38
tingkah laku atau aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran prasangka.
Identits ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan.
Hal ini dapat dilihat dari stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya Susetyo,
2002.
D. Dinamika Hubungan antara Resiliensi dengan Harga diri pada Anak
Multietnis
Anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran antara dua ras atau etnis berbeda biasanya dikenal dengan istilah anak multietnis. Anak multietnis
memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas etnisnya berdasarkan latar belakang etnis orangtuanya Shih Sanchez, 2005. Dalam
menjalani kehidupan sebagai seorang anak multietnis bukanlah hal yang mudah, banyak tantangan yang sering dihadapi, diantaranya kebingungan identitas dan
menghadapi diskriminasi. Suparlan 1984 mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis,
anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr dalam Liliweri, 2002 identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas
bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya. Memilih identitas bukanlah hal yang mudah untuk anak multietnis Batak-
Tionghoa, yang mana memilih Batak menjadi identitas diri tidak bisa dilakukan
Universitas Sumatera Utara
39
secara sembarangan, karena perkawinan orang Batak apalagi bagi perempuan Batak yang menikah dengan orang yang bukan Batak masih dianggap banyak
orang sebagai hal yang “mengusik”, “melemahkan” atau bahkan “menghilangkan”
tatanan adat warisan nenek moyang. Hal ini memberikan dampak terutama kepada anak-anaknya yang akan sulit menjalankan posisi dan peran sebagai
dalam sistem kekerabatan “dalihan na tolu” Koentjaraningrat, 2007.
Sebaliknya, memilih Tionghoa sebagai identitas sudah tentu harus memiliki kesiapan psikologis untuk menghadapi konsekuensi karena identitas ke-
Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari
stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya Susetyo, 2002.
Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat anak multietnis menjadi tertekan Coleman Carter, 2007. Pertanyaan seperti
Anda suku apa?, atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-aitem,
membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis secara tunggal. Salahuddin OBrien, 2011.
Coleman dan Carter 2007 juga mengatakan bahwa bagi individu- individu multietnis, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas
rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari keluarga, komunitas, dan konstruksi sosial. Hal ini menyebabkan anak multietnis
Universitas Sumatera Utara
40
harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur
dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka Miville, Constantine, Baysden So-Lloyd, 2005.
Selain itu anak multietnis juga kerap mengalami tindakan rasisme. Rasisme didefinisikan sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang cenderung
sistematis menolak akses suatu anggota kelompok ras ke peluang atau hak sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati peluang-
peluang atau hak istimewa tersebut Ridley 2005:29. Anak multietnis juga kerap mengalami diskriminasi karena prasangka dan
stereotye yang dimiliki oleh lingkungan sosial di sekitarnya. Prasangka adalah sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak benar tentang sekelompok
orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, usia, atau perbedaan yang nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang berprasangka menyiratkan
sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok. Generalisasi yang tidak benar yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype Lahey, 2005.
Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota
dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada penampilan fisiknya Qian, 2004. Anak yang lahir dari perkawinan beda etnis
Batak-Tionghoa akan mewarisi gen-gen orang Batak dan orang Tionghoa seperti yang dimiliki orangtuanya. Probabilitas penampilan fisik dari generasi campuran
Universitas Sumatera Utara
41
etnis Batak-Tionghoa yang muncul, kemungkinannya adalah berbeda dari keturunan Tionghoa umumnya, seperti memiliki kulit warna coklat, dan juga
berbeda dari keturunan Batak pada umumnya, seperti bermata sipit. Sejalan dengan pendapat ini, Hall 1992 menyatakan bahwa anak-anak
multietnis mencoba menggunakan warisan budaya campuran dari keluarganya untuk menentukan posisi mereka dalam masyarakat dan seringnya penentuan
identitas didasarkan pada penampakan fisiknya. Banyaknya tantangan yang dihadapi anak multietnis tentu bukan hal yang
mudah untuk dihadapi. Persoalan pemilihan identitas yang menimbulkan kebingungan sebagai tantangan dari dalam diri, dan berbagai perlakuan
diskriminasi dan persoalan stereotype sebagai tantangan dari luar diri merupakan beberapa masalah yang membutuhkan cara penanganan yang tepat. Apalagi
masalah diskriminasi dan stereotype seringkali muncul dan berkemungkinan terjadi secara berulang-ulang.
Banyaknya tantangan dan frekuensi kejadian yang berulang-ulang sering membuat anak multietnis dihadapkan dengan kenyataan yang tidak sesuai
dengan harapan. Bagi anak multietnis yang mempunyai penilaian diri yang positif maka ia akan mampu melewati hambatan-hambatan yang ada. Selain penilaian
diri yang positif, kesuksesan menghadapi tantangan juga memerlukan sikap tangguh dan tidak mudah putus asa atau resilien.
Untuk dapat menjadi individu yang resiliensi, anak multietnis Batak- Tionghoa membutuhkan dukungan dari sekitarnya. Dukungan ini berupa
Universitas Sumatera Utara
42
hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga Grotberg, 1999. Jika
mereka tidak mendapat dukungan dari sekitar mereka, hal ini dapat mempengaruhi feeling of belonging, yaitu perasaan individu dimana ia
merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya
jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Individu akan menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok
tersebut. Hal ini akan mempengaruhi harga diri mereka Felker, 1974. Menurut Coopersmith 1981 tinggi atau rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh
a Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan. Harga diri seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap penting yang berada
di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang. b Kelas Sosial dan Kesuksesan.
Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang
lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima keuntungan material
dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. c Nilai dan Inspirasi
Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman. Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung, melainkan disaring
terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang dianut oleh individu. d Cara
Universitas Sumatera Utara
43
Individu dalam Menghadapi Devaluasi. Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak
dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri mereka. Individu yang resilien juga memiliki kekuatan yang meliputi perasaan,
tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri. Mereka bangga terhadap apa
yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu mereka dalam mengatasi
kesulitan tersebut. Anak resiliensi juga memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui
interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah
dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik Grotberg, 1999.
Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka
dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk
memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik. Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya
sendiri dan orang lain. Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak
Universitas Sumatera Utara
44
waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi Grotberg, 1999.
Hal ini mempengaruhi perasaan individu bahwa ia mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil mencapai tujuan
maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku yang berhubungan
dengan kehidupannya Frey Carlock, 1987. Selain itu ketika individu tidak mengalami hambatan dan tantangan yang merugikannya, individu akan merasa
bahwa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga
diri atau self respect yang positif Frey Carlock, 1987. Coopersmith 1981 menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi
yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat
dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.
Proses menghadapi situasi-situasi yang sulit dan menyikapi hambatan- hambatan yang ada akan selalu berkembang dari satu persoalan ke persoalan
berikutnya, dari waktu ke waktu, mau tak mau memaksa anak multietnis Batak- Tionghoa untuk membangun kekuatan emosional dan psikologisnya agar tumbuh
menjadi manusia yang tangguh atau resilien. Menurut Masten 2001, resiliensi
Universitas Sumatera Utara
45
adalah pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang signifikan.
E. Hipotesa Penelitian