The Great Gap – Sejarah Islam yang Dikaburkan.

2. Fase Penerjemahan: yang dimaksud dengan penerjemahan adalah penerjemahan literatur-literatur asing yang bersumber dari Persia, Yunani dan India. Periode ini sebenarnya sudah dimulai pada abad pertama Hijriah walaupun nantinya baru popular dua abad kedepan, pertama sekali yang mencoba untuk menerjemahkan istilahpengetahuan luar dalam Islam adalah Umar bin Khattab, pada masa kepemimpinanya Khalid bin Walid mengusulkan untuk membentuk sebuah Diwan Kantor Administrasi karena sistem tersebut pernah ia lihat di negri Syam, sumber yang lain juga menyebutkan bahwa istilah Diwan diambil dari sistem kerajaan Persia, pada saat penaklukan Persia al-Hurmuzan seorang panglima perang Persia ditawan oleh kaum muslimin dan Umar bin Khattab berkonsultasi dengannya mengenai administrasi kerajaan. Kemudian kegiatan penerjemahan terus berkembang hingga pada masa Dinasti Umawiyah yang dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan 26-86 H, dan Khalid bin Yazid 48-85 H salah seorang pangeran yang mempunyai girah keilmuan yang sangat tinggi sehingga mendanai berbagai filsuf dari Yunani, Mesir, dan Persia untuk melakukan penerjemahan dalam berbagai bidang seperti, Kimia, Kedokteran, dan Astronomi kedalam bahasa Arab, periode selanjutnya vakum karena alasan politik. Berikutnya kegiatan penerjemahan kembali hidup dan lebih aktif dari sebelumnya di masa Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh al-Makmun 167-218 H. Beliau memotivasi langsung para pemikir untuk melakukan penerjemahan dari literatur asing ke dalam bahasa Arab, pada masa ini juga berdirinya pusat kajian tertua dalam sejarah islam yang diberi nama dengan Bayt al-Hikmah guna mempermudah kegiatan penerjemahan. Dan pada saat ini banyak sekali literatur-literatur Barat yang terselamatkan karena adanya kegiatan penerjemahan sehingga mampu dibaca kembali oleh para pemikir barat. Penerjemahan juga mempunyai dampak sehingga muncul beberapa 41 tanggapan pemikir Islam terhadapnya yang dapat dibagi sebagai berikut: Pertama, kelompok yang menolak seluruh pemikiran yang bersumber dari filsafat Yunani. Mereka beranggapan bahwa warisan budaya Islam yang murni dari Alquran dan Sunah harus tetap dijaga sebagai sumber yang diterapkan dalam kehidupan, dan menerima filsafat Yunani hanya akan membingungkan umat muslim dan menggiring kepada kesesatan, representatif dari kelompok ini adalah al-Kinani, al-Farra dan al-Sarakhsi. Mereka dikenal dengan kelompok salafy atau al-Muhaddisun. Kedua, kelompok yang mencoba untuk membedakan mana yang bisa diambil manfaatnya dan dapat diterima oleh ajaran Islam dalam filsafat Yunani dan mana yang harus ditinggalkan. Perbandingan antara filsafat Yunani dan inti ajaran Islam yang mereka lakukan justru ingin membuktikan bahwa keunggulan ajaran Islam lebih terdepan daripada filsafat Yunani. Dikenal sebagai skolastik Islam, Teolog Islam atau mutakallimun, mereka adalah al-Mawardi, al- Ghazali, Fakhruddin al-Razi. Ketiga, kelompok yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan mereka sangat mendukung dalam menerjemahkan dan menyebarkan ide-ide dari filsafat Yunani. Sebagian dari mereka justru terlalu jauh dalam mengomentari karya-karya filsafat Yunani sehingga dianggap asing dalam ajaran agama Islam, kelompok ini dikenal sebagai Filsuf Islam atau Hukama’. Mereka adalah Ibnu Sina 980-1037 M, Ibnu Haisam 965-1040 M, Ibnu Tufail 1106-1185 M dan Ibnu Rushd al-Hafid 1126-1198 M. Pada periode ini Filsuf muslim menerjemahkan Oikonomia dalam bahasa Arab sebagai ‘ilmu tadbir al-manzil Ilmu Manajemen Rumah Tangga dan berbagai pembahasan falsafat Yunani seperti etika ‘Ilmu al-akhlaq dan Politik ‘Ilmu Siyasah. Penerjemahan disini tidak hanya pemindahan dari satu bahasa ke bahasa Arab akan tetapi dalam beberapa penerjemahan didapati komentar-komentar. Komentar 42 tersebut yang membuat karakter, bahwa pengetahuan asing Yunani, Persia dan India ketika dikaji oleh para pemikir Islam mereka mengkaji dengan kapasitas disiplin keilmuan Islam yang mereka miliki, sehingga ketika kita baca komentar-komentar mereka terhadap filsafat Yunani didapati pertemuan atau semacam dialog antara satu peradaban dengan peradaban yang lain. 3. Fase Penerjeman dan Transmisi: pada periode dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam dikenal dengan penerjemahan kembali dan transmisi literatur-literatur para pemikir Islam secara umum dan beberapa karya pemikir Islam yang membahas akan filsafat Yunani kedalam bahasa Latin. Kegiatan penerjemahan kembali direkam oleh sejarah pada abad ke-4 Hijriah di Bizantium ibukota konstatinopel, kemudian terus berkembang hingga pada era Renaisans Eropa yang dikenal dengan “Masa Penerjemahan”. Penerjemahan kembali ke bahasa Latin dan beberapa bahasa Eropa lainnya merupakan titik temu bahwa pemikir Islam sangat berkontribusi dalam sebuah transmisi ilmu pengetahuan ke Eropa pada saat itu. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa keharmonisan antara Islam, Kristen dan Yahudi pada saat itu juga merupakan faktor berhasilnya kegiatan penerjemahan dan transmisi ilmu pengetahuan. Walaupun penerjemahan menggunakan jasa para intelektual kaum Kristen baik pada periode awal penerjemahan dari Latin – Arab atau pada periode akhir dari Arab – Latin, akan tetapi para pemikir Islam yang memberikan kontribusi dalam menganalisa, diskusi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Karena pada kenyataan saat transmisi terjadi di era Renaisans Eropa tidak sedikit para pemikir Barat pada saat itu yang mendapat pertentangan dari pihak gereja, karena ilmu pengetahuan yang mereka dapati dari Arab-Greeco sangat bertentangan dengan dogma ajaran agama Kristen. Pada periode ini karya-karya pemikir muslim seperti Ihya ‘Ulum al-din al-ghazali di terjemahkan dan 43