Pengaruh Perbandingan Gula Putih dengan Gula Merah dan Penambahan Santan terhadap Mutu Abon Jamur Tiram

TINJAUAN PUSTAKA

Jamur Tiram
Jamur tiram adalah salah satu jenis jamur kayu yang banyak tumbuh pada
media kayu, baik kayu gelondongan ataupun serbuk kayu, limbah hasil hutan,
hampir semua kayu keras, tongkol jagung dan lainnya, juga pada ilalang, sampah
tebu dan sampah sagu. Di Indonesia jamur tiram putih merupakan salah satu jenis
jamur yang banyak dibudidayakan. Bentuk yang membulat, lonjong, dan agak
melengkung serupa cangkang tiram menyebabkan jamur kayu ini disebut jamur
tiram. Jamur ini tidak beracun dan boleh dimakan, rasanya juga lezat dan
memiliki kandungan nutrisi serta protein yang tinggi dengan kandungan lemak
yang rendah (Maulana, 2005). Gambar jamur tiram dapat dilihat pada Gambar 1.
Menurut Cahyana, dkk., (2001) klasifikasi lengkap tanaman jamur tiram
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Mycetea
Divisi : Amastigomycotae
Filum : Basidiomycotae
Kelas : Hymenomycetes
Ordo : Agaricales
Famili : Pleurotaceae
Genus : Pleurotus

Spesies : Pleurotus ostreatus

5
Universitas Sumatera Utara

6

Gambar 1. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)
Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) atau yang dikenal juga dengan jamur
mutiara seperti yang terlihat pada Gambar 1 memiliki bagian tubuh yang terdiri
dari akar semu (rhizoid), tangkai (stipe), insang (lamella), dan tudung (pileus/cap)
(Suriawiria, 1993). Jamur tiram memiliki ciri-ciri fisik seperti permukaannya yang
licin dan agak berminyak ketika lembab, bagian tepinya agak bergelombang, letak
tangkai lateral agak disamping tudung dan daging buah berwarna putih. Jamur
tiram memiliki diameter tudung yang menyerupai cangkang tiram berkisar antara
5-15 cm, jamur ini dapat tumbuh pada kayu-kayu lunak dan pada ketinggian 600
meter dari permukaan laut, spesies ini tidak memerlukan intensitas cahaya tinggi
karena dapat merusak miselia jamur dan tumbuhnya buah jamur. Jamur tiram
dapat tumbuh dan berkembang dengan suhu 15 - 30 oC, pada pH 5,5 - 7 dan
kelembaban 80% - 90% (Achmad dkk., 2011).

Jamur tiram merupakan salah satu contoh jamur edible atau jamur yang
relatif aman untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan kandungan logam yang
terdapat pada jamur tiram masih berada jauh dari ambang batas yang ditentukan
oleh Fruit Product Order and Prevention of Food Adulteration Act tahun 1954.
Jamur jenis ini memiliki rasa yang lezat dan kandungan nutrisi yang lebih komplit

Universitas Sumatera Utara

7

dibanding daging ayam. Jamur tiram mudah diolah menjadi makanan siap
konsumsi seperti rendang jamur, pepes jamur, abon jamur, sate jamur, dan sup
jamur. Jamur tiram merupakan sumber protein alternatif pengganti daging yang
lebih sehat karena tidak mengandung kolesterol ataupun lemak jahat sehingga
sesuai bagi konsumen vegetarian dan penderita hiperkolesterol.

Komposisi Kimia Jamur Tiram
Jamur tiram dapat menjadi sumber protein alternatif karena memiliki
9 asam amino esensial. Kandungan protein pada jamur tiram setara dengan daging
dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan protein pada beras, gandum,

maupun susu sapi. Kandungan serat pada jamur tiram berupa lignoselulosa yang
cukup tinggi sehingga baik dikonsumsi untuk diet (Chazali dan Pratiwi, 2009).
Jamur tiram terdiri dari 72% asam lemak tidak jenuh sehingga aman dikonsumsi
penderita hiperkolesterol. Vitamin penting yang terdapat pada jamur tiram,
terutama vitamin B1 (thiamin), B2 (riboflavin), niasin, dan ergosterol yang
merupakan prekursor vitamin D (Sumarmi, 2006). Komposisi kimia jamur tiram
putih dan komposisi asam amino jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Tabel 2.
Tabel 1. Komposisi kimia jamur tiram putih per 100 gram bahan
No. Kandungan gizi
Jumlah
1
Kalori (energi)
354,1 kal
2
Protein
27,1%
3
Karbohidrat
57,6%

4
Lemak
1,7%
5
Serat
7,5%
6
Mineral
6,1%
7
Air (%bb)
73,7%
Sumber : Sumarmi, (2006).

Universitas Sumatera Utara

8

Tabel 2. Kandungan asam amino jamur tiram putih per 100 gram protein
No. Asam amino esensial

Jumlah (g)
1
Leusin
7,5
2
Isoleusin
6,6
3
Valin
7,3
4
Tryptofan
1,6
5
Lisin
6,4
6
Treonin
5,1
7

Fenilalanin
5,8
8
Metionin
3,1
9
Histidin
2,4
Total asam amino esensial
45,8
Sumber : Achmad, dkk., (2011).

Jamur juga merupakan sumber vitamin seperti tiamin, niasin, biotin (B12),
dan asam askorbat.Kandungan mineral yang terdapat dalam jamur cukup tinggi
terutama kalium, posfor, natrium, kalsium, dan besi. Kadar nilai vitamin dan
mineral yang terkandung dalam jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan vitamin dan mineral jamur tiram putih per 100 gram bahan
Vitamin
Thiamin
Niasin

Asam askorbat
Vitamin B12

Kadar (mg)
4,8
108,7
144
1,4

Mineral
Kalium
Posfor
Natrium
Kalsium
Besi

Kadar (mg)
3793
1348
837

33
15,2

Sumber : Achmad, dkk., (2011).

Abon
Abon merupakan salah satu hasil olahan bahan pangan yang memiliki cita
rasa

khas.

Pengolahan

bahan

pangan

menjadi

abon


bertujuan untuk

memperpanjang masa simpan bahan pangan yang cenderung mudah rusak serta
meningkatkan cita rasa bahan pangan. Abon dapat dikonsumsi sebagai lauk pauk
kering yang memiliki bentuk khas terbuat dari bahan baku daging maupun ikan.
Bahan nabati seperti keluwih dan jantung pisang juga dapat digunakan sebagai

Universitas Sumatera Utara

9

bahan campuran dalam pembuatan abon. Proses pembuatan abon yaitu perebusan,
pencabikan, pembumbuan, penggorengan, dan pengepresan (Fachruddin, 1997).
Komposisi gizi yang dimiliki abon cukup baik untuk dikonsumsi sebagai
makanan ringan ataupun lauk pauk. Abon juga memiliki rasa yang lezat serta
berbentuk kering sehingga lebih tahan lama saat disimpan. Pengolahan abon
cukup mudah karena menggunakan bahan baku yang mudah didapat serta
menggunakan alat-alat yang sederhana. Proses pengolahan abon juga mudah
untuk diterapkan di tingkat rumah tangga. Bahan baku pembuatan abon berupa

daging merupakan bahan utama sedangkan bahan tambahan berupa santan kelapa,
rempah-rempah (bumbu), gula, garam, dan minyak goreng, digunakan untuk
menambah cita rasa produk, mengawetkan, dan memperbaiki penampakan produk
(Fachruddin, 1997).
Abon memiliki warna cokelat keemasan yang menarik. Warna cokelat
pada abon merupakan akibat adanya penambahan gula dan penggunaan bahan
baku berupa sumber protein sehingga menyebabkan terjadinya reaksi Maillard.
Reaksi ini merupakan reaksi pencokelatan non enzimatis yang merupakan reaksi
antara protein dengan gula-gula pereduksi (Muchtadi, dkk., 1992). Aroma abon
yang khas berasal dari sejumlah bahan yang ada dalam lemak dan bersifat
menguap saat dipanaskan. Aroma abon juga dipengaruhi oleh kombinasi gula,
garam, dan bumbu yang ditambahkan pada proses pengolahan (Purnomo, 1995).
Tekstur abon dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan dan bumbu
yang ditambahkan. Abon memiliki tekstur lembut karena bahan baku yang
digunakan memiliki kadar air yang tinggi. Tekstur abon menjadi kasar akibat
bumbu yang ditambahkan pada proses pengolahan menempel pada serat daging

Universitas Sumatera Utara

10


(Alik, dkk., 2014). Rasa abon yang disukai konsumen adalah rasa gurih yang
disebabkan adanya kandungan asam-asam amino pada protein serta lemak yang
terkandung di dalam makanan (Sari, dkk., 2009). Rasa juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan
komponen rasa lainnya (Fachruddin, 1997).Adapun syarat mutu abon dapat dilihat
dalam Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Syarat mutu abon daging
No
Kriteria uji
1.
Keadaan kenampakan :
a. Bentuk
b. Bau
c. Rasa
d. Warna
2.
Air
3.
Abu (tidak termasuk garam
dihitung atas dasar bahan kering)
4.
Abu yang tidak larut dalam asam
5.
Lemak
6.
Protein
7.
Serat kasar
8.
Gula
9.
Pengawet
10.

11.
12.

Cemaran logam
a. Raksa (Hg)
b. Timbal (Pb)
c. Tembaga (Cu)
d. Seng (Zn)
e. Timah (Sn)
Cemaran arsen (As)
Cemaran mikroba
a. Angka lempeng total
b. MPN coliform
c. Salmonella
d. Staphylococcus aureus

Satuan

Persyaratan

% b/b

Normal
Normal
Normal
Normal
Maks. 7

% b/b

Maks. 7

% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
-

Maks. 0,1
Maks. 30
Min. 15
Maks. 1,0
Maks. 30
Sesuai dengan
SNI 0222-1987

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

Maks. 0,05
Maks. 2,0
Maks. 20,0
Maks. 40,0
Maks. 40,0
Maks. 1,0

koloni/g
koloni/g
koloni/25 g
koloni/g

Maks. 5 x 104
Maks. 10
Negatif
0

Sumber : BSN, (1995).

Universitas Sumatera Utara

11

Tabel 5. Standar industri Indonesia untuk abon No 0368-80,0368-85
Komponen
Nilai
Lemak
Maks 30%
Gula
Maks 30%
Protein
Maks 20%
Air
Maks 10%
Abu
Maks 9%
Aroma, warna dan rasa
Khas
Logam berbahaya (Cu, Pb, Mg, Zn,
Negatif
As)
Maks 3000/gram
Jumlah Bakteri
Negatif
Bakteri bentuk coli
Negatif
Jamur non-edible
Sumber : BSI, (1980).

Bahan yang Ditambahkan pada Pembuatan Abon Jamur Tiram
Gula
Gula merupakan istilah umum yang digunakan sebagai bahan pemanis
makanan. Selain sebagai pemanis, penggunaan gula juga berperan sebagai
pengawet

karena

mempengaruhi

aktivitas

air

pada

bahan

pangan

(Buckle, dkk., 1987). Penambahan gula pada bahan makanan dapat menyebabkan
timbulnya warna kecokelatan yang merupakan akibat dari adanya reaksi
karamelisasi. Karamelisasi merupakan reaksi pencokelatan non enzimatis yang
menunjukkan adanya reaksi akibat pemakaian suhu tinggi pada sukrosa.
Pencokelatan ini sengaja dibuat untuk menimbulkan warna, aroma, dan cita rasa
khas yang dikehendaki (Winarno, 1992).
Gula merupakan karbohidrat dan termasuk diantaranya adalah fruktosa,
glukosa, laktosa, dan sukrosa. Penggunaan gula dalam makanan memiliki peranan
penting sebagai perbaikan flavor dan pengawet (Hudaya dan Daradjat, 1982).
Dalam keseharian, gula dikenal sebagai gula pasir yang diperoleh dari tanaman
tebu atau bit. Gula pasir mengandung 94% sakarosa murni yang merupakan gula

Universitas Sumatera Utara

12

tebu atau gula bit yang telah dimurnikan atau dibersihkan. Selain memiliki rasa
yang manis, gula juga memiliki sifat higroskopis yaitu kemampuan menyerap air
dalam bahan pangan sehingga dapat berperan sebagai pengawet yang
memperpanjang umur simpan makanan (Cahyo dan Hidayati, 2006).
Gula merah adalah gula yang berwarna kekuningan atau kecokelatan dan
terbuat dari cairan nira yang dikumpulkan dari pohon kelapa, aren, tebu, atau
lontar. Gula kelapa adalah gula merah yang paling banyak ditemui dan digunakan
sebagai bahan baku pembuatan kecap manis, dodol, dan kue. Gula merah
mengandung air sebanyak 10,86%, sukrosa 76%, dan senyawa lainnya (lemak,
protein, kalium, dan posfor) sebanyak 13%. Gula merah kelapa memiliki warna
yang lebih cokelat dan lebih kotor dibanding gula aren (Depkes RI, 1992).
Gula merah yang ditambahkan dalam pembuatan abon harus memenuhi
syarat konsentrasi tertentu. Umumnya dalam 1 kg daging yang akan diolah
menjadi abon ditambahkan 50-60 g gula merah (Purnomo, 1995). Penggunaan
gula merah akan mempengaruhi cita rasa, tekstur, serta penampilan abon yang
dihasilkan. Pada proses pembuatan abon, gula dan protein akan mengalami reaksi
Maillard sehingga menimbulkan warna kecokelatan yang dapat menambah daya
tarik abon. Adapun komposisi kimia gula merah dan gula putih dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi kimia gula merah dan gula putih per 100 gram bahan
No. Sifat kimia
Gula merah
Gula putih
1. Kadar air (%)
10,86
5,99
2. Sukrosa (%)
76,00
94,00
3. Lemak (%)
10,00
0,00
4. Protein (%)
3,00
0,00
5. Total mineral (%)
0,10
0,01
6. Kalsium (mg)
76,00
5,00
7. Fosfor (mg)
37,00
1,00
8. Besi (mg)
0,10
2,60
Sumber : Depkes RI, (1992).

Universitas Sumatera Utara

13

Santan
Santan merupakan emulsi lemak dalam air yang diperoleh dari daging
kelapa segar. Santan yang diperoleh berwarna putih dan memiliki kepekatan yang
dipengaruhi oleh ketuaan kelapa dan penggunaan air yang ditambahkan. Santan
memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi sehingga dapat menambah cita rasa
produk menjadi lebih gurih dan meningkatkan nilai gizi produk yang dihasilkan.
Penambahan santan kelapa pada pembuatan abon akan menghasilkan abon yang
lebih disukai konsumen dibanding abon yang tidak ditambahkan santan
(Fachruddin, 1997).
Daging kelapa yang diparut dan kemudian diperas dengan ditambahkan
sedikit air akan menghasilkan cairan putih yang dinamakan santan. Kualitas
santan dipengaruhi oleh nutrisi daging buah kelapa. Santan memiliki kandungan
nutrisi yang cukup baik namun mudah mengalami kerusakan dan ketengikan
disebabkan kandungan lemak yang tinggi (Prihatini, 2008). Adapun komposisi
kimia santan kelapa dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi kimia santan kelapa per 200 ml bahan
No.
Komposisi
1.
Kalori (kkal)
2.
Protein (%)
3.
Lemak (%)
4.
Karbohidrat (%)
5.
Natrium (mg)
6.
Kalium (mg)
7.
Air (%)

Jumlah
264
4,2
25
5,54
15
263
54,9

Sumber : Srihari, (2010).

Bumbu
Bumbu atau rempah yang ditambahkan dalam pembuatan abon bertujuan
untuk memberi dan memperbaiki aroma dan cita rasa produk. Penggunaan bumbu

Universitas Sumatera Utara

14

atau rempah dengan komposisi yang tepat selain akan menghasilkan makanan
yang

baik

dan

enak

juga

akan

menghasilkan

makanan

yang

awet

(Yustina, dkk., 2012).
Garam atau senyawa kimia bernama NaCl yang lebih dikenal dengan
istilah garam dapur merupakan bahan yang ditambahkan pada makanan untuk
memperbaiki cita rasa dan sebagai pengawet. Penggunaan garam sebanyak 2-3%
dapat memperbaiki tekstur, warna, dan rasa. Pemberian garam dalam konsentrasi
rendah (1-3%) pada makanan tidak bersifat membunuh mikroorganisme, namun
garam dapat mempengaruhi aktivitas air dari bahan yaitu menurunkan aktivitas air
sehingga kadar air bahan menurun (Wibowo, 2009).
Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan salah satu rempah yang
ditambahkan pada makanan untuk meningkatkan aroma, cita rasa, serta daya awet
makanan. Komposisi kimia bawang putih terdiri dari 60,9-67,8% air, 3,5-7%
protein, 0,3% lemak, 24-27,4% karbohidrat, 0,7% serat, dan sejumlah kecil
vitamin dan mineral (Palungkun dan Budiarti, 1999). Bawang putih memiliki
aroma khas yang berasal dari senyawa allicin, yodium, serta sulfur yang tinggi.
Selain menyebabkan timbulnya bau khas bawang putih, senyawa allicin juga
berperan dalam mencegah atherosklerosis dan penyakit jantung karena memiliki
kemampuan membunuh bakteri dan antiinflamantori. Bawang putih juga dapat
berperan sebagai antibiotik, antioksidan, serta antifungal karena mengandung
senyawa alliin (Wirakusumah, 2000).
Bawang merah banyak digunakan sebagai bumbu penyedap makanan
karena mengandung minyak atsiri yang dapat menimbulkan aroma khas dan cita
rasa khas yang gurih. Dalam 100 g bawang merah terkandung 88 g air, 1,5 g

Universitas Sumatera Utara

15

protein, dan 0,3 g lemak (Setiawan, 2014). Aroma dan rasa khas bawang merah
berasal dari senyawa sulfenic acid, ammonia, dan pyruvate yang merupakan hasil
dari terjadinya reaksi antara senyawa S-alk(en)yl cysteine sulfoxides dengan
oksigen yang dikatalis oleh enzim allinase (Brewster, 2008).
Merica atau lada (Piper nigrum) digunakan sebagai penyedap dan
pengawet makanan. Rempah satu ini memiliki aroma dan cita rasa khas pedas dan
mengandung senyawa kimia berupa saponin, flavonoida, minyak atsiri, kavisin,
resin, amilum, dan minyak lada. Lada juga mengandung zat besi, vitamin K,
mangan, dan senyawa eteris berupa sejenis minyak yang dapat memberikan aroma
sedap dan rasa enak pada masakan. Senyawa lainnya yang terdapat dalam lada
adalah resin yang dapat memberikan aroma harum dan khas untuk digunakan
sebagai bumbu atau parfum (Yustina, dkk., 2012). Dalam 100 g lada terkandung
13 g air, 11,5 g protein, dan 6,8 g lemak (Setiawan, 2014).
Ketumbar memiliki ciri serupa lada namun berukuran lebih kecil,
memiliki warna lebih cokelat, dan memiliki rasa yang tidak pedas. Aroma
ketumbar tajam seperti lada dan berasal dari minyak atsiri yang terkandung di
dalamnya. Minyak atsiri memiliki sifat antibakteri dan antimikroba sehingga
dapat mencegah makanan dari penurunan mutu akibat aktivitas mikroba.
Ketumbar memiliki khasiat untuk mengobati pencernaan, meredakan influenza,
wasir, haid tidak lancar, sariawan, tekanan darah tinggi, dan lain-lain
(Yustina, dkk., 2012).
Kemiri merupakan salah satu rempah yang digunakan sebagai bumbu
masakan memiliki ciri berbentuk biji dengan warna putih kekuningan.
Dalam 100 g kemiri terkandung 7 g air, 19 g protein, dan 63 g lemak.

Universitas Sumatera Utara

16

Kemiri memiliki kandungan minyak yang dapat digunakan untuk memperkuat
cita rasa makanan dan juga baik untuk kesehatan (Setiawan, 2014).

Cara Pembuatan Abon
Prinsip pembuatan abon meliputi tujuh tahapan yaitu penyiangan dan
pencucian bahan, pengukusan atau perebusan, pencabikan atau penghancuran,
pencampuran bumbu, penggorengan, penirisan minyak atau pres, dan pengemasan
(Alik, dkk., 2014 dan Fachruddin, 1997). Penyiangan dan pencucian bahan
dilakukan sampai bersih untuk menghasilkan bahan yang berkualitas baik
kemudian dilanjutkan pengukusan atau perebusan yang bertujuan untuk
mempermudah proses pencabikan atau penghancuran sehingga diperoleh tekstur
serat-serat yang halus (Alik, dkk., 2014).
Bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, ketumbar,
lengkuas, kemiri, dan lada dihaluskan dan ditumis bersama dengan daun salam,
sereh, dan garam. Bumbu tersebut kemudian dicampurkan dengan bahan yang
telah disuir-suir, gula, serta santan kental, dan kemudian digoreng dengan minyak
hingga berwarna kuning kecokelatan (Alik, dkk., 2014). Penggorengan
merupakan tahap yang paling kritis sehingga harus dilakukan dengan benar. Suhu
penggorengan tidak boleh terlalu rendah ataupun terlalu tinggi karena akan
menyebabkan bahan menjadi hangus (Desrosier, 1988).
Setelah tahap penggorengan dengan minyak, abon yang dihasilkan perlu
dikurangi kadar minyaknya dengan cara penirisan maupun pres. Hal ini
dikarenakan abon merupakan produk olahan daging yang kering dan memiliki
masa simpan yang panjang. Untuk mendukung masa simpan abon yang panjang,
perlu dilakukan pengemasan agar mutu abon dapat dipertahankan, kontaminasi

Universitas Sumatera Utara

17

dapat diminimalkan, dan penanganan selanjutnya lebih mudah. Bahan pengemas
yang sesuai untuk abon adalah yang tidak tembus air dan memiliki permeabilitas
rendah sehingga abon tidak mudah teroksidasi dan tengik (Fachruddin, 1997).

Penelitian Sebelumnya
Diastaputri, dkk., (2012) telah melakukan penelitian tentang pembuatan
abon dari jamur tiram dengan tiga perlakuan yaitu abon jamur tiram tanpa
perlakuan (F1), abon jamur tiram dengan hasil akhir dipres (F2), dan abon jamur
tiram dengan hasil akhir dioven (F3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan abon jamur tiram tanpa perlakuan (F1) menghasilkan rendemen terbesar
yaitu 66,7%. Dari segi sifat sensoris, F3 memiliki penilaian kenampakan dan
tekstur yang terendah karena berwarna lebih gosong dan tekstur yang terlalu
kering akibat pengovenan. Dari segi aroma, semua perlakuan tidak berbeda nyata
karena aroma yang dihasilkan sama-sama khas dari bahan dan bumbu-bumbu
yang digunakan. Dan dari segi rasa, F1 merupakan perlakuan terbaik karena cita
rasa yang dihasilkan lebih baik.
Alik, dkk., (2014) juga melakukan penelitian tentang pembuatan abon dari
campuran ikan nila dan jamur tiram. Formulasi yang digunakan adalah jamur
tiram putih 0% (A0), jamur tiram putih 25% (A1), jamur tiram putih 50% (A2), dan
jamur tiram putih 75% (A3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa abon ikan nila
dengan penambahan jamur tiram memberikan pengaruh nyata pada nilai rupa,
aroma, tekstur, rasa, kadar lemak, serat kasar, dan tidak memberikan pengaruh
pada kadar air dan kadar protein. Dilihat dari penerimaan konsumen, abon ikan
nila dengan penambahan jamur tiram 75% (A3) merupakan perlakuan terbaik.

Universitas Sumatera Utara

18

Cahyono dan Yuwono, (2015) telah melakukan penelitian tentang
pembuatan bumbu gado-gado instan dengan penambahan santan yang berbeda.
Proporsi santan yang ditambahkan adalah 0%, 5%, dan 10%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan santan memberikan pengaruh nyataterhadap
parameter kimia seperti kadar air dan kadar lemak bumbu gado-gado instan.
Semakin tinggi proporsi santan yang ditambahkan maka semakin tinggi kadar air
dan kadar lemak bumbu gado-gado instan yang dihasilkan. Perlakuan terbaik
bumbu gado-gado instan adalah penambahan santan 5% dengan kadar air sebesar
11,68%, kadar lemak 25,34%, dan menghasilkan warna, aroma, serta rasa yang
lebih disukai oleh panelis.
Zaroroh, (2013) telah melakukan penelitian tentang pembuatan abon
keong sawah dengan penggunaan gula yang berbeda yaitu 20% dan 40%. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak gula yang ditambahkan maka
warna abon akan semakin gelap, aroma abon semakin tidak khas, tekstur serat
abon semakin berkurang, kekeringan abon semakin meningkat, tekstur abon
semakin menggumpal, rasa abon semakin manis dan kurang gurih. Perlakuan
terbaik adalah penggunaan gula 20% yang memiliki kandungan protein sebesar
18,75% dan lemak sebesar 23,06%.
Amaluddin dan Yuwono, (2015) telah melakukan penelitian tentang
pembuatan bumbu rujak manis cepat saji dengan penggunaan gula merah yang
berbeda yaitu 2%, 2,5%, dan 3%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin
banyak gula merah yang ditambahkan maka kadar air produk semakin meningkat
sedangkan kadar lemak, tekstur, dan nilai warna produk semakin menurun. Uji

Universitas Sumatera Utara

19

kesukaan panelis menunjukkan bahwa semakin banyak gula merah yang
ditambahkan maka warna, aroma, dan rasa produk semakin disukai.
Lubis, (2010) telah melakukan penelitian tentang pembuatan abon ikan
gulamah dengan konsentrasi gula yang berbeda yaitu 50 g, 100 g, dan 200 g. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi gula yang berbeda
memberikan pengaruh terhadap rendemen, warna, rasa, tekstur. Semakin banyak
gula yang ditambahkan maka semakin tinggi rendemen, semakin cokelat warna,
semakin manis rasa, dan semakin kering serta menggumpal abon yang dihasilkan.
Penambahan gula sebanyak 50 g menghasilkan abon dengan warna, aroma, rasa,
dan tekstur yang lebih disukai.
Husna, dkk., (2014) telah melakukan penelitian tentang pembuatan
dendeng ikan leubiem dengan jenis gula berbeda yaitu gula pasir (B 1) dan gula
merah (B2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air dendeng dengan
penambahan gula merah lebih tinggi dari pada dendeng dengan penambahan gula
pasir. Jenis gula memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar protein
dan aroma dendeng yang dihasilkan.
Dinarwi, (2010) telah melakukan penelitian tentang pembuatan wajik jahe
dengan perbandingan gula merah dan gula putih (A) yaitu 40% : 10% (A1) dan
30% : 20% (A2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan gula merah
dan gula putih 40% : 10% (A1) memiliki skor tertinggi terhadap mutu wajik jahe
yang dihasilkan. Semakin sedikit gula merah yang digunakan dan semakin banyak
gula putih yang ditambahkan maka semakin menurun nilai organoleptik warna,
aroma, rasa, dan tekstur wajik jahe yang dihasilkan.

Universitas Sumatera Utara