WARIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM (1)

ESSAY

WARIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Upaya Mereinterpretasi Khazanah Keislaman di Tengah Hiruk-Pikuk Modernitas Global1
Oleh: Miftahul ‘Ulum2

Abstraksi
Adagium yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan li al-‘alamin adalah
salah satu prinsip dasar di dalam Islam. Jargon ini menjadi fondasi yang membangun agama Islam
menjadi rumah yang nyaman bagi siapa saja dengan dasar egaliter dan demokratis yang selalu
dijunjung tinggi. Sebagai pemangku wewenang dan pranata ideal moral, Islam memiliki aspek
utama yakni normatif dan historis yang menjadi formula dalam menetapkan hukum dan memberi
batasan-batasan terhadap umat Islam untuk menjalankan proses keberagamaannya sehari-hari.
Problematika kehidupan manusia yang dinamis menjadi tugas berat yang harus di-handle
dengan bijaksana dan berupaya agar dapat dicarikan solusinya tanpa menimbulkan permasalahan
baru dan mendatangkan kemaslahatan seluas-luasnya. Sumber-sumber agama dan khazanah
keilmuan Islam harus diposisikan sebagaimana mestinya yakni sebagai otoritas tertinggi secara
institusional dan moral tidak mudah karena heterogenitas masyarakat yang terus berkembang dari
masa ke masa.
Di era global ini, Islam dihadapkan pada modernitas dan idealisme yang dijunjung tinggi
oleh sebagian kalangan yang sudah barang tentu tidak dapat dicegah untuk tidak masuk ke

komunitas Islam. Isu-isu kontemporer yang galibnya dibawa dan dikampanyekan oleh Barat
menjadi tantangan tersendiri bagi Islam untuk selalu terjaga dan waspada agar tetap mampu
memagari seluruh umat Islam dari ancaman-ancaman ideologi dari luar. Salah satunya adalah isu
tentang gender yang menjadi topik utama di dunia modern.
Isu gender sebenarnya bukan masalah baru di kalangan umat manusia. Namun, isu ini
kemudian menjadi trend di antara rentetan isu-isu kontemporer yang mendapat porsi yang cukup
banyak dari para tokoh intelektual tidak terkecuali sarjana muslim. Dan tema yang akan kita angkat
dalam tulisan ini adalah soal waria sebagai satu di antara isu problematis di kalangan masyarakat.

A. Latar belakang dan persoalan dasar: waria, berkenalan lebih dekat
Dalam Islam, tidak ada dalil yang benar-benar eksplisit tentang eksistensi waria. Jika
berbicara soal jenis kelamin, Islam hanya memberikan definisi dan konsepsi yang membaginya ke
1. Essay ini disusun sebagai salah satu Take Home Exam dalam mata ujian Pendekatan
dalam Pemikiran islam yang diampu oleh Drs. Yusdani, M.Ag.
2. Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana Magister Studi Islam, Fakultas Ilmu
Agama Islam, Universitas Islam Indonesia yang mengambil konsentrasi Ekonomi Islam,
Pendidikan Islam dan Hukum Islam.
1| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

dalam dua kategori besar yakni pria dan wanita. Konsep ini juga diamini oleh semua agama dan

instansi-instansi lain yang terkait seperti keilmuan kedokteran dan lain sebagainya.
Akan tetapi dalam aspek implementasinya, waria muncul sebagai suatu fenomena tersendiri
di kalangan masyarakat. Meskipun secara mendasar, jenis kelamin mereka secara kodrati adalah
pria, namun naluri dari komunitas atau kategori sosial3 yang menamakan diri mereka waria ini
memiliki kecenderungan pada femininitas selayaknya wanita. Bahkan tidak jarang anatomi tubuh
mereka pun lebih mengarah pada fisik perempuan.
Fenomena kaum waria merupakan sebuah paparan realitas yang tidak dapat disangkal
eksistensinya di kalangan masyarakat. Dan selama ini, waria hidup dalam subordinasi yang tidak
jarang menimbulkan pesakitan baik secara psikis maupun fisik. Kebanyakan masyarakat hanya
melihat mereka sebelah mata dan dengan mudahnya melakukan penghakiman dan penghukuman
yang dapat dikatakan kurang manusiawi kepada mereka. Mereka distereotip dan dilabeli sebagai
kaum marginal yang menyimpang dan menyalahi norma-norma yang ada.
Memang, pandangan dan anggapan masyarakat terhadap waria mendapatkan legitimasi
hukum dari berbagai pihak termasuk agama Islam dengan dalil-dalil yang ada seperti sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut:
“Ibn Abbas ra. berkata, bahwa Rasulullah Saw. melaknat seseorang yang menyerupai
perempuan dari laki-laki dan seseorang yang menyerupai laki-laki dari perempuan.”(HR.
Bukhari)4
Dalil di atas sebenarnya sudah sangat jelas dan terbuka terkait waria. Namun, kita masih
perlu menggali lebih dalam untuk dapat menyimpulkan fenomena yang sudah sangat jamak di

kalangan masyarakat ini. Kita tidak boleh serta merta hanya mengandalkan dalil-dalil tertentu tanpa
melakukan upaya pencarian dalil-dalil lain secara komprehensif dan holistik. Terlebih lagi bahwa
waria tidak lahir dari ruang kosong yang tanpa dinamika. Kita masih perlu untuk mengenal lebih
jauh bagaimana latar belakang dan motivasi serta bagaimana mereka menjalankan kehidupan
mereka sehar-hari untuk lebih dapat menangkap permasalahan yang ada di dalam diri kaum waria
tersebut.
Dalam diskursus tentang waria, di sana kita dapat mengidentifikasi beberapa persoalan dasar
yang melingkupi waria seperti permasalahan genetik (biologis), psikologis dan juga sosial. Hal ini
tentu saja tidak dapat hanya diputuskan secara simple dan hanya dengan sedikit pertimbangan yang
terkadang sangat subjektif dan tendensius. Bagaimana kemudian kita dituntut untuk bergerak
bersama mencari solusi terbaik dalam kasus yang memang sangat dilematis ini.

B. Upaya merumuskan problem mapping dan analisis
Sebagai langkah lanjutan, kita perlu merumuskan problem mapping untuk menangani dan
mencarikan jalan keluar baik secara argumentasi religius, akademis maupun argumentasi sosiologis
yang menjadi titik awal yang tidak boleh dilewatkan. Dan setelah melakukan eksplorasi dan
3. Kategori sosial adalah kesatuan manusia yang terjadi karena adanya suatu ciri atau
suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan pada para warga atau anggotanya. Lihat
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, jilid 1, cet. III (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 124.
4. Zunly Nadia, Waria: Laknat atau Kodrat? (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2005), hlm. Vi.

2| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

elaborasi, berikut beberapa areal yang sangat krusial dalam menelaah fenomena waria dalam
perspektif Islam:
Pertama, kita harus mengetahui aspek historis dari waria itu sendiri. Bagaimana proses
kronologis dari kemunculan sampai mempertahankan eksistensinya hingga saat ini. Kedua, aspek
normatif yang menjadi koridor hukum yang memayungi segala aspek kehidupan umat beragama.
Adakah tekanan-tekanan khusus untuk menyelesaikan permasalahan waria ditinjau dari dalil-dalil
agama yang komprehensif dan terakhir adalah aspek sosiologis. Taruhlah jika keberadaan waria
adalah salah satu bentuk patologi sosial, maka sudah adakah langkah praktis untuk menggiring
mereka ke trek yang benar yang bertemakan kewajaran dan kelaziman sosial.
Sudah menjadi rahasia umum, jika kita berbicara soal waria, maka ungkapan-ungkapan yang
mencuat adalah stigma-stigma negatif terhadap mereka seperti diskriminasi, marginalisasi dan
bahkan alienasi. Jika kita menyambangi dunia mereka, maka realitas yang mengitari kehidupan
seorang waria sangat penuh dengan ketidak adilan, ketidak perhatian dan cenderung dibenci dan
diajdikan bahan caci-maki. Stigma tersebut sudah menjadi pemandangan yang hampir dapat kita
temukan di setiap lingkungan waria di manapun mereka berada. Dalam masyarakat selama ini
hanya dikenal dua kategori gender, laki-laki dan perempuan. Maka munculnya jenis seksual yang
lain seperti waria mempunya ketidakjelasan posisi dan latar belakang ini jelas menjadi problem. 5
Topik-topik yang diangkat pun sangat beragam, mulai dari topik biologis, psikologis, sosiologis dan

lain sebagainya.
Posisi waria yang seolah selalu disalahkan dan dipojokkan oleh masyarakat baik di dalam
maupun di luar lingkungan dimana mereka tinggal dan bersosialisasi menimbulkan keresahan bagi
beberapa pihak yang masih memiliki atensi dan empati terhadap keberadaan waria. Tindakantindakan nyata digalakan untuk setidaknya mendudukkan problematika ini secara terbuka dan
menyeluruh sehingga dapat ditemukan titik dimana waria sebagai pihak yang inferior, dan
masyarakat pada umumnya sebagai pihak yang superior.
Bentuk-bentuk pengucilan dalam berbagai sektor kehidupan mereka seperti ekonomi,
pendidikan, politik, budaya dan juga agama yang seharusnya mampu mengimplementasikan
prinsip-prinsip yang menyangkut dengan keadilan dan egalitarian umat Islam dalam segala aspek
kehidupan. Agama sebagai rumah besar umat manusia seharusnya menyadari bahwa di luar yang
teratur ada ketidak teraturan, di luar yang lurus ada juga yang berbelok dan di balik yang linier ada
pula yang kontroversial. Menurut hemat saya, kasus waria ini termasuk yang terakhir yakni
kontroversial. Dimana untuk memandangnya kita menemukan dua jalan yang berseberangan dan
cenderung kontradiktif. Di satu sisi, waria adalah bagian dari umat yang harus dilindungi dan
diayomi, dan di sisi yang lain, karena ketidak ikutan mereka dalam norma-norma yang selayaknya,
maka kita juga berhak untuk menasehati dan mengembalikan mereka ke jalan yang seharusnya.
Dalam Islam, kedua sudut pandang di atas adalah sebuah bentuk upaya penghormatan
kepada waria. Islam tidak memiliki legitimasi untuk tidak melakukan tindakan yang positif terhadap
waria sebagaimana Islam melihat dan menindak laki-laki dan perempuan. Terlebih jika kita melihat
jargon-jargon yang kemudian menjadi jati diri agama Islam, yakni agama rahmat dan agama yang

anti penindasan. Kedua aspek ini akan menjadi ironi ketika Islam justru ikut-ikutan
mendiskriminasikan dan bahkan memarginalisasikan mereka.
5. Zunly Nadia, Waria: Laknat atau Kodrat?..., hlm. 3.; Lihat juga Kumala Atmojo, Kami
Bukan Lelaki, cet. II (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1986), hlm. 2.
3| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

Dalam kerangka normatf – teologis, Islam berbicara cukup banyak mengenai waria melalui
hadis-hadis Rasulullah Saw. Dalil-dalil inilah yang di sini akan dipaparkan dan dikaji kaitannya
dengan posisi dan eksistensi waria. Dalam al-Qur’an sendiri tidak ada nash yang secara eksplisit
menyinggung persoalan waria, untuk itulah elaborasi dalil akan lebih mengarah pada dalil-dalil
nabawi atau hadis dan juga pandangan-pandangan hukum Islam dari berbagai referensi.
Sedangkan dilihat dari aspek sosial, sebelumnya telah disinggung beberapa tanggapan
masyarakat terhadap waria. Stigma-stigma lain tentang waria adalah soal penyimpangan seks,
prostitusi dan kehidupan malam yang sarat dengan penyimpangan nilai-nilai positif. Meskipun
demikian, gebyah-uyah tersebut tidaklah serta-merta bisa dibenarkan karena nyatanya tidak semua
waria berkubang di lingkungan tersebut. Terkadang, stigmatisasi berbanding lurus dengan
generalisasi. Pandangan inilah yang seharusnya diluruskan.
Dalam psikologis, dikenal beberapa gejala kewariaan. Pertama, transeksualis, yaitu
seseorang dengan jenis kelamin secara jasmani sempurna, namun secara psikis cenderung
menampilkan diri sebagai lawan jenis. Kedua, tranvetis, yaitu nafsu yang patologis untuk memakai

pakaian dari lawan jenis kelaminnya dan mendapat kepuasan seks dengan memakai pakaian dari
jenis kelamin lainnya. Dan ketiga, hermafrodit, yaitu orang yang mempunyai dua jenis kelamin atau
tidak kedua-duanya.6 Ketiga klasifikasi gejala waria ini tentu berbeda satu saa lain dan sangat
memunginkan untuk ditindaklanjuti secara berbeda berbeda pula.
Persoalan yang tidak kalah penting adalah bahwa semua perbedaan dalam diri manusia tidak
terlepas dari proses-proses yang rumit, mulai dari penciptaan melalui proses reproduksi di dalam
kandungan, pola pengasuhan orangtua, pengaruh lingkungan dan lain sebagainya. Mau tidak mau,
dialektika dalam semua tahapan ini harus dikaitkan satu sama lain dan dilibatkan dalam proses
pertimbangan dan pemberian status hukum teradap waria.
Manusia yang lahir dalam keadaan normal jenis kelaminnya sebagai pria atau wanita karena
mempunyai alat kelamin satu berupa zakar (penis) atau farj (vagina) yang normal karena sesuai
dengan organ kelamin dalam, tidak diperkenankan oleh hukum Islam melakukan operasi ganti
kelamin.7 Hal ini karena itu akan mengingkari sunnatullah kepada hamba-Nya tersebut. Adapun
dalil-dalil syar’i yang mengharamkan operasi ganti kelamin bagi orang yang lahir normal jenis
kelaminnya antara lain QS. al-Hujurat: 13 dan al-Nisa’: 119. Sedangkan dari hadis adalah yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan enam imam hadis lainnya dari Ibn Mas’ud yang berbunyi:
“Allah mengutuk para wanita tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan bulu
muka, yang meminta dihilangkan bulu muka, dan para wanita yang memotong (pangur) giginya;
yang semuanya itu ia lakukan dengan maksud untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.”
(HR. Bukhari).8

Penekanan yang dapat ditemukan dari dalil-dalil di atas adalah bahwa merubah apa yang
telah ditkdirkan dan dikodratkan oleh Allah tidak dapat dirubah untuk kepentingan-kepentingan
individual, duniawi dan di luar kepentingan syar’i. Di samping itu, Islam juga mengharamkan
seseorang yang karena lingkungannya memiliki kelainan seksual seperti berpakaian dan bertingkah
6. Zunly Nadia, Waria: Laknat atau Kodrat?..., hlm. 3.; Lihat juga Koeswinarno,
Komunikasi Sosial Kaum Minoritas: Studi Kasus Waria di Yogyakarta (The Toyota Foundation,
1993), hlm. 52 – 56.
7. Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 135.
8. Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer..., hlm. 135 – 137.
4| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

laku yang bertentangan dengan jenis kelaminnya. Karena ini bukanlah permasalahan organ
tubuhnya yang tidak normal, melainkan hanya psikis atau kejiwaannya saja yang tidak normal. Dan
oleh karenanya, kelainan mental ini harus disembuhkan melalui pendekatan kejiwaan dan
keagamaan.
Salah satu landasan dalil yang memperbolehkan operasi kelamin adalah salah satu kaidah
ushul fiqh “lijalb al-mashlahah wadaf’ al-mafsadah” (untuk mengusahakan kemaslahata dan
menghilangkan kemudlaratan). Kaidah ini berlaku untuk kondisi-kondisi tertentu yang pada
kesempatannya akan lebih menjerumuskan seseorang dengan kelainan fisik atau psikis tersebut ke
dalam jurang yang lebih dalam. Maka jika alat yang digunakan memungkinkan menyembuhkan

mereka, operasi pun boleh dilaksanakan. Terlebih, kebancian alami ini dapat dikategorikan sebagai
penyakit yang menurut pandangan Islam wajib berikhtiar mengobatinya.9
Adapun untuk mereka yang lahir tidak normal jenis kelaminnya, hukum melakukan operasi
kelaminnya tergantung kepada keadaan organ kelamin luar dan dalam, yang dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
Pertama, apabila seseorang punya organ kelamin ganda (penis dan vagin) dan juga memiliki
rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas wanita, maka untuk memperjelas identitas kelaminnya,
ia boleh melakukan operasi pengangkatan penis. Akan tetapi ia tidak diperbolehkan mengangkat
vaginanya karena berlawanan dengan organ bagian dalam. Kedua, apabila seseorang punya organ
kelamin satu yang kurang sempurna bentuknya, misalnya mempunyai vagina yang tidak berlubang
dan ia punya ovarium, maka ia dianjurkan untuk operasi.
Adapun dalam hukum positif di Indonesia, pada tahun 1978, Departemen Kesehatan
mengadakan seminar operasi jenis kelamin yang melahirkan beberapa kesimpulan, yaitu: pertama,
boleh dilakukan dengan alasan bahwa kemampuan ilmu dan teknologi memungkinkan, ada indikasi
medis yang kuat (darurat), setelah mencoba cara lain dan gagal dan telah dipersiapkan untuk jangka
waktu tertentu. Kedua, pada hermaphroditisma (khuntsa musykil), operasi dapat dilakukan sematamata untuk mempertegas jenis kelamin yang bersangkutan. Dan ketiga, pada masalah
transeksualisme (perasaan kontradiktif antara kelamin dan jiwanya), keadaan ini juga membolehkan
operasi dengan catatan “darurat”.10
Perubahan status hukum dari waria (dalam hal ini berkelamin ganda) menjadi pria atau
wanita setelah operasi perbaikan kelamin dapat dibenarkan oleh Islam karena dua sebab yang

utama. Pertama, pada hakikatnya, Allah hanya menjadikan manusia terdiri dari dua jenis kelamin,
yaitu pria dan wanita sebagaimana tersurat dalam QS. al-Nisa’: 1 dan al-Hujurat: 13. Kedua, hadis
Nabi yang menyebutkan bahwa Rasulullah hanya memutuskan hukum berdasarkan yang tampak.
Perlu diketahui, bahwa di kalangan fuqaha’, waria yang dalam istilah fiqh disebut khuntsa
dirumuskan sebagai orang yang mempunyai organ kelamin ganda yang berbeda (organ kelamin pria
dan wanita) atau tidak mempunyai sama sekali (tidak jelas identitas jenis kelaminnya). Apabila ia
mempunyai indikasi-indikasi yang lebih cenderung menunjukkan ke jenis kelamin kelelakiannya
atau sebaliknya, maka ia disebut khuntsa ghair musykil. Misalnya, di samping ia memiliki kelamin

9. Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer..., hlm. 143 – 145.
10. Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer..., hlm. 137 – 140.; Lihat juga A. Mustofa
Bisri, Fikih Keseharian Gus Mus (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 506.
5| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

ganda, ia kencing melalui penis dan juga memiliki kumis selayaknya pria, maka ia dikategorikan
sebagai pria dan begitupun sebaliknya pada wanita.
Namun apabila khuntsa tersebut tidak mempunyai indikasi atau ciri khas yang dapat
menunjukkan ke arah jenis kelamin tertentu, atau ia mempunyai indikasi atau ciri yang kontradiktif,
maka ia disebut khuntsa musykil. Jika khuntsa jenis ini dioperasi, maka status hukumnya
disesuaikan dengan identitas jenis kelaminnya setelah operasi.11

Jika menelusuri sejarah waria, memang belum tercatat secara pasti. Namun demikian,
beberapa informasi menyebutkan bahwa dalam sejarah bangsa Yunani sudah ada kaum waria. Di
abad pertengahan, beberapa tokoh besar dunia juga dianggap sebagai waria seperti Raja Henry III
(Prancis), Abbe de Choisy (Duta Besar Prancis di Siam), Lord Cornbury (Gubernur New York pada
1702). Mereka berdandan layaknya perempuan. Menurut catatan, mereka adalah laki-laki yang
berjiwa perempuan, dengan pakaian perempuan dan lebih senang dianggap perempuan.12 Jadi keliru
jika kita mengatakan bahwa gejala waria muncul akibat gelombang modernisasi.
Satu hal lagi yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa kecenderungan seksual merupakan
bawaan sejak lahir, sedangkan orientasi seksuallah yang sangat terkait dengan lingkungan sekitar.
Sama halnya bahwa kecenderungan agama pada setiap manusia adalah melalui perjanjian
primordial. Sedangkan orientasi beragama sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana umat
beragama itu tinggal.13dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa waria lebih condong pada
orientasi seksual yang keliru, terlepas dari beberapa pengecualian seperti cacat fisik dan lain
sebagainya.
Jadi, dalam diri manusia dorongan-dorongan jasmaniah itu adalah hal yang lumrah. Mereka
mempresentasikan rasa ingin puas dan senang. Ketegangan dan tekanan yang kemudian muncul
dengan adanya dorongan-dorongan tersebut juga berbeda. Mereka bisa terlbat konflik ketika
bertabrakan satu sama lain atau ketika berhadapan dengan kenyataan darri dunia luar yang tidak
bisa diubah.14 Permasalahan yang muncul adalah ketika ia dibenturkan dengan permasalahan agama
yang tentu saja sudah baku dan mengikat.
Dorongan-dorongan jasmaniah maupun dorongan apapun yang terdapat dalam diri manusia
harus mampu menyesuaikan dengan koridor yang telah ditentukan oleh agama. Selain itu, hasrat
dan kemauan manusia tentu tidak dapat dibebaskan secara liar, ada norma dan tuntutan sosial yang
juga harus diperhatikan karena ia hidup di dalamnya dan di tengah-tengah masyarakat sosial yang
memiliki peraturan.
Adalah wajib bagi kita semua untuk mengingatkan setiap orang yang melakukan perbuatanperbuatan terlarang, meninggalkan kewajiban, atau sesuatu yang terdapat di dalam kewajiban.
Demikian pula kita wajib memperintahkan pada peraturan-peraturan dan perbuatan-perbuatan
utama.15 Konsep ini sering kita kenal dengan amar ma’ruf nahi munkar yang telah menjadi salah
satu pilar utama dalam Islam.
11. Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer..., 2009), hlm. 140 – 141
12. Zunly Nadia, Waria, Laknat atau Kodrat?..., hlm. 51.
13. Zunly Nadia, Waria, Laknat atau Kodrat?..., hlm. 75.
14. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif ,
terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hlm. 90 – 91.
15. Abdullah bin Husain bin Thahir, Menyingkap Diri Manusia: Risalah Ilmu dan Akhlak ,
cet. II, terj. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 33.
6| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

Sebagai implikasi dari kebebasan manusia, Fazlurrahman meyakini bahwa kesesatan yang
dialami manusia desebabkan oleh manusia itu sendiri. Misalnya, kekafiran mereka sebagaimana
termaktub dalam QS. al-An’am: 49, atau karena mereka melanggar batas seperti dungkapkan dalam
QS. all-Baqarah: 59 atau sebab-sebab lain yang banyak disebutkan oleh al-Qur’an.16
Dalam sumber yang sama, menurut Fazlurrahman, ada hubungan yang erat antara kebebesan
manusia di satu sisi dan tugas moral yang harus diemban manusia pada sisi yang lain. Sehingga alQur’an dan hadis sebagai satu adequate framwork yang dapat menjamin terjadinya energi kreatif
manusia yang maksimal (kebebasan) dan sekaligus menjaga kreativitas tersebut agar tetap berada
dalam saluran moral yang benar.17

C. Reinterpretasi dan
neoliberalisme

rekonstruki

khazanah

keislaman

sebagai

solusi

di

era

Mungkinkah di era modern yang serba dimanjakan oleh berbagai fasilitas di bidang
tekhnologi informasi, di tengah derasnya arus globalisasi dan gencarnya agresi materialisme ini,
kita dapat menghadirkan dan merekonstruksi kembali pola kepribadian yang berbasis ketuhanan?
Permasalahannya bukanlah mungkin atau tidak mungkin, melainkan mau atau tidak mau. Umat
Islam harusnya mau menevolusi dan mentransformasikan dirinya untuk menjadi manusia yang ideal
menurut konsep Islam, yakni insan kamil.18
Islam datang menawarkan solusi kohesif dan komprehensif yang mampu mengakomodir
segala permasalahan yang muncul di tengah-tengah umat manusia. Meskipun pada dasarnya, Islam
kini hanya bermodalkan teks-teks bisu namun upaya menyuarakan teks-teks tersebut menjadi
petuah dan nasihat yang nyata dan sejalan dengan realitas yang ada terus digalakan di tengah
gempuran era global yang cukup membabibuta.
Kritisisme melalui pembacaan teks-teks keagamaan identik dengan pembacaan tradisi,
karena teks dapat dikatakan sebagai fiksasi atau pemadatan dari suatu wacana maupun tuturan.di
sinilah teks sebagai realitas maupun realitas sebagai teks dapat ditempatkan. 19 Kedua hal ini samasama memiliki peluang untuk dipahami dan ditafsirkan hingga kemudian dapat ditarik
signifikansinya dalam berbagai konteks.
Menurut Nashr Hamid Abu Zayd, penafsiran, baik berdasarkan rasio (Muktazilah) maupun
berdasarkan intuisi (Sufi) tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor sosial – politik dan kultural
dimana penafsir berada.20 Meskipun ia memaksudkan argumentasi ini untuk menafsirkan al-Qur’an,
16. Abd A’la, dari Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlurrahman dalam Wacana Islam
di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 144.; lihat juga Fazlurrahman, Major themes of
the Qur’an, hlm. 19.
17. Abd A’la, dari Modernisme ke Islam Liberal..., hlm. 147.
18. Rachmat Ramadhana al-Banjari, Membaca Kepribadian Muslim seperti Membaca alQur’an (Yogyakarta: Diva Press, 2008), hlm. 11 – 12.
19. Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual dan Relasi Intertekstualitas dalam Interpretasi Teks
al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin dkk., Hermeneutika al-Qur’an: Mazhab Yogya
(Yogyakarta, Islamika, 2003), hlm. 87.; lihat juga T. Borgrevink dan M. Melthus, “Text as Reality
– Reality as Text” dalam, Studia Theologia (1989), hlm. 35 – 59.; Umberto Eco, the Limit of
Interpretation (Bloomington and Indianapolis University Press, 1990), hlm. 21.
20. Sunarwoto, “Nashr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur’an ”..., hlm.
104.; Lihat juga Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: al7| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

namun secara prinsip, kita dapat menarik sebuah pemahaman bahwa jika kita ingin memahami
sebuah teks, kita juga harus memahami situasi dan kondisi di mana dan kapan teks itu lahir. Dalam
hal ini, teks-teks mengenai waria juga memiliki dimensi ruang dan waktu tersendiri yang harus
diketuk dan dimasuki sehingga mampu membuka pemahaman yang komprehensif dan jelas secara
historis.
Proyek rekonstruksi dan pembaruan Abu Zayd juga tidak bisa dilepaskan dari konteks
wacana keagamaan kontemporer (khususnya di Mesir)21 dalam menyikapi turats (warisan
intelektual) dan gelombang tajdid (pembaruan). Dalam konteks ini, agama dihadapkan pada posisi
yang dilematis, antara keharusan mempertahankan identitas diri dan tuntutan modernisasi. Desakan
bertubi-tubi dari proses modernisasi pada tingkat sosial, ekonomi, politik, kultural dan intelektual
telah memaksa mereka bersikap konservatif – reaktif dan radikal yang menyerukan diterapkannya
kembali syariat Islam atau bersikap moderat atas nama pembaruan dan menjadikan Islam sebagai
basis ideologinya. Dalam pengamatan Abu Zayd, fenomena ini justru akan menggoyahkan posisi
teks keagamaan itu sendiri. Teks lalu berubah fungsi menjadi konsumsi sosial, ekonomi, politik dan
sebagainya. Di samping itu, pembacaan teks menjadi tidak produktif dan cenderung lebih kepada
tendensius – ideologis.22
Hubungan teks dan konteks bersifat dialektis. Teks menciptakan konteks persis sebagaimana
konteks menciptakan teks. Adapun makna timbul dari pergesekan antara kedua hal tersebut. 23
Interelasi antara budaya dan bahasa dalam bingkai konteks oleh Muhammad Arkoun disebut
deengan istilah al-da’irah a-lughawiyah, yaitu ruang bahasa tempat bagi sekelompok manusia
untuk menata, merekonstruksi, menimbang dan menyampaikan makna sesuai dengan sejarahnya.24
Di saat pemikiran umat terjebak pada pemikiran pragmatis dan terkotak-kotak pada aliran,
berarti hanya akan menampilkan pencaran nilai parsial dari al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk
memahami al-Qur’an diperlukan redefinisi dan reinterpretasi terlebih dahulu tentang ‘ulum al-din.25
Dari sini kita dapat mengerti betapa urgent-nya kita melakukan pengkajian ulang terhadap warisan
keilmuan keislaman yang begitu kaya dan luas. Sehingga kita juga dapat membatasi diri dari aksesakses masuknya neoliberalisme dan produk-produk intelektual Barat lainnya.
Meskipun demikian, memiliki sikap open minded juga harus dilakukan untuk memperluas
lagi khazanah keilmuan yang kita punya. Yang terpenting adalah memvondasi diri kita dengan
penguatan khazanah keislaman. Adapun terkait khazanah keilmuan dan pemikiran Barat yang
sangat liberal dan mungkin juga radikal, kita tetap harus waspada dan pandai memilah-milah mana
Hayah al-Mishriyah al-Ummah li al-Kuttab, 1993), hlm. 6.
21. Kala itu, wacana keagamaan di Mesir terbelah menjadi dua kubu besar yakni Islamis
dan Sekularis. Abu Zayd sendiri masuk dalam golongan Sekularis yang sedikit banyak
mempengaruhi gaya berpikirnya dalam menginterpretasi khazanah keislaman dan menyikapi
budaya Barat yang berkembang saat itu.
22. Sunarwoto, “Nashr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur’an ”..., hlm.
105.
23. Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual..., hlm. 91.; Lihat juga MAK Halliday dan Ruqaiya
Hasan, Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Hermeneutika Sosial , cet. IV, terj.
Asruddin Barori Touu (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994). Hlm. 64.
24. Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual..., hlm. 91.; Lihat juga Muhammad Arkoun,
Tarikhiyah al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, terj, Hasyim Salih (Beirut: Markaz al-‘Ina’ al-Qawmi, 1989),
hlm. 147.
25. Zamakhsyarie Dhofier, “Studi al-Qur’an dan Wacana Ilmu Pengetahuan: Menuju
Pengembangan Jurusan Tafsir Hadis” dalam Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur’an...,
hlm. 213.
8| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

yang dapat kita ambil dan mana yang tidak perlu kita ambil. Ini yang dinamakan kesadaran
inelektual, agar kita tidak serta merta terbawa arus dan tenggelam dalam khazanah keilmuan yang
justru bukan berasal dari rahim Islam itu sendiri.
Upaya mensistesiskan kajian Islam dengan disiplin-disiplin ilmu sekular bukanlah hal yang
baru di dunia Islam. Tentunya sistesis antara dua atau lebih disiplin ilmu tersebut dilakukan dari
masa ke masa dengan memperhatikan perkembangan ilmu yang ada. Pada abad ke – 3 Hijriyah (ke
– 9 Masehi), kaum Mu’tazilah menggabungkan teologi Islam dengan filsafat Yunani yang pada saat
itu menjadi salah satu ciri dan dominan dalam kajian-kajian keagamaan, sosial dan sains. 26
Perpaduan ilmiah ini dilakukan oleh para ilmuan muslim dari waktu ke waktu dengan niatan untuk
menyempurnakan disiplin ilmu keislaman itu sendiri dan menjawab tantangan zaman yang sangat
dinamis yang menjadi tanggungjawab moral dan juga intelektual bagi Islam dan para pemuka
agamanya.
Menurut Sahiron Syamsuddin, paradigma integrasi dan interkoneksi keilmuan yang
terutama didengungkan dan dipropagandakan oleh Amin Abdullah merupakan kelanjutan dari
paradigma pemaduan ilmiah antara khazanah keislaman dengan khazanah-khazanah modern yang
dapat juga dikatakan sebagai produk keilmuan Barat. Pengejawantahan paradigma ini memang
perlu terus diintensifkan untuk pengembangan disiplin-disiplin ilmu dalam kajian Islam dan untuk
memperkecil atau bahkan menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sekuler.27 Hal lain
yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bagaimana langkah untuk menggabungkan,
menselaraskan dan mengintegrasikan kedua khazanah keilmuan tersebut tanpa mengurangi esensi
dari khazanah keislaman yang selama ini kita junjung tinggi sebagai pedoman dalam setip sendi
kehidupan.
Menyikapi permasalah waria, yang sudah merupakan salah satu bagian dari masyakarat,
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kompleksitas yang ada di dalamnya menyarankan
kepada kita untuk melihat lebih dalam dan memahami lebih jauh lagi tentang apa di balik semua
tindakan dan perilaku mereka. Kita tidak bisa serta mrta melakukan tindakan terhadap mereka tanpa
menyelami mereka lebih dalam dan hanya menjatuhkan penghukuman dan penghakiman yang
sepihak.
Menurtu Ibnu Bajah, perbuatan manusia dibagi menjadi dua. Pertama, perbuatan yang
timbul dari motif naluri dan kedua adalah perbuatan yang timbul dari pemikiran lurus dan kemauan
yang bersih yang olehnya disebut ‘perbuatan manusia’. Pangkal perbedaan antara keduanya bukan
terletak pada perbuatan itu sendiri, melainkan motif yang ada di baliknya. Ia memberi sebuah
analogi dengan seseorang yang terantuk batu dan ia terluka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia
melemparny karena telah melukainya, maka perbuatan itu adalah perbuatan hewani yang diniatkan
untuk memusnahkan segala yang menggangunya. Namun jika ia melemparnya agar batu itu tidak
menggangu orang lain, maka perbuatan ini adalah perbuatan kemanusiaan.28
Peran lingkungan sosial dalam membangun kepribadian seseorang secara individual cukup
besar. Perilaku seseorang terkadan sangat berbeda dengan perilaku sosialnya. Seseorang yang
penakut terkadang bertindak sangat berani dan beringas ketika ia menyatu dalam perilaku sosial.
26. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan ‘Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2009), hlm. 69.
27. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan ‘Ulumul Qur’an..., hlm. 71.
28. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 159.
9| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

Atau, seseorang yang buruk perilaku individualnya terkadang berperilaku baik ketika ia menyatu
dalam perilaku sosial yang baik.29 Inilah salah satu bukti sosiologis bahwa bisa jadi seorang
memutuskan dirinya menjadi waria diakibatkan oleh peran lingkungan yang ada di sekitarnya, dan
bukan karena naluri kewanitaannya.
Tiap-tiap perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar disebut sebagai kelakuan atau
tingkah laku (behavior). Makna senyuman tidak terletak di bibir tetapi jauh di dasar lubu hati
seseorang yang tersenyum itu. Demikian dengan pukulan tangan, maknanya tidak hanya pada
kerasnya pukulan, melainkan motif yang terkandung dalam perbuatan memukul tersebut. Untuk
mengetahui makna tingkah laku seseorang dengan baik dan benar tidak cukup hanya dengan
melihat tingkah laku yang tampak, tetapi harus menganalisis dan mendiagnosis dasar-dasar yang
menjadi sumber lahirnya tingkah laku tersebut.30
Di antara hal-hal yang mendasari terjadinya tingkah laku adalah insting atau naluri
(memelihara diri, seksual dan takut), adat kebiasaan (penyesuaian atau adaptasi), keturunan,
lingkungan, motivasi (dorongan antau kontrol batin dari perilaku, kecenderungan dan kepentingan),
kesadaran diri, ketajaman hati nurani, cita-cita dan kehendak yang kuat. 31 Kaitannya dengan
permasalahan seseorang yang memilih untuk menjadi waria, kita harus tahu ada di golongan yang
manakah seseoang tersebut dalam memotivasi dirinya sebagai seorang waria.
Masa yang sekarang sedang kita alami adalah masa materialis, dimana materi dianggap
sebagai penguasa dan lambang kekuasaan dengan segala kebaikan dan keburukannya. Masa
materialis senantiasa ingin menonjolkan fisik dari ruh, mengutamakan dunia dari akhirat, atau
dengan kata lain, mengingkari kehidupan metafisika yang tidak kasat mata, da menyingkirkan
semua ajaran agama karena dianggapnya sebagai aliran pemikiran yang menyimpang dari paham
materialistis ini.32
Di Dunia Barat, setelah gerakan Zionisme dunia melegalkan penyebaran tindak asusila di
masyarakat humanisme sebagai salah satu strateg untuk menghancurkan dan menguasai dunia
seperti seks bebas, hubungan seks sejenis, pernikahan sedarah (inses), minuman keras, perjudian,
obat-obatan terlarang dan juga tindak penyimpangan seksual lainnya, sebagian besar Dunia Barat
mengamini dan menindaklanjuti gerakan ini menjadi lebih masif. 33 Bahkan untuk menopang
kampanye ini, mereka menggaet media massa, mendirikan lembaga, organisasi dan perhimpunan
lainnya untuk menyebarkan virus liberal dan radikal ini ke seluruh lapisan dunia.
Bagaimana kini gerakan ini sudah sangat masif dan sporadis di hampir seluruh dunia
sehingga sangat rawan menularkan ide dan gagasan neoliberalisme ini ke kalangan muslim.
Filterisasi yang diupayakan oleh kalangan umat Islam tentu harus lebih dikuatkan lagi mengingat
lawan yang mereka hadapi adalah sesuatu yang menawarkan kebebasan dan melenakan. Jika sedikit
29. Rachmat Ramadhana al-Banjari, Membaca Kepribadian Muslim seperti Membaca alQur’an..., hlm. 100.
30. Rachmat Ramadhana al-Banjari, Membaca Kepribadian Muslim seperti Membaca alQur’an..., hlm. 113 – 114.
31. Rachmat Ramadhana al-Banjari, Membaca Kepribadian Muslim seperti Membaca alQur’an..., hlm. 114 – 139.
32. Muhammad al-Ghazali, Mengapa Umat ini Mati?, terj, Ahsan Askan (Jakarta:
Mustaqim, 2005), hlm. 29.
33. Zaghlul al-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunnah , terj, Zainal Abidin & Syakirun
Ni’am (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 12 – 15.
10| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

saja lengah, bisa jadi akan semakin banyak umat muslim yang terpengaruh dan bergabung dengan
aliran-aliran seperti neoliberal, radikal dan lain sebagainya.
Taruhlah jika kasus waria adalah kasus budaya, berikut ada beberapa faktor yang dapat
mengantarkan seseorang mengenal dan mendalami budaya ‘waria’ tersebut; pertama, proses
internalisasi (belajar mengolah perasaan, hasrat, nafsu dan emosi sehingga membentuk
kepribadiannya), proses sosialisasi (adaptasi lingkungan) dan proses enkulturasi (proses
penyesuaian dan pembudayaan terhadap adat, sistem norma serta semua peraturan yang terdapat
dalam kebudayaan seseorang sehingga menjadi kebudayaannya).34
Jika pendekatan ini dilihat dari pendekatan feminisme. Maka antara Barat dan Islam sangat
jelas berbeda sudut pandang. Teori feminisme liberal menganggap bahwa latar belakang dan ketidak
mampuan kaum wanita bersaing dengan kaum laki-laki adalah karena kelemahan kaum wanita
sendiri, yaitu akibat kebodohan dan irrasional yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional.
Sedangkan teori feminisme Islam memberikan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam
melakukan karya (‘amal). Unsur yang membedakan seseorang dari seseorang lainnya adalah
kualitas diri (taqwa), bukan jenis kelamin, warna kulit, etnis, bangsa dan lain-lain.35
Meskipun tidak secara ekspilisit memberikan contoh kasusnya pada waria, namun
kesimpulan yang ingin diutarakan adalah bahwa pendekatan-pendekatan sosial yang dilakukan oleh
Islam jauh lebih manusia dan masuk akal daripada apa yang dikampanyekan Dunia Barat dengan
pendekatan da teori yang diproduksinya dalam menganalisa suatu fenomena. Maka jelaslah bahwa
pengoptimalan khazanah keislaman sudah sangat cukup jika tetap menjadi fondasi dan didinamisir
dengan khazanah keilmuan yang ada mengikuti arus perkembangan zaman.
Dalam diskursus yang menyandingkan antara Islam dengan kaum feminis yang berbicara
mengenai gender, keduanya berbeda pendapat. Islam menetapkan bahwa kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan tidak seratus persen sama, tetapi didasarkan pada fitrah perbedaan fisik antara
keduanya yang memang berkonsekuensi logis dalam hak dan kewajiban. Sedangkan kaum feminis
berupaya untuk menghapuskan perbedaan fisik tersebut dan memberlakukan kesamaan tersebut
pada semua aspek. Bahkan sekarang mulai merambah pada urusan-urusan pokok keagamaan,
seperti imam, hukum waris, pernikahan dan sebagainya. Sebagai contoh keadilan dalam Islam
adalah bahwa surga seorang muslimah bergantung pada keridhaan suaminya, namun di sisi lain,
mereka juga memiliki hak surga yang digantungkan pada anak laki-laki mereka.36
Salah satu produk pemikiran dari peradaban ini adalah liberalisme. Pemikiran rasional
menuntut pembebeasan diri dari kungkungan masyarakat. Kemudian bahkan memberikan individu
sebagai nilai tertinggi dalam masyarakat itu. Orang berpendapat bahwa hanya dengan individu yang
memiliki kebebasan penuh akan terciptalah kemajuan (individualisme). Bersamaan dengan itu,
muncullah pemikiran bahwa semua orang di dunia adalah sama dan bersaudara, yang kemudian
dikenal sebagai pendorong tercetusnya Reolusi Perancis dengan semboyannya, liberte, egalite,

34. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi..., hlm. 1142 – 146.
35. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2009),
hlm. 221 – 222.
36. Nabiel F. Almusawa, the Islam Way: 25 Solusi Islam untuk Permasalahan Masyarakat
Modern (Bandung: Arkan Publishing, 2008), hlm. 25 – 26.
11| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

fraternite. Inilah yang menjadi ikal bakal liberalisme. Sedangkan individualisme dan liberalisme
menghasilkan kapitalisme.37
Dan dari sana kemudian muncul aliran-aliran dan pemikiran-pemikiran Barat yang sangat
liberal, radikal dan sekuler, yang mana mereka dalam banyak hal bertentangan dengan prinsipprinsip keagamaan, khususnya Islam. Meskipun hal in bukan merupakan generalisasi, namun
kenyataannya gagasan Barat yang dilontarkan dan dipraktekkan oleh mereka seakan bertentangan
dengan ghirah yang dibawa Islam. Itulah kenapa sebagai sarjana muslim, mereaktualisasi khazanah
Islam jauh lebih baik daripada kita menyibukkan diri dengan menekuni kebudayaan dan tatacara
Barat dalam memandang sesuatu.
Keterkaitan teologi, etika dan fiqh merupakan ajaran intrinsik Islam itu sendiri. Jadi, syariah
harus didekati dan dipahami dari sisi pengertian keagamaan yang otentik. Dalam bahasa agama,
syariah dipakai untuk menunjukkan jalan kehidupan yang baik berupa nilai-nilai agama yang
bersumber dari Allah Swt. yang diungkapkan secara fungsional dan dalam arti yang konkret, yang
bertujuan untuk mengarahkan kehidupan manusia. Oleh karena itu, keterkaitan antara akidah, moral
dan hukum merupakan realitas dalam kehidupan umat Islam.38
Upaya liberal yang dibawa Fazlurrahman sebagai pembaruan khazanah keislaman mampu
memberikan nuansa baru di kalangan sarjana muslim dunia. Ia juga tetap menempatkan al-Qur’an
sebagai sumber utama yang dipahami secara utuh, padu dan sistematis. Pendekatan inilah yang
dijadikan sebagai sebagai landasan total untuk merumuskan suatu teologi yang sarat dengan muatan
nlai-nilai keagamaan sekaligus kemanusiaan universal.39 Gagasan ini kemudian menjadi salah satu
pelopor bagi para sarjana setelahnya untuk lebih berani dan terbuka mengambil ilmu yang
bermanfaat sekalipun dari Barat untuk diterapkan dalam khazanah keislaman. Namun yang perlu
ditekankan adalah bahwa Fazlurrahman, yang terkenal dengan double movements, tetap
mengutamakan kekayaan khazanah Islam itu sendiri.
Kesimpulannya adalah bahwa mereinterpretasi dan merekonstruksi khazanah keislaman
yang kaya adalah jawaban yang menurut saya paling benar kaitannya dengan vis a vis antara
langkah tersebut dengan berkiblat pada paradigma dan metode berpikir Barat. Islam sebagai agama
yang terbuka tentu akan sangat inklusif terhadap buah pikiran dari manapun asal tidak bertentangan
dan sejalan dengan prinsip yang disuarakan olehnya.

D. Perlukah merekonstruksi paradigma umum di PTAI di Indonesia?
PTAI adalah lokus dimana calon-calon sarjana muslim berproses dan berkarya. Berbeda
dengan lembaga pendidikan di bawahnya, perguruan tinggi lebih menekankan pada kemandirian
dalam proses belajar dan lebih memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk mengelola embrio
pemikiran masing-masing. Kaitannya dengan pengembangan studi Islam, PTAI bisa jadi adalah
lokomotif dimana keilmuan Islam dapat senantiasa dijaga dan dierbarui (al-muhafadhah ‘ala alqadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah).
37. Sayidiman Suryohadiprojo, “Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman”
dalam Nurcholish Madjid dkk, islam Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 145 –
150.
38. Abd A’la, dari Modernisme ke Islam Liberal..., hlm. 188.
39. Abd A’la, dari Modernisme ke Islam Liberal..., hlm. 224.
12| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

Kaitannya dengan studi Islam, sejalan dengan pembidangan ilmu dalam studi Islam,
pendekatan40 studi Islam pun mengalami perkembangan, sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Menurut Michel Foucault, manusia pada tiap-tiap zaman menangkap kenyataan
dengan cara-cara tertentu, atau dengan caranya sendiri-sendiri. Dengan kata lain, setiap zaman
memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara yang berbeda-beda.41
Para ulama, sebagaimana dikutip Amin al-Khulli, membagi khazanah intelektual Islam ke
dalam tiga bagian. Pertama, ilmu yang matang dan final, yaitu ilmu Nahwu dan ilmu Ushul. Kedua,
ilmu yang matang tapi belum final, yaitu ilmu Fiqh dan ilmu Hadis. Dan terakhir, ilmu yang belum
matang dan belum final, yaitu ilmu Bayan dan Tafsir.42 Opsi yang terakhir ini memang seakan
menjadi komoditas yang paling banyak diminati oleh sarjana muslim masa kini, dimana porsi
penalaran yang cukup besar membuka peluang bagi mereka untuk merejuvenasi pemikiran dan
khazanah keislaman agar selalu up to date dan mampu diterima anak-anak zaman.
Salah satu topik penafsiran yang belum menemukan titik temu yang mencukupi adalah teksteks tentang gender atau dalil-dalil misoginis yang salah satunya mengenai waria. Kasus ini tetap
hangat diperbincangkan di banyak kalangan sebagai sebuah wacana yang belum terselesaikan dan
masih menimbulkan banyak problematika, baik yang secara langsung maupun tidak berhubungan
dengan waria.
Menurut Khoiruddin Nasution, ciri penelitian yang muncul akhir-akhir ini adalah penelitian
yang sangat kecil dan spesifik. Kekhawatiran muncul dalam studi-studi yang sangat sesifik ini,
termasuk dalam studi Islam, yakni kedangkalan wawasan atau kedangkalan tinjauan. Untuk
menjembatani kekhawatiran ini, maka dimunculkanlah analisis diakronik, sinkronik dan sistem nilai
(budaya). Maksud diakronik adalah penelusuran sejarah dan perkembangan suatu fenomena yang
sedang diteliti. Adapun sinkronik adalah kontekstualisasi atau sosiologis kehidupan yang mengitari
fenomena yang sedang diteliti. Dalam contoh penelitian konsep riba Muhammad ‘Abduh,
diakroniknya adalah membahas kajian-kajian lain tentang riba, sedangkan sinkroniknya adalah
sosial kehidupan ‘Abduh dan tokoh-tokoh yang pernah meneliti riba.
Sedangkan sistem nilai adalah sistem nilai atau budaya sang tokoh dan budaya dimana dia
hidup. Maka penelitian dengan teori diakronik, sinkronik dan sistem budaya adalah penelitian yang
menelusuri latar belakang dan perkembangan fenomena yang diteliti lengkap dengan sejarah sosio –
historis dan nilai budaya yang mengitarinya. Dalam sosiologi, alat analisis ini juga dikenal dengan
alat analisis sejarah atau sosial.43
40. Pemahaman tentang pendekatan terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pertama,
dan masih dibagi dua, berarti dipandang atau dihampiri dengan, dan cara menghampiri atau
memandang fenomena (budaya, sosial) kalau dipandang dengan, maka pendekatan menjadi
paradigma, sedang kalau cara memndang atau menghampiri dengan, pendekttan menjadi
perspektif atau sudut panjang. Kedua, pendekatan berarti dispilin ilmu. Misalnya pendekatan
sosiologis berarti mengkaji dengan menggunakan disiplin ilmu sosiologi. Lihat Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 190.; ada juga istilah lain yang dekat dengan
pendekatan yaitu episteme dan wacana. Episteme adalah cara manusia menangkap, yaitu cara
manusia memandang dan memahami fenomena. Lihat Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan
Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 21.
41. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 190 – 191.
42. Sunarwoto, “Nashr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur’an..., hlm.
103.; lihat juga Amin al-Khulli, “Tafsir” dalam Ahmad al-Santawi (ed.), Da’irah al-Ma’arif alIslamiyah, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) hlm, 365.
43. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 195 – 196.
13| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

Kaitannya dengan penelitian tentang waria dalam framework studi keislaman, pendekatan
yang harus dipakai adalah pendekatan yang kompleks seperti pendekatan normatif, yuridis dan
humaniora. Sehingga hasil dari penelitiannya pun akan mencakup ketiga aspek yang sangat penting
dari waria yang menjadi satu fenomena yang cukup problematis dan dilematis.
Pendekatan normatif adalah memandang dari sudut legal – formal dan atau normatifnya.
Maksud legal – formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak dan
sejenisnya. Sedangkan normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung di dalam nash. Pendekatan
normatif memiliki beberapa teori yang cukup populer seperti teologis – filosofis dan normatf –
sosiologis atau sosio – teologis. Intinya adalah untuk mengeluarkan intisari dari sebuah teks
keagamaan yang mendalam dan sesuai dengan konteks sosial tertentu.44
Pendekatan yuridis atau sosiologi hukum juga perlu dipakai dengan menggunakan teori
yang ada di dalamnya seperti teori hegemoni Antonio Gramsci.45 Atau teori stigma Erving Goffman
yang memaparkan teorinya dengan tga tahapan. Pertama, minoritas (hukum baru) tunduk
sepenuhnya kepada konsep mayoritas (hukum lama). Kedua, minoritas menerima secara kritis
konsep mayoritas dan ketiga, konsep minoritas menolak konsep mayoritas dan menampilkan
konsep sendiri yang dianggap ideal. Teori-teori lain yang dapat diterapkan dalam pendekatan
yuridis adalah teori pengakuan, teori konflik dan sebagainya.46
Adapun pendekatan ilmu-ilmu sosial – humaniora meliputi pendekatan sosiologi,
antropologi, gender, sejarah, filologi dan lain sebagainya. Kaitannya dengan kasus waria, mungkin
pendekatan paling primer dapat menggunakan pendekatan gender. Analisis gender adalah alat
analisis untuk memahami realitas sosial. Sebagai teori, tugas utama analisis gender adalah memberi
makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktek hubungan baru antara laki-laki dan perempuan, serta
implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang
tidak dilihat oleh teori atau analisis sosial lainnya.47
Bisa jadi kesemua pendekatan sosial humaniora ini dapat digabungkan menjadi satu
pendekatan yakni pendekatan sosiologi agama, yaitu pendekatan yang mempelajari hubungan
resiprokal antara agama dan masyarakat. Pendekatan ini mempelajari bagaimana agama
mempengaruhi masyarakat, dan boleh jadi masyarakat mempengaruhi konsep agama.48
Sa’adia bin Joseph, tokoh Yahudi abad pertengahan, mengatakan bahwa agama memerlukan
akal untuk menjelaskan dan mempertahankannya. Dengan perkataan lain, seperti yang dikatakan
oleh Munk juga, akal apabila dibandingkan dengan wahyu maka akal mempunyai peranan yang
kedua. Karena itu wahyu tidak perlu terlalu takut kepada akal, bahkan akal merupakan sandaran dan
pembantunya.49
Dalam mengkaji sebuah studi, perlu adanya aktivitas indisipliner 50 untuk mendapatkan hasil
pemikiran dan riset yang komprehensif. Teks-teks keagamaan menjadi sangat welcome pada setiap
44. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 197 – 199.
45. Teori hegemoni yaitu melihat interaksi pemberlakuan hukum baru terhadap hukum
lama muncul teori mayor dan minor. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm.
200.
46. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 200 – 201.
47. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam.., hlm. 219.
48. M. Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 15 – 16.
49. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam..., hlm. 65.
14| W a r i a d a l a m P e r s p e k t i f I s l a m

pendekatan yang dijadikan kunci untuk membuka wawasan baru di dalamnya. Studi terhadap teksteks keagamaan dapat saja menggunakan pendekatan-pendekatan yang sama sekali modern seperti
pendekatan gender seperti yang dilakukan oleh Aminah Wadud Muhsin dalam bukunya, al-Qur’an
and Women (1993/1999).51 Dan waria menjadi salah satu variabel dalam kajia gender. Jadi, akan
sangat tepat jika memahami teks-teks agama dari sudut pandang gender.
Di Indonesia, pendekatan intertekstualitas diperkenalka