-1926) dan telah mengalami pengujian secara statistik oleh Charless Cobb dan Paul Douglas pada tahun 1928 (Bao Hong 2008). Fungsi produksi Cobb-Douglas dapat ditulis sebagai berikut:

� = �0�1�1�2�2, … ,������

dengan:

Y : variabel dependen (hasil produksi) X : variabel independen (masukan) a, b : besaran yang akan diduga u : galat

e : logaritma natural (e = 2.178)

Bentuk fungsi tersebut dapat ditransformasi ke dalam bentuk linear logaritmik natural, menghasilkan fungsi produksi sebagai berikut:

ln�= ln�0+ �1ln�1+ �2ln�2+⋯+��ln��+ u dengan:

Y : hasil produksi X : faktor produksi

n : jumlah faktor produksi yang digunakan a : konstanta

u : galat

Soekartawi (1986) menjelaskan, ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam menggunakan power function seperti fungsi Cobb-Douglas. Pertama, tidak adanya pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari nol adalah bilangan

infinite (tidak diketahui besarannya). Untuk mengatasinya, disarankan untuk mengganti variabel yang mempunyai nilai nol tersebut dengan bilangan yang sangat kecil (sehingga tidak berpengaruh besar terhadap hasil analisis). Selain itu, dalam fungsi produksi berlaku beberapa asumsi seperti tidak adanya perbedaan teknologi pada pengamatan, pada tiap variabel X berlaku persaingan sempurna, dan perbedaan lokasi pada fungsi produksi (seperti iklim) telah tercakup pada faktor galat.

Pengukuran produktivitas dapat menggunakan dua tolak ukur, yaitu Produk Marjinal (MP) dan Produk Rata-Rata (APP). Produk marjinal adalah rasio penambahan satu satuan input yang dapat menyebabkan penambahan/ pengurangan output, sedangkan produk rata-rata adalah perbandingan antara produk total per jumlah input. Grafik yang menggambarkan hubungan antara MP, APP, dan TPP dapat disimak pada Gambar 2.


(26)

14

Gambar 2 Kurva fungsi produksi

Sumber: Soekartawi (1995)

Secara matematis, MP dan APP dapat dirumuskan sebagai berikut:

�� = ∆�

∆��

dan

��� = �

��

Terdapat tiga kemungkinan kondisi yang menyatakan hubungan antara X dan Y, yaitu:

1. Jika penambahan input X mengakibatkan penambahan jumlah ouput Y secara proporsional, kondisi ini disebut constant productivity.

2. Jika penambahan input X mengakibatkan penambahan jumlah ouput Y yang lebih kecil, kondisi ini disebut decreasing productivity.

3. Jika penambahan input X mengakibatkan penambahan jumlah ouput Y yang lebih besar, kondisi ini disebut increasing productivity.

Elastisitas produksi adalah presentase perubahan output sebagai akibat dari presentase perubahan input. Elastisitas produksi biasa digunakan untuk mengukur perubahan jumlah output sebagai akibat dari perubahan jumlah pemakaian input. Secara matematis, elastisitas produksi dapat dirumuskan sebagai berikut.

�� = ∆� �⁄

∆��⁄�� = ∆� ∆�� .

� � =

�� ���

dengan:


(27)

15 ∆Y : perubahan output

∆X : perubahan input Y : hasil produksi

X : input yang digunakan i : jenis input yang digunakan

Grafik pada Gambar 2 juga menjelaskan mengenai ketiga daerah kelaziman berproduksi berdasarkan atas nilai elastisitas produksinya. Daerah I adalah daerah dengan nilai elastisitas produksi lebih besar daripada 1 (Ep>1), yang berarti setiap penambahan satu persen input akan menambah output yang lebih besar daripada satu persen. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah tersebut tidak rasional dalam berproduksi (irasional) sehingga untuk mengoptimalkan produksi, sebaiknya produsen menambah jumlah inputnya.

Daerah II merupakan daerah nilai elastisitas produksi yang berada antara nol dan satu (0<Ep<1), yang berarti setiap penambahan satu persen input akan menambah paling sedikit nol persen dan paling banyak satu persen output. Hal ini mengindikasikan bahwa produsen telah beroperasi secara rasional, karena di daerah inilah keuntungan maksimum dapat tercapai, yaitu saat MP = 0.

Daerah III merupakan daerah dengan nilai elastisitas produksi yang kurang dari satu (Ep<1), yang berarti setiap penambahan satu persen input akan menurunkan jumlah output yang dihasilkan. Hal ini membuat daerah ini merupakan daerah yang tidak rasional untuk berproduksi, karena mencerminkan pemakaian input yang tidak efisien.

Untuk menganalisis hubungan antara faktor produksi dengan output yang dihasilkan, ada beberapa metode yang lazim digunakan, salah satunya adalah dengan metode kuadrat terkecil. Metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square) adalah teknik perluasan dari permodelan linear yang dapat digunakan untuk memodelkan variabel penjelas yang bersifat tunggal maupun jamak dan juga variabel penjelas yang telah terkodekan dengan baik (Hutcheson 2011). Metode ini berfungsi untuk meminimumkan jumlah kuadrat galat, sehingga persamaan regresi yang dipilih adalah yang dapat meminimumkan nilai ∑ �2.

Keunggulan dari metode OLS adalah, dengan asumsi-asumsi yang terpenuhi, dapat menyajikan nilai estimasi yang baik bagi koefisien dan variabel independen dari fungsi tersebut (Thomas 1996). Asumsi-asumsi ini secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu asumsi terkait variabel independen dan asumsi terkait galat (Thomas 1996).

Asumsi-asumsi yang terkait variabel independen di antaranya adalah: 1. Bersifat non-stokastik, artinya variabel independen (faktor-faktor produksi

kemangi) yang digunakan di sini bersifat pasti (certain) dan bukan kebetulan.

2. Memiliki nilai yang tetap pada sampel yang berulang. Artinya, jika dilakukan pengulangan, maka nilai variabel independen (faktor-faktor produksi kemangi) tidak berubah.

3. Jika n∞, maka variansnya adalah ∑(��−��)2

� = ∑

2

� Q, dan Q adalah

konstanta tetap terbatas (fixed finite constant). Hal ini berarti jika jumlah sampel pada penelitian ini diperbesar, varians ∑��2

� tidak akan ikut


(28)

16

4. Tidak ada hubungan linear yang pasti antara dua atau lebih variabel independen. Kondisi ini disebut sebagai tidak adanya multikolinearitas. Prinsip utama dari metode Ordinary Least Square adalah bagaimana meminimalkan galat. Metode ini menunjukkan bahwa komponen galat (ei) adalah

perbedaan antara nilai Y yang sebenarnya dengan Y dugaan, dan semakin kecil nilai akumulasi galatnya, maka akan semakin baik model dugaannya. Oleh karena itu, asumsi-asumsi terkait galat (error) pada model regresi dugaan pada metode

Ordinary Least Square penting untuk diperhatikan. Berikut adalah asumsi-asumsi terkait galat yang digunakan pada metode OLS (Thomas 1996):

1. �(�) = 0 untuk semua i, yang berarti rataan dari galat yang diambil dalam beberapa sampel, adalah nol. Hal ini menunjukkan bahwa semua galat menerima tingkat kepentingan yang sama, tidak peduli seberapa jauh atau dekat observasi individual dari garis regresi.

2.��� (�1) =�(� − ��)2 = �(�2) = �2 =������������������,

yang berarti ragamnya bersifat konstan. Kondisi ini disebut homoskedastik. Untuk mengujinya dapat digunakan berbagai alat analisis seperti Uji

Goldfeld-Quandt, Uji White, Uji Breusch-Pagan-Godfrey, Uji Harvey, dan sebagainya, namun yang digunakan pada penelitian ini adalah Uji White. 3. Cov ��,��= �(� − ��)��− ���= ����= 0 untuk semua i, yang

berarti tidak ada korelasi antara dua galat atau kovariansnya adalah nol. Kondisi ini disebut tidak adanya autokorelasi. Untuk mengujinya dapat digunakan Uji Durbin-Watson, Uji Lagrange Multiplier (uji Breusch-Godfrey), dan sebagainya, namun yang digunakan pada penelitian ini adalah Uji Lagrange Multiplier.

4. Setiap �� atau galat terdistribusi normal. Kondisi ini dapat diuji dengan Uji Normalitas. Ada beberapa macam metode yang dapat digunakan untuk uji normalistas, dan salah satu metode yang paling lazim digunakan adalah dengan Uji Jarque-Bera, yang juga akan digunakan pada penelitian ini. Apabila asumsi-asumsi dasar tersebut telah terpenuhi, maka estimasi yang diperoleh dengan OLS akan bersifat linear, tak bias, dan variansnya minimum, yang dikenal dengan BLUE (Best, Linear, Unbiased Estimator).

Penerimaan dan Biaya Usahatani

Penerimaan usahatani merupakan hasil kali antara jumlah output yang dihasilkan dengan harganya. Dalam menghitung penerimaan usahatani, terdapat dua jenis analisis yang sering digunakan, yaitu a). Analisis parsial usahatani, dan b). Analisis keseluruhan usahatani. Analisis parsial usahatani adalah bila tanaman yang diteliti adalah salah satu macam tanaman saja, sedangkan jika semua tanaman dianalisis disebut analisis keseluruhan (Soekartawi, 1995).

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual pada saat itu. Secara matematis, persamaan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

��� = � ��.��� �


(29)

17 dengan:

TR : total penerimaan Py : harga

Y : produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani i

n : jumlah jenis komoditas yang diusahakan

Pengadaan faktor-faktor produksi dalam usahatani tentu memerlukan biaya. Ada dua macam biaya yang biasa dipakai dalam perhitungan usahatani, yaitu biaya tunai atau biaya yang dibayarkan dan biaya tidak tunai atau biaya yang tidak dibayarkan.

Biaya tunai usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Biaya ini tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok, maupun yang dalam bentuk benda (Soekartawi 1986). Contoh dari biaya ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja luar keluarga, biaya untuk membeli input produksi seperti benih, pupuk, obat-obatan, dan bawon panen (Daniel 2001). Biaya tunai berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki petani.

Biaya yang tidak dibayarkan, atau biaya tidak tunai, adalah biaya-biaya yang seharusnya dibayarkan karena telah menggunakan sumberdaya, sehingga biaya ini harus diperhitungkan (Daniel 2001). Biaya ini berguna untuk melihat kemampuan manajerial petani dalam usahatani yang dijalankannya. Contoh dari biaya ini adalah biaya upah tenaga kerja dalam keluarga, penggunaan benih dari hasil persemaian sendiri, dan opportunity cost dari hasil menyewakan lahan.

Total biaya adalah hasil akumulasi dari biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Persamaan matematis dari total biaya dalam suatu periode adalah sebagai berikut:

��=��+��

dengan:

TB : total biaya BT : biaya tunai

BD : biaya diperhitungkan Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani adalah selisih dari penerimaan dan semua biaya. Hasil ini dapat berbeda-beda, tergantung dari analisis yang digunakan. Jika menggunakan analisis ekonomi (biaya diperhitungkan ikut dihitung), maka hasilnya akan selalu lebih kecil jika dibandingkan dengan menggunakan analisis finansial (biaya diperhitungkan tidak ikut dihitung, hanya biaya tunai saja yang dihitung). Analisis ini penting dilakukan untuk mengukur keberhasilan dari kegiatan usahatani (Soekartawi 1995). Secara umum, persamaan matematis dari pendapatan usahatani adalah sebagai berikut:

�� = �� − ��

Keterangan:

�� : total pendapatan

TR : total penerimaan TB : total biaya


(30)

18

Pendapatan kotor usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Pendapatan kotor merupakan ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani disebut dengan pendapatan bersih usahatani (net farm income). Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani (Soekartawi 1986).

Ada berbagai alat analisis yang sering digunakan untuk mengukur pendapatan usahatani, misalnya R/C, B/C, NPV, dan IRR. Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah R/C ratio, yang merupakan singkatan dari

Return Cost Ratio atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Secara matematis, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut:

R/C ratio= ��.�

(��+��)

=��

��

Secara teoretis, jika R/C ratio = 1, maka usahatani tersebut tidak untung tidak pula rugi. Jika R/C ratio lebih dari 1, maka usahatani dikatakan menguntungkan, dan sebaliknya jika R/C ratio kurang dari 1 maka usahatani dikatakan merugikan (Soekartawi, 1995).

Kerangka Pemikiran Operasional

Kemangi merupakan salah satu komoditas hortikultura yang digolongkan ke dalam kategori tanaman indigenous. Sama dengan tanaman indigenous lainnya, kemangi adalah salah satu contoh dari keanekaragaman hayati Indonesia yang pemanfaatannya masih belum optimal. Di luar negeri, tanaman sejenis kemangi dimanfaatkan sebagai sumber minyak atsiri, yang berguna sebagai bahan baku obat-obatan, pewangi, kosmetika, hingga herbisida, namun pemanfaatan di dalam negeri sendiri sebagian besar pemanfaatannya masih terbatas pada konsumsi mentah. Kandungan vitamin dan atsirinya yang tinggi menjadikan kemangi sebagai tanaman yang potensial untuk dikembangkan, baik untuk tanaman konsumsi (sebagai sayur) maupun untuk keperluan biofarmaka. Tingginya permintaan kemangi di daerah Jawa Barat, yang terbukti dengan tersedianya kemangi di setiap rumah makan Sunda, menjadikan kemangi sebagai salah satu komoditas penting, namun data-datanya sendiri tidak tersedia di lembaga pendataan, padahal data-data tersebut berguna untuk mengetahui tingkat produktivitas kemangi, efisiensi usahatani, dan riset-riset lainnya. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan sayuran kemangi masih dipandang sebelah mata.

Salah satu sentra penanaman kemangi di daerah Bogor adalah Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Desa Ciaruteun Ilir memiliki kondisi tanah dan iklim yang baik untuk sayur-sayuran berdaun, termasuk kemangi. Sebagian besar petani di Desa Ciaruteun Ilir masih


(31)

19 menggunakan cara konvensional untuk menanam kemangi, hal ini terbukti dengan penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida, herbisida, dan pupuk-pupuk anorganik dalam proses budidaya kemangi.

Rata-rata petani di Ciaruteun Ilir dapat memanen sebesar 7000 kg kemangi pada luasan lahan 1000 m2. Meskipun demikian, input yang digunakan setiap petani berbeda-beda, sehingga hasil panen kemangi setiap petani di desa tersebut pun beraneka ragam. Hal ini dikarenakan masih belum tersedianya aturan baku (SOP) terkait penggunaan input yang tepat agar diperoleh hasil produksi yang optimum. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis untuk melihat hubungan kuantitatif antara faktor-faktor produksi yang digunakan dan hasil produksinya, yang disebut dengan analisis fungsi produksi.

Bentuk fungsi produksi yang digunakan pada penelitian ini adalah fungsi

Cobb-Douglas. Fungsi ini dipilih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan seperti kelaziman, kesederhanaan (parsimonious), dan dapat ditransformasi menjadi fungsi regresi linear berganda dalam bentuk logaritma natural sehingga dapat memperkecil terjadinya heteroskedastisitas. Selain itu, pangkat dari fungsi

Cobb-Douglas menunjukkan besarnya elastisitas masing-masing faktor produksi. Metode yang digunakan untuk menganalisis fungsi produksi pada penelitian ini adalah metode Ordinary Least Square (OLS). Metode ini dipilih karena dapat menghasilkan estimasi fungsi yang bersifat linear, tak bias, dan konsisten jika asumsi-asumsi dasarnya terpenuhi. Sementara itu, faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap hasil produksi kemangi diantaranya adalah benih, pupuk kandang, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk Phonska, herbisida Round-Up, insektisida Curacron, herbisida Bravoxone, dan tenaga kerja.

Perbedaan hasil produksi tersebut akan berpengaruh pula pada perbedaan penerimaan yang diperoleh petani, oleh karena itu analisis pendapatan diperlukan untuk mengetahui apakah usahatani yang dilakukan petani kemangi di Desa Ciaruteun Ilir menguntungkan atau tidak. Pada penelitian ini, alat analisis pendapatan yang digunakan adalah R/C ratio, sehingga nisbah antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan dapat langsung diketahui. Jika nilai R/C ratio lebih kecil dari 1, maka usahatani dianggap merugikan, sementara jika nilai R/C ratio

lebih besar dari 1 maka usahatani dianggap menguntungkan.


(32)

20

Harga Output

Produksi kemangi

Harga Input Penggunaan input produksi

kemangi di Desa Ciaruteun Ilir:

1. Benih

2. Pupuk Kandang 3. Pupuk urea 4. Pupuk TSP 5. Pupuk Phonska 6. Herbisida Round-Up 7. Pestisida Curacron 8. Herbisida Bravoxone 9. Tenaga Kerja

Penerimaan

usahatani kemangi Biaya

Pendapatan usahatani kemangi

Hasil produksi kemangi masing-masing petani di Ciaruteun Ilir berbeda-beda


(33)

21

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja), didasarkan dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra penanaman kemangi di Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, mulai pertengahan Februari 2013 hingga pertengahan Mei 2013.

Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diambil langsung melalui penelitian yang dilakukan di Desa Ciaruteun Ilir untuk mengetahui besar penerimaan petani, biaya-biaya yang harus dikeluarkan petani, serta input-input yang digunakan petani dalam proses budidaya kemangi. Data diambil dengan cara wawancara langsung, berupa

focused interview yang dibantu dengan kuisioner.

Sementara itu, data sekunder adalah data yang diperoleh bukan melalui pengamatan secara langsung, melainkan dari berbagai sumber, seperti internet, jurnal, buku, artikel, ensiklopedia, skripsi, disertasi, dan instansi-instansi tertentu yang menyediakan data yang relevan dengan penelitian. Data-data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data struktur PDB menurut lapangan usaha, data-data karakteristik wilayah Ciaruteun Ilir, data kependudukan Desa Ciaruteun Ilir, data-data penelitian terdahulu mengenai analisis pendapatan pada komoditas hortikultura, data-data penelitian terdahulu mengenai analisis faktor-faktor produksi pada komoditas hortikultura, serta data-data mengenai kandungan kimia kemangi.

Jumlah responden yang digunakan pada penelitian ini adalah 31 orang petani kemangi, yang terdiri dari 58% petani yang mengikuti kelompok tani (18 orang) dan 42% petani yang tidak mengikuti kelompok tani (13 orang). Berdasarkan data dari Kantor Kepala Desa Ciaruteun Ilir, jumlah petani secara keseluruhan adalah 320 orang. BP3K Cibungbulang mencatat bahwa jumlah petani kemangi di Desa Ciaruteun Ilir yang ikut kelompok tani adalah 150 orang, sehingga terdapat 170 orang petani yang tidak ikut kelompok tani. Meskipun demikian, tidak semua dari petani-petani tersebut, baik yang mengikuti poktan maupun tidak, yang mengusahakan kemangi pada musim tanam 2012-2013, sehingga teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan Purposive Sampling.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul kemudian diolah menggunakan kalkulator, tablet, Microsoft Excel, program E-Views 6, dan program SPSS 15. Analisis data


(34)

22

yang dilakukan pada penelitian ini berupa analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.

Analisis kualitatif dilakukan melalui pendekatan deskriptif, untuk mengetahui gambaran mengenai keadaan umum penanaman kemangi di lokasi penelitian. Analisis kuantitatif yang dilakukan terdiri dari analisis pendapatan serta analisis faktor-faktor produksi usahatani kemangi. Analisis faktor-faktor produksi kemangi dilakukan dengan menganalisis fungsi produksi, sementara untuk menganalisis pendapatan usahatani diperoleh dari penerimaan petani dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan petani selama produksi berlangsung.

Analisis Faktor Produksi Usahatani Kemangi

Sebelum menganalisis fungsi produksi, terlebih dahulu ditentukan faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh secara nyata terhadap hasil produksi. Pada penelitian ini, faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap hasil produksi kemangi adalah benih yang digunakan, jumlah pupuk kandang, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk TSP, jumlah pupuk Phonska, pemakaian herbisida

Round-Up, pemakaian insektisida Curacron, pemakaian herbisida Bravoxone, dan jumlah tenaga kerja. Hubungan antara faktor-faktor produksi usahatani kemangi dengan hasil produksinya mengikuti kaidah kenaikan hasil yang semakin berkurang (the law of diminishing return). Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa setiap faktor produksi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap hasil produksi kemangi. Berikut adalah penjelasan mengenai hipotesis masing-masing variabel independen yang digunakan pada parameter dugaan fungsi produksi.

1. Benih (X1)

β1 > 0 artinya semakin banyak benih kemangi yang digunakan dalam proses produksi, maka produktivitas kemangi semakin meningkat.

Petani di Desa Ciaruteun Ilir belum menggunakan benih kemangi yang bersertifikasi. Hal ini dikarenakan benih kemangi yang telah bersertifikasi susah ditemui. Petani membeli benih dalam satuan botol, yang berisi 600 gram benih. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah kg.

2. Pupuk kandang ayam (X2)

β2 > 0 artinya semakin banyak pupuk kandang yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas kemangi semakin meningkat. Hal ini dikarenakan pupuk kandang ayam memiliki kandungan zat hara yang paling tinggi dibandingkan jenis pupuk ternak lain. Suriatna (1988) menyatakan bahwa pupuk kandang tidak hanya sebagai sumber nutrien bagi tanaman, tetapi juga dapat membantu kesuburan tanah.

Petani kemangi responden membeli pupuk kandang dalam satuan karung, dengan ukuran per karungnya adalah 50 kg pupuk kandang. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah kg.


(35)

23 3. Pupuk urea (X3)

β3 > 0 artinya semakin banyak pupuk urea yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas kemangi akan semakin meningkat.

Pupuk urea diduga berpengaruh secara positif terhadap hasil produksi karena dapat mempercepat pertumbuhan tanaman. Pupuk ini merupakan jenis pupuk yang mudah menguap (fast release) sehingga cepat diserap oleh tumbuhan. Pupuk urea merupakan sumber nitrogen, yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman kemangi. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah kg.

4. Pupuk TSP (X4)

β4 > 0 artinya semakin banyak pupuk TSP yang digunakan dalam proses produksi, maka produktivitas kemangi akan semakin meningkat.

Pupuk TSP adalah nutrien anorganik yang mengandung fosfat dan berfungsi untuk memperbaiki hara tanah pertanian. Pupuk ini diduga berpengaruh secara positif terhadap hasil produksi karena dapat menjadikan batang tanaman tegak dan kokoh, akarnya kuat, dan meningkatkan daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah kg.

5. Pupuk Phonska (X5)

β5 > 0 yang berarti semakin banyak pupuk Phonska yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas kemangi akan semakin meningkat.

Pupuk NPK Phonska merupakan pupuk majemuk yang mengandung unsur N, P, K, dan S sekaligus. Pupuk ini diduga berpengaruh secara positif terhadap produktivitas kemangi karena pemakaian pupuk dapat membuat tanaman lebih hijau dan segar (Purwoko, 2009). Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah kg.

6. Herbisida Round-Up (X6)

β6 > 0 artinya semakin banyak herbisida Round-Up yang digunakan dalam proses produksi, maka produktivitas kemangi akan semakin meningkat.

Herbisida Round-Up diduga berpengaruh secara positif terhadap hasil produksi karena senyawa kimia ini mengandung bahan aktif glyphosate, yang berguna untuk memberantas gulma yang berdaun lebar dan bersifat

annual. Herbisida ini biasa digunakan sebelum lahan digarap, dan petani biasa membeli dalam botol yang berisi 1 liter cairan. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah liter.

7. Insektisida Curacron (X7)

β7 > 0 artinya semakin banyak insektisida Curacron yang digunakan dalam proses produksi, maka produktivitas kemangi akan semakin meningkat.

Insektisida Curacron diduga berpengaruh secara positif terhadap hasil produksi kemangi karena insektisida ini mengandung bahan aktif


(36)

24

dan penggerek. Petani biasa membeli dalam botol yang berisi 100 ml cairan. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah liter.

8. Herbisida Bravoxone (X8)

β8 > 0 artinya semakin banyak herbisida Bravoxone yang digunakan dalam proses produksi, maka produktivitas kemangi akan semakin meningkat.

Herbisida Bravoxone diduga berpengaruh positif terhadap produksi kemangi karena herbisida ini merupakan herbisida purnatumbuh yang mengandung senyawa aktif paraquat dicloride, dan biasanya digunakan pada gulma-gulma berdaun tipis dan panjang. Herbisida ini biasa digunakan sehabis panen untuk mengendalikan rerumputan dan alang-alang di sekitar tanaman budidaya. Petani biasa membeli dalam botol yang berisi 1 liter cairan. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah liter. 9. Tenaga kerja (X9)

β9 > 0 artinya semakin banyak tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi, maka produktivitas kemangi akan semakin meningkat.

Tenaga kerja diduga berpengaruh secara positif terhadap hasil produksi, karena pemakaian tenaga kerja digunakan mulai dari awal produksi (pengolahan lahan) hingga pemanenan. Rata-rata petani di Desa Ciaruteun Ilir bekerja selama delapan jam per hari, mulai dari pukul 07.00 hingga 12.00, kemudian setelah beristirahat selama satu jam, pekerjaan dilanjutkan lagi pada pukul 13.00 hingga pukul 16.00. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah HOK (Hari Orang Kerja).

Luas lahan yang digunakan petani di Desa Ciaruteun Ilir untuk menanam kemangi bervariasi. Oleh karena itu, untuk melihat pengaruh faktor-faktor produksi terhadap hasil produksinya, semua usahatani responden dikonversi ke dalam skala usaha 1000 m2.

Untuk menganalisis hubungan antara faktor-faktor produksi tersebut dengan hasil produksinya, maka dilakukan analisis fungsi produksi. Pada penelitian ini, estimasi fungsi produksi kemangi berbentuk Cobb-Douglas, yang memiliki bentuk umum dari fungsi sebagai berikut:

�= �0�1�1�2�2�3�3�4�4�5�5�6�6�7�7�8�8�9�9��

Bentuk fungsi tersebut ditransformasi ke dalam bentuk linear logaritmik natural, menghasilkan bentuk pendugaan fungsi produksi kemangi sebagai berikut:

ln�= ln�0+ �1ln�1+ �2ln�2+�3ln�3+�4ln�4+�5ln�5+�6ln�6+

�7ln�7+�8ln�8+�9ln�9+ u

dengan:

Y : hasil produksi kemangi (kg) X1 : benih (kg)


(37)

25 X3 : pupuk urea (kg)

X4 : pupuk TSP (kg) X5 : pupuk phonska (kg) X6 : herbisida Round-Up (liter) X7 : insektisida Curacron (liter) X8 : herbisida Bravoxone (liter) X9 : tenaga kerja (HOK)

�0 : intersep

u : galat

Pengujian Penyimpangan Asumsi Klasik

Pengujian penyimpangan asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui apakah ada asumsi-asumsi klasik terkait galat maupun variabel independen yang dilanggar. Jika tidak ada asumsi-asumsi klasik yang dilanggar, maka model dugaan dapat diuji lebih lanjut untuk melihat signifikansi model dan variabelnya. Di sisi lain, jika ada asumsi klasik yang tidak terpenuhi, maka harus dilakukan perbaikan pada model terlebih dahulu. Oleh karena itu, pengujian penyimpangan asumsi klasik penting dilakukan. Beberapa pengujian penyimpangan asumsi klasik diantaranya adalah uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas.

a. Uji multikolinearitas

Uji ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan linear yang pasti antara dua atau lebih antara faktor produksi kemangi yang satu dengan yang lain. Adanya multikolinearitas pada variabel-variabel independen tidak menyebabkan standard error menjadi bias, namun multikolinearitas yang tinggi dapat menyebabkan hasil analisis regresi yang tidak tepat. Oleh karena itu, sebuah pengujian untuk mengetahui adanya multikolinearitas yang tinggi antarvariabel independen pada suatu model penting dilakukan (Thomas, 1996). Uji multikolinearitas dilakukan dengan memperhatikan nilai VIF (Variance Inflation Factor) pada output regresi. Jika nilai VIF pada output regresi masing-masing variabel kurang dari 5, maka dapat dikatakan tidak ada multikolinearitas yang tinggi pada variabel independen. Secara matematis, rumus VIF adalah sebagai berikut:

��� = 1

(1− �2)

dengan:

��2 : koefisien determinasi Xi i : faktor produksi ke-i

b. Uji autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi pada galat model dugaan. Uji ini penting dilakukan karena galat yang bersifat autokorelasi dapat menyebabkan model menjadi tidak linear dan bias, sehingga jika jumlah sampel ditambah, model menjadi berubah dan hasil pendugaan menjadi tidak lagi akurat. Uji yang dilakukan pada penelitian ini


(38)

26

menggunakan metode Breusch-Godfrey Lagrange Multiplier. Persamaan regresi

lagrange multiplier bagi autokorelasi orde ketiga adalah (Thomas 1996):

�� =�+���+�1��−1+�2��−2+�3��−3+��

Hipotesis yang digunakan pada uji autokorelasi dengan menggunakan metode Breusch-Godfrey adalah:

H0 : ρi = … = ρk = 0 (tidak ada autokorelasi pada galat model dugaan) H1 : ρi ≠ 0 (ada autokorelasi pada galat model dugaan) Jika nilai probabilitas lebih besar daripada taraf nyata yang dipakai (P>α), atau jika nilai nR2 lebih kecil daripada nilai X2, maka hipotesis nol tidak dapat ditolak. Pada hasil olahan regresi menggunakan E-Views 6, jika nilai Prob. Chi-Square

pada Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata α, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada autokorelasi pada galat model dugaan.

c. Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas penting dilakukan untuk mengetahui apakah model dugaan memiliki ragam yang konstan atau tidak, karena galat yang bersifat heteroskedastis akan menyebabkan model tidak lagi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Uji ini dilakukan dengan White Test. Pendugaan persamaan White

untuk fungsi regresi secara umum dapat ditulis sebagai:

��2 = �∗+�∗[�(��)]2+��

Hipotesis yang digunakan pada uji heteroskedastisitas dengan menggunakan metode White adalah:

H0 : Tidak ada heteroskedastisitas pada galat model dugaan H1 : Ada heteroskedastisitas pada galat model dugaan

Jika nilai probabilitas lebih besar daripada taraf nyatanya (P>α), atau jika nilai nR2

lebih kecil daripada nilai X2, maka hipotesis nol tidak dapat ditolak. Pada hasil olahan regresi dengan menggunakan E-Views 6, jika nilai Prob. Chi-Square pada

Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata α, dapat dikatakan galat pada model dugaan bersifat homoskedastik.

d. Uji normalitas

Salah satu asumsi dasar pada metode Ordinary Least Square adalah komponen galat yang menyebar normal. Uji ini bertujuan untuk mencari tahu apakah galat telah terdistribusi normal dengan rata-rata nol dan varians σ2. Uji normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan metode Jarque-Bera. Uji ini mengukur perbedaan antara skewness dan kurtosis data dibandingkan dengan data yang bersifat normal. Hipotesis yang digunakan pada metode ini adalah:

H0 : Galat model dugaan menyebar normal H1 : Galat model dugaan tidak menyebar normal


(39)

27 Uji ini membandingkan antara nilai uji statistik Jarque-Bera dengan nilai titik kritis X2. Secara matematis, rumus uji statistik Jarque-Bera dapat dituliskan sebagai (Thomas 1996):

��=� ��3

2

6�23+

(�4⁄�2−3)2

24 �

Jika nilai uji statistik Jarque-Bera lebih kecil daripada nilai titik kritis X2, atau jika nilai probabilitasnya lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan (P > α), maka hipotesis nol tidak dapat ditolak, sehingga dapat pula dikatakan galat pada model telah menyebar normal.

Pengujian Signifikasi dan Kesesuaian Model Dugaan

Apabila asumsi-asumsi terkait variabel independen dan galat telah terpenuhi, selanjutnya model persamaan regresi dugaan diuji signifikansinya. Ada beberapa pengujian signifikasi yang perlu dilakukan pada model dugaan, yaitu pengujian signifikansi model secara simultan dan pengujian signifikansi variabel independen. Selain itu, untuk mengukur tingkat kesesuaian (closeness of fit) pada model dugaan dapat dilakukan dengan mencari koefisien determinasinya (R2). a. Uji signifikansi model

Signifikansi model, yaitu untuk melihat pengaruh variabel independen (kesembilan faktor-faktor produksi kemangi) terhadap variabel dependen (hasil produksinya) secara bersama-sama, dapat diuji dengan menggunakan Uji F.

Hipotesis yang digunakan pada uji F adalah:

H0 : βj = … = βk = 0 (tidak ada pengaruh antara faktor-faktor produksi kemangi dengan produktivitas kemangi yang dihasilkan secara bersama-sama)

H1 : paling sedikit ada satu βj ≠ 0 (ada pengaruh antara faktor-faktor produksi kemangi dengan produktivitas kemangi yang dihasilkan secara bersama-sama)

Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan antara nilai F-hitung dengan nilai F-tabelnya. Jika nilai F-hitung (F-statistic) lebih besar daripada nilai F-tabel (Prob. F-statistic), maka hipotesis nol dapat ditolak dan model dikatakan signifikan pada taraf nyata α, yang berarti ada pengaruh yang signifikan antara faktor-faktor produksi dengan produktivitas kemangi yang dihasilkan secara bersama-sama. Secara matematis, rumus uji statistik F adalah (Thomas 1996):

�ℎ����� = �

2(� −1)

(1− �2) (⁄ � − �)

dengan:

R2 : koefisien determinasi

k : jumlah parameter (peubah bebas) n : jumlah pengamatan (contoh)


(40)

28

b. Uji signifikansi variabel independen

Setelah melalui pengujian signifikansi model, selanjutnya adalah pengujian signifikansi variabel independen. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen (faktor produksi) secara individual terhadap variabel dependen (hasil produksi). Kesignifikansian variabel independen dapat diuji dengan menggunakan Uji T.

Hipotesis yang digunakan pada uji T adalah:

H0 : bi = 0 (tidak ada pengaruh antara faktor produksi i dengan produktivitas kemangi yang dihasilkan) H1 : bi ≠ 0 (ada pengaruh antara faktor produksi i dengan

produktivitas kemangi yang dihasilkan)

Jika nilai T-hitung lebih besar daripada nilai T-tabel atau nilai probabilitas (Prob.) variabel lebih kecil dibandingkan taraf nyata α, maka hipotesis nol dapat ditolak sehingga variabel independen (faktor produksi) tersebut dikatakan signifikan atau berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (hasil produksi). Artinya, faktor produksi tersebut berpengaruh secara signifikan pada hasil produksi kemangi. Secara matematis, rumus T-hitung adalah sebagai berikut:

�ℎ����� =����

dengan:

bi : koefisien regresi ke-i yang diestimasi

Sbi : standar koefisien regresi ke-i yang diestimasi c. Koefisien determinasi (R2)

Keragaman pada model dapat diketahui melalui koefisien determinasi (R2). Nilai dari R2 menunjukkan seberapa besar presentase keragaman variabel dependen yang dijelaskan oleh model, dan bernilai antara nol dan satu. Selisih antara nilai koefisien determinasi dengan nilai satu (1-R2) menunjukkan komponen yang tidak dimasukkan dalam model, atau yang biasa disebut

komponen galat. Semakin tinggi nilai koefisien determinasinya (semakin mendekati 1), maka semakin dekat titik-titiknya dengan garis regresi, membentuk suatu hubungan yang linear antara variabel independen dengan variabel dependen, sehingga semakin akurat model dugaannya. Secara matematis, rumus koefisien determinasi adalah:

�2 =�����ℎ�������������� �����ℎ������������ �2 = ∑��� − ���

2 ∑(� − ��)2


(1)

68

Lampiran 4.2 Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.826249 Prob. F(2,19) 0.4528 Obs*R-squared 2.480447 Prob. Chi-Square(2) 0.2893

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 05/26/13 Time: 20:32 Sample: 1 31

Included observations: 31

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.065192 1.431786 -0.045532 0.9642 LNBENIH -0.096163 0.235240 -0.408786 0.6873 LNPKANDANG 0.026084 0.264773 0.098516 0.9226 LNUREA 0.008356 0.019843 0.421079 0.6784 LNTSP 0.001394 0.013434 0.103769 0.9184 LNPHONSKA 0.001740 0.014536 0.119720 0.9060 LNROUNDUP 0.009832 0.027157 0.362057 0.7213 LNCURACRON -0.004157 0.031937 -0.130168 0.8978 LNBRAVOXONE -0.000124 0.013665 -0.009058 0.9929 LNTK 0.004386 0.243290 0.018029 0.9858 RESID(-1) -0.113383 0.361014 -0.314067 0.7569 RESID(-2) -0.314014 0.250658 -1.252757 0.2255 R-squared 0.080014 Mean dependent var -2.69E-15 Adjusted R-squared -0.452609 S.D. dependent var 0.286553 S.E. of regression 0.345366 Akaike info criterion 0.996219 Sum squared resid 2.266271 Schwarz criterion 1.551311 Log likelihood -3.441395 Hannan-Quinn criter. 1.177165 F-statistic 0.150227 Durbin-Watson stat 1.995330 Prob(F-statistic) 0.998697


(2)

69

Lampiran 4.3 Uji Heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 1.113091 Prob. F(9,21) 0.3959 Obs*R-squared 10.01207 Prob. Chi-Square(9) 0.3495 Scaled explained SS 4.398220 Prob. Chi-Square(9) 0.8833

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 05/26/13 Time: 20:33 Sample: 1 31

Included observations: 31

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.163759 0.237807 0.688623 0.4986 LNBENIH -0.060331 0.036848 -1.637302 0.1165 LNPKANDANG -0.006106 0.004582 -1.332596 0.1969 LNUREA -6.85E-06 0.000684 -0.010011 0.9921 LNTSP 0.000318 0.000405 0.786042 0.4406 LNPHONSKA -0.000861 0.000452 -1.904288 0.0707 LNROUNDUP 0.000449 0.000629 0.713327 0.4835 LNCURACRON 0.001028 0.000584 1.759336 0.0931 LNBRAVOXONE -0.000291 0.000364 -0.799433 0.4330 LNTK 0.015433 0.007766 1.987132 0.0601 R-squared 0.322970 Mean dependent var 0.079464 Adjusted R-squared 0.032814 S.D. dependent var 0.111770m S.E. of regression 0.109920 Akaike info criterion -1.322424 Sum squared resid 0.253732 Schwarz criterion -0.859848 Log likelihood 30.49757 Hannan-Quinn criter. -1.171636 F-statistic 1.113091 Durbin-Watson stat 2.475040 Prob(F-statistic) 0.395914


(3)

(4)

70

Lampiran 5 Output analisis regresi model Cobb-Douglas dengan SPSS 15

Uji Multikolinearitas

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

Correlations Collinearity Statistics B Std. Error Beta Zero-order Partial Part Tolerance VIF

1 (Constant) 12.333 1.298 9.501 .000

Benih .613 .209 .429 2.940 .008 .382 .540 .318 .547 1.827

PKandang -.071 .219 -.057 -.326 .747 -.198 -.071 -.035 .381 2.627

Urea .026 .018 .198 1.458 .160 .251 .303 .157 .634 1.578

TSP -.019 .012 -.209 -1.530 .141 -.273 -.317 -.165 .623 1.604

Phonska .026 .013 .270 1.937 .066 .129 .389 .209 .599 1.669

RoundUp -.006 .025 -.037 -.239 .814 -.091 -.052 -.026 .499 2.005 Curacron -.021 .030 -.129 -.707 .487 -.372 -.153 -.076 .351 2.847 Bravoxone .016 .013 .172 1.285 .213 -.036 .270 .139 .650 1.538

TK -.818 .232 -.685 -3.523 .002 -.574 -.609 -.380 .309 3.238


(5)

(6)

71

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Agustus 1990 di Bondowoso sebagai

putri pertama dari Bapak P. Samsoe Soegito dan Ibu Elok Istiati. Penulis

merupakan alumni dari SMA Negeri 2 Surabaya, dan melanjutkan pendidikan

program S1 di Institut Pertanian Bogor, Departemen Agribisnis, Fakultas

Ekonomi dan Manajemen, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)

pada tahun 2009.

Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi seperti IAAS

(International Association of Student in Agriculture and Related Sciences)

Local

Committee

IPB, Himasurya (Himpunan Mahasiswa Surabaya), Badan Eksekutif

Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) periode 2009-2010, dan

Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) periode

2010-2011.