Analisis Kesenjangan Antarkabupaten/Kota Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007-2010

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah pembangunan ekonomi bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara satu dengan negara lain. Penting bagi kita untuk dapat memiliki definisi yang sama dalam mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Produk Domestik Bruto (PDB) untuk suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk provinsi dan kabupaten/kota.

Sebuah definisi alternatif pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pada peningkatan pendapatan per kapita (income per capita). Definisi ini menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi. Kontribusi pertanian mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung melihat segi kuantitatif dari pembangunan ini dipandang perlu melihat indikator-indikator sosial yang ada.

Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan muncul dari benarkah semua indikator ekonomi yang ada memberikan gambaran kemakmuran. Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP


(2)

(penurunan pentingnya pertumbuhan ekonomi), pengentasan kemiskinan, pengurangan kesenjangan distribusi pendapatan dan penurunan tingkat pengangguran. Pendapat para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma pembangunan yang mulai menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003).

Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga nilai inti (Todaro dan Smith, 2006):

1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) untuk mempertahankan hidup.

2. Harga diri (Self Esteem): pembangunan harus memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu daerah harus meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu.

3. Kebebasan diri (Freedom from servitude): kebebasan bagi setiap individu untuk berpikir, berkembang, berperilaku dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Pada akhir tahun 1960, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan ekonomi” (economic development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir dalam Sjafrizal, 1986). Ini pula yang


(3)

3

memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara dalam Sjafrizal, 1989). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi tidak lagi mengedepankan PDB atau PDRB sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.

Masalah kesenjangan antarwilayah ini menjadi perhatian utama di negara berkembang yang sedang memacu pembangunan ekonomi. Hal ini karena adanya kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan semakin tingginya tingkat kesenjangan yang terjadi. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kuznets dalam Todaro dan Smith (2006) bahwa pada tahap pembangunan awal terdapat pertentangan antara pertumbuhan dan pemerataan. Semakin tinggi usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi, semakin memburuk pula tingkat kesejahteraan. Dengan kata lain, antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan terjadi trade off, dimana pertumbuhan ekonomi yang pesat akan meningkatkan kesenjangan pendapatan.

Seringkali dalam pembicaraan terkait kesenjangan antarwilayah mengacu pada persoalan dikotomi Jawa dan luar Jawa. Sementara, sebenarnya di Jawa bahkan luar Jawa sendiri pun masih terdapat kesenjangan antardaerah. Kesenjangan di luar Jawa lebih bersumber pada potensi sumber daya alam yang belum optimal dimanfaatkan untuk keperluan proses produksi dalam


(4)

menghasilkan output produksi serta sumber daya manusia yang belum mampu mengolah secara efektif sumber daya alam pada wilayah domestik di luar Jawa.

Disparitas pembangunan antardaerah sebaiknya tidak hanya dilihat dari wilayah Jawa dan luar Jawa atau kawasan barat dan kawasan timur. Perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun regional harus memperhatikan daerah (provinsi) secara parsial karena kita harus menyadari betapa beragamnya potensi dan kemampuan daerah di Indonesia untuk berkembang dengan kekuatan mereka sendiri. Salah satu provinsi di kawasan Indonesia Timur, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Provinsi kepulauan yang dihuni penduduk dengan etnik beragam ini lebih dari seperlimanya (23,03 persen) digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS, 2010). Hal ini menjadikan Provinsi NTT menduduki peringkat kelima provinsi termiskin dibandingkan provinsi lain di Indonesia pada tahun 2010 (lihat Tabel 1.1).

Tabel 1.1 Persentase Penduduk Miskin menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010 Provinsi Persentase Penduduk Miskin Peringkat

Papua 36,80 1

Papua Barat 34,88 2

Maluku 27,74 3

Gorontalo 23,19 4

NTT 23,03 5

NTB 21,55 6

Aceh 20,98 7

Lampung 18,94 8

Bengkulu 18,30 9

Sulteng 18,07 10

Indonesia 13,33

Sumber: BPS (diolah), 2010

Tabel 1.1 menggambarkan persentase penduduk miskin yang menduduki peringkat 10 besar provinsi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya


(5)

5

kesenjangan antara Kawasan Indonesia Barat (KIB) dan Kawasan Indonesia Timur (KIT). Dapat dijelaskan pula adanya pembangunan ekonomi yang belum dirasakan secara adil dan merata oleh segenap lapisan masyarakat di KIT.

Permasalahan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT merupakan permasalahan serius yang harus dipandang sebagai tantangan yang senantiasa membutuhkan pemecahan masalah yang menyentuh kepada permasalahan sesungguhnya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diuraikan berbagai permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kesenjangan pendapatan kabupaten/kota dan kelompok kepulauan di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010?

2. Bagaimana dampak kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010?

3. Bagaimana klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi NTT menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita pada periode tahun 2007-2010?


(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kesenjangan pendapatan kabupaten/kota dan kelompok kepulauan di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010.

2. Menganalisis dampak kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010.

3. Mengetahui klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi NTT menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita pada periode tahun 2007-2010.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah dan instansi terkait: dapat memberikan bahan pertimbangan dan masukan sebagai pengambil kebijakan dalam menyusun rencana-rencana atau strategi pembangunan daerah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah.

2. Bagi akademisi dan peneliti: dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi penulis: dapat mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan mengenai ekonomi regional.

4. Bagi pembaca dan pemerhati: dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai kondisi kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT.


(7)

7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meneliti kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT dengan menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000, laju pertumbuhan PDRB, dan jumlah penduduk kabupaten/kota. PDRB atas dasar harga konstan digunakan karena dapat melihat pergerakan kuantum produksi dan tidak memasukkan unsur fluktuasi harga sehingga lebih baik bila digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi.

Periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 2007-2010. Periode tersebut menunjukkan kondisi setelah pemekaran sehingga jumlah kabupaten/kota sebanyak 21 kabupaten/kota di Provinsi NTT.


(8)

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedang PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar (BPS, 2000).

Perkembangan PDRB ADHB dari tahun ke tahun menggambarkan perkembangan yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam volume produksi barang dan jasa yang dihasilkan dan perubahan dalam tingkat harganya dan menunjukkan pendapatan yang dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun. PDRB ADHB ini digunakan untuk melihat struktur ekonomi pada suatu tahun. Oleh karenanya untuk dapat mengukur perubahan volume produksi atau perkembangan produktivitas secara nyata, faktor pengaruh atas perubahan harga perlu dihilangkan dengan cara menghitung PDRB ADHK.


(9)

9

Penghitungan atas dasar harga konstan ini berguna antara lain dalam perencanaan ekonomi, proyeksi dan untuk menilai pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral. PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan apabila dikaitkan dengan data mengenai tenaga kerja dan barang modal yang dipakai dalam proses produksi, dapat memberikan gambaran tentang tingkat produktivitas dan kapasitas produksi dari masing-masing lapangan usaha tersebut

Penghitungan PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, antara lain (BPS, 2000):

a. Pendekatan Produksi

PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah tertentu pada periode tertentu (biasanya satu tahun). Nilai tambah merupakan hasil pengurangan output dengan input antara. Unit-unit produksi dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) lapangan usaha (sektor).

PDRB menurut lapangan usaha dikelompokkan dalam sembilan sektor: 1) Pertanian (tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan

perikanan)

2) Pertambangan dan Penggalian 3) Industri Pengolahan

4) Listrik, Gas dan Air Bersih 5) Konstruksi

6) Perdagangan, Hotel dan Restoran 7) Pengangkutan dan Komunikasi


(10)

8) Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 9) Jasa-jasa

Untuk tujuan penyederhanaan sembilan sektor tersebut dikelompokkan dalam sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer terdiri atas sektor 1 dan 2 (pertanian; pertambangan dan penggalian), sektor sekunder terdiri atas sektor 3, 4 dan 5 (industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; konstruksi) sedangkan sektor tersier terdiri dari sektor 6, 7, 8 dan 9 (perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa).

b. Pendekatan Pendapatan

PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi tersebut adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan (balas jasa kewiraswastaan), semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup penyusutan dan pajak tak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).

c. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok dan (5) ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Dengan kata lain,


(11)

11

PDRB merupakan jumlah dari empat kelompok pengeluaran yaitu konsumsi, investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor neto (Mankiw, 2007). Jika dituliskan ke dalam suatu formula, dimana PDRB disimbolkan dengan Y, maka

Y = C + I + G + NX (2.1) − Konsumsi (C) terdiri barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi

dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa.

− Investasi (I) terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan.

− Pembelian pemerintah (G) adalah barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah pusat, negara bagian, dan daerah. Kelompok ini meliputi peralatan militer, jalan layang, dan jasa yang diberikan pegawai pemerintah.

− Ekspor neto (NX) memperhitungkan perdagangan dengan negara lain. Ekspor neto adalah nilai barang dan jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai barang dan jasa yang diimpor dari negara lain.

PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat dari adanya aktivitas produksi. Nilai PDRB per kapita didapatkan dari hasil bagi antara total PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB per kapita sering digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah. Apabila data tersebut disajikan secara berkala akan menunjukkan adanya perubahan kemakmuran.

Menurut Jhingan (2010), kenaikan pendapatan per kapita dapat tidak menaikkan standar hidup riil masyarakat apabila pendapatan per kapita meningkat


(12)

akan tetapi konsumsi per kapita turun. Hal ini disebabkan kenaikan pendapatan tersebut hanya dinikmati oleh beberapa orang kaya dan tidak oleh banyak orang miskin. Di samping itu, rakyat mungkin meningkatkan tingkat tabungan mereka atau bahkan pemerintah sendiri menghabiskan pendapatan yang meningkat itu untuk keperluan militer atau keperluan lain.

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2007). Perkembangan tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan PDRB pada suatu tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa (Todaro dan Smith, 2006):

1). Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2). Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan

memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3). Kemajuan teknologi.

Pertumbuhan ekonomi belum tentu melahirkan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena bersamaan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berlaku pula pertambahan penduduk. Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi selalu rendah dan


(13)

13

tidak melebihi tingkat pertambahan penduduk, pendapatan rata-rata masyarakat (pendapatan per kapita) akan mengalami penurunan. Sedangkan apabila dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi sama dengan pertambahan penduduk, maka perekonomian negara tersebut tidak mengalami perkembangan (stagnan) dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mengalami kemajuan. Dengan demikian, salah satu syarat penting yang akan mewujudkan pembangunan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan ekonomi harus melebihi tingkat pertambahan penduduk (Sukirno, 2007).

2.1.3 Teori Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktural sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan kesenjangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006). Jadi, pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi adalah dua hal yang berbeda. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika di negara tersebut terdapat lebih banyak output dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya, sedangkan suatu negara dikatakan mengalami adanya pembangunan jika mengalami pertumbuhan sekaligus juga terdapat perubahan dalam kelembagaan, pengetahuan, dan pengurangan ketidakmerataan pendapatan. Jadi, pertumbuhan ekonomi adalah bagian dari pembangunan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi adalah salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan ekonomi.


(14)

2.1.4 Teori Kesenjangan

Kuncoro (2003) menyatakan bahwa kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Kesenjangan antardaerah disebabkan karena adanya perbedaan faktor anugerah awal. Perbedaan inilah yang menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan di berbagai wilayah berbeda-beda. Terjadinya kesenjangan antardaerah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antardaerah yang pada akhirnya menyebabkan kesenjangan pendapatan. Karena itu, aspek kesenjangan pembangunan antardaerah ini juga mempunyai implikasi terhadap formulasi kebijakan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Menurut Emilia dan Imelia (2006), faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan ekonomi antara lain:

a. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah: ekonomi dari daerah dengan konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan dengan daerah yang tingkat konsentrasi ekonomi rendah

b. Alokasi investasi: rendahnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada kegiatan kegiatan ekonomi yang produktif.

c. Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah: kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan kapital antar provinsi merupakan penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi regional.


(15)

15

d. Perbedaan sumber daya alam antarwilayah: pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumber daya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin sumber daya alam.

e. Perbedaan kondisi demografis antarwilayah: jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi, etos kerja tinggi merupakan aset penting bagi produksi.

f. Kurang lancarnya perdagangan antarwilayah: tidak lancarnya arus barang dan jasa antardaerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui sisi permintaan dan sisi penawaran.

Perbedaaan kemajuan antardaerah berarti tidak samanya kemampuan untuk tumbuh sehingga yang timbul adalah ketidakmerataan. Kuznets menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis dengan mengemukakan hipotesis “Kurva U Terbalik”. Hipotesis ini dihasilkan melalui kajian empiris terhadap pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi maka setelah mencapai tahap tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti dengan hubungan korelasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan.

Proses trade off ini terjadi di negara sedang berkembang, dimana pada saat proses pembangunan dilaksanakan, kesenjangan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai di negara sedang berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada pada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik, sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu


(16)

memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor sosial budaya sehingga akibatnya kesenjangan pembangunan antardaerah cenderung meningkat karena pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan (Sjafrizal, 2008).

2.1.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Bhinadi (2002) melakukan penelitian yang berjudul “Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa”. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi data panel. Dengan PDRB migas riil, didapatkan bahwa nilai efisiensi atau produktifitas faktor total Jawa lebih rendah daripada luar Jawa. Sedangkan dengan PDRB non migas riil, didapatkan bahwa nilai efisiensi atau produktifitas faktor total Jawa lebih tinggi daripada luar Jawa.

Sutarno dan Kuncoro (2003) melakukan penelitan dengan mengambil judul “Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Antarkecamatan: Kasus Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah”. Penelitian ini menggunakan Tipologi Daerah, indeks Williamson, indeks Entropy Theil, hipotesis Kuznets dan korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam periode pengamatan 1993-2000, terjadi kecenderungan peningkatan kesenjangan, baik di analisis dengan indeks Williamson maupun dengan indeks Entropy Theil. Berdasarkan tipologi daerah, daerah/kecamatan di Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan menjadi


(17)

17

empat kelompok daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, daerah maju tapi tertekan, daerah yang berkembang cepat, dan daerah yang relatif tertinggal. Dalam penelitian ini hipotesis kurva U-terbaliknya Kuznets berlaku di Kabupaten Banyumas. Sedangkan berdasarkan perhitungan analisis korelasi Pearson antara pertumbuhan PDRB dengan indeks Williamson dan indeks Entropy Theil, didapatkan bahwa ada korelasi yang kurang kuat.

Bhakti (2004) melakukan penelitian yang berjudul “Kesenjangan Antardaerah di Pulau Jawa Ditinjau dari Perspektif Sektoral dan Regional”. Alat analisis yang digunakan adalah indeks Williamson dan Theil. Hasil penelitian mengatakan bahwa tahun 1983-2001 masih terjadi kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa dan mengalami tren kesenjangan antardaerah yang relatif menaik. Kondisi ini dipicu pula oleh peningkatan besamya kontribusi sektor industri yang mampu mendorong terciptanya peran pada sektor jasa di Pulau Jawa (derived demand). Secara empiris terbukti, bahwa di Pulau Jawa telah terjadi transformasi stuktural. Kesenjangan antardaerah pasca pemekaran wilayah di Pulau Jawa cenderung naik.

Khusaini (2004) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Disparitas Antardaerah Kabupaten/Kota dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Provinsi Banten”. Dalam penelitiannya menggunakan Indeks Williamson untuk mengukur kesenjangan dan model regresi persamaan tunggal untuk mengetahui dampak kesenjangan dan variabel lain terhadap pertumbuhan regional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan indeks Williamson kesenjangan tertinggi di Kota Cilegon pada tahun 2003, dan yang terendah di


(18)

Kota Tangerang pada tahun 2002. Sedangkan hasil estimasi menunjukkan variabel aglomerasi dan kapital berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi regional. Sedangkan variabel tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Caska dan Riadi (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Pertumbuhan dan Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antardaerah di Provinsi Riau”. Analisis data yang digunakan antara lain analisis tipologi Klassen, indeks Williamson, indeks Entropi Theil, dan kurva U terbalik. Selama periode pengamatan 2003-2005, terjadi kesenjangan pembangunan yang tidak cukup signifikan berdasarkan Indeks Williamson. Sedangkan menurut indeks Entropi Theil, kesenjangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadinya pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan. Sebagai akibatnya hipotesis Kuznets tentang kurva U terbalik tidak terbukti di Provinsi Riau.

Wijayanto (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Daerah di Kabupaten Semarang (Tahun 1999-2003)”, menggunakan teknik perhitungan LQ, Shift Share dan indeks Williamson. Hasil penelitian mengatakan bahwa sektor unggulan di Semarang yaitu sektor industri, sektor listrik, gas, dan air, sektor lembaga keuangan dan persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Dengan perhitungan indeks Williamson dengan dan tanpa mengikutkan sektor industri dapat diketahui bahwa sektor industri merupakan faktor penyebab terjadinya kesenjangan.


(19)

19

Chrisyanto (2006) juga melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Perekonomian Antardaerah di Indonesia”. Untuk menganalisis kesenjangan digunakan indeks Williamson dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan digunakan analisis regresi linier berganda. Dari hasil analisis ditemukan bahwa terjadinya kesenjangan ekonomi antardaerah disebabkan oleh tingginya pendapatan per kapita DKI Jakarta yang menyebabkan kesenjangan di Pulau Jawa dan tingginya pendapatan per kapita di Kalimantan Timur yang menyebabkan kesenjangan di luar Jawa.

Saskara (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antardaerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali’, menggunakan koefisien disparitas yang sudah dimodifikasi oleh Setyarini (1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karangasem merupakan kabupaten yang memiliki kesenjangan yang paling lebar. Sedangkan kabupaten Badung dan Kota Denpasar memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi dan berada di atas pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali.

Hartono (2008) dengan penelitiannya yang berjudul “Analisis Kesenjangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah”, menggunakan alat analisis indeks Williamson dan analisis regresi linier sederhana. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kesenjangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah yang diukur dengan indeks Williamson dalam kurun waktu 1981 sampai dengan 2005 cenderung relatif meningkat. Berdasarkan analisis regresi linier, diketahui bahwa variabel investasi swasta per kapita dan rasio


(20)

angkatan kerja berpengaruh negatif terhadap kesenjangan. Sedangkan alokasi dana pembangunan per kapita berpengaruh positif terhadap kesenjangan.

Prasetyo (2008) melakukan penelitian dengan judul “Kesenjangan dan Dampak Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Kawasan Barat Indonesia”. Beberapa alat analisis yang digunakan antara lain indeks Williamson, tipologi Klassen, analisis Location Quotient, dan analisis regresi data panel. Kesenjangan ekonomi di wilayah KBI dari tahun 1995-2007 cukup besar. Kesenjangan tertinggi terjadi pada tahun 2000 tepat pada saat awal-awal mulai diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kesiapan masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Dengan model fixed effect ditemukan bahwa infrastruktur panjang jalan, listrik, dan air bersih mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga pendapatan per kapita.

Priyanto (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kesenjangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten”, menggunakan alat analisis berupa indeks Williamson, tipologi Klassen, analisis regresi data panel. Berdasarkan indeks Williamson diketahui bahwa pada tahun 2001-2008 di Provinsi Banten terjadi kesenjangan antarkabupaten/kota yang meningkat, sedangkan menurut tipologi Klassen hanya Kota Tangerang dan Kota Cilegon yang termasuk daerah maju dan cepat tumbuh. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa belanja modal, angkatan kerja berpengaruh nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun angka melek huruf tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten.


(21)

21

Bhakti (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesenjangan Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Selama Desentralisasi” menggunakan tipologi Klassen, indeks Williamson, dan indeks Theil dalam analisisnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesenjangan selama desentralisasi relatif meningkat. Hal ini diduga lebih terkait dengan adanya pemekaran wilayah, karena pada analisis yang tergabung dengan kabupaten induknya, kesenjangannya tidak meningkat.

Masli (2009) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Regional antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat” menggunakan indeks Williamson, indeks Entropi Theil, dan tipologi Klassen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami fluktuasi dan menunjukkan arah negatif jika dibandingkan pada awal penelitian. Menurut tipologi Klassen, pada umumnya kabupaten/kota di Jawa Barat termasuk klasifikasi daerah relatif tertinggal. Sedangkan menurut indeks Williamson dan indeks Entropi Theil kesenjangan antarkabupaten/kota meningkat.

Rani (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kesenjangan Antardaerah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2003-2009” menggunakan indeks Williamson, indeks Theil, indeks Atkinson dan tipologi Klassen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan tipologi Klassen pada tahun 2009 hanya Kota Dumai yang diklasifikasikan sebagai daerah relatif tertinggal karena laju pertumbuhan dan PDRB per kapita dengan sektor migas berada di bawah laju pertumbuhan dan PDRB per kapita dengan sektor migas Provinsi


(22)

Riau. Jika tanpa sektor migas, tidak ada kabupaten/kota yang diklasifikasikan sebagai daerah relatif tertinggal selama tahun 2009.

Kesenjangan di Provinsi Riau berdasarkan perhitungan indeks Williamson dengan migas sangat tinggi dan jika tanpa migas kesenjangan rendah. Jika menggunakan indeks Theil, Provinsi Riau berada pada tingkat kesenjangan rendah dengan migas ataupun tanpa migas. Kesenjangan tanpa migas jauh lebih rendah daripada kesenjangan dengan migas. Tren kesenjangan dengan migas dan tanpa migas menunjukkan bahwa tiap tahunnya terjadi penurunan kontribusi kesenjangan antarkelompok sehingga di tahun 2009 sudah mulai seimbang antara kontribusi kesenjangan antar kelompok dan inter kelompok.

Indeks Atkinson menunjukkan social welfare loss dengan migas menunjukkan pergerakan yang makin menurun terkecuali pada tahun 2007 ketika terjadi krisis global. Sedangkan bila tanpa migas justru meningkatnya social welfare loss dimulai pada tahun 2005 hingga tahun 2009. Bagi Provinsi Riau, sektor migas memang sangat mempengaruhi perekonomian tetapi sektor migas justru menimbulkan kesenjangan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa sektor migas. Selain kesenjangan yang lebih tinggi, sektor migas juga menyebabkan social welfare loss yang lebih besar bagi masyarakat. Tren kesenjangan tanpa sektor migas terus meningkat tetapi peningkatan tersebut tidak siginifikan dan tidak menyebabkan social welfare loss yang besar.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini bermaksud menganalisis kesenjangan antarwilayah di Provinsi NTT selama kurun waktu 2007-2010. Dalam analisis ini dilakukan penghitungan sampai dengan level


(23)

23

kabupaten/kota. Untuk mengukur kesenjangan antarwilayah digunakan alat analisis indeks Williamson, indeks Theil dan indeks Atkinson. Adapun tipologi Klassen digunakan untuk mengklasifikasikan daerah berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita.

2.2 Kerangka Pemikiran

Salah satu penyebab kesenjangan antardaerah adalah adanya perbedaan potensi dan sumber daya dari masing-masing daerah. Beberapa studi mengatakan bahwa terpusatnya pembangunan nasional di Jawa, khususnya di DKI Jakarta sebagai ibukota negara, turut menjadi penyebab terjadinya kesenjangan di luar Jawa. Adanya kepercayaan penuh terhadap mekanisme trickle down effect dimana diharapkan pertumbuhan ekonomi menetes dengan sendiri ternyata berjalan lambat. Akibatnya pembangunan ekonomi hanya terpusat di suatu daerah yang kuat potensinya. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menganalisis seberapa besar kesenjangan pembangunan antardaerah di luar Jawa khususnya pada wilayah Provinsi NTT.

Penelitian ini menggunakan indeks Williamson, indeks Theil dan indeks Atkinson untuk mengukur kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT. Selanjutnya, dari hasil perhitungan kesenjangan, akan dianalisis tren kesenjangan yang terjadi di Provinsi NTT. Tipologi Klassen digunakan untuk memberikan gambaran klasifikasi daerah di Provinsi NTT berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan bisa


(24)

memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan (growth with equity).

Untuk memudahkan dalam mencermati alur pemikiran mengenai penelitian ini, maka alur kerangka pemikiran penelitian dijelaskan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota − Perbedaan potensi daerah di Provinsi NTT − Provinsi NTT menduduki peringkat kelima

provinsi termiskin di Indonesia

− Menganalisis kesenjangan antarkabupaten/kota − Menganalisis social welfare loss

− Mengetahui klasifikasi wilayah kabupaten/kota

Rekomendasi kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi disertai pemerataan (growth with equity) Indeks

Williamson

Indeks Theil

Tipologi Klassen Indeks


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000, data jumlah penduduk provinsi dan kabupaten/kota, serta data-data pendukung lainnya. Data yang digunakan ini berupa data deret waktu (series) dari tahun 2007-2010. Penjelasan lebih lengkap mengenai data yang digunakan dalam penelitian ini ada dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Daftar Data yang Digunakan dalam Penelitian

No Data Satuan Sumber

1 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Rupiah BPS 2 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Rupiah BPS

3 Jumlah Penduduk Jiwa BPS

4 PDRB per Kapita Rupiah BPS

5 Laju Pertumbuhan Ekonomi Persen BPS

3.2 Metode Analisis 3.2.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Oleh karena itu, analisis


(26)

deskriptif menyangkut berbagai macam aktivitas dan proses. Salah satu bentuk analisisnya adalah kegiatan menyimpulkan data mentah dalam jumlah yang besar sehingga hasilnya dapat ditafsirkan. Pengelompokkan atau pemisahan komponen atau bagian yang relevan dari keseluruhan data, juga merupakan salah satu bentuk analisis untuk menjadikan data mudah dikelola.

Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk memberikan suatu gambaran secara umum mengenai kondisi dari Provinsi NTT dilihat dari kondisi geografis, penduduk, ekonomi, maupun sosial. Variabel-variabel pembangunan ekonomi yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah mengenai tingkat pertumbuhan ekonomi.

Laju pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat diukur dengan menggunakan laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Berikut ini adalah rumus untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 2007):

G=PDRB1-PDRB0 PDRB0

× 100% (3.1)

dimana:

G = Laju pertumbuhan ekonomi PDRB1 = PDRB ADHK pada suatu tahun PDRB0 = PDRB ADHK pada tahun sebelumnya

PDRB juga dapat digunakan dalam melihat struktur ekonomi dari suatu wilayah. Struktur ekonomi digunakan untuk menunjukkan peran sektor-sektor ekonomi dalam suatu perekonomian. Sektor yang dominan mempunyai kedudukan paling atas dalam struktur tersebut dan akan menjadi ciri khas dari


(27)

27

suatu perekonomian. Struktur ekonomi merupakan rasio antara PDRB suatu sektor ekonomi pada suatu tahun dengan total PDRB tahun yang sama. Struktur ekonomi dinyatakan dalam persentase. Penghitungan struktur ekonomi adalah sebagai berikut:

Struktur Ekonomi =PDRB sektor it

Total PDRBt × 100% (3.2)

dimana:

PDRB sektor it = nilai PDRB sektor i pada tahun t Total PDRBt = nilai total PDRB pada tahun t

3.2.2 Analisis Kesenjangan

Sebagian masyarakat berpendapat bahwa suatu daerah memiliki kesenjangan yang tinggi jika terdapat banyak orang miskin. Akan tetapi, ada juga masyarakat yang berpendapat bahwa suatu daerah mengalami kesenjangan yang tinggi jika ada sekelompok orang kaya di tengah-tengah masyarakat yang umumnya masih miskin. Pendapat masyarakat tersebut lebih cenderung mengarah ke distribusi pendapatan yang melihat kesenjangan antarkelompok masyarakat, sedangkan untuk kesenjangan pembangunan antardaerah lebih melihat ke perbedaan antardaerah. Berikut ini adalah beberapa ukuran kesenjangan yang digunakan dalam penelitian ini:

1) Indeks Williamson

Indeks Williamson merupakan koefisien variasi tertimbang yang dibuat oleh Williamson pada tahun 1965. Indeks Williamson sangat sensitif untuk mengukur perbedaan daerah dan mencermati tren kesenjangan yang terjadi.


(28)

Formula indeks Williamson dapat ditulis sebagai berikut (Williamson dalam Akita and Kataoka, 2003):

��

=

1

� ��

(

� �=1

−�

�)2

(3.3)

dimana:

IW = Indeks Williamson

� = PDRB per kapita kabupaten/kota i �� = Rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT Pi = Jumlah penduduk kabupaten/kota i P = Jumlah penduduk Provinsi NTT

Apabila angka indeks kesenjangan Williamson semakin mendekati nol, maka menunjukkan kesenjangan yang semakin kecil dan bila angka indeks menunjukkan semakin mendekati satu maka menunjukkan kesenjangan yang makin melebar. Matolla dalam Puspandika (2007) menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah kesenjangan ada pada kesenjangan level rendah, sedang, atau tinggi. Berikut ini adalah kriterianya:

a. Kesenjangan level rendah, jika IW < 0,35 b. Kesenjangan level sedang, jika 0,35 ≤ IW ≤ 0,5 c. Kesenjangan level tinggi, jika IW > 0,5


(29)

29

2) Indeks Theil

Indeks Theil merupakan indeks yang banyak digunakan dalam menghitung dan menganalisis distribusi pendapatan regional. Karakter utama indeks ini adalah kemampuannya untuk melihat terjadinya kesenjangan antarkelompok wilayah (between inequality) dan kesenjangan dalam suatu kelompok wilayah (within inequality) itu sendiri. Nilainya berkisar antara nol sampai dengan satu, dimana nol menyatakan bahwa distribusi PDRB ADHK merata sempurna antarkelompok wilayah, sedangkan apabila mendekati satu artinya distribusi PDRB ADHK tidak merata antarkelompok wilayah.

Indeks ini mempunyai beberapa kelebihan, yaitu:

a. Sifatnya tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilai-nilai ekstrim.

b. Independen terhadap jumlah daerah sehingga dapat digunakan sebagai pembanding dari sistem regional yang berbeda-beda.

c. Dapat didekomposisikan ke dalam indeks ketidakmerataan antar kelompok dan intra kelompok daerah secara simultan.

Adapun kelompok kabupaten/kota yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) pulau besar terbagi atas Pulau Timor (Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Rote Ndao, Sabu Raijua dan Kota Kupang), Pulau Sumba (Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah) dan Pulau Flores (Kabupaten Lembata, Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, Nagekeo dan Manggarai Timur).


(30)

Formula indeks Theil dituliskan sebagai berikut (Tadjoeddin, 2003): �= � � ��

� �ln� ��

���= �� +�� (3.4)

�� =� ���� � (3.5)

� =� ��

� � ��� ��

�� � (3.6)

�� =� ���� �������� (3.7)

dimana:

T = Indeks Theil

Tw = Kesenjangan dalam pulau TB = Kesenjangan antarpulau Yij = PDRB kabupaten j, pulau i

Y = Total PDRB Provinsi NTT ( ∑ ∑ � ) �� = PDRB per kapita kabupaten j, pulau i �� = PDRB per kapita Provinsi NTT Yi = PDRB pulau i


(31)

31

3) Indeks Atkinson

Indeks Atkinson adalah ukuran kesenjangan pendapatan yang dikembangkan oleh ekonom Inggris, Anthony Barnes Atkinson. Ukuran ini mampu menangkap perubahan atau pergerakan pada segmen-segmen yang berbeda dari distribusi pendapatan. Indeks ini bisa diubah menjadi pengukuran normatif dengan mengesankan koefisien ε sebagai penimbang pendapatan. Indeks Atkinson menjadi lebih sensitif untuk berubah ketika mencapai nilai mendekati satu. Sebaliknya, ketika mendekati nol indeks Atkinson menunjukkan bahwa lebih sensitif ke perubahan batas atas distribusi pendapatan. Penghitungan indeks Atkinson dimulai dengan konsep EDE (Equally Distributed Equivalent). EDE adalah level pendapatan dimana jika pendapatan tersebut dihasilkan oleh setiap individu dalam distribusi pendapatan, maka semua individu tersebut dimungkinkan untuk mencapai level kesejahteraan yang sama.

Indeks Atkinson menggunakan parameter kesenjangan yang dilambangkan dengan ε. Jika pendapatan masyarakat dianalogikan dengan PDRB per kapita kabupaten/kota, berarti penggunaan ε=0 memiliki arti meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terkecil memiliki dampak kesejahteraan sosial yang sama sebagaimana meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terbesar. Untuk ε>0 berarti meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terkecil secara sosial lebih baik dipilih daripada meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terbesar. Parameter kesenjangan ε yang lebih besar menyebabkan peningkatan proporsi yang lebih besar bagi peningkatan PDRB per kapita dari rata-rata PDRB per kapita seluruh kabupaten/kota.Indeks


(32)

Atkinson dihitung dengan menggunakan parameter kesenjangan ε yang bervariasi dari ε=0,5 , ε=1, ε=2, dan ε=3 dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran kebijakan mana yang paling tepat untuk meminimalisir dampak kesenjangan regional terhadap kesejahteraan masyarakat. Pengukuran Indeks Atkinson sensitif terhadap perubahan ε sehingga menghasilkan indeks yang bervariasi untuk setiap ε yang berbeda.

Kebijakan yang dapat dilakukan secara implisit ditunjukkan dengan ε, adalah peningkatan pendapatan masyarakat atau PDRB per kapita bagi kabupaten yang berada di urutan terbawah dari distribusi dengan mekanisme transfer pendapatan. Transfer pendapatan adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang bisa berupa penyaluran kredit kepada masyarakat, peningkatan anggaran untuk membangun infrastruktur, pemberian dana tambahan untuk perbaikan kesehatan dan pendidikan, dan pemberian subsidi bagi masyarakat miskin. Nilai indeks Atkinson berkisar antara nol sampai dengan satu, dimanasatu mengindikasikan kesenjangan yang sangat tinggi dan social welfare loss sebesar 100 persen.


(33)

33

Penghitungan Indeks Atkinson adalah sebagai berikut:

(

) = 1

(3.8)

=

1

∑ �

1−�

1

1−�

, 0 <

< 1

> 1

(3.9)

=

(

)

�1

,

= 1

(3.10) dimana:

(

)

= Indeks Atkinson

= PDRB per kapita kabupaten/kota

= Level pendapatan EDE

= Parameter kesenjangan � = Jumlah kabupaten/kota

= Rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT 3.2.3 Tipologi Klassen

Alat analisis tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan klasifikasi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB per kapita sebagai sumbu horisontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu:

1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi NTT.


(34)

2. Daerah maju tetapi tertekan (high income but low growth), daerah yang memiliki PDRB per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi NTT. 3. Daerah berkembang cepat (high growth but low income), adalah daerah

yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi tingkat PDRB per kapita lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi NTT.

4. Daerah relatif tertinggal (low growth dan low income), adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi NTT.

Tabel 3.2 Klasifikasi menurut Tipologi Klassen ��

��

� < �� � >��

� > �� Kuadran III

Daerah berkembang cepat

Kuadran I

Daerah cepat maju dan cepat tumbuh � < �� Kuadran IV

Daerah relatif tertinggal

Kuadran II

Daerah maju tetapi tertekan Sumber: Prasetyo, 2008

Keterangan:

Rij adalah laju pertumbuhan ekonomi tiap kabupaten/kota di Provinsi NTT �� adalah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT

Yij adalah PDRB per kapita tiap kabupaten/kota di Provinsi NTT �� adalah rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT


(35)

BAB IV

GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT

4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar belakang yang berbeda-beda. Provinsi NTT sebelumnya lazim disebut dengan “Flobamora” (Flores, Sumba, Timor dan Alor). Sebelum kemerdekaan RI, Flobamora bersama Kepulauan Bali, Lombok dan Sumbawa disebut Kepulauan Sunda Kecil. Namun setelah proklamasi kemerdekaan beralih nama menjadi “Kepulauan Nusa Tenggara”, sampai dengan tahun 1957 Kepulauan Nusa Tenggara merupakan daerah Swatantra Tingkat I (statusnya sama dengan Provinsi sekarang ini). Selanjutnya tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 tahun 1958 Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara dikembangkan menjadi 3 Provinsi yaitu Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian Provinsi Nusa Tenggara Timur keberadaannya adalah sejak tahun 1958 sampai sekarang.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008 tanggal 31 Januari 2008, luas daerah Provinsi NTT adalah 48.718,10 kilometer persegi atau sebesar 2,55 persen dari total luas daerah wilayah Indonesia (BPS, 2009). Provinsi NTT terletak antara 80-1200 Lintang Selatan dan 1180-1250 Bujur Timur dan memiliki 1.192 pulau (42 pulau dihuni dan 1.150 pulau tidak dihuni). Sebagian besar wilayahnya bergunung dan berbukit, hanya sedikit dataran rendah.


(36)

Memiliki sebanyak 40 sungai dengan panjang antara 25-118 kilometer (BPS, 2010). Sebagai bagian dari negara maritim, Provinsi NTT dikelilingi oleh perairan maupun daratan. Provinsi NTT di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat berbatasan dengan pulau Sumbawa dan Provinsi NTB, dan di sebelah timur berbatasan dengan negara Timor Leste.

Secara administratif, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008, Provinsi NTT terdiri dari 20 kabupaten, 1 kota, 254 kecamatan, 297 kelurahan dan 2.387 desa.

4.2 Keadaan Ekonomi dan Sosial Provinsi NTT 4.2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam melihat kondisi perekonomian suatu daerah di Provinsi NTT. PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000 menggambarkan pertumbuhan nilai produksi wilayah kabupaten/kota secara riil yakni tanpa dipengaruhi komponen harga atau tanpa dipengaruhi nilai inflasi yang dihitung berdasarkan harga tahun dasar yaitu tahun 2000.

Total PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi NTT menunjukkan peningkatan dari tahun 2007 sampai 2010 (Tabel 4.1).


(37)

37

Tabel 4.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Miliar Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

1. Sumba Barat 258,72 270,85 284,83 300,69 2. Sumba Timur 613,75 655,13 682,57 715,50 3. Kupang 893,99 931,23 969,88 1.009,56 4. Timor Tengah Selatan 843,14 879,82 915,56 954,25 5. Timor Tengah Utara 416,49 446,62 471,67 498,97

6. Belu 813,19 930,31 974,40 1.022,05

7. Alor 375,48 393,00 409,23 429,13

8. Lembata 134,53 139,37 145,60 152,44 9. Flores Timur 545,45 571,07 590,41 624,82

10. Sikka 742,62 789,83 821,37 858,01

11. Ende 687,85 721,01 757,64 797,81

12. Ngada 344,02 364,56 382,95 403,88

13. Manggarai 512,29 534,94 562,82 595,47 14. Rote Ndao 289,59 315,77 330,54 347,51 15. Manggarai Barat 359,29 381,36 394,79 408,24 16. Sumba Barat Daya 336,00 351,76 369,06 385,17 17. Sumba Tengah 91,97 94,60 97,56 101,20

18. Nagekeo 266,47 280,66 293,95 307,23

19. Manggarai Timur 338,83 350,93 369,28 385,78 20. Sabu Raijua 126,17 128,89 136,32 146,97 21. Kota Kupang 1.860,99 2.000,22 2.122,33 2.296,92 NTT 10.850,85 11.531,95 12.082,77 12.741,62 Sumber: BPS, 2011

Kota Kupang merupakan pusat pemerintahan, bisnis, dan keuangan memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT yaitu dengan PDRB sebesar 2.296,92 miliar rupiah atau dengan kontribusi sebesar 18,03 persen. Sedangkan penyumbang terkecil bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah kabupaten Sumba Tengah dengan PDRB sebesar 101,20 miliar rupiah atau dengan kontribusi sebesar 0,79 persen. Kondisi ini disebabkan kabupaten


(38)

Sumba Tengah merupakan kabupaten baru yang berasal dari pemekaran kabupaten Sumba Barat. Adapun yang memiliki kontribusi terbesar kedua adalah kabupaten Belu (1.022,05 miliar rupiah atau 8,02 persen dari PDRB NTT) dan terbesar ketiga adalah kabupaten Kupang (1.009,56 miliar rupiah atau 7,92 persen dari PDRB NTT) pada tahun 2010.

Jika dilihat dari nilai PDRB kabupaten/kota di Provinsi NTT pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2007 sampai 2009 masih menunjukkan gambaran yang hampir sama dengan tahun 2010.

4.2.2 PDRB per Kapita

PDRB per kapita menunjukkan kemampuan nyata dari suatu wilayah dalam menghasilkan barang/jasa dan kemakmuran yang diperoleh setiap penduduk (per kapita). Meskipun PDRB per kapita tidak mampu mencerminkan tingkat pemerataan pendapatan yang diterima oleh masyarakat di suatu wilayah, namun PDRB per kapita tetap merupakan indikator yang cukup penting yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan di wilayah tersebut.

PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi NTT mencerminkan nilai PDRB ADHK masing-masing kabupaten/kota dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi NTT.


(39)

39

Tabel 4.2 PDRB per Kapita menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Juta Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

1. Sumba Barat 2,35 2,40 2,47 2,55

2. Sumba Timur 2,62 2,74 2,84 2,96

3. Kupang 2,58 2,92 3,03 3,16

4. Timor Tengah Selatan 1,93 1,98 1,96 2,02 5. Timor Tengah Utara 1,92 1,91 1,98 2,06

6. Belu 1,82 2,76 2,82 2,90

7. Alor 2,00 2,03 2,10 2,11

8. Lembata 1,22 1,19 1,21 1,24

9. Flores Timur 2,23 2,41 2,46 2,57

10. Sikka 2,59 2,55 2,62 2,70

11. Ende 2,82 2,67 2,78 2,89

12. Ngada 2,50 2,52 2,59 2,69

13. Manggarai 1,98 1,81 1,86 1,93

14. Rote Ndao 2,53 2,73 2,73 2,75

15. Manggarai Barat 1,72 1,72 1,73 1,75 16. Sumba Barat Daya 1,24 1,22 1,25 1,27

17. Sumba Tengah 1,45 1,49 1,50 1,53

18. Nagekeo 2,06 2,11 2,17 2,22

19. Manggarai Timur 1,23 1,35 1,39 1,42

20. Sabu Raijua 2,32 2,09 1,97 1,92

21. Kota Kupang 5,51 5,46 5,61 5,91

NTT 2,30 2,42 2,48 2,56

Sumber: BPS (diolah), 2011

Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa selama periode pengamatan Kota Kupang mempunyai PDRB per kapita tertinggi yakni sebesar 5,91 juta rupiah sekaligus di atas PDRB per kapita Provinsi NTT sebesar 2,56 juta rupiah, bahkan jauh melampaui PDRB per kapita kabupaten/kota lain di Provinsi NTT. Gambaran ini menunjukkan bahwa Kota Kupang menempati peringkat konsentrasi perekonomian yang paling tinggi di antara kabupaten/kota lain di Provinsi NTT.


(40)

Kondisi ini disebabkan karena kontribusi PDRB di sektor jasa yang cukup signifikan. Sedangkan PDRB per kapita terendah ditunjukkan oleh Kabupaten Lembata (1,24 juta rupiah) dibandingkan dengan PDRB per kapita Provinsi NTT maupun dengan PDRB per kapita kabupaten/kota lain di Provinsi NTT pada tahun 2010.

4.2.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan yang dihitung berdasarkan persamaan 3.1 mengalami fluktuasi (Tabel 4.3). Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTT relatif meningkat dari tahun 2007-2010. Hanya saja pada tahun 2009, rata-rata laju pertumbuhan melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Lambatnya laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dipengaruhi adanya krisis moneter (keuangan) global pada tahun 2008.

Selama periode 2007-2010 rata-rata laju pertumbuhan ekonomi tertinggi didominasi oleh kota Kupang sebesar 8,19 persen. Sedangkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi terendah ditempati oleh Kabupaten Kupang sebesar 0,71 persen. Hal ini mengindikasikan adanya kontribusi sektor jasa-jasa di Kota Kupang sangat mendominasi, sedangkan pada Kabupaten Kupang pernah mengalami pertumbuhan ekonomi minus 9,56 persen pada tahun 2007.


(41)

41

Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 Rataan 1. Sumba Barat 7,87 4,69 5,16 5,57 5,82 2. Sumba Timur 4,74 6,74 4,19 4,83 5,12

3. Kupang -9,56 4,16 4,15 4,09 0,71

4. Timor Tengah Selatan 3,86 4,35 4,06 4,23 4,13 5. Timor Tengah Utara 3,02 7,23 5,61 5,79 5,41

6. Belu 5,77 14,40 4,74 4,89 7,45

7. Alor 4,93 4,67 4,13 4,86 4,65

8. Lembata 5,76 3,60 4,47 4,70 4,63

9. Flores Timur 3,49 4,70 3,39 5,83 4,35

10. Sikka 1,91 6,36 3,99 4,46 4,18

11. Ende 2,93 4,82 5,08 5,30 4,53

12. Ngada 5,19 5,97 5,05 5,46 5,42

13. Manggarai 6,91 4,42 5,21 5,80 5,59

14. Rote Ndao 2,00 9,04 4,68 5,14 5,21

15. Manggarai Barat 4,29 6,14 3,52 3,41 4,34 16. Sumba Barat Daya 6,00 4,69 4,92 4,37 4,99 17. Sumba Tengah 6,00 2,86 3,13 3,73 3,93

18. Nagekeo 4,59 5,32 4,74 4,52 4,79

19. Manggarai Timur 1,43 3,57 5,23 4,47 3,67 20. Sabu Raijua 0,01 2,16 5,76 7,82 3,93 21. Kota Kupang 10,96 7,48 6,10 8,23 8,19

Rataan 3,91 5,59 4,63 5,12 4,81

Sumber: BPS (diolah), 2011

Tabel 4.3 juga menunjukkan secara umum bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi NTT cenderung stabil mendekati rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT bahkan ada beberapa kabupaten/kota di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT.


(42)

4.2.4 Struktur Ekonomi

Struktur ekonomi dapat dilihat dari peran atau kontribusi dari masing-masing sektor ekonomi. Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor menunjukkan struktur perekonomian atau peranan setiap sektor ekonomi dalam suatu wilayah domestik. Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peran besar menunjukkan basis perekonomian sehingga sangat berpengaruh terhadap perekonomian suatu daerah. Namun, sektor yang mempunyai kontribusi kecil tidak bisa diabaikan, sebab bisa jadi di masa mendatang sektor tersebut berkembang dan menjadi sektor unggulan di daerah tersebut, seperti yang disajikan pada persamaan 3.2. Adapun Tabel 4.4 di bawah ini menunjukkan struktur ekonomi yang terdiri dari sembilan sektor, dan untuk penyederhanaan sembilan sektor tersebut dikelompokkan menjadi sektor primer (sektor 1 dan 2), sekunder (sektor 3, 4 dan 5) serta sektor tersier (sektor 6, 7, 8 dan 9) pada periode penelitian tahun 2007 sampai 2010 di Provinsi NTT.


(43)

43

Tabel 4.4 Struktur Ekonomi Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (persen)

LAPANGAN USAHA 2007 2008 2009 2010

Sektor Primer 41,64 41,73 40,82 39,77

1. Pertanian 40,27 40,39 39,51 38,45

2. Pertambangan dan Penggalian

1,37 1,34 1,31 1,32

Sektor Sekunder 9,20 8,88 8,90 8,93

3. Industri Pengolahan 1,70 1,59 1,55 1,54 4. Listrik, Gas dan Air

Bersih

0,44 0,41 0,42 0,42

5. Konstruksi 7,06 6,88 6,93 6,97

Sektor Tersier 49,16 49,39 50,28 51,30

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran

15,99 15,70 16,09 16,76 7. Pengangkutan dan

Komunikasi

6,22 6,17 6,08 5,78 8. Keuangan, Persewaan dan

Jasa Perusahaan

3,90 3,91 3,99 4,07

9. Jasa-Jasa 23,05 23,61 24,12 24,69

TOTAL 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS (diolah), 2011

Pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa selama periode penelitian peranan sektor primer dan sekunder terhadap PDRB Provinsi NTT cenderung menurun dan peran ini berpindah ke sektor tersier. Tingginya peranan sektor primer khususnya pertanian pada tahap-tahap awal pembangunan, disebabkan karena usaha-usaha di sektor primer sebagian besar dikerjakan dengan skala-skala kecil atau usaha rakyat dan teknologinya belum berkembang seperti sekarang. Pada saat teknologi masih terbatas, pilihan usaha di sektor pertanian merupakan pilihan


(44)

yang tepat karena umumnya sektor pertanian dalam pengelolaannya dapat dengan teknologi yang sederhana dan modal yang relatif kecil.

Berdasarkan komposisi nilai PDRB, dapat diketahui bahwa sektor yang memberikan kontribusi tertinggi dalam pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor pertanian (38,45 persen). Kontribusi sektor pertanian mengalami fluktuatif dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, begitu pula secara absolut PDRB sektor pertanian terus mengalami fluktuatif. Tingginya peran sektor pertanian ini, didukung oleh beberapa subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan dari masing-masing daerah dalam meningkatkan nilai tambah.

Sektor kedua yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor jasa-jasa (24,69 persen). Sektor ini cenderung meningkat selama kurun waktu 2007-2010. Semakin meningkatnya kontribusi di sektor ini sebagai akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian di subsektor pemerintahan umum.

Adapun sektor ketiga yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran (16,76 persen). Sektor ini cenderung meningkat selama kurun waktu 2008-2010. Semakin meningkatnya kontribusi di sektor ini sebagai akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian di subsektor perdagangan besar dan eceran.

4.2.5 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Provinsi NTT dari tahun 2007 sampai dengan 2010 mengalami peningkatan. Berdasarkan data sensus penduduk BPS, jumlah


(45)

45

penduduk Provinsi NTT tahun 2010 sebanyak 4.683.827 jiwa (2,01 persen dari total penduduk Indonesia) dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki jumlah penduduk terbanyak (9,42 persen dari total penduduk Provinsi NTT) sedangkan Kabupaten Sumba Tengah adalah kabupaten yang paling sedikit jumlah penduduknya (1,33 persen dari total penduduk Provinsi NTT).

Menurut tingkat kepadatan penduduknya, Kota Kupang tetap menjadi kota terpadat (12.843 jiwa per kilometer persegi) dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi NTT. Sebaliknya, Kabupaten Sumba Timur merupakan kabupaten dengan kepadatan penduduk paling rendah yaitu sebesar 33 jiwa per kilometer persegi pada tahun 2010.

4.2.6 Keadaan Sosial

Kemiskinan dan kesenjangan merupakan dua masalah dalam konteks pembangunan setiap bangsa. Pengentasan kemiskinan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan tidak dengan sendirinya mengatasi kesenjangan. Begitu pula sebaliknya, kemerataan kesejahteraan tidak senantiasa serta merta mengentaskan semua orang dari kemiskinan. Masalah kemiskinan muncul karena ada sekelompok anggota masyarakat yang secara struktural tidak mempunyai peluang dan kemampuan yang memadai untuk mencapai kehidupan yang layak (Prayitno, 1996).


(46)

Tabel 4.5 Persentase Penduduk Miskin di Provinsi NTT Tahun 2010

Kabupaten/Kota Persentase Penduduk Miskin Peringkat

1. Sabu Raijua 41,16 1

2. Sumba Tengah 34,05 2

3. Rote Ndao 32,81 3

4. Sumba Timur 32,42 4

5. Sumba Barat 31,73 5

6. Sumba Barat Daya 29,88 6

7. Timor Tengah Selatan 28,71 7

8. Lembata 26,76 8

9. Manggarai Timur 25,94 9

10. Manggarai 22,91 10

11. Timor Tengah Utara 22,73 11

12. Ende 21,65 12

13. Alor 21,17 13

14. Kupang 20,79 14

15. Manggarai Barat 20,40 15

16. Belu 15,48 16

17. Sikka 13,38 17

18. Nagekeo 12,70 18

19. Ngada 12,05 19

20. Kota Kupang 10,57 20

21. Flores Timur 9,61 21

Sumber: BPS (diolah), 2011

Kabupaten Sabu Raijua merupakan kabupaten penyumbang terbesar penduduk miskin di Provinsi NTT yang menduduki peringkat pertama dibandingkan kabupaten/kota lain di Provinsi NTT, yakni sebesar 41,16 persen penduduknya dikategorikan penduduk miskin. Kondisi ini dimungkinkan karena kabupaten Sabu Raijua adalah kabupaten termuda yang merupakan pemekaran dari kota Kupang.


(47)

47

Adapun yang menduduki peringkat terakhir adalah Kabupaten Flores Timur, yakni sebesar 9,61 persen penduduknya dikategorikan penduduk miskin. Hal ini mengindikasikan adanya pemerataan pembangunan yang dapat dinikmati segenap lapisan masyarakat Kabupaten Flores Timur.

Tabel 4.5 juga menyajikan adanya tingkat kemiskinan yang cukup signifikan di antara kabupaten/kota di Provinsi NTT dengan rata-rata persentase penduduk miskin sekitar 23 persen. Hal ini mengindikasikan adanya trickle down effect berjalan lambat atau tingkat pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat lapisan bawah. Oleh karena itu program pengentasan kemiskinan sangat penting, di samping program pemerintah lainnya guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibarengi pemerataan pembangunan yang senantiasa dinikmati berbagai lapisan masyarakat (growth with equity).


(48)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Kesenjangan

Berdasarkan data PDRB per kapita, diketahui bahwa nilai PDRB per kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi NTT. Hal tersebut mengindikasikan adanya kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT. Oleh karena itu, dalam analisis ini peneliti melakukan perhitungan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT untuk mengetahui perkembangan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT pada periode pengamatan 2007-2010.

5.1.1 Indeks Williamson

Kesenjangan pembangunan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT pada tahun 2007-2010 dapat dianalisis dengan menggunakan indeks Williamson. Data yang digunakan adalah data PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi NTT dan data jumlah penduduk kabupaten/kota serta jumlah penduduk provinsi NTT. Penghitungan Indeks Williamson berdasarkan persamaan 3.3. Adapun hasil pengolahan data dapat disajikan pada Tabel 5.1.


(49)

49

Tabel 5.1 Indeks Williamson Provinsi NTT Tahun 2007-2010

TAHUN IW

2007 0,4532

2008 0,4483

2009 0,4552

2010 0,4721

RATA-RATA 0,4572

Sumber: BPS (diolah), 2011

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas, terlihat bahwa pada tahun 2007-2010, rata-rata kesenjangan di Provinsi NTT sebesar 0,4572 dan termasuk kategori kesenjangan level sedang. Sepanjang tahun 2007 terjadi kesenjangan sebesar 0,4532 dan terjadi penurunan kesenjangan selama periode tahun 2008 menjadi 0,4483. Adapun terjadi peningkatan kesenjangan pada tahun 2009 dan 2010 dimana masing-masing secara berurutan menjadi sebesar 0,4552 dan 0,4721.

Gambar 5.1 Indeks Williamson Provinsi NTT Tahun 2007-2010 0 .4 5 3 2

0 .4 4 8 3 0 .4 5 5 2

0 .4 7 2 1

0.4350 0.4400 0.4450 0.4500 0.4550 0.4600 0.4650 0.4700 0.4750

2007 2008 2009 2010

In d e k s W il li a m so n Tahun Pengamatan


(50)

Tren kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT selama periode pengamatan mengalami fluktuasi (Gambar 5.1). Akan tetapi jika dilihat secara keseluruhan dari tahun 2007-2008, kesenjangan di Provinsi NTT cenderung mengalami penurunan, namun pada kurun waktu 2008-2010 cenderung mengalami peningkatan. Adanya peningkatan kesenjangan ini salah satunya diakibatkan karena adanya krisis global yang berimplikasi pada krisis keuangan pada tahun 2008 yang melanda Indonesia sehingga Provinsi NTT tidak luput dari pengaruh krisis ini, faktor lain yakni tingginya konsentrasi aktivitas ekonomi di Kota Kupang sebagai pusat pemerintahan, bisnis dan sektor ekonomi lainnya semakin memicu kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT.

5.1.2 Indeks Theil

Alat ukur kedua yang digunakan untuk menganalisis kesenjangan adalah dengan menggunakan indeks Theil. Salah satu kelebihan dari indeks Theil adalah bisa melihat kesenjangan antarkelompok dan dalam kelompok yang ditentukan. Dalam analisis ini, digunakan data PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi NTT. Sejumlah 21 kabupaten/kota di Provinsi NTT dikelompokkan ke dalam 3 pulau besar yaitu Pulau Timor, Sumba dan Flores. Berikut ini adalah hasil perhitungan dengan menggunakan Indeks Theil yang menggunakan persamaan 3.4 sampai dengan 3.7.


(51)

51

Tabel 5.2 Indeks Theil Provinsi NTT Tahun 2007-2010 Tahun

Antar pulau Dalam pulau Total

Theil persen Theil persen Theil persen 2007 0,02216 28,15 0,05658 71,85 0,07874 100 2008 0,03210 42,08 0,04418 57,92 0,07628 100 2009 0,03228 41,30 0,04588 58,70 0,07816 100 2010 0,03350 40,51 0,04920 59,49 0,08270 100 RATA-RATA 0,03001 38,00 0,04896 62,00 0,07897 100 Sumber: BPS (diolah), 2011

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kesenjangan antarpulau dan kesenjangan dalam pulau memberikan kontribusi yang cukup berbeda terhadap kesenjangan total di Provinsi NTT. Kesenjangan antarpulau menyumbang sekitar 38 persen dari total kesenjangan Provinsi NTT, sedangkan sisanya merupakan kontribusi dari kesenjangan dalam pulau. Hal ini berarti pola kesenjangan di Provinsi NTT menyebar tidak merata baik dari level kesenjangan antarpulau maupun kesenjangan dalam pulau serta adanya indikasi kesenjangan dalam pulau lebih besar dibandingkan kesenjangan antarpulau. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis dalam pulau yang meliputi beberapa kabupaten/kota sehingga faktor kelimpahan sumber daya alam cukup berbeda antarkabupaten/kota dalam satu pulau.

Pola kesenjangan pendapatan antara indeks Williamson dan indeks Theil hampir sama yakni menunjukkan kecenderungan berfluktuasi yaitu periode tahun 2007-2008 mengalami penurunan nilai indeks, namun sebaliknya menampakkan peningkatan yang signifikan pada periode 2008-2010 seperti yang ditampilkan oleh Gambar 5.2.


(52)

Gambar 5.2 Indeks Theil Provinsi NTT Tahun 2007-2010

Perbedaan kondisi geografis merupakan faktor pemicu tingginya kesenjangan baik antarpulau maupun dalam pulau. Adapun pulau Flores, kontribusi sektor pertanian sangat dominan dalam pembentukan PDRB. Sedangkan pulau Timor, sektor jasa-jasa mendominasi lantaran kota Kupang sebagai ibukota provinsi terletak di dalam pulau Timor. Begitu pun pulau Sumba hampir sama dengan pulau Flores dengan didominasi kondisi alam yang subur sehingga sektor pertanian memiliki kontribusi yang cukup signifikan. Namun nilainya masih lebih kecil dibandingkan hasil pertanian pulau Flores.

0 .0 7 8 7 4

0 .0 7 6 2 8

0 .0 7 8 1 6 0 .0 8 2 7 0

0.07200 0.07400 0.07600 0.07800 0.08000 0.08200 0.08400

2007 2008 2009 2010

Inde

k

s T

he

il


(53)

53

5.1.3 Indeks Atkinson

Alat ukur ketiga yang digunakan untuk menganalisis kesenjangan adalah dengan menggunakan indeks Atkinson. Penghitungan Indeks Atkinson menggunakan persamaan 3.8 sampai dengan 3.10. Indikator ekonomi pada ukuran ini menekankan pada indikator PDRB per kapita kabupaten/kota dan rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT yang bertujuan untuk mengetahui dampak social welfare loss atau dampak kesejahteraan sosial yang hilang akibat adanya kesenjangan pendapatan setiap individu dalam wilayah kabupaten/kota.

Hasil perhitungan indeks Atkinson dapat ditunjukkan oleh Tabel 5.3 yang menyertakan parameter kesenjangan ε yang bernilai 0,5 sampai dengan 3.

Tabel 5.3 Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan Provinsi NTT, 2007-2010

Tahun

Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan

A(0,5) % A(1) % A(2) % A(3) %

2007 0,03067 0,00 0,05804 0,00 0,10795 0,00 0,14909 0,00 2008 0,03052 -0,50 0,05849 0,77 0,11048 2,35 0,15480 3,83 2009 0,03125 2,38 0,05982 2,27 0,11287 2,17 0,15740 1,68 2010 0,03298 5,53 0,06292 5,19 0,11805 4,59 0,16364 3,97 Sumber: BPS (diolah), 2011

Tabel 5.3 menggambarkan kecenderungan peningkatan kesenjangan pendapatan ketika ε bervariasi untuk penggunaan data PDRB per kapita. Pola kesenjangan cenderung berfluktuasi untuk ε=0,5, namun untuk ε=1, ε=2, dan ε=3 cenderung meningkat pada periode tahun 2007 hingga tahun 2010.


(54)

Selama periode pengamatan memunculkan adanya indikasi ε yang semakin besar maka persentase perubahan indeks Atkinson juga semakin besar. Pada tahun 2008 dengan ε=0,5 indeks Atkinson turun 0,5 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 0,77 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 2,35 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 3,83 persen. Pada tahun 2009 dengan ε=0,5 indeks Atkinson naik 2,38 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 2,27 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 2,17 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 1,68 persen. Pada tahun 2010 dengan ε=0,5 indeks Atkinson naik 5,53 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 5,19 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 4,59 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 3,97 persen.

Hal ini menunjukkan jika transfer pendapatan masyarakat untuk meningkatkan PDRB per kapita dilakukan hanya pada kabupaten dengan PDRB per kapita terkecil saja maka kesenjangan akan makin meningkat. Hal ini disebabkan karena kesenjangan di Provinsi NTT rendah atau cenderung merata, sehingga mekanisme transfer justru akan memperbesar tingkat kesenjangan jika dilakukan tidak tepat sasaran.

Tahun 2007 dengan ε=0,5 indeks Atkinson sebesar 0,0307 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 3,07 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2008 social welfare loss menurun menjadi 3,05 persen dan kembali meningkat menjadi 3,12 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak pada level 3,30 persen pada tahun 2010.


(55)

55

Tahun 2007 dengan ε=1 indeks Atkinson sebesar 0,0580 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 5,80 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2008 social welfare loss meningkat menjadi 5,85 persen dan kembali meningkat menjadi 5,98 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak pada level 6,29 persen pada tahun 2010.

Tahun 2007 dengan ε=2 indeks Atkinson sebesar 0,1079 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 10,79 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2008 social welfare loss meningkat menjadi 11,05 persen dan kembali meningkat menjadi 11,29 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak pada level 11,80 persen pada tahun 2010.

Tahun 2007 dengan ε=3 Indeks Atkinson sebesar 0,1490 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 14,90 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2008 social welfare loss meningkat menjadi 15,48 persen dan kembali meningkat menjadi 15,74 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak pada level 16,36 persen pada tahun 2010.


(56)

5.2 Tipologi Klassen

Klasifikasi daerah dilakukan berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan produk domestik regional bruto per kapita daerah. Sumbu horizontalnya (sumbu-x) adalah rata-rata produk domestik regional bruto per kapita, sedangkan sumbu vertikalnya (sumbu-y) adalah rata-rata pertumbuhan ekonomi seperti yang disajikan oleh Gambar 5.3.

Keterangan:

1. Kabupaten Sumba Barat 2. Kabupaten Sumba Timur 3. Kabupaten Kupang

4. Kabupaten Timor Tengah Selatan 5. Kabupaten Timor Tengah Utara 6. Kabupaten Belu

7. Kabupaten Alor 8. Kabupaten Lembata 9. Kabupaten Flores Timur 10.Kabupaten Sikka

11. Kabupaten Ende 12. Kabupaten Ngada 13. Kabupaten Manggarai 14. Kabupaten Rote Ndao 15. Kabupaten Manggarai Barat 16. Kabupaten Sumba Barat Daya 17. Kabupaten Sumba Tengah 18. Kabupaten Nagekeo

19. Kabupaten Manggarai Timur 20. Kabupaten Sabu Raijua 21. Kota Kupang

Gambar 5.3 Tipologi Klassen Provinsi NTT Tahun 2007-2010

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 20 18

19 17

21 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

P e rt um buha n E k o no m i ( pe rs e n)


(57)

57

Dalam analisis ini akan diklasifikasikan kabupaten/kota dengan menggunakan tipologi Klassen. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan bahwa empat klasifikasi kabupaten/kota yaitu daerah cepat maju dan cepat tumbuh, daerah maju tetapi tertekan, daerah berkembang cepat, dan daerah relatif tertinggal. Alat analisis ini sangat berguna untuk berbagai pihak terutama pemerintah dalam hal menentukan kebijakan pembangunan bagi daerah tertinggal maupun daerah maju. Adapun Tabel 5.4 menampilkan hasil alat analisis tipologi Klassen.

Tabel 5.4. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 Kuadran I. Kabupaten/kota cepat maju dan cepat tumbuh

1. Kabupaten Sumba Barat 2. Kabupaten Sumba Timur 3. Kabupaten Belu

4. Kabupaten Ngada 5. Kabupaten Rote Ndao 6. Kota Kupang

Kuadran II. Kabupaten/kota maju tetapi tertekan 1. Kabupaten Kupang

2. Kabupaten Flores Timur 3. Kabupaten Sikka

4. Kabupaten Ende

Kuadran III. Kabupaten/kota berkembang cepat 1. Kabupaten Timor Tengah Utara

2. Kabupaten Manggarai

3. Kabupaten Sumba Barat Daya

Kuadran IV. Kabupaten/kota relatif tertinggal 1. Kabupaten Timor Tengah Selatan

2. Kabupaten Alor 3. Kabupaten Lembata

4. Kabupaten Manggarai Barat

5.Kabupaten Sumba Tengah 6. Kabupaten Nagekeo

7. Kabupaten Manggarai Timur 8. Kabupaten Sabu Raijua Sumber: BPS (diolah), 2011

Tabel 5.4 menampilkan bahwa yang termasuk dalam Kuadran I atau klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh adalah kabupaten/kota di Pulau


(58)

Timor yaitu Kota Kupang, Kabupaten Belu dan Rote Ndao, kabupaten/kota di Pulau Sumba antara lain adalah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur serta Pulau Flores adalah Kabupaten Ngada.

Adapun yang termasuk dalam Kuadran II atau klasifikasi daerah maju tetapi tertekan adalah kabupaten/kota di Pulau Timor yaitu Kabupaten Kupang serta Pulau Flores adalah Kabupaten Flores Timur, Sikka dan Ende.

Pada Kuadran III atau klasifikasi daerah berkembang cepat adalah kabupaten/kota di Pulau Timor yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara, kabupaten/kota di Pulau Sumba antara lain adalah Kabupaten Sumba Barat Daya serta Pulau Flores adalah Kabupaten Manggarai.

Pada Kuadran IV atau daerah relatif tertinggal antara lain kabupaten/kota di Pulau Timor yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan, Alor dan Sabu Raijua, kabupaten/kota di Pulau Sumba antara lain adalah Kabupaten Sumba Tengah serta Pulau Flores adalah Kabupaten Lembata, Manggarai Barat, Nagekeo dan Manggarai Timur.

Diantara beberapa kabupaten/kota yang tergolong daerah relatif tertinggal, terdapat 8 kabupaten yang dinyatakan sebagai daerah tertinggal oleh Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) pada RPJMN 2005-2009. Penentuan 8 kabupaten tertinggal tersebut berdasarkan enam kriteria utama, yaitu perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, infrastruktur (prasarana), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah.


(1)

64

Wijayanto, D.Y. 2005.

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Daerah

di Kabupaten Semarang

[skripsi]. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas

Negeri Semarang, Semarang.


(2)

65

Lampiran 1. PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, 2007-2010 (Ribuan Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

01. Sumba Barat 258 724 281 270 845 961 284 833 614 300 689 305 02. Sumba Timur 613 747 205 655 129 170 682 566 495 715 503 256 03. Kupang 893 994 097 931 228 823 969 884 266 1 009 559 914 04. Timor Tengah Selatan 843 141 848 879 824 457 915 563 193 954 254 063 05. Timor Tengah Utara 416 490 563 446 618 972 471 674 665 498 973 627 06. Belu 813 192 871 930 308 528 974 399 443 1 022 047 575 07. Alor 375 478 311 393 004 420 409 230 966 429 126 052 08 Lembata 134 531 011 139 373 023 145 601 650 152 442 886 09. Flores Timur 545 452 835 571 071 851 590 406 007 624 823 820 10. Sikka 742 620 526 789 829 978 821 368 532 858 010 697 11. Ende 687 847 648 721 013 207 757 636 747 797 813 736 12. Ngada 344 018 401 364 558 873 382 952 040 403 877 478 13. Manggarai 512 290 661 534 940 484 562 824 316 595 465 072 14. Rote Ndao 289 588 841 315 767 780 330 535 075 347 514 765 15. Manggarai Barat 359 292 993 381 360 920 394 786 689 408 240 521 16. Sumba Barat Daya 336 001 310 351 760 247 369 056 691 385 171 150 17. Sumba Tengah 91 974 290 94 601 783 97 560 600 101 201 013 18. Nagekeo 266 471 474 280 658 172 293 953 663 307 230 579 19. Manggarai Timur 338 828 125 350 932 191 369 281 727 385 779 493 20.Sabu Raijua 126 167 724 128 893 259 136 316 617 146 970 436 21. Kota Kupang 1 860 990 122 2 000 223 460 2 122 332 805 2 296 923 513 Provinsi NTT 10 850 845 136 11 531 945 559 12 082 765 801 12 741 618 951


(3)

66

Lampiran 2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, 2007-2010 (Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

01. Sumba Barat 2 352 015 2 396 394 2 465 661 2 551 957 02. Sumba Timur 2 624 867 2 736 336 2 836 951 2 955 315 03. Kupang 2 575 958 2 916 833 3 033 265 3 158 800 04. Timor Tengah Selatan 1 926 646 1 975 321 1 960 668 2 018 023 05. Timor Tengah Utara 1 917 171 1 906 156 1 975 611 2 060 907 06. Belu 1 817 603 2 756 943 2 823 045 2 901 096 07. Alor 1 999 153 2 032 974 2 095 981 2 109 751 08 Lembata 1 220 903 1 187 184 1 208 361 1 235 620 09. Flores Timur 2 228 676 2 413 263 2 457 442 2 565 480 10. Sikka 2 593 721 2 551 773 2 617 544 2 700 271 11. Ende 2 817 419 2 674 232 2 776 697 2 892 558 12. Ngada 2 504 356 2 520 700 2 594 285 2 686 971 13. Manggarai 1 984 097 1 806 502 1 861 688 1 931 963 14. Rote Ndao 2 533 486 2 734 680 2 729 155 2 745 812 15. Manggarai Barat 1 715 351 1 724 102 1 734 783 1 747 190 16. Sumba Barat Daya 1 244 848 1 223 261 1 249 888 1 273 525 17. Sumba Tengah 1 453 660 1 485 818 1 499 683 1 525 668 18. Nagekeo 2 064 290 2 110 796 2 171 981 2 220 711 19. Manggarai Timur 1 231 550 1 348 380 1 389 005 1 423 059 20.Sabu Raijua 2 320 697 2 086 011 1 970 714 1 919 513 21. Kota Kupang 5 513 319 5 463 599 5 606 575 5 907 672 Provinsi NTT 2 301 357 2 420 087 2 477 378 2 562 141


(4)

65

Lampiran 1. PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, 2007-2010 (Ribuan Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

01. Sumba Barat 258 724 281 270 845 961 284 833 614 300 689 305 02. Sumba Timur 613 747 205 655 129 170 682 566 495 715 503 256 03. Kupang 893 994 097 931 228 823 969 884 266 1 009 559 914 04. Timor Tengah Selatan 843 141 848 879 824 457 915 563 193 954 254 063 05. Timor Tengah Utara 416 490 563 446 618 972 471 674 665 498 973 627 06. Belu 813 192 871 930 308 528 974 399 443 1 022 047 575 07. Alor 375 478 311 393 004 420 409 230 966 429 126 052 08 Lembata 134 531 011 139 373 023 145 601 650 152 442 886 09. Flores Timur 545 452 835 571 071 851 590 406 007 624 823 820 10. Sikka 742 620 526 789 829 978 821 368 532 858 010 697 11. Ende 687 847 648 721 013 207 757 636 747 797 813 736 12. Ngada 344 018 401 364 558 873 382 952 040 403 877 478 13. Manggarai 512 290 661 534 940 484 562 824 316 595 465 072 14. Rote Ndao 289 588 841 315 767 780 330 535 075 347 514 765 15. Manggarai Barat 359 292 993 381 360 920 394 786 689 408 240 521 16. Sumba Barat Daya 336 001 310 351 760 247 369 056 691 385 171 150 17. Sumba Tengah 91 974 290 94 601 783 97 560 600 101 201 013 18. Nagekeo 266 471 474 280 658 172 293 953 663 307 230 579 19. Manggarai Timur 338 828 125 350 932 191 369 281 727 385 779 493 20.Sabu Raijua 126 167 724 128 893 259 136 316 617 146 970 436 21. Kota Kupang 1 860 990 122 2 000 223 460 2 122 332 805 2 296 923 513 Provinsi NTT 10 850 845 136 11 531 945 559 12 082 765 801 12 741 618 951


(5)

66

Lampiran 2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, 2007-2010 (Rupiah)

Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010

01. Sumba Barat 2 352 015 2 396 394 2 465 661 2 551 957 02. Sumba Timur 2 624 867 2 736 336 2 836 951 2 955 315 03. Kupang 2 575 958 2 916 833 3 033 265 3 158 800 04. Timor Tengah Selatan 1 926 646 1 975 321 1 960 668 2 018 023 05. Timor Tengah Utara 1 917 171 1 906 156 1 975 611 2 060 907 06. Belu 1 817 603 2 756 943 2 823 045 2 901 096 07. Alor 1 999 153 2 032 974 2 095 981 2 109 751 08 Lembata 1 220 903 1 187 184 1 208 361 1 235 620 09. Flores Timur 2 228 676 2 413 263 2 457 442 2 565 480 10. Sikka 2 593 721 2 551 773 2 617 544 2 700 271 11. Ende 2 817 419 2 674 232 2 776 697 2 892 558 12. Ngada 2 504 356 2 520 700 2 594 285 2 686 971 13. Manggarai 1 984 097 1 806 502 1 861 688 1 931 963 14. Rote Ndao 2 533 486 2 734 680 2 729 155 2 745 812 15. Manggarai Barat 1 715 351 1 724 102 1 734 783 1 747 190 16. Sumba Barat Daya 1 244 848 1 223 261 1 249 888 1 273 525 17. Sumba Tengah 1 453 660 1 485 818 1 499 683 1 525 668 18. Nagekeo 2 064 290 2 110 796 2 171 981 2 220 711 19. Manggarai Timur 1 231 550 1 348 380 1 389 005 1 423 059 20.Sabu Raijua 2 320 697 2 086 011 1 970 714 1 919 513 21. Kota Kupang 5 513 319 5 463 599 5 606 575 5 907 672 Provinsi NTT 2 301 357 2 420 087 2 477 378 2 562 141


(6)

RINGKASAN

DWI WIDIANIS.

Analisis Kesenjangan Antarkabupaten/kota di Provinsi Nusa

Tenggara Timur Tahun 2007-2010 (dibimbing oleh

IRFAN SYAUQI BEIK

).

Kesenjangan pendapatan mengindikasikan tidak meratanya pembangunan

terutama dalam bidang ekonomi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan

salah satu provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi

pembangunan secara merata sehingga tidak bisa dinikmati oleh sebagian besar

masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari angka kemiskinan yang menunjukkan Provinsi

NTT merupakan

provinsi yang menduduki peringkat kelima provinsi termiskin di

Indonesia dengan penduduk lebih dari seperlimanya (23,03 persen) digolongkan sebagai

penduduk miskin.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesenjangan pendapatan

antarkabupaten/kota dan kelompok kepulauan, menganalisis dampak kesenjangan

antarkabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (

social welfare loss

) dan

mengklasifikasikan kabupaten/kota menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB

per kapita di Provinsi NTT. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan

Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas

dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000, data jumlah penduduk provinsi dan

kabupaten/kota, serta data-data pendukung lainnya. Periode pengamatan penelitian ini

adalah tahun 2007-2010. Penelitian ini menggunakan metode analisis antara lain:

analisis deskriptif, indeks Williamson, indeks Theil, indeks Atkinson dan tipologi

Klassen.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesenjangan antarkabupaten/kota di

Provinsi NTT berada pada level sedang berdasarkan indeks Williamson yakni sebesar

0,4572. Kesenjangan antar kabupaten/kota lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan

dalam pulau (

within

) sebesar 0,04896 dibanding kesenjangan antarpulau (

between

)

sebesar 0,03001 berdasarkan indeks Theil. Adapun indeks Atkinson menunjukkan

peningkatan

social welfare loss

selama periode tahun 2007-2010. Tipologi Klassen

menggambarkan kabupaten/kota paling banyak berada di kuadran keempat (daerah

relatif tertinggal) antara lain: Kabupaten Timor Tengah Selatan, Alor, Lembata,

Manggarai Barat, Sumba Tengah, Nagekeo, Manggarai Timur dan Sabu Raijua selama

periode pengamatan.