PERSIAPAN: FAKTOR AKADEMIK

BAB 3: PERSIAPAN: FAKTOR AKADEMIK

Pendahuluan

  Bab Dua telah membahas beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum memulai proyek penelitian atau penulisan tesis dan disertasi yang berkaitan dengan masalah pribadi atau masalah non-akademik.

  Bab ini akan membahas beberapa faktor yang sebaiknya dilakukan sebelum mulai menulis tesis dan disertasi, tetapi berkaitan langsung dengan masalah akademik, mulai dari proses memilih topik, memilih pembimbing, merencanakan jadual yang realistis, memahami metode penelitian, memahami gaya tulisan akademik, menganalisis tesis atau disertasi yang sudah jadi dan menyiasati kata writing up dalam proses penelitian. Kata atau istilah writing up seyogianya disiasati dengan cermat, mengingat konsep atau istilah ini oleh beberapa penulis mengenai penulisan tesis dan disertasi dianggap menyesatkan mahasiswa (lihat Kamler Thomson, 2006; Paltridge Stairfield, 2007).

  Penjelasan dari masing-masing kegiatan atau proses yang sebaiknya terjadi sebelum mulai menulis tesis atau disertasi akan dipaparkan di bawah ini.

Memilih topik

  Memilih topik merupakan salah satu tahap yang sangat menentukan dalam perjalanan penyelesaian studi (Brause, 2000; Swetnam, 2000; Thomas, 2000; Thomas Brubaker, 2000; Lester Lester, 2005; Wellington, dkk, 2005 dan banyak lagi penulis lain yang tidak bisa Memilih topik merupakan salah satu tahap yang sangat menentukan dalam perjalanan penyelesaian studi (Brause, 2000; Swetnam, 2000; Thomas, 2000; Thomas Brubaker, 2000; Lester Lester, 2005; Wellington, dkk, 2005 dan banyak lagi penulis lain yang tidak bisa

  ... research is a process of searching repeatedly, re-searching for new insights and more comprehensive, cohesive, “elegant” theory. There are probably few, if any “truths” – immutable, never changing facts. Each research project intends to advance our knowledge, getting closer to “truth” ( 2000:37).

  Jadi, meneliti adalah proses mencari atau menemukan teori atau pandangan baru yang dilakukan secara berulang. Setiap penelitian ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan peneliti tentang topik yang ditelitinya untuk mendekati “kebenaran”.

  Proses memilih topik seperti meruncingkan pensil, mulai dari yang besar ruang lingkupnya, sampai menjadi kecil. Seorang pembicara dalam sebuah acara profesional development di Melbourne, bulan Agustus 2007, yang bernama Clare Acevedo, mengatakan bahwa sering terjadi ketika memulai meneliti atau mencari ide untuk tesis apalagi disertasi, mahasiswa sangat ambisius dan seperti ingin mengubah dunia melalui tesis atau disertasi yang ditulisnya. Tetapi, menurut Clare, kemudian mahasiswa sadar bahwa dia hanya bisa mengkaji setengah bagian dari dunia, kemudian seperempat, sepersepuluh bagian, dan akhirnya sampailah pada hanya salah satu contoh dari apa yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.

  Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh beberapa penulis mengenai peneliti awal yang umumnya ambisius dalam menentukan topik, dan di sinilah perlunya pembimbing yang bisa mengarahkan topik serta cakupan penelitiannya (Paltridge Stairfield, 2007). Pembimbing, sebagai orang yang pernah menulis tesis atau disertasi mengetahui bahwa tesis yang baik adalah Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh beberapa penulis mengenai peneliti awal yang umumnya ambisius dalam menentukan topik, dan di sinilah perlunya pembimbing yang bisa mengarahkan topik serta cakupan penelitiannya (Paltridge Stairfield, 2007). Pembimbing, sebagai orang yang pernah menulis tesis atau disertasi mengetahui bahwa tesis yang baik adalah

  ...often new researchers start off with a project that is overly large and ambitious. … Wiser heads know that a good thesis project is „narrow and deep‟. … even the simplest idea can mushrooms into an uncontrollably large project (dikutip dalam Paltridge dan Stairfield, 2007: 58).

  Jadi, sebelum menentukan topik, kata kunci yang sebaiknya diingat oleh mahasiswa adalah manageability (Lawton, 1997:8). Sebelum menentukan topik, mahasiswa juga sebaiknya melalui proses pemilihan topik dengan pengerucutan berdasarkan partisipan, atau berdasarkan cakupan penelitian (Swetnam, 2000). Contoh pengerucutan topik seperti yang diberikan oleh Swetnam (2000) dapat dilihat di bawah ini.

  Kajian bidang studi secara umum: Sosiologi Minat khusus: Kelompok lanjut usia Lebih spesifik: Pusat pengasuhan kelompok lanjut usia Khususnya: Di kawasan rumah penduduk Persisnya: Di rumah yang dikontrol oleh pengawas Judul Draft: ”Pengelolaan pengasuhan kelompok lanjut usia di rumah yang dikontrol oleh

  pengawas”

  Kalau tentang pengajaran bahasa Inggris, mungkin pengerucutan bisa dilakukan dengan cara begini:

  Kajian umum: the teaching of English (Pengajaran Bahasa Inggris) Minat khusus:EFL learners (pembelajar Bahasa Inggris sebagai bahasa asing) Lebih spesifik: Young learners (pembelajar usia dini) Khususnya: in Bandung (di Bandung) Persisnya: in one international private school in Bandung (di salah satu sekolah

  swasta internasional) Judul: “Teaching English to young learners: A case study in one international private school in Bandung.” (Pengajaran bahasa Inggris kepada pembelajar usia dini di sebuah sekolah swasta internasional di Bandung)

  Selain terhadap partisipan, pengerucutan bisa juga dilakukan terhadap topik dari permasalahan yang akan diteliti. Misalnya:

  Kajian bidang umum: The teaching of English Minat khusus: writing Lebih spesifik:Argumentative writing Khususnya: Exposition

  Kalau partisipannya seperti dijelaskan di atas, maka judulnya bisa seperti ini: “Teaching writing expository genre: a case study in one international prvate school in Bandung.”

  Berkenaan dengan kapan harus mulai memikirkan topik penelitian untuk tesis atau disertasi, mengingat program pascasarjana di Indonesia pada umumnya mewajibkan mahasiswa untuk mengambil beberapa matakuliah sebelum mereka menulis tesis atau disertasi, maka saran dari salah seorang penulis mengenai penulisan tesis dan disertasi, Rita.S. Brause (2000, lihat juga Rudestam Newton, 1992 untuk saran yang hampir sama) tentang pemilihan topik sangat relevan. Saran itu di antaranya adalah sebagai berikut:

  Pencarian atau pemikiran topik sebaiknya dimulai sejak mata kuliah pertama yang

  diambil dan dari tugas-tugas yang dibuat untuk mata kuliah tersebut (Brause, 2000). Brause juga menggambarkan seorang mahasiswa yang menyesal bahwa dia tidak melihat-lihat tesis atau disertasi sejak mulai kuliah di program pascasarjana dan tidak menjadikan tugas yang dibuat dalam matakuliah sebagai dasar dari pemilihan topik penelitian. Brause mengutip kata-kata mahasiswa itu sebagai berikut:

  I wish I looked for a dissertation (thesis) topic from the moment I started the program and used the course assignments as an opportunity to explore topics that might have led me towards a dissertation topic ( 2000:30).

  Mencari topik yang kita suka dan tertarik untuk menelitinya, yang bisa membuat kita bisa

  bekerja bertahun-tahun berkaitan dengan topik itu (Rudestam Newton, 1992). Memilih topik seperti ini penting, mengingat penulisan tesis, dan disertasi, khususnya, seperti yang bekerja bertahun-tahun berkaitan dengan topik itu (Rudestam Newton, 1992). Memilih topik seperti ini penting, mengingat penulisan tesis, dan disertasi, khususnya, seperti yang

  Memilih topik yang akan memberikan signifikansi kepada kita setelah kita

  menyelesaikan program magister atau doktor (Brause, 2000:30; Rudestam Newton, 1992:11).

  Selain dari memilih topik dengan kriteria yang hampir sama dengan di atas, Rudestam dan Newton (1992:10) memberikan saran lain, di antaranya adalah bahwa mahasiswa sebaiknya menghindari topik yang terlalu ambisius dan menantang. Rudestam dan Newton menyarankan:

  Grandiose dissertations have a way of never being completed and even the best dissertations end up being compromises among your own ambition, the wishes of your committee and practical circumstances. … you need to temper your enthusiasm and pragmatism (Rudestam Newton, 1992:10).

  Dengan mengutip apa yang dikatakan oleh salah seorang mahasiswanya, Rudestam dan Newton menambahkan bahwa ada dua jenis tesis atau disertasi: “Disertasi yang bagus, dan disertasi yang selesai” (1992:10). Jadi, seperti yang disarankan oleh Lawton (1997), pertanyaan yang sebaiknya pertama kali dilontarkan tentang topik penelitian adalah “Is it a feasible topic” (1997:9).

  Sejalan dengan saran-saran di atas, Thomas dan Brubaker (2000:59-61, lihat juga Rudestam Newton, 1992; Swetnam, 2000:17) menyebutkan sembilan kriteria untuk menentukan apakah topik yang dipilih itu baik atau tidak. Kriteria itu akan dipaparkan di bawah ini.

1. Persetujuan pembimbing

  Topik yang baik adalah topik yang disetujui oleh penguji proposal penelitian atau calon pembimbing. Menurut Rudestam dan Newton (1992) kalau proposal penelitian tidak disetujui oleh salah seorang calon pembimbing, maka mahasiswa sebaiknya mengganti topik Topik yang baik adalah topik yang disetujui oleh penguji proposal penelitian atau calon pembimbing. Menurut Rudestam dan Newton (1992) kalau proposal penelitian tidak disetujui oleh salah seorang calon pembimbing, maka mahasiswa sebaiknya mengganti topik

2. Apakah penelitian yang diajukan betul-betul merupakan penelitian atau bukan

  Mahasiswa, menurut Rudestam dan Newton (1992) sering mengatakan tujuan penelitiannya dengan cara yang menunjukkan bahwa dia tidak berusaha untuk mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan yang siginifikan. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan sebagai berikut: “My puspose is to prove that…”, (Tujuan saya adalah untuk membuktikan bahwa …); “I will demonstrate that…” (saya akan memperlihatkan bahwa …); “This study will make it clear that …” (penelitian ini akan membuat jelas bahwa ...).

  Dengan demikian, tambah Rudestam dan Newton (1992) kalau mahasiswa sudah tahu kesimpulan yang akan dicapai di akhir penelitian, maka proposal itu bukan untuk penelitian tetapi untuk propaganda atau “salesmanship” (Rudestam Newton, 1992:59).

3. Signifikansi hasil penelitian

  Penelitian yang dilakukan harus merepresentasikan kompleksitas dan tingkat keahlian yang diharapkan oleh mahasiswa lulusan pascasarjana. Dalam hal ini, Glatthorn dan Joyner (2005) menegaskan bahwa dalam memilih topik mahasiswa harus mempertimbangkan signifikansi profesional yang mencakup: signifikansi profesional, minat profesional yang berkelanjutan, minat pribadi, pengembangan karir, pengetahuan, dan keterampilan. Selain itu, mahasiswa juga harus memperhatikan signifikansi terhadap perkembangan teori dan praktek berkaitan dengan bidang ilmu yang dikaji.

4. Fisibilitas metodologi

  Dalam hal fisibilitas metodologi, peneliti sebaiknya bertanya apakah masalah yang diajukan bisa diteliti dengan metode penelitian yang diketahui atau yang ada dalam pikiran peneliti.

5. Hambatan waktu

  Peneliti sebaiknya bertanya apakah proyek penelitian bisa dilakukan dalam waktu yang tersedia.

6. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan

  Menulis tesis atau disertasi, menurut Thomas dan Brubaker (2000) merupakan pengalaman belajar yang sangat berharga, dan keterampilan yang diperlukan untuk menulis tesis atau disertasi bisa diperoleh sejalan dengan berlangsungnya proses penulisan tesis atau disertasi itu.

7. Peralatan dan Persediaan

  Fasilitas apa yang diperlukan untuk menulis tesis atau disertasi yang tersedia, sehingga pelaksanaan penelitian bisa berjalan dengan lancar.

8. Personil

  Siapa yang akan melakukan setiap pekerjaan yang ada dalam proyek penelitian, karena penelitian yang dilakukan mungkin memerlukan bantuan orang lain.

9. Dana

  Pengeluaran apa yang akan diperlukan, berapa banyak.

  Dalam hal fisibilitas, Swetnam (2000:17), Glatthorn dan Joyner (2005) menyarankan bahwa mahasiswa sebaiknya menanyakan beberapa hal selain dari yang disebut di atas, berkenaan dengan kepraktisan topik penelitian yang telah dipilih. Beberapa pertanyaan itu di antaranya adalah:

  1. Apakah kita akan bisa mendapatkan akses ke tempat penelitian?

  2. Apakah kita bisa mendapatkan pustaka yang diperlukan? Mengamati ketersediaan buku atau referensi mengenai topik yang dipilih merupakan salah satu cara yang efektif untuk memulai meneliti (Baker Huling, 1995:3; Krathwall Smith, 2005).

  3. Apakah ada masalah yang berkaitan dengan etika atau moral?

  4. Apakah topik yang akan diteliti akan tetap mutakhir selama penelitian berjalan? (Hal ini penting, terutama bagi mahasiswa yang mengambil program doktor yang pelaksanaan penelitiannya memerlukan waktu yang lama).

  5. Apakah kita akan mendapat dukungan dari universitas atau dari atasan? (Swetnam, 2000:17; lihat juga Glatthorn Joyner, 2005).

  Berkenaan dengan pemilihan topik yang berkaitan dengan masalah pribadi penulis, sintesis teori penulisan tesis dan disertasi menunjukkan bahwa ada dua pendapat yang berbeda. Sebagian penulis, seperti Rudestam dan Newton (1992) menyarankan bahwa mahasiswa sebaiknya menghindari pemilihan topik yang mempunyai hubungan atau keterkaitan yang terlalu erat dengan masalah pribadi. Namun, penulis lain, seperti Lester dan Lester (2005) mengatakan bahwa topik yang diteliti bisa dihubungkan dengan masalah pribadi dan masalah pribadi bisa menjadi sumber topik penelitian. Lester dan Lester mencontohkan sebagai berikut:

  Latar belakang: Masalah sosial yang mempengaruhi keluarga. Kepentingan pribadi: Pendidikan anak saya. Isu sosial: Perilaku anak saya di sekolah yang hiperaktif. Topik yang mungkin: Anak-anak yang hiperaktif: Haruskan mereka meminum obat

  penenang untuk menenangkan kehiperaktifan mereka?

  Selain itu, Lester dan Lester juga menyarankan pemilihan topik yang berdasarkan pada latar belakang budaya penulis, seperti latar belakang suku atau etnik. Mereka mencontohkan seperti ini:

  Latar belakang etnik: Penduduk asli Amerika Kepentingan pribadi: Sejarah dari suku Apache. Topik yang mungkin: Perang Indian dilihat dari perspektif penduduk Amerika.

  Selain melalui cara-cara seperti di atas, sumber masalah penelitian bisa juga didapat melalui cara seperti yang akan dijelaskan di bawah ini. Cara itu adalah bahwa ketika mengkritisi referensi atau teori yang kita baca, kita perlu memikirkan apakah kita merasa puas dengan apa yang dijelaskan oleh peneliti sebelumnya dalam mendiagnosis atau meneliti masalah yang menjadi minat kita dalam penelitian yang akan kita lakukan (Thomas Brubaker, 2000:54). Dengan demikian, kita bisa berpikir tentang cara yang lebih baik untuk melakukan penelitian tentang topik yang sudah mereka teliti atau menciptakan cara alternatif untuk membahas apa yang terjadi. Dengan kata lain, dalam mengkaji pustaka kita juga bisa memperlihatkan bahwa kita menciptakan teori kita sendiri, atau mungkin variasi dari model orang lain, sehingga tesis atau disertasi kita mungkin mengambil bentuk eksplikasi atau aplikasi dari teori kita. Thomas dan Brubaker mengilustrasikan cara menemukan topik penelitian dengan cara ini sebagai berikut:

  Ini merupakan kasus mahasiswa doktor yang tertarik dengan reformasi pendidikan. Setelah dia membaca banyak bahan yang berkaitan dengan usaha reformasi pendidikan, dia menyadari bahwa inovasi pendidikan sering menjadi terhalang dan sebagian dari inovasi itu malah mati dan yang lain jatuh setelah berhasil karena didukung oleh pendukungnya. Mahasiswa itu tertarik untuk mengetahui bagaimana analis membahas kegagalan reformasi. Dengan kata lain, dia tertarik dengan teori tentang keberhasilan atau kegagalan inovasi pendidikan. Dalam mengkaji pustaka yang ada, dia menemukan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap usaha perubahan pendidikan, seperti a) sumber dana, b) cara memaparkan proposal reformasi, c) kualitas atau kapabilitas orang yang terlibat dalam mengimplementasikan reformasi, d) berapa orang yang akan terpengaruh dengan inovasi dan yang lain lagi. Tetapi mahasiswa ini melihat satu faktor yang diabaikan, yakni risiko yang dihadapi oleh orang ketika mereka diharapkan untuk berpartisipasi dalam perubahan pendidikan. Dengan demikian, sebagai masalah disertasinya, dia mengambil tantangan Ini merupakan kasus mahasiswa doktor yang tertarik dengan reformasi pendidikan. Setelah dia membaca banyak bahan yang berkaitan dengan usaha reformasi pendidikan, dia menyadari bahwa inovasi pendidikan sering menjadi terhalang dan sebagian dari inovasi itu malah mati dan yang lain jatuh setelah berhasil karena didukung oleh pendukungnya. Mahasiswa itu tertarik untuk mengetahui bagaimana analis membahas kegagalan reformasi. Dengan kata lain, dia tertarik dengan teori tentang keberhasilan atau kegagalan inovasi pendidikan. Dalam mengkaji pustaka yang ada, dia menemukan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap usaha perubahan pendidikan, seperti a) sumber dana, b) cara memaparkan proposal reformasi, c) kualitas atau kapabilitas orang yang terlibat dalam mengimplementasikan reformasi, d) berapa orang yang akan terpengaruh dengan inovasi dan yang lain lagi. Tetapi mahasiswa ini melihat satu faktor yang diabaikan, yakni risiko yang dihadapi oleh orang ketika mereka diharapkan untuk berpartisipasi dalam perubahan pendidikan. Dengan demikian, sebagai masalah disertasinya, dia mengambil tantangan

  Setelah memikirkan topik, maka langkah selanjutnya adalah memikirkan dan memilih pembimbing yang akan bisa mengarahkan dan membantu kita melalui perjalanan pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis atau disertasi dengan lancar, sehingga kita bisa menyelesaikan studi kita tepat waktu. Hal ini akan dibahas di bawah ini.

Memilih pembimbing

  Pembimbing merupakan figur yang sangat penting dalam penyelesaian tesis atau disertasi (Parker Davis, 1997:113; Thomas Brubaker, 2000; Mauch Park, 2003) dan oleh karena itu, “memilih pembimbing merupakan tahap yang paling penting yang harus dilalui oleh penulis tesis atau disertasi” (Phillips Pugh, 1994: 8). Pembimbing atau tim pembimbing, menurut Parker dan Davis (lihat juga Roberts, 2004:48), bertanggung jawab untuk membantu mahasiswa menulis tesis atau disertasinya, terutama dalam memberikan kontribusi, saran dan gagasan dalam setiap bab yang ada dalam tesis atau disertasi. Berkaitan dengan peran pembimbing, Ogden (1993:17) menggambarkan penulisan tesis dan disertasi sebagai permainan dalam game board dengan pembimbing dan anggota pembimbing lain merupakan “the most important pieces” atau bagian yang paling penting dalam “dissertation game board”. Pembimbing merupakan bagian yang paling menentukan apakah kita akan berhasil atau gagal. Ogden menambahkan:

  With the RIGHT adviser, you advance steadily around the board to collect your degree on schedule, proud of your work you have produced. With the WRONG adviser, you will take very wrong route around the board, hit every dead end, advance one step only, to fall back two steps, and continually run the risk of falling off the board completely. Researching your adviser or committee therefore is the MOST important research you will do concerning your dissertation (1993:17).

  Walaupun pernyataan Ogden di atas mengindikasikan seolah-olah kegagalan mahasiswa itu disebabkan oleh kesalahan pembimbing, yang tentu tidak selamanya benar, pernyataan ini Walaupun pernyataan Ogden di atas mengindikasikan seolah-olah kegagalan mahasiswa itu disebabkan oleh kesalahan pembimbing, yang tentu tidak selamanya benar, pernyataan ini

  Peran pembimbing, seperti dikatakan oleh Thomas dan Brubaker (2000) serta Paltridge dan Stairfield (2007), diperlukan sejak pemilihan topik dan penulisan proposal. Dengan demikian, pemilihan pembimbing menjadi sangat penting dalam membantu penyelesaian tesis atau disertasi yang ditulis, seperti yang dikatakan oleh Brause (2000:31) bahwa pemilihan proyek penelitian dan pembimbing membuat perbedaan antara “finishing” dan “not finishing”.

  Berikut adalah beberapa saran yang dikemukakan oleh Parker dan Davis (1997); Bolker (1998); Brause (2000:30-31); Thomas dan Brubaker (2000), Roberts (2004) dalam memilih pembimbing. Saran itu adalah bahwa kita sebaiknya memilih pembimbing dengan beberapa kriteria sebagai berikut.

  Dirasakan enak untuk diajak berkomunikasi, apakah cara kerja pembimbing cocok

  dengan keinginan kita (Roberts, 2004). Apakah kita suka dengan pembimbing yang direktif (Roberts, 2004:48) dan sangat terstruktur (memonitor pekerjaan kita dengan seksama, mengikuti batas waktu yang ditentukan, mengadakan pertemuan yang teratur), atau apakah kita lebih menyukai pembimbing yang lebih “aissez-faire” (Roberts, 2004:49) (menunggu dikontak oleh kita, mengikuti kemana arah kita, dan mengharapkan pemikiran independen) (lihat juga Thomas Brubaker, 2000:10).

  Mempunyai keahlian yang relevan dengan topik penelitian (Bolker, 1998; Thomas

  Brubaker, 2000; Roberts, 2004). Dalam hal ini, Thomas dan Brubaker (2000:10) mengatakan bahwa semakin dekat keahlian pembimbing dengan topik penelitian yang Brubaker, 2000; Roberts, 2004). Dalam hal ini, Thomas dan Brubaker (2000:10) mengatakan bahwa semakin dekat keahlian pembimbing dengan topik penelitian yang

  Sensitif terhadap kebutuhan kita tetapi menuntut perkerjaan yang berkualitas (Roberts;

  2004). Dikenal meluluskan banyak mahasiswa (Bolker, 1998; Brause, 2000; Thomas

  Brubaker, 2000). Tertarik untuk membantu kita berhasil (Brause, 2000; Thomas Brubaker, 2000). Banyak terlibat dalam penelitian, sehingga kita pun bisa memperoleh pengetahuan praktis

  dan keterampilan dalam penulisan tesis atau disertasi sekarang dan juga keterampilan penelitian yang diperlukan di masa yang akan datang (Brause, 2000:30).

  Mempunyai kecenderungan untuk menggunakan metode penelitian yang kita gunakan.

  Misalnya, kalau metode penelitiannya kuantitatif, sebaiknya mencari pembimbing yang lebih cenderung suka ke metode penelitian ini. Hal ini penting, seperti dikatakan oleh Thomas dan Brubaker (2000:12) mengingat pembimbing yang lebih condong ke metodologi penelitian kualitatif akan cenderung menyukai penelitian yang menggunakan metode kualitatif. Yang menjadi pertanyaan, seperti akan dibahas dalam pembahasan memahami metode penelitian adalah bukan metode penelitian mana yang lebih baik, tetapi metode penelitian apa yang paling cocok dengan penelitian kita.

  Selain dari kriteria di atas, ada kemungkinan juga mahasiswa ingin dibimbing oleh pembimbing yang terkenal (Bolker, 1998:21). Pembimbing yang terkenal, menurut Bolker (1998), merupakan

  “mixed blessing” (1998:21). Manfaatnya, tambah Bolker, sudah pasti banyak, tetapi, pembimbing yang terkenal biasanya sibuk, jarang ada di kampus, dan tidak mempunyai waktu yang banyak untuk membimbing ketika kita memerlukan bantuannya (1998:21). Bolker kemudian menggambarkan pengalamannya dibimbing oleh pembimbing yang cukup terkenal seperti ini:

  My first dissertation advisor was quite famous, but I quickly discovered that her students often had a hard time graduating, and that she appeared to compete with them and put obstacles in their paths. I remember the moment at which I realised that if I remained her advisee, I‟d never finish. If choosing a politically advantageous, famous advisor makes it unlikely that you‟ll complete your degree, it‟s clearly not worth it (1998:21).

  Untuk bisa bekerja dengan baik dan mendapatkan masukan atau feedback yang diperlukan, tentu harus ada interaksi yang baik antara kita, sebagai mahasiswa dan pembimbing. Mahasiswa, menurut Parker dan Davis (1997:113) sebaiknya memahami bahwa pembimbing mempunyai tugas yang banyak selain dari membimbing mereka sehingga akan banyak gangguan yang mungkin membuat pembimbing kurang bisa memperhatikan mahasiswa bimbingannya. Untuk mengatasi hal ini, Parker dan Davis menyarankan bahwa kita sebagai mahasiswa sebaiknya memberikan catatan tertulis mengenai pertemuan yang ingin dilakukan, menjadual pertemuan, memberikan outline tentang beberapa isu atau masalah yang perlu dibahas.

  Berkaitan dengan pembimbing, menurut Parker dan Davis (1997:120-121), ada beberapa kemungkinan masalah yang dihadapi oleh mahasiswa. Di antaranya adalah:

  Pembimbing cuti, pindah ke universitas lain, tidak mengajar lagi, atau meninggal. Biasanya

  universitas akan mengatur masalah ini. Kalau mahasiswa sudah merencanakan tesis atau disertasinya dengan baik, perubahan pembimbing tidak akan terlalu berdampak pada kelancaran penulisan tesis atau disertasi. Hanya saja, mahasiswa harus segera mengetahui universitas akan mengatur masalah ini. Kalau mahasiswa sudah merencanakan tesis atau disertasinya dengan baik, perubahan pembimbing tidak akan terlalu berdampak pada kelancaran penulisan tesis atau disertasi. Hanya saja, mahasiswa harus segera mengetahui

  Pembimbing tidak membaca draft tesis. Hal ini juga merupakan masalah yang sering dihadapi oleh mahasiswa dalam penyelesaian tesisnya. Keengganan pembimbing membaca tesis mahasiswa bisa membuat mahasiswa tidak mendapatkan masukan yang memadai, khususnya dalam hal kontinuitas serta koherensi gagasan yang ditulis dalam tesis. Dalam penelitian yang telah dilakukan penulis mengenai kesulitan mahasiswa dalam menulis tesis, studi kasus di program studi pendidikan bahasa Inggris SPs UPI, ditemukan bahwa pada level “discourse semantic” (Martin Rose, 2003, 2007; Acevedo Rose, 2007) mahasiswa pada umumnya sudah tahu apa yang harus ditulisnya dalam tesis, tetapi dalam hal bagaimana menuliskannya supaya gagasan atau argumennya bisa dengan mudah diterima oleh pembaca merupakan masalah yang masih memerlukan perhatian besar dari pembimbing. Di sinilah perlunya pembimbing membaca secara teliti apa yang ditulis oleh mahasiswanya.

  Keengganan pembimbing membaca draft mungkin juga berkaitan dengan asumsi pembimbing mengenai mahasiswa pascasarjana, khususnya mahasiswa doktoral. Asumsi itu, seperti dikemukakan oleh Murray (2002) adalah sebagai berikut.

  Mahasiswa doktor sudah bisa menulis dan melakukan penelitian;

  Dengan mahasiswa yang pandai, pembimbing tidak banyak memberikan coretan

  dalam tesis atau disertasinya; Kemajuan mahasiswa dalam menulis tesis atau disertasi ditunjukkan dengan jumlah

  bab yang ditulisnya, dan sebagainya.

  Asumsi seperti ini menurut Murray (2002) kurang menguntungkan mahasiswa, mengingat mahasiswa, mahasiswa doktoral sekalipun, masih perlu bimbingan dan banyak dari mereka yang belum bisa menulis dan memahami konsep metode penelitian ketika mereka mulai melakukan penelitian untuk disertasinya. Untuk itu, peran pembimbing sangat penting dalam membantu mahasiswa menyelesaikan tesis atau disertasinya. Tentang asumsi mengenai mahasiswa pascasarjana, khususnya mahasiswa doktor akan dibahas lebih lanjut di Bab Empat mengenai peran feedback atau masukan dalam penulisan tesis dan disertasi.

  Dalam beberapa referensi, seperti penulis dari Amerika (Thomas Brubaker, 2000; Roberts, 2004) menyebutkan bahwa mahasiswa dibimbing oleh beberapa pembimbing, yakni advisor dan committee (tim pembimbing). Namun demikian, di negara lain seperti di Australia, mahasiswa, bahkan mahasiswa doktoral sekalipun sering dibimbing hanya oleh satu pembimbing. Di Indonesia mahasiswa magister umumnya dibimbing oleh dua pembimbing, yakni pembimbing satu (pembimbing utama) dan pembimbing dua (pembimbing pendamping), sedangkan mahasiswa doktor oleh tiga orang, promotor, pembimbing dua (pembimbing pendamping) dan pembimbing tiga atau disebut anggota. Dalam buku ini, penulis tidak membedakan advisor dengan komite. Penulis menganggap semua yang memberikan bimbingan adalah pembimbing yang bekerja sama satu dengan yang lain untuk membantu mahasiswa menyelesaikan tesis atau disertasinya. Walaupun secara administrasi ada penamaan pembimbing satu dan pembimbing Dalam beberapa referensi, seperti penulis dari Amerika (Thomas Brubaker, 2000; Roberts, 2004) menyebutkan bahwa mahasiswa dibimbing oleh beberapa pembimbing, yakni advisor dan committee (tim pembimbing). Namun demikian, di negara lain seperti di Australia, mahasiswa, bahkan mahasiswa doktoral sekalipun sering dibimbing hanya oleh satu pembimbing. Di Indonesia mahasiswa magister umumnya dibimbing oleh dua pembimbing, yakni pembimbing satu (pembimbing utama) dan pembimbing dua (pembimbing pendamping), sedangkan mahasiswa doktor oleh tiga orang, promotor, pembimbing dua (pembimbing pendamping) dan pembimbing tiga atau disebut anggota. Dalam buku ini, penulis tidak membedakan advisor dengan komite. Penulis menganggap semua yang memberikan bimbingan adalah pembimbing yang bekerja sama satu dengan yang lain untuk membantu mahasiswa menyelesaikan tesis atau disertasinya. Walaupun secara administrasi ada penamaan pembimbing satu dan pembimbing

  Dalam berkomunikasi atau berinteraksi dengan pembimbing, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan selama proses bimbingan. Hal seperti ini sangat penting untuk menghindari kesalah fahaman yang bisa berakibat buruk bagi hubungan antara mahasiswa dan dosen. Dalam hal ini, Roberts (2004: 50-53) memberi saran mengenai cara memelihara hubungan kerja yang baik dengan pembimbing dan sangat relevan bagi mahasiswa di Indonesia. Beberapa saran itu di antaranya adalah sebagai berikut.

  Membuat aturan atau norma sedini mungkin mengenai bagaimana kita akan bekerja

  sama. Beberapa hal harus segera diketahui dari awal mengenai: kapan draft setiap bab akan diberikan, bagaimana memberikannya, kapan draft akan dikembalikan, apakah tidak ada masalah kalau menelepon?

  Selalu memberikan draft yang terbaik kepada pembimbing. Dengan draft yang ditulis

  dengan baik, maka pembimbing bisa memfokuskan perhatiannya pada isi, bukan pada penulisan atau mekanik.

  Menerima kritik dengan lapang dada dan tidak defensif. Tulisan tesis, dan apalagi

  disertasi, merupakan tulisan ilmiah, dan karena itu, menurut Roberts (2004) memerlukan cara berpikr yang baik, dan tulisan yang jelas. Hal ini pasti memerlukan proses menulis yang tidak hanya satu kali. Untuk itu ada baiknya kalau kita memperkirakan menulis disertasi, merupakan tulisan ilmiah, dan karena itu, menurut Roberts (2004) memerlukan cara berpikr yang baik, dan tulisan yang jelas. Hal ini pasti memerlukan proses menulis yang tidak hanya satu kali. Untuk itu ada baiknya kalau kita memperkirakan menulis

  Selalu memasukkan saran pembimbing dalam merevisi setiap bab tesis atau disertasi. Menghargai hambatan waktu yang dialami oleh pembimbing. Memelihara sikap positif. Antusiasme membuat pekerjaan menulis tesis atau disertasi

  menjadi menyenangkan. Mengambil inisiatif, tetapi mengharapkan bimbingan. Tetap menjaga kontak dengan pembimbing.

  Selain berusaha memilih pembimbing yang dianggap tepat dan sesuai dengan topik yang kita teliti dan menjaga hubungan baik dengan para pembimbing itu, maka kita juga perlu membuat jadual yang realistis, seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.

  Selain berusaha memilih pembimbing yang dianggap tepat dan sesuai dengan topik yang kita teliti dan menjaga hubungan baik dengan para pembimbing itu, maka kita juga perlu membuat jadual yang realistis, seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.

Merencanakan jadual yang realistis

  Merencanakan jadual yang realistis sangat penting dalam penulisan tesis dan disertasi, terutama bagi mereka yang sudah bekerja dan berkeluarga. Dalam hal ini, Swetnam (2000) dan penulis lain seperti Roberts (2004) dan Wellington dkk (2005), mengingatkan bahwa sebagai penulis kita tidak mempunyai seluruh waktu yang diberikan oleh universitas tempat kita belajar hanya untuk mengerjakan penelitian, tesis atau disertasi. Ada beberapa faktor yang mungkin membuat kita Merencanakan jadual yang realistis sangat penting dalam penulisan tesis dan disertasi, terutama bagi mereka yang sudah bekerja dan berkeluarga. Dalam hal ini, Swetnam (2000) dan penulis lain seperti Roberts (2004) dan Wellington dkk (2005), mengingatkan bahwa sebagai penulis kita tidak mempunyai seluruh waktu yang diberikan oleh universitas tempat kita belajar hanya untuk mengerjakan penelitian, tesis atau disertasi. Ada beberapa faktor yang mungkin membuat kita

  1. Masalah keluarga

  2. Sakit

  3. Liburan (liburan memang perlu, tetapi banyak penulis yang mengingatkan bahwa jangan terlalu banyak meluangkan waktu untuk hal-hal yang tidak relevan dengan penulisan tesis atau disertasi)

  4. Masalah dalam komputer

  5. Masalah dalam menemui tutor

  6. Keterlambatan dalam mengetik atau menjilid.

  Namun demikian, menurut Swetnam (2000) kita harus berpikir positif walaupun mungkin menghadapi beberapa hambatan seperti di atas, karena kalau kita berpikir negatif, seperti telah dikemukakan di atas, maka hukun Murphy akan terjadi, yakni “if anything can go wrong, it will” (Swetnam, 2000:19). Swetnam menambahkan bahwa “Kita tidak boleh pesimis, tetapi harus realistis” (2000:19). Hal ini juga didukung oleh Roberts (2004:4) yang mengatakan bahwa sikap positif sangat penting dimiliki oleh mahsiswa yang sedang menulis tesis, dan terutama disertasi. Dengan mengutip Abascal, Brucato dan Brucato (2001), Roberts menegaskan:

  Research has revealed that the attitude you have at the beginning of a task determines the outcome of that task more than any other single factor. For example, if you believe you will be able to succeed at a particular undertaking and you approach the endeavour with a sense of excitement and joyful expectation, your chances of achieving success are much higher than if you face the task with dread and apprehension (Roberts, 2004:4).

  Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap positif, Swetnam (2000:15) menyebutkan saran yang dia peroleh dari mahasiswanya yang sedang menulis disertasi. Saran ini, dianggap cukup Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap positif, Swetnam (2000:15) menyebutkan saran yang dia peroleh dari mahasiswanya yang sedang menulis disertasi. Saran ini, dianggap cukup

  Dalam hal waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tesis dan disertasi, sebaiknya mahasiswa tidak menargetkan menggunakan waktu seluruhnya dari waktu yang disediakan oleh universitas. Misalnya, kalau waktu yang disediakan itu satu setengah tahun, maka waktu yang ditargetkan akan dipakai untuk menyelesaikan proyek penelitian dan penulisan tesis atau disertasi sebaiknya

  75 dari waktu yang tersedia (Swetnam 2000). Secara tentatif, menurut Swetnam (2000), waktu itu bisa digunakan untuk hal-hal sebagai berikut:

  1. Pendahuluan (Introduction): 5

  2. Kajian Pustaka (the Literature Review): 35

  3. Metode Penelitian (Research methods): 10

  4. Pengambilan Data: 20

  5. Analisis: 15

  6. Kesimpulan dan Rekomendasi:10

  7. Bibliografi dan Apendiks: 5

  Mengenai lamanya waktu yang diberikan untuk menyelesaikan program magister atau doktoral, di negara lain seperti Australia misalnya, ada istilah part-time dan full time. Tapi, selama ini di Indonesia mungkin belum ada istilah itu. Semua peraturan yang ada berlaku untuk semua mahasiswa, baik mahasiswa yang belajar sambil bekerja, yang bisa dikategorikan sebagai part time student atau atau mahasiswa paruh waktu di Australia, atau mahasiswa yang belajar mengambil program magister atau doktor seluruh waktu, yang dikategorikan sebagai full time student atau penuh waktu.

  Mengingat mahasiswa pascasarjana di Indonesia umumnya belajar sambil bekerja, maka mungkin mereka bisa dikategorikan sebagai mahasiswa part time. Tetapi, yang harus kita ingat adalah bahwa istilah part time dan full time tidak berdampak pada lamanya waktu yang diberikan serta kualitas yang harus dicapai. Kalau kita part time, berarti kita harus lebih bisa mengatur waktu dan bekerja lebih efektif supaya bisa selesai seperti mereka yang belajar full time.

  Dalam hal pembuatan jadual yang realistis, Wellington dkk (2005, lihat juga Thomas, 2000; Johnson, 2003), berdasarkan beberapa tips yang didapatnya dari mahasiswa yang telah menjalani penulisan tesis dan disertasi, memberikan tips belajar, supaya jadual yang kita buat bisa dilakukan dan dilaksanakan. Beberapa tips itu di antaranya adalah:

  Bekerja dengan cara yang suportif dengan teman yang sama-sama sedang menulis tesis

  atau disertasi. Hal ini merupakan cara yang sangat baik, terutama ketika kita sedang dalam keadaan tidak yakin dengan apa yang kita lakukan, dalam keragu-raguan dan kesulitan praktis dalam penelitian.

  Menegosiasikan dukungan di tempat kerja dan di rumah. Dalam hal ini, Wellington dkk

  (2005) menyarankan bahwa mahasiswa penulis tesis dan disertasi harus berusaha untuk “Give to get”. Maknanya adalah bahwa orang-orang di sekeliling kita perlu memberi kita waktu dan ruang untuk belajar. Adakah sesuatu yang bisa kita berikan kepada mereka sebagai imbalannya? Dengan memberi kepada mereka, tambah Wellington dkk, kita akan merasa jauh lebih enak dan tenang mengambil waktu dari hal lain supaya bisa belajar.

  Menemukan “a comfort zone” (lihat juga Thomas, 2000; Johnson, 2003) atau tempat

  yang paling cocok untuk kita bekerja. Kita harus bisa menentukan di mana dan kapan kita bekerja paling efektif dan produktif menulis dan konsentrasi dengan tulisan atau bacaan yang paling cocok untuk kita bekerja. Kita harus bisa menentukan di mana dan kapan kita bekerja paling efektif dan produktif menulis dan konsentrasi dengan tulisan atau bacaan

  Hal-hal seperti di atas harus segera dikenali sejak awal proses penelitian, supaya kita tidak terlalu banyak membuang waktu untuk hal-hal yang kurang bermanfaat untuk penulisan tesis dan disertasi kita. Dimana tempat terbaik untuk kita bekerja sangat individual dan tidak ada resep jitu untuk menentukannya, karena masing-masing mempunyai kebiasaan tersendiri sesuai dengan kondisi masing-masing.

  Setelah kita melakukan berbagai penilaian dan pemikiran tentang beberapa aspek dari tesis atau disertasi kita, sekarang kita harus memikirkan bagaimana cara melakukan penelitian yang akan dilaporkan dalam tesis atau disertasi yang kita tulis. Untuk itu, bagian selanjutnya dari bab ini akan membahas satu hal yang sangat penting bagi kelancaran pelaksanaan penelitian, yakni memahami metode penelitian. Karena metode penelitian bukan merupakan fokus dari apa yang dipaparkan dalam buku ini, penjelasan mengenai metode penelitian hanya akan diberikan secara singkat saja, khususnya mengenai beberapa istilah atau konsep yang berkaitan dengan penelitian.

Memahami metode penelitian

  Memahami metode penelitian merupakan hal lain yang perlu dilakukan sebelum melakukan penelitian. Pemahaman terhadap metode penelitian biasanya berjalan sesuai dengan mata kuliah yang diambil, mengingat di Indonesia umumnya matakuliah metode penelitian diberikan sebagai mata kuliah yang harus diambil sebelum melakukan penelitian. Pemahaman metode penelitian juga bisa berjalan sejalan dengan proses pemahaman teori, karena ketika kita membaca pustaka Memahami metode penelitian merupakan hal lain yang perlu dilakukan sebelum melakukan penelitian. Pemahaman terhadap metode penelitian biasanya berjalan sesuai dengan mata kuliah yang diambil, mengingat di Indonesia umumnya matakuliah metode penelitian diberikan sebagai mata kuliah yang harus diambil sebelum melakukan penelitian. Pemahaman metode penelitian juga bisa berjalan sejalan dengan proses pemahaman teori, karena ketika kita membaca pustaka

  

  Dengan demikian, kalau kita sudah memikirkan topik penelitian sejak awal kuliah di program magister atau doktor, seperti disarankan di atas, maka ketika belajar metode penelitian, kita juga sudah bisa mulai memikirkan metode penelitian apa yang cocok untuk penelitian yang akan dilakukannya, termasuk partisipan, tempat penelitian, teknik pengumpulan dan analisis data yang akan dipakai.

  Berkaitan dengan pemahaman metode penelitian, Phillips dan Pugh (1994:19) menegaskan bahwa selain memahami metode penelitian yang mungkin cocok untuk penelitian kita, kita juga harus sadar akan kelemahan dari setiap metode penelitian dan teknik pengumpulan data yang diambil. Misalnya, kalau kita menggunakan studi kasus, kita harus memahami kelemahan studi kasus itu apa dan apa yang kita lakukan untuk meminimalisasi kelemahan itu. Begitu pula dengan metode penelitian lain dan teknik pengumpulan datanya.

  Sekaitanan dengan penelitian, Thomas dan Brubaker (2000), Rhedding-Jones (2005) dan Silverman (2006:16) mengemukakan beberapa istilah yang sebaiknya dikuasai sebelum melakukan penelitian. Istilah itu, di antaranya adalah:

  Research: berarti “searching again” atau mencari lagi (Brause, 2000:37; Rhedding-Jones, 2005:28), berarti mencari sesuatu dan setelah itu, mencari lagi. Dalam bahasa Inggris, tambah

  Rhedding-Jones, kata “re” di awal kata berarti “lagi” (2005:34-35). Penelitian berkenaan dengan pengetahuan (Brown, 2006:14) - penelitian berkenaan dengan apa yang kita tahu, apa yang kita kenali sebagai sesuatu yang perlu diketahui, dan apa yang kita lakukan dengan pengetahuan yang kita kenali sebagai sesuatu yang perlu diketahui. Model: Kerangka kerja secara keseluruhan untuk melihat satu fenomena (misalnya feminisme, behaviourisme). Konsep: Ide yang muncul dari salah satu model (misalnya, stimulus-response, opresi). Teori: Sejumlah konsep yang digunakan untuk mendefinisikan dan atau menerangkan satu fenomena. Menurut Rhedding-Jones (2005:42), teori sering dianggap sebagai kebalikan dari praktek, padahal, seharusnya keduanya digabungkan. Berkenaan dengan teori ini, Thomas dan Brubaker (2000) serta Rhedding-Jones (2005) menerangkan bahwa ada dua jenis teori, yakni classificatory theory: teori yang mengkasifikasikan sesuatu dan explanatory theory: menerangkan sesuatu. Sementara itu, Punch (2000:38-39) menyebutnya sebagai descriptive theory dan explanatory theory.

  Descriptive theory, menurut Punch, berperan untuk mengumpulkan, mengorganisasikan dan meringkas informasi tentang masalah yang diteliti dan teori ini bertanya tentang “Apa?” Sementara itu explanatory theory, tambah Punch, menerangkan dan membahas informasi deskriptif dan bertanya: “Mengapa?” Dengan mengutip Maxwell (1996), Punch juga menjelaskan satu jenis teori lain, yakni Interpretive theory, dan bertanya tentang pertanyaan interpretasi, tentang makna dari masalah yang melibatkan orang. Hipotesis: Proposisi yang bisa dites atau diuji.

  Empiris: Teori yang muncul dari praktek (Rhedding-Jones, 2005: 56). Kalau meneliti secara empiris, maka peneliti di bidang pendidikan misalnya, akan melakukan observasi ke sekolah untuk menghasilkan teori mengenai apa yang terjadi di kelas. Rhedding-Jones mengatakan:

  If you are doing empirical research as a social scientist, with links to a particular profession and also to various academic disciplines (anthropology, sociology, pedagogy), then you will work as a researcher from practical everyday situations, texts, events and sites to theorise (2005: 43).

  Metodologi: Pendekatan secara umum dalam meneliti topik penelitian. Metode: Teknik penelitian khusus, mencakup teknik kuantitatif, seperti korelasi statistik, teknik seperti observasi, wawancara, rekaman. Berkaitan dengan teknik, Thomas dan Brubaker (2000) serta Silverman (2006) mengingatkan bahwa masalah teknik atau metode penelitian bukan urusan salah benar, tapi urusan apakah cocok atau tidak dengan masalah penelitian yang diteliti. Epistemologi: Metodologi yang didasarkan pada teori. Menurut Rhedding-Jones (2005:43), banyak penelitian positivisme tidak banyak melibatkan teori karena penelitian itu menekankan pada temuan penelitian. Hal ini, Rhedding-Jones menambahkan, bisa berlaku dalam temuan kedokteran atau informasi yang sudah fixed. Menurut Rhedding-Jones, dengan konsep epistemologi ini, maka apa yang dilakukan oleh peneliti dengan data penelitiannya harus berkesinambungan, harus secara internal konsisten dengan teori dan cara melakukan penelitian yang sesuai. Teori di sini, menurut Rhedding-Jones, bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat dengan bagaimana kita melakukan penelitian, sebagai metodologi (cara pengambilan data dan apa yang dilakukan dengan data yang diperoleh), epistemologi (hubungan antara metodologi dan teori) dan antologi kita (cara sebagai peneliti atau subjek penelitian).

  Metodologi, menurut Silverman (2006:15), mengacu pada pilihan yang dibuat tentang kasus yang diteliti, metode pengumpulan data, bentuk data analisis dan sebagainya dalam Metodologi, menurut Silverman (2006:15), mengacu pada pilihan yang dibuat tentang kasus yang diteliti, metode pengumpulan data, bentuk data analisis dan sebagainya dalam

  1. Preferensi untuk metode penelitian tertentu di antara metode yang ada (menyimak, melihat, mengobservasi, membaca, bertanya, dan berbicara);

  2. Teori pengetahuan ilmiah atau sejumlah asumsi tentang hakekat kenyataan, tugas sains, peran peneliti, dan konsep mengenai aksi dan aktor sosial;

  3. Sejumlah solusi, alat dan strategi yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian dan urutan sistematik dari tahapan prosedur yang akan dilakukan, ketika metode penelitian telah dipilih.

  Jadi, menurut Silverman (2006), metodologi mendefinisikan bagaimana seseorang akan meneliti sesuatu. Tentang informasi mengenai metode penelitian, Thomas dan Brubaker (2000:11-12) mengemukakan tiga jenis informasi yang bisa dicari mengenai metode penelitian: kualitatif- kuantitatif, positivisme-posmodernisme, penelitian dasar (basic)-penelitian terapan. Selain itu, menurut Connole dkk (1993) penelitian bisa dikelompokkan dalam tiga paradigma, yaitu: empirisme, interpretif dan kritis, termasuk poststrukturalisme dan posmodernisme.

  Masing-masing paradigma penelitian, menurut Thomas dan Brubaker (2000:13), bisa dilihat dari lima aspek, yakni:

  Hakekat kenyataan (masalah yang akan diteliti); Tujuan penelitian; Masalah validitas; Hakekat dan fungsi hasil penelitian; dan

  Bagaimana memahami kenyataan atau hasil penelitian.

  Pembahasan lengkap mengenai kelima aspek ini bisa dibaca di buku karangan Thomas Brubaker (2000) yang berjudul Theses and dissertation: A guide to planning, research, and writing.

Memahami gaya tulisan akademik

  Tulisan akademik merupakan “genre yang unik” (Glatthorn Joyner, 2005:142, lihat juga Berkenkotter Huckin, 1995; Paltridge, 2005) yang mempunyai norma tersendiri, dan hal ini bukan sesuatu yang baru (Thody, 2006:6). Walaupun kita mungkin bisa menulis dengan cukup baik, namun pada tahap awal penulisan tesis atau disertasi, seperti kebanyakan mahasiswa lain, kita mungkin merasakan kesulitan dalam menulis tesis atau disertasi (Roberts, 2004:98). Untungnya, jenis tulisan seperti ini bisa dipelajari (Roberts, 2004: Brown, 2006) dan tidak memerlukan inspirasi. Hanya tiga hal yang diperlukan: kebulatan tekad, kerja keras dan kesabaran (Roberts, 2004:98).

  Memahami gaya tulisan akademik sangat penting bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian dan menulis tesis atau disertasi, mengingat melakukan penelitian, seperti dikatakan oleh Kamler dan Thomson (2006:8) mengharuskan peneliti untuk bekerja secara teratur dan tepat waktu, memperhatikan konvensi ilmiah, serta memahami bahwa menulis merupakan serangkaian tahapan yang harus dilalui. Manfaat memahami gaya atau bentuk tulisan akademik ditegaskan oleh Allison dan Race (2004:7) dengan mengatakan:

  Research reports are meant to be read and therefore, knowing about the main forms in which research is reported helps to make such reading more efficient. Research reports written by students, apart from showing their interests in and understanding of the topic of their research, are intended to demonstrate that they have mastered some or all aspects of research methodology. This demonstration of mastery is the main basis on which they are assessed by tutors, supervisors, or examiners (2004:7).

  Berkaitan dengan gaya tulisan akademik, ada beberapa hal yang akan dijelaskan dalam bagian ini, seperti format penulisan teks akademik atau laporan penelitian, cara menulis pernyataan atau gagasan, dan cara menyusun paragraf dan penggunaan kalimat aktif dan pasif. Masing-masing akan dibahas di bawah ini.

1. Format konvensional atau format posmodernisme?

  Akhir-akhir ini ada dua cara penulisan laporan akademik yang dianut oleh para peneliti. Cara yang pertama adalah cara konvensional, yang mengikuti cara penulisan laporan penelitian di bidang ilmu sains, dan cara yang kedua adalah cara alternatif, yang disebut juga cara “Innovative, user-friendly format” (Gomm Davies, 2000:141, dikutip oleh Thody, 2006) atau cara posmodernisme (lihat Macmillan, 2001; Rhedding-Jones, 2005). Masing-masing cara atau format itu didefinisikan sebagai berikut:

  Accepted academic conventions, as summed up by an academic journal editor, ”make life easier for our referees by writing a clear, concise paper, that is, structured in a traditional manner” (Murray, 2004:1). National and social scientists therefore report their research in strictly uniform scientific experiment format; humanities authors follow chronological, or logical formats. Both indicate objectivity, neutrality, researcher distance and impersonality.

  Innovative user friendly formats... are associated with postmodernism and its doubt that there is any one right method. All methods are deemed subjective; they represent particular viewpoints of which the researcher‟s is one. Research reporting formats embrace widely differing approaches such as poetry, photography or novelistic style. Subjectivity is unavoidable, bias is openly stated, researchers reveal themselves overtly and personality is more than welcome (Thody, 2006:5-6).

  Cara konvensional atau tradisional dipengaruhi oleh paradigma penelitian positivisme (Connole dkk, 1993), yang mengikuti cara kerja penelitian di bidang sains dan mendominasi cara meneliti selama setengah abad pertama dalam abad 20 (Thody, 2006). Cara konvensional, atau tradisional atau ilmiah ini diawali dengan pernyataan masalah yang akan diselesaikan dan seting dari permasalahan itu dalam konteksnya dari penelitian sebelumnya mengenai topik yang sama, termasuk kajian pustaka. Bagian ini merupakan bagian dari rasional masalah yang menekankan Cara konvensional atau tradisional dipengaruhi oleh paradigma penelitian positivisme (Connole dkk, 1993), yang mengikuti cara kerja penelitian di bidang sains dan mendominasi cara meneliti selama setengah abad pertama dalam abad 20 (Thody, 2006). Cara konvensional, atau tradisional atau ilmiah ini diawali dengan pernyataan masalah yang akan diselesaikan dan seting dari permasalahan itu dalam konteksnya dari penelitian sebelumnya mengenai topik yang sama, termasuk kajian pustaka. Bagian ini merupakan bagian dari rasional masalah yang menekankan

  Sementara itu, cara penulisan laporan penelitian yang dipengaruhi oleh posmodernisme, menurut Rhedding-Jones (2005: 120-121) kadang-kadang melanggar banyak aturan yang kerkenaan dengan apa yang dimaksud dengan tulisan akademik. Rhedding-Jones (2005), sebagai peneliti yang menggunakan cara posmodernisme dalam menulis, mengatakan beberapa keuntungan atau keunikan menulis dengan cara ini. Rhedding-Jones menulis:

  You can mix up the genres, speak from the heart if you want to. But you will have to say that you do this because of theoretical positionings you take up, and show how these allow you to construct or format your academic text differently. I have been saying that research is actually writing. … I write as I collect and construct data, as I try to make sense of what I am thinking, when I want to contact people as I imagine particular audiences, and when I try to publish. I also write reports when I have to, and overheads for when I think I might forget what I need to say, or when my audience needs to read not just listen. The postmodern comes into all of these writings because it lets me break down the boundaries between being a researcher, being a writer and being a teacher. I feel I am all three all the time.

  You can bring aspects of postmodernity into your case study, your ethnography, and action research, by the way you write about field work. Here, border crossing between genres, bringing in the self as subject, and producing many theories rather than one, are all aspects of postmodernity. Postmodernity also comes in through the themes you focus on. Anything with multiplicity in it (diversity, multianything, plurality) leads towards a postmodern positioning. It is also about uncertainty, about doing things again, and about doing them differently (2005:120-121).

  Walaupun ada perdebatan mengenai bagaimana cara menulis laporan penelitian, termasuk tesis atau disertasi, yakni apakah dengan format konvensional atau posmodernisme (lihat Thody, 2006; Rhedding-Jones, 2005), buku ini mengacu pada saran-saran serta praktek penulisan konvensional, seperti yang disarankan oleh para penulis yang menjadi rujukan buku ini (Rudestam Newton, 1992; Swetnam, 2000; Evans Gruba, 2002; Roberts, 2004; Paltridge

  Stairfield, 2007, dan banyak lagi yang lain yang tidak bisa disebutkan di sini). Pembahasan dalam bab-bab selanjutnya dari buku ini akan memperlihatkan dengan jelas bahwa buku ini mengharapkan penulis tesis dan disertasi menulis dengan kriteria seperti yang ditekankan dalam format konvensional, yakni dengan memperhatikan objektivitas (walaupun menyadari bahwa unsur subjektivitas penulis pasti ada dalam menulis hasil penelitian), kenetralan atau ketidakberpihakan, impersonalitas, melalui penggunaan bahasa dan pemakaian struktur organisasi laporan penelitian atau tesis dan disertasi yang disarankan oleh format konvensional.

  Manfaat penulisan cara konvensional telah dipaparkan oleh Thody (2006), yang mencontohkan bahwa Cobbett pada tahun 1818 menulis petunjuk alternatif konvensi tata bahasa Inggris, yang ditulis dalam bentuk surat kepada anaknya. Buku itu dianggap oleh pembaca sebagai sesuatu yang “more entertaining than many novels...his grammar is unlike any other” (O London, 1924:48, dikutip oleh Thody, 2006:6) atau lebih menghibur daripada novel. Hal ini menunjukkan bahwa, kalau tulisan akademik ditulis dengan cara alternatif, dengan pengaruh postmodernisme, maka tulisan itu akan dianggap sebagai karya sastra yang fungsinya untuk menghibur, bukan untuk memberi informasi atau meyakinkan pembaca tentang argumen yang ditulis dalam buku atau tulisan itu. Thody (2006) juga mencontohkan sebuah buku teks tata bahasa Inggris yang terbit pada tahun 2003 yang berjudul “East shoots and leaves” oleh Lynn Truss. Buku ini ditulis dengan gaya alternatif dan meracik aturan bahasa dengan cara proselytizing (cara untuk menarik orang supaya masuk agama tertentu) yang tidak biasa. Dengan demikian, seperti dilaporkan oleh Thody, buku ini jadi tampak aneh.

  Mengenai cara mana yang lebih bagus, Thody (2006:6) menjelaskan bahwa cara alternatif tidak selamanya tidak bagus. Cara alternatif mungkin saja menghasilkan laporan penelitian yang bagus. Namun demikian, cara alternatif, seperti dalam laporan yang dicontohkannya mengenai asumsi yang mendasari pendidikan di Australia oleh Butts (1955) tidak memberikan contoh kajian pustaka dan metodologi yang tepat dan komprehensif. Penggunaan cara konvensional yang berasal dari ilmu sains, memungkinkan pengambilan data yang diperlukan dalam penelitian, seperti penggunaan survey, wawancara, dan memungkinkan ilmu sosial sebagai ilmu yang teliti dan tepat seperti ilmu sains (Thody, 2006:6).

  Selain manfaat di atas, Thody (2006:8-9) juga memaparkan manfaat lain dari menulis dengan cara konvensional sebagai berikut:

  Landasan pelatihan

  Penguasaan format konvensional telah menjadi hampir sebuah tiket masuk masyarakat akademik dengan “bahan dan kekuatan simbolik yang besar yang menambah kemungkinan hasil karya seseorang diterima dalam jurnal utama dalam bidang itu” (Richardson, 1998:353, dikutip oleh Thody, 2006:8). Menulis tesis atau disertasi dengan format konvensional membantu mahasiswa belajar menulis dan berpikir seperti yang lain, dengan bentuk yang dapat diterima dalam disiplin ilmu mereka (Zeller Farmer, 1999:5, dikutip dalam Thody, 2006:8).

  Salah satu ekspektasi implisit dari program magister, dan khususnya program doktor adalah kita belajar menulis seperti “a scholar” (Glatthorn Joyner, 2005:142-143). Tesis dan terutama Salah satu ekspektasi implisit dari program magister, dan khususnya program doktor adalah kita belajar menulis seperti “a scholar” (Glatthorn Joyner, 2005:142-143). Tesis dan terutama

  Kesederhanaan dan daya perbandingan

  Gaya penulisan saintifik tampaknya mempunyai kejelasan dan logika yang memperlihatkan kemampuan berpikir kritis, analitis dan sintesis, yang merupakan ciri dari seorang akademisi yang handal (Thody, 2006:8). Sementara itu, cara penulisan alternatif dari jenis teks postmodernisme dikritik karena penolakannya terhadap pendekatan saintifik, ekonomi rasional atau keadilan sosial, dan karena bahasanya yang susah difahami (Stevenson, 2003, dikutip oleh Thody, 2006:8). Selain itu, dengan mengutip Richardson (1998:359), Thody (2006:8) juga mengatakan bahwa pilihan cara alternatif dipandang sebagai mempersulit masalah yang berkaitan dengan “authorship, otoritas, kebenaran, validitas dan reliabilitas, …dan semakin besar kebebasan untuk bereksperimen dengan bentuk teks tidak menjamin akan menghasilkan produk yang lebih baik”.

  Penerimaan politis, profesional dan akademis

  Format konvensional menunjukkan atau menyatakan kehormatan yang dibutuhkan oleh pembuat kebijakan.

  Globalisasi

  Dewasa ini pasar temuan atau hasil penelitian bersifat global, dan dengan demikian, penggunaan format yang standar membantu penerimaan internasional karena konvensi menciptakan makna yang telah siap difahami di berbagai budaya (Thody, 2006:9). Seperti telah dikatakan sebelumnya dalam buku ini, format konvensional diibaratkan seperti logo McDonald. Format konvensional, tambah Thody (2006) berorientasi ilmiah dan ketika pembaca membaca laporan penelitian dengan format konvensional, pembaca akan tahu bahwa mereka akan mendapatkan hal Dewasa ini pasar temuan atau hasil penelitian bersifat global, dan dengan demikian, penggunaan format yang standar membantu penerimaan internasional karena konvensi menciptakan makna yang telah siap difahami di berbagai budaya (Thody, 2006:9). Seperti telah dikatakan sebelumnya dalam buku ini, format konvensional diibaratkan seperti logo McDonald. Format konvensional, tambah Thody (2006) berorientasi ilmiah dan ketika pembaca membaca laporan penelitian dengan format konvensional, pembaca akan tahu bahwa mereka akan mendapatkan hal

2. Cara menulis pernyataan atau gagasan

  Dalam memahami tulisan akademik, mahasiswa juga seyogianya berusaha untuk memahami cara menulis pernyataan atau gagasannya (Glatthorn Joyner, 2005). Glatthorn dan Joyner mengemukakan bahwa peneliti atau penulis awal biasanya cenderung menulis pernyataan yang mudah ditentang atau disanggah. Untuk itu, Glatthorn dan Joyner (2005:145) menyarankan bahwa mahasiswa sebaiknya menghindari cara penulisan yang sering dipakai oleh jurnalis. Glatthorn dan Joyner memberi contoh perbedaan tulisan jurnalis dengan akademisi sebagai berikut.

  Jurnalis: “Experts now believe that most large employers will soon be providing child-care services for working

  parents” (2005:145).

  Akademisi: “According to several studies, a large percentage of the companies employing more than 1,000

  employees provide some form of child care for working parents (See for example, the Murphy,

  1997, survey)” (2005:145).

  Menurut Glatthorn dan Joyner, ada tiga cara untuk mengatasi masalah dokumentasi. Cara pertama: Menghindari penulisan yang memerlukan referensi. Bandingkan dua pernyataan berikut:

  1. Schools are more and more getting back to basics. 2. A reading of both professional journals and the popular press during the past few years would suggest

  strongly that many public school administrators and teachers are more and more concerned with what is loosely termed “the basics” (dikutip dari Glatthorn Joyner, 2005: 145).

  Pernyataan pertama, menurut Glatthorn dan Joyner (2005), terbuka untuk ditentang atau disanggah: sekolah mana, berapa banyak, apakah yang dimaksud itu siswa atau orang tua, guru, atau administrator? Bukti apa yang kita miliki? Apa yang dimaksud dengan basics? Pernyataan ini membutuhkan dokumentasi yang hati-hati atau revisi yang banyak.

  Pernyataan kedua dianggap lebih baik, karena beberapa alasan sebagai berikut:

  Lebih hati-hati dan lebih spesifik membuat pernyataan umum mengenai bagaimana

  publikasi populer dan profesional mengamati masalah; Pernyataan itu memberi spesifikasi seperti administrator dan teachers ketimbang

  pernyataan

  ”

  “school” yang kurang jelas; Menggunakan kata seperti would suggest dan many untuk menunjukkan tentativeness; Mengakui bahwa ada banyak ketidakjelasan dalam istilah “the basics”.

  Pernyataan kedua memang menggunakan banyak kata, tetapi merupakan pernyataan yang bisa dipertahankan dengan cara yang tidak memerlukan dokumentasi.

  Cara kedua adalah dengan memasukkan bukti dalam teks untuk mendukung argumen. Contoh:

  There has been in recent years increased interest in cooperative learning among researchers and practitioners. A survey of the entries in Current Index to Journals in Education for years 1985-1995 indicates that … . (dikutip dari Glatthorn Joyner, 2005:146).

  Dalam pernyataan ini penulis memberikan bukti secara langsung, dengan menulis fakta yang mendukung pernyataan umum.

  Cara yang ketiga, dan yang paling umum adalah mengutip sumber lain yang memberi bukti. Kita memberikan referensi kepada pembaca yang memberi dukungan terhadap pernyataan yang kita buat. Misalnya:

  Several years ago, researchers turned their attention to interactive and recursive models of composing process. (See for example, Graves, 1985; Applebee, 1987).

  Selain itu, di dalam mengidentifikasi sumber pustaka, Glatthorn dan Joyner (2005:147) menyarankan beberapa cara seperti contoh di bawah ini:

  According to Paltridge Stairfield (2007), the role of supervisors is very important in…

  . Paltridge Stairfield (2007) concludedsuggestedpointed out that … .

  In the 1998 study by Walker … Several studies conclude that parents are generally satisfied with the charter school their

  children attended (See for example, Jones, 1996; King, 1990; and Walker, 1998). Parents reported a high level of satisfaction, with the charter schools their children

  attended to (Walker, 1998). (Lihat juga saran dari Johnson, 2003; Clare, 2003; dan Paltridge Stairfield, 2007mengenai cara mengutip sumber).

  Tulisan akademik juga bisa dilihat dari bentuk dan fungsinya. Menurut Johnson (2003:32) jenis tulisan yang dipakai dalam seting akademik berbeda dengan tulisan kreatif dalam bentuk maupun tujuannya. Tujuan tulisan kreatif adalah untuk berkomunikasi secara metaforik, mengeluarkan imajinasi dan emosi. Jenis tulisan ini mempunyai banyak bentuk dan biasanya lebih panjang, dan sering mengandung dialog. Di sini penulis bisa memasukkan pandangan atau emosinya.

  Sebaliknya tulisan akademik digunakan untuk mengkomunikasikan gagasan. Tulisan ini lebih formal, menggunakan struktur untuk menyatakan gagasannya, jarang mengandung dialog dan bersifat objektif (Johnson, 2003:31). Namun demikian, menurut Evans dan Gruba (2002), tulisan akademik juga merupakan kombinansi antara tulisan rasional dan kreatif. Kalau tidak merupakan kombinasi rasional dan kreatif, menurut Evans dan Gruba (2002:10-11) tidak akan pernah ada tulisan akdemik.

  Susunan organisasi laporan penelitian bisa berbeda, tetapi elemen-elemen atau unsur-unsurnya tetap sama, apakah penelitian yang dilaporkan itu penelitian bidang ilmu alam, ilmu alam terapan dalam bidang kedokteran, dalam bidang teknik atau ilmu sosial. Dalam ilmu sastra dan hukum, Susunan organisasi laporan penelitian bisa berbeda, tetapi elemen-elemen atau unsur-unsurnya tetap sama, apakah penelitian yang dilaporkan itu penelitian bidang ilmu alam, ilmu alam terapan dalam bidang kedokteran, dalam bidang teknik atau ilmu sosial. Dalam ilmu sastra dan hukum,

  Semua format utama mempunyai konvensi yang disusun dengan baik untuk bahasa maupun gayanya, seperti dapat dilihat dalam pedoman penulisan akademik yang dirilis oleh American Psychological Association (APA), Modern Language Associasion (MLA), Modern Humanities Research Association (MHRA) dan untuk hukum Amerika, the Blue book (Bluebook, 2000) (lihat juga Glatthorn Joyner, 2005:24-25, tentang keuntungan atau manfaat melihat manual gaya penulisan teks akademik).

3. Cara menulis paragraf

  Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penulisan akademik adalah menulis paragraf (Barras, 2002; Burton, 2002; Roberts, 2004; Glatthorn Joyner, 2005). Penulisan paragraf sangat penting dalam meningkatkan keterbacaan tulisan. Panjang pendeknya paragraf memang merupakan masalah format dan pembaca.

  Tulisan untuk pembaca ahli, seperti buku teks cenderung menggunakan paragraf yang panjang, kecuali untuk pembaca awal. Namun, tulisan untuk pembaca awal cenderung menggunakan paragraf pendek. Paragraf yang terlalu panjang membuat tulisan tampak lebih sulit dan paragraf yang pendek tampak lebih mudah dibaca (Hartley, 1997:98; Glatthorn Joyner, 2005:147, Barras, 2002:44; lihat juga saran Burton, 2002 dan Roberts, 2004 tentang pembahasan yang sama).

  Paragraf yang pendek membuat komunikasi dengan pembaca juga lebih efektif (Barras, 2002:44). Namun demikian, menurut Barras (2002) paragraf merupakan kesatuan gagasan, bisa hanya satu gagasan atau beberapa gagasaan yang sangat berkaitan. Jadi, panjang paragraf tentu sangat beragam, tergantung dari gagasan yang dikemukakan (lihat juga Hartley, 1997:98).

  Selain faktor format dan pembaca, menurut Glatthorn dan Joyner (2005), penulisan paragraf juga sangat penting dalam membagi gagasan. Buku teks mengenai menulis biasanya menyarankan bahwa dalam satu paragraf hanya ada satu gagasan (lihat juga Oshima Hogue, 1999; Roberts, 2004:102). Dalam tesis atau disertasi, aturan yang perlu diperhatikan, menurut Glatthorn dan Joyner (2005:147) adalah bahwa dalam satu paragraf hanya terdiri dari 100-150 kata. Paragraf yang terlalu pendek akan memberi kesan kurang matang, paragraf terlalu panjang tidak menarik pembaca (lihat juga pembahasan mengenai paragraf dalam Roberts, 2004:102).

  Selain itu, Glatthorn dan Joyner dan Roberts juga menyarankan bahwa paragraf dalam tulisan akademik cenderung bergerak dari yang umum ke khusus. Paragraf sebaiknya dimulai dengan pernyataan umum dan kemudian ke pernyataan khusus untuk mengembangkan dan mendukung pernyataan umum itu. Dengan mengikuti Murray (1995:205), Roberts (2004:102) memberikan saran dalam mengembangkan paragraf yang sebenarnya saran yang sudah lama, yakni: metode CUE, yang merupakan singkatan dari:

  Coherence: Satu pernyataan harus secara logika menggiring pernyataan lain Unity: Semua aspek dalam paragraf harus tentang satu hal. Emphasis: Gagasan utama dari paragraf harus jelas (Roberts, 2004:102).

  Saran lain dalam penulisan paragraf dari Roberts (2004:106) yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita sebaiknya tidak memulai kalimat dengan kutipan, yang diikuti dengan kata-kata kita.

  Lebih baik, kita memulai kalimat dengan kata-kata kita, kemudian didukung dengan kutipan atau pernyataan yang diparafrase.

4. Penggunaan kalimat aktif dan pasif

  Penggunaan kalimat aktif mengurangi jumlah kata dan membuat tulisan kita lebih kuat dan menarik (Roberts, 2004:103; Kamler Thomson, 2006:133-136). Kalimat pasif, tambah Roberts, lebih formal dan lebih diterima dalam tulisan ilmiah karena penulis bisa menulis tanpa menggunakan kata ganti atau nama peneliti tertentu. Kalimat pasif juga, menurut Roberts, mewakili cara konvensional untuk laporan yang tidak personal dan memberikan kesan objektivitas pada tulisan.

  Menurut Roberts (2004) kalimat pasif dapat memberi efek yang baik dalam beberapa hal:

  1. Mengurangai tanggung jawab terhadap apa yang dikatakan. Daripada mengatakan: “I made an error” (Saya membuat kesalahan) lebih baik menulis: “An error was made” (Kesalahan dibuat).

  2. Mengurangi penekanan pada penulis: Daripada mengatakan: “I recommend”, lebih baik “It is recommended that …”.

  3. Kalau pelaku dari tindakan tidak diketahui atau tidak relevan.

  Contoh: “A house was broken into in Main Road.” “Office mail is delivered twice a day.”

  Namun demikian, penggunaan kalimat pasif yang terlalu banyak di setiap halaman, menurut Kamler dan Thomson (2006:134), akan membuat tulisan kita membosankan. Kamler and

  Thomson (2006:133-136) menegaskan bahwa saran agar kalimat aktif atau kalimat pasif yang harus dipakai dalam menulis tesis atau disertasi merupakan saran yang kurang tepat. Menurut Kamler dan Thomson, kedua-duanya diperlukan dalam menulis tesis dan disertasi. Kalimat aktif dan kalimat pasif diperlukan dalam membahas temuan penelitian. Keduanya, baik kalimat pasif maupun aktif, tambah Kamler dan Thomson, mempunyai tujuan dan dampak. Keputusan penggunaan kalimat aktif dan pasif sangat berkaitan dengan bagaimana penulis mengungkapkan argumennya supaya mengalir dengan baik. Kamler dan Thomson memberikan tiga contoh kalimat di bawah ini yang membahas isu tentang men‟s health.

  The economics of the family are adversely affected by male health problems. Illness among men often diminishes work productivity. When men become disabled or die, family income is usually reduced, often in the face of additional health care expense (Kamler Thomson, 2006:134).

  Menurut Kamler and Thomson, kalimat pertama dari ketiga kalimat di atas bisa diubah ke dalam kalimat aktif supaya lebih powerful, sehingga kalimat itu akan berbunyi seperti ini.

  Men health problems adversely affected the economics of the family. Illness among men often diminishes work productivity. When men become disabled or die, family income is usually reduced, often in the face of additional health care expense (Kamler Thomson, 2006:134).

  Kalau dilihat dari sistem Tema seperti yang dikembangkan oleh Halliday (1985a, 1994a,b,c; Halliday Mathiessen, 2004), dengan mengubah kalimat pasif ke dalam kalimat aktif dalam ekstrak di atas, maka kita mengubah Tema dari kalimat itu juga. Sebelum kalimat pertama diubah ke dalam kalimat aktif, Tema dari dua kalimat pertama dari kutipan di atas kurang

  berhubungan satu dengan yang lain, yakni: The economics of the family dan Illness among men

  sehingga koheresinya kurang. Namun, setelah kalimat pertama diubah ke dalam kalimat aktif, maka kedua kalimat pertama dari kutipan itu mempunyai Tema yang hampir sama, yakni Men health problems dan Illness among men. Hal ini, tambah Kamler dan Thomson, membuat teks menjadi lebih koheren.

  Jadi, penggunaan kalimat pasif dan aktif sangat tergantung dari konteks serta tujuan penulis dalam mengemukakan argumennya. Mungkin ada baiknya bahwa kita sebagai penulis menggunakan kalimat aktif dan pasif secara seimbang, sesuai dengan kebutuhannya, seperti yang disarankan oleh Kamler dan Thomson di atas.

  Selain beberapa hal di atas, ada pula yang perlu diperhatikan dalam tulisan akademik, yakni menghindari penggunaan contraction, seperti can‟t, don‟t, aren‟t, haven‟t, they‟ve, I‟ll, they‟ll dan sebagainya (lihat Thomas Brubaker, 2000: Burton, 2002),

  Pengetahuan mahasiswa mengenai ekspektasi pembaca penutur asli bahasa Inggris (dan masyarakat ilmiah pada umumnya) ketika membaca karya tulis serta pengetahuan eksplisit mengenai struktur skematik serta ciri linguistik karangan ilmiah akan mendorong kesadaran mahasiswa akan apa yang harus ditulis atau dilakukan ketika menulis tesis atau karya tulis ilmiah dalam bahasa Inggris (juga bahasa lain, khususnya bahasa Indonesia) sehingga tesis atau karya tulis ilmiah itu dapat diterima di kalangan komunitas wacana, atau discourse community (Swales, 1990,a.b; Berkenkotter Huckin, 1995) yang relevan dengan bidang yang dikajinya, khususnya komunitas bahasa Inggris.

  Berkaitan dengan gaya tulisan akademik, ada beberapa cara atau pedoman yang bisa dipakai. Di antaranya adalah:

  APA (American Psychological Association) MLA (Modern Language Association) CSE (Council of Science Educator)

  Masing-masing contoh makalah yang ditulis dalam gaya ini bisa dilihat dalam buku yang ditulis oleh Rodrigues dan Rodrigues (2003) yang berjudul: The research paper: Guide to Library and Internet Research.

Menganalisis tesis dan disertasi yang sudah lulus

  Setelah menilai berbagai aspek mengenai penelitian yang akan dilakukan, dan memahami gaya penulisan tesis dan disertasi, sekarang saatnya untuk melihat bagaimana cara atau gaya penulisan itu diaplikasikan dalam tesis atau disertasi yang sudah lulus atau sudah ditulis oleh penulis tesis dan disertasi lain. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat contoh tesis dan disertasi yang ada, terutama tesis dan disertasi dalam bidang yang sama dan sebaiknya “dilakukan sejak program magister atau doktor dimulai, dengan membaca setiap bab dari tesis yang ada selama mengikuti perkuliahan” (Brause, 2000:30).

  Manfaat melihat dan menganalisis tesis atau disertasi yang sudah jadi sangat besar bagi calon penulis tesis atau disertasi (Phillips Pugh, 1994; Paltridge Stairfield, 2007, lihat juga Swetnam 2000; Thomas, 2000; Roberts, 2004; Evans Gruba, 2005) karena tesis dan disertasi yang dibaca bisa dijadikan model dalam menulis tesis atau disertasi yang akan ditulis dan memberikan gambaran mengenai cakupan penelitian dan “the size” (Thomas, 2000:27) dari tesis atau disertasi untuk program yang sama.

  Para penulis seperti Swetnam (2000), Hamilton dan Clare (2003a), Roberts (2004), Paltridge dan Stairfield (2007), menyarankan untuk memilih tesis yang topiknya hampir sama dengan topik penelitian yang akan dilakukannya. Selain itu beberapa penulis juga menyarankan mahasiswa Para penulis seperti Swetnam (2000), Hamilton dan Clare (2003a), Roberts (2004), Paltridge dan Stairfield (2007), menyarankan untuk memilih tesis yang topiknya hampir sama dengan topik penelitian yang akan dilakukannya. Selain itu beberapa penulis juga menyarankan mahasiswa

  Namun demikian, dalam memilih tesis atau disertasi yang dianalisis, Evans dan Gruba (2005) menyarankan bahwa sebaiknya mahasiswa melihat contoh atau tesis dalam berbagai displin dan yang mutakhir. Karena metode presentasi laporan penelitian telah berkembang dengan cepat, Evans dan Gruba menyarankan mahasiswa sebaiknya berusaha untuk mendapatkan tesis yang mutakhir, tidak lebih dari tiga tahun umurnya.

  Walaupun saran dari Evans dan Gruba (2002) ini mungkin bisa diterima dalam hal teknologi penulisan tesis, namun dalam hal isi tesis yang mungkin relevan dengan penelitian yang kita lakukan, saran ini mungkin tidak selamanya tepat. Sebabnya adalah, seperti yang akan dipaparkan dalam bab mengenai penulisan kajian pustaka nanti, tidak ada ketentuan tahun berapa materi atau sumber yang harus kita baca untuk penulisan tesis dan disertasi. Banyak buku yang ditulis berpuluh-puluh tahun yang lalu, seperti buku yang ditulis oleh Halliday, misalnya, dalam systemic functional linguistics, masih tetap relevan dan dikutip oleh banyak penulis. Selain itu, buku tentang terjemahan, misalnya, yang ditulis oleh Tytler tahun 1912, masih juga dikutip oleh para penulis tentang terjemahan. Jadi, masalah umur tesis, dalam hal isi, mungkin sebaiknya tidak perlu dibatasi, karena mungkin tesis yang sudah lama memberikan informasi dasar tentang teori yang kita pakai dalam penelitian kita. Jadi, tahun berapa tesis yang akan kita baca, sangat tergantung pada kebutuhan.

  Selain itu, menurut Evans dan Gruba (2005) mahasiswa juga sebaiknya menganalisis penelitian campuran kualitatif dan kuantitatif. Kemudian, setelah kita menemukan beberapa tesis, pilih salah satu yang tampaknya koheren, dan satu yang jelas, dan kalau memungkinkan, mintalah pembimbing untuk membahasnya bersama-sama tentang apa kelebihan dan kekurangan dari tesis itu (Evans Gruba, 2002:7).

  Ketika kita melihat tesis, Evans dan Gruba (2005:7) juga menyarankan beberapa hal di bawah ini:

  1. Melihat apakah daftar isi memberi kita ide yang jelas mengenai struktur tesis secara keseluruhan.

  2. Membaca secara sekilas bab pendahuluan, kemudian kesimpulan, dan referensi. Kemudian membaca pendahuluan dengan teliti dan membaca kesimpulan untuk melihat apakah tesis itu berkesinambungan. Mungkin kita akan terkejut melihat bahwa beberapa tesis gagal untuk membuat hubungan antara pendahuluan dan kesimpulan.

  Cara ini juga disarankan oleh Pearce (2005) kepada penguji tesis atau disertasi sebelum mereka membaca setiap bab secara rinci. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau para pembimbing menekankan signifikansi menulis pendahuluan dan kesimpulan yang bagus, karena kedua bab ini akan dibaca pertama kali dan akan menentukan kesan sekilas dari pembaca tentang tesis atau disertasi itu. Para pembimbing di Australia, seperti di Melbourne University misalnya, selalu mengingatkan bahwa mahasiswa penulis tesis atau disertasi jangan sampai membuat kesalahan pada bab pendahuluan atau kesimpulan.

  3. Ketika kita melihat kesalahan yang dibuat oleh orang lain, maka kita sebaiknya berhati-hati jangan sampai membuat kesalahan yang sama (Evans Gruba, 2002:7). Ini berarti, ketika membaca tesis atau disertasi, kita seyogianya tidak “take for granted” bahwa tesis yang dibaca itu bagus karena penulis sudah lulus. Walaupun tesis itu sudah lulus, kita harus ingat bahwa tesis yang dinyatakan lulus itu ada yang bagus ada juga yang mungkin kurang bagus, walaupun memenuhi kriteria yang ditentukan oleh universitas. Dengan demikian, kita sebagai pembaca tesis atau disertasi yang sudah lulus dituntut untuk kritis ketika membaca tesis atau disertasi, dengan melihat kelebihan dan kekurangan tesis atau disertasi yang dibaca. Dengan bekal pengetahuan mengenai cara penulisan teks akademik, kita akan bisa melihat kelebihan dan kelemahan tesis atau disertasi yang kita baca.

  Ketika kita membaca tesis atau disertasi, menurut Evans dan Gruba (2002:7) mungkin kita akan terkesan dengan beberapa hal yang baik dalam tesis itu, misalnya lay out atau tata letak yang bagus, cara inovatif dalam memaparkan materi dalam grafik, tabel atau integrasi yang baik dari bahan-bahan yang tersedia secara online. Kita sebaiknya melihat hal-hal yang membuat kita terkesan dan mencatatnya untuk kemudian dipakai dalam tesis yang akan kita tulis. Kita juga sebaiknya tidak hanya melihat isi, tetapi juga melihat bagaimana tesis itu disusun. Misalnya, harus melihat bagaimana setiap bab ditulis, berapa panjang, bagaimana sub-heading dalam setiap bab menggambarkan isi, menghubungkan antara paradigma, data dan bentuk bahasa yang dipakai, dan sebagainya (Hamilton Clare, 2003a:23). Mahasiswa, tegas Hamilton dan Clare, sebaiknya melihat struktur makro yang umum dipakai dalam tesis yang akan ditulisnya, Ketika kita membaca tesis atau disertasi, menurut Evans dan Gruba (2002:7) mungkin kita akan terkesan dengan beberapa hal yang baik dalam tesis itu, misalnya lay out atau tata letak yang bagus, cara inovatif dalam memaparkan materi dalam grafik, tabel atau integrasi yang baik dari bahan-bahan yang tersedia secara online. Kita sebaiknya melihat hal-hal yang membuat kita terkesan dan mencatatnya untuk kemudian dipakai dalam tesis yang akan kita tulis. Kita juga sebaiknya tidak hanya melihat isi, tetapi juga melihat bagaimana tesis itu disusun. Misalnya, harus melihat bagaimana setiap bab ditulis, berapa panjang, bagaimana sub-heading dalam setiap bab menggambarkan isi, menghubungkan antara paradigma, data dan bentuk bahasa yang dipakai, dan sebagainya (Hamilton Clare, 2003a:23). Mahasiswa, tegas Hamilton dan Clare, sebaiknya melihat struktur makro yang umum dipakai dalam tesis yang akan ditulisnya,

  Contoh struktur tesis yang dibaca oleh mahasiswa tidak hanya bisa memberi tuntunan atau petunjuk terhadap bentuk konvensional teks (Dudley-Evans, 1997, dikutip dalam Paltridge Stairfield, 2007:77) tetapi juga memberikan petunjuk yang sangat bermanfaat mengenai status pengetahuan mengenai bidang yang dikajinya (valuable clues to the status of knowledge in the field‟) (Charney Carlson, 1995:117, dikutip oleh Paltridge Stairfield, 2007:77).

  Selain itu, manfaat dari melihat contoh tesis yang tidak kalah penting dari manfaat di atas adalah seperti yang dikatakan oleh Swetnam (2000), yakni:

  Melihat contoh tesis yang sudah ditulis oleh orang lain dapat memberi semangat dan menimbulkan percaya diri kepada kita bahwa kita bisa melakukan atau membuat sesuatu yang lebih baik daripada mereka yang tesis atau disertasinya sudah dinyatakan lulus! (2000:15).

  Melihat disertasi yang ada juga dapat merupakan salah satu cara efektif untuk belajar terrain (bidang kajian) disertasi atau tesis. Hal ini bisa membantu memahami format dan gaya dari tesis atau disertasi yang diterima.

  Tesis atau disertasi yang telah dibuat oleh para alumni yang dapat dilihat oleh mahasiswa biasanya tersedia di perpustakaan fakultas atau di perpustakaan pusat universitas. Tesis atau disertasi biasanya tersedia juga di program studi dan lebih mudah didapat daripada yang disimpan di perpustakaan pusat.

Menyiasati istilah “Writing Up” dalam penelitian

  Salah satu kendala yang paling besar bagi mahasiswa dalam menulis tesis atau disertasi adalah istilah “writing up” (Kamler Thomson, 2006; Paltridge Stairfield, 2007) yang mengakibatkan mahasiswa menunda menulis sampai penelitian dianggap selesai.

  Seperti telah dikemukakan sebelumnya dalam buku ini (lihat juga Emilia, 2008), kita sebagai peneliti sebaiknya melihat menulis sebagai bagian integral dari proses penelitian dan dengan demikian menulis sejak awal proses penelitian yang kita lakukan, “apakah melalui catatan dan refleksi, melalui catatan harian, melalui draft awal kajian pustaka”, seperti yang dikatakan oleh Paltridge dan Stairfield (2007:45, lihat juga Swetnam, 2000; Wolcott, 2001; Evans Gruba, 2002: 24-34; Rhedding-Jones, 2005; Kamler Thomson, 2006) tentang pentingnya menulis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian dan pentingnya menulis draft setiap bab sejak awal, walaupun ada kemungkian draft itu akan direvisi.

  Kata writing up sebaiknya tidak dianggap sebagai tahap menulis tesis dari awal, melainkan sebagai tahap untuk merapikan atau “tidying-up” (Swetnam, 2000:81), ketika tesis atau disertasi yang selama ini sudah ditulis akan sampai pada bentuk akhir dengan format yang benar. Untuk pemakai bahasa Inggris sebagai bahasa asing, seperti mahasiswa yang belajar bahasa Inggris di Indonesia, hal ini sangat penting karena keterampilan menulis diperoleh secara bertahap seiring dengan berjalannya waktu dan bahasa terus berkembang secara bertahap.

  Mahasiswa sering mengatakan “Saya belum mulai menulis, saya masih mengumpulkan data atau ... apa saja” (Roberts, 2004). Padahal seharusnya menulis itu bagian integral penelitian, dan Mahasiswa sering mengatakan “Saya belum mulai menulis, saya masih mengumpulkan data atau ... apa saja” (Roberts, 2004). Padahal seharusnya menulis itu bagian integral penelitian, dan

  

  Ketika kita mulai menelaah teori yang mendasari penelitian kita, kita harus sudah bisa mendefinisikan topik kita dengan lebih teliti dan membatasi topik itu. Kita seharusnya sudah bisa menemukan apa yang merupakan pertanyaan yang belum terjawab, mulai bisa menentukan hipotesa dan metodologi untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab itu. Melalui proses ini, kita akan segera bisa menulis struktur organisasi tesis – Table of Contents sementara.

  Melalui proses ini, tanpa disadari, kita tidak hanya telah mulai penelitian, tetapi juga mulai menulis. Evans dan Gruba (2002) menyatakan tiga manfaat yang bisa didapat ketika penelitian dan menulis berjalan secara simultan. Manfaat itu digambarkan sebagai berikut:

  When research and writing go on simultaneously, there are three potential benefits. … (First) arguing out your ideas in writing will help you to think more constructively about them. It will help you to identify the process that enabled you to reach these insights, and you will know that you will have to bring them out in your reviews of existing theory or practice. All of this should lead to sharper research questions or hypotheses and better design of your research program. The second benefit is that if you start to write it at an early stage you will be well into your writing before you have done your own surveys or experiments. Therefore, … you will not be faced with the formidable task of “getting started” on your writing when you have all but finished your research because you will have started long ago. You will be getting valuable feedback on your ideas and writing throughout your candidature. The third benefit is that it will help you to give shape to your project, including the thesis that reports on it, at an early stage (Evans Gruba, 2002:20).

  Supaya proses menulis dan penelitian bisa berjalan secara simultan, Evans dan Gruba (2002) juga menyarankan untuk melakukan beberapa hal berikut.

  1. Menulis draft pendahuluan. Berkaitan dengan penulisan pendahuluan, seperti yang akan diterangkan dalam Bab Tujuh mengenai menulis pendahuluan, ada dua pendapat, yakni, pendapat yang menggangap pendahuluan sebaiknya ditulis di akhir danpendapat sebaliknya bahwa pendahuluan sebaiknya ditulis di awal, tetapi kemudian direvisi lagi di akhir. Mayoritas penulis (lihat Rudestam Newton, 1992; Thomas Brubaker, 2000; Roberts, 2004; Calabrese, 2006; Kamler Thomson, 2006; Paltridge Stairfield, 2007, dan banyak lagi penulis lain yang tidak bisa disebutkan di sini) mendukung pendapat yang kedua. Kita sebaiknya menulis pernyataan masalah, tujuan dan cakupan penelitian, serta tahap-tahap yang akan dilalui untuk mencapai tujuan itu. Kita mungkin belum yakin ketika menulis pendahuluan ini, karena kita mengira pendahuluan tesis atau disertasi akan dimodifikasi lagi nanti setelah penelitian atau pekerjaan kita selesai. Tetapi hal ini jangan menghambat kita untuk menulis “draft” pendahuluan. Yang harus kita lakukan adalah mulai menulis.

  2. Ketika kita telah membaca pustaka dan menulis tulisan mengenai setiap topik yang akan dibahas, kita akan mengetahui lebih banyak tentang penelitian kita, dan mungkin akan mengubah tujuan penelitian kita. Kita akan mempunyai gagasan yang jauh lebih baik tentang bagaimana membatasi gagasan kita. Tulisan yang kita tulis tidak akan terbuang, pasti akan banyak dipakai dalam tesis atau disertasi, walaupun pasti kita akan perlu merevisi atau mengubahnya.

  Dalam hal prinsip atau kebiasaan menulis tesis setelah melakukan penelitian, yang umumnya dipegang oleh para pembimbing, terutama dalam eksperimental sciences, Evans dan Gruba mengatakan bahwa kebiasaan ini “die hard” (2002:23) di antara para pembimbing. Beberapa Dalam hal prinsip atau kebiasaan menulis tesis setelah melakukan penelitian, yang umumnya dipegang oleh para pembimbing, terutama dalam eksperimental sciences, Evans dan Gruba mengatakan bahwa kebiasaan ini “die hard” (2002:23) di antara para pembimbing. Beberapa

  Namun demikian, Evans dan Gruba juga memperingatkan bahwa kita jangan sampai tidak “persistent” atau teguh pendirian dan mulai lagi-mulai lagi dengan topik yang berlainan (2002:

  25-27). Evans dan Gruba menulis tentang mahasiswa yang selalu mengubah topik penelitiannya sebagai berikut:

  They start an introduction, look at it, and then start writing another introduction! They get caught in a seemingly endless cycle of starting and restarting, each time thinking that they must get this right before they can do anything. It is at this point that they often come for help (2002:27).

  Evans dan Gruba (2002: 2-3) menyarankan bahwa kita bisa memulai menulis dengan cara membaca topik yang akan diteliti, setelah itu tulisan awal biasanya berisi tentang ulasan dari hasil karya yang ada dalam topik yang akan ditulis. Evans dan Gruba juga menyarankan bahwa kita sebaiknya tidak membaca kumpulan abstrak mengenai topik yang akan dibahas atau kronologi tentang perkembangan teori dari topik yang akan dibahas. Kedua aktivitas ini, menurut Evans dan Gruba, tidak akan mengarahkan kita kepada mempresentasikan “state of the art” dalam topik yang kita teliti (istilah State of the art dalam penulisan tesis dan disertasi akan dibahas lebih lanjut dalam Bab Delapan mengenai menulis kajian pustaka).

  Selain itu peringatan dari Kamler dan Thomson (2006) mengenai kata writing up dalam penulisan disertasi (yang juga relevan dengan penulisan tesis) tampaknya perlu juga diperhatikan Selain itu peringatan dari Kamler dan Thomson (2006) mengenai kata writing up dalam penulisan disertasi (yang juga relevan dengan penulisan tesis) tampaknya perlu juga diperhatikan

  1. Kata Writing up mengaburkan fakta bahwa menulis tesis dan apalagi disertasi doktor merupakan proses berpikir. Menulis bertujuan untuk mengetahui apa yang kita pikirkan.

  2. Kata Writing up mengaburkan fakta bahwa menghasilkan tulisan yang berbetuk tesis dan disertasi merupakan kerja keras.

  3. Writing up mengaburkan fakta bahwa penulisan disertasi doktor tidak transparan. Dalam hal ini Kamler dan Thomson (2006:4) menegaskan bahwa peneliti tidak hanya menulis “the truth” atau kebenaran saja, dan bahasa bukan medium transparan sebagai alat untuk menggambarkan dan mengkomunikasikan temuan. Fakta juga bukan sesuatu yang sudah tersedia, menunggu peneliti. Apa yang diciptakan oleh proses menulis merupakan representasi tertentu dari sebuah kenyataan. Data diproduksi dalam proses menulis, dan bukan ditemukan. Dan data itu, serta teks yang selanjutnya ditulis dibentuk dan dibuat oleh peneliti melalui seleksi berkali-kali tentang apa yang harus dimasukkan dan tidak dimasukkan, pertimbangan ke depan dan ke belekang, dikutip dan tidak dikutip. Pilihan- pilihan ini, tambah Kamler dan Thomson, sering mempunyai dimensi etika dan menimbulkan isu yang membutuhkan perhatian secara sadar dari penulis tesis atau disertasi. Masalah ini, tegas Kamler dan Thomson, tidak bisa dibayangkan dalam istilah sederhana dan netral seperti “writing up”. Tulisan yang baik, seperti dikatakan oleh Joseph (1999:101) memerlukan kesabaran, disiplin dan latihan serta ditulis berkali-kali yang memerlukan waktu yang lama.