Analisis kesenjangan pembangunan wilayah di kabupaten Halmahera Timur

(1)

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH

DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR

HADIJAH TALIB

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Thesis Analisis Kesenjangan Pembangunan Wilayah di Kabupaten Halmahera Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010 Hadijah Talib

NRP. A353 060 421


(3)

ABSTRACT

HADIJAH TALIB. The Gap Analysis of Region Development In East Halamhera

Regency. Under directed Dr.Ir. SETIA HADI, MSi dan Dr.Ir. BABA BARUS, MSc.

East Halmahera Regency has islands stretching from north to south that has a promising fishery and natural resources are diverse, whether agriculture, mine, tourism and marine, if managed and used optimally, would provide a significant contribution to regional economic structure both on the domestic, regio nal and national. The aims of research are to (1) Identify potential human resources, artificial and natural in East Halmahera Regency, (2) Analyze the development gap in East Halmahera Regency. (3) Develop a policy direction in the gap problem in East Halmahera Regency. The results showed the of gap between regions in East Halmahera Regency. The results of analysis is identification of potential human resources (SDM) that 3 district has human resources a high are Wasile District, South Wasile District and Maba District. Identify potential artificial resources (SDB) there are 4 districts which have highest. Identification of potential natural resource (SDA) there are 3 districts have highest. Based on the skalogram analysis for IPK 1 there is 1 district which has a hierarchical 1 and IPD that hierarchical 1 there 6 villages of 73 villages in East Halmahera Regency. While Williamson index analysis indicates that there are 2 districts that have high levels of inequality compared with other districts. The results of Entropy index analysis found that 1 district have high index value of activity. Thus, the need for a strategy and appropriate policy direction to reduce inequalities in East Halmahera Regency is adjusted to the potential and resource conditions in each district.


(4)

RINGKASAN

HADIJAH TALIB. Analisis Kesenjangan Pembangunan Wilayah di Kabupaten Halmahera Timur. Dibimbing oleh Dr.Ir. SETIA HADI, MSi dan Dr.Ir. BABA BARUS, MSc.

Pengembangan pembangunan wilayah perlu dimulai dengan pemahaman yang baik terhadap kondisi wilayah, potensi wilayah dan permasalahan yang ada di wilayah tersebut, selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun arahan percepatan pembangunan yang berimbang antar wilayah. Arahan percepatan pembangunan ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan kesenjangan pembangunan antar wilayah, karena semua potensi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung aktiv itas perekonomian di suatu wilayah.

Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi potensi sumberdaya manusia, buatan dan alam di Kabupaten Halmahera Timur (2) Menganalisis kesenjangan pembangunan di Kabupaten Halmahera Timur. (3) Menyusun arahan kebijakan dalam mengatasi masalah kesenjangan di Kabupaten Halmahera Timur.

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan parapihak (responden) yang dianggap sebagai ahli dan berkompeten. Data sekunder bersumber dari BPS, BAPPEDA Kabupaten Halmahera Timur dan Instansi terkait lainya. Untuk mencapai tujuan penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis identifikasi potensi, analisis Skalogram, analisis Indeks Williamson, analisis Entropy, analisis Interaksi Spasial (deskriptif) dan Analisis Deskriptif.

Hasil analisis potensi sumberdaya manusia berdasarkan data potensi sumberdaya manusia diperoleh 3 kecamatan yang memiliki potensi sumberdaya manusia yang paling tinggi yaitu kecamatan Maba, Wasile, dan Wasile Selatan, kategori sedang terdapat di 4 kecamatan yaitu kecamatan Maba Selatan, Kota Maba, Maba Tengah, dan Wasile Timur, kategori rendah terdapat di 3 kecamatan yaitu kecamatan Maba Utara, Wasile Utara dan Wasile Tengah. Hasil analisis potensi berdasarkan data potensi sumberdaya buatan diperoleh 4 kecamatan yang memiliki kategori tingggi yaitu kecamatan Maba, Wasile, Wasile Selatan dan Maba Tengah, kategori sedang terdapat di 4 kecamatan yaitu kecamatan Maba Selatan, Kota Maba, Wasile Timur, dan Wasile Tengah dan kategori rendah terdapat di 2 kecamatan yaitu kecamatan Maba Utara dan Wasile Utara. Hasil analisis potensi berdasarkan data potensi sumberdaya alam diperoleh 3 kecamatan yang memiliki kategori tinggi yaitu kecamatan Maba, Wasile dan Wasile Selatan, kategori sedang terdapat di 5 kecamatan yaitu kecamatan Maba Tengah, Maba Selatan, Maba Utara, Wasile Utara dan Wasile Timur, kategori rendah terdapat di 2 kecamatan yaitu kecamatan Kota Maba, dan Wasile Tengah.

Hasil analisis skalogram berdasarkan IPK di Kabupaten Halamhera Timur, menunjukkan dari 10 kecamatan hanya 1 kecamatan memiliki hirarki I yaitu di kecamatan Wasile, hirarki II terdapat di kecamatan Maba, Kota Maba, Maba Tengah, Wasile Selatan dan Wasile Timur dan hirarki III terdapat di kecamatan Maba Selatan, Maba Utara, Wasile Utara dan Wasile Tengah. Sedangkan IPD dari 73 desa di Kabupaten Halmahera Timur hanya terdapat 6 desa (8,22 persen) yang memiliki hirarki wilayah 1 atau berkembang.


(5)

Berdasarkan hasil analisis Indeks Williamson, kecamatan Wasile Selatan dan Wasile memiliki nilai indeks tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di ke-2 kecamatan masih mengalami kesenjangan antar kecamatan. Ada 4 kecamatan yang indeksnya sedang yaitu: kecamatan Maba, Maba Selatan, Maba Ut ara, dan Wasile Timur. Kecamatan yang berindeks rendah ada 4 yaitu Kota Maba, Maba Tengah, Wasile Utara dan Wasile Tengah.

Hasil perhitungan indeks entropi kecamatan di Kabupaten Halmahera Timur diperoleh kecamatan Wasile Selatan mempunyai nilai indeks entropi yang paling tinggi (1,1). Hal ini berarti bahwa kecamatan Wasile Selatan merupakan wilayah yang paling berimbang sehingga tidak didominasi oleh sektor tertentu. Kecamatan Maba, Kota Maba, Wasile Timur dan Wasile mempunyai nilai indeks entropi sedang yang berkisar dari (0,7–0,88), kecamatan Maba Selatan, Maba Tengah, Maba Utara, Wasile Utara dan Wasile Tengah mempunyai nilai indeks entropi berkisar dari (0,48-0,66)

Berdasarkan hasil observasi di lapangan yang ada hanya terdapat terminal bayangan di kecamatan Maba, Wasile dan Wasile Selatan, begitu juga dengan belum adanya pelabuhan/darmaga di kecamatan-kecamatan tertentu, transportasi laut sangat ditentukan oleh faktor jarak. Sedangkan untuk transportasi udara sebagai pendukung prasarana transportasi darat dan laut, Kabupaten Halmahera Timur memiliki 1 lapangan terbang yang didarati pesawat ringan dengan jadwal penerbangan tidak menentu

Arahan percepatan pembangunan yang berimbang diproritaskan pada 6 kecamatan di Kabupaten Halmahera Timur yaitu: Kecamatan Maba Selatan, Kota Maba, Maba Tengah, Wasile Tengah, Maba Utara dan Wasile Utara. Antara lain peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan dan kesehatan, peningkatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, serta peningkatan aksesibilitas.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan karya hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari IPB


(7)

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH

DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR

HADIJAH TALIB

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Judul Tesis : Analisis Kesenjangan Pembangunan Wilayah di Kabupaten Halmahera Timur

Nama : Hadijah Talib NIM : A 353 060 421

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Ketua

Dr. Ir. Baba Barus, MSc. Anggota

Diketahui

Tanggal Ujian : 27 Januari 2010 Tanggal Lulus : Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Ridho-Nya Tesis ini berhasil diselesaikan dengan judul Analisis Kesenjangan Pembangunan Wilayah di Kabupaten Halmahera Timur

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si dan Dr. Ir. Baba Barus, MS. selaku komisi pembimbing.

2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah.

3. Drs. Welhelmus Tahalele selaku Bupati Kabupaten Halmahera Timur yang memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pasca Sarjana di IPB.

4. Sahabat-sahabat PWL, angkatan 2006 atas segala dukungan dan kerjasamanya.

5. Mursid Amalan sebagai suami dan anakku Nova Lisa Lestari yang telah banyak berkorban waktu dalam kebersamaan selama penulis mengikuti pendidikan di IPB Bogor.

6. Orang tua dan keluarga yang selalu mendukung moril maupun materil serta doa

7. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Akhirnya, penulis harapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan untuk tesis ini. Untuk itu penulis ucapkan banyak terimakasih.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Bogor, Februari 2010 Hadijah Talib


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Buli Kayoa pada tanggal 12 Juli 1974 dari pasangan Hi. Talib Sangadji dan Hj. Sai Djalil. Penulis merupakan putri pertama dari tujuh bersaudara. Tahun 1993 penulis lulus dari SSP Tidore dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya pada Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate Jurusan Budidaya Pertanian. Penulis menamatkan pendidikan pada Tahun 1998.

Pada Tahun 2000-2002 Penulis sempat bekerja pada beberapa LSM dan Tahun 2003, penulis dit erima sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Halamhera Timur. Tahun 2006 penulis memperoleh beasiswa dari Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Timur untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Ruang Lingkup Penelititian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Pembangunan Wilayah ... 6

2.2. Konsep Kesenjangan ... 7

2.3. Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah ... 8

2.4. Interaksi Spasial ... 17

2.5. Sistem Informasi Geografi ... 19

2.6. Strategi Pengembangan Wilayah ... 21

III. METODOLOGI ... 24

3.1. Kerangka Pikir Penelitian... 24

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 27

3.4. Analisis Data ... 27

3.4.1. Analisis Identifikasi Potensi Wilayah ... 27

3.4.2. Analisis Skalogram ... 29

3.4.3. Analisis Indeks Williamson ... 30

3.4.4. Analisis Entropy ... 31

3.4.5. Analisis Interaksi Spasial ... 32

3.4.6. Analisis Deskriptif Menyusun Arahan Kebijakan dalam Mengatasi Kesenjangan ... 32

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 33

4.1. Letak Geografi dan Administrasi Wilayah ... 33

4.2. Klimatologi ... 34

4.3. Topografi ... 35

4.4. Jenis Tanah ... 40

4.4.1.Pertanian dan Perkebunan... 40

4.4.2.Pertambangan ... 43

4.4.3.Kehutanan ... 43


(12)

4.5. Penggunaan Lahan... 44

4.6. Hidrologi dan Drainase ... 45

4.7. Karakteristik Oceanografi Laut Wilayah Halmahera Timur ... 46

4.8.Aspek Sosial dan Kependudukan ... 47

4.8.1.Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 47

4.8.2.Tingkat Pendapatan ... 48

4.9.Aspek Perekonomian Wilayah ... 50

4.9.1. Struktur Perekonomian ... 50

4.9.2. Pendapatan Domestik Regional Bruto Per Kapita... 51

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1. Identifikasi Potensi Sumberdaya Manusia, Buatan dan Alam ... 53

5.1.1. Potensi Sumberdaya Manusia ... 53

5.1.2. Penilaian Potensi Sumberdaya Manusia ... 59

5.1.3. Potensi Sumberdaya Buatan... 62

5.1.4. Penilaian Potensi Sumberdaya Buatan ... 69

5.1.5. Potensi Sumberdaya Alam ... 72

5.1.6. Penilaian Potensi Sumberdaya Alam... 78

5.1.7. Penilaian Potensi Sumberdaya Kabupaten Halmahera Timur... 81

5.2. Analis is Kesenjangan ... 83

5.2.1. Kesenjangan Perkembangan Wilayah Berdasarkan Indeks Williamson ... 83

5.2.2. Kesenjangan Pendapatan antar Wilayah Berdasarkan Indeks Williamson ... 89

5.2.3. Kesenjangan Keberagaman Aktivitas antar Wilayah Berdasarkan Model Indeks Entropy (IE) ... 93

5.2.4. Analisis Kesenjangan Interaksi Spasial Antar Pusat Aktivitas Wilayah ... 95

5.3. Arahan Kebijakan dalam Mengatasi Kesenjangan ... 100

KESIMPULAN DAN SARAN... 103

Kesimpulan ... 103

Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Nilai selang hirarki... 30

2. Pembagian wilayah administrasi kabupaten Halmahera Timur tahun 2008... 33

3. Penggunaan lahan eksisting... 45

4. Jumlah kepadatan penduduk kabupaten Halmahera Timur ... 48

5. Perkembangan PDRB kabupaten Halmahera Timur ... 51

6. Perkembangan agregat PDRB kabupaten Halmahera Timur atas dasar harga berlaku dan konstan ... 52

7. Jumlah dan prosentase penduduk kabupaten Halmahera Timur per kecamatan ... 54

8. Tingkat pekerjaan penduduk kabupaten HalmaheraTimur per kecamatan ... 55

9. Tingkat pendidikan penduduk kabupaten Halmahera Timur ... 56

10.Struktur angkatan kerja kabupaten Halmahera Timur... 57

11.Mobilitas ekonomi kabupaten Halmahera Timur ... 58

12.Sarana pendidikan kabupaten Halmahera Timur ... 63

13.Sarana kesehatan dan tenaga medis kabupaten Halmahera Timur ... 65

14.Sarana perhubungan kabupaten Halmahera Timur ... 66

15.Sarana komunikasi ... 67

16.Sarana pasar kabupaten Halmahera Timur ... 69

17.Potensi perkebunan kabupaten Halmahera Timur ... 72

18.Potensi pertanian kabupaten Halmahera Timur ... 73

19.Potensi pertambangan kabupaten Halmahera Timur ... 75

20.Fasilitas perikanan kabupaten Halmahera Timur ... 76

21.Potensi pariwisata kabupaten Halmahera Timur ... 77

22.Potensi kehutanan kabupaten Halmahera Timur ... 78

23.Hasil analisis Skalogram kabupaten Halmahera Timur... 84

24.Nilai kesenjangan Indeks Williamson dan tingkatannya berdasarkan wilayah administrasi kecamatan... 90

25.Hasil analisis keberagaman aktifitas berdasarkan kecamatan ... 94 xiii


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema kerangka pikir penelitian ...26

2. Peta wilayah administrasi kabupaten Halmahera Timur ...36

3. Peta curah hujan kabupaten Halmahera Timur ...37

4. Kemiringan lereng kabupaten Halmahera Timur ...38

5. Peta kelas kemiringan lereng kabupaten Halmahera Timur...39

6. Sketsa kesesuaian komoditas kabupaten Halmahera Timur ...42

7. Peta sebaran penduduk kabupaten Halmahera Timur ...49

8. Histogram perkembangan PDRB kabupaten Halmahera Timur ...51

9. Desa Tatam kecamatan Wasile Utara ...54

10.Peta potensi sumberdaya manusia kabupaten Halmahera Timur ...61

11.Jaringan jalur darat dan laut kabupaten Halmahera Timur ...66

12.Peta potensi sumberdaya buatan kabupaten Halmahera Timur ...71

13.Peta potensi sumberdaya alam kabupaten Halmahera Timur...80

14.Peta potensi sumberdaya kabupaten Halmahera Timur...82

15.Peta hirarki wilayah kabupaten Halmahera Timur ...86

16.Peta kelas kesenjangan kabupaten Halmahera Timur ...92

17.Peta interaksi spasial (pergerakan orang) kabupaten Halmahera Timur ... 98

18.Peta interaksi spasial (pergerakan barang) kabupaten Halmahera Timur ... 99


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Lampiran 1. Matriks data, sumber data, tehnik analisis dan

output yang diharapkan menurut tujuan

penelitian………... 110 2. Lampiran 2. Variabel-variabel yang digunakan dalam

analisis skalogram... 111 3. Lampiran 3. Matriks arahan pengembangan per kecamatan


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Era reformasi telah membawa beberapa perubahan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Salah satu penyebab perubahan tersebut adalah dikeluarkannya peraturan pelaksanaan otonomi daerah (UU No.32 Tahun 2004) sebagai konsekuensi dari tuntutan pemerataan pembangunan di daerah hingga pada tingkat Kabupaten/Kota. Penerapan otonomi daerah ini membagi dan menetapkan berbagai kewenangan tertentu antara pusat dan daerah dalam proses pembangunan dan pengembangan suatu daerah. Perubahan dalam sistem ketatanegaraan melahirkan warna baru dengan dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya.

Semangat dan kemampuan setiap daerah di Indonesia untuk membangun daerahnya masing-masing berbeda karena dipengaruhi oleh perbedaan potensi sumberdaya yang dimiliki seperti sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan (infrastruktur) serta sumberdaya sosial. Ada daerah yang berlimpah dalam hal sumberdaya alam, tapi kurang dalam hal sumberdaya manusia, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Demikian juga dengan sumberdaya buatan seperti infrastruktur yang menunjang kegiatan sosial perekonomian dan sumberdaya sosial seperti adat istiadat lokal yang mempengaruhi perilaku masyarakat daerah. Keadaan ini selanjutnya menyebabkan perbedaan dalam perkembangan pembangunan yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dicapai oleh masyarakat dimasing-masing daerah.

Semakin berkembang dan meluasnya kesenjangan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi salah satu permasalahan pembangunan regional dan daerah yang belum dapat diselesaikan secara baik. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan masalah dalam konteks makro. Potensi konflik antar daerah/wilayah menjadi besar, wilayah-wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah.


(17)

Halmahera Timur adalah salah satu kabupaten di Propinsi Maluku Utara yang memiliki sejumlah pulau membentang dari utara ke selatan sehingga memiliki sumberdaya perikanan yang menjanjikan, dan sumberdaya alam yang beraneka ragam lainnya, baik pertanian, tambang, serta wisata panorama alam dan bahari, yang apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, tentu memberikan kontribusi yang signifikan bagi struktur perekonomian wilayah baik secara domestik, regional, dan nasional. Di lain sisi, mencermati akan potensi sumberdaya alam yang dimiliki kabupaten Halmahera Timur, seharusnya tidak termasuk kabupaten tertinggal di Indonesia. Akan tetapi berdasarkan keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (Meneg. PDT) Nomor: 082/KEP/M-PDT/III/2007 menetapkan kabupaten Halmahera Timur sebagai daerah tertinggal, bersama dengan 199 kabupaten lainnya di Indonesia. Dimana daerah tertinggal dimaknai sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional yang penentuannya menggunakan enam kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik khusus daerah (bencana alam, konflik, dan perbatasan negara). Bersamaan dengan keputusan dan kriteria tersebut ditandai dengan terlihatnya beberapa kondisi yang ada di kabupaten Halmahera Timur antara lain belum tersedianya kebutuhan dasar masyarakat terutama air bersih, jaringan listrik, sarana komunikasi, minimnya sumberdaya manusia, prasarana transportasi dan infrastruktur perkantoran di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa yang belum memadai (Bappeda, 2007)

Sehubungan dengan argumen diatas, Teori Resource Endowment menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu, dimana dalam jangka pendek, sumberdaya wilayah tersebut merupakan aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan (Perloff dan Wingo, 1961). Dengan demikian suatu sumberdaya wilayah akan menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi dan ada permintaan.


(18)

Kesenjangan dalam distribusi alokasi sumberdaya pembangunan yang tidak proporsional terhadap kondisi spesifik wilayah seperti yang dipaparkan diatas, juga terjadi karena pendekatan perencanaan pembangunan daerah selama ini yang lebih berbasis sektoral dan administratif, kurang berbasis pada pengembangan wilayah. Pendekatan pembangunan yang menekankan pada pembangunan sektoral, kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan dan lebih memperlihatkan ego sektor ketimbang keterkaitan sektor, sehingga kesenjangan pembangunan antar sektor menjadi semakin melebar.

Dengan melihat kondisi tersebut dituntut untuk melakukan berbagai kajian dan penanganan guna mengurangi dan mengatasi berbagai permasalahan-permasalahan yang ada di daerah. Dimana peran dalam melakukan berbagai kegiatan pembangunan di daerah harus memperhatikan aspek keberimbangan dan keterkaitan antar wilayah, serta antar sektor, sehingga permasalahan-permasalahan di daerah dapat diatasi. Rustiadi dan Hadi (2007) menyatakan bahwa pentingnya aspek keterkaitan dan keberimbangan dalam pembangunan wilayah guna mencapai tujuan pembangunan, seperti: peningkatan produktifitas, efisiensi, pertumbuhan, pemerataan dan keadilan serta keberlanjutan dan akseptabilitas. Disamping tujuan diatas, tujuan pembangunan juga diarahkan untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah (regional disparity).

Dengan karakteristik wilayah yang demikian maka untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, harus selalu melakukan pembangunan dan pengembangan sarana dan prasaranapelayanan sosial masyarakat, baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun bidang sosial lainnya. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian untuk menganalisis seberapa jauh tingkat kesenjangan yang terjadi di kabupaten Halmahera Timur.

1.2. Perumusan Masalah

Secara geografis wilayah Halmahera Timur memiliki potensi sumberdaya alam yang memadai untuk dikembangkan. Namun pada masing-masing wilayah (kecamatan) terdapat perbedaan tingkat pembangunan secara sektoral. Hal ini disebabkan dari pemerintah daerah yang melaksanakan program pembangunannya yang hanya berdasar pada kepentingannya. Sehingga kesadaran untuk menjalin kerjasama antar daerah yang dilandasi oleh adanya keterkaitan secara spasial baik


(19)

sosial, ekonomi maupun ekosistem masih sangat kurang penerapannya. Di karenakan daerah yang memiliki akses produksi, pasar dan infrastruktur yang memadai tidak memberikan kompensasi kepada daerah-daerah (kecamatan) yang kurang maju sehingga terjadi keseimbangan antar kecamatan bahkan antar desa.

Kaitannya dengan hal diatas masalah pembangunan wilayah (regional development) oleh sementara ahli dianggap sebagai masalah yang ditimbulkan, oleh fenomena adanya perbedaan tingkat pendapatan dan tingkat kemakmuran. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kesenjangan didalam manifestasi interaksi spasial antara daerah perkotaan yang modern, dinamis dan inovatif dengan daerah perdesaan yang tradisional, statis, konservatif dan terbelakang.

Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam merumuskan strategi pembangunan, yaitu strategi pembangunan yang berpedoman pada pemahaman mendalam terhadap karakteristik, potensi dan permasalahan pembangunan untuk mencapai kemajuan wilayah yang kompetitif.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan adalah :

1. Bagaimana potensi sumberdaya manusia, alam dan buatan di kabupaten Halmahera Timur?

2. Berapa besar tingkat kesenjangan pembangunan di kabupaten Halmahera Timur?

3. Bagaimana strategi kebijakan pemerintah yang akan diterapkan dalam mengatasi kesenjangan di kabupaten Halmahera Timur?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masaalah di atas, maka tujuan penelitian adalah:

1. Mengidentifikasi potensi sumberdaya manusia, buatan dan alam di kabupaten Halmahera Timur

2. Menganalisis kesenjangan pembangunan di kabupaten Halmahera Timur. 3. Menyusun arahan kebijakan dalam mengatasi masalah kesenjangan di


(20)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah kabupaten Halmahera Timur dalam rangka perumusan kebijaksanaan perencanaan pembangunan wilayah ke depan, terutama dalam merumuskan kebijaksanaan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan wilayah yang berorientasi pada skala prioritas serta keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar wilayah pembangunan yang konsisten.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini kajiannya hanya berkenaan dengan kesenjangan pembangunan wilayah yang disebabkan oleh faktor endogen seperti: geografi dan sosial ekonomi. Sedangkan faktor eksogen seperti kebijakan pemerintah pusat tidak dilakukan.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Wilayah

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan taraf hidup, dari yang kurang mampu secara ekonomi menjadi lebih mampu. Menurut Siagian (2001) bahwa pembangunan adalah rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Pembangunan mencakup pengertian menjadikan (being) dan mengerjakan (doing). Ini berarti proyek dan program pembangunan bukan saja membuahkan perubahan-perubahan fisik yang konkrit, melainkan juga menghasilkan sesuatu dengan cara tertentu sehingga rakyat memperoleh kemampuan yang lebih besar untuk memilih dan memberikan tanggapan terhadap perubahan-perubahan tersebut. Selanjutnya perubahan yang terjadi dapat memberi kontribusi pada potensi-potensi individu, disamping memperhatikan sifat dasar kebutuhan manusia yang membutuhkan rasa keadilan.

Dari pengertian pembangunan di atas, jelaslah bahwa suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan semua elemen masyarakat dilaksanakan secara terpadu untuk mencapai tujuan dalam rangka kemakmuran masyarakat. Jika diamati secara teliti proses pembangunan yang terjadi di dunia ketiga, juga termasuk Indonesia telah gagal membentuk distribusi pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat terutama pada golongan masyarakat kelas bawah.

Dalam hubungannya dengan suatu daerah maka konsep pembangunan daerah tid ak pernah lepas dari konsep perencanaan pembangunan daerah, yang dapat didefinisikan sebagai suatu proses perencanaan yang bertujuan untuk melakukan pembangunan ke arah perkembangan yang lebih baik bagi komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi berpegang teguh pada asas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).

Selanjutnya Riyadi dan Bratakusumah (2003) menyimpulkan bahwa


(22)

1) perencanaan komunitas; 2) sistem area (wilayah); dan 3) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang ada.

Pembangunan wilayah adalah tahapan kegiatan pembangunan di wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui kegiatan investasi pembangunan. Tujuan pembangunan wilayah adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dengan menitikberatkan kepada memanfaatkan sifat keadaan daerah dan lingkungan yang bersangkutan terutama aspek yang menyangkut sumberdaya fisik dan sosiokultural yang hidup di masing-masing wilayah (Anwar, 2005).

Ketimpangan pembangunan antar wilayah dan daerah dapat disebabkan oleh gagalnya pihak pengelola pembangunan atau birokrat dalam menjalankan kebijakan pembangunan atau karena sektor pembangunan yang melalui mekanisme pasar dalam penciptaan pemerataan pembangunan ekonomi antar wilayah. Menurut Abdul Wahab (1999) menambahkan bahwa besarnya dominasi negara dalam perencanaan pembangunan telah mengabaikan peran serta kekuatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan negara.

Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Kesenjangan antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Untuk itu dibutuhkan kebijakan program yang mampu mengatasi permasalahan kesenjangan antar wilayah atau kawasan, dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah atau kawasan yang berimbang.

2.2. Konsep Kesenjangan

Kesenjangan tidak lain adalah suatu representasi distribusional suatu objek. Konsep tentang kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan. Pembahasan kesenjangan menghendaki pendefinisian kelompok-kelompok, pengelompokkan berbasis daerah mempunyai implikasi pengamatan


(23)

kesenjangan masyarakat antar daerah. Berbagai cara pengelompokkan yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Selain itu, saat ini juga berkembang perhatian terhadap pengukuran kesenjangan berbasis gender. Kondisi kesenjangan kesejahtaraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indikator kesenjangan antar daerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis kepada angka varian dalam distribusi statistik.

Saat ini kesenjangan kesejahteraan masyarakat antar kelompok maupun antar daerah selalu terjadi. Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau naik sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan? Lebih lanjut, apakah kesenjangan tersebut menyebabkan hal-hal yang tidak bisa ditolerir lagi? Secara teoritik kesenjangan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu faktor alam, faktor kultural, dan faktor struktural (kebijakan). Teori-teori mengenai proses kesenjangan pada umumnya menekankan kepada peranan satu fakta atau lebih (www.bappenas.go.id).

2.3. Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah

Kesenjangan pembangunan terjadi karena tiga faktor yaitu faktor alami, kondisi sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijakan. Keseimbangan antara kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi kesenjangan antar wilayah yang pada akhirnya akan mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara keseluruhan seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil.

Kesenjangan antar wilayah telah banyak menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik (Rustiadi dkk, 2004). Untuk itu dibutuhkan kebijakan/program yang dapat mengatasi permasalahan kesenjangan antar wilayah/kawasan, dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan yang berimbang.


(24)

Setiap pemerintah baik di negara berkembang maupun belum berkembang selalu berusaha untuk meningkatkan keterkaitan yang simetris antar wilayah dan mengurangi disparitas karena beberapa alasan, antara lain:

• Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap

• Untuk mengembangkan ekonomi secara cepat

• Untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber daya

• Untuk meningkatkan lapangan kerja

• Untuk mengurangi beban sektor pertanian

• Untuk mendorong desentralisasi

• Untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif

• Untuk meningkatkan Ketahanan Nasional

Menurut Anwar (2005) ada 6 (enam) hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya kesenjangan (kesenjangan) antar daerah yaitu : 1) karakteristik limpahan sumberdaya alam; 2) demografi; 3) kemampuan sumberdaya manusia; 4) potensi lokasi; 5) aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) potensi pasar.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka suatu wilayah akan terdapat beberapa macam tipologi wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) wilayah maju; 2) wilayah sedang berkembang; 3) wilayah belum berkembang; dan 4) wilayah tidak berkembang (Anwar, 2005). Menurut Sukanto dan Kuncoro (2004) ada empat macam karakteristik wilayah berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yaitu: 1) cepat maju dan cepat tumbuh; 2) maju tapi tertekan; 3) berkembang cepat dan 4) tertinggal.

Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah (Rustiadi, 2001). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa.


(25)

Secara lebih terperinci terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah sebagaimana diungkapkan Rustiadi (2001) yaitu:

1) Faktor geografis

Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik, dan ditunjang dengan kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan lebih baik.

2) Faktor historis

Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja.

3) Faktor politis

Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil.

4) Faktor kebijakan

Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan

lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah.

5) Faktor administratif

Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpela jar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.


(26)

Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.

7) Faktor Ekonomi.

Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu: a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki

seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan;

b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju; c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti

tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju;

d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya.

Pengukuran kesenjangan wilayah adalah sebuah konsepsi dari adanya kebijakan ketidakberimbangan pembangunan wilayah. Dua poin penting yang harus diperhatikan dalam memahami konsep ini: pertama, kesenjangan tidak selalu harus dipahami dengan cara yang sama. Sebagai contoh, di negara-negara, Uni Eropa seperti Finlandia dan Swedia, keduanya merupakan negara yang masih terbelakang dengan jumlah penduduk paling sedikit, merupakan kawasan lindung, terisolir dari negara lain, dan kondisi alamnya memiliki karakteristik yang dianggap tidak memiliki perkembangan atau perkembangan per kmnya rendah. Namun keduanya memiliki pendapatan per kapita yang tidak rendah. Kedua,


(27)

bahwa mata rantai antara kebijakan terhadap suatu wilayah dan kesenjangan wilayah tidaklah berdiri sendiri. Maksudnya, dengan memahami faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan dan pengukurannya maka diharapkan dapat dengan mudah melakukan kegiatan perencanaan pembangunan wilayah sekaligus memetakannya (Wishlade dan Douglas, 1997)

Selanjutnya Wishlade dan Douglas (1997) menyatakan bahwa secara konseptual ada tiga indikator yang dapat dijadikan ukuran kesenjangan wilayah yaitu:1) indikator fisik, 2) indikator ekonomi, dan 3) sosial. Dalam kenyataan di lapangan, sulit menggolongkan indikator dengan cara terbuka. Meskipun demikian, ketiga kategori tersebut telah memberikan kerangka yang bermanfaat bagi masalah kesenjangan di suatu wilayah Uni Eropa.

Kesenjangan antar wilayah bisa ditemui baik di negara maju maupun berkembang. Kesenjangan antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Setiap pemerintah baik negara berkembang maupun belum berkembang selalu berusaha untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah karena beberapa alasan (Murty 2001, diacu dalam Pribadi, 2005), yaitu:

a) Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap

Jika setiap wilayah bisa tumbuh dan berkembang, maka mereka akan membentuk hubungan mutualisma yang saling menguntungkan. Jika tidak, sebagai contoh pendapatan yang rendah di daerah hinterland (backward area), akan menghambat pertumbuhan demand terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh wilayah yang lebih maju. Lebih jauh lagi, pembangunan wilayah yang berimbang akan mampu menghindari transport dan sekaligus dapat meminimalisasi tekanan inflasi terhadap perekonomian.

b) Untuk mengembangkan ekonomi secara cepat

Jika kecepatan semua pekerja dalam satu grup setara, maka grup tersebut akan memberikan output lebih cepat. Demikian pula apabila kemajuan ekonomi negara ditopang oleh pertumbuhan semua wilayah secara simultan sesuai dengan potensinya masing-masing, maka pertumbuhan ekonomi akan berjalan dengan cepat.


(28)

c) Untuk mengoptimalkan dan mengkonservasi sumberdaya

Ketika suatu wilayah mengembangkan sumberdayanya, maka sumberdaya tersebut akan mengakibatkan wilayah tersebut menjadi berkembang. Keterkaitan ini akan mengurangi terjadinya pengurasan sumberdaya oleh wilayah lain (umumnya wilayah yang lebih maju), karena resiko dan manfaat penggunaannya sangat dirasakan oleh wilayah yang memiliki sumberdaya itu sendiri.

d) Untuk meningkatkan lapangan kerja

Berkembangnya infrastruktur dan penyebaran industri di daerah hinterland (backward region) akan meningkatkan lapangan kerja yang lebih luas di semua wilayah.

e) Untuk mengurangi beban sektor pertanian

Produktivitas per kapita sektor pertanian di Indonesia sangat rendah karena terlalu banyak penduduk yang bekerja di sektor ini. Dengan pembangunan wilayah yang berimbang, sektor-sektor non pertanian juga akan berkembang di daerah hinterland, sehingga lapangan kerja di sektor pertanian juga akan berkembang.

f) Untuk mendorong desentralisasi

Disparitas antar wilayah akan mendorong terjadinya sentralisasi. Wilayah berkembang mempunyai kapasitas untuk menarik investasi, industri, dan institusi- institusi perekonomian baru, sedangkan wilayah-wilayah yang tertinggal tidak mempunyai kapasitas tersebut. Akhirnya, permasalahan sentralisasi akan semakin berkembang. Sentralisasi di bidang ekonomi sendiri sebenarnya tidak menjadi masalah, tetapi kondisi ini kenyataannya mengakibatkan berbagai masalah yang lebih pelik seperti lokalisasi, urbanisasi, internal konflik dan sebagainya. Lokalisasi dan urbanisasi pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah seperti kepadatan, kemacetan, kebisingan, polusi, masalah permukiman dan sebagainya. Sebagai akibatnya biaya hidup akan menjadi semakin tinggi, dan mengakibatkan timbulnya kemiskinan perkotaan.


(29)

g) Untuk menghindari konflik internal dan instabilitas politik

Kesenjangan (disparitas) antar wilayah dari segi pendapatan dan kesejahteraan merupakan ancaman terbesar yang dapat meruntuhkan solidaritas masyarakat sebagai satu bangsa. Suatu wilayah akan cenderung melepaskan diri apabila terlalu kaya. Sebaliknya suatu wilayah juga akan cenderung melepaskan diri apabila terlalu miskin dan merasa diabaikan. h) Untuk mempertahankan negara dari serangan musuh

Apabila suatu wilayah mampu tumbuh dan berkembang, maka serangan musuh pada wilayah-wilayah tertentu tidak akan mampu melumpuhkan perekonomian negara.

Berdasarkan hasil penelitian Romadhon (2004), untuk mengurangi kesenjangan yang disebabkan oleh faktor kuantitas dan kualitas sumberdaya yang dimiliki desa di pulau Sapudi Kabupaten Sumenep- Madura maka harus mengacu pada kondisi tingkat perkembangan kuantitas dan kualitas sumberdaya yang dimiliki. Contohnya, Desa Pancor memiliki potensi sektor perikanan dan transportasi yang kompetitif serta memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Maka arahan pengembangannya adalah bahwa Desa Pancor dijadikan sebagai daerah perikanan dan outlet perdagangan serta pusat perdagangan hasil pertanian dan kelautan. Dengan demikian daerah tersebut bisa berkembang sesuai dengan karakteristik dan potensinya serta yang lebih penting tidak melakukan pengurasan sumberdaya lainnya yang mungkin berada di daerah sekitarnya.

Dengan demikian jelas bahwa disparitas antar wilayah ini harus diatasi mengingat banyak dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan hakiki pembangunan. Karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi terjadinya urban bias yaitu kecenderungan proses pembangunan untuk lebih memihak pada kepentingan perkotaan dengan memulai memperhatikan pengembangan kawasan pedesaan.

Menurut Rustiadi dan Hadi (2007), strategi pembangunan wilayah yang pernah dilaksanakan di Indonesia untuk mengatasi berbagai permasalahan disparitas pembangunan wilayah, antara lain :


(30)

1. Secara nasional dengan membentuk Kementrian Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI);

2. Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan dan potensial berkembang tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasan-kawasan seperti (a) Kawasan andalan (Kadal), (b) Kawasan pembangunan ekonomi terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap provinsi; 3. Program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong

pembangunan kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti: (a) Kawasan sentra produksi (KSP atau Kasep); (b) Pengembangan kawasan perbatasan; (c) Pengembangan kawasan tertinggal; (d) Proyek pengembangan ekonomi lokal;

4. Program progam sektoral dengan pendekatan wilayah seperti: (a) Perwilayahan komoditas unggulan; (b) Pengembangan sentra industri

kecil; (c) Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), dan lain-lain.

Program-program tersebut sebagian besar dilaksanakan setelah munculnya berbagai tuntutan pemerataan pembangunan, khususnya pada menjelang dan awal era reformasi atau sekitar tahun 1996-1997. Namun pendekatan yang digunakan masih terpusat dan masih menggunakan pendekatan pembangunan yang sama yaitu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi hanya di pusat-pusat perkotaan tidak sampai di perdesaan, sehingga tidak memberikan dampak yang besar terhadap tujuan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah - wilayah yang diidentifikasikan tertinggal. Banyak pusat pusat pertumbuhan baru berkembang dengan pesat namun wilayah hinterland-nya mengalami nasib yang sama yaitu mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Beberapa pengalaman empiris bahkan menunjukkan bahwa berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan baru seringkali lebih memberikan akses bagi para pelaku ekonomi di pusat pertumbuhan yang lebih besar untuk melakukan eksploitasi sumberdaya di daerah hinterland. Akibatnya proses eksploitasi wilayah belakang terus berjalan dan ketimpangan tetap terjadi (Rustidi dan Hadi, 2007).


(31)

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya backwash effect. Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong kaum elit kota, pejabat pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan besar untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada di desa. Masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Kedua, kawasan perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kapasitas SDM dan kelembagaannya kurang berkembang. Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemikiran modern dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu sebagian besar aktivitas pada akhimya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai ketrampilan dan kemampuan (Rustiadi et al, 2006).

Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah (Rustiadi, 2001). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa.

Menurut Murty (2000) proses penyebab kesenjangan yang pertama tersebut adalah faktor ekonomis yakni perbedaan faktor produksi secara kualitatif dan kuantitatif seperti tanah, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan. Penyebab kedua adalah proses kumulatif dari berbagai faktor yang menyebabkan ekonomi yang sudah maju terus berkembang dan ekonomi yang tidak berkembang terus meburuk kecuali jika pemerintah turut campur dalam menciptakan skema pemerataan antar regional. Proses kumulatif yang pertama dimulai oleh siklus kemiskinan yang ganas. Ada dua jenis siklus dalam perekonomian yang tertinggal. Siklus yang pertama dibentuk oleh sumberdaya yang belum dikembangkan dan keterbelakangan penduduk yang berpengaruh satu dengan yang lain. Siklus kedua yang ganas meliputi ketertinggalan penduduk, standar hidup yang rendah, efisiensi rendah, produktifitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, tingkat pekerjaan rendah, dan ketertinggalan penduduk. Faktor-faktor ini terjadi dan saling bereaksi satu terhadap yang lain sedemikian rupa sehingga menetap dalam suatu daerah dan


(32)

menjadi proses penurunan secara kumulatif. Di lain pihak, terjadi siklus kemakmuran di wilayah yang berkembang. Penduduk yang maju, standar hidup yang tinggi, efisiensi yang lebih baik, produktifitas yang tinggi, produksi yang lebih banyak, pendapatan lebih, konsumsi lebih banyak, investasi lebih tinggi,penggunaan tenaga kerja lebih banyak, dan lebih lagi penduduk yang progresif memulai proses kemajuan yang kumulatif dan akhirnya kesenjangan antara dua daerah makin meningkat.

Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan dengan: 1) sebagai pusat pertumbuhan; 2) terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, dan pasar potensial; 3) tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi, serta struktur ekonomi yang relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan dengan: 1) pertumbuhan yang cepat; 2) biasanya merupakan daerah penyangga dari wilayah maju; dan 3) mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju.

Wilayah yang belum berkembang mempunyai ciri berikut: 1) tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun relatif; 2) memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan; 3) kepadatan penduduk yang masih rendah dan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal: 1) tidak memiliki potensi sumberdaya alam dan potensi lokasi sehingga secara alamiah sulit berkembang dan mengalami pertumbuhan; 2) sebenarnya memiliki potensi baik sumberdaya alam maupun potensi tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Adapun ciri-ciri yang dapat dilihat dari jenis wilayah ini adalah tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibiltas yang rendah (Anwar, 2005).

2.4. Interaksi Spasial

Interaksi antar wilayah (interaksi spasial) merupakan suatu mekanisme yang menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena aktifitas yang


(33)

dilakukan oleh manusia dalam suatu wilayah. Aktifitas-aktifitas yang dimaksud diantaranya mobilitas kerja, migrasi, arus informasi, arus komoditas, mobilitas pelajar dan aktivitas-aktivitas konferensi, seminar, lokakarya atau kegiatan sejenisnya, pemanfaatan fasilitas pribadi dan atau fasilitas umum bahkan tukar menukar pengetahuan (Kingsley E. Hayes, 1984 yang diacu Saifulhakim, 2003)

Wilayah bukan merupakan suatu wilayah tunggal dan tertutup. Tetapi merupakan suatu kesatuan wilayah yang berintraksi antara suatu wilayah dengan wilayah lain. Pembangunan wilayah yang ideal adalah terjadinya interaksi wilayah yang sinergis dan saling memperkuat, sehingga nilai tambah yang diperoleh dari adanya interaksi tersebut dapat terbagi secara adil dan proporsional sesuai dengan peran dan potensi sumberdaya yang dimiliki masing masing wilayah (Rustiadi dan Hadi, 2007)

Selanjutnya menurut Rustiadi dan Hadi (2007) suatu wilayah akan berkembang bila berhubungan dengan wilayah lain. Untuk itu aksesibilitas suatu wilayah sangat menentukan kecepatan perkembangan wilayah tersebut. Ketimpangan pembangunan antar wilayah secara alamiah terjadi bisa disebabkan oleh dua faktor penentu yaitu :

1. Aspek kepemilikan sumberdaya alam yang berbeda, dimana salah satu wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding wilayah lain;

2. Aspek posisi geografis, dimana suatu wilayah memiliki keunggulan posisi geografis dibanding wilayah lain.

Menurut Rustiadi (2001), pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya "pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya". Dengan


(34)

demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.

Keseimbangan antar wilayah menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi kesenjangan antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi secara menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil.

2.5. Sistem Informasi Geografi

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000). Aplikasi SIG dapat digunakan untuk berbagai kepentingan selama data yang diolah memiliki referensi geografi, maksudnya data tersebut terdiri dari fenomena atau objek yang dapat disajikan dalam bentuk fisik serta memiliki lokasi keruangan (Indrawati, 2002). Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi Geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta. Sedangkan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial.

Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (polygon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari sepasang koordinat x,y yang menunjukkan lokasi suatu obyek berupa ketinggian, lokasi kota, lokasi pengambilan sample dan lain-lain. Garis merupakan sekumpulan titik-titik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontur dan lain- lain. Sedangkan area adalah kenampakan


(35)

yang dibatasi oleh suatu garis yang membentuk suatu ruang homogen, misalnya: batas daerah, batas penggunaan lahan, pulau dan lain sebagainya.

Struktur data spasial dibagi dua yaitu model data raster dan model data vektor. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat (grid)/sel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur. Data vektor adalah data yang direkam dalam bentuk koordinat titik yang menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik, garis atau area (polygon) (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Lukman (1993) menyatakan bahwa sistem informasi geografi menyajikan informasi keruangan beserta atributnya yang terdiri dari beberapa komponen utama yaitu:

a) Masukan data merupakan proses pemasukan data pada komputer dari peta, data statistik, data hasil analisis penginderaan jauh data hasil pengolahan citra digital penginderaan jauh, dan lain-lain. Data-data spasial dan atribut baik dalam bentuk analog maupun data digital tersebut dikonversikan kedalam format yang diminta oleh perangkat lunak sehingga terbentuk basis data (database).

b) Penyimpanan data dan pemanggilan kembali (data storage dan retrieval) ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat (penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan/cetak pada kertas). c) Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat dilakukan melalui

berbagai macam perintah misalnya overlay antara dua tema peta, membuat buffer zone jarak tertentu dari suatu area atau titik dan sebagainya. Anon (2003) mengatakan bahwa manipulasi dan analisis data merupakan ciri utama dari SIG. Kemampuan SIG dalam melakukan analisis gabungan dari data spasial dan data atribut akan menghasilkan informasi yang berguna untuk berbagai aplikasi

d) Pelaporan data ialah dapat menyajikan data dasar, data hasil pengolahan data dari model menjadi bentuk peta atau data tabular. Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) bentuk produk suatu SIG dapat bervariasi baik dalam


(36)

hal kualitas, keakuratan dan kemudahan pemakainya. Hasil ini dapat dibuat dalam bentuk peta-peta, tabel angka-angka: teks di atas kertas atau media lain (hard copy), atau dalam cetak lunak (seperti file elektronik).

Barus dan Wiradisastra (2000) juga mengungkapkan bahwa SIG adalah alat yang handal untuk menangani data spasial, dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau dalam bentuk konvensional lainnya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan.

Sarana utama untuk penanganan data spasial adalah SIG. SIG didesain untuk menerima data spasial dalam jumlah besar dari berbagai sumber dan mengintergrasikannya menjadi sebuah informasi, salah satu jenis data ini adalah data pengindraan jauh. Pengindraan jauh mempunyai kemampuan menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah besar. Barus dan Wiradisastra (2000) mengatakan bahwa SIG akan memberi nilai tambah pada kemampuan pengindraan jauh dalam menghasilkan data spasial yang besar dimana pemanfaatan data pengindraan jauh tersebut tergantung pada cara penanganan dan pengolahan data yang akan mengubahnya menjadi informasi yang berguna.

2.6. Strategi Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah dapat dianggap sebagai suatu bentuk intervensi positif terhadap suatu wilayah. Diperlukan strategi-strategi yang efektif untuk suatu percepatan pembangunan. Secara teoritis strategi pengembangan wilayah baru dapat digolongkan dalam dua kategori strategi, yaitu demand side strategy dan supply side strategi (Rustiadi et al., 2002). Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa, masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal, yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk yang baru dipindahkan ke wilayah baru. Sedangkan strategy supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan


(37)

produksi yang berorientasi keluar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan suplay dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumber daya alam lokal.

Strategi pembangunan wilayah lainnya adalah strategi keterkaitan, yaitu terjadi pada suatu wilayah yang dari sisi suplay (penawaran/pasokan) atau sebaliknya dari sisi permintaan relatif tinggi tetapi terbatas akan sumberdaya atau pasokan. Keterbatasan atau kelebihan dari suatu wilayah seharusnya dapat dipertemukan sehingga perekonomian wilayah secara keseluruhan dapat meningkat. Strategi berbasis keterkaitan antar wilayah pada awalnya dapat diwujudkan dengan pengembangan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun berbagai infrastruktur fisik, seperti jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi dan lainnya yang dapat menciptakan keterkaitan sinergis (saling memperkuat) antar wilayah.

Sejalan dengan teori tersebut, Lorenzo- Alfarez (2002) mengemukakan bahwa kebijakan pembangunan pemerintah yang mendorong wilayah miskin dalam rangka menyetarakan stándar hidup dengan wilayah maju, maka pemerintah dapat menggunakan tiga instrumen utama sebagai berikut :

a. Desentralisasi keuangan b. Perbaikan sistem perdagangan c. Penyediaan infrastruktur yang tepat

Akan tetapi keterkaitan fisik saja tidak cukup, harus disertai dengan pengembangan keterkaitan yang lebih luas, yakni disertai dengan kebijakan-kebijakan menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah. Pengembangan keterkaitan yang tidak tepat sasaran dapat mendorong backwash yang lebih masif, sehingga pada akhirnya justru memperparah kesenjangan dan ketidak berimbangan pembangunan antar wilayah. Oleh karena itu keterkaitan antar wilayah yang diharapkan adalah bentuk-bentuk keterkaitan yang saling memperkuat bukan memperlemah.

Menurut Sukirno (1982) strategi pembangunan untuk suatu daerah ada empat aspek yaitu (a) Strategi makro, (b) Strategi sektoral, (c) Strategi wilayah, dan (d) Strategi pemilihan proyek - proyek. Salah satu unsur penting dalam


(38)

kebijakan pembangunan daerah adalah merumuskan strategi perencanaan ekonomi daerah. Perencanaan ekonomi daerah bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat disuatu daerah. Tujuan umumnya adalah pendapatan perkapita daerah dan pemerataannya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan strategi dengan melihat berbagai potensi sumberdaya yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial dan budaya yang tersedia di sutau daerah. Beberapa strategi yang dimaksud adalah :

1. Strategi dari sudut sumberdaya, yang terdiri dari : a. Input, surplus sumberdaya manusia (surplus labor) b. Basis input, sumberdaya alam (hasil alam)

c. Strategi basis sumberdaya modal dan manajemen d. Sumberdaya lainnya

e. Lokasi dan wilayah strategis, 2. Strategi menurut komoditi unggulan 3. Strategi dari sudut efisiensi


(39)

III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pikir Penelitian

Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini sebagian telah menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi tinggi dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive backwash effect) (Anwar, 2005). Pembangunan yang demikian ternyata telah menimbulkan kesenjangan antar wilayah, dimana wilayah perkotaan lebih maju dibandingkan dengan wilayah perdesaan

Kesenjangan ini akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah (Rustiadi, 2001). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah antara lain : letak geografis, sebaran penduduk, perbedaan sumberdaya alam yang dimiliki, aksesibilitas dan kebijakan pemerintah.

Meskipun kesenjangan antar wilayah merupakan hal wajar yang bisa ditemui, baik di negara maju maupun berkembang. Namun seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Kesenjangan antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Untuk itu, diperlukan suatu strategi pengembangan wilayah atau kebijakan pembangunan yang dapat mereduksi


(40)

permasalahan kesenjangan antar wilayah dan mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang.

Berdasarkan RTRW, kabupaten Halmahera Timur memiliki potensi sumberdaya alam yang menjanjikan ditiap kecamatan, akan tetapi pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat dan pembangunan infrastruktur tiap kecamatan berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan ego tiap pemerintah daerah yang melaksanakan program pembangunannya yang hanya berdasar pada kepentingan daerahnya, sehingga diindikasikan bahwa telah terjadi kesenjangan pembangunan wilayah di kabupaten Halmahera Timur.

Kesenjangan wilayah terjadi karena tiga faktor yaitu faktor alami, kondisi sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijakan pemerintah. Untuk mengetahui kecamatan-kecamatan mana saja yang tergolong memiliki kesenjangan, terlebih dahulu harus ditentukan variabel-variabel yang dapat dijadikan sebagai ukuran penentu. Dalam penelitian ini perumusan variabel dilakukan dengan pendekatan berbagai aspek yang terkait dengan faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan. Aspek yang dapat digunakan tersebut berkaitan dengan: sosial, kebijakan dan ekonomi, ketiga aspek tersebut dianalisis menggunakan analisis potensi dan deskriptif.

Aspek sumberdaya manusia (jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dll), dan aspek sumberdaya buatan (sarana prasarana) di analisis menggunakan analisis Skalogram, analisis Indeks Williamson, analisis Entropy, dan analisis Interaksi Spasial secara deskriptif. Untuk aspek sumberdaya alam (pertanian, pertambangan, dll) di identifikasi dan menggunakan analisis potensi. Hasil dari analisis tersebut diperoleh gambaran kesenjangan pembangunan wilayah yang terjadi di kabupaten Halmahera Timur. Berdasarkan gambaran kesenjangan yang terjadi, maka dapat disusun arahan percepatan pembangunan dan pembangunan yang berimbang antar wilayah, sehingga diperoleh arahan strategi dalam mengatasi kesenjangan pembangunan yang terjadi di Halmahera Timur.


(41)

Gambar 1. Skema kerangka pikir penelitian KABUPATEN HALMAHERA

TIMUR

ADANYA KESENJANGAN WILAYAH FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB

KESENJANGAN

TINGKAT KESENJANGAN

ARAHAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAN PEMBANGUNAN YANG BERIMBANG

GAMBARAN KESENJANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (SPASIAL)

Identifikasi potensi dan Deskriptif

Budaya dan kelembagaan

Mata pencaharian, mobilitas dan angkatan kerja Alokasi anggaran

pembangunan RTRW

Jlh penduduk, tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan dan

angkatan kerja

Sarana prasarana

-pertanian -pertambangan -perikanan

Identifikasi potensi, Analisis Skalogram, Analisis Indeks Williamson, Analisis Entropi, Analisis Interaksi Spasial secara deskriptif

SOSIAL KEBIJAKAN EKONOMI SDM SDB SDA


(42)

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Halmahera Timur yang meliputi 10 kecamatan dengan 73 desa.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang diambil adalah data primer dan sekunder. Data primer yang diambil adalah informasi kondisi sosial ekonomi masyarakat di kabupaten Halmahera Timur. Pengambilan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara dengan stakeholder terkait seperti Pemerintah Daerah, Camat, Kepala Desa dan Masyarakat. Sementara pengambilan data sekunder dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka, yang sumbernya dari BPS, BAPPEDA Kabupaten Halmahera Timur dan Instansi terkait lainnya.

3.4. Analisis Data

Metode analisis yang dipakai adalah analisis identifikasi potensi, analisis Skalogram, analisis Indeks Williamson, analisis Entropy, analisis Interaksi Spasial (deskriptif) dan Analisis Deskriptif.

3.4.1. Analisis Identifikasi Potensi Wilayah

Analisis identifikasi potensi merupakan salah satu bentuk analisis stastistik yang bertujuan memberikan deskripsi data yang meliputi tabulasi, peringkasan dan penyajian dalam bentuk tabel, gambar serta menghitung data-data Podes Kabupaten Halmahera Timur tahun 2006, kabupaten dalam angka tahun 2008 dan profil kabupaten Halmahera Timur.

Analisa identifikasi potensi digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan, menganalisa, dan menjabarkan fenomena-fenomena yang diperoleh dari data-data, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih objektif terhadap keadaan yang ada.

Identifikasi potensi sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan sumberdaya alam dilakukan melalui analisis potensi dengan perhitungan data-data Podes kabupaten Halmahera Timur tahun 2006, data kabupaten Halmahera Timur dalam angka tahun 2008 dan profil kabupaten Halmahera Timur serta menganalisa keadaan di kabupaten Halmahera Timur dengan survei langsung ke wilayah studi, dengan parameter jumlah penduduk, tingkat pekerjaan, tingkat


(43)

pendidikan, angkatan kerja, sarana pendidikan, sarana dan prasarana kesehatan, sarana pasar, sarana perikanan, luas lahan pertanian, luas lahan perkebunan dan kehutanan. Kemudian hasil pengolahan dipetakan pada peta potensi untuk dianalisa secara spasial.

Pada penelitian ini, perkembangan kecamatan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu kategori I (tinggi), kategori II (sedang), dan kategori III (rendah). Adapun rumus yang dipakai untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya adalah sebagai berikut:

1. Analisis identifikasi potensi sumberdaya manusia

A. Analisisi identifikasi potensi sumberdaya manusia tingkat pekerjaan dengan cara:

Keterangan :

Isdm = Indeks sumberdaya manusia

B = Total penduduk bekerja X = Total penduduk tidak bekerja

B.

Analisis identifikasi potensi sumberdaya manusia tingkat pendidikan dengan cara:

Keterangan

Isdm = Indeks sumberdaya manusia

P = Total penduduk berpendidikan K = Total tidak berpendidikan

2. Analisis identifikasi potensi sumberdaya buatan:

A. Analisis identifikasi potensi sumberdaya buatan sarana pendidikan dengan cara:

Keterangan :

Rsdbpdkk= Rasio sumberdaya buatan berdasarkan sarana pendidikan

Mu = Jumlah murid Sklh = Jumlah sekolah

B. Analisis identifikasi potensi sumberdaya buatan sarana dan prasarana kesehatan dengan cara:


(44)

Keterangan :

Isdb kes. = Indeks sumberdaya buatan berdasarkan sarana prasarana

kesehatan

JF = Jumlah fasilitas kesehatan JP = Jumlah penduduk

C. Analisis identifikasi potensi sumberdaya buatan sarana pasar dengan cara:

Keterangan :

Isdb sp = Indeks sumberdaya buatan berdasarkan sarana pasar

JF = Jumlah fasilitas pasar JP = Jumlah Penduduk 3.4.2. Analisis Skalogram

Analisis skalogram dipakai untuk menentukan hirarki antar wilayah di Kabupaten Halmahera Timur. Data yang digunakan adalah data Podes tahun 2006 dan data kabupaten dalam angka tahun 2008, dengan parameter: bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, perekonomian dan aksesibilitas. Kemudian hasil pengolahan dipetakan pada peta administrasi untuk dianalisa secara spasial. Untuk lebih jelas mengenai parameter dimaksud dapat dilihat pada lampiran 3.

Prosedur kerja penyusunan hirarki daerah berdasarkan infrastruktur dengan menggunakan skalogram adalah sebagai berikut (Saefulhakim, 2004) : a. Melakukan pemilihan terhadap data Podes tahun 2006 sehingga yang tinggal

hanya data yang bersifat kuantitatif

b. Melakukan seleksi terhadap data-data kuantitatif tersebut sehingga hanya data yang relevan digunakan

c. Melakukan rasionalisasi data

d. Melakukan seleksi terhadap data-data hasil rasionalisasi hingga diperoleh 32 variabel untuk analisa skalogram yang mencirikan tingkat perkembangan kecamatan/desa di kabupaten Halmahera Timur

e. Melakukan standarisasi data terhadap 32 variabel-variabel tersebut dengan menggunakan rumus (Statsoft, 2004) yang dimodifikasi:


(45)

Dev

St

imumYj

Yij

Zij

.

min

Keterangan :

Zij = Nilai baku untuk desa ke- i dan jenis sarana ke- j Yij = Jumlah sarana untuk desa ke- i dan jenis sarana ke- j Minimum Yj = Nilai minimum untuk jenis sarana ke- j

St.Dev = Nilai standar deviasi

f. Menentukan indeks perkembangan kecamatan/desa (IPK/IPD) dan kelas hirarkinya.

Pada penelitian ini, IPK/IPD dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), dan hirarki III (rendah). Penentuan kelas hirarki didasarkan pada nilai standar deviasi IPK (St Dev) dan nilai median, seperti terlihat pada Tabel berikut:

Tabel 1. Nilai selang Hirarki

No Hirarki Nilai Selang (X) Tingkat Hirarki 1 2 3 I II III

X = (median +(2*St Dev) Median < X < (median + (2*St Dev)

X = median

Tinggi Sedang Rendah

3.4.3. Analisis Indeks Williamson

Untuk mengetahui tingkat disparitas/kesenjangan pembangunan antar wilayah digunakan indeks Williamson. Williamson mengembangkan indeks kesenjangna wilayah yang diformulasikan sebagai berikut:

=

Y

Y

p

Y

V

i i i w _ Keterangan :

V

w = Indeks kesenjangan Williamson

Yi

= PAD per kapita kecamatan ke - i

Y

= Rata-rata PAD per kapita kecamatan


(46)

total penduduk kabupaten

Pengukuran didasarkan pada variasi hasil-hasil pembangunan ekonomi antar region yang berupa besar PAD. Kriteria pengukuran adalah semakin besar nilai indeks yang menunjukkan variasi produksi ekonomi antar region semakin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing region dengan rata-ratanya, sebaliknya semakin kecil nilai ini menunjukkan kemerataan region yang baik (Syafrizal, 1997).

Indeks kesenjangan akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol jika maka dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak adanya kesenjangan ekonomi antar kecamatan. Indeks lebih besar dari 0 menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah PAD perkapita.

3.4.4. Analisis Entropi

Analisis Enthropy merupakan salah satu konsep analisis yang dapat menghitung tingkat keragaman (diversifikasi) komponen aktivitas. Keunggulan dari konsep ini karena dapat digunakan untuk: 1) memahami perkembangan suatu wilayah; 2) memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; 3) memahami perkembangan aktivitas perusahaan, seperti pabrik gula; dan 4) memahami perkembangan aktivitas suatu sistem produksi pertanian, dan lain- lain. Prinsip analisis ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Persamaan umum entropi ini adalah sebagai berkut:

∑∑

= =

=

n

i n

j

PijLnPij

S

1 1

Keterangan :

S = Tingkat perkembangan

n = Jumlah jenis kegiatan usaha masyarakat, kepadatan penduduk, dan kemampuan personil

ij = Kecamatan i sampai dengan j

_

Y Yi=


(47)

P = Peluang atau proporsi terjadinya keragaman (diversifikasi)

Jika S meningkat maka tingkat perkembangannya tinggi. Nilai S akan selalu meningkat (S = 0). Data yang dianalisis adalah data podes 2006, kabupaten Halamhera Timur dalam angka dan profil Halmahera Timur dengan parameter luas lahan sawah, jumlah kegiatan perdagangan dan jasa, jumlah kegiatan industri dan kerajinan, jumlah dan jenis fasilitas pendidikan dan jumlah dan jenis fasilitas kesehatan.

3.4.5. Analisis Interaksi Spasial

Analisis interaksi spasial dimaksudkan untuk menganalisis hubungan timbal balik antara pusat-pusat kegiatan sosial ekonomi dalam suatu wilayah pembangunan yang difokuskan pada aliran informasi aktivitas pelayanan pemerintah melalui jalur transportasi daerah yang tersedia. Dalam penelitian ini analisis interaksi spasial menggunakan analisis deskriptif untuk melihat pola interaksi spasial pergerakan barang dan orang antar wilayah.

3.4.6. Analisis Deskriptif MenyusunArahan Kebijakan dalam Mengatasi Masalah Kesenjangan

Dalam tulisan ini, menyusun arahan kebijakan dalam mengatasi masalah kesenjangan di kabupaten Halmahera Timur dilakukan melalui analisis deskriptif dengan cara menganalisa hasil-hasil analisis sebelumnya antara lain fenomena hasil analisis identifikasi potensi wilayah, hasil analisis perkembangan wilayah dan hasil analisis kesenjangan wilayah, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan logis.


(1)

Mudrajad Kuncoro. 2004.

Strategi Pengembangan Kawasan Stratejik atau

Andalan. Dalam Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi,

Perencanaan, Strategi dan Peluang

. Erlangga. Jakarta.

Murty, S. 2000.

Regional Disparities: Need and Measures for Balanced

Development, in Regional Planning and Sustainable Development

.

Edited

by Amitabnh Shukla, Kanishka Publishers, Distributors. New Delhi.

Nugroho, I , Dahuri R. 2004. Pembangunan Wilayah dalam Perspektif Ekonomi, Sosial

dan Lingkungan. Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.

Pribadi, D.O. 2005. Pembangunan Kawasan Agropolitan Melalui Pengembangan

Kota-Kota Kecil Menengah, Peningkatan Efisiensi Pasar Perdesaan dan Penguatan

Akses Masyarakat Terhadap Lahan. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Riyadi dan Bratakusumah, D.S. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah. Strategi

Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Romadan, Agus. 2004. Kajian Tipologi Wilayah sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

Pengembangan Beberapa Pulau Kecil di Kabupaten Sumnenep-Madura. Tesis.

Sekolah Pascasarjana. IPB.

Rustiadi E. 2001. Perencanaan Wilayah di dalam Mengatasi Kerusakan Lingkungan dan

Disparitas antar Wilayah di Era Otonomi Daearh. Materi di sampaikan pada

Serial Diskusi Program

Certification Environment Justice and Natural Asset

yang

diselenggarakan oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia pada tanggal 27 Juli

2001 di Pendidikan Latihan, Situ Gede. Bogor

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2006. Diktat Perencanaan Pengembangan

Wilayah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor – Bogor. Edisi Mei 2006.

Rustiadi E & Hadi, S. 2007. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan

Perdesaan dan Pembangunan Berimbang.

http://www.pu.go.id/ditjen-miskin/agro/berita/pengemb -agro.asp. (1Mei 2007).

Saefulhakim, S. 2004.

Modul Analisis Kuantitatif Sosial Ekonomi Wilayah

. Bogor. PS

Perencanaan Wilayah.

Saefulhakim, S. 2006. Prinsip-prinsip Ekonomi Regional dan Perdesaan. Bogor Program

Studi Ilmu -ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Institut Pertanian Bogor.

Tidak di publikasi

Suhyanto, O. 2005. Disparitas Tingkat Kehidupan Masyarakat antar Wilayah di Jawa

Barat dan Strategi Penanggulangannya. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

Sukanto dan Kuncoro, M. 2004. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Wilayah

antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas. Jurnal Ekonomi Pembangunan.

Sukirno, Sadono. 1982.

Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah

.


(2)

Syafrizal, 1997. Pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan Regional Wilayah Indonesia

Bagian Barat. Prisma, Vol.IV ke XVI, LP3S, Jakarta.

Tarigan, R. 2002.

Perencanaan Pembangunan Wilayah. Pendekatan Ekonomi dan

Ruang

. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Departemen

Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Wishlade, F, Douglas Y. 1997.

Measuring Disparities for Area Designation Purposes:

Issues for The European Union

. Regional and Industrial Policy Research Paper

Number 24. European Policies Research Centre Univeesity of Strathclyde 141

St. James Road Glasgow G4 0LT United Kingdom.

Williamson, J.G. 1975.

Regional Inequality and Nattional Development

. Edited by John

Friedman and William Alonso. Regional Policy-Reading in Theory and

Aplication. MIT


(3)

Lampiran 1. Matrik data, sumber data, teknik analisis dan output yang diharapkan

menurut tujuan penelitian

No Tujuan Data yang digunakan Sumber Data Analisis Teknik Analisis Unit Output yang diharapkan

1 Mengidentifik

asi potensi sumberdaya alam, buatan dan manusia Peta admin dan Podes tahun 2006 Pemda Kab Haltim, BPS Pusat, dan Kabupaten dalam Angka

Deskriptif Kecamatan Karakteristik wilayah perkembangan kecamatan berdasarkan potensi SDM. SDB dan SDA

2 Menganalisis

kesenjangan pembangunan di wilayah utara dan wilayah selatan Podes 2006, Kabupaten dalam Angka BPS Kab Haltim, dan Bapedda Haltim Skalogram , Indeks Williamso n, Indeks Entropy, dan Analisis Interaksi Spasial Desa dan Kecamatan Mengetahui tingkatan hirarki wilayah, dan tingkatan kesenjangan antar kecamatan berdasarkan infrastruktur, perekonomian

3 Menyusun

arahan kebijakan dalam mengatasi kesenjangan Data primer dan data sekunder Wawancara dengan stakeholder dan dokumen RTRW

Deskriptif Wilayah kabupaten Halmahera Timur Untuk mengetahui strategi kebijakan agar tercipta pembangunan yang berimbang


(4)

Lampiran 2. Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis skalogram

No

Variabel

1

Kantor Kecamatan

2

Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan Minuman

3

Toko/Warung/Kios

4

Bank Umum

5

Bank Pengkreditan Rakyat

6

Jumlah KUD

7

Jumlah Koperasi non KUD lainnya

8

Hotel/penginapan

9

Wartel/kiospon/warpostel/Warparpostel

10 Jumlah poliklinik/balai pengobatan

11 Jumlah puskesmas

12 Jumlah puskesmas pembantu

13 Jumlah tempat praktek dokter dan bidan

14 Jumlah posyandu

15 Jumlah polindes

16 Jumlah apotek dan toko obat

17 Jumlah SD/MI dan yang sederajat

18 Jumlah SLTP/MTS dan yang sederajat

19 Jumlah SLTA/MA dan sederajat

20 Jumlah masjid

21 Jumlah surau/langgar

22 Jumlah gereja katolik

23 Jumlah gereja keresten

24 Kios sarana produksi pertanian milik non KUD

25 Kios sarana produksi pertanian milik KUD

26 Jumlah industri

27 Perusahaan listrik non PLN

28 Pasar Tanpa Bangunan Permanen

29 Jumlah bangunan pasar permanen/semi permanen

30 Jumlah lembaga pendidikan ketrampilan

31 Jumlah terminal penumpang kendaraan bermotor roda 4 atau lebih

32 Jumlah prasarana perdagangan dan jasa


(5)

Lampiran 3. Matriks Arahan Pengembangan per kecamatan di kabupaten

Halmahera Timur

No Kecamatan Hasil Analisis & Kondisi Saat ini

Arahan Pengembangan

1 Kota Maba

- Baru sebagian kecil lahan pertambangan khususnya nikel yang dikelola

- Rendahnya PAD

- Belum tersedianya listrik dan air bersih

- Peningkatan pengelolaan dan pemanfaatan pertambangan (desa Mabapura,Wailukum dan pulau pakal

- Perlu di bangunnya sarana listrik dan air bersih

2 Maba Selatan

- Kurangnya sarana prasarana

- Kurangnya luas lahan perkebunan

- Kurangnya sarana penangkapan

- Peningkatan pembangunan sarana prasarana khususnya: jalan, sekolah, puskesmas, pelabuhan

- Peningkatan lahan perkebunan.

- Peningkatan sarana penangkapan

3 Maba Tengah

-Kurangnya fasilitas pendidikan dan kesehatan

- Rendahnya aktivitas perekonomian yaitu perdagangan jasa dan industri kerajinan

- Rendahnya PAD

- Peningkatan pembangunan fasilitas pendidikan baik sekolah umum maupun sekolah kejuruan.

- Meningkatkan pengetahuan dan wawasan SDM yang berkaitan dengan penggalian potensi PAD seperti sosialisasi kepada masyarakat mengenai macam pajak dan retribusi serta manfaat dari membayar pajak dan retribusi

- Pelaksanaan pelatihan bagi pengrajian industri kecil

- Kepastian jalur pemasaran industri kerajinan dan pemberian modal bagi pengusaha kecil

4 Maba Utara

- Tingginya jumlah penganggur

- Rendahnya penduduk yang berpendidikan

- Kurangnya fasilitas pendidikan

- Minimnya jumlah guru

- Kurangnya tenaga medis

- Kurangnya puskesmas dan rumah sakit

- Belum adanya jalur transportasi seperti jalan terminal, jembatan, pelabuhan

- Belum tersedianya jaringan komunikasi

- Belum tersedianya listrik

- Kuranya lahan sawah

- Kurangnya sarana peangkapan

- Peningkatan kesempatan kerja yang tidak memiliki keahlian khusus.

- Peningkatan sarana prasarana

- Penambahan tenaga guru dan tenaga medis

- Adanya kebijakan dari pemerintah untuk perluasan lahan pertanian (sawah)

- Peningkatan sarana penangkapan

- Perlu di bangunnya sarana listrik

5 Wasile Utara

-Tingginya tingkat pengangguran

-Rendahnya penduduk yang berpendidikan

-Kurangnya fasilitas pendidikan dan kesehatan

- Peningkatan kesempatan kerja.

- Peningkatan sarana prasarana khususnya pendidikan (SD, SMP dan SMA), kesehatan (puskesmas), perekonomian (pasar KUD dan TPI), perhubungan (jalan, jembatan,


(6)

-Kurangnya tenaga pendidik dan tenaga medis

-Belum tersedianya jalur transportasi , seperti jalan, terminal, jembatan dan pelabuhan

-Belum tersedianya jaringan komunikasi

-Belum adanya pasar dan KUD

-Rendahnya PAD

-Rendahnya aktivitas perdagangan dan jasa

-Kurangnya lahan sawah

-Belum tersedianya listrik Kurangnya sarana peangkapan

pelabuhan, terminal), dan komunikasi (jaringan kominikasi)

- Perlunya penambahan tenaga guru dan tenaga medis

- Meningkatkan pengetahuan dan wawasan SDM yang berkaitan dengan penggalian potensi PAD seperti sosialisasi kepada masyarakat mengenai macam pajak dan retribusi serta manfaat dari membayar pajak dan retribusi

- Perlunya pelatihan dan pemberian modal

- Perlu adanya kebijakan dari pemerintah untuk perluasan lahan pertanian (sawah)

- Perlu di bangunnya sarana listrik

- Peningkatan sarana penangkapan

6 Wasile Tengah

- Tingginya jumlah pengangguran

- Kurangnya lahan perkebuanan (kelapa, cengkeh dan sagu)

- Sebagian kecil lahan dikelola untuk komoditas padi dan jagung

- Kurangnya sarana prasarana seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, perekonomian dan fasilitas ibadah

- Rendahnya PAD

- Kurangnya sarana peanangkapan

- Perlunya peningkatan kesempatan kerja yang tidak memiliki keahlian khusus.

- Peningkatan sarana prasarana khususnya pendidikan, kesehatan, perekonomian dan peribadatan

- Perlunya penambahan tenaga guru dan tenaga medis

- Perlu adanya kebijakan dari pemerintah untuk perluasan lahan pertanian