efisien apabila unit kerja tersebut mampu menghasilkan output yang sama dengan input yang lebih kecil dari unit kerja yang lain, atau suatu unit kerja mampu
menghasilkan output yang lebih besar dengan input yang sama dengan unit kerja yang lain.
c. Efektivitas
Mardiasmo 2002:4 menyatakan bahwa “efektivitas : tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara sederhana efektivitas merupakan
perbandingan outcome dengan output”. Suatu kegiatan dapat dikatakan efisien tetapi tidak efektif. Hal ini disebabkan
pengukuran efektivitas bukanlah hanya output tetapi sejauhmana output yang dihasilkan tersebut sesuai dengan target yang ditetapkan. Efektivitas lebih
berorientasi pada manfaat dari output yang dihasilkan. Besarnya jumlah output yang dihasilkan oleh suatu kegiatan tetapi bila output tersebut tidak dapat dimanfaatkan
maka kegiatan tersebut dikatakan tidak efektif. Mahmudi 2005:92 menyatakan bahwa efektivitas terkait dengan hubungan
antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output
terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program, atau kegiatan. Menurut Mahmudi, efektivitas organisasi publik sangat sulit diukur secara
kuantitatif. Hal ini disebabkan karena output yang dihasilkan oleh organisasi publik lebih banyak bersifat tidak berwujud intengible sehubungan aktivitas organisasi
publik lebih banyak bersifat pelayanan.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Pengukuran kinerja sebenarnya pernah dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada. Hasil dari kegiatan ini adalah
studi kemampuan yang mencerminkan kemampuan pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi Smoke Lewis, 1996. Lembaga
Administrasi Negara LAN pada tahun 1991 juga mulai mengembangkan local government rating system untuk menilai kapabilitas daerah dalam melaksanakan
otonomi daerah. Indeks indikator yang dikembangkan LAN mengkombinasikan indikator kuantitatif dan kualitatif. Terdapat empat fungsi yang tercakup dalam
indikator tersebut yaitu perencanaan dan pemrograman pembangunan, mobilisasi sumber daya, penganggaran dan manajemen, serta desain dan implementasi proyek
LAN BPKP, 2001. Pengukuran kinerja lain yang dicoba dikembangkan adalah Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah LAKIP sebagaimana Instruksi Presiden 71999. Inpres ini mewajibkan unit eselon II ke atas untuk menyusun laporan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang memuat indikator, metode, mekanisme
dan tata cara pelaporan kinerja instansi pemerintah.
Selain itu, Makhfatik 1997 telah meneliti tentang kebutuhan dan kinerja pengeluaran pemerintah pada infrastruktur di kabupaten Sleman propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Dinas yang diteliti meliputi Cabang Dinas P K untuk kategori pendidikan dasar, Dinas PU Bina Marga untuk kategori jalan, Dinas
Kesehatan untuk kategori kesehatan dan Dinas Pasar untuk kategori pasar. Hasil
Universitas Sumatera Utara
penelitian menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah pada setiap kategori infrastruktur cenderung lebih besar dari kebutuhannya dan kinerja yang dihasilkan
oleh pengeluaran pemerintah kabupaten Sleman untuk infrastruktur masih memberikan kelemahan dan ancaman pada tugas pokok dan fungsi unit kerja yang
menangani. Berbeda dengan Waddington, Kerssens-van Drongelen Fisscher 2003
menyoroti sisi etika dalam pengukuran kinerja. Etika yang terkait disini adalah dilema yang dihadapi oleh evaluator di satu sisi, dan yang dievaluasi di sisi yang lain
dimana kinerjanya diukur dalam konteks bisnis. Berbagai konsep tentang peran moral dan moralitas pada umumnya digunakan untuk mengembangkan kerangka perilaku
yang biasanya diperlihatkan sebagai tanggungjawab moral dari setiap pelaku. Kerangka ini digunakan untuk menganalisis, berdasarkan empat kondisi empirik,
mengapa implementasi dari pengukuran kinerja tidak seefektif sebagaimana yang diharapkan. Akhirnya Kerssens-van Drongelen Fisscher 2003 menyimpulkan
bahwa dalam empat kasus, terdapat perilaku yang tidak beretika seperti penyimpangan dari etika perilaku telah teridentifikasi dalam kerangka yang
dikembangkan memberikan penjelasan tingkat efektivitas yang rendah dalam prosedur pengukuran kinerja.
Sementara itu, Grifel, et all 2002 memperhatikan peranan auditor dalam pengukuran kinerja pemerintah di USA. Pada semua tingkatan pemerintahan, auditor
menjadi terlibat dalam mendefinisikan dan mengukur kinerja. Hal ini konsisten dengan tren global menyongsong lingkup praktik audit yang semakin luas. Auditor
Universitas Sumatera Utara
pada tingkat lokal dan negara di USA memperoleh manfaat dengan adanya inisiatif General Accounting Offices GAO untuk melakukan pengukuran kinerja di tingkat
nasional. Hal ini sejalan dengan diterapkannya the Government Performance and Results Act sehingga peran auditor dari GAO semakin meningkat. Di sisi yang lain,
Governmental Accounting Standards Board GASB juga mendukung usaha-usaha penerapan pengukuran kinerja bagi pemerintah.
Studi mengenai pengukuran kinerja juga dilakukan Amaratunga Baldry 2002. Mereka mengaitkan pengukuran kinerja dengan manajemen fasilitas FM
dalam hubungannnya dengan teori manajemen dan motivasi. Amaratunga Baldry 2002 menyadari bahwa penerapan prosedur pengukuran kinerja dapat menyediakan
banyak keuntungan bagi organisasi. Pengukuran kinerja yang menyeluruh dibutuhkan manajemen untuk menerapkan manajemen fasilitas dalam konteks dimana FM
merupakan bagian dari manajemen secara umum. Penelitian ini menemukan adanya keuntungan bagi Pemko Tebing Tinggi yang menerapkan sistem pengukuran kinerja
dalam lingkungannya. Selain itu variabel lain yang ikut mempengaruhi patut dipertimbangkan karena hal ini mempunyai keterkaitan dengan pengukuran kinerja
dalam lingkungan Pemko Tebing Tinggi. Kerangka konseptual atas kinerja manajemen dikembangkan oleh Kagioglou,
et all 2001. Kerangka ini dikembangkan untuk memastikan apakah strategi telah secara efektif digunakan untuk membentuk sistem pengukuran kinerja dimana
organisasi bisa melaksanakannya. Kerangka yang dikembangkan oleh Kagioglou ini mengadopsi balanced scorecard BSC Kaplan Norton, 2001 dengan
Universitas Sumatera Utara
penambahan beberapa unsur dan perspektif lainnya. Dengan menggunakan kerangka ini maka Kagioglou bisa menjelaskan hubungan antara pengukuran kinerja dan goal
yang diturunkan dari strategi. Dengan demikian, dampak dari pengukuran kinerja organisasi dapat diuji dan dianalisa untuk menemukan area-area yang potensial untuk
dikembangkan. Hasil studi ini didukung oleh Bourne, et all 2003 yang mengembangkan pengukuran kinerja dengan menggunakan kerangka BSC.
Studi lainnya tentang pengukuran kinerja dilakukan juga oleh Usoff, et all 2002. Mereka melakukan studi akan pentingnya kekayaan intelektual dan
dampaknya terhadap sistem pengukuran kinerja. Hasil studi yang dilakukan Usoff, et all 2002 mengindikasikan bahwa industri perusahaan tidak ada hubungan dengan
perlakuan perusahaan terhadap kekayaan intelektual. Ukuran organisasi internal audit perusahaan berhubungan dengan perlakuan perusahaan terhadap kekayaan
intelektual. Perusahaan yang mempunyai departemen internal audit yang lebih besar percaya bahwa kekayaan intelektual adalah suatu hal yang sangat penting. Akhirnya,
studi menunjukkan bahwa sistem pengukuran kinerja organisasi bisnis diimplementasikan lebih banyak pada entitas yang menempatkan kekayaan
intelektual sebagai suatu hal yang penting. Selanjutnya, pengukuran kinerja adalah pendukung utama dalam menciptakan
value atas strategi manajemen kinerja Aguilar, 2003. Demi memaksimalkan sumber daya, manajer perlu mengetahui rencana permainan dan peranannya dalam permainan
tersebut. Mereka juga membutuhkan sesering mungkin dan seakurat mungkin umpan balik yang memberitahukan mereka tentang bagaimana mereka harus melakukan,
Universitas Sumatera Utara
dimana mereka saat ini dan apa yang mereka harus lakukan agar kembali on the track. Manajemen kinerja merupakan jawaban atas permasalahan ini. Tetapi
kebanyakan perusahaan tidak menyadari keterkungkungan mereka dalam menilai kinerja dikaitkan dengan usaha pencapaian strategi. Sebenarnya terdapat lima dimensi
penting dari manajemen kinerja yang mampu memaksimalkan value dari perusahaan, yaitu rencana strategis, pengukuran kinerja, rencana bisnis yang terintegrasi,
pelaporan manajemen, dan budaya organisasi dan sistem rewards. Penelitian yang dilakukan atas kinerja SKPD Pemerintah Kota Tebing Tinggi
berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Perbedaan utama dengan penelitian terdahulu adalah bahwa penelitian ini akan mengeksplorasi lebih
jauh tentang bagaimana pencapaian kinerja satuan kerja pada saat suatu kegiatan telah selesai dilaksanakan. Tidak sebagaimana Makhfatik 1997 yang lebih fokus pada
aspek perencanaan dikaitkan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi satuan kerja. Eksplorasi dilakukan dengan menggunakan tolok ukur ekonomis sebagaimana
telah dikembangkan oleh Suharyani, et al 2003. Suharyani dalam menilai kinerja satuan kerja menggunakan pendekatan Value for Money yang telah disesuaikan
dengan pola pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan oleh semua instansi pemerintah daerah. Penyesuaian dimaksud adalah dengan digunakannya model
pendekatan value for money yang digabungkan dengan pendekatan FEE sehingga lebih realistis untuk dilaksanakan oleh setiap satuan kerja pemerintah daerah.
Universitas Sumatera Utara
Matrik hasil penelitian sebelumnya yang hampir berhubungan dengan penelitian ini dapat diketahui pada tabel berikut ini:
Tabel 2.2. Tinjauan atas Penelitian Terdahulu N
o
Nama peneliti
Tahun Topik
Penelitian Variabel
yang digunaka
n Hasil Penelitian
1 Mahfatik 1997
Pengukuran Kinerja Pemda, Study Kasus
pada Kabupaten Sleman
Pengeluara n
Pemerintah dan Kinerja
SKPD Pengeluaran
pemerintah pada setiap kategori infrastruktur
cenderung lebih besar dari kebutuhannya dan
kinerja yang dihasilkan oleh pengeluaran
pemerintah Kabupaten Sleman untuk
infrastruktur masih memberikan
kelemahan dan ancaman pada tugas
pokok dan fungsi unit kerja yang menangani.
2 Priyono dan
Wardan 2003
Implementasi Model Pengukuran
Kinerja SKPD Kabupaten
Purwokerto Kinerja
SKPD Mudah dilaksanakan,
namun memerlukan SDM yang memadai
dan harus didukung dengan dana yang
memadai.
3 Rahmanti 2003
Implementasi Pengukuran Kinerja
Model UAD pada Dinas Kota
Magelang Kinerja
SKPD Kesehatan
Model tidak dapat digunakan untuk
mengukur derajat kesehatan sebagai
indicator utama yang menggambarkan ke
berhasilankegagalan pembangunan bidang
Kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
4 Yusriati 2007
Pengaruh Penerapan
Anggaran Berbasis Kinerja terhadap
Kinerja SKPD di Pemerintah
Kabupaten Mandailing Natal
Kinerja SKPD Y
Anggaran berbasis
kinerja X Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada pengaruh
penerapan anggaran berbasis kinerja
terhadap kinerja SKPD
Lanjutan Tabel 2.2
Universitas Sumatera Utara
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori dan rumusan masalah penelitian, peneliti mengidentifikasi penerapan anggaran berbasis kinerja sebagai independen variabel
X yang diperkirakan mempengaruhi kinerja SKPD Y, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Variabel Bebas Variabel Terikat
Kinerja SKPD Y
Penerapan Anggaran
Berbasis Kinerja X
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
Penerapan anggaran berbasis kinerja diperkirakan akan mempengaruhi kinerja satuan kerja perangkat daerah. Dalam hal menyusun anggaran berbasis kinerja, sudah
dibuat indikator pencapaian kinerja. Dengan indikator yang telah ditetapkan di awal, diharapkan setiap satuan kerja perangkat daerah akan berusaha untuk mencapai
kinerja tersebut.
Universitas Sumatera Utara