SISTIM PENDIDIKAN KEJURUAN DI INDONESIA

SISTEM PENDIDIKAN KEJURUAN INDONESIA

BAB I. PENDAHULUAN
Mutu pendidikan merupakan masalah yang dijadikan agenda utama untuk diatasi
dalam kebijakan pembangunan pendidikan, karena hanya dengan pendidikan yang bermutu
akan diperoleh lulusan bermutu yang mampu membangun diri, keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara. Standar Nasional Pendidikan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.
19 Tahun 2005, dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, telah menggariskan ketentuan minimum bagi satuan pendidikan formal
agar dapat memenuhi mutu pendidikan.
Sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan telah pula digariskan kebijakan
mengenai pemerataan kesempatan pendidikan yang bukan hanya menambah fasilitas
pendidikan secara kuantitatitif, melainkan juga keseluruah komponen secara kualitatif.
Dengan kata lain adalah pemerataan kesempatan pendidikan yang bermutu pada semua jalur,
jenis dan jenjang pendidikan. Termasuk dalam kebijakan ini adalah pengembangan
pendidikan kejuruan (SMK).
Pendidikan kejuruan merupakan program strategis untuk menyediakan tenaga kerja
tingkat menengah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa program ini kurang menarik
perhatian kebanyakan orangtua dan anak-anaknya, terutama dari golongan ekonomi
menengah ke atas. Demikian juga siswa yang prestasi akademiknya tinggi cenderung tidak
memilih pendidikan kejuruan, melainkan pendidikan umum yang lebih leluasa untuk

memasuki jenjang pendidikan tinggi. Usaha untuk menarik minat masyarakat termasuk
remaja lulusan pendidikan dasar, untuk memasuki sekolah kejuruan memang perlu dilakukan
dengan sungguh-sungguh. Usaha tersebut tidak cukup hanya dengan melakukan promosi
dengan misalnya mencetak dan menyebarkan informasi. Tetapi harus terlebih dahulu
ditunjukkan hasil yang bermutu dan berdayaguna.
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan satuan pendidikan
lainnya. Perbedaan tersebut dapat dikaji dari tujuan pendidikan, substansi pelajaran, tuntutan
pendidikan dan lulusannya. Pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk hidup
1

mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya. Dari
tujuan pendidikan kejuruan tersebut mengandung makna bahwa pendidikan kejuruan di
samping menyiapkan tenaga kerja yang profesional juga mempersiapkan peserta didik untuk
dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan program kejuruan
atau bidang keahlian

2

BAB II. DAFTAR PUSTAKA

A. Pengertian Pendidikan Kejuruan
Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan subsistem dari
sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang pendidikan
kejuruan dan definisi-definisi tersebut berkembang seirama dengan persepsi dan harapan
masyarakat tentang peran yang harus dijalankannya (Muchlas Samani, 1992:14)
Evans & Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa: “pendidikan kejuruan merupakan bagian
dari sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan atau kelompok
pekerjaan”. Sementara Harris dalam Slamet (1990:2), menyatakan: ”Pendidikan kejuruan
adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan atau beberapa jenis pekerjaan yang disukai individu
untuk kebutuhan sosialnya”.
Menurut House Committee on Education and Labour (HCEL) dalam (Oemar H. Malik,
1990:94) bahwa: “pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan
dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang
dipandang sebagai latihan keterampilan”. Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang
bersifat universal seperti yang dinyatakan oleh National Council for Research into Vocational
Education Amerika Serikat (NCRVE, 1981:15), yaitu bahwa “pendidikan kejuruan
merupakan subsistem pendidikan yang secara khusus membantu peserta didik dalam
mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja”.
Dari batasan yang diajukan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE tersebut dapat
disimpulkan bahwa salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus membedakan

dengan jenis pendidikan lain adalah orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk
memasuki lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE, Finch
& Crunkilton (1984:161) menyebutkan: “pendidikan kejuruan sebagai pendidikan yang

3

memberikan bekal kepada peserta didik untuk bekerja guna menopang kehidupannya
(education for earning a living)”.
Selanjutnya dari definisi yang diajukan oleh Evans & Edwin, Harris, HCEL, NCRVE maupun
Finch & Crunkilton dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan mempersiapkan peserta
didik untuk dapat bekerja pada bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan mereka agar
dapat memperoleh kehidupan yang layak melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
masing-masing serta norma-norma yang berlaku.
B. Ciri Pembelajaran Pendidikan Kejuruan
Ciri pendidikan kejuruan yang utama adalah sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja.
Secara historis, menurut Evans & Edwin (1978:36) pendidikan kejuruan sesungguhnya
merupakan perkembangan dari latihan dalam pekerjaan (on the job training) dan pola
magang (apprenticeship).
Pada pola latihan dalam pekerjaan, peserta didik belajar sambil langsung bekerja sebagai

karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk sebagai instruktur, sehingga
tidak ada jaminan bahwa peserta didik akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan. Walaupun demikian, menurut Elliot (1983:15), pola latihan dalam pekerjaan
memiliki keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang
sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri.
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus ditugasi sebagai
instruktur bagi karyawan baru (peserta didik) yang sedang belajar. Instruktur tersebut
bertanggungjawab untuk membimbing dan mengajarkan pengetahuan serta keterampilan
yang sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan demikian pola
magang relatif lebih terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh
pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan dalam pekerjaan
(Evans & Edwin, 1978:38).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih membawa pengaruh
terhadap pola kerja manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan bekal
pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi, sehingga pola magang dan latihan dalam
pekerjaan kurang memadai karena tidak memberikan dasar teori dan keterampilan sebelum

4

peserta didik memasuki lapangan kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu kemudian

berkembang bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang diselenggarakan oleh sekolah kejuruan
bekerja sama dengan kalangan industri, dengan tujuan memberikan bekal teori dan
keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja.
Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982:328) pendidikan kejuruan bertujuan
untuk:
(1) memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang laku di masyarakat,
sehingga peserta didik secara ekonomis dapat menopang kehidupannya, (2) membantu
peserta didik memperoleh atau mempertahankan pekerjaan dengan jalan memberikan bekal
keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkannya, (3) mendorong
produktivitas ekonomi secara regional maupun nasional, (4) mendorong terjadinya tenaga
terlatih untuk menopang perkembangan ekonomi dan industri, (5) mendorong dan
meningkatkan kualitas masyarakat.
Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh Wenrich & Wenrich
(1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: “(1) menghasilkan
tenaga kerja yang diperlukan oleh masyarakat, (2) meningkatkan pilihan pekerjaan yang
dapat diperoleh oleh setiap peserta didik, dan (3) memberikan motivasi kerja kepada peserta
didik untuk menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.”
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan Evans di atas, dapat
disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas pendidikan secara umum, pendidikan
kejuruan mengemban misi khusus, yaitu memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan

kepada peserta didik untuk memasuki lapangan kerja dan sekaligus menghasilkan tenaga
kerja terampil yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh Thorogood dan Evans di atas, Crunkilton
(1984:25) menyebutkan bahwa: ”salah satu tujuan utama pendidikan kejuruan adalah
meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga memperoleh kehidupan yang lebih baik
dari sebelumnya”. Menurut Miner (1974:48-56) bekal yang dipelajari dalam pendidikan
kejuruan akan merupakan bekal untuk mengembangkan diri dalam bekerja. Dengan bekal
kemampuan mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang bersangkutan dapat
meningkat dan pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik (Karabel & Hasley,
5

1977:14). Penelitian yang dilakukan Mulyani A. Nurhadi (1988) dan Samani (1992) ternyata
memperkuat pendapat Miner serta Karabel dan Hasley tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti diungkapkan oleh Crunkilton
tersebut, sangat penting karena pada umumnya siswa sekolah kejuruan berasal dari
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah (Suprapto Brotosiswoyo, 1991:8),
sehingga apabila sekolah kejuruan berhasil mewujudkan misinya berarti akan membantu
menaikan status sosial ekonomi masyarakat tingkat bawah. Dengan kata lain sekolah
kejuruan dapat membantu meningkatkan mobilitas vertikal dalam masyarakat (Elliot,
1983:42).

C. Pengelompokan Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan menurut struktur
programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan atas jenjang kecanggihan
keterampilan yang dipelajari atau jenjang pendidikan formal yang berlaku (Zulbakir dan
Fazil, 1988:7)
Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal pendidikan kejuruan tingkat sekolah
menengah (secondary) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan berbagai program
keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur, Elektronika Otomasi, Metals, Otomotif,
Teknik Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and
Tourism, penjualan, akuntansi, manajemen perkantoran dan sebagainya serta tingkat di atas
sekolah menengah (post secondary) misalnya politeknik (IEES, 1986:124)
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan bagaimana sekolah
kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja, Evans seperti yang dikutip oleh
Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah kejuruan menjadi lima kategori, yaitu (1)
program pengarahan kerja (pre vocational guidance education), (2) program persiapan kerja
(employability preparation education), (3) program persiapan bidang pekerjaan secara umum
(occupational area preparation education), (4) program persiapan bidang kerja spesifik
(occupational specific education), dan (5) program pendidikan kejuruan khusus (job specific
education).


6

Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang
berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai
pekerjaan tersebut, sedangkan pada program persiapan kerja, sekolah memberikan dasardasar sikap dan keterampilan kerja, meskipun masih bersifat umum. Dengan program ini
diharapkan peserta didik mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan,
meskipun tentunya masih harus melalui latihan di dalam pekerjaan.
Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum, sekolah memberikan bekal guna
meningkatkan kemampuan bekerja untuk bidang pekerjaan yang memerlukan pengetahuan,
peralatan yang sejenis. Dengan program ini diharapkan peserta didik mempunyai pilihan
lapangan pekerjaan yang lebih jelas dan lebih cepat mengikuti latihan di dalam pekerjaan.
Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah mengarah kepada jenis
pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu perusahaan tertentu. Lebih khusus lagi adalah
program pendidikan kejuruan khusus yang sudah terarah pada pekerjaan khusus, yaitu
mendidik siswa untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh suatu perusahaan tertentu.
Perjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh Evans di atas berarti juga
kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Makin khusus jenis pendidikan kejuruan
akan makin siap lulusannya memasuki lapangan kerja, tetapi juga makin sempit bidang
pekerjaan yang dapat dimasuki. Walaupun demikian, kecuali untuk keperluan tertentu
pendidikan kejuruan yang khusus (job specific education) sangat sulit diterapkan di

Indonesia, mengingat jenis industri di Indonesia sangat bervariasi. Di sini mulai timbulnya
dilema antara siap pakai atau siap latih dalam pendidikan kejuruan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991:6), yang penting adalah
kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk setiap kali
dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan tertentu (retrain ability). Dengan bekal
tersebut diharapkan lulusan sekolah menengah kejuruan tidak hanya terpancang pada jenis
pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru dengan
mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya secara optimal.
Sejalan dengan itu Tilaar (1991:12) menegaskan bahwa: “pendidikan formal (sekolah
kejuruan) seharusnya menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi siap latih yang

7

kemudian diteruskan dengan program pelatihan, baik di dalam industri atau lembaga
pelatihan tertentu”.

BAB III. SISTEM PENDIDIKAN KEJURUAN INDONESIA
Pendidikan kejuruan adalah pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta
didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu
A. Filosofi Pendidikan Kejuruan

Filosofi adalah apa yang diyakini sebagai suatu pandangan hidup yang diianggap benar dan
baik. Dalam pendidikan kejuruan ada dua aliran filosofi yang sesuai dengan keberadaanya,
yaitu eksistensialisme dan esensialisme.
Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengembangkan
eksistensi manusia untuk bertahan hidup, bukan merampasnya. Sedangkan esensialisme
berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengaitkan dirinya dengan sistem-sistem
yang lain seperti ekonomi, politik, sosial, ketenaga kerjaan serta religi dan moral.
B.Tujuan pendidikan kejuruan
Tujuan pendidikan kejuruan di Indonesia masih mendua, di satu sisi menyiapkan peserta
didik memasuki dunia kerja, di sisi lain melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi.
Akibatnya lulusan sekolah menengah kejuruan tidak sepenuhnya memfokuskan perhatian
untuk memasuki dunia kerja. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang spesifik,
demokratis, dapat melayani berbagai kebutuhan individu.

8

Program pendidikan kejuruan tidak hanya menyiapkan peserta didik memasuki dunia kerja,
tetapi juga menempatkan lulusannya pada pekerjaan tertentu.
C. Sistem pendidikan kejuruan di Indonesia
Untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian sumber daya manusia, perlu perubahan

kebijaksanaan berkenaan dengan pendidikan kejuruan. Upaya-upaya itu antara lain perubahan
dari sistem pendidikan supply-driven atas kebutuhan masyarakat luas ke sistem pendidikan
demand-driven yang dipandu oleh kebutuhan pasar kerja, perubahan dari sistem pendidikan
yang berbasis sekolah dengan pemberian ijazah ke sistem pendidikan yang memberikan
kompetensi sesuai dengan standar nasional yang baku.
Salah satu upaya peningkatan keterampilan dan keahlian sumber daya manusia yang
dikembangkan adalah sistem pendidikan kejuruan berdasarkan kompetensi yang dipacu oleh
kebutuhan pasar. Pengembangan sistem ini didasarkan kepada asumsi bahwa sistem
pendidikan kejuruan supply-driven yan diterapkan selama ini tidak dapat memenuhi
kebutuhan pelanggan, baik pelanggan masa kini maupun pelanggan maa depan.
Sistem pendidikan berdasarkan kompetensi mengupayakan agar keluaran dari suatu lembaga
pendidikan kejuruan memiliki keterampilan dan keahlian yang relevan dengan kebutuhan
pasar. Upaya ini dilakukan dengan mengembangkan suatu standar kompetensi dengan
masukan dari industri dan badan usaha lain. Standar kompetensi yang dihasilkan selanjutnya
digunakan sebagai pemberian sertifikat kompetensi. Dengan demikian maka sistem
pendidikan kejuruan yang dikembangkan mempunyai ciri, di samping mengacu pada profesi
dan keterampilan yang baku, juga dipandu oleh kebutuhan pasar kerja yang nyata.
Sistem pendidikan yang dikembangkan berfokus tidak hanya pada pendidikan formal. Tetapi
juga meliputi non-formal. Ada tiga jenis siswa yang merupakan sasaran sistem pendidikan
kejuruan yang harus dikembangkan; yaitu siswa sekolah kejuruan formal, para karyawan
yang sudah bekerja, dan para generasi muda calon pekerja. Standar kompetensi digunakan
sebagai ukuran untuk menilai tingkat keterampilan dan profesionalisme ketiga jenis siswa
tanpa memandang darimana dan bagaimana diperoleh, baik melalui lembaga pendidikan
formal , pendidikan luar sekolah ( off job training) atau pelatihan sambil bekerja (on the job
training). Setiap individu dapat menempuh ujian di lembaga yang telah ditentukan dan
memperoleh sertifikat kompetensi sesuai dengan keterampilan yang dimiliki, Untuk lembaga
9

pendidikan kejuruan formal, kepada para lulusan akan diberikan sertifikat kompetensi sesuai
dengan tingkat keterampilan dan keahlian yang dimiliki, disamping Surat Tanda Tamat
Belajar (STTB) yang selama ini diberikan. Sertifikat kompetensi yang telah dimiliki oleh
seseorang akan digunakan sebagai dasar untuk pengembangan kompetensi ke tinkat
selanjutnya.
Lembaga pendidikan luar sekolah ( off the job training), atau lembaga pelatihan sambil
bekerja ( on the job training) mengacu pada standar kompetensi yang baku. Sistem juga
memberi penghargaan kemampuan awal sebelum memasuki suatu program pendidikan. Hal
ini dilakukan dengan melakukan transfer kredit. Dengan demikian, untuk memasuki suatu
program tertentu seorang siswa hanya perlu menambah kekurangan keterampilan dan
pengetahuannya saja melalui bridging course atau bridging training. Dengan sistem ini,
seorang yang berdasarkan pengalaman dan hasil uji kompetensi yang dilakukan, telah
memiliki keterampilan dan keahlian tertentu dapat memasuki suatu program dengan tidak
harus menempuh pelajaran yang tidak dikuasai.
Untuk menjadi tenaga kerja yang profesional, siswa tidak hanya perlu memiliki pengetahuan
dan keerampilan, tetapi perlu memiliki kiat ( arts). Pengetahuan dan keterampilan dapat
dipelajari dan dilatih di sekolah, akan tetapi unsur kiat hanya dapat dikuasai melalui proses
pembiasan dan internalisasi. Sekolah pada umumnya hanya dapat memberikan berbagai
keterampilan dan pengetahuan dalam bentuk simulasi sehingga tidak mungkin diharapkan
untuk menghasilkan tenaga kerja yang profesional. Oleh karena itu, diperlukan suatu
kerjasama yang erat antara sekolah dan industri, baik dalam perencanaan dan
penyelenggaraan, maupun dalam pengolalaan pendidikan.Sehubungan dengan itu perlu
dikembangkan suatu sistem pendidikan kejuruan yang disebut sistem ganda.
Pendidikan sistem ganda adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
keahlian kejuruan yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di
sekolah dan program program pengusaan keahlian yang diperoleh melalui bekerja langsung
di dunia kerja, dan terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Dalam PSG, lembaga pendidikan atau lembaga pelatihan lainnya dan industri secara
bersama-sama menyelenggarakan suatu program pendidikan atau program pelatihan mulai
dari perencanaan, penyelenggaraan, dan penilaian, sampai dengan upaya penempatan lulusan.
Penaturan penyelenggaraan program kapan diselenggarakan di sekolah dan kapan
10

diselenggarakan di industri dapat mempergunakan hour release, day release, atau block
release.Komponen pendidikan Normatif, Adaftif, dan sub komponen Teori Kejuruan
diselenggarakan di sekolah, sedangkan subkomponen Praktek Keahlian Produktif
diselenggarakan di industri. Subkomponen Praktek Dasar Kejuruan dapat dilaksanakan di
sekolah atau industri.
Dalam era pasar setiap industri akan mengupayakan nilai tambah terhadap produksinya dan
ini akan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi-teknologi tinggi. Sementara itu,
teknologi itu sendiri berkembang secara terus menerus. Para ahli melaporkan bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi berubah 15 % setiap tahun dan perubahan ini akan meningkat
menjadi 2 kali lipat dalam lima tahun. Suatu hal yang perlu difahami bahwa teknologi tinggi
tidak dapat memberikan nilai tambah terhadap upaya manusia.. Hanya manusialah yang dapat
menghasilkan nilai tambah dengan memanfaatkan bantuan teknologi. Oleh karena itu,kepada
siswa perlu ditanamkan pemahaman yang mendasar akibat hakekat teknologi dan rasa ingin
mendapatkan nilai tambah terhadap setiap upaya yang dilakukan dengan bantuan
teknologi.Tanpa sikap ini maka akan terbentuk suatu bangsa yang sekaligus tenaga kerja,
yang apatis terhadap perubahan teknologi dan merasa teknologi sebagai milik suatu
kelompok atau bangsa elit tertentu. Pendidikan teknologi merupakan bagian yang sangat
penting dalam membentuk warga negara.
Sesungguhnya, penerapan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di SMK telah berjalan sejak
tahun 1993/1994 hingga sekarang. Sistem ini merupakan implementasi dari konsep mitch and
match. Dengan PSG, perancangan kurikulum, proses pembelajaran, dan penyelenggaraan
evaluasinya didesain dan dilaksanakan bersama-sama antara pihak sekolah dan industri.
Diharapkan nantinya para lulusan SMK akan menjadi para lulusan yang siap kerja. Melalui
PSG, siswa belajar di dua tempat, yaitu sekolah dan industri.
Di sekolah, para siswa belajar teori dari para guru atau instruktur yang kegiatannya yang
pada umumnya dibiayai pemerintah. Sedangkan kegiatan belajar yang diselenggarakan di
perusahaan/industri, artinya para siswa ini belajar dan mendapatkan pelatihan praktik dari
para instruktur dari pihak sekolah yang bersangkutan. Pembiayaannya dilakukan oleh
perusahaan terkait.
Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa sekolah melakukan semacam outsourcing yang
dikerjakan oleh industri dalam bentuk penyediaan alat, instruktur, dan pengalaman praktik di
11

lapangan. Sedangkan industri melihat sekolah sebagai bagian dari Human Resources
Development (HRD) atau sumber daya manusia perusahaannya yang mencetak tenaga ahli
yang andal dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Untuk memuluskan kerjasama antar sekolah dan industri dalam penyelenggaraan PSG,
MPKN tingkat provinsi yang beranggotakan unsur-unsur dari kedua belah pihak, berfungsi
menjembataninya. Melalui kelompok-kelompok bidang keahliannya, MPKN membantu
SMK dalam mengembangkan standar penyelenggaraaan pendidikan dan pelatihan, maupun
bahan ajar yang diperlukan.
Pada awalnya bagi para siswa SMK, diberlakukan masa praktik kerja industri selama 3 bulan.
Namun menurut Gatot, hasil dan prosesnya dinilai kurang efisien dan terlalu sebentar. Maka,
mulai tahun 1999 hingga sekarang, diterapkan masa praktik kerja industri selama 6 bulan.
Malah, sebenarnya waktu 6 bulan ini juga masih dirasa cukup singkat bagi proses praktik
kerja industri. Gatot membandingkannya dengan sistem pendidikan kejuruan yang ada di
Jerman. Dalam sepekan, selama 2 hari anak-anak mendapatkan teori di kelas, sedangkan tiga
hari berikutnya kegiatan pembelajaran berlangsung di industri. Mungkin, di Indonesia masih
perlu berubah setahap demi setahap.
Setelah pemberlakuan masa praktik kerja yang diperpanjang menjadi 6 bulan, proses ini juga
memudahkan para siswa untuk memperoleh peluang praktik kerja ke luar negeri. Kegiatan
praktik kerja di luar negeri ini telah dilakukan sejak tahun 1999. Pada mulanya, Direktorat
Pendidikan Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur) mengirimkan 200 kepala sekolah SMK
untuk melakukan studi banding ke Malaysia. Berikutnya, giliran para siswanya yang
diberangkatkan magang ke luar negeri. Di tahun yang sama, sekitar 400 siswa SMK
berangkat praktik kerja ke luar negeri. Hingga perkembangannya sampai dengan tahun 2004,
telah ada sekitar 2.000 siswa SMK seluruh Indonesia yang dikirim ke Malaysia. 80% nya
melakukan praktik kerja di bidang perhotelan dan pariwisata.
Negara tujuannya tak hanya sebatas Tanah Melayu Malaysia, melainkan juga ke negaranegara lain misalnya ke Singapura, Jepang, Inggris, Jerman, Oman, dan Kuwait. Saat itu,
Gatot Hari Priowirjanto berharap, pada tahun 2020 nanti sebanyak 10% dari bisnis hotel dan
pariwisata di dunia, tenaga kerjanya berasal dari Indonesia. “Ini memang sebuah mimpi
besar. Dan kita harus menyiapkannya secara serius,” ucapnya. Selain memfasilitasi para
siswa SMK melakukan praktik kerja di luar negeri, Direktorat Dikmenjur juga mendorong
12

dan memberi kesempatan bagi para guru, kepala sekolah, pejabat Dinas Pendidikan dan
pengajaran di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk ikut memperluas pengetahuan
konsep penyelenggaraan pendidikan kejuruan di luar negeri.
Kini setiap tahun, Direktorat Dikmenjur telah mengirim 100 sampai 200 pejabat terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan kejuruan untuk berangkat ke luar negeri. Mereka dikirim
dalam beberapa gelombang, ke negara yang berbeda-beda, dengan biaya yang sebagian
ditanggung oleh pemda masing-masing, sebagian lainnya ditanggung oleh Direktorat
Dikmenjur.
Menginjak periode kepemimpinan Dr. Joko Sutrisno, Direktorat Dikmenjur (sejak 2005)
lebih menyempurnakan desain reposisi pendidikan SMK melalui beberapa terobosan.
Beberapa hal diantaranya adalah mengembangkan SMK bertaraf internasional dengan
metode bilingual, pencitraan kredibilitas SMK melalui program sosialisasi, dan memenuhi
kebutuhan peralatan produksi secara mandiri lewat unit produksi di masing-masing SMK.
Termasuk didalamnya, program penguatan pengetahuan eksakta/sains melalui peningkatan
bobot jam belajar hingga 6 jam setiap minggunya bagi SMK jurusan elektronika, automotif
dan jurusan eksaskta lainnya. Diharapkan, ini dapat membuka peluang seluas-luasnya bagi
siswanya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, Direktorat
Dikmenjur juga melakukan sertifikasi kompetensi untuk para lulusan SMK bidang otomotif,
perhotelan, Teknologi Informasi, sekretaris, busana, dan tata boga.
Selain itu, Direktorat Dikmenjur juga mengarahkan praktek kerja industri untuk lebih
memilih ke lokasi dalam negeri. Pertimbangannya adalah, untuk mendukung program
penguatan ekonomi lokal dan potensi produksi pangan dalam negeri. “Ini juga supaya petani
dan peternak di Indonesia memahami nilai ekonomi produk mereka. Jadi, mereka bersama
para lulusan SMK bisa tingkatkan perekonomian di daerah masing-masing,” ucapnya
berharap.

E. Peningkatan mutu lulusan

13

Kualitas SMK ditentukan setidaknya oleh mutu para lulusannya. Dukungan metode belajar
mengajar juga jadi ujung tombaknya. Melihat latar belakang perkembangan kurikulumnya,
tercatat bahwa pada kurikulum tahun 1994 telah dicantumkan istilah pembelajaran berbasis
kompetensi atau competency based training (CBT). Namun pelaksanaannya belum optimal.
Dan pada tahun 1999 Direktorat Dikmenjur meluncurkan suplemen untuk penyempurnaan
pelaksanaan konsep pembelajaran berbasis kompetensi ini. Konsep CBT merupakan
gabungan antara pendidikan kentrampilan, pengetahuan, dan sikap.
Standar kompetensi itu pun disusun setelah berkonsultasi dengan para pengelola industri,
pengelola perusahaan, para pekerja, dan asosiasi profesi. Setiap program keahlian harus
memiliki sederet kompetensi. Ukurannya menyangkut pada dua hal, yaitu presisi dan waktu.
Misalnya, seorang tenaga kerja cleaning service di sebuah hotel dikatakan memiliki
kompetensi jika ia bisa membersihkan toilet dalam waktu 7 menit. Artinya, seseorang
dikatakanan kompeten jika ia dapat menyelesaikan pekerjaan di bidangnya dengan cermat,
tepat, dan cepat sesuai standar waktu yang telah ditentukan. Kurikulum berbasis kompetensi
yang mengacu pada CBT, isinya lebih sederhana dibandingkan dengan kurikulum tahun 1994
yang lalu.
Kurikulum berbasis kompetensi, lebih menekankan pada tujuan (hasil) atau out put nya, dan
bukan pada proses yang terlalu mengacu pada text book (buku panduan pelajaran/buku
paket). Dalam pelaksanaannya, diberikan pula rekomendasi tahapan-tahapan yang harus
dicapai. Namun tahapan ini hanya bersifat acuan saja, dan proses pencapaiannya menjadi
tanggung jawab dan kreatifitas sekolah masing-masing. Selain itu, Direktorat Dikmenjur
juga memasukkan pelajaran komputer dan kewirausahaan sebagai mata pelajaran wajib bagi
semua siswa SMK di seluruh Indonesia.
Pertimbangannya adalah tuntutan kebutuhan yang cukup tinggi dari dunia industri atas
kompetensi siswa di bidang komputerisasi dan kewirausahaan.

’Tongkat estafet’

peningkatan mutu lulusan SMK, dilanjutkan Dr. Joko Sutrisno dengan peningkatan kualitas
guru kejuruan yang juga dibidani oleh P4TK (Pusat Pengembangan Penataran Pendidik dan
Tenaga Kependidikan) melalui program pendidikan dan pelatihan yang diadakan rutin lima
tahun sekali dengan jumlah peserta sekitar 4.000 s/d 5.000 orang guru kejuruan.
Joko menuturkan bahwa pelaksanaan diklat selama ini belum mempunyai format yang baku.
Untuk kedepan, ia mengharapkan Direktorat Jenderal PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik
14

dan Tenaga Kependidikan) dapat membuat format baku pelatihan yang sesuai dengan
kebutuhan pengembangan dan peningkatan mutu lulusan SMK. Di sisi lain, Direktorat
Dikmenjur juga menuturkan masih kurangnya pasokan tenaga guru kejuruan dari lulusan
pendidikan guru kejuruan. Selama ini pasokan tenaga guru kejuruan hanya mencapai angka
4.500 pertahun dan masih jauh dari kebutuhan tenaga guru (sebanyak 10.000 orang
pertahunnya) di seluruh Indonesia.
Perkembangan mutu lulusan SMK kini dipandu oleh kurikulum baru. Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Penerapannya, dibawah bimbingan BSNP (Badan Standar
Nasional Pendidikan). Sekolah sudah bisa improvisasi dalam penyusunan kurikulum. Hal ini
mendukung pengembangan bobot jam belajar teori dan ptraktik. Kini, bobot disamakan
menjadi sama rata, dan bukan mengurangi jam belajar teori untuk kemudian
menggelembungkan waktu belajar praktik.
Dalam

rangka

mendukung

upaya

peningkatan

mutu

lulusan

SMK,

pemerintah

mengalokasikan anggaran khusus untuk peningkatan mutu SMK. Tahun 2007, alokasi
dananya naik sebesar 50% dibanding tahun 2006, menjadi sekitar Rp 1,6 triliun. Untuk
anggaran peningkatan mutu SMK tahun 2008, sudah ada kenaikan mencapai 25% hingga
dananya meningkat menjadi Rp 1,9 triliun. Jumlah yang sangat menggembirakan untuk
mendukung program peningkatan mutu para lulusannya.
Pihak Direktorat Dikmenjur juga sangat optimis terhadap kompetensi lulusan SMK. Joko
menjelaskan bahwa sesungguhnya SMK melahirkan para lulusan yang lebih siap adaptasi dan
siap latih. “Kami melahirkan para lulusan yang bukan hanya siap kerja saja, tetapi juga cerdas
dan kreatif,” ujarnya sedikit berpromosi.
Idealnya pihak dunia usaha, industri, dunia kerja yang lebih berperan menentukan,
mendorong, dan menggerakkan pendidikan kejuruan, karena mereka adalah pihak yang lebih
berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja.
Asosiasi kejuruan di Indonesia merupakan kumpulan lembaga pendidikan kejuruan (SMK,
Program Diploma, Politeknik, FT, FPTK, JPTK, P3G Teknologi dan Kesenian, dan Balaibalai Diklat Industri), serta kumpulan orang-orang sebagai pendidik (guru, instruktur, dosen,
widyaiswara) pada lembaga pendidikan teknologi dan kejuruan.

15

BAB. IV. PENUTUP

Meskipun pendidikan kejuruan tidak terpisahkan dari sistim pendidikan secara
keseluruhan, namun sudah barang tentu mempunyai kekhususan atau karakteristik tertentu
yang membedakannya dengan pendidikan yang lain. Perbedaan ini tidak hanya dalam
definisi, struktur organisasi dan tujuan pendidikannya saja, tetapi juga tercermin dalam aspekaspek lain yang erat kaitannya dengan perencanaan kurikulum, yaitu :

1. Orientasi pendidikannya
Keberhasilan belajar berupa kelulusan dari sekolah kejuruan adalah tujuan terminal,
sedangkan keberhasilan program secara tuntas berorientasi pada penampilan para lulusannya
kelak dilapangan kerja
2. Justifikasi untuk eksistensinya
Untuk mengembangan PTK perlu alasan atau jastifikasi khusus yang ini tidak begitu
dirasakan oleh pendidikan umum. Jastifikasi khusus adalah adanya kebutuhan nyata yang
dirasakan di lapangan.
3. Fokus kurikulumnya
16

Stimuli dan pengalaman belajar yang disajikan melalui pendidikan kejuruan mencakup
rangsangan dan pengalaman belajar yang mengembangkan domain afektif, kognitif dan
psikomotor berikut paduan integralnya yang siap untuk dipadukan baik pada situasi kerja
yang tersimulasi lewat proses belajar mapupun nanti dalam situasi kerja yang sebenarnya. Ini
termasuk sikap kerja dan orientasi nilai yang mendasari aspirasi, motivasi dan kemampuan
kerjanya.
4. Kriteria keberhasilannya
Berlainan dengan pendidikan umum, kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu lembaga
pendidikan kejuruan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda yaitu in school succes dan out
of school succes. Kriteria pertama meliputi aspek keberhasilan siswa dalam memenuhi
persyaratan kurikuler yang sudah diorientasikan ke persyaratan dunia kerja, sedang kriteria
yang kedua diindikasikan oleh keberhasilan atau penampilan lulusan setelah berada di dunia
kerja yang sebenarnya
5. Kepekaannya terhadap perkembangan masyarakat
Karena komitmen yang tinggi untuk selalu berorientasi ke dunia kerja, pendidikan kejuruan
mempunya ciri lain berupa kepekaan atau daya suai yang tinggi terhadap perkembangan
masyarakat dan dunia kerja. Perkembangan ilmu dan teknologi pasang surutnya dunia suatu
bidang pekerjaan, inovasi dan penemuan-penemuan baru di bidang produksi barang dan jasa,
semuanya itu sangat besar pengaruhnya terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan
kejuruan.
6. Perbekalan logistiknya
Dilihat dari segi peralatan belajar, maka untuk mewujudkan situasi atau pengalaman belajar
yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif diperlukan banyak
perlengkapan, sarana dan perbekalan logistik yang lain. Bengkel dan laboratorium adalah
kelengkapan umum yang menyertai eksistensi suatu sekolah kejuruan.
7. Hubungannya dengan masyarakat dunia usaha.

17

Hubungan lebih jauh dengan masyarakat yang mencakup daya dukung dan daya serap
lingkungan yang sangat penting perannya bagi hidup dan matinya suatu lembaga pendidikan
kejuruan. Perwujudan hubungan timbal balik yang menunjang ini mencakup adanya dewan
penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory commite), kesediaan dunia usaha
menampung anak didik sekolah kejuruan dalam program kerjasama yang memungkinkan
kesempatan pengalaman belajar dilapangan.

18