Penentuan Dosis Ekstrak Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Sebagai Larutan Pestisida Nabati Pada Ulat Tanaman Tomat (Helicoverpa Armigera)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Uraian Tumbuhan
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang cukup banyak

dibudidayakan di Indonesia. Di Indonesia, tanaman pepaya dapat tumbuh dari
dataran rendah sampai daerah pegunungan 1000 m dpl. Negara penghasil pepaya
antara lain Kosta Rika, Republik Dominika, Puerto Riko, dan lain-lain. Brazil,
India, dan Indonesia merupakan penghasil pepaya yang cukup besar (Warisno,
2003).
2.1.1

Sistematika tumbuhan
Tumbuhan pepaya memiliki sistematika sebagai berikut (BPOM, RI.,

2008):
Kingdom


: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Class

: Dicotyledoneae

Ordo

: Cistales

Famili


: Caricaceae

Genus

: Carica

Spesies

: Carica papaya L.

2.1.2

Morfologi tumbuhan
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman herba dengan batang

berongga, biasanya tidak bercabang dan tingginya dapat mencapai 10 meter.

7

Daunnya termasuk daun tunggal, berukuran besar dan bercangap menjari dengan

tangkai daun panjang (BPOM, RI., 2008). Bunganya terdiri dari tiga jenis, yaitu
bunga jantan, bunga betina dan bunga sempurna. Bentuk buah bulat sampai
lonjong. Batang, daun, dan buahnya mengandung getah yang memiliki daya
enzimatis, yaitu dapat memecah protein. Pertumbuhan tanaman pepaya termasuk
cepat, karena antara 10-12 bulan setelah ditanam buahnya telah dapat dipanen
(Kalie, 1996). Sistem perakarannya memiliki akar tunggang dan akar-akar cabang
yang tumbuh mendatar ke semua arah pada kedalaman 1 meter atau lebih
menyebar sekitar 60-150 cm atau lebih dari pusat batang tanaman (Suprapti,
2005).
2.1.3

Nama daerah
Tanaman pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia memiliki berbagai

macam nama daerah, seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara,
Sulawesi, Maluku dan Papua (BPOM,RI., 2010).
Sumatera

: kabaelo, peute, pastelo, embetik, botik, bala, sikailo, kates,
kepaya, kustela, papaya, pepaya, singsile, batiek, kalikih,

pancene, pisang, katuka, pisang patuka, pisang pelo, gedang
dan punti kayu.

Jawa

: gedang, ketela gantung, kates dan gedhang.

Kalimantan

: bua medung, pisang malaka, buah dong, majan, pisang
mentela, gadang dan bandas.

Nusa Tenggara

: gedang, kates, kampaja, kalu jawa, padu, kaut panja, kalailu,
paja, kapala, hango, muu jawa, muku jawa dan kasi.

8

Sulawesi


: kapalay, papaya, pepaya, keliki, sumoyori, unti jawa, tangan
tangan nikare, kaliki dan rianre.

Maluku

: tele, palaki, papae, papaino, papau, papaen, papai, papaya,
sempain, tapaya dan kapaya.

Papua
2.1.4

: sampain, asawa, menam, siberiani dan tapaya.
Kandungan kimia
Kandungan biji dalam buah pepaya kira-kira 14,3 % dari keseluruhan buah

pepaya. Apabila dikaitkan dengan senyawa aktif dari tanaman ini ternyata banyak
diantaranya mengandung alkaloid, steroid, tanin dan minyak atsiri. Dalam biji
pepaya mengandung senyawa-senyawa steroid (Satriasa dan Pangkahila, 2010)
dan asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu asam oleat dan palmitat (Yuniwati

dan Purwanti, 2008). Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya diketahui
mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid, terpenoid dan
saponin (Warisno, 2003), glucoside cacirin dan karpain (Setiawan, dkk., 2008).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil skrining biji pepaya
menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, steroid-triterpenoid, flavonoid,
tanin, saponin dan glikosida (Ramadhani, 2014).
Aktivititas insektisida dari metabolit sekunder pada daun dan biji pepaya
yang bersifat toksik seperti saponin, flavonoid dan triterpenoid (Wahyuni, 2014).
Alkaloid karpaina mekanisme kerjanya menghambat proses metabolisme tubuh
pada ulat, merintangi hormon pertumbuhan, dan mencerna protein dalam tubuh
ulat lalu merubahnya menjadi derivat pepton yang menyebabkan ulat kekurangan
makanan dan akhirnya mati (Utomo, dkk., 2010). Saponin adalah racun yang
bersifat polar, larut dalam air dan ketika masuk ke dalam tubuh ulat akan

9

menyebabkan

hemolisis


di

pembuluh

darah,

juga menghambat

proses

metamorfosis, pembentukan kulit ulat, yang akan menyebabkan ulat mati (Suirta,
dkk., 2007). Flavonoid bekerja sebagai racun perut yang menurunkan nafsu
makan ulat yang menyebabkan ulat tidak dapat merasakan rangsangan makanan,
sehingga ulat akan mati kelaparan (Cahyadi, 2009). Triterpen adalah senyawa
yang bersifat toksik akut ketika diaplikasikan secara topikal atau ketika bercampur
dengan air. Triterpenoid menyebabkan penurunan makan dan peningkatan
kematian pada ulat (Wahyuni, 2014).
2.1.5

Khasiat tumbuhan

Tumbuhan pepaya hampir seluruh bagiannya memiliki khasiat. Daunnya

berkhasiat sebagai antibakteri, antimalaria, antijerawat, analgesik, antikanker dan
penambah

nafsu

makan

(Kalie,

1996).

Bunganya

berkhasiat

sebagai

antimutagenik (Fransisca, 2012), dan antibakteri (Iman, 2009). Bijinya berkhasiat

sebagai antibakteri (Martiasih, dkk., 2011) dan mengobati cacing kremi (Kalie,
1996). Akarnya juga berkhasiat sebagai antiinflamasi (Adjirni dan Saruni, 2006),
penyakit kencing batu dan gangguan saluran kencing (Kalie, 1996) dan
antidiuretik (BPOM, RI., 2010).
2.2

Esktraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu
pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain.
Dengan

diketahuinya

senyawa

aktif


yang

dikandung

simplisia

akan

mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen, POM.,

10

2000). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung (Depkes, RI., 1979).
Metode ekstraksi yang umum digunakan dalam berbagai penelitian antara
lain (Ditjen, POM., 2000) yaitu:
a. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan

remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu
baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam
bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan
penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam.
c. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada
temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi
menuju pendingin dan kembali ke labu.
d. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel.

11

e. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50°C.
f. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit.
g. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit.
2.3

Pestisida
Meskipun memiliki banyak keuntungan seperti cepat menurunkan

populasi hama, mudah penggunaannya, dan menguntungkan namun dampaknya
semakin lama semakin dirasakan oleh masyarakat (Untung, 1996). Berikut ini
diuraikan 3 dampak samping utama penggunaaan pestisida kimia menurut Untung
(1993):
a. Munculnya ketahanan hama terhadap pestisida karena hama terus menerus
mendapat tekanan oleh pestisida maka melalui proses seleksi alami spesies
hama mampu membentuk strain yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu
yang sering digunakan oleh petani.
b. Timbulnya resurjensi hama, dampak pestisida yang dirasakan oleh petani
adalah timbulnya resurjensi hama atau peristiwa meningkatnya populasi hama
setelah hama tersebut memperoleh perlakuan pestisida tertentu.

12

c. Dampak pestisida yang ketiga adalah timbulnya letusan hama kedua. Setelah
perlakuan pestisida tertentu secara intensif ternyata hama sasaran utama
memang dapat terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan menjadi
hama utama adalah jenis hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak
membahayakan.
Menurut Kardinan (2005), pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau
majemuk yang berasal dari tumbuhan dan dapat digunakan untuk mencegah
organisme pengganggu tanaman (OPT). Pestisida nabati berfungsi sebagai
penolak (repellent), penarik (attractan), pemandul (antifertilitas) atau pembunuh.
Pestisida nabati bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak
mencemari lingkungan. Di Indonesia terdapat sangat banyak jenis tumbuhan
penghasil pestisida nabati. Namun, sampai saat ini pemanfaatannya belum
dilakukan dengan maksimal. Tumbuhan penghasil pestisida nabati tersebut dibagi
menjadi lima kelompok, yaitu sebagai berikut:
a. Kelompok tumbuhan insektisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang
menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Contoh tumbuhan kelompok
ini adalah: piretrum, aglaia, babadotan, bengkuang, bitung, jeringau, saga,
serai, sirsak, srikaya.
b. Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat, adalah tumbuhan yang
menghasilkan suatu bahan kimia yang menyerupai hormon seksual feromon
pada serangga betina. Bahan kimia tersebut akan menarik serangga jantan,
khususnya hama lalat buah dari jenis Bactrocera dorsalis. Contoh tumbuhan
dari kelompok ini adalah: daun wangi dan selasih.

13

c. Kelompok tumbuhan rodentisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang
menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini
terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran (efek aborsi atau
kontrasepsi) dan penekan populasi yaitu meracuninya. Tumbuhan yang
termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya mengandung steroid,
sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid.
Dua jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai rodentisida nabati adalah
jenis gadung KB dan gadung racun.
d. Kelompok

tumbuhan

moluskisida

adalah

kelompok

tumbuhan

yang

menghasilkan pestisida pengendali hama moluska. Beberapa tanaman yang
menimbulkan pengaruh moluskisida, diantaranya: daun sembung, akar tuba,
patah tulang, dan tefrosia.
e. Kelompok tumbuhan pestisida serba guna, adalah kelompok tumbuhan yang
tidak berfungsi hanya satu jenis saja, selain berfungsi sebagai insektisida juga
berfungsi sebagai fungisida, bakterisida, moluskisida, nematisida, dan lainnya.
Contoh tumbuhan dari kelompok ini adalah: jambu mete, lada, mimba, mindi,
tembakau, dan cengkih.
Novizan (2004) menjelaskan bahwa pestisida nabati juga mempunyai
beberapa keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari pestisida nabati adalah:
a. Murah dan mudah dibuat oleh petani.
b. Relatif aman terhadap lingkungan.
c. Tidak menyebakan keracunan pada makanan.
d. Sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama.
e. Kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain.

14

f. Menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
Selain memiliki kelebihan pestisida nabati juga memiliki kelemahan
diantaranya adalah:
a. Daya kerjanya relatif lambat.
b. Tidak membunuh jasad sasaran secara langsung.
c. Tidak tahan terhadap sinar matahari.
d. Kurang praktis.
e. Tidak tahan disimpan.
f. Kadang-kadang harus disemprotkan berulang-ulang.
Meskipun disebut ramah lingkungan, tidak berarti pestisida alami
memiliki daya racun (toksisitas) yang rendah. Beberapa jenis pestisida botani
seperti nikotin, memiliki daya racun yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pestisida sintetis, terutama jika termakan. Dengan demikian penggunaan pestisida
alami juga perlu diperhatikan, terutama toksisitasnya terhadap organisme non
sasaran (Novizan, 2004).
2.4

Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan

kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan
(Priyanto, 2009). Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik
suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas
dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi
mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia,
sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (OECD,
2008).

15

Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji
untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009). Umumnya uji
toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subkronik dan kronik)
dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Lu, 1995).
2.4.1

Toksisitas umum

2.4.1.1 Toksisitas akut
Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam
dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam (Lu, 1995). Tujuan toksisitas
akut adalah untuk mendeteksi toksisitas dari suatu zat, menentukan organ sasaran
dan kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya setelah pemaparan suatu zat
secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk
merancang uji toksisitas selanjutnya serta untuk memperoleh nilai LD50 atau LC50
suatu sediaan (BPOM, RI., 2011). Semakin kecil harga LD50 atau LC50 maka
semakin besar potensi ketoksikannya (OECD, 2001). Prinsip uji toksisitas akut
oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis yang diberikan pada beberapa
kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan
pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian (OECD, 2001).
2.4.1.2 Toksisitas sub kronik
Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji (OECD, 2008). Tujuan toksisitas subkronik
oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak
terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi kemungkinan adanya efek toksik

16

setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu,
informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek
kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (OECD, 2008). Serta bertujuan untuk
menentukan organ sasaran (organ yang rentan) (Priyanto, 2009).
Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu
dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama pemberian sediaan uji, hewan
harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Selama waktu dan
pada akhir periode pemberian sediaan uji, hewan yang mati dan masih hidup
diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap
organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia
klinis dan histopatologi (OECD, 2008).
2.4.1.3 Toksisitas kronik
Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulangulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto,
2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas
subkronik, hanya sediaan uji yang diberikan lebih lama tidak kurang dari 12
bulan. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala toksik,
monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi,
biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (OECD,
2008).
2.4.2

Lethal Concentration (LC50)
Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan,

perlu dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota yang ada yaitu

17

dalam bentuk Lethal Concentration (LC50). Jadi, uji toksisitas digunakan untuk
mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat
menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis (Pratiwi, dkk., 2012). LC50
merupakan konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak 50% dari
organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada suatu
waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam sampai waktu
hidup hewan uji (Ngatidjan, 2006).
2.4.3

Toksikologi pestisida
Pemenuhan kebutuhan akan bahan makanan dalam jumlah besar tidak

mungkin tanpa penggunaan pestisida, yaitu pembasmi tanaman pengganggu,
fungisida, rodentisida dan insektisida. Juga pupuk buatan harus disebut dalam
kaitan ini, walaupun dalam hal ini tidak menyangkut pestisida dalam arti yang
sempit. Penggunaan pestisida mengandung bahaya yang bukan tidak penting.
Keracunan akut pada perusahaan pertanian juga harus diperhitungkan seperti
halnya masalah bahwa pemakai pada pengawasan yang tidak memadai,
memasukkan setiap hari ke dalam tubuhnya bersama makanan, sejumlah kecil
pestisida, yang sebagiannya hampir tidak dapat dieliminasi. Meskipun lazimnya
hal ini hanya menyangkut jumlah kecil, namun risiko jangka waktu panjang tidak
dapat diabaikan (Lu, 1995).
2.5

Ulat Tanaman Tomat
Informasi spesies menurut (Borchert, dkk., 2003):

Nama Ilmiah : Helicoverpa armigera (Hubner)
Order

: Lepidoptera

Famili

: Noctuidae

18

Helicoverpa armigera merupakan kupu-kupu yang termasuk ke dalam
famili Noctuidae. Kupu-kupu ini merupakan ancaman utama, karena ulatnya
menyerang perkebunan yang ekonomis termasuk kapas, jagung, tomat dan
tembakau (King, 1994). Ulat ini juga telah berevolusi sehingga resistan terhadap
pestisida organofosfat (Armes, dkk., 1996).
Metamorfosis adalah suatu proses biologi di mana hewan secara fisik
mengalami perkembangan biologis setelah dilahirkan atau menetas, proses ini
melibatkan perubahan bentuk atau struktur melalui pertumbuhan sel dan
differensiasi sel (Djuhanda, 1981).
1.Fase I (fase telur atau ovum).
Telur kupu-kupu mempunyai bentuk yang berbeda-beda berdasarkan jenis.
Ada beberapa telur diantaranya yang kulitnya seperti karet dan melengket, ada
yang berbintik-bintik atau ditutupi oleh sesuatu yang berbentuk jala, sedang yang
lainnya pada umumnya licin. Waktu yang dibutuhkan dari telur untuk menjadi
larva berbeda-beda pada setiap jenis (Djarubito, 1990). Telur Helicoverpa
armigera diletakkan pada struktur reproduksi tanaman dan menetas sekitar 3-14
hari, tergantung pada temperatur (Pearson, 1958).
2. Fase II (fase larva/ulat atau caterpillar).
Setiap jenis mempunyai bentuk, warna dan bulu ulat yang berbeda, dan
memakan pakan yang berbeda pula. Ulat yang baru menetas akan memakan
selubung telur kemudian mengembara mencari tempat yang baik untuk
mendapatkan makanan (King, 1994). Biasanya larva kupu-kupu mempunyai alat
perlindungan dari serangan predator, yakni mengeluarkan osmeterium, yaitu
semacam zat beracun yang berbau tidak enak (Djarubito, 1990). Bagian tumbuhan

19

yang disukai meliputi bunga, tunas, buah dan daun. Jumlah instar ulat dan periode
ulat berubah-ubah tergantung pada temperatur dan tanaman inang (Shanower dan
Romeis, 1999), umumnya pada ulat terdapat 5-7 instar (Rajagopal dan Basavanna,
1982). Fase ini memiliki waktu yang berbeda-beda berkisar 14–20 hari.
3. Fase III (fase kepompong atau pupa)
Jika pertumbuhan larva telah sempurna, maka larva mencari tempattempat khusus untuk melakukan transformasi. Pada fase pupa, ulat akan
mengalami fase istirahat dimana fase ini digunakan untuk membentuk sel-sel
imago dan merupakan masa persiapan untuk penggantian kulit sebelum terjadi
pergantian kulit yang tetap pada fase imago. Setiap jenis mempunyai bentuk dan
warna pupa yang berbeda. Sedangkan waktu yang dibutuhkan dari pupa menjadi
imago juga berbeda pada setiap jenis, rentang waktunya berkisar 14-16 hari. Jika
dalam fase diapause, periode pupa bisa mencapai beberapa bulan (Shanower dan
Romeis, 1999).
4. Fase IV (fase kupu-kupu atau imago)
Pada fase ini ulat yang berkepompong telah berubah menjadi kupu-kupu
yang sebenarnya. Kupu-kupu tersebut telah diperlengkapi dengan alat yang
penting untuk digunakan atau cocok untuk digunakan pada ranting, atau objek
lainnya dimana kupu-kupu ini akan menggantung atau bertengger yang biasanya
dalam posisi yang terbalik dan merupakan posisi penting dalam mengambil
tempat. Peralatan ini adalah berupa sayap, antena untuk mencium, probosis
(belalai) digunakan untuk mengisap atau memakan, dan kaki untuk bertengger
(Djarubito, 1990).

20

Kupu-kupu muncul setelah gelap hingga tengah malam, bergerak ke atas
tanaman atau substrat vertikal ke tempat dimana sayap mereka akan kering (King,
1994). Kupu-kupu umumnya memakan madu, kupu-kupu betina akan melepas
hormon seksual feromon dan perkawinan terjadi kira-kira 4 hari setelah
kemunculannya. Setelah periode perkawinan 1-4 hari, kupu-kupu betina akan
bertelur pada bagian reproduktif dari ladang. Kupu-kupu betina bisa bertelur
hingga 3000 telur (Shanower dan Romeis, 1999). Setiap jenis mempunyai umur
imago yang berbeda-beda berkisar 14-24 hari (Djarubito, 1990).

21