Tanda Kardinal Asfiksia Pada Kasus Gantung Diri Yang Diperiksa Di Departemen Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik/ Rsud Pirngadi Medan Pada Bulan Januari 2007- Desember 2009

(1)

TANDA KARDINAL ASFIKSIA PADA KASUS GANTUNG DIRI YANG DIPERIKSA DI DEPARTEMEN FORENSIK FK USU

RSUP H. ADAM MALIK/ RSUD PIRNGADI MEDAN PADA BULAN JANUARI 2007- DESEMBER 2009

Oleh: NURINA 070100345

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

TANDA KARDINAL ASFIKSIA PADA KASUS GANTUNG DIRI YANG DIPERIKSA DI DEPARTEMEN FORENSIK FK USU

RSUP H. ADAM MALIK/ RSUD PIRNGADI MEDAN PADA BULAN JANUARI 2007- DESEMBER 2009

Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh: NURINA 070100345

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

TANDA KARDINAL ASFIKSIA PADA KASUS GANTUNG DIRI YANG DIPERIKSA DI DEPARTEMEN FORENSIK FK USU RSUP H. ADAM

MALIK/ RSUD PIRNGADI MEDAN PADA BULAN JANUARI 2007- DESEMBER 2009

Nama : NURINA NIM : 070100345

Pembimbing Penguji I

(dr. Surjit Singh, Sp. F, DFM) (dr. Liberty Sirait, Sp.B-KBD) NIP: 19691107 199903 2 002

Penguji II

(dr. Muhammad Ali, Sp. A (K)) NIP: 19690524 199903 1 001

Medan, 30 November 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Mati gantung sangat akrab dalam kehidupan sehari - hari. Tindakan bunuh diri dengan cara ini sering dilakukan karena dapat dilakukan dimana dan kapan saja dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan apa saja yang dapat melilit leher. Gantung diri adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian. Kematian pada gantung diri paling sering disebabkan oleh asfiksia. Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik. Umumnya urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas dan trauma mekanik. Tanda-tanda asfiksia yang paling sering ditemukan pada korban gantung diri adalah sianosis, kongesti dan oedema, tetap cairnya darah dan perdarahan berbintik (petechial haemorraghes).

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan desain studi cross-sectional untuk mengetahui tanda- tanda kardinal asfiksia pada kasus gantung diri yang diperiksa di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP. H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada bulan Januari 2007- Desember 2009. Data didapat dari hasil visum.

Dari 27 hasil visum, diketahui bahwa berdasarkan jenis kelamin, laki-laki adalah kelompok yang paling banyak melakukan bunuh diri yaitu 19 orang (70,4%), sedangkan pada perempuan hanya 8 orang (29,6%). Sedangkan berdasarkan kelompok umur, yang terbanyak melakukan gantung diri adalah pada rentang usia 22-49 tahun, dimana jumlahnya mencapai 40,7 % (11 orang) dan paling sedikit terdapat pada umur > 50 tahun yaitu sebanyak 5 orang (18,5%). Tanda kardinal yang paling banyak terdapat pada penelitian ini adalah tardieu’s spot (74,1%) dan sianosis (85,2%).

Dari 27 hasil visum yang didapat di RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan, tanda kardinal yang terdapat adalah tardieu’s spot, kongesti, sianosis dan tetap cairnya darah.


(5)

ABSTRACT

Death by hanging is very common in the comunity. This form of suicide is often encountered since it can be done anywhere or anytime and it requires only a piece of rope, a neck tie, or anything that can strangulate the neck. Hanging is a condition where the neck is constricted by a force of strangulation caused by the whole or partial body weight. Death in hanging is often caused by asphyxia. Asphyxia is the most commonly encountered cause of death in forensic medicine. Asphyxia is also the third most common cause after traffic accident and mechanical trauma. The most commonly encountered signs of asphyxia in the victims are cyanosis, congestion, edema, fluidity of blood and petechial hemorrhages.

This research is a descriptive research, with a cross-sectional design to discover the cardinal signs of asphyxia in victims examined in the Forensic Department in FK USU RSUP. H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan from January 2007 to Desember 2009. Data is collected from forensic document.

From 27 forensic documents, it’s found that based on gender, the male group is the most common group in commiting suicide by hanging which is 19 ( 70,4%) male, nevertheless only 8 (29,6%) females comminted suicide by hanging. Based on age, it is found that most suicide cases are done in the age ranging from 22-49 years, in which the number reach 40,7 % (11 people). The less is found in those older than 50 years old, in which the case is only 5 (18,5%) people. The most commonly discovered cardinal signs in this research is tardieu’s spot (74,1%) and cyanosis (85,2%).

From 27 forensic documents collected from RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan, the cardinal signs found in this research are tardieu’s spot, congestion, cyanosis, and fluidity of blood.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya yang telah memberikan penulis kesehatan, kesempatan, dan kemudahan selama menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini sampai penulis menyusun Laporan Karya Ilmiah ini hingga selesai.

Dalam menyusun Laporan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis akan membahas tentang “Tanda Kardinal Asfiksia pada Kasus Gantung Diri yang Diperiksa di Departemen Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada Bulan Januari 2007 – Desember 2009”. Karya Tulis Ilmiah ini merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan laporan ini penulis banyak mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara materil, moril maupun spiritual. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Surjit Singh, Sp.F, DFM sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing saya dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Liberty Sirait, Sp.B-KBD dan dr. Muhammad Ali, Sp. A (K) selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk memperbaiki karya tulis ilmiah ini.

4. Seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama saya mengikuti pendidikan sarjana kedokteran.

5. Departemen Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan yang telah memberi bantuan dan kesempatan dalam pengambilan data untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah saya ini.


(7)

6. Ayahanda Rusiadi dan Ibunda Erwina Maryam Hasibuan yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik saya, serta adik saya Muhammad Ikhsan dan saudara sepupu yang telah memberikan dukungan selama saya mengerjakan penulisan karya ilmiah ini

7. Teman-teman yang tergabung dalam kelompok bimbingan dr. Surjit Singh, Sp. F, DFM- Ria Fitricia, Sarah H. N. Giri dan Benjamin Ricardo – yang telah bekerjasama dengan baik dalam semua proses penulisan karya tulis ilmiah ini

8. Teman-teman saya, Cindy Putri, Ella Rhinsilva, Kamal K. Ilyas, Yan Indra Fajar Sitepu, Vitri Alya, Rini M. Nasution, Anita Limanjaya, Muhammad Syarief dan yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu, yang telah membenatu saya dalam pengerjaan karya tulis ilmiah ini. Saya menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini. Akhir kata, saya berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap orang yang menggunakannya.

Medan, 30 November 2010


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN……….……….……… i

ABSTRAK ……… ii

ABSTACT ………....………. iii

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR ISI……….………. vi

DAFTAR TABEL..………...…… ix

DAFTAR GAMBAR..………..……… x

DAFTAR LAMPIRAN ……… xi

BAB 1 PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang……….... 1

1.2. Rumusan Masalah………..………. 2

1.3. Tujuan Penelitian………..…….. 2

1.4. Manfaat Penelitian………...…… 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 4

2.1. Asfiksia………. 4

2.1.1. Defenisi Asfiksia………. 4

2.1.2. Etiologi Asfiksia………. 4

2.1.3. Fisiologi Asfiksia……… 4

2.1.4. Patologi Asfiksia………. 6

2.1.5. Stadium Asfiksia………. 7

2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia………. 8

2.1.7. Tanda Khusus Asfiksia……… 9

2.1.8. Pemeriksaan Jenazah ……….. 10

2.2. Asfiksia Mekanik……… 12


(9)

2.3.1. Defenisi ……….……….…….. 12

2.3.2. Etiologi Kematian pada Penggantungan……….……….. 12

2.3.3. Jenis Penggantungan……….……… 13

2.3.4. Tanda Post Mortem……… 14

2.3.5. Pemeriksaan Jenazah………. 14

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL….….... 17

3.1. Kerangka Konsep Penelitian………. 17

3.2. Defenisi Operasional……….……….... 17

BAB 4 METODE PENELITIAN……….……….. 19

4.1. Rancangan Penelitian………. 19

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 19

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian……….……... 19

4.4. Metode Pengumpulan Data……….…...… 20

4.5. Metode Analisis Data………. 20

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….... 21

5.1. Hasil Penelitian……….. 21

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………..…... 21

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden………..……... 22

5.1.3. Hasil Analisa Statistik………..…... 24

5.2. Pembahasan………..…….. 24

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………..……… 27

6.1. Kesimpulan………..………... 27


(10)

DAFTAR PUSTAKA……….. 28 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Cara membedakan kematian (pembunuhan atau bunuh diri….. 16 5.1 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin………. 22 5.2 Distribusi sampel berdasarkan umur……….…….… 23 5.3. Distribusi karakteristik tanda kardinal asfiksia……….. 24


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2

Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5

Surat Izin Penelitian

Ethical Clearence

Surat Selesai Melakukan Penelitian Data Induk Penelitian


(14)

ABSTRAK

Mati gantung sangat akrab dalam kehidupan sehari - hari. Tindakan bunuh diri dengan cara ini sering dilakukan karena dapat dilakukan dimana dan kapan saja dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan apa saja yang dapat melilit leher. Gantung diri adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian. Kematian pada gantung diri paling sering disebabkan oleh asfiksia. Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik. Umumnya urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas dan trauma mekanik. Tanda-tanda asfiksia yang paling sering ditemukan pada korban gantung diri adalah sianosis, kongesti dan oedema, tetap cairnya darah dan perdarahan berbintik (petechial haemorraghes).

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan desain studi cross-sectional untuk mengetahui tanda- tanda kardinal asfiksia pada kasus gantung diri yang diperiksa di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP. H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada bulan Januari 2007- Desember 2009. Data didapat dari hasil visum.

Dari 27 hasil visum, diketahui bahwa berdasarkan jenis kelamin, laki-laki adalah kelompok yang paling banyak melakukan bunuh diri yaitu 19 orang (70,4%), sedangkan pada perempuan hanya 8 orang (29,6%). Sedangkan berdasarkan kelompok umur, yang terbanyak melakukan gantung diri adalah pada rentang usia 22-49 tahun, dimana jumlahnya mencapai 40,7 % (11 orang) dan paling sedikit terdapat pada umur > 50 tahun yaitu sebanyak 5 orang (18,5%). Tanda kardinal yang paling banyak terdapat pada penelitian ini adalah tardieu’s spot (74,1%) dan sianosis (85,2%).

Dari 27 hasil visum yang didapat di RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan, tanda kardinal yang terdapat adalah tardieu’s spot, kongesti, sianosis dan tetap cairnya darah.


(15)

ABSTRACT

Death by hanging is very common in the comunity. This form of suicide is often encountered since it can be done anywhere or anytime and it requires only a piece of rope, a neck tie, or anything that can strangulate the neck. Hanging is a condition where the neck is constricted by a force of strangulation caused by the whole or partial body weight. Death in hanging is often caused by asphyxia. Asphyxia is the most commonly encountered cause of death in forensic medicine. Asphyxia is also the third most common cause after traffic accident and mechanical trauma. The most commonly encountered signs of asphyxia in the victims are cyanosis, congestion, edema, fluidity of blood and petechial hemorrhages.

This research is a descriptive research, with a cross-sectional design to discover the cardinal signs of asphyxia in victims examined in the Forensic Department in FK USU RSUP. H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan from January 2007 to Desember 2009. Data is collected from forensic document.

From 27 forensic documents, it’s found that based on gender, the male group is the most common group in commiting suicide by hanging which is 19 ( 70,4%) male, nevertheless only 8 (29,6%) females comminted suicide by hanging. Based on age, it is found that most suicide cases are done in the age ranging from 22-49 years, in which the number reach 40,7 % (11 people). The less is found in those older than 50 years old, in which the case is only 5 (18,5%) people. The most commonly discovered cardinal signs in this research is tardieu’s spot (74,1%) and cyanosis (85,2%).

From 27 forensic documents collected from RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan, the cardinal signs found in this research are tardieu’s spot, congestion, cyanosis, and fluidity of blood.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Mati gantung sangat akrab dalam kehidupan sehari - hari. Tindakan bunuh diri dengan cara ini sering dilakukan karena dapat dilakukan dimana dan kapan saja dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan apa saja yang dapat melilit leher (William et

al, 1998). Hal ini mengundang perhatian penulis untuk melakukan penelitian tentang

kasus gantung diri. Gantung diri adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian (Modi, 1988). Dengan demikian, berarti alat penjerat bersifat pasif sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Keadaan tersebut berbeda dengan penjeratan, dimana yang aktif (kekuatan yang menyebabkan konstriksi pada leher) adalah terletak pada penjeratnya. Kematian karena penggantungan pada umumnya bunuh diri, pembunuhan dengan cara menggantung mayat untuk membuat korban seolah-olah korban gantung diri jarang ditemukan. Penyebab kematian akibat gantung diri yang terbanyak adalah asfiksia.

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).

Jaringan di tubuh akan terganggu fungsinya apabila kadar oksigen berkurang. Ketika kadar oksigen dalam keadaan di bawah normal pada aliran darah yang menuju ke otak, ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran dengan cepat. Otak merupakan organ yang sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen dan ini merupakan alasan bahwa otak adalah organ yang paling terlibat dalam kematian akibat asfiksia (Spitz, 1977).


(17)

Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik. Umumnya urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas dan trauma mekanik (Amir, 2008).

Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan. Untuk mengetahui dan memperkirakan cara kematian dalam kasus gantung diri, maka diperlukan pemeriksaan otopsi luar dan dalam. Dari hasil otopsi tersebut dilihat tanda-tanda kardinal dari asfiksia yang ditemukan pada kasus gantung diri.

Tanda-tanda asfiksia yang paling sering ditemukan pada korban gantung diri adalah sianosis, kongesti dan oedema, tetap cairnya darah dan perdarahan berbintik (petechial haemorraghes), (Knight, 1996).

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tanda-tanda asfiksia yang paling sering ditemukan pada kasus gantung diri.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan yaitu apa saja tanda-tanda kardinal asfiksia yang ditemukan pada kasus gantung diri yang diperiksa di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP. H.Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada bulan Januari 2007- Desember 2009.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui tanda- tanda kardinal asfiksia yang ditemukan pada kasus gantung diri yang diperiksa di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada bulan Januari 2007- Desember 2009.


(18)

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui angka kejadian gantung diri yang diperiksa di Departemen Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada bulan Januari 2007- Desember 2009.

2. Mengetahui tanda kardinal asfiksia yang paling sering ditemukan pada kasus gantung diri.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam penerapan ilmu forensik yang diperoleh semasa perkuliahan.

2. Bagi peneliti selanjutnya, dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.

3. Bagi Departemen Forensik, semoga dapat digunakan untuk membantu dalam mengidentifikasi korban gantung diri.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ASFIKSIA

2.1.1. Defenisi Asfiksia

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia (Amir, 2008).

2.1.2. Etiologi Asfiksia

Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):

1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.

2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.

3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan narkotika.

Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan (Knight, 1996 ).

2.1.3. Fisiologi

Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu: 1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)


(20)

- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.

- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau

korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.

2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)

Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.

3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)

Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.

4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)

Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas: - Ekstraseluler

Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.

- Intraselular

Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.


(21)

- Metabolik

Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

- Substrat

Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.

2.1.4. Patologi

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir, 2008), yaitu:

1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)

Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.

Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.

2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh) Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:


(22)

- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).

- Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.

- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic asphyxia).

- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

2.1.5. Stadium Pada Asfiksia

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:

1. Stadium Dispnea

Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang.

2. Stadium Kejang

Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.

3. Stadium Apnea

Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan


(23)

lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.

Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-5 menit.

2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:

a. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)

Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

b. Kongesti dan Oedema

Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).

c. Sianosis

Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang


(24)

tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

d. Tetap cairnya darah

Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia

2.1.7. Tanda Khusus Asfiksia

Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu:

a. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut. Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit mendapatkan tanda-tanda kekerasan.

b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut.

Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh. Muka korban lebih sering pucat,


(25)

karena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat terjadi proses pembendungan.

Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan darah setentang jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan dan oesophagus. Tanda-tanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang letaknya melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan tekanan tali pada leher.

Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati, kecuali bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap menjadi petunjuk yang baik.

2.1.8. Pemeriksaan Jenazah

a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):

1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.

2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.

3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.

Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.


(26)

5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s

spot.

Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu’s spot ini timbul karena permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.

b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):

1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska kematian.

2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.

3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.

4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.

5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.

6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis). 7.


(27)

2.2. ASFIKSIA MEKANIK

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997), misalnya:

a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking).

b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation), pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).

c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

2.3. MATI GANTUNG (HANGING) 2.3.1. Defenisi

Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan gravitasi dari berat tubuh atau bagian tubuh (Knight, 1996).

2.3.2. Etiologi Kematian pada Penggantungan

Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu: a. Asfiksia

Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya berada di atas tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada leher, sehingga saluran pernafasan menjadi tersumbat.

b. Kongesti Vena

Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan pada vena jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi terhambat.

c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena

Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada kebanyakan kasus dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh penjerat yang berada di sekitar leher.


(28)

d. Iskemik Otak (anoxia)

Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam menyuplai darah ke otak, umunya pada arteri karotis dan arteri vertebralis. e. Syok Vagal

Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada refleks vaso-vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf vagus atau sinus karotid.

f. Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 2 dan 3

Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada ketinggian 1-2 m oleh berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi dari vertebra servikalis yang selanjutnya dapat menekan atau merobek spinal cord sehingga terjadi kematian yang tiba-tiba.

2.3.3. Jenis Penggantungan

a. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:

1. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai.

2. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung, misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi telungkup dan posisi lain.

b. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:

1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.

2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri


(29)

karotis dan arteri vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.

2.3.4. Tanda Post Mortem

Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau tekanan di leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan maka dijumpai tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianose dan fase akhir konvulsi lebih menonjol. Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka sering didapati tanda-tanda pembendungan dan perdarahan (ptechial) di konjungtiva bulbi, okuli dan di otak bahkan sampai ke kulit muka. Bila tekanan lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-tanda kekurangan darah di otak lebih menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan gangguan pada sentra respirasi dan berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus karotikus menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda post mortem yang minimal. Tanda- tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda gabungan (Amir, 2008). 2.3.5. Pemeriksaan Jenazah

a. Pemeriksaan Luar

Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,2008), yaitu:

1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat. 2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan.

Simpul terletak di bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak


(30)

begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung, berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak tersambung yang menunjukkan letak simpul.

3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik perdarahan Tardieu’s spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut, sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan sperma.

4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di bagian depan atau belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya darah.

b. Pemeriksaan Dalam

Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):

1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan

congested, demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat

Tardieu’s spot di permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer

2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain jarang

3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red


(31)

Tabel 2.1 : Cara membedakan kematian (pembunuhan atau bunuh diri)

Pembunuhan Bunuh Diri

Alat penjerat: - Simpul

- Jumlah lilitan - Arah

- Jarak titik tumpu-simpul

Biasanya simpul mati Hanya satu

Mendatar Dekat

Simpul hidup Satu atau lebih Serong ke atas Jauh

Korban: - Jejas jerat

- Luka perlawanan - Luka-luka lain - Jarak dari lantai

Berjalan mendatar +

Ada, sering di daerah leher

Jauh

Meninggi ke arah simpul -

Biasanya tidak ada, mungkin terdapat luka percobaan lain

Dekat, dapat tidak tergantung

TKP: - Lokasi - Kondisi - Pakaian

Bervariasi Tidak teratur Tidak teratur, robek

Tersembunyi Teratur Rapi dan baik

Alat: Dari si pembunuh Berasal dari yang ada di TKP

Surat peninggalan: - +

Ruangan: Tak teratur, terkunci dari luar

Terkunci dari dalam


(32)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka konsep tanda-tanda kardinal pada kasus gantung diri 3.2. Variabel dan Defenisi Operasional

Tanda kardinal adalah sesuatu yang sangat fundamental atau penting yang merupakan ciri khas, dimana apabila tidak terdapat tanda-tanda tersebut, maka tidak dapat di simpulkan bahwa ini menunjukkan tanda dari suatu hal.

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.

Adapun yang termasuk dalam tanda-tanda kardinal tersebut adalah:

a. Sianosis adalah warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2.

b. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ-organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung (kongesti), terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan Tanda kardinal asfiksia:

- Sianosis

- Kongesti dan oedema - Tetap cairnya darah - Perdarahan berbintik

(ptechial hemorrhages)


(33)

perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi edema).

c. Oedema adalah adanya cairan dalam jumlah besar yang abnormal di ruang jaringan interselular tubuh, biasanya menunjukkan jumlah yang nyata dalam jaringan subkutis.

d. Tetap cairnya darah karena peningkatan fibrinoliis paska kematian

e. Perdarahan berbintik (ptekie hemorrages) adalah bintik-bintik perdarahan atau

ptechia pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum,

konjungtiva, timus dan kadang-kadang di bawah kulit. Juga dapat terlihat dalam selaput otak, mukosa laring dan faring jarang pada mesentrium atau intestinum.

Ptekie di sebabkan oleh adanya peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar.

Gantung diri adalah merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan gravitasi dari berat tubuh atau bagian tubuh.


(34)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan desain studi

cross-sectional untuk mengetahui tanda- tanda kardinal asfiksia yang ditemukan pada

kasus gantung diri yang diperiksa di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP. H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada bulan Januari 2007- Desember 2009.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP. H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan. Adapun pertimbangan memilih lokasi tersebut dengan alasan karena kedua rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan dari pihak kepolisian untuk melakukan autopsi apabila terdapat kasus di bagian forensik.

Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 12 Juli sampai 22 Juli 2010, dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi adalah seluruh korban gantung diri yang diperiksa di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP. H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada bulan Januari 2007- Desember 2009.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh populasi, yaitu korban yang mengalami asfiksia mekanik akibat gantung diri yang diperiksa di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP. H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada bulan Januari 2007- Desember 2009 (total sampling).


(35)

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah consecutive sampling (non-probability sampling), dimana akan dilakukan pengambilan sampel berdasarkan kriteria yang dibutuhkan berdasarkan hasil visum.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh dengan melihat visum et repertum korban yang mengalami asfiksia akibat gantung diri yang dilaporkan di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP. H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada bulan Januari 2007- Desember 2009.

Semua visum korban gantung diri dikumpulkan dan dilakukan pencatatan/ tabulasi sesuai dengan jenis variabel yang akan diteliti.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS (Statistical Package for the Social Science) dan kemudian di analisa secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi dan dilakukan pembahasan sesuai dengan pustaka yang ada.


(36)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5. 1. Deskripsi Lokasi Penelitian

5.1.1. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Penelitian ini berlangsung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik yang beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes /SK/IX/1991 RSUP H. Adam Malik juga sebagai pusat rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. Penelitian ini dilakukan di sub bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

5.1.2. Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan

Penelitian ini telah dilakukan sejak tanggal 12 Juli sampai dengan. 22 Juli 2010 di RSUD. Dr. Pirngadi Medan pada Bidang Pengolahan Data dan Rekam Medis. Lokasi RSUD. Dr. Pirngadi berada di pusat Kota Medan yakni bangunan lama menghadap Jalan Prof. HM. Yamin SH sedangkan bangunan baru menghadap Jalan Perintis Kemerdekaan.

RSUD. Dr. Pirngadi Medan didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan nama Gemente Zieken Huis. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Maria Constantia Macky pada tanggal 11 Agustus 1928 dan diresmikan pada tahun 1930. Sejak berdirinya FK USU tanggal 20 Agustus 1952, maka RSUD. Dr. Pirngadi Medan secara otomatis dipakai sebagai tempat kepaniteraan klinik para mahasiswa FK USU, walaupun penandatanganan perjanjian kerjasama antara FK USU dengan RSUD. Dr. Pirngadi Medan sebagai Teaching Hospital (RS Pendidikan) FK USU baru dilaksanakan pada tanggal 20 Mei 1968.


(37)

RSUD. Dr. Pirngadi Medan termasuk rumah sakit Tipe A yang berarti memiliki fasilitas yang lengkap dokter – dokter spesialis dan tenaga kesehatan yang terampil.

5.2. Deskripsi Karakteristik sampel

Jumlah kasus yang tercatat di Depatemen Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan pada Januari 2007- Desember 2009 adalah 27 kasus. Dari 27 kasus tersebut, semuanya digunakan sebagai sampel karena sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

5.2.1 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

Jumlah sampel laki-laki adalah 19 ( 70.4 % ) kasus, sedangkan jumlah sampel perempuan adalah 8 ( 29.6 % ) kasus.

No Jenis

Kelamin

Jumlah % Jumlah

1 Laki-Laki 19 70.4

2 Perempuan 8 29.6


(38)

5.2.2 Distribusi sampel berdasarkan umur

Tabel 5.2. Distribusi berdasarkan kelompok umur

Berdasarkan tabel diatas, mayoritas orang yang melakukan gantung diri yang diperiksa di Departemen Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik/ RSUD Pirngadi Medan adalah yang berumur 24-49 tahun yaitu 11 (40.7 %) kasus kemudian yang berumur <23 tahun yaitu 9 (33.3 %) kasus dan diatas 50 tahun yaitu 5 (18.5 %) kasus. Selain itu terdapat 2 (7.4 %) kasus yang identitasnya tidak tercantum.

No Umur Jumlah % Jumlah

1 < 23 Tahun - Laki-laki - Perempuan

9 3 6 33.3 2 3 4

24-49 Tahun - Laki- laki - Perempuan > 50 Tahun - Laki-laki - Perempuan Tidak tercantum 11 10 1 5 5 0 2 40.7 18.5 7.4


(39)

5. 3. Hasil analisa data

Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Tanda Kardinal Asfiksia

Tanda Kardinal Jumlah % Jumlah

Tardieus spot 20 74.1

Kongesti Oedema Sianosis Tetap cair darah

1 0 23

3

3.7 0 85.2 11.1

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa tanda kardinal asfiksia yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah tardieu’s spot (74,1 %) dan sianosis (85,2 %).

5.4. Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan di Departemen Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanda kardinal asfiksia apa saja yang terdapat pada kasus gantung diri dan yang paling sering ditemukan. Dari penelitian, didapatkan 27 hasil visum yang telah dilakukan pemeriksaan dalam dan luar, yang terdiri dari 19 laki-laki dan 8 perempuan.

Setelah dilakukan analisa data, pada tabel 5.1 diketahui bahwa berdasarkan jenis kelamin, laki-laki adalah kelompok yang paling banyak melakukan bunuh diri yaitu 19 (70,4%) kasus, sedangkan pada perempuan hanya 8 (29,6%) kasus. Hal ini sama seperti data yang disebutkan pada penelitian Meel (2006), angka bunuh diri paling banyak terdapat pada laki-laki yaitu sebanyak 86,4 %.

Pada tabel 5.2, ditemukan bahwa kelompok umur yang terbanyak melakukan gantung diri adalah pada rentang usia 24-49 tahun, dimana jumlahnya mencapai 11 (40,7 %) kasus, sedangkan paling sedikit terdapat pada umur > 50 tahun yaitu sebanyak 5 (18,5%) kasus. Hal ini bisa disebabkan karena persoalan ekonomi


(40)

(kemiskinan) ataupun faktor psikologi yang mendorong orang bunuh diri seperti dukungan sosial kurang, baru kehilangan pekerjaan dan sebagainya. Sementara pada Meel (2006) terdapat perbedaan rentang usia, yaitu terbanyak pada usia 22-29 tahun dan paling sedikit pada usia diatas 70 tahun.

Pada tabel 5.3, dapat dilihat bahwa tanda kardinal asfiksia yang paling banyak terdapat pada penelitian ini adalah tardieu’s spot (74,1%) dan sianosis (85,2%). Kedua tanda ini dapat dapat ditemukan secara langsung hanya dengan melakukan pemeriksaan luar. Kongesti juga dapat ditemukan pada pemeriksaan luar, misalnya terdapat pada wajah, bibir dan lidah. Pada penelitian ini, tanda kongesti, oedema dan tetap cairnya darah kebanyakan tidak ditemukan.

Pada pemeriksaan tardieu’s spot, terdapat 20 (74,1%) kasus yang memiliki tanda tersebut, sedangkan pada 7 (25,9%) kasus. Tanda tersebut paling banyak terdapat pada kelopak mata, kemudian telinga dan dibawah kulit dahi. Sesuai dengan teori (Knight,1996), dimana dinyatakan bahwa Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak (Amir, 2007). Tetapi pada lokasi ini, Tardieus spot hanya bisa ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan dalam. Tanda ini juga bisa tidak ditemukan apabila penjerat yang digunakan kecil dan keras yang menyebabkan terjadinya hambatan total vena sehingga tidak terdapat tardieus spot pada kulit maupun konjungtiva (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997) .

Pada kongesti, terdapat 1 (3,7 %) kasus yang memiliki tanda tersebut yang terdapat dibagian wajah , sedangkan pada 26 (96,3 %) kasus tidak terdapat tanda tersebut dikarenakan tidak ditemukannya tanda tersebut pada pemeriksaan. Sama seperti yang disebutkan pada Knight (1996), ketika terjadi penekanan pada leher, wajah, bibir dan lidah akan menjadi bengkak dan tampak lebih gelap bersamaan dengan timbulnya sianosis. Organ bagian dalam juga bisa mengalami kongesti dan


(41)

pada kasus gantung diri tanda ini paling banyak terdapat pada lidah, faring dan laring dibagian terjadinya obsruksi vena.

Tanda oedema tidak ditemukan pada 1 kasus pun. Oedema merupakan hasil perpindahan yang cepat melalui kapiler dan dinding vena, terutama fungsi tekanan balik dalam sistem vena. Hipoksia pada endothelium pembuluh darah diduga menjadi penyebab peningkatan permeabilitas, tapi secara umum pada hipoksia yang disebabkan oleh penyebab kematian yang lain tidak akan menyebabkan terjadinya pembengkakan seperti yang terlihat pada kasus gantung diri (Knight, 1996).

Tanda sianosis, ditemukan pada 23 (85,2%) kasus, sedangkan pada 4 (14,8%) kasus lagi tidak ditemukan. Sianosis paling banyak terlihat pada kuku jari tangan dan kuku jari kaki. Warna dari darah tergantung kuantitas absolut dari oxyhaemoglobin dan penurunan haemoglobin dalam eritrosit. Warna normal kulit akan berubah menjadi ungu atau biru ketika kadar oksigen berkurang (Knight, 1996).

Tanda tetap cairnya darah hanya terdapat pada 3 (11,1%) kasus. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia (Knight, 1996).


(42)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah:

a) Tanda kardinal asfiksia yang paling banyak ditemukan adalah tardieu‘s spot (74,1 %) dan sianosis (85,2 %). Tanda yang lain memiliki persentase yang sedikit karena pada kebanyakan hasil visum tidak ditemukan.

b) Sebagian besar hasil visum (70,4%) menunjukkan bahwa laki-laki adalah kelompok yang paling banyak melakukan bunuh diri.

c) Kelompok umur yang paling banyak melakukan gantung diri adalah pada rentang 22-49 tahun, yaitu sebanyak 11 (40,7 %) kasus dan paling sedikit pada usia diatas 50 tahun, yaitu sebanyak 5 (18,5%) kasus.

6.2. Saran

a) Pada pemerintah daerah, diharapkan dapat memberikan bantuan sehingga lebih dapat memudahkan dalam melakukan proses autopsi.

b) Bagi petugas Kedokteran Forensik, agar dapat meningkatkan kinerja dalam mendata, menyusun serta menyimpan berkas visum et repertum, sehingga dapat mempermudah dalam pencarian data.

c) Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui hal apa yang menyebabkan laki-laki lebih banyak melakukan bunuh diri dibandingkan perempuan.

d) Bagi masyarakat, agar lebih mengetahui pentingnya dilakukan autopsi untuk keperluan identifikasi dan laporan bagi penyidik.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A., 2007. Korban Kematian Asfiksia. In: Amir, A., 2nd ed. Autopsi

Medikolegal. Medan: Ramadhan, 43-44.

Amir, A. 2008. Sebab Kematian. In: Amir, A., 2nd ed. Rangkaian Ilmu Kedokteran

Forensik. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

120-125.

Amir, A., 2008. Asfiksia Mekanik. In: Amir, A., 2nd ed. Rangkaian Ilmu Kedokteran

Forensik. Medan: Fakulatas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

129-133.

Bagian Kedokteran Forensik. 1997. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. In: Ilmu

Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

55-64.

Knight, B., 1996. Forensic Pathology. 2nd ed. New York: Oxford University Press, Inc, 347-351.

Mason, J. K., 1983. Forensic Medicine for Lawyers. 2nd ed: ELBS, 131-134.

Meel, BI., 2006. Epidemiology of Suicide by Hanging in Transkei, South Africa. Am J Forensic Med Pathol 27; 75-78

Modi, J. P., 1988. Death from Asphyxia. In: Modi, J. P., 21st ed. Medical

Jurispudence and Toxicology. Bombay: Tripathi, 188-195.

Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Edisi

ke-3. Jakarta: Sagung Seto.

Spitz, W.U., 1977. Asphyxia. In: Fisher, R. U., ed. Medicolegal Investigation of

Death Guidlines for the Aplication of Pathology to Crime Investigation.


(44)

William, D. J., Ansford, A. J., Priday, D.S., Forest, A. S.,1998. Forensic Pathology: Churchill Livingstone, 73-75.


(1)

5. 3. Hasil analisa data

Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Tanda Kardinal Asfiksia

Tanda Kardinal Jumlah % Jumlah

Tardieus spot 20 74.1

Kongesti Oedema Sianosis Tetap cair darah

1 0 23 3 3.7 0 85.2 11.1

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa tanda kardinal asfiksia yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah tardieu’s spot (74,1 %) dan sianosis (85,2 %).

5.4. Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan di Departemen Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanda kardinal asfiksia apa saja yang terdapat pada kasus gantung diri dan yang paling sering ditemukan. Dari penelitian, didapatkan 27 hasil visum yang telah dilakukan pemeriksaan dalam dan luar, yang terdiri dari 19 laki-laki dan 8 perempuan.

Setelah dilakukan analisa data, pada tabel 5.1 diketahui bahwa berdasarkan jenis kelamin, laki-laki adalah kelompok yang paling banyak melakukan bunuh diri yaitu 19 (70,4%) kasus, sedangkan pada perempuan hanya 8 (29,6%) kasus. Hal ini sama seperti data yang disebutkan pada penelitian Meel (2006), angka bunuh diri paling banyak terdapat pada laki-laki yaitu sebanyak 86,4 %.

Pada tabel 5.2, ditemukan bahwa kelompok umur yang terbanyak melakukan gantung diri adalah pada rentang usia 24-49 tahun, dimana jumlahnya mencapai 11 (40,7 %) kasus, sedangkan paling sedikit terdapat pada umur > 50 tahun yaitu sebanyak 5 (18,5%) kasus. Hal ini bisa disebabkan karena persoalan ekonomi


(2)

(kemiskinan) ataupun faktor psikologi yang mendorong orang bunuh diri seperti dukungan sosial kurang, baru kehilangan pekerjaan dan sebagainya. Sementara pada Meel (2006) terdapat perbedaan rentang usia, yaitu terbanyak pada usia 22-29 tahun dan paling sedikit pada usia diatas 70 tahun.

Pada tabel 5.3, dapat dilihat bahwa tanda kardinal asfiksia yang paling banyak terdapat pada penelitian ini adalah tardieu’s spot (74,1%) dan sianosis (85,2%). Kedua tanda ini dapat dapat ditemukan secara langsung hanya dengan melakukan pemeriksaan luar. Kongesti juga dapat ditemukan pada pemeriksaan luar, misalnya terdapat pada wajah, bibir dan lidah. Pada penelitian ini, tanda kongesti, oedema dan tetap cairnya darah kebanyakan tidak ditemukan.

Pada pemeriksaan tardieu’s spot, terdapat 20 (74,1%) kasus yang memiliki tanda tersebut, sedangkan pada 7 (25,9%) kasus. Tanda tersebut paling banyak terdapat pada kelopak mata, kemudian telinga dan dibawah kulit dahi. Sesuai dengan teori (Knight,1996), dimana dinyatakan bahwa Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak (Amir, 2007). Tetapi pada lokasi ini, Tardieus spot hanya bisa ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan dalam. Tanda ini juga bisa tidak ditemukan apabila penjerat yang digunakan kecil dan keras yang menyebabkan terjadinya hambatan total vena sehingga tidak terdapat tardieus spot pada kulit maupun konjungtiva (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997) .

Pada kongesti, terdapat 1 (3,7 %) kasus yang memiliki tanda tersebut yang terdapat dibagian wajah , sedangkan pada 26 (96,3 %) kasus tidak terdapat tanda tersebut dikarenakan tidak ditemukannya tanda tersebut pada pemeriksaan. Sama seperti yang disebutkan pada Knight (1996), ketika terjadi penekanan pada leher, wajah, bibir dan lidah akan menjadi bengkak dan tampak lebih gelap bersamaan


(3)

pada kasus gantung diri tanda ini paling banyak terdapat pada lidah, faring dan laring dibagian terjadinya obsruksi vena.

Tanda oedema tidak ditemukan pada 1 kasus pun. Oedema merupakan hasil perpindahan yang cepat melalui kapiler dan dinding vena, terutama fungsi tekanan balik dalam sistem vena. Hipoksia pada endothelium pembuluh darah diduga menjadi penyebab peningkatan permeabilitas, tapi secara umum pada hipoksia yang disebabkan oleh penyebab kematian yang lain tidak akan menyebabkan terjadinya pembengkakan seperti yang terlihat pada kasus gantung diri (Knight, 1996).

Tanda sianosis, ditemukan pada 23 (85,2%) kasus, sedangkan pada 4 (14,8%) kasus lagi tidak ditemukan. Sianosis paling banyak terlihat pada kuku jari tangan dan kuku jari kaki. Warna dari darah tergantung kuantitas absolut dari oxyhaemoglobin dan penurunan haemoglobin dalam eritrosit. Warna normal kulit akan berubah menjadi ungu atau biru ketika kadar oksigen berkurang (Knight, 1996).

Tanda tetap cairnya darah hanya terdapat pada 3 (11,1%) kasus. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia (Knight, 1996).


(4)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah:

a) Tanda kardinal asfiksia yang paling banyak ditemukan adalah tardieu‘s spot (74,1 %) dan sianosis (85,2 %). Tanda yang lain memiliki persentase yang sedikit karena pada kebanyakan hasil visum tidak ditemukan.

b) Sebagian besar hasil visum (70,4%) menunjukkan bahwa laki-laki adalah kelompok yang paling banyak melakukan bunuh diri.

c) Kelompok umur yang paling banyak melakukan gantung diri adalah pada rentang 22-49 tahun, yaitu sebanyak 11 (40,7 %) kasus dan paling sedikit pada usia diatas 50 tahun, yaitu sebanyak 5 (18,5%) kasus.

6.2. Saran

a) Pada pemerintah daerah, diharapkan dapat memberikan bantuan sehingga lebih dapat memudahkan dalam melakukan proses autopsi.

b) Bagi petugas Kedokteran Forensik, agar dapat meningkatkan kinerja dalam mendata, menyusun serta menyimpan berkas visum et repertum, sehingga dapat mempermudah dalam pencarian data.

c) Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui hal apa yang menyebabkan laki-laki lebih banyak melakukan bunuh diri dibandingkan perempuan.

d) Bagi masyarakat, agar lebih mengetahui pentingnya dilakukan autopsi untuk keperluan identifikasi dan laporan bagi penyidik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A., 2007. Korban Kematian Asfiksia. In: Amir, A., 2nd ed. Autopsi Medikolegal. Medan: Ramadhan, 43-44.

Amir, A. 2008. Sebab Kematian. In: Amir, A., 2nd ed. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 120-125.

Amir, A., 2008. Asfiksia Mekanik. In: Amir, A., 2nd ed. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Fakulatas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 129-133.

Bagian Kedokteran Forensik. 1997. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. In: Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 55-64.

Knight, B., 1996. Forensic Pathology. 2nd ed. New York: Oxford University Press, Inc, 347-351.

Mason, J. K., 1983. Forensic Medicine for Lawyers. 2nd ed: ELBS, 131-134.

Meel, BI., 2006. Epidemiology of Suicide by Hanging in Transkei, South Africa. Am J Forensic Med Pathol 27; 75-78

Modi, J. P., 1988. Death from Asphyxia. In: Modi, J. P., 21st ed. Medical Jurispudence and Toxicology. Bombay: Tripathi, 188-195.

Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto.

Spitz, W.U., 1977. Asphyxia. In: Fisher, R. U., ed. Medicolegal Investigation of Death Guidlines for the Aplication of Pathology to Crime Investigation. USA: Charles C. Thomas, 270-277.


(6)

William, D. J., Ansford, A. J., Priday, D.S., Forest, A. S.,1998. Forensic Pathology: Churchill Livingstone, 73-75.