Analisis kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan di kabupaten alor provinsi Nusa Tenggara Timur

(1)

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN

DI KABUPATEN ALOR

YUNUS ADIFA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(2)

ABSTRAK

YUNUS ADIFA. Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor. (ERNAN RUSTIADI sebagai Ketua dan SETIA HADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Strategi perencanaan yang berspektif keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar spasial yang mendasari penyusunan tata ruang wilayah sebagai induk dari proses pembangunan suatu wilayah yang efisien, adil dan berkelanjutan, sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah. Tujuan penelitian ini adalah: menganalisis besarnya kesenjangan pembangunan antar satuan Wilayah Pengembangan (SWP), dan menentukan sektor-sektor basis/komoditi unggulan yang mendukung satuan Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor guna memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat. Metode analisis yang digunakan adalah, Indeks Williamson, Indeks Skalogram, Indeks Entropy dan Entropy Interaksi Spasial tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model) dan analisis deskriptif, Location Quotient (LQ) dan analisis Shift Share (SSA).

Hasil analisis menunjukkan adanya kesenjangan Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor. Dari ketiga Satuan Wilayah Pengembangan yang ada, SWP-B memperlihatkan tingkat perkembangan wilayah yang lebih baik. Tingkat kesenjangan pembangunan yang paling lebar ditemukan pada SWP-C. Ini terjadi karena lemahnya keterkaitan/keterpaduan antar sektor dan spasial dalam kinerja pembangunan wilayah, terutama berkaitan dengan pendistribusian sumberdaya yang bersifat asimetrik.

Kata Kunci : Kesenjangan pembangunan, Sektor/komoditi basis, Wilayah pembangunan, Interaksi spasial.


(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “ Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur “ adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka.

Bogor, Mei 2007

Yunus Adifa Nrp.A155030121


(4)

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR - PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

YUNUS ADIFA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(5)

Judul Tesis : Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor - Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Nama : Yunus Adifa Nomor Pokok : A155030121

Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Dr. Ir. Setia Hadi, MSi

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Wilayah dan Perdesaan

Prof.Ir. Isang Gonarsyah,Ph.D Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS


(6)

@ hak cipta milik Yunus Adifa, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas tuntunan dan karunia-Nya, sehingga penyusunan Tesis yang berjudul “Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor” dapat diselesaikan.

Pengambilan Judul penelitian sebagaimana tersebut di atas, didasari pada suatu kerangka pemikiran Penulis, bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang sementara bergulir, akan dapat lebih efektif, jika setiap daerah otonom lebih dahulu memahami apa yang menjadi kesenjangan pembangunan selama ini, seberapa besar kesenjangan itu dapat terjadi dan apa yang sebenarnya harus dilakukan untuk mereduksi kesenjangan pembangunan dimaksud. Setiap daerah otonom yang selalu membuka diri dan berupaya memahami dan menyadari berbagai kesenjangan pembagunan di daerahnya, dipastikan akan menekan tingkat ketidakpastian (uncertainty) dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya pembangunan wilayah yang cenderung asimetrik dan stagnan.

Salah satu tolok ukur untuk mereduksi tingkat kesenjangan pembangunan adalah bagaimana membangun suatu keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar spasial yang mendasari pada Tata ruang wilayah sebagai Induk dari proses pembangunan suatu wilayah yang lebih efisien, adil dan berkelanjutan. Namun demikian kelangkaan sumber daya manusia pada berbagai wilayah otonom, terutama wilayah wilayah marjinal, sering menjadi tantangan untuk menemukan berbagai kesenjangan pembangunan baik antar sektor maupun antar wilayah pembangunan sebagai dasar pengambilan keputusan alokasi sumber daya pembangunan yang simetrik dan dinamik.

Sehubungan dengan itu penelitian ini, selain sebagai syarat akademik bagi Penulis dalam mengakhiri proses Studi Pascasarjana pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan – IPB, diharapkan sedikitnya bisa menjawab berbagai tantangan daerah otonom khususnya Kabupaten Alor dalam upaya menemukan informasi yang lebih konsisten sebagai acuan transformasi perencanaan pembangunan wilayah ke depan.

Disadari bahwa penulisan Tesis ini dapat terselesaikan, karena kontribusi setiap pihak, sehingga tiada sesuatu yang lebih berharga, kecuali ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada :


(8)

1. Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, dan Dr. Ir. Setia Hadi, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota yang telah meluangkan waktu, pikiran dan Literatur sejak proses penelitian hingga terselesaikannya penulisan Tesis ini.

2. Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D, Selaku Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, dan Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS, selaku Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor bersama civitas Akedemiknya yang telah meluangkan waktu, pikiran dan legalitas administrasi selama proses studi hingga terselesaikannya Tesis ini.

3. Para Dosen dan Karyawan Program Study Ilmu-Ilmu Perencanaan dan Perdesaan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan Ilmu dan dukungan administrasi selama dalam proses study.

4. Prof.Dr.W.H.Limbong, Msc selaku Moderator Kolokium II dan Dr.Hedi.M.Idris, selaku Dosen Penguji Luar Komisi dari Bappenas, atas masukan perbaikan Draft selama dalam proses Seminar dan ujian Tesis.

5. Rekan-rekan Mahasiswa Angkatan 2003, Angkatan 2004, Angkatan 2005, Senior S3 PWD dan teman-teman bimbingan Pak Ernan yang berkenan meluangkan waktu menghadiri kolokium dan berbagai kesempatan diskusi yang cukup memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi terselesaikannya penulisan Tesis ini.

6. Pemerintah Kabupaten Alor dan DPRD, yang telah merekomendasikan dan memfasilitasi Penulis selama dalam proses studi di PWD-IPB dan kegiatan penelitian. Termasuk Pimpinan dan staf seunit kerja Bappeda dan unit kerja terkait, yang cukup memberikan dukungan data, tenaga dan moril dalam proses Studi dan proses penelitian di Kabupaten Alor, hingga terselesaikannya Tesis ini. 7. Istri dan anak-anak serta keluarga, yang dalam segala ketabahan memberikan

dukungan doa dan materi, sehingga Penulisan Tesis ini dapat terselesai.

Kendatipun berbagai pihak telah ada andil di dalamnya, namun demikian Penulis menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya Penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari setiap pihak yang peduli bagi penyempurnaan tulisan ini, dihaturkan terimakasih.

Bogor, Mei 2007 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Weman - Alor Selatan Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 12 Nopember 1965. Merupakan anak kedua dari dua bersaudara kandung dari pasangan suami istri Karel Adifa dan Juliana Letsibuda dan 7 saudara tiri. Namun sejak balita Penulis diasuh, dibesarkan dan disekolahkan sebagai anak asuh dari 6 bersaudara pasangan ayah dan ibu asuh Anderias Letsibuda dan Sarci Lakatina.

Penulis mengawali Pendidikan Dasar (SD) pada SD GMIT Kabola Kalabahi Alor Tahun 1971-1974 dan menamatkannya Tahun 1976 pada SD GMIT Silaipui Alor Selatan, setelah itu tamat pada SMP Negeri Kalabahi Alor Tahun 1980 dan pada SMA Negeri Kalabahi Alor Tahun 1983. Kemudian menamatkan Sarjana Peternakan Tahun 1990 pada Fakultas Peternakan Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada Tahun 2003 Penulis melanjutkan Pendidikan pada Program Magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor.

Sebelum melanjutkan Pendidikan pada Program Magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor, Penulis bekerja sebagai Asisten Manager Koperasi Unit Desa di Alor Selatan dan Alor Timur Laut Tahun 1992 – 1994. Kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Camat Pembantu Alor Timur Tahun 1994 -1996 dalam jabatan Plt. Sekertaris wilayah Kecamatan. Setelah itu bekerja dalam jabatan Kepala Sub bidang

Pertanian pada Bagian Ekonomi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Alor Tahun 1996 - 2003. Disamping itu sebagai Dosen

pengajar Luar Biasa pada Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial Politik Universitas Muhamadyah Kupang kelas Khusus Kalabahi Tahun 2000-2003.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 4

1.3. Perumusan Masalah ... 13

1.4. Tujuan Penelitian ... 14

1.5. Kegunaan Penelitian ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Pengertian dan Deskripsi ... 15

2.1.1. Kerangka teori keterkaitan antar sektor dan spasial ... 21

2.1.2. Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah ... 24

a.Urgensi keberimbangan Pembangunan wilayah ... 24

b.Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah ... 24

c. Faktor-faktor penyebab Kesenjangan Pembangunan ... 27

d. Penataan Ruang ... 30

e.Teori Pusat Pertumbuhan ... 32

f.Teori Interaksi Spasial ... 36

g.Teori Resource Endowment ... 39

h.Teori Eksport Base ... 40

i.Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ... 43

j.Teori Multiplier effect (dampak Pengganda) ... 45

k.Teori Kemiskinan dan Indeks kemiskinan manusia ... 48

l. Teori Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ... 51

2.2. Deskripsi Hasil Penelitian Terdahulu ... 54

III METODE PENELITIAN ... 56

3.1. Kerangka Pemikiran ... 56

3.2. Hipotesis ... 61

3.3. Lokasi dan waktu penelitian ... 63

3.4. Sumber dan Jenis data ... 63

3.5. Metode pengumpulan data ... 63

3.6. Metode analisis ... 64

3.6.1. Analisis kesenjangan antar wilayah pembangunan ... 64

3.6.2. Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar Wilayah Pembangunan ... 68

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 72

4.1. Profil wilayah Kabupaten Alor ... 72

4.1.1. Keadaan Fisik ... 72

4.1.1.1. Letak geografis dan Administrasi wilayah ... 72


(11)

4.1.1.2. Topografi, Iklim, Sumberdaya air, dan Penggunaan lahan ... 73

4.1.1.3. Sumberdaya Fisik Laut ... 75

4.1.2. Perkembangan kependudukan dan sosial–ekonomi ... 76

4.1.2.1. Kependudukan ... 76

4.1.2.2. Sosial budaya ... 78

4.1.2.3. Ekonomi wilayah ... 83

4.1.3. Perkembangan infrastruktur/fasilitas sosial dan ekonomi ... 87

4.1.3.1. Fasilitas sosial ... 87

4.1.3.2. Infrastuktur ekonomi ... 89

4.2. Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar SWP ... 93

4.3. Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar SWP ... 125

4.4.Sintesa dan alternatif rencana strategis pembangunan wilayah Berimbang ... 134

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 143

5.1.Simpulan ... 143

5.2.Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data Penyebaran Potensi Komoditi di Kabupaten Alor

Tahun 2003 ... 3 2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun

1998-2003 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ... 5 3 Prosentase Konstribusi Sektor Terhadap PDRB Kabupaten

Alor Tahun 1998 – 2003 Atas Dasar Harga Konsatan

Tahun 1993 ... 6 4 Data Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten

Alor Tahun 1998-2003 ... 10 5 Prosentase Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks

Kemiskinan (IKM) di Kabupaten Alor Tahun 1999 dan 2002 ... 11 6 Beberapa Indikator Pembangunan antar Satuan Wilayah

Pengembangan (SWP) ... 12 7 Matriks Analisis Skalogram ... 66 8 Matriks Rangkuman Kerangka Penelitian Analisis Kesenjangan

Pembangunan Antar Pembangunan Wilayah ... 70 9 Penggunaan lahan berdasarkan luas wilayah daratan

Tahun 2003 ... 74 10 Penyebaran jumlah penduduk dan mata pencaharian Penduduk

antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 ... 78 11 Perkembangan penduduk Alor berumur 10 tahun ke atas,

berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki

Tahun 2003. ... 79 12 Perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru

menurut tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun 2003 ... 79 13 Perkembangan beberapa indikator pembangunan kesehatan antar

Satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor

Tahun 2003 ... 80 14 Perkembangan jumlah penganut agama antar satuan wilayah

pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003 ... 81 15 Ratio pertumbuhan PDRB Per kapita Kabupaten Alor terhadap

PDRB Per kapita Provinsi NTT dan PDB Per kapita Indonesia

Tahun 2000-2003 ... 84 16 Perkembangan perdagangan komoditi Antar pulau/ eksport dan

Penerimaan sumbangan Pihak ketiga (SP3) di Kabupaten Alor

periode 2002-2004 ... 86 17 Perkembangan pembangunan infrastruktur sosial antar SWP di

Kabupaten Alor Tahun 2003 ... 88 18 Perkembangan pembangunan infrastruktur Ekonomi antar SWP

di Kabupaten Alor Tahun 2003 ... 90 19 Indeks Williamson untuk SWP A, SWP B dan SWP C

di Kabupaten Alor pada kurun waktu 1999-2004 ... 93 20 Perkembangan desa hirarki Antar SWP berdasarkan indeks


(13)

21 Indeks Perkembangan hirarki Ibu Kota Kecamatan Tahun 2003 ... 99 22 Nilai Entropy penyebaran Alokasi APBD Pembangunan di

Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003 ... 101 23 Hasil Analisis Entropy Interaksi spasial (Pengiriman dan

Penerimaan Berita melalui Saluran SSB ) di Kabupaten Alor

Tahun 2004 ... 105 24 Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Pada SWP A, B dan C 114 25 Prosentase Kemiskinan Penduduk Antar SWP Di Kabupaten Alor

Tahun 2000 – 2004 ... 124 26 Hasil Analisis LQ Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah

Pengembangan di Kabupaten Alor Keadaan Tahun 2003 ... 126 27 Pergeseran Pertumbuhan komoditi unggulan antar Satuan

Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun

1998 dan Tahun 2003 ... 129 28 Matriks kombinasi hasil analisis LQ dengan SSA terhadap


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor

Tahun 1991 ... 9

2 Peta Kota hirarki antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1991 ... 9

3 Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor ... 62

4 Peta Lokasi Penyelaman di Taman laut Selat Pantar ... 76

5 Perkembangan penduduk Kabupaten Alor Tahun 1990-2003 ... 77

6 Prosentase Pertumbuhan penduduk kabupaten Alor Tahun 1990-2003 ... 77

7 Prosentase perkembangan struktur ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1988 dan Tahun 1998-2003 ... 85

8 Peta Penyebaran jalan di Kabupaten Alor ... 92

9 Kesenjangan pembangunan antar-inter SWP A, B dan C di Kabupaten Alor kurun waktu 1999-2004 ... 94

10 Peta Perkembangan hirarki wilayah di Kabupaten Alor Atas dasar Indeks Skalogram Tahun 2003 ... 96

11 Nilai Entropy penyebaran APBD Pembangunan di Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003 ... 101

12 Prosentase Alokasi APBD Pembangunan antar SWP TA.1997/1998-2003 ... 102

13 Entropi Interaksi Spasial (pengiriman berita melalui SSB) antar hirarki wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004 ... 106

14 Entropi Interaksi Spasial (Penerimaan Berita Melalui SSB ) antar Hirarki Wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004 ... 106

15 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP A ... 115

16 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP B ... 115

17 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP C ... 115

18 Perkembangan jumlah interaksi spasial / pergerakan arus penumpang, barang dan hewan yang menyinggahi Pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003 ... 118

19 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan arus penumpang, orang dan hewan yang menyinggahi pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003 ... 118

20 Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi ... 119

21 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi ... 119

22 Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi ... 120

23 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi ... 120

24 Jalur interaksi spasial komoditi/barang antar pulau/antar regional Tahun 2003. ... 122


(15)

25 Jumlah frekwensi pesawat dan bongkar/muat penumpang dan

barang melalui Bandara Mali Tahun 2003 ... 123 26 Proporsi penumpang dan barang yang dibongkar dan di muat

melalui Bandara Mali Tahun 2003 ... 123 27 Pergeseran Pertumbuhan Komoditi Unggulan Antar SWP

di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun 2003 ... 129 28 Bagan Keterkaitan hasil analisis kesenjangan pembangunan antar

satuan wilayah pengembangan (SWP)di Kabupaten Alor ... 134 29 Model keterkaitan/keterpaduan didalam Rencana Strategis

Pembangunan wilayah berimbang di Kabupaten Alor ... 136 30 Stadia Pengembangan Wilayah melalui demand side Strategy

di Kabupaten Alor ... 139 31 GERBADESTAN sebagai strategi opersional rencana Strategis

pembangunan Kabupaten Alor Tahun 2005-2009. ... 142 32 Bagan kerangka keterkaitan sintesa hasil analisis kesenjangan

pembangunan wilayah dan alternatif Rencana strategi


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tabel Analisis Kesenjangan Pendapatan (Penerimaan PBB)

antar SWP Periode 1999-2004 (Model Indeks Williamson) ... 151 2 Tabel Rekapitulasi Analisis Skalogram Perkembangan kota

hirarki antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 ... 153 3 Tabel Analisis Kesenjangan Alokasi APBD Antar SWP di Kab. Alor

Periode 1997/1998-2003 (Model Indeks Entropy) ... 156 4 Tabel Data Interaksi Spasial (Arus informasi berita) melalui SSB

Pemerintah Kabupaten Alor Tahun 2004. ... 158 5 Tabel Rekapitulasi hasil analisis entropi interaksi spasial

(pengiram dan penerimaan berita melalui saluran SSB) di

Kabupaten Alor Tahun 2004 ... 160 6 Analisis Entropy Interaksi spasial (pengiram dan penerimaan

berita ) melalui saluran SSB antar kota hirarki di Kabupaten Alor

Tahun 2004 ... 170 7 Tabel Analisis Location Quoentient (LQ) Sektor/Komoditi unggulan

antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 ... 176 8 Tabel Analisis Shift Share (SSA) Sektor/Komoditi unggulan antar

SWP di Kabupaten Alor Tahun 1998 danTahun 2003 ………. 177 9 Penyebaran Kota hirarki/pusat aktivitas antar SWP menurut


(17)

1.1. Latarbelakang

Kabupaten Alor merupakan salah satu daerah otonom dari 16 Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabupaten ini dibentuk seiring dengan Penetapan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah–Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah–Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 1655). Dalam konteks Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Posisi Kabupaten Alor sebagai salah satu Kabupaten Kepulauan Nusa Tenggara dan juga sebagai Kawasan Perbatasan Maritim dengan Negara Timor Leste. Sebagai Wilayah Kepulauan, Kabupaten ini terdiri atas 17 gugusan pulau, dimana 9 pulau dihuni penduduk sedang 8 pulau di antaranya adalah pulau-pulau kecil yang masih merupakan potensi pengembangan. Kabupaten ini memiliki luas daratan 2.864, 64 Km2 dan luas wilayah perairan laut seluas 10.973, 62 km2 dengan penduduk yang berjumlah 168.965 jiwa, tersebar pada 9 kecamatan, 158 desa dan 17 kelurahan, dengan rata-rata kepadatan penduduk 59 orang/km2. Sebahagian besar luas daratan merupakan gunung dan berbukit-bukit yang dibatasi lembah dan jurang dalam, dengan kemiringan di atas 40 % seluas 64,25 % (BPS, 2003)*.

Posisi Kabupaten Alor sebagai wilayah perbatasan negara, kondisinya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Soegijoko (1997), bahwa wilayah perbatasan sebagai bagian integral dari wilayah nasional pada umumnya merupakan kawasan penyangga yang memungkinkan terjadinya gangguan maupun kerja sama dengan wilayah negara tetangga. Untuk itu, daerah perbatasan semestinya diberikan perhatian yang lebih besar untuk dibangun secara layak sebagaimana daerah-daerah lain. Wilayah perbatasan merupakan kawasan khusus karena perbatasan dengan wilayah negara tetangga,sehingga penanganan pembangunannya memerlukan kekhususan. Pada umumnya daerah perbatasan nasional merupakan bagian wilayah yang terpencil dan rendah aksesibilitasnya oleh moda transportasi umum, terbelakang dan masih belum berkembang secara mantap, kritis dan rawan dalam ketertiban dan keamanan. Daerah perbatasan pada dasarnya termasuk dalam kategori daerah rawan, tetapi bersifat strategis. Bila dibandingkan dengan keadaan


(18)

wilayah negara tetangga yang berbatasan, pasti tampak adanya kesenjangan sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Gejala seperti ini mudah menimbulkan kerawanan, karena penduduk kawasan perbatasan cenderung berorientasi ke kawasan negara tetangga untuk pemenuhan berbagai kepentingan mereka. Apabila tidak diwaspadai dan dibina sejak dini, kerawanan itu dapat tumbuh menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional, terlebih bila dikaitkan dengan adanya potensi sumberdaya alam strategis di kawasan perbatasan dan sekitarnya.

Wilayah kepulauan dengan kondisi geofisik dan geostrategis wilayah perbatasan seperti di atas, umumnya rawan terhadap pertahanan keamanan teritorial serta rawan bencana seperti gempa, longsoran, banjir, kekeringan dan kebakaran selalu memperparah laju pertumbuhan pembangunan wilayah yang cenderung lamban. Sehingga tak dapat dipungkiri bila rata-rata penduduk masih banyak yang miskin dan hidup terisolasi dari aksesibilitas aktivitas ekonomi dan pelayanan sosial. Kondisi yang demikian apabila tidak diimbangi dengan suatu kebijaksanaan perencanaan pembangunan wilayah yang komprehensif dan akomodatif dalam perspektif keterpaduan dan keterkaitan akan berdampak pada kemerosotan struktur ekonomi wilayah dan kualitas hidup masyarakat.

Kabupaten Alor sebenarnya memiliki sumberdaya domestik yang beraneka ragam, baik migas dan non migas, serta panorama alam (sebagai obyek wisata bahari dan alam) yang apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, tentu memberikan kontribusi yang signifikan bagi struktur perekonomian wilayah baik secara domestik, regional maupun nasional. Sumberdaya domestik wilayah yang sudah atau sedang dan akan dikembangkan sebagai komoditas unggulan dan andalan untuk memenuhi permintaan domestik, regional, dan nasional antara lain seperti diperlihatkan dalam Tabel 1.

Dari sejumlah Potensi domestik, yang tertera pada Tabel 1, potensi pertambangan dan penggalian masih dalam bentuk desain potensi kecuali batu hitam sudah menjadi komoditi eksport/antar pulau. Khusus potensi minyak dan gas (migas), serta sumberdaya laut di Selat Ombay merupakan potensi strategis dalam kawasan perbatasan negara, telah menjadi ajang perebutan antara negara Timor Leste, Australia dan Indonesia. Berkaitan dengan eksploitasi migas di Celah Timor, Australia lebih unggul dalam teknologi pengelolaan sumberdaya dasar laut dibandingkan dengan Indonesia dan Timor Leste.


(19)

Tabel 1 Penyebaran Potensi Komoditi di Kabupaten Alor Tahun 2003.

No Jenis Sektor/ Komoditi Luas Areal/ Panen (Ha) Kapasitas/ Jumlah Produksi (Ton) Kecamatan /Lokasi

Basis Pengembangan Keterangan

I Pertambangan & penggalian

1 Minyak Bumi - - Pantar, Panbar,dan abad potensi

2 Emas - - Pantar,abad & Alsel potensi

3 Timah - - Alsel,Altim & Altim Laut potensi

4 Gypsum - - Panbar & Abad potensi

5 Sumber Panas - - Altim & Altim Laut potensi

6 Batu Hitam - 6000.00 Alsel,Altim, Abad ,Panbar eksport/AP

II Pertanian Tanaman

7 Kemiri 6268.50 1589.50 9 Kec. eksport/AP

8 Kelapa 4737.84 845.07 9 Kec. eksport/AP

9 Kopi 693.56 18.25 9 Kec. -

10 Jambu Mente 8456.50 507.86 9 Kec. eksport/AP

11 Cengkeh 109.46 17.85 Abal,Alsel,Telmut,Abad, Pantar eksport/AP 12 Pinang 746.50 34.10 8 Kec. kecuali .Panbar eksport/AP

13 Vanili 124.10 15.00 Alsel eksport/AP

14 Kakao 169.64 0.86 Telmut, Abal & Alsel -

15 Lada 20.00 0.15 Abad, Alsel -

16 Asam - 500.00 9 Kec. eksport/AP

17 Sirlack - 59.16 9 Kec. eksport/AP

18 Kacang hijau 261.00 168.30 9 Kec. AP (2001) 19 Kacang tanah 44.00 37.20 7 Kec.kecuali Telmut , Altu -

20 Sawah 183.00 760.60 6 Kec.kecuali Telmut,Pantar -

21 Padi Ladang 3852.00 7991.90 9 Kec. -

22 Jagung 11790.00 18728.10 9 Kecamatan -

III Perikanan dan Kelautan

23 Tangkapan Ikan 4164 1761.90 9 Kec (110 desa ) eksport/AP 24 Kerang Mutiara 20 15040 ekor Telmut dan Abad eksport/AP

25 Rumput laut 1200 - Telmut, Panbar, Pantar budidaya

26 Tambak 145 - Telmut, Abal budidaya

27 Ikan kerapu 60 - Pantar, Abad, Altim potensi

28 Teripang 40 - Telmut, Altim laut, Abal,Abad potensi 29 Ikan hias 35 - Abal,Telmut,Altim laut, Abad potensi

IV Peternakan

30 Sapi - 1510 ekor 9 Kec. -

31 Kerbau - 13 ekor Pantar, Abad, Altim Laut, Alsel -

32 Kambing - 31138 ekor 9 Kec. -

33 Babi - 69 971 ekor 9 Kec. -

34 Rusa - 244 ekor 7 Kec. kecuali Alsel, Altim Laut - Sumber : BPS ( Alor Dalam Angka, 2003).

Katerangan : AP= Antara Pulau; Kec = Kecamatan: Telmut = Teluk Mutiara; Abal = Alor Barat laut , Abad = Alor Barat Daya, Alsel = Alor Selatan; Altu =Alor Tengah Utara, Altim = Alor Timur, Altim Laut = Alor Timuir Laut dan Panbar =Pantar Barat. Di lain sisi, mencermati akan potensi domestik yang dimiliki Kabupaten Alor sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 1 seharusnya masyarakat Alor tidak harus miskin, apabila limpahan sumberdaya domestik tersebut dapat dikelola secara efisien dan efektif. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya domestik yang belum efisien dan efektif merupakan bias alokasi sumberdaya pembangunan dari pemerintah pusat maupun provinsi yang sangat tidak proporsional pada masa lalu, untuk membangun infrastruktur wilayah yang dapat mendorong investasi sumberdaya manusia (human capital), modal usaha,


(20)

teknologi dan informasi untuk mengembangkan sumberdaya domestik (resources endowment) yang ada menjadi produktif dalam skala ekonomik (economic scale)

Sehubungan dengan itu Teori Resource endowment menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu, dimana dalam jangka pendek, sumberdaya wilayah tersebut merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan (Perloff and Wingo, 1961). Dengan demikian suatu sumberdaya wilayah akan menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi dan ada permintaan.

Disamping kesenjangan dalam distribusi alokasi sumberdaya pembangunan yang tidak proporsional terhadap kondisi spesifik wilayah seperti yang dipaparkan di atas, kesenjangan tersebut juga terjadi karena pendekatan perencanaan pembangunan daerah selama ini, juga lebih berbasis sektoral dan administratif, kurang berbasis pada pengembangan wilayah. Pendekatan pembangunan yang menekankan pada pembangunan sektoral, kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan dan lebih memperlihatkan ego sektor ketimbang keterkaitan sektor, sehingga kesenjangan pembagunan antar sektor menjadi semakin melebar.

Menurut Rustiadi et al. (2004), salah satu bentuk dari terjadinya kegagalan pemerintahan (government failure) di masa lalu adalah kegagalan dalam menciptakan keterpaduan sektoral yang sinergis dalam kerangka pembangunan wilayah. Lembaga-lembaga (instansi) sektoral di tingkat wilayah/ daerah sering hanya menjadi berupa perpanjangan lembaga sektoral di tingkat nasional/pusat dengan sasaran pembangunan, pendekatan dan perilaku yang tidak sinergis dengan lembaga yang dibutuhkan sektoral di tingkat daerah. Akibatnya lembaga pemerintah daerah gagal menangkap kompleksitas pembangunan yang ada di wilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat sebagaimana mestinya. Sedangkan wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis.

1.2. Permasalahan.

Akibat krisis ekonomi 1997 (wilayah-wilayah di Indonesia mengalami hal yang sama) pertumbuhan ekonominya lebih lambat pulih dari krisis moneter 1997 hampir selalu dibawah rata-rata proporsi. Hal ini memberikan kesadaran


(21)

bahwa dampak krisis yang meluas tidak luput dari kebijaksanaan pembangunan, termasuk perencanaan wilayah yang tidak tepat masa lalu, sehingga saat krisis merupakan saat untuk memikirkan kembali arah kebijaksanaan pembangunan wilayah (Nurzaman, 2002). Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor mencapai tingkat minus 2,50% pada tahun 1998, namun mulai berangsur membaik pada awal otonomi daerah seperti ditunjukkan pada Tabel 2

Tabel 2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1998 - 2003 Atas Dasar Harga Konstan (1993)

Tahun Kabupaten Alor Propinsi NTT Nasional

1998 -2,50 -2,73 -13,13

1999 -0,44 2,73 0,85

2000 4,44 4,17 4,84

2001 4,74 5,10 3,45

2002 5,49 5,96 3,69

2003 5,63 5,87 4,10

Sumber: BPS (PDRB Kabupaten Alor 2003 dan PDB Nasional 2003).

Secara makro pertumbuhan ekonomi mulai membaik dalam 4 tahun terakhir perberlakuan otonomi daerah atau setelah krisis, bahkan berada di atas rata-rata nasional dan berada sedikit di bawah rata-rata Propinsi NTT. Akan tetapi timbul pertanyaan: (1) apakah trend pertumbuhan ekonomi yang meningkat tersebut diikuti oleh semakin kuatnya keterkaitan antar sektor yang memperkokoh struktur ekonomi wilayah yang lebih dinamik?; (2) apakah pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat tersebut masih tergantung pada sektor-setor tertentu yang hanya memberikan nilai tambah ekonomi yang berkurang (diminishing)?. Hal ini bisa diperlihatkan dengan perkembangan pangsa (share) masing-masing sektor terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dalam kurun waktu lima tahun terakhir seperti pada Tabel 3.

Dari Tabel 3, dapat disimak beberapa hal sebagai berikut: (1) sektor pertanian pada satu sisi merupakan penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor, namun kontribusinya menurun dari 42,2% pada tahun 1998 menjadi 34,58% pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan telah terjadi trasformasi struktur ekonomi dari sektor primer (sektor pertanian) ke sektor modern (industri dan jasa). Walaupun demikian, sektor pertanian masih menjadi sektor andalan di dalam penyerapan tenaga kerja 82,79%; (2) Pada sisi yang lain, sektor industri yang diharapkan dapat menyerap surplus usaha dan tenaga kerja sektor pertanian justru tidak memperlihatkan kinerja yang meningkat.


(22)

Tabel 3 Prosentase kontribusi Sektor terhadap PDRB Kabupaten Alor Tahun 1998-2003 Atas Dasar Harga Konstan (1993)

No Sektor 1998 1999 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian 42.2 39.34 38.34 37.08 35.21 34.58

a.Tanaman bhn makanan 20.75 16.63 15.61 15.00 14.41 13.83

b.Perkebunan 5.25 6.47 6.45 6.21 5.90 6.16

c.Peternakan 9.27 8.94 8.33 7.96 7.58 7.41

d.Kehutanan 1.63 1.44 1.13 1.08 0.98 0.96

e.Perikanan 5.30 5.87 6.81 6.83 6.34 6.22

2 Pertambangan & penggalian 1.38 1.39 1.35 1.30 1.24 1.20 3 Industri Pengolahan 2.17 2.15 2.10 2.04 1.97 1.91 4 Listrik,Gas dan Air minum 0.61 0.61 0.59 0.57 0.55 0.55

a.Listrik 0.47 0.46 0.45 0.43 0.42 0.41

b.Air minum 0.15 0.15 0.14 0.14 0.13 0.13

5 Bangunan/Konstruksi 5.47 5.69 5.98 5.74 5.59 5.76 6 Perdagangan, rumah makan

dan hotel

12.81 14.47 13.45 13.01 12.7 12.7

a.Perdagangan besar & eceran 12.29 13.94 12.93 12.5 12.19 12.16

b.Restoran/rmh makan 0.48 0.50 0.50 0.48 0.48 0.51

c.Perhotelan 0.04 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03

7 Angkutan & Komunikasi 5.72 5.86 6.09 6.10 6.68 6.57

a.Angkutan 5.27 5.38 5.59 5.58 6.15 6.04

1.Jalan raya 4.36 4.49 4.46 4.39 4.78 4.66

2.Penyeberangan 0.11 0.13 0.15 0.17 0.24 0.28

3.Laut 0.39 0.48 0.67 0.73 0.84 0.83

4.Udara 0.04 0.03 0.04 0.04 0.04 0.03

5.Jasa penunjang 0.37 0.24 0.26 0.25 0.25 0.24

b.Komunikasi 0.45 0.48 0.51 0.51 0.53 0.53

8 Keuangan,Persewaan & Jasa Perusahaan

4.67 4.6 4.52 4.41 4.22 4.12

a.Bank 1.48 1.31 1.32 1.30 1.23 1.20

b.Nir Bank 1.31 1.37 1.34 1.32 1.28 1.24

c.Sewa Bangunan 1.77 1.80 1.74 1.68 1.61 1.58

d.Jasa perusahaan 0.11 0.12 0.12 0.11 0.11 0.11

9 Jasa-jasa 24.97 25.89 27.57 29.76 31.85 32.6

a.Pemerintahan umum 22.98 23.84 25.59 27.86 30.06 30.83

b.Swasta 1.99 2.05 1.98 1.90 1.79 1.76

1.Sosial kemasyarakatan 1.44 1.47 1.42 1.36 1.29 1.27

2.Hiburan dan rekreasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

3.Perorangan & rumahtangga 0.55 0.59 0.56 0.54 0.51 0.49

Total PDRB 100 100 100 100 100 100

Sumber : BPS (PDRB Kabupaten Alor 2003).

Pertumbuhan sektor industri cenderung stagnan bahkan mengalami penurunan dari 2,17% pada tahun 1998 menjadi 1,91% pada tahun 2003; dan hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,47% pada tahun 2003; (3) Hal yang sama terjadi pada sektor perdagangan. Sebagai salah satu sektor modern, sektor perdagangan juga mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Pertumbuhan sektor perdagangan pada tahun 1998 mencapai 12,81%, kemudian meningkat naik 14,7% menurun lagi menjadi 12,7% pada tahun 2003, dan hanya mampu menyerap tenaga kerja 3,58 persen; (4) Sektor jasa-jasa mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan dari 24,97% meningkat menjadi 32,6% pada tahun 2003 dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 10,07%. Akan tetapi


(23)

prosentase terbesar terdapat pada jasa pemerintahan umum, sehingga perlu dikritisi apakah surplus tenaga kerja di sektor pertanian terserap di sektor jasa pemerintahan umum? (5) Pergeseran sektor pertanian dengan pertumbuhan industri yang stagnan apakah dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi yang dinamik?

Lima hal yang dikritisi dari tabel tersebut di atas merupakan hal yang menarik untuk dikaji apakah ada kaitan dengan keterkaitan antar sektor yang masif atau lemah?, sementara Teori dualisme Lewis menegaskan bahwa struktur ekonomi yang lebih didominasi hanya oleh satu sektor, perkembangan wilayah tersebut akan menjadi stagnan. Teori dualisme Lewis tersebut, mengisyaratkan agar resources endowment wilayah dapat diproduksi kembali dalam wilayah menjadi barang dan jasa, sehingga dapat menyerap surplus tenaga kerja subsisten dari sektor pertanian ke sektor industri yang memberikan nilai tambah domestik yang lebih efisien dan indikasi terjadinya kebocoran wilayah yang melebar dapat ditekan. Bagaimana dapat memenuhi isyarat teori Lewis, maka pengenalan akan resources endowment suatu wilayah yang memiliki kekuatan utama dalam penyediaan bahan baku industri domestik, merupakan tekanan utama untuk dikaji, karena suatu industri domestik akan berkembang jika didukung oleh bahan baku industri domestik yang cukup tersedia secara kontinyu. Di lain sisi pengetahuan akan resources endowment wilayah, diharapkan dapat menekan inefisiensi dalam alokasi sumber daya antar pembangunan wilayah.

Secara spasial, perkembangan sektor-sektor ekonomi yang memberikan nilai tambah yang cenderung menurun (diminishing) dan pergeseran sektor pertanian yang semakin menurun tanpa diikuti pergeseran tenaga kerja yang signifikan ke sektor modern seperti yang dikritisi di atas, apakah terkait dengan pembangunan struktur wilayah yang belum memberikan rangsangan yang berarti bagi introduksi investasi sektor modern ( industri dan jasa ) pada wilayah-wilayah pengembangan yang di arahkan dalam Struktur Tata Ruang Wilayah Kabupaten, adalah hal menarik yang perlu dikaji dalam kaitan dengan kesenjangan pembangunan antar wilayah pembagunan.

Sehubungan dengan itu Pemerintah Kabupaten Alor secara de facto telah menyusun Rencana Tata Ruang wilayah pada Tahun 1991, dan secara dejoure di tetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor: 7 Tahun 1999 Tentang Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Daerah


(24)

Tingkat II Alor. RUTRD tersebut membagi wilayah Kabupaten menjadi tiga Satuan Wilayah Pengembangan (SWP), yakni SWP A, SWP B dan SWP C. Setiap SWP ditetapkan beberapa hirarki/pusat aktivitas ekonomi dan sosial yang terdiri atas Kota Ordo I (kota ordo utama) yang berpusat di Ibu kota Kabupaten dan Kota Orde II yang berpusat pada beberapa ibu kota kecamatan dan ibu kota desa yang dapat dikembangkan sebagai wilayah kerja pelabuhan serta kota Orde III dan IV yang berpusat pada beberapa ibu kota kecamatan dan beberapa ibu kota desa, seperti pada Gambar 1 dan 2.

RUTRD tersebut, diharapkan menjadi pedoman umum bagi semua stakeholders dalam berbagai aktivitas pembangunan wilayah, akan tetapi bagaimana implementasi yang konsisten dan simetrik sesuai dengan hakekat RUTRD yang sebenarnya, sering menjadi dilema dalam kesenjangan pembangunan wilayah. Apalagi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusun akhirnya mengalami stagnasi dan mengalami situasi Masterplan syndrome, dari pada sebagai arahan kebijakan pembangunan wilayah (Rustiadi et al. 2003 ) karena terkait dengan kebijaksanaan pembangunan yang sentralis tik yang sangat syarat dengan ego kepentingan, dan sektoral, kemungkinan besar untuk melakukan investasi sumberdaya pembangunan secara terpadu dan terkait sesuai hakekat RUTRW untuk menciptakan keseimbangan pembangunan wilayah menjadi masif atau tidak konsisten.

Pada kenyataannya wilayah-wilayah pengembangan di Kabupaten Alor yang potensial sebagai sentra-sentra produksi yang seharusnya mendapat prioritas pembangunan, karena dapat menciptakan multiplier effect bagi pembangunan wilayah secara utuh selalu saja menjadi bagian kegiatan yang kurang prioritas, sehingga wilayah–wilayah tersebut masih dililit ketertutupan dari aksesibilitas jaringan transportasi dan informasi yang mendorong daya tarik investasi sumberdaya produksi dan pemasaran. Pembangunan hirarki pusat-pusat aktivitas sosial ekonomi yang mendorong kegiatan interaksi spasial dari kota hirarki utama ke kota-kota hirarki II, III dan IV yang ditunjukkan dengan jumlah dan kualitas infrastruktur wilayah, nampaknya belum menunjukkan interaksi spasial yang memberikan efek sebar bagi wilayah-wilayah hinterland. Sebagai contoh, transportasi jalan yang berkualifikasi baik hanya 32,34% dari ruas panjang jalan (1 422,33 km).


(25)

Kondisi infrastruktur wilayah yang belum memadai tersebut, apakah ada hubungannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Alor yang masih memprihatinkan ?. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator

SE L TPA NTA KEC. ALOR KEC. ALOR TENGAH UTARA

K EC . A LO R T I M U R BA RAT LA UT

BARAT DAYA

KEC . TELUK M UTIA RA KEC . ALO R

TIMUR LAUT KEC. ALOR

Tg. Delaki

Tg. Margeta Telu

k Bla ngm era ng Teluk Ben lelan g Maritaing Bukapiting Moru Mebung Kokar Kalabahi

KEC . ALO R SELATAN R

A KEC. PANTAR BARAT P.PANTAR

Baranusa Kabir Bakalang KEC. PANTAR

0 6.7 13.4

P E T A SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN (SWP)

K A B U P A T E N A L O R

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR “ B A P P E D A “ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Jl . El Tari No. 19 Tel epon (0386) 21378 RENCANA TATA RUANG WILAYAH

KABUPATEN ALOR

Ib u ko ta Ka b u p a te n Ib u ko ta Ke ca m a ta n Ba ta s Ka b u p a te n Ba ta s Ke ca m a ta n Ja la n Asp a l Ja la n Ba tu Su n g a i Ba ta s W P

20.1 26.8 Km P. A L O R

Apui

Hirarki I Hirarki II Hirarki III Hirarki IV

B T

U

S

Gambar 1 Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1991.

SEL TPA

NTA

KEC. ALOR

KEC . ALOR TENGAH UTARA

K E C . A LO R T I M U R BA RAT LA UT

BARAT DAYA

KEC . TELUK M UTIA RA KEC . A LO R

TIMUR LAUT KEC . ALOR

Tg. Delaki

Tg. Margeta

Telu k Bl

angm eran

g

Teluk Be nlelan g Maritaing Bukapiting Mor u Mebung Kokar Kalabahi

KEC . ALO R SELATAN R

A

KEC. PANTAR BARAT

P.PANTAR

Baranusa Kabir Bakalang KEC. PANTAR

0 6.7 13.4 P E T A SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN (SWP)

K A B U P A T E N A L O R

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR “ B A P P E D A “

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Jl . El Tari No. 19 Tel epon (0386) 21378 RENCANA TATA RUANG WILAYAH

KABUPATEN ALOR

Ib u ko ta Ka b u p a te n Ib u ko ta Ke ca m a ta n Ba ta s Ka b u p a te n Ba ta s Ke ca m a ta n Ja la n Asp a l Ja la n Ba tu Su n g a i Ba ta s W P

20.1 26.8 Km

P. A L O R

Apui

Hirarki I

Hirarki II

Hirarki III Hirarki IV

B T U

S

Gambar 2 Peta kota hirarki antar satuan wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 1991.


(26)

kesejahteraan masyarakat antara lain berdasarkan Data Susenas Tahun 2003 bahwa prosentase kemiskinan penduduk Kabupaten Alor berdasarkan indikator keluarga sejahtera (prasejahtera + sejahtera 1) mencapai 71,52 %; sedangkan indikator kemiskinan berdasarkan daya beli masyarakat (rata-rata pengeluaran rumahtangga penduduk), yang kurang dari Rp 500.000 per bulan mencapai 99,79% dan angka pengangguran terbuka mencapai 4,59% (BPS, 2003). Selain tingkat pendapatan rendah yang ditunjukkan oleh daya beli masyarakat tersebut di atas, maka secara relatif dapat pula diperlihatkan dari Data realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu representase penerimaan pendapatan daerah dari berbagai lapangan usaha. Perkembangan realisasi penerimaan PBB pada kurun waktu Tahun 1999 – 2003 dapat diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Data realisasi penerimaan PBB di Kabupaten Alor Tahun 1998-2003.

No Tahun Jumlah Wajib Pajak (RT)

Target Penerimaan

(Rp)

Realisasi Penerimaan

(Rp)

Prosentase (%)

1 1998 50207 318451149 17474249 5.49

2 1999 50207 318451149 196846046 61.81

3 2000 50147 376192722 209113318 55.59

4 2001 54852 465941157 307024401 65.89

5 2002 54852 465941157 323152418 69.35

6 2003 61106 438883452 415201586 94.60

Sumber : Dispenda Kabupaten Alor, 2004 (Laporan Bulanan Penerimaan PBB Tahun 1998-2003).

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa prosentase realisasi penerimaan PBB menurun tajam pada Tahun 1998 (masa krisis), kemudian mulai meningkat di atas 60 persen antara Tahun 1999-2002, walaupun mengalami fluktuasi pada Tahun 2000 (55,59 %), setelah itu mengalami pergeseran yang cukup signifikan, yakni mencapai 94,60 persen pada Tahun 2003, namun masih di bawah realisasi 100 persen.

Dampak lain dari buruknya Infrastruktur wilayah yang terkait dengan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat adalah kondisi pendidikan dan kesehatan yang disinyalir buruk. Kondisi pendidikan dan kesehatan yang buruk berimplikasi pada indeks pembangunan manusia (IPM) Alor yang rendah dan Indeks kemiskinan Manusia (IKM) Alor yang tinggi. Secara emperik, dapat dilihat pada Laporan BPS–BAPPENAS dan UNDP Tahun 2004,seperti tertera pada Tabel 5.


(27)

Tabel 5 Prosentase Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan (IKM ) di Kabupaten Alor Tahun 1999 dan 2002

Nomor Wilyah IPM IKM

1999 2002 1999 2002

1 Kabupaten Alor 55.3 57.1 26.7 28.4

2 Provinsi NTT 60.4 60.3 29.5 28.9

3 Indonesia 64.3 65.8 25.5 22.7

Sumber : Laporan Pembangunan Manusia (HDR. 2004).

Mencermati data pada Tabel 5, memperlihatkan IPM Alor, sedikit membaik pada Tahun 2002 bila dibanding Tahun 1999, tetapi masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Indonesia. Sedangkan IKM Alor, nampak memburuk pada tahun 2002 bila dibanding Tahun 1999. Demikian pula bila dibandingkan dengan Tingkat Nasional, IKM Alor nampak lebih buruk , tapi sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi.

Berdasarkan kondisi umum kesenjangan pembangunan tersebut di atas, dapat diperlihatkan dengan data kesenjangan antar wilayah pembangunan berdasarkan beberapa indikator pembangunan wilayah seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6, menunjukkan bahwa (1) Dari aspek ekonomi, memperlihatkan bahwa limpahan sumber daya domestik wilayah (resources endowment) terbesar berada di wilayah pengembangan C, tetapi pengelolaan dan pemanfaatan masih jauh dari optimal; bila dibanding dengan wilayah Pengembangan A dan B; (2) Infrastruktur jalan sebagai sarana aksesibilitas dalam proses produksi dan pemasaran sumber daya domestik terutama pada wilayah pengembangan C, jauh lebih rendah bila dibanding dengan wilayah pengembangan A dan B dan lebih terkonsentrasi pada wilayah pengembangan B; (3) Dari aspek Kesehatan, antara lain penyebaran Puskesmas /Pustu pada ketiga wilayah pengembangan rata-rata berada di atas proporsi 1/1000 penduduk, tetapi tidak diimbangi dengan tenaga medis dan para medis secara proporsional; (4) Dari aspek pendidikan, memperlihatkan bahwa rasio murid terhadap ruang kelas dan guru hampir proporsional antar wilayah pengembangan, tetapi dari status pendidikan guru pada wilayah pengembangan C terlihat lebih rendah dari wilayah pengembangan A dan B, bahkan status pendidikan guru Diploma/S1 lebih terkonsentrasi pada wilayah pengembangan B. Begitu pula murid putus Sekolah Dasar, wilayah pengembangan C lebih tinggi dibanding wilayah pengembangan A dan B (5) Tingkat kemiskinan berdasarkan indikator Keluarga prasejahtera pada wilayah pengembangan C lebih tinggi,


(28)

setelah itu diikuti wilayah pengembangan A dan B; (6) Apakah kesenjangan yang ditunjukkan dalam Tabel 6 tersebut, terkait dengan lemahnya interaksi dan keterkaitan atau keterpaduan antar wilayah pembangunan ?

Tabel 6 Beberapa Indikator Pembangunan pada Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor keadaan Tahun 2003.

No Potensi dan indikator pembangunan

Proporsi Satuan wilayah

pengembangan (SWP) (%) Kabupaten Alor SWP A SWP B SWP C

1 Proporsi luas wilayah 26.34 34.16 39.50 286 464 000 Ha 2 Proporsi jumlah peduduk 22.27 61.38 16.35 168 965 Jiwa

3 Kepadatan penduduk 50 106 59 58.98 org/km^2

4 Sumberdaya Alam

4.1 Lahan basah (sawah)

A.Potensi 0.00 8.56 91.44 3 354.50 Ha

B.Luas panen 0.00 25.14 74.86 183 Ha

4.2 Lahan kering

A.Potensi 31.39 32.79 35.82 136237.88 Ha

B.Luas panen 39.91 42.88 17.21 17892.60 Ha

4.3 Perkebunan

A.Potensi 31.27 31.19 37.54 116892.88 Ha

B.Luas produksi 38.26 37.47 24.27 24600.46 Ha

4.4 Kehutanan

A.Lindung 26.74 18.60 54.66 5 910.62 Ha

B.Produksi 61.94 8.39 29.68 28 147.09 Ha

C.Konversi 0.00 32.31 67.69 20 657.86 Ha

D.Cagar alam 29.71 0.00 70.29 8 751.05 Ha

4.5 Padang rumput 26.55 5.76 67.70 13 561.50 Ha 4.6 Produksi perikanan 48.97 44.82 6.22 1 764.90 Ton

5 Infrastruktur Jalan

A.Aspal 31.85 50.00 18.15 463.18 KM

B.Telfort 35.62 58.98 5.39 92.72 KM

C.Tanah 14.59 42.51 42.90 882.10 KM

6 Kesehatan

A Jumlah Rumah sakit/

Puskesmas/Pustu 22.03 45.76 32.20 59 unit B.Jumlah tenaga medis/paramedis 20.94 52.99 26.07 234 orang C.Rasio jumlah penduduk terhadap

rumah sakit/puskesmas/ pustu 2895 3841 1454 2864 orang D.Rasio jumlah penduduk terhadap

tenaga medis/paramedis 768 836 453 722 orang

7 Pendidikan Dasar (SD)

A.Jumlah ruang kelas 22.99 53.66 23.35 1379 unit B.Rasio murid-ruang kelas 25.24 24.32 16.14 21.90 % C.Rasio murid-guru 21.8 17.09 16.25 17.91 % D.Proporsi murid putus SD 0.34 1.04 2.98 0.01 % E.Proporsi guru SD menurut

Tingkat Pendidikan

1).SMTA Kejuruan 22.00 56.99 21.01 1 209 orang

2).DIPLOMA/S1 17.65 70.77 11.59 561 orang

8 Proporsi keluarga miskin 76,55 66,66 81.33 71.52 % Sumber: Diolah dari Data BPS 2003; ( Alor Dalam Angka dan Kecamatan Dalam Angka

2003) dan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Alor Tahun 2003 (Laporan Tahunan). Tentu saja kesenjangan pembangunan tersebut di atas tidak terlepas dari bias kebijakan pembangunan nasional masa lalu sebagai wilayah marjinal dengan alokasi sumberdaya yang jauh di bawah proporsional sehingga untuk membangun suatu struktur wilayah yang spesifik dan strategis seperti uraian di


(29)

atas secara berimbang dan cepat adalah sesuatu yang mustahil (impossible). Namun yang lebih penting adalah apabila alokasi sumberdaya yang terbatas itu direncanakan dan diimplementasikan dalam suatu pemahaman bersama, secara terpadu dan terintegrasi yang berorientasi pada skala prioritas dalam kerangka pengembangan wilayah, maka kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah seharusnya tidak terlalu melebar.

Pelaksanaan otonomi daerah akan lebih efektif jika didukung dengan informasi mengenai kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pembangunan yang konsisten sebagai arah berpijak bagi proses pembangunan yang berimbang. Proses pembangunan yang berimbang tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat (Murty , 2000 ).

Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab dan seberapa besar kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan, diperlukan suatu kajian sistematis dengan penggunaan alat analisis ekonomi wilayah yang lebih memperjelas adanya kesenjangan wilayah, sehingga menjadi acuan transformasi kebijakan perencanaan pembangunan wilayah ke depan. Hal inilah yang mendorong sebagai langkah awal untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul “ Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor1.3. Perumusan Masalah

Dari deskripsi latar belakang dan permasalahan yang diuraikan diatas, maka di berikan batasan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Seberapa besar tingkat kesenjangan Pembangunan antar wilayah Pembangunan, yang berdampak terhadap pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat, yang ditinjau dari aspek :

(1) Kesenjangan pendapatan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (2) Kesenjangan perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar


(30)

(3) Kesenjangan proporsi alokasi APBD Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan

(4) Kesenjangan interaksi spasial antar Satuan Wilayah Pengembangan. 2. Seberapa besar sektor basis/komoditi unggulan antar Satuan Wilayah

Pengembanga yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis seberapa besar kesenjangan Pembangunan antar wilayah pembangunan, yang berdampak pada pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat; yang ditinjau dari aspek :

(1) Kesenjangan pendapatan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (2) Kesenjangan perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar

Satuan Wilayah Pengembangan.

(3) Kesenjangan proporsi alokasi APBD Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan.

(4) Kesenjangan interaksi spasial antar Satuan Wilayah Pengembangan. 2. Menganalisis seberapa besar sektor basis/komoditi unggulan antar Satuan

wilayah Pengembangan yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat

1.5. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Alor dalam rangka perumusan kebijaksanaan perencanaan pembangunan wilayah kedepan, terutama dalam merumuskan kebijaksanaan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan wilayah yang berorientasi pada skala prioritas serta keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar wilayah pembangunan yang konsisten dan simetris.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Deskripsi

Menurut Chaniago et al. (2000), bahwa kesenjangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan atau ketidakberimbangan atau ketidaksemetrisan. Sehingga bila dikaitkan dengan pembangunan sektor dan wilayah, maka kesenjangan pembangunan tidak lain adalah suatu kondisi ketidakberimbangan/ketidaksemetrisan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Dimana kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tersebut sangat tergantung pada perkembangan struktur ekonomi (perkembangan sektor-sektor ekonomi) dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi (darat, laut dan udara), telekominikasi, air besih, penerangan) serta keterkaitan dalam interaksi spasial secara optimal yang didukung dengan perkembangan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (pengetahuan dan ketrampilan) serta penguatan kelembagaan.

Selanjutnya mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam. Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Sehingga secara sederhana pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003). Sedangkan Saefulhakim (2003) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang terencana (terorganisasikan) kearah tersedianya alternatif-alternatif /pilihan-pilihan yang lebih banyak bagi pemenuhan tuntutan hidup yang paling manusiawi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Siagian (1994) yang diacu Riyadi dan Bratakusumah (2003), Pembangunan sebagai suatu perubahan mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan. Definisi ini memberikan suatu pemahaman bahwa pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya


(32)

pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan atau perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat. Sedangkan Wiranto (1997) mendefinisikan pembangunan dalam konsep pembangunan yang bertumpuh pada masyarakat adalah untuk mengembangkan kehidupan suatu masyarakat dan harus dapat dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat.

Selain itu Bappenas (1999) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumberdaya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Sedangkan pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumberdaya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan layanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan.

Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak akan bisa lepas dari perencanaan maka perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003). Namun demikian suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan akan dilaksanakan, sehingga Riyadi dan Bratakusumah (2003) mendefinisikan perencanaan pembangunan wilayah/daerah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik, bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Sedangkan Hadi (2001) mengartikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang


(33)

melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi.

Selanjutnya Istilah “wilayah“ atau “daerah” sering di pertukarkan penggunaannya dalam beberapa Literatur, namun berbeda dalam cakupan ruang, dimana ‘wilayah’ digunakan untuk pengertian ruang secara umum, sedangkan istilah ‘daerah’ digunakan untuk ruang yang terkait dengan batas administrasi pemerintahan (Tarigan 2004). Tarigan mendefinisikan wilayah sebagai satu kesatuan ruang secara geografis yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memperhatikan soal batas dan kondisinya, sedangkan daerah dapat didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai batas secara jelas berdasarkan jurisdiksi administratif.

Definisi ini hampir sejalan dengan Murty (2000) yang mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik dan perdesaan.Tapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan satu kesatuan ekonomi, polotik, sosial administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, Wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Kemudian menurut Rustiadi et al. (2003), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen di dalamnya (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional (memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional). Dari definisi ini memperlihatkan bahwa tidak ada batasan spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat ”meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan, monotoring dan evaluasi.

Sedangkan pengertian wilayah berdasarkan tipologinya diklasifikasikan atas bagian (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional; dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programing region). Ketiga kerangka konsep wilayah ini dianggap lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang telah dikenal selama ini, dimana dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah yang terakhir, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem, sedangkan dalam kelompok konsep wilayah


(34)

perencanaan, terdapat wilayah administratif - politis dan wilayah perencanaan fungsional (Rustiadi et al. 2003).

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Secara umum terdapat dua penyebab homogenitas wilayah yakni (1) homogenitas alamiah (kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor alam lainnya); dan (2) homogenitas artifisial, penyebab homogenitas yang bukan berasal dari faktor alam (fisik) tetapi faktor sosial, misalnya wilayah kemiskinan karena faktor penciri yang menonjol pada wilayah tersebut adalah kemiskinan. Pemahaman terhadap wilayah homogen ini penting karena bermanfaat dalam proses perencanaan dan kebijakan yang akan dibuat, karena pembangunan suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan suatu wilayah terutama keunggulan potensi sumberdaya alam dan iklim yang memiliki ”comparative adventage”.

Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam (1) menentukan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada (comparative advantage); (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah. Sehingga wilayah homogen biasanya berhubungan dengan program perwilayahan komoditas karena beberapa alasan mendasar diantaranya: (1) budidaya bermacam-macam komoditas dalam satuan wilayah yang kecil tidak efisien; (2) upaya untuk menurunkan biaya pendistribusian input dan pendistribusian output; dan (3) untuk memudahkan manajemen. Sedangkan wilayah fungsional atau wilayah sistem ditunjukkan oleh adanya saling ketergantungan antar wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, misalnya saling ketergantungan ekonomi (Hoover 1985). Hal ini dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan (Rustiadi et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa struktur-komponen-komponen yang membentuk wilayah fungsional dapat dipilah atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non dikotomis).


(35)

Sistem dikotomis adalah sistem yang bertumpuh atas ketergantungan atau keterkaitan antara dua komponen wilayah, dimana bentuk wilayah tersebut mencakup wilayah nodal, wilayah (kawasan) perkotaan dan perdesaan, kawasan budidaya dan non budidaya. Sedangkan sistem kompleks menunjukkan suatu deskripsi wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya (komponen-komponen) didalamnya bersifat kompleks baik jumlah, jenis serta keragaman bentuk hubungan yang banyak. Bentuk wilayah sistem kompleks tersebut mencakup sistem ekologi (ekosistem), sistem sosial dan sistem ekonomi.

Menurut Hoover (1985) bahwa bentuk wilayah nodal didasarkan pada hirarki suatu hubungan perdagangan. Struktur pusat wilayah diasumsikan menyerupai kehidupan sel atau atom yang dikelilingi oleh plasma (nucleus). Dimana inti (simpul) adalah pusat-pusat pelayanan dan atau permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland), yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et al. 2003). Lebih lanjut diutarakan bahwa Inti (pusat) wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (permukiman); (2) sebagai pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) sebagai lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju); (3) sebagai daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; dan (4) penjaga keseimbangan ekologis.

Kemudian Konsep wilayah administratif politis didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu, sehingga wilayah administratif sering disebut sebagai wilayah otonomi. artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di dalamnya, misalnya negara, provinsi, kabupaten dan desa/kelurahan.

Berdasarkan deskripsi dan definisi wilayah dan pembagunan wilayah/daerah seperti di atas, maka wilayah pembangunan dapat didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang secara spasial di tetapkan atau diarahkan untuk perencanaan pembangunan wilayah


(36)

yang melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi. Dimana wilayah pembangunan tersebut bisa mencakup kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, kawasan pengembangan ekonomi, kawasan budidaya, dan lain sebagainya. Lebih spesifik wilayah pembangunan yang dimaksudkan dalam konteks penelitian ini adalah satuan wilayah pengembangan (SWP) dengan Hirarki/pusat aktivitasnya, yang diarahkan dalam Struktur Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten merupakan salah satu wujud Perecanaan Tata Ruang yang diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten /kota yang berisikan: (1) tujuan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; (2) rencana struktur ruang dan pola pemanfaatan wilayah kabupaten; (3) pengelolaan kawasan lindung dan budidaya; (4) pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, kawasan budidaya dan kawasan tertentu; (5) rencana pengembangan sistem kegiatan pembangunan dan system permukiman pedesaan dan perkotaan; (6) rencana pengembangan system prasarana transportasi, telekominikasi, energi, pengairan dan prasarana pengelolaan lingkungan; penata gunaan tanah, penata gunaan air, penata gunaan udara dan penataan sumberdaya alam lainnya serta memperhatikan keterpaduan dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan; (7) pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; dan (8) penetapan dan pengelolaan kawasan prioritas kabupaten.

Selanjutnya RTRW Kabupaten yang disusun, dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi: (1) perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; (2) program-program pembangunan daerah kabupaten; (3) mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah didalam wilayah kabupaten serta keserasian antar sektor; (4) penetapan lokasi investasi di wilayah kabupaten; (5) penyusunan rencana rinci tata ruang di kabupaten; dan (6) pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemanfaatan ruang.


(37)

Sehubungan dengan definisi kesenjangan pembangunan di atas, maka perlu kelengkapan kerangka teori yang dapat menginspirasi kerangka pemikiran dasar perlunya penelitian ini antara lain:

2.1.1. Kerangka teori keterkaitan antar sektor dan spasial.

Keterkaitan antar sektor dan antar spasial, sebenarnya bertujuan untuk mencapai suatu perubahan struktur ekonomi dan struktur wilayah yang dapat bertumbuh secara berimbang. Ada keseimbangan keterkaitan antar sektor untuk memberikan kontribusi bagi struktur ekonomi wilayah. Perubahan struktur ekonomi wilayah yang diharapkan dari dampak keterkaitan adalah pergeseran surplus produksi dan tenaga kerja subsisten dari sektor primer (pertanian, pertambangan) ke sektor sekunder (manufaktur dan konstruksi) dan sektor tersier (transportasi dan komunikasi, perdagangan, pemerintah dan jasa lainnya) Fisher (1935) sebagai orang pertama yang memperkenalkan kegiatan usaha primer, sekunder dan tersier menilai bahwa negara perlu diklasifikasikan berdasarkan proporsi tenaga kerja yang ada di tiap sektor. Kemudian Clark (1951) juga mendukung pandangan Fisher dengan kumpulan analisis data untuk mengukur dan membandingkan karakteristik ekonomi sektoral pada tingkat pendapatan per kapita yang berbeda.

Menurut Clark (1951) bahwa pada saat ekonomi negara tinggi, proporsi tenaga kerja yang terkait dengan sektor primer menurun; proporsi tenaga kerja pada sektor sekunder meningkat mencapai tingkat tertentu; proporsi tenaga kerja pada sektor tersier meningkat setelah sektor primer dan sekunder telah mencapai keseimbangan. Perubahan proporsi tenaga kerja di setiap sektor menunjukkan bahwa pergerakan tenaga kerja akan terjadi dari sektor primer menuju sektor sekunder dan tersier karena adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja dan kemajuan teknologi di setiap kegiatan.

Teori dualisme ekonomi yang dikembangkan oleh Lewis yang diacu Rustiadi et al. (2003) menyatakan bahwa perkembangan suatu wilayah akan mengalami stagnasi bila hanya satu sektor saja di kembangkan. Misalkan perkembangan sektor pertanian yang tanpa diikuti oleh perkembangan sektor industri akan memperburuk tawar-menawar (term of trade) sektor pertanian tersebut akibat kelebihan produksi atau tenaga kerja, akhirnya pendapatan disektor pertanian menjadi anjlok (depresif) dan rangsangan penanaman modal dan pembaharuan menjadi tidak terangsang.


(38)

Demikian juga pembangunan ekonomi yang dipusatkan pada industri yang mengabaikan pertanian, akhirnya akan menghambat proses pembangunan itu sendiri. Adanya sektor industri yang mampu menampung surplus produksi pertanian akan meningkatkan pendapatan sektor pertanian. Demikian juga bila terjadi surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang dapat ditampung di sektor industri akan menjaga tingkat pendapatan yang tinggi di sektor pertanian. Tingkat pendapatan yang tinggi merangsang berbagai kebutuhan akan barang-barang non pertanian. Demikian juga perkembangan sektor pertanian dan industri pengolahan tanpa diikuti sektor ekonomi lain seperti sektor Perbankan, swasta serta sektor infrastruktur dalam menopang kegiatan pertanian dan industri pengolahan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi wilayah menjadi stagnan. Misalnya pembangunan sektor infrastruktur yang tidak memadai dalam mendukung sektor pertanian dan industri maka pergerakan ekonomi wilayah menjadi tidak efisien.

Laporan Bappenas (2002), mengisyaratkan bahwa Sektor infrastruktur dituntut untuk makin mampu berperan mendukung pergerakan orang, barang dan jasa nasional demi mendukung timbulnya perekonomian nasional dan pengembangan wilayah dan sekaligus mempersempit kesenjangan pembangunan antar daerah. Infrastruktur dituntut untuk memiliki korelasi yang tinggi dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, kesesuaian tata ruang, dan kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan infrastruktur harus menjadi salah satu alternatif bagi pemulihan pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1997 untuk dapat menyerap banyak tenaga kerja, membangkitkan sektor riil, dan memicu produksi dan konsumsi masyarakat serta dapat mengurangi kesenjangan antar daerah dan mengurangi kemiskinan.

Sehubungan dengan itu Sipayung (2000) menyatakan bahwa sektor pertanian dan non petanian merupakan suatu sistem dalam perekonomian oleh karena itu sektor pertanian dengan sektor non pertanian memiliki keterkaitan ekonomi yang saling mempengaruhi kinerja kedua sektor.

Rangrajan (1982) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) mekanisme keterkaitan ekonomi antara sektor pertanian dan non petanian sebagai berikut :Pertama, sektor pertanian dan non pertanian menghasilkan bahan baku bagi sektor non pertanian. Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non pangan merupakan input utama dari sektor non petanian seperti industri pengolahan hasil pertanian dan perdagangan, restoran. Ke dua, sektor non


(1)

Source DF SS MS F P Regression 1 0.45901 0.45901 6.14 0.048 Residual Error 6 0.44868 0.07478

Total 7 0.90769

Unusual Observations

Obs dij Koka ln Fij Fit SE Fit Residual St Resid 6 12.0 4.6800 4.8151 0.2519 -0.1351 -1.27 X

X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Regression Analysis: ln Fij Mebung masuk versus dij Mebung masuk The regression equation is

ln Fij Mebung masuk = 6.21 - 0.105 dij Mebung masuk

Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.2088 0.4100 15.14 0.000 dij Mebu -0.10506 0.03934 -2.67 0.037

S = 0.2750 R-Sq = 54.3% R-Sq(adj) = 46.7%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.53950 0.53950 7.13 0.037 Residual Error 6 0.45390 0.07565

Total 7 0.99340

Regression Analysis: ln Fij Moru masuk versus dij Moru masuk The regression equation is

ln Fij Moru masuk = 6.34 - 0.123 dij Moru masuk

Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.3365 0.3288 19.27 0.000 dij Moru -0.12348 0.03180 -3.88 0.008

S = 0.1878 R-Sq = 71.5% R-Sq(adj) = 66.8%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.53172 0.53172 15.07 0.008 Residual Error 6 0.21167 0.03528

Total 7 0.74339

Regression Analysis: ln Fij Apui masuk versus dij Apui masuk The regression equation is

ln Fij Apui masuk = 6.26 - 0.112 dij Apui masuk

Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.2639 0.4203 14.90 0.000 dij Apui -0.11232 0.03626 -3.10 0.021

S = 0.2290 R-Sq = 61.5% R-Sq(adj) = 55.1%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.50305 0.50305 9.60 0.021 Residual Error 6 0.31454 0.05242

Total 7 0.81759

Unusual Observations

Obs dij Apui ln Fij A Fit SE Fit Residual St Resid 3 8.0 5.7500 5.3653 0.1467 0.3847 2.19R

R denotes an observation with a large standardized residual


(2)

The regression equation is

ln Fij Bukapiting masuk = 6.14 - 0.0889 dij Bukapiting masuk

Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.1395 0.3754 16.36 0.000 dij Buka -0.08886 0.03575 -2.49 0.047

S = 0.2303 R-Sq = 50.7% R-Sq(adj) = 42.5%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.32765 0.32765 6.18 0.047 Residual Error 6 0.31823 0.05304

Total 7 0.64589

Unusual Observations

Obs dij Buka ln Fij B Fit SE Fit Residual St Resid 3 8.0 5.8600 5.4287 0.1145 0.4313 2.16R

R denotes an observation with a large standardized residual

Regression Analysis: ln Fij Marataing masuk versus dij Marataing masuk The regression equation is

ln Fij Marataing masuk = 6.70 - 0.134 dij Marataing masuk

Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.6985 0.3177 21.09 0.000 dij Mara -0.13445 0.02923 -4.60 0.004

S = 0.1891 R-Sq = 77.9% R-Sq(adj) = 74.2%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.75694 0.75694 21.16 0.004 Residual Error 6 0.21466 0.03578

Total 7 0.97160

Unusual Observations

Obs dij Mara ln Fij M Fit SE Fit Residual St Resid 7 9.0 5.1400 5.4885 0.0820 -0.3485 -2.04R


(3)

Lampiran 7

Analisis Location Quoentient (LQ) Sektor/Komoditi

Unggulan Antar

Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Di Kabupaten Alor

Tahun 2003

No Jenis sektor/

Komoditi unggulan

Jumlah produksi persatuan komoditi pada SWP (pij)

Jumlah Produksi persatuan komoditi pada Kabupaten (Pj)

(Rp 000)

pij/pi*(∑pij) SWPA

( 3/∑3) A

(Rp 000)

B

(Rp 000)

C

( Rp 000)

1 2 3 4 5 6 7

1 Padi 13811000 10599050 6223700 30,633,750 0.01181 2 Jagung 18532400 11866400 5057400 35456200 0.01585 3 Kacang hijau 399000 166,500 276000 841500 0.00034 4 Jambu Mente 612,768,000 375024000 1123640000 2111432000 0.52401 5 Kemiri 1208000 3146000 2008000 6362000 0.00103 6 Kelapa(Kopra) 634187.5 45625 376525 1056337.5 0.00054 7 Kopi 9000 100000 37000 146000 0.00001 8 Cengkeh 4,000 170000 4500 178500 0.00000 9 vanili basah 0 0 3975000 3975000 0.00000 10 Pinang 10000 118000 42500 170500 0.00001 11 Asam 126686840 195620550 89792610 412100000 0.10834 12 Sirlack 333,634,000 253827000 414099000 1,001,560,000 0.28531 13 Ikan laut 6,567,920 6011600 833720 13413240 0.00562 14 Sapi 492000 2310000 1728000 4530000 0.00042 15 Kambing 6347000 7650500 1571500 15569000 0.00543 16 Babi 8899000 19381000 6705500 34985500 0.00761 17 Batu hitam 39375000 78356250 337464750 455196000 0.03367

Total (pi*/P*) 1169377348 964392475 1993835705 4,127,605,528 0.05882 (pi*/P*) (pi*/P*) (pi*/P*)

Lanjutan Lampiran 7. Jenis sektor/ Komoditi unggulan

pij/pi*(∑pij) SWPB ( 4/∑4)

pij/pi*(∑pij)

SWPC ( 5/∑5)

Pj/P*(∑Pj)

Kabupaten (6/∑6)

Location Quotient (LQij)= pij/pi* / Pj/P*

SWP A (7/10)

SWPB ( 8/10)

SWPC (9/10)

8 9 10 11 12 13

Padi 0.01099 0.00312 0.00742 1.591 1.481 0.421 Jagung 0.01230 0.00254 0.00859 1.845 1.432 0.295 Kacang hijau 0.00017 0.00014 0.00020 1.674 0.847 0.679

Jambu Mente 0.38887 0.56356 0.51154 1.024 0.760 1.102

Kemiri 0.00326 0.00101 0.00154 0.670 2.116 0.653 Kelapa(Kopra) 0.00005 0.00019 0.00026 2.119 0.185 0.738 Kopi 0.00010 0.00002 0.00004 0.218 2.932 0.525 Cengkeh 0.00018 0.00000 0.00004 0.079 4.076 0.052 vanili basah 0.00000 0.00199 0.00096 0.000 0.000 2.070

Pinang 0.00002 0.00002 0.00004 0.207 0.516 0.516 Asam 0.04504 0.04504 0.09984 1.085 0.042 0.451 Sirlack 0.26320 0.20769 0.24265 1.176 1.085 0.856 Ikan laut 0.00623 0.00042 0.00325 1.728 1.918 0.129

Sapi 0.00240 0.00087 0.00110 0.383 2.183 0.790 Kambing 0.00793 0.00079 0.00377 1.439 2.103 0.209 Batu hitam 0.08125 0.16925 0.11028 0.305 0.737 1.535

Total (pi*/P*) 0.04953 0.05882 0.05882 0.967 1.458 0.672


(4)

Lampiran 8 Analisis Shift Share Sektor/Komoditi Unggulan Antar

Satuan WilayahPengembangan (SWP) Di Kabupaten Alor

Tahun 1998 Dan Tahun 2003

.

No

Jenis Sektor/ Komoditi Unggulan

Nilai Produksi Persatuan Komoditi Pada SWP (Xij)

A B C 1998 (to) (Rp) 2003 (t1) (Rp) 1998 (to) (Rp) 2003 (t1) (Rp) 1998 (to) (Rp) 2003 (t1) (Rp)

1 2 3 4 5 6 7 8

1

Padi 3648750 9865000 8428250 7570750 7643500 4445500

2

Jagung 2235600 13899300 12799200 8899800 4669706 3793050

3

Kacang hijau 50750 279300 317450 116550 189098 193200

4

Jambu Mente 2154000 459576000 32850 281268000 25050 84273000

0

5

Kemiri 5013000 1359000 6021000 3539250 1679625 2259000

6

Kelapa(Kopra) 38500 253675 355000 18250 76650 150610

7

Kopi 135000 8438 318375 93750 264000 34688

8

Cengkeh 3600 6000 76950 255000 5850 6750

9

vanili basah 0 0 15625 0 15000 1875000

10

Pinang 94860 17000 638350 200600 179775 72250

11

Asam 17505094

4 190030260 28678058 6 293430825 13265523 5 13468891 5

12

Sirlack 81902597 214479000 81394142 163174500 13125568

5

26620650 0

13

Ikan laut 1296300 6481500 1855125 5932500 200250 822750

14

Sapi 960400 803600 10388000 3773000 6541500 2822400

15

Kambing 3236400 4569840 1116000 5508360 874800 1131480

16

Babi 1155135 14149410 9303885 30815790 8999400 10661745

17

Batu hitam 10500000 13500000 28500000 26865000 11623380

0

11570220 0 Total/Rataan 340036650 1072420473 538638652 1087323025 488306973 1468960913

Lanjutan Lampiran 8 Nilai total jenis komoditas dalam total Kabupaten (Xi)

Xij(t1) / Xij(to) X..(t1) / X..(to) (10/9)

Komponen Share ( a ) X..(t1)/X..(to)-1 (∑10/∑9) -1 1998 (to) (Rp) 2003 (t1) (Rp) SWPA (4/3) SWPB (6/5) SWP C (8/7)

9 10 11 12 13 14 15

19720500 21881250 2.7037 0.8983 0.5816 1.1096 0 19704506 26592150 6.2173 0.6953 0.8123 1.3495 0

557298 589050 5.5034 0.3671 1.0217 1.0570 0 2211900 1583574000 213.3593 8562.1918 33641.9162 715.9338 0 12713625 7157250 0.2711 0.5878 1.3449 0.5630 0

470150 422535 6.5890 0.0514 1.9649 0.8987 0 717375 136875 0.0625 0.2945 0.1314 0.1908 0 86400 267750 1.6667 3.3138 1.1538 3.0990 0 30625 1875000 0.0000 0.0000 125.0000 61.2245 0 912985 289850 0.1792 0.3142 0.4019 0.3175 0 594486764 618150000 1.0856 1.0232 1.0153 1.0398 0 294552423 643860000 2.6187 2.0047 2.0282 2.1859 0 3351675 13236750 5.0000 3.1979 4.1086 3.9493 0 17889900 7399000 0.8367 0.3632 0.4315 0.4136 0


(5)

5227200 11209680 1.4120 4.9358 1.2934 2.1445 0 19458420 55626945 12.2491 3.3121 1.1847 2.8588 0 155233800 156067200 1.2857 0.9426 0.9954 1.0054 0

1147325545 3148335285 3.1538 2.0187 3.0083 2.7441 1.7441

Sambungan Lampiran 8 Komponen

proportional Shift (b) (14-15)

Komponen differential shift ( c ) Komponen Shift share ( SSA )

SWP A

( 11-14)

SWP B (12-14)

SWP C (13-14)

SWP A (15+16+17)

SWP B (15+16+18)

SWP C (15+16+19)

16 17 18 19 20 21 22

-0.6345 1.5941 -0.2113 -0.5280 2.7037 0.8983 0.5816 -0.3945 4.8677 -0.6542 -0.5373 6.2173 0.6953 0.8123 -0.6871 4.4465 -0.6898 -0.0353 5.5034 0.3671 1.0217 714.1897 -502.5745 7846.2580 32925.9824 213.3593 8562.1918 33641.9162

-1.1811 -0.2919 0.0249 0.7820 0.2711 0.5878 1.3449 -0.8453 5.6902 -0.8473 1.0662 6.5890 0.0514 0.2208 -1.5533 -0.1283 0.1037 -0.0594 0.0625 0.2945 0.1314

1.3549 -1.4323 0.2149 -1.9451 1.6667 3.3138 1.1538 59.4804 -61.2245 -61.2245 63.7755 0.0000 0.0000 125.0000

-1.4266 -0.1383 -0.0032 0.0844 0.1792 0.3142 0.4019 -0.7043 0.0458 -0.0166 -0.0245 1.0856 1.0232 1.0153

0.4418 0.4328 -0.1811 -0.1577 2.6187 2.0047 2.0282 2.2052 1.0507 -0.7514 0.1593 5.0000 3.1979 4.1086 -1.3305 0.4231 -0.1811 0.0179 0.8367 0.2324 0.4315 0.4004 -0.7325 2.7913 -0.8511 1.4120 4.9358 1.2934 1.1147 9.3904 0.4534 -1.6740 12.2491 3.3121 1.1847 -0.7387 0.2803 -0.0627 -0.0099 1.2857 0.9426 0.9954 1.0000 0.4098 -0.9896 0.2642 3.1538 1.7544 3.0083

Sumber : Diolah dari data BPS Kabupaten Alor Tahun 1998 dan 2003.


(6)

Lampiran 9 Penyebaran kota hirarki/pusat aktivitas antar SWP menurut RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991*)

SWP

Kota hirarki/ pusat aktivitas

Jumlah Rumah Tangga Pendudk Tahun 2003 (N)

Jumlah Penduduk Tahun 2003

Jumlah Responden (n)

Sistem hirarki

A

1.Baranusa 176 903 22 II

2.Kabir 708 2 939 24 III

3.Bakalang 288 1530 23 III

4.Beangonong 149 710 21 III

5.Mauta 381 2 834 23 III

6.Pandai 125 688 21 IV

7.Tamalabang 351 2 637 23 IV

8.Nuhawala 197 2 157 22 IV

9.Maliang 204 2 015 22 IV

10.Marica 115 619 21 IV

11.Puntaru 215 989 22 IV

12.Latuna 150 687 21 IV

13.Sebarang 203 1 051 22 IV

Jlh A 13 Kota 3262 6126 289

B

14.Kalabahi 596 2991 24 I

15.Alemba 189 806 22 II

16.Buraga 374 645 23 II

17.Buyunta 653 2795 24 III

18. Kokar 496 2069 24 III

19.Alor kecil 271 1257 23 III

20.Mebung 323 1476 23 III

21.Moru 374 1756 23 III

22.Faaming 132 575 21 III

23 Kalunan 152 699 21 III

24.Pitungbang 268 1054 23 IV

25.Tabolang 306 1418 23 IV

26.Mainang 155 684 22 IV

27.Mataraben 374 1756 23 IV

28.Manatang 132 575 21 IV

29.Tranter 77 356 19 IV

30. Sifala 165 645 22 IV

31. Bomara 107 524 20 IV

Jlh B 18 Kota 5144 22081 402

C

32.Apui 214 932 22 II

33.Maritaing 193 724 22 II

34.Bukapiting 514 2 350 24 III

35.Mademang 193 780 22 III

36.Taramana 181 825 22 IV

37.Lantoka 192 896 22 IV

38.Kolana 242 1022 23 IV

39.Peitoko 175 816 22 IV

40.Mazmur 170 686 22 IV

41.Aukalpui 201 863 22 IV

42.Kiraman 132 563 21 IV

43.Padang Alang 209 1019 22 IV

44.Weisak 159 594 22 IV

45. Silonang 80 412 19 IV

46.Manmas 70 404 18 IV

Jlh C 15 Kota 2925 10536 326