beda rata-rata dengan metode uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan ukuran partikel 40 mesh dengan 10 mesh berbeda nyata.
Neusser et al 1965 dalam Komara 1989 mengemukakan bahwa pengembangan tebal papan partikel merupakan gabungan dua komponen, yakni
pengembangan dari bahan baku itu sendiri dan pengembangan akibat pembebasan tegangan tekan yang diberikan saat pengempaan. Pembebasan tegangan tekan ini
terjadi pada saat kadar air tinggi dan bagian pengembangan ini tidak dapat pulih lagi apabila papan partikel dikeringkan. Hal ini kemungkinan juga berlaku pada
sekam padi. Selain itu pengembangan tebal ini diduga ada hubungannya dengan absorpsi air, karena semakin banyak air yang diabsorpsi dan memasuki struktur
sekam maka semakin banyak pula perubahan dimensi yang dihasilkan. Hal ini dibuktikan dengan nilai daya serap air papan partikel yang tinggi.
Mengurangi nilai daya serap yang tinggi dapat dilakukan dengan memberi perlakuan pendahuluan dengan cara perlakuan asetilasi. Perlakuan asetilasi akan
menyebabkan terjadinya ikatan anhidrida asetat dengan bahan baku berlignoselulosa yang memberikan sifat lebih hidrofob, sehingga pengembangan
dari bahan baku itu sendiri menjadi lebih rendah Komara 1989. JIS A 5908-2003 mensyaratkan pengembangan tebal adalah maksimal 12
hanya pada perendaman selama 24 jam, sehingga untuk perlakuan perekat 8, 10, dan 12 dengan perlakuan ukuran partikel 10 mesh dan 40 mesh masih
belum memenuhi standar JIS A 5908-2003.
4.4 Sifat Mekanis Papan Partikel
4.2.5 Modulus of Rupture MOR
Haygreen dan Bowyer 1996 menyatakan bahwa modulus of rupture MOR merupakan ukuran beban maksimum yang dapat diterima oleh kayu.
Berdasarkan hasil penelitian, papan yang dihasilkan memiliki nilai MOR berkisar antara 13,31 - 45,20 kgcm
2
. Papan partikel dengan perlakuan kadar perekat 12 dan ukuran partikel 40 mesh memiliki nilai MOR tertinggi sebesar 45, 20 kgcm
2
, sedangkan nilai MOR terendah dimiliki papan partikel dengan perlakuan kadar
perekat 8 dan ukuran partikel 10 mesh sebesar 13,31 kgcm
2
. Nilai MOR hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
13,31 15,31
27,78 27,41
36,87 45,20
0,00 15,00
30,00 45,00
60,00 75,00
90,00
UF 8 UF 10UF 12 UF 8 UF 10UF 12 10 Mesh
40 Mesh MO
R kg
cm
2
JIS A 5908 2003
82.00
Gambar 7 Histogram nilai Modulus patah MOR papan partikel Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh perlakuan kadar perekat dan ukuran
partikel dilakukan analisis keragaman dengan uji F yang disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Analisis keragaman modulus patah MOR papan partikel
Source DB JK
KT F
hitung
P Kadar perekat
2 802,21
401,1 5,48
0,02 Ukuran partikel
1 1409,48 1409,48 19,25
0,001 Kadar perekatUkuran partikel
2 41,91
20,96 0,29
0,756 Keterangan: = nyata dan = sangat nyata
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan kadar perekat berpengaruh nyata terhadap nilai MOR, sedangkan untuk perlakuan ukuran
partikel berpengaruh sangat nyata terhadap nilai MOR. Hasil uji beda rata-rata dengan metode uji Duncan lampiran 9c menunjukkan bahwa kadar perekat 12
dengan 10 tidak berbeda nyata, kadar perekat 10 dengan 8 tidak berbeda nyata, tapi kadar perekat 12 dengan 8 berbeda nyata. Sedangkan untuk
perlakuan ukuran partikel 10 mesh dan 40 mesh berbeda nyata. Semakin tinggi kadar perekat dan semakin kecil ukuran partikel yang digunakan maka akan
semakin tinggi nilai sifat mekanisnya. Nilai MOR yang kecil diduga karena pengaruh kandungan kimia didalam
sekam padi. Menurut Maloney 1993 zat ekstraktif tertentu berpengaruh terhadap konsumsi perekat, laju pengerasan perekat dan sifat papan partikel yang
dihasilkannya. Hal ini didukung oleh Nguyen 1975 dalam Komara 1989 bahwa zat ekstraktif tertentu kemungkinan menutupi permukaan bahan baku dan
menurunkan kemampuan perekat menembus dinding sel. Maloney 1993 menyatakan bahwa nilai MOR dipengaruhi oleh kandungan dan jenis bahan
perekat yang digunakan, daya ikat perekat, dan ukuran partikel. Semakin tinggi kerapatan papan partikel penyusunnya maka semakin tinggi sifat keteguhan dari
papan yang dihasilkan Haygreen dan Bowyer 1996. Standar JIS A 5908-2003 mensyaratkan nilai MOR tipe 8 adalah minimal 82
kgfcm
2
, sehingga untuk perlakuan perekat 8, 10, dan 12 dengan perlakuan ukuran partikel 10 mesh dan 40 mesh masih belum memenuhi standar JIS A
5908-2003. 4.2.6
Modulus of Elasicity MOE
Modulus Lentur merupakan ukuran kemampuan papan untuk mempertahankan perubahan bentuk akibat beban yaitu berhubungan langsung
dengan kekakuan papan. Semakin tinggi nilai MOE maka papan akan semakin tahan terhadap perubahan bentuk. Hasil pengujian MOE, nilai tertinggi dimiliki
oleh papan partikel dengan perlakuan kadar perekat 12 dan ukuran partikel 40 mesh yaitu sebesar 6.346,34 kgcm
2
, sedangkan nilai terendah terdapat pada papan partikel dengan perlakuan kadar perekat 8 dan ukuran partikel 10 mesh sebesar
3.170,24 kgcm
2
. Nilai MOE papan partikel hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 8.
3170,24 4048,54
4644,55 3999,14
4893,33 6346,34
0,00 5000,00
10000,00 15000,00
20000,00 25000,00
UF 8 UF
10 UF
12 UF
8 UF 10
UF 12
MOE kgcm
2
JIS A 5908 2003
Gambar 8 Histogram modulus lentur MOE papan partikel Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh perlakuan kadar perekat dan ukuran
partikel terhadap nilai MOE dilakukan analisis keragaman dengan uji F yang dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Analisis keragaman modulus lentur MOE papan partikel Source DB
JK KT
F
hitung
P Kadar perekat
2 10972130 5486065
1,91 0,19
Ukuran partikel 1
5696978 5696978
1,98 0,184
Kadar PerekatUkuran Partikel 2
748308 374154
0,13 0,879
Keterangan: = nyata dan = sangat nyata Tabel di atas menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan kadar perekat dan
ukuran partikel serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap nilai MOE. Modulus Lentur sangat dipengaruhi oleh kadar perekat dan ukuran
partikel, semakin tinggi nilai kadar perekat dan ukuran partikel semakin kecil,
maka akan semakin tinggi sifat mekanisnya. Pizzi 1983 menjelaskan bahwa papan partikel yang dibuat dengan menggunakan perekat UF mempunyai
kekuatan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan perekat yang lain yang umum digunakan untuk membuat papan partikel, sehingga hal ini diduga dapat
mempengaruhi kekuatan papan yang dihasilkan. Menurut Maloney 1993 zat ekstraktif tertentu berpengaruh terhadap konsumsi perekat, laju pengerasan
perekat dan sifat papan partikel yang dihasilkannya. Hal ini didukung oleh Nguyen 1975 dalam Komara 1989 bahwa zat ekstraktif tertentu kemungkinan
menutupi permukaan bahan baku dan menurunkan kemampuan perekat menembus dinding sel.
Berdasarkan standar JIS A 5908-2003 nilai modulus lentur diperkenankan untuk papan partikel minimal 20.400 kgfcm
2
, sehingga untuk perlakuan perekat 8, 10, dan 12 dengan perlakuan ukuran partikel 10 mesh dan 40 mesh masih
belum memenuhi standar JIS A 5908-2003. Nilai MOE dapat ditingkatkan dengan cara menambah kadar perekat dan
melakukan perlakuan pendahuluan. Maloney 1993 menyatakan bahwa nilai MOE dipengaruhi oleh kandungan dan jenis bahan perekat yang digunakan, daya
ikat perekat, dan ukuran partikel. Hadi 1991 mengemukakan bahwa perlakuan pendahuluan dengan cara perendaman dingin, perendaman panas, dan pengukusan
menyebabkan penurunan kadar zat ekstraktif selumbar, sehingga kontaminasi yang ada pada dinding sel dapat dihilangkan. Hal ini tentunya dapat memperbaiki
pembasahan, daya alir dan penetrasi perekat pada selumbar, sehingga mutu perekatan papan partikel yang dihasilkan lebih baik daripada papan partikel
kontrolnya. Hadi 1989 menyatakan bahwa perlakuan pendahuluan berupa asetilasi mempunyai pengaruh yang lebih baik terhadap kualitas papan partikelnya
dibandingkan perendaman panas pada selumbarnya. Asetilasi dapat meningkatkan MOR dan MOE serta memperkecil penyerapan air dan pengembangan tebal papan
partikel. Menurut Maloney 1993, faktor yang mempengaruhi mutu papan partikel
antara lain jenis kayu, tipe bahan baku, tipe partikel, binder, jumlah distribusi lapisan, aditif, kadar air lapik, pelapisan partikel, profil kerapatan, dan particle
aligment .
0,33 0,49
0,40 0,47
0,594 0,94
0,00 0,20
0,40 0,60
0,80 1,00
1,20 1,40
1,60
UF 8 UF 10 UF 12 UF 8 UF 10 UF 12 10 Mesh
40 Mesh Keteguhan Rekat
kg cm
2 JIS A 5908
2003 1.5
4.2.7 Internal Bond