PENGARUH TUMPANGSARI SELADA (Lactuca sativa) DAN SAWI (Brassica juncea) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA KULTIVAR GLADIOL (Gladiolus hybridus L.)

(1)

ABSTRAK

PENGARUH TUMPANGSARI SELADA (Lactuca sativa) DAN SAWI (Brassica juncea) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA KULTIVAR

GLADIOL (Gladiolus hybridus L.) Oleh

Dewansyah Sabtaki

Gladiol merupakan salah satu bunga potong yang memiliki nilai komersial cukup tinggi dan banyak diusahakan petani di dataran tinggi. Dalam mewujudkan pertanian yang tangguh,maju, dan efisien, sumber daya lahan yang tersedia harus dimanfaatkan secara optimal. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam suatu areal lahan, hendaknya diupayakan lebih dari satu jenis tanaman dengan sistem pola tanam yang memberikan sinergisme satu dengan yang lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh jenis tumpangsari pada pertumbuhan dan produksi dua kultivar gladiol, (2) mengetahui respon masing-masing kultivar terhadap jenis tumpangsari, (3) mengetahui interaksi antara tumpangsari sayuran dengan kultivar gladiol. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Gunung Terang, Bandar Lampung pada bulan

Desember 2011 − Mei 2012. Penelitian ini disusun dengan menggunakan rancangan perlakuan faktorial 2x4, yang ditata dalam rancangan petak terbagi (split–plot design) yang diluluh dalam rancangan acak kelompok (RAK). Taraf faktor sayuran ditempatkan pada petak utama yaitu sayuran selada (S1), sayuran sawi (S2), sayuran campuran (S3), dan tanpa sayuran (S4). Kultivar


(2)

umbi gladiol yaitu kultivar Holand Putih (VW) dan kultivar Holand Pink (VP) ditempatkan pada petak anak. Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlett, aditivitas data diuji dengan uji Tukey, dan analisis data dilakukan dengan analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penanaman gladiol dengan tumpangsari jenis sayuran tidak mempengaruhi variabel-variabel pada fase vegetatif, generatif dan produksi, (2) Kultivar Holland Pink menghasilkan variabel tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah floret, diameter subang dan bobot subang yang lebih besar dibandingkan Holland Putih. Sedangkan untuk jumlah kormel, Holland Putih menghasilkan jumlah yang lebih banyak daripada Holland Pink, (3) Penanaman gladiol menggunakan sayuran campuran dengan kultivar Holland Pink

menghasilkan panjang tangkai yang tertinggi yaitu 98,38 cm.


(3)

PENGARUH TUMPANGSARI SELADA (Lactuca sativa) DAN SAWI (Brassica juncea) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI

DUA KULTIVAR GLADIOL (Gladiolus hybridus L.) (Skripsi)

Oleh

Dewansyah Sabtaki

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG


(4)

PENGARUH TUMPANGSARI SELADA (Lactuca sativa) DAN SAWI (Brassica juncea) TERHADAP PERTUMBUHAN

DAN PRODUKSI DUA KULTIVAR GLADIOL (Gladiolus hybridus L.)

Oleh

Dewansyah Sabtaki

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tampilan subang Kultivar Holland Pink dan Holland Putih. ... 22

2. Panjang tangkai dua kultivar gladiol pada masing-masing jenis tumpangsari sayuran ... 31

3. Diameter subang kultivar Holland Pink dan Holland Putih. ... 34

4. Jumlah kormel kultivar Holland Pink dan Holland Putih ... 36

5. Penampilan bobot kormel Holland Putih dan Holland Pink ... 38

6. Denah tata letak percobaan. ... 50


(6)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... ABSTRAK ...

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang dan masalah ... 1

1.2 Tujuan ... 4

1.3 Landasan Teori ... 4

1.4 Kerangka Pemikiran ... 7

1.5 Hipoptesis ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Morfologi Tanaman ... 11

2.1.1 Gladiol ... 11

2.1.2 Sawi ... 15

2.1.3 Selada ... 16

2.2 Tumpangsari ... 18

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1 Waktu dan tempat ... 21

3.2 Alat dan bahan ... 21

3.3 Metodelogi penelitian ... 21

3.4 Pelaksanaan penelitian... 22


(7)

3.4.2 Persiapan lahan ... 23

3.4.3 Penanaman dan pemasangan ajir ... 23

3.4.4 Pemupukan ... 24

3.4.5 Pemeliharaan ... 24

3.4.6. Panen ... 25

3.4.7 Variabel pengamatan ... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 27

4.1 Hasil penelitian ... 27

4.1.1 Jumlah daun ... 28

4.1.2 Tinggi tanaman ... 29

4.1.3 Panjang tangkai ... 30

4.1.4 Jumlah floret ... 31

4.1.5 Diameter floret ... 32

4.1.6 Diameter subang ... 33

4.1.7 Bobot subang ... 34

4.1.8 Jumlah kormel ... 35

4,1.9 Bobot kormel ... 37

4.1.10 Bobot kering brangkasan ... 38

4.1.11 Bobot segar sayuran ... 39

4.1.12 Tinggi sayuran ... 40

4.1.13 Jumlah daun sayuran ... 40

4.1.14 Lebar daun sayuran ... 41

4.1.15 Hasil analisis tanah ... 41

4.2 Pembahasan ... 43

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47


(8)

DAFTAR PUSTAKA ... 48 LAMPIRAN... 53


(9)

Dimanapun kalian berada hargailah diri sendiri, dengan itu

Maka orang lain akan menghargai kita

(Tri Dewi Andalasari)

Hidup itu seperti permainan catur, setiap langkah yang kita ambil

Diawal akan menentukan langkah kita selanjutnya


(10)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Ir. Tri Dewi Andalasari, M.Si ………….

Sekretaris : Ir. Sri Ramadiana, M.Si ………….

Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Kushendarto, M.S ………….

2. Dekan Fakultas Pertanian

Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001


(11)

Karya kecil ini ku persembahkan untuk

kedua orang tua, Papa dan Mama.

Kakak, Abang dan ayundaku Lia Mutiara Sari,

Alviansyah dan Amaida seluruh keluarga besarku


(12)

Judul Skripsi : PENGARUH TUMPANGSARI SELADA (Lactuca sativa) DAN SAWI (Brassica Junce)

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA KULTIVARGLADIOL (Gladiolus hybridus L.)

Nama Mahasiswa : Dewansyah Sabtaki Nomor Pokok Mahasiswa : 0814013116

Program Studi : Agroteknologi

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Ir. Tri Dewi Andalasari, M.Si Ir. Sri Ramadiana, M.Si NIP 196601081990102001 NIP 196912051994032002

2. Ketua/ Sekretaris Jurusan Studi Agroteknologi

Prof. Dr.Ir. Sri Yusnaini, M.Sc NIP 196305081988112001


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Muara Enim pada tanggal 21 Agustus 1990 sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Sabtaki dan Soraya.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2002 di Sekolah Dasar Negeri 113 Sukarami, Palembang. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 40 Palembang yang diselesaikan pada tahun 2005 , kemudian melanjutkan pendidikan ke SMAN 13 Palembang yang diselesaikan pada tahun 2008. Penulis meneruskan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Lampung dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan organisasi di

lingkungan Universitas Lampung. Pada tahun 2008, penulis mengikuti Kemah Bakti Sosial Mahasiswa (KBSM) di Natar, Lampung Sselatan. Pada tahun 2009, penulis pernah menjadi anggota bidang penelitian dan pengembangan Perma AGT.

Kemudian pada tahun 2011, penulis menjadi Sekretaris Bidang External Perma AGT. Sebelumnya pada tahun 2010 penulis menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Peduli Lingkungan (GMPL).


(14)

Penulis pernah menjadi asisten dosen matakuliah Teknologi Pertanian Organik (TPO) pada tahun 2010 dan matakuliah Produksi Tanaman Buah pada tahun 2011. Pada tahun 2010, penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Balam Jaya, Tulang Bawang Barat. Pada tahun 2011, penulis mengikuti Praktek Umum (PU) di Anugrah Nursery, Way Halim, Bandar Lampung. Penulis pernah mengikuti berbagai seminar-seminar seperti Seminar “ Kukang dan permasalahannya saat ini”, Seminar

“Pelatihan PKM dan Kewirausahaan”, Seminar “ Menuju Pertanian yang Madani”, Seminar Nasional “Pengelolaan Lahan Rawa Berbasis Lingkungan” di Universitas

Sriwijaya dan berbagai seminar lainnya.

Pada tahun 2010, penulis pernah menjadi Tim Pengawas Independen (TPI) di Rumbia. Pada tahun 2012, penulis pernah menjadi tim surveyor pemekaran Lampung Tengah.


(15)

SANWACANA

Segala Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Ibu Ir. Tri Dewi Andalasari, M. Si, selaku Ketua Tim Penguji dan Pembimbing Pertama atas ide, saran, pengarahan, motivasi, bantuan, kesabaran dan kemurahan hati dalam membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian skripsi. 2. Ibu Ir. Sri Ramadiana, M. Si selaku Sekretaris Tim Penguji dan Pembimbing

Kedua atas saran, bimbingan, motivasi, bantuan dan kesabaran selama penulis menyelesaikan skripsi.

3. Bapak Ir. Kushendarto, M. S. selaku Penguji bukan Pembimbing yang telah memberikan saran, pengarahan, motivasi, dan kesabaran selama penulis menyelesaikan skripsi.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M. Sc. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan, saran, dan bantuan selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

5. Bapak Dr.Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P selaku ketua Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.


(16)

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

7. Seluruh dosen Fakultas Pertanian Khususnya Jurusan Agroteknologi yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman yang berharga selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

8. Papa dan Mama yang selalu memberikan dukungan dan do’a, kasih sayang tak terhingga, dan segala bantuan moril maupun materi untuk keberhasilan penulis. 9. KakakLia Mutia Sari, Kakak Gunawan, Abang Alviansyah dan Ayuk Amaida

yang telah memberikan kasih saying, bantuan moril dan materi untuk kelancaran studi penulis.

10.Sahabat-sahabat seperjuangan, Arif Aditya, Syamsu Ardhona, Satrio Tri

Handono, Reni Mita Sari, S.P., Panji Setyo Arizka, dan Rizki Hidayat yang telah memberikan motivasi, semangat, kebersamaan dan canda tawa selama ini.

11.Rekan satu perjuangan penelitian Nova Rina Firzayanti, S.P dan Rindang Andam Suri, S.P yang telah banyak memberikan masukan, dorongan serta motivasi. 12. Lisa Novalia yang telah memberikan motivasi, semangat, dorongan dan kasih

sayang kepada penulis dalam menyelesaikan studi.

13.Teman-teman Formatin Crew, Agroteknologi angkatan 2008, 2009, 2010, dan 2011 serta teman-teman Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini.


(17)

Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Amin.

Bandar Lampung, November 2012 Penulis,


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Gladiol merupakan tanaman bunga hias berupa tanaman semusim berbentuk herba termasuk dalam famili Iridaceae. Gladiol berasal dari bahasa latin “Gladius” yang berarti pedang kecil, seperti bentuk daunnya. Berasal dari Afrika Selatan dan menyebar di Asia sejak 2000 tahun. Tahun 1730 mulai memasuki daratan Eropa dan berkembang di Belanda. Tanaman gladiol yang termasuk subklas Monocotyledoneae, berakar serabut, dan tanaman ini membentuk pula akar kontraktil yang tumbuh pada saat pembentukan subang baru. Kelebihan dari bunga potong gladiol adalah kesegarannya dapat bertahan lama sekitar 5 - 10 hari dan dapat berbunga sepanjang waktu.

Gladiol merupakan salah satu bunga potong yang memiliki nilai komersial cukup tinggi dan banyak diusahakan petani di dataran tinggi. Volume perdagangan bunga ini sekitar 127-200 tangkai per minggu. Keadaan ini sudah bisa ditingkatkan melalui teknik budidaya yang cepat. Usaha tani gladiol merupakan usaha komersial karena sebagian besar produksinya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar atau konsumen. Berdasarkan hal tersebut, pengkajian aspek Agro Ekonomi usaha tani gladiol mencakup kegiatan produksi, konsumsi dan pemasaran. Kebanyakan usaha tani gladiol dilakukan di daerah dataran tinggi sesudah tanaman sayuran,


(19)

2

tanaman padi dan tanaman hias lainnya (Warsito dan Sutater, 1989). Produksi per hektar bunga potong gladiol di tingkat petani baru mencapai 169.189 tangkai dan produksi bibit (subang) mencapai 136.406 umbi (Ameriana, dkk, 1991). Volume permintaan dalam negeri 127.200 tangkai per minggu, terdapat kecenderungan bahwa permintaan terus meningkat. Untuk

mengimbangi permintaan konsumen, rumpang hasil produksi bunga harus ditingkatkan demikian juga mutu bunga potongnya. Sampai saat ini DKI Jakarta masih merupakan pasar bunga potong terbesar dengan volume penjualan perminggu mencapai 54.700 tangkai dibandingkan dengan kota lainnya. Hal ini sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat, pembangunan, komplek perumahan, perkotaan, dan perkembangan pariwisata (Sutater dan Asandhi, 1991).

Permintaan bunga dalam negeri cenderung meningkat sejalan dengan perkembangan pariwisata. Peningkatan permintaan konsumen tersebut semata– mata tidak saja kuantitas tetapi juga kualitas karena selera konsumen cepat berubah (Puspitasari, 2002).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2007-2009 produksi bunga gladiol per tangkai mengalami penurunan. Pada tahun 2007 produksi bunga gladiol per tangkai yakni sebesar 11.271.385 tangkai per tahun. Pada tahun 2008 produksi gladiol per tangkai mengalami penurunan yaitu 8.524.252 tangkai. Sedangkan pada tahun 2009 produksi gladiol sedikit

meningkat yakni sebesar 9.775.500 tangkai (BPS, 2011).

Berbagai jenis bunga gladiol didatangkan dari luar negeri, mulai dari jenis yang berbunga kecil kurang menarik sampai hibrida modern berbunga lebih besar yang beraneka bentuk dan

warnanya (Herlina, 1991). Menurut Rukmana (2000), bunga gladiol yang banyak disukai oleh konsumen adalah yang berwarna merah, pink, kuning, dan putih becorak serta berukuran besar.


(20)

3

Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dan waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan tanaman. Penanaman dengan cara ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis tanaman yang relatif seumur, misalnya jagung dan kacang tanah atau bisa juga pada beberapa jenis tanaman yang umurnya berbeda-beda. Untuk dapat melaksanakan pola tanam tumpangsari secara baik perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh diantaranya ketersediaan air, kesuburan tanah, sinar matahari dan hama penyakit (Warsana, 2009).

Dalam mewujudkan pertanian yang tangguh,maju, dan efisien, sumber daya lahan yang tersedia harus dimanfaatkan secara optimal. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam suatu areal lahan, hendaknya diupayakan lebih dari satu jenis tanaman dengan sistem pola tanam yang memberikan sinergisme satu dengan yang lainnya (Subhan 1988). Menurut Effendi (1976), penggunaan tanaman sela dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani, menghindarkan kegagalan bagi satu jenis tanaman, dengan menambahkan satu atau lebih jenis tanaman lain yang

mempunyai sifat yang kompatibel.

Kompetisi antartanaman selalu terjadi pada setiap pola pertanaman. Dalam pertanaman

tumpangsari akan terjadi penurunan produksi masing-masing tanaman, tetapi produksi total per satuan luas akan meningkat Menurut Moenandir (1993), penurunan produksi pada pertanaman tumpangsari terjadi kaena adanya persaingan di antara tanaman dalam memperebutkan cahaya, air, unsur hara,dan ruang tumbuh. Produktivitas lahan maksimum dapat dicapai dengan cara memilih jenis tanaman yang cocok, mengatur jarak tanam, waktu tanam, dan populasi per satuan luas (Budianto, dkk.1988).


(21)

4

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah jenis tumpangsari sayuran berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi gladiol? 2. Apakah respon masing-masing kultivar dipengaruhi oleh jenis tumpangsari sayuran? 3. Apakah terdapat interaksi antara tumpangsari sayuran dan kultivar yang menghasilkan

pertumbuhan dan produksi terbaik gladiol?

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh jenis tumpangsari pada pertumbuhan dan produksi dua kultivar gladiol.

2. Mengetahui respon masing-masing kultivar terhadap jenis tumpangsari 3. Mengetahui interaksi antara tumpangsari sayuran dengan kultivar gladiol.

1.3 Landasan Teori

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, landasan teori yang digunakan penulis sebagai berikut:

Gladiol merupakan tanaman herba yang berkembang dari tunas-tunas aksilar suatu subang. Menurut Wilfred (1980) jumlah daun gladiol berkisar 1—12 helai tumbuh saling tumpang tindih pada bagian pangkalnya. Dengan jumlah daun sedikit dan tumbuh relatif sejajar dari bawah ke atas, antar tajuk terlalu banyak. Keadaan ini dimanfaatkan oleh petani untuk menanam tanaman sayuran disela-sela tanaman gladiol. Beberapa jenis tanaman yang banyak ditumpangsarikan dengan gladiol adalah wortel, bawang daun, caisim bahkan krisan dan cabai (Sajar, 1989).


(22)

5

Tanaman gladiol memerlukan pemupukan agar tanaman tumbuh cepat dan berproduksi dengan baik. Jumlah pupuk yang diberikan sangat bervariasi tergantung pada tekstur tanah, keadaan lingkungan, curah hujan, pengairan, dan kandungan hara di dalam tanah. Pada tanah berpasir, diperlukan pemupukan lebih sering terutama pada musim penghujan. Pemupukan dilakukan dua kali (umur 20 hari dan 45 hari setelah penanaman). Suplai unsur hara diberikan pada tanaman melalui pemupukan. Pemupukan dapat berupa pupuk organik maupun pupuk anorganik. Pupuk organik padat maupun cair, merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dan alami dibandingkan dengan bahan pembenah kimia. Meskipun pupuk organik mengandung hara makro N, P, K rendah, tetapi pupuk organik mengandung hara mikro yang cukup (Deptan, 2003).

Sistem tanam tumpangsari adalah menanam beberapa jenis tanaman dalam satu lahan. Ada tiga jenis bertanam tumpangsari yakni tumpngsari campuran, tumpangsari baris dan tumpang sari pita/jalur. Pada sistem tanam tumpangsari campuran di atas lahan yang sama ditanam dua atu lebih tanaman secara bersama-sama dengan tidak memperhatikan jarak tanam. Pada sistem tanam tumpangsari baris di atas lahan yang sama ditanam dua atau lebih tanaman dengan mempertimbangkan baris-baris dan jarak tanam tertentu. Sedangkan dalam sistem tanam

tumpangsari pita/jalur di atas lahan yang sama ditanam dua atau lebih tanaman dalam jalur-jalur yang ditentukan. Sistem tumpangsari jenis terakhir ini sering disebut sebagai sistem surjan.

Pertanaman kentang pada barisan jagung yang paling rapat dalam sistem tumpangsari yang dicobakan menghasilkan bobot umbi per rumpun paling rendah di antara perlakuan jarak barisan jagung yang dicobakan. Namun antara perlakuan jarak barisan jagung 2.25 m dengan 3.0 tidak menunjukkan perbedaan pengaruh yang nyata terhadap bobot umbi per rumpun. Dengan


(23)

6

demikian pada jarak barisan jagung 2.25 m dalam sistem tumpangsari, tanaman jagung cukup tenggang terhadap naungan tanaman jagung. Pada penelitian sebelumnya (Sutater, 1985) pemberian naungan 15 persen tidak berpengaruh nyata terhadap hasil umbi tanaman kentang. Ketegangan pada derajat naungan yang ringan juga ditunjukkan oleh daun, batang (diameter dan jumlah batang per rumpun) dan tinggi tanaman.

Pengaruh tumpangsari wortel menurunkan jumlah daun gladiol secara nyata, namun tumpangsari bawang daun tidak memberikan dampak negatif. Hal ini terjadi akibat persaingan tumbuh antara gladiol dan wortel cukup berat sebab populasi wortel cukup padat dan terjadinya persaingan tumbuh dan hara antara umbi wortel dan subang gladiol cukup berat dimana populasi wortel lebih besar daripada gladiol (Sutater, 1992)

Tumpangsari antara gladiol dan dengan bawang maupun wortel berpengaruh terhadap tinggi tanaman gladiol. Pada subang utuh tumpangsari dengan bawang daun tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman gladiol, sedangkan tumpangsari wortel menurunkan tinggi tanaman gladiol secara nyata akibat persaingan tumbuh seperti pada tumpangsari dengan gladiol subang yang dibelah (Sutater, 1992).

Kesuburan tanah mutlak diperlukan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan (penyerapan hara dan air) pada satu petak lahan antar tanaman. Pada pola tanam tumpangsari sebaiknya dipilih dan dikombinasikan antara tanaman yang mempunyai perakaran relatif dalam dan tanaman yang mempunyai perakaran relatif dangkal. Sebaran sinar matahari penting, hal ini bertujuan untuk menghindari persiangan antar tanaman yang ditumpangsarikan dalam hal mendapatkan sinar matahari, perlu diperhatikan tinggi dan luas antar tajuk tanaman yang ditumpangsarikan. Tinggi dan lebar tajuk antar tanaman yang ditumpangsarikan akan


(24)

7

berpengaruh terhadap penerimaan cahaya matahari, lebih lanjut akan mempengaruhi hasil sintesa (glukosa) dan muara terakhir akan berpengaruh terhadap hasil secara keseluruhan (Warsana, 2009)

Pada penelitian Widaryanto dkk (1995) jumlah kuntum bunga juga dipengaruhi oleh perlakuan bergulma dan bebas gulma. Pada keadaan bebas gulma persaingan dapat ditekan sehingga asimilat yang dihasilkan akan digunakan secara maksimum untuk pembelahan sel. Akibatnya ukuran tandan bunga tempat tumbuhnya menjadi panjang dan memungkinkan kuntum bunga yang tumbuh juga meningkat ( Misran dan Singh. 1989)

Unsur N juga berpengaruh terhadap pembentukan daun (Rinsame,1983). Dengan adanya persaingan terhadap unsur ini maka pada gladio yang dalam keadaan bergulma akan mengalami hambtan dalam penyerpan unsur tersebut, sehingga mempengaruhi fotosintesis. Daun yang kekuranga unsur N akan mengalami kekurangan kandungan klorofil (Jumin, 1992).

1.4 Kerangka Pemikiran

Gladiol merupakan salah satu komoditas tanaman hias yang potensial untuk dibudidayakan secara meluas, karena nilai estetikanya dan mampu menunjang peningkatan pendapataan petani. Produktivitas bunga potong dan bibit gladiol ditingkat petani masih rendah, yaitu baru mencapai 169.189 tangkai dan 36.405 subang/ha. Volume pemasaran di kota-kota besar telah mencapai 127.200 tangkai per minggu , dan akhir-akhir ini permintaan bunga potong meningkat rata-rata 10 % per tahun. Untuk memenuhi permintaan pasar , produktivitas gladiol , baik sebagai bunga


(25)

8

potong maupun bibit perlu ditingkatkan melalui penyempurnaan teknik budidaya dan aspek pemasarannya.

Gladiol dapat ditanam pada sistem guludan atau tanpa guludan. Pada penanaman galdiol ini tempat penanaman ini harus terkena sinar matahari. Hal ini karena pada proses pertumbuhan tanaman gladiol membutuhkan sinar matahari yang cukup untuk proses fotosintesisnya. Apabila proses fotosintesis ini terganggu,maka akan menggangu pertumbuhan dan produksi tanaman gladiol.

Gladiol memiliki tajuk yang tidak lebar sehingga dengan hal ini sinar matahari yang jatuh ke areal pertanaman akan banyak terbuang. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka penanaman secara tumpangsari sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini karena dengan adanya sistem tumpangsari pada pertanaman gladiol, maka sinar matahari yang jatuh ke areal pertanaman dapat dimanfaatkan untuk produksi.

Penerimaan cahaya matahari ini sangat bergantung pada tinggi dan lebar jenis tanaman yang ditumpangsarikan. Penerimaan cahaya matahari pada tanaman sangat penting karena akan berpengaruh pada hasil sintesa (glukosa) dan muara terakhir akan berpengaruh terhadap hasil poduksi tanaman secara keseluruhan

Pada umur 1 bulan HST gladiol masih menggunakan umbi sebagai cadangan makanannya. Pada umur tersebut gladiol tidak menyerap unsur hara yang ada pada tanah dan menggunakan umbi sebagai makanannya. Pada saat gladiol masih menggunakan umbi sebagai cadangan makanannya maka dilakukan sistem tumpangsari dengan sayuran. Tanaman sayuran umumnya berproduksi pada umur 28-65 hari setelah tanam. Dengan penanaman sayuran di sekitar tanaman gladiol


(26)

9

diharapkan sistem tumpangsari antar gladiol dan sayuran ini dapat berproduksi secara optimal. Hal ini dikarenakan pada penanaman gladiol yang memiliki tajuk yang tidak lebar, sehingga apabila ditanam tanaman dibawahnya maka intensitas sinar matahari yang dibutuhkan akan tercukupi.

Tujuan utama sistem tumpangsari adalah untuk mempersingkat masa tanah tidak ditanami dan dapat meningkatkan produktivitas lahan serta efisiensi dalam penggunaan waktu. Keuntungan sistem tumpangsari dibandingkan monokultur yaitu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan radiasi matahari maupun hara dalam tanah, menghasilkan indeks luas daun lebih besar,

mengurangi erosi dan menekan pertumbuhan gulma,

Selain itu juga, tumpangsari ini akan mempengaruhi struktur tanah disekitar perakaran gladiol. Hal ini karena pada saat pemanenan sayuran dengan cara dicabut dapat menyebabkan merusak struktur tanah dari gladiol. Selain itu juga persaingan untuk perebutan cahaya, O2, CO2 dan

unsur hara akan mempengaruhi pertumbuhan gladiol.

Dengan dilakukan sistem tumpangsari antara Gladiol dengan selada dan sawi diharapkan selama masa tanam gladiol yang berlangsung selama 60—80 bulan, sayuran yang ditanam dapat

dilakukan 3 kali pemanenan. Dengan hal tersebut, produktivitas lahan akan meningkat karena selain memproduksi gladiol sebagai bunga potong juga akan memproduksi sawi dan selada sebagai sayuran yang dapat dijual maupun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi petani sendiri. Selain itu gladiol ditanam dari bibit yang berupa subang, sehingga pada fase awal

pertumbuhannya perakaran gladiol belum berkembang baik dan belum responsif terhadap

pemupukan. Dengan ditumpangsarikan dengan tanaman yang pertumbuhan awalnya lebih cepat, maka lahan dapat dilakukan secara efisien dan intensif. Akan tetapi selain lebih efisien dan


(27)

10

intensif dalam penggunaan lahan akan ada dampak dari sistem tumpangsari ini yang perlu diteliti lebih lanjut.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka disusun hipotesis sebagai berikut:

1. Jenis tumpangsari sayuran berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi gladiol. 2. Terdapat respon tumpangsari pada masing-masing kultivar gladiol.

3. Terdapat interksi antara tumpangsari sayuran dan kultivar yang menghasilkan pertumbuhan dan produksi terbaik bunga gladiol.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Tanaman 2.1.1 Gladiol

Sebagai ciri tanaman yang termasuk sub klas Monocotyledonae , tanaman gladiol berakar serabut. Namun tanaman gladiol juga membentuk akar kontraktil yang tumbuh pada saat pembentukan subang baru. Akar tersebut berdaging dengan diameter sekitar 0,7 cm dan berwarna putih yang berfungsi menyangga dan menmpatkan subang baru pada lapisan tanah yang tepat, sehingga bila subang induk telah mengkerut maka subang baru akan terletak pada lokasi yang lebih dalam .

Akar kontraktil mempunyai sejumlah rambut halus yang berfungsi sebagai penyerap air dan organ penyimpan sementara. Subang baru terus berkembang untuk menggantikan sibang induk yang semakin mengkerut diikuti dengan mengecilnya diameter akar kontraktil.

Subang (corm) adalah batang yang termodifikasi menjadi bulat pipih dan mengandung buku, ruas dan mata tunas. Subang terjadi dari ruas tunas terbawah yang membengkak dan

menghasilkan organ persediaan makanan yang mampu berfungsi sebagai alat reproduksi. Anak subang juga dapat berfungsi sebagai alat pembiakan vegetatif namun membutuhkan waktu lama untuk hingga saat menghasilkan bunga berukuran standar, yaitu antara dua sampai empat tahun.


(29)

12

Daun gladiol berbentuk meruncing dan memanjang ke atas dengan panjang sekitar 50-80 cm dan lebar 1-4 cm, tersusun tumpang tindih pada bagian dasar dan berjumlah 1-12 helai. Tanaman berbunga setelah mempunyai daun minimal 8 helai.

Bunga gladiol mempunyai tabung berbentuk corong yang melebar pada bagian ujungnya. Bunga terdiri dari kelopak dan mahkota yang masing-masing terdiri atas tiga helai yang tidak sama besar, dan menyempit di bagian pangkalnya. Bunga tersusun dari banyak bunga yang disebut floret berbentuk tandan dan berasal dari sumbu terminal , yang berjumlah 8-20 kuntum. Jumlah floret tergantung pada kultivar dan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti cahaya , suhu dan kelembaban. Floret berbentuk bundar , segitiga atau seperti anggrek dan penampakan petal dapat polos, mengkerut, menggelambir. menekuk keluar atau melancip [ada bagian ujung. Ukuran floret sangat bervariasi, dari yang kecil berukuran 2 cm sampai yang besar berdiameter 18 cm atau lebih. Floret tersusun satu-satu atau sejajar dan ada pula yang berpasangan..

Inisiasi bunga terjadi pada saat daun ketiga muncul dan berakhir kira-kira bersamaan dengan terbentuknya daun keenam atau daun ketujuh. Primordia bunga muncul setelah seluruh daun terbentuk, yaitu sekitar 60 hari setelah tanam. Seminggu setelah penyerbukan bakal buah

membesar dan terus berkembang menjadi buah. Buah berwarna hijau sampai kemerah-merahan tergantung kultivar, berbentuk lonjong. Biji gladiol berwarna coklat dan jika sudah tua bersayap sehingga dapat tersebar oleh angin jika terlambat dipanen. Pecahnya buah gladiol menunjukkan bahwa buah telah masak dan dapat segera dipanen. Biji gladiol tidak mengalami masa dormansi berkecambah sekitar 1 minggu setelah tanam. (Baswarsiati, 2009)

Tanaman gladiol di Indonesia banyak diusahakan di daerah dataran tinggi, khususnya daerah Sukabumi (Salabintana). Wilfret (1992), mengatakan bahwa pada umumnya gladiol tumbuh di


(30)

13

daerah dataran tinggi hingga medium dengan temperatur udara sampai 40oC. Sedang Badriah (1995), mengemukakan hingga tahun 1995 gladiol yang telah diusahakan oleh petani di Indonesia lebih dari 50 kultivar merupakan hasil introduksi yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu. Beberapa kultivar sudah beradaptasi dengan baik dan telah diuji ketahanannya terhadap penyakit Fusarium oxysporum. Dari hasil pengumpulan gladiol yang sudah umum dibudidayakan di daerah sentra produksi Sukabumi (Jawa Barat) terdapat beberapa kultivar yang memenuhi syarat komersial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai kultivar unggul, sepuluh di antaranya adalah Holland Putih, Holland Ungu, Holland Merah, Malang Merah, Malang Strip, Golden Boy, Cangkurileung, Rose Van Lima, Priscilla, dan Queen Occer. Akan tetapi sejauh ini belum diperoleh informasi yang jelas mengenai penampilan atau keragaan dari tanaman gladiol tersebut.

Kultivar gladiol yang dibudidayakan oleh petani saat ini merupakan kultivar-kultivar

introduksi dari Belanda yang sudah berlangsung puluhan tahun (Badriah, 1995) dan silangan dalam negeri. Berbagai kultivar didatangkan mulai dari yang berbunga kecil dan kurang menarik sampai dengan hibrida berbunga besar yang beraneka bentuk dan warnanya.

Bunga gladiol mempunyai bentuk, warna dan ukuran yang bervariasi tergantung pada kultivar dan lingkungan tumbuhnya (Wilfret, 1992). Dengan demikian beberapa karakter bunga gladiol diduga mempunyai penampilan yang berbeda pada karakter kualitatif maupun kuatitatif. Apabila suatu karakter tanaman mempunyai variabilitas genetik sempit maka setiap individu dalam populasi akan memiliki penampilan yang relatif seragam. Keragaman genetik yang luas dari suatu karakter akan memberikan keragaman yang luas dalam penampilan sehingga


(31)

14

mempermudah untuk melakukan proses seleksi terhadap karakter dari individu tersebut (Pinaria dkk., 1995).

Standar mutu bunga gladiol potong di Indonesia tercantum dalam standar nasional indonesia SNI 01-4479-1998. Berdasarkan panjang tangkainya, bunga gladiol dikelompokan dalam lima kelas yaitu super, panjang, medium, pendek dan mini. Klasifikasi standar mutu : (a) Kelas super : panjang tangkai > 95cm, (b) Kelas panjang : panjang tangkai 76 – 94 cm, (c) Kelas medium : panjang tangkai 61 – 75 cm, (d) Kelas pendek : panjang tangkai 51 – 60 cm dan (e) Kelas mini : panjang tangkai 30 – 50 cm.

Selain berdasarkan panjang tangkai, bunga gladiol dikelompokkan berdasarkan penampilan dan kondisi fisik lainnya sehingga terdapat bunga gladiol potong dengan mutu kelas AA, A, B dan C.

Tabel 1. Kelas mutu bunga potong gladiol berdasarkan penampilan dan kondisi fisik

Jenis Uji Kelas Mutu

AA A B C

1. Panjang tangkai (cm) >95 76–94 61–75 51–60 2. Jumlah floret per tangkai (minimum) 16 14 12 10

3. Keseragaman (%) 100 95 95 <95

4. Warna spesifik (%) 100 95 95 <95

5. Bebas hama/penyakit (%) 100 95 95 <95

6. Kelurusan tangkai lurus Lurus sedang kurang 7. Jumlah floret dari mulai mekar 1–2 1–2 2–3 2–3

8. Kerusakan mekanis (%) 0 5 10 >10


(32)

15

2.1.2 Sawi

Tanaman sawi diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta. Subdivisi : Angiospermae. Kelas : Dicotyledonae.

Ordo : Rhoeadales (Brassicales). Famili : Cruciferae (Brassicaceae). Genus : Brassica.

Spesies : Brassica Juncea.

Secara umum tanaman sawi biasanya mempunyai daun panjang, halus, tidak berbulu, dan tidak berkrop. Petani kita hanya mengenal 3 macam sawi yang biasa dibudidayakan yaitu : sawi putih (sawi jabung), sawi hijau, dan sawi huma. Sekarang ini masyarakat lebih mengenal caisim alias sawi bakso. Selain itu juga ada pula jenis sawi keriting dan sawi sawi monumen.

Caisim alias sawi bakso ada juga yang menyebutnya sawi cina., merupakan jenis sawi yang paling banyak dijajakan di pasar-pasae dewasa ini. Tangkai daunnya panjang, langsing, berwarna putih kehijauan. Daunnya lebar memanjang, tipis dan berwarna hijau. Rasanya yang renyah, segar, dengan sedikit sekali rasa pahit.

Sawi bukan tanaman asli Indonesia, menurut asalnya di Asia. Karena Indonesia mempunyai kecocokan terhadap iklim, cuaca dan tanahnya sehingga dikembangkan di Indonesia ini. Tanaman sawi dapat tumbuh baik di tempat yang berhawa panas maupun berhawa dingin, sehingga dapat diusahakan dari dataran rendah maupun dataran tinggi. Meskipun demikian pada


(33)

16

kenyataannya hasil yang diperoleh lebih baik di dataran tinggi. Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian 5 meter sampai dengan 1.200 meter di atas permukaan laut. Namun biasanya dibudidayakan pada daerah yang mempunyai ketinggian 100 meter sampai 500 meter dpl.

Tanaman sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat di tanam sepanjang tahun. Pada musim kemarau yang perlu diperhatikan adalah penyiraman secara teratur. Berhubung dalam

pertumbuhannya tanaman ini membutuhkan hawa yang sejuk. lebih cepat tumbuh apabila ditanam dalam suasana lembab. Akan tetapi tanaman ini juga tidak senang pada air yang menggenang. Dengan demikian, tanaman ini cocok bils di tanam pada akhir musim penghujan. Tanah yang cocok untuk ditanami sawi adalah tanah gembur, banyak mengandung humus, subur, serta pembuangan airnya baik. Derajat kemasaman (pH) tanah yang optimum untuk

pertumbuhannya adalah antara pH 6 sampai pH 7.

2.1.3 Selada

Tanaman selada (Lactuca sativa) termasuk jenis tanaman sayuran daun dan tergolong ke dalam tanaman semusim (berumur pendek). Tanaman tumbuh pendek dengan tinggi berkisar antara 20 cm - 40 cm atau lebih, bergantung pada tipe dan varietasnya. Tanaman selada ada yang

membentuk krop (kumpulan daun - daun yang saling merapat membentuk kepala) dan ada varietas yang tidak membentuk krop. Tinggi tanaman selada daun berkisar antara 30 cm - 40 cm dan tinggi tanaman selada kepala berkisar antara 20 cm - 30 cm.

Secara morfologi, organ - organ penting yang terdapat pada tanaman selada adalah sebagai berikut.


(34)

17

a. Daun

Daun tanaman selada memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang beragam, bergantung pada varietasnya. Misalnya, jenis selada yang membentuk krop memiliki bentuk daun bulat atau atau lonjong degan ukuran daun lebar atau besar, daunnya ada yang berwarna hijau tua, hijau terang, dan ada yang berwarna hijau agak gelap. Sedangkan jenis selada yang tidak membentuk krop, daunnya berbentuk bulat panjang, berukuran besar, bagian tepi daun bergerigi (keriting), dan daunnya ada yang berwarna hijau tua, hijau terang, dan merah. Daun selada memiliki tangkai daun lebar dan tulang - tulang daun menyirip. Tangkai daun bersifat kuat dan halus. Daun bersifat lunak dan renyah apabila dimakan, serta memiliki rasa agak manis. Daun selada umumnya memiliki ukuran panjang 20 cm - 25 cm dan lebar 15 cm atau lebih.

b. Batang

Tanaman selada memiliki batang sejati. Pada tanaman selada yang membentuk krop, batangnya sangat pendek dan hampir tidak terlihat dan terletak pada bagian dasar yang berada di dalam tanah. Sedangan selada yang tidak membentuk krop (selada daun dan selada batang) memiliki batang yang lebih panjang dan terlihat. Batang bersifat tegap, kokoh, dan kuat dengan ukuran diameter berkisar antara 5,6 cm - 7 cm (selada batang), 2 cm - 3 cm (selada daun), serta 2 cm - 3 cm (selada kepala).

c. Akar

Tanaman selada memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar serabut menempel pada batang, tumbuh menyebar, ke semua arah pada kedalaman 20 cm - 50 cm atau lebih sedangkan akar tunggangnya tumbuh lurus ke pusat bumi. Perakaran tanaman selada dapat tumbuh dan


(35)

18

berkembang dengan baik pada tanah yang subur, genbur, mudah menyerap air, dan kedalaman tanah (solum tanah) cukup dalam.

d. Buah, biji, dan bunga

Buah selada berbentuk polong. Di dalam polong berisi biji - biji yang berukuran sangat kecil. Biji tanaman selada berbentuk lonjong pipih, berbulu,agak keras, berwarna coklat, tua, serta berukuran sangat kecil, yaitu panjang 4 mm dan lebar 1mm. Biji selada merupakan biji tertutup dan berkeping dua, dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman (perkembangbiakan). Bunga tanaman selada berwarna kuning, tumbuh lebat dalam satu rangkaian. Bunga memiliki tangkai bunga yang panjang sampai data mencapai 80 cm atau lebih. Tanaman selada yang ditanam di daerah yang beriklim sedang (subtropik) mudah atau cepat berbuah.

2.2 Sistem Tumpangsari

Pola tanam tumpangsari ( Intercropping ) adalah penanaman lebih dari satu tanaman pada waktu yang bersamaan atau selama periode tanam pada satu tempat yang sama (Suryanto, 1995). Tumpangsari ditujukan untuk memanfaatkan lingkungan (hara, air dan sinar matahari) sebaik - baiknya agar diperoleh produksi maksimal (Jumin, 1991). Sistem penanaman ini dimaksudkan agar diperoleh hasil panen yang maksimal.

Tumpangsari sebagai usaha intensifikasi ruang dan waktu banyak dilakukan terutama pada pertanian berlahan sempit dan lingkungan kering/tadah hujan. Sebagai suatu sistem produksi, tumpangsari digunakan karena mampu meningkatkan efisiensi tenaga kerja, menekan serangan hama, penyakit, dan gulma, serta masih berpeluang mendapatkan hasil jika salah satu komponen tanaman gagal panen. Pemilihan pola tanam tumpangsari dalam budidaya tanaman disebabkan


(36)

19

hasil total yang diperoleh persatuan luas lahan lebih tinggi dibandingkan tanaman yang ditanam secara monokultur pada luas lahan dan tingkat pengelolaan yang sama.

Dengan demikian, pola tanam memiliki arti penting dalam sistem produksi tanaman. Melalui pengaturan pola tanam, berarti memanfaatkan dan memadukan berbagai komponen yang tersedia yang meliputi : agroklimat, tanah, tanaman, hama dan penyakit, teknik budidaya, dan sosial ekonomi. Pola tanam di daerah tropis seperti di Indonesia, biasanya disusun selama 1 tahun dengan memperhatikan curah hujan ( terutama pada daerah/lahan yang sepenuhnya tergantung dari hujan). Maka pemilihan jenis/varietas yang ditanampun perlu disesuaikan dengan

ketersediaan air ataupun curah hujan.

Tujuan utama sistem tumpangsari adalah untuk mempersingkat masa tanah tidak ditanami dan dapat meningkatkan produktivitas lahan serta efisiensi dalam penggunaan waktu. Keuntungan sistem tumpangsari dibandingkan monokultur yaitu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan radiasi matahari maupun hara dalam tanah, menghasilkan indeks luas daun lebih besar,

mengurangi erosi, menekan pertumbuhan gulma, dan meningkatkan pendapatan petani (Pudji, 1995 dalam Octaria, 2008). Menurut Thahir dan Hadmadi (1982) tujuan tumpangsari dapat memperbaiki kesuburan tanah dan adanya stabilitas biologi, serta memperbaiki keseimbangan gizi makanan rakyat petani.

Hasil salah satu tanaman yang ditumpangsarikan akan mengalami penurunan daripada hasil tanaman tersebut jika ditanam secara monokultur, tetapi karena penurunan hasil dari salah satu jenis tanaman dapat diimbangi oleh hasil dari jenis tanaman lainnya. Hasil keseluruhan jenis


(37)

20

tanaman dalam tumpangsari sering terjadi lebih tinggi daripada hasil dari masing-masing tanaman tersebut jika ditanam secara monokultur (Ridwan 1996 dalam Pujisiwanto, 2003)


(38)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan Mei 2012 di Jln. Swadaya VI kelurahan Gunung Terang, kecamatan Tanjung Karang Barat Bandar Lampung.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu : cangkul, bambu, sprayer, meteran, selang air, penggaris, jangka sorong, timbangan elektrik, gelas ukur, pinset, sarung tangan karet, dan alat tulis. Bahan yang digunakan bibit gladiol kultivar Holland Pink dan Holland Putih, bibit Sawi, bibit selada, pupuk kandang, tanah, air, insektisida, fungisida.

3.3 Metodologi penelitian

Penelitian ini disusun dengan menggunakan rancangan perlakuan faktorial 2x4, yang ditata dalam rancangan petak terbagi (split–plot design) yang diluluh dalam rancangan acak kelompok (RAK). Taraf faktor sayuran ditempatkan pada petak utama yaitu sayuran selada (S1), sayuran sawi (S2), sayuran campuran (S3), dan tanpa sayuran (S4). Kultivar umbi gladiol yaitu kultivar Holand Putih (VW) dan kultivar Holand Pink (VP) ditempatkan pada petak anak. Petak percobaan dikelompokkan berdasarkan bobot subangsebagai berikut:


(39)

22

Kultivar Holland Putih Kultivar Holland Pink

1. Kecil : 25,95—32,29 cm 1. Kecil : 25,97—34,72 cm 2. Sedang : 32,35—36,17 cm 2. Sedang : 34,55—57,2 cm 3. Besar : 36,45—44,47 cm 3. Besar : 57,6—87,8 cm

Gambar 1. Tampilan subang kultivar Holland Pink dan Holland Putih

Jarak tanam antar gladiol yaitu 20 x 20 cm. Jarak tanam masing-masing sayuran yaitu 10 cm dan jarak tanam antara sayuran dengan gladiol sebesar 15 cm.

Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlett sedangkan aditivitas ragam diuji dengan uji Tukey. Dilanjutkan dengan menggunakan analisis ragam, apabila menunjukkan perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Persiapan bahan tanam

Dua kultivar umbi gladiol yaitu kultivar Holand Putih dan Holand Pink didatangkan dari petani tanaman hias di Cipanas, Jawa Barat. Umbi gladiol tersebut mengalami masa dormansi selama 3 bulan. Kemudian umbi direndam larutan fungisida dan insektisida selama 10 menit. Setelah itu


(40)

23

umbi dikeringanginkan. Pada saat umbi gladiol telah muncul tunas minimal 2,5cm dan juga telah muncul akar maka umbi tersebut telah siap untuk ditanam di lapang.

Untuk sayuran sawi dan selada, bahan tanam yang yang digunakan yaitu bibit yang berumur 8-12 hari dilapang. Bibit sayuran ini diambil di petani sayuran yang ada di Bandar Lampung. Penanaman sayuran ini dilakukan tiga kali selama penanaman gladiol.

3.4.2 Persiapan lahan

Lahan yang digunakan memiliki luas 9 m x 2.5 m. Lahan tersebut dicampur dengan pupuk kandang dengan dosis 150 kg perluas lahan. Lahan tersebut kemudian dicangkul sedalam 20-30 cm dan dibuat 3 bedengan dengan ukuran 3 m x 2,5 m, kemudian setiap bedengan dibagi menjadi 4 bagian. Setiap bedengan tersebut dicangkul dengan ukuran masing-masing bedengan yaitu 1,5 m x 1,25 m.

3.4.3 Penanaman dan Pemasangan Ajir

Setiap lubang tanam ditanam 1 umbi gladiol dengan kedalaman + 5 cm. Umbi gladiol ditanam dengan masing- masing mata tunas menghadap ke arah utara. Sebelum umbi ditanam,

dilakukan pemasangan ajir. Pemasanagan ajir berfungsi untuk menopang pertumbuhan tanaman gladiol karena gladiol rentan terhadap terpaan angin yang akan mengakibatkan tanaman rebah, tangkai bunga bengkok, dan floret bunga mudah terkena percikan air dari tanah. Pemasangan ajir dilakukan sebelum penanaman untuk mengurangi risiko kerusakan pada akar dan melukai umbi dari gladiol.


(41)

24

3.4.4 Pemupukan

Pemupukan gladiol menggunakan pupuk NPK dengan cara disiram ke tanah. Pemupukan gladiol ini dengan konsentrasi 5 gr diberikan pertanaman. Konsentrasi ini untuk sekali

pemupukan gladiol. Pemupukan ini dilakukan 3 kali selama penanaman gladiol yaitu pada saat daun ke-2 dan ke-3 telah terbentuk yaitu lebih kurang satu bulan setelah subang ditanam. Pada saat itu merupakan terjadinya inisiasi bunga. Pemupkan kedua pada saat primordia bunga muncul yaitu sekitar 60 hari setelah tanam. Saat ini merupakan terbentuknya subang baru. Dan yang ketiga pada saat tanaman berumur dua minggu setelah berbunga. Saat ini merupakan pemupukan yang penting karena digunakan unutuk pembesaran subang selanjutnya dan pembentukan anak subang.

3.4.5 Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan terdiri atas penyiraman, penyiangan gulma dan penyemprotan pestisida nabati. Penyiraman dilakukan satu kali sehari untuk gladiol sedangkan untuk sayuran dilakukan dua kali sehari penyiraman. Hal ini karena sayuran lebih banyak membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Penyiangan gulma dilakukan setiap seminggu sekali dengan cara dikoret atau dengan cara dicabut menggunakan tangan. Untuk pestisida nabati dibuat dengan menggunakan bahan-bahan seperti bawang putih 2 siung, daun kirinyu atau rumput merdeka, daun alamanda dan daun sirsak masing-masing 4 tangkai, kemudian dilarutkan dalam 5 liter air dan diambil sarinya. Penyemprotan dilakukan 2 kali seminggu untuk masing-masing sayuran.

3.4.5 Panen

Tanaman gladiol berbunga pada umur 60 - 80 hari setelah tanam, tergantung pada kultivarnya. Bunga pertama akan mekar sekitar 10 hari setelah primordia bunga muncul. Pemanenan


(42)

25

dilakukan pada saat floret terbawah sudah menampakkan warnanya, tetapi belum mekar penuh. Pemanenan dilakukan pagi hari dan secara hati-hati dengan menyertakan 2-3 daun pada tangkai bunga dan menyisakan daun-daun pada tanaman sebanyak mungkin minimum 4 daun.

Pemotongan tangkai bunga dengan pisau tajam dan bersih.

Untuk pemanenan sayuran dilakukan pada saat 20-25 hari setelah pindah tanam. Pemanenan ini dilakukan pada pagi hari untuk mengurangi penguapan atau susut bobot segar dari sayuran. Pemanenan dilakukan pada masing-masing perlakuan dan di panen tiga kali selama penanaman gladiol.

3.4.6 Variabel Pengamatan

Pada penelitian ini, variabel pengamatan yang diamati antara lain:

1. Jumlah daun (helai). Pengamatan jumlah daun dilakukan dengan menghitung banyaknya daun yang muncul dimulai dari daun ketiga.

2. Panjang daun (cm). Pengamatan panjang daun dilakukan dengan mengukur panjang daun mulai dari pangkal umbi sampai dengan ujung daun terpanjang.

3. Panjang tangkai (cm). Pengamatan panjang tangkai dilakukan dengan mengukur mulai dari pangkal tangkai bunga yang berada diketiak daun terakhir sampai ujung bunga terakhir yang terbentuk dalam satu floret. Pengamatan dilakukan pada saat bunga panen.

4. Jumlah floret (kuntum). Pengamatan jumlah floret dilakukan pada saat bunga dipanen. Jumlah floret yang dihitung meliputi floret yang mekar sampai floret yang masih kuncup (dalam satu tangkai bunga).

5. Diameter floret (cm). Pengamatan diameter floret dilakukan pada saat bunga mekar penuh dengan menggunakan mistar pengukur panjang dengan ketelitian 1 mm.


(43)

26

6. Diameter umbi (cm). Pengamatan diameter umbi dilakukan dengan mengukur pada masing-masing atau rata-rata umbi yang terbentuk dalam tiap tanaman.

7. Bobot umbi (gram). Pengamatan bobot umbi dilakukan dengan menimbang seluruh umbi yang terbentuk pada setiap tanaman saat panen umbi.

8. Jumlah kormel (kormel). Pengamatan jumlah kormel dilakukan dengan menghitung masing-masing atau rata-rata jumlah kormel yang terbentuk dalam setiap tanaman pada saat panen kormel.

9. Bobot kormel (gram). Pengamatan bobot anak umbi dilakukan dengan menghitung

penimbangan seluruh kormel yang terbentuk dalam setiap tanaman pada saat panen kormel. 10. Bobot kering berangkasan (gram). Pengamatan bobot kering berangkasan tanaman terdiri

atas sisa panen umbi dan bunga yang diukur dari pangkal batang tanaman dan seluruh daun. Setelah tanaman dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 70°C selama 72 jam.

11.Bobot basah sayuran (gram). Pengamatan dilakukan dengan menimbang bobot segar sayuran tiap perlakuan.

12.Tinggi sayuran (cm). Pengamatan dilakukan dengan mengukur pangkal sayuran sampai ujung daun sayuran pada masing perlakuan.

13. Lebar daun (cm). Pengamatan dilakukan dengan mengukur lebar daun dari masing-masing sayuran.

14. Jumlah daun. Pengamatan dilakukan dengan mengukur jumlah daun pada masing-masing sayuran.


(44)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penanaman gladiol dengan tumpangsari jenis sayuran tidak mempengaruhi variabel-variabel pada fase vegetatif, generatif dan produksi.

2. Kultivar Holland Pink menghasilkan variabel tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah floret, diameter subang dan bobot subang yang lebih besar dibandingkan Holland Putih. Sedangkan untuk jumlah kormel, Holland Putih menghasilkan jumlah yang lebih banyak daripada Holland Pink.

3. Penanaman gladiol menggunakan sayuran campuran dengan kultivar Holland Pink menghasilkan panjang tangkai yang tertinggi yaitu 98,38 cm.

5.2 Saran

1. Melakukan penelitian dengan tumpangsari dua jenis tanaman sayuran yang berbeda. 2. Melakukan penelitian dengan melakukan tumpangsari gladiol dengan tanaman sayuran


(45)

(46)

49

DAFTAR PUSTAKA

Andalasari, Tri Dewi. 2005. Pengaruh Ukuran Umbi Pada Pertumbuhabdan Produksi Dua Varietas Gladiol. Menuju Produk Hortikultura Indonesia Berkualitas. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Faperta IPB. Bogor. Hlm 257 – 264.

Anonim. 2011. Morfologi Galdiol. http://baswarsiati.wordpress.com/2009/05/09/mengenal gladiol/l. diakses pada 12 Desember 2011

Anonim. 2011. Morfologi sawi. http://id.wikipedia.org/wiki/sawi. diakses pada 12 Desember 2011

Ashandi, A.A. 1997. Pengaruh Tumpangsari dan Pemupukannya terhadap Pertumbuhan dan hasil Kentang. J-Hort. 7(2):653-659

Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2008. Produksi Tanaman Hias Di Indonesia Periode 2003 - 2008. Diakses tanggal 3 Desember 2011 Badriah, D.S. 1995. Botani dan Ekologi Gladiol. Dalam A. Muharam, T. Sutater,

Sjaifullah dan S. Kusumo (Eds.). Gladiol. Balai Penelitian Tanaman Hias, Jakarta. p. 3-10.

Budianto, M., Jayadi, A dan Kusmanto.1988. Pengaruh Jarak Tanam Pada Tanaman

Kacang Tanah yang Ditumpangsarikan dengan Jagung. Skripsi. Universitas Gajah Mada 2011

Department Pertanian. 2003. Pertanian Organik.

http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/buku/pedoman/pedoman non kimia.

Effendi, S.S. 1976. Pola bertanam. LP3 Bogor. 49 hlm

Herlina, D. 1991. Gladiol. Penebar Swadaya. Jakarta. 18 hlm.


(47)

50

Moenandir, J. 1993. Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 125 hlm

Pabinru, A.M. 1991. Kebijakan Pengembangan Sayuran di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sayuran. Evaluasi dan Perencanaan Penelitian sertaPengembangan Produksi dan Industri Sayuran diIndonesia. Kerjasama Badan Litbang Pertanian. AVRDC

– JSIR ATA 395:16–29.

Pujisiswanto, H. 2003. Analisis Pertumbuhan Gulma, Tanaman dan Hasil Tumpangsari Jagung Manis dengan Berbagai Populasi Tiga Varietas Kacang Hijau. Tesis. Fakultas Pertanian. UGM. 122hlm

Pujiasmanto, B.E.T dan Supriyono. 1995. Pengaruh Kerapatan dan Dosis Pupuk TSP terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Tanah serta Prtumbuhan Gulma. Fakultas UNS. Prosiding Konferensi Nasional XIII, HIGI. 236hlm, edisi 1996

Rahayu, M. 2005. Pertumbuhan Vegetatif Padi Gogo dan Beberapa Varietas Nanas dalam Sistem Tumpangsari di Lahan Kering Gunung Kidul, Yogyakarta. Biodiversitas. Vol 7 (1) Halaman: 73-76

Rinsame. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT. Bharata Karsa. Aksara. Jakarta

Rukmana, R. 2000. Gladiol: Prospek Agribisnis dan Teknik Budidaya. PT Kanisius. Yogyakarta. 76 hlm.

Sajar. 1989. Pengamatan Hama gladiol di desa Cipanas, Sindanglaya, Dipendawa dan sub Balai PenelitianHortikultura Cipanas Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Seminar Praktek Lapang Jurusan hama dan penyakit tumbuhan, IPB.

Soedarjo. M dan Wuryaningsih. 2010. Respon Beberapa Varietas Nasional Gladiol Terhadap Pemupukan N dan K. Balai Penelitian Tanaman Hias Vol.XX No. II:194 hlm.

Subhan, 1988. Pengaruh tumpangsari jagung dan kentang terhadap pertumbuhan dan hasil pada musim kemarau. Bul. Penel. Hort. 16(3):58-62.

Sutater. 1985. Pengaruh Tumpangsari Jagung dan Pemberian Mulsa terhadap Produksi Tanaman Kentang. Fakultas Pasca Sarjana IPB Bogor.

Sutater, T. 1992. Pengaruh Pembelahan Subang dan Tumpangsari Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Gladiol Kultivar Queen Occer. Laporan Penelitian Sub Balihort Cipanas

Sutater dan Ashandi. 1991. Modifikasi Lingkunganmikro pada Tanaman Kentan. Seminar Fakultas Pasca Sarjana IPB Bogor.


(48)

51

Thahir dan Hadmadi. 1982. Tumpang Gilir. CV Yasaguna. Jakarta. 92hlm.

Warsana. 2009. Introduksi teknologi Tumpangsari Jagung dan Kentang.Bul. Penel. 45(7):9-12 Widaryanto. 1995. Pengaruh Sistem Pengendalian Gulma terhadap Produksi Bunga Gladiol

Skripsi. Universitas Gajah Mada

Wijaya. 2008. Nutrisi Tanaman Sebagai Penentu Kualitas dan Resistensi Alami Tanaman. Prestasi Pustaka. Jakarta


(1)

26

6. Diameter umbi (cm). Pengamatan diameter umbi dilakukan dengan mengukur pada masing-masing atau rata-rata umbi yang terbentuk dalam tiap tanaman.

7. Bobot umbi (gram). Pengamatan bobot umbi dilakukan dengan menimbang seluruh umbi yang terbentuk pada setiap tanaman saat panen umbi.

8. Jumlah kormel (kormel). Pengamatan jumlah kormel dilakukan dengan menghitung masing-masing atau rata-rata jumlah kormel yang terbentuk dalam setiap tanaman pada saat panen kormel.

9. Bobot kormel (gram). Pengamatan bobot anak umbi dilakukan dengan menghitung

penimbangan seluruh kormel yang terbentuk dalam setiap tanaman pada saat panen kormel. 10. Bobot kering berangkasan (gram). Pengamatan bobot kering berangkasan tanaman terdiri

atas sisa panen umbi dan bunga yang diukur dari pangkal batang tanaman dan seluruh daun. Setelah tanaman dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 70°C selama 72 jam.

11.Bobot basah sayuran (gram). Pengamatan dilakukan dengan menimbang bobot segar sayuran tiap perlakuan.

12.Tinggi sayuran (cm). Pengamatan dilakukan dengan mengukur pangkal sayuran sampai ujung daun sayuran pada masing perlakuan.

13. Lebar daun (cm). Pengamatan dilakukan dengan mengukur lebar daun dari masing-masing sayuran.

14. Jumlah daun. Pengamatan dilakukan dengan mengukur jumlah daun pada masing-masing sayuran.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penanaman gladiol dengan tumpangsari jenis sayuran tidak mempengaruhi variabel-variabel pada fase vegetatif, generatif dan produksi.

2. Kultivar Holland Pink menghasilkan variabel tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah floret, diameter subang dan bobot subang yang lebih besar dibandingkan Holland Putih. Sedangkan untuk jumlah kormel, Holland Putih menghasilkan jumlah yang lebih banyak daripada Holland Pink.

3. Penanaman gladiol menggunakan sayuran campuran dengan kultivar Holland Pink menghasilkan panjang tangkai yang tertinggi yaitu 98,38 cm.

5.2 Saran

1. Melakukan penelitian dengan tumpangsari dua jenis tanaman sayuran yang berbeda. 2. Melakukan penelitian dengan melakukan tumpangsari gladiol dengan tanaman sayuran


(3)

(4)

49

DAFTAR PUSTAKA

Andalasari, Tri Dewi. 2005. Pengaruh Ukuran Umbi Pada Pertumbuhabdan Produksi Dua Varietas Gladiol. Menuju Produk Hortikultura Indonesia Berkualitas. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Faperta IPB. Bogor. Hlm 257 – 264.

Anonim. 2011. Morfologi Galdiol. http://baswarsiati.wordpress.com/2009/05/09/mengenal gladiol/l. diakses pada 12 Desember 2011

Anonim. 2011. Morfologi sawi. http://id.wikipedia.org/wiki/sawi. diakses pada 12 Desember 2011

Ashandi, A.A. 1997. Pengaruh Tumpangsari dan Pemupukannya terhadap Pertumbuhan dan hasil Kentang. J-Hort. 7(2):653-659

Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2008. Produksi Tanaman Hias Di Indonesia Periode 2003 - 2008. Diakses tanggal 3 Desember 2011 Badriah, D.S. 1995. Botani dan Ekologi Gladiol. Dalam A. Muharam, T. Sutater,

Sjaifullah dan S. Kusumo (Eds.). Gladiol. Balai Penelitian Tanaman Hias, Jakarta. p. 3-10.

Budianto, M., Jayadi, A dan Kusmanto.1988. Pengaruh Jarak Tanam Pada Tanaman

Kacang Tanah yang Ditumpangsarikan dengan Jagung. Skripsi. Universitas Gajah Mada 2011

Department Pertanian. 2003. Pertanian Organik.

http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/buku/pedoman/pedoman non kimia.

Effendi, S.S. 1976. Pola bertanam. LP3 Bogor. 49 hlm

Herlina, D. 1991. Gladiol. Penebar Swadaya. Jakarta. 18 hlm.


(5)

50

Moenandir, J. 1993. Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 125 hlm

Pabinru, A.M. 1991. Kebijakan Pengembangan Sayuran di Indonesia. Prosiding Lokakarya

Nasional Sayuran. Evaluasi dan Perencanaan Penelitian sertaPengembangan Produksi

dan Industri Sayuran diIndonesia. Kerjasama Badan Litbang Pertanian. AVRDC – JSIR ATA 395:16–29.

Pujisiswanto, H. 2003. Analisis Pertumbuhan Gulma, Tanaman dan Hasil Tumpangsari Jagung Manis dengan Berbagai Populasi Tiga Varietas Kacang Hijau. Tesis. Fakultas Pertanian. UGM. 122hlm

Pujiasmanto, B.E.T dan Supriyono. 1995. Pengaruh Kerapatan dan Dosis Pupuk TSP terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Tanah serta Prtumbuhan Gulma. Fakultas UNS. Prosiding Konferensi Nasional XIII, HIGI. 236hlm, edisi 1996

Rahayu, M. 2005. Pertumbuhan Vegetatif Padi Gogo dan Beberapa Varietas Nanas dalam Sistem Tumpangsari di Lahan Kering Gunung Kidul, Yogyakarta. Biodiversitas. Vol 7 (1) Halaman: 73-76

Rinsame. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT. Bharata Karsa. Aksara. Jakarta

Rukmana, R. 2000. Gladiol: Prospek Agribisnis dan Teknik Budidaya. PT Kanisius. Yogyakarta. 76 hlm.

Sajar. 1989. Pengamatan Hama gladiol di desa Cipanas, Sindanglaya, Dipendawa dan sub Balai PenelitianHortikultura Cipanas Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Seminar Praktek Lapang Jurusan hama dan penyakit tumbuhan, IPB.

Soedarjo. M dan Wuryaningsih. 2010. Respon Beberapa Varietas Nasional Gladiol Terhadap Pemupukan N dan K. Balai Penelitian Tanaman Hias Vol.XX No. II:194 hlm.

Subhan, 1988. Pengaruh tumpangsari jagung dan kentang terhadap pertumbuhan dan hasil pada

musim kemarau. Bul. Penel. Hort. 16(3):58-62.

Sutater. 1985. Pengaruh Tumpangsari Jagung dan Pemberian Mulsa terhadap Produksi Tanaman Kentang. Fakultas Pasca Sarjana IPB Bogor.

Sutater, T. 1992. Pengaruh Pembelahan Subang dan Tumpangsari Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Gladiol Kultivar Queen Occer. Laporan Penelitian Sub Balihort Cipanas

Sutater dan Ashandi. 1991. Modifikasi Lingkunganmikro pada Tanaman Kentan. Seminar Fakultas Pasca Sarjana IPB Bogor.


(6)

51

Thahir dan Hadmadi. 1982. Tumpang Gilir. CV Yasaguna. Jakarta. 92hlm.

Warsana. 2009. Introduksi teknologi Tumpangsari Jagung dan Kentang.Bul. Penel. 45(7):9-12 Widaryanto. 1995. Pengaruh Sistem Pengendalian Gulma terhadap Produksi Bunga Gladiol

Skripsi. Universitas Gajah Mada

Wijaya. 2008. Nutrisi Tanaman Sebagai Penentu Kualitas dan Resistensi Alami Tanaman. Prestasi Pustaka. Jakarta