Latar Belakang Infeksi Menular Seksual IMS adalah suatu masalah kesehatan dikalangan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual IMS adalah suatu masalah kesehatan dikalangan

remaja dalam masa kini. Menurut Centers for Disease Control and Prevention CDC 1996, tahap IMS yang disebabkan oleh gonnore dan sifilis walaupun masih rendah, tetapi IMS sendiri masih pada batas epidemik. Kaum muda cenderung untuk terlibat dalam aktivitas seksual dalam beberapa tahun terakhir sejak tahun 1970-an, dan 1980-an. Pengetahuan tentang IMS sangat rendah, bahkan pada masyarakat di daerah yang prevalensi IMSnya tinggi. Edukasi tentang seksual telah menjadi suatu topik yang amat kontroversial di kebanyakan sekolah, universitas dan keluarga. Setengah orang percaya bahawa abstinence adalah cara yang paling baik di mana remaja diajar bahawa seks itu haruslah hanya selepas bernikah. Setengah lagi berpendapat edukasi tentang pil KB adalah yang paling efektif. Sekumpulan besar juga menyatakan bahawa orang tua adalah edukator yang paling baik dalam mengajar remaja tentang IMS tetapi hanya 10 hingga 15 persen remaja hari ini membicarakan isu-isu seksual dengan orang tua mereka Mudassir, Syed, Keivan Tahir, 2010. Konflik ini menyebabkan remaja masa kini tidak sama sekali menerima pendidikan tentang seks sehat. Mungkin juga ada kurangnya perhatian tentang IMS karena ia dapat dilihat bahawa ia dapat disembuhkan dengan mudah. Selain itu, satu lagi faktor yang turut mengkontribusi terhadap meningkatnya IMS adalah ketidaktahuan danatau ketidakmahuan remaja memakai kondom semasa bersenggama Napier, 1997. Infeksi Menular Seksual IMS, baik yang ulcerative maupun non-ulcerative, diketahui mempermudah penularannya melalui berbagai mekanisme. Tetapi prevalensi IMS pada remaja dan dewasa muda di Indonesia belum diamati secara sistematis dan hanya diukur secara sporadis. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi menunjukkan prevalensi infeksi gonore, klamidia dan sifilis yang di Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, Tanjung Pinang dan Bitung antara tahun 1994 sampai 2004 dilaporkan berkisar antara 0 hingga 22,2. Universitas Sumatera Utara Faktor tambahan yang harus dipertimbangkan adalah resiko bagi seorang yang dijangkiti IMS. Kelompok mahasiswa dalam suatu penelitian yang telah dilakukan oleh Ehde, Holm, and Robbins 1995 telah mengevaluasi resiko IMS sebagai nol, tetapi dilaporkan frekuensi sangat tinggi dimana mahasiswa melibatkan diri dalam aktivitas seksual melalui vagina, peroral dan melalui anus tanpa menggunakan kondom. Dalam kasus-kasus lain mahasiswa dilaporkan mempunyai infomasi yang cukup tentang IMS tetapi sangat jelas bahawa persepsi yang dimiliki adalah salah. Ini secara dasarnya menunjukkan mahasiswa masa kini jarang mengambil atau melakukan apa-apa tindakan yang di anggap penting dalam mencegah penularan IMS. Ini boleh disebabkan oleh banyak faktor dan pelbagai pihak dapat berperan tetapi yang paling umum adalah insidensi akibat kekurangan pengetahuan dikalangan remaja karena edukasi tentang seksual sehat yang tidak adekuat. Selain mahasiswa seluruh anggota paramedis, dosen-dosen dan juga orang tua haruslah bersedia menjadi edukator yang baik dan sekaligus mempelajari bagi manfaat diri sendiri tentang isu ini supaya dapat mengurangkan insidensi IMS secara efektif Stoskopf, 1999. World Health Organisation WHO pada tahun 2000 merekomendasikan surveilans generasi kedua untuk IMS terutamanya infeksi Human Immunodeficiency Virus HIV. Prevalensi IMS merupakan salah satu indikator biologis yang penting dalam sistem surveilans generasi kedua tersebut. Selain mempermudah penularan HIV, IMS juga menunjukkan adanya perilaku seksual yang berisiko. Prevalensi IMS yang tinggi pada suatu populasi di suatu tempat merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran IMS. Di lain pihak, peningkatan penggunaan kondom akan lebih cepat tergambar melalui penurunan prevalensi IMS daripada penurunan prevalensi HIV. Selain menggambarkan perubahan perilaku, penurunan prevalensi IMS dapat memberikan gambaran luasnya cakupan dan peningkatan kualitas program penanggulangan IMS. Oleh karena itu, data prevalensi IMS yang diamati secara periodik melalui surveilans, berperanan penting untuk melihat kecenderungan perilaku seksual, potensi penyebaran IMS, dan untuk merencanakan, memonitor, mengevaluasi serta meningkatkan upaya penanggulangan IMS. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan golongan mahasiswa tentang infeksi menular seksual, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian “Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Fakultas Kesehatan Masyarakat FKM, Universitas Sumatera Utara USU Tentang Infeksi Menular Seksual”.

1.2.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas,secara garis besar dapat dirumuskan satu masalah yaitu: • Adakah tingkat pengetahuan mahasiswa mencukupi tentang infeksi menular seksual?

1.3. Tujuan Penelitian