KEADILAN HUKUM DALAM PASAL 12 UNDANG UND
KEADILAN HUKUM DALAM PASAL 12
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Syofyan Hadi, Tomy Michael
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Email: [email protected]
Abstrak
Di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 termaktub bahwa ―Setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama
sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama ‖.
Kata ―seagama‖ dalam pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28E dan Pasal 29
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena menjadikan peserta didik tidak memiliki hak
secara utuh. Hak yang dimaksud yaitu adanya pembatasan terhadap agama tertentu
yang telah dinormakan oleh pemerintah seperti yang termaktub dalam PNPS No.
1-1965. Walaupun di dalam penafsiran ilmu hukum, tidak terdapat agama resmi sesuai
acuan pemerintah dalam PNPS No. 1-1965. Kesimpulannya bahwa Pasal 12 ayat (1)
huruf a UU No. 20-2003 bertentangan dengan Pasal 1 UU No. 39-1999, keberagaman
SARA di Indonesia dan tidak menciptakan tujuan hukum tertinggi yaitu keadilan
hukum. Saran yang diambil yaitu mengubah bunyi Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No.
20-2003 menjadi ―Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama dan/atau kepercayaan sesuai dengan agama dan/atau
kepercayaan yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama dan/atau
sekepercayaan‖.
Kata kunci: agama, pendidikan, keadilan, kepercayaan.
A. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, agama, ras dan antar
golongan (SARA) menimbulkan permasalahan hukum tersendiri. Seluruh peraturan
perundang-undangan yang dirancang harus berorientasi pada keadilan hukum,
kemanfaatan hukum dan kepastian hukum agar eksistensi SARA tersebut benar-benar
terjaga. Mengingat masih jamaknya pembentukan peraturan perundang-undangan yang
cenderung berpihak pada SARA tertentu maka penulis tertarik untuk membahas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU No. 20-2003).
UU No. 20-2003 ini sangat penting untuk dikaji karena pendidikan merupakan
suatu perbuatan yang bersifat ilmiah. Pendidikan dapat dipertanggungjawabkan dan
pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam perkembangan suatu negara. Penulis
beranggapan bahwa pendidikan adalah dasar yang harus mendapatkan perhatian utuh,
oleh karena itu melihat Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) termaktub “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan”. Hal ini sesuai pembukaan UUD NRI Tahun 1945 bahwa
“Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kemudian lebih lanjut dalam
Pasal 1 angka 1 UU No. 20-2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
1
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Muncul permasalahan hukum ketika Pasal 1 angka 1 UU No. 20-2003 dikaitkan
dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 bahwa “Setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama
yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Kata “seagama” dapat
ditafsirkan 1 secara luas oleh siapapun karena akan mempersempit ruang lingkup
hakikat agama di Indonesia.
Sebagai perbandingan, di Pasal 30 UU No. 20-2003 termaktub bahwa:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Di dalam UU No. 20-2003, penjelasan pasal ini hanya tertulis “cukup jelas”. Dengan
adanya fungsi pendidikan keagamaan menjadi anggota masyarakat yang memahami
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama adalah
hal yang bertentangan dengan hakikat masyarakat itu sendiri. Pendidikan keagamaan
adalah hal yang diperoleh melalui kehidupan sehari-hari.
Pemahaman akan agama sering kali terbatas pada pengetahuan yang sempit
namun pelaksanaannya dalam koridor yang luas. Ketika hal tersebut tetap terjadi maka
keadilan hukum sebagai tujuan hukum tertinggi di Indonesia tidak akan tercapai
dengan baik dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa
Indonesia adalah negara hukum.
B. Pembahasan
1. Penafsiran Hukum Kata “Seagama”
Mengacu pada penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia
Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan
Agama (PNPS No. 1-1965) bahwa “selain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha dan khong Cu (Confusius) mendapatkan jaminan dari negara. Ini tidak berarti
bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di
Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2
dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.
Isi lengkap Penjelasan Pasal 1 PNPS No. 1-1965 bahwa:
1
Penafsiran dan interpretasi memiliki arti yang berbeda namun keduanya dari satu kata yang sama yaitu
hermeneuein . Penafsiran dapat diartikan sebagai mengartikan makna teks yang dapat berupa simbol,
perilaku, tindakan, norma, tata nilai, mimik, isi pikiran, percakapan, benda-benda kebudayaan dan
seluruh alam semesta yang dianggap sebagai teks. Sedangkan interpretasi dapat diartikan sebagai
mengartikan melalui pembicaraan seseorang. Penulis perlu menegaskan arti dari penafsiran dan
interpretasi walaupun dalam paragraf berikutnya dapat ditemukan pencampuradukan antara penafsiran
dan interpretasi. Pencampuradukan tersebut tetap penulis lakukan sesuai buku acuan yang digunakan.
2
―[Dengan kata-kata ―Dimuka Umum‖ dimaksudkan apa yang lazim diartikan
dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan
dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam
Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh
pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat
bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini
tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian,
Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti
yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau
peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah
berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan kearah
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No.
II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6. Dengan kata -kata ―Kegiatan
keagamaan‖ dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan,
misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan
istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran
kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok
ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu
mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya.] ‖
Maka apabila dikaitkan dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003,
setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik seagama tidak sejalan dengan hakikat Pancasila
dan PNPS No. 1-1965. Penjelasan Pasal 1 PNPS No. 1-1965 dapat ditafsirkan bahwa
keenam agama tersebut bukanlah agama resmi karena proses melegalkannya hanya
berdasarkan norma sinderesis yaitu dengan adanya frasa “Karena 6 macam Agama ini
adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia”.
Frasa demikian bertentangan dengan asas kejelasan rumusan dalam Pasal 5
huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12-2011) bahwa “setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya”. Selain itu, frasa tersebut tidak dapat dijadikan
sebagai landasan filosofis dalam konsiderans karena ketidakjelasan hakikat
didalamnya.
Berikutnya frasa “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi,
Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh
seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan
perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha
menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa”.
Padahal apabila diperhatikan secara cermat frasa “Ini tidak berarti bahwa
agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di
Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2
dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
3
dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan,
Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, maka Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism tidak
dilarang karena terdapat frasa “asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan,
Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Frasa ini dapat ditafsirkan bahwa pada hakikatnya,
keenam agama lazim (penulis menggunakan istilah ini dikarenakan norma sinderesis)
dan Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism serta diluarnya tetaplah diakui karena
bersandarkan pada Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Di dalam kajian ilmu pengetahuan perundang-undangan (gezetzgebung
swissenschaft) yang terdiri dari teori Perundang-undangan (gesetzgbungs theorie) dan
ilmu perundang-undangan (gesetzgebungs lehre) secara umum penafsiran hukum yang
digunakan adalah penafsiran tekstual. Craig Ducat menyatakan bahwa secara objektif
proses pemaknaan konstitusi dilakukan melalui dua perangkat penafsiran (tools of
constitutional interpretation) yaitu penafsiran konstitusi didasarkan pada pemaknaan
naskah konstitusi secara umum (konstitusi diberi makna biasa atau umum sebagaimana
bunyi naskah konstitusi itu sendiri) dan kedua adalah intent of framers (konstitusi
ditafsirkan berdasarkan kehendak para perumusnya yaitu seperti apa para perumus
konstitusi memberi makna pada naskah konstitusi ketika konstitusi itu disusun).
Pendapat lainnya menyatakan bahwa penafsiran tekstual disebut juga textualism,
literalism atau plain word approach . Metode ini mendasarkan interpretasi pada kata
yang secara aktual terdapat dalam suatu aturan jika arti dari kata-kata tersebut tidak
mendua.
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan penafsiran hukum milik Hans-Georg
Gadamer dengan argumen menemukan kesimpulan yang tepat dan mempersempit
penafsiran hukum yang luas karena dengan merujuk pemikiran satu tokoh akan
memperkaya tulisan ini. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa metode bukanlah
sebagai sarana untuk mencapai kebenaran sebab metode ketidakmampuan
mengeksplisitkan kebenaran sendiri. Sehingga yang menjadi persoalan bukanlah
terletak pada kebenaran semata melainkan pada uraiannya tentang implikasi dari
kenyataan bahwa kebenaran-kebenaran yang diklaim berbagai ilmu itu luruh ke dalam
keuniversalan “pengalaman hermeneutis” pengalaman aktual manusia ketika
memahami sesuatu. Secara lugas pemikiran Hans-Georg Gadamer terkait penafsiran
bukanlah berpusat pada soal metode dan bukan membuat aturan-aturan pemahaman
yang “secara objektif sah”, melainkan memahami pemahaman sekomprehensif
mungkin. Hans-Georg Gadamer mengembangkan ontologi pemahaman menjadi
hermeneutika dialektik menjadi hermeneutika spekulatif yang mempersiapkan dasar
filsafat bagi pendalaman yang kritis tentang berbagai konsepsi interpretasi.2 Pemikiran
Hans-Georg Gadamer sejalan dengan tidak ada acuan resmi apakah itu agama resmi di
Indonesia.
2
Lebih lanjut dalam Joko Siswanto, Horizon Hermeneutika , Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2016, h. 63-65.
Hal ini dipertegas lagi memasuki masalah-masalah hermeneutika dan kritisisme adalah demi tujuan
ontologi, lebih lanjut dalam Hans-Georg Gadamer, Kebenaran Dan Metode , Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, h. 321.
4
Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut jika ditelaah lebih lanjut sebetulnya
merupakan kebebasan yang wajib diakui negara karena tidak terdapat definisi pasti
apakah yang disebut dengan Tuhan3 atau tuhan4.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa haruslah ditafsirkan sebagai
sila yang melingkupi keempat sila lainnya. Keenam agama lazim memiliki kedudukan
3
Write up the name of God [Christ] in some spot and setup His image opposite and you will see which
will be most reverenced. Painting comprehends in itself all the forms of nature, while you have nothing
but words, which are not universal as form is, and if you have the effects of the representation, we have
the representation of the effects. Take a poet who describes the beauty of a lady to her lover and a painter
who represents her and you will see to which nature guides the enamoured critic. Certainly the proof
should be allowed to rest on the verdict of experience. You have ranked painting among the mechanical
arts but, in truth, if painters were as apt at praising their own works in writing as you are, it would not lie
under the stigma of so base a name. If you call it mechanical because it is, in the first place, manual, and
that it is the hand which produces what is to be found in the imagination, you too writers, who set down
manually with the pen what is devised in your mind. And if you say it is mechanical because it is done for
money, who falls into this error —if error it can be called —more than you? If you lecture in the schools
do you not go to whoever pays you most? Do you do any work without pay? Still, I do not say this as
blaming such views, for every form of labour looks for its reward. And if a poet should say: "I will invent
a fiction with a great purpose," the painter can do the same, as Apelles painted Calumny. If you were to
say that poetry is more eternal, I say the works of a coppersmith are more eternal still, for time preserves
them longer than your works or ours; nevertheless they have not much imagination [29] . And a picture,
if painted on copper with enamel colours may be yet more permanent. We, by our arts may be called the
grandsons of God. If poetry deals with moral philosophy, painting deals with natural philosophy. Poetry
describes the action of the mind, painting considers what the mind may effect by the motions [of the
body] . If poetry can terrify people by hideous fictions, painting can do as much by depicting the same
things in action. Supposing that a poet applies himself to represent beauty, fer ocity, or a base, a foul or a
monstrous thing, as against a painter, he may in his ways bring forth a variety of forms; but will the
painter not satisfy more? are there not pictures to be seen, so like the actual things, that they deceive men
and animals?, can be read on Leonardo Da Vinci, The Notebooks of Leonardo Da Vinci, The Project
Gutenberg EBook of The Notebooks of Leonardo Da Vinci, 2004, Complete by Leonardo Da Vinci. p.
531.6.
The laws governing inheritance are quite unknown; no one can say why the same peculiarity in different
individuals of the same species, and in individuals of different species, is sometimes inherited and
sometimes not so; why the child often reverts in certain characters to its grandfather or grandmother or
other much more remote ancestor; why a peculiarity is often transmitted from one sex to both sexes or to
one sex alone, more commonly but not exclusively to the like sex. It is a fact of some little importance to
us, that peculiarities appearing in the males of our domestic breeds are often transmitted either
exclusively, or in a much greater degree, to males alone, can be read on Charles Darwin, The Origin Of
Species, 2013, The Project Gutenberg EBook of On the Origin of Species. p. 48.3. Penulis tetap
menggunakan bahasa Inggris agar tercipta pemahaman yang utuh, lebih lanjut dalam Tomy Michael, The
Correlation Of Oath And God In The Constitution Of Republic Of Indonesia 1945, 2016, The 2016
International Conference and Call for Papers (ICCP) UNS Theme ―The Administration of Justice‖, h.
209-216.
4
Perhatikan juga Pasal 3 UU No. 20-2003 bahwa “Sebagai perbandingan pertama, penulis mengutip
Pasal 35 ayat (3) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi (UU No. 12-2012) bahwa Yang dimaksud dengan “mata kuliah agama” adalah pendidikan untuk
membentuk Mahasiswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta berakhlak mulia. Perbandingan kedua yaitu dengan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU No. 20-2013) bahwa Mahasiswa
yang telah lulus program profesi dokter atau profesi dokter gigi wajib mengangkat sumpah sebagai
pertanggungjawaban moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas keprofesiannya.
Khusus di dalam UU No. 20-2013 tidak terdapat kata “agama” atau “seagama”.
5
yang sama dengan Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism serta diluarnya. Dapat
dipahami juga bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan petunjuk yang sekaligus
norma melindungi ketika munculnya permasalahan terkait SARA.
Kata “seagama” apabila ditafsirkan secara mendalam berdasarkan gaya
penafsiran Hans-Georg Gadamer maka akan ditemukan bahwa agama merupakan
kesatuan manusia dengan apa yang dipercayainya. Selain itu, seagama dalam konteks
ke-Indonesia-an adalah pembatasan terhadap eksistensi SARA itu sendiri. Penafsiran
ini dapat menimbulkan polemik karena berusaha mengedepankan pemikiran subjektif
tetapi dengan bersandar pada pemikiran Hans-Georg Gadamer maka kata “seagama”
menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri. Pemahaman kita satu sama lain
membentuk sebuah horizon yang melampaui subjektivitas kita masing-masing, dan
horizon itu – yang adalah ruang yang memiliki batas-batas – memungkinkan sekaligus
membatasi kita dalam memahami sesuatu. Dapat dipahami juga, memahami adalah
peleburan antara horizon masa silam dari pengarang dan horizon masa kini dari
pembaca.5
Kata “seagama” pun juga tidak serta merta menunjukkan kesatuan agama
didalamnya, “seagama” dapat ditafsirkan dengan segala aliran-aliran didalamnya
karena tidak terdapat satu agama yang sama persis didalamnya akibat banyak hal yang
mempengaruhinya. Apabila mengacu pada pemikiran Aristocles atau yang lebih
dikenal dengan Platon6 dan Francois-Marie Arouet atau yang lebih dikenal dengan
Voltaire7 diketahui bahwa agama dalam suatu peraturan negara memiliki dampak yang
besar ketika tokoh-tokoh agama dan parlemen berbeda pandangan.
5
F Budi Hardiman, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius, 2015, h. 163.
Penulis menggunakan nama Platon sesuai teks dialog Socrates dalam Republik.
[If a man wants to know the origin of states and societies, he should behold them from the point of view of
time. Thousands of cities have come into being and have passed away again in infinite ages, every one of
them having had endless forms of government; and if we can ascertain the cause of these changes in
states, that will probably explain their origin. What do you think of ancient traditions about deluges and
destructions of mankind, and the preservation of a remnant? ‗Every one believes in them. ‘ Then let us
suppose the world to have been destroyed by a deluge. The survivors would be hill-shepherds, small
sparks of the human race, dwelling in isolation, and unacquainted with the arts and vices of civilization.
We may further suppose that the cities on the plain and on the coast have been swept away, and that all
inventions, and every sort of knowledge, have perished. 'Why, if all things were as they now are, nothing
would have ever been invented. All our famous discoveries have been made within the last thousand
years, and many of them are but of yesterday.‘], dapat dilihat pada Plato, Laws, The Project Gutenberg,
2003, h. 115,9.
7
Anda menjawab bahwa perbedaan begitu besar. Semua agama yang ada adalah karya manusia dan
hanya Gereja Katolik, Apostolik dan Romawi-lah satu-satunya agama karya Tuhan. Tapi sejujurnya oleh
karena agama kita adalah takdir Ilahi, haruskah agama memerintah dunia melalui kebencian, melalui
pengucilan-pengucilan, melalui pencabutan harta kekayaan, para tahanan, penganiayaan-penganiayaan,
korban jiwa, dan melalui gerakan-gerakan pengambilan korban jiwa untuk Tuhan? Sebagian besar orang
menganggap agama Kristen adalah wahyu Ilahi, selebihnya agama lain hanya merupakan perintah dari
manusia. Apabila Tuhan yang memberikan wahyu pada kita maka Tuhan akan mendukung agama itu
tanpa Anda. Tahukan Anda bahwa intoleransi hanya menghasilkan orang-orang hipokrit atau para
pemberontak. Pada akhirnya, inginkah Anda mendukung agama dari Tuhan yang menyuruh para algojo
untuk membunuh atau Tuhan yang hanya menganjurkan kelembutan dan kesabaran? Aku berterima
kasih pada Anda, jika Anda memperhatikan beberapa konsekuensi kejam dari sifat intoleransi.
Intoleransi mengijinkan orang-orang untuk menguras habis harta seseorang, menjatuhkannya ke dalam
penjara, membunuh seorang warga yang memiliki hak sama untuk melakukan sesuatu dengan bebas,
intoleransi tidak menyatakan satu agama dalam tingkat terbawah. Apakah pengecualian agama itu telah
melindungi negara dari hukuman yang sama? Satu agama mengikat secara hukum terhadap seorang raja
maupun para pengemis. Juga hampir lima puluh orang dokter telah menyatakan dengan tegas kekejaman
yang menakutkan. Raja juga telah mengijinkan mereka untuk memberi kesaksian dan untuk membunuh
semua orang yang tidak sepaham dengan gereja. Parlemen dari pihak kerajaan pun selalu mengucilkan
6
6
Pemikiran lain menurut Immanuel Kant bahwa agama adalah perluasan dari
bidang moral. Hukum tertinggi perbuatan manusia ditemukan di dalam kehendak bebas
manusia yang adalah akal budi dalam fungsi praktis akal budi yaitu kemampuan akal
budi untuk menentukan perbuatan manusia. Fungsi praktis akal budi dipandang sebagai
prinsip tertinggi yang menjadi hukum moral perbuatan yang bersifat formal, imperatif,
universal dan kategoris. Hukum itu berbunyi “Lakukanlah sedemikian rupa, sehingga
prinsip kehendakmu bisa berlaku setiap saat sekaligus sebagai prinsip penetapan
hukum umum”. Agama bersumber pada hukum moral tersebut, dan secara praktis
agama menurut Immanuel Kant berisikan ajaran-ajaran moral yang berhubungan
dengan “kebaikan tertinggi” dan dalam ranah akademis, agama adalah bagian hakiki
dari filsafat moral. Diartikan juga agama sebagai perintah ilahi, bukan sebagai
sanksi-sanksi tetapi sebagai hukum hakiki setiap kehendak bebas.8
Penulis juga membandingkan agama menurut Sumartana seharusnya
mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan, yakni misi agama yang
humanistis, bukan sekedar mentobatkan orang yang belum masuk Kristen. Sehingga
misiologi tidak menjadi heresiologi yaitu upaya untuk mengutuk orang lain yang
dianggap diberikan Tuhan untuk memperbaiki kehidupan umat dan masyarakat secara
menyeluruh. Menurut Sumartana, sekarang sudah saatnya untuk merubah paradigma
misi dari misi ekstensif-kuantitatif1 ke misi intensif-kualitatif. Jika misi
ekstensif-kuantitatif cenderung menjadikan orang lain sebagai objek penderita yang
harus ditobatkan sehingga mau berpindah agama, maka misi intensif- kualitatif lebih
bersifat humanis dengan menjadikan manusia sebagai subjek. Misi intensif-kualitatif
sendiri bergerak dalam dua aras, yakni ke dalam (intensif) dan ke luar (ekstensif). Ke
dalam misi ditujukan kepada upaya untuk memperdalam kerohanian warga komunitas
agama. Dengan kata lain menjadikan orang beragama semakin beragama, Muslim
menjadi semakin Muslim, Kristen semakin Kristen, Hindu semakin Hindu, Buddha
semakin Buddha. Sedangkan misi ke luar dilakukan atas dasar dialog, di mana tujuan
yang hendak dicapai bersama adalah agar umat beragama bisa semakin bersikap
hormat kepada agamanya sendiri dan juga hormat kepada agama orang lain. Dengan
demikian, sasaran yang menjadi objek misi intensif-kualitatif adalah persoalan
kemanusiaan yang ada seperti kemiskinan, kesehatan, dan persoalan lain yang dihadapi
bersama.9
Keadilan di antara kedua pihak memiliki makna yang berbeda. Disini timbul
pertentangan ketika suatu norma hukum memuat larangan tetapi acuannya
memperbolehkan maka tidak akan dicapai apapun olehnya. Pada hakikatnya, norma
hukum merupakan unsur pokok dalam peraturan perundang-undangan.
2. Keadilan Hukum Yang Dikehendaki
Keadilan tidak dapat diartikan secara konkrit dalam wujud kalimat karena
keadilan dapat bersifat ide atau ide yang dikonkritkan. Socrates dalam pemikirannya
menyatakan bahwa keadilan itu hanya dalam tataran ide. Keadilan tidak dapat
dijelaskan secara spesifik, keadilan kadang dipandang sebagai kebaikan individual dan
para tokoh-tokoh agama yang mengambil keputusan buruk, dapat dilihat pada Voltaire, Traktat
Toleransi, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, h. 75-76.
8
Donatus Sermada Kelen, Dosa Dan Pembebasan Dalam Sorotan Filsafat Agama, h. 10-11 dalam Dosa
Dan Pengampunan: Pergulatan Manusia Dengan Allah Vol. 26 No. Seri 25, 2016, Malang: STFT Widya
Sasana.
9
Lebih lanjut dalam Nugroho, Keragaman Keyakinan Sebuah Tantangan Da n Harapan Bagi
Kerukunan Beragama (Studi Pemikiran Th Sumartana Tentang Keragaman Keyakinan) , Jurnal Ilmu
Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang,
JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2 205, h. 210.
7
kadang dipandang sebagai kebaikan negara. Keadilan hukum memiliki perbedaaan
dengan keadilan atas agama karena keadilan agama secara umum hanyalah kebaikan
tetapi apabila keadilan agama yang sebenar-benarnya ditarik dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan maka keadilan agama memiliki kedudukan yang lebih
tinggi daripada keadilan hukum. Keadilan agama hanyalah berlaku bagi subjek hukum
yang memiliki keyakinan atas ajaran agama tersebut. Socrates menjelaskan negara
sebagai hasil dari keinginan seseorang yang pada akhirnya seseoang tersebut
mengumpulkan berbagai orang lainnya yang dikumpulkan dalam suatu tempat –
perkumpulan daripada penghuninya inilah yang disebut negara.10 Dari sinilah, suatu
keadilan dapat berasal. Keadilan adalah melakukan pekerjaan sendiri, bukan menjadi
orang yang selalu ikut campur dengan urusan orang lain maka melakukan pekerjaan
atau urusan diri sendiri dengan cara tertentu boleh dianggap sebagai keadilan.
Penulis menolak keadilan yang dikehendaki oleh Socrates seperti yang tertulis
dalam beberapa literatur ilmu hukum umumnya yang memberikan definisi secara tegas
yaitu keadilan komutatif (perlakuan kepada seseorang tanpa melihat jasa-jasa yang
telah dilakukannya), keadilan distributif (perlakuan kepada seseorang sesuai ajsa-jasa
yang telah dilakukannya), keadilan kodrat alam (perlakuan kepada seseoang sesuai
hukum alam) dan keadilan konvensional (keadilan yang ditetapkan melalui sebuah
kekuasaan khusus). Keadilan tersebut sering kali disamakan dengan keadilan
Aristoteles sedangkan keadilan menurut Socrates tergantung teks yang dituju. Dalam
dialog lainnya, Socrates mengatakan bahwa keadilan adalah seni pencurian akan tetapi
demi praktisnya untuk hal yang baik bagi teman dan hal yang buruk bagi lawan.
Perhatikan juga karya A Setyo wibowo yang berfokus terhadap kajian Platon, Sokrates
mengisahkan tentang pendidikan yang diberikan kepada empat pendidik kerajaan.
Dimana masing-masing mewakili keutamaan kebijaksanaan, keadilan, keugaharian
dan keberanian. Pendidik yang paling bijak akan mengajarkan tentang pekerjaan
seorang raja; pendidik yang paling ugahari akan mendidik anak supaya tidak
membiarkan dirinya diperintah oleh jenis kenikmatan apapun supaya ia terbiasa
menjadi orang yang lepas bebas dan benar-benar memerintah sebagai raja. Kewajiban
mengikuti Kebenaran mengalahkan kehangatan eksklusif pertemanan dua orang.11
Maka keadilan menurut pemikiran Socrates sesuai Pasal 1 Universal
Declaration of Human Rights 1948 bahwa “All human beings are born free and equal in
dignity and rights.They are endowed with reason and conscience and should act
towards one another in a spirit of brotherhood”, tetapi Indonesia belum melakukan
ratifikasi walaupun telah memiliki Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39-1999) dimana dalam Pasal 1
angka 1 bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”.
Pasal 1 angka 1 dapat ditafsirkan sebagai:
―Tidak adanya penjarahan. Ini adalah prinsip keadilan, perdamaian, perintah,
stabilitas, konsiliasi dan pikiran yang sehat, bahwa saya akan menyatakan
dengan semua kekuatan jiwa saya (yang sangat tidak memadai, sayangnya!)
10
Plato, Republik, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002, h. 72.
Lebih lanjut dalam A Setyo Wibowo, Platon: Lysis (Tentang Persahabatan) , Yogyakarta: Kanisius,
2015 dan A Setyo Wibowo, Platon: Xarmides (Tentang Keugaharian), Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Oleh karena itu, keadilan menurut Socrates adalah ide dan kemudian dijelaskan oleh Aristoteles menjadi
suatu yang nyata karena apabila keadilan hanya berupa ide adalah tidak adil.
11
8
sampai dengan hari kematian saya. Dan, di dalam semua kesungguhan,
dapatkah sesuatu lainnya lebih diperlukan lagi di tangan hukum? Dapatkah
hukum, bahwa sanksi penting yang diperlukan adalah kekuatan, menjadi layak
dilakukan pada apapun diluar jaminan pada setiap haknya masing-masing?
Saya menentang siapa pun untuk menghapusnya dari lingkaran ini tanpa
menyesatkannya, dan akibatnya kekuatan berbalik terhadap hak. Dan karena
ini adalah yang paling fatal, penyimpangan sosial yang paling tidak masuk akal
yang mungkin dapat dibayangkan, hal itu harus diakui bahwa solusi yang
benar dari masalah sosial sehingga banyak dicari, yang terkandung dalam
kalimat sederhana – HUKUM DIATUR OLEH KEADILAN. Sekarang hal ini
penting untuk diucapkan bahwa untuk mengatur keadilan dengan hukum,
dikatakan dengan kekerasan, tidak termasuk pengaturan ide oleh hukum, atau
dengan kekuatan setiap manifestasi apapun dari aktivitas manusia-tenaga
kerja, amal, pertanian, perdagangan, industri, instruksi, seni rupa atau agama;
pada siapa pun dari pengaturan ini pasti menghancurkan kepentingan
organisasi. Pada kenyataannya, bagaimana bisa kita membayangkan
gangguan kekuatan pada kebebasan warga tanpa melanggar keadilan dan juga
bertindak menentang dari tujuannya yang tepat? Di sini saya mengambil
prasangka yang paling populer pada masa kita. Hal ini dianggap tidak cukup
bahwa hukum seharusnya adil, hukum harus menjadi dermawan. Hal ini tidak
cukup bahwa itu harus menjamin setiap warga negara menggunakan bakatnya
secara bebas dan tidak mengganggu, menerapkan pada jasmaninya, intelektual
dan pengembangan moral; itu diperlukan untuk mengembangkan
kesejahteraan, aturan dan moralitas atas bangsa secara langsung. Ini adalah
sisi yang menarik dari sosialisme. Tapi, saya ulangi, dua misi hukum ini
bertentangan satu sama lain. Kita harus memilih di antara mereka. Seorang
warga negara tidak dapat bebas dan tidak bebas pada saat yang sama.‖12
Sementara itu, keadilan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g UU No. 12-2011 13
adalah keadilan yang mencerminkan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Proporsional tidak memiliki batasan minimal apakah yang dikehendaki dan bagi setiap
warga negara akan menimbulkan banyaknya keadilan yang dimaksud. Dari definisi
tersebut, seharusnya korelasi pemahaman akan hak asasi manusia dengan keadilan
yang bersandarkan diri akan hakikat Tuhan cenderung lebih luas daripada pemahaman
hak asasi manusia dalam Universal Declaration of Human Rights 1948. Dengan
adanya pemahaman yang salah maka menjadikan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No.
20-2003 tidak sesuai tujuan hukum tertinggi yaitu keadilan hukum.
Keadilan hukum tidak melihat apa yang menjadi teleologinya melainkan
hakikat yang dimilikinya. Keadilan hukum dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No.
20-2003 hanya melingkupi keenam agama lazim. Hal ini sejalan teleologi milik
Aristoteles untuk memberikan saran tersebut yaitu [these four causes are: the material
cause, or what a thing is made of; the formal causes, or the arrangement or shape of a
thing; the efficient cause, or how a thing is brought into being; and the final cause, or
the function or purpose of a thing. And it is this last type of cause, the ―final cause‖ that
relates to ethics] .14
12
Lebih lanjut dalam Frédéric Bastiat, Hukum, Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2015, h. 22-24.
Setiap peraturan perundang-undangan memiliki tujuan hukum yang berbeda-beda. Terdapat peraturan
perundang-undangan yang mengutamakan kepastian hukum namun mengesampingkan keadilan hukum
dan kemanfaatan hukum dan terdapat yang mengutamakan keadilan hukum namun mengesampingkan
kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.
14
DK London, The Philosophy Book, London: Dorling Kindersley Limited, 2011, h. 60-61.
13
9
C. Penutup
1. Kesimpulan
Penulis tidak dapat memberikan kesimpulan secara lugas karena terkait
penafsiran. Namun berdasarkan pemikiran Hans-Georg Gadamer, kesimpulan yang
lebih mendekati bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 bertentangan dengan
Pasal 1 UU No. 39-1999 karena adanya unsur Tuhan dalam UU No. 39-1999 karena
keadilan hukum lebih tinggi daripada keadilan agama. Pemberian kedudukan lebih
tinggi ini berupaya untuk menghasilkan pemahaman yang tepat. Keadilan hukum dapat
bersumber dari keadilan agama namun tidak keseluruhan yang terpada dalam keadilan
agama disebut dalam keadilan hukum.
Kesimpulan kedua bahwa dengan adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus
dimaknai sebagai milik seluruh masyarakat tanpa adanya perkecualian. Apabila sila
Ketuhanan Yang Maha Esa ditujukan pada keenam agama lazim maka keberagaman
SARA di Indonesia hanya bersifat artifisial.
2. Saran
Penulis memberikan saran yang dapat dikaji ulang yaitu melakukan perubahan
bunyi Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 dari “Setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama” menjadi “Setiap peserta didik
pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama dan/atau
kepercayaan sesuai dengan agama dan/atau kepercayaan yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama dan/atau sekepercayaan”. Perubahan ini diharapkan dapat
memberikan keadilan hukum yang melingkupi masyarakat luas.
10
Daftar Pustaka
Bastiat, Frédéric, Hukum, Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2015.
Darwin, Charles, The Origin Of Species, 2013, The Project Gutenberg EBook of
On the Origin of Species, 2013.
Gadamer, Hans-Georg, Kebenaran Dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Hardiman, F Budi, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Kelen, Donatus Sermada, Dosa Dan Pembebasan Dalam Sorotan Filsafat
Agama, dalam Dosa Dan Pengampunan: Pergulatan Manusia Dengan Allah Vol. 26 No.
Seri 25, Malang: STFT Widya Sasana, 2016.
London, DK, The Philosophy Book, London: Dorling Kindersley Limited,
2011.
Nugroho, Keragaman Keyakinan Sebuah Tantangan Dan Harapan Bagi
Kerukunan Beragama (Studi Pemikiran Th Sumartana Tentang Keragaman
Keyakinan), Jurnal Ilmu Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas
Islam Negeri Raden Fatah Palembang, JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2 205.
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama.
Plato, Republik, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.
Plato, Laws, The Project Gutenberg, 2013.
Siswanto, Joko, Horizon Hermeneutika , 2016, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2016.
Tomy Michael, The Correlation Of Oath And God In The Constitution Of
Republic Of Indonesia 1945, 2016, The 2016 International Conference and Call for
Papers (ICCP) UNS Theme ―The Administration of Justice‖.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi.
Vinci, Leonardo Da, The Notebooks of Leonardo Da Vinci, The Project
Gutenberg EBook of The Notebooks of Leonardo Da Vinci, Complete by Leonardo Da
Vinci, 2004.
Voltaire, Traktat Toleransi, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004.
Wibowo, A Setyo, Platon: Lysis (Tentang Persahabatan), Yogyakarta:
Kanisius, 2015.
Wibowo, A Setyo, Platon: Xarmides (Tentang Keugaharian), Yogyakarta:
Kanisius, 2015.
11
Biodata:
1. Syofyan Hadi lahir di Pepao. S-1 Fakultas Hukum Universitas Mataram dan S-2
Magister Hukum Universitas Airlangga. Saat ini menjadi dosen di Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
2. Tomy Michael lahir di Surabaya. S-1 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya dan S-2 Magister Hukum Universitas Brawijaya. Saat ini menjadi dosen di
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
12
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Syofyan Hadi, Tomy Michael
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Email: [email protected]
Abstrak
Di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 termaktub bahwa ―Setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama
sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama ‖.
Kata ―seagama‖ dalam pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28E dan Pasal 29
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena menjadikan peserta didik tidak memiliki hak
secara utuh. Hak yang dimaksud yaitu adanya pembatasan terhadap agama tertentu
yang telah dinormakan oleh pemerintah seperti yang termaktub dalam PNPS No.
1-1965. Walaupun di dalam penafsiran ilmu hukum, tidak terdapat agama resmi sesuai
acuan pemerintah dalam PNPS No. 1-1965. Kesimpulannya bahwa Pasal 12 ayat (1)
huruf a UU No. 20-2003 bertentangan dengan Pasal 1 UU No. 39-1999, keberagaman
SARA di Indonesia dan tidak menciptakan tujuan hukum tertinggi yaitu keadilan
hukum. Saran yang diambil yaitu mengubah bunyi Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No.
20-2003 menjadi ―Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama dan/atau kepercayaan sesuai dengan agama dan/atau
kepercayaan yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama dan/atau
sekepercayaan‖.
Kata kunci: agama, pendidikan, keadilan, kepercayaan.
A. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, agama, ras dan antar
golongan (SARA) menimbulkan permasalahan hukum tersendiri. Seluruh peraturan
perundang-undangan yang dirancang harus berorientasi pada keadilan hukum,
kemanfaatan hukum dan kepastian hukum agar eksistensi SARA tersebut benar-benar
terjaga. Mengingat masih jamaknya pembentukan peraturan perundang-undangan yang
cenderung berpihak pada SARA tertentu maka penulis tertarik untuk membahas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU No. 20-2003).
UU No. 20-2003 ini sangat penting untuk dikaji karena pendidikan merupakan
suatu perbuatan yang bersifat ilmiah. Pendidikan dapat dipertanggungjawabkan dan
pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam perkembangan suatu negara. Penulis
beranggapan bahwa pendidikan adalah dasar yang harus mendapatkan perhatian utuh,
oleh karena itu melihat Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) termaktub “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan”. Hal ini sesuai pembukaan UUD NRI Tahun 1945 bahwa
“Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kemudian lebih lanjut dalam
Pasal 1 angka 1 UU No. 20-2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
1
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Muncul permasalahan hukum ketika Pasal 1 angka 1 UU No. 20-2003 dikaitkan
dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 bahwa “Setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama
yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Kata “seagama” dapat
ditafsirkan 1 secara luas oleh siapapun karena akan mempersempit ruang lingkup
hakikat agama di Indonesia.
Sebagai perbandingan, di Pasal 30 UU No. 20-2003 termaktub bahwa:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Di dalam UU No. 20-2003, penjelasan pasal ini hanya tertulis “cukup jelas”. Dengan
adanya fungsi pendidikan keagamaan menjadi anggota masyarakat yang memahami
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama adalah
hal yang bertentangan dengan hakikat masyarakat itu sendiri. Pendidikan keagamaan
adalah hal yang diperoleh melalui kehidupan sehari-hari.
Pemahaman akan agama sering kali terbatas pada pengetahuan yang sempit
namun pelaksanaannya dalam koridor yang luas. Ketika hal tersebut tetap terjadi maka
keadilan hukum sebagai tujuan hukum tertinggi di Indonesia tidak akan tercapai
dengan baik dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa
Indonesia adalah negara hukum.
B. Pembahasan
1. Penafsiran Hukum Kata “Seagama”
Mengacu pada penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia
Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan
Agama (PNPS No. 1-1965) bahwa “selain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha dan khong Cu (Confusius) mendapatkan jaminan dari negara. Ini tidak berarti
bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di
Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2
dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.
Isi lengkap Penjelasan Pasal 1 PNPS No. 1-1965 bahwa:
1
Penafsiran dan interpretasi memiliki arti yang berbeda namun keduanya dari satu kata yang sama yaitu
hermeneuein . Penafsiran dapat diartikan sebagai mengartikan makna teks yang dapat berupa simbol,
perilaku, tindakan, norma, tata nilai, mimik, isi pikiran, percakapan, benda-benda kebudayaan dan
seluruh alam semesta yang dianggap sebagai teks. Sedangkan interpretasi dapat diartikan sebagai
mengartikan melalui pembicaraan seseorang. Penulis perlu menegaskan arti dari penafsiran dan
interpretasi walaupun dalam paragraf berikutnya dapat ditemukan pencampuradukan antara penafsiran
dan interpretasi. Pencampuradukan tersebut tetap penulis lakukan sesuai buku acuan yang digunakan.
2
―[Dengan kata-kata ―Dimuka Umum‖ dimaksudkan apa yang lazim diartikan
dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan
dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam
Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh
pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat
bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini
tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian,
Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti
yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau
peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah
berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan kearah
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No.
II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6. Dengan kata -kata ―Kegiatan
keagamaan‖ dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan,
misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan
istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran
kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok
ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu
mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya.] ‖
Maka apabila dikaitkan dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003,
setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik seagama tidak sejalan dengan hakikat Pancasila
dan PNPS No. 1-1965. Penjelasan Pasal 1 PNPS No. 1-1965 dapat ditafsirkan bahwa
keenam agama tersebut bukanlah agama resmi karena proses melegalkannya hanya
berdasarkan norma sinderesis yaitu dengan adanya frasa “Karena 6 macam Agama ini
adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia”.
Frasa demikian bertentangan dengan asas kejelasan rumusan dalam Pasal 5
huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12-2011) bahwa “setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya”. Selain itu, frasa tersebut tidak dapat dijadikan
sebagai landasan filosofis dalam konsiderans karena ketidakjelasan hakikat
didalamnya.
Berikutnya frasa “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi,
Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh
seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan
perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha
menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa”.
Padahal apabila diperhatikan secara cermat frasa “Ini tidak berarti bahwa
agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di
Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2
dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
3
dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan,
Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, maka Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism tidak
dilarang karena terdapat frasa “asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan,
Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Frasa ini dapat ditafsirkan bahwa pada hakikatnya,
keenam agama lazim (penulis menggunakan istilah ini dikarenakan norma sinderesis)
dan Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism serta diluarnya tetaplah diakui karena
bersandarkan pada Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Di dalam kajian ilmu pengetahuan perundang-undangan (gezetzgebung
swissenschaft) yang terdiri dari teori Perundang-undangan (gesetzgbungs theorie) dan
ilmu perundang-undangan (gesetzgebungs lehre) secara umum penafsiran hukum yang
digunakan adalah penafsiran tekstual. Craig Ducat menyatakan bahwa secara objektif
proses pemaknaan konstitusi dilakukan melalui dua perangkat penafsiran (tools of
constitutional interpretation) yaitu penafsiran konstitusi didasarkan pada pemaknaan
naskah konstitusi secara umum (konstitusi diberi makna biasa atau umum sebagaimana
bunyi naskah konstitusi itu sendiri) dan kedua adalah intent of framers (konstitusi
ditafsirkan berdasarkan kehendak para perumusnya yaitu seperti apa para perumus
konstitusi memberi makna pada naskah konstitusi ketika konstitusi itu disusun).
Pendapat lainnya menyatakan bahwa penafsiran tekstual disebut juga textualism,
literalism atau plain word approach . Metode ini mendasarkan interpretasi pada kata
yang secara aktual terdapat dalam suatu aturan jika arti dari kata-kata tersebut tidak
mendua.
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan penafsiran hukum milik Hans-Georg
Gadamer dengan argumen menemukan kesimpulan yang tepat dan mempersempit
penafsiran hukum yang luas karena dengan merujuk pemikiran satu tokoh akan
memperkaya tulisan ini. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa metode bukanlah
sebagai sarana untuk mencapai kebenaran sebab metode ketidakmampuan
mengeksplisitkan kebenaran sendiri. Sehingga yang menjadi persoalan bukanlah
terletak pada kebenaran semata melainkan pada uraiannya tentang implikasi dari
kenyataan bahwa kebenaran-kebenaran yang diklaim berbagai ilmu itu luruh ke dalam
keuniversalan “pengalaman hermeneutis” pengalaman aktual manusia ketika
memahami sesuatu. Secara lugas pemikiran Hans-Georg Gadamer terkait penafsiran
bukanlah berpusat pada soal metode dan bukan membuat aturan-aturan pemahaman
yang “secara objektif sah”, melainkan memahami pemahaman sekomprehensif
mungkin. Hans-Georg Gadamer mengembangkan ontologi pemahaman menjadi
hermeneutika dialektik menjadi hermeneutika spekulatif yang mempersiapkan dasar
filsafat bagi pendalaman yang kritis tentang berbagai konsepsi interpretasi.2 Pemikiran
Hans-Georg Gadamer sejalan dengan tidak ada acuan resmi apakah itu agama resmi di
Indonesia.
2
Lebih lanjut dalam Joko Siswanto, Horizon Hermeneutika , Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2016, h. 63-65.
Hal ini dipertegas lagi memasuki masalah-masalah hermeneutika dan kritisisme adalah demi tujuan
ontologi, lebih lanjut dalam Hans-Georg Gadamer, Kebenaran Dan Metode , Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, h. 321.
4
Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut jika ditelaah lebih lanjut sebetulnya
merupakan kebebasan yang wajib diakui negara karena tidak terdapat definisi pasti
apakah yang disebut dengan Tuhan3 atau tuhan4.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa haruslah ditafsirkan sebagai
sila yang melingkupi keempat sila lainnya. Keenam agama lazim memiliki kedudukan
3
Write up the name of God [Christ] in some spot and setup His image opposite and you will see which
will be most reverenced. Painting comprehends in itself all the forms of nature, while you have nothing
but words, which are not universal as form is, and if you have the effects of the representation, we have
the representation of the effects. Take a poet who describes the beauty of a lady to her lover and a painter
who represents her and you will see to which nature guides the enamoured critic. Certainly the proof
should be allowed to rest on the verdict of experience. You have ranked painting among the mechanical
arts but, in truth, if painters were as apt at praising their own works in writing as you are, it would not lie
under the stigma of so base a name. If you call it mechanical because it is, in the first place, manual, and
that it is the hand which produces what is to be found in the imagination, you too writers, who set down
manually with the pen what is devised in your mind. And if you say it is mechanical because it is done for
money, who falls into this error —if error it can be called —more than you? If you lecture in the schools
do you not go to whoever pays you most? Do you do any work without pay? Still, I do not say this as
blaming such views, for every form of labour looks for its reward. And if a poet should say: "I will invent
a fiction with a great purpose," the painter can do the same, as Apelles painted Calumny. If you were to
say that poetry is more eternal, I say the works of a coppersmith are more eternal still, for time preserves
them longer than your works or ours; nevertheless they have not much imagination [29] . And a picture,
if painted on copper with enamel colours may be yet more permanent. We, by our arts may be called the
grandsons of God. If poetry deals with moral philosophy, painting deals with natural philosophy. Poetry
describes the action of the mind, painting considers what the mind may effect by the motions [of the
body] . If poetry can terrify people by hideous fictions, painting can do as much by depicting the same
things in action. Supposing that a poet applies himself to represent beauty, fer ocity, or a base, a foul or a
monstrous thing, as against a painter, he may in his ways bring forth a variety of forms; but will the
painter not satisfy more? are there not pictures to be seen, so like the actual things, that they deceive men
and animals?, can be read on Leonardo Da Vinci, The Notebooks of Leonardo Da Vinci, The Project
Gutenberg EBook of The Notebooks of Leonardo Da Vinci, 2004, Complete by Leonardo Da Vinci. p.
531.6.
The laws governing inheritance are quite unknown; no one can say why the same peculiarity in different
individuals of the same species, and in individuals of different species, is sometimes inherited and
sometimes not so; why the child often reverts in certain characters to its grandfather or grandmother or
other much more remote ancestor; why a peculiarity is often transmitted from one sex to both sexes or to
one sex alone, more commonly but not exclusively to the like sex. It is a fact of some little importance to
us, that peculiarities appearing in the males of our domestic breeds are often transmitted either
exclusively, or in a much greater degree, to males alone, can be read on Charles Darwin, The Origin Of
Species, 2013, The Project Gutenberg EBook of On the Origin of Species. p. 48.3. Penulis tetap
menggunakan bahasa Inggris agar tercipta pemahaman yang utuh, lebih lanjut dalam Tomy Michael, The
Correlation Of Oath And God In The Constitution Of Republic Of Indonesia 1945, 2016, The 2016
International Conference and Call for Papers (ICCP) UNS Theme ―The Administration of Justice‖, h.
209-216.
4
Perhatikan juga Pasal 3 UU No. 20-2003 bahwa “Sebagai perbandingan pertama, penulis mengutip
Pasal 35 ayat (3) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi (UU No. 12-2012) bahwa Yang dimaksud dengan “mata kuliah agama” adalah pendidikan untuk
membentuk Mahasiswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta berakhlak mulia. Perbandingan kedua yaitu dengan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU No. 20-2013) bahwa Mahasiswa
yang telah lulus program profesi dokter atau profesi dokter gigi wajib mengangkat sumpah sebagai
pertanggungjawaban moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas keprofesiannya.
Khusus di dalam UU No. 20-2013 tidak terdapat kata “agama” atau “seagama”.
5
yang sama dengan Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism serta diluarnya. Dapat
dipahami juga bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan petunjuk yang sekaligus
norma melindungi ketika munculnya permasalahan terkait SARA.
Kata “seagama” apabila ditafsirkan secara mendalam berdasarkan gaya
penafsiran Hans-Georg Gadamer maka akan ditemukan bahwa agama merupakan
kesatuan manusia dengan apa yang dipercayainya. Selain itu, seagama dalam konteks
ke-Indonesia-an adalah pembatasan terhadap eksistensi SARA itu sendiri. Penafsiran
ini dapat menimbulkan polemik karena berusaha mengedepankan pemikiran subjektif
tetapi dengan bersandar pada pemikiran Hans-Georg Gadamer maka kata “seagama”
menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri. Pemahaman kita satu sama lain
membentuk sebuah horizon yang melampaui subjektivitas kita masing-masing, dan
horizon itu – yang adalah ruang yang memiliki batas-batas – memungkinkan sekaligus
membatasi kita dalam memahami sesuatu. Dapat dipahami juga, memahami adalah
peleburan antara horizon masa silam dari pengarang dan horizon masa kini dari
pembaca.5
Kata “seagama” pun juga tidak serta merta menunjukkan kesatuan agama
didalamnya, “seagama” dapat ditafsirkan dengan segala aliran-aliran didalamnya
karena tidak terdapat satu agama yang sama persis didalamnya akibat banyak hal yang
mempengaruhinya. Apabila mengacu pada pemikiran Aristocles atau yang lebih
dikenal dengan Platon6 dan Francois-Marie Arouet atau yang lebih dikenal dengan
Voltaire7 diketahui bahwa agama dalam suatu peraturan negara memiliki dampak yang
besar ketika tokoh-tokoh agama dan parlemen berbeda pandangan.
5
F Budi Hardiman, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius, 2015, h. 163.
Penulis menggunakan nama Platon sesuai teks dialog Socrates dalam Republik.
[If a man wants to know the origin of states and societies, he should behold them from the point of view of
time. Thousands of cities have come into being and have passed away again in infinite ages, every one of
them having had endless forms of government; and if we can ascertain the cause of these changes in
states, that will probably explain their origin. What do you think of ancient traditions about deluges and
destructions of mankind, and the preservation of a remnant? ‗Every one believes in them. ‘ Then let us
suppose the world to have been destroyed by a deluge. The survivors would be hill-shepherds, small
sparks of the human race, dwelling in isolation, and unacquainted with the arts and vices of civilization.
We may further suppose that the cities on the plain and on the coast have been swept away, and that all
inventions, and every sort of knowledge, have perished. 'Why, if all things were as they now are, nothing
would have ever been invented. All our famous discoveries have been made within the last thousand
years, and many of them are but of yesterday.‘], dapat dilihat pada Plato, Laws, The Project Gutenberg,
2003, h. 115,9.
7
Anda menjawab bahwa perbedaan begitu besar. Semua agama yang ada adalah karya manusia dan
hanya Gereja Katolik, Apostolik dan Romawi-lah satu-satunya agama karya Tuhan. Tapi sejujurnya oleh
karena agama kita adalah takdir Ilahi, haruskah agama memerintah dunia melalui kebencian, melalui
pengucilan-pengucilan, melalui pencabutan harta kekayaan, para tahanan, penganiayaan-penganiayaan,
korban jiwa, dan melalui gerakan-gerakan pengambilan korban jiwa untuk Tuhan? Sebagian besar orang
menganggap agama Kristen adalah wahyu Ilahi, selebihnya agama lain hanya merupakan perintah dari
manusia. Apabila Tuhan yang memberikan wahyu pada kita maka Tuhan akan mendukung agama itu
tanpa Anda. Tahukan Anda bahwa intoleransi hanya menghasilkan orang-orang hipokrit atau para
pemberontak. Pada akhirnya, inginkah Anda mendukung agama dari Tuhan yang menyuruh para algojo
untuk membunuh atau Tuhan yang hanya menganjurkan kelembutan dan kesabaran? Aku berterima
kasih pada Anda, jika Anda memperhatikan beberapa konsekuensi kejam dari sifat intoleransi.
Intoleransi mengijinkan orang-orang untuk menguras habis harta seseorang, menjatuhkannya ke dalam
penjara, membunuh seorang warga yang memiliki hak sama untuk melakukan sesuatu dengan bebas,
intoleransi tidak menyatakan satu agama dalam tingkat terbawah. Apakah pengecualian agama itu telah
melindungi negara dari hukuman yang sama? Satu agama mengikat secara hukum terhadap seorang raja
maupun para pengemis. Juga hampir lima puluh orang dokter telah menyatakan dengan tegas kekejaman
yang menakutkan. Raja juga telah mengijinkan mereka untuk memberi kesaksian dan untuk membunuh
semua orang yang tidak sepaham dengan gereja. Parlemen dari pihak kerajaan pun selalu mengucilkan
6
6
Pemikiran lain menurut Immanuel Kant bahwa agama adalah perluasan dari
bidang moral. Hukum tertinggi perbuatan manusia ditemukan di dalam kehendak bebas
manusia yang adalah akal budi dalam fungsi praktis akal budi yaitu kemampuan akal
budi untuk menentukan perbuatan manusia. Fungsi praktis akal budi dipandang sebagai
prinsip tertinggi yang menjadi hukum moral perbuatan yang bersifat formal, imperatif,
universal dan kategoris. Hukum itu berbunyi “Lakukanlah sedemikian rupa, sehingga
prinsip kehendakmu bisa berlaku setiap saat sekaligus sebagai prinsip penetapan
hukum umum”. Agama bersumber pada hukum moral tersebut, dan secara praktis
agama menurut Immanuel Kant berisikan ajaran-ajaran moral yang berhubungan
dengan “kebaikan tertinggi” dan dalam ranah akademis, agama adalah bagian hakiki
dari filsafat moral. Diartikan juga agama sebagai perintah ilahi, bukan sebagai
sanksi-sanksi tetapi sebagai hukum hakiki setiap kehendak bebas.8
Penulis juga membandingkan agama menurut Sumartana seharusnya
mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan, yakni misi agama yang
humanistis, bukan sekedar mentobatkan orang yang belum masuk Kristen. Sehingga
misiologi tidak menjadi heresiologi yaitu upaya untuk mengutuk orang lain yang
dianggap diberikan Tuhan untuk memperbaiki kehidupan umat dan masyarakat secara
menyeluruh. Menurut Sumartana, sekarang sudah saatnya untuk merubah paradigma
misi dari misi ekstensif-kuantitatif1 ke misi intensif-kualitatif. Jika misi
ekstensif-kuantitatif cenderung menjadikan orang lain sebagai objek penderita yang
harus ditobatkan sehingga mau berpindah agama, maka misi intensif- kualitatif lebih
bersifat humanis dengan menjadikan manusia sebagai subjek. Misi intensif-kualitatif
sendiri bergerak dalam dua aras, yakni ke dalam (intensif) dan ke luar (ekstensif). Ke
dalam misi ditujukan kepada upaya untuk memperdalam kerohanian warga komunitas
agama. Dengan kata lain menjadikan orang beragama semakin beragama, Muslim
menjadi semakin Muslim, Kristen semakin Kristen, Hindu semakin Hindu, Buddha
semakin Buddha. Sedangkan misi ke luar dilakukan atas dasar dialog, di mana tujuan
yang hendak dicapai bersama adalah agar umat beragama bisa semakin bersikap
hormat kepada agamanya sendiri dan juga hormat kepada agama orang lain. Dengan
demikian, sasaran yang menjadi objek misi intensif-kualitatif adalah persoalan
kemanusiaan yang ada seperti kemiskinan, kesehatan, dan persoalan lain yang dihadapi
bersama.9
Keadilan di antara kedua pihak memiliki makna yang berbeda. Disini timbul
pertentangan ketika suatu norma hukum memuat larangan tetapi acuannya
memperbolehkan maka tidak akan dicapai apapun olehnya. Pada hakikatnya, norma
hukum merupakan unsur pokok dalam peraturan perundang-undangan.
2. Keadilan Hukum Yang Dikehendaki
Keadilan tidak dapat diartikan secara konkrit dalam wujud kalimat karena
keadilan dapat bersifat ide atau ide yang dikonkritkan. Socrates dalam pemikirannya
menyatakan bahwa keadilan itu hanya dalam tataran ide. Keadilan tidak dapat
dijelaskan secara spesifik, keadilan kadang dipandang sebagai kebaikan individual dan
para tokoh-tokoh agama yang mengambil keputusan buruk, dapat dilihat pada Voltaire, Traktat
Toleransi, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, h. 75-76.
8
Donatus Sermada Kelen, Dosa Dan Pembebasan Dalam Sorotan Filsafat Agama, h. 10-11 dalam Dosa
Dan Pengampunan: Pergulatan Manusia Dengan Allah Vol. 26 No. Seri 25, 2016, Malang: STFT Widya
Sasana.
9
Lebih lanjut dalam Nugroho, Keragaman Keyakinan Sebuah Tantangan Da n Harapan Bagi
Kerukunan Beragama (Studi Pemikiran Th Sumartana Tentang Keragaman Keyakinan) , Jurnal Ilmu
Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang,
JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2 205, h. 210.
7
kadang dipandang sebagai kebaikan negara. Keadilan hukum memiliki perbedaaan
dengan keadilan atas agama karena keadilan agama secara umum hanyalah kebaikan
tetapi apabila keadilan agama yang sebenar-benarnya ditarik dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan maka keadilan agama memiliki kedudukan yang lebih
tinggi daripada keadilan hukum. Keadilan agama hanyalah berlaku bagi subjek hukum
yang memiliki keyakinan atas ajaran agama tersebut. Socrates menjelaskan negara
sebagai hasil dari keinginan seseorang yang pada akhirnya seseoang tersebut
mengumpulkan berbagai orang lainnya yang dikumpulkan dalam suatu tempat –
perkumpulan daripada penghuninya inilah yang disebut negara.10 Dari sinilah, suatu
keadilan dapat berasal. Keadilan adalah melakukan pekerjaan sendiri, bukan menjadi
orang yang selalu ikut campur dengan urusan orang lain maka melakukan pekerjaan
atau urusan diri sendiri dengan cara tertentu boleh dianggap sebagai keadilan.
Penulis menolak keadilan yang dikehendaki oleh Socrates seperti yang tertulis
dalam beberapa literatur ilmu hukum umumnya yang memberikan definisi secara tegas
yaitu keadilan komutatif (perlakuan kepada seseorang tanpa melihat jasa-jasa yang
telah dilakukannya), keadilan distributif (perlakuan kepada seseorang sesuai ajsa-jasa
yang telah dilakukannya), keadilan kodrat alam (perlakuan kepada seseoang sesuai
hukum alam) dan keadilan konvensional (keadilan yang ditetapkan melalui sebuah
kekuasaan khusus). Keadilan tersebut sering kali disamakan dengan keadilan
Aristoteles sedangkan keadilan menurut Socrates tergantung teks yang dituju. Dalam
dialog lainnya, Socrates mengatakan bahwa keadilan adalah seni pencurian akan tetapi
demi praktisnya untuk hal yang baik bagi teman dan hal yang buruk bagi lawan.
Perhatikan juga karya A Setyo wibowo yang berfokus terhadap kajian Platon, Sokrates
mengisahkan tentang pendidikan yang diberikan kepada empat pendidik kerajaan.
Dimana masing-masing mewakili keutamaan kebijaksanaan, keadilan, keugaharian
dan keberanian. Pendidik yang paling bijak akan mengajarkan tentang pekerjaan
seorang raja; pendidik yang paling ugahari akan mendidik anak supaya tidak
membiarkan dirinya diperintah oleh jenis kenikmatan apapun supaya ia terbiasa
menjadi orang yang lepas bebas dan benar-benar memerintah sebagai raja. Kewajiban
mengikuti Kebenaran mengalahkan kehangatan eksklusif pertemanan dua orang.11
Maka keadilan menurut pemikiran Socrates sesuai Pasal 1 Universal
Declaration of Human Rights 1948 bahwa “All human beings are born free and equal in
dignity and rights.They are endowed with reason and conscience and should act
towards one another in a spirit of brotherhood”, tetapi Indonesia belum melakukan
ratifikasi walaupun telah memiliki Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39-1999) dimana dalam Pasal 1
angka 1 bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”.
Pasal 1 angka 1 dapat ditafsirkan sebagai:
―Tidak adanya penjarahan. Ini adalah prinsip keadilan, perdamaian, perintah,
stabilitas, konsiliasi dan pikiran yang sehat, bahwa saya akan menyatakan
dengan semua kekuatan jiwa saya (yang sangat tidak memadai, sayangnya!)
10
Plato, Republik, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002, h. 72.
Lebih lanjut dalam A Setyo Wibowo, Platon: Lysis (Tentang Persahabatan) , Yogyakarta: Kanisius,
2015 dan A Setyo Wibowo, Platon: Xarmides (Tentang Keugaharian), Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Oleh karena itu, keadilan menurut Socrates adalah ide dan kemudian dijelaskan oleh Aristoteles menjadi
suatu yang nyata karena apabila keadilan hanya berupa ide adalah tidak adil.
11
8
sampai dengan hari kematian saya. Dan, di dalam semua kesungguhan,
dapatkah sesuatu lainnya lebih diperlukan lagi di tangan hukum? Dapatkah
hukum, bahwa sanksi penting yang diperlukan adalah kekuatan, menjadi layak
dilakukan pada apapun diluar jaminan pada setiap haknya masing-masing?
Saya menentang siapa pun untuk menghapusnya dari lingkaran ini tanpa
menyesatkannya, dan akibatnya kekuatan berbalik terhadap hak. Dan karena
ini adalah yang paling fatal, penyimpangan sosial yang paling tidak masuk akal
yang mungkin dapat dibayangkan, hal itu harus diakui bahwa solusi yang
benar dari masalah sosial sehingga banyak dicari, yang terkandung dalam
kalimat sederhana – HUKUM DIATUR OLEH KEADILAN. Sekarang hal ini
penting untuk diucapkan bahwa untuk mengatur keadilan dengan hukum,
dikatakan dengan kekerasan, tidak termasuk pengaturan ide oleh hukum, atau
dengan kekuatan setiap manifestasi apapun dari aktivitas manusia-tenaga
kerja, amal, pertanian, perdagangan, industri, instruksi, seni rupa atau agama;
pada siapa pun dari pengaturan ini pasti menghancurkan kepentingan
organisasi. Pada kenyataannya, bagaimana bisa kita membayangkan
gangguan kekuatan pada kebebasan warga tanpa melanggar keadilan dan juga
bertindak menentang dari tujuannya yang tepat? Di sini saya mengambil
prasangka yang paling populer pada masa kita. Hal ini dianggap tidak cukup
bahwa hukum seharusnya adil, hukum harus menjadi dermawan. Hal ini tidak
cukup bahwa itu harus menjamin setiap warga negara menggunakan bakatnya
secara bebas dan tidak mengganggu, menerapkan pada jasmaninya, intelektual
dan pengembangan moral; itu diperlukan untuk mengembangkan
kesejahteraan, aturan dan moralitas atas bangsa secara langsung. Ini adalah
sisi yang menarik dari sosialisme. Tapi, saya ulangi, dua misi hukum ini
bertentangan satu sama lain. Kita harus memilih di antara mereka. Seorang
warga negara tidak dapat bebas dan tidak bebas pada saat yang sama.‖12
Sementara itu, keadilan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g UU No. 12-2011 13
adalah keadilan yang mencerminkan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Proporsional tidak memiliki batasan minimal apakah yang dikehendaki dan bagi setiap
warga negara akan menimbulkan banyaknya keadilan yang dimaksud. Dari definisi
tersebut, seharusnya korelasi pemahaman akan hak asasi manusia dengan keadilan
yang bersandarkan diri akan hakikat Tuhan cenderung lebih luas daripada pemahaman
hak asasi manusia dalam Universal Declaration of Human Rights 1948. Dengan
adanya pemahaman yang salah maka menjadikan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No.
20-2003 tidak sesuai tujuan hukum tertinggi yaitu keadilan hukum.
Keadilan hukum tidak melihat apa yang menjadi teleologinya melainkan
hakikat yang dimilikinya. Keadilan hukum dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No.
20-2003 hanya melingkupi keenam agama lazim. Hal ini sejalan teleologi milik
Aristoteles untuk memberikan saran tersebut yaitu [these four causes are: the material
cause, or what a thing is made of; the formal causes, or the arrangement or shape of a
thing; the efficient cause, or how a thing is brought into being; and the final cause, or
the function or purpose of a thing. And it is this last type of cause, the ―final cause‖ that
relates to ethics] .14
12
Lebih lanjut dalam Frédéric Bastiat, Hukum, Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2015, h. 22-24.
Setiap peraturan perundang-undangan memiliki tujuan hukum yang berbeda-beda. Terdapat peraturan
perundang-undangan yang mengutamakan kepastian hukum namun mengesampingkan keadilan hukum
dan kemanfaatan hukum dan terdapat yang mengutamakan keadilan hukum namun mengesampingkan
kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.
14
DK London, The Philosophy Book, London: Dorling Kindersley Limited, 2011, h. 60-61.
13
9
C. Penutup
1. Kesimpulan
Penulis tidak dapat memberikan kesimpulan secara lugas karena terkait
penafsiran. Namun berdasarkan pemikiran Hans-Georg Gadamer, kesimpulan yang
lebih mendekati bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 bertentangan dengan
Pasal 1 UU No. 39-1999 karena adanya unsur Tuhan dalam UU No. 39-1999 karena
keadilan hukum lebih tinggi daripada keadilan agama. Pemberian kedudukan lebih
tinggi ini berupaya untuk menghasilkan pemahaman yang tepat. Keadilan hukum dapat
bersumber dari keadilan agama namun tidak keseluruhan yang terpada dalam keadilan
agama disebut dalam keadilan hukum.
Kesimpulan kedua bahwa dengan adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus
dimaknai sebagai milik seluruh masyarakat tanpa adanya perkecualian. Apabila sila
Ketuhanan Yang Maha Esa ditujukan pada keenam agama lazim maka keberagaman
SARA di Indonesia hanya bersifat artifisial.
2. Saran
Penulis memberikan saran yang dapat dikaji ulang yaitu melakukan perubahan
bunyi Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 dari “Setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama” menjadi “Setiap peserta didik
pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama dan/atau
kepercayaan sesuai dengan agama dan/atau kepercayaan yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama dan/atau sekepercayaan”. Perubahan ini diharapkan dapat
memberikan keadilan hukum yang melingkupi masyarakat luas.
10
Daftar Pustaka
Bastiat, Frédéric, Hukum, Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2015.
Darwin, Charles, The Origin Of Species, 2013, The Project Gutenberg EBook of
On the Origin of Species, 2013.
Gadamer, Hans-Georg, Kebenaran Dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Hardiman, F Budi, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Kelen, Donatus Sermada, Dosa Dan Pembebasan Dalam Sorotan Filsafat
Agama, dalam Dosa Dan Pengampunan: Pergulatan Manusia Dengan Allah Vol. 26 No.
Seri 25, Malang: STFT Widya Sasana, 2016.
London, DK, The Philosophy Book, London: Dorling Kindersley Limited,
2011.
Nugroho, Keragaman Keyakinan Sebuah Tantangan Dan Harapan Bagi
Kerukunan Beragama (Studi Pemikiran Th Sumartana Tentang Keragaman
Keyakinan), Jurnal Ilmu Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas
Islam Negeri Raden Fatah Palembang, JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2 205.
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama.
Plato, Republik, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.
Plato, Laws, The Project Gutenberg, 2013.
Siswanto, Joko, Horizon Hermeneutika , 2016, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2016.
Tomy Michael, The Correlation Of Oath And God In The Constitution Of
Republic Of Indonesia 1945, 2016, The 2016 International Conference and Call for
Papers (ICCP) UNS Theme ―The Administration of Justice‖.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi.
Vinci, Leonardo Da, The Notebooks of Leonardo Da Vinci, The Project
Gutenberg EBook of The Notebooks of Leonardo Da Vinci, Complete by Leonardo Da
Vinci, 2004.
Voltaire, Traktat Toleransi, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004.
Wibowo, A Setyo, Platon: Lysis (Tentang Persahabatan), Yogyakarta:
Kanisius, 2015.
Wibowo, A Setyo, Platon: Xarmides (Tentang Keugaharian), Yogyakarta:
Kanisius, 2015.
11
Biodata:
1. Syofyan Hadi lahir di Pepao. S-1 Fakultas Hukum Universitas Mataram dan S-2
Magister Hukum Universitas Airlangga. Saat ini menjadi dosen di Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
2. Tomy Michael lahir di Surabaya. S-1 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya dan S-2 Magister Hukum Universitas Brawijaya. Saat ini menjadi dosen di
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
12