KELIMPAHAN DAN SEBARAN SARANG Macrotermes gilvus
Pendahuluan
Berdasarkan proses evolusi dan penyebarannya sebagian besar spesies rayap hidup di daerah tropika dan hanya beberapa saja yang dapat bertahan di
daerah beriklim dingin. Di daerah beriklim dingin rayap hanya tersebar di daerah temperate sedang dengan latitud 50
o
LU dan 50
o
LS. Namun demikian di daerah yang dingin dengan altitud tinggi seperti di puncak pegunungan Himalaya
dengan ketinggian 3000 m dpl masih dapat ditemukan rayap walaupun jenis dan ragam terbatas, contohnya Archotermopsis. Menurut Emerson 1955,
penyebaran rayap berhubungan dengan suhu dan curah hujan sehingga sebagian besar jenis rayap terdapat di dataran rendah tropika dan hanya
sebagian kecil ditemukan di dataran tinggi. Peta sebaran sarang rayap Macrotermes spp di dunia dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta sebaran rayap tanah Macrotermes spp di dunia Eggleton 2000
Pola sebaran dapat terjadi secara acak, seragam atau berkelompok dalam ruang yang luas Odum 1971. Sebaran sarang rayap tanah Coptotermes
di Indonesia khususnya di Pulau Jawa telah dipetakan oleh Tarumingkeng et al. 2003. Namun demikian peta sebaran sarang rayap Macrotermes secara
khusus belum pernah dilakukan di Indonesia maupun di habitat alaminya di Asia Tenggara. Rayap jenis ini memiliki habitat alami di kawasan hutan alam dimana
pengaruh suhu, kelembaban dan curah hujan relatif stabil. Namun dengan perubahan iklim global dan perubahan kondisi habitat hutan alami, dewasa ini
memungkinkan telah terjadi perubahan sebaran sarangnya. Informasi ini belum dieksplorasi secara rinci dan dalam.
Pada hutan tropik, rayap memiliki keragaman yang tinggi. Hal ini disebabkan pada kawasan hutan alam memiliki ekosistem yang beragam
Indrawan et al. 2007. Ada beberapa alasan tingginya keragaman ekosistem mempengaruhi keragaman rayap. Pertama, spesies tropik dapat lebih tenggang
terhadap relung ekologi yang tumpang tindih, dengan menganggap relung itu sebagai corak ragam lingkungan mikro pada habitat tropik yang majemuk,
terutama di dalam hutan. Hal ini berdampak pada daerah tropik banyak memberikan kesempatan pembentukan spesies dibandingkan pada iklim sub
tropik. Kedua, tersedianya sumberdaya yang melimpah, terutama dalam hal pakan. Ketiga, banyaknya pemangsaan dan parasitisme dalam lingkungan tropik
cenderung membatasi berlimpahnya spesies tertentu dan mempersulit spesies tertentu untuk menambah besaran populasinya. Dengan demikian lebih banyak
jumlah spesies yang menghuni habitat itu dibandingkan dengan kelimpahannya Odum 1971.
Di luar hutan hujan tropik rayap kurang begitu banyak jenisnya. Hal ini diduga karena ekosistem yang kurang beragam namun dari sisi jumlah individu
dalam satu koloni lebih banyak Meyer et al. 2003. Secara vertikal banyak dugaan bahwa di daerah dataran rendah tropik basah keragaman jenis rayap
lebih banyak dibandingkan di daerah dataran tinggi Ewusie 1990. Pada daerah dataran rendah dengan suhu yang hangat banyak memberi kesempatan rayap
untuk berkembang biak dibandingkan dengan daerah yang bersuhu agak dingin. Rayap Macrotermes umumnya banyak bermukim pada suhu yang hangat
Nandika et al. 2003. Namun sampai saat ini data rinci mengenai hal tersebut belum dieksplorasi dengan baik yaitu dalam hal pola penyebaran spasial
berdasarkan ketinggian tempat belum banyak diketahui. Adanya perbedaan relung ekologi berpengaruh juga pada perkembangan rayap. Di negara lain
seperti Afrika Selatan yang memiliki tipe ekosistem savanna dengan vegetasi dominan Fabaceae ditemukan rayap tanah jenis Macrotermes natalensis
Haviland yang mendominasi daerah ini Meyer et al. 2001. Di daerah Eropa pada hutan sub tropis terutama pada tipe ekosistem savannanya dihuni oleh
jenis lain, yaitu jenis: Macrotermes bellicosus Korb Linsenmair 2000. Perbedaan tipe ekosistem antara negara tropis Indonesia dan negara sub tropis
di Eropa dan Afrika selain iklim yang berbeda, juga pada tipe vegetasinya. Di
hutan hujan tropis seperti Indonesia dengan vegetasi hutan yang heterogen jumlah sarangnya adalah 4 sarangha Vongkaluang et al. 2006, sementara di
Afrika terutama pada tipe ekosistem savanna dengan vegetasi yang homogen memiliki jumlah sarang 4 sarangha Schuurman 2000; Gromadzki 2003.
Faktor lingkungan yang utama mempengaruhi sebaran sarang rayap antara lain temperatur dan kelembaban, sementara itu faktor lain yang
mendukung adalah curah hujan, struktur tanah dan vegetasi Cookson Trajstman 2002. Hal ini dapat dimengerti, karena rayap adalah serangga yang
memiliki kulit tipis yang rentan terhadap proses dehidrasi oleh anginudara kering sehingga rayap membutuhkan kelembaban yang stabil. Sebagai contoh
keberadaan rayap Reticulitermes sp Rhinotermitidae di Florida sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban dan sifat tanah. Suhu berperan dalam
sebaran dan aktivitas rayap saat mencari makan. Bilamana suhu permukaan tanah terlalu panas atau terlalu dingin rayap tidak melakukan foraging. Suhu
ideal bagi Reticulitermes sp
adalah 15-35
o
Rayap Macrotermes merupakan rayap yang banyak tersebar di Asia Tenggara terutama banyak ditemukan di Indonesia, Malaysia, Singapura,
Philiphina dan Thailand Tho 1992, namun sebaran sarang berdasarkan garis lintang latitude dan ketinggian altitude tempat belum pernah dilakukan. Oleh
karena itu informasi mengenai sebaran spasial dari rayap Macrotermes ini di habitat alaminya penting untuk diketahui karena belakangan rayap jenis ini telah
tersebar diluar habitat alaminya. C.
Adapun kelembaban mendekati RH 100, terutama pada daerah kering, memberikan kondisi yang baik pada rayap
jenis ini. Tanah liat merupakan tipe tanah yang baik bagi kehidupannya karena pada tanah jenis ini saat hujan cenderung menahan kelembaban Suiter et al.
2000 .
Pada rayap yang hidup di daerah subtropis, jenis-jenis kayu yang lebih disukai adalah kayu lunak seperti : redwood, cypress, juniper
sedangkan kayu keras dan kayu-kayu yang mengandung banyak senyawa protektan kurang
disukai karena bersifat toksik bagi rayap. Menurut Yoshimura et al. 2003 rayap subtropik lebih menyukai bahan berselulosa yang telah terdegradasi dengan
urutan kesukaan sebagai berikut : serat selululose kertas kayu lapis balok kayu lunak balok kayu keras.
Dalam usaha mendapatkan sebaran spatial rayap tanah, umumnya dilakukan melalui pemetaan biasakonvensional yaitu peta yang merupakan
bentuk penyederhanaan kondisi permukaan bumi berbentuk hardprintdata
analog. Belakangan ini dengan perkembangan teknologi digital dan tata ruang maka telah berkembang sistem pemetaan menggunakan Sistem Informasi
Geografis SIG. SIG merupakan seperangkat fungsi dengan kemampuan canggih, yang dapat digunakan oleh para profesional untuk : menyimpan,
menampilkan, dan memanipulasimengoreksi data geografisspasial. Sistem ini memiliki beberapa keunggulan antara lain : 1 Dapat dilakukan pada seluruh
kemampuan pemetaan konvensional; 2 Dapat menentukan jarak tertentu dari titik atau garis; 3 Dengan analisis overlay, dapat digunakan lebih dari satu peta
tematik dan menghasilkan coveragepeta baru; dan 4 Adanya visualisasi 3 dimensi yang dapat dikombinasikan dengan citra satelit. Dari keunggulan yang
telah dijelaskan, peta spasial sebaran sarang rayap tanah Macrotermes gilvus pada penelitian ini akan menggunakan metode SIG karena akan lebih
bermanfaat dibandingkan dengan pemetaan secara konvensional. Selain itu, hasilnya secara cepat dapat memvisualisasikan data sebaran sarang spasial
organisme target.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran sarang rayap M. gilvus Hagen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu kemiringan
lereng, tutupan tajuk, dan tipe tanah di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan bulan April 2007 - Oktober 2009 di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat dengan ketinggian 50-150 mdpl dan luas kawasan 32
Ha. Analisis sebaran spatial dilakukan di Laboratorium PPLH–IPB, analisis LAI Leaf Area Index dilakukan di Laboratorium Konservasi Hutan-IPB, identifikasi
rayap dilakukan di Laboratorium Biologi Hasil Hutan PPSHB–IPB, sementara itu sebagai pembanding dilakukan identifikasi rayap Macrotermes di Natural History
Museum, London.
Prosedur Penelitian
Survey sebaran sarang rayap dilakukan dengan metode transek jalur Turner 2000; Lee et al. 2003a. Metode ini merupakan salah satu metode
yang sering digunakan dalam pengumpulan data jenis dan jumlah sarang rayap. Jalur pengamatan ditentukan secara sistematis untuk seluruh area cagar
alam dengan interval lebar 50 meter dan panjang sampai batas patok wilayah cagar alam. Setiap titik awal jalur pengamatan diberi tanda patok dengan arah
lintasan pengamatan menggunakan kompas. Data yang dikumpulkan meliputi posisi sarang rayap Macrotermes menurut GPS, pola sebaran sarang, data
kemiringan lereng yang diperoleh dengan menggunakan Abneylevel, data Leaf Area Index LAI yang diperoleh dengan metode hemipot yaitu dengan cara
mengambil foto menggunakan kamera fisheye dibawah lantai hutan tepat diatas sarang rayap. Sarang rayap yang ditemukan diklasifikasikan kedalam tiga tipe
berdasarkan ukurannya yaitu sarang kecil tinggi sarang ≤ 0,49 m, sarang
sedang tinggi sarang 0,5-0,99 m, dan sarang besar tinggi sarang ≥ 1 m.
Disamping itu, dilakukan analisis vegetasi pada 3 area yaitu area dengan kelimpahan sarang padat 5 sarangha, area dengan kelimpahan sarang sedang
3 sarangha, dan area dengan kelimpahan sarang rendah tidak ada sarang dengan membuat transek 20 x 20 m untuk tingkat pohon, 10 x 10 m untuk tingkat
tiang, 5 x 5 m untuk tingkat semai pada masing-masing wilayah kelimpahan sarang Surasana 1990.
Posisi sarang rayap yang ditemukan dibuat “overlay”nya metode tumpang tindih dengan menggunakan software ArcView GIS 3.3 dan ERDAS Imagine 8.5,
Sementara itu pengolahan LAI dilakukan dengan software Hemiview 2.1. Variabel vegetasi yang diamati meliputi jumlah famili, spesies, individu, nilai
kerapatan mutlak KM, frekuensi mutlak FM dan dominasi mutlak DM. Index Nilai Penting INP setiap spesies dihitung menurut Cox 1978. Pola sebaran
sarang spasial dari sarang rayap Macrotermes ditentukan dengan mengukur indeks penyebaran dispersion index. Penentuan indeks dispersi ID, dengan
formula sebagai berikut:
x S
ID
2
=
dimana : S
2
= keragaman contoh
x
= rata-rata contoh.
Pola penyebaran spasial dari data sarang yang dikumpulkan diuji menggunakan uji Chi-Square untuk menentukan tipe penyebaran. Uji Chi-
Square yang digunakan untuk N30, adalah persamaan λ
2
= ID N-1, dimana N adalah keberadaan sarang. Kriteria uji yang digunakan adalah:
1. Jika λ
hit 2
λ
2 0.975
2. Jika λ , maka pola sebaran sarang yang terjadi adalah
seragam.
2 0.975
≤ λ
hit 2
≤ λ
2 0.025
3. Jika λ
hit
, maka pola sebaran sarang yang terjadi adalah acak.
2
λ
2 0.025
, maka pola sebaran sarang yang terjadi adalah
kelompok.
Hasil Penelitian Sebaran Sarang Rayap Tanah M. gilvus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat dengan luas 32 Ha ditemukan 155 tapak sarang dengan rincian 56 sarang
tipe besar tinggi ≥ 1 m, 94 sarang tipe sedang tinggi 0,5 – 0,99 m, dan 5
sarang tipe kecil tinggi ≤ 0,49 m. Sarang -sarang tersebut menyebar secara
berkelompok karena λ
2 hitung
λ
2 0.025
Lampiran 4. Posisi keberadaan sarang memanjang dari arah Barat Laut ke Tenggara Gambar 4. Pola sebaran sarang
tersebut mengikuti wilayah kemiringan lereng 3 - 8 dan tutupan tajuk terbuka sampai tertutup ringan dengan nilai LAI 0-2 Lampiran 3. Sarang rayap tanah M.
gilvus juga cenderung berkelompok pada topografi bergelombang undulating dengan kelas ketinggian 50-150 m dpl. Sarang M. gilvus juga berada pada
radiasi matahari relatif besar dan kelembaban cukup tinggi 80-90. Lingkungan tersebut diyakini sesuai bagi kehidupan M. gilvus yang menyukai
suhu hangat 29-30
o
C dengan kelembaban lingkungan 80 Lee et al. 2003b. Beberapa faktor telah berhasil diidentifikasi untuk rayap tanah M. gilvus Hagen
Wood 1988; Lee et al. 2007a; Vongkaluang et al. 2006, seperti : a memerlukan kelembaban yang tinggi dengan rentang perkembangan optimum RH : 75-90;
b kisaran suhu 15-38
o
C, serta c curah hujan yang tinggi 3000-4000 mmthn. Ketiga faktor tersebut berpengaruh terutama pada perkembangan kasta
reproduksi laron saat keluar dari sarang. Schuurman 2006 mengatakan bahwa faktor edafik yang mempengaruhi keberadaan Macrotermes sp di Florida
USA, adalah sifat tanah dan kandungan tanah terutama tanah tipe liat 20. Sementara itu, Meyer et al. 2001 menyatakan bahwa rayap Macrotermes
natalensis cenderung menyebar secara berkelompok mengikuti topografi, tipe tanah, dan elevasi. Rayap jenis tersebut cenderung memilih topografi
bergelombang undulating, dengan ketinggian wilayah 250-400 m dpl, curah hujan 650-700 mmtahun, dan tipe tanah kuning-merah. Secara lengkap pola
sebaran sarang M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa dapat dilihat pada Gambar 3. Cagar alam ini memiliki kelembaban 80-90 dengan curah hujan rata-rata 2000
mmth, tipe tanah Podsolid Merah Kuning dengan ketinggian 50-150 m dpl. Suhu ambien disekitar hutan cagar alam adalah 28-29
o
C.
Gambar 3. Peta sebaran sarang rayap M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat
Ketinggian merupakan salah satu faktor habitat yang penting dalam penyebaran rayap M. gilvus Tho 1992, sehingga dalam penelitian ini ketinggian
termasuk ke dalam variabel yang diuji untuk memprediksi pengaruh ketinggian terhadap keberadaan rayap M. gilvus. Berdasarkan hasil pengolahan peta
kontur dapat diketahui bahwa lokasi penelitian memiliki ketinggian 50 – 150 m dpl. Peta ketinggian diperoleh dari peta kontur dan diklasifikasikan menjadi 2
kelas. Penentuan kelas ketinggian menjadi 2 kelas berdasarkan rentang penyebaran sarang rayap tanah M. gilvus 50-100 m dpl dan 100-150 m dpl.
Jumlah sarang rayap M. gilvus pada masing-masing kelas ketinggian, nilai LAI dan kemiringan lereng disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelimpahan sarang rayap tanah M. gilvus pada kelas ketinggian, nilai LAI, dan kemiringan lahan di Cagar Alam Yanlappa
Kelas ketinggian Luas area m
2
Jumlah sarang Kelimpahan
sarangHa 50-100 m dpl
258.124 75
3 100-150 m dpl
80.835 80
10 Leaf Area Index LAI
0-1 75.260
128 2
1-2 35.790
27 8
2 227.911
Kemiringan lereng 3-8
288.026 155
5 8
110.935
Data pada Tabel 1 di atas mengungkapkan bahwa jumlah dan densitas sarang rayap tanah M. gilvus berada paling banyak pada kelas ketinggian 100-
150 m dpl dibandingkan dengan ketinggian 50-100 m dpl. Hal ini dapat dikatakan bahwa sarang M. gilvus menyukai ketinggian antara 100-150 m dpl.
Selain itu pada ketinggian 100-150 m dpl kondisinya bergelombang, sehingga rayap M. gilvus lebih menyukai tipe topografi tersebut. Densitas sarang per
hektar adalah 3 sarang untuk kelas 50-100 m dpl dan 10 sarang untuk kelas 100- 150 m dpl.Foto penutupan tajuk hasil pengambilan gambar hemipot disajikan
pada Gambar 4.
A B Gambar 4. Kondisi tutupan tajuk areal Cagar Alam Yanlappa: tertutup ringan A
dan terbuka B.
Nilai LAI semakin besar menunjukkan bahwa penutupan tajuk semakin tertutup, sehingga radiasi matahari ke bawah tajuk semakin kecil dan
kelembaban dibawah tajuk semakin meningkat. Nilai dari Leaf Area Index LAI merupakan presentasi dari penutupan kanopi pada areal dibawah tajuk yang
diproyeksikan secara vertikal. Nilai ini digunakan untuk memprediksi besarnya cahaya dan kelembaban dengan asumsi jika kanopi semakin tertutup maka
cahaya yang masuk ke lantai hutan semakin kecil dan kelembabannya akan semakin tinggi.
Nilai LAI di Cagar Alam Yanlappa dapat diklasifikasikan dalam 2 kelas yaitu kelas terbuka dan kelas tertutup ringan Tabel 1. Berdasarkan hasil
pengambilan data dan pengolahan data maka dapat diketahui bahwa sarang rayap tanah M. gilvus Hagen di Cagar Alam Yanlappa terletak pada tempat yang
memiliki nilai LAI 0,211-1,722. Jumlah sarang M. gilvus lebih banyak pada kelas dengan nilai LAI 0-1 yakni 128 sarang sedangkan jumlah lebih kecil yaitu 27
sarang pada nilai 1-2, sedangkan pada nilai LAI 2 tidak ditemukan sarang. Densitas sarang per hektar adalah 2 sarang untuk kelas LAI 0-1 dan 8 sarang
untuk kelas LAI 1-2. Sama halnya dengan ketinggian, kemiringan lereng pun merupakan salah
satu faktor habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan rayap Traniello Leuthold 2000, sehingga kelerengan merupakan salah satu variabel yang diuji
dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil pengolahan kontur, kemiringan lereng di Cagar Alam Yanlappa dibagi menjadi 2 kelas yaitu 3-8 dan 8 .
Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa penyebaran rayap tanah M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa adalah sebagai berikut: pada
kelas dengan kemiringan lereng 3-8 terdapat 155 jumlah sarang, kelas kemiringan lereng 8 tidak dijumpai sarang. Semua sarang rayap M. gilvus
terdapat pada kelas 3-8 dengan luasan 288.026 m
2
Tanah merupakan tubuh alam yang terbentuk pada permukaan bumi yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman dengan sifat yang dihasilkan dari
interaksi antara bahan induk, iklim, organisme dan waktu Purwowidodo 1998. . Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa jumlah sarang M. gilvus semakin menurun jika nilai kemiringan lerengnya semakin besar. M. gilvus tidak ditemukan ditempat dengan
kemiringan lereng 8. Densitas sarang per hektar adalah 5 sarangha untuk kelas dengan kemiringan lereng 3-8. Sebaran sarang sarang M. gilvus
berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan peta satuan lahan daerah kawasan hutan alam provinsi Jawa Barat dan Banten yang dibuat oleh pusat penelitian tanah dan agroklimat Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian tahun 1991, dan peta digital Bakorsurtanal 2006 diketahui bahwa seluruh kawasan Cagar Alam Yanlappa
memiliki tipe tanah podsolik merah kekuningan, sehingga sarang rayap M. gilvus menyebar pada tanah tipe tersebut.
Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa dari areal pengamatan 1200 m
2
Berdasarkan komposisi famili, maka pada daerah dimana kelimpahan sarang rayapnya padat pada tingkat pohon dan tiang didominasi oleh famili
Myrtaceae, pada tingkat pancang Arecaceae INP = 50, dan pada tingkat semai Lycopodiaceae INP = 32,13. Pada area dengan kelimpahan sarang
sedang, pada tingkat pohon didominasi oleh famili Moraceae INP = 57,41, sedangkan untuk tiang, pancang dan semai masing-masing didominasi oleh
famili Ebenaceae INP = 49,59, Euphobiaceae INP = 28,69, Araceae INP = 82,22. Secara lengkap, indeks nilai penting tertinggi dari famili pohon, tiang,
pancang dan semai dapat dilihat pada Lampiran 10. terdapat area sarang rayap dengan kelimpahan padat 8 sarangha, spesies
pohon yang dominan adalah Artocarpus elastica INP = 34,33, tiang Syzygium zollingerianum = 109,64, pancang Glycosmis pentaphylla
=
26,06, dan semai Selaginela 32,13. Mallotus oblongifolius INP = 24,65, Diospyros frutescens INP = 49,59; Schismatoglottis calyptrata INP =
60,08; merupakan spesies tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang dan semai yang dominan pada area kelimpahan sarang sedang 2 sarangha. Pada area
yang tidak ada kelimpahan sarang rayap M. gilvus spesies pohon yang dominan adalah Uncaria gambir INP = 37,21, sedangkan spesies tiang, pancang dan
semai masing-masing didominasi oleh Diospyros frutescens INP = 62,58; Arenga obtusifolia INP = 25,97; Anadendrum microstachyum INP = 60,86.
Hasil analisis komposisi jenis susunan tumbuhan dan bentuk struktur vegetasi yang ada di wilayah Cagar Alam Yanlappa secara ringkas dapat disajikan pada
Lampiran 9-24.
Pembahasan
Pola sebaran sarang rayap tanah M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa, cenderung membentuk pola sebaran sarang berkelompok cluster, dengan
pembentukan 3 cluster yaitu cluster dengan kelimpahan sarang padat, kelimpahan sedang dan tidak ada sarang Gambar 4. Hal ini menunjukkan
bahwa sebaran sarang rayap tanah M. gilvus sangat unik. Posisi keberadaan sarang rayap M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa memanjang dari arah Barat Laut
ke Tenggara. Posisi tersebut diduga berkaitan dengan sifat cryptobiotik tidak menyukai sinar pada rayap. Dalam membangun sarang, terlihat bahwa posisi
sebaran sarang M. gilvus dari Barat Laut ke Tenggara adalah wilayah yang terhindar dari sinar matahari secara langsung dari Timur dan Barat. Sistem
bangunan seperti ini sangat cocok didirikan pada daerah tropis yang memiliki suhu panas dan kelembaban yang tinggi. Posisi bangunan seperti ini memiliki
fungsi antara lain dapat mengurangi pemanasan matahari serta memanfaatkan angin agar terjadi pendinginan karena penguapan.
Parameter abiotik yang diamati dalam penelitian antara lain ketinggian tempat, jenis tanah, elevasi kelerengan, dan penutupan tajuk. Dari empat
parameter tersebut terlihat bahwa elevasi kelerengan dan penutupan tajuk sangat berpengaruh pada pola sebaran sarang. Rayap M. gilvus sangat
menyukai tutupan tajuk yang terbuka dengan kelas Leaf Area Index 0-1 dan elevasi kelerengan kelas 3-8. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh
Meyer et al. 2000 yang mengatakan bahwa sebaran sebaran sarang rayap M. natalensis di Kruger National Park, Afrika Selatan sangat dipengaruhi oleh
topografi tipe bergelombang dengan ketinggian kawasan 250-400 m dpl dan warna tanah merah dan kuning Meyer et al. 1999.
Sebaran sarang rayap M. gilvus berada pada tutupan tajuk terbuka sampai tertutup ringan dengan nilai LAI leaf area index 0-2 dengan radiasi sinar
matahari GSF global site factor 0,22-0,91 Lampiran 6. Lingkungan tersebut berkaitan dengan suhu ambien 28-29
o
C dan kelembaban ambien 80-90 yang sesuai untuk habitat M. gilvus. Pada kondisi tutupan tajuk terbuka yaitu nilai LAI
0 dengan nilai GSF 1, maka suhu ambien bertambah tinggi yaitu 29
o
C dengan kelembaban 90. Aktivitas rayap dipengaruhi oleh suhu didalam dan diluar
sarang. Pada suhu di dalam sarang, rayap memerlukan suhu optimum 30
o
C, sementara untuk melakukan foraging biasanya membentuk liang kembara
dengan suhu sekitar 28
o
C dengan kelembaban sekitar 80 Liu et al. 2007.
Sinar matahari mutlak diperlukan oleh organisme hidup dalam suatu ekosistem. Namun demikian, suhu, radiasi sinar matahari dan kelembaban merupakan faktor
pembatas bagi kehidupan rayap M. gilvus Donovan et al. 2007. Gangguan terhadap hutan yang berupa penebangan pohon akan
mengakibatkan terbukanya tajuk pohon. Terbukanya tajuk pohon akan menyebabkan terjadinya perubahan faktor lingkungan seperti suhu udara,
penguapan, kelembaban dan intensitas cahaya matahari pada ekosistem hutan tersebut Indrawan 2000. Pada hutan sangat terganggu yang didominasi oleh
tumbuhan bawah memberikan indikasi bahwa struktur vegetasinya merupakan struktur vegetasi dengan penutupan tajuk terbuka dan jarang Alcaraz Avilla
2000. Nilai LAI pada hutan yang sangat terganggu diperkirakan rendah dengan tutupan tajuk terbuka.
Pola sebaran sarang M. gilvus cenderung berkelompok dengan mengikuti wilayah kemiringan lereng 3-8. Sarang M. gilvus juga cenderung berkelompok
pada topografi bergelombang undulating dengan kelas ketinggian 50-150 m dpl. Pada topografi bergelombang rayap M. gilvus memilih areal yang cembung
dibanding areal datar flat dan cekung. Hal ini diduga pada areal cembung sangat baik drainasenya dibanding areal cekung dan datar. Pada area dengan
permukaan datar dan cekung apabila curah hujan tinggi maka air tidak dapat mengalir dengan baik Elkins et al. 1986. Oleh karena itu, maka dapat dipahami
bahwa sifat alami topografi dengan kelerengan 3-8 relatif lebih mudah dalam membangun sarang dengan konstruksi bangunan yang kokoh. Konstruksi
bangunan yang didirikan dengan kelerengan diatas 8 adalah wilayah yang rentan erosi Ching Adams 2008. Selain itu, kondisi dengan kemiringan
lereng curam adalah wilayah yang menyulitkan rayap M. gilvus karena memerlukan banyak energi dalam melakukan aktivitas foraging. Pembangunan
sarang berkaitan erat dengan daya dukung tanah bearing capacity. Daya dukung tanah adalah tekanan maksimum suatu fondasi yang dibebankan secara
vertikal dan horisontal pada massa tanah Frick Purwanto 1998. Tanah dengan daya dukung tinggi tidak akan banyak menimbulkan masalah yang
berpengaruh pada bentuk dan tata letak bangunan.
Simpulan
Di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat ditemukan 155 sarang dengan rincian 56 sarang besar tinggi
≥ 1 m, 94 sarang sedang tinggi 0,5 – 0,99 m, dan 5 sarang kecil tinggi
≤ 0,49 m. Sarang -sarang tersebut menyebar secara berkelompok cluster dengan lokasi dari arah Barat Laut ke Tenggara. Pola
sebaran tersebut mengikuti wilayah kemiringan lereng 3 - 8 dan tutupan tajuk terbuka sampai tertutup ringan nilai LAI 0-2. Sarang M. gilvus juga cenderung
berkelompok pada topografi bergelombang undulating dengan kelas ketinggian 50-150 m dpl. Sarang rayap tersebut seluruhnya berada pada tapak yang
berdrainase baik, bebas genangan air dan relatif ternaungi oleh vegetasi yang tumbuh di sekitarnya. Kondisi ini sangat ideal untuk melindungi sarang M. gilvus
dari dampak buruk curahan air hujan, aliran permukaan surface run-off, hempasan angin, dan teriknya cahaya matahari.