Formulasi dan Evaluasi Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat untuk Pembuatan Sediaan Floating dari Dispersi Padat Aspirin

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aspirin

2.1.1 Uraian umum aspirin (Ditjen POM, 1995) Rumus Bangun:

Gambar 2.1 Rumus bangun aspirin Rumus Molekul : C9H8O4

Berat Molekul : 180,16

Pemerian : Hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih; tidak berbau atau

berbau lemah. Stabil di udara kering.

Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, larut dalam kloroform dan dalam eter.

pKa : 3,5

2.1.2 Farmakologi aspirin

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesic, antipiretik, dan anti-inflamasi yang banyak digunakan sebagai golongan obat bebas (Wilmana, 1995).

Dosis oral aspirin untuk efek analgesik dan antipiretik adalah 325-650 mg empat kali sehari, konsentrasi dalam plasmanya 100-300 mcg/ml. Untuk efek


(2)

antiinflamasi adalah 4-6 gram secara oral per hari, dan untuk efek anti agregasi platelet adalah 60-80 mg secara oral per hari (Mycek, et al., 2001).

A. Aspirin sebagai anti inflamasi

Aspirin menghambat aktivitas siklooksigenase, sehingga aspirin mengurangi pembentukan prostaglandin dan juga memodulasi beberapa aspek inflamasi pada arthritis, tetapi tidak menghentikan progresivitas penyakit maupun menginduksi remisi (Mycek, et al., 2001).

B. Aspirin sebagai analgesik

Aspirin menghambat sintesa prostaglandin E2 dengan menginhibisi enzim siklooksigenase (Mycek, et al., 2001).

C. Aspirin sebagai antipiretik

Demam terjadi jika rangsangan pada pusat pengatur panas di hipotalamus anterior meningkat. Hal ini dapat disebabkan oelh sintesis PGE2 yang dirangsang bila suatu zat penghasil demam endogen (pirogen) seperti sitokin dilepaskan dari sel darah putih yang diaktivasi oleh infeksi. Aspirin menurunkan suhu tubuh dengan jalan menghalangi sintesis dan pelepasan PGE2 (Mycek, et al., 2001). D. Aspirin sebagai anti agregasi platelet

Tromboksan A2 bersifat vasokonstriktor dan juga merangsang platelet menempel di endothelium jaringan yang rusak (adhesi-platelet). Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 sehingga terjadi penghambatan agregasi trombosit dan perpanjangan waktu pendarahan. Efek hemostatik dapt kembali normal kira-kira 36 jam setelah pemberian dosis obat yang terakhir (Mycek, et al., 2001).


(3)

2.1.3 Efek samping aspirin

a. Saluran cerna : efek aspirin terhadap saluran cerna yang paling umum adalah distress epigastrum, mual, dan muntah. Pendarahan mikroskopik saluran cerna umum terjadi. Aspirin bersifat asam, pada pH lambung tidak dilepaskan, akibatnya menembus sel mukosa dan aspirin mengalami ionisasi (menjadi bermuatan negatif), dan terperangkap, jadi berpotensi menyebabkan kerusakan sel secara langsung.

b. Darah : asetilasi irreversible siklooksigenase trombosit menurunkan kadar tromboksan A2, mengakibatkan penghambatan agregasi trombosit dan perpanjangan waktu pendarahan.

c. Pernafasan : pada dosis toksis, aspirin menimbulkan depresi pernafasan dan suatu kombinasi pernafasan yang tidak terkompensasi dan asidosis metabolik.

d. Proses metabolik : dosis besar aspirin melepaskan fosforilasi oksidatif. Energi yang dikeluarkan untuk menghasilkan ATP secara normal dikeluarkan sebagai panas, yang menyebabkan terjadinya hipertemia. e. Hipersensitivitas : sekitar 15% pasien yang menggunakan aspirin

mengalami reaksi hipersensitivitas terutama urtikaria, bronkokonstriksi, atau edema angioneutotik (Mycek, et al., 2001).

2.2 Penyakit Peptic Ulcer 2.2.1 Gambaran umum

Penyakit peptic ulcer adalah keadaan di mana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap


(4)

juga sebagai tukak (misalnya tukak karena stress). Tukak kronik berbeda dengan tukak akut, karena memiliki jaringan paut pada dasar tukak (Price dan Wilson, 1995).

Menurut definisi, tukak peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum. Walaupun aktivitas pencernaan peptic oleh getah lambung merupakan faktor etiologi yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu faktor dari banyak faktor yang berperan dalam patogenesis tukak peptik (Price dan Wilson, 1995).

2.2.2 Etiologi penyakit peptic ulcer

Kebanyakan penyakit peptic ulcer disebabkan karena adanya asam lambung dan enzim pepsin ketika Helicobacter pylori, NSAIDs, atau faktor lainnya mengganggu sistem pertahanan mukosa dan penyembuhan mukosa. Hipersekresi dari asam lambung dan pepsin ini yang menghambat mekanisme pertahanan mukosa proses penyembuhannya (Berardi dan Welage, 2005).

2.2.3 Patofisiologi

Penyebab terjadinya peptic ulcer saat ini masih sering diperdebatkan. Namun dipercaya bahwa penyebab terjadinya peptic ulcer dikarenakan ketidakseimbangan antara faktor agresif (Helicobacter pylori, NSAIDs, asam lambung) dan faktor pertahanan (mucin, bikarbonat, prostaglandin), yang menyebabkan gangguan pada jaringan mukosa (Sunil, et al., 2012).

2.2.4 Sawar mukosa lambung

Lapisan mukosa lambung yang tebal merupakan garis depan pertahanan terhadap trauma mekanis dan agen kimia. Obat antiradang nonsteroid (NSAID),


(5)

termasuk aspirin, menyebabkan perubahan kualitatif mukus lambung yang dapat mempermudah degradasi mukus oleh pepsin. Prostaglandin terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mukus lambung dan tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung. Sawar mukosa penting untuk perlindungan lambung dan duodenum ( Price dan Wilson, 1995).

Destruksi sawar mukosa diduga merupakan faktor penting dalam patogenesis peptic ulcer. Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang dapat merusak mukosa lambung. Kerusakan yang terjadi dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 2.2 Gambaran penyakit peptic ulcer 2.3 Sistem Dispersi Padat

2.3.1 Definisi dispersi padat

Istilah dispersi padat mengacu kepada sekelompok produk padatan yang terdiri setidaknya dari dua komponen yang berbeda, umumnya matriks hidrofilik dan obat hidrofobik. Matriks ini dapat berupa kristal atau amorf. Obat ini dapat


(6)

terdispersi secara molekuler, dalam partikel amorphous (kluster) atau dalam partikel kristal (Chiou dan Reigelman, 1971).

Dispersi padat dapat didefenisikan sebagai sistem dispersi satu atau lebih bahan aktif ke dalam suatu pembawa atau matriks inert dalam kondisi padat, yang dibuat dengan cara peleburan, pelarutan, atau kombinasi dari peleburan dan pelarutan, dimana masing-masing metode ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing dan disesuaikan dengan sifat bahan dan matriks yang akan didispersikan. Keuntungan dari formulasi dispersi padat dibandingkan tablet/kapsul konvensional untuk peningkatan disolusi dan biovailabilitas dari obat yang sukar larut dalam air (Chiou dan Rielgeman, 1971).

2.3.2 Metode pembuatan sistem dispersi padat 2.3.2.1 Metode pelelehan

Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk membuat bentuk sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut air dilebur secara langsung sampai meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan dibekukan pada penangas berisi es (ice bath) dengan pengadukan kuat. Masa padat dihancurkan, diserbuk dan diayak (Goldberg, et al., 1966). Massa padat tersebut biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator pada suhu kamar untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk (Levy, 1963).

Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai tambahan dapat dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan mengkristalkan lelehan langsung secara cepat dari temperatur tinggi Dibawah kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada matriks pelarut dengan proses pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih halus


(7)

dari sistem campuran eutetis sederhana bila metode ini digunakan. Kekurangannya adalah banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau menguap selama proses peleburan pada suhu tinggi (Chiou dan Riegelman, 1971). 2.3.2.2 Metode pelarutan

Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal campuran senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan untuk membuat dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon (Tachibana dan Nakamura, 1965), sulfathiazol-polivinilpirolidon (Simonelli, et al., 1969). Keuntungan utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat dicegah karena penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya adalah biaya mahal, kesukaran memisahkan pelarut secara sempurna, kemungkinan efek merugikan dari pelarut yang jumlahnya dapat diabaikan terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut umum yang mudah menguap, dan kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal (Chiou dan Riegelman, 1971). 2.3.2.3 Metode pelarutan-pelelehan

Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut yang sesuai dan mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai dibawah suhu 70º C, tanpa memisahkan pelarut. Metode ini terbatas untuk obat dengan dosis terapetik yang rendah mis: dibawah 50 mg (Chiou dan Riegelman, 1971).


(8)

2.3.3 Pembawa dispersi padat

Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol (PEG), polivinilalkohol (PVA), derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat, urea, gula, poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan Dressman, 2000).

Polivinilpirolidon merupakan homopolimer dari N-vinilpirolidon dengan berat molekul 2500-3000 yang digunakan sebagai agen pensuspensi dan dispersi., pengikat tablet dan agen granulasi, dan sebagai pembawa untuk obat-obat seperti penisilin, kortison, prokain, dan insulin. PVP tersedia dengan kisaran angka dari K15 sampai K90 (Attwood dan Florence, 2008). PVP mempunyai kelarutan yang baik dalam berbagai pelarut organik, sehingga PVP merupakan pembawa yang paling banyak digunakan pada pembuatan dispersi padat dengan metode pelarutan. Polivinilpirolidon K30 merupakan pembawa yang paling umum digunakan dalam pembuatan sistem dispersi padat (Chhater dan Praveen, 2013). Peningkatan laju disolusi dari dispersi padat dengan PVP telah dilakukan pada asam fufenamat (Itai et al., 1985).

2.4 Drug Delivery System 2.4.1 Uraian drug delivery system

Pemberian obat secara oral telah lama dikenal sebagai rute pemberian obat yang paling banyak digunakan jika dibandingkan dengan rute pemberian obat lainnya dan telah dikembangkan untuk penyampaian obat secara sistemik dengan berbagai bentuk sediaan dengan formulasi yang berbeda. Saat ini para ilmuwan

farmasi berusaha mengembangkan sistem pemberian obat “Drug Delivery System” yang ideal. Sistem pemberian obat yang ideal ini harus memiliki


(9)

kemampuan untuk satu dosis pemberian obat yang digunakan selama pengobatan dan harus menyampaikan obat langsung di lokasi tertentu yang diinginkan dalam pengobatan. Para ilmuwan ini telah berhasil mengembangkan sistem penyampaian obat yang mendekati sistem penyampaian yang ideal tersebut dan mendorong para ilmuwan untuk mengembangkan sistem penyampaian obat yang terkontrol atau

“Controlled Release System”. Desain penyampaian obat secara oral dimana obat pelepasannya dipertahankan berlangsung terus menerus ditujukan untuk mencapai pelepasan obat yang efektif, konsentrasi obat dalam jaringan target dapat ditentukan dan mengoptimalkan efek terapetik obat yang dilakukan dengan cara mengendalikan pelepasan obat didalam tubuh dengan dosis obat tertentu. Biasanya obat konvensional diberikan dalam dosis berkala yang diformulasikan sedemikian rupa untuk memastikan stabilitas, aktivitas dan bioavalabilitas sediaan obat (Kumar, et al., 2012).

2.4.2 Floating drug delivery system

Sistem penghantaran obat ini dengan sistem mengapung atau sistem hidrodinamis dikendalikan dengan berat jenis yang kecil sehingga dapat mengapung di atas cairan lambung dan tetap mengapung di lambung tanpa mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung untuk jangka waktu yang lama. Sementara sistem mengapung ini, obat dilepaskan perlahan pada tingkat yang diinginkan dari sistem ini. Setelah pelepasan obat, sistem residual ini dikosongkan dari lambung. Hal ini menyebabkan peningkatan waktu retensi lambung yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan konsentrasi obat dalam plasma (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).


(10)

Adapun beberapa keuntungan dari penggunaan sistem floating yaitu meningkatkan kepatuhan pasien, mencapai efek terapi yang baik dari obat dengan waktu paruh yang singkat, menambah absorpsi obat yang larut di lambung dan dapat mencapai tapak spesifik obat di lambung (Pawar, et al., 2011).

Keterbatasan dari penggunaan sistem ini yaitu membutuhkan jumlah cairan yang banyak di lambung (bentuk sediaan dimasukkan secara oral dengan jumlah cairan sekitar 200-250 ml), dengan tujuan agar obat tetap mengapung di lambung (Soppimath, et al., 2001).

2.4.2.1 Pembagian sistem floating

Sistem penghantaran obat floating diklasifikasikan dalam dua variabel mekanisme yaitu sistem Effervescent dan sistem Non-effervescent.

a. Sistem Effervescent

Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti metil selulosa, kitosan, dan berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, asam tartrat, dan asam sitrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga ketika kontak dengan cairan lambung, maka gas karbondioksida (CO2) akan terlepas dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang.. Hal ini membantu sediaan untuk mengapung. Bahan tambahan yang sering digunakan dalam sistem ini yaitu HPMC, polimer poliakrilat, polivinil asetat, karbopol, agar, natrium alginat, kalsium klorida, polietilen oksida, dan polikarbonat (Dey dan Saha, 2013).

Lapisan terluar dari sistem effervescent terbuat dari polimer yang dapat mengembang, yang permeabilitas terhadap cairan lambung, sehingga bila


(11)

berkontak dengan lapisan effervescent sodium bikarbonat akan menunjukkan reaksi netralisasi (Dey dan Saha, 2013).

Gambar 2.3 Unit tunggal sistem Effervescent FDDS b. Non-effervescent Floating

Sistem Non-effervescent ini mengembang bila berkontak lama dengan cairan lambung sehingga mencegah keluarnya obat dari lambung. Sistem ini cenderung menyangkut mendekati spinkter pilori. Salah satu metode formulasi yang dilakukan adalah dengan mencampurkan obat dengan gel, yang mengembang ketika kontak dengan cairan lambung. Contoh dari tipe FDDS ini adalah sistem koloid gel, sistem kompartemen mikroporos, beads alginat, dan hollow mikrosfer (Dey dan Saha, 2013). Pada umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan bahan yang mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Juga biasa digunakan bentuk matriks dari polimer seperti polimethacrylate, polyacrylate, plystyrene,dan bioadhesif polimer yaitu kitosan dan karbopol (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

2.4.2.2 Kandidat obat untuk sediaan floating

Dalam sistem penghantaran obat ini dimaksudkan untuk obat-obat dengan tujuan pemakaian tertentu, dengan maksud untuk penghantaran dan aktivitas kerja


(12)

obat yang lebih baik. Berbagai macam kandidat obat yang tepat untuk diformulasikan dalam sistem penghantaran obat floating diantaranya:

a. Obat-obat yang aktif bekerja secara lokal di lambung. Seperti: Misoprostol, Antasida.

b. Obat-obat yang memiliki tapak absorpsi yang sempit dalam saluran pencernaan. Seperti: L-DOPA, p-aminobenzoic acid, furosemid, riboflavin.

c. Obat-obat yang tidak stabil dalam lingkungan basa di bagian usus atau kolon. Seperti: Captopril, Ranitidine HCl, Metronidazol.

d. Obat-obat yang mengganggu aktivitas kerja mikroba di kolon.

Seperti: Antibiotik yang digunakan dalam pengobatan Helicobacter Pylor i, diantaranya Tetracyclin, Clarithromycin, Amoxicilin.

e. Obat-obat yang menunjukkan kelarutan yang rendah pada pH yang tinggi. Seperti: Diazepam, Chlordiazepoxide, Verapamil (Nayak, et al., 2010).

Berikut beberapa contoh sediaan obat yang diformulasikan dalam bentuk sediaan Floating ditunjukkan dalam tabel dibawah ini.

No Bentuk Sediaan Nama Obat

1 Tablet Chlorpheniramin maleat, Theophyllin, Furosemid, Ciprofloxacin, Captopril, Asam Asetilsalisilat, Nimodipin, Amoxicillin, Verapamil HCl, Isosorbide dinitrate, Isosorbide mononitrate, Acetaminophen, Dilitiazem, Florouracil, Prednisolon.

2 Kapsul Nicardipin, Chlordiazepoxide HCl, Furosemid, Misoprostol, Diazepam, Propanolol, Urodeoxycholic. 3 Mikrosper Aspirin, Griseofulvin, p-nitroanilline, Ketoprofen,


(13)

4 Granul Indometasin, Na-Diklofenak, Prednisolon.

5 Film Cinnarizine

Sementara itu bentuk sediaan floating ini sendiri yang telah tersedia dipasaran dapat dilihat pada tabel dibawah ini

No Bentuk Sediaan Nama Obat Brand Name Perusahaan, Negara Produsen) 1 Floating Controlled

Release Capsule

Levodopa, Benserazide

MODAPAR Roche, USA

2 Floating Capsule Diazepam VALRELEASE Hoffman-LaRoche, USA 3 Effervescent

Floating Liquid Alginate Preparation Aluminium hydroxide, Magnesium Carbonate LIQUID GAVISON

Glaxo Smith Kline, INDIA

4 Floating Liquid Alginate Preparation

Aluminium-Magnesium antacid

TOPALKAN Pierre Fabre

Drug, FRANCE 5 Colloidal gel

forming FDDS

Ferrous sulphate

CONVIRON Ranbaxy, INDIA 6 Gas-generating

floating Tablets

Ciprofloxacin CIFRAN OD Ranbaxy, INDIA 7 Bilayer floating

Capsule

Misoprostol CYTOTEC Pharmacia, USA (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

2.4.2.3 Keuntungan floating drug delivery system

Sistem penghantaran obat melalui sistem floating ini merupakan teknologi penghantaran obat dengan retensi lambung yang lebih lama dan memiliki beberapa keuntungan dalam pemberian obat dengan sistem ini. Keuntungan ini meliputi:

a. Bentuk sediaan floating seperti tablet atau kapsul akan bertahan dalam waktu yang lama bahkan pada pH alkalis saluran cerna.


(14)

b. FDDS menguntungkan untuk obat-obat yang bekerja secara lokal di lambung contohnya: antasida.

c. Bentuk sediaan FDDS menguntungkan untuk kasus seperti pergerakan saluran cerna yang kuat dan diare untuk menjaga agar obat tetap berada dalam kondisi mengapung dalam lambung untuk memberikan respon efek yang lebih baik.

d. Zat-zat asam seperti aspirin dapat menyebabkan iritasi saat berkontak dengan dinding lambung, untuk itu formulasi FDDS berguna untuk menghantarkan obat aspirin dan obat-obat lain yang sejenis.

e. FDDS menguntungkan untuk obat-obat yang diabsorpsi di lambung contohnya Fero sulfat, Antasida.

Berbagai keuntungan ini yang menjadikan sistem lebih dikembangkan lagi untuk menghasilkan sistem penghantaran yang ideal (Goyal, dkk., 2011).

2.4.2.4 Kekurangan floating drug delivery system

Disamping memiliki banyak keuntungan dalam sistem floating ini, terdapat pula kekurangan dari sistem ini. Kekurangan ini meliputi:

a. Retensi lambung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH dan motilitas lambung. Faktor-faktor ini tidak pernah tetap dan karenanya daya apung sediaan tidak dapat diprediksi.

b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak cocok untuk sistem pemberian obat ini.

c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung.

d. Pengosongan lambung untuk subjek pada posisi tidur telentang terjadi secara acak tidak dapat diprediksi dan bergantung pula pada diameter dan


(15)

ukuran sediaan floating tersebut. Oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan sediaan ini saat pasien akan tidur (Sharma, et al., 2011).

2.5 Saluran Pencernaan 2.5.1 Lambung

Lambung memiliki fungsi utama untuk memproses dan mengangkut makanan. Selain itu lambung sebagai tempat penyimpanan makanan dalam jangka singkat, yang memungkinkan untuk mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak secara cepat. Proses pencernaan secara enzimatik berlangsung didalam lambung (Narang, N., 2011).

Anatomi lambung dibagi menjadi 3 wilayah yaitu bagian fundus, bagian badan dan bagian antrum (pilorus). Bagian proksimal terdiri dari bagian fundus dan bagian badan yang bertindak sebagai tempat untuk bahan tercerna, sedangkan bagian antrum adalah bagian utama untuk gerakan mencampur makanan dan juga bertindak sebagai pompa dalam pengosongan lambung untuk mendorong makanan menuju bagian saluran pencernaan selanjutnya (Narang, N., 2011). Lambung adalah organ berbentuk huruf J terletak pada bagian kiri atas rongga perut di bawah diafragma dapat dilihat pada gambar 2.4. Lambung terdiri dari epitel selapis toraks dengan lekukan-lekukan, sehingga terbentuk lubang-lubang pada permukaan lambung. Lubang-lubang ini merupakan muara dari kelenjar lambung. Lambung dapat diregangkan sehingga mampu menampung sejumlah besar makanan (Leeson, dkk., 1989).

Waktu pengosongan lambung saat berpuasa ataupun sampai saat makan dipengaruhi beberapa faktor dalam tubuh. Hal ini berkaitan dengan gerakan atau motilitas dari otot-otot lambung yang mengakibatkan perbedaan waktu


(16)

pengosongan lambung diantara kedua keadaan ini. Siklus yang baik makanan melalui lambung dan usus setiap 2 sampai 3 jam. Siklus ini disebut siklus mioelektrik bagian saluran pencernaan atau perpindahan suatu bahan tercerna dalam saluran pencernaan yang dipengaruhi motilitas saluran pencernaan. Dalam siklus ini dibagi dalam 4 tahapan:

1. Tahap I (fase basal) yang berlangsung selama 30 sampai 60 menit dengan terjadinya awal motilitas kontraksi.

2. Tahap II (fase preburst) yang berlangsung selama 20 sampai 40 menit dengan potensial aksi dan motilitas kontraksi. Dalam fase ini berlangsung dengan intensitas dan frekuensi motilitas kontraksi yang meningkat secara bertahap.

3. Tahap III (fase burst) yang berlangsung 10 sampai 20 menit. Fase ini mencakup kontraksi intens dan rutin yang terjadi dalam waktu singkat 4. Tahap IV berlangsung selama 0 sampai 5 menit dan terjadi diantara fase II

dan fase I yang terjadi motilitas kontraksi secara terus-menerus (Arunachalam, et al., 2011).


(17)

Tahapan siklus kontraksi dapat dilihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Pola motilitas saluran pencernaan

Lambung terdiri dari empat lapisan umum yaitu: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Leeson, dkk., 1989). Mukosa lambung berwarna pucat, merah-keabuan dan dibatasi oleh epitel selapis kolumnar. Mukosa lambung tebal (0,5 sampai 1,5 mm) karena adanya massa kelenjar lambung, yang bermuara ke permukaan melalui sumur-sumur atau “foveolae”. Kelenjar lambung bentuknya tubular simpleks atau tubular bercabang, masuk jauh ke dalam mukosa, hingga mendekati muskularis mukosa, dan di antara kelenjar terdapat lamina propia, yang sukar dilihat oleh akrena terpisah-pisah menempati ruangan di antara sumur-sumur dan kelenjar-kelenjar (Leeson, dkk., 1989).

Submukosa terdapat di antara jaringan mukosa dan muskularis yang meluas ke dalam rugae atau lipatan memanjang lambung, dan terdiri atas jaringan ikat jarang, dengan serat-serat kolagen dan elastin. Selain fibroblas, terdapat pula kumpulan limfosit dan sel plasma, terutama dekat kardia dan pilorus, serta sel mast dan biasanya terdapat beberapa sel lemak. (Leeson, dkk., 1989).

Muskularis dibentuk oleh tiga lapisan otot polos: (1) Lapisan luar longitudinal dan (2) Lapisan tengah sirkular yang merupakan lanjutan dari kedua


(18)

lapisan otot esofagus dan ditambah dengan (3) Lapisan serong (oblik) berbentuk lengkungan otot yang berjalan dari kardia mengitari fundus dan korpus (Leeson, dkk., 1989).

Serosa merupakan lapisan terluar, dibentuk oleh jaringan areolar elastis yang relatif padat. Pada banyak tempat ia diliputi oleh peritoneum (yaitu satu lapis sel mesotel gepeng), dan pada keadaan ini disebut sebagai serosa. Pembuluh darah dan linfa terdapat di sini, dan melaluinya menuju ke lapisan-lapisan yang lain (Leeson, dkk., 1989).

2.6 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan kedalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin bisa lunak dan bisa juga keras. Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien, untuk keuntungan dalam pengobatan. Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di lingkungan para pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel, 2005).

Kulit kapsul dibuat dari gelatin pelentur, dan air. Kulit kapsul dapat juga mengandung bahan-bahan tambahan seperti pengawet, bahan pewarna dan bahan pengeruh, pemberi rasa, gula, asam, dan bahan obat untuk mendapat efek yang diinginkan. Plasticizier (pelentur) yang digunakan dengan gelatin pada pembuatan kapsul lunak relatif sedikit. Yang paling banyak adalah Gliserin USP, Sorbitol USP, Pharmaceutical Grade Sorbitol Special, dan kombinasi-kombinasinya.


(19)

Perbandingan berat plastisator kering terhadap gelatin kering menetukan kekerasan kulit/cangkang gelatin, dengan anggapan tidak ada pengaruh dari bahan yang dikapsulkan (Lachman, dkk., 2008). Gelatin bersifat stabil diudara bila dalam keadaan kering, akan tetapi mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembap atau disimpan dalam larutan berair. Biasanya cangkang kaspul gelatin mengandung uap air antara 9–12 %. Bilamana disimpan dalam lingkungan dengan kelembapan yang tinggi, penambahan uap air akan diabsorbsi oleh kapsul dan kapsul keras ini akan rusak dari bentuk kekerasannya. Sebaliknya dalam lingkungan udara yang sangat kering, sebagian dari uap air yang terdapat dalam kapsul gelatin mungkin akan hilang, dan kapsul ini menjadi rapuh serta mungkin akan remuk bila dipegang (Ansel, 2005).

Cangkang kapsul keras gelatin harus dibuat dalam dua bagian yaitu badan kapsul dan bagian tutupnya yang lebih pendek. Kedua bagian saling menutupi bila dipertemukan, bagian tutup akan menyelubungi bagian tubuh secara tepat dan ketat (Ansel, 2005).

2.7 Natrium Alginat

Alginat sangatlah berlimpah dialam indonesia karena alginat ini sebagai kompoenen struktural yang terdapat dalam alga coklat (Phaeophyceae), yang komponennya mencapai 40% dari bahan keringnya (Draget, et al., 2005)

Natrium Alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah. Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera, Laminaria, Aschophyllum dan Sargassum (Belitz, et. al., 2009).


(20)

Alginate komersil umumnya diproduksi dari Laminaria hyperborean, Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan Sargassum sp (Draget, et al., 2005).

Tabel menunjukkan perbandingan asam uronat dalam berbagai sepsies alga yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field.

(Draget, et al., 2005).

Asam alginat merupakan kopolimer biner yang terdiri dari residu β

-D-mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linier (Grasdalen, et. al., 1979). Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1980).


(21)

Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).

Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter berikut, antara lain:

(i) pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat.

(ii) Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting (terutama efek salting-out kation-kation non-gelling), dan

(iii) Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan (Draget, et al., 2005).

Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990).


(22)

Dilaboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung. Dimana cangkang kapsul tersebut dibuat dengan bahan dasar berupa natrium alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2). Utuhnya cangkang kapsul alginat didalam medium lambung buatan pH 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium guluronat masih utuh (Bangun, dkk., 2005).

2.8 Difraksi Sinar-X

Teknik X-Ray Diffraction (XRD) berperan penting dalam proses analisis padatan kristal maupun amorf. XRD adalah metode karakterisasi lapisan yang digunakan untuk mengetahui senyawa kristal yang terbentuk. Teknik XRD dapat digunakan untuk analisis struktur kristal karena setiap unsur atau senyawa memiliki pola tertentu. Apabila dalam analisis ini pola difraksi unsur diketahui, maka unsur tersebut dapat ditentukan. Metode difraksi sinar-x merupakan metode analisis kualitatif yang sangat penting karena bentuk kristal dari material pola difraksi serbuk yang karakteristik, oleh karena itu metode ini disebut juga metode sidik jari serbuk (powder fingerprint method). Penyebab utama yang menghasilkan bentuk pola-pola difraksi serbuk tersebut, yaitu: (a) ukuran dan bentuk dari setiap selnya, (b) nomor atom dan posisi atom-atom di dalam sel (Smallman, 2000).

Difraksi merupakan penyebaran atau pembelokan gelombang pada saat gelombang melewati penghalang. Sinar-X merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 0,5 Å – 2,5 Å dan memiliki energi foton antara


(23)

1,2 x 103 eV – 2,4 x 105 eV yang dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron energi tertinggi. Dengan karakterisasi tersebut sinar-x mampu menembus zat padat sehingga dapat digunakan untuk menentukan struktur kristal. Hamburan sinar ini dihasilkan bila suatu elektron logam ditembak dengan elektron-elektron berkecepatan tinggi dalam tabung hampa udara (Atkins, 1999).

2.9 Disolusi 2.9.1 Kelarutan

Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting dalam menentukan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali menunjukkan ketersediaan hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap penentu (rate limiting step) pada proses absorpsi obat (Leuner dan Dressman, 2000).

2.9.2 Uji disolusi

Pelepasan obat dari bentuk sediaan dan absorbsi dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisiko kimia yang harus dipahami untuk mendesain sediaan pelepasan terkontrol (controlled release) atau terkendali (sustained release). Lepasnya suatu obat dari bentuk sediaan meliputi faktor disolusi atau difusi (Martin, dkk., 2008).

Disolusi merupakan percobaan secara in vitro yang mengukur kecepatan dan tingkat kelarutan suatu obat didalam medium air dimana didalam obat mengandung satu atau lebih bahan tambahan lainnya. Masalah bioavailabilitas


(24)

dapat ditemukan dalam metode disolusi ini. Akan tetapi, dalam percobaan disolusi dapat dinyatakan masalah bioavailabilitas yang berbeda untuk setiap formulasi obat (Shargel, 1998).

Sejumlah metode untuk menguji disolusi secara in vitro telah dilakukan. Bila suatu sediaan obat dimasukkan kedalam beaker glass yang berisi air atau dimasukkan kedalam saluran cerna (saluran gastrointestin), obat tersebut mulai masuk kedalam larutan dari bentuk padatnya. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu: a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

ii. Efek ukuran parrtikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi akan meningkat.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah. Sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.


(25)

ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan dapat menambah laju disolusi.

c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi:

i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi. ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskostas medium, semakin kecil laju

disolusi bahan obat.

iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu akan mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000).

United States Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:

a. Metode Keranjang (Basket)

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar


(26)

kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.

b. Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri dari suatu dayung yang dilapisi bahan khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada suhu 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung.

Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP “Basket and Rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk uji pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel, 1998).


(1)

Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).

Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter berikut, antara lain:

(i) pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat.

(ii) Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting (terutama efek salting-out kation-kation non-gelling), dan

(iii) Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan (Draget, et al., 2005).

Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990).


(2)

Dilaboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung. Dimana cangkang kapsul tersebut dibuat dengan bahan dasar berupa natrium alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2). Utuhnya cangkang kapsul alginat didalam medium lambung buatan pH 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium guluronat masih utuh (Bangun, dkk., 2005).

2.8 Difraksi Sinar-X

Teknik X-Ray Diffraction (XRD) berperan penting dalam proses analisis padatan kristal maupun amorf. XRD adalah metode karakterisasi lapisan yang digunakan untuk mengetahui senyawa kristal yang terbentuk. Teknik XRD dapat digunakan untuk analisis struktur kristal karena setiap unsur atau senyawa memiliki pola tertentu. Apabila dalam analisis ini pola difraksi unsur diketahui, maka unsur tersebut dapat ditentukan. Metode difraksi sinar-x merupakan metode analisis kualitatif yang sangat penting karena bentuk kristal dari material pola difraksi serbuk yang karakteristik, oleh karena itu metode ini disebut juga metode sidik jari serbuk (powder fingerprint method). Penyebab utama yang menghasilkan bentuk pola-pola difraksi serbuk tersebut, yaitu: (a) ukuran dan bentuk dari setiap selnya, (b) nomor atom dan posisi atom-atom di dalam sel (Smallman, 2000).

Difraksi merupakan penyebaran atau pembelokan gelombang pada saat gelombang melewati penghalang. Sinar-X merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 0,5 Å – 2,5 Å dan memiliki energi foton antara


(3)

1,2 x 103 eV – 2,4 x 105 eV yang dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron energi tertinggi. Dengan karakterisasi tersebut sinar-x mampu menembus zat padat sehingga dapat digunakan untuk menentukan struktur kristal. Hamburan sinar ini dihasilkan bila suatu elektron logam ditembak dengan elektron-elektron berkecepatan tinggi dalam tabung hampa udara (Atkins, 1999).

2.9 Disolusi 2.9.1 Kelarutan

Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting dalam menentukan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali menunjukkan ketersediaan hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap penentu (rate limiting step) pada proses absorpsi obat (Leuner dan Dressman, 2000).

2.9.2 Uji disolusi

Pelepasan obat dari bentuk sediaan dan absorbsi dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisiko kimia yang harus dipahami untuk mendesain sediaan pelepasan terkontrol (controlled release) atau terkendali (sustained release). Lepasnya suatu obat dari bentuk sediaan meliputi faktor disolusi atau difusi (Martin, dkk., 2008).

Disolusi merupakan percobaan secara in vitro yang mengukur kecepatan dan tingkat kelarutan suatu obat didalam medium air dimana didalam obat mengandung satu atau lebih bahan tambahan lainnya. Masalah bioavailabilitas


(4)

dapat ditemukan dalam metode disolusi ini. Akan tetapi, dalam percobaan disolusi dapat dinyatakan masalah bioavailabilitas yang berbeda untuk setiap formulasi obat (Shargel, 1998).

Sejumlah metode untuk menguji disolusi secara in vitro telah dilakukan. Bila suatu sediaan obat dimasukkan kedalam beaker glass yang berisi air atau dimasukkan kedalam saluran cerna (saluran gastrointestin), obat tersebut mulai masuk kedalam larutan dari bentuk padatnya. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu: a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

ii. Efek ukuran parrtikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi akan meningkat.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah. Sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.


(5)

ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan dapat menambah laju disolusi.

c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi:

i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi. ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskostas medium, semakin kecil laju

disolusi bahan obat.

iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu akan mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000).

United States Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:

a. Metode Keranjang (Basket)

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar


(6)

kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.

b. Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri dari suatu dayung yang dilapisi bahan khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada suhu 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung.

Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP “Basket and Rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk uji pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel, 1998).