83 antara 10-40 unit anhidroglukosa sehingga pada saat retrogradasi akan dihasilkan
peningkatan RS3 yang cukup tinggi Jacobash et al. 2006
Gambar 32 . Perubahan kadar pati resisten pati garut sebagai akibat penga-
ruh suhu pemanasan awal sebelum proses siklus autoclaving- cooling
. Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata
α=0,05 Berdasarkan hasil analisis kadar amilosa, daya cerna pati in vitro, kadar gula
pereduksi dan kadar pati resisten sebagaimana dijelaskan di atas, maka pemanasan awal suspensi pati garut pada suhu 80
o
C selama 5 menit sebelum proses auto- claving-cooling
sudah memadai untuk menggelatinisasi pati dan menghasilkan pasta pati yang homogen, sehingga perlakuan tersebut dipilih pada tahap peneli-
tian selanjutnya.
4.2.1.2. Penentuan Waktu Autoclaving dan Jumlah Siklus Autoclaving-
cooling
Pada tahap penelitian ini, pati garut diberi perlakuan autoclaving-cooling dengan siklus yang berbeda 1, 3 dan 5 siklus dan waktu pemanasan di dalam
otoklaf selama 15 dan 30 menit. Parameter yang digunakan untuk menentukan kondisi terpilih adalah daya cerna pati in vitro dan kadar pati resisten.
2,12
d
42,68
a
11,71
c
12,44
b
5 10
15 20
25 30
35 40
45
Pati alami Nevolose
80 90
Pati Resisten
Pemanasan Awal
o
C
84
a Daya cerna pati in vitro
Gambar 33 memperlihatkan pengaruh jumlah siklus autoclaving-cooling
dan waktu autoclaving terhadap daya cerna pati garut. Daya cerna pati garut yang diproses dengan 1 siklus autoclaving-cooling lebih tinggi dibandingkan dengan 3
dan 5 siklus, baik yang dipanaskan dalam otoklaf selama 15 menit maupun 30 menit. Pati garut yang diproses dengan 5 siklus autoclaving-cooling memiliki
daya cerna pati paling rendah yang mengindikasikan kandungan pati resisten yang paling tinggi. Siklus autoclaving-cooling yang lebih banyak dapat menyebabkan
terjadinya depolimerisasi amilosa atau amilopektin rantai terluar di bagian kris- talin Mahadevamma et al. 2003 dan Shin et al. 2004.
Gambar 33. Daya cerna pati garut sebagai akibat pengaruh waktu auto-
claving danjumlah siklus autoclaving-cooling. Angka pada
histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan ber- beda nyata
α=0,05
Gambar 33 juga memperlihatkan bahwa proses autoclaving-cooling dengan
waktu pemanasan selama 30 menit memberikan nilai daya cerna pati lebih besar dibandingkan yang diberi perlakuan pemanasan selama 15 menit. Proses auto-
claving yang semakin lama menyebabkan semakin banyak molekul amilosa dan
amilopektin yang terhidrolisis menjadi molekul-molekul sakarida yang lebih kecil. Sebagai akibatnya, pati menjadi lebih mudah dicerna yang diindikasikan
dari peningkatan nilai daya cernanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Lehmann et
70,81
c
80,02
b
84,35
a
48,44
e
62,08
d
28,35
g
33,01
f
20 40
60 80
100
Pati Alami 15
30
Day a
Cerna
Perlakuan Siklus Autoclaving
1 siklus 3 siklus
5 siklus
85 al.
2003, molekul kecil dengan derajat polimerisasi DP kurang dari 10 dapat menghambat proses pembentukan pati resisten sehingga pati lebih mudah dicerna.
Berdasarkan analisis sidik ragam, daya cerna pati garut yang diberi perla- kuan 5 siklus autoclaving-cooling dengan waktu pemanasan selama 30 menit
berbeda nyata p0,05 dengan yang dipanaskan selama 15 menit dengan jumlah siklus yang sama. Namun, daya cerna pati yang dipanaskan selama 30 menit lebih
tinggi dibandingkan dengan yang dipanaskan selama 15 menit Gambar 33.
Dalam tahap analisis pati resisten, kondisi yang dipilih adalah proses auto- claving-cooling
dengan 5 siklus dengan waktu pemanasan selama 15 menit. Perla- kuan dengan 3 siklus autoclaving-cooling dengan waktu pemanasan 15 menit juga
dipilih. Hal ini karena jumlah siklus yang lebih sedikit dan waktu pemanasan lebih singkat juga perlu dipertimbangkan untuk efisiensi proses pem-buatan RS3.
Pati garut yang diproses dengan kondisi terpilih tersebut kemudian dianalisis kadar pati resistennya.
b Kadar pati resisten
Gambar 34
membandingkan kadar pati resisten pati garut alami dan yang dimodifikasi dengan autoclaving-cooling sebanyak 3 dan 5 siklus dengan waktu
pemanasan 15 menit. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pati garut alami memiliki kadar pati resisten RS2 yang relatif rendah, yaitu sebesar 2,12. Pati
garut yang diberi perlakuan 3 dan 5 siklus autoclaving-cooling dengan waktu pemanasan selama 15 menit mengalami peningkatan kadar pati resisten yang
cukup tinggi, yaitu berturut-turut 10,12 dan 12,15. Kadar pati resisten dari perlakuan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pati kentang 5,6 dan pati
ubi jalar yang diberi perlakuan autoclaving-cooling sebanyak 5 siklus dengan waktu pemanasan 60 menit 5,4 Shin et al. 2004.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Kim dan Kwak 2009 pada pati jagung. Pati jagung yang diberi perlakuan
dengan autoclaving-cooling sebanyak 2 siklus pada suhu otoklaf 120
o
C memiliki kadar RS3 sebesar 10,85, dan meningkat kadarnya menjadi 12,44 dengan
menerapkan 4 siklus. Demikian pula, peningkatan suhu pemanasan dari 100
o
C hingga 120
o
C secara nyata p0,05 meningkatkan kadar RS3 pati jagung dari 9,56 menjadi 10,85. Namun, peningkatan suhu otoklaf lebih dari 121
o
C
86 menyebabkan penurunan pembentukan RS3. Hasil penelitian Kim dan Kwak
2009 tersebut mempertegas penjelasan di atas bahwa pembentukan RS3 sangat dipengaruhi oleh suhu pemanasan dan siklus autoclaving-cooling.
Gambar 34 . Kadar pati resisten pati garut sebagai akibat pengaruh jumlah
siklus autoclaving-cooling dengan waktu pemanasan 15 menit. S3= 3 siklus autoclaving; S5= 5 siklus autoclaving.
Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata
α=0,05
Berdasarkan Gambar 34, perlakuan autoclaving-cooling pati garut dengan
3 siklus juga dapat meningkatkan kadar RS3 hingga lebih dari lima kali lipat sedangkan yang diproses dengan 5 siklus hampir enam kali lipat. Namun demi-
kian, hasil uji beda nyata menunjukkan tidak ada perbedaan kadar RS3 yang nyata p0,05 antara pati garut yang diberi perlakuan 3 siklus dan 5 siklus. Dengan
pertimbangan efisiensi proses pembuatan RS3, maka perlakuan autoclaving- cooling
3 siklus dengan waktu pemanasan selama 15 menit dipilih pada tahap penelitian selanjutnya tahap penentuan kondisi hidrolisis asam dan debranching.
4.2.2. Penentuan Kondisi Hidrolisis Asam