DAMPAK KEKERASAN PADA PELAJAR studi
DAMPAK KEKERASAN PADA PELAJAR
Kekerasan pada pelajar sudah sering kita dengar. Hal ini sering terjadi di sekolah dan pelakunya
adalah teman sesama pelajar atau oleh oknum guru, yang seharusnya mendidik dengan penuh
kasih sayang. Berdasarkan penelitian UNICEF tahun 2006 bahwa sekitar 80% kekerasan pada
pelajar di daerah seluruh Indonesia dilakukan oleh guru. Di media cetak dan elektronik sudah
sering diberitakan adanya kekerasan pada pelajar baik yang dilakukan oleh sesama pelajar
maupun oleh oknum guru. Misal, kasus kekerasan yang dialami seorang pelajar di Kulon Progo
pada bulan November 2010, hingga pelajar tersebut mengalami luka memar di bagian kepala. Di
televisipun pernah marak diberitakan kematian pelajar akibat penganiayaan yang dialami Cliff
Muntu seorang praja Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) dan diduga pelakunya adalah
seniornya. Pada tahun yang sama, tahun 2007 seorang pelajar Franky Edward Damar tewas saat
mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) SMK Pelayaran Wira Maritim Surabaya. Sebelumnya
Franky merasakan sakit perut dan hanya diberikan obat sakit kepala oleh seniornya.
Tentu sangat miris mendengar pelajar-pelajar di negeri ini banyak mengalami kekerasan hingga
mengakibatkan luka bahkan meninggal dunia di tempat mereka menimba ilmu. Di sekolah
mereka mengalami kekerasan, sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman untuk
mendapatkan ilmu.
Menurut Kuriake banyak guru di Indonesia yang masih beranggapan bahwa kekerasan masih
efektif untuk mengendalikan siswa (Philips 2007). Padahal kekerasan bukanlah solusi yang tepat,
karena dapat menimbulkan trauma psikologis, pelajar menyimpan amarah dan dendam dan
selanjutnya melampiaskan kepada teman sesama pelajar yang lebih lemah. Hal ini tentunya akan
sangat mengganggu proses belajar mengajar di lingkungan sekolah.
Definisi Kekerasan pada Pelajar
Menurut Weber, kekuasaan manusia atas manusia lain berlandaskan pada instrumen legitimasi,
penampakan arah legitimasi yaitu kekerasan. Dengan kata lain, Weber mendefinisikan kekuasaan
sebagai satu kemungkinan memberdayakan kehendak seseorang, dalam bentuk tindak kekerasan
terhadap pihak lain (Weber, 1956:171).
Pihak yang memegang kekuasaan menurut Weber adalah pelaku tindak kekerasan. Dalam dunia
pendidikan, pelaku kekerasan yaitu guru, perangkat sekolah, dan pelajar yang merasa dirinya
lebih kuat sehingga menindas pelajar lain yang lemah.
Kekerasan pada pelajar dapat berupa;
Kekerasan fisik, berupa pemukulan, penganiayaan, dll. Hal ini dapat menyebabkan luka
atau cedera pada pelajar.
Kekerasan psikis, dengan cara menghina, melecehkan, menjelek-jelekan, melontarkan
kata-kata yang menyakiti hati sehingga pelajar tersebut merasa terhina, dilecehkan, kecil,
bodoh, tidak berharga, tidak berguna dan menurunkan rasa percaya diri.
Kekerasan defensif, tindakan kekerasan yang dilakukan dalam rangka mempertahankan
diri, bukan untuk menyerang.
Kekerasan agresif, adalah kekerasan untuk mendapatkan sesuatu, seperti merampas.
Faktor-faktor Penyebab kekerasan pada pelajar
Beberapa faktor yang mempengaruhi tindak kekerasan pada pelajar yaitu:
a.
Dari pihak guru
Kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak akan
mampu memecahkan masalah, dalam hal ini kekerasan tidak akan merubah kelakuan siswa.
Tetapi justru akan menimbulkan trauma psikologis, bahkan dendam yang akan sangat
mengganggu perkembangan siswa.
Penilaian guru yang sama terhadap setiap siswanya, dalam hal ini hendaknya guru
memahami individual differences atau perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing
siswanya. Mulai dari background keluarga siswa berasal, kecerdasan, serta minat dan bakat.
Sehingga seorang guru tidak akan menilai atau menghakimi seorang siswa yang menurutnya
melakukan pelanggaran dengan kekerasan.
Pola mengajar satu arah yang masih banyak berlaku di Indonesia, sehingga menciptakan
figur guru yang berkuasa, sehingga membuat siswa kurang mendapatkan kesempatan untuk
berpendapat dan berekspresi. Dan hal ini cenderung membuat guru untuk menerapkan
kekuasaan kepada siswa secara mutlak.
Muatan kurikulum yang mengutamakan kecerdasan kognitif. Sehingga membuat susana
belajar menjadi tegang dan menimbulkan tekanan. Disini guru sangat dibutuhkan agar
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
b.
Dari pihak pelajar atau siswa
Salah satu yang menyebabkan kekerasan pelajar adalah sikap pelajar tersebut, sikap sangat
berhubungan dengan psikologis dan kepribadian yang dimiliki. Sikap inferioritas yang dimiliki
pelajar, yaitu merasa tidak mampu, tidak dipedulikan, lemah, bodoh, kurang diperhatikan akan
memicu dirinya untuk berbuat sesuatu bahkan yang menyalahi aturan agar dirinya mendapatkan
perhatian dari semua warga sekolah. Namun sikap inferioritas ini dapat juga menimbulkan sikap
yang sangat merugikan saat pelajar tersebut berusaha mendapatkan perhatian dan pengakuan
dengan cara menindas pelajar lain yang lebih lemah.
c.
Dari pihak keluarga
Kekerasan yang dilakukan oleh guru dan pelajar juga harus dilihat dari background
atau masa lalu yang mereka alami di keluarga, yaitu antara lain:
Pola asuh
Pola asuh orang tua yang permisive dengan menuruti setiap kemauan dan tuntutan anak, maka
akan membuat anak tersebut tidak mampu untuk mengelola emosi. Dia akan menganggap
dirinya sebagai ‘raja’ dan memperlakukan orang di sekitarnya termasuk teman sekolahnya sesuai
kemauannya untuk memenuhi setiap keinginannya. Sebagai contoh, sikap anak yang memaksa
temannya untuk memberikan contekan saat ulangan atau siswa yang dengan paksa menyuruh
temannya untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Sementara pola asuh orang tua yang penelantar akan mengakibatkan anak menjadi merasa tidak
berharga, tidak dipedulikan, rejected atau merasa ditolak. Sikap inferioritas ini selanjutnya akan
membuat anak menjadi pendiam dan menarik diri dari pergaulan. Sehingga tidak jarang justru
akan ditindas oleh anak lain yang merasa lebih kuat.
Lain halnya dengan pola asuh otoriter yang membuat anak kurang mendapat kesempatan untuk
berpendapat dan berekspresi karena aturan orang tua yang terlalu ketat. Pola asuh ini akan
menimbulkan sikap kurang percaya diri pada anak dan sikap merasa bahwa dirinya selalu
membuat kesalahan, tertekan, merasa takut kepada yang lebih kuat dan rasa patuh yang
berlebihan serta irrasional. Selanjutnya tekanan emosi ini akan dilampiaskan kepada teman yang
lebih lemah dalam bentuk agresivitas.
Orang tua yang mengalami masalah psikologis
Orang tua yang mengalami masalah psikologis, misal mengalami stress secara berlarut-larut
maka akan sangat mempengaruhi anaknya secara psikologis. Karena orang tua yang cenderung
melampiaskan kekesalannya pada anak dan mudah marah maka akan membuat anak menjadi
kehilangan semangat, kehilangan konsentrasi, sensitive, serta mudah marah.
Keluarga disfungsional
Keluarga yang salah satu anggotanya suka melakukan kekerasan, seperti memukul, menyiksa
fisik, mengintimidasi anggota keluarga lain atau keluarga sering melakukan konflik tebuka
secara berkepanjangan maka akan sangat mempengaruhi kondisi psikologis anak.
d.
Dari pihak lingkungan
Menurut filsuf Inggris, John Locke (1704-0932), perkembangan anak tergantung pada
lingkungan, teori ini dikenal dengan ‘tabularasa’. Yakni anak dilahirkan sebagai kertas putih
yang corak dan tulisannya digoreskan oleh lingkungan. Menurut aliran ini lingkungan sangat
berpengaruh dalam membentuk tingkah laku, watak, serta sikap anak.
Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan pada pelajar selama ini juga akibat dari pengaruh
lingkungan, diantaranya adalah:
Adanya budaya kekerasan di lingkungan tempat anak tumbuh. Kekerasan yang dianggap
sebagai suatu kewajaran di lingkungan tempat anak tumbuh maka akan membuat anak
memandng kekerasan sebagai hal yang biasa dan wajar.
Tayangan kekerasan di media elektronik, khususnya televisi. Jika seorang anak sering
menonton tayangan kekerasan di televisi maka anak akan termotivasi untuk meniru atau
mengimitasi hal tersebut, karena kekerasan tayangan televisi sering dikaitkan dengan
kesuksesan dan kekuatan maka seorang anak akan melakukan kekerasan agar dirinya ditakuti
dan terlihat kuat.
Mengalami sindrom Stockholm. Sindrom stockholm adalah kondisi psikologis dimana
antara pihak korban dengn pihak aggressor (penyerang) mngalami hubungan yang baik, dan
selanjutnya pihak korban akan membantu aggressor mewujudkan keinginannya. Hal ini
sering terjadi pada saat Masa Orientasi Siswa (MOS), dimana para mahasiswa senior meniru
perilaku para seniornya dahulu dalam memperlakukan junior.
Dampak Kekerasan pada Pelajar
Kekerasan pada pelajar di sekolah dapat menimbulkan berbagai macam dampak, antara lain:
a.
Dampak fisik
Kekerasan fisik dapat menimbulkan organ-organ tubuh korban mengalami luka, memar, dll.
b.
Dampak psikologis
Kekerasan psikis dapat menimbulkan trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, rasa tidak
percaya diri, rasa marah, rasa dendam, menurunnya inisiatif dan kreatif sehingga akan sangat
berpengaruh pada prestasi belajar. Dan efek jangka panjangnya adalah dapat menimbulkan
perubahan sikap pelajar secara jangka panjang.
c.
Dampak sosial
Pelajar yang mengalami dampak kekerasan tanpa ada penanggulangan maka akan menjadi
seorang pemurung, pendiam, tertutup, sulit berkomunikasi, sulit mempercayai orang lain dan
akan menarik diri dari lingkungan pergaulannya.
Kekerasan pada pelajar dapat terjadi kapan saja. Sangat penting bagi semua pihak bahwa
kekerasan bukanlah solusi yang tepat tetapi justru menambah masalah. Hal ini menjadi tanggung
jawab bersama untuk mengatasinya, tidak hanya pihak sekolah saja, namun orang tua juga
memegang peranan penting agar mampu mencegah tindak kekerasan ini. Beberapa solusi dalam
mengatasi kekerasan pada pelajar di sekolah yaitu:
a.
Bagi Sekolah
Menerapkan dan menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah.
Guru seharusnya menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa dan mengenali potensi
dan bakat siswa serta memeberikan kebebasan dan penghargaan dalam berkreasi.
Menerapkan hukuman yang logis bagi setiap kesalahan siswa, sehingga dapat mencegah
pemberian hukuman yang berlebihan atau tidak rasional.
Sekolah memebekali guru dengan pengetahuan dan pengalaman baru untuk
mengembangkan kreatifitas guru. Penting juga untuk membekali guru dengan ilmu psikologi
dan sosiologi agar guru mampu memahami dinamika perkembangan kejiwaan siswa.
Bimbingan konseling bagi siswa dan guru, agar dapat mengetahui masalh-masalh yang
dihadapi siswa dan guru secara dini.
Menangani dan segera menindaklanjuti kekerasan yang dialami pelajar.
b.
Bagi Orang tua
Menjalin komunikasi yang efektif kepada anak, agar anak bersedia menceritakan segala
hal yang dialaminya di luar rumah kepada orang tua. Sehingga dapat dengan mudah
diketahui bila terdapat masalah yang sedang dihadapai anak.
Menjalin komunikasi yang efektif dengan pihak sekolah dan lingkungan pergaulan anak.
Orang tua menerapkan pola asuh yang lebih banyak memberikan dukungan daripada
hukuman. Agar anak memiliki tanggung jawab secara sosial.
Mengatur tayangan telivisi yang ditonton oleh anak, dan menghindari tayangan yang
mengandung unsur kekerasan.
Mencari solusi atau penyelesaian setiap masalah dan konflik yang ada dan tidak
membiarkannya berlarut-larut agar tidak menguras energi fisik dan psikis.
Meminta bantuan pihak profesional jika persoalan dalam rumah tangga sudah berlarut-
c.
larut dan tidak ditemukan jalan keluarnya sehingga mengganggu kehidupan mereka seharihari
Bagi pelajar yang mengalami kekerasan
Menjalin komunikasi yang efektif dengan orang tua, guru atau orang dipercaya. Sehingga
dapat segera sharing saat mengalami kekerasan dan bisa mendapatkan pertolongan segera untuk
pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.
Kekerasan pada pelajar sudah sering kita dengar. Hal ini sering terjadi di sekolah dan pelakunya
adalah teman sesama pelajar atau oleh oknum guru, yang seharusnya mendidik dengan penuh
kasih sayang. Berdasarkan penelitian UNICEF tahun 2006 bahwa sekitar 80% kekerasan pada
pelajar di daerah seluruh Indonesia dilakukan oleh guru. Di media cetak dan elektronik sudah
sering diberitakan adanya kekerasan pada pelajar baik yang dilakukan oleh sesama pelajar
maupun oleh oknum guru. Misal, kasus kekerasan yang dialami seorang pelajar di Kulon Progo
pada bulan November 2010, hingga pelajar tersebut mengalami luka memar di bagian kepala. Di
televisipun pernah marak diberitakan kematian pelajar akibat penganiayaan yang dialami Cliff
Muntu seorang praja Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) dan diduga pelakunya adalah
seniornya. Pada tahun yang sama, tahun 2007 seorang pelajar Franky Edward Damar tewas saat
mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) SMK Pelayaran Wira Maritim Surabaya. Sebelumnya
Franky merasakan sakit perut dan hanya diberikan obat sakit kepala oleh seniornya.
Tentu sangat miris mendengar pelajar-pelajar di negeri ini banyak mengalami kekerasan hingga
mengakibatkan luka bahkan meninggal dunia di tempat mereka menimba ilmu. Di sekolah
mereka mengalami kekerasan, sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman untuk
mendapatkan ilmu.
Menurut Kuriake banyak guru di Indonesia yang masih beranggapan bahwa kekerasan masih
efektif untuk mengendalikan siswa (Philips 2007). Padahal kekerasan bukanlah solusi yang tepat,
karena dapat menimbulkan trauma psikologis, pelajar menyimpan amarah dan dendam dan
selanjutnya melampiaskan kepada teman sesama pelajar yang lebih lemah. Hal ini tentunya akan
sangat mengganggu proses belajar mengajar di lingkungan sekolah.
Definisi Kekerasan pada Pelajar
Menurut Weber, kekuasaan manusia atas manusia lain berlandaskan pada instrumen legitimasi,
penampakan arah legitimasi yaitu kekerasan. Dengan kata lain, Weber mendefinisikan kekuasaan
sebagai satu kemungkinan memberdayakan kehendak seseorang, dalam bentuk tindak kekerasan
terhadap pihak lain (Weber, 1956:171).
Pihak yang memegang kekuasaan menurut Weber adalah pelaku tindak kekerasan. Dalam dunia
pendidikan, pelaku kekerasan yaitu guru, perangkat sekolah, dan pelajar yang merasa dirinya
lebih kuat sehingga menindas pelajar lain yang lemah.
Kekerasan pada pelajar dapat berupa;
Kekerasan fisik, berupa pemukulan, penganiayaan, dll. Hal ini dapat menyebabkan luka
atau cedera pada pelajar.
Kekerasan psikis, dengan cara menghina, melecehkan, menjelek-jelekan, melontarkan
kata-kata yang menyakiti hati sehingga pelajar tersebut merasa terhina, dilecehkan, kecil,
bodoh, tidak berharga, tidak berguna dan menurunkan rasa percaya diri.
Kekerasan defensif, tindakan kekerasan yang dilakukan dalam rangka mempertahankan
diri, bukan untuk menyerang.
Kekerasan agresif, adalah kekerasan untuk mendapatkan sesuatu, seperti merampas.
Faktor-faktor Penyebab kekerasan pada pelajar
Beberapa faktor yang mempengaruhi tindak kekerasan pada pelajar yaitu:
a.
Dari pihak guru
Kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak akan
mampu memecahkan masalah, dalam hal ini kekerasan tidak akan merubah kelakuan siswa.
Tetapi justru akan menimbulkan trauma psikologis, bahkan dendam yang akan sangat
mengganggu perkembangan siswa.
Penilaian guru yang sama terhadap setiap siswanya, dalam hal ini hendaknya guru
memahami individual differences atau perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing
siswanya. Mulai dari background keluarga siswa berasal, kecerdasan, serta minat dan bakat.
Sehingga seorang guru tidak akan menilai atau menghakimi seorang siswa yang menurutnya
melakukan pelanggaran dengan kekerasan.
Pola mengajar satu arah yang masih banyak berlaku di Indonesia, sehingga menciptakan
figur guru yang berkuasa, sehingga membuat siswa kurang mendapatkan kesempatan untuk
berpendapat dan berekspresi. Dan hal ini cenderung membuat guru untuk menerapkan
kekuasaan kepada siswa secara mutlak.
Muatan kurikulum yang mengutamakan kecerdasan kognitif. Sehingga membuat susana
belajar menjadi tegang dan menimbulkan tekanan. Disini guru sangat dibutuhkan agar
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
b.
Dari pihak pelajar atau siswa
Salah satu yang menyebabkan kekerasan pelajar adalah sikap pelajar tersebut, sikap sangat
berhubungan dengan psikologis dan kepribadian yang dimiliki. Sikap inferioritas yang dimiliki
pelajar, yaitu merasa tidak mampu, tidak dipedulikan, lemah, bodoh, kurang diperhatikan akan
memicu dirinya untuk berbuat sesuatu bahkan yang menyalahi aturan agar dirinya mendapatkan
perhatian dari semua warga sekolah. Namun sikap inferioritas ini dapat juga menimbulkan sikap
yang sangat merugikan saat pelajar tersebut berusaha mendapatkan perhatian dan pengakuan
dengan cara menindas pelajar lain yang lebih lemah.
c.
Dari pihak keluarga
Kekerasan yang dilakukan oleh guru dan pelajar juga harus dilihat dari background
atau masa lalu yang mereka alami di keluarga, yaitu antara lain:
Pola asuh
Pola asuh orang tua yang permisive dengan menuruti setiap kemauan dan tuntutan anak, maka
akan membuat anak tersebut tidak mampu untuk mengelola emosi. Dia akan menganggap
dirinya sebagai ‘raja’ dan memperlakukan orang di sekitarnya termasuk teman sekolahnya sesuai
kemauannya untuk memenuhi setiap keinginannya. Sebagai contoh, sikap anak yang memaksa
temannya untuk memberikan contekan saat ulangan atau siswa yang dengan paksa menyuruh
temannya untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Sementara pola asuh orang tua yang penelantar akan mengakibatkan anak menjadi merasa tidak
berharga, tidak dipedulikan, rejected atau merasa ditolak. Sikap inferioritas ini selanjutnya akan
membuat anak menjadi pendiam dan menarik diri dari pergaulan. Sehingga tidak jarang justru
akan ditindas oleh anak lain yang merasa lebih kuat.
Lain halnya dengan pola asuh otoriter yang membuat anak kurang mendapat kesempatan untuk
berpendapat dan berekspresi karena aturan orang tua yang terlalu ketat. Pola asuh ini akan
menimbulkan sikap kurang percaya diri pada anak dan sikap merasa bahwa dirinya selalu
membuat kesalahan, tertekan, merasa takut kepada yang lebih kuat dan rasa patuh yang
berlebihan serta irrasional. Selanjutnya tekanan emosi ini akan dilampiaskan kepada teman yang
lebih lemah dalam bentuk agresivitas.
Orang tua yang mengalami masalah psikologis
Orang tua yang mengalami masalah psikologis, misal mengalami stress secara berlarut-larut
maka akan sangat mempengaruhi anaknya secara psikologis. Karena orang tua yang cenderung
melampiaskan kekesalannya pada anak dan mudah marah maka akan membuat anak menjadi
kehilangan semangat, kehilangan konsentrasi, sensitive, serta mudah marah.
Keluarga disfungsional
Keluarga yang salah satu anggotanya suka melakukan kekerasan, seperti memukul, menyiksa
fisik, mengintimidasi anggota keluarga lain atau keluarga sering melakukan konflik tebuka
secara berkepanjangan maka akan sangat mempengaruhi kondisi psikologis anak.
d.
Dari pihak lingkungan
Menurut filsuf Inggris, John Locke (1704-0932), perkembangan anak tergantung pada
lingkungan, teori ini dikenal dengan ‘tabularasa’. Yakni anak dilahirkan sebagai kertas putih
yang corak dan tulisannya digoreskan oleh lingkungan. Menurut aliran ini lingkungan sangat
berpengaruh dalam membentuk tingkah laku, watak, serta sikap anak.
Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan pada pelajar selama ini juga akibat dari pengaruh
lingkungan, diantaranya adalah:
Adanya budaya kekerasan di lingkungan tempat anak tumbuh. Kekerasan yang dianggap
sebagai suatu kewajaran di lingkungan tempat anak tumbuh maka akan membuat anak
memandng kekerasan sebagai hal yang biasa dan wajar.
Tayangan kekerasan di media elektronik, khususnya televisi. Jika seorang anak sering
menonton tayangan kekerasan di televisi maka anak akan termotivasi untuk meniru atau
mengimitasi hal tersebut, karena kekerasan tayangan televisi sering dikaitkan dengan
kesuksesan dan kekuatan maka seorang anak akan melakukan kekerasan agar dirinya ditakuti
dan terlihat kuat.
Mengalami sindrom Stockholm. Sindrom stockholm adalah kondisi psikologis dimana
antara pihak korban dengn pihak aggressor (penyerang) mngalami hubungan yang baik, dan
selanjutnya pihak korban akan membantu aggressor mewujudkan keinginannya. Hal ini
sering terjadi pada saat Masa Orientasi Siswa (MOS), dimana para mahasiswa senior meniru
perilaku para seniornya dahulu dalam memperlakukan junior.
Dampak Kekerasan pada Pelajar
Kekerasan pada pelajar di sekolah dapat menimbulkan berbagai macam dampak, antara lain:
a.
Dampak fisik
Kekerasan fisik dapat menimbulkan organ-organ tubuh korban mengalami luka, memar, dll.
b.
Dampak psikologis
Kekerasan psikis dapat menimbulkan trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, rasa tidak
percaya diri, rasa marah, rasa dendam, menurunnya inisiatif dan kreatif sehingga akan sangat
berpengaruh pada prestasi belajar. Dan efek jangka panjangnya adalah dapat menimbulkan
perubahan sikap pelajar secara jangka panjang.
c.
Dampak sosial
Pelajar yang mengalami dampak kekerasan tanpa ada penanggulangan maka akan menjadi
seorang pemurung, pendiam, tertutup, sulit berkomunikasi, sulit mempercayai orang lain dan
akan menarik diri dari lingkungan pergaulannya.
Kekerasan pada pelajar dapat terjadi kapan saja. Sangat penting bagi semua pihak bahwa
kekerasan bukanlah solusi yang tepat tetapi justru menambah masalah. Hal ini menjadi tanggung
jawab bersama untuk mengatasinya, tidak hanya pihak sekolah saja, namun orang tua juga
memegang peranan penting agar mampu mencegah tindak kekerasan ini. Beberapa solusi dalam
mengatasi kekerasan pada pelajar di sekolah yaitu:
a.
Bagi Sekolah
Menerapkan dan menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah.
Guru seharusnya menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa dan mengenali potensi
dan bakat siswa serta memeberikan kebebasan dan penghargaan dalam berkreasi.
Menerapkan hukuman yang logis bagi setiap kesalahan siswa, sehingga dapat mencegah
pemberian hukuman yang berlebihan atau tidak rasional.
Sekolah memebekali guru dengan pengetahuan dan pengalaman baru untuk
mengembangkan kreatifitas guru. Penting juga untuk membekali guru dengan ilmu psikologi
dan sosiologi agar guru mampu memahami dinamika perkembangan kejiwaan siswa.
Bimbingan konseling bagi siswa dan guru, agar dapat mengetahui masalh-masalh yang
dihadapi siswa dan guru secara dini.
Menangani dan segera menindaklanjuti kekerasan yang dialami pelajar.
b.
Bagi Orang tua
Menjalin komunikasi yang efektif kepada anak, agar anak bersedia menceritakan segala
hal yang dialaminya di luar rumah kepada orang tua. Sehingga dapat dengan mudah
diketahui bila terdapat masalah yang sedang dihadapai anak.
Menjalin komunikasi yang efektif dengan pihak sekolah dan lingkungan pergaulan anak.
Orang tua menerapkan pola asuh yang lebih banyak memberikan dukungan daripada
hukuman. Agar anak memiliki tanggung jawab secara sosial.
Mengatur tayangan telivisi yang ditonton oleh anak, dan menghindari tayangan yang
mengandung unsur kekerasan.
Mencari solusi atau penyelesaian setiap masalah dan konflik yang ada dan tidak
membiarkannya berlarut-larut agar tidak menguras energi fisik dan psikis.
Meminta bantuan pihak profesional jika persoalan dalam rumah tangga sudah berlarut-
c.
larut dan tidak ditemukan jalan keluarnya sehingga mengganggu kehidupan mereka seharihari
Bagi pelajar yang mengalami kekerasan
Menjalin komunikasi yang efektif dengan orang tua, guru atau orang dipercaya. Sehingga
dapat segera sharing saat mengalami kekerasan dan bisa mendapatkan pertolongan segera untuk
pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.