PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Kajia
PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Kajian Historis Analitis Terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kajian Diskusi Islamic Studies Forum (ISF)
Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Ciputat, 23 September 2014
Sebagai upaya konstruktif dalam membangun progress
positivisme hukum Islam di Indonesia, perlu untuk dikaji lebih
mendalam terkait perkembangan pembaruan hukum Islam di Indonesia
oleh peserta diskusi ISF. Makalah sederhana ini mencoba menjawab
terhadap sebuah perjalanan historis Islam di Indonesia sampai dengan
upaya legislasi hukum Islam kedalam hukum nasional. Hal ini
dimungkinkan mengingat sumber-sumber hukum nasional meliput
hukum Eropa, hukum adat, dan hukum Islam.
Islam; Sebuah Perjalanan Historis Indonesia
Ahmad Mansur Suryanegara dalam “Menemukan Sejarah Proses
masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia” menurut,
terdapat 3 teori yaitu (1) Teori Gujarat (2) Teori Makkah dan (3) Teori
Persia. Ketiga teori ini memberikan jawaban tentang permasalah waktu
masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku
penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Berikut sekilas
penjelasannya;
(1)
Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada
abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar
dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab
dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui
jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF
Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori
Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya
kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini
juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang
pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan
bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan
banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
(2)
Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan
terhadap teori lamayaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya
berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera
sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan
pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan
perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai
dengan berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i,
dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu
adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah
penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu
gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W.
Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13
sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia
terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar
terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
(3)
Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13
dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah
kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia
seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya
Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di
junjung oleh orang Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat
peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur
Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan
sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf
Arab untuk tandatanda bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di
Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik.
Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar
Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki
kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan
damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad
13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah
bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
Pada masa awal mula Islam masuk ke Nusantara, yaitu pada
abad I H. atau abad VII M1 (dilihat dari teori yang dipakai mayoritas ahli
sejarah) yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab, Islam menjadi
hukum resmi negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seiring
dengan berdirinya kesultanan-kesultanan/ kerajaan-kerajaan. Dan
beberapa ahli mengatakan bahwa hukum Islam yang berkembang di
Indonesia adalah becorak Syafi’iyah.
Pada pertengahan abad ke XIV M. muncul tokoh seperti sultan
Malikul Zahir dari samudera pasai. Lalu pada abad ke XVII M. muncul
Nuruddin ar-Raniri yang mengarang kitab Shirath al-Mustaqim2, Jawahir
al-‘Ulum fi Kasf al-Ma’lum, Kaifiyat al-Shalat, dan Tanbih al-Awm fi
Tahqiq al-Kalam fi an-Nawafil. Juga muncul pada abad ini Abd al-Rauf
as-Sinkili, yang dianggap termasuk mujtahid Nusantara, dengan
karyanya “Mir’at al-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyah li
al-Malik al-Wahhab”.
Selanjutnya pada abad ke XVIII M. muncul syekh Arsyad alBanjari yang menulis kitab “Sabil al-Muhtadin li Tafaqquh Fi Amr alDin”. Kitab ini dijadikan pedoman untuk menyelesaikan sengketa di
kesultanan banjar. Dan juga pada abad ini muncul Abd al-Malik bin
Abdullah trengganu yang menulis kitab “Risalah an-Naql” dan
“Kaifiyat an-Niyah”.
Memasuki abad XIX M. muncul Syaikh Nawawi al-Bantani dengan
karyanya yang sangat terkenal “Uqud al-Lujain”. Disamping itu, ia
banyak mensyarahi/mengomentari kitab-kitab fikih Syafi’iyah. Pada
abad ini pula, muncul Abdul Hamid Hakim, seorang ulama
minangkabau dengan karyanya “al-Mu’in al-Mubin, Mabadi’ Awwaliyah,
as-Sulam, dan al-Bayan” 3
Dari gambaran singkat di atas, tampak bahwa hampir setiap
masa, selalu saja di isi oleh ulama-ulama fikih yang bercorak
Syafi’iyah. Bukti lain adalah banyaknya kitab-kitab fikih yang di kaji di
pesantren dan rata-rata kitab tersebut bercorak Syafi’iyah, seperti
“Muharrar, Minhaj al-Thalibin, Manhaj al-Thullab, Iqna’, Muhadzab, Fath
al-Qarib”, dan lain sebagainya.
Menarik untuk dicermati, bahwa pada masa-masa menjelang
abad XVII, XVIII, XIX M., hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat
dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna, mencakup
masalah Mu’amalah, al-Ahwal al-Syakhsiyah (Perkawinan, Perceraian,
dan Warisan), Peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Tidak
1 Karena pada tahun 650 M, yaitu pada masa pemerintahan khalifah Usman
bin Affan sudah ada orang Islam yang datang ke Sumatera (lihat; Sejarah Islam di
Jawa karya Solihin Salam, h.7)
2 Menurut Wafi Muhaimin “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia; Sebuah
Tinjauan” kitab ini merupakan buku Hukum Islam pertama yang disebarluaskan
keseluruh nusantara
3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, “Hukum Perdata Islam di
Indonesia”, (Jakarta: Prenada Media, 2004) hal. 2-8
itu saja, hukum Islam juga menjadi system hukum mandiri yang
digunakan di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara.
Pada perkembangan selanjutnya, semenjak belanda menjajah
Indonesia, hukum Islam sedikit demi sedikit menjadi tenggelam,
sehingga yang tersisa hanyalah hukum ibadah dan sebagian hukum
keluarga dengan pengadilan agama sebagai pelaksananya. Pada waktu
itu, perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dalam dua
bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak belanda melalui VOC
(Vereenigde Oost Inlandse Compagnie atau Pemerintahan Pedagang
Hindia Belanda)4 yang memberikan ruang agak luas bagi
perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upanya intervensi
belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada
hukum adat.5
Ada dua teori yang dijadikan pijakan pada masa penjajahan
belanda. Pertama, “Receptio in Complexu”, yaitu setiap penduduk
berlaku hukum agamanya masing-masing. Kedua, “Receptie” yaitu
hukum Islam tidak otomatis berlalu bagi orang Islam. Ia belaku apabila
sudah diterima dan telah menjadi hukum adat. Kemudian setelah
Indonesia merdeka, muncul teori “Receptie Exit” yang menghasilkan
piagam Jakarta ( sayangnya, ada tujuh kata yang dihilangkan dalam
piagam Jakarta yang membuat golongan umat Islam merasa kecewa
“Dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya”),
lalu muncul teori “Receptio A Contrario” yang merupakan kebalikan
dari teori receptie. Dan yang terakhir adalah teori “Eksistensi” yaitu
adanya integrasi antara hukum Islam dengan hukum nasional.6
Kompilasi Hukum Islam (KHI); Positivisasi Hukum Islam
Lahirnya naskah Kompilasi Hukum Islam (KHI) (proses
penyusunan KHI diketuai oleh Bustanul Arifin dimulai sejak tahun 1985
dan diberlakukan sebagai pedoman Peradilan Agama mulai tahun
1991) dapat di pandang sebagai bagian dari fenomena perbaharuan
hukum Islam di Indonesia. Dikatakan demikian, antara lain, karena
diantara muatannya terdapat materi-materi hukum yang masih asing,
setidaknya dalam konteks pemikiran hukum yang umum dianut orang
Indonesia, seperti ahli waris pengganti, wasiat wajibah untuk orang tua
atau anak angkat (hal ini keluar dari wilayah syafi’iyah, yaitu mengikuti
pendapat zhahiri), larangan kawin beda agama, kawin hamil dan
sebagainya. Bahkan seperti UU no. 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama dan PP no. 28 tahun 1977 tentang wakaf tanah milik, dapat
4 Pada mulanya pemerintah VOC mencoba menerapkan hukum Belanda untuk
masyarakat pribumi, namun tidak berjalan efektif (lihat; Muhammad Iqbal, “Hukum
Islam Indonesia Modern” (Gaya Media Pratama, 2009), hal. 40
5 Mujiatun Ridawati, “Hukum Islam di Indonesia: Pelembagaan, Pembaharuan,
dan Prospek Transformasinya”, dalam makalah
6 Suparman Usma, “Hukum Islam; Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h. 111
pula dipandang sebagai bagian dari kontribusi untuk pembaharuan
hukum Islam di Indonesia.
M Yahya Harahap dalam “Informasi Materi Kompilasi Hukum
Islam; Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam menambahkan bahwa
keberhasilan umat Islam Indonesia merumuskan materi hukum Islam
secara tertulis dalam KHI, merupakan wujud konkrit dalam rangka
pemberlakuan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, yang sudah
lama di cita-citakan. Dengan demikian maka sebenarnya “tema utama
penyusunan KHI adalah ‘Mempositifkan’ hukum Islam Indonesia.
i. Kapitaselekta Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan kodifikasi dan unifikasi
hukum Islam di Indonesia yang merujuk pada kitab-kitab fiqih (1) Al
Bajuri,(2) Fathul Muin dengan Syarahnya, (3) Syarqowi alat Tahrir, (4)
Qulyubi/Muhallil, (5) Fathul Wahhub dengan Syarahnya, (6) Tuhfah, (7)
Targhibul Musytaq, (8) Qawaninusy Syar’Iyah lisayyid Utsman bin
Yahya, (9) Qawaninusy Syar’iyah lisayyid Shodaqoh Dkhlan, (10)
Syamsuri lil Faraidl, (11) Bughyatul Mustarsydin, (12) Al Fiqh ‘ala
Muadzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.
Dari daftar Kitab-kitab ini, kita sudah dapat melihat pola pemiiran
Hukum yang mempengaruhi penegakan Hukum Islam di Indonesia.
Umumnya Kitab-kitab itu adalah kitab kuno dalam madzhab Syafi’I,
kecuali No. 12 temasuk bersifat komperatif atau Perbandingan
Madzhab.
Mengenai isi dari kompilasi hukum Islam terdapat tiga Bab
pembahasan (1) Bab Pernikahan (2) Bab Waris dan (3) Bab Wakaf yang
secara keseluruhan terakumulasi dalam 229 pasal. Secara terperinci
Bab Pernikahan dapat di kemukakan secara singkat sebagai berikut:
(a) Ketentuan Umum Pasal 1 (b)Dasar-dasar Perkawinan Pasal 2-10
(c) Peminangan Pasal 11-13 (d) Rukun dan Syarat perkawinan Pasal 1429 (e) Mahar Pasal 30-38 (f) Larangan Kawin Pasal 39-44 (g) Perjanjian
Perkawinan Pasal 45- 52 (h) Kawin Hamil Pasal 53-54 (i) Beristri lebih
dari satu orang Pasal 55-59 (j) Pencegahan Perkawinan Pasal 60-69 (k)
Batalnya Perkawinan Pasal 70-76 (l) Hak dan kewajiban suami dan istri
Pasal 77-84 (m) Harta Kekayaan dalam perkawinan Pasal 85-97 (n)
Pemeliharaan Anak Pasal 98-106 (o) Perwalian Pasal 107-112 (p)
Putusnya Perkawinan Pasal 113-148 (q) Akibat Putusnya Perkawinan
Pasal 149-169 (r) Rujuk Pasal 163-169l
ii.
KHI; Dalam Bingkai Historis
Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia
menjelaskan bahwa secara yuridis formal keberadaan
negara Indonesia adalah Diawali pada suatu Proklamasi Kemerdekaannya, yaitu tanggal 17 Agustsu 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945
kemudian diakui sebagai berlakunya UUD 1945. Betapapun juga,
berbicara Hukum Islam di Indonesia, tidak bisa terlepas dari eksistensi
negara Indonesia itu sendiri.
Keinginan para pemimpin Islam untuk dapat kembali
menjalankan hukum Islam bagi umat Islam – setelah dikebiri melalui
teori Receptie – telah dimulai sejak perumusan dasar negara pada saat
BPUPKI bersidang. Disahkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang
kemudian disepakati direvisi menjadi rumusan final pada Sila Pertama,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 29
Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu membicarakan Hukum Islam di
Indonesia, tidak bisa tidak, terkait dengan sejarah Peradilan Agama di
Indonesia. Lembaga inilah yang secara formal merupakan wujud
wadah penyelesaian atau pelaksanaan hukum Islam, sebagai
kelanjutan pengadilan serambi atau pengadilan masjid di masa-masa
kesultanan dahulu. Karena hukum materiil yang menjadi kompetensi
absolutnya adalah hukum Islam.
Setelah perumusan UUD 1945, langkah yang ditempuh
pemerintah adalah menyerahkan pembinaan peradilan agama dari
Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan
Pemerintah No. 5/SD/1946. pada tahun 1948 dikeluarkanlah UU No 19
Tahun 1948 yang memasukkan Peradilan Agama ke Peradilan Umum.
Karena muatan undang-undang ini tidak sejalan dengan kesadaran
hukum masyarakat Indonesia, undang-undang ini tidak pernah
dinyatakan berlaku.
Mulai tahun 1958 dibentuklah di berbagai tempat Pengadilan
Agama di Pengadilan Tinggi Agama. Kemudian pada tahun 1970
dikeluarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Yang pada intinya Peradilan Agama merupakan bagian
integral dari kekuasaan kehakiman yang mandiri, tanpa ada intervensi
pihak manapun.
Sebagai realisasi dari ketentuan di atas, pada tahun 1974
dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang
ini merupakan kodifikasi dan unifikasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
berlaku bagi semua warga negara. Meskipun tidak bisa dipungkiri
bahwa undang-undang ini mengandung keragaman hukum, jelas ia
merupakan tonggak awal bahwa hukum Islam secara yuridis telah
memiliki landasan yang kokoh.
Namun demikian, ada tuntutan merealisasikan perundangundangan yang dapat mewadahi kemajemukan masyarakat dan
sekaligus menampung kesadaran hukum masyarakat, mutlak perlu
segera diwujudkan. Sebelum kelahiran UU Perkawinan, pemerintah
sebenarnya telah mencoba menindaklanjuti pesan Undang-Undang No.
14 Tahun 1970. Usaha ini kemudian membutuhkan waktu yang cukup
lama, 17 tahun, akhirnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
dapat diajukan ke DPR untuk memperoleh persetujuan. Dengan
amanat Presiden RI No. R-06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988
pemerintah menyampaikan RUU tentang Peradilan Agama ke DPR.
Upaya mewujudkan UU Peradilan Agama ini tentulah bukan saja
dimaksudkan semata-mata untuk memenuhi ketentuan UU No. 14
Tahun 1970. Hal ini diharapkan akan mampu mengemban tugasnya
dengan penuh kewibawaan dan bersama badan-badan peradilan
lainnya merupakan wahana para pencari keadilan di Indonesia.
Kehadiran UU Peradilan Agama tersebut, patut disyukuri, paling
tidak dengan adanya undang-undang ini Peradilan Agama telah sejajar
dengan peradilan yang lain, tidak ada lagi pengawasan atau campur
tangan dari peradilan lain. Keputusan hukum yang dikeluarkan tidak
lagi membutuhkan pengukuhan dari peradilan umum.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Peradilan Agama yang mana kompetensi absolut peradilan ini telah
disebut dalam Pasal 49, namun masih sangat global. Untuk itu perlu
adanya kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, agar amanat
yang dibebankan pasal 49 tersebut dapat dilaksanakan dengan baik,
demi terwujudnya keadilan, ketertiban sekaligus kesadaran hukum
masyarakat. RUU Peradilan Agama telah disiapkan sejak tahun 1970,
berbarengan dengan itu disiapkan pula penyusunan Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Secara resmi proses awal rencana ini adalah Penunjukan
Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi,
dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25/1985 tanggal 21 Maret
1985.
Ada dua pertimbangan mengapa proyek ini dilaksanakan,
yaitu, Pertama, bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan
Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan
peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama,
perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dua, guna mencapai
maksud tersebut demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas
dan tertib administrasi dalam proyek pembangunan hukum Islam
melalui yurisprudensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek
yang susunannya terdiri dari para Pejabat MA dan Depag RI.
Adapun tujuan perumusan KHI di Indonesia adalah untuk
menyiapkan pedoman yang seragam (unikatif) bagi Hukum Pengadilan
Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh
bangsa Indonesia yang beragama Islam.
Dari sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran Kompilasi
Hukum Islam merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang
dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam
Indonesia, terutama tentang (a) adanya norma hukum yang hidup dan
ikut serta bahkan mengatur interaksi sosial, (b) aktualnya dimensi
normatif akibat terjadinya eksplanasi fungsional ajaran Islam yang
mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum, (c) responsi
struktural yang dini melahirkan rangsangan KHI, (d) alim ulama
Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan
bahwa KHI adalah rumusan tertulis hukum Islam yang hidup seiring
dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia.
Kehadiran KHI cenderung menjadi alternatif terhadap konstatasi
di atas yang berpengaruh kuat pada seleksi pengambilan sumber
normatifnya. Lima sumber utama yang dipilih untuk penyusunan KHI
yakni : (a) hukum produk legislatif nasional yang telah tertuang dalam
perundang-undangan dan peraturan lainnya yang relevan, seperti UU
No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, dsb., (b) produk yudisial
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, terutama sepanjang
yang mengenai masalah waris dengan dukungan pengalaman tafsir
hukum, mengantisipasi tuntutan di tengah hubungan konflik hukum
Islam dengan hukum adat, (c) produk eksplanasi fungsionalisasi ajaran
Islam melalui kajian hukum yang dilakukan IAIN dengan pokok
bahasan sesuai dengan distribusinya, (d) rekaman pendapat para ahli
hukum Indonesia di beberapa daerah wilayah Indonesia, (e) hasil studi
perbandingan di Maroko, Turki, dan Mesir, dan (f) pendapat serta
pandangan yang hidup pada saat Musyawarah Alim Ulama ins yang
diadakan pada tanggal 2-6 Februari 1989 di Jakarta dengan peserta
dari seluruh Indonesia.
Lahirnya rumusan hukum seperti yang terlihat di dalam KHI
harus dipandang sebagai sebuah wajah kulminasi organisme hukum
Islam di bidangnya. Diharapkan nantinya KHI mampu memback
up fenomena masyarakat yang terkait dengan masalah hukum,
disamping itu KHI mampu memberikan jaminan keadilan, ketertiban
sekaligus kesadaran hukum bagi masyarakat, khususnya masyarakat
yang memeluk agama.
iii.
KHI; Upaya Rekonstruksi KHI
Walaupun KHI telah diberlakukan dan telah dijadikan pedoman oleh
para hakim dilungkungan peradilan agama dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, hal ini
tidak berarti bahwa KHI merupakan hasil final yang tidak
membutuhkan penyempurnaan. Sebagaimana watak fiqh yang
mungkin selalu mengalami perubahan karena berbagai pertimbangan
kebutuhan (baik waktu atau tempat), maka KHI pun yang salah satu
sumber pembentukannya mengacu kepada fiqh, dimungkinkan adanya
berbagai perubahan, baik isi maupun produk hukum yang
memayunginya.
Disamping itu, dalam KHI diakui banyak kekurangan yang
memerlukan penyempunaan, sehingga membutuhkan pengkajian
ulang dengan konteks kekinian. Maka setelah hampir 13 tahun KHI
dijadikan pedoman, muncullah Counter Legal Draft (CLD-KHI) yang
dimotori oleh Siti Musdah Mulia. Tapi ternyata draft ini menuai banyak
protes dan kecaman sehingga kementerian-agama pun menolak draft
ini untuk diundang-undangkan.
Ada banyak masalah yang termuat dalam Counter Legal Draft (CLDKHI) sehingga draft ini banyak menuai protes. Di bawah ini penulis
akan menguraikan beberapa masalah yang terdapat dalam draft ini.
Adapun tujuh butir masalah CLD-KHI adalah;
i. Mengadaptasikan syariat Islam dengan kehidupan demokrasi (Bab
I/I).
ii. Melalui dekonstruksi ajaran Islam (I/II).
iii. KHI Indonesia yang pluralis dan demokratis (Bab II/I)
iv. KHI dalam kerangka Hukum Nasional dan hukum Internasional
(Bab II/II)
v. Mengacu kepada prinsip dasar ajaran Islam yaitu pluralism
(ta’addudiyah Bab II/V).
vi. Problem metodologis (usul fiqh) membongkar kerangka bangunan
(dekonstruksi) paradigma ushul fiqh lama dan menciptakan ushul
fiqh alternatif.
vii. Merekonstruksikan hukum Islam (fiqh) dewasa ini tidak cukup
sekedar melakukan tafsir ulang, akan tetapi harus melalui proses
dekonstruksi (pembongkaran), (akhir Bab II).[12]
viii. Adapun pendekatan yang digunakan sebagai pisau analisis adalah
pendekatan Gender, pluralisme, HAM, dan demokrasi.
Beberapa Contoh dalam CLD-KHI yang Kontroversi
i. Perkawinan bukan ibadah dalam arti kewajiban, tetapi hubungan
social kemanusiaan biasa. Perkawinan akan bernilai ibadah, jika
diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah
ii. Wali nikah hanya diperlukan bagi perempuan yang menikah di
bawah usia 21 tahun.
iii. Perempuan boleh menjadi saksi dalam perkawinan.
iv. Pencatatan perkawinan menjadi salah satu rukun perkawinan.
v. Batas usia perkawinan adalah 18 tahun dengan tidak
membedakan antara calon isteri dan calon suami.
vi. Mahar wajib diberikan oleh calon suami atau calon isteri dan
jumlahnya disesuaikan dengan adat setempat.
vii.Kawin beda agama dibolehkan selama dalam batas untuk
mencapai tujuan perkawinan.
viii. Poligami haram li ghairihi (haram karena ekses yang
ditimbulkannya), yakni sangat merugikan perempuan dan anak.
ix. Isteri mempunyai hak untuk menceraikan dan merujuk suaminya
(setara dengan hak suami).
x. Iddah dikenakan bagi suami dan isteri.
xi. Ihdad dikenakan bagi suami dan isteri
xii.Pencarian nafkah menjadi kewajiban bersama antara suami dan
isteri. Namun, harus di ingat bahwa tugas reproduksi isteri di
pandang lebih bernilai dari pada tugas pencarian nafkah.
xiii. Nusyuz dapat dituduhkan kepada suami dan isteri.
xiv. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah setara.
xv. Kedudukan hukum anak di luar perkawinan, jika diketahui ayah
biologisnya, maka anak tetap memiliki hak waris dengan ayah
biologisnya
Konklusi: Sebuah Upaya penerapan Hukum Islam yang Syamil
Kesadaran umat Islam akhir-akhir ini semakin membawa angin
segar termasuk dari para pemimpin bangsa ini, baik aparatur
pemerintah maupun para ulamanya. Rancangan Undang-undang (RUU)
yang sedang dalam proses penggodokan tampaknya di kawal ketat
oleh para ulama, khususnya oleh MUI. Dan dilihat dari upaya-upaya itu,
penulis optimis, walaupun pelan tapi pasti, penerapan hukum Islam di
Indonesia bagi pemeluknya semakin mendapatkan ruang.
Adapun contoh-contoh hukum Islam yang sudah di undangundangkan seperti: UU Pengelolaan Zakat (no. 38 tahun 1999). UU
Penyelenggaraan Haji (no. 17 tahun 1999). UU Pornografi (no. 44 tahun
2004). UU Perbankan Syariah. UU Wakaf. Dan UU Sistem Pendidikan
Nasional. Sedangkan yang masih dalam proses penggodokan adalah
sebagai berikut: RUU Jaminan Produk Halal. RUU Hukum Materiil dalam
Lingkungan Peradilan Agama bidang Perkawinan. RUU Tentang
Mahkamah Agung. RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah. RUU KUHP.
RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (kontroversi) dan RUU Kerukunan
Umat Beragama.
Terlepas dari pro-kontra dalam upaya pembaharuan hukum Islam
di Indonesia, kita seyogyanya mendukung usaha unifikasi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten di dalam merumuskan
hukum Islam, bahkan penulis berharap, kita kelak menjadi bagian yang
ikut andil dalam merumuskannya. Semoga kita bisa melanjutkan
usaha-usaha pendahulu kita sehingga ajaran Islam bisa diaplikasikan
dalam semua aspek kehidupan. Wallahu A’lam Bisshawab
…
Kajian Historis Analitis Terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kajian Diskusi Islamic Studies Forum (ISF)
Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Ciputat, 23 September 2014
Sebagai upaya konstruktif dalam membangun progress
positivisme hukum Islam di Indonesia, perlu untuk dikaji lebih
mendalam terkait perkembangan pembaruan hukum Islam di Indonesia
oleh peserta diskusi ISF. Makalah sederhana ini mencoba menjawab
terhadap sebuah perjalanan historis Islam di Indonesia sampai dengan
upaya legislasi hukum Islam kedalam hukum nasional. Hal ini
dimungkinkan mengingat sumber-sumber hukum nasional meliput
hukum Eropa, hukum adat, dan hukum Islam.
Islam; Sebuah Perjalanan Historis Indonesia
Ahmad Mansur Suryanegara dalam “Menemukan Sejarah Proses
masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia” menurut,
terdapat 3 teori yaitu (1) Teori Gujarat (2) Teori Makkah dan (3) Teori
Persia. Ketiga teori ini memberikan jawaban tentang permasalah waktu
masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku
penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Berikut sekilas
penjelasannya;
(1)
Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada
abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar
dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab
dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui
jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF
Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori
Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya
kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini
juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang
pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan
bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan
banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
(2)
Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan
terhadap teori lamayaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya
berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera
sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan
pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan
perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai
dengan berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i,
dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu
adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah
penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu
gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W.
Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13
sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia
terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar
terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
(3)
Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13
dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah
kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia
seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya
Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di
junjung oleh orang Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat
peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur
Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan
sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf
Arab untuk tandatanda bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di
Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik.
Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar
Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki
kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan
damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad
13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah
bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
Pada masa awal mula Islam masuk ke Nusantara, yaitu pada
abad I H. atau abad VII M1 (dilihat dari teori yang dipakai mayoritas ahli
sejarah) yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab, Islam menjadi
hukum resmi negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seiring
dengan berdirinya kesultanan-kesultanan/ kerajaan-kerajaan. Dan
beberapa ahli mengatakan bahwa hukum Islam yang berkembang di
Indonesia adalah becorak Syafi’iyah.
Pada pertengahan abad ke XIV M. muncul tokoh seperti sultan
Malikul Zahir dari samudera pasai. Lalu pada abad ke XVII M. muncul
Nuruddin ar-Raniri yang mengarang kitab Shirath al-Mustaqim2, Jawahir
al-‘Ulum fi Kasf al-Ma’lum, Kaifiyat al-Shalat, dan Tanbih al-Awm fi
Tahqiq al-Kalam fi an-Nawafil. Juga muncul pada abad ini Abd al-Rauf
as-Sinkili, yang dianggap termasuk mujtahid Nusantara, dengan
karyanya “Mir’at al-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyah li
al-Malik al-Wahhab”.
Selanjutnya pada abad ke XVIII M. muncul syekh Arsyad alBanjari yang menulis kitab “Sabil al-Muhtadin li Tafaqquh Fi Amr alDin”. Kitab ini dijadikan pedoman untuk menyelesaikan sengketa di
kesultanan banjar. Dan juga pada abad ini muncul Abd al-Malik bin
Abdullah trengganu yang menulis kitab “Risalah an-Naql” dan
“Kaifiyat an-Niyah”.
Memasuki abad XIX M. muncul Syaikh Nawawi al-Bantani dengan
karyanya yang sangat terkenal “Uqud al-Lujain”. Disamping itu, ia
banyak mensyarahi/mengomentari kitab-kitab fikih Syafi’iyah. Pada
abad ini pula, muncul Abdul Hamid Hakim, seorang ulama
minangkabau dengan karyanya “al-Mu’in al-Mubin, Mabadi’ Awwaliyah,
as-Sulam, dan al-Bayan” 3
Dari gambaran singkat di atas, tampak bahwa hampir setiap
masa, selalu saja di isi oleh ulama-ulama fikih yang bercorak
Syafi’iyah. Bukti lain adalah banyaknya kitab-kitab fikih yang di kaji di
pesantren dan rata-rata kitab tersebut bercorak Syafi’iyah, seperti
“Muharrar, Minhaj al-Thalibin, Manhaj al-Thullab, Iqna’, Muhadzab, Fath
al-Qarib”, dan lain sebagainya.
Menarik untuk dicermati, bahwa pada masa-masa menjelang
abad XVII, XVIII, XIX M., hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat
dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna, mencakup
masalah Mu’amalah, al-Ahwal al-Syakhsiyah (Perkawinan, Perceraian,
dan Warisan), Peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Tidak
1 Karena pada tahun 650 M, yaitu pada masa pemerintahan khalifah Usman
bin Affan sudah ada orang Islam yang datang ke Sumatera (lihat; Sejarah Islam di
Jawa karya Solihin Salam, h.7)
2 Menurut Wafi Muhaimin “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia; Sebuah
Tinjauan” kitab ini merupakan buku Hukum Islam pertama yang disebarluaskan
keseluruh nusantara
3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, “Hukum Perdata Islam di
Indonesia”, (Jakarta: Prenada Media, 2004) hal. 2-8
itu saja, hukum Islam juga menjadi system hukum mandiri yang
digunakan di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara.
Pada perkembangan selanjutnya, semenjak belanda menjajah
Indonesia, hukum Islam sedikit demi sedikit menjadi tenggelam,
sehingga yang tersisa hanyalah hukum ibadah dan sebagian hukum
keluarga dengan pengadilan agama sebagai pelaksananya. Pada waktu
itu, perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dalam dua
bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak belanda melalui VOC
(Vereenigde Oost Inlandse Compagnie atau Pemerintahan Pedagang
Hindia Belanda)4 yang memberikan ruang agak luas bagi
perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upanya intervensi
belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada
hukum adat.5
Ada dua teori yang dijadikan pijakan pada masa penjajahan
belanda. Pertama, “Receptio in Complexu”, yaitu setiap penduduk
berlaku hukum agamanya masing-masing. Kedua, “Receptie” yaitu
hukum Islam tidak otomatis berlalu bagi orang Islam. Ia belaku apabila
sudah diterima dan telah menjadi hukum adat. Kemudian setelah
Indonesia merdeka, muncul teori “Receptie Exit” yang menghasilkan
piagam Jakarta ( sayangnya, ada tujuh kata yang dihilangkan dalam
piagam Jakarta yang membuat golongan umat Islam merasa kecewa
“Dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya”),
lalu muncul teori “Receptio A Contrario” yang merupakan kebalikan
dari teori receptie. Dan yang terakhir adalah teori “Eksistensi” yaitu
adanya integrasi antara hukum Islam dengan hukum nasional.6
Kompilasi Hukum Islam (KHI); Positivisasi Hukum Islam
Lahirnya naskah Kompilasi Hukum Islam (KHI) (proses
penyusunan KHI diketuai oleh Bustanul Arifin dimulai sejak tahun 1985
dan diberlakukan sebagai pedoman Peradilan Agama mulai tahun
1991) dapat di pandang sebagai bagian dari fenomena perbaharuan
hukum Islam di Indonesia. Dikatakan demikian, antara lain, karena
diantara muatannya terdapat materi-materi hukum yang masih asing,
setidaknya dalam konteks pemikiran hukum yang umum dianut orang
Indonesia, seperti ahli waris pengganti, wasiat wajibah untuk orang tua
atau anak angkat (hal ini keluar dari wilayah syafi’iyah, yaitu mengikuti
pendapat zhahiri), larangan kawin beda agama, kawin hamil dan
sebagainya. Bahkan seperti UU no. 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama dan PP no. 28 tahun 1977 tentang wakaf tanah milik, dapat
4 Pada mulanya pemerintah VOC mencoba menerapkan hukum Belanda untuk
masyarakat pribumi, namun tidak berjalan efektif (lihat; Muhammad Iqbal, “Hukum
Islam Indonesia Modern” (Gaya Media Pratama, 2009), hal. 40
5 Mujiatun Ridawati, “Hukum Islam di Indonesia: Pelembagaan, Pembaharuan,
dan Prospek Transformasinya”, dalam makalah
6 Suparman Usma, “Hukum Islam; Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h. 111
pula dipandang sebagai bagian dari kontribusi untuk pembaharuan
hukum Islam di Indonesia.
M Yahya Harahap dalam “Informasi Materi Kompilasi Hukum
Islam; Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam menambahkan bahwa
keberhasilan umat Islam Indonesia merumuskan materi hukum Islam
secara tertulis dalam KHI, merupakan wujud konkrit dalam rangka
pemberlakuan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, yang sudah
lama di cita-citakan. Dengan demikian maka sebenarnya “tema utama
penyusunan KHI adalah ‘Mempositifkan’ hukum Islam Indonesia.
i. Kapitaselekta Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan kodifikasi dan unifikasi
hukum Islam di Indonesia yang merujuk pada kitab-kitab fiqih (1) Al
Bajuri,(2) Fathul Muin dengan Syarahnya, (3) Syarqowi alat Tahrir, (4)
Qulyubi/Muhallil, (5) Fathul Wahhub dengan Syarahnya, (6) Tuhfah, (7)
Targhibul Musytaq, (8) Qawaninusy Syar’Iyah lisayyid Utsman bin
Yahya, (9) Qawaninusy Syar’iyah lisayyid Shodaqoh Dkhlan, (10)
Syamsuri lil Faraidl, (11) Bughyatul Mustarsydin, (12) Al Fiqh ‘ala
Muadzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.
Dari daftar Kitab-kitab ini, kita sudah dapat melihat pola pemiiran
Hukum yang mempengaruhi penegakan Hukum Islam di Indonesia.
Umumnya Kitab-kitab itu adalah kitab kuno dalam madzhab Syafi’I,
kecuali No. 12 temasuk bersifat komperatif atau Perbandingan
Madzhab.
Mengenai isi dari kompilasi hukum Islam terdapat tiga Bab
pembahasan (1) Bab Pernikahan (2) Bab Waris dan (3) Bab Wakaf yang
secara keseluruhan terakumulasi dalam 229 pasal. Secara terperinci
Bab Pernikahan dapat di kemukakan secara singkat sebagai berikut:
(a) Ketentuan Umum Pasal 1 (b)Dasar-dasar Perkawinan Pasal 2-10
(c) Peminangan Pasal 11-13 (d) Rukun dan Syarat perkawinan Pasal 1429 (e) Mahar Pasal 30-38 (f) Larangan Kawin Pasal 39-44 (g) Perjanjian
Perkawinan Pasal 45- 52 (h) Kawin Hamil Pasal 53-54 (i) Beristri lebih
dari satu orang Pasal 55-59 (j) Pencegahan Perkawinan Pasal 60-69 (k)
Batalnya Perkawinan Pasal 70-76 (l) Hak dan kewajiban suami dan istri
Pasal 77-84 (m) Harta Kekayaan dalam perkawinan Pasal 85-97 (n)
Pemeliharaan Anak Pasal 98-106 (o) Perwalian Pasal 107-112 (p)
Putusnya Perkawinan Pasal 113-148 (q) Akibat Putusnya Perkawinan
Pasal 149-169 (r) Rujuk Pasal 163-169l
ii.
KHI; Dalam Bingkai Historis
Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia
menjelaskan bahwa secara yuridis formal keberadaan
negara Indonesia adalah Diawali pada suatu Proklamasi Kemerdekaannya, yaitu tanggal 17 Agustsu 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945
kemudian diakui sebagai berlakunya UUD 1945. Betapapun juga,
berbicara Hukum Islam di Indonesia, tidak bisa terlepas dari eksistensi
negara Indonesia itu sendiri.
Keinginan para pemimpin Islam untuk dapat kembali
menjalankan hukum Islam bagi umat Islam – setelah dikebiri melalui
teori Receptie – telah dimulai sejak perumusan dasar negara pada saat
BPUPKI bersidang. Disahkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang
kemudian disepakati direvisi menjadi rumusan final pada Sila Pertama,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 29
Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu membicarakan Hukum Islam di
Indonesia, tidak bisa tidak, terkait dengan sejarah Peradilan Agama di
Indonesia. Lembaga inilah yang secara formal merupakan wujud
wadah penyelesaian atau pelaksanaan hukum Islam, sebagai
kelanjutan pengadilan serambi atau pengadilan masjid di masa-masa
kesultanan dahulu. Karena hukum materiil yang menjadi kompetensi
absolutnya adalah hukum Islam.
Setelah perumusan UUD 1945, langkah yang ditempuh
pemerintah adalah menyerahkan pembinaan peradilan agama dari
Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan
Pemerintah No. 5/SD/1946. pada tahun 1948 dikeluarkanlah UU No 19
Tahun 1948 yang memasukkan Peradilan Agama ke Peradilan Umum.
Karena muatan undang-undang ini tidak sejalan dengan kesadaran
hukum masyarakat Indonesia, undang-undang ini tidak pernah
dinyatakan berlaku.
Mulai tahun 1958 dibentuklah di berbagai tempat Pengadilan
Agama di Pengadilan Tinggi Agama. Kemudian pada tahun 1970
dikeluarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Yang pada intinya Peradilan Agama merupakan bagian
integral dari kekuasaan kehakiman yang mandiri, tanpa ada intervensi
pihak manapun.
Sebagai realisasi dari ketentuan di atas, pada tahun 1974
dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang
ini merupakan kodifikasi dan unifikasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
berlaku bagi semua warga negara. Meskipun tidak bisa dipungkiri
bahwa undang-undang ini mengandung keragaman hukum, jelas ia
merupakan tonggak awal bahwa hukum Islam secara yuridis telah
memiliki landasan yang kokoh.
Namun demikian, ada tuntutan merealisasikan perundangundangan yang dapat mewadahi kemajemukan masyarakat dan
sekaligus menampung kesadaran hukum masyarakat, mutlak perlu
segera diwujudkan. Sebelum kelahiran UU Perkawinan, pemerintah
sebenarnya telah mencoba menindaklanjuti pesan Undang-Undang No.
14 Tahun 1970. Usaha ini kemudian membutuhkan waktu yang cukup
lama, 17 tahun, akhirnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
dapat diajukan ke DPR untuk memperoleh persetujuan. Dengan
amanat Presiden RI No. R-06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988
pemerintah menyampaikan RUU tentang Peradilan Agama ke DPR.
Upaya mewujudkan UU Peradilan Agama ini tentulah bukan saja
dimaksudkan semata-mata untuk memenuhi ketentuan UU No. 14
Tahun 1970. Hal ini diharapkan akan mampu mengemban tugasnya
dengan penuh kewibawaan dan bersama badan-badan peradilan
lainnya merupakan wahana para pencari keadilan di Indonesia.
Kehadiran UU Peradilan Agama tersebut, patut disyukuri, paling
tidak dengan adanya undang-undang ini Peradilan Agama telah sejajar
dengan peradilan yang lain, tidak ada lagi pengawasan atau campur
tangan dari peradilan lain. Keputusan hukum yang dikeluarkan tidak
lagi membutuhkan pengukuhan dari peradilan umum.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Peradilan Agama yang mana kompetensi absolut peradilan ini telah
disebut dalam Pasal 49, namun masih sangat global. Untuk itu perlu
adanya kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, agar amanat
yang dibebankan pasal 49 tersebut dapat dilaksanakan dengan baik,
demi terwujudnya keadilan, ketertiban sekaligus kesadaran hukum
masyarakat. RUU Peradilan Agama telah disiapkan sejak tahun 1970,
berbarengan dengan itu disiapkan pula penyusunan Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Secara resmi proses awal rencana ini adalah Penunjukan
Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi,
dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25/1985 tanggal 21 Maret
1985.
Ada dua pertimbangan mengapa proyek ini dilaksanakan,
yaitu, Pertama, bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan
Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan
peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama,
perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dua, guna mencapai
maksud tersebut demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas
dan tertib administrasi dalam proyek pembangunan hukum Islam
melalui yurisprudensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek
yang susunannya terdiri dari para Pejabat MA dan Depag RI.
Adapun tujuan perumusan KHI di Indonesia adalah untuk
menyiapkan pedoman yang seragam (unikatif) bagi Hukum Pengadilan
Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh
bangsa Indonesia yang beragama Islam.
Dari sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran Kompilasi
Hukum Islam merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang
dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam
Indonesia, terutama tentang (a) adanya norma hukum yang hidup dan
ikut serta bahkan mengatur interaksi sosial, (b) aktualnya dimensi
normatif akibat terjadinya eksplanasi fungsional ajaran Islam yang
mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum, (c) responsi
struktural yang dini melahirkan rangsangan KHI, (d) alim ulama
Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan
bahwa KHI adalah rumusan tertulis hukum Islam yang hidup seiring
dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia.
Kehadiran KHI cenderung menjadi alternatif terhadap konstatasi
di atas yang berpengaruh kuat pada seleksi pengambilan sumber
normatifnya. Lima sumber utama yang dipilih untuk penyusunan KHI
yakni : (a) hukum produk legislatif nasional yang telah tertuang dalam
perundang-undangan dan peraturan lainnya yang relevan, seperti UU
No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, dsb., (b) produk yudisial
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, terutama sepanjang
yang mengenai masalah waris dengan dukungan pengalaman tafsir
hukum, mengantisipasi tuntutan di tengah hubungan konflik hukum
Islam dengan hukum adat, (c) produk eksplanasi fungsionalisasi ajaran
Islam melalui kajian hukum yang dilakukan IAIN dengan pokok
bahasan sesuai dengan distribusinya, (d) rekaman pendapat para ahli
hukum Indonesia di beberapa daerah wilayah Indonesia, (e) hasil studi
perbandingan di Maroko, Turki, dan Mesir, dan (f) pendapat serta
pandangan yang hidup pada saat Musyawarah Alim Ulama ins yang
diadakan pada tanggal 2-6 Februari 1989 di Jakarta dengan peserta
dari seluruh Indonesia.
Lahirnya rumusan hukum seperti yang terlihat di dalam KHI
harus dipandang sebagai sebuah wajah kulminasi organisme hukum
Islam di bidangnya. Diharapkan nantinya KHI mampu memback
up fenomena masyarakat yang terkait dengan masalah hukum,
disamping itu KHI mampu memberikan jaminan keadilan, ketertiban
sekaligus kesadaran hukum bagi masyarakat, khususnya masyarakat
yang memeluk agama.
iii.
KHI; Upaya Rekonstruksi KHI
Walaupun KHI telah diberlakukan dan telah dijadikan pedoman oleh
para hakim dilungkungan peradilan agama dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, hal ini
tidak berarti bahwa KHI merupakan hasil final yang tidak
membutuhkan penyempurnaan. Sebagaimana watak fiqh yang
mungkin selalu mengalami perubahan karena berbagai pertimbangan
kebutuhan (baik waktu atau tempat), maka KHI pun yang salah satu
sumber pembentukannya mengacu kepada fiqh, dimungkinkan adanya
berbagai perubahan, baik isi maupun produk hukum yang
memayunginya.
Disamping itu, dalam KHI diakui banyak kekurangan yang
memerlukan penyempunaan, sehingga membutuhkan pengkajian
ulang dengan konteks kekinian. Maka setelah hampir 13 tahun KHI
dijadikan pedoman, muncullah Counter Legal Draft (CLD-KHI) yang
dimotori oleh Siti Musdah Mulia. Tapi ternyata draft ini menuai banyak
protes dan kecaman sehingga kementerian-agama pun menolak draft
ini untuk diundang-undangkan.
Ada banyak masalah yang termuat dalam Counter Legal Draft (CLDKHI) sehingga draft ini banyak menuai protes. Di bawah ini penulis
akan menguraikan beberapa masalah yang terdapat dalam draft ini.
Adapun tujuh butir masalah CLD-KHI adalah;
i. Mengadaptasikan syariat Islam dengan kehidupan demokrasi (Bab
I/I).
ii. Melalui dekonstruksi ajaran Islam (I/II).
iii. KHI Indonesia yang pluralis dan demokratis (Bab II/I)
iv. KHI dalam kerangka Hukum Nasional dan hukum Internasional
(Bab II/II)
v. Mengacu kepada prinsip dasar ajaran Islam yaitu pluralism
(ta’addudiyah Bab II/V).
vi. Problem metodologis (usul fiqh) membongkar kerangka bangunan
(dekonstruksi) paradigma ushul fiqh lama dan menciptakan ushul
fiqh alternatif.
vii. Merekonstruksikan hukum Islam (fiqh) dewasa ini tidak cukup
sekedar melakukan tafsir ulang, akan tetapi harus melalui proses
dekonstruksi (pembongkaran), (akhir Bab II).[12]
viii. Adapun pendekatan yang digunakan sebagai pisau analisis adalah
pendekatan Gender, pluralisme, HAM, dan demokrasi.
Beberapa Contoh dalam CLD-KHI yang Kontroversi
i. Perkawinan bukan ibadah dalam arti kewajiban, tetapi hubungan
social kemanusiaan biasa. Perkawinan akan bernilai ibadah, jika
diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah
ii. Wali nikah hanya diperlukan bagi perempuan yang menikah di
bawah usia 21 tahun.
iii. Perempuan boleh menjadi saksi dalam perkawinan.
iv. Pencatatan perkawinan menjadi salah satu rukun perkawinan.
v. Batas usia perkawinan adalah 18 tahun dengan tidak
membedakan antara calon isteri dan calon suami.
vi. Mahar wajib diberikan oleh calon suami atau calon isteri dan
jumlahnya disesuaikan dengan adat setempat.
vii.Kawin beda agama dibolehkan selama dalam batas untuk
mencapai tujuan perkawinan.
viii. Poligami haram li ghairihi (haram karena ekses yang
ditimbulkannya), yakni sangat merugikan perempuan dan anak.
ix. Isteri mempunyai hak untuk menceraikan dan merujuk suaminya
(setara dengan hak suami).
x. Iddah dikenakan bagi suami dan isteri.
xi. Ihdad dikenakan bagi suami dan isteri
xii.Pencarian nafkah menjadi kewajiban bersama antara suami dan
isteri. Namun, harus di ingat bahwa tugas reproduksi isteri di
pandang lebih bernilai dari pada tugas pencarian nafkah.
xiii. Nusyuz dapat dituduhkan kepada suami dan isteri.
xiv. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah setara.
xv. Kedudukan hukum anak di luar perkawinan, jika diketahui ayah
biologisnya, maka anak tetap memiliki hak waris dengan ayah
biologisnya
Konklusi: Sebuah Upaya penerapan Hukum Islam yang Syamil
Kesadaran umat Islam akhir-akhir ini semakin membawa angin
segar termasuk dari para pemimpin bangsa ini, baik aparatur
pemerintah maupun para ulamanya. Rancangan Undang-undang (RUU)
yang sedang dalam proses penggodokan tampaknya di kawal ketat
oleh para ulama, khususnya oleh MUI. Dan dilihat dari upaya-upaya itu,
penulis optimis, walaupun pelan tapi pasti, penerapan hukum Islam di
Indonesia bagi pemeluknya semakin mendapatkan ruang.
Adapun contoh-contoh hukum Islam yang sudah di undangundangkan seperti: UU Pengelolaan Zakat (no. 38 tahun 1999). UU
Penyelenggaraan Haji (no. 17 tahun 1999). UU Pornografi (no. 44 tahun
2004). UU Perbankan Syariah. UU Wakaf. Dan UU Sistem Pendidikan
Nasional. Sedangkan yang masih dalam proses penggodokan adalah
sebagai berikut: RUU Jaminan Produk Halal. RUU Hukum Materiil dalam
Lingkungan Peradilan Agama bidang Perkawinan. RUU Tentang
Mahkamah Agung. RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah. RUU KUHP.
RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (kontroversi) dan RUU Kerukunan
Umat Beragama.
Terlepas dari pro-kontra dalam upaya pembaharuan hukum Islam
di Indonesia, kita seyogyanya mendukung usaha unifikasi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten di dalam merumuskan
hukum Islam, bahkan penulis berharap, kita kelak menjadi bagian yang
ikut andil dalam merumuskannya. Semoga kita bisa melanjutkan
usaha-usaha pendahulu kita sehingga ajaran Islam bisa diaplikasikan
dalam semua aspek kehidupan. Wallahu A’lam Bisshawab
…