Pola Kemitraan antara Petani dengan UBH-KPWN dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor

(1)

Pola Kemitraan antara Petani dengan UBH-KPWN

dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara

di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor

ANDRIAN RIYADI PUTRA

E14061881

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

ANDRIAN RIYADI PUTRA. Pola Kemitraan antara Petani dengan UBH-KPWN dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI.

Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) merupakan unit usaha binaan Departemen Kehutanan yang bergerak di bidang usahatani Jati Unggul Nusantara (JUN). UBH-KPWN menerapkan konsep kemitraan “Bagi hasil” dalam kegiatan usahataninya. Sistem kemitraan ini merupakan struktur yang khusus dibuat oleh UBH-KPWN dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas usahatani JUN tersebut. Mitra UBH-KPWN diantaranya adalah petani, investor, pemilik lahan dan pemerintah desa. Untuk mengetahui bentuk kemitraan yang diselenggarakan antara UBH-KPWN dengan mitranya (petani, investor, pemilik lahan dan pemerintah desa), maka perlu dilakukan penelitian kelayakan dan tingkat hubungan kemitraan tersebut, apakah bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni 2011 di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan menggunakan metode wawancara dan survei. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan metode stratified purposive sampling berdasarkan luas lahan yang digarap. Adapun jumlah responden adalah sebanyak 60 orang. Analisis kelayakan usaha hutan rakyat pola kemitraan dilakukan dalam dua tahap yaitu: (1) analisis cost sharing, dan (2) analisis tingkat hubungan kemitraan dengan menggunakan metode skoring.

Hutan rakyat pola kemitraan di Desa Ciaruteun Ilir layak untuk dilakukan baik untuk petani, UBH-KPWN, investor, pemilik lahan maupun pemerintah desa. Petani merupakan pihak yang lebih diuntungkan daripada mitra UBH-KPWN lainnya dengan nilai laba (benefit) sebesar 25%, dan total biaya (cost) sebesar 1%. Hubungan kemitraan antara petani, UBH-KPWN, investor, pemilik lahan dan pemerintah desa termasuk dalam kategori Kemitraan Prima Madya.


(3)

SUMMARY

ANDRIAN RIYADI PUTRA. The Pattern of Partnership between Farmers with UBH-KPWN in the Business of People’s National Superior Teak Forest in the Ciaruteun Ilir Village, Bogor Regency. Supervised by LETI SUNDAWATI.

Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) is a business unit developed by the Forestry Department engaged in the farming of National Superior Teak (JUN). UBH-KPWN applies the concept of profit sharing partnership in farming activities. This partnership system is specifically made by UBH-KPWN in order to maintain the farming continuity of national superior teak (JUN). The partners of UBH-KPWN include farmers, investors, landowners and the village government. To determine the forms of partnership between UBH-KPWN and its partners (farmers, investors, landowners and the village government), it is necessary to study the feasibility and the extent of partnership, whether it is beneficial to both parties.

This research was conducted from April through June 2011 in the village of Ciaruteun Ilir, Cibungbulang District, Bogor Regency. The data in this study were collected using interviews and a survey. The respondents were selected by a stratified purposive sampling method based on the land area under cultivation. The number of respondents was 60 people. The analysis of the feasibility of community forests in terms of partnership was done in two phases: (1) analysis of cost sharing and (2) partnership-level analysis by a scoring method.

The partnership pattern of the community forest in Ciaruteun Ilir village is feasible for the farmers, UBH-KPWN, investors, landowners and the village government. Farmers are more advantaged than the other partners of UBH -KPWN with the profit value of 25% and the total cost of 1%. The partnership between farmers, UBH-KPWN, investors, landowners and the village government is in the category of Kemitraan Prima Madya (Middle Prime Partnership).

Key words: Analysis of Cost Sharing, Partnership, Community Forest


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pola Kemitraan antara Petani dengan UBH-KPWN dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor adalah karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Andrian Riyadi Putra NRP. E14061881


(5)

Judul Skripsi : Pola Kemitraan antara Petani dengan UBH-KPWN dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor.

Nama : Andrian Riyadi Putra NRP : E14061881

Menyetujui : Dosen Pembimbing

( Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc ) NIP. 19640830 199003 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB

( Dr. Ir. Didik Suharjito, MS ) NIP. 19630401 199403 1 001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 April 1989 dari Ayahanda Supriyadi dan Ibunda Rini Hariyati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh diantaranya adalah SDN Sukamaju 6 Depok pada tahun 1994–2000, SLTP Negeri 4 Cimanggis pada tahun 2000–2003, SMA BINTARA Depok pada tahun 2003–2006, pada tahun 2006 penulis diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru IPB) dan menempuh pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun (2006/2007), sebelum akhirnya diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2008 di daerah Sancang–Kamojang, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) pada tahun 2009 di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dan KPH Tanggeung, Cianjur Selatan, Jawa Barat dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HTI PT. Arara Abadi, Pekanbaru selama 2 bulan terhitung dari Maret sampai Mei 2010.

Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pola Kemitraan antara Petani dengan UBH-KPWN dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.


(7)

Pola Kemitraan antara Petani dengan UBH-KPWN

dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara

di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor

ANDRIAN RIYADI PUTRA

E14061881

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis ucapkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan segala kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pola Kemitraan antara Petani dengan UBH-KPWN dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor. Dalam penyusunan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materil. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Supriyadi, Ibu Rini Hariyati, Akbar Dwi Putra, Cita Ayu, serta keluarga besar Harmani yang telah memberikan doa, inspirasi, dukungan, dan semangatnya.

2. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. selaku dosen pembimbing atas segala arahan, saran dan bimbingannya.

3. Kepala Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, serta keluarga Bapak Irfan atas bantuan dan kerjasama selama penelitian berlangsung.

4. Nurmina Marwah yang telah memberi semangat dan motivasi serta atas waktu dan perhatian selama ini.

5. Teman seperjuangan Iyis Puji Lestari, Lana Puspita Sari, Martinus Ardi Rubiyanto, Fredinal, Abdul Aris, Ade Kurnia Rahman, Novriadi Zulfida, Putu Ananta, I Putu Indra, Anom Kalbuadi, Apit Faris, Dicky Kristia, Radityo Hanurjoyo, Raditya Rahman, Rangga Wisanggara, Nichi Valentino, Randy Wisanggara, Amri Saadudin, Resang Yudistira, Fadly, Bambang Prasetyo dan Haqqi Daulay atas bantuan, semangat dan kebersamaannya.

6. Terima kasih kepada pihak UBH-KPWN yang telah memberikan tempat dan pengarahan selama penelitian.

7. Staf Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB lainnya yang telah membantu penulis dalam pengurusan administrasi kemahasiswaan. 8. Seluruh pihak yang terkait baik secara langsung atau tidak dalam penelitian


(9)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Pola Kemitraan antara Petani UBH-KPWN dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor. pada Bulan April sampai dengan Juni 2011. UBH-KPWN selaku unit usaha binaan Departemen Kehutanan adalah suatu wadah kegiatan yang bergerak di bidang usahatani Jati Unggul Nusantara dengan sistem kemitraan. Sistem kemitraan yang dilakukan UBH-KPWN merupakan bagian dari proses berlangsungnya usahatani tersebut. Selain itu, UBH-KPWN juga menerapkan pola bagi hasil kepada para mitra usahanya (pemilik lahan, petani penggarap, investor dan pemerintah desa).

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan dunia pendidikan serta dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat.

Bogor, Desember 2011


(10)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ……… .... i

DAFTAR ISI………. ... ii

DAFTAR TABEL……… ... iv

DAFTAR GAMBAR……… ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……….. ... 1

1.2. Perumusan Masalah……… ... 2

1.3. Kerangka Pemikiran………. ... 6

1.4. Tujuan Penelitian……….. ... 8

1.5. Manfaat Penelitian………. ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat... ... 9

2.1.1. Definisi Hutan Rakyat………. ... 9

2.1.2. Manfaat dan peranan Hutan Rakyat……… ... 9

2.1.3. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat……….. ... 10

2.2. Pendapatan Rumah Tangga Petani……… ... 11

2.3. Konsep Kemitraan……… ... 12

2.3.1. Konsep kemitraan perusahaan-masyarakat………. ... 12

2.3.2. Pola kemitraan……… ... 14

2.3.3. Karakteristik kemitraan……… ... 16

2.3.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemitraan………. ... 18

2.3.5. Azas kemitraan………. ... 18

2.3.6. Kendala-kendala kemitraan……….. ... 19

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

3.2. Objek Penelitian dan Alat ... 20

3.3. Sumber Data………. ... 20

3.4. Jenis Data……… ... 20

3.5. Metode Pengambilan Contoh……….. ... 21

3.6. Metode Pengolahan Data……… ... 21

3.7. Definisi Operasional………... 24

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Umum Desa Ciaruteun Ilir……… ... 26


(11)

iii

4.2. UBH-KPWN………. ... 27

4.2.1. Sejarah Singkat UBH-KPWN……….. ... 27

4.2.2. Profil UBH-KPWN……… ... 28

4.2.3. Kegiatan Pokok UBH-KPWN………... 29

4.2.4. Pihak yang terlibat dalam sarana produksi usahatani JUN UBH-KPWN……… .... 29

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Responden………. ... 31

5.1.1. Umur………. ... 31

5.1.2. Tingkat pendidikan………... 31

5.1.3. Jumlah anggota keluarga……… ... 32

5.1.4. Luas kepemilikan lahan………... 32

5.1.5. Pekerjaan……… ... 33

5.2. Sistem Usaha Bagi Hasil Usahatani JUN di Desa Ciaruteun Ilir… . 34 5.3. Teknik Budidaya JUN di Desa Ciaruteun Ilir………... ... 38

5.3.1. Persiapan………. ... 38

5.3.2. Penanaman………. ... 40

5.3.3. Perawatan……… ... 41

5.4. Aspek Penerimaan UBH-KPWN (Inflow)………. ... 43

5.4.1. Penerimaan Penjualan Jasa Investasi………. ... 43

5.4.2. Penerimaan Penjualan JUN Siap Panen………. ... 43

5.5. Aspek Pengeluaran Biaya (Outflow)……….. ... 44

5.5.1. UBH-KPWN………. ... 45

5.5.2. Investor……….. ... 49

5.5.3. Petani……….. ... 49

5.5.4. Pemilik Lahan……… ... 50

5.5.5. Pemerintah Desa………... 51

5.6. Kelayakan Usaha Hutan Rakyat Pola Kemitraan………... 51

5.6.1. Analisis benefit dan cost sharing……… ... 51

5.6.2. Analisis Net Present Value (NPV)……….. ... 53

5.7. Analisis Kemitraan……… ... 54

5.7.1. Tahapan pola kemitraan……… ... 54

5.7.2. Analisis hubungan kemitraan……… ... 56

5.7.3. Proses manajemen kemitraan……… ... 59

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN……….. ... 65

6.1. Kesimpulan……… ... 65

6.2. Saran………. ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(12)

iv

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Rincian faktor yang dinilai dan nilai tingkat hubungan kemitraan ... 24

2. Jenis dan luas penggunaan lahan Desa Ciaruteun Ilir……… ... 26

3. Distribusi respondesn berdasarkan umur………. . 31

4. Distribusi responden berdasarkan pendidikan……… ... 32

5. Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota keluarga………. 32

6. Distribusi responden berdasarkan kepemilikan lahan……… ... 33

7. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan utama……… .. 33

8. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan sampingan……… .. 34

9. Hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam budidaya JUN UBH-KPWN di Desa Ciaruteun Ilir……… . 35

10. Bagian hasil dan beban risiko para pihak yang terlibat dalam usaha JUN... ... 37

11. Jenis pupuk dan dosis pada pemupukan lanjutan……… ... 42

12. Penerimaan penjualan jasa investasi……… . 43

13. Penerimaan penjualan tanaman JUN……… ... 43

14. Hasil analisis Net Present Value (NPV) terhadap aspek penerimaan…. .. 44

15. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak……….... 45

16. Biaya investasi perlengkapan kantor di Bogor………... 46

17. Biaya investasi peralatan produksi……….. ... 46

18. Biaya pengadaan bibit………. ... 47

19. Biaya reinvestasi pada tahun ketiga………. ... 47

20. Biaya manajemen kantor……… ... 47

21. Biaya input (pupuk) penanaman dan perawatan tanaman JUN dalam lima tahun (per pohon)………. ... 48

22. Biaya upah tenaga kerja penanaman, perawatan dan pengawasan JUN Dalam lima tahun (per pohon)……….. ... 49

23. Pembelian jasa investasi……… ... 49

24. Biaya peralatan lapang………. ... 50

25. Biaya pengawasan lahan……… ... 50

26 Biaya sewa lahan……… ... 51

27. Tabel analisis benefit sharing dan cost sharing……….. ... 52

28. Hasil analisis NPV berdasarkan biaya dan pendapatan masing-masing pihak... ... 53

29. Nilai tingkat hubungan kemitraan berdasarkan pendapat petani, UBH- KPWN, pemilik lahan, pemerintah desa, investor……… ... 57


(13)

v

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Kerangka pemikiran……….. ... 7

2. Tegakan JUN umur 3 tahun di Desa Ciaruteun Ilir………... 29

3. Bibit Jati Unggul Nusantara……… ... 30

4. Perakaran Jati Unggul Nusantara……… ... 30

5. Bagan kontribusi dan bagian hasil pihak-pihak yang terlibat dala usaha JUN di Desa Ciaruteun Ilir……… ... 36

6. Kantor pemerintah desa dan tokoh masyarakat……….. ... 54


(14)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman 1. Identitas responden petani (strata I)……… ... 69 2. Identitas responden petani (strata II)……… ... 70 3. Identitas responden petani (strata III)……….. ... 71 4. Kegiatan pemasangan ajir, pembuatan lubang, pemupukan awal

dan penanaman (petani strata I)……….. ... 72 5. Kegiatan pemasangan ajir, pembuatan lubang, pemupukan awal

dan penanaman (petani strata II)……… ... 73 6. Kegiatan pemasangan ajir, pembuatan lubang, pemupukan awal

dan penanaman (petani strata III)…………... ... 74 7. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 1 (petani strata I)……… ... 75 8. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 1 (petani strata II)……… ... 76 9. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 1 (petani strata III)……… ... 77 10. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 2 (petani strata I)……… ... 78 11. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 2 (petani strata II)……… ... 79 12. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 2 (petani strata III)……… ... 80 13. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 3 (petani strata I)……… ... 81 14. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 3 (petani strata II)……… ... 82 15. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 3 (petani strata III)……… ... 83 16. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 4 (petani strata I)……… ... 84 17. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 4 (petani strata II)……… ... 85 18. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 4 (petani strata III)……… ... 86 19. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 5 (petani strata I)……… ... 87 20. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan


(15)

vii

21. Kegiatan pemeliharaan, pemupukan lanjutan dan penyiangan

tahun 5 (petani strata III)……… ... 89

22. Perkiraan penerimaan usahatani JUN……… ... 90

23. Perkiraan analisis laba rugi JUN di Desa Ciaruteun Ilir... ... 90

24. Analisis finansial UBH-KPWN……… ... 91

25. Analisis finansial investor……… ... 93

26. Analisis finansial petani………. ... 94

27. Analisis finansial pemilik lahan……… ... 95

28. Analisis finansial pemerintah desa……….. ... 96

29. Analisis finansial Desa Ciaruteun Ilir………. .. 97


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu kekayaan alam bangsa Indonesia yang menjadi aset berharga dalam mendatangkan devisa bagi negara, sehingga dapat memberi kontribusi yang tinggi dalam pelaksanaan pembangunan nasional secara berkesinambungan. Keadaan hutan alam yang sudah sangat memprihatinkan, membuat hutan alam tersebut tidak dapat terus menerus dieksploitasi. Namun di pihak lain tuntutan pasar akan kebutuhan kayu semakin meningkat setiap tahunnya. Industri kayu di Indonesia saat ini banyak mengalami kekurangan bahan baku, karena pasokan bahan baku terutama dari hutan alam terus menurun. Kebutuhan bahan baku berupa kayu pada tahun 2010 sekitar 40 juta m3 (Nurrochmat 2010). Namun berdasarkan surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK. 235/IV-BPHA/2009, tentang Penetapan Jatah Produksi Kayu Bulat Nasional Periode Tahun 2010 yang berasal dari hutan alam sebesar 9,1 juta m3.Kesulitan yang dialami industri dalam memenuhi bahan baku menjadi salah satu pemicu maraknya penebangan dan perdagangan kayu secara illegal (tidak memiliki ijin) di Indonesia. Dampak negatif dari kondisi ini antara lain tutupnya perusahaan-perusahaan pengolahan kayu, rusaknya hutan beserta ekosistem di dalamnya dan makin besarnya tekanan dunia internasional terhadap manajemen hutan dan produk hasil hutan dari Indonesia.

Usaha untuk menanggulangi atau paling tidak mengurangi berbagai permasalahan mengenai kekurangan pasokan bahan baku industri ini, salah satunya adalah dengan pemanfaatan kayu dari sumber-sumber lainnya seperti dari hutan rakyat. Keberadaan hutan rakyat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu yang semakin meningkat. Pembangunan hutan dan peningkatan kembali peran ekonomi dari hutan dapat diusahakan dalam peningkatan hutan rakyat baik secara mandiri atau dibantu pihak luar khususnya pemerintah. Pembangunan ini dapat dilakukan secara mandiri apabila masyarakat sendiri yang merasakan dan menganggap kegiatan tersebut bermanfaat. Pembangunan hutan rakyat sudah semakin menampakkan perannya dalam menghasilkan pasokan bahan baku dalam


(17)

2

memenuhi kebutuhan industri perkayuan bangsa. Semakin bermanfaat sesuatu maka semakin giat dan semakin masyarakat bersungguh-sungguh dalam melaksanakan pemeliharaan dan mempertahankannya. Manfaat tersebut diantaranya dapat dilihat dari dua faktor yaitu kelayakan usaha yang berkaitan dengan harga produk atau harga pasar produknya serta kesesuaian sebagai sumber penghasilan dengan kebutuhan dana dari keluarga yang bersangkutan.

Jati merupakan tanaman yang banyak ditanam dihutan rakyat Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang. Hal ini disebabkan kayu jati merupakan kayu komersial yang memiliki nilai jual tinggi, sehingga nantinya dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Penghasilan yang diperoleh dari hasil hutan rakyat dapat dianggap penting walaupun jumlahnya tidak besar apabila dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga yang bersangkutan baik dari segi waktu dan jumlah. Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) selaku unit usaha dibawah binaan Departemen Kehutanan, yang bergerak di bidang usahatani Jati Unggul Nusantara dengan sistem kemitraan. Sistem kemitraan yang dilakukan UBH-KPWN merupakan bagian dari proses berlangsungnya usahatani tersebut. Selain itu, UBH-KPWN juga menerapkan pola bagi hasil kepada para mitra usahanya (pemilik lahan, petani penggarap, investor dan pemerintah desa).

1.2. Perumusan Masalah

Kayu jati (Tectona grandis) merupakan salah satu komoditas hasil hutan yang memiliki nilai ekonomis yang bernilai tinggi namun memiliki kelemahan yaitu umur tanam yang relatif lama, bahkan dapat mencapai delapan puluh tahun. Disisi lain, kayu jati merupakan salah satu bahan baku industri perkayuan yang populer karena berbagai keunggulannya.

Kayu jati memiliki banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan baku pembuat rumah dan mebel. Beberapa kalangan masyarakat merasa bangga apabila tiang dan papan bangunan rumah serta perabotannya terbuat dari kayu jati. Selain itu, berbagai konstruksi pun terbuat dari kayu jati seperti bantalan rel kereta api, tiang jembatan, balok dan gelagar rumah, serta kusen pintu dan jendela. Pada industri kayu lapis, jati digunakan sebagai vinir muka karena memiliki serat gambar yang indah. Pada industri perkapalan, kayu jati sangat cocok dipakai


(18)

3

untuk papan kapal yang beroperasi di daerah tropis. Namun, beberapa tahun belakangan ini, kayu jati lebih banyak digunakan untuk bahan baku perumahan dan mebel.

Meskipun pada akhir-akhir ini trend penggunaan kayu lain sebagai bahan baku perumahan dan mebel mulai meningkat, namun jati masih tetap menjadi pilihan utama. Beberapa jenis kayu lain yang banyak digunakan sebagai bahan baku perumahan dan mebel adalah kayu sengon laut dan kayu kamper. Kedua jenis kayu ini memiliki harga yang relatif lebih murah dibanding dengan jati. Namun, jika dilihat dari kualitas dan keawetan, kedua jenis kayu ini masih kalah dibandingkan dengan jati.

Jati Unggul Nusantara (JUN) adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. Jati Plus Perhutani ini diinduksi perakarannya menjadi akar tunggang majemuk, sehingga perakarannya menjadi kokoh dan batang cepat besar namun tidak mudah roboh (UBH-KPWN 2009). Salah satu hal yang menjadi pembeda antara JUN dengan jati unggul lainnya, seperti Jati Emas adalah pelaku budidayanya. Jati Emas dikembangkan oleh Thailand, sehingga jika dilihat dari kesesuaian dengan agroklimat atau tempat tumbuh dengan iklim di Indonesia perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu. Sedangkan JUN merupakan hasil seleksi yang dilakukan di Indonesia, sehingga secara agroklimat sudah sesuai dengan kondisi di Indonesia. Meskipun dikembangkan oleh pihak yang berbeda, namun pengembangan bibit jati unggul ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menghasilkan jati dalam umur yang tidak terlalu lama.

Penggunaan teknik budidaya jati unggul ini dapat memperpendek umur panen, sehingga masa panen dapat lebih cepat. Masa panen yang relatif cepat ini diharapkan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan kayu jati saja, tetapi juga dapat menarik pemilik modal untuk berinvestasi pada sektor kehutanan khususnya tanaman jati.

Dalam rangka menunjang pengembangan budidaya jati unggul, maka diperlukan sistem usaha yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan agar dapat memenuhi permintaan jati secara berkesinambungan. Salah satu pelaku


(19)

4

usaha budidaya jati unggul yang memiliki sistem usaha yang terpadu adalah Unit Usaha Bagi Hasil Jati Unggul Nusantara KPWN.

Tanaman Jati Unggul Nusantara yang dibudidayakan oleh Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) dapat dipanen pada tahun ke lima dengan kualitas hasil yang baik pula. Selain itu, UBH-KPWN menerapkan pola bagi hasil kepada para mitra usahanya (pemilik lahan, petani penggarap, investor, pemerintah desa).

Adapun peran masing-masing mitra usaha dan persentase bagi hasil yang diterapkan UBH-KPWN kepada mitra usahanya tersebut yaitu:

1. Peran UBH-KPWN dalam investasi JUN yaitu UBH-KPWN selaku fasilitator, bertanggungjawab mencari lokasi tanaman, kerjasama dengan pemilik lahan, petani penggarap, dan pemerintah desa, mencari investor, menempatkan tenaga pendamping untuk melakukan pendampingan kepada petani penggarap agar mempunyai kemauan dan kemampuan melaksanakan usahatani JUN pola bagi hasil secara baik dan benar. Disamping itu UBH-KPWN juga bertanggungjawab memasarkan hasil panen dengan harga yang layak dipasaran, serta melakukan pembagian hasil panen sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian dengan investor, pemilik lahan, petani penggarap, dan pemerintah desa. Adapun persentase bagi hasil yang diperoleh UBH-KPWN yaitu sebesar 15%. 2. Peran pemilik lahan dalam investasi JUN yaitu kontribusi pemilik lahan

sebatas mengijinkan lahannya untuk ditanami jati JUN dengan jarak tanam 2 m x 5 m, dalam jangka waktu kerjasama 5 tahun. Dengan jarak tanam tersebut, pemilik lahan masih punya peluang untuk menanam tanaman tumpangsari diantara tanaman jati JUN. Apabila pengerjaan lahan oleh orang lain (petani penggarap), maka bagian hasil dari tumpangsari masih dapat diperoleh pemilik lahan dari petani penggarap. Berdasarkan pengalaman, para pemilik lahan pada umumnya juga petani penggarap. Tetapi ada juga pemilik lahan bukan merangkap sebagai petani penggarap melainkan merangkap sebagai investor. Adapun persentase bagi hasil yang diperoleh pemilik lahan yaitu sebesar 10%.


(20)

5

3. Peran petani dalam investasi JUN adalah sebagai ujung tombak yang paling menentukan keberhasilan usahatani JUN pola bagi hasil. Penanaman, pemupukan tepat waktu dan ukuran, serta perawatan intensif terhadap JUN, sangat tergantung pada kinerja petani. Agar para petani mempunyai kemampuan yang handal dalam mengurus tanaman JUN, maka pihak UBH-KPWN menempatkan tenaga pendamping di pedesaan. Tugas utama para tenaga pendamping adalah untuk memberikan bimbingan, pelatihan, dan pembinaan kepada petani agar mau dan mampu melaksanakan usahatani JUN secara baik dan benar. Adapun persentase bagi hasil yang diperoleh petani yaitu sebesar 25%.

4. Peran investor dalam investasi JUN yaitu menanamkan investasinya ke UBH-KPWN sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) per pohon untuk pembiayaan selama 5 (lima) tahun. Minimal investasi jati 100 pohon atau senilai Rp 60.000.000,- Pembayaran langsung ke rekening UBH-KPWN dilakukan setelah tanaman berumur 4 empat bulan, sehingga para investor dapat mengetahui lokasi tanaman, petani penggarap, dan tenaga pendamping yang berada di lapangan. Bagian hasil panen yang didapat investor sebesar 40 % (empat puluh persen) dari jumlah pohon yang ditanam.

5. Peran desa dalam hal ini pamong desa atau perangkat desa adalah untuk membuktikan keabsahan pemilikan lahan yang akan ditanami JUN. Hal ini untuk menghindari terjadinya pengakuan kepemilikan lahan oleh orang yang tidak berhak, karena pemilik yang sebenarnya bertempat tinggal jauh dari lahan tersebut. Disamping itu pamong desa juga berperan dalam menggerakkan masyarakat calon peserta, mengawasi jalannya kerjasama tersebut, dan turut serta mengamankan tanaman JUN dari gangguan, pencurian, kebakaran atau gangguan ternak dan manusia. Adapun persentase bagi hasil yang diperoleh pemerintah desa yaitu sebesar 10%.

Kemitraan yang dilakukan UBH-KPWN dengan berbagai pihak merupakan bentuk kemitraan jangka menengah dengan perjanjian tertulis. Sistem kemitraan antara UBH-KPWN, pemilik lahan, petani penggarap, investor dan


(21)

6

pemerintah desa menarik untuk dikaji, karena usaha ini baru dilaksanakan selama tiga tahun, terutama terhadap kelayakan usahanya. Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa hal yang menarik untuk di analisis secara lebih jelas, yaitu:

1. Bagaimana analisis usaha hutan rakyat dalam pola bagi hasil?

2. Bagaimana berbagi biaya (cost sharing) dari masing-masing mitra (UBH-KPWN, pemilik lahan, investor, pemerintah desa dan petani)?

3. Bagaimana tingkat hubungan kemitraan yang dilakukan UBH-KPWN, pemilik lahan, investor uang, pemerintah desa dengan petani?

1.3. Kerangka Pemikiran

Jati Unggul Nusantara (JUN) dibiakkan secara vegetatif dengan stek pucuk dari pohon/klon unggul dari Perum Perhutani yang bersertifikat dengan metode bioteknologi mutakhir. Tanaman ini memiliki keunggulan masa panen yang relatif singkat 5-20 tahun namun tetap menghasilkan kayu dengan kualitas yang sama dengan kayu jati konvensional. Dalam rangka menunjang pengembangan usaha budidaya JUN, maka diperlukan sistem usaha yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan agar dapat memenuhi permintaan jati secara berkesinambungan. Salah satu lembaga yang melakukan usaha budidaya JUN secara terpadu adalah Unit Usaha Bagi Hasil Jati Unggul Nusantara KPWN (UBH-KPWN). Usaha ini telah berdiri selama tiga tahun, namun rencana usaha jangka menengah telah dipersiapkan. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan usaha adalah kontinuitas. Upaya untuk menjaga kontinuitas usaha dapat dilakukan dengan menjalin kemitraan, baik kemitraan dengan pemilik lahan, investor, pemerintah desa maupun petani. Oleh karena itu, identifikasi kemitraan antar subsistem agribisnis JUN yang dilaksanakan oleh UBH-KPWN menjadi salah satu hal yang menarik untuk di kaji. Identifikasi ini dilakukan secara deskriptif berdasarkan kondisi di lapang serta informasi melalui data sekunder.

Sistem bagi hasil yang diterapkan UBH-KPWN menjadi salah satu keunikan sistem usaha yang dilaksanakan. Namun, karena usaha ini baru berjalan tiga tahun, maka kelayakan dari usaha ini masih memerlukan pengkajian. Kelayakan yang dilihat tidak hanya secara hubungan/pola kemitraan melainkan juga kelayakan cost sharing. Bila usaha tersebut layak, maka usaha tersebut dapat terus dilaksanakan dan dikembangkan, namun bila sebaliknya, usaha tersebut


(22)

7

membutuhkan pengefisiensian biaya. Kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 1.

Keterangan :

= Lingkup Penelitian --- = Peran Mitra Usaha

Gambar 1 Kerangka pemikiran Usahatani Jati Unggul Nusantara

UBH-KPWN

Investor

Pemilik lahan Pemerintah desa Petani

Lahan Modal Fasilitasi

Status, Mengawasi,

Keamanan Tenaga

Pola Kemitraan dan Analisis Cost Sharing


(23)

8

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan sistem pengelolaan hutan rakyat pola kemitraan di lokasi penelitian.

2. Menganalisis tingkat hubungan kemitraan antara petani penggarap dengan UBH-KPWN.

3. Menganalisis cost sharing dari pola bagi hasil usahatani Jati Unggul Nusantara (JUN).

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat memberikan informasi ataupun gambaran tentang pola kemitraan di suatu daerah sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan terkait kebijakan kehutanan.

2. Dapat memberikan dokumentasi ilmiah yang bermanfaat untuk kepentingan akademik maupun penelitian serupa lainnya.

3. Dapat memberikan solusi atau kontribusi dalam pemecahan masalah yang terkait dengan masalah-masalah kemitraan.


(24)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Rakyat

2.1.1 Definisi hutan rakyat

Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999 adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan Negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah Negara. Dalam pengertian ini, tanah Negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000).

Definisi hutan rakyat menurut Hardjanto (2000) adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik dengan luas minimal 0,25 hektar. Hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan rakyat. Hal tersebut karena rata-rata pemilikan lahan di jawa sangat sempit.

Departemen Kehutanan (1999) menyebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha dan penutupan tajuknya didominasi tanaman perkayuan dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 pohon.

2.1.2 Manfaat dan Peranan Hutan Rakyat

Hutan rakyat telah memberikan manfaat ekonomi yang langsung dirasakan oleh penduduk desa pemilik hutan rakyat. Manfaat yang dirasakan adalah kayu yang digunakan untuk bahan bangunan guna memperbaiki kondisi rumah mereka yang dulunya terbuat dari bambu. Selain itu petani dapat memperoleh tambahan pendapatan dari menjual kayu hasil hutan rakyat dalam bentuk berdiri maupun dalam bentuk kayu bakar. Penjualan kayu hasil hutan rakyat ini biasanya


(25)

10

dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak dan keuangan yang ada kurang mencukupi (Suharjito 2000).

Peranan hutan rakyat dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa cukup penting mengingat ± 70% konsumsi kayu dipenuhi oleh kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat. Kayu rakyat merupakan komoditi penting yang belum dianggap komersial karena kurang terlihatnya perilaku sediaan dan permintaan secara mudah, baik oleh produsen maupun konsumen yang terlibat dalam pemasaran produk-produk yang berasal dari hutan rakyat (Lembaga Penelitian IPB dengan Proyek Pengembangan Hutan Rakyat Jawa Barat 1990).

Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadi eksploitasi yang berlebih sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bahkan sebaliknya menyebabkan kerusakan dan menurunkan produktivitas sumberdaya hutan. Salah satu alternatif pemecahan masalah tekanan terhadap sumberdaya hutan adalah pembangunan hutan rakyat diluar kawasan hutan yang dilaksanakan di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa (Suharjito 2000). 2.1.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat di satu sisi memang menunjukkan potensi hasil hutan kayu dan non kayu yang besar, peningkatan nilai ekologis kawasan, dan peningkatan pendapatan masyarakat pengelola hutan. Akan tetapi di sisi lain masih ditemui beberapa permasalahan, misalnya keterbatasan akses dan pengetahuan pasar oleh masyarakat, penebangan yang masih dilakukan dengan sistem “tebang butuh”, kualitas kayu hutan rakyat yang belum optimal akibat kurangnya pengetahuan tentang teknik silvikultur (Hardjanto 1990).

Pola usahatani hutan rakyat masih dilakukan secara tradisional dan belum sepenuhnya memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang paling menguntungkan (Hardjanto 1990). Pemilik hutan rakyat umumnya belum menggantungkan penghidupannya pada hutan-hutan yang dimilikinya. Mereka mengusahakan hutan rakyat hanya sebagai sampingan. Faktor penyebab para petani tidak menggantungkan penghidupannya pada hutan (Hardjanto 1990) yaitu:

1. Belum adanya persatuan antar pemilik hutan rakyat 2. Sistem silvikultur belum diterapkan secara sempurna.


(26)

11

3. Kurangnya pengetahuan petani dalam pemasaran hasil hutan rakyat 4. Belum adanya lembaga khusus yang menangani pengusahaan hutan

rakyat.

Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya adalah merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan penilaian serta pengawasan pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari pengelolaan hutan rakyat adalah adanya peningkatan peran dari kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemilik/pengusahanya secara terus menerus selama daur (Hardjanto 1990).

Keberhasilan pengembangan hutan rakyat (Dephut 1995) sangat tergantung pada :

1. Tujuan pengembangan hutan rakyat yang jelas 2. Lokasi dan luas unit usaha hutan rakyat

3. Pemilihan jenis yang di tanam

4. Sistem penanaman, pemeliharaan, dan pengelolaan 5. Produksi tahunan yang terencana

6. Investasi yang tersedia dan keterkaitan dengan industri pengelolaan kayu. Sistem pendanaan yang dilaksanakan dalam pengembangan hutan rakyat (Dephut 1995) dapat ditempuh melalui:

1. Swadaya masyarakat baik perorangan, kelompok, maupun mitra usaha 2. Program bantuan inpres penghijauan dan reboisasi/APBD.

3. Kredit, berupa pinjaman lunak kepada petani/kelompok tani dengan pola acuan P3KUK-DAS melalui bank penyalur.

4. Kredit usaha perhutanan rakyat, berupa pinjaman lunak kepada petani melalui mitra usaha yang pelaksanaannya diatur oleh Departemen Kehutanan dan BRI selaku bank penyalur.

2.2. Pendapatan Rumah Tangga Petani

Pendapatan rumah tangga adalah kumpulan dari pendapatan anggota-anggota rumah tangga dari masing-masing kegiatannya. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dari penjualan, konsumsi keluarga akan komoditi yang dihasilkan dengan biaya yang dikeluarkan


(27)

12

untuk menghasilkan komoditi tersebut. Pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usaha pertaniannya saja, tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain di luar sektor pertanian, seperti perdagangan, jasa pengangkutan, industri pengolahan, dan lain-lain (BPS 1993). Bahkan kadang penghasilan di luar usaha pertanian justru lebih besar daripada pendapatannya dari pertanian. Kartasubrata (1986) menjelaskan bahwa pendapatan rumah tangga menurut sumbernya dibagi menjadi dua golongan, yaitu pendapatan kehutanan dan non kehutanan. Pendapatan kehutanan adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan di hutan dan pendapatan non kehutanan adalah pendapatan yang berasal dari hasil kegiatan di luar kehutanan.

2.3. Konsep Kemitraan

Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling menguntungkan.

Secara harfiah kemitraan diartikan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan (Hafsah 2000).

Adapun definisi kemitraan secara resmi diatur dalam Undang-Undang Usaha Kecil No. 9 Tahun 1995 pasal 1 ayat 8 yang menyatakan bahwa kemitraan merupakan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Sementara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 940/Kpts/OT.210/10/97 yang dimaksud dengan kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian.

2.3.1 Konsep kemitraan perusahaan-masyarakat

Konsep kemitraan perusahaan-masyarakat atas dasar kontrak kesepakatan dan kerjasama mampu menyediakan pendekatan-pendekatan efektif yang mampu menjamin ketersediaan bahan pasokan kayu disamping berbagi manfaat, keuntungan dan juga resiko dengan masyarakat lokal sekitarnya (Mayers 2000). Menurut Mayers dan Vermeulen (2002), beberapa istilah yang sering digunakan dalam pelaksanaan kemitraan adalah sebagai berikut :


(28)

13

1. Perusahaan, mencakup badan hukum berskala besar, dapat berupa perusahaan swasta yang dikelola dengan berorientasi untuk mendapatkan keuntungan.

2. Masyarakat, termasuk didalamnya petani, masyarakat lokal yang berada pada tingkat-tingkat sosial yang berada pada organisasi-organisasi sosial seperti kelompok-kelompok tani dan kelompok-kelompok pengguna produk yang pada suatu saat tertentu melakukan kegiatan dengan berorientasi untuk mendapatkan keuntungan saja.

3. Kehutanan, merupakan seni menanam, memelihara serta mengelola hutan dan tegakan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa. 4. Kemitraan, hubungan atau kerjasama yang secara aktif dilakukan oleh

dua pihak atau lebih dengan ekspektasi penerimaan manfaat.

5. Konsep kemitraan perusahaan-masyarakat, mencakup tempat bekerjasama, bentuk dari sisi kehutanannya, serta tipe-tipe hubungan antara dua atau lebih pihak.

Menurut Mayers dan Vermeulen (2002), beberapa gambaran mengenai konsep kemitraan yang kuat adalah sebagai berikut :

1. Adanya dialog. Pihak-pihak yang terlibat setuju dan bersedia untuk saling berkonsultasi dan berinteraksi selama dalam tahap persiapan rencana.

2. Kesepakatan bersama. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk tidak bertindak tanpa persetujuan dari pihak lain. Dengan kata lain, adanya suatu sikap saling pengertian yang tinggi antar pihak terhadap tindakan yang akan dilakukan.

3. Adanya kontrak kerjasama. Pihak-pihak yang terlibat paham bahwa salah satu pihak memberikan pelayanan atas dasar kontrak terhadap pihak lain. 4. Berbagi rencana kerja. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk membahas

serta mengimplementasikan rencana kerja yang telah dibuat secara bersama-sama menuju pada suatu tujuan yang telah direncanakan.

5. Berbagi tanggung jawab dan juga resiko. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk sama-sama bertanggung jawab secara penuh terhadap rencana yang telah dibuat.


(29)

14

2.3.2 Pola kemitraan

Terdapat beberapa pola yang dapat diterapkan dalam pelaksanan kerjasama kemitraan. Pemilihan bentuk kerjasama dapat disesuaikan dengan melihat kondisi masing-masing pelaku kerjasama. Jangka waktu kemitraan dibedakan menjadi tiga Deptan (1997), yaitu :

1. Kemitraan Insidental

Bentuk kemitraan ini didasarkan pada kepentingan ekonomi bersama dalam jangka pendek dan dihentikan jika kegiatan tersebut telah selesai, dengan atau tanpa kesepakatan tertulis atau kontrak kerja. Bentuk kemitraan seperti ini biasanya ditemui dalam pengadaan input dan pemasaran usaha tani.

2. Kemitraan Jangka Menengah

Bentuk kemitraan ini didasarkan pada motif ekonomi bersama dalam jangka menengah atau musim produksi tertentu, dengan atau tanpa perjanjian tertulis. 3. Kemitraan Jangka Panjang

Kemitraan ini dilakukan dalam jangka waktu yang sangat panjang dan terus-menerus dalam skala besar dan dengan perjanjian tertulis. Misalnya adalah kepemilikan perusahaan oleh petani atau koperasi.

Adapun pola-pola kemitraan yang banyak dilaksanakan oleh beberapa kemitraan usaha pertanian di Indonesia (Deptan 2002) meliputi:

1.Inti-Plasma

Merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Dalam hal ini, perusahaan mitra mempunyai kewajiban : (1) berperan sebagai perusahaan inti, (2) menampung hasil produksi, (3) membeli hasil produksi, (4) memberi bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra, (5) memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan/kredit, sarana produksi, dan teknologi, (6) mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi kebutuhan perusahaan, dan (7) menyediakan lahan. Sementara kewajiban kelompok mitra : (1) berperan sebagai plasma, (2) mengelola seluruh usaha budidaya sampai dengan panen, (3) menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra, (4) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Keunggulan dari pola ini adalah : (1) kedua belah pihak saling mempunyai ketergantungan dan sama-sama memperoleh


(30)

15

keuntungan, (2) terciptanya peningkatan usaha, dan (3) dapat mendorong perkembangan ekonomi. Namun, dikarenakan belum adanya kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma, kelemahan pola ini menyebabkan perusahaan inti mempermainkan harga komoditi plasma.

2.Subkontrak

Merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Kelompok mitra dalam hal ini memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Tugas perusahaan mitra dalam pola subkontrak, meliputi : (1) menampung dan membeli komponen produksi perusahaan yang dihasilkan oleh kelompok mitra, (2) menyediakan bahan baku / modal kerja, dan (3) melakukan kontrol kualitas produksi. Sementara tugas kelompok mitra adalah : (1) memproduksi kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, (2) menyediakan tenaga kerja, dan (3) membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Pola subkontrak ini sangat kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Namun sisi kelemahannya tampak dari hubungan yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan mengarah pada monopoli atau monopsoni.

3.Dagang Umum

Salah satu pola kemitraan dimana perusahaan mitra berfungsi memasarkan hasil produksi kelompok mitranya atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Keuntungan pola ini adalah pihak kelompok mitra tidak perlu bersusah payah dalam memasarkan hasil produknya sampai ke konsumen. Sementara kelemahannya terletak pada harga dan volume produk yang sering ditentukan secara sepihak oleh perusahaan mitra sehingga merugikan kelompok mitra.

4.Keagenan

Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan dimana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan mitra. Sementara perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk. Keuntungan pola ini bagi kelompok mitra bersumber dari komisi yang diberikan


(31)

16

perusahaan mitra sesuai dengan kesepakatan. Namun di sisi lain pola ini memiliki kelemahan dikarenakan kelompok mitra dapat menetapkan harga produk secara sepihak. Selain itu kelompok mitra tidak dapat memenuhi target dikarenakan pemasaran produknya terbatas pada beberapa mitra usaha saja.

5.Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Dalam pola ini perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian, sedangkan kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja. Keunggulan pola ini hampir sama dengan pola inti-plasma, namun dalam pola ini lebih menekankan pada bentuk bagi hasil.

6.Waralaba

Merupakan pola hubungan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra memberikan hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usahanya sebagai penerima waralaba. Kelebihan pola ini, kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Keuntungan tersebut dapat berupa adanya alternatif sumber dana, penghematan modal, dan efisiensi. Selain itu pola ini membuka kesempatan kerja yang luas. Kelemahannya, bila salah satu pihak ingkar dalam menepati kesepakatan sehingga terjadi perselisihan. Selain itu, pola ini menyebabkan ketergantungan yang sangat besar dari perusahaan terwaralaba terhadap perusahaan pewaralaba dalam hal teknis dan aturan atau petunjuk yang mengikat. Sebaliknya perusahaan pewaralaba tidak mampu secara bebas mengontrol atau mengendalikan perusahaan terwaralaba terutama dalam hal jumlah penjualan.

7.Pola Kemitraan (penyertaan) Saham

Dalam pola kemitraan ini, terdapat penyertaan modal (equity) antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar. Penyertaan modal usaha kecil dimulai sekurang-kurangnya 20% dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap sesuai kesepakatan kedua belah pihak. 2.3.3 Karakteristik kemitraan

Karakteristik umum kemitraan cenderung untuk menggabungkan kedekatan hubungan antar taraf, dimana para partner dapat bekerjasama dan


(32)

17

mencapai kesamaan dari hubungan itu, sehingga dapat diketahui seberapa kuat keseimbangan hubungan mereka. Sebagai contoh, dimana salah satu definisi kemitraan adalah sebagai suatu persekutuan individu-individu masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat ataupun organisasi/lembaga yang sepakat untuk bekerjasama dalam menjalankan suatu kegiatan, berbagi resiko, dan berbagi manfaat/keuntungan serta menilai kembali hubungan tersebut secara periodik dan merevisi kesepakatan apabila diperlukan (Tennyson 1998 dalam Mayers & Vermeulen 2002).

Menurut Nawir et al. (2003), proses kemitraan merupakan proses berkelanjutan yang dinamis dalam rangka menuju suatu keadaan yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Salah satu alasan ekonomi dari hubungan kerjasama kemitraan adalah akan tercipta perusahaan yang berskala besar, sehingga perusahaan akan lebih efisien dan lebih kompetitif daripada skala kecil (Oktaviani & Daryanto 2001).

Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan, adalah (1) meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat, (2) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, (3) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil, (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, (5) memperluas kesempatan kerja, dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi nasional (Hafsah 2000).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan bisnis yang terjadi dalam kemitraan harus mampu menghasilkan integrasi bisnis yang saling berkaitan dan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterpaduan yang dilandasi saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling membesarkan. Di samping itu, kemitraan harus mengandung konsekuensi peningkatan nilai lebih pada semua elemen mulai dari pengadaan sarana produksi, usaha tani, pengolahan hasil, distribusi, dan pemasaran. Dengan kata lain, kemitraan seharusnya mengandung makna kerjasama sinergi yang menghasilkan nilai tambah (Hafsah 2000).


(33)

18

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemitraan

Unsur-unsur penting yang berkaitan dengan kemitraan, dapat diidentifikasikan sebagai faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk terlaksananya suatu kerjasama antar badan usaha yang sehat dan bermanfaat, yaitu:

1. Bargaining power suatu badan usaha, yang dicerminkan oleh

kemampuan internal badan usaha dan kekuatan yang berasal dari luar. Kemampuan internal tampak pada kemampuan badan usaha di bidang manajemen, permodalan, aksebilitas terhadap pasar dan penguasaan teknologi usaha tersebut. Sedangkan kekuatan yang diperoleh dari luar dapat berupa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bidang usaha tertentu yang menguntungkan posisi suatu badan usaha.

2. Kebutuhan/kepentingan masing-masing pihak yang bekerjasama sehingga kerjasama berjalan secara efektif.

2.3.5 Azas kemitraan

Kemitraan berdasarkan pada persamaan kedudukan, keselarasan dan peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinergi kemitraan yaitu hubungan yang:

1. Saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan.

2. Saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra sama-sama memperhatikan kedudukan masing-masing dalam peningkatan daya usahanya

3. Saling menguntungkan yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra memperoleh peningkatan pendapatan dan kesinambungan usaha. Menurut Hermawan (1999) azas dalam kemitraan adalah adanya azas kesejajaran kedudukan mitra, azas saling membutuhkan dan azas saling menguntungkan, selain itu diperlukan pula adanya azas saling mematuhi etika bisnis kemitraan.


(34)

19

2.3.6 Kendala-kendala kemitraan

Dalam pelaksanaan kemitraan sering menghadapi berbagai kendala. Menurut Badan Agribisnis Departemen Pertanian (1995), hal-hal yang menjadi kendala tercapainya tujuan kemitraan antara lain:

1. Adanya struktur pasar monopolistic khususnya pada kerjasama agribisnis, yang mengharuskan petani untuk menjual seluruh hasil produksinya kepada perusahaan mitra usahanya, sehingga memberi peluang bagi perusahaan untuk menekan harga produk tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan membentuk organisasi petani dalam wadah koperasi.

2. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki petani sebagai pelaku usaha, dalam berbagai hal, seperti tingkat pendidikan yang rendah, kemampuan manajerial, akses terhadap modal dan informasi yang rendah.


(35)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2011.

3.2. Objek Penelitian dan Alat

Objek penelitian ini adalah petani hutan rakyat yang melakukan kemitraan dengan unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN). Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pedoman wawancara berupa catatan pertanyaan tertulis mengenai pokok masalah penelitian yang digunakan untuk pedoman wawancara kepada informan kunci.

2. Kuesioner digunakan untuk media mengumpulkan data.

3. Dokumen tertulis berupa undang-undang, peraturan dan kebijakan, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

4. Kamera digital digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan dan alat perekam untuk merekam saat wawancara.

3.3 Sumber Data

Data yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai sumber, yaitu:

1. Petani mitra (responden), UBH-KPWN, Pemilik Lahan, Investor, dan Pemerintah Desa.

2. Literatur dan publikasi lainnya. 3.4. Jenis Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi keadaan umum responden yang diambil melalui wawancara dan kueisioner. Sedangkan data sekunder meliputi keadaan


(36)

21

lingkungan biofisik tempat penelitian dan data lain yang relevan dengan penelitian.

3.5. Metode Pengambilan Contoh

Penentuan responden dilakukan dengan cara stratified purposive sampling yaitu tahap pertama dengan melakukan stratifikasi petani yang ada berdasarkan strata garapan lahan dan tahap kedua dengan menentukan jumlah responden pada setiap strata. Banyak responden yang diambil adalah 60 petani dari total 128 petani yang menggarap JUN umur 3 tahun di Desa Ciaruteun Ilir.

Stratifikasi lahan dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu strata I petani yang memiliki luas lahan < 0,1 ha, strata II petani yang memiliki luas lahan antara 0,1 – 0,3 ha dan petani strata III memiliki luas lahan > 0,3 ha. Total responden 60 orang dengan jumlah responden pada strata I 20 orang, strata II 20 orang dan strata III 20 orang.

UBH-KPWN, investor, pemilik lahan, pemerintah desa merupakan informan dalam penelitian.

3.6. Metode Pengolahan Data 1. Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan penguraian dan penjelasan mengenai aspek biaya dari pelaksanaan usahatani Jati Unggul Nusantara (JUN) di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang.

Aspek biaya yang dikaji dalam penelitian ini meliputi biaya investasi dan biaya operasional yang terdiri dari biaya perencanaan, biaya sewa lahan, biaya pemupukan, biaya penanaman, biaya pembibitan, biaya pemeliharaan, biaya peralatan produksi, dan biaya lain-lain.

Asumsi-asumsi yang digunakan untuk mengetahui usahatani Jati Unggul Nusantara pola kemitraan yaitu:

a. Menggunakan faktor diskonto/suku bunga bank yang berlaku pada tahun 2011 yaitu 12%.

b. Kondisi perekonomian selama jangka waktu penelitian stabil.

c. Pendapatan dan biaya pengeluaran mulai dihitung sejak lahan diolah dan dimanfaatkan.


(37)

22

d. Umur tanaman JUN 3 tahun

e. Siklus tebang tanaman JUN umur 5 tahun.

f. Upah Hari Orang Kerja (HOK) satu hari dihitung berdasarkan upah yang berlaku.

g. Semua harga input dan output yang digunakan dalam analisis berdasarkan harga yang berlaku pada saat penelitian berlangsung dengan asumsi harga konstan sampai selesainya penelitian.

2. Analisis cost sharing

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui persentase pengeluaran dari kegiatan usahatani Jati Unggul pola kemitraan terhadap total pengeluaran. Perhitungan analisis cost sharing dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Cost Sharing = ( Tbp / Tbsp ) × 100% Dimana :

Tbp = Total biaya masing-masing pihak Tbsp = Total biaya seluruh pihak

3. Analisis Net Present Value (NPV)

Analisis ini dilakukan untuk menghitung besarnya jumlah uang pada permulaan periode atas dasar tingkat bunga tertentu dari suatu jumlah yang akan diterima beberapa waktu kemudian. Perhitungan analisis NPV dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

1 V = P

(1 + i)t Dimana :

V = Jumlah akhir

P = Jumlah uang pada permulaan periode atau modal pokok i = Suku/tingkat bunga


(38)

23

4. Analisis tingkat hubungan kemitraan

Analisis ini didasarkan pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor 944/Kpts/OT.210/10/97, tanggal 13 Oktober 1997 mengenai pedoman penetapan tingkat hubungan kemitraan usaha pertanian. Analisis dilakukan terhadap petani, UBH-KPWN, investor, pemilik lahan dan pemerintah desa sehingga dihasilkan rata-rata tingkat hubungan kemitraan dari masing-masing pihak. Perhitungan tingkat kemitraan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Dimana :

x = Nilai rata-rata tingkat hubungan kemitraan tiap kategori a,b,c = Nilai skoring atas jawaban yang dipilih

y = Nilai atas banyaknya jawaban yang dipilih

Berdasarkan proses manajemen kemitraan dan manfaatnya, tingkat hubungan kemitraan usaha antara petani dengan UBH-KPWN, investor, pemilik lahan dan pemerintah desa dapat dibagi dalam empat kategori (Deptan 2002), yaitu :

1. Kategori kemitraan Pra Prima (pemula) nilai rata-ratanya kurang dari 250 2. Kategori kemitraan Prima dengan nilai rata-rata 250-500

3. Kategori kemitraan Prima Madya dengan nilai rata-rata 501-750 4. Kategori kemitraan Prima Utama dengan nilai rata-rata diatas 750

Kategori kemitraan Pra Prima jarang dilakukan karena merugikan kedua belah pihak, kemitraan Prima sering dilakukan pada pelaksanaan kemitraan jangka pendek dan cenderung lebih menguntungkan pihak inti. Kemitraan Prima Madya merupakan kemitraan yang sering dilakukan dalam kemitraan jangka menengah dan jangka panjang, pihak inti berperan dalam penyediaan sarana. Kemitraan Prima Utama merupakan kemitraan yang dilakukan jangka panjang, pihak inti berperan dalam penyediaan sarana dan pemasaran (Tabel 1).


(39)

24

Tabel 1 Rincian faktor yang dinilai dan nilai tingkat hubungan kemitraan

No Faktor yang dinilai Nilai

Maksimum

I. ASPEK PROSES MANAJEMEN

1. Perencanaan 150

a. Perencanaan Kemitraan 100

b. Kelengkapan Perencanaan 50

2. Pengorganisasian 150

a. Bidang Khusus 25

b. Kontrak Kerjasama 125

3. Pelaksanaan dan Efektivitas Kerjasama 200

a. Pelaksanaan Kerjasama 50

b. Efektivitas Kerjasama 150

II. ASPEK MANFAAT

1. Ekonomi 300

a. Pendapatan 150

b. Harga 50

c. Produktivitas 50

d. Resiko Usaha 50

2. Teknis 100

a. Mutu 50

b. Penguasaan Teknologi 50

3. Sosial 100

a. Keinginan Kontinuitas Kerjasama 50

b. Pelestarian Lingkungan 50

Jumlah Aspek Manfaat 500

Jumlah Nilai Aspek Proses Manajemen + Jumlah aspek

Manfaat 1000

Sumber : Departemen Pertanian RI 2003 3.7. Definisi Operasional

Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Jati Unggul Nusantara (JUN) adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. Tanaman ini memiliki keunggulan masa panen yang relatif singkat 5 hingga 20 tahun namun tetap menghasilkan kayu dengan kualitas yang sama dengan kayu jati konvensional.

2. Sistem bagi hasil adalah pola yang dilaksanakan melalui kerjasama antara investor, pemilik lahan, petani penggarap, pemerintah desa, dan UBH-KPWN yang bertindak sebagai lembaga fisilitator dan lembaga penjamin, dengan pembagian hasil panen secara proporsional dan menguntungkan para pihak.


(40)

25

3. Produk pohon jati siap panen yang dihasilkan UBH-KPWN merupakan tanaman jati yang berusia lima tahun dengan diameter minimum 20 cm dan volume minimum 0,2 m3 per pohon.

4. Manajemen pohon merupakan sistem pengelolaan dengan pendekatan batang demi batang (per batang pohon), bukan terhadap luas hamparan, sehingga perhitungan penerimaan dan pengeluaran di hitung per pohon.

5. Jasa Investasi merupakan satu paket (satu sistem) jasa yang ditawarkan oleh UBH-KPWN kepada investor untuk melaksanakan budidaya JUN dengan pola bagi hasil.

6. Pemasaran jasa investasi adalah pemasaran jasa investasi yang dilakukan pada saat umur tanaman JUN lebih kurang empat bulan.


(41)

26

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1Kondisi Umum Desa Ciaruteun Ilir

Desa Ciaruteun Ilir merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 360 ha, yang terbagi dalam 4 dusun, 10 Rukun Warga (RW), dan 35 Rukun Tetangga (RT). Desa ini berjarak 6 km dari kecamatan Cibungbulang, 17 km dari Ibukota Kabupaten Bogor dan 140 km dari Ibukota propinsi Jawa Barat. Secara geografis Desa Ciaruteun Ilir terletak di sebelah Barat Kabupaten Bogor pada ketinggian kurang lebih 460 meter dpl dan suhu rata-rata 30 –32˚C dan curah hujan rata-rata per tahun sekitar 130 mm (Data Geografi Desa Ciaruteun Ilir 2011). Batas wilayah Desa Ciaruteun Ilir adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rumpin. 2. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ciampea. 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Leuweng Kolot. 4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cijujung.

Wilayah Desa Ciaruteun Ilir sebagian besar dikelola untuk lahan persawahan, pemukiman dan pekarangan, hutan rakyat dan sisanya digunakan untuk lahan kuburan, perkantoran, lapangan olah raga serta bangunan pendidikan (Tabel 2).

Tabel 2 Jenis dan luas penggunaan lahan Desa Ciaruteun Ilir

Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha)

Persawahan 167

Pemukiman dan Pekarangan 160

Hutan Rakyat 25

Kuburan 3

Perkantoran 0,60

Lapangan olah raga 2

Bangunan pendidikan 1


(42)

27

Data yang diperoleh dari profil desa menunjukkan bahwa jumlah total penduduk Desa Ciaruteun Ilir pada tahun 2011 sebesar 10.259 orang, yang terdiri dari 5.232 orang penduduk laki-laki dan 5.027 orang penduduk wanita. Jumlah kepala keluarga sebanyak 2.705 kepala keluarga. Sebagian besar penduduk Desa Ciaruteun Ilir rata-rata bermata pencaharian sebagai buruh tani, yaitu sebanyak 1.612 orang penduduk laki-laki dan 1.407 orang penduduk perempuan bermata pencaharian sebagai buruh tani, 1.294 orang petani, 50 orang pedagang keliling, 14 orang pegawai negeri sipil, 35 orang pembantu rumah tangga, 4 orang pengrajin industri rumah tangga, 4 orang TNI dan 6 orang sebagai dukun kampung terlatih.

Secara umum tingkat pendidikan di Desa Ciaruteun Ilir rendah karena dari 10.259 penduduk, 282 orang tidak pernah sekolah, 314 orang tidak tamat SD dan 672 orang tamat SD, 53 orang tidak tamat SLTP, 35 orang tidak tamat SLTA, 129 orang tamat SLTP, 109 orang tamat SLTA dan 12 orang penduduk tamat sarjana. Dilihat dari segi pendidikan ada beberapa orang yang berpendidikan tingkat sarjana dan mereka inilah selama ini bertindak sebagai motivator di dalam masyarakat. Agama yang dianut di Desa Ciaruteun Ilir mayoritas adalah Islam. 4.2 UBH-KPWN

4.2.1 Sejarah Singkat UBH-KPWN

Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) merupakan koperasi yang dibina oleh Departemen Kehutanan. Koperasi ini didirikan pada tahun 1989, dimana anggota koperasi meliputi direktur utama, kepala perwakilan, bagian perencanaan dan pengembangan, bagian pemasaran, bagian umum, bagian tanaman, bagian pengawasan serta bagian keuangan. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan hidup, khususnya wilayah pedesaan, KPWN merancang konsep tentang pengembangan usaha budidaya jati unggul dengan pengelolaan secara intensif. Pengelolaan intensif tersebut dikembangkan melalui Pola Bagi Hasil. Pola Bagi Hasil yaitu pola yang dilaksanakan melalui kerjasama antara investor atau mitra usaha, pemilik lahan, petani penggarap, perangkat desa, dan KPWN yang bertindak sebagai lembaga fisilitator dan lembaga penjamin, dengan pembagian hasil panen secara proporsional dan menguntungkan para pihak.


(43)

28

Pengembangan usaha budidaya jati unggul perlu didukung dengan ketersediaan sumberdaya manusia, kemampuan pendanaan, dan kemampuan pengelolaan sehingga usaha yang dikembangkan dapat menguntungkan baik dari aspek bisnis, sosial dan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, KPWN membentuk Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN). 4.2.2 Profil UBH-KPWN

UBH-KPWN merupakan salah satu unit usaha yang dimiliki oleh Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN). Unit Usaha Bagi Hasil ini dibentuk oleh dan berada di bawah KPWN untuk melaksanakan usaha yang bergerak dibidang usaha budidaya jati unggul dengan pola bagi hasil. Selain menerapkan pola bagi hasil, UBH-KPWN juga menerapkan sistem manajemen pohon (trees management) agar mempermudah perhitungan dan pengontrolan dalam pelaksanaan usaha.

Kantor pusat UBH-KPWN berlokasi di Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 5 R. 504-A Jakarta. UBH-KPWN dibentuk dengan Keputusan Pengurus (KPWN) No. 62/Kpts/KPWN/XII/2006 tanggal 21 Desember 2006, sebagaimana telah diperbaharui dengan keputusan Keputusan Pengurus KPWN No. 45/Kpts-KPWN/V/2007 tanggal 10 Mei 2007 dan disahkan dengan Akta Notaris Sigit Siswanto, SH. No. 12 tanggal 24 Mei 2007. Adapun visi dari UBH-KPWN adalah menjadi pengelola profesional terbaik di bidang Usahatani Jati Unggul Pola Bagi Hasil. Misi UBH-KPWN adalah mewujudkan usahatani jati unggul pola bagi hasil menjadi kegiatan bisnis yang memberikan keuntungan finansial optimal kepada semua pihak terkait dan mendorong pertumbuhan social ekonomi masyarakat pedesaan serta berperan serta dalam perbaikan lingkungan hidup.

Pelaksanaan usaha UBH-KPWN memiliki tujuan (a) Mewujudkan peran serta para karyawan Departemen Kehutanan dan masyarakat dalam mengembangkan usaha berbasis kemitraan yang berbentuk usahatani jati unggul pola bagi hasil maupun pola mandiri, (b) Terlaksanannya usaha jati unggul pola bagi hasil dalam rangka peningkatan pendapatan KPWN dan kesejahteraan karyawan Departemen Kehutanan maupun masyarakat (Gambar 2).


(44)

29

Gambar 2 Tegakan JUN umur 3 tahun di Desa Ciaruteun Ilir. 4.2.3 Kegiatan Pokok UBH-KPWN

Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) adalah suatu lembaga fasilitator yang bergerak dalam bidang pengelolaan usaha Jati Unggul Nusantara dengan pola bagi hasil. Adapun kegiatan pokok UBH-KPWN antara lain:

1. Melakukan inventarisasi dan identifikasi calon lokasi dan pemilik lahan serta petani penggarap peserta usaha budidaya JUN.

2. Merencanakan dan melaksanakan kegiatan usaha budidaya JUN.

3. Melaksanakan pendampingan kepada petani penggarap peserta usahabudidaya JUN.

4. Menarik calon investor peserta usaha budidaya JUN.

5. Mengelola dana dari investor untuk kegiatan usaha budidaya JUN. 6. Memasarkan pohon jati siap panen.

7. Melaksanakan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

4.2.4 Pihak yang terlibat dalam pengadaan sarana produksi usahatani JUN UBH-KPWN

Perjanjian antara UBH-KPWN dengan PT. Setyamitra Bhaktipersada berupa kontrak jual beli bibit JUN. Pada kontrak antara kedua belah pihak disepakati spesifikasi bibit JUN yang diperjualbelikan. Spesifikasi tersebut meliputi tinggi, jumlah daun, dan batang. Tinggi yang dipersyaratkan adalah minimum mencapai


(1)

101

Lanjutan lampiran 30

a. Keberadaan 25

(1). Ada kontrak kerjasama antara UBH-KPWN, investor, pemilik lahan, pemerintah desa dengan petani secara tertulis

25

25 25 25 25 25 25 25

(2). Tidak ada kontrak kerjasama secara tertulis antara UBH-KPWN, investor,

pemilik lahan, pemerintah desa dengan petani, melainkan secara lisan 10

(3). Tidak ada kontrak kerjasama secara tertulis antara UBH-KPWN, Investor,

pemilik lahan pemerintah desa dengan petani, baik secara lisan maupun tulisan 0

b. Isi Kontrak Kerjasama 50

(1). Meliputi aspek kualitas, produktivitas, kontinuitas hasil, harga, system

50 pembayaran, saprodi, permodalan dan sangsi.

(2). Hanya sebagian besar dari kedelapan pihak aspek di atas termuat dalam isi

40 kontrak kerjasama

(3). Tidak memuat kedelapan aspek di atas dalam kontrak kerjasama 0 0 0 0 0 0 0 0

c. Bentuk Kerjasama 50

(1). Lengkap dan jangka panjang serta memuat ketentuan hak dan kewajiban

50 50 50 50 50 50 50 50

yang jelas

(2). Lengkap dan jangka panjang namun tidak memuat ketentuan hak dan kewajiban 15 yang jelas

(3). Sederhana, jangka panjang dan memuat ketentuan hak dan kewajiban yang jelas 45 (4). Sederhana, tidak memuat ketentuan hak dan kewajiban yang jelas namun

15 jangka panjang

(5). Lengkap, jangka pendek dan memuat ketentuan hak dan kewajiban yang jelas 40 (6). Lengkap, jangka pendek namun tidak memuat ketentuan hak dan kewajiban

10 yang jelas

(7). Sederhana dan jangka pendek serta tidak memuat ketentuan hak dan kewajiban 40

Nilai kontak kerjasama 75 75 75 75 75 75 75

Nilai Rata-rata Aspek Pengorganisasian 75 75 75 75 75 75 75

3. Pelaksanaan dan Efektivitas Kerjasama 200

A. Pelaksanaan Kerjasama 50

(1). Pelaksanaan dilakukan sesuai dengan perjanjian dan dilakukan secara transparan 50 50 50 50 50 50 50 50 (2). Pelaksanaan dilakukan sesuai dengan perjanjian tetapi tidak dilakukan

30 secara transparan

(3). Pelaksanaan tidak dilakukan sesuai dengan perjanjian dan tidak transparan 10


(2)

102

Lanjutan lampiran 30

B. Efektivitas kerjasama 150

a. Kejelasan Peranan

(1). Adanya kejelasan masing-masing pihak yang bermitra dengan instansi yang

terkait 25 25 25 25 25 25 25 25

(2). Tidak adanya kejelasan masing-masing pihak yang bermitra dengan instansi

0 yang terkait

b. Kontinuitas Suplai

(1). Adanya kontinuitas suplai komoditi dari petani kepada UBH-KPWN

25

(2). Tidak adanya kontinuitas suplai komoditi dari petani kepada UBH-KPWN 0 0 0 0 0 0 0 0

dan Investor

c. Kualitas Suplai

(1). Adanya kualitas yang sesuai dengan standar 25

(2). Tidak adanya kualitas yang sesuai dengan standar 0 0 0 0 0 0 0 0

d. Sistem Pembayaran

(1). Sistem pembayaran dilaksanakan sesuai dengan kontrak kerjasama 25 25 25 25 25 25 25 25

(2). Sistem pembayaran dilaksanakan tidak sesuai dengan kontrak kerjasama 0

e. Cara Pembayaran

(1). Dilakukan secara tunai 25 25 25 25 25 25 25 25

(2). Dilakukan 1 minggu kemudian 15

(3). Dilakukan 1-4 minggu kemudian 10

(4). Dilakukan lebih dari 4 minggu 0 0 0

f. Ketergantuan/Penentuan Harga

(1). Penentuan harga dilakukan oleh UBH-KPWN, pemilik lahan, pem.desa bersama

petani diketahui oleh pembina 25 25 25 25 25 25 25 25

(2). Penentuan harga dilakukan oleh Perum Perhutani bersama petani diketahui 15 oleh pembina

(3). Penentuan harga dilakukan oleh UBH-KPWN bersama petani diketahui oleh

pembina 15

(4). Penentuan harga dilakukan oleh UBH-KPWN, investor, pemilik lahan, pem.

desa diketahui oleh pembina 15

(5). Penentuan harga dilakukan oleh ke empat pihak tanpa melibatkan

0 petani maupun Dinas/Instansi terkait

Nilai Efektifitas Kerjasama 88.75 93.75 100 100 100 100 100

Nilai Rata-rata Aspek Pelaksanaan dan Efektivitas Kerjasama 138.75 143.75 150 150 150 150 150 Jumlah Nilai Aspek Proses Manajemen Kemitraan 349 353.5 358.75 365 360 360 360


(3)

103

Lanjutan lampiran 30

II. ASPEK MANFAAT

1. Ekonomi 250

A. Pendapatan 150

(1). Pendapatan petani dari komoditi yang dimitrakan meningkat dibandingkan

100 100 100 100 100 100

dari sebelumnya

(2). Pendapatan petani dari komoditi yang dimitrakan tetap 50 50 50 50 (3). Pendapatan petani dari komoditi yang dimitrakan berkurang dibandingkan

0 0 0 0 0 0

dari sebelumnya

B. Harga Pasar

(1). Harga lebih tinggi dari harga pasar 50

(1). Harga sama dengan harga pasar 25 25 25 25 25 25 25 25

(1). Harga lebih rendah dari harga pasar 0 0 0 0

C. Produktivitas

(1). Produktivitas melalui kemitraan lebih tinggi dari produktivitas di luar kemitraan 50 50 50 50 50 50 50 50 (2). Produktivitas melalui kemitraan sama atau lebih rendah dari produktivitas

0 0 0 0

di luar kemitraan

D. Resiko Usaha

(1). Jika ada masalah resiko usaha dibagi secara proporsional antara UBH-KPWN,

investor, pemilik lahan, Pem. desa dan petani 50 50 50 50 50 50 50 50

(2). Jika ada masalah resiko usaha ditanggung oleh UBH-KPWN 40 (3). Jika ada masalah resiko usaha ditanggung oleh Investor 20 (4). Jika ada masalah resiko usaha ditanggung oleh petani 10

Nilai Rata-rata Aspek Ekonomi 127.5 137.5 132.5 225 125 125 225

2. Teknis 100

A. Mutu 50

(1). Mutu produksi dari kemitraan ini lebih baik dibandingkan dengan sebelum/

50 50 50 50 50 50 50 50

di luar program kemitraan

(2). Mutu produksi dari kemitraan ini sama saja dibandingkan dengan sebelum/

25 25 25 25

di luar program kemitraan

(3). Mutu produksi dari kemitraan ini lebih rendah dibandingkan dengan sebelum/

0 di luar program kemitraan

B. Penguasaan Teknologi 50

(1). Pengetahuan keterampilan petani mengenai penanganan komoditi yang

dimitrakan meningkat dibandingjan dengan sebelum program kemitraan 50 50 50 50 50 50 50 50

(2). Pengetahuan keterampilan petani mengenai penanganan komoditi yang


(4)

104

Lanjutan lampiran 30

(2). Pengetahuan keterampilan petani mengenai penanganan komoditi yang dimitrakan

sama dengan sebelum program kemitraan 25 25 25 25

(3). Pengetahuan keterampilan petani mengenai penanganan komoditi yang dimitrakan

menurun dibandingkan dengan sebelum program kemitraan 0

Nilai Rata-rata Aspek Teknis 82.5 90 87.5 100 100 100 100

Sosial 100

A. Kengininan Kontinuitas Kerjasama

(1). UBH-KPWN, investor, pemilik lahan, pem. desa dan Petani ada kemungkinan

50 50 50 50 50 50 50

untuk meneruskan kerjasama

(2). UBH-KPWN dan Petani ada kemungkinan untuk meneruskan Kerjasama

25 25 25 25

(3). Investor dan Petani ada kemungkinan untuk meneruskan Kerjasama

25 (4). UBH-KPWN, investor, pemilik lahan, pem. desa tidak ingin melanjutkan

kerjasama, tetapi petani ingin melanjutkan kerjasama

10

(5). UBH-KPWN, investor, pemilik lahan, pem. desa ingin melanjutkan kerjasama,

10 10 10 10

tetapi petani tidak ingin melanjutkan kerjasama

(6). Perum Perhutani tidak ingin melanjutkan kerjasama, tetapi PT BKL dan petani

25 ingin melanjutkan kerjasama

(7). UBH-KPWN tidak ingin melanjutkan kerjasama, tetapi investor, pemilik lahan,

pem desa dan petani ingin melanjutkan kerjasama 25 (8). Ke lima pihak tidak ingin melanjutkan kerjasama 0

B. Pelestarian Lingkungan

(1). Konservasi tanah, air, lingkungan pertanian dan penanganan limbah sesuai dengan

pedoman teknis dan kaidah konservasi/peraturan yang berlaku 50 (2). Penanganan limbah sesuai dengan peraturan yang berlaku tetapi penanganan

25 konservasi tidak sesuai ketentuan yang berlaku

(3). Tidak melakukan penanganan limbah tapi penanganan konservasi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku 25

(4). Tidak melakukan konservasi dan penanganan limbah 0 0 0 0 0 0 0 0

Nilai Rata-rata Aspek Sosial 25.25 25.75 20.5 50 50 50 50

Jumlah Nilai Aspek Manfaat 500 235.25 253.25 240.5 375 275 275 375

Jumlah Nilai Rata-rata Aspek Proses Manajemen Kemitraan ditambah Aspek


(5)

RINGKASAN

ANDRIAN RIYADI PUTRA. Pola Kemitraan antara Petani dengan UBH-KPWN

dalam Usaha Hutan Rakyat Jati Unggul Nusantara di Desa Ciaruteun Ilir,

Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI.

Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara

(UBH-KPWN) merupakan unit usaha binaan Departemen Kehutanan yang bergerak di

bidang usahatani Jati Unggul Nusantara (JUN). UBH-KPWN menerapkan konsep

kemitra

an “Bagi hasil”

dalam kegiatan usahataninya. Sistem kemitraan ini

merupakan struktur yang khusus dibuat oleh UBH-KPWN dengan tujuan untuk

menjaga kontinuitas usahatani JUN tersebut. Mitra UBH-KPWN diantaranya

adalah petani, investor, pemilik lahan dan pemerintah desa. Untuk mengetahui

bentuk kemitraan yang diselenggarakan antara UBH-KPWN dengan mitranya

(petani, investor, pemilik lahan dan pemerintah desa), maka perlu dilakukan

penelitian kelayakan dan tingkat hubungan kemitraan tersebut, apakah bermanfaat

bagi kedua belah pihak.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni 2011 di

Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Dalam

penelitian ini data yang dikumpulkan menggunakan metode wawancara dan

survei. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan metode

stratified

purposive sampling

berdasarkan luas lahan yang digarap. Adapun jumlah

responden adalah sebanyak 60 orang. Analisis kelayakan usaha hutan rakyat pola

kemitraan dilakukan dalam dua tahap yaitu: (1) analisis

cost sharing

, dan (2)

analisis tingkat hubungan kemitraan dengan menggunakan metode skoring.

Hutan rakyat pola kemitraan di Desa Ciaruteun Ilir layak untuk dilakukan

baik untuk petani, UBH-KPWN, investor, pemilik lahan maupun pemerintah desa.

Petani merupakan pihak yang lebih diuntungkan daripada mitra UBH-KPWN

lainnya dengan nilai laba (

benefit

) sebesar 25%, dan total biaya (

cost

) sebesar 1%.

Hubungan kemitraan antara petani, UBH-KPWN, investor, pemilik lahan dan

pemerintah desa termasuk dalam kategori Kemitraan Prima Madya.


(6)

SUMMARY

ANDRIAN RIYADI PUTRA. The Pattern of Partnership between Farmers with

UBH-

KPWN in the Business of People’s National Superior Teak Forest

in the

Ciaruteun Ilir Village, Bogor Regency. Supervised by LETI SUNDAWATI.

Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara

(UBH-KPWN) is a business unit developed by the Forestry Department engaged in the

farming of National Superior Teak (JUN). UBH-KPWN applies the concept of

profit sharing partnership in farming activities. This partnership system is

specifically made by UBH-KPWN in order to maintain the farming continuity of

national superior teak (JUN). The partners of UBH-KPWN include farmers,

investors, landowners and the village government. To determine the forms of

partnership between UBH-KPWN and its partners (farmers, investors, landowners

and the village government), it is necessary to study the feasibility and the extent

of partnership, whether it is beneficial to both parties.

This research was conducted from April through June 2011 in the village

of Ciaruteun Ilir, Cibungbulang District, Bogor Regency. The data in this study

were collected using interviews and a survey. The respondents were selected by a

stratified purposive sampling method based on the land area under

cultivation. The number of respondents was 60 people. The analysis of the

feasibility of community forests in terms of partnership was done in two phases:

(1) analysis of

cost sharing

and (2) partnership-level analysis by a scoring

method.

The partnership pattern of the community forest in Ciaruteun Ilir village is

feasible for the farmers, UBH-KPWN, investors, landowners and the village

government. Farmers are more advantaged than the other partners of UBH

-KPWN with the profit value of 25% and the total cost of 1%. The partnership

between farmers, UBH-KPWN, investors, landowners and the village government

is in the category of

Kemitraan Prima Madya

(Middle Prime Partnership).

Key words: Analysis of

Cost Sharing

, Partnership, Community Forest