Efektivitas Terapi Prilaku Kognitif Distraksi Terhadap Intensitas Nyeri Pasien Dengan Fraktur Femur Yang Terpasang Traksi di Rumah Sakit Putri Hijau TK II Medan

(1)

EFEKTIVITAS TERAPI PERILAKU KOGNITIF DISTRAKSI

TERHADAP INTENSITAS NYERI PASIEN DENGAN

FRAKTUR FEMUR YANG TERPASANG TRAKSI

DI RUMAH SAKIT PUTRI HIJAU TINGKAT II

MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh

YOU WANDA FADLANI 111121109

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

Judul :Efektivitas Terapi Prilaku Kognitif Distraksi Terhadap Intensitas Nyeri Pasien Dengan Fraktur Femur Yang Terpasang Traksi di Rumah Sakit Putri Hijau TK II Medan

Peneliti :You Wanda Fadlani NIM :111121109

Fakultas :Keperawatan Universitas Sumatera Utara Tahun :2013

Abstrak

Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Pada penderita fraktur, nyeri merupakan masalah yang paling sering dijumpai. Tujuan dari terapi perilaku kognitif adalah untuk merubah cara berfikir tentang nyeri agar respon tubuh dan pikiran lebih baik ketika mengalami nyeri. Terapi berfokus pada perubahan pikiran tentang penyakit dan kemudian membantu menjadi suatu koping positif bagi pasien terhadap penyakitnya, terapi kognitif dan perilaku ini sangat berpengaruh terhadap penurunan nyeri.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan terapi prilaku kognitif distraksi terhadap intensitas nyeri pasien fraktur khususnya yang terpasang traksi. Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen pre-post test. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling dengan besar sampel 24 responden. Analisa yang digunakan dalam pengolahan data adalah uji Wilcoxon dan Mann whitney. Hasil pre-post terapi menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok (z = -4,474 p = 0,000). Melihat hasil ini diharapkan kepada tenaga kesehatan khususnya perawat dapat menjadi motivator dan fasilitator bagi pasien nyeri fraktur untuk mengurangi nyeri yang dirasakan salah satunya dengan terapi distraksi.


(3)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb

Alhamdulilahirabbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah menyertai penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Efektivitas Terapi Perilaku KognitifDistraksi Terhadap Pasien Nyeri Fraktur di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan”.Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Erniaty, S.Kp, MNS selaku PD I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing yang penuh keikhlasan dan kesabaran telah memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

4. Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd, Ikram,S.kep. NS, M.kep sebagai penguji I dan Rosina Tarigan , S.Kp, M.Kep, Sp.KMB, CWCC penguji II yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat untuk penulisan skripsi ini.


(4)

5. Lufthiani, S.kep, Ns, M.kes sebagai pembimbing akademik peneliti saat perkuliahan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

6. dr. Mochammad Munif Kolonel Ckm Direktur Rumah Sakit Putri Hijau Tingkat II Medan yang telah memberikan izin penelitian.

7. Ayah dan ibu atas doa dan dukungan yang berarti buat saya, semoga saya dapat memberikan yang terbaik buat agama, keluarga, bangsa dan negara. 8. Devi alistriani, Adi susilo Purba dan Teguh Irawan selaku Abang dan

Kakak Tersayang.

9. Nina olivia, S.Kep Ns, M.Biomed dan Deny Susanti S.Kep Ns, selaku dosen dan keluarga yang memberi motivasi dalam penyusunan skripsi ini. 10.Dedy Hertino SE, Risnan Helmi Nasution Amk, Nova Triandini Spd,

Muhammad Yusufi SH, Evon Suchata SE, Prakawa Kusuma SE, yang banyak memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

11.Rekan-rekan mahasiswa S1 Ekstensi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2011 yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga ALLAH SWT melimpahkan berkatNya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat nantinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Februari 2013


(5)

DAFTAR ISI Halaman Judul

Lembar Pengesahan

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Pertanyaan Penelitian ... 4

3. Tujuan Penelitian ... 4

4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Fraktur ... 6

1.1.Defenisi Fraktur ... 6

1.2.Jenis Fraktur ... 6

1.2.1 Fraktur terbuka (fraktur kompleks) ... 6

a. Fraktur greenstick ... 7

b. Fraktur kominutif ... 7

c. Fraktur Transversal ... 7

d. Fraktur oblik ... 8

e. Fraktur patologi ... 8

f. Fraktur Stres dan lelah ... 8

g. Fraktur spiral ... 8

h. Fraktur impaksi ... 8

i. Fraktur efisis ... 8

1.2.2 Fraktur tertutup (fraktur simpel) ... 9

1.3 Manifestasi klinis ... 10

1.3.1 Nyeri ... 10

1.3.2 Hilangnya fungsi deformitas ... 10

1.3.3 Pemendekan ekstremitas ... 11

1.3.4 Krepitus ... 11

1.3.5 Pembengkakan dan perubahan warna ... 11

1.4 Komplikasi Fraktur ... 11

1.4.1 Komplikasi awal ... 11

a. Syok ... 12

b. Sindrom emboli lemak ... 12

c. Sindrom kompartemen ... 13

1.4.2 Komplikasi lanjut ... 13

a. Non-union ... 13

b. Mal-union ... 14

c. Nekrosis avaskular ... 14


(6)

e. Osteoporosis ... 14

1.5 Tahap penyembuhan tulang ... 14

1.5.1 Proses hematom ... 15

1.5.2 Proses proliferasi ... 15

1.5.3 Proses Pembentukan callus ... 15

1.5.4 Proses konsolidasi(Penggabungan) ... 15

1.5.5 Proses remodeling ... 16

1.6 Penatalaksanaan fraktur ... 16

1.6.1 Reduksi fraktur ... 16

1.6.2 Imobilisasi fraktur ... 17

1.6.3 Pengembalian fungsi ... 17

2. Nyeri 2.1 Defenisi Nyeri ... 18

2.2 Teori Nyeri ... 18

2.3 Klasifikasi Nyeri ... 19

2.3.1 Berdasarkan sumber nyeri ... 19

2.3.2 Berdasarkan penyebab nyeri ... 20

2.3.3 Berdasarkan durasi nyeri ... 21

2.4 Fisiologi Nyeri ... 24

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri ... 25

2.5.1 Usia ... 25

2.5.2 Jenis kelamin ... 25

2.5.3 Kultur ... 25

2.5.4 Makna nyeri ... 26

2.5.5 Ansietas ... 26

2.5.6 Pengalaman masa lalu ... 26

2.5.7 Pola koping ... 26

2.5.8 Support keluarga dan sosial ... 26

2.6 Pengukuran Intensitas Nyeri ... 27

2.6.1 Visual Analog Scale (VAS) ... 27

2.6.2 Verbal Numerical Rating Scale (VNRS) ... 28

2.6.3 Kategori sakit ... 28

2.6.4 Skala wajah wong dan barker ... 29

2.7 Nyeri pada fraktur ... 29

3. Terapi Perilaku Kognitif Distraksi ... 30

3.1 Terapi distraksi dalam penanganan nyeri ... 30

3.2 Teknik terapi perilaku kognitif distraksi imajinasi terbimbing ... 30

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual ... 32

3.2 Defenisi Operasional Penelitian ... 33

3.2.1 Terapi perilaku kognitif distraksi……… ... 33

3.2.2 Intensitas nyeri……… ... 33


(7)

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian ... 35

4.2 Populasi dan Sampel ... 35

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

4.4 Pertimbangan Etik ... 36

4.5 Instrumen Penelitian ... 37

4.6 Alat dan Bahan ... 37

4.7 Teknik Pengumpulan Data ... 38

4.8 Analisa Data ... 38

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Karakteristik Demografi ... 40

5.1.2 Intensitas Nyeri Sebelum Terapi Distraksi pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... 42

5.1.3 Intensitas Nyeri Sesudah terapi Distraksi pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... 43

5.1.4 Perbedaan Intensitas Nyeri Pada kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... 44

a. Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Distraksi Pada kelompok Intervensi ... 44

b. Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Distraksi Pada kelompok Kontrol ... 45

c. Perbedaan Intensitas Nyeri Sesudah Terapi Distraksi Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... 46

5.2 Pembahasan 5.2.1 Karakteristik Demografi Responden ... 48

5.2.2 Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Distraksi Pada kelompok Intervensi ... 50

5.2.3 Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Distraksi Pada kelompok Kontrol ... 51

5.2.4 Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Distraksi Pada kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... 51

5.2.5 Perbedaan Intensitas Nyeri Sesudah Terapi Distraksi Pada kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... 52

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan ... 54

6.2 Rekomendasi ... 55

6.2.1 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 55

6.2.2 Bagi Praktek Keperawatan ... 55


(8)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Lampiran 1 : Inform Consent Lampiran 2 : Instrumen Penelitian Lampiran 3 : Protokol Panduan Terapi Lampiran 4 : Jadwal Tentatif Penelitian Lampiran 5 : Rencana Anggaran penelitian Lampiran 6 : Curriculum Vitae

Lampiran 7 : Lembar Bukti Bimbingan Lampiran 8 : Surat Pengambilan Data Lampiran 9 : Surat Balasan Penelitian Lampiran 10 : Hasil Analisa SPSS


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Responden kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Rumah Sakit Tk II Putri Hijau ... 42 Tabel 2 Hasil pengukuran intensitas nyeri sebelum terapi distraksi pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol ... 43 Tabel 3 Hasil pengukuran intensitas nyeri sesudah terapi pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol ... 44 Tabel 4 Hasil pengukuran intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi pada

kelompok intervensi ... 45 Tabel 5 Hasil pengukuran intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi pada

kelompok kontrol ... 46 Tabel 6 Hasil Uji Paired t-test intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi

distraksi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol ... 46 Tabel 7 Hasil pengukuran intensitas nyeri sesudah terapi pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol ... 47 Tabel 8 Hasil uji independent t-test untuk intensitas nyeri sesudah terapi distraksi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi ... 48


(10)

Judul :Efektivitas Terapi Prilaku Kognitif Distraksi Terhadap Intensitas Nyeri Pasien Dengan Fraktur Femur Yang Terpasang Traksi di Rumah Sakit Putri Hijau TK II Medan

Peneliti :You Wanda Fadlani NIM :111121109

Fakultas :Keperawatan Universitas Sumatera Utara Tahun :2013

Abstrak

Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Pada penderita fraktur, nyeri merupakan masalah yang paling sering dijumpai. Tujuan dari terapi perilaku kognitif adalah untuk merubah cara berfikir tentang nyeri agar respon tubuh dan pikiran lebih baik ketika mengalami nyeri. Terapi berfokus pada perubahan pikiran tentang penyakit dan kemudian membantu menjadi suatu koping positif bagi pasien terhadap penyakitnya, terapi kognitif dan perilaku ini sangat berpengaruh terhadap penurunan nyeri.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan terapi prilaku kognitif distraksi terhadap intensitas nyeri pasien fraktur khususnya yang terpasang traksi. Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen pre-post test. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling dengan besar sampel 24 responden. Analisa yang digunakan dalam pengolahan data adalah uji Wilcoxon dan Mann whitney. Hasil pre-post terapi menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok (z = -4,474 p = 0,000). Melihat hasil ini diharapkan kepada tenaga kesehatan khususnya perawat dapat menjadi motivator dan fasilitator bagi pasien nyeri fraktur untuk mengurangi nyeri yang dirasakan salah satunya dengan terapi distraksi.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2005). Pierce (2003) juga mengatakan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang terjadi akibat tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang pada tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis.

Pada keadaan fraktur, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh dimana akan terjadi edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah (Brunner, 1997). Kerusakan-kerusakan diatas menimbulkan beberapa manifestasi klinis yang khas, salah satunya yaitu nyeri.

Pada penderita fraktur, nyeri merupakan masalah yang paling sering dijumpai (Murwani, 2009). Foley dick, 2000 mengumpulkan data sebanyak 85% pasien fraktur mengelihkan nyeri. Nyeri dapat dibedakan menjadi dua, yakni nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut datangnya tiba-tiba atau singkat, dapat hilang dengan sendiri, dapat diprediksi, dan merupakan reaksi fisiologi akan sesuatu yang berbahaya (Murwani, 2009).


(12)

Nyeri pada fraktur bersifat kronis, nyeri kronis tidak dapat diprediksi sehingga membuat pasien frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologi (Purwandari, 2008). Pasien nyeri fraktur yang mengalami stres, maka tekanan darahnya akan meningkat dan denyut jantungbekerja semakin cepat, sehingga dapat menurunkan sistem imun yang berdampaknegatif bagi tubuh (Syaifuddin, 1997).

Maka untuk mengurangi nyeri, strategi penatalaksanaan nyeri harus mencakup pendekatan farmakologis dan non farmakologis. Teknik farmakologis dapat digunakan bersama dengan penatalaksanaan nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri. Salah satu cara terapi non farmakologis untuk mengurangi nyeri pada pasien nyeri kronis adalah dengan terapi perilaku kognitif. Dalam penggunaan terapi perilaku dan terapi kognitif selalu digunakan bersamaan, karena kedua terapi tersebut saling mendukung kebersamaannya untuk mengurangi nyeri(Norman, 2009). Terapi perilaku kognitif mencakup teknik relaksasi, manajemen stres, distraksi dan cara lain untuk membantu pasien dalam mengatasi nyeri yang dirasakan(Murwani, 2009).

Tujuan dari terapi perilaku kognitif adalah untuk merubah cara berfikir tentang nyeri agar respon tubuh dan pikiran lebih baik ketika mengalami nyeri. Terapi berfokus pada perubahan pikiran tentang penyakit dan kemudian membantu menjadi suatu koping positif bagi pasien terhadap penyakitnya, terapi kognitif dan perilaku ini sangat berpengaruh terhadap penurunan nyeri. Salah satu cara distraksi yang efektif adalah mendengarkan musik. Khususnya jenis musik


(13)

yang mampu mendistraksikan pola pikir pasien dari rasa nyeri yang dirasakan sehingga timbul rasa nyaman bagi pasien (Murwani, 2009).

Musik dapat mempengaruhi hidup dan seseorang dengan memberikan rasa santai dan nyaman atau menyenangkan, disamping sebagai hiburan musik juga dapat menyembuhkan stres, depresi dan rasa nyeri. Musik terbukti dapat menurunkan denyut jantung, hal ini membantu menenangkan dan merangsang bagian otak yang terkait ke aktivitas emosi dan nyeri (Muttaqin, 2008)

Perawat menghabiskan lebih banyak waktu bersama pasien dibandingkan dengan tenaga perawat profesional lainnya,maka perawat mempunyai kesempatan untuk membantu manghilangkan nyeri dan efek yang membahayakan (Smeltzer & Bare, 2002). Perawat memberi asuhan keperawatan kepada klien di berbagai situasi dan keadaan, yang memberikan intervensi untuk meningkatkan kenyamanan. Menurut beberapa teori keperawatan, kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut didukung oleh Kolcaba (1994) yang mengatakan bahwa kenyamanan adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia.

Pada saat ini penelitian tentang terapi perilaku kognitif untuk mengurangi nyeri pada pasien nyeri kronis belum begitu diketahui oleh perawat maupun masyarakat khususnya di Medan. Berdasarkan hal inilah, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang efektifitas terapi perilaku kognitif pada pasien fraktur dengan nyeri kronis.


(14)

2. Pertanyaan penelitian

2.1 Bagaimana intensitas nyeri sebelum terapi distraksi pasien denganfraktur femur yang terpasang traksi di Rumah Sakit Putri Hijau Tingkat II Medan?

2.2 Bagaimana intensitas nyeri sesudah terapi distraksi pasien dengan fraktur femur yang terpasang traksi di Rumah Sakit Putri Hijau Tingkat II Medan?

2.3 Bagaimana perbedaan intensitas nyeri pasien fraktur femur yang terpasang traksi sebelum dan sesudah mendapatkan terapi distraksi di Rumah Sakit Putri Hijau Tingkat II Medan?

3. Tujuan Penelitian

3.1Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri sebelum terapi distraksi pasien dengan fraktur femur yang terpasang traksi.

3.2Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri sesudah terapi distraksi pasiendengan fraktur femur yang terpasang traksi.

3.3Untuk mengidenfikasi perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudahterapi distraksi pasien dengan fraktur femur yang terpasang traksi.

4. Manfaat Penelitian

4.1Bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian dapat dijadikan bahan masukan (sumber informasi) sertadasar pengetahuan bagi para mahasiswa-mahasiswa keperawatan dan dapatdijadikan sebagai suatu materi latihan dalam menangani pasien nyeri pada fraktur.


(15)

4.2Bagi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti nyata akan efekCBT(Cognitive Behaviour Therapy) terhadap nyeri sehingga dapat dijadikan sebagai suatu intervensi keperawatan untuk menurunkan nyeri pada pasien-pasien yang mengalami nyeri.

4.3Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya danuntuk menambah referensi tentang terapi perilaku kognitif dan dapatdilanjutkan pada peneletian-penelitian penatalaksanaan pada pasien-pasien yang mengalami nyeri kronis.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Fraktur

1.1 Defenisi Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Brunner, 1997). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidajat, 2003).

Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau raius distal patah. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah.

1.2 Jenis Fraktur

1.2.1 Fraktur terbuka (fraktur kompleks)

Fraktur terbuka adalah fraktur yang terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit (Arif, 1999). Menurut Brunner


(17)

1997, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang yaitu grade I : Fraktur dengan luka bersih kurang dari 1cm panjangnya, grade II : Fraktur dengan luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif dan grade III : Fraktur yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif, merupakan yang paling berat.

Ada beberapa jenis fraktur terbuka(fraktur kompleks) diantaranya: a. Fraktur greenstick

Fraktur greenstick adalah fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok, fraktur ini biasanya terjadi pada anak karena tulang anak bersifat fleksibel, sehingga fraktur dapat berupa bengkokan tulang di satu sisi dan patahan korteksdi sisi lainnya. Tulang juga dapat melengkung tanpa disertai patahan yang nyata(Pradip, 2005)

b. Fraktur kominutif

Fraktur kominutif adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen(multiple fraktur), garis patah pada fraktur ini lebih dari satu dan saling berhubungan (Pradip, 2005).

c. Fraktur transversal

Fraktur transversal adalah fraktur sepanjang garis tengah tulang, garis patahan tulang tegak lurus. Terdapat sumbu panjang tulang, fraktur semacam ini segmen-segmen tulang direposisi kembali ketempat semula (Mutaqqin, 2005).


(18)

d. Fraktur oblik

Fraktur oblik adalah fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah tulang dan lebih tidak stabil dibandingkan dengan transversal. Fraktur semacam ini cenderung sulit diperbaiki (Arif, 2005).

e. Fraktur patologi

Fraktur patologi adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang memeng telah memiliki kelainan, seringkali terjadi setelah trauma trivial, misalnya penyakit paget, osteoporosis, atau tumor (Brunner, 1997).

f. Fraktur stress dan lelah

Fraktur stres dan lelah adalah fraktur akibat trauma minor berulang dan kronis. Daerah yang rentan antara lain metatarsal kedua atau ketiga, batang tibia proksimal, fibula, dan batang femoral (pada pelari jarak jauh dan penari balet(Pradip, 2005).

g. Fraktur spiral

Fraktur spiral adalah fraktur memuntirseputar batang tulang, arah garis pada fraktur spiral memuntir diakibatkan oleh adanya trauma rotasi pada tulang (Brunner, 1997).

h. Fraktur impaksi

Fraktur impaksi adalah fraktur dengan fragmen-fragmen saling tertekan satu sama lain, tanpa adanya garis fraktur yang jelas (Pradip, 2005)

i. Fraktur efisis

Fraktur efisis adalah fraktur epifisis pada anak dibawah usia 16 tahun. Fraktur ini dapat dikelompokkan menjadi tipe 1 sampai 5 berdasarkan klasifikasi


(19)

Salter Harris yaitutipe 1 : epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis, tetapi

periosteumnya masih utuh, tipe 2 : periosteum robek disatu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama sekali dari metafisis, tipe 3 : patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi, tipe 4 : terdapat fragmen patahan tulang yang garis patahnyategak lurus cakram epifisis dan tipe 5 : terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut (Sjamsuhidajat, 2003).

1.2.2 Fraktur tertutup (fraktur simpel)

Fraktur tertutup adalah fraktur yang apabila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar atau tidak terjadi perlukaan kulit (Arif, 1999). Pasien dengan fraktur tertutup (sederhana) harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian kekuatan penuh dan mobilitas mungkin memerlukan waktu sampai berbulan-bulan (Brunner, 2002).

Pada fraktur tertutup, ada klasifikasi tersendiri yang di dasarkan pada keadaan jaringan lunak sekitarnya yaitu:

a. Tingkat 0 : Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.

b. Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

c. Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.


(20)

d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan resiko terjadinya sindroma kompartemen. (Mansjoer, Arif.et al, 2000, Price. Suria A 1995)

1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan eksteremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna(Brunner, 2002).

1.3.1 Nyeri

Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang intuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang (Brunner, 1997).

1.3.2 Hilangnya fungsi tubuh

Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah(gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabakan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.


(21)

1.3.3 Pemendekan Ekstremitas

Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

1.3.4 Krepitus

Saat ekstremitas diperiksa dengan palpasi, teraba adanya derik tulang(krepitus) yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

1.3.5 Pembengkakan dan perubahan warna

Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

1.4 Komplikasi

1.4.1 Komplikasi awal

Komplikasi awal (dini) setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih dan sindrom kompartemen yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera.

Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli, emboli paru, yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera dan koagulopati intravaskuler diseminata(KID).


(22)

a. Syok

Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel kejaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra. Penanganan syok meliputi mempertahankan volume darah, mengurangi nyeri yang diderita pasien, memasang pembebatan yang memadai, melindungi pasien dari cedera lebih lanjut (Brunner, 1997)

b. Sindrom Emboli Lemak

Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadi globula lemak dalam aliran darah.

Globula lemak akan bergabung dengan terombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain. Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi, dan pireksia. Dengan adanya emboli sistemik pasien nampak pucat, tampak ada ptekie pada membran pipi dan kantung konjungtiva, diatas dada dan lipatan ketiak depan. Lemak bebas dapat ditemukan dalam urine bila emboli mencapai ginjal dapat terjadi gagal ginjal. Perubahan kepribadian, gelisah , iritabilitas, atau konfusi pada pasien yang mengalami fraktur merupakan petunjuk untuk dilakukannya pemeriksaan gas darah. Penyumbatan pada pembuluh darah kecil meningkatkan tekanan pembuluh darah meningkat, kemungkinan mengakibatkan gagal jantung ventrikel kanan, edema, dan perdarahan dalam alveoli mengganggu


(23)

transport oksigen, mengakibatkan hipoksia, terjadi peningkatan kecepatan respirasi, nyeri dada prekordial, batuk, dispnea, dan edema paru akut.

c. Sindrom Kompartemen

Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips(balutan) yang terlalu menjerat dan peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah(iskemi, cedera remuk, penyuntikan bahan penghancur jaringan).

Pencegahan dan penatalaksanaan sindrom kompartemen dapat dicegah dengan mengontrol edema yang dapat dicapai dengan meninggikan ekstremitas yang cedera setinggi jantung dan memberikan kompres es setelah cedera sesuai resep, Bila terjadi sindrom kompartemen, balutan yang kuat harus dilonggarkan (Brunner, 1997).

1.4.2 Komplikasi Lanjut

Selain komplikasi awal(dini) terdapat komplikasi lanjut fraktur diantaranya: a. Non-union

Non-union merupakan akibat imobilisasi yang tidak adekuat atau adanya fraktur patologis, non union terjadi karena adanya konsolidasi pada fase pembentukan kalus yang dimulai minggu ke 4-8 dan berakhir pada minggu ke 8-14 setelah terjadinya fraktur, sehingga didapat pseudoarthrosis (sendi palsu).


(24)

Pseudoarthrosis dapat terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi sama – sama dengan infeksi disebut infected pseudoarthrosis (Pradip, 2005)

b. Mal-union

Mal-union adalah penyembuhan dengan angulasi yang buruk, keadaan ini dikatakan buruk karena fraktur sembuh pada saatnya, tetapi terdapat deformitas yang terbentuk angulasi, varus / valgus, rotasi, kependekan atau union secara menyilang misalnya pada fraktur radius dan ulna.

c. Nekrosis avaskular

Nekrosis avaskular merupakan gangguan aliran darah yang mengakibatkan kematian tulang, lokasi yang paling sering terkena adalah kaput femur dan kaput talus.

d. Osteoartritis

Proses degeneratif dini pada sendi akibat malaligment yang buruk, pada keadaan ini, sendi terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi.

e. Osteoporosis

Osteoporosis merupakan akibat penggunaan tulang yang tidak benar, dan bentuk yang paling berat, atrofi sudeck, dapat menyebabkan nyeri dan pembengkakan jaringan lunak(Pradip, 2005).

1.5 Tahap penyembuhan tulang

Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang dan umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara


(25)

keseluruhan, atau kebutuhan nutrisi yang cukup. Berdasarkan proses penyembuhan fraktur, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1.5.1 Proses hematom.

Proses hematom merupakan proses terjadinya pengeluaran darah hingga terbentuk hematom (bekuan darah) pada daerah terjadinya fraktur tersebut, dan yang mengelilingi bagian dasar fragmen. Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya (Sjamsuhidajat, 2005).

1.5.2 Proses proliferasi.

Pada proses ini, terjadi perubahan pertumbuhan pembuluh darah menjadi memadat, dan terjadi perbaikan aliran pembuluh darah (Pakpahan, 1996).

1.5.3 Proses pembentukan callus

Pada orang dewasa antara 6-8 minggu, sedangkan pada anak-anak 2 minggu. Callus merupakan proses pembentukan tulang baru, dimana callus dapat terbentuk diluar tulang (subperiosteal callus) dan didalam tulang (endosteal callus). Proses perbaikan tulang terjadi sedemikian rupa, sehingga trabekula yang dibentuk dengan tidak teratur oleh tulang imatur untuk sementara bersatu dengan ujung-ujung tulang yang patah sehingga membentuk suatu callus tulang (Smeltzer & Bare, 2002).


(26)

1.5.4 Proses konsolidasi (penggabungan).

Perkembangan callus secara terus-menerus, dan terjadi pemadatan tulangseperti sebelum terjadi fraktur, konsolidasi terbentuk antara 6-12 minggu (ossificasi) dan antara 12-26 minggu (matur). Tahap ini disebut denganpenggabungan atau penggabungan secara terus-menerus (Smeltzer & Bare, 2002).

1.5.5 Proses remodeling.

Proses remodeling merupakan tahapan terakhir dalam penyembuhan tulang, dan proses pengembalian bentuk seperti semula. Proses terjadinya remodeling antara 1-2 tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi (Smeltzer & Bare, 2002).

1.6 Penatalaksanaan fraktur

Pengelolaan patah tulang secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya, yaitu yang pertama dan utama adalah jangan cederai pasien (premium non nocere). Cedera tambahan pada pasien terjadi akibat tindakan yang salah dan/atau tindakan yang berlebihan (Sjamsuhidajat, 2007) Prinsippenanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.

1.6.1 Reduksi fraktur

Reduksi fraktur (setting tulang) berarti pengembalian fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup pada kebanyakan kasus dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya


(27)

saling berhubungan). Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementas gips, bidai dan alat lain dipasang oleh dokter (Brunner, 1997). Reduksi juga dapat dilpertahankan dengan memasang traksi (Sjamsuhidajat, 2007).

Reduksi terbuka pada fraktur tertentu memerlukan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solit terjadi. Alat ini dapat diletakkan disisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau langsung kerongga sum-sum tulang. Alat tersebut menjaga aproksimal dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang (Brunner, 1997).

1.6.2 Imobilisasi fraktur

Imobilisasi fraktur, setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna (Sjamsuhidajat, 2003).

1.6.3 Pengembalian fungsi

Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) harus dipantau.


(28)

2. Nyeri

2.1 Defenisi Nyeri

Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik dan/atau mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seorang individu(Mahon, 1994).Murwani, 2008 menyatakan bahwa nyeri adalah mekanisme perlindungan bagi tubuh dalam hal ini adalah sebagai kontrol atau alarm terhadap bahaya. Melzack dan Casey (1968)mengemukakan bahwa, nyeri bukan hanya suatu pengalaman sensori belaka tetapi juga berkaitan dengan motivasi dankomponen affektif individunya.

2.2 Teori Nyeri

Teori nyeri yang diterima saat ini salah satunya adalah teori Gate Control.Menurut teori ini, sensasi nyeri dihantar sepanjang saraf sensoris menuju ke otak dan hanya sejumlah sensasi atau pesan tertentu dapat dihantar melalui jalur sarafini pada saat bersamaan.

Teori Gate Control menyatakan bahwa sinaps pada akar dorsal yang dikenal sebagai substansia gelatinosa berperan sebagai gerbang yang dapat meningkatkan atau menurunkan rangsang nyeri dari saraf perifer ke otak. Gerbang ini terbuka atau tertutup tergantung input dari serabut saraf besar dan kecil. Peningkatan aktivitas serabut saraf kecil akan membuka gerbang dan menyebabkan sensasi nyeri sampai ke otak. Sedangkan peningkatan aktifitas


(29)

serabut saraf besar akan menutup pintu gerbang sehingga sensasi nyeri tidak sampai ke otak (Guyton, l990).

Serabut serat A-Beta berdiameter terbesar dan berespon secara maksimal pada sentuhan ringan dan atau rangsang pergerakan merupakan serat saraf spinalis bermielin dengan ambang tinggi dan berkecepatan antara 30-90 meter perdetik dalam menghantarkan impuls sedangkan serabut serat A-Delta merupakan serat saraf bermielin dan berdiameter kecil yang menghantarkan impuls pada kecepatan rendah yaitu antara 6-30 meter perdetik sedangkan serabut saraf C yang tidak bermielin memiliki kecepatan konduksi 0,5-20 meter perdetik (Guyton, 1990). Serabut saraf A-Delta dan C berespons secara maksimal terhadap nyeri. Pada mekanisme teori ini, serabut saraf A-Beta yang menyampaikan sensasi sentuhan akan melewati mekanisme gerbang. Ketika diaktifkan, serabut saraf ini akan berlomba dengan serabut saraf A-Delta maka gerbang akan tertutup bagi impuls nyeri pada serabut saraf A-Delta sehingga memblok impuls nyeri. Bila gerbang tertutup impuls nyeri terhambat, bila gerbang terbuka sebagian, beberapa impuls nyeri dapat masuk. Bila gerbang terbuka maka nyeri akan dirasakan.

2.3Klasifikasi Nyeri

2.3.1 Berdasarkan Sumber Nyeri

Sumber nyeri bisa berasal dari mana saja yaitu kulit, ligamen, otot dll.Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan atas:


(30)

a. Cutaneus/ superfisial

Cutaneus/ superfisial adalah nyeri yang mengenai kulit/ jaringansubkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar). Contoh: terkena ujungpisau atau gunting.

b. Deep somatic/ nyeri dalam

Deep somatic/ nyeri dalam adalah nyeri yang muncul dari ligament,pembuluh darah, tendon dan saraf. Nyeri menyebar & lebih lama daripadacutaneus. Contoh: sprain sendi.

c. Visceral (pada organ dalam)

Visceral (pada organ dalam) adalah stimulasi reseptor nyeri dlmrongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot,iskemia, dan regangan jaringan (Tamsuri, 2007).

2.3.2 Berdasarkan penyebab nyeri

Nyeri yang dialami oleh pasien dapat disebabkan hal-hal tertentu, olehkarena itu berdasarkan penyebabnya, nyeri dapat dibedakan atas 2 kategori, yakni:

a. Fisik

Penyebab nyeri secara fisik adalah merupakan nyeri yang berasal dari bagian tubuh seseorang dan ini terjadi karena stimulus fisik serta nyeri ini dapat dilihat secara langsung dari morfologi tubuh yang berubah (Contoh: frakturfemur).


(31)

b. Psycogenic

Nyeri psycogenic terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. (Contoh: orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya). Biasanya nyeri terjadi karena perpaduan 2 sebab tersebut.

2.3.3 Berdasarkan durasi nyeri

Lama/durasi nyeri yang dialami oleh pasien sangat beraneka ragam, hal initentu sangat mengganggu aktivitas dari penderita nyeri tersebut. Untuk itulahmaka perlu diambil tindakan secepat mungkin untuk mengurangi danmenghilangkan nyeri. Sedangkan berdasarkan lamanya nyeritersebut dapatdibedakan atas 2 yaitu nyeri akut dan nyeri kronik (Smeltzer & Bare, 2002).

a. Nyeri akut

Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut,, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariatif (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat (meinhart & McCafery, 1983). Nyeri akut mengidentifikasi bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi, hal ini menarik perhatian pada kenyataannya bahwa nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari situasi serupa yang secara potensial menimbulkan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).

Nyeri akut berlangsung beberapa jam dalam sehari, dan sering disertai dengan tanda-tanda fisik seperti detak jantung cepat, berkeringat, pucat, dan gangguan tidur. Contoh nyeri akut termasuk rasa sakit dari lengan yang patah atau operasi (Bonica, 1990) diambil dari Suza (2007).


(32)

Nyeri akut berdurasi singkat, memiliki onset yang tiba-tiba, dan terlokalisir. Nyeri ini biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi. Hampir semua individu pernah merasakan nyeri ini, seperti saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri oto, nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan (Prasetyo, 2010).

Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan prilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai. Klien akan melaporkan secara verbal adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang dirasakan (Prasetyo, 2010). Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan. (Smeltzer & Bare, 2002).

b. Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkiran dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobatinya karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri kronik berlangsung lebih lama dari pada nyeri akut, intensitasnya bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (Prasetyo, 2010).


(33)

Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu nyeri kronik maligna dan nyeri kronik nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan , nyri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Tamsuri, 2006), diambil dari wardani (2011).

Berikut dibawah ini perbedaan antara nyeri akut dan nyeri kronis, yang dikutip dari Port CM. Pathophysiologi ; Concepts of Altered health State, ed. Ke- 4, Philadelphia, JB Lippincott, 1995.

Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis

Tujuan Memperingatkan klien terhadap adanya cedera/masalah

Memberikan alasan pada klien untuk mencari, informasi berkaitan dengan perawatan dirinya.

Awitan Mendadak Terus

menerus/intermittent Durasi

Intensitas

Durasi singkat (dari beberapa detik sampai 6 bulan)

Ringan sampai berat

Durasi lama (6 bulan/lebih)

Ringan sampai berat Respon

Otonom

• Frekuensi jantung

meningkat, volume sekuncup meningkat

• Tekanan darah meningkat

• Dilatasi pupil meningkat

• Tegangan otot meningkat

• Motilitas gastrointestinal menurun

• Alira saliva menurun

• Tidak terdapat respon otonom

• Vital sign dalam batas normal

Respon Psikologis

Anxietas • Depresi

• Keputusasaan

• Mudah

tersinggung/marah Respon • Menangis/mengerang • Keterbatasan gerak


(34)

Fisik/Prilaku • Mengerutkan dahi

• Menyeringat

• Mengeluh sakit

• Kelesuan

• Penurunan libido

• Kelelahan/kelemahan

• Mengeluh sakit hanya ketika dikaji

Contoh Nyeri bedah, Trauma Nyeri kanker, arthritis, euralgia.

2.4 Fisiologi Nyeri

Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel saraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel saraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan implus nyeri dihantarkan ke sumsum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini disebut nosiseptor dan sangat khusus dan memulai implus yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh.

Stimulus pada jaringan akan merangsang nosireseptor yang merupakan zat-zat yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi P, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensasi ujung saraf dan menyampaikan implus ke otak (Torrance & Serginson, 1997).

Serabut saraf perifer yang membawa sensasi ke otak dibedakan atas tiga bentuk, serabut saraf A-alfa dan A-beta yaitu serabut saraf besar yang bermielin. Serabut saraf A-delta adalah serabut saraf halus, bermielin. Serabut saraf C, tidak dibungkus oleh mielin. Serabut ini halus dan hantarannya lambat yang membawa senasasi neyri tumpul (Torrance & Serginson, 1997).


(35)

dalam kulit dan organ internal, terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang menyakitkan.

2.5 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri 2.5.1 Usia

Usia merupakan faktor yang menentukan respon seseorang terhadap respon rasa nyeri. Seorang anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2.5.2 Jenis kelamin

Potter (1997) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri.

2.5.3 Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon ternadap nyeri. Suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri (Potter, 1997).


(36)

2.5.4 Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan bagaimana mengatasinya. Hal ini juga berhubungkan dengan nyeri yang meningkat (Potter, 1997).

2.5.5 Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. Hal ini merupakan hubungan timbal balik yang dapat dialami penderita nyeri. Bayangan akan rasa nyeri yang hebat tentu saja membuat cemas (Potter, 1997).

2.5.6 Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

2.5.7 Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

2.5.8 Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan perlindungan. Dengan cara pemberian pemahaman tentang apa yang akan dialami


(37)

dan kesembuhan yang akan diperoleh setelah menjalani terapi dapat lebih efektif dalam proses mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien (Harahap, 2006).

2.6 Pengukuran Intensitas Nyeri

Menurut Perry & Potter (1993), nyeri tidak dapat diukur secara objektif misalnya dengan X-Ray atau tes darah. Namun tipe nyeri yang muncul dapat diramalkan berdasarkan tanda dan gejalanya. Kadang-kadang perawat hanya bisa mengkaji nyeri dengan berpatokan pada ucapan dan perilaku pasien. Pasien diminta untuk menggambarkan nyeri yang dialaminya tersebut sebagai nyeri ringan, sedang atau berat. Bagaimanapun makna dari istilah tersebut berbeda antara pasien dan perawat. Tipe nyeri tersebut juga berbeda pada setiap waktu, oleh karena itu perlu dilakukan waktu pengukuran yang berbeda. Misalnya pengukuran nyeri pada saat belum dilakukan terapi dan setelah pemberian terapi kepada pasien (Potter & Perry, 1993).

Gambaran skala nyeri merupakan makna yang dapat diukur. Gambaran skala nyeri tidak hanya berguna dalam mengkaji beratnya nyeri, tetapi juga dalam mengevaluasi perubahan kondisi anda (Potter & Perry, 1993).

Ada 3 cara mengkaji intensitas nyeri yang biasanya digunakan, antara lain: 2.6.1 Visual Analog Scale (VAS)

Digunakan garis 10 cm batas antara daerah yang tidak sakit ke sebelah kiri dan daerah batas yang paling sakit (Mc Kinney et al, 2000).


(38)

Tidak sakit(no pain) Sakit tidak dapat dibayangkan

2.6.2 Pain Numerical Rating Scale (PNRS)

Sama dengan VAS hanya diberi skor 0-10 daerah yang paling sakit dan kemudian diberi skala (Mc Kinney et al, 2000).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 No pain Mild pain Moderate pain Worst possible

2.6.3 Kategori sakit

Pada pengukuran nyeri dengan kategori sakit, nyeri terbagi atas tidak sakit, ringan, moderat, sangat sakit, sakit sekali (very severe) dan sakit yang tak dapat dibayangkan.


(39)

2.6.4 Skala wajah wong dan barker

Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda, menampilkan wajah bahagia hingga wajah sedih, digunakan untuk mengekspresikan rasa nyeri. Skala ini biasanya dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun (Potter & Perry, 2005).

Skala wajah untuk nyeri

2.7 Nyeri Pada Fraktur

Nyeri yang terjadi pada fraktur, merupakan salah satu manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh fraktur. Kerusakan jaringan dan pergeseran fragmen tulang merupakan salah satu penyebab timbulnya rasa nyeri pada fraktur (Brunner, 2005).

Sjamsuhidajat (2005), mengatakan bahwa nyeri yang timbul pada fraktur dapat bersumber dari penatalaksanaan terhadap fraktur tersebut. Pernyataan ini juga diperkuat oleh suyono (2003) yaitu penatalaksanaan fraktur yang tidak efektif merupakan salah satu penyebab nyeri pada fraktur. Penatalaksanaan yang tepat pada fraktur merupakan kunci keberhasilan dalam proses penyembuhan


(40)

fraktur, disamping itu harus didukung dengan beberapa terapi farmakologis dan nonfarmakologis yang tepat (Murwani, 2009).

3. Terapi Perilaku kognitif(CBT/ Cognitif Behavior Theraphy) 3.1 Terapi Distraksi Dalam Penanganan Nyeri

Teknik distraksi adalah salah satu cara untuk mengurangi nyeri dengan mengalihkan perhatian kepada sesuatu yang lain sehingga kesadaran klien terhadap nyerinya berkurang(Murwani, 2009). Stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresiendorfin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh pasien menjadi berkurang.Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktifindividu, banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalamstimulasi, oleh karena itu, stimulasi otak akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri.

Tujuan dari terapi distraksi adalah memberikan kenyamanan kepada pasien dengan berbagai tekhnik, kenyamanan pasien di dapat dari terangsangnya sekresi endorfin yang mampu mendistraksi persepsi nyeri pasien (Murwani, 2009)

3.2Teknik Terapi Perilaku Kognitif Distraksi Imajinasi Terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah sebuah teknik distraksi yang bertujuan untuk mengurangi stress dan meningkatkan perasaan tenang dan damai serta merupakan obat penenang untuk situasi yang sulit dalam kehidupan. Imajinasi terbimbing atau imajinasi mental merupakan suatu teknik untuk mengkaji kekuatan pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan bayangan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan (National Safety Council,2004).


(41)

Imajinasi terbimbing merupakan salah satu jenis dari teknik distraksi sehingga manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari teknik distraksi yang lain. Para ahli dalam bidang teknik imajinasi terbimbing berpendapat bahwa imajinasi merupakan penyembuh yang efektif. Teknik ini dapat mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan dan membantu tubuh mengurangi berbagai macam penyakit seperti depresi, alergi dan asma (Holistic-online,2006).

Imajinasi terbimbing pada penelitian ini yaitu menggunakan distraksi dengan mendengarkan musik instrumen, karena musik merupakan salah satu menurunkan rasa nyeri fisiologis,stres, kecemasan, menurunkan tekanan darah dan mengubah persepsi waktu (Sjamsuhidajat, 2009 dikuti dari Guzetta, 1989). Jihan (2009) meneliti efektifitas mendengarkan musik pada nyeri pasien kanker payudara yang dilakukan pada 16 orang sampel, dengan waktu pemberian 3 x dalam seminggu, dan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi dengan mendengarkan musik.


(42)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Pada dasarnya penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas teknik terapi perilaku kognitif distraksi pada pasien dengan nyeri yang disebabkan oleh fraktur (patah tulang). Untuk mengetahui efektivitas tersebut maka dibutuhkan suatu penelitian yang diawali dengan pemeriksaan kondisi awal atau sebelum dilakukannya terapi dan kondisi akhir atau sesudah dilakukan terapi. Modifikasi perilaku kognitif didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku. Jadi bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif dari manusia, maka tidak hanya sekedar mengubah perilakunya saja, namun juga menyangkut aspek kognitifnya. Terapi perilaku kognitif memiliki berbagai prosedur pelatihan, termasuk di dalamnya terapi distraksi.

Nyeri merupakan alasan yang paling umum seseorang mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan banyak pasien terutama pasien dengan nyeri kronis. Nyeri merupakan suatu keadaan subjektif dimana seseorang memperlihatkan rasa tidak nyaman secara verbal atau non verbal.

Melalui penelitian ini akan dilihat bagaimana dampak yang dirasakan sebelum dan setelah pasien mendapatkan terapi perilaku kognitif distraksi pada pasien yang mengalami nyeri akibat fraktur.Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti


(43)

merumuskan kerangka konseptual sebagai berikut: Skema Kerangka Penelitian

Gambar 1. Skema Kerangka Penelitian

3.2 Defenisi Operasional Penelitian 3.2.1 Terapi perilaku kognitif distraksi

Terapi perilaku kognitif distraksi adalah suatu teknik penanganan nyeri non farmakologi dengan cara pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus yang lain. Teknik terapi distraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mendengarkan musik instrumen daerah, terapi dilakukan sebanyak 3 kali selama tiga hari terhadap 1 orang responden yang menjadi kelompok intervensi, sementara pada kelompok kontrol terapi diberikan 1 kali selama satu hari. Terapi diberikan pada saat dilakukan penggantian perban traksi.

3.2.2 Intensitas nyeri

Suatu sensasi akut yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh pasien dengan fraktur femur yang terpasang traksi pada tingkatan nyeri tertentu yang diukur dengan skala numeric nyeri 0-10 yang dibagi menjadi 4 kategori yaitu: 0 tidak ada nyeri, 1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang dan 7-10 nyeri hebat yang

Terapi Perilaku Kognitif Distraksi

Post Test Nyeri Fraktur Pre Test


(44)

diukur sebelum dan sesudah terapi prilaku kognitif sebanyak 3 kali berturut-turut pada pagi, siang dan malam hari.

3.3 Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat ditentukan hipotesis dari penelitian ini, yakni:

Ho1. Terdapat perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi distraksi pasien dengan fraktur femur yang terpasang traksi.

Ha1. Tidak terdapat perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi distraksi pasien dengan fraktur femur yang terpasang traksi.

Ho2. Terdapat perbedaan intensitas nyeri antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol pasien denganfraktur femur yang terpasang traksi.

Ha2. Tidak terdapat perbedaan intensitas nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pasien dengan fraktur femur yang terpasang traksi.


(45)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen, pretest, post test desain pada kelompok intervensi yang bertujuan untukmengetahui pengaruh terapi perilaku kognitif distraksi terhadap penurunan nyeri padapasien nyeri fraktur.

4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian (Arikunto, 2006), populasi pada penelitian ini adalah pasien fraktur yang dirawat di Rumah Sakit Putri Hijau Tingkat II Medan. Berdasarkan jumlah pasien pada bulan april 2012 sebanyak 24 orang.

4.2.1 Sampel

Menurut Arikunto (2006) jika subjeknya kurang dari 100 maka pengambilan sampel dengan cara total samplingyaitu dilakukan dengan mengambil seluruh responden dengan kriteria yaitu pasien fraktur femur yang mengalami nyeri akut dan terpasang traksi, tidak mengalami penurunan kesadaran, terdiagnosa olehdokter dengan fraktur, dan bersedia menjadi responden. Sampel pada penelitian ini sebanyak 24 orang responden yang terdiri dari 12 orang kelompok kontrol dan 12 orang kelompok intervensi.


(46)

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Tingkat II Putri HijauMedan tepatnya di ruang VIII Rawat Inap Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan. Alasanpeneliti memilih rumah sakit ini karena rumah sakit tersebut merupakan rumahsakit pendidikan dan diperkirakan jumlah populasi yang cukup banyak sehinggamemungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2012 dan membutuhkan waktu selama 3 minggu.

4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari program studi ilmu kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Direktur Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan. Menurut Nursalam (2003), ada beberapa pertimbangan etik yang harus diperhatikan pada penelitian ini, yaitu Self Determination responden diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara sukarela, ananomity yaituselama kegiatan penelitian, nama dari responden tidak digunakan. Sebagai gantinya peneliti menggunakan nama inisial responden, informed consent adalah seluruh responden bersedia menandatangani lembar persetujuan setelah peneliti menjelaskan tujuan, manfaat, dan harapan peneliti terhadap responden, setelah responden memahami semua penjelasan peneliti, confidentialityadalah peneliti menjamin kerahasiaan informasi responden dan kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian dan Protection From Discomfort, yaitu


(47)

responden bebas dari rasa sakit, baik secara fisik dan tekanan psikologis diluar dari nyeri kronis yang tengah dialami. Apabila nyeri pasien fraktur bertambah hebat, maka terapi segera dihentikan dan melapor kepada petugas jaga atau orang yang lebih berkompeten menanganinya.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah data demografi yang terdiri dari umur, jenis kelamin, suku bangsa, kehadiran orang terdekat dan lama waktu dirawat. Kuesioner skala pengukuran intensitas nyeri menggunakan pain numerical rating scale. Terdiri dari skor 0 – 10 daerah yang paling sedikit dan kemudian diberi skala. Mulai dari skor ( 0 – 1) tidak ada nyeri, (2 – 3) menyatakan nyeri minimal, (4 – 6) menyatakan nyeri sedang, (7 – 10) menyatakan nyeri berat.

4.6 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam mendukung penelitian ini adalah dengan menggunakan MP4 (Multimedia Player 4) yakni sejenis alat elektronik yang bisa mengeluarkan suara musik untuk pemberian instruksi terapi.Merk MP4 yang digunakan yaitu Sony.

4.7 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengajukan permohonan izin kepada institusi pendidikanFakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara,


(48)

mengirimkan permohonan izin yang diperoleh ke Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan.

Setelah mendapat izin dari rumah sakit, peneliti melakukan pengumpulan data penelitian yakni dengan cara menjelaskan kepada calon responden dan keluarga calon responden tentang tujuan dan manfaat penelitian. Responden yang bersedia, diminta untuk menandatangani lembar persetujuan. Sebelum intervensi responden diminta untuk menunjukkan nyeri yang dirasakan pada skala nyeri (pre test), kemudian peneliti memberikan terapi perilaku kognitif distraksi kepada responden, setelah terapi selesai, peneliti meminta kembali kepada responden untuk menunjuk nyeri yang dirasakan pada skala nyeri (post test), data yang didapatkan merupakan hasil terapi yang dilakukan terhadap 12 orang kelompok kontrol dan 12 orang kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi, diberikan 3 kali selama 3 hari sedangkan pada kelompok kontrol 1 kali dalam sehari.

4.8 Analisa Data

Analisa data terapi distraksi dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu Persiapan yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas data responden penerima terapi distraksi dan memastikan semua data telah terisi, tabulasi yaitu mengklarifikasi data dengan mentabulasikan data yang telah dikumpulkan, setelah dilakukan pemeriksaan dan tabulasi data, maka dilakukan analisa data yaitu sebagai berikut :


(49)

a. Analisis Univariat

Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan untuk satu variabel atau per variabel atau disebut juga dari analisis berdistribusi tunggal. Analisa univariat dilakukan untuk mendapat gambaran data tentang demografi dan intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan terapi yang selanjutnya dipaparkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase.

b. Analisis Bivariat.

Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk menganalisis hubungan dua variabel. Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Sebelum dilakukan analisis bivariat terlebih dahulu diuji distribusi normal data.Untuk mengidentifikasi perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi perilaku kognitif distraksi pada kedua kelompok, akan dilakukan uji analisis statistik independent t-test


(50)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian efektivitas terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavior Therapy) distraksi pada pasien fraktur yang terpasang traksi di Rumah Sakit Putri Hijau Tingkat II Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 17 Juli 2012 sampai dengan 29 September 2012 di Rumah Sakit Putri Hijau Medan dengan jumlah responden sebanyak 24 orang. Hasil penelitian ini menguraikan karakteristik demografi responden, intensitas nyeri sebelum dan sesudah distraksi serta perbedaan intensitas nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pasien dengan fraktur femur yang terpasang traksi.

5.1.1 Karakteristik Demografi

Jumlah responden dalam penelitian ini yaitu 24 orang responden yang terdiri dari 12 orang responden kelompok intervensi dan 12 orang responden kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi, hampir seluruh dari responden (66,6%) berusia dewasa awal dan hampir sebagian responden (33,4) berusia dewasa pertengahan, keseluruhan responden(100%) adalah laki-laki. Berdasarkan suku bangsa, pada kelompok intervensi menunjukkan setengah dari responden(50%) adalah suku batak, hampir setengah responden(33,4%) suku jawa dan aceh (16,6%). Jumlah responden pada kelompok intervensi yang menyatakan kehadiran orang terdekat adalah orang tua (33,4%), anak atau istri (25%) dan


(51)

seluruh responden (83,4%) telah dirawat selama 1 minggu dan sebagian kecil respinden (16,6%) telah dirawat selama 2 minggu.

Sedangkan pada kelompok kontrol, hampir seluruh dari responden(83,4%) berusia dewasa awal dan sebagian kecil responden (16,6%) berusia dewasa pertengahan, keseluruhan responden(100%) adalah laki-laki. Berdasarkan suku bangsa, pada kelompok kontrol menunjukkan hampir setengah responden(41,6%) suku jawa, batak (33,4%), padang(8,3%) dan sebagian kecil responden(16,6%) suku aceh. Pada kehadiran orang terdekat kelompok kontrol, sebagian besar responden(66,6%) menyatakan kehadiran orang terdekat adalah istri atau anak, sebagian kecil responden orang tua(25%) dan lain-lain(8,4%). Sedangkan berdasarkan lama rawatan sebagian besar responden(58,4%) telah dirawat selama 1 minggu dan hampir setangah responden(41,6%) telah dirawat selama 2 minggu. Hasil pengukuran karakteristik demografi lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.


(52)

Tabel 1: Distribusi Frekuensi Karakteristik DemografiResponden kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Rumah Sakit Tk II Putri Hijau (n=12)

No Karakteristik Intervensi Kontrol

Frekuensi Persentase (%)

Frekuensi Persentase (%)

1 Usia

Dewasa Awal (21– 30 tahun)

Dewasa Pertengahan (31 – 45 tahun)

Mean : 28,17 SD : 6,394

8 4 66,6 33,4 10 2 83,4 16,6

2 Jenis Kelamin

- Laki-laki 12 100 12 100

3 Suku Bangsa

- Jawa - Batak - Padang - Aceh 4 6 - 2 33,4 50 - 16.6 5 4 1 2 41,6 33,4 8,3 16,6

4 KehadiranOrang Terdekat

- Orangtua

- Istri / anak

- Lain-lain 4 3 5 33,4 25 41,6 3 8 1 25 66,6 8,4

5 Lama Dirawat

- 1 Minggu

- 2 Minggu

10 2 83,4 16,6 7 5 58,4 41,6

5.1.2 Intensitas Nyeri Sebelum Terapi Distraksi Mendengarkan musik Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Sebelum terapi distraksi dilakukan, responden diminta untuk menunjukkan skala nyeri yang dirasakan. Berdasarkan pengukuran nyeri yang dilakukan sebelum terapi pada kelompok intervensi, sebanyak setengah responden(50%) menunjukkan nyeri pada rentang beratdan setengah responden(50%) menyatakan intensitas nyeri berada pada rentang sedang (M=7,5 SD=0,52). Sedangkan pada


(53)

kelompok kontrol intensitas nyeri sebelum dilakukan terapi adalah sebagian responden(58,3%) menyatakan intensitas nyeri pada rentang sedang dan hampir sebagian responden(41,7%) pada rentang berat (M=7,42 SD=0,51). Hasil pengukuran intensitas nyeri sebelum terapi distraksi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2: Hasil pengukuran intensitas nyeri sebelum terapi distraksi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Sebelum Terapi (Kelompok Intervensi)

Sebelum Terapi (Kelompok Kontrol)

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%)

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%) Ringan (2-4)

Sedang (5-7) Berat (8- 10)

- 6 6 0 50 50 Ringan (2-4) Sedang (5-7) Berat (8-10) - 7 5 0 58,3 41,7

(M=7,5 SD=0,52) (M=7,42 SD=0,51)

5.1.3 Intensitas Nyeri Sesudah Terapi Distraksi Mendengarkan Musik Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Setelah terapi distraksi diberikan, responden diminta untuk menunjukkan skala nyeri yang dirasakan. Berdasarkan pengukuran nyeri yang dilakukan sesudah terapi diberikan pada kelompok intervensi, hampir seluruh dari responden(86,67%) menunjukkan nyeri pada rentang ringan dan hampir sebagian responden(33,33%) menyatakan intensitas nyeri berada pada rentang sedang(M=4,0 SD=0,85). Sedangkan pada kelompok kontrol intensitas nyeri setelah diberikan terapi adalah hampir seluruh dari responden(86,7%) menyatakan intensitas nyeri pada rentang sedang dan hampir sebagian responden(33,3%) menyatakan rentang berat (M=7,3 SD=0,49). Hasil pengukuran intensitas nyeri sesudah terapi distraksi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat


(54)

Tabel 3: Hasil pengukuran intensitas nyeri sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Sesudah Terapi (Kelompok Intervensi)

Sesudah Terapi (Kelompok Kontrol)

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%)

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%) Ringan (2-4)

Sedang (5-7) Berat (8- 10)

8 4 - 86,7 33,3 0 Ringan (2-4) Sedang (5-7) Berat (8-10) - 8 4 0 86,67 33,33

(M=4,0 SD=0,85) (M=7,3 SD=0,49)

5.1.4 Perbedaan Intensitas Nyeri Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

a. Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Distraksi Mendengarkan Musik pada Kelompok Intervensi

Sebelum terapi distraksi diberikan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran intensitas nyeri yang dirasakan responden. Berdasarkan pengukuran nyeri yang dilakukan diperoleh bahwa sebanyak setengah (50%) responden menunjukkan nyeri pada rentang sedang dan setengah dari responden(50%) menunjukkan nyeri pada rentang berat. Sesudah terapi distraksi diberikan, pengukuran intensitas nyeri dilakukan kembali. Dari hasil pengukuran nyeri tersebut diperoleh hampir seluruh dari responden(86,67%) responden menunjukkan nyeri pada rentang ringan dan hampir sebagian dari responden(33,33%) menunjukkan nyeri pada rentang sedang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.


(55)

Tabel 4: Hasil pengukuran intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi

Sebelum Terapi Sesudah Terapi

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%)

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%) Ringan (2-4)

Sedang (5-7) Berat (8- 10)

- 6 6 0 50 50 Ringan (2-4) Sedang (5-7) Berat (8-10) 8 4 0 86,67 33,33 0

(M=7,5 SD=0,52) (M=4,0 SD=0,85)

Perbedaan intensitas nyeri pada penelitian ini diuji dengan menggunakan uji Wilcoxon dan hasilnya terdapat perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan terapi distraksi (z = -3,108 p = 0,000).Hasil analisa perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensidapat dilihat pada tabel 6

b. Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah terapi Distraksi Mendengarkan Musik Pada Kelompok Kontrol

Sebelum terapi distraksi diberikan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran intensitas nyeri yang dirasakan responden. Berdasarkan pengukuran nyeri yang dilakukan diperoleh bahwa sebagian besar responden(58,33%) menunjukkan nyeri pada rentang sedang dan hampir setengah dari responden(41,67%) menunjukkan nyeri pada rentang berat. Sesudah terapi distraksi diberikan, pengukuran intensitas nyeri dilakukan kembali. Dari hasil pengukuran nyeri tersebut diperoleh mayoritas responden(86,67%) responden menunjukkan nyeri pada rentang ringan dan hampir sebagian responden(33,33%) menunjukkan nyeri pada rentang sedang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5


(56)

Tabel 5: Hasil pengukuran intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi pada kelompok kontrol

Sebelum Terapi Sesudah Terapi

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%)

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%) Ringan (2-4)

Sedang (5-7) Berat (8- 10)

- 7 5 0 58,33 41,66 Ringan (2-4) Sedang (5-7) Berat (8-10) - 8 4 0 86,67 33,33

(M=7,41 SD=0,51) (M=7,3 SD=0,49)

Perbedaan intensitas nyeri pada penelitian ini diuji dengan menggunakan uji Wilcoxon dan hasilnya terdapat perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan terapi distraksi (z = -1,000 p = 0,317).Hasil analisa perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi pada kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 6

Tabel 6: Hasil Uji Paired t-test intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapi distraksi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Variabel Intensitas Nyeri

N Mean Standard

deviasi

Z P

Kelompok intervensi -Sebelum -Sesudah 12 12 7,5 4,0 0,52 0,85

-3,108 0,000

Kelompok Kontrol -Sebelum -Sesudah 12 12 7,4 7,3 0,51 0,49

-1,000 0,317

c. Perbedaan Intensitas Nyeri Sesudah Terapi Distraksi Mendengarkan Musik Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Berdasarkan pengukuran nyeri yang dilakukan sesudah terapi diberikan pada kelompok intervensi, hampir seluruh dari responden(86,67%) menunjukkan nyeri pada rentang ringan dan hampir sebagian dari responden(33,33%)


(57)

menyatakan intensitas nyeri berada pada rentang sedang(33,33%) (M=4,0 SD=0,85). Sedangkan pada kelompok kontrol intensitas nyeri setelah diberikan terapi adalah hampir seluruh dari responden(86,7%) menyatakan intensitas nyeri pada rentang sedang dan sebagian kecil responden(33,33%) menyatakan intensitas nyeri pada rentang berat(M=7,3 SD=0,49). Hasil pengukuran intensitas nyeri sesudah terapi distraksi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7: Hasil pengukuran intensitas nyeri sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Sesudah Terapi (Kelompok Intervensi)

Sesudah Terapi (Kelompok Kontrol)

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%)

Intensitas Nyeri Frekuensi

(n)

Persentase (%) Ringan (2-4)

Sedang (5-7) Berat (8- 10)

8 4 - 86,7 33,3 0 Ringan (2-4) Sedang (5-7) Berat (8-10) - 8 4 0 86,67 33,33

(M=4,0 SD=0,85) (M=7,3 SD=0,49)

Untuk melihat perbedaan intensitas nyeri sesudah terapi distraksi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol digunakan uji Mann Witney. Dari hasil analisa yang dilakukan, diperoleh nilai(z = -4,474 p = 0,000) setelah diberikan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan setelah terapi distraksi diberikan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dalam penurunan intensitas nyeri. Hasil analisa perbedaan intensitas nyeri sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 8.


(58)

Tabel 8. Hasil uji independent t-test untuk intensitas nyeri sesudah terapi distraksi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

Variabel Intervensi Kontrol z P

Mean Standard

deviasi

Mean Standard

deviasi

Intensitas nyeri

-Sesudah 4,0 0,85 7,3 0,49 -4,474 0,000

5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik Demografi Responden

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menjawab pertanyaan mengenai efektivitas terapi prilaku kognitif distraksi mendengarkan musik pada pasien nyeri fraktur di Rumah Sakit Putri Hijau Tk II Medan.

Karakteristik demografi responden menunjukkan seluruh responden (100%) adalah laki-laki. Potter (1997) tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam merespon nyeri, pernyataan ini juga diperkuat oleh Gill(1990) yaitu tidak berbeda laki-laki dan perempuan dalam merespon nyeri.Sedangkan pada Penelitian terakhir memperlihatkan hormone seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri.Hormone seks testosterone menaikkan ambang nyeri pada percobaan, sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan/sensitivitas terhadap nyeri.Bagaimanapun, pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, social, budaya dan lain-lain (Prasetyo, 2010).

Usia responden dalam penelitian ini lebih dari setengah responden berusia dewasa awal. Berk (2007) mengungkapkan bahwa usia 22-28 tahun merupakan usia dewasa muda, Brunner & Suddart, (2001) menegaskan bahwa semakin tinggi


(59)

usia maka respon terhadap nyeri semakin menurunHal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Harahap, (2007) yang menemukan bahwa pada masa dewasa muda, mereka mempunyai kemampuan dalam menahan rasa nyeri, tetapi pada masa dewasa muda juga lebih ekspresif menyampaikan nyeri. Thumboo, et all (2002) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri dan fungsional pada pasien orang Asia menunjukkan bahwa nyeri yang lebih ringan berhubungan dengan usia yang lebih muda.

Dari hasil penelitian intensitas nyeri berdasarkan suku responden menunjukkan suku batak merupakan distribusi tertinggi pasien yang merasakan nyeri.Sejak dini individu belajar dari sekitarnya tentang respon nyeri yang dapat diterima dan tidak diterima oleh kebudayaan mereka.Hal ini juga dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang berlawanan dengan budaya lainnya (Brunner & Suddarth, 2001).Pengalaman nyeri pada pasien Batak sangat unik. Pasien Batak jauh lebih ekspresif dibanding pasien suku Jawa, meskipun kedua suku tersebut berasal dari Indonesia (Suza, 2007), suku batak merupakan suku yang apreasiatif dalam mengungkapkan nyeri yang dirasakannya (Jihan, 2009), pada penelitian yang dilakukan wardani (2010) pada pasien fraktur di RSUP H. Adam Malik mendapatkan hasil bahwa pada suku yang merasakan nyeri berat sebesar 65.2%.

Kehadiran orang terdekat dapat mempengaruhi intensitas nyeri pasien, hal ini sejalan dengan pernyataan Harahap (2007) Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan perlindungan. Dengan cara pemberian pemahaman tentang apa yang akan dialami dan kesembuhan yang akan diperoleh


(60)

setelah menjalani terapi dapat lebih efektif dalam proses mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien.

Pada penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh lama masa perawatan terhadap intensitas nyeri pasien fraktur, Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang dan umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara keseluruhan, atau kebutuhan nutrisi yang cukup (Sjamsuhidajat, 2005).

5.2.2 Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Distraksi Mendengarkan Musik Pada Kelompok Intervensi

Berdasarkan pengukuran nyeri yang dilakukan pada kelompok intervensi diperoleh bahwa sebanyak setengah responden(50%) menunjukkan nyeri pada rentang sedang dan setengah dari responden(50%) menunjukkan nyeri pada rentang berat. Sedangkan sesudah terapi, nyeri yang dirasakan responden berkurang sehingga nyeri pada rentang berat adalah 0% (M=4,0 SD=0,85). Hasil ini menunjukkan bahwa intensitas nyeri menurun setelah terapi distraksi diberikan. Murwani (2009) mengatakan bahwa terapi distraksi adalah salah satu cara untuk mengurangi nyeri dengan pengalihan perhatian kepada sesuatu yang lain sehingga kesadaran pasien terhadap nyerinya berkurang. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri, jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak(nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh pasien) (Priharjo, 1993)


(61)

5.2.3 Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Distraksi Mendengarkan Musik Pada kelompok kontrol

Berdasarkan pengukuran nyeri yang dilakukan diperoleh bahwa sebagian besar responden(58,33%) menunjukkan nyeri pada rentang sedang dan hampir sebagian responden(41,67%) menunjukkan nyeri pada rentang berat(M=7,4 SD=0,51). Sesudah terapi distraksi mendengarkan musik diberikan, pengukuran intensitas nyeri dilakukan kembali. Dari hasil pengukuran nyeri tersebut diperoleh hampir seluruh dari responden(86,67%) responden menunjukkan nyeri pada rentang ringan dan hampir sebagian responden(33,33%) menunjukkan nyeri pada rentang sedang(M=7,3 SD=0,49).

Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat penurunan intensitas nyeri setelah diberikan terapi. Terapi distraksi mendengarkan musik merupakan salah satu terapi yang efektif dalam penurunan nyeri bila dilakukan beberapa kali terapi (Holistic online, 2006). Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi akibat banyaknya input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan orhan internal, terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan mampu menghambat atau memutuskan transisi informasi yang menyakitkan(Torrance dan Serginson, 1997)

5.2.4 Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Terapi Distraksi Mendengarkan Musik Pada Kelompok Intervensi dan kelompok Kontrol

Dari hasil penelitian terapi distraksi sebelum dan sesudah diberikan kepada kelompok intervensi yang dianalisa dengan uji Wilcoxon, secara signifikan


(62)

terdapat penurunan intensitas nyeri pada responden dengan nilai p<0,05 yaitu 0,000. Hasil ini juga didukung oleh pendapat Mc.Caffery (1989) bahwa terapi distraksi mendengarkan musik ini menjadi salah satu terapi yang efektif dalam menurunkan intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Priharjo (1993) menyatakan bahwa terapi distraksi mendengarkan musik dapat mengatasi nyeri melalui aktivasi retikuler yang menghambat stimulus nyeri.

Stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh pasien menjadi berkurang. Perbedaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi. Oleh karena itu, stimulasi otak akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri (Tamsuri, 2007).

5.2.5 Perbedaan Intensitas Nyeri Sesudah Terapi Distraksi Mendengarkan Musik Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Hasil uji Mann-Whitney dengan membandingkan intensitas nyeri antara terapi distraksi mendengarkan musik sesudah diberikan pada kedua kelompok yaitu intervensi dan kontrol menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan/ bermakna. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p < 0,05 yaitu 0,000. Dari hasil ini dapat dibuat analisa bahwa terdapat perbedaan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sesudah diberikan terapi distraksi. Hasil ini sejalan dengan Jihan (2009) yaitu terapi distraksi mendengarkan musik efektif terhadap intensitas nyeri kanker. Terapi distraksi mendengarkan musik merupakan jenis terapi


(63)

kognitif yang dapat mengendalikan nyeri dengan melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dan membuat pasien penderita nyeri dapat mengendalikan rasa nyeri yang dialaminya ( National Safety Council, 2004).


(64)

BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai Efektifitas Terapi Prilaku Kognitif (Cognitive Behavior Therapy) distraksi pada pasien nyeri fraktur yang terpasang traksi di Rumah Sakit Putri Hijau Tk II Medan.

Berdasarkan hasil analisa menggunakan uji Wilcoxon pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah terapi menunjukkan nilai z= -3,108, p= 0,000, mean 4,0 yang diartikan bahwa terdapat perbedaan yang sinifikan dengan nilai p < 0,05 (0,000) bahwa Ho ditolak. Hal ini menunjukkan terdapat penurunan intensitas nyeri sesudah diberikan terapi distraksi mendengarkan musik sebanyak tiga kali pemberian selama tiga hari.

Sedangkan analisa independent t-test digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil analisa ini menunjukkan nilai probabilitas (p < 0,05) yaitu 0,000 untuk perbedaan sesudah diberikan terapi distraksi mendengarkan musik kedua kelompok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara intensitas nyeri sesudah terapi pada kedua kelompok.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan terdapat efektivitas terapi kognitif distraksi mendengar musik terhadap penurunan intensitas nyeri.


(65)

6.2 Rekomendasi

6.2.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini merupakan bukti nyata keefektifan terapi perilaku kognitif distraksi mendengarkan musik dalam menurunkan nyeri khususnya pada pasien fraktur dan dapat diaplikasikan kepada mahasiswa keperawatan sebagai salah satu materi laboratorium skill.

6.2.2 Bagi Praktek keperawatan

Hasil penelitian ini menunjukkan efektivitas terapi prilaku kognitif distraksi mendengarkan musik dalam penanganan pasien dengan nyeri fraktur, maka diharapkan kepada tenaga kesahatan khususnya perawat dapat menjadi motivator dan fasilitator bagi pasien fraktur yang terpasang traksi dalam membantu menurunkan nyeri yang dirasakan oleh pasien.

6.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini memiliki kekurangan yaitu lamanya pasien fraktur dirawat dan sudah berapa lama traksi diberikan tidak dipaparkan oleh peneliti, karena lama masa perawatan mempengaruhi tingkat nyeri. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan mengetahui dan memaparkan lama pasien terpasang traksi dan diharapkan melakukan penelitian mengenai efektivitas terapi distraksi mendengar musik terhadap lama perawatan pasien fraktur sesuai dengan fase penyembuhan tulang serta efektivitas terapi distraksi mendengarkan musik terhadap intensitas nyeri pasien post operasi hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi peneliti selanjutnya dengan topik dan ruang lingkup yang sama dengan penelitian ini.


(1)

- Terapi distraksi dihentikan jika penderita nyeri kronis mengalami nyeri yang semakin hebat dan memerlukan perlakuan khusus.

- Selama melakukan terapi distraksi diharapkan pasien sedang dalam kondisi yang siap untuk mendapatkan terapi, oleh karena itu informasi dari pengurus rumah sakit di tempat penelitian sangat dibutuhkan.

Alat :

- Lembar Kuesioner

- MP4

Prosedur Tindakan: Persiapan

- Peneliti menyiapkan alat

- Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan

-Peneliti membagikan kuesioner terapi distraksi sebelum responden mendapatkan terapi distraksi, dan menjelaskan cara pengisian kuesioner.

Penutup

- Membuat kontrak waktu untuk pemberian terapi distraksi berikutnya.

- Setelah terapi distraksi selesai diberikan sebanyak 3 kali dalam 3 hari peneliti menutup pelaksana terapi distraksi dengan mengucapkan salam dan terima kasih.


(2)

Kriteria hasil:

- Penderita nyeri fraktur setelah mendapat terapi distraksi menjadi nyaman, segar dan bugar

- Gejala nyeri fraktur menjadi bekurang setelah mendapat terapi distraksi dalam 3 kali.


(3)

Lampiran 5

RENCANA ANGGARAN PENELITIAN

1. PROPOSAL

a. Print Proposal Rp. 100.000

b. Biaya Internet Rp. 50.000

c. Fotocopy Sumber-Sumber Tinjauan Pustaka Rp. 50.000 d. Fotocopy Perbanyak Proposal Rp. 60.000

2. PENGUMPULAN DATA

a. Surat Ijin Penelitian Rp. 200.000

b. Transportasi Rp. 100.000

c. Fotocopy Kuesioner Rp. 30.000

d. Pembelian Headset dan Mp4 Rp. 350.000

e. Souvenir Rp. 100.000

3. ANALISA DATA DAN PENYUSUNAN LAPORAN

a. Biaya Rental dan Print Rp. 100.000

b. Fotocopy dan jilid Rp. 100.000

4. BIAYA TAK TERDUGA Rp. 200.000


(4)

Lampiran 6

CURRICULUM VITAE

Nama : You Wanda Fadlani

Tempat/tanggal lahir : Bah-butong/ 17 Juni 1990

Alamat : PTPN IV Kebun Bah-butong

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan :

- SD Negeri 091421 Emplasmen Bah-butong Tahun 1996-2002 - Mts Swasta Darma Pertiwi Emplasmen Bah-butong Tahun 2002-2005

- MAN PLUS Pematangsiantar Tahun 2005-2008

- Akper KESDAM I/BB Medan Tahun 2008-2011


(5)

(6)