BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perilaku bullying sangat rentan terjadi pada remaja putra dan remaja putri, hal tersebut karena dipengaruhi oleh faktor individu tersebut yang meliputi gender dan
usia. Menurut Haynie dkk dalam Totura, 2003 bullying lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Hal yang sama juga disebutkan bahwa perilaku bullying lebih menonjol terjadi
pada kalangan gender laki-laki daripada gender perempuan Krahe, 2005. Perilaku kekerasan laki-laki cenderung bersifat terbuka dan tidak ragu-ragu untuk
menggunakan kekerasan fisik. Sebaliknya, perempuan cenderung tidak melakukan kekerasan secara langsung dan lebih sering menggunakan kekerasan yang bersifat
tertutup dan sulit diamati Simmons, 2002. Kekerasan yang sering digunakan perempuan biasanya berupa kekerasan verbal dan kekerasan relasional mengucilkan
atau menjauhkan seseorang dari sebuah kelompok. Sifat kekerasan perempuan yang demikian membuat perilaku kekerasan lebih tampak pada kelompok anak laki-laki
dan anak perempuan secara umum Krahe, 2005. Anak laki-laki memiliki gambaran diri yang lebih dekat dengan kekerasan,
sedangkan perempuan tidak. Maka dapat dipahami mengapa kekerasan menjadi wajar bagi kelompok anak laki-laki namun tidak wajar bagi anak perempuan. Terdapat
batasan-batasan bagi perempuan oleh peran gendernya yang menyebabkan perempuan tidak boleh melakukan kekerasan secara terbuka Krahe, 2005. Kematian
akibat perilaku kekerasan atau bullying pada remaja usia 15 – 19 tahun 3 kali lebih
besar dari pada remaja usia 10 – 14 tahun. Remaja pada masa transisi ini berusaha
mencari dan membentuk jati diri, dan bila masa remaja tidak dialami dan diatasi dengan baik akan menimbulkan gejolak dan permasalahan baik masalah medis
maupun masalah psikososial Sularyo, 2002, dalam Narendra, 2005. Usia yang rentan menjadi korban bullying adalah usia remaja yaitu sekitar 13 tahun sampai 18 tahun
dimana dalam periode tersebut dianggap sebagai masa yang sangat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian Secara umum,
periode remaja merupakan klimaks dari periode perkembangan sebelumnya karena apa yang diperbolehkan dalam masa sebelumnya akan diuji dan dibuktikan sehingga
dalam periode selanjutnya individu tersebut telah mempunyai kepribadian yang lebih matang Irwanto, 2002.
Bullying adalah perilaku negatif yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang yang dapat merugikan orang lain. Perilaku bullying sudah menjadi hal yang biasa bahkan normal dalam tahap kehidupan manusia atau kehidupan sehari-
hari. School bullying adalah perlakuan tidak menyenangkan yang dialami oleh siswa di sekolah. Pelaku school bullying pada umumnya teman sebaya, siswa yang lebih senior,
atau bahkan guru. School bullying memberi banyak sekali dampak buruk kepada siswa yang menjadi korban, yang secara structural menyebabkan kemunduran pendidikan
nasional Wiyani, 2012. Perilaku bullying merupakan learned behavior karena manusia tidak terlahir
sebagai penggertak dan pengganggu yang lemah. Bullying merupakan perilaku tidak normal, tidak sehat, dan secara sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepele pun kalau
dilakukan secara berulang kali pada akhirnya dapat menimbulkan dampak serius dan fatal. Membiarkan atau menerima perilaku bullying sama saja kita memberikan bullies
power kepada pelaku bullying, menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan
meningkatkan budaya kekerasan. Interaksi sosial yang tidak sehat dapat menghambat pengembangan potensi diri secara optimal sehingga menghentikan keunggulan untuk
budaya itu sendiri Wiyani, 2012. Bullying yang mengandung tiga unsur mendasar dari perilaku bullying sebagai
berikut yaitu bersifat menyerang agresif dan negatif, dilakukan secara berulang kali, dan adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Olweus kemudian
mengidentifikasikan dua subtype bullying, yaitu perilaku secara langsung Direct bullying
, misalnya penyerangan secara fisik dan perilaku secara tidak langsung Indirect bullying
, misalnya pengucilan secara sosial Underwood, 2004. Hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di sekolah X Malang tersebut
bahwa kasus bullying sering terjadi pada siswa siswi SMK X Malang. Perilaku bullying ini diakibatkan berbagai macam faktor, salah satunya faktor gender dan usia. Bullying
tersebut biasa dilakukan kepada antara siswa dengan siswa dan jenis bullying tersebut dilakukan dalam bentuk verbal dan nonverbal. Sebanyak 35 siswa melaporkan
kasus bullying ke pihak sekolah karena siswa tersebut merasa takut dan merasa terintimidasi terus menerus.
Fenomena bullying di Indonesia mendapatkan 10-60 siswa Indonesia melaporkan mendapatkan ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan,
ataupun dorongan, sedikitnya sekali seminggu. Kekerasan bullying di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat
kekerasan sebesar 67,9 di tingkat Sekolah Menengah Atas SMA dan 66,1 di tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP. Kekerasan yang dilakukan sesama siswa
tercatat sebesar 41,2 untuk tingkat SMP dan 43,7 untuk tingkat SMA dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa pengucilan. Peringkat kedua ditempati
kekerasan verbal mengejek dan kekerasan fisik SEJIWA, 2008. Kasus bullying
ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Kasus bullying juga terjadi di sejumlah negara seperti Australia sebanyak 25-30 populasi pelajar menjadi korban bullying setiap
hari. Selain itu, pada tahun 2001, data dari Departemen Kehakiman Amerika menunjukkan bahwa 77 populasi pelajar Amerika mengalami bullying secara verbal,
fisik, dan psikologis. Perilaku bullying memberikan efek psikologis yang buruk seperti kecemasan,
harga diri yang rendah, penarikan diri secara sosial, pembalasan dendam, depresi hingga bunuh diri. Sasaran bullying sering mengalami internalisasi misalnya kesedihan,
kesusahan, kecemasan dan gejala somatik misalnya sakit perut, sakit kepala, serta luka fisik. Target juga mungkin mengalami kebingungan, kemarahan, menurunkan
harga diri, dan perasaan ketidakamanan. Korban bullying ini dapat juga mendapat dampak dalam prestasi akademik karena korban bullying dapat menghindari
bersekolah, atau gejala psikologisnya dapat memberikan dampak negatif kemampuan mereka untuk belajar sementara di sekolah, misalnya karena penurunan kemampuan
untuk berkonsentrasi yang dihasilkan dari kecemasan tersebut Horowitz dkk, 2004. Dampak lain yang dialami oleh korban bullying adalah mengalami berbagai
macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah low psychological well-being
dimana korban akan merasa tidak nyaman, takut, rendah diri, serta tidak berharga, penyesuaian sosial yang buruk dimana korban merasa takut ke sekolah
bahkan tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan, prestasi akademik yang menurun karena mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dalam belajar, bahkan
berkeinginan untuk bunuh diri daripada harus menghadapi tekanan-tekanan berupa hinaan dan hukuman Horowitz dkk, 2004.
Hasil survey yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1 dari 13 remaja SMU korban bullying melakukan usaha bunuh diri. Selain itu, dalam artikel
berjudul Presecuted Even on the Playground di majalah Liberation, Richard Werly melaporkan bahwa 10 dari pelajar korban bullying mengalami stres dan pernah
berusaha bunuh diri. Peristiwa lainnya terjadi di Santee, USA pada tahun 2001. Seorang remaja SMU yang menjadi korban bullying di sekolah, melakukan pembalasan
dengan menembaki serta membunuh beberapa teman sekolahnya Caloroso, 2007. Berdasarkan data laporan kasus ke Komnas per November 2009 setidaknya terdapat
98 kasus kekerasan fisik, 10 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah.
Penanganan yang diperlukan untuk masalah bullying adalah kebijakan yang bersifat menyeluruh di sekolah, sebuah kebijakan yang melibatkan komponen dari
guru sampai siswa, dari kepala sekolah sampai orang tua murid, kerja sama antara guru,orang tua dan masyarakat atau pihak lain yang terkait seperti kepolisian, aparat
hukum dan sebagainya sangat diperlukan dalam menangani masalah ini. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh sekolah ialah membuat sebuah program anti bullying di
sekolah. Huneck 2012 menyebutkan akan terus terjadi di sekolah-sekolah, apabila orang dewasa tidak dapat membina hubungan saling pecaya dengan siswa, tidak
menyadari tingkah laku yang masuk tindakan bullying, tidak menyadari luka yang disebabkan oleh bullying, tidak menyadari dampak bullying yang merusak kegiatan
belajar siswa, serta tidak ada campur tangan secara efektif dari sekolah. Adapun kegunaan dari program serta kegiatan anti bully di sekolah Huneck, 2012.
Kebutuhan pelayanan kesehatan terus bertambah dengan berjalannya waktu untuk menuntut perawat saat ini memiliki pengetahuan dan keterampilan di berbagai
bidang. Saat ini perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, juga memandang klien secara
komprehensif. Perawat menjalankan fungsi dalam kaitannya dengan berbagai peran
pemberi perawatan, pembuat keputusan klinik dan etika, pelindung dan advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator, komunikator dan pendidik. Fungsi perawat dapat
memberikan pelayanan serta meningkatkan kesehatan individu, memberikan kontribusi untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental
serta kesehatan lingkungan Efendi Makhfudli, 2009. Perawat UKS dapat memiliki peran penting dalam merawat siswa yang
diintimidasi karena perawat sekolah memiliki hubungan dengan siswa yang berbeda dibandingkan dengan karyawan sekolah lainnya, karena perawat sekolah tidak
mendisiplin siswa tetapi lebih mungkin untuk curhat kepada perawat. Oleh sebab itu perawat sekolah sering di garis depan bullying dan menjadi orang dewasa pertama
pada korban untuk memberi bantuan. Seorang profesor di program psikologi anak di University of Kansas, dan rekan-rekan penulis menemukan bahwa kedua kelompok
anak-anak cenderung kepada perawat sekolah untuk keluhan somatik, penyakit dan cedera lebih sering daripada siswa lain Deitch, 2012.
Permasalahan bullying pada remaja begitu trend pada saat ini dan dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying pada remaja memang perlu mendapat perhatian
khusus. Meminimalkan kasus bullying di sekolah, maka harus menciptakan peaceful school
dan melakukan tindakan preventif kepada sekolah dan individu-individu yang terlibat bullying sehingga dapat mengurangi dampak-dampak yang sering timbul dan
bullying di sekolah dapat berkurang bahkan dapat dihilangkan.
Peneliti memfokuskan pada gender dan usia yang akan di teliti dalam penelitian ini, dimana sasaran dalam penelitian ini adalah remaja pertengahan usia 15-
18 tahun dan ingin meneliti sejauh mana hubungan antara faktor gender dan usia terhadap perilaku bullying pada remaja di SMK X Malang.
1.2 Rumusan Masalah