PERAN KOMUNITAS JENDELA JAKARTA DALAM PE

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
PERAN KOMUNITAS JENDELA JAKARTA DALAM
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN KEPRIBADIAN ANAKANAK MANGGARAI UTARA

NAMA ANGGOTA:
DITA ARDIANI

(1406015039)

INDAH UTAMI DIAHROSA

(1406015059)

IQHFA MAFIFA

(1406015062)

IRA WINARSIH

(1406015063)


LISA AMELIAWATI

(1406015068)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia yang beragam dengan latar belakang budaya, ras,
ekonomi, suku bangsa, dan lingkungan yang beragam. Dengan hal ini
terbentuklah masyarakat dengan kebudayaan masing-masing karena lingkungan
yang ditinggalinya dan kemudian terbentuklah budaya masyarakat itu sendiri.
Budaya masyarakat Indonesia yang beragam itu memunculkan konteks
masyarakat yang rendah dan tinggi hasil dari lingkungan tersebut. Yang
kemudian menjadi pembentuk pola komunikasi serta kepribadian dari
masyarakat tersebut.

Di Indonesia, khususnya Jakarta pendidikan untuk anak-anak yang berasal
dari kalangan menengah kebawah masih dapat dibilang minin, terutama dalam
hal minat baca serta soft skill. Namun, beruntungnya masih ada orang-orang
yang

peduli

akan

pendidikan

anak-anak

tersebut,

mereka

membuka

perpustakaan untuk anak-anak pinggiran tersebut membaca secara gratis atau

turun tangan langsung mengajari anak-anak ini.
Para relawan ini, biasanya memang memiliki latar belakang yang berbeda
dengan anak-anak ini baik dari segi ekonomi, maupun pendidikan. Hal ini yang
akan menjadi pembahasan dalam makalah kami ini, bagaimana komunikasi
yang terjalin antara para relawan pengajar ini dengan anak-anak yang
diajarkannya, serta peranan mereka dalam mengembangkan pendidikan dan
kepribadian mereka, dalam hal ini kami mengambil studi kasus tentang adanya
komunitas jendela di daerah Manggarai Utara.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud Komunitas Jendela Jakarta?
2. Apakah fokus pembelajaran dari Komunitas Jendela Jakarta?
3. Bagaimana tanggapan masyarakat disekitar Stasiun Manggarai terhadap
Komunitas Jendela Jakarta?
4. Bagaimana peran dari Komunitas Jendela Jakarta terhadap perkembangan
pendidikan dan kepribadian anak-anak disekitar Stasiun Manggarai

1.3 Tujuan Masalah
1. Dapat memahami tentang Komunitas Jendela Jakarta
2. Dapat mengetahui hal-hal apa saja yang dipelajari dari Komunitas Jendela

Jakarta
3. Dapat mengetahui tanggapan masyarakat disekitar Stasiun Manggarai
terhadap Komunitas Jendela Jakarta yang memberikan pembelajaran
didaerah tersebut.
4. Dapat mengetahui peran dari Komunitas Jendela Jakarta terhadap
perkembangan pendidikan dan kepribadian anak-anak disekitar Stasiun
Manggarai.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KAJIAN TEORI
Kami melakukan penelitian mengenai komunikasi antar budaya yang
terjalin di suatu organisasi non-profit atau organisasi relawan, maka kami
menggunakan teori-teori berikut sebagai acuan penelitian kami.
2.1.1 Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orangorang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau
sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara
hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari
generasi ke generasi

2.1.2 Komunikasi Organisasi.
Istilah organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harafiah
berarti paduan dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Di
antara para ahli ada yang menyebut paduan itu sistem, ada juga yang
menamakannya sarana.
Everet M. Rogers dalam bukunya Communication in Organization,
mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka yang
bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan, dan
pembagian tugas. Robert Bonnington dalam buku Modern Business: A Systems
Approach,

mendefinisikan

organisasi

sebagai

sarana

dimana


manajemen

mengoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur
formal dari tugas-tugas dan wewenang.
Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada
peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam
mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan bentuk

komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang
dipergunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa
yang menjadi penghambat, dan sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaanpertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk selanjutnya menyajikan suatu
konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu berdasarkan jenis organisasi,
sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu
pada saat komunikasi dilancarkan.
Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan
organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi
(Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh
organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa
cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus

dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers,
dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang
disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada organisasi, tetapi lebih kepada
anggotanya secara individual.

2.1.3 Organisasi Nonprofit
Organisasi yang terdiri dari individu- individu atau kelompok- kelompok
usaha terpisah yang mempunyai ketertarikan atau minat yang sama dalam bidang
tertentu seperti keuangan, profesioanal, sosial, kebudayaan, atau intelektualitas dan
tidak berorientasi pada pencarian keuntungan atau profit, disebut sebagai organisasi
nonprofit.
Ada lima karakteristik yang dapat mendefinisikan sektor nonprofit atau organisasi
nonprofit dan dapat diterapkan dibanyak negara menurut (Cultip, Center, Broom,

2006: 502-503):
1. Terorganisasi
Dengan maksud, organisasi ini memiliki entitas terinstitusi, yang berarti
organisasi ini mempunyai anggaran dasar, pertemuan reguler, pejabat, aturan, atau
indikator lain tentang kepermanenannya.
2. Privat (Swasta)

Organisasi nonprofit secara institusional terpisah dari pemerintah, yang berarti
bahwa mereka bukan agen pemerintah atau bukan lembaga yang

dikontrol

pemerintah, bahkan jika mereka menerima dana dari pemerintah.
3. Distribusi nonprofit
Organisasi nonprofit tidak berusaha mencari laba untuk pemilik atau direktur.
Ini bukan berarti bahwa organisasi nonprofit tidak bisa mendatangkan laba. Tetapi
ini berarti bahwa mendistribusikan profitnya pada mereka yang mengelola atau
mengatur usaha adalah dilarang, dan karenanya diberi istilah non-for-profit.
4.

Mengatur diri sendiri

Organisasi nonprofit mengatur diri sendiri dan mengontrol aktivitasnya sendiri,
yang berarti bahwa mereka menentukan prosedur sendiri dan independen dari
kontrol eksternal. Mereka punya dewan direksi sendiri dan memberi kesempatan
kepada keterlibatan warga tanpa kontrol atau perintah pemerintah.
5. Sukarela

Paling tidak, harus ada partisapasi sukarela dalam manajemen organisasi atau
dalam pelaksanaan programnya, yang berarti bahwa ada beberapa dari kontribusi
amal. Bentuk agen organisasi nonprofit pun beragam, mulai dari organisasi
kesehatan, pelayanan sosial, pendidikan, kebudayaan sampai keagamaan. Semua
agen organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi kemanusiaan. Secara

umum organisasi nonprofit yang merupakan agen sosial dipandang sebagai “orangorang baik” (good guys) dalam masyarakat.berpikiran maju, organisasi penuh kasih
yang anggotanya bekerja untuk membantu orang lain memperoleh kehidupan yang
lebih baik.

2.1.4 Relawan (Volunteer)
Relawan adalah orang yang tanpa dibayar menyediakan waktunya untuk
mencapai tujuan organisasi, dengan tanggung jawab yang besar atau terbatas, tanpa
atau dengan sedikit latihan khusus, tetapi dapat pula dengan latihan yang sangat
intensif dalam bidang tertentu, untuk bekerja sukarela membatu tenaga profesional.
Lima dimensi kesukarelawanan:
o Relawan bukan pekerja karir
o Relawan bekerja tanpa gaji, upah atau honoranium
o Relawan memiliki tanggung jawab yang berbeda dengan pekerja yang digaji
(Tanggung jawab relawan terbatas pada tugas tertentu, sedang tenaga terlatih

yang profesional mempunyai tanggung jawab menyeluruh dan memimpin
pelaksanaan tugas)
o Relawan mempunyai persiapan yang berbeda untuk kerja-suka-relanya dari
tenaga karir, yang akhir ini harus memenuhi persyaratan yang spesifik dalam
pendidikan dan pengalaman untuk bisa diterima sebagai perkerja, sedangkan
relawan biasanya tidak ada syarat semacam itu.
o Relawan punya identifikasi yang berbeda dengan pekerja karir dan
masyarakat dibandingkan dengan perkerja karir yang bisa dipromosikan
untuk posisi-posisi di organisasi lain dalam rangka pengembangan karirnya.
Studi yang dilakukan oleh Waters & Bortree (2007), menemukan bahwa

seorang relawan mengevaluasi hubungannya dengan organisasi non-profit
termasuk sejenis LSM secara positif. Banyak riset dilakukan di Amerika
Utara dan Eropa Barat, bahwa public dan masyarakat luas banyak
melibatkan diri mereka ke LSM tertentu dengan berbagai

alasan, hal

tersebut menjadi suatu kebutuhsan dan sangatlah penting untuk dilakukan
(Richard D. Waters,. & Denise Bortree, 2007: 58).


2.1.5 Teori Pola Budaya Power Distance Oleh Hofstede
Power Distance Merupakan dimensi budaya yang menunjukkan adanya
ketidaksejajaran (inequality) dari anggota yang tidak mempunyai kekuatan dalam
suatu institusi (keluarga, sekolah, dan masyarakat) atau organisasi (tempat bekerja).
Perbedaan kekuasaan ini berbeda-beda tergantung dari tingkatan sosial, tingkat
pendidikan, dan jabatan. Ketidak sejajaran ini dapat terjadi dalam masyarakat
(perbedaan dalam karakteristik mental dan fisik, status sosial, kesejahteraan,
kekuasaan,

aturan,

hukum,

dan

hak),

keluarga,

sekolah,

dan

ditempat

kerja/organisasi (nampak pada struktur organisasi dan hubungan antara bosssubordinate).
Menurut Hofstede, “power distance” adalah suatu tingkat kepercayaan atau
penerimaan dari suatu power yang tidak seimbang di antara orang. Budaya di mana
beberapa orang dianggap lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena
status sosial, gender, ras, umur, pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang
atau faktor lainnya merupakan bentuk power distance yang tinggi. konsep ini
menjelaskan hubungan antar manusia yang ditata berdasarkan jarak kekuasaan
(sejauh mana kebudayaan mengajarkan anggotanya menguasai orang lain dari
kebudayaan lain sebaliknya sdejauh mana tunduk pada orang lain). Yang diukur

dengan skor power distance index (PDI) dengan dua dimensi low power distance
(LPD atau small power distance (SPD). Dan high power distance (HPD) atau Large
power distance (LPD).
 LPD menunjukkan betapa penting mengurangi ketidaksamaan sosial
dan kelas
 HPD setiap orang mempunyai tempat yang benar yang dilindungi
dalam tatanan sosial tindakan untuk membuktikan wewenang tidak
dipersoalkan. Seluruh status punya hukum dan kekuasaan. Wilayah
geografis dengan iklim tertentu akan menentukan PDI nya rendah atau
tinggi.

2.1.6 Teori Face-Negotiation oleh Stella Ting-Toomey
Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan
perbedaan –perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi
bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu
adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat
dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal
yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), teori ini
menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a. Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaanperbedaan saya dengan anggota kelompok.
b. Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan
anggota kelompok.
c. Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima
sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.

d. Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendakku.
e. Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota
kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.

BAB III
METODE PENELITIAN

Metode yang kami lakukan untuk penelitian ini adalah metode kualitatif,
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan memahami realitas sosial,
yaitu meihat dunia dari apa adanya, bukan dunia yang seharusnya. Metode
penelitian kualitatif merupakan sebuah cara yang lebih menekankan pada aspek
pemahaman secara mendalam terhadap suatu permasalahan. Penelitian kualitatif
adalah riset yang bersifat deskriptif yang cenderung menggunakan analisis serta
lebih mengacu pada proses dan makna.

Kami menggunakan metode penelitian ini karena kami ingin mengangkat
masalah yang menyangkut kehidupan sosial masyarakat yang ada di Manggarai
Utara yang dimana terdapat suatu komunitas belajar bernama Komunitas
Jendela yang menjadi objek penelitian kami, kami meneliti komunikasi yang
terjalin antara anak-anak dan para relawan serta masyarakat di sekitarnya.
Yang akan menjadi fokus penelitian kami adalah komunikasi yang terjalin
di dalam komunitas Jendela ini serta tanggapan masyarakat terhadap komunitas
ini.
3.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang kami lakukan adalah dengan observasi,
wawancara, serta pengambilan dokumentasi dari berbagai sumber.
3.1.1 Observasi
Observasi atau pemantauan adalah kegiatan manusia untuk menggunakan
panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya.
Kami melakukan observasi untuk menghimpun data penelitian melalui
pengamatan dan penginderaan.
3.1.2 Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan yang bertujuan untuk
memperoleh hasil penelitian dengan cara menanyakan langsung pada
informan/narasumber yang akan diteliti secara langsung dengan bertatap muka
antara pewawancara dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman wawancara.
3.1.3 Studi Pustaka
Studi Pustaka merupakan pengumpulan data yang diperoleh dari dokumendokumen yang dapat dijadikan acuan dalam menulis penelitian yang dimana

dokumen tersebut dapat berupa berita, ataupun video dari berbagai sumber.

3.2 Jadwal Penelitian
Kami melakukan Penelitian di Komunitas Jendela Jakarta yang terletak di jalan
Manggarai Utara IV RT/RW 08/01, Jakarta Selatan.
Jadwal penelitian kami dilapangan adalah:
No.

Hari/Tanggal

Keterangan

1.

Senin, 12-10-2015

Survey tempat, dan meminta izin untuk meneliti

2.

Jumat, 16-10-2015

Wawancara dengan masyarakat dan anak-anak yang
belajar di Komunitas Jendela

3

Minggu, 18-10-2015

Ikut dalam acara Cooking Day, dan mewawancarai
para kakak-kakak relawan.

3.3 Informan
Informan 1 (Penjaga rumah komunitas Jendela)
Nama

: Bapak Jamin

Asal

: Jakarta

Pekerjaan

: Pedagang

Informan 2 (Anak-anak dari Komunitas Jendela)
Nama

: Annisa

Usia

: 11 tahun

Pendidikan

: Kelas 5 di SD Manggarai 3 Pagi

Hobi

: Membaca dan Menonton Film

Cita-cita

: Pramugari

Pekerjaan Orang tua: Pedagang
Informan 3 (Koordinator Relawan Komunitas Jendela)
Nama

: Andy Prianto

Asal

: Yogyakarta

Usia

: 27 tahun

Informan 4 (Founder dari Komunitas Jendela)
Nama

: Priani Ningsih

Asal

: Yogyakarta

Usia

: 28 tahun

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Apa Itu Komunitas Jendela?
Komunitas Jendela Jakarta bertempat di jalan Manggarai Utara VI, RT/RW
08/01, Jakarta Selatan. Komunitas Jendela Jakarta merupakan cabang dari
Komunitas Jendela di Yogyakarta. Komunitas Jendela Jakarta dikelola dan
digerakkan oleh para volunteer yang berasal dari berbagai latar belakang serta
bekerja secara sukarela. Menurut penuturan Andi, Koodinator Komunitas
Jendela Jakarta, terbentuknya Komunitas Jendela ini berawal dari mahasiswa
UGM yang membuka kegiatan belajar-mengajar di shelter pengungsian korban
Merapi yang ketika saat itu sedang terjadi erupsi gunung Merapi, kemudian
salah seorang relawannya yang bernama Prihatiningsih, merantau ke Jakarta dan
berinisiatif untuk membuka taman baca, serta mengajak relawan-relawan dan
donatur yang lain maka terbentuklah Komunitas Jendela Jakarta di Manggarai.
Fokus kegiatannya adalah pada segi pengembangan pendidikan dan mental
anak terutama pada anak-anak yang kurang beruntung di kawasan sekitar

Stasiun Manggarai. Di Komunitas Jendela Jakarta ini, kakak-kakak Jendelist
tidak hanya menghidupkan dan mengembangkan minat baca di kalangan anakanak Manggarai. Para relawan ini juga mengajari mereka berbagai pelajaran di
sekolah serta pendidikan kesenian dan pendidikan keagamaan.
Proses pembelajarannya dilakukan setiap hari pada sore atau malam hari,
seperti belajar membaca, menghitung, menggambar, juga mengaji serta
menghafalkan doa-doa serta surat-surat Al-Qur’an. Selain kegiatan belajarmengajar tersebut, komunitas ini juga mengadakan kegiatan lainnya akhir pekan
yang berupa kegiatan cooking day, camping, nonton film bareng, serta seminar
pendidikan.

4.2

Hasil Penelitian
Pak Jamin menyatakan bahwa masyarakat di sekitar komunitas ini
menyambut baik dengan adanya kegiatan belajar-mengajar yang dijalankan
oleh komunitas ini, “ya daripada anak-anak pada main atau ngelakuin hal
yang enggak-enggak ‘kan, mending belajar disini” begitu penuturan pak
Jamin. (Manggarai Utara, Jumat 16/10/15)
Pak Jamin menyatakan bahwa beberapa tahun lalu ada kelas khusus ibu-ibu
yang belum bias membaca namun sayangnya kelas tersebut harus dibubarkan.
“dulu tuh ada kelas belajar baca sama ngaji buat ibu-ibunya, tapi ya mungkin
karena ibu-ibunya pada sibuk atau malu mungkin ya diajarin sama kakakkakaknya jadi kelasnya tuh sepi sampe akhirnya dibubarin.” (Manggarai
Utara, Jumat 16/10/15)
Dalam komunitas ini ternyata terdapat peraturan bahwa tidak boleh berkata
kasar dan memanggil ‘elo-gue’ jika melanggar maka akan dikenakan sanksi,

Annisa menuturkan “Jadi tuh disini enggak boleh ngomong kasar, enggak
boleh manggil ‘elo-gue’ kalau manggil ‘elo-gue’ nanti di denda seribu.”
(Manggarai Utara, Jumat 16/10/15)

4.3

Pembahasan
4.3.1 Tanggapan Masyarakat Terhadap Komunitas Jendela Jakarta
Pada awalnya, komunitas Jendela ini akan bertempat didaerah Tanjung
Priok, namun setelah dirundingkan kembali barulah kemudian komunitas ini
memutuskan untuk bertempat di Manggarai Utara. Menurut narasumber kami,
yakni pak Jamin, masyarakat di sekitar komunitas ini menyambut baik dengan
adanya kegiatan belajar-mengajar yang dijalankan oleh komunitas ini, Ia
menambahkan kalau masyarakat malah bersyukur atas adanya komunitas ini,
warga menganggap ini merupakan kegiatan yang baik dan bermanfaat untuk
anak-anak menghabiskan waktu luangnya sehabis pulang sekolah, anak-anak
dapat membaca buku di perpustakaan yang disediakan oleh komunitas jendela
ini, membahas kembali pelajaran di sekolah dengan didampingi oleh kakakkakak relawan atau untuk anak-anak yang lebih kecil diajarkan membaca dan
menulis, serta berhitung dan tak ketinggalan juga diajarkan sholat dan
mengaji. “ya daripada anak-anak pada main atau ngelakuin hal yang enggakenggak ‘kan, mending belajar disini” begitu penuturan pak Jamin.
Namun, kami mendapat fakta menarik dari narasumber kami ini, pak Jamin
menuturkan bahwa sebenarnya pada tahun awal komunitas ini berdiri juga
terdapat kelas belajar membaca dan mengaji untuk ibu-ibu, akan tetapi karena

minat dari peserta belajar mempengaruhi intensitas pembelajaran sehingga
akhirnya kelas belajar membaca dan mengaji untuk ibu-ibu tersebut
dibubarkan.
Jika kita menilik dari pola komunikasi budaya, hal ini ada hubungannya
dengan teori pola budaya hofstede yakni teori power distance yang
menunjukkan adanya ketidaksejajaran (inequality) dari anggota yang tidak
mempunyai kekuatan dalam suatu institusi atau organisasi. Dalam hal ini
power indexnya berupa umur, kami menyimpulkan bahwa antara para relawan
dengan anak-anak memiliki power distance index yang cukup besar atau
termasuk HPD yang dimana terlihat jelas siapa yang memiliki wewenang
(dalam kasus ini wewenang yang dimaksud adalah sebagai tenaga pengajar).
Namun antara para relawan dan ibu-ibu memiliki power distance index yang
rendah atau LPD sehingga jika ada kegiatan belajar-mengajar diantara mereka
tidak akan berjalan lancar, karena tingkat superioritas diantara mereka tidak
terlihat jelas.

4.3.2

Peran

Komunitas

Jendela

Terhadap

Perkembangan

Pendidikan Anak-anak
Fokus utama pembelajaran dalam komunitas Jendela ini adalah
menumbuhkan minat baca dikalangan anak-anak terutama anak-anak dengan
latar belakang keluarga menengah kebawah, minat baca merupakan keinginan
untuk menginterpretasikan lambang-lambang komunikasi secara kognitif.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, pencetus dari komunitas Jendela ini
adalah Kak Prianiningsih merupakan alumni dari Universitas Gadjah Mada
yang kemudian bekerja di Jakarta, Ia menjelaskan bahwa dia merasa jika

anak-anak dijakarta memiliki minat baca yang kurang jika dibandingkan
anak-anak dijogja menurut pengalamannya maka dia memutuskan untuk
membangun komunitas ini.
Pada saat kami mewawancarai anak-anak yang belajar di
komunitas ini yakni Annisa dan Sena (yang berasal dari Jakarta) mereka
mengungkapkan bahwa hobi mereka adalah membaca, setiap minggu
Annisa bisa membaca hingga 5-7 buku, baik itu novel, buku pelajaran,
maupun buku ensiklopedia yang tersedia di perpustakaan komunitas.

4.3.3

Peran

Komunitas

Jendela

Tehadap

Perkembangan

Kepribadian Anak-anak
Pada saat kami melakukan observasi dan wawancara dengan anakanak di komunitas tersebut, ternyata didalam komunitas tersebut dilarang
menggunakan

kata-kata

kasar,

panggilan

‘elo-gue’

juga

tidak

diperbolehkan disana jika melanggar maka setiap kita mengucap kata
tersebut akan dikenakan denda sebesar 1.000 rupiah. Bentuk ini termasuk
model pengelolaan konflik yang berupa Obliging atau suatu keharusan jika
kita ingin masuk ke organisasi tersebut, model pengelolaan konflik ini
termasuk kedalam teori Stella Ting-Toomey yaitu Face-negotiation theory
yakni teori yang menjelaskan bagaimana budaya-budaya yang berbeda
merespon konflik.
Selain itu didalam komunitas ini anak-anak dididik untuk rajin
beribadah dan mengaji, serta dianjurkan pula untuk menghafal surat-surat
Al-Qur’an jika anak tersebut berhasil menghafalkan surat tertentu maka
akan diberikan hadiah berupa nonton film di bioskop, atau alat-alat tulis.

BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Masyarakat Jakarta merupakan masyarakat yang multikultural, maka
banyak terjadi komunikasi antar budaya yang berbeda, dalam pembahasan makalah
ini, kami telah membahas tentang bagaimana komunikasi yang terjalin di komunitas
Jendela yang terletak di Manggarai Utara, yakni hubungan komunikasi antara para
relawan yang mayoritas berasal dari daerah Jogjakarta, dengan anak-anak yang
memang berasal dari Jakarta yang mayoritas suku betawi, serta dengan masyarakat
sekitarnya.
Para relawan banyak mengajarkan pendidikan kepribadian pada anak-anak,
seperti tidak berbicara kasar, serta mengembangkan minat baca pada anak-anak.
Dan dari proses belajar-mengajar inilah anak-anak Manggarai Utara menjadi ikut
terpengaruh budaya dari kakak-kakak relawan, seperti budaya membaca.

DAFTAR PUSTAKA
Liliwer, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:
LKIS
Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Grameia Wiiasarana
Indonesia.
Tubbs, Stewart L. 2005. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Santoso, Edi. Dkk. 2009. Teori Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu
Triprasetyo, Denny. 2014. Komunitas Jendela - JKT Version.
(diakses tanggal 10 November 2015)

LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Hasil wawancara dengan Pak Jamin
Pewawancara

: Pak Jamin, di Komunitas Jendela ini tugasnya sebagai
apa ya

Pak Jamin

: Saya disini jaga tempat buat belajarnya anak-anak aja,
sih.

Pewawancara

: Awalnya ada komunitas ini bagaimana ya sih pak?

Pak Jamin

: Jadi tuh sekitar 4 tahun yang lalu ada yang cari tempat
katanya buat bikin perpustakaan, setelah nyari-nyari
akhirnya sama pak Lambang dikasih lokasi dimari.

Pewawancara

: Kalau boleh tau, pak Lambang itu siapa ya pak

Pak Jamin

: Pak Lambang itu ketua RT sini, dulu juga dia yang suka
kasih donasi buat bayar sewa rumah ini.

Pewawancara

: Disini ada kegiatan apa aja sih pak

Pak Jamin

: ya banyak sih kegiatannya mah, ada baca sama nulis,
setiap malem ada pelajaran ngaji, ya intinya belajar. Terus
kadang juga kalau hari minggu tuh suka ada acara, kaya

minggu kemarin tuh anakanak diajak sama kakakkakaknya buat camping.
Pewawancara

: Respon masyarakat disini dengan adanya Komunitas ini

bagaimana pak?
Pak Jamin

: warga disini malah bersyukur adanya komunitas ini, jadi
pada main yang enggak-enggak ‘kan mending belajar
disini, pada baca-baca, atau ngaji gitu kan. Malah dulu
tuh ada kelas belajar baca sama ngaji buat ibu-ibunya,
tapi ya mungkin karena ibu-ibunya pada sibuk atau malu
mungkin ya diajarin sama kakak-kakaknya jadi kelasnya
tuh sepi sampe akhirnya dibubarin.

Hasil wawancara dengan Kak Andy dan Kak Pri
Pewawancara

: Kapan komunitas jendela itu dibentuk?

Kak Andy

: Di jogja awalnya. Berawal dari mahasiswa ugm yang
menunggu pengumuman Indonesia mengajar. Untuk
mengisi kekosongan mereka membuka kegiatan di shelter
pengungsian merapi. Karena waktu itu momentnya saat
gunung merapi meletus.

Pewawancara

: Kenapa komunitas jendela bisa sampai ke Jakarta?

Kak Andy

: Salah satu relawan yang tadinya di jogja, setelah lulus
bekerja di Jakarta namanya priani ningsih atau biasa
dipanggil mba pri, Mba Pri merasa prihatin gitu kan yah
sama pendidikan anak-anak di Jakarta ini jadi tercetuslah
ide untuk membuat komunitas ini bersama 4 orang

lainnya, dulu.
Pewawancara

: Kegiatan apa saja yang ada di komunitas jendela?

Mba Pri

: Kegiatan tiap minggu berbeda – beda, jadi kegiatannya
itu biasanya ada cooking day, kegiatan menggambar, ada
dari Indonesian sketching yang ngajarin ade – adenya
gambar. Ada juga pelajaran tentang pengetahan umum,
percobaan – percobaan dan jalan – jalan ke museum.

Pewawancara

: Apakah ada pihak lain yang mengajar di komunitas
jendela?

Mba Pri

: Ada dari Indonesian sketcher, lalu kita pernah ngundang
dokter, psikolog, dan juga penari

Pewawancara

: Apasih visi dan misi dari komunitas jendela?

Mba Pri

: Pertama adalah peningkatan minat baca, peningkatan
soft skill, leadership, bagaimana mereka bisa bekerjasama
dengan orang lain, bagaimana mereka menghargai orang
lain dan sebagainya.

Pewawanara

:Apa tantangan tersendiri dalam komunitas jendela?

Mba Pri

: Kita tidak bisa tebak mood anak – anak hari ini seperti
apa, sometime kita datang anak – anak banyak yang
datang, sometime kita datang hanya ada 2 atau 3 orang
yang datang dan itu ga bisa kita prediksi. Jadi ya kalau
kita datang kita undang dulu anak – anaknya untuk
datang kesini. Kadang mereka sudah siap untuk belajar

Pewawancara

: Prestasi apa saja yang sudah dicapai oleh komunitas
jendela?

Mba Pri

: Juara diacara “1001 buku” nama acaranya OTBA itu
seperti lomba marathon baca buku nanti ada post – post
mereka bikin kerajinan

Hasil wawancara dengan Annisa
Pewawancara

: Bagaimana pendapat kamu tentang komunitas jendela
ini?

Annisa

: Seneng karena kakak – kakaknya baik, ramah, dan kalau
belajar juga suka becanda – canda dan nambah wawasan,
kakaknya juga baik – baik. Kalau ada pelajaran yang sulit
tinggal kesitu aja.

Pewawancara

: Cita-cita Annisa apa

Annisa

: Mau jadi pramugari soalnya gajinya besar

Pewawancara

: Hobi kamu apa

Annisa

: Baca buku, kadang seminggu bisa baca 5 buku gitu.

Pewawancara

: Buku apa aja?

Annisa

: Biasanya sih novel, tapi kadang juga baca buku
pelajaran kalau enggak ya ensiklopedia gitu.

Pewawancara

: Tadi kaka liat ada papan peraturan gitu, itu isinya apa
aja ya?

Annisa

: Jadi tuh disini enggak boleh ngomong kasar, enggak
boleh manggil ‘elo-gue’ kalau manggil ‘elo-gue’ nanti di
denda seribu.