Pengaruh Diameter Dan Konsentrasi Asam Cuka (C2H4O2) Trehadap Produktivitas Getah Pinus (Pinus merkusii Junghet de Vriese)

3

TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Pinus merkusii Jungh et de Vriese
Pinus merkusii Jungh et de vriese pertama kali ditemukan dengan nama
tusam di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang botani dari Jerman yaitu
Dr. F.R. Junghuhn pada tahun 1841. Jenis ini tergolong jenis cepat tumbuh dan
tidak membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini antara lain
merupakan satu-satunya yang menyebar secara alami ke selatan khatulistiwa
sampai 2o Lintang Selatan. Pinus atau tusam dikenal sebagai penghasil kayu, resin
dan gondorukem yang dapat diolah lebih lanjut sehingga mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi. Kelemahan P. merkusii adalah peka terhadap kebakaran,
karena menghasilkan serasah daun yang tidak mudah membusuk secara alami
(Siregar, 2005).
Sugiono et al. (2001), menyebutkan tentang susunan taksonomi Pinus
merkusii sebagai berikut :
Diviso

: Spermatophyta

Sub Divisio


: Gymnospermae

Ordo

: Coniferales

Famili

: Pinaceae

Genus

: Pinus

Spesies

: Pinus merkusii Jungh et de Vriese

Tempat Tumbuh

Pinus merkusii dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah
berpasir, tanah berbatu dengan curah hujan tipe A-C pada ketinggian 200 - 1.700

4

mdpl. Di hutan alam masih banyak ditemukan pohon besar berukuran tinggi 70 m
dengan diameter 170 m. P. merkusii termasuk famili Pinaceae, tumbuh secara
alami di Aceh, Sumatera Utara, dan Gunung Kerinci. P. merkusii memiliki sifat
pioner yaitu dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur seperti padang
alang-alang. Di Indonesia, P. merkusii dapat tumbuh pada ketinggian 200–2.000
mdpl. Pertumbuhan optimal dicapai pada ketinggian antara 400–1.500 mdpl
(Khaeruddin, 1999).
CiriUmum
Menurut Pandit dan Hikmat (2002), P. merkusii memiliki ciri umum
sebagai berikut :
Warna

: Terasnya sukar dibedakan dengan gubalnya kecuali pada pohon
berumur tua terasnya berwarna kuning kemerahan sedangkan
gubalnya berwarna putih krem.


Corak

: Permukaan radial dan tangensialnya mempunyai corak yang
disebabkan karena perbedaan struktur kayu awal dan kayu
akhirnya sehingga terkesan ada pola dekoratif.

Riap tumbuh

: Agak jelas terutama pada pohon-pohon yang berumur tua, pada
penampang

lintang

kelihatan

seperti

lingkaran-lingkaran


memusat.
Tekstur

: Agak kasar dan serat lurus tapi tidak rata.

Kekerasan

: Agak keras dan berat agak ringan sampai agak berat.

5

Ciri Anatomi
Menurut Pandit dan Hikmat (2002), P. merkusii memiliki ciri anatomi
sebagai berikut :
Pori

: Tidak berpori tapi mempunyai saluran damar aksial yang
menyerupai pori dan tidak mempunyai dinding sel yang
jelas. Saluran damar aksial menyebar, sangat jarang dan
diameter tangensialnya sekitar 170 – 190 mikron.


Jari-jari

: Sangat halus dan sempit terdiri dari 1 seri, kadang-kadang
ada yang fusifom jumlahnya sekitar 4 -7 per mm arah
tangensialnya, tingginya terdiri dari 4 – 15 sel.

Saluran interseluler : Aksial menyebar dan jarang pada penampang lintang
menyerupai pori namun tidak berdinding.
Sifat dan Kegunaan
Menurut Pandit dan Hikmat (2002), P. merkusii memiliki sifat dan
kegunaan sebagai berikut :
Berat jenis

: Rata-rata 0,55 (0,40 – 0,75)

Kelas Awet

: IV


Kelas Kuat

: III

Kegunaan

: - Korek api, pensil, kotak, dan permainan anak
- Papan Partikel, vinir, pulp dan kertas
- Perabot rumah tangga
- Kerangka pintu dan jendela

Sugiyono et al. (2001), menyatakan bahwa pohon pinus dapat mencapai tinggi 70
m, mempunyai kulit yang sangat tebal, dengan alur-alur vertikal agak dalam,

6

permukaan batang berwarna abu-abu, dan pada bagian bawah berwarna coklat
kemerah-merahan. Pada umumnya orang mengenal kulit pohon pinus atas dasar
ketebalan dan kekerasannya.
Pengertian dan Sifat Getah

Getah yang dihasilkan oleh Pinus merkusii digolongkan sebagai
oleoresinyangmerupakan cairan asam-asam resin dalam terpentin yang menetes
keluar apabila saluranresin pada kayu tersebut tersayat. Oleoresin pinus berbeda
dengan natural resin yangmerupakan getah alami yang keluar dari rongga-rongga
jaringan kayu pada genusdipterocarpaceae. Getah pinus terdapat pada saluran
interseluler sel atau saluran damartraumatis dimana saluran damar tersebut
dibentuk dari oleh suatu mekanisme baik secaralysigenous (sel pada jaringan kayu
hancur dan meninggalkan celah) maupunschizogenous (sel memisahkan diri) atau
schizolysigenous. Saluran resin memanjangbatang diantara sel-sel trakeida atau
melintang radial dalam berkas jaringan jari-jari kayu.Saluran vertikal memanjang
batang biasanya lebih besar dibandingkan saluran ke arahradial dan sering kedua
saluran tersebut berhubungan dan membentuk jaringantransportasi getah didalam
pohon (Santosa, 2010).
Lebih lanjut Tobing (1999), menyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti
biokimia, getah dibentuk secara insitu. Getah ini berfungsi sebagai penutup luka
agar air tidak bisa masuk dan sekaligus sebagai bahan antiseptik untuk menahan
serangan hama dan penyakit. Sifat getah pinus (oleoresin) ini adalah suatu bahan
hydrophobi, larut dalam pelarut netral atau pelarut organik non polar seperti etil
eter, hexan, dan pelarut minyak lainnya. Jenis getah ini mengandung terutama
senyawa-senyawa terpenoid, hidrokarbon dan senyawa netral. Getah pinus yang


7

didestilasi akan menghasilkan gondorukem (gum rosin) dan terpentin (gum
turpentine) dengan perbandingan antara 4:1 dan 6:1. Warna getah pucat, jernih
dan lengket serta apabila diuapkan berubah menjadi rapuh. Sugiyono et al. (2001),
menyatakan getah pinus tersusun atas 66 % asam resin (resin), 25 % terpentin
(monoterpene), 7 % bahan netral yang tidak mudah menguap dan 2 % air.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas getah pinus yaitu; faktor
pasif :kualitas tempat tumbuh, umur, kerapatan, sifat genetis, ketinggian tempat,
sedangkanfaktor aktif adalah kualitas dan kuantitas tenaga sadap serta perlakukan
dan metodesadapan. Faktor-faktor tersebut dapat diperinci bahwa produktivitas
getah dipengaruhijuga oleh faktor; luas areal sadap, kerapatan pohon, jumlah
koakan tiap pohon, arah sadapterhadap matahari, jangka waktu pelukaan, sifat
individu

pohon

dan


keterampilanpenyadap

serta

pemberian

stimulansia

(Santosa, 2010).
Getah yang baik adalah getah yang segar biasanya mengandung banyak
terpentin, bewarna putih bersih, dan bebas dari kotoran (daun, tatal, pasir, debu,
dan sebagainya). Getah pinus merupakan senyawa kompleks yang bersifat asam
dan sangat peka terhadap waktu dan rusak akibat penuaan atau aging
(Perum Perhutani dan IPB, 1989).
Kegunaan Getah Pinus merkusii
Getah (oleoresin) yang diperoleh dari penyadapan pinus dapat diolah
menjadi gondorukem dan terpentin. Gondorukem diketahui merupakan salah satu
bahan yang digunakan untuk campuran produksi ban dengan karet alam, bahan
kosmetik, dan lain-lain. Menurut Darmawan et al. (2000), gondorukem digunakan
untuk campuran batik tulis dan cetak, disamping dapat dimasak lagi untuk


8

campuran bahan-bahan sabun, cat dan vernis, kertas, fungisida, lacquers,
plasticizers.
Terpentin adalah minyak eteris yang diperoleh sebagai hasil sampingan
dari pembuatan gondorukem. Minyak terpentin digunakan sebagai pelarut atau
sebagai minyak pengering. Selain itu minyak terpentin digunakan untuk ramuan
semir sepatu, logam dan kayu, sebagai bahan substitusi kamper dalam pembuatan
seluloid dan sebagai pelarut bahan organik. Minyak terpentin yang merupakan
salah satu jenis minyak atsiri yang berwarna bening sampai kuning muda, dapat
diperoleh antara lain melalui destilat getah pinus atau menyuling secara fraksinasi
ekstrak tunggul kayu pinus (Darmawan et al., 2000).
Menurut Setiasih et al. (1997), dewasa ini gondorukem telah diekspor ke
beberapa negara di Asia, Amerika, Eropa, Australia, dan Afrika. Ekspor ini
menghasilkan devisa bagi negara. Oleh karena itu industri gondorukem perlu
ditingkatkan mengingat potensi hutan Pinus merkusii dan tenaga kerja di
Indonesia cukup besar.
Data statistik Perum Perhutani tahun 1991 menunjukkan bahwa pada
tahun 1990, dari hutan pinus seluas 480.048,64 ha, telah diekspor 30.788 ton

gondorukem, 8.217 ton terpentin dan 1.232 ton getah dengan pendapatan devisa
sebesar US$15.241.274. Namun, jumlah tersebut baru memenuhi 58,85 %
permintaan konsumen luar negeri seperti : Asia, Australia, dan Eropa
(Leksono, 1996).

9

Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Getah
Produksi getah pinus dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar.
Faktor dalam adalah faktor-faktor yang berasal dari pohon itu sendiri, seperti :
umur, tajuk, diameter batang, kesehatan akar, dan sebagainya. Sedangkan faktor
luar diantaranya kesuburan tanah (bonita), elevasi (ketinggian tempat), kerapatan
tegakan dan cuaca (Kasmudjo, 1997).
Produksi getah Pinus secara keseluruhan dipengaruhi oleh :
1. Luas areal sadapan.
2. Kerapatan (jumlah pohon per Ha).
3. Jumlah koakan tiap pohon dan jangka waktu pelukaan.
4. Sifat individu pohon.
5. Keterampilan tenaga kerja penyadap.
Prinsip keluarnya getah dari luka adalah sebagai berikut : saluran getah pada
semua sisi dikelilingi oleh jaringan parenkim diantara saluran getah dan sel-sel
parenkim terdapat keseimbangan osmotik. Jika dibuat luka pada batang pinus
sehingga saluran getahnya terbuka, maka tekanan dinding berkurang akibatnya
getah keluar (Kasmudjo, 1997).
Produksi getah per pohon per tahun untuk berbagai jenis pinus antara lain :
1. Pinus khaya : 7,0 kg/pohon/tahun
2. Pinus merkusii : 6,0 kg/pohon/tahun
3. Pinus palustris : 4,2 kg/pohon/tahun
4. Pinus maritima : 3,0 kg/pohon/tahun
5. Pinus longifolia : 2,5 kg/pohon/tahun
6. Pinus austriasca : 2,1 kg/pohon/tahun

10

7. Pinus excelsa : 1,2 kg/pohon/tahun
(Kasmudjo, 1997).
Menurut Sugiyono et al. (2001), beberapa faktor yang mempengaruhi
produksi getah adalah sebagai berikut :
a. Umur pohon
Perbedaan umur pohon berpengaruh atas hasil getah. Semakin tua umur
pohon menghasilkan getah semakin banyak sampai pada batas umur tertentu. Ciriciri pohon pinus serta seluruh proses fisiologis yang terjadi di dalamnya akan
berkembang sejalan dengan bertambahnya umur pohon, setiap tahap pertumbuhan
mempunyai proses fisiologis yang berbeda. Peningkatan kelas umur pohon diikuti
oleh kenaikan getah.
b. Tajuk pohon
Hasil getah tiap pohon berhubungan langsung dengan besarnya tajuk,
karena dalam tajuklah terjadi proses fotosintetis. Pohon dengan tajuk lebar akan
menerima cahaya matahari yang lebih banyak, sehingga akan terjadi proses
fotosintetis yang lebih banyak dibandingkan dengan pohon yang bertajuk lebih
kecil. Hasil fotosintetis yang besar akan menambah pertumbuhan diameter pohon.
c. Diameter
Pohon-pohon dengan diameter kurang dari 25 cm pada setinggi dada
menghasilkan getah sedikit. Pohon dengan hasil getah yang banyak dicirikan
dengan lingkaran tahun yang lebar, tajuk rata atau penuh dan bentuk kerucut serta
mempunyai tinggi tajuk sampai setengah dari tinggi pohonnya.

11

d. Kesehatan pohon
Kesehatan pohon berpengaruh langsung terhadap kelancaran proses
fotosintetis, pertumbuhan batang, dan pembentukan kayu gubal. Pohon-pohon
yang sehat menghasilkan getah lebih banyak dibandingkan pohon-pohon yang
terserang penyakit. Pohon pinus yang berdaun kering terbakar dan terserang ulat
menghasilkan getah sedikit.
e. Perbedaan jenis pohon
Pinus yang menghasilkan getah terdapat beberapa jenis dengan produksi
yang berbeda-beda.
f. Bonita tanah
Pohon-pohon

yang

tumbuh

pada

tanah

yang

berbonita

tinggi,

pertumbuhannya lebih baik dan pada gilirannya produksi getahnya lebih banyak,
karena kandungan unsur hara tanahnya lebih besar.
g. Kerapatan tegakan
Kerapatan tegakan mempengaruhi pertumbuhan pohon yang dengan
sendirinya mempengaruhi produksi getah.
h. Cuaca dan iklim
Faktor cuaca berpengaruh terhadap aliran getah dari sadapan. Pada suhu
yang rendah dan kelembaban yang tinggi, getah yang membeku akan menyumbat
saluran getah dan muara akan tertutup akibatnya getah yang mengalir akan
terhenti. Pada musim hujan hasil getah biasanya akan menurun karena curah hujan
akan mempengaruhi kelembaban di sekitar luka sadapan. Suhu yang relatif rendah
menyebabkan getah cepat menggumpal dan menyebabkan saluran menjadi sempit
juga muara tersumbat, sehingga aliran getah menjadi berkurang sampai terhenti.

12

Penyadapan Getah
Di Indonesia percobaan penyadapan getah pinus pertama kali dilakukan di
Aceh oleh W. G. Van deen Kloot tahun 1924, di pulau Jawa baru dilakukan di
daerah Lawu Ds. dan Wilis pada tahun 1947 (Sugiyono et al., 2001). Penyadapan
getah pinus dilakukan dengan cara melukai batang pohon dengan bentuk serta
kedalaman luka tertentu sesuai dengan metoda penyadapan yang digunakan.
Pelukaan ini bertujuan untuk dua hal, yaitu : pertama untuk mengaktifkan atau
memicu jaringan epitel agar memproduksi getah (oleoresin) dan kedua untuk
menyingkapkan saluran damar yang berada pada jaringan xylem. Jaringan epitel
adalah jaringan khusus pada tumbuhan yang memproduksi getah apabila terjadi
pelukaan pada pohon. Pada jenis-jenis pinus, jaringan epitel dapat memproduksi
getah secara terus-menerus selama bagian tersebut berada di dalam kayu gubal,
sedangkan pada jenis kayu daun jarum lainnya, jarang yang berfungsi lebih dari
satu musim. Saluran damar adalah ruang kosong antara sel yang berbentuk
saluran. Saluran damar umumnya dibatasi atau dikelilingi oleh jaringan epitel dan
fungsinya adalah untuk menampung getah yang diproduksi oleh jaringan epitel
serta menyalurkannya ke bagian luka. Dengan menyingkapkan saluran damar
maka getah akan mengalir ke permukaan yang kemudian ditampung ke dalam
penampung dan selanjutnya dipungut. Pelukaan pohon dapat memicu terjadinya
pembentukan saluran damar sekunder (saluran damar traumatis), baik yang berupa
saluran damar traumatis aksial maupun yang radial, walaupun kedua-duanya tidak
akan dijumpai secara bersama-sama di dalam batang pohon. Pembentukan saluran
damar traumatis ini mempunyai arti yang penting karena dengan bertambahnya

13

jumlah saluran damar maka produksi getah akan semakin meningkat (Tobing,
1999).
Menurut Sugiyono et al. (2001), pohon pinus akan disadap memenuhi
beberapa ketentuan, yaitu :
1. Diameter minimum 20 cm, yaitu saat riap pohon maksimal.
2. Pemilihan pohon dimana hanya pohon-pohon yang akan ditebang yang
disadap, dimulai pada pohon berumur 11 tahun.
Hadipoernomo (1992) juga mengatakan bahwa pohon pinus dianggap
sudah masak sadap bila pohon tersebut sudah berumur 11 tahun atau masuk kelas
umur III. Jika sesuatu berjalan lancar dan dilakukan menurut petunjuk kerja
dengan seksama, maka jangka waktu sadap dapat berlangsung sampai 20 tahun.
Sistem Penyadapan Getah
Sistem penyadapan getah pinus di Indonesia secara garis besar dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : Koakan, Riil dan Bor. Dalam penentuan
cara penyadapan getah pinus tidak terlepas dari pertimbangan yang berhubungan
dengan faktor teknis, sosial, ekonomi dan ekologi. Secara teknik, cara penyadapan
getah pinus yang dipilih adalah yang dapat dilakukan dengan mudah. Secara
sosial, cara yang dipilih adalah yang mampu memberi lapangan pekerjaan
terhadap masyarakat sekitar. Secara ekonomi, cara penyadapan getah pinus yang
dipilih adalah yang efisien dan efektif sehingga dapat memberi keuntungan yang
optimal. Ditinjau dari segi ekologis, yang dipilih adalah cara penyadapan getah
pinus yang tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada pohon yang disadap
(Inhutani IV et al., 1996).

14

Metode Rill
Sadapan metode rill ialah proses pelukaan pada permukaan kayu dengan
membuat saluran induk arah vertikal dan saluran cabang arah miring yang
membentuk sudut 40°terhadap saluran induk dengan kedalaman 2 cm. Sistem ini
caranya meliputi tahapan:
a. Bagian batang dibersihkan kira-kira 1/3 lingkaran batang pohon.
b. Pelukaan dibuat dengan alat yang disebut hogal.
c. Luka sadap berbentuk “V” dengan kedalaman 2-5 cm dan kemiringan
saluran 20°-40°.
d. Lebar sadapan sekitar 20 cm (Kasmudjo, 1997).
Kelemahan metode rill antara lain bidang sadap yang luas menyebakan luasan
sadapan yang dibutuhkan lebar sehingga untuk satu pohon hanya dapat dilakukan
sadap buka sekali dan memerlukan waktu proses penyadapan yang relatif lama
dan kurang efisien.
30

1

3

7

4

2
10
TA

Gambar 1. Pola Sadapan Metode Riil
Keterangan :
1. Bagian kayu yang tidak dibersihkan
2. Bagian kayu yang dibersihkan
3. Pola sadapan ukuran 20 x 65 cm
4. Letak saluran tengah (central groove).

15

Upaya Meningkatkan Produksi Getah Pinus
Getah pinus dapat diperoleh dengan penyadapan batang pohon. Saluran
getah yang akan menyempit atau buntu dan apabila masih muda, getah yang dapat
keluar dengan segera mengalami pembekuan di mulut saluran getah yang disadap
sehingga menyumbat mulut saluran getah. Agar permukaan luka sadapan selalu
terbuka dan getah tidak membeku, dapat digunakan stimulansia tertentu
(Sugiyono et al., 2001).
Hadipoernomo (1992), menyatakan telah banyak usaha pembaharuan yang
dicoba untuk meningkatkan produksi getah pinus, antara lain dengan
menggunakan bor dan kantung plastik serta penggunaan pasta kimia. Riyanto
pada tahun 1979 pernah mencoba untuk membandingkan pengaruh stimulan asam
sulfat dan asam klorida terhadap getah pinus dengan konsentrasi masing-masing
sebesar 2,5 %. Riyanto dalam penelitiannya juga menyebutkan perlakuan dengan
pasta sulfat mampu meningkatkan produksi getah di India sekitar 40 – 50 %. Di
Amerika Serikat penggunaan pasta sulfat 60 % pada Pinus polustris dan Pinus
etliotii memberikan hasil 25,2 gr/pohon/hari.
Pada kesempatan lain, Sumadiwangsa, et. al., pada tahun 1999 meneliti
penggunaan zat perangsang SOCEPAS 235 As pada kosentrasi 0 %, 20 %, 25 %
dan penutupan luka sadap untuk mengetahui produktivitas getahnya. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan stimulansia tersebut pada konsentrasi
20 % dan 25 % menghasilkan getah rata-rata sebesar 51,6 dan 48,2 gr/pohon.
Penyadapan pinus dengan sistem bor dan pemberian zat perangsang asam sulfat +
CEPA pada hutan Sumatera Barat (Darmawan et al., 2000).

16

Stimulansia
Penggunaan stimulansia asam dapat menyebabkan terbukanya saluran
getah yang menyempit atau tersumbat melalui proses penghangatan oleh asam.
Akibatnya, saluran getah dan sel-sel parenkim terhidrolisi, tekanan menurun,
cairan sel keluar sehingga getah menjadi lebih encer dan lebih lama keluarnya
(Kasmudjo, 1992).
Suhu yang relatif rendah dan kelembaban yang tinggi, getah akan cepat
menggumpal dan menyebabkan saluran menjadi sempit dan tersumbat sehingga
aliran getah terhambat atau terhenti. Menurut Sugiyono et al. (2001) agar
permukaan luka sadapan selalu terbuka dan getah tidak membeku dapat
digunakan stimulansia. Yusnita et al. (2001) mengatakan bahwa pemilihan
konsentrasi stimulansia yang tepat diharapkan dapat meningkatkan produksi getah
dan menurunkan biaya stimulansia serta menurunkan resiko kesehatan pohon,
penyadap dan lingkungan.
Menurut Mardikanto dan Tobing (1996) dalamSudrajat (2002), pemakaian
kadar stimulansia yang tinggi belum tentu memberi hasil getah yang lebih besar.
Penyadapan dengan cara rill dan dengan pemakaian kadar stimulansia 10% di
KPH Sumedang memberikan hasil getah yang lebih tinggi daripada pemakaian
kadar stimulansia 30%, demikian juga yang terjadi di Pekalongan, produksi getah
dengan cara koakan dan pemakaian kadar stimulansia sebesar
hasil sadap yang lebih tinggi dibandingkan kadar stimulansia30 %.

10% memberi

17

Asam Cuka
Asam asetat, asam etanoat atau aam cuka adalah senyawa kimia asam
organic yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan.
Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2, tidak berwarna dan memiliki titik
beku 16,70C. Asam cuka merupakan satu asam karboksilat paling sederhana,
setelah asam format. Dalam industri makanan, asam cuka digunakan sebagai
pengatur keasaman dan pelunak air. Asam cuka memiliki konstanta dielekrik yang
sedang yaitu 6,2 sehingga dapat melarutkan baik senyawa polar seperti garam
anorganikndan gula maupun senyawa non-polar seperti minyak dan unsur-unsur
seperi sulfur dan iodin. Asam cuka bercampur dengan mudah denga pelarut polar
dan non-polar. Sifat kelarutan dan kemudahan bercampur dari asam asetat ini
membuatnya digunakan secara luas dalam industri kimia. Asam cuka dikenal
dengan baunya yang khas, garam-garam dari asam asetat bereaksi dengan besi
klorida yang menghasilkan warna merah pekat yang hilang bila larutan diasamkan
(Waluyo, 1984).