Linearitas Pergeseran Pemikiran tafsir Marketin
ISSN 2087-3352
Linearitas Pergeseran Pemikiran Marketing dan Komunikasi
Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media
Ahmad Badari Burhan & Helpris Estaswara
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
Ph. (+62)85286229590 | E-mail: [email protected]
Ph. (+62)81310488088 | E-mail: [email protected]
Abstrak Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi telah mengubah pola konsumsi dan
juga cara berkomunikasi konsumen. Kondisi ini telah menyebabkan perubahan
dinamika lingkungan bisnis. Merespons perubahan tersebut, disiplin pemasaran
modern kemudian menggeser fokus kajiannya dari consumer-centric menjadi
media-centric dalam upayanya untuk mempertahankan kepuasan pelanggan
pada era media baru. Pergeseran ini membuat peran komunikasi menjadi sentral
dan strategis. Secara umum, perkembangan pemikiran pemasaran sendiri
sebenarnya selaras dengan perkembangan teori-teori komunikasi massa sejak
1940an. Namun, pada era teknologi komunikasi yang telah melahirkan media
baru, disiplin pemasaran membutuhkan peran disiplin ilmu komunikasi dalam
memahami karakteristik media baru dan dampaknya terhadap konsumen
serta bagaimana perilaku konsumen atas media baru ini. Studi ini bertujuan
untuk: Pertama, mengungkapkan berbagai keselarasan prinsip-prinsip dalam
disiplin komunikasi massa dengan pemasaran modern dalam konteks media
baru. Penjelasan dilakukan dengan memahami kesamaan dari keduanya yang
telah berkembang sebelum tahun 1950-an hingga saat ini. Kedua, menguraikan
kebutuhan keterlibatan komunikasi dalam pemikiran pemasaran modern tentang
implikasi dari media baru yang terkait dengan karakteristiknya, efek, kebiasaan
dan penggunaan, dan implementasinya pada upaya pemasaran kepada pelanggan.
Studi ini menunjukkan bahwa pemasaran dan komunikasi di era media baru pada
prinsipnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Kata Kunci: media baru, komunikasi massa, pemasaran modern.
Abstract Rapid development of communication technologies has created to what is
CoverAge:
Journal of Strategic
Communication
Vol. 3, No. 1, Hal. 68-74
September 2012
Fakultas Ilmu Komunikasi,
Universitas Pancasila
Accepted April 15, 2012
Approved July 10, 2012
known today as new media. It has changed the consumption patterns and how to
communicate with the customer. It also changes business environment become
more complicated. In respect to these changes, modern marketing discipline
then shift its focus from “consumer-centric” to “media-centric” and place
communication become more central and strategic. Principally, the development
of marketing thought is parallel to the development of mass communication
theories since 1940s. Moreover, since the emergence of new media technologies,
marketing discipline requires a high degree of involvement of communication in
understanding characteristics of new media and its impact on consumer media
habit and how to use it in order to maintain customer satisfaction and loyalty.
This study is aimed at; firstly, identifying similarity of development history of
basic ideas and main perspectives in mass communications and marketing
disciplines. Explanation is conducted by understanding the similarity of both that
has been developed before 1950s until today. Secondly, elaborating the needs
of communication involvement in modern marketing thought on implications
of new media associated with its characteristics, effects, habit and use, and its
implementation on marketing efforts to customer. The study shows that marketing
and communication in the era of new media, in principle, cannot be separated one
another.
Keywords: new media, mass communication, modern marketing.
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 61
PENDAHULUAN
Pada tahun 2004, salah seorang Chief
ExecutiveOfficer (CEO) Unilever pernah mengatakan
bahwa pendekatan pemasaran massa yang selama
ini membantu membesarkan perusahaannya
tidak lagi efektif. Pemasaran yang ditujukan pada
konsumen individu kemudian dijadikan sebagai
pusat dari strategi pemasaran Unilever sampai
sekarang. Beberapa perusahaan besar yang berada
di kategori consumer packaged goods (CPG) lainnya,
seperti Kraft Foods, Nestlé maupun Procter and
Gamble (P&G), juga menjalankanpendekatan
yang sama,di mana prinsip-prinsip atas direct-toconsumer (DTC) diimplementasikan dalam strategi
pemasarannya (Copulsky et al., 2004).
Senada dengan CEO Unilever tersebut, Jim
Stengel (Miloski, 2005:19)―mantan Global
Marketing Officer (GMO) dari P&G pada tahun yang
sama―juga pernah mengatakan bahwa, “kita masih
sangat bergantung pada taktik-taktik pemasaran
yang sudah tidak relevan dengan kenyataan
perilaku konsumen dewasa ini.” Secara umum,
Stengel mengungkapkan bahwa model pemasaran
tradisional sudah ketinggalan zaman. Model yang
relevan saat ini harus dibangun dalam konteks
new media di mana dengan pendekatan seperti
ini akan membuat P&G mampu berhubungan
dengan pelanggannya secara tepat. Perusahaan
CPG semacam P&G, sebelum tahun 2004 hanya
mengandalkan iklan TV untuk menjangkau
khalayaknya dan kurang melakukan pendekatan
one-to-one communication. Namun, sejak satu
dekade lalu sampai hari ini dan di masa-masa
mendatang, lebih menerapkan prinsip-prinsip DTC
alih-alih pendekatan pemasaran tradisional.
Apa yang telah dipahami oleh P&G di atas
membuktikan bahwa lingkungan bisnis telah
berubah. Perubahan ini disebabkan oleh pesatnya
perkembangan teknologi media (Magnani, 2004).
Perkembangan teknologi media yang pesat sejak
dekade 80-an sampai awal 90-an, faktanya telah
mengakibatkan lahirnya banyak media komunikasi
(pemasaran) baru, baik visual, audio (broadcast)
maupun media cetak alternatif (print media)
yang berbasis internet dan berteknologi digital
(Schroeder, 2004; Straubhaar & LaRose, 2006). Dari
televisi yang pada awalnya hanya bersifat one-way
medium telah bergeser menjadi two-way medium
di mana kontrol khalayak menjadi lebih besar
dari waktu sebelumnya (Estaswara, 2008; Tauder,
2005). Kehadiran internet dan berbagai media baru
lain yang berbasis micro processor dan bersifat
interaktif—termasuk Social Nerwork Sites (SNSs)—
telah memberi cara dan peluang baru dalam
berkomunikasi dan bahkan dalam memasarkan
produk (Kettler, 2002).
Berbagai fakta di atas akhirnya menandai
perubahan peradaban manusia, dari masyarakat
industri menjadi masyarakat informasi (Toffler,
1984), dari era globalisasi 2.0 menjadi era
globalisasi 3.0 (Friedman, 2005), yang akhirnya
mulai menggeser konsep pemasaran massa (mass
marketing) menjadi model pemasaran yang lebih
segmented dan personalized (Estaswara, 2008;
Schultz, 2000). Model pemasaran yang fokus
pada kebutuhan, keinginan dan harapan individu
konsumen alih-alih mempertahankan konsep
konsumen massa (mass consumer). Bahkan, Larry
Light—mantan CMO (Chief Marketing Officer)
McDonald—pernah mengatakan bahwa era
komunikasi adalah era “The Age of I” (Miloski,
2005:20; BusinessWeek, 12/07/2004).
Muncul kemudian pergeseran perspektif
dalam disiplin ilmu pemasaran, dari one-way
communication menjadi two-way communication,
dari pemasaran klasik menjadi pemasaran
kontemporer, dari “one-to-all” menjadi “one-tomany” (mass customization)―yang diperkenalkan
untuk pertama kali oleh Joseph B. Pine pada tahun
1993 (Pine, 2003)—atau “one-to-one”―yang
dikemukakan pertama kalinya oleh Don Peppers
dan Martha Rogers pada tahun 1993 (Peppers &
Rogers, 1993). Kemudian, menurut Kotler (2010),
pemasaran di era komunikasi hari ini juga harus
dipandang sebagai Marketing 3.0. Pemikiran
Marketing 3.0 tertuang dalam buku yang berjudul
“Marketing 3.0: From Products to Customers to the
Human Spirit,” yang diterbitkan pada tahun 2010
dan ditulis oleh Philip Kotler bersama Hermawan
Kartajaya dan Iwan Setiawan. Pemasaran generasi
ketiga yang dikenalkan oleh Kotler ini berkembang
dari “Marketing 1.0” yang mewakili “the productcentric era” dan “Marketing 2.0” yang mewakili
“the consumer-centric era” (Estaswara, 2008) dan
kemudian menjadi apa yang disebutnya sebagai
“Marketing 3.0” yang mewakili “the humancentric era.”Berbagai pemahaman di atas juga
menggambarkan perubahan dari kekuasaan yang
berada di tangan produsen (producer-centric)
bergeser menjadi kekuasaan konsumen (consumercentric), dari generalisasi konsumen menjadi
marjinalisasi konsumen, dari aliran marketing
management (1950-1980) menjadi aliran marketing
as social and economic process yang berkembang
sejak tahun 1980 (Lusch & Vargo, 2004).
62 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
Berbagai konsep (atau pun jargon-jargon)
pemasaran baru kemudian banyak bermunculan,
seperti one-to-one marketing, databased
marketing, relationship marketing, new
mediamarketing, marketing 3.0., viral marketing,
buzz marketing, new wave marketing, interactive
marketing, sampai integrated marketing dan
sebagainya (Misloski, 2005; Zahay, Schroeder,
2004; Schultz & Griffin, 2004; Corsten & Kumar,
2005; Phelps et. al., 2004). Inti dari semuanya,
di era teknologi komunikasi ini, para pemasar
dituntut harus mampu untuk membidik, mengenali
dan berhubungan dengan target audiencenya secara lebih fokus sehingga secara relatif
lebih mampu memuaskan needs, wants dan
expectations konsumen dibandingkan dengan
para pesaingnya (Ahmet et al., 2005). Di samping
itu, pemasar juga dituntut untuk selalu mencari
berbagai cara baru dalam berkomunikasi dengan
konsumennya memanfaatkan kehadiran new media
yang bertujuan untuk menciptakan hubungan
jangka panjang yang saling menguntungkan
berdasarkan prinsip two way communication
(symetric) dan personalized (Duncan, 2002; Irawan,
2008). Berangkat dari fakta tersebut, tidaklah
mengherankan jika perusahaan-perusahaan
besar dalam kategori CPG, seperti P&G, Kraft
Food, Nestlé dan Unilever kemudian mengadopsi
berbagai konsep pemasaran baru (modern) yang
lebih personalized guna menyikapi perubahan
lingkungan bisnis, pergeseran perilaku konsumen
dan tantangan kompetisi di masa-masa mendatang
yang diakibatkan oleh munculnya “the new media.”
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dikatakan
bahwa artikel ini sebenarnya memiliki satu asumsi
dasar di mana perubahan teknologi media—
menjadi digital, interaktif, asynchronous, dialog, dan
personal (Estaswara, 2008; Straubhaar & LaRose,
2006)—sebagai medium interaksi, komunikasi
dan penyebaran informasi terkait dengan aktivitas
perusahaan dalam upaya meningkatkan profit
memiliki peran krusial dalam perkembangan teori
dan konsep pemasaran. Di sisi lain, perkembangan
teknologi media dengan berbagai macam
dinamikanya telah menjadi dasar perkembangan
ilmu komunikasi. Memahami berbagi gagasan
tersebut, tulisan ini bertujuan untuk melihat
sejauhmana linearitas pergeseran pemikiran
marketing dan komunikasi itu sendiri berdasarkan
perkembangan teknologi media.
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
TINJAUAN PUSTAKA
Peradaban dan Teknologi Media Komunikasi
Kerangka pemikiran dalam artikel ini didasarkan
pada gagasan Alvin Toffler tentang perubahan
peradaban manusia terkenal dengan sebutan The
Third Wave (1980). Gagasan Toffler ini kemudian
dikaitkan dengan ide-ide mengenai perkembangan
teknologi media dan pengaruhnya terhadap
masyarakat yang dikembangkan oleh Straubhaar
& LaRose (2006) serta merujuk pada penjelasan
Estaswara (2008).
Seiring dengan adanya perubahan pasar pada
tahun 1970-an, Alfin Toffler, sang futurist muncul
dengan gagasannya tentang demasifikasi. Ide ini
menyerang paradigma dominan yang berkembang
pada waktu itu, mass marketing (The Future Shock,
1970). Selaras dengan pandangan Trout dan Rise
(2002), dalam bukunya yang berjudul The Third
Wave (1980), Alfin Toffler kemudian membagi
peradaban manusia ke dalam tiga bagian. Berbasis
pada pemahaman tersebut, dalam artikel ini
kemudian dibangun ide-ide tentang pembagian
peradaban manusia dengan menggunakan
perkembangan teknologi media sebagai pijakan
utama dalam berpikir (Estaswara, 2008; Straubhaar
& LaRose, 2006). Dengan kata lain, perubahan
peradaban manusia yang telah diungkapkan oleh
Toffler akan dikaitkan dengan perkembangan
teknologi media dan perubahan masyarakat,
termasuk juga didalamnya bagaimana pemasaran
dan bisnis dikelola serta perkembangan komunikasi
itu sendiri sebagai sebuah ilmu.
Pada awalnya, manusia hidup secara nomaden
atau berpindah-pindah memanfaatkan alam (baik
binatang buruan maupun buah-buahan) sebagai
sumber makanan tanpa memiliki pengetahuan
dan teknologi untuk mengelolanya. Masyarakat
nomaden ini sering dikenal sebagai masyarakat
berburu dan meramu. Perkembangan selanjutnya,
manusia akhirnya menetap, memiliki rumah, dan
tidak lagi berpindah-pindah setelah ditemukannya
teknologi pertanian. Perubahan dari masyarakat
nomaden menjadi masyarakat bercocok tanam
dan berternak ini telah menandai munculnya
peradaban kehidupan baru. Sistem ini berjalan
lama sampai muncul revolusi pertanian (agriculture
revolution), yang menandai perubahan peradaban
menuju masyarakat pertanian. Pada masa ini
sektor bisnis utama tentu saja adalah pertanian.
Tanah (yang subur) dan tenaga kerja kasar (budak)
menjadi sumber ekonomi yang paling penting.
Sedangkan tipe komunikasi yang dijalankan pada
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 63
waktu itu masih bersifat oral communication. Hal
ini mengingat bahwa teknologi komunikasi yang
dominan saat itu hanyalah mulut atau face-to-face
communication. Tentu saja, dalam komunikasi
model ini jarak menjadi kendala utama, apalagi
alat transportasi utama pada waktu itu hanyalah
memanfaatkan tenaga kuda, di samping jalan kaki.
Kondisi ini semua membuat basis sistem sosialekonominya berpusat pada keluarga. Demikian juga
dengan sistem organisasi yang berkembang masih
bersifat personal (Estaswara 2008, Straubhaar &
LaRose, 2006).
Sistem pertanian mulai berubah sejak
ditemukan mesin uap oleh James Watt sekitar
350 tahun lalu. Tidak hanya itu, pada masa ini
juga banyak penemuan-penemuan teknologi
lainnya, termasuk teknologi cetak (movable
type) yang menandai awal mula perkembangan
print mass media—diawali dari Gutenberg Bible.
Namun, puncak perubahan sosial terjadi pada saat
Revolusi Industri (industrial revolution). Peristiwa
ini menandai perubahan peradaban manusia
menuju industrialisasi. Gelombang perubahan
kedua (second wave) ini mengantarkan pada era
masyarakat industri. Pada abad ini, sektor bisnis
utama adalah industrialisasi (pabrik). Ide-ide
pemasaran yang dikembangkan pun lebih ditujukan
untuk menjual komoditas hasil industri. Ide-ide
ini berlangsung melintasi perspektif Classical,
Neoclassical sampai Formative Marketing (Lusch
& Vargo, 2004). Fokus utamanya adalah penjualan
barang (goods focused). Pada waktu itu modal
kapital menjadi sumber daya ekonomi yang
utama. Sedangkan tipe komunikasi yang dijalankan
sudah berkembang menjadi mass communication
sejak ditemukannya mesin cetak. Penemuan
ini akhirnya melahirkan buku dan majalah yang
kemudian menandai dimulainya era publisitas.
Perkembangannya kemudian lahir radio dan televisi
di abad 20. Kondisi ini berpengaruh pada basis
sistem sosial-ekonomi menuju pada kesepakatan
massa (uniformity) yang ditentukan melalui agenda
publik—yang umumnya berangkat dari agenda
media. Mengingat sektor ekonomi utamanya adalah
industri, maka sistem organisasinya pun bersifat
mechanic(Estaswara 2008, Straubhaar & LaRose,
2006).
Munculnya Revolusi Industri sekitar abad ke-18
(1750-1850) bagaimana pun juga telah melahirkan
era baru di bidang produksi barang, pemasaran
dan periklanan. Pada masa itu banyak bermunculan
produsen yang membuat barang secara massal
(mass production) dengan sistem manufacturing
atau pabrikan. Mengingat pasar lokal sudah jenuh
dibanjiri oleh produk, maka muncul kebutuhan atas
saluran distribusi yang luas, yang bersifat lintas
geografi (mass distribution). Tidak mengherankan
jika kemudian banyak dibangun rel kereta api,
pelabuhan, bahkan kanal-kanal pelayaran sebagai
jalur ekspansi distribusi barang. Dengan adanya
mass production, produsen juga harus menciptakan
mass consumption supaya produknya diserap oleh
pasar. Maka, tak dapat dipungkiri lagi jika kemudian
peran mass media sebagai channel komunikasi
pemasaran menjadi sangat penting, di mana
pesan-pesan informatif dan persuasif melalui mass
communication dan mass advertising banyak dibuat
dengan tujuan menciptakan permintaan produk
secara massal (Egan, 2007).
Pada masyarakat industri, energi bersumber
pada batu bara, minyak, dan gas. Berbagai kegiatan
eksplorasi kekayaan alam dan cadangan energi
bumi banyak dilakukan dan menjadi sumber
perkembangan ekonomi. Era Industrialisasi juga
melahirkan berbagai mesin elektronik. Kotakota dengan pabrik-pabrik yang besar banyak
bermunculan. Dari pusat-pusat industri ini,
kemudian mengalirkan berjuta-juta produk seperti
kemeja, sepatu, arloji, mainan, sabun, shampo,
kamera, sampai senjata. Tidak mengherankan jika
saat ini di Amerika Utara, 250 juta masyarakatnya
hidup dalam dunia industrialisasi. Di Eropa Barat,
dari Skandinavia Selatan membentang sampai
Italia, 250 juta masyarakatnya juga hidup dari
sektor industri. Di Eropa Timur dan bekas Uni
Soviet bagian barat, 250 juta rakyat hidup sebagai
masyarakat industri. Sedangkan daerah industri di
Asia, seperti Jepang, Hongkong, Singapura, Taiwan,
Australia, Selandia Baru dan Korea Selatan serta
sebagian daratan Cina, juga terdapat sekitar 250
juta masyarakat yang menggerakan sektor industri.
Secara keseluruhan dalam peradaban industri
paling tidak melibatkan satu milyar manusia atau
sekitar 20% penduduk dunia saat ini (Estaswara
2008).
Lahirnya era industrialisasi, bagaimanapun
juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
teknologi media dan ilmu komunikasi. Cikal bakal
komunikasi sebagai disiplin keilmuan diawali dari
berkembanganya retorika pada abad ke-5 SM.
Namun, pamor retorika pada masa-masa awal
abad Masehi menyurut sampai dipublikasikannya
Gutenberg Bible pada tahun 1455. Publikasi ini
akhirnya menandai dimulainya era komunikasi
massa yang berbasis tulisan. Perkembangannya
kemudian, buku untuk pertama kali di cetak di
64 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
Amerika Serikat pada tahun 1641. Lalu, pada
tahun 1731, lahir majalah pertama di Inggris,
Gentlement’s Magazine (Straubhaar & LaRose,
2006). Retorika yang sebelumnya hanya meliputi
komunikasi suara melalui teknik pidato atau dialog
telah bergeser ke arah tulisan. Implikasi lahirnya
mesin cetak dan publikasi adalah literacy. Apa
artinya? Masyarakat menjadi pandai membaca
dan memahami berbagai informasi. Agenda
media massa telah menjadi agenda publik
yang melahirkan “pengetahuan massa.” Maka,
tidaklah mengherankan jika ilmu pengetahuan
dan industrialisasi pun berkembang pesat sampai
akhirnya muncul Revolusi Industri.
Retorika pada dasarnya bukanlah sekadar
ilmu berbicara namun termasuk juga tulisan.
Pemahaman ini akhirnya melahirkan ilmu publisitas
yang berkembang pada awal abad ke-20. Seiring
dengan munculnya teknologi radio (1896) dan
televisi (1925), pengertian publisitas meluas tidak
hanya terkait dengan media cetak, namun juga
siaran radio dan televisi. Akhirnya, ilmu publisitas
berkembang menjadi apa yang sekarang dikenal
dengan komunikasi massa. Masa-masa selanjutnya,
perkembangan mass media tidak hanya didominasi
oleh print media saja. Faktanya, pada tahun 1920
radio sudah mengudara dan dapat didengarkan
oleh khalayak luas. Pada tahun 1926 lahir
commercial radio yang pertama di AS (Straubhaar &
La Rose, 2006). Tak lama setelah itu muncul televisi
dan pada tahun 1947 untuk pertama kalinya iklan
televisi ditayangkan di AS dalam format hitam-putih
dengan gambar tidak bergerak (freeze television).
Lalu, pada tahun 1953 TV berwarna dikenalkan. Dua
tahun kemudian, tahun 1955, iklan TV pertama di
Inggris muncul (Straubhaar & La Rose, 2006; Egan,
2007).
Perkembangannya kemudian, televisi komersial
mulai mendapatkan saingan baru dengan
munculnya cable TV. Cable TV yang pertama di AS
sebenarnya sudah lahir pada tahun 1948, namun
saat itu siarannya masih terbatas hanya di daerah
Oregon dan Pennsylvania saja. FCC (Federal
Communications Commission) masih melarang
penyebaran cable TV. Keadaan mulai berubah pasca
tahun 1972. Peraturan tentang pembatasan wilayah
siaran cable TV kemudian direvisi. Akibatnya,
pada dekade 80-an di AS telah di banjiri TV kabel
(Straubhaar & LaRose, 2006). Lahirnya radio dan
televisi bagaimana pun juga menandai era mass
communication. Perkembangannya kemudian,
pada dekade 1940-an, lahirlah komunikasi sebagai
ilmu seiring dengan dikenalkannya definisi ilmu
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
komunikasi yang dirumuskan Hovland (Barelson
& Janowitz, 1953). Menurutnya, ilmu komunikasi
dikatakan sebagai sebuah usaha yang sistematis
untuk memformulasikan secara tepat atas
prinsip-prinsip penyebarluasan informasi serta
pembentukan opini dan sikap.
Era mass communication melahirkan apa
yang dikenal dengan mass marketing. Sifat
dari komunikasi ini masih satu arah (one-way
communication). Bagaimana pun juga era ini
bertahan sampai akhir 70-an. Walaupun dekade
50-an pemikiran pemasaran sudah berfokus
konsumen, namun pasarnya masih umum (mass
market). Pergeseran mulai terjadi dengan lahirnya
paradigma Marketing as Social and Economic
Process. Jika kita bicara realitasnya, apakah
hari ini sudah tidak ada lagi perusahaan yang
menjalankan mass marketing? Fokus uraian ini
adalah perkembangan pemikiran pemasaran, bukan
prakteknya. Fakta menunjukkan bahwa sampai hari
ini masih banyak perusahaan menggunakan mass
marketing dalam memasarkan produknya, termasuk
perusahan-perusahaan di Indonesia (Estaswara
2008).
Selanjutnya, dengan ditemukannya digital
technology dan Internet yang disebut sebagai
revolusi informasi (information revolution), akhirnya
menggeser tatanan industrial. Perkembangan
teknologi ini menandai perubahan peradaban
menuju masyarakat informasi. Pada gelombang
perubahan ketiga ini, sektor utama kehidupan
adalah informasi. Konsekuensinya, modal
intelektual atau pengetahuan dan skill (operant
resources) menjadi sumber daya ekonomi yang
utama. Dengan ditemukannya digitalisasi media
dan internet, tipe komunikasi yang dijalankan telah
berkembang menjadi technological communication.
Kondisi ini berpengaruh pada basis sistem sosialekonomi menuju kesepakatan massa namun
bersifat segmented dan ansynchronistic—dunia
tanpa batas wilayah dan waktu. Pada masa ini dapat
disebut juga sebagai era komunikasi dua arah (twoway communication) atau era media interaktif. Ideide pemasaran akhirnya bergeser dari produk ke
konsumen (consumer focused). Seperti dikatakan
oleh Kitchen dan Schultz (1999), digitalisasi,
teknologi informasi, intellectual property, dan
sistem komunikasi merupakan satu-kesatuan utama
yang mendorong perubahan konsep komunikasi
pemasaran (Estaswara 2008).
Di sa m pi n g i t u , m e ng i n g at p e n t i ng n y a
pengolahan informasi, maka sistem organisasi
yang berkembang bersifat organic. Lahirlah
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 65
kemudian konsep learning organization dalam
pengelolaan perusahaan. Organisasi pada abad
ke-21 ini disebut dengan “organisasi pembelajar”.
Drucker (1997) menggambarkan organisasi seperti
ini dengan mengatakan sebagai sebuah organisasi
yang berbasis pengetahuan di mana sebagian
besar pekerjanya terdiri atas para spesialis yang
mengarahkan dan mendisiplinkan kinerja mereka
sendiri melalui pengelolaan umpan balik dari
para kolega, customer maupun kantor pusat.
Sehingga, bisnis akan menjadi apa yang disebutnya
dengan organisasi yang berbasis informasi. Sebuah
cerminan organisasi masa depan dalam era
informasi (Estaswara 2008).
Dalam masyarakat informasi, digital technology
dengan kemampuan lintas medianya (multimedia)
dan internet yang berkemampuan lintas batas,
telah mengubah wajah peradaban dunia menjadi
kompleks. Pada awal tahun 1970-an, faktanya
masih belum ditemukan satu pun website, namun
pada akhir abad ke-20, tercatat ada sekitar 4,7 juta
website. Di Indonesia sendiri, intenet sudah masuk
pada tahun 1984 dan sepuluh tahun kemudian
lahir provider Internet komersial yang pertama,
IndoNet. Di lain pihak, perkembanagn teknologi
juga terjadi di Indonesia. Sampai akhir 1990an hanya terdapat satu televisi, TVRI. Sekarang,
televisi nasional sudah mencapai 11 stasiun dan
lebih dari 100 stasiun televisi daerah. Jumlah ini
belum terhitung dengan Cable TV. Demikian juga
dengan jumlah stasiun radio di Indonesia, yang
saat ini sudah mencapai lebih dari 700 buah, belum
termasuk radio komunitas. Pasca kebebasan pers
pada tahun 1999, jumlah majalah, koran, judul
buku, stasiun televisi, stasiun radio, serta jumlah
website sampai judul film dan lagu di meningkat
pesat. Ini baru di Indonesia, sebagai representasi
dari developing country yang dalam perkembangan
teknologi informasi, tidak semaju negara-negara
Barat (Estaswara 2008).
New Media dan Perilaku Konsumen
Terkait dengan media baru, dunia pemasaran hari
ini bagaimana pun juga harus beradaptasi dengan
karakteristik konsumen di era informasi, terutama
sekali karakteristik pola media usage dan media
habit-nya. Dengan adanya media baru, konsumen
menjadi lebih superior dalam menentukan kapan
(when), di mana (where), dan bagaimana (how)
mereka menggunakan media. Beberapa pemikir
pemasaran menyebut fenomena ini sebagai
“the age of the consumer” atau era konsumen.
Konsumen hari ini dan di masa-masa mendatang
memegang penuh kontrol atas media pemasaran
dan tidak memberikan toleransi lagi terhadap
pesan-pesan pemasaran yang membuatnya tidak
suka (Magnani, 2004).
Efektivitas pemasaran tidak lagi ditentukan
oleh kemampuan dalam menjangkau khalayak luas
melalui media massa. Dewasa ini, khalayak sangat
terfragmentasi atas berbagai keinginan individu
(personal interest). Fragmentasi diperkuat dengan
lahirnya media baru (new media), seperti Internet,
e-mail, video gaming, in-store kiosk, dan sebagainya
(Kim, Han & Schultz, 2004; Kitchen & Li, 2004). Di
samping itu, perusahaan yang telah menjalankan
one-to-one marketing perlu untuk lebih mengetahui
secara mendalam tentang karakteristik personal
konsumennya, tidak sekedar hanya memikirkan
bagaimana menciptakan kreativitas pesan (insideout), tanpa adanya basis atas pemahaman tentang
perilaku komunikasi target khalayaknya (outside-in).
Sebelum dekade 1990-an, kenyataannya mudah
bagi semua perusahaan untuk menjangkau target
audience tertentu (niche audience) melalui media
massa atau paling tidak medium yang semimassa, seperti direct mail atau email. Seiring
berkembangnya Internet dan berbagai media
teknologi komunikasi yang dapat diakses dari
mana pun secara personal, membuat konsumen
jauh lebih memiliki kekuasaan untuk menghindari
berbagai pesan pemasaran (Magnani, 2004:18). Di
sisi lain, konsumen juga jauh lebih memiliki akses
terhadap informasi. Melalui internet, konsumen
dengan mudah mendapatkan berbagai informasi
yang digunakannya untuk membandingkan harga
maupun kualitas suatu produk. Dengan informasi
yang dimilikinya tersebut, konsumen kemudian
melakukan tawar-menawar dengan perusahaan.
Pemasar di era new media menghadapi konsumen
yang sangat kritis karena mereka berbekal banyak
informasi yang akurat tentang kelebihan dan
kelemahan produk di banding dengan produk
lainnya. Di samping itu, konsumen bisa melakukan
pembelian secara online. Mereka dapat membeli
suatu produk dari mana pun dan kapan pun juga.
Faktanya, tidak ada media dalam sejarah kehidupan
manusia yang memberikan kepada konsumen
kebebasan dan kekuasaan penuh seperti yang
diberikan oleh media hari ini (Estaswara 2008).
Kondisi ini akhirnya membuat iklan TV
(television commercial) dan media tradisional
lainnya bukan lagi menjadi pilihan utama bagi
konsumen, minimal di banding masa lalu.
Konsumen hari ini dan di masa-masa mendatang
cenderung akan menggunakan media komunikasi
yang disukainya. Bahkan, Joseph Jaffe dari
66 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
iMediaConnection pernah menggambarkan
fenomena perilaku konsumen dalam menggunakan
media di era komunikasi dengan “prime time
becoming my time” (Miloski, 2005:18).
New Media dan Teknologi Jaringan
Bukti fragmentasi media menuju media baru dapat
ditelusuri dari perkembangan teknologi jaringan
yang berawal dari dikenalkannya generasi jaringan
1G (AMPS atau Advance Mobile Phone Service)
yang muncul sekitar 1990-an. Teknologi generasi
pertama ini mampu mengubah perilaku penguna
telepon. Walaupun teknologinya masih berbasis
analog, namun sudah cukup untuk mengubah
perilaku berkomunikasi, dari yang dulunya
menggunakan telepon tetap atau rumah (fixed
phone) menjadi mobile dengan menggunakan
handphone.
Perkembangan generasi selanjutnya, lahirlah
teknologi 2G (GSM atau Global System for Mobile
Communication) yang sudah mampu menghadirkan
fitur SMS dan MMS. Short Message Service (SMS)
adalah standar layanan komunikasi telepon
mobile yang berupa teks. SMS menggunakan
standar protokol komunikasi yang memungkinkan
pertukaran pesan teks singkat antar pengguna. SMS
merupakan salah satu cara berkomunikasi yang
bayak dilakukan oleh masyarakat Indonesia melalui
handphone. Adapun Multimedia Messaging Service
(MMS) adalah sebuah layanan pesan telepon
mobile yang memungkinkan pengguna untuk
mengirim pesan yang bersifat multimedia, seperti
gambar, audio, video, dan rich text. Kehadiran
GSM memiliki dampak yang jauh lebih besar
dalam mengubah cara berkomunikasi manusia.
Sejak dikenalkannya teknologi generasi kedua
ini, pertumbuhan jumlah pengguna handphone
meningkat pesat.
Selanjutnya, lahirnya generasi ketiga—sering
dikenal dengan 3G—semakin menambah kapasitas
kemampuan media baru (handphone, komputer)
dalam menampilkan audio-visual dan koneksi
Internet secara mobile. Saat ini, teknologi 3G sudah
diperkuat lagi dengan munculnya teknologi 3,5G
yang mampu mempercepat transfer data dengan
basis teknologi HSDPA (High-Speed Downlik Packet
Access). Teknologi ini mampu membuat internet
dapat diakses secara mobile dengan kecepatan
tinggi. Kehadiran 3G dan 3,5G membuat jargon
“the Age of I” atau “prime time becoming my
time” semakin menemukan realitasnya. Bahkan
perkembangan terkini, telah lahir generasi teknologi
terbaru, 4G yang berbasis pada teknologi Next
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
Generation Network(NGN).
Bagi dunia telekomunikasi, teknologi seluler
generasi keempat atau NGN banyak menarik
perhatian. Hal ini dikarenakan NGN menyediakan
jaringan terbuka yang mampu memberikan layanan
terintegrasi dengan akomodasi layanan berbasis
sirkuit switch dan paket switch. Layanan tersebut di
antaranya adalah mobile service dan fixed service,
baik untuk publik maupun untuk private. Jaringan
NGN juga menawarkan arsitektur terbuka, Service
Driven Network, dan Jaringan Package Based yang
seragam. NGN menawarkan akses tak terbatas bagi
user dari berbagai penyedia layanan yang berbeda.
NGN juga mendukung mobilitas secara menyeluruh
dengan memberikan layanan yang konsisten
dan tersedia di mana-mana bagi user (IT Telkom
Today,19 Mei 2009; Rachmana & Praditya, 2006).
Perkembangan teknologi di atas juga berjalan
seiring dengan kemajuan teknologi micro prossesor
yang menjadi hardware utama teknologi komputer
dan handphone di samping sofistikasi software.
Faktanya, dewasa ini perkembangan teknologi
smartphone—telepon seluler yang memiliki
kemampuan mengakses Internet dan multimedia—
berjalan selaras dengan kemajuan teknologi
jaringan data. Penjualan smartphone sendiri juga
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan,
saat ini banyak smartphone yang dijual dengan
harga murah untuk kalangan menengah ke bawah
(Inilah.com, 29/04/2010).
Dengan perkembangan teknologi komunikasi
yang sedemikian maju, akibatnya akan melahirkan
berbagai dampak terhadap konsumen terkait
dengan penggunaan media, mengakses informasi,
serta cara berkomunikasi dan berinteraksi.
Kenyataannya, dewasa ini banyak orang lebih suka
menghabiskan waktunya untuk mengakses Social
Network Sites (SNSs) melalui smartphone-nya.
Trend ini semakin memuncak dengan hadirnya
BlackBerry (BB)—yang di dalamnya terdapat aplikasi
YM dan FB serta secara otomatis melahirkan
komunitas-komunitas BB karena adanya aplikasi
BlackBerry Messenger (BBM). Menariknya lagi,
ternyata smartphone produksi RIM (Research in
Motion) ini laris terjual, dan bahkan menjadi trenddi
Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Importir
Seluler Indonesia (AISI), penjualan BB di Indonesia
sepanjang tahun 2009 sudah menembus angka
satu juta unit. Sedangkan untuk tahun 2010 ini,
RIM telah memasarkan 1,4 juta unit BB di Indonesia
(Ridwan, 2010).
Tantangan bagi semua perusahaan di era
komunikasi dewasa ini adalah kemampuan untuk
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 67
memahami target audience-nya secara personal
(intimate) sehingga dengan kreatif, terarah dan
tidak mengganggu mampu memadukan berbagai
pesan pemasaran dalam gaya hidup khalayaknya.
Ke depan, sekali sebuah perusahaan dengan
pesan pemasarannya mengganggu aktivitas media
yang dilakukan khalayaknya, maka mereka tidak
akan pernah lagi menggunakan media tersebut.
Dengan cara memahami konsumen yang kemudian
dipadukan dengan strategi integrasi multi-channel,
perusahaan akan lebih mampu untuk menjangkau
khalayaknya dengan cara yang jauh lebih tepat
dari apa yang dapat dilakukan di masa-masa
sebelumnya.
METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
kepustakaan (library research) yang merupakan
penelitian dengan sumber data kepustakaan
yang relevan dengan tujuan penelitian ini, yaitu
menjelaskan linearitas pergeseran pemikiran
marketingdan komunikasi berdasarkan
perkembangan teknologi media. Penelitian seperti
ini umumnya digunakan untuk menganalisis,
mengkritisi dan menelaborasi ilmu pengetahuan
dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah
berpikir ilmiah guna memberikan kontribusi
secara akademik. Tujuannya untuk mencari dan
merumuskan teori, konsep-konsep, prinsip-prinsip,
asumsi-asumsi, pola-pola, dasar-dasar, sampai dalildalil yang sesuai dengan tujuan penelitian (Ridley,
2008).
Sedangkan metode penelitian yang digunakan
berjenis kualitatif dengan sifat deskriptif dengan
cara menganalisis data literatur, diberikan makna
dan dielaborasi sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Data dalam penelitian ini adalah
data sekunder yang diperoleh dari berbagai hasil
penelitian, pemikiran teoretis dan data lainnya
yang relevan, baik secara pemikiran maupun yang
bersifat empiris dan praktis. Dalam pemilihan
sumber data, tetap didasarkan pada prinsip-prinsip
objektivitas, dapat dibuktikan, derajad keyakinan,
dan nilai kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dari
sumber yang digunakan sebagai data penelitian.
Terakhir, metode analisis data menggunakan
annotated bibliographyatau analisis yang dilakukan
dengan cara memahami sumber-sumber pemikiran
dan empiris (hasil penelitian ilmih dan praktis) yang
digunakan untuk merumuskan teori serta konsep-
konsep yang relevan guna menjawab pertanyaaan
penelitian (Cooper, 1988; Randolph, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan yang terjadi di lingkungan pemasaran
akibat perkembangan teknologi media bagaimana
pun juga melahirkan berbagai dampak yang perlu
untuk dipikirkan ulang. Salah satunya adalah
pentingnya peran komunikasi dalam keseluruhan
strategi dan proses pemasaran. Pemasaran dewasa
ini tidak lagi dapat mengandalkan komunikasi hanya
melalui media massa. Pendekatan pemasaran
massa telah digantikan personalized marketing
dengan lahirnya media baru.
Dilihat secara umum, perkembangan
pendekatan pemasaran sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan teori komunikasi
massa. Lahirnya radio dan televisi (1890-1925)
bagaimanapun juga telah menandai lahirnya era
mass communication. Perkembangan selanjutnya,
pada tahun 1940-an, lahirlah komunikasi sebagai
ilmu seiring dengan dikenalkannya definisi ilmu
komunikasi oleh Hovland (Estaswara, 2008).
Kemudian, era mass communication melahirkan
mass marketing. Sifat dari komunikasi ini masih
satu arah (one-way communication). Era ini
bertahan sampai akhir dekade 50-an, baik dalam
perkembangan teori komunikasi massa maupun
pemasaran. Hal ini mengingat juga bahwa pada
dekade 50-an pemikiran pemasaran mulai
berfokus pada konsumendengan lahirnya banyak
penelitian di bidang perilaku konsumen seiring
berkembangnya aliran psikologi kognitif yang
menempatkan manusia bukan lagi hanya sebagai
objek dari lingkungan (komunikasi). Walaupun
demikian, pandangan pemasaran terhadap
pasarmasih bersifat umum (Estaswara, 2008).
Di sisi lain, faktanya, pasca penolakan kaum
intelektual atas bullet theory atau S-R theory
yang merepresentasikan pengaruh media massa
yang sangat powerful seiring dengan berbagai
publikasi hasil penelitian yang dilakukan oleh
Lazarfield (1940), Hovland (1942-1945), Cooper
dan Jahoda (1948), Festinger (1950-an), dan
Klapper (1960), pada akhir dekade 60-an atau
awal tahun 70-an, konsep media massa yang
powerful kembali mengemuka (Rakhmat, 2000).
Konsepsi tentang media massa yang powerful ini
kembali diperkuat oleh Noelle-Neumann dengan
melahirkan teori yang disebutnya dengan “die
Schweigespirale” atau dikenal dengan nama lain
sebagai teori spiral of silence (lingkaran kebisuan).
68 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
Di samping itu, ada juga Katz, Blumer dan Gurevitz
(1959) yang pertama kali mengungkapkan uses
and gratification, kemudian McLuhan (1963)
melalui teori determinisme media-nya (ekologi
media), serta McComb dan Shaw (1972) yang
mengenalkan agenda setting—lahir sebagai kritik
atas hypodermic needle theory—yang juga kembali
mendudukan pemahaman tentang keperkasaan
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
media massa walaupun pada tingkatan yang
moderat dan dengan fokus yang digeser kepada
receiver (Rakhmat, 2000). Pada titik ini, teori
komunikasi massa tidak dapat lagi dipandang
sebagai sebuah model yang bersifat linier, namun
sudah bergeser ke arah two-way communication,
paling tidak yang bersifat asimetris.
Berdasarkan urain di atas, jelas terlihat bahwa
Tabel 1: Hubungan antara Perkembangan Pemikiran
Komunikasi (Massa) dan Pemasaran
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber (Vargo & Lusch, 2004:3; Estaswara, 2008:195; Rakhmat,
2000:199; West & Turner, 2008:100-113,139-153).
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 69
perkembangan pemikiran pemasaran berhubungan
dengan perkembangan teori komunikasi massa
yang diperkuat dengan lahirnya aliran pemikiran
psikologi kognitif. Sebelum dekade 50-an, gagasan
pemasaran yang berkembang adalah pemasaran
massa atau sering disebut juga dengan era productcentric. Pemikiran komunikasi massa pun sebelum
dekade yang sama juga berbasis pada prinsip oneway communication yang menganggap media
massa sangat powerful. Lahirnya pendekatan ini
juga dipengaruhi oleh dominasi pemikiran psikologi
behaviorism yang berkembang saat itu. Artinya,
bagaimanapun juga paham pemasaran di era
product centric masih mengandalkan prinsip-prinsip
komunikasi satu arah melalui media massa.
Seperti terlihat pada tabel di atas,
perkembangan teori komunikasi massa kemudian
mengalami pergeseran, dari media-centric—
yang dapat dikatakan juga mewakili prinsip
product-centric dalam perspektif pemasaran—
menjadi receiver-centric yang merepresentasikan
consumer-centric selama dekade tahun 1940-1960.
Konsepsi tentang media-centric dalam konteks
ini juga diartikan sebagai sender-centric. Pada
dekade ini, teori-teori komunikasi mengkritisi
dampak media massa yang powerful. Teori
masyarakat massa (mass society theory) dan jarum
hipodermik (hypodermic needle theory) kemudian
dipertanyakan seiring dengan berkembangnya teori
tentang pengaruh terbatas (limited effect) yang
membatasi dampak media dengan menempatkan
khalayak sebagai sentral kajian. Teori ini
menerangkan bahwa khalayak bukanlah korban tak
berdaya dari media (West & Turner, 2008).
Di sisi lain, paradigma pemasaran juga berubah
fokus dari produk menuju ke pasar atau konsumen.
Lahirlah kemudian apa yang disebut sebagai aliran
marketing management yang menyatakan bahwa
pemasaran harus berprinsip pada customer focused
di mana nilai (value) tidak ditentukan oleh produk,
tetapi pertukaran akan terjadi jika value ditentukan
oleh pasar atau konsumen (Vargo & Lusch, 2004;
Estaswara, 2008). Berangkat dari penjelasan ini
terlihat bahwa pemikiran dalam disiplin pemasaran
telah bergeser ke arah konsumen selaras dengan
pergeseran teori-teori komunikasi massa yang
berubah fokus ke arah receiver. Prinsip-prinsip
pemasaran yang kemudian diadopsi sebagai prinsip
komunikasi pemasaran juga bergeser dari productvalue-added oriented menjadi SegmentationTargeting-Positioning (STP) dengan penekanan
tidak sekadar pada masalah produk, namun
telah dikembangkan ke arah harga, distribusi
dan promosi atau sering dikenal dengan 4P’s
(Estaswara, 2008).
Perkembangan selanjutnya, lahir teori-teori
komunikasi massa yang lebih menekankan pada
aspek perbedaan khalayak alih-alih media—
selain McLuhan yang masih tetap berfokus pada
aspek media dan peran pasif khalayak dengan
mengembangkan pemikiran awal dari Harold
Adam Innis (1951), seorang tokoh ekonomi politik
berkebangsaan Kanada (West & Turner, 2008).
Fokus kajian komunikasi massa bergeser pada
perbedaan khalayak yang berkembang pada era ini
teridentifikasi juga selaras dengan perkembangan
ide-ide dalam disiplin pemasaran yang meletakkan
konsumen sebagai sentral kajian. Menyikapi
pergeseran pemikiran ini, prinsip-prinsip pemasaran
kemudian berubah fokus dari 4P’s menjadi 4C’s,
Consumer needs & wants, Consumer’s cost,
Convinience to buy dan Communication (Estaswara,
2008).
Dewasa ini, seiring dengan fenomena internet
sebagai akibat kemajuan di bidang teknologi
media, perkembangan teori komunikasi bergeser
kembali ke arah media (baru). Namun dapat
dikatakan berbeda dengan konsepsi media pada
masa-masa awal perkembangan teori komunikasi
massa. Pada era ini, media—new media—memang
menjadi fokus utama, namun tidak meninggalkan
prinsip perbedaan khalayak (receiver aspect)
dalam merespon media. Teori-teori seperti
uses and gratification masih relevan dengan
perkembangan kenyataan sosial hari ini walau lahir
pada masa-masa awal receiver-centric. Faktanya,
khalayak dapat memilih media yang sesuai dengan
kebutuhan dan harapannya, termasuk pilihannya
atas berbagai jenis media baru. Di samping itu,
lahir pula konsep CMC (Computer-Mediated
Communication) yang menurut Lengel (Eadie, 2009)
menjadi sangat penting perannya di era new media
seiring dengan maraknya fenomena komunikasi
melalui YM, FB sampai Tweeter.
Terkait dengan teori technological determinism
(dikenal pula dengan sebutan determinisme
media atau ekologi media oleh para pemikir
komunikasi)yang diangkat oleh McLuhan—terlepas
dari pro-kontra seputar bangunan teoretisnya—
bagaimanapun juga saat ini media baru telah
membentuk kebudayaan manusia, khususnya
dalam cara berkomunikasi. Menurutnya, era
internet dewasa ini tidak lebih dari era tribal di
70 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
mana bentuk komunikasi yang berkembang tidak
ubahnya komunikasi tatap muka, perbedaannya
adalah saat ini komputer menjadi medianya atau
sering dikenal juga dengan konsep the media is
the extension of men. Artinya, komputer (new
media) merupakan kepanjangan dari sistem syaraf
pusat manusia (West & Turner, 2008) sebagai
“homo communis.” Dengan mengartikan pemikiran
McLuhan seperti di atas, maka dapat dikatakan
juga bahwa teori technological determinism secara
umum memiliki keselarasan pemahaman dengan
konstruk yang terbangun dalam CMC dan juga
uses and gratification terkait dengan kebebasan
khalayak untuk memilih media baru sebagai media
yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan
harapannya.
Perkembagan teori komunikasi massa yang
kembali berfokus pada objek kajian media juga
teridentifikasi selaras dengan perkembangan
pemikiran pemasaran. Media baru telah menjadi
sentral pemikiran pemasaran dalam upayanya
untuk selalu menjaga keberlangsungan komunikasi
dengan pelanggan sebagai representasi dari
bangunan hubungan yang saling menguntungkan
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
dalam jangka panjang. Seperti telah diungkapkan
di bagian muka, konsep (dan jargon) pemasaran
yang berkembang di era teknologi komunikasi
ini telah memfokuskan diri pada media baru,
termasuk konsepsi terkini yang diungkapkan oleh
Kotler et al. (2010) tentang pemasaran dengan
menyebutnya sebagai dekade Marketing 3.0. Sekali
lagi, ide-ide utama pemasaran modern ini selaras
dengan perkembangan teori komunikasi massa
kontemporer—sama-sama memandang new media
sebagai sentral kajian.
Pergeseran fokus kajian pemasaran dan komunikasi
massa akibat dari perkembangan teknologi media,
juga mengubah basis pemikiran komunikasi
pemasaran dengan berkembangnya konsep IMC
(Integrated Marketing Communications). Melalui
pendekatan IMC, prinsip 4Cs kemudian direvisi
oleh Schultz (2000) menjadi 5R’s, Responsiveness,
Relevant, Receptivity, Recognition, dan Relationship.
Gagasan dasar dibalik 5R’s sebenarnya berbasis
pada fenomena interaktif media. Konsepsi tentang
pesan dalam komunikasi pemasaran tidak lagi
relevan jika menganut model komunikasi linear
yang dikenalkan pertama kali oleh Lasswell
Tabel 2: Hubungan antara Perkembangan Prinsip Komunikasi
(Massa) dan Pemasaran
Sumber: Teorisasi Penulis
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 71
pada tahun 1948. Pemahaman atas media di era
informasi harus menjadi dasar strategi pesan
(creative strategy) dalam berkomunikasi dengan
konsumen sebagai receiver. Model komunikasi yang
kemudian dikembangkannya tidak lagi “messagemedia-consumer,” namun berubah pola menjadi
“media-message-consumer” (Schultz, 2000:26-27).
Dengan demikian, keselasaran perkembangan
pemikiran pemasaran dan komunikasi massa dapat
dijelaskan berdasarkan tabel di bawah. Secara
umum, prinsip-prinsip pemikiran pemasaran yang
berkembang sebelum tahun 50-an sampai hari ini
dapat dikelompokkan menjadi tiga prinsip utama,
yaitu product-centric, consumer-centric dan mediacentric. Pertama, Product-centric atau pemikiran
yang berfokus pada kualitas produk, di mana
prinsip product value-added menjadi determinan
ide. Kedua, “consumer-centric” atau pemahaman
bahwa konsumen harus menjadi pusat perhatian,
sudah memfokuskan pada prinsip penciptaan
kepuasan pelanggan sebagai ide utamanya. Ketiga,
“media-centric” atau media komunikasi menjadi
sentral dalam kegiatan pemasaran, di mana prinsipprinsip pemanfaatan media baru digunakan untuk
memperkuat kepuasan dan loyalitas pelanggan
menjadi persoalan krusial.
Prinsip-prinsip dalam pemasaran yang telah
dijabarkan tersebut teridentifikasi identik dengan
perkembangan prinsip-prinsip komunikasi massa.
Pertama, ketika pemikiran komunikasi massa masih
memegang teguh model one-way communication
(linear), di mana pesan yang dikomunikasikan
melalui media massa dapat mempengaruhi
khalayak secara maksimal (powerful), prinsip
pemasaran yang berkembang pada saat itu juga
mendasarkan pada product-oriented. Kedua, ketika
prinsip-prinsip komunikasi massa sudah bergeser ke
arah model two-way communication (asymetric),
di mana khalayak tidak lagi dipandang sematamata sebagai “korban” media massa, namun
dipahami sebagai manusia yang secara sadar dan
aktif berinteraksi dengan media, prinsip pemasaran
pun berkembang menjadi consumer-oriented,
di mana kepuasan konsumen menjadi sentral
kajian. Terakhir, seiring dengan perkembangan
teknologi komunikasi dengan lahirnya micro
prossessor sebagai dasar utama hardware dari
semua alat komunikasi berbasis komputer—
termasuk smartphone, model komunikasi yang
dibangun kemudian bergeser ke arah two-way
communications (symetric), di mana media baru
dianggap mengubah pola konsumsi media dan cara
berkomunikasi khalayak. Gagasan ini pun selaras
dengan perkembangan ide-ide dalam disiplin
pemasaran yang telah memberikan perhatian
serius pada media baru, khususnya efek media baru
terhadap upaya penciptaan kepuasan dan loyalitas
konsumen.
Tidak mengherankan jika kemudian pemikir
pemasaran mengaitkan pemahanan tentang
pemasaran modern di era teknologi media dengan
disiplin komunikasi. sebagaimana yang dikutip
Estaswara (2008), di antaranya adalah Martani
Huseini, profesor pemasaran internasional dari
Universitas Indonesiamengatakan bahwa:
“Perkembangan teknologi informasi yang sangat
pesat merupakan pendorong berkembangnya
disiplin dan konsep pemasaran. Perkembangan
konsep tersebut sekaligus menjadikan peran
komunikasi dalam aktivitas pemasaran pada
posisi yang lebih sentral dan strategis.”
Senada dengan pemikiran di atas, peran penting
komunikasi di bidang pemasaran juga diungkapkan
oleh Kotler (2001) dan Kitchen dan Eagle(2005)
dengan mengatakan bahwa:
"Modern marketing call for more than just
developing a good product, pricing it attractively,
and making it accessible. Companies must
also communicate with present and potential
stakeholders, and the general public. Every
company is inevitably cost into the role of
communi cat or and pr omot e r . F or m ost
companies, the question is not whether to
communicated but rather what to say, to whom,
and how often."
Lebih lanjut, peran penting komunikasi
dalam bidang pemasaran juga diungkapkan oleh
AMA (American Marketing Association) dalam
definisinya yang dikeluarkan pada tahun 2004. AMA
mendefinisikan pemasaran sebagai berikut (Bolton,
2005; Estaswara, 2008):
“Fungsi organisasi dan serangkaian proses
menciptakan, mengkomunikasikan dan
menyampaikan nilai bagi pelanggan, serta
mengelola relasi pelanggan sedemikian rupa
sehingga memberikan manfaat bagi organisasi
dan para stakeholder-nya.”
Memahami secara mendalam beberapa
72 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
definisi pemasaran tersebut, terlihat bahwa
terminologi “komunikasi” sudah digunakan secara
lugas untuk menjelaskan fenomena pemasaran
modern.
Linearitas Pergeseran Pemikiran Marketing dan Komunikasi
Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media
Ahmad Badari Burhan & Helpris Estaswara
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
Ph. (+62)85286229590 | E-mail: [email protected]
Ph. (+62)81310488088 | E-mail: [email protected]
Abstrak Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi telah mengubah pola konsumsi dan
juga cara berkomunikasi konsumen. Kondisi ini telah menyebabkan perubahan
dinamika lingkungan bisnis. Merespons perubahan tersebut, disiplin pemasaran
modern kemudian menggeser fokus kajiannya dari consumer-centric menjadi
media-centric dalam upayanya untuk mempertahankan kepuasan pelanggan
pada era media baru. Pergeseran ini membuat peran komunikasi menjadi sentral
dan strategis. Secara umum, perkembangan pemikiran pemasaran sendiri
sebenarnya selaras dengan perkembangan teori-teori komunikasi massa sejak
1940an. Namun, pada era teknologi komunikasi yang telah melahirkan media
baru, disiplin pemasaran membutuhkan peran disiplin ilmu komunikasi dalam
memahami karakteristik media baru dan dampaknya terhadap konsumen
serta bagaimana perilaku konsumen atas media baru ini. Studi ini bertujuan
untuk: Pertama, mengungkapkan berbagai keselarasan prinsip-prinsip dalam
disiplin komunikasi massa dengan pemasaran modern dalam konteks media
baru. Penjelasan dilakukan dengan memahami kesamaan dari keduanya yang
telah berkembang sebelum tahun 1950-an hingga saat ini. Kedua, menguraikan
kebutuhan keterlibatan komunikasi dalam pemikiran pemasaran modern tentang
implikasi dari media baru yang terkait dengan karakteristiknya, efek, kebiasaan
dan penggunaan, dan implementasinya pada upaya pemasaran kepada pelanggan.
Studi ini menunjukkan bahwa pemasaran dan komunikasi di era media baru pada
prinsipnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Kata Kunci: media baru, komunikasi massa, pemasaran modern.
Abstract Rapid development of communication technologies has created to what is
CoverAge:
Journal of Strategic
Communication
Vol. 3, No. 1, Hal. 68-74
September 2012
Fakultas Ilmu Komunikasi,
Universitas Pancasila
Accepted April 15, 2012
Approved July 10, 2012
known today as new media. It has changed the consumption patterns and how to
communicate with the customer. It also changes business environment become
more complicated. In respect to these changes, modern marketing discipline
then shift its focus from “consumer-centric” to “media-centric” and place
communication become more central and strategic. Principally, the development
of marketing thought is parallel to the development of mass communication
theories since 1940s. Moreover, since the emergence of new media technologies,
marketing discipline requires a high degree of involvement of communication in
understanding characteristics of new media and its impact on consumer media
habit and how to use it in order to maintain customer satisfaction and loyalty.
This study is aimed at; firstly, identifying similarity of development history of
basic ideas and main perspectives in mass communications and marketing
disciplines. Explanation is conducted by understanding the similarity of both that
has been developed before 1950s until today. Secondly, elaborating the needs
of communication involvement in modern marketing thought on implications
of new media associated with its characteristics, effects, habit and use, and its
implementation on marketing efforts to customer. The study shows that marketing
and communication in the era of new media, in principle, cannot be separated one
another.
Keywords: new media, mass communication, modern marketing.
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 61
PENDAHULUAN
Pada tahun 2004, salah seorang Chief
ExecutiveOfficer (CEO) Unilever pernah mengatakan
bahwa pendekatan pemasaran massa yang selama
ini membantu membesarkan perusahaannya
tidak lagi efektif. Pemasaran yang ditujukan pada
konsumen individu kemudian dijadikan sebagai
pusat dari strategi pemasaran Unilever sampai
sekarang. Beberapa perusahaan besar yang berada
di kategori consumer packaged goods (CPG) lainnya,
seperti Kraft Foods, Nestlé maupun Procter and
Gamble (P&G), juga menjalankanpendekatan
yang sama,di mana prinsip-prinsip atas direct-toconsumer (DTC) diimplementasikan dalam strategi
pemasarannya (Copulsky et al., 2004).
Senada dengan CEO Unilever tersebut, Jim
Stengel (Miloski, 2005:19)―mantan Global
Marketing Officer (GMO) dari P&G pada tahun yang
sama―juga pernah mengatakan bahwa, “kita masih
sangat bergantung pada taktik-taktik pemasaran
yang sudah tidak relevan dengan kenyataan
perilaku konsumen dewasa ini.” Secara umum,
Stengel mengungkapkan bahwa model pemasaran
tradisional sudah ketinggalan zaman. Model yang
relevan saat ini harus dibangun dalam konteks
new media di mana dengan pendekatan seperti
ini akan membuat P&G mampu berhubungan
dengan pelanggannya secara tepat. Perusahaan
CPG semacam P&G, sebelum tahun 2004 hanya
mengandalkan iklan TV untuk menjangkau
khalayaknya dan kurang melakukan pendekatan
one-to-one communication. Namun, sejak satu
dekade lalu sampai hari ini dan di masa-masa
mendatang, lebih menerapkan prinsip-prinsip DTC
alih-alih pendekatan pemasaran tradisional.
Apa yang telah dipahami oleh P&G di atas
membuktikan bahwa lingkungan bisnis telah
berubah. Perubahan ini disebabkan oleh pesatnya
perkembangan teknologi media (Magnani, 2004).
Perkembangan teknologi media yang pesat sejak
dekade 80-an sampai awal 90-an, faktanya telah
mengakibatkan lahirnya banyak media komunikasi
(pemasaran) baru, baik visual, audio (broadcast)
maupun media cetak alternatif (print media)
yang berbasis internet dan berteknologi digital
(Schroeder, 2004; Straubhaar & LaRose, 2006). Dari
televisi yang pada awalnya hanya bersifat one-way
medium telah bergeser menjadi two-way medium
di mana kontrol khalayak menjadi lebih besar
dari waktu sebelumnya (Estaswara, 2008; Tauder,
2005). Kehadiran internet dan berbagai media baru
lain yang berbasis micro processor dan bersifat
interaktif—termasuk Social Nerwork Sites (SNSs)—
telah memberi cara dan peluang baru dalam
berkomunikasi dan bahkan dalam memasarkan
produk (Kettler, 2002).
Berbagai fakta di atas akhirnya menandai
perubahan peradaban manusia, dari masyarakat
industri menjadi masyarakat informasi (Toffler,
1984), dari era globalisasi 2.0 menjadi era
globalisasi 3.0 (Friedman, 2005), yang akhirnya
mulai menggeser konsep pemasaran massa (mass
marketing) menjadi model pemasaran yang lebih
segmented dan personalized (Estaswara, 2008;
Schultz, 2000). Model pemasaran yang fokus
pada kebutuhan, keinginan dan harapan individu
konsumen alih-alih mempertahankan konsep
konsumen massa (mass consumer). Bahkan, Larry
Light—mantan CMO (Chief Marketing Officer)
McDonald—pernah mengatakan bahwa era
komunikasi adalah era “The Age of I” (Miloski,
2005:20; BusinessWeek, 12/07/2004).
Muncul kemudian pergeseran perspektif
dalam disiplin ilmu pemasaran, dari one-way
communication menjadi two-way communication,
dari pemasaran klasik menjadi pemasaran
kontemporer, dari “one-to-all” menjadi “one-tomany” (mass customization)―yang diperkenalkan
untuk pertama kali oleh Joseph B. Pine pada tahun
1993 (Pine, 2003)—atau “one-to-one”―yang
dikemukakan pertama kalinya oleh Don Peppers
dan Martha Rogers pada tahun 1993 (Peppers &
Rogers, 1993). Kemudian, menurut Kotler (2010),
pemasaran di era komunikasi hari ini juga harus
dipandang sebagai Marketing 3.0. Pemikiran
Marketing 3.0 tertuang dalam buku yang berjudul
“Marketing 3.0: From Products to Customers to the
Human Spirit,” yang diterbitkan pada tahun 2010
dan ditulis oleh Philip Kotler bersama Hermawan
Kartajaya dan Iwan Setiawan. Pemasaran generasi
ketiga yang dikenalkan oleh Kotler ini berkembang
dari “Marketing 1.0” yang mewakili “the productcentric era” dan “Marketing 2.0” yang mewakili
“the consumer-centric era” (Estaswara, 2008) dan
kemudian menjadi apa yang disebutnya sebagai
“Marketing 3.0” yang mewakili “the humancentric era.”Berbagai pemahaman di atas juga
menggambarkan perubahan dari kekuasaan yang
berada di tangan produsen (producer-centric)
bergeser menjadi kekuasaan konsumen (consumercentric), dari generalisasi konsumen menjadi
marjinalisasi konsumen, dari aliran marketing
management (1950-1980) menjadi aliran marketing
as social and economic process yang berkembang
sejak tahun 1980 (Lusch & Vargo, 2004).
62 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
Berbagai konsep (atau pun jargon-jargon)
pemasaran baru kemudian banyak bermunculan,
seperti one-to-one marketing, databased
marketing, relationship marketing, new
mediamarketing, marketing 3.0., viral marketing,
buzz marketing, new wave marketing, interactive
marketing, sampai integrated marketing dan
sebagainya (Misloski, 2005; Zahay, Schroeder,
2004; Schultz & Griffin, 2004; Corsten & Kumar,
2005; Phelps et. al., 2004). Inti dari semuanya,
di era teknologi komunikasi ini, para pemasar
dituntut harus mampu untuk membidik, mengenali
dan berhubungan dengan target audiencenya secara lebih fokus sehingga secara relatif
lebih mampu memuaskan needs, wants dan
expectations konsumen dibandingkan dengan
para pesaingnya (Ahmet et al., 2005). Di samping
itu, pemasar juga dituntut untuk selalu mencari
berbagai cara baru dalam berkomunikasi dengan
konsumennya memanfaatkan kehadiran new media
yang bertujuan untuk menciptakan hubungan
jangka panjang yang saling menguntungkan
berdasarkan prinsip two way communication
(symetric) dan personalized (Duncan, 2002; Irawan,
2008). Berangkat dari fakta tersebut, tidaklah
mengherankan jika perusahaan-perusahaan
besar dalam kategori CPG, seperti P&G, Kraft
Food, Nestlé dan Unilever kemudian mengadopsi
berbagai konsep pemasaran baru (modern) yang
lebih personalized guna menyikapi perubahan
lingkungan bisnis, pergeseran perilaku konsumen
dan tantangan kompetisi di masa-masa mendatang
yang diakibatkan oleh munculnya “the new media.”
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dikatakan
bahwa artikel ini sebenarnya memiliki satu asumsi
dasar di mana perubahan teknologi media—
menjadi digital, interaktif, asynchronous, dialog, dan
personal (Estaswara, 2008; Straubhaar & LaRose,
2006)—sebagai medium interaksi, komunikasi
dan penyebaran informasi terkait dengan aktivitas
perusahaan dalam upaya meningkatkan profit
memiliki peran krusial dalam perkembangan teori
dan konsep pemasaran. Di sisi lain, perkembangan
teknologi media dengan berbagai macam
dinamikanya telah menjadi dasar perkembangan
ilmu komunikasi. Memahami berbagi gagasan
tersebut, tulisan ini bertujuan untuk melihat
sejauhmana linearitas pergeseran pemikiran
marketing dan komunikasi itu sendiri berdasarkan
perkembangan teknologi media.
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
TINJAUAN PUSTAKA
Peradaban dan Teknologi Media Komunikasi
Kerangka pemikiran dalam artikel ini didasarkan
pada gagasan Alvin Toffler tentang perubahan
peradaban manusia terkenal dengan sebutan The
Third Wave (1980). Gagasan Toffler ini kemudian
dikaitkan dengan ide-ide mengenai perkembangan
teknologi media dan pengaruhnya terhadap
masyarakat yang dikembangkan oleh Straubhaar
& LaRose (2006) serta merujuk pada penjelasan
Estaswara (2008).
Seiring dengan adanya perubahan pasar pada
tahun 1970-an, Alfin Toffler, sang futurist muncul
dengan gagasannya tentang demasifikasi. Ide ini
menyerang paradigma dominan yang berkembang
pada waktu itu, mass marketing (The Future Shock,
1970). Selaras dengan pandangan Trout dan Rise
(2002), dalam bukunya yang berjudul The Third
Wave (1980), Alfin Toffler kemudian membagi
peradaban manusia ke dalam tiga bagian. Berbasis
pada pemahaman tersebut, dalam artikel ini
kemudian dibangun ide-ide tentang pembagian
peradaban manusia dengan menggunakan
perkembangan teknologi media sebagai pijakan
utama dalam berpikir (Estaswara, 2008; Straubhaar
& LaRose, 2006). Dengan kata lain, perubahan
peradaban manusia yang telah diungkapkan oleh
Toffler akan dikaitkan dengan perkembangan
teknologi media dan perubahan masyarakat,
termasuk juga didalamnya bagaimana pemasaran
dan bisnis dikelola serta perkembangan komunikasi
itu sendiri sebagai sebuah ilmu.
Pada awalnya, manusia hidup secara nomaden
atau berpindah-pindah memanfaatkan alam (baik
binatang buruan maupun buah-buahan) sebagai
sumber makanan tanpa memiliki pengetahuan
dan teknologi untuk mengelolanya. Masyarakat
nomaden ini sering dikenal sebagai masyarakat
berburu dan meramu. Perkembangan selanjutnya,
manusia akhirnya menetap, memiliki rumah, dan
tidak lagi berpindah-pindah setelah ditemukannya
teknologi pertanian. Perubahan dari masyarakat
nomaden menjadi masyarakat bercocok tanam
dan berternak ini telah menandai munculnya
peradaban kehidupan baru. Sistem ini berjalan
lama sampai muncul revolusi pertanian (agriculture
revolution), yang menandai perubahan peradaban
menuju masyarakat pertanian. Pada masa ini
sektor bisnis utama tentu saja adalah pertanian.
Tanah (yang subur) dan tenaga kerja kasar (budak)
menjadi sumber ekonomi yang paling penting.
Sedangkan tipe komunikasi yang dijalankan pada
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 63
waktu itu masih bersifat oral communication. Hal
ini mengingat bahwa teknologi komunikasi yang
dominan saat itu hanyalah mulut atau face-to-face
communication. Tentu saja, dalam komunikasi
model ini jarak menjadi kendala utama, apalagi
alat transportasi utama pada waktu itu hanyalah
memanfaatkan tenaga kuda, di samping jalan kaki.
Kondisi ini semua membuat basis sistem sosialekonominya berpusat pada keluarga. Demikian juga
dengan sistem organisasi yang berkembang masih
bersifat personal (Estaswara 2008, Straubhaar &
LaRose, 2006).
Sistem pertanian mulai berubah sejak
ditemukan mesin uap oleh James Watt sekitar
350 tahun lalu. Tidak hanya itu, pada masa ini
juga banyak penemuan-penemuan teknologi
lainnya, termasuk teknologi cetak (movable
type) yang menandai awal mula perkembangan
print mass media—diawali dari Gutenberg Bible.
Namun, puncak perubahan sosial terjadi pada saat
Revolusi Industri (industrial revolution). Peristiwa
ini menandai perubahan peradaban manusia
menuju industrialisasi. Gelombang perubahan
kedua (second wave) ini mengantarkan pada era
masyarakat industri. Pada abad ini, sektor bisnis
utama adalah industrialisasi (pabrik). Ide-ide
pemasaran yang dikembangkan pun lebih ditujukan
untuk menjual komoditas hasil industri. Ide-ide
ini berlangsung melintasi perspektif Classical,
Neoclassical sampai Formative Marketing (Lusch
& Vargo, 2004). Fokus utamanya adalah penjualan
barang (goods focused). Pada waktu itu modal
kapital menjadi sumber daya ekonomi yang
utama. Sedangkan tipe komunikasi yang dijalankan
sudah berkembang menjadi mass communication
sejak ditemukannya mesin cetak. Penemuan
ini akhirnya melahirkan buku dan majalah yang
kemudian menandai dimulainya era publisitas.
Perkembangannya kemudian lahir radio dan televisi
di abad 20. Kondisi ini berpengaruh pada basis
sistem sosial-ekonomi menuju pada kesepakatan
massa (uniformity) yang ditentukan melalui agenda
publik—yang umumnya berangkat dari agenda
media. Mengingat sektor ekonomi utamanya adalah
industri, maka sistem organisasinya pun bersifat
mechanic(Estaswara 2008, Straubhaar & LaRose,
2006).
Munculnya Revolusi Industri sekitar abad ke-18
(1750-1850) bagaimana pun juga telah melahirkan
era baru di bidang produksi barang, pemasaran
dan periklanan. Pada masa itu banyak bermunculan
produsen yang membuat barang secara massal
(mass production) dengan sistem manufacturing
atau pabrikan. Mengingat pasar lokal sudah jenuh
dibanjiri oleh produk, maka muncul kebutuhan atas
saluran distribusi yang luas, yang bersifat lintas
geografi (mass distribution). Tidak mengherankan
jika kemudian banyak dibangun rel kereta api,
pelabuhan, bahkan kanal-kanal pelayaran sebagai
jalur ekspansi distribusi barang. Dengan adanya
mass production, produsen juga harus menciptakan
mass consumption supaya produknya diserap oleh
pasar. Maka, tak dapat dipungkiri lagi jika kemudian
peran mass media sebagai channel komunikasi
pemasaran menjadi sangat penting, di mana
pesan-pesan informatif dan persuasif melalui mass
communication dan mass advertising banyak dibuat
dengan tujuan menciptakan permintaan produk
secara massal (Egan, 2007).
Pada masyarakat industri, energi bersumber
pada batu bara, minyak, dan gas. Berbagai kegiatan
eksplorasi kekayaan alam dan cadangan energi
bumi banyak dilakukan dan menjadi sumber
perkembangan ekonomi. Era Industrialisasi juga
melahirkan berbagai mesin elektronik. Kotakota dengan pabrik-pabrik yang besar banyak
bermunculan. Dari pusat-pusat industri ini,
kemudian mengalirkan berjuta-juta produk seperti
kemeja, sepatu, arloji, mainan, sabun, shampo,
kamera, sampai senjata. Tidak mengherankan jika
saat ini di Amerika Utara, 250 juta masyarakatnya
hidup dalam dunia industrialisasi. Di Eropa Barat,
dari Skandinavia Selatan membentang sampai
Italia, 250 juta masyarakatnya juga hidup dari
sektor industri. Di Eropa Timur dan bekas Uni
Soviet bagian barat, 250 juta rakyat hidup sebagai
masyarakat industri. Sedangkan daerah industri di
Asia, seperti Jepang, Hongkong, Singapura, Taiwan,
Australia, Selandia Baru dan Korea Selatan serta
sebagian daratan Cina, juga terdapat sekitar 250
juta masyarakat yang menggerakan sektor industri.
Secara keseluruhan dalam peradaban industri
paling tidak melibatkan satu milyar manusia atau
sekitar 20% penduduk dunia saat ini (Estaswara
2008).
Lahirnya era industrialisasi, bagaimanapun
juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
teknologi media dan ilmu komunikasi. Cikal bakal
komunikasi sebagai disiplin keilmuan diawali dari
berkembanganya retorika pada abad ke-5 SM.
Namun, pamor retorika pada masa-masa awal
abad Masehi menyurut sampai dipublikasikannya
Gutenberg Bible pada tahun 1455. Publikasi ini
akhirnya menandai dimulainya era komunikasi
massa yang berbasis tulisan. Perkembangannya
kemudian, buku untuk pertama kali di cetak di
64 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
Amerika Serikat pada tahun 1641. Lalu, pada
tahun 1731, lahir majalah pertama di Inggris,
Gentlement’s Magazine (Straubhaar & LaRose,
2006). Retorika yang sebelumnya hanya meliputi
komunikasi suara melalui teknik pidato atau dialog
telah bergeser ke arah tulisan. Implikasi lahirnya
mesin cetak dan publikasi adalah literacy. Apa
artinya? Masyarakat menjadi pandai membaca
dan memahami berbagai informasi. Agenda
media massa telah menjadi agenda publik
yang melahirkan “pengetahuan massa.” Maka,
tidaklah mengherankan jika ilmu pengetahuan
dan industrialisasi pun berkembang pesat sampai
akhirnya muncul Revolusi Industri.
Retorika pada dasarnya bukanlah sekadar
ilmu berbicara namun termasuk juga tulisan.
Pemahaman ini akhirnya melahirkan ilmu publisitas
yang berkembang pada awal abad ke-20. Seiring
dengan munculnya teknologi radio (1896) dan
televisi (1925), pengertian publisitas meluas tidak
hanya terkait dengan media cetak, namun juga
siaran radio dan televisi. Akhirnya, ilmu publisitas
berkembang menjadi apa yang sekarang dikenal
dengan komunikasi massa. Masa-masa selanjutnya,
perkembangan mass media tidak hanya didominasi
oleh print media saja. Faktanya, pada tahun 1920
radio sudah mengudara dan dapat didengarkan
oleh khalayak luas. Pada tahun 1926 lahir
commercial radio yang pertama di AS (Straubhaar &
La Rose, 2006). Tak lama setelah itu muncul televisi
dan pada tahun 1947 untuk pertama kalinya iklan
televisi ditayangkan di AS dalam format hitam-putih
dengan gambar tidak bergerak (freeze television).
Lalu, pada tahun 1953 TV berwarna dikenalkan. Dua
tahun kemudian, tahun 1955, iklan TV pertama di
Inggris muncul (Straubhaar & La Rose, 2006; Egan,
2007).
Perkembangannya kemudian, televisi komersial
mulai mendapatkan saingan baru dengan
munculnya cable TV. Cable TV yang pertama di AS
sebenarnya sudah lahir pada tahun 1948, namun
saat itu siarannya masih terbatas hanya di daerah
Oregon dan Pennsylvania saja. FCC (Federal
Communications Commission) masih melarang
penyebaran cable TV. Keadaan mulai berubah pasca
tahun 1972. Peraturan tentang pembatasan wilayah
siaran cable TV kemudian direvisi. Akibatnya,
pada dekade 80-an di AS telah di banjiri TV kabel
(Straubhaar & LaRose, 2006). Lahirnya radio dan
televisi bagaimana pun juga menandai era mass
communication. Perkembangannya kemudian,
pada dekade 1940-an, lahirlah komunikasi sebagai
ilmu seiring dengan dikenalkannya definisi ilmu
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
komunikasi yang dirumuskan Hovland (Barelson
& Janowitz, 1953). Menurutnya, ilmu komunikasi
dikatakan sebagai sebuah usaha yang sistematis
untuk memformulasikan secara tepat atas
prinsip-prinsip penyebarluasan informasi serta
pembentukan opini dan sikap.
Era mass communication melahirkan apa
yang dikenal dengan mass marketing. Sifat
dari komunikasi ini masih satu arah (one-way
communication). Bagaimana pun juga era ini
bertahan sampai akhir 70-an. Walaupun dekade
50-an pemikiran pemasaran sudah berfokus
konsumen, namun pasarnya masih umum (mass
market). Pergeseran mulai terjadi dengan lahirnya
paradigma Marketing as Social and Economic
Process. Jika kita bicara realitasnya, apakah
hari ini sudah tidak ada lagi perusahaan yang
menjalankan mass marketing? Fokus uraian ini
adalah perkembangan pemikiran pemasaran, bukan
prakteknya. Fakta menunjukkan bahwa sampai hari
ini masih banyak perusahaan menggunakan mass
marketing dalam memasarkan produknya, termasuk
perusahan-perusahaan di Indonesia (Estaswara
2008).
Selanjutnya, dengan ditemukannya digital
technology dan Internet yang disebut sebagai
revolusi informasi (information revolution), akhirnya
menggeser tatanan industrial. Perkembangan
teknologi ini menandai perubahan peradaban
menuju masyarakat informasi. Pada gelombang
perubahan ketiga ini, sektor utama kehidupan
adalah informasi. Konsekuensinya, modal
intelektual atau pengetahuan dan skill (operant
resources) menjadi sumber daya ekonomi yang
utama. Dengan ditemukannya digitalisasi media
dan internet, tipe komunikasi yang dijalankan telah
berkembang menjadi technological communication.
Kondisi ini berpengaruh pada basis sistem sosialekonomi menuju kesepakatan massa namun
bersifat segmented dan ansynchronistic—dunia
tanpa batas wilayah dan waktu. Pada masa ini dapat
disebut juga sebagai era komunikasi dua arah (twoway communication) atau era media interaktif. Ideide pemasaran akhirnya bergeser dari produk ke
konsumen (consumer focused). Seperti dikatakan
oleh Kitchen dan Schultz (1999), digitalisasi,
teknologi informasi, intellectual property, dan
sistem komunikasi merupakan satu-kesatuan utama
yang mendorong perubahan konsep komunikasi
pemasaran (Estaswara 2008).
Di sa m pi n g i t u , m e ng i n g at p e n t i ng n y a
pengolahan informasi, maka sistem organisasi
yang berkembang bersifat organic. Lahirlah
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 65
kemudian konsep learning organization dalam
pengelolaan perusahaan. Organisasi pada abad
ke-21 ini disebut dengan “organisasi pembelajar”.
Drucker (1997) menggambarkan organisasi seperti
ini dengan mengatakan sebagai sebuah organisasi
yang berbasis pengetahuan di mana sebagian
besar pekerjanya terdiri atas para spesialis yang
mengarahkan dan mendisiplinkan kinerja mereka
sendiri melalui pengelolaan umpan balik dari
para kolega, customer maupun kantor pusat.
Sehingga, bisnis akan menjadi apa yang disebutnya
dengan organisasi yang berbasis informasi. Sebuah
cerminan organisasi masa depan dalam era
informasi (Estaswara 2008).
Dalam masyarakat informasi, digital technology
dengan kemampuan lintas medianya (multimedia)
dan internet yang berkemampuan lintas batas,
telah mengubah wajah peradaban dunia menjadi
kompleks. Pada awal tahun 1970-an, faktanya
masih belum ditemukan satu pun website, namun
pada akhir abad ke-20, tercatat ada sekitar 4,7 juta
website. Di Indonesia sendiri, intenet sudah masuk
pada tahun 1984 dan sepuluh tahun kemudian
lahir provider Internet komersial yang pertama,
IndoNet. Di lain pihak, perkembanagn teknologi
juga terjadi di Indonesia. Sampai akhir 1990an hanya terdapat satu televisi, TVRI. Sekarang,
televisi nasional sudah mencapai 11 stasiun dan
lebih dari 100 stasiun televisi daerah. Jumlah ini
belum terhitung dengan Cable TV. Demikian juga
dengan jumlah stasiun radio di Indonesia, yang
saat ini sudah mencapai lebih dari 700 buah, belum
termasuk radio komunitas. Pasca kebebasan pers
pada tahun 1999, jumlah majalah, koran, judul
buku, stasiun televisi, stasiun radio, serta jumlah
website sampai judul film dan lagu di meningkat
pesat. Ini baru di Indonesia, sebagai representasi
dari developing country yang dalam perkembangan
teknologi informasi, tidak semaju negara-negara
Barat (Estaswara 2008).
New Media dan Perilaku Konsumen
Terkait dengan media baru, dunia pemasaran hari
ini bagaimana pun juga harus beradaptasi dengan
karakteristik konsumen di era informasi, terutama
sekali karakteristik pola media usage dan media
habit-nya. Dengan adanya media baru, konsumen
menjadi lebih superior dalam menentukan kapan
(when), di mana (where), dan bagaimana (how)
mereka menggunakan media. Beberapa pemikir
pemasaran menyebut fenomena ini sebagai
“the age of the consumer” atau era konsumen.
Konsumen hari ini dan di masa-masa mendatang
memegang penuh kontrol atas media pemasaran
dan tidak memberikan toleransi lagi terhadap
pesan-pesan pemasaran yang membuatnya tidak
suka (Magnani, 2004).
Efektivitas pemasaran tidak lagi ditentukan
oleh kemampuan dalam menjangkau khalayak luas
melalui media massa. Dewasa ini, khalayak sangat
terfragmentasi atas berbagai keinginan individu
(personal interest). Fragmentasi diperkuat dengan
lahirnya media baru (new media), seperti Internet,
e-mail, video gaming, in-store kiosk, dan sebagainya
(Kim, Han & Schultz, 2004; Kitchen & Li, 2004). Di
samping itu, perusahaan yang telah menjalankan
one-to-one marketing perlu untuk lebih mengetahui
secara mendalam tentang karakteristik personal
konsumennya, tidak sekedar hanya memikirkan
bagaimana menciptakan kreativitas pesan (insideout), tanpa adanya basis atas pemahaman tentang
perilaku komunikasi target khalayaknya (outside-in).
Sebelum dekade 1990-an, kenyataannya mudah
bagi semua perusahaan untuk menjangkau target
audience tertentu (niche audience) melalui media
massa atau paling tidak medium yang semimassa, seperti direct mail atau email. Seiring
berkembangnya Internet dan berbagai media
teknologi komunikasi yang dapat diakses dari
mana pun secara personal, membuat konsumen
jauh lebih memiliki kekuasaan untuk menghindari
berbagai pesan pemasaran (Magnani, 2004:18). Di
sisi lain, konsumen juga jauh lebih memiliki akses
terhadap informasi. Melalui internet, konsumen
dengan mudah mendapatkan berbagai informasi
yang digunakannya untuk membandingkan harga
maupun kualitas suatu produk. Dengan informasi
yang dimilikinya tersebut, konsumen kemudian
melakukan tawar-menawar dengan perusahaan.
Pemasar di era new media menghadapi konsumen
yang sangat kritis karena mereka berbekal banyak
informasi yang akurat tentang kelebihan dan
kelemahan produk di banding dengan produk
lainnya. Di samping itu, konsumen bisa melakukan
pembelian secara online. Mereka dapat membeli
suatu produk dari mana pun dan kapan pun juga.
Faktanya, tidak ada media dalam sejarah kehidupan
manusia yang memberikan kepada konsumen
kebebasan dan kekuasaan penuh seperti yang
diberikan oleh media hari ini (Estaswara 2008).
Kondisi ini akhirnya membuat iklan TV
(television commercial) dan media tradisional
lainnya bukan lagi menjadi pilihan utama bagi
konsumen, minimal di banding masa lalu.
Konsumen hari ini dan di masa-masa mendatang
cenderung akan menggunakan media komunikasi
yang disukainya. Bahkan, Joseph Jaffe dari
66 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
iMediaConnection pernah menggambarkan
fenomena perilaku konsumen dalam menggunakan
media di era komunikasi dengan “prime time
becoming my time” (Miloski, 2005:18).
New Media dan Teknologi Jaringan
Bukti fragmentasi media menuju media baru dapat
ditelusuri dari perkembangan teknologi jaringan
yang berawal dari dikenalkannya generasi jaringan
1G (AMPS atau Advance Mobile Phone Service)
yang muncul sekitar 1990-an. Teknologi generasi
pertama ini mampu mengubah perilaku penguna
telepon. Walaupun teknologinya masih berbasis
analog, namun sudah cukup untuk mengubah
perilaku berkomunikasi, dari yang dulunya
menggunakan telepon tetap atau rumah (fixed
phone) menjadi mobile dengan menggunakan
handphone.
Perkembangan generasi selanjutnya, lahirlah
teknologi 2G (GSM atau Global System for Mobile
Communication) yang sudah mampu menghadirkan
fitur SMS dan MMS. Short Message Service (SMS)
adalah standar layanan komunikasi telepon
mobile yang berupa teks. SMS menggunakan
standar protokol komunikasi yang memungkinkan
pertukaran pesan teks singkat antar pengguna. SMS
merupakan salah satu cara berkomunikasi yang
bayak dilakukan oleh masyarakat Indonesia melalui
handphone. Adapun Multimedia Messaging Service
(MMS) adalah sebuah layanan pesan telepon
mobile yang memungkinkan pengguna untuk
mengirim pesan yang bersifat multimedia, seperti
gambar, audio, video, dan rich text. Kehadiran
GSM memiliki dampak yang jauh lebih besar
dalam mengubah cara berkomunikasi manusia.
Sejak dikenalkannya teknologi generasi kedua
ini, pertumbuhan jumlah pengguna handphone
meningkat pesat.
Selanjutnya, lahirnya generasi ketiga—sering
dikenal dengan 3G—semakin menambah kapasitas
kemampuan media baru (handphone, komputer)
dalam menampilkan audio-visual dan koneksi
Internet secara mobile. Saat ini, teknologi 3G sudah
diperkuat lagi dengan munculnya teknologi 3,5G
yang mampu mempercepat transfer data dengan
basis teknologi HSDPA (High-Speed Downlik Packet
Access). Teknologi ini mampu membuat internet
dapat diakses secara mobile dengan kecepatan
tinggi. Kehadiran 3G dan 3,5G membuat jargon
“the Age of I” atau “prime time becoming my
time” semakin menemukan realitasnya. Bahkan
perkembangan terkini, telah lahir generasi teknologi
terbaru, 4G yang berbasis pada teknologi Next
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
Generation Network(NGN).
Bagi dunia telekomunikasi, teknologi seluler
generasi keempat atau NGN banyak menarik
perhatian. Hal ini dikarenakan NGN menyediakan
jaringan terbuka yang mampu memberikan layanan
terintegrasi dengan akomodasi layanan berbasis
sirkuit switch dan paket switch. Layanan tersebut di
antaranya adalah mobile service dan fixed service,
baik untuk publik maupun untuk private. Jaringan
NGN juga menawarkan arsitektur terbuka, Service
Driven Network, dan Jaringan Package Based yang
seragam. NGN menawarkan akses tak terbatas bagi
user dari berbagai penyedia layanan yang berbeda.
NGN juga mendukung mobilitas secara menyeluruh
dengan memberikan layanan yang konsisten
dan tersedia di mana-mana bagi user (IT Telkom
Today,19 Mei 2009; Rachmana & Praditya, 2006).
Perkembangan teknologi di atas juga berjalan
seiring dengan kemajuan teknologi micro prossesor
yang menjadi hardware utama teknologi komputer
dan handphone di samping sofistikasi software.
Faktanya, dewasa ini perkembangan teknologi
smartphone—telepon seluler yang memiliki
kemampuan mengakses Internet dan multimedia—
berjalan selaras dengan kemajuan teknologi
jaringan data. Penjualan smartphone sendiri juga
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan,
saat ini banyak smartphone yang dijual dengan
harga murah untuk kalangan menengah ke bawah
(Inilah.com, 29/04/2010).
Dengan perkembangan teknologi komunikasi
yang sedemikian maju, akibatnya akan melahirkan
berbagai dampak terhadap konsumen terkait
dengan penggunaan media, mengakses informasi,
serta cara berkomunikasi dan berinteraksi.
Kenyataannya, dewasa ini banyak orang lebih suka
menghabiskan waktunya untuk mengakses Social
Network Sites (SNSs) melalui smartphone-nya.
Trend ini semakin memuncak dengan hadirnya
BlackBerry (BB)—yang di dalamnya terdapat aplikasi
YM dan FB serta secara otomatis melahirkan
komunitas-komunitas BB karena adanya aplikasi
BlackBerry Messenger (BBM). Menariknya lagi,
ternyata smartphone produksi RIM (Research in
Motion) ini laris terjual, dan bahkan menjadi trenddi
Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Importir
Seluler Indonesia (AISI), penjualan BB di Indonesia
sepanjang tahun 2009 sudah menembus angka
satu juta unit. Sedangkan untuk tahun 2010 ini,
RIM telah memasarkan 1,4 juta unit BB di Indonesia
(Ridwan, 2010).
Tantangan bagi semua perusahaan di era
komunikasi dewasa ini adalah kemampuan untuk
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 67
memahami target audience-nya secara personal
(intimate) sehingga dengan kreatif, terarah dan
tidak mengganggu mampu memadukan berbagai
pesan pemasaran dalam gaya hidup khalayaknya.
Ke depan, sekali sebuah perusahaan dengan
pesan pemasarannya mengganggu aktivitas media
yang dilakukan khalayaknya, maka mereka tidak
akan pernah lagi menggunakan media tersebut.
Dengan cara memahami konsumen yang kemudian
dipadukan dengan strategi integrasi multi-channel,
perusahaan akan lebih mampu untuk menjangkau
khalayaknya dengan cara yang jauh lebih tepat
dari apa yang dapat dilakukan di masa-masa
sebelumnya.
METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
kepustakaan (library research) yang merupakan
penelitian dengan sumber data kepustakaan
yang relevan dengan tujuan penelitian ini, yaitu
menjelaskan linearitas pergeseran pemikiran
marketingdan komunikasi berdasarkan
perkembangan teknologi media. Penelitian seperti
ini umumnya digunakan untuk menganalisis,
mengkritisi dan menelaborasi ilmu pengetahuan
dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah
berpikir ilmiah guna memberikan kontribusi
secara akademik. Tujuannya untuk mencari dan
merumuskan teori, konsep-konsep, prinsip-prinsip,
asumsi-asumsi, pola-pola, dasar-dasar, sampai dalildalil yang sesuai dengan tujuan penelitian (Ridley,
2008).
Sedangkan metode penelitian yang digunakan
berjenis kualitatif dengan sifat deskriptif dengan
cara menganalisis data literatur, diberikan makna
dan dielaborasi sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Data dalam penelitian ini adalah
data sekunder yang diperoleh dari berbagai hasil
penelitian, pemikiran teoretis dan data lainnya
yang relevan, baik secara pemikiran maupun yang
bersifat empiris dan praktis. Dalam pemilihan
sumber data, tetap didasarkan pada prinsip-prinsip
objektivitas, dapat dibuktikan, derajad keyakinan,
dan nilai kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dari
sumber yang digunakan sebagai data penelitian.
Terakhir, metode analisis data menggunakan
annotated bibliographyatau analisis yang dilakukan
dengan cara memahami sumber-sumber pemikiran
dan empiris (hasil penelitian ilmih dan praktis) yang
digunakan untuk merumuskan teori serta konsep-
konsep yang relevan guna menjawab pertanyaaan
penelitian (Cooper, 1988; Randolph, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan yang terjadi di lingkungan pemasaran
akibat perkembangan teknologi media bagaimana
pun juga melahirkan berbagai dampak yang perlu
untuk dipikirkan ulang. Salah satunya adalah
pentingnya peran komunikasi dalam keseluruhan
strategi dan proses pemasaran. Pemasaran dewasa
ini tidak lagi dapat mengandalkan komunikasi hanya
melalui media massa. Pendekatan pemasaran
massa telah digantikan personalized marketing
dengan lahirnya media baru.
Dilihat secara umum, perkembangan
pendekatan pemasaran sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan teori komunikasi
massa. Lahirnya radio dan televisi (1890-1925)
bagaimanapun juga telah menandai lahirnya era
mass communication. Perkembangan selanjutnya,
pada tahun 1940-an, lahirlah komunikasi sebagai
ilmu seiring dengan dikenalkannya definisi ilmu
komunikasi oleh Hovland (Estaswara, 2008).
Kemudian, era mass communication melahirkan
mass marketing. Sifat dari komunikasi ini masih
satu arah (one-way communication). Era ini
bertahan sampai akhir dekade 50-an, baik dalam
perkembangan teori komunikasi massa maupun
pemasaran. Hal ini mengingat juga bahwa pada
dekade 50-an pemikiran pemasaran mulai
berfokus pada konsumendengan lahirnya banyak
penelitian di bidang perilaku konsumen seiring
berkembangnya aliran psikologi kognitif yang
menempatkan manusia bukan lagi hanya sebagai
objek dari lingkungan (komunikasi). Walaupun
demikian, pandangan pemasaran terhadap
pasarmasih bersifat umum (Estaswara, 2008).
Di sisi lain, faktanya, pasca penolakan kaum
intelektual atas bullet theory atau S-R theory
yang merepresentasikan pengaruh media massa
yang sangat powerful seiring dengan berbagai
publikasi hasil penelitian yang dilakukan oleh
Lazarfield (1940), Hovland (1942-1945), Cooper
dan Jahoda (1948), Festinger (1950-an), dan
Klapper (1960), pada akhir dekade 60-an atau
awal tahun 70-an, konsep media massa yang
powerful kembali mengemuka (Rakhmat, 2000).
Konsepsi tentang media massa yang powerful ini
kembali diperkuat oleh Noelle-Neumann dengan
melahirkan teori yang disebutnya dengan “die
Schweigespirale” atau dikenal dengan nama lain
sebagai teori spiral of silence (lingkaran kebisuan).
68 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
Di samping itu, ada juga Katz, Blumer dan Gurevitz
(1959) yang pertama kali mengungkapkan uses
and gratification, kemudian McLuhan (1963)
melalui teori determinisme media-nya (ekologi
media), serta McComb dan Shaw (1972) yang
mengenalkan agenda setting—lahir sebagai kritik
atas hypodermic needle theory—yang juga kembali
mendudukan pemahaman tentang keperkasaan
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
media massa walaupun pada tingkatan yang
moderat dan dengan fokus yang digeser kepada
receiver (Rakhmat, 2000). Pada titik ini, teori
komunikasi massa tidak dapat lagi dipandang
sebagai sebuah model yang bersifat linier, namun
sudah bergeser ke arah two-way communication,
paling tidak yang bersifat asimetris.
Berdasarkan urain di atas, jelas terlihat bahwa
Tabel 1: Hubungan antara Perkembangan Pemikiran
Komunikasi (Massa) dan Pemasaran
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber (Vargo & Lusch, 2004:3; Estaswara, 2008:195; Rakhmat,
2000:199; West & Turner, 2008:100-113,139-153).
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 69
perkembangan pemikiran pemasaran berhubungan
dengan perkembangan teori komunikasi massa
yang diperkuat dengan lahirnya aliran pemikiran
psikologi kognitif. Sebelum dekade 50-an, gagasan
pemasaran yang berkembang adalah pemasaran
massa atau sering disebut juga dengan era productcentric. Pemikiran komunikasi massa pun sebelum
dekade yang sama juga berbasis pada prinsip oneway communication yang menganggap media
massa sangat powerful. Lahirnya pendekatan ini
juga dipengaruhi oleh dominasi pemikiran psikologi
behaviorism yang berkembang saat itu. Artinya,
bagaimanapun juga paham pemasaran di era
product centric masih mengandalkan prinsip-prinsip
komunikasi satu arah melalui media massa.
Seperti terlihat pada tabel di atas,
perkembangan teori komunikasi massa kemudian
mengalami pergeseran, dari media-centric—
yang dapat dikatakan juga mewakili prinsip
product-centric dalam perspektif pemasaran—
menjadi receiver-centric yang merepresentasikan
consumer-centric selama dekade tahun 1940-1960.
Konsepsi tentang media-centric dalam konteks
ini juga diartikan sebagai sender-centric. Pada
dekade ini, teori-teori komunikasi mengkritisi
dampak media massa yang powerful. Teori
masyarakat massa (mass society theory) dan jarum
hipodermik (hypodermic needle theory) kemudian
dipertanyakan seiring dengan berkembangnya teori
tentang pengaruh terbatas (limited effect) yang
membatasi dampak media dengan menempatkan
khalayak sebagai sentral kajian. Teori ini
menerangkan bahwa khalayak bukanlah korban tak
berdaya dari media (West & Turner, 2008).
Di sisi lain, paradigma pemasaran juga berubah
fokus dari produk menuju ke pasar atau konsumen.
Lahirlah kemudian apa yang disebut sebagai aliran
marketing management yang menyatakan bahwa
pemasaran harus berprinsip pada customer focused
di mana nilai (value) tidak ditentukan oleh produk,
tetapi pertukaran akan terjadi jika value ditentukan
oleh pasar atau konsumen (Vargo & Lusch, 2004;
Estaswara, 2008). Berangkat dari penjelasan ini
terlihat bahwa pemikiran dalam disiplin pemasaran
telah bergeser ke arah konsumen selaras dengan
pergeseran teori-teori komunikasi massa yang
berubah fokus ke arah receiver. Prinsip-prinsip
pemasaran yang kemudian diadopsi sebagai prinsip
komunikasi pemasaran juga bergeser dari productvalue-added oriented menjadi SegmentationTargeting-Positioning (STP) dengan penekanan
tidak sekadar pada masalah produk, namun
telah dikembangkan ke arah harga, distribusi
dan promosi atau sering dikenal dengan 4P’s
(Estaswara, 2008).
Perkembangan selanjutnya, lahir teori-teori
komunikasi massa yang lebih menekankan pada
aspek perbedaan khalayak alih-alih media—
selain McLuhan yang masih tetap berfokus pada
aspek media dan peran pasif khalayak dengan
mengembangkan pemikiran awal dari Harold
Adam Innis (1951), seorang tokoh ekonomi politik
berkebangsaan Kanada (West & Turner, 2008).
Fokus kajian komunikasi massa bergeser pada
perbedaan khalayak yang berkembang pada era ini
teridentifikasi juga selaras dengan perkembangan
ide-ide dalam disiplin pemasaran yang meletakkan
konsumen sebagai sentral kajian. Menyikapi
pergeseran pemikiran ini, prinsip-prinsip pemasaran
kemudian berubah fokus dari 4P’s menjadi 4C’s,
Consumer needs & wants, Consumer’s cost,
Convinience to buy dan Communication (Estaswara,
2008).
Dewasa ini, seiring dengan fenomena internet
sebagai akibat kemajuan di bidang teknologi
media, perkembangan teori komunikasi bergeser
kembali ke arah media (baru). Namun dapat
dikatakan berbeda dengan konsepsi media pada
masa-masa awal perkembangan teori komunikasi
massa. Pada era ini, media—new media—memang
menjadi fokus utama, namun tidak meninggalkan
prinsip perbedaan khalayak (receiver aspect)
dalam merespon media. Teori-teori seperti
uses and gratification masih relevan dengan
perkembangan kenyataan sosial hari ini walau lahir
pada masa-masa awal receiver-centric. Faktanya,
khalayak dapat memilih media yang sesuai dengan
kebutuhan dan harapannya, termasuk pilihannya
atas berbagai jenis media baru. Di samping itu,
lahir pula konsep CMC (Computer-Mediated
Communication) yang menurut Lengel (Eadie, 2009)
menjadi sangat penting perannya di era new media
seiring dengan maraknya fenomena komunikasi
melalui YM, FB sampai Tweeter.
Terkait dengan teori technological determinism
(dikenal pula dengan sebutan determinisme
media atau ekologi media oleh para pemikir
komunikasi)yang diangkat oleh McLuhan—terlepas
dari pro-kontra seputar bangunan teoretisnya—
bagaimanapun juga saat ini media baru telah
membentuk kebudayaan manusia, khususnya
dalam cara berkomunikasi. Menurutnya, era
internet dewasa ini tidak lebih dari era tribal di
70 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
mana bentuk komunikasi yang berkembang tidak
ubahnya komunikasi tatap muka, perbedaannya
adalah saat ini komputer menjadi medianya atau
sering dikenal juga dengan konsep the media is
the extension of men. Artinya, komputer (new
media) merupakan kepanjangan dari sistem syaraf
pusat manusia (West & Turner, 2008) sebagai
“homo communis.” Dengan mengartikan pemikiran
McLuhan seperti di atas, maka dapat dikatakan
juga bahwa teori technological determinism secara
umum memiliki keselarasan pemahaman dengan
konstruk yang terbangun dalam CMC dan juga
uses and gratification terkait dengan kebebasan
khalayak untuk memilih media baru sebagai media
yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan
harapannya.
Perkembagan teori komunikasi massa yang
kembali berfokus pada objek kajian media juga
teridentifikasi selaras dengan perkembangan
pemikiran pemasaran. Media baru telah menjadi
sentral pemikiran pemasaran dalam upayanya
untuk selalu menjaga keberlangsungan komunikasi
dengan pelanggan sebagai representasi dari
bangunan hubungan yang saling menguntungkan
AHMAD BADARI BURHAN & HELPRIS ESTASWARA
dalam jangka panjang. Seperti telah diungkapkan
di bagian muka, konsep (dan jargon) pemasaran
yang berkembang di era teknologi komunikasi
ini telah memfokuskan diri pada media baru,
termasuk konsepsi terkini yang diungkapkan oleh
Kotler et al. (2010) tentang pemasaran dengan
menyebutnya sebagai dekade Marketing 3.0. Sekali
lagi, ide-ide utama pemasaran modern ini selaras
dengan perkembangan teori komunikasi massa
kontemporer—sama-sama memandang new media
sebagai sentral kajian.
Pergeseran fokus kajian pemasaran dan komunikasi
massa akibat dari perkembangan teknologi media,
juga mengubah basis pemikiran komunikasi
pemasaran dengan berkembangnya konsep IMC
(Integrated Marketing Communications). Melalui
pendekatan IMC, prinsip 4Cs kemudian direvisi
oleh Schultz (2000) menjadi 5R’s, Responsiveness,
Relevant, Receptivity, Recognition, dan Relationship.
Gagasan dasar dibalik 5R’s sebenarnya berbasis
pada fenomena interaktif media. Konsepsi tentang
pesan dalam komunikasi pemasaran tidak lagi
relevan jika menganut model komunikasi linear
yang dikenalkan pertama kali oleh Lasswell
Tabel 2: Hubungan antara Perkembangan Prinsip Komunikasi
(Massa) dan Pemasaran
Sumber: Teorisasi Penulis
Linearitas Pergeseran Pemikiran Markeing dan Komunikasi Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media| 71
pada tahun 1948. Pemahaman atas media di era
informasi harus menjadi dasar strategi pesan
(creative strategy) dalam berkomunikasi dengan
konsumen sebagai receiver. Model komunikasi yang
kemudian dikembangkannya tidak lagi “messagemedia-consumer,” namun berubah pola menjadi
“media-message-consumer” (Schultz, 2000:26-27).
Dengan demikian, keselasaran perkembangan
pemikiran pemasaran dan komunikasi massa dapat
dijelaskan berdasarkan tabel di bawah. Secara
umum, prinsip-prinsip pemikiran pemasaran yang
berkembang sebelum tahun 50-an sampai hari ini
dapat dikelompokkan menjadi tiga prinsip utama,
yaitu product-centric, consumer-centric dan mediacentric. Pertama, Product-centric atau pemikiran
yang berfokus pada kualitas produk, di mana
prinsip product value-added menjadi determinan
ide. Kedua, “consumer-centric” atau pemahaman
bahwa konsumen harus menjadi pusat perhatian,
sudah memfokuskan pada prinsip penciptaan
kepuasan pelanggan sebagai ide utamanya. Ketiga,
“media-centric” atau media komunikasi menjadi
sentral dalam kegiatan pemasaran, di mana prinsipprinsip pemanfaatan media baru digunakan untuk
memperkuat kepuasan dan loyalitas pelanggan
menjadi persoalan krusial.
Prinsip-prinsip dalam pemasaran yang telah
dijabarkan tersebut teridentifikasi identik dengan
perkembangan prinsip-prinsip komunikasi massa.
Pertama, ketika pemikiran komunikasi massa masih
memegang teguh model one-way communication
(linear), di mana pesan yang dikomunikasikan
melalui media massa dapat mempengaruhi
khalayak secara maksimal (powerful), prinsip
pemasaran yang berkembang pada saat itu juga
mendasarkan pada product-oriented. Kedua, ketika
prinsip-prinsip komunikasi massa sudah bergeser ke
arah model two-way communication (asymetric),
di mana khalayak tidak lagi dipandang sematamata sebagai “korban” media massa, namun
dipahami sebagai manusia yang secara sadar dan
aktif berinteraksi dengan media, prinsip pemasaran
pun berkembang menjadi consumer-oriented,
di mana kepuasan konsumen menjadi sentral
kajian. Terakhir, seiring dengan perkembangan
teknologi komunikasi dengan lahirnya micro
prossessor sebagai dasar utama hardware dari
semua alat komunikasi berbasis komputer—
termasuk smartphone, model komunikasi yang
dibangun kemudian bergeser ke arah two-way
communications (symetric), di mana media baru
dianggap mengubah pola konsumsi media dan cara
berkomunikasi khalayak. Gagasan ini pun selaras
dengan perkembangan ide-ide dalam disiplin
pemasaran yang telah memberikan perhatian
serius pada media baru, khususnya efek media baru
terhadap upaya penciptaan kepuasan dan loyalitas
konsumen.
Tidak mengherankan jika kemudian pemikir
pemasaran mengaitkan pemahanan tentang
pemasaran modern di era teknologi media dengan
disiplin komunikasi. sebagaimana yang dikutip
Estaswara (2008), di antaranya adalah Martani
Huseini, profesor pemasaran internasional dari
Universitas Indonesiamengatakan bahwa:
“Perkembangan teknologi informasi yang sangat
pesat merupakan pendorong berkembangnya
disiplin dan konsep pemasaran. Perkembangan
konsep tersebut sekaligus menjadikan peran
komunikasi dalam aktivitas pemasaran pada
posisi yang lebih sentral dan strategis.”
Senada dengan pemikiran di atas, peran penting
komunikasi di bidang pemasaran juga diungkapkan
oleh Kotler (2001) dan Kitchen dan Eagle(2005)
dengan mengatakan bahwa:
"Modern marketing call for more than just
developing a good product, pricing it attractively,
and making it accessible. Companies must
also communicate with present and potential
stakeholders, and the general public. Every
company is inevitably cost into the role of
communi cat or and pr omot e r . F or m ost
companies, the question is not whether to
communicated but rather what to say, to whom,
and how often."
Lebih lanjut, peran penting komunikasi
dalam bidang pemasaran juga diungkapkan oleh
AMA (American Marketing Association) dalam
definisinya yang dikeluarkan pada tahun 2004. AMA
mendefinisikan pemasaran sebagai berikut (Bolton,
2005; Estaswara, 2008):
“Fungsi organisasi dan serangkaian proses
menciptakan, mengkomunikasikan dan
menyampaikan nilai bagi pelanggan, serta
mengelola relasi pelanggan sedemikian rupa
sehingga memberikan manfaat bagi organisasi
dan para stakeholder-nya.”
Memahami secara mendalam beberapa
72 | CoverAge, Vol. 3, No. 1, September 2012
definisi pemasaran tersebut, terlihat bahwa
terminologi “komunikasi” sudah digunakan secara
lugas untuk menjelaskan fenomena pemasaran
modern.