PENGARUH KAPITALISME DALAM IMPOR KEDELAI

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

PENGARUH KAPITALISME DALAM IMPOR
KEDELAI DI INDONESIA
Pendahuluan
Salah satu dari Empat Target Sukses yang telah dicanangkan oleh Kementerian
Pertanian Indonesia dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 adalah
swasembada dan swasembada berkelanjutan.1 Lebih rincinya, perwujudan target swasembada
dan swasembada berkelanjutan pada 2014 dibuat dalam Program Prioritas Pembangunan di
Bidang Pertanian Pemerintah. Jumlah target produksi padi sebesar 75,70 juta ton, jagung
sebesar 29 juta ton, kedelai sebesar 2,7 juta ton dan gula sebesar 4,81 juta ton, untuk daging
sapi sebesar 0,55 juta ton.2
Berbagai strategi telah diusahakan Pemerintah untuk mencapai target tersebut, seperti
revitalisasi lahan, revitalisasi perbenihan dan perbibitan, revitalisasi infrastruktur dan sarana,
revitalisasi sumber daya manusia, revitalisasi pembiayaan petani, revitalisasi kelembagaan
petani dan seterusnya.3 Namun, Indonesia ternyata masih menjadi salah satu negara
pengimpor kedelai terbesar di dunia.4
Kenyataannya, swasembada dan swasembada berkelanjutan belum dapat tercapai di
tahun ini. Kegagalan untuk mencapai tingkat swasembada ini bukanlah karena Pemerintah
tidak berusaha keras untuk memperbaiki sistem yang ada. Seperti yang telah disebutkan,

bahwa Pemerintah telah mempersiapkan rencana secara mendetail dan tidak sedikit dari
1 Kementerian Pertanian, RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) KEMENTERIAN PERTANIAN 2014, Kementerian
Pertanian , Jakarta, 2013, p. i.
2 Oktavio Nugrayasa, ‘2014, Puncak Swasembada Pangan Berkelanjutan’, CABINET SECRETARIAT OF THE REPUBLIC
OF INDONESIA (daring), 07 Agustus 2012, , diakses 15 Oktober 2014.
3 Kementerian Pertanian, pp. 6-13.
4 A. Facino, ‘Penawaran Kedelai Dunia dan Permintaan Impor Kedelai Indonesia serta Kebijakan Perkedalaian Nasional’,
IPB BOGOR AGRICULTURAL UNIVERSITY, Scientific Repository (daring), 2012,
, diakses pada 14 Oktober 2014.

1

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

rencana tersebut telah diaplikasikan di lapangan. Namun, mirisnya Indonesia tetap melakukan
impor terhadap berbagai komoditas pertanian dan khusunya kedelai yang akan dibahas dalam
penelitian ini. Sehingga terdapat sumber masalah yang sebenarnya belum dapat diselesaikan
selama ini.
Kedelai dan masyarakat Indonesia

Manusia pada umumnya memerlukan protein berkisar antara 0.8-1.0 g/ kg berat
badan/ hari dengan perbandingan 1:1 antara protein hewani terhadap protein nabati.5 Bukan
hanya manusia yang memerlukan protein dari kedelai ini, hewan pun juga untuk melakukan
aktivitasnya. Sehingga, kedelai di Indonesia merupakan komoditi yang tidak dapat dipisahkan
dari kebutuhan masyarakat sehari-hari. Walaupun kedelai bukanlah hasil tanam asli dari tanah
Indonesia, namun budaya pangan ini sangat erat dengan rakyat Indonesia. Seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk sebanyak 10 kali lipat dari 20 juta menjadi 200 juta jiwa
dalam kurun waktu 30 tahun dari awal abad ke-20 hingga diawal abad ke-21, terjadi kenaikan
permintaan kedelai yang sangat signifikan. 6 Pada tahun 1990-1998, kedelai diimpor
sebanyak 343.000-541.000 ton, namun bertambah drastis di tahun 1999-2007 di angka
1.123.000-1.343.000 ton. 7 Selang beberapa tahun, data akhir-akhir ini juga menunjukkan
bahwa produksi kedelai masih defisit sekitar 3,5% sepanjang tahun 2012 sampai dengan
2013. Karena pada tahun 2012 dapat diproduksi sebanyak 0,84 juta ton dan mengalami
penurunan pada tahun 2013 menjadi 0,81 juta ton. Jika dibandingkan dengan pertambahan 5
kali lipat jumlah penduduk Indonesia, maka angka produksi ini jelas tidak bisa memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
5 S. Surbakti, ‘ASUPAN BAHAN MAKANAN DAN GIZI BAGI ATLET RENANG’, Jurnal Ilmu Keolahragaan, vol. 8,
no. 2, Juli-Desember 2010, p. 112.
6 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN PROVINSI JAWA BARAT, Artikel : MENIMBANG PRODUKSI DAN
KETERSEDIAAN KEDELAI (daring), 21 Agustus 2014

diakses 24 September 2014.

7 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN PROVINSI JAWA BARAT, diakses 24 September 2014.

2

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

Apakah masalah utama yang memengaruhi impor kedelai di Indonesia?
Berbagai pendapat telah diutarakan oleh para ahli mengenai faktor-faktor penyebab
impor kedelai di Indonesia, yaitu : semakin berkurangnya lahan untuk menanam kedelai8;
produksi kedelai nasional yang masih defisit sedangkan komoditas ini sangat dibutuhkan
masyarakat Indonesia9; laju pertumbuhan penduduk yang meningkat10; terjadi penguatan
nilai tukar rupiah yang menyebabkan harga kedelai impor jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan harga kedelai dalam negeri11; penurunan luas panen kedelai yang tidak
diimbangi dengan peningkatan produktivitas kedelai per ha12; konsumsi kedelai yang semakin
meningkat juga disebabkan oleh peningkatan jumah penduduk menyebabkan pertambahan
kuota impor kedelai dari tahun ke tahun.13 Selain itu, kurangnya optimalisasi lahan produksi
kedelai oleh para petani akibat minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap

pengembangan lahan produksi kedelai, dan lainnya. Menteri Pertanian Suswono mengatakan
bahwa tahun depan (tahun 2015) tidak ada cadangan untuk kedelai, sedangkan jika
mengharapkan dari produksi para petani, belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi sehari-hari. Menurut data yang didapatkan dari BPS, masyarakat Indonesia yang
mengonsumsi tempe dan tahu setiap harinya sebanyak 24% dan 19%. Data ini baru
menunjukkan dua dari hasil olahan kedelai, yaitu tempe dan tahu, belum jika kedelai yang
digunakan untuk olahan lainnya serta pakan ternak setiap harinya. Terlebih, alokasi kedelai

8 Humas UGM/Ika, ‘Pakar UGM : Indonesia Krisis Kedelai Karena Lahan Berkurang’, UNIVERSITAS GADJAH MADA
(daring), 11 September 2013, ,
diakses pada 15 Oktober 2014.
9 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN PROVINSI JAWA BARAT, diakses 24 September 2014.
10 Dwi Sartika Adetama, Analisis Permintaan Komoditi Kedelai di Indonesia, Faktor- faktor yang mempengaruhi
permintaan kedelai, hal. 51-59, Jakarta, 2011.

11 A. Husni Malian,, ‘KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA’,
AKP, vol. 2, no.2, Juni 2004, pp. 141-142.

12 Rina Oktaviani, Impor Kedelai : Dampaknya terhadap Stabilitas Harga dan Permintaan Kedelai Dalam Negeri.
Keragaan Ekonomi kedelai Indonesia,hal. 4-5, Bogor, 2005.


13 Ibid, pp. 4-5.

3

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

yang sangat besar untuk industri tempe dan tahu, dimana industri ini adalah penyambung
lidah bagi rakyat Indonesia, maka dilakukanlah impor untuk memenuhi permintaan tersebut.
Semua pendapat sebelumnya memang benar, namun jika ditelaah lebih lanjut,
kelemahannya adalah ketidakmampuan pendapat-pendapat tersebut untuk menghasilkan
solusi yang terintegrasi dalam memecahkan permasalahan impor kedelai di Indonesia.
Logikanya, jika telah ditemukan inti dari masalah yang sedang dihadapi, maka akan lahirlah
solusi yang dapat memcahkan masalah itu. Namun, karena pendapat tersebut merupakan
dampak dari masalah, bukanlah sumber dari masalah yang ada, berbagai rencana atau strategi
yang telah dibuat Pemerintah tidak akan dapat memberikan perubahan yang nyata untuk
menjadikan Indonesia swasembada atas komoditas kedelai.
Pendapat yang dapat menjelaskan akar masalah sebenarnya mengenai ketergantungan
terhadap impor kedelai adalah kapitalisasi ekonomi. Kapitalisasi ini berawal dari terlibatnya

Indonesia dalam meratifikasi perjanjian dengan WTO melalui UU No.7 di tahun 1995 dan
dilanjutkan penandatanganan letter of intent di tahun 1998 dengan IMF. Hal ini menyebabkan
banyak hal yang merugikan Indonesia di kemudian hari, seperti pencabutan subsidi
pemerintah14, makin luasnya liberalisasi dalam bidang pertanian15, sehingga terjadi kenaikan
permintaan produksi kedelai yang sangat signifikan baik untuk pengolahan bahan pangan
bagi manusia serta pangan ternak, dinamika harga kedelai diserahkan sepenuhnya terhadap
mekanisme pasar dan lainnya.
Hipotesis mengenai pertanyaan dalam tulisan ini adalah, kapitalisme memiliki
pengaruh dalam impor kedelai Indonesia. Hipotesis mengenai peran kapitalisme ini juga
dapat dibuktikan dengan variabel yang berbeda, yaitu impor komoditas pangan nasional

14 A. H. Malian p. 135.
15 Ibid.

4

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

lainnya, seperti beras, jagung, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, bawang putih dan

lainnya.16 Kapitalisme tidak hanya menguasai aturan pemerintah mengenai impor kedelai,
namun juga terhadap komoditas tersebut.
Kapitalisme dalam impor kedelai di Indonesia
Dalam pengertiannya, kapitalisme adalah sistem produksi yang dimana manusia
sebagai buruh dan hasil produksinya menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar.17
Salah satu teori Marxist mengatakan bahwa peran terpenting dalam politik dunia adalah
mereka yang dapat mengambil peran di eknomi dunia. Di ekonomi dunia yang bersifat
kapitalis, aktor-aktor yang paling berperan penting bukanlah negara melainkan aktor-aktor
yang berada di ekonomi kelas atas. Negara, perusahaan multinasional dan organisasi
internasional dapat menjadi representasi dari kelas yang dominan dan memiliki kepentingan
di ekonomi dunia. Karl Marx (1818-1883) kala itu mengkritisi adanya pertumbuhan
kapitalisme yang mengakibatkan pertarungan antar kelas sosial, eksploitasi tenaga dan waktu
para pekerja, kolonialisme dan perang. Hal ini diakibatkan tujuan para kapitalis yang
menekankan pada pasar bebas, privatisasi perusahaan, dan penumpukan kekayaan.18 Para
kapitalis berdalih bahwa campur tangan Pemerintah dengan proteksinya tidak akan membuat
maju negara mereka dan tidak membuat masyarakatnya menjadi kreatif dan produktif.19
Organisasi internasional yang berperan dalam kapitalisasi bidang pertanian di Indonesia
adalah World Trade Organization (WTO) dan International Monetary Fund (IMF).
Faktanya, Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki sumber daya alam
yang melimpah. Kekayaan alam ini harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

16 F. Ariyanti, ‘Daftar Lengkap 29 Komoditas Pangan yang Diimpor RI’, Liputan 6 (daring), 14 Oktober 2013,
, diakses 20 Oktober 2014.
17 J. Baylis & S. Smith, THE GLOBALIZATION OF WORLD POLITICS : An introduction to international relation, 2nd
edn, OXFORD University Press Inc., New York, 2001, p. 620.
18 C. W. Kegley, JR., WORLD POLITICS : Trend and Transformation, 11th edn, Thomson WadswothTM, Boston, 2008, p.
137-138.
19 Ha-Joon Chang, 23 THINGS THEY DON’T TELL YOU ABOUT CAPITALISM, Penguin Books Ltd, London, 2011, p.xiv.

5

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

rakyat Indonesia.20 Untuk mengatur kepentingan negara dalam bentuk konstitusi ekonomi
(economic constitution) maupun konstitusi sosial (social constitution), dibentuklah UUD
1945 yang menjadi konstitusi politik (political constitution) tertinggi atau dikatakan juga
sebagai “The Highest Law of The Land”.21 Dengan mandat kekuasaan yang telah diberikan
rakyat, maka pemerintah dapat bertindak sebagai penguasa tertinggi yang mengatur segala
urusan ekonomi dan lainnya. Akibat dari ratifikasi perjanjian dan penandatanganan dengan
WTO dan IMF, peran pemerintah melemah dalam usaha mencapai swasembada pangan

terutama dalam sektor pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri.
Mari meninjau kembali betapa besar peran serta kekuasaan negara dalam melindungi
hak warga negaranya dan menjamin kesejahteraan mereka. Ciri-ciri negara yang berdaulat
sepenuhnya memiliki wilayah, rakyat dan identitas nasional yang didalamnya terdapat
keabsahan politik yang mendorong berdirinya pemerintah untuk mengatur jalannya negara.22
Keabsahan politik ini dapat diartikan sejauh mana negara dengan institusi, personil atau
kebijaksanannya dapat diterima secara moral dan dianggap benar oleh masyarakat.23 Suatu
negara dianggap demokratis dimana warga negara dapat memilih dengan sistem yang
kompetitif mengenai wakil mereka dalam menyusun kebijakan dan penyusun kebijakan
memiliki hak yang sah (atau otoritas) untuk menyusun kebijakan tersebut.24
Rakyat Indonesia telah memilih wakil rakyatnya yang dipercaya dapat menjamin hak
individu maupun sosial mereka dalam kebijakan yang akan mereka buat. Negara bersifat
protektif terhadap segala hal yang bersangkutan dengan kehidupan warga negaranya. Jika
20 Lihat Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 sebagai berikut : (1) Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
21 Jimly Asshidique, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van

Hoeve, Jakarta, 1994.
22 Rodee, Carlton Clymer, dkk, Introduction to Political Science, edisi Bahsa Indonesia Pengantar ILMU POLITIK,
diterjemahkan oleh Drs. Zulkifly Hamid, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, pp. 37-45.
23 Rodee, Carlton Clymer, dkk, p. 47.
24 Rodee, Carlton Clymer, dkk, pp. 47-48.

6

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

kekuasaan pemerintah di suatu negara diintervensi dan diarahkan hanya untuk kepentingan
beberapa pihak, maka kestabilan nasional pun akan terganggu. Para kapitalis memandang
bahwa proteksi yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan membuat suatu kemajuan dalam
kehidupan perekonomian negara tersebut. Jika ekonomi dikembalikan ke pasar bebas, maka
pertumbuhan ekonomi akan pesat karena tidak berbenturan dengan berbagai aturan
pemerintah.
Seperti yang telah disebutkan, organisasi internasional seperti WTO dan IMF telah
menjadi pihak kapitalis karena telah melakukan intervensi terhadap aturan Pemerintah yang
sebenarnya dimaksudkan untuk menunjang produktivitas dalam bidang pertanian. Dengan

ratifikasi tersebut, Indonesia juga wajib untuk memenuhi Perjanjian Pertanian (Agreement on
Agriculture = AoA) dengan WTO. Terdapat tiga pilar utama dalam AoA WTO berupa: (1)
Akses pasar (Market Access); (2) Subsidi domestik (Domestic Supports); dan (3) Subsidi
ekspor (Export Subsidies).25 Ketiga pilar ini telah menjadi sekat atas perlindungan hak-hak
petani yang sebenarnya bisa dilakukan oleh Pemerintah.
Logika sederhana mengenai impor kedelai di Indonesia
Dengan analogi sederhana maka pertanyaan mengapa Indonesia terus mengimpor
kedelai dapat terjawab. Dikatakan bahwa lahan untuk menanam kedelai telah berkurang jauh
sehingga petani tidak dapat mengoptimalkan produksi kedelai, namun mengapa lahan
tersebut dapat berkurang? Karena petani tidak begitu tertarik untuk kembali menanam
kedelai, sehingga petani menanam komoditas pertanian lainnya. Penurunan minat petani ini
disebabkan oleh kalahnya daya saing kedelai lokal dan kedelai impor yang beredar di
pasaran, bukan hanya dari segi kualitas namun juga dari segi harga. Dari segi kuaitas,
penelitian di Indonesia sebenarnya telah menghasilkan variasi kedelai yang dapat

25 A. H. Malian, p. 135

7

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

mengungguli kualitas kedelai impor, namun penemuan ini hanya tersimpan di bank penelitian
dan kurang mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah untuk disosialisasikan kepada
petani.26 Dari segi harga, dengan dicabutnya subsidi pemerintah, maka petani harus
membiayai sendiri seluruh harga produksi kedelai tersebut, hal ini akan membuat harga
kedelai nasional lebih tinggi dibandingkan dengan harga kedelai impor. Terlebih, dengan
perjanjian tersebut Indonesia kemudian menghilangkan bea masuk terhadap kedelai impor,
yang membuat harga kedelai impor lebih rendah dari kedelai nasional dan tentunya lebih
dipilih oleh para pembeli.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah teknis yang Pemerintah tanggulangi tidak
akan pernah berakhir, jika Pemerintah tidak berusaha menanggulangi akar masalah yang
sebenarnya, yaitu sistem ekonomi kapitalis. Sistem yang telah diterapkan sekian lama inilah
yang akan terus menggagalkan cita-cita Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya, seperti
yang telah tertulis dalam pasal-pasal di konstitusi negara ini. Jika Indonesia ingin
menuntaskan permasalahan ini maka sistem ekonomi yang bersifat kapitalis itu harus dilawan
dengan sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan. Harus ada usaha luar biasa yang dilakukan
Pemerintah Indonesia bersama rakyatnya dalam mengusahkan sistem baru tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
26 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN PROVINSI JAWA BARAT, diakses 24 September 2014.

8

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

Buku
Asshidique, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
Baylis John; Smith, Steve. The Globalization of World Politics . 2nd. New York: OXFORD
University Press Inc, 2001.
Chang, Ha Joon. 23 THINGS THEY DON’T TELL YOU ABOUT CAPITALISM. London:
Penguin Books Ltd, 2011.
Kegley, JR., W C. WORLD POLITICS : Trend and Transformation. 11. Boston: Thomson
WadswothTM, 2008.
Rodee, Carlton Clymer, Carl Quimby Christol, Totton James Anderson, dan Thomas H
Greene. Pengantar ILMU POLITIK. Dialihbahasakan oleh Zulkifly Hamid. Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.

Jurnal
Adetama, Dwi Sartika. “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHIH PERMINTAAN
KEDELAI.” Analisis Permintaan Komoditi Kedelai di Indonesia (2011): 51-59
Malian, A Husni. “KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KOMODITAS
PERTANIAN INDONESIA.” AKP 2 (Juni 2004): 135-156.
Oktaviani, Rina. "IMPOR KEDELAI : DAMPAKNYA TERHADAP STABILITAS HARGA
DAN PERMINTAAN KEDELAI DALAM NEGERI." Keragaman Ekonomi kedelai
Indonesia (2005) : 1-22
Rante, Yohanis. “STRATEGI PENGEMBANGAN TANAMAN KEDELAI UNTUK
PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT DI KABUPATEN KEEROM PROVINSI
PAPUA.” JMK 15 (2013): 75-88.
Supadi. “DAMPAK IMPOR KEDELAI BERKELANJUTAN TERHADAP KETAHANAN
PANGAN.” Analisis Kebijakan Pertanian 7 (2009): 87-102.

9

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

Surbakti, Sabar. “ASUPAN BAHAN MAKANAN DAN GIZI BAGI ATLET RENANG.”
Jurnal Ilmu Keolahragaan 8 (Juli-December 2010): 108-122.
Yuniati, Ratna. “PENAPISAN GALUR KEDELAI Glycine max (L.) Merrill TOLERAN
TERHADAP NaCl UNTUK PENANAMAN DI LAHAN SALIN.” Makara, Sains 8 (April
2004): 21-24.
Zakaria, Amar K, Wahyuning K Sejati, dan Reni Kustiari. “ANALISIS DAYA SAING
KOMODITAS KEDELAI MENURUT AGRO EKOSISTEM: KASUS DI TIGA PROVINSI
DI INDONESIA.” Jurnal Agro Ekonomi 28 (Mei 2010): 21-37.

Sumber lainnya


Artikel dari internet

Ariyanti, F. Daftar Lengkap 29 Komoditas Pangan yang Diimpor RI. 14 Oktober 2013.
http://bisnis.liputan6.com/read/719523/daftar-lengkap-29-komoditas-pangan-yang-diimpor-ri
(diakses Oktober 20, 2014).
Informasi, Tim Sistem. Artikel : MENIMBANG PRODUKSI DAN KETERSEDIAAN
KEDELAI. 21 Agustus 2014.
http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/informasi/artikel/detailartikel/472 (diakses
September 24, 2014).
Facino, A. Penawaran Kedelai Dunia dan Permintaan Impor Kedelai Indonesia serta
Kebijakan Perkedalaian Nasiona. 2012. (diakses Oktober 14, 2014).
Nugrayasa, Oktavio. 2014, Puncak Swasembada Pangan Berkelanjutan. 2012 Agustus 2012.
http://old.setkab.go.id/en/artikel-5284-2014-puncak-swasembada-pangan-berkelanjutan.html
(diakses Oktober 15, 2014).
UGM, Humas. UNIVERSITAS GADJAH MADA. 11 September 2013.
http://ugm.ac.id/id/berita/8192-pakar.ugm:.indonesia.krisis.kedelai.karena.lahan.berkurang
(diakses Oktober 15, 2014).

10

Alif Fadhiyah Chairunnisa
14/368570/SP/26436

11