LIBERALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN. docx
LIBERALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Oleh: Eny Kusumastuti
Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang,
yaitu sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam
kehidupan ditengah masyarakat. Pendidikan tidak pernah lekang oleh waktu, akan terus
menerus menjadi isu yang menarik dan aktual untuk dibahas. Dewasa ini, pendidikan tengah
diuji untuk mampu memberikan jawaban yang menyulitkan, yakni antara melegitimasi atau
melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada, ataupun pendidikan harus berperan
kritis dalam melakukan perubahan sosial dan transformasi menuju dunia yang lebih adil.
Kedua peran pendidikan tersebut hanya bisa dijawab melalui pemilihan paradigma dan
ideologi pendidikan yang mendasarinya (Fakih 2008: xii). Setidaknya ada tiga ideologi
yang berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kritis (Henry
Giroux dan Aronowitz 1985 dalam Fakih 2008: xiii). Perbedaan dari ketiga ideologi tersebut
adalah bagaimana pandangan manusia terkait dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan
berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan
ideologi tertentu. Selanjutnya tulisan ini akan membahas tentang ideologi pendidikan liberal
saat ini.
Hakekat Ideologi Liberal
Ideologi berasal dari kata idea (Inggris), yang artinya gagasan, pengertian. Kata kerja
Yunani oida = mengetahui, melihat dengan budi. Kata “logi” yang berasal dari bahasa
Yunani logos yang artinya pengetahuan. Jadi Ideologi mempunyai arti pengetahuan tentang
gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang
pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari menurut Kaelan ‘idea’ disamakan
artinya dengan cita-cita. Antoine Destutt de Tracy (1754-1836M), seorang bangsawan yang
bersimpati pada revolusi Perancis (1789), pengikut rasional gerakan pancerahan,
menciptakan istilah ideologi Pada 1796. Ia memandang ”ideologi” sebagai ilmu tentang
pikiran manusia yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan.
1
Pengertian ideologi, juga dikemukakan
oleh Eagleton bahwa ideologi dipahami
sebagai cara pandang terhadap dunia, termasuk didalamnya nilai-nilai, ide, maupun simbolsimbol yang bermakna dalam hidup seseorang atau masyarakat. Dalam arti ini ideologi
memiliki makna netral positif. Namun Eagleton juga mencatat, bahwa ideologi juga bisa
bermakna negatif, yakni ideologi sebagai ide-ide yang membenarkan kekuatan politik
dominan di masyarakat, ide-ide palsu yang membenarkan struktur kekuasaan tertentu,
komunikasi yang terhambat akibat kepentingan, dan cara berpikir identitas yang melihat
dunia secara hitam putih (Eagleton 1991).
Sementara itu, O’Neill (2008) mengatakan bahwa ideologi adalah pola gagasan yang
mengarahkan dan menggerakkan tindakan-tindakan dalam pendidikan dipandang sebagai
sistem nilai atau keyakinan yang mengarah dan menggerakkan suatu tindakan sosial.
Dengan demikian ideologi pendidikan membahas dan mengkaji sistem nilai atau pola
gagasan yang menggerakkan tindakan pendidikan inilah yang sering dalam posisi out
side kesadaran kita (pendidikan). Sehingga subjek pendidikan sering “awam” atau
“mungkin” pura-pura awam dengan sistem nilai atau gagasan tersebut. Implikasinya orangorang yang terlibat dalam proses pendidikan, utamanya peserta didik, terpasung dan
terformat oleh pola gagasan yang berada di luar kesadarannya. Akibatnya dunia pendidikan
dijadikan alat legitimasi penguasa untuk mempertahankan “status quo” dengan cara
memasung kebebasan akademik atas nama asas Pancasila.
Liberal memiliki arti bersifat bebas; berpandangan bebas (luas dan terbuka) (KBBI
2001).
Golongan liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di
masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan
ekonomi masyarakat, sehingga tugas pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan
politik dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk
menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan
dengan cara memecahkan masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan (Fakih 2008:
xiii-xiv).
Paradigma ideologi pendidikan liberal dapat diartikan sebagai model dalam teori
ilmu pengetahuan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
2
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat yang sesuai dengan
paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik yang bebas
berpandangan luas dan terbuka. Paradigma Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa tidak
ada masalah dalam sistem yang berlaku ditengah masyarakat, masalahnya terletak pada
mentalitas, kreativitas, motivasi, ketrampilan teknis, serta kecerdasan anak didik. Paradigma
pendidikan liberal kemudian menimbulkan suatu kesadaran, yang dengan meminjam istilah
Freire (1970) disebut sebagai kesadaran naïf. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran
ini adalah lebih melihat `aspek manusia` menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam
kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achevement' dianggap sebagai penentu
perubahan sosial. Kaum liberal menganalisa, mengapa suatu masyarakat miskin,
dikarenakan kesalahan masyarakat itu sendiri, yakni mereka tidak memiliki jiwa
kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun. Oleh karena itu, man power
development adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan (Fakih 2008:
vii).
Prinsip-prinsip Dasar Ideologi Pendidikan Liberal
Prinsip-prinsip dasar ideologi pendidikan liberal menurut O’neill (2008: 355-356)
meliputi:
1. Seluruh hasil kegiatan belajar adalah pengetahuan personal melalui pengalaman personal
(relatifisme psikologis).
2. Seluruh hasil kegiatan belajar bersifat subyektif dan selektif (subyektifisme).
3. Seluruh hasil kegiatan belajar berakar pada keterlibatan pengertian inderawi (empirisme,
behaviorisme, materialisme dan empirisme biologis).
4. Seluruh hasil kegiatan belajar didasari proses pemecahan masalah secara aktif dalam pola
coba dan salah (trial and error) (pragmatisme dan instrumentalisme).
5. Cara belajar terbaik diatur oleh penyelidikan kritis yang diarahkan oleh perintah-perintah
eksperimental yang mencirikan metoda ilmiah, dan pengetahuan terbaik adalah yang
paling selaras dengan (atau yang paling mungkin berdasarkan) pembuktian ilmiah yang
3
sudah dianggap sahih sebelumnya (eksperimentalisme filosofis dan eksperimentalisme
ilmiah).
6. Pengalaman paling dini adalah yang paling berpengaruh terhadap perkembangan
selanjutnya dan karena itu juga paling penting artinya (psikologis developmentalistis).
7. Kegiatan belajar diarahkan dan dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi emosional
dari perilaku (hedonisme psikologis).
8. Sifat-sifat hakiki dan isi pengalaman sosial mengarahkan dan mengendalikan sifat-sifat
hakiki dan isi pengalaman personal, dan dengan begitu juga mengarahkan dan
mengendalikan pengetahuan personal (relatifisme budaya).
9. Penyelidikan kritis dari jenis yang punya arti penting hanya bisa berlangsung dalam
masyarakat yang terbuka dan demokratis yang memiliki komitmen terhadap ungkapan
umum pemikiran dan perasaan individual (demokrasi sosial).
10.Jika dalam kondisi-kondisi yang optimal, anak yang berpotensi rata-rata bisa menjadi
efektif secara personal dan bertanggungjawab secara sosial.
Prinsip-prinsip dasar tersebut diatas, secara ringkas, dapat dikatakan bahwa manusia
dalam mencari kesenangan/kenikmatan dan kebahagiaan menuntut adanya perilaku efektif.
Perilaku efektif menuntut adanya pemikiran efektif, dengan menggunakan kecerdasan
terlatih yang didasarkan pada ilmu pengetahuan serta nalar. Ilmu dan nalar menuntut adanya
kebudayaan yang mendukung. Sedangkan budaya yang mendukung harus disertai nilai-nilai
moral kemanusiaan (kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan
semacamnya). Semua itu akan menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan dalam sebuah
pola sinergisme positif (O’neill 2008: 352).
Implikasi Ideologi Liberal dalam Pendidikan
Liberalisasi pendidikan merupakan salah satu aliran dalam pendidikan dewasa ini
yang mulai menjadi mainset berfikir dalam memahami makna dari pendidikan itu sendiri
baik dikaji dari makna filosofosnya maupun makna normatifnya. Berkaitan dengan
pendidikan, kaum liberal beranggapan bahwa persoalan pendidikan terlepas dari persoalan
politik dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, kaum liberal berusaha menyesuaikan
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar pendidikan yaitu dengan
4
menyelesaikan masalah yang diarahkan pada penyesuaian atas sistem dan struktur sosial
yang berjalan. Yang lebih diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas dari proses
belajar mengajar sendiri, fasilitas dan kelas yang baru, modernisasi peralatan sekolah,
penyeimbangan rasio guru-murid. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan
metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif, seperti kelompok
dinamik (group dynamics) 'learning by doing', 'experimental learning', bahkan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA) sebagainya (Fakih 2008: xiv).
Kaum Liberal sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah politik, dan
‘excellence’ haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan
bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak
melihat hubungan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta
diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal
yakni ‘structural functionalisme’ justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma
dan
nilai
masyarakat.
Pendidikan
justru
dimaksudkan
sebagai
media
untuk
mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar
agar masyarakat luas berfungsi secara baik (Fakih 2008: xiv). Pendekatan liberal inilah yang
mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan yang berarti berbagai macam pelatihan.
Akar dan pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan
pengembangan
kemampuan,
melindungi
hak,
dan
kebebasan
(freedom),
serta
mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga
stabilitas jangka panjang.
Ideologi pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan
sosial yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Ideologi pendidikan liberal
ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya, dari yang relatif lunak, yakni liberalisme metodik
yang diajukan oleh teoretisi seperti Maria Montessorimo, ke liberalisme direktif (lebih
mengarahkan) yang sarat dengan muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalisme non
direktif atau liberalism laissez faire, yang merupakan sudut pandang A.S. Neill atau Carl
Rogers (O’Neill, 2008: 444).
5
Ideologi
pendidikan
liberasionisme,
menganggap
bahwa
manusia
mesti
mengusahakan pembaruan/perombakan segera dalam ruang lingkup besar atas tatanan
politis yang ada, sebagai jalan menuju perluasan kebebasan individual serta untuk
mempromosikan perwujudan potensi-potensi personal sepenuhnya. Ideologi pendidikan
liberasionisme mencakup spektrum pandangan yang luas, dari liberasionisme pembaruan
yang relative konservatif, yang tercermin dalam gerakan-gerakan menuntut hak-hak
warganegara (di AS era 60-an) hingga ke komitmen yang mendesak dan bernafsu terhadap
liberasionisme revolusioner, yang kerapkali bernuansa Marxis, dengan seruannya agar
sistem pendidikan segera mengambil peran aktif dalam menggulingkan tatanan politik yang
ada. Bagi kaum ideologi pendidikan liberasionisme, sekolah haruslah objektif (rasionalilmiah), namun tidak sentralistik. Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya
untuk mengajar anak-anak tentang bagaimana cara berpikir efektif (rasional-ilmiah),
melainkan juga untuk membantu mereka mengenali kebijakan yang sifatnya lebih tinggi
(superior) yang tak terceraikan dari pemecahan-pemecahan masalah secara intelektual yang
paling meyakinkan, sehubungan dengan problem-problem manusia. Dengan kata lain
ideologi pendidikan liberasionisme didirikan di atas landasan sistem kebenaran yang
terbuka, yang pada puncaknya merupakan sebuah orientasi yang berpusat pada problema
sosial. Sekolah memiliki kewajiban moral untuk mengenali dan mempromosikan programprogram sosial yang konstruktif. Sekolah mesti berusaha memajukan pola tindakan yang
paling meyakinkan yang didukung oleh analisis objektif terhadap fakta-fakta yang ada
(O’Neill, 2008: 470-471).
Anarkisme yang bersudut pandang pembela penghapusan/pemusnahan/pelenyapan
seluruh kekangan terlembaga atas kebebasan manusia. Penghapusan kekangan ini diyakini
sebagai jalan untuk menyediakan peluang penuh atas potensi-potensi manusia yang
dibebaskan. Dalam pendidikan, sikap anarkis paling terwakili dalam tulisan-tulisan tokoh
terkenal Ivan Illich dan Paul Goodman (O’Neill, 2002:113). Sudut pandang ini meliputi
wilayah pandangan yang cukup luas, dari anarkisme taktis, yang ingin melebur sekolah demi
mendramatisasikan kebutuhan akan adanya sistem sosial yang baru hingga ke anarkis utopis
yang membayangkan terciptanya sebuah masyarakat bebas tak terbatas dari seluruh
kekangan kelembagaan apapun. Kaum yang berideologi pendidikan anarkisme, sebagaimana
6
yang liberalis dan liberasionis, pada umumnya menaati sebuah sistem penyelidikan
eksperimental yang terbuka (ilmiah-rasional). Kaum yang berideologi pendidikan anarkisme
lebih menekankan pada kebutuhan untuk meminimalkan dan/atau melenyapkan batasanbatasan terlembaga atas perilaku personal, dan berusaha sejauh mungkin membebaskan
masyarakat dari lembaga-lembaga (deinstitusionalisasi masyarakat). Sejalan dengan itu,
diyakini bahwa pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah yang mengusahakan untuk
mempercepat pembaharuan-pembaharuan humanistis yang segera dan berskala besar di
dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem sekolah secara keseluruhan (O’Neill
2008: 485).
Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita-cita Barat tentang
individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas
liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen-komponennya.
Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia
universal yaitu manusia yang rational liberal. Ada beberapa asumsi yang mendukung
konsep manusia rational liberal yaitu: semua manusia memiliki potensi sama dalam
intelektual, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal, individualis
yakni adanya anggapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom (Bay 1988).
Menempatkan individu secara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial
sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang
tidak stabil Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi
melalui proses persaingan antar murid. Perankingan untuk menentukan murid terbaik, adalah
implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam
berbagai pendekatan andragogy seperti dalam training management, kewiraswastaan, dan
training-training yang lain. Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat (community
Development) seperti usaha bersama, pertanian umumnya berpijak pada paradigma
pendidikan liberal ini (Fakih 2008: xiv-xv).
Komponen kedua adalah Positivisme. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu
sosial yang dominan sewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal.
Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan
teknik ilmu alam yang memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar
7
pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam
menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui
metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer 1973). Positivisme
berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap appropriate untuk semua fenomena.
Oleh karena itu riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan
positivisme yang melibatkan unsur-unsur seperti obyektivitas, empiris, tidak memihak,
rasional dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat
universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode scientific. Dengan
kata lain, positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan nilai dalam rangka menuju pada
pemahaman obyektif atas realitas sosial. Pendidikan dan pelatihan dalam positivistik bersifat
fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan
pasar kerja. Dalam pola pemikiran positivistik, murid dididik untuk tunduk pada struktur
yang ada. Paradigma liberal pendidikan biasanya lebih melanggengkan sistem yang ada
dengan melahirkan anak-anak didik yang berperan dalam mempertahankan sistem tersebut.
Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan
liberal menjadi bagian dari globalisasi ekonomi liberal kapitalisme. Dalam konteks lokal,
paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistem developmentalisme, dimana
sistem tersebut ditegakkan pada suatu asumsi bahwa akar underdevelopment karena rakyat
tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme. Pendidikan harus membantu peserta didik
untuk masuk dalam sistem developmentalisme tersebut, sehingga masyarakat memiliki
kemampuan dalam kompetisi didalam sistem kapitalis.
Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat
pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya
kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan
menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian
kurikulum baru kita (Fakih, 2002). Kenyataan lainnya dari liberalisme ini adalah mahalnya
sekolah dan kuliah. UGM yang dulu dikenal kampus rakyat sekarang tidak lagi. Rencana
menjadikan universitas negeri sebagai PTBHP sebagai langkah awal privatisasi pendidikan
8
juga nyata sebagai langkah liberalisasi. Di level sekolah, elitisme pendidikan mengancam
kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan memadai.
Materialisme yang melingkupi liberalisme menjadikan reformasi yang dilakukan pun
sebatas fisik saja seperti pemenuhan fasilitas baru dan gedung baru; kapitalisme pun
mengarahkan bagaimana agar pembelajaran dapat lebih efektif-efisien, dan dihitung dalam
bentuk untung rugi serta balikan investasinya karena mengandaikan Education as human
investment. Liberalisme yang diagung-agungkan dan diacu oleh sistem pendidikan kita telah
merusakkan sendi-sendi negara bangsa Indonesia. Pendidikan kita rusak-rusakan, dan
Depdiknas merupakan satu dari dua Departemen terkorup di Indonesia satunya lagi Depag.
Mulai afair buku paket, korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana Beasiswa dan BOS,
carut marutnya pelaksanaan ujian Nasional, sampai kekerasan dan tindak cabul guru pada
siswinya; di kalangan siswa pun merebak mulai dari sekadar bolos sekolah, nyabu, sampai
bunuh diri dan seks bebas. Ini efek negatif yang luar biasa besarnya, dan tentu tidak dapat
diabaikan begitu saja.
Simpulan
Paradigma pendidikan liberal, fokus utama terletak pada bagaimana membuat anak
didik memiliki kemampuan sehingga mereka bisa bersaing di tengah sistem yang berlaku
pada masyarakat. Pendidikan liberal tidak melihat masalah yang berkembang dalam
masyarakat karena sistem sosial masyarakat tersebut, tetapi karena ketidaksiapan manusia
dalam menghadapi sistem. Sehingga ini akan mengakibatkan pembelajaran yang bersifat
memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berguna sebanyak-banyaknya kepada anak
didik, pengetahuan bersifat doktriner dan menilai sesuatu hanya dengan melihat kecerdasan
intelektual yang dimiliki oleh anak didik. Menariknya ideologi pendidikan liberal inilah
yang sekarang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat global.
Daftar Pustaka
Dahidi, Ahmad & Amri, Miftachul. 2003. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi.
Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Pendidikan
Nasional. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
9
Eagleton, Terry, 1991..Ideology: An Introduction, London: Verso.
Fakih, Mansour dan Toko Raharjo. 2002. Pendidikan yang membebaskan . Yogyakarta.
-----------.2008. Ideologi Dalam Pendidikan: Sebuah Pengantar Ideologi-Ideologi
Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
O’neill, William F. 2008. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar.
Schroyer. T. 1973. The Critique of Domination: The Origins and Development of Critical
Theory. Boston: Beacon Press.
LIBERALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN
10
Oleh:
Nama: Eny Kusumastuti
NIM: 0205613003
Diajukan untuk melengkapi tugas:
Mata Kuliah: Pemikiran dan Ideologi Pendidikan
Pengampu: Prof. Dr. Soesanto
PRODI PENDIDIKAN SENI S3
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
OKTOBER 2013
11
Oleh: Eny Kusumastuti
Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang,
yaitu sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam
kehidupan ditengah masyarakat. Pendidikan tidak pernah lekang oleh waktu, akan terus
menerus menjadi isu yang menarik dan aktual untuk dibahas. Dewasa ini, pendidikan tengah
diuji untuk mampu memberikan jawaban yang menyulitkan, yakni antara melegitimasi atau
melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada, ataupun pendidikan harus berperan
kritis dalam melakukan perubahan sosial dan transformasi menuju dunia yang lebih adil.
Kedua peran pendidikan tersebut hanya bisa dijawab melalui pemilihan paradigma dan
ideologi pendidikan yang mendasarinya (Fakih 2008: xii). Setidaknya ada tiga ideologi
yang berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kritis (Henry
Giroux dan Aronowitz 1985 dalam Fakih 2008: xiii). Perbedaan dari ketiga ideologi tersebut
adalah bagaimana pandangan manusia terkait dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan
berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan
ideologi tertentu. Selanjutnya tulisan ini akan membahas tentang ideologi pendidikan liberal
saat ini.
Hakekat Ideologi Liberal
Ideologi berasal dari kata idea (Inggris), yang artinya gagasan, pengertian. Kata kerja
Yunani oida = mengetahui, melihat dengan budi. Kata “logi” yang berasal dari bahasa
Yunani logos yang artinya pengetahuan. Jadi Ideologi mempunyai arti pengetahuan tentang
gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang
pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari menurut Kaelan ‘idea’ disamakan
artinya dengan cita-cita. Antoine Destutt de Tracy (1754-1836M), seorang bangsawan yang
bersimpati pada revolusi Perancis (1789), pengikut rasional gerakan pancerahan,
menciptakan istilah ideologi Pada 1796. Ia memandang ”ideologi” sebagai ilmu tentang
pikiran manusia yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan.
1
Pengertian ideologi, juga dikemukakan
oleh Eagleton bahwa ideologi dipahami
sebagai cara pandang terhadap dunia, termasuk didalamnya nilai-nilai, ide, maupun simbolsimbol yang bermakna dalam hidup seseorang atau masyarakat. Dalam arti ini ideologi
memiliki makna netral positif. Namun Eagleton juga mencatat, bahwa ideologi juga bisa
bermakna negatif, yakni ideologi sebagai ide-ide yang membenarkan kekuatan politik
dominan di masyarakat, ide-ide palsu yang membenarkan struktur kekuasaan tertentu,
komunikasi yang terhambat akibat kepentingan, dan cara berpikir identitas yang melihat
dunia secara hitam putih (Eagleton 1991).
Sementara itu, O’Neill (2008) mengatakan bahwa ideologi adalah pola gagasan yang
mengarahkan dan menggerakkan tindakan-tindakan dalam pendidikan dipandang sebagai
sistem nilai atau keyakinan yang mengarah dan menggerakkan suatu tindakan sosial.
Dengan demikian ideologi pendidikan membahas dan mengkaji sistem nilai atau pola
gagasan yang menggerakkan tindakan pendidikan inilah yang sering dalam posisi out
side kesadaran kita (pendidikan). Sehingga subjek pendidikan sering “awam” atau
“mungkin” pura-pura awam dengan sistem nilai atau gagasan tersebut. Implikasinya orangorang yang terlibat dalam proses pendidikan, utamanya peserta didik, terpasung dan
terformat oleh pola gagasan yang berada di luar kesadarannya. Akibatnya dunia pendidikan
dijadikan alat legitimasi penguasa untuk mempertahankan “status quo” dengan cara
memasung kebebasan akademik atas nama asas Pancasila.
Liberal memiliki arti bersifat bebas; berpandangan bebas (luas dan terbuka) (KBBI
2001).
Golongan liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di
masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan
ekonomi masyarakat, sehingga tugas pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan
politik dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk
menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan
dengan cara memecahkan masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan (Fakih 2008:
xiii-xiv).
Paradigma ideologi pendidikan liberal dapat diartikan sebagai model dalam teori
ilmu pengetahuan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
2
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat yang sesuai dengan
paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik yang bebas
berpandangan luas dan terbuka. Paradigma Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa tidak
ada masalah dalam sistem yang berlaku ditengah masyarakat, masalahnya terletak pada
mentalitas, kreativitas, motivasi, ketrampilan teknis, serta kecerdasan anak didik. Paradigma
pendidikan liberal kemudian menimbulkan suatu kesadaran, yang dengan meminjam istilah
Freire (1970) disebut sebagai kesadaran naïf. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran
ini adalah lebih melihat `aspek manusia` menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam
kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achevement' dianggap sebagai penentu
perubahan sosial. Kaum liberal menganalisa, mengapa suatu masyarakat miskin,
dikarenakan kesalahan masyarakat itu sendiri, yakni mereka tidak memiliki jiwa
kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun. Oleh karena itu, man power
development adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan (Fakih 2008:
vii).
Prinsip-prinsip Dasar Ideologi Pendidikan Liberal
Prinsip-prinsip dasar ideologi pendidikan liberal menurut O’neill (2008: 355-356)
meliputi:
1. Seluruh hasil kegiatan belajar adalah pengetahuan personal melalui pengalaman personal
(relatifisme psikologis).
2. Seluruh hasil kegiatan belajar bersifat subyektif dan selektif (subyektifisme).
3. Seluruh hasil kegiatan belajar berakar pada keterlibatan pengertian inderawi (empirisme,
behaviorisme, materialisme dan empirisme biologis).
4. Seluruh hasil kegiatan belajar didasari proses pemecahan masalah secara aktif dalam pola
coba dan salah (trial and error) (pragmatisme dan instrumentalisme).
5. Cara belajar terbaik diatur oleh penyelidikan kritis yang diarahkan oleh perintah-perintah
eksperimental yang mencirikan metoda ilmiah, dan pengetahuan terbaik adalah yang
paling selaras dengan (atau yang paling mungkin berdasarkan) pembuktian ilmiah yang
3
sudah dianggap sahih sebelumnya (eksperimentalisme filosofis dan eksperimentalisme
ilmiah).
6. Pengalaman paling dini adalah yang paling berpengaruh terhadap perkembangan
selanjutnya dan karena itu juga paling penting artinya (psikologis developmentalistis).
7. Kegiatan belajar diarahkan dan dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi emosional
dari perilaku (hedonisme psikologis).
8. Sifat-sifat hakiki dan isi pengalaman sosial mengarahkan dan mengendalikan sifat-sifat
hakiki dan isi pengalaman personal, dan dengan begitu juga mengarahkan dan
mengendalikan pengetahuan personal (relatifisme budaya).
9. Penyelidikan kritis dari jenis yang punya arti penting hanya bisa berlangsung dalam
masyarakat yang terbuka dan demokratis yang memiliki komitmen terhadap ungkapan
umum pemikiran dan perasaan individual (demokrasi sosial).
10.Jika dalam kondisi-kondisi yang optimal, anak yang berpotensi rata-rata bisa menjadi
efektif secara personal dan bertanggungjawab secara sosial.
Prinsip-prinsip dasar tersebut diatas, secara ringkas, dapat dikatakan bahwa manusia
dalam mencari kesenangan/kenikmatan dan kebahagiaan menuntut adanya perilaku efektif.
Perilaku efektif menuntut adanya pemikiran efektif, dengan menggunakan kecerdasan
terlatih yang didasarkan pada ilmu pengetahuan serta nalar. Ilmu dan nalar menuntut adanya
kebudayaan yang mendukung. Sedangkan budaya yang mendukung harus disertai nilai-nilai
moral kemanusiaan (kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan
semacamnya). Semua itu akan menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan dalam sebuah
pola sinergisme positif (O’neill 2008: 352).
Implikasi Ideologi Liberal dalam Pendidikan
Liberalisasi pendidikan merupakan salah satu aliran dalam pendidikan dewasa ini
yang mulai menjadi mainset berfikir dalam memahami makna dari pendidikan itu sendiri
baik dikaji dari makna filosofosnya maupun makna normatifnya. Berkaitan dengan
pendidikan, kaum liberal beranggapan bahwa persoalan pendidikan terlepas dari persoalan
politik dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, kaum liberal berusaha menyesuaikan
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar pendidikan yaitu dengan
4
menyelesaikan masalah yang diarahkan pada penyesuaian atas sistem dan struktur sosial
yang berjalan. Yang lebih diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas dari proses
belajar mengajar sendiri, fasilitas dan kelas yang baru, modernisasi peralatan sekolah,
penyeimbangan rasio guru-murid. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan
metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif, seperti kelompok
dinamik (group dynamics) 'learning by doing', 'experimental learning', bahkan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA) sebagainya (Fakih 2008: xiv).
Kaum Liberal sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah politik, dan
‘excellence’ haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan
bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak
melihat hubungan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta
diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal
yakni ‘structural functionalisme’ justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma
dan
nilai
masyarakat.
Pendidikan
justru
dimaksudkan
sebagai
media
untuk
mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar
agar masyarakat luas berfungsi secara baik (Fakih 2008: xiv). Pendekatan liberal inilah yang
mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan yang berarti berbagai macam pelatihan.
Akar dan pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan
pengembangan
kemampuan,
melindungi
hak,
dan
kebebasan
(freedom),
serta
mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga
stabilitas jangka panjang.
Ideologi pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan
sosial yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Ideologi pendidikan liberal
ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya, dari yang relatif lunak, yakni liberalisme metodik
yang diajukan oleh teoretisi seperti Maria Montessorimo, ke liberalisme direktif (lebih
mengarahkan) yang sarat dengan muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalisme non
direktif atau liberalism laissez faire, yang merupakan sudut pandang A.S. Neill atau Carl
Rogers (O’Neill, 2008: 444).
5
Ideologi
pendidikan
liberasionisme,
menganggap
bahwa
manusia
mesti
mengusahakan pembaruan/perombakan segera dalam ruang lingkup besar atas tatanan
politis yang ada, sebagai jalan menuju perluasan kebebasan individual serta untuk
mempromosikan perwujudan potensi-potensi personal sepenuhnya. Ideologi pendidikan
liberasionisme mencakup spektrum pandangan yang luas, dari liberasionisme pembaruan
yang relative konservatif, yang tercermin dalam gerakan-gerakan menuntut hak-hak
warganegara (di AS era 60-an) hingga ke komitmen yang mendesak dan bernafsu terhadap
liberasionisme revolusioner, yang kerapkali bernuansa Marxis, dengan seruannya agar
sistem pendidikan segera mengambil peran aktif dalam menggulingkan tatanan politik yang
ada. Bagi kaum ideologi pendidikan liberasionisme, sekolah haruslah objektif (rasionalilmiah), namun tidak sentralistik. Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya
untuk mengajar anak-anak tentang bagaimana cara berpikir efektif (rasional-ilmiah),
melainkan juga untuk membantu mereka mengenali kebijakan yang sifatnya lebih tinggi
(superior) yang tak terceraikan dari pemecahan-pemecahan masalah secara intelektual yang
paling meyakinkan, sehubungan dengan problem-problem manusia. Dengan kata lain
ideologi pendidikan liberasionisme didirikan di atas landasan sistem kebenaran yang
terbuka, yang pada puncaknya merupakan sebuah orientasi yang berpusat pada problema
sosial. Sekolah memiliki kewajiban moral untuk mengenali dan mempromosikan programprogram sosial yang konstruktif. Sekolah mesti berusaha memajukan pola tindakan yang
paling meyakinkan yang didukung oleh analisis objektif terhadap fakta-fakta yang ada
(O’Neill, 2008: 470-471).
Anarkisme yang bersudut pandang pembela penghapusan/pemusnahan/pelenyapan
seluruh kekangan terlembaga atas kebebasan manusia. Penghapusan kekangan ini diyakini
sebagai jalan untuk menyediakan peluang penuh atas potensi-potensi manusia yang
dibebaskan. Dalam pendidikan, sikap anarkis paling terwakili dalam tulisan-tulisan tokoh
terkenal Ivan Illich dan Paul Goodman (O’Neill, 2002:113). Sudut pandang ini meliputi
wilayah pandangan yang cukup luas, dari anarkisme taktis, yang ingin melebur sekolah demi
mendramatisasikan kebutuhan akan adanya sistem sosial yang baru hingga ke anarkis utopis
yang membayangkan terciptanya sebuah masyarakat bebas tak terbatas dari seluruh
kekangan kelembagaan apapun. Kaum yang berideologi pendidikan anarkisme, sebagaimana
6
yang liberalis dan liberasionis, pada umumnya menaati sebuah sistem penyelidikan
eksperimental yang terbuka (ilmiah-rasional). Kaum yang berideologi pendidikan anarkisme
lebih menekankan pada kebutuhan untuk meminimalkan dan/atau melenyapkan batasanbatasan terlembaga atas perilaku personal, dan berusaha sejauh mungkin membebaskan
masyarakat dari lembaga-lembaga (deinstitusionalisasi masyarakat). Sejalan dengan itu,
diyakini bahwa pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah yang mengusahakan untuk
mempercepat pembaharuan-pembaharuan humanistis yang segera dan berskala besar di
dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem sekolah secara keseluruhan (O’Neill
2008: 485).
Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita-cita Barat tentang
individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas
liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen-komponennya.
Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia
universal yaitu manusia yang rational liberal. Ada beberapa asumsi yang mendukung
konsep manusia rational liberal yaitu: semua manusia memiliki potensi sama dalam
intelektual, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal, individualis
yakni adanya anggapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom (Bay 1988).
Menempatkan individu secara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial
sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang
tidak stabil Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi
melalui proses persaingan antar murid. Perankingan untuk menentukan murid terbaik, adalah
implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam
berbagai pendekatan andragogy seperti dalam training management, kewiraswastaan, dan
training-training yang lain. Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat (community
Development) seperti usaha bersama, pertanian umumnya berpijak pada paradigma
pendidikan liberal ini (Fakih 2008: xiv-xv).
Komponen kedua adalah Positivisme. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu
sosial yang dominan sewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal.
Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan
teknik ilmu alam yang memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar
7
pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam
menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui
metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer 1973). Positivisme
berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap appropriate untuk semua fenomena.
Oleh karena itu riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan
positivisme yang melibatkan unsur-unsur seperti obyektivitas, empiris, tidak memihak,
rasional dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat
universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode scientific. Dengan
kata lain, positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan nilai dalam rangka menuju pada
pemahaman obyektif atas realitas sosial. Pendidikan dan pelatihan dalam positivistik bersifat
fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan
pasar kerja. Dalam pola pemikiran positivistik, murid dididik untuk tunduk pada struktur
yang ada. Paradigma liberal pendidikan biasanya lebih melanggengkan sistem yang ada
dengan melahirkan anak-anak didik yang berperan dalam mempertahankan sistem tersebut.
Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan
liberal menjadi bagian dari globalisasi ekonomi liberal kapitalisme. Dalam konteks lokal,
paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistem developmentalisme, dimana
sistem tersebut ditegakkan pada suatu asumsi bahwa akar underdevelopment karena rakyat
tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme. Pendidikan harus membantu peserta didik
untuk masuk dalam sistem developmentalisme tersebut, sehingga masyarakat memiliki
kemampuan dalam kompetisi didalam sistem kapitalis.
Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat
pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya
kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan
menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian
kurikulum baru kita (Fakih, 2002). Kenyataan lainnya dari liberalisme ini adalah mahalnya
sekolah dan kuliah. UGM yang dulu dikenal kampus rakyat sekarang tidak lagi. Rencana
menjadikan universitas negeri sebagai PTBHP sebagai langkah awal privatisasi pendidikan
8
juga nyata sebagai langkah liberalisasi. Di level sekolah, elitisme pendidikan mengancam
kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan memadai.
Materialisme yang melingkupi liberalisme menjadikan reformasi yang dilakukan pun
sebatas fisik saja seperti pemenuhan fasilitas baru dan gedung baru; kapitalisme pun
mengarahkan bagaimana agar pembelajaran dapat lebih efektif-efisien, dan dihitung dalam
bentuk untung rugi serta balikan investasinya karena mengandaikan Education as human
investment. Liberalisme yang diagung-agungkan dan diacu oleh sistem pendidikan kita telah
merusakkan sendi-sendi negara bangsa Indonesia. Pendidikan kita rusak-rusakan, dan
Depdiknas merupakan satu dari dua Departemen terkorup di Indonesia satunya lagi Depag.
Mulai afair buku paket, korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana Beasiswa dan BOS,
carut marutnya pelaksanaan ujian Nasional, sampai kekerasan dan tindak cabul guru pada
siswinya; di kalangan siswa pun merebak mulai dari sekadar bolos sekolah, nyabu, sampai
bunuh diri dan seks bebas. Ini efek negatif yang luar biasa besarnya, dan tentu tidak dapat
diabaikan begitu saja.
Simpulan
Paradigma pendidikan liberal, fokus utama terletak pada bagaimana membuat anak
didik memiliki kemampuan sehingga mereka bisa bersaing di tengah sistem yang berlaku
pada masyarakat. Pendidikan liberal tidak melihat masalah yang berkembang dalam
masyarakat karena sistem sosial masyarakat tersebut, tetapi karena ketidaksiapan manusia
dalam menghadapi sistem. Sehingga ini akan mengakibatkan pembelajaran yang bersifat
memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berguna sebanyak-banyaknya kepada anak
didik, pengetahuan bersifat doktriner dan menilai sesuatu hanya dengan melihat kecerdasan
intelektual yang dimiliki oleh anak didik. Menariknya ideologi pendidikan liberal inilah
yang sekarang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat global.
Daftar Pustaka
Dahidi, Ahmad & Amri, Miftachul. 2003. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi.
Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Pendidikan
Nasional. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
9
Eagleton, Terry, 1991..Ideology: An Introduction, London: Verso.
Fakih, Mansour dan Toko Raharjo. 2002. Pendidikan yang membebaskan . Yogyakarta.
-----------.2008. Ideologi Dalam Pendidikan: Sebuah Pengantar Ideologi-Ideologi
Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
O’neill, William F. 2008. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar.
Schroyer. T. 1973. The Critique of Domination: The Origins and Development of Critical
Theory. Boston: Beacon Press.
LIBERALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN
10
Oleh:
Nama: Eny Kusumastuti
NIM: 0205613003
Diajukan untuk melengkapi tugas:
Mata Kuliah: Pemikiran dan Ideologi Pendidikan
Pengampu: Prof. Dr. Soesanto
PRODI PENDIDIKAN SENI S3
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
OKTOBER 2013
11